Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Pancasila sebagai dasar serta ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam bepergian panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi pada aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tadi sanggup berupa penambahan, pengurangan, serta penyimpangan menurut makna yg seharusnya. Walaupun seiring menggunakan itu sering pula terjadi upaya pelurusan balik .
Pancasila sering digolongkan ke pada ideologi tengah di antara dua ideologi akbar global yg paling berpengaruh, sebagai akibatnya tak jarang disifatkan bukan ini serta bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila nir berpaham individualisme serta tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi serta bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yg membuat repot aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa serta bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan serta ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti sempurna di tengah.
Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 pada mengatur dan menjalankan kehidupan negara.
Namun semenjak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden lima Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal.dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia sebagai pro Liberalisme.deviasi ini dikoreksi menggunakan keluarnya Dekrit Presiden lima Juli 1959.dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri.kebijakan ini sangat menguntungkan serta dimanfaatkan sang kekuatan politik di Indonesia yg berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak dalam kebijaksanaan pemerintah yg anti terhadap Barat (kapitalisme) serta pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya merupakan insiden pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala defleksi yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yg tadinya menunjuk ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dipercaya penyimpang berdasarkan garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik pada menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat serta berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru sudah timbul 4 regim Pemerintahan Reformasi hingga ketika ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap defleksi pada mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 pada praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan sang Orde Baru.
Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua empiris pada alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif serta baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yg terus menerus “sebagai”, walaupun unsur permanensi realitas serta identitas diri dalam perubahan nir boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat jua dikenakan dalam ideologi Pancasila menjadi suatu empiris (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan pada praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? Serta, unsur nilai Pancasila manakah yg mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono (1995/1996) memberitahuakn adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu merupakan:
Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yg bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas berdasarkan dampak perubahan saat.nilai dasar merupakan prinsip, yg bersifat amat abstrak, bersifat amat generik, tidak terikat oleh waktu dan loka, dengan kandungan kebenaran yg bagaikan aksioma.dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan menggunakan eksistensi sesuatu, yg mencakup keinginan, tujuan, tatanan dasar serta ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan sang para pendiri negara.nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang sudah menyengsarakan rakyat, juga berdasarkan cita-cita yg ditanamkan dalam kepercayaan serta tradisi mengenai suatu masyarakat yang adil serta makmur dari kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh masyarakat rakyat.
Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yg bersifat kontekstual. Nilai fragmental adalah pembagian terstruktur mengenai dari nilai dasar tersebut, yg adalah arahan kinerjanya buat kurun saat tertentu serta buat syarat eksklusif. Nilai fragmental ini bisa dan bahkan harus diadaptasi menggunakan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu dalam nilai dasar yg dijabarkannya. Penjabaran itu mampu dilakukan secara kreatif dan dinamik pada bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, pada batas-batas yg dimungkinkan sang nilai dasar itu.dari kandungan nilainya, maka nilai fragmental adalah kebijaksanaan, taktik, organisasi, sistem, planning, program, bahkan pula proyek-proyek yg menindaklanjuti nilai dasar tadi. Lembaga negara yg berwenang menyusun nilai fragmental ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, serta DPR.
Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung pada fenomena sehari-hari, berupa cara bagaimana masyarakat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis masih ada pada demikian poly wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis juga nir tertulis, baik sang cabang eksekutif, legislatif, juga yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, sang organisasi kemasyarakatan, sang badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang perseteruan antara idealisme serta empiris.
Jika ditinjau menurut segi aplikasi nilai yg dianut, maka sesungguhnya dalam nilai praksislah dipengaruhi tegak atau tidaknya nilai dasar serta nilai fragmental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan tak berbentuk, dan bukan pula dalam kebijaksanaan, strategi, planning, acara atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yg dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya pada lapangan. Bagi suatu ideologi, yg paling krusial merupakan bukti pengamalannya atau aktualisasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat memiliki rumusan yg amat ideal menggunakan ulasan yg amat logis dan konsisten dalam tahap nilai dasar serta nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika dalam nilai praksisnya rumusan tersebut nir bisa diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi merupakan menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai fragmental, serta nilai praksisnya. Sudah barang tentu bila konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan terdapat perkara. Masalah baru ada apabila terdapat inkonsisitensi pada 3 tataran nilai tersebut.
Untuk menjaga konsistensi pada mengaktualisasikan nilai Pancasila ke pada praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang tak berbentuk-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yg generik kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang spesifik individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat menurut subjek gerombolan dan individual, sebagai akibatnya menjiwai seluruh tingkah laku dalam lingkungan praksisnya pada bidang kenegaraan, politik, dan langsung.
Driyarkara menyebutkan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, menggunakan citra gerak transformasi Pancasila formal menjadi kategori tematis (berupa konsep, teori) sebagai kategori imperatif (berupa norma-norma) serta kategori operatif (berupa praktik hayati). Proses tranformasi berjalan tanpa kasus jika tidak terjadi deviasi atau defleksi, yang berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian (pada Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif serta dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang dicita-citakan serta ingin diwujudkan.
Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke pada kehidupan praksis kemasyarakatan serta kenegaraan bukanlah kasus yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: dua-tiga) mensinyalir, bahwa masih masih ada beberapa kekeliruan yg mendasar dalam cara orang tahu dan menghayati Negara Pancasila pada aneka macam seginya. Kiranya nir sempurna menciptakan “sakral” dan taboo aneka macam konsep serta pengertian, seakan-akan sudah kentara betul serta pasti benar, tuntas dan paripurna, sebagai akibatnya nir boleh dipersoalkan lagi. Sikap misalnya itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan nir berkembang, serta mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin sahih bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten pada tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus dicermati pulang dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.
Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan merupakan pemugaran berdasarkan pada dan melalui sistem yg terdapat. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa pada pada diri Pancasila menjadi pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi pada pengertian ini merupakan kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) buat bisa berubah. Subjek sendiri yg berubah menurut pada. Mirip dengan teori A.N.whitehead, setiap satuan aktual (menjadi aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan buat berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yg dapat dipindahkan atau pohon yg dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual menjadi realitas merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yg selanjutnya. Jika dikaitkan menggunakan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan aturan serta perundang-undangan pada segala strata, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis sebagai kategori imperatif), wajib terbuka terhadap peninjauan dan evaluasi atau pengkajian tentang keterkaitan menggunakan nilai dasar Pancasila.
Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hayati sehari-hari pada bernegara orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yg berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, serta pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, buat tahu transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan menggunakan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif serta upaya buat membentuk persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-dua, dan ke-lima yang berkaitan dengan hidup keagamaan, humanisme serta sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).
Perubahan serta Kebaharuan
Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber menurut satu sisi saja, yaitu dampak yg ada dari pada, melainkan bisa terjadi karena impak berdasarkan luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) pada aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata ditimbulkan kemampuan menurut dalam (potensi) menurut Pancasila itu sendiri, melainkan suatu insiden yg terkait atau berrelasi dengan realitas yg lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas pada pada menyerap atau menerima serta menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur menurut luar (asing). Contoh paling jelas menurut terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, merupakan empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yg telah dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam tahun 1999, 2000, 2001, serta tahun 2002.
Dewasa ini, dampak kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa serta negara mampu mengisolir diri serta menutup rapat menurut imbas budaya asing. Demikian pula terhadap masalah ideologi.dalam kaitan imi, M.habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menyebabkan kebimbangan, terutama didukung sang kenyataan masuknya arus budaya asing dengan aneka macam aspeknya. Kemajuan pada bidang ilmu serta teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini pada satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi menjadi bagian budaya insan sudah jauh mensugesti rapikan kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, nir mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yg tidak selalu sejalan menggunakan tumbuhnya faham kebangsaan.beberapa liputan pada banyak sekali ragam bentuk dan isinya nir bisa selalu diawasi atau dicegah begitu saja.mengingkari dan nir mau tahu “tawaran” atau dampak nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yg seolah-olah menduga bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian sang Whitehead dianggap sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Apabila imbas itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yg hayati pada warga , atau nir mendukung bagi terciptanya syarat yg sinkron menggunakan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, wangsit-pandangan baru yg tiba dari luar.
Dalam konteks budaya, perkara rendezvous kebudayaan bukan perkara memfilter atau menyaring budaya asing, namun memasak serta mengkreasi pada hubungan dinamik sehingga tercipta sesuatu yg baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, lantaran bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar pada global kini ini diperhatikan dengan akurat, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu sudah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila wajib sanggup menghadapi imbas budaya asing, khususnya ilmu serta teknologi terkini serta latar belakang filsafatnya yang dari menurut luar.
Prof. Notonagoro telah menemukan cara buat memanfaatkan efek menurut luar tadi, yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan serta ajaran kefilsafatan berdasarkan luar tadi, tetapi menggunakan melepaskan diri menurut sistem filsafat yang bersangkutan serta selanjutnya diinkorporasikan pada struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan berdasarkan sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yg serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham menggunakan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila menjadi struktur atau sistem yg terbuka dinamik, yg dapat menggarap apa yg datang dari luar, dalam arti luas, sebagai miliknya tanpa membarui identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mensugesti serta mengkreasi.
Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam serta keterbukaan yg matang untuk menyerap, menghargai, serta menentukan nilai-nilai hayati yang tepat dan baik buat sebagai pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya pada masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tadi berdasar dalam relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional serta pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yg menyerap atau ditentukan sang nilai-nilai asing, tetapi nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menyebutkan, bahwa dinamika yg terdapat dalam aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif buat melandasi tata kehidupan internasional, baik buat menaruh orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara dalam umumnya.
Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional serta kritis supaya membuka iklim hayati yg bebas serta rasional jua. Konsekuensinya, bahwa Pancasila wajib bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yg terjadi dalam kehidupan manusia serta nir menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yg memang diakui menampakan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sebagai akibatnya menggunakan demikian menduga proses akulturasi sebagai tanda-tanda lumrah. Dengan begitu ideologi Pancasila akan memberitahuakn sifatnya yg dinamik, yaitu mempunyai kesediaan buat mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan langsung manusia dan warga . Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas pada konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan buat menyeleksi nilai-nilai baru serta mencari alternatif bagi pemecahan kasus-kasus politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila nir a priori menolak bahan-bahan baru serta kebudayaan asing, melainkan sanggup menyerap nilai-nilai yg dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat humanisme bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, nir defensif dan tertutup sebagai akibatnya sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari lantaran dipercaya bersifat negatif. Sebaliknya nir diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman buat memilih mana yg pantas serta mana yang nir pantas buat diintegrasikan pada pengembangan dirinya.
Bangsa Indonesia mau tidak mau wajib terlibat pada dialog menggunakan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam serta hilang pada dalamnya. Proses akulturasi nir bisa dihindari. Bangsa Indonesia pula dituntut berperan aktif pada pergaulan global.bangsa Indonesia harus bisa ikut bermain dalam hubungan mondial pada menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk sanggup menjalankan peran itu, bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yg menjadi keunikan bangsa, sebagai akibatnya bisa memberikan sumbangan yang relatif berarti pada percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup namun sesuatu yg terus dibentuk dalam hubungan dengan gerombolan masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat global (Sastrapratedja, 1996: 3).
Semuanya itu mengharuskan adanya taktik kebudayaan yg sanggup neneruskan dan berbagi nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “taktik dialogi antar budaya” dalam menghadapi tanda-tanda penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi yg terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yg dibutuhkan dari hubungan itu merupakan terpeliharanya relatif diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila menjadi jati diri bangsa Indonesia nir mandeg, melainkan wajib diperbaharui secara terus menerus, sebagai akibatnya mampu menaruh pedoman, ilham, dan dukungan dalam setiap anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yg sehat selalu bertitik tolak dalam masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya impian pada masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang tidak selaras haruslah mempunyai transedental dari masa lampau hingga masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau untuk diterapkan dalam masa sekarang serta masa mendatang. Unsur yang sama serta permanen juga unsur yang kreatif serta baru, semuanya harus dirajut pada satu kesatuan yg integral.
Teori hilemorfisme menurut Aristoteles mampu mendukung pandangan tadi. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi konkret apabila dibuat (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya terdapat mobilitas. Setiap relitas yg sudah berbentuk (berdasar materi) bisa juga sebagai materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan. Perubahan yang terdapat bukan kebaharuan sama sekali tetapi perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yg ada sekarang berdasar pada empiris yang sudah ada dalam masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.