PENGERTIAN ARTI IDEOLOGI TERBUKA MENURUT PARA AHLI

Pengertian Arti Ideologi terbuka Menurut Para Ahli 
Ideologi terbuka adalah ideologi yg bisa berinteraksi menggunakan perkembangan zaman serta adanya dinamika secara internal (BPP4, 1995). Pandangan hayati bangsa yg memiliki nilai dasar yg bersifat tetap serta nilai instrumental yg dinamis (Kansil, 2000) Dari pengertian-pengertian pada atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ideologi terbuka adalah bentuk ideologi yang menjadi etos bangsa serta mempunyai nilai dasar dan nilai instrumentan yang bisa berinteraksi menggunakan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal. 

Dengan demikian pada ideologi terbuka terdapat: 
1. Nilai-nilai dasar 
Yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung pada sila-sila Pancasila yang terdapat dalam kelima silanya. Nilai-nilai dasar tadi yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Nilai dasar tadi adalah esensi dari sila-sila Pancasila yang sifatnya universal, sebagai akibatnya dalam nilai dasar tadi terkandung hasrat, tujuan, dan nilai-nilai yang baik serta sahih. Nilai-nilai tadi tertuang pada pembukaan UUD 1945, sehingga Pembukaan UUD 1945 adalah kebiasaan dasar yang adalah tertib hukum tertinggi dan sebagai sumber hukum positif. Dalam pembukaan negara, Pembukaan UUD 1945 memiliki kedudukan menjadi “Staatsfundamentalnorm” atau utama kaidah negara yg mendasar yg terletak pada kelangsungan hayati negara. Nilai dasar inilah yang bersifat permanen, nir dapat berubah ataupun diubah. Pembukaan UUD 1945 terletak pada kelangsungan hayati negara, sehingga mengganti Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sama halnya dengan pembubaran negara. Oleh karena itu, meskipun pasal-pasal pada Undang-Undang Dasar 1945 selalu mengalami perubahan serta amandemen, tetapi Pembukaan UUD 1945 permanen dipertahankan. Nilai-nilai dasar tadi kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yg didalamnya terkandung lembaga-lembaga penyelenggara negara, interaksi antar penyelenggara negara beserta tugas dan wewenangnya. 

2. Nilai Instrumental 
Nilai ini merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta forum pelaksanaannya. Nilai ini adalah penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar dalam rangka penyesuaian pada aplikasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. 

Nilai ini berlaku buat kurun waktu dan kondisi tertentu. Sifatnya telah lebih bersifat kontekstual, bahkan harus disesuaikan menggunakan tuntutan zaman. Nilai fragmental tampil pada bentuk kebijakan, taktik, organisasi, sistem planning, program. 

Contohnya : Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, GBHN. 

3. Nilai Praksis 
Adalah klasifikasi nilai instrumental yang sifatnya konkret/konkret pada kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Nilai fragmental ini sifatnya sangat dinamis pada tempat dan situasi tertentu. Dengan pengamatan praksis inilah maka akan nampak apakah pembagian terstruktur mengenai nilai-nilai dasar ideologi Pancasila sinkron atau nir menggunakan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi dan dinamika warga . Contoh nilai praksis : demokrasi, toleransi, kerjasama, saling menghargai dan lain-lain. 

Pengertian Pancasila menjadi Ideologi Terbuka 
Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mempunyai nilai dasar yang bersifat permanen sepanjang jaman serta nilai fragmental yg bisa berkembang secara dinamis. 

Nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat tetap adalah impian serta tujuannya, yaitu pembukaan UUD 1945: 
1. Alinea I : keyakinan pada kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, pada perikemanusiaan dan peri keadilan. 
2. Alinea II : cita-cita nasional/kemerdekaan, yaitu suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 
3. Alinea III : watak aktif dari warga indonesia menyatakan kemerdekaan, untuk mencapai kehidupan bangsa yang bebas. 
4. Alinea IV : tujuan negara, susunan negara, sistem pemerintahan sistem presidensil) dan dasar negara. 

Nilai-nilai fragmental Pancasila yg bisa berubah adalah pengembangan dan pengamalannya, yaitu pembagian terstruktur mengenai lebih lanjut berdasarkan pembukaan UUD 1945, menjadi arahan buat kehidupan nyata. Perubahan-perubahan tersebut nir boleh menyimpang berdasarkan nilai-nilai dasarnya. Sifat bergerak maju serta inovatif nilai-nilai fragmental memungkinkan Pancasila bisa senantiasa menyesuaikan diri dan mengikti perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. 

Asal Mula Pancasila menjadi Ideologi Terbuka 
Istilah Pancasila sebagai ideologi terbuka bagi bangsa Indonesia dari menurut: 

1. Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 
a. “...terutama bagi negara baru serta negara muda, lebih baik aturan dasar yang tertulis itu hanya memuat anggaran-aturan utama, sedang aturanaturan yang menyelenggarakan aturan ini diserahkan kepada undangundang yg lebih gampang cara mengolahnya, mengubahnya dan mencabutnya”. 
b. “yang sangat penting dalam pemerintahan dan pada hidupnya negara adalah semangat, semangat penyelenggaraan negara, semangat para pemimpin negara”. 

2. Dikemukakan oleh Presiden Soeharto 
a. Pada tanggal 10 Nopember 1986 dalam program pembukaan Penataran Calon Manggala BP-7 Pusat. 
b. Pada lepas 16 Agustus 1989 dalam pidato kenegaraan 1989 menjadi berikut: 
“Itulah sebabnya, beberapa tahun lalu aku kemukakan, bahwa pancasila adalah ideologi terbuka, maka kita dalam berbagi pemikiran baru yang tegar dan kreatif buat mengamalkan Pancasila pada menjawab perubahan dan tantangan zaman yg terus berkiprah bergerak maju, yakni: 
1) nilai-nilai dasar Pancasila nir boleh berubah 
2) pelaksanaannya kita sesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata yg kita hadapi pada tiap kurun ketika. 

Dimensi-dimensi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka 
Pancasila sebagai suatu ideologi (ideologi terbuka) mempunyai kekuatan yg sangat tergantung dalam kualitas dari dimensi-dimensi yg dikandungnya. Dimensidimensi yang dikandung Pancasila merupakan: 

1. Dimensi Realita 
Yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi (Pancasila) itu secara riil berakar dan hayati dalam masyarakat atau bangsanya (Indonesia), terutama karena nilai-nilai dasar tadi bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya. Pancasila menjadi ideologi wajib mencerminkan realitas hayati yang terdapat pada masyarakat, dan tidak boleh bertentangan menggunakan tradisi, norma-istiadat, kebudayaan serta rapikan hidup keagamaan yg terdapat dalam warga Indonesia. 

Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat utopis yang hanya berisi ide-inspirasi yg bersifat mengawang, melainkan suatu ideologi yang bersifat realistis yang mampu menjalankan diri pada segala aspek kehidupan konkret. 

2. Dimensi Idealitas 
Yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi (Pancasila) mengandung idealisme, bukan lambungan angan-angan yang memberi asa tentang masa depan yg lebih baik melalui perwujudan atau pengamalannya pada praktek kehidupan bersama mereka sehari-hari dengan berbagai dimensinya. Pancasila memiliki nilainilai yg dianggap baik, sahih sang warga Indonesia dalam khususnya serta insan dalam umumnya. Rumusan Pancasila bersifat istematis, rasional serta menyeluruh yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila. Hakikat nilainilai Pancasila tadi bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yg terkandung pada Pancasila) sebagai akibatnya kadar idealisme yg terkandung pada Pancasila sanggup memberikan harapan, optimisme serta bisa menggugah motivasi para pendukungnya buat berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan. 

3. Dimensi Fleksibilitas 
Yaitu bahwa ideologi tadi memiliki keluwesan yg memungkinkan serta bahkan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan mengenai dirinya, tanpa menghilangkan hakekat atau jati dirinya yang terkandung pada nilainilai dasarnya.

PENGERTIAN ARTI IDEOLOGI TERBUKA MENURUT PARA AHLI

Pengertian Arti Ideologi terbuka Menurut Para Ahli 
Ideologi terbuka adalah ideologi yang bisa berinteraksi menggunakan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal (BPP4, 1995). Pandangan hayati bangsa yang memiliki nilai dasar yg bersifat tetap dan nilai instrumental yang dinamis (Kansil, 2000) Dari pengertian-pengertian di atas bisa ditarik suatu konklusi bahwa ideologi terbuka adalah bentuk ideologi yang menjadi etos bangsa dan memiliki nilai dasar dan nilai instrumentan yang bisa berinteraksi dengan perkembangan zaman serta adanya dinamika secara internal. 

Dengan demikian pada ideologi terbuka terdapat: 
1. Nilai-nilai dasar 
Yaitu hakikat nilai-nilai yg terkandung dalam sila-sila Pancasila yang masih ada pada kelima silanya. Nilai-nilai dasar tadi yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan. Nilai dasar tadi merupakan esensi berdasarkan sila-sila Pancasila yg sifatnya universal, sehingga pada nilai dasar tadi terkandung harapan, tujuan, dan nilai-nilai yg baik serta benar. Nilai-nilai tersebut tertuang dalam pembukaan UUD 1945, sehingga Pembukaan UUD 1945 merupakan norma dasar yg merupakan tertib aturan tertinggi serta sebagai asal hukum positif. Dalam pembukaan negara, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kedudukan menjadi “Staatsfundamentalnorm” atau pokok kaidah negara yang fundamental yang terletak pada kelangsungan hidup negara. Nilai dasar inilah yg bersifat permanen, tidak dapat berubah ataupun diubah. Pembukaan UUD 1945 terletak dalam kelangsungan hayati negara, sehingga mengganti Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sama halnya dengan pembubaran negara. Oleh karena itu, meskipun pasal-pasal dalam UUD 1945 selalu mengalami perubahan dan amandemen, namun Pembukaan UUD 1945 tetap dipertahankan. Nilai-nilai dasar tersebut lalu dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yg didalamnya terkandung lembaga-forum penyelenggara negara, hubungan antar penyelenggara negara beserta tugas dan wewenangnya. 

2. Nilai Instrumental 
Nilai ini merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran dan forum pelaksanaannya. Nilai ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar dalam rangka penyesuaian pada aplikasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. 

Nilai ini berlaku buat kurun saat serta kondisi eksklusif. Sifatnya telah lebih bersifat kontekstual, bahkan wajib disesuaikan menggunakan tuntutan zaman. Nilai fragmental tampil dalam bentuk kebijakan, taktik, organisasi, sistem planning, program. 

Contohnya : Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, GBHN. 

3. Nilai Praksis 
Adalah pembagian terstruktur mengenai nilai fragmental yg sifatnya konkret/nyata pada kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Nilai instrumental ini sifatnya sangat dinamis pada tempat serta situasi eksklusif. Dengan pengamatan praksis inilah maka akan nampak apakah pembagian terstruktur mengenai nilai-nilai dasar ideologi Pancasila sinkron atau nir menggunakan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi dan dinamika warga . Contoh nilai praksis : demokrasi, toleransi, kerjasama, saling menghargai dan lain-lain. 

Pengertian Pancasila sebagai Ideologi Terbuka 
Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah etos bangsa Indonesia yg mempunyai nilai dasar yg bersifat permanen sepanjang jaman serta nilai fragmental yang bisa berkembang secara dinamis. 

Nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat permanen adalah harapan dan tujuannya, yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: 
1. Alinea I : keyakinan kepada kemerdekaan menjadi hak segala bangsa, kepada perikemanusiaan serta peri keadilan. 
2. Alinea II : harapan nasional/kemerdekaan, yaitu suatu negara yang merdeka, manunggal, berdaulat, adil dan makmur. 
3. Alinea III : tabiat aktif berdasarkan masyarakat indonesia menyatakan kemerdekaan, buat mencapai kehidupan bangsa yang bebas. 
4. Alinea IV : tujuan negara, susunan negara, sistem pemerintahan sistem presidensil) serta dasar negara. 

Nilai-nilai instrumental Pancasila yg dapat berubah adalah pengembangan dan pengamalannya, yaitu penjabaran lebih lanjut berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menjadi arahan buat kehidupan nyata. Perubahan-perubahan tersebut tidak boleh menyimpang berdasarkan nilai-nilai dasarnya. Sifat bergerak maju dan inovatif nilai-nilai instrumental memungkinkan Pancasila bisa senantiasa beradaptasi serta mengikti perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. 

Asal Mula Pancasila menjadi Ideologi Terbuka 
Istilah Pancasila menjadi ideologi terbuka bagi bangsa Indonesia berasal menurut: 

1. Penjelasan Umum UUD 1945 
a. “...terutama bagi negara baru serta negara muda, lebih baik hukum dasar yg tertulis itu hanya memuat anggaran-aturan utama, sedang aturanaturan yg menyelenggarakan aturan ini diserahkan pada undangundang yang lebih mudah cara mengolahnya, mengubahnya serta mencabutnya”. 
b. “yg sangat krusial dalam pemerintahan dan pada hidupnya negara ialah semangat, semangat penyelenggaraan negara, semangat para pemimpin negara”. 

2. Dikemukakan sang Presiden Soeharto 
a. Pada tanggal 10 Nopember 1986 dalam program pembukaan Penataran Calon Manggala BP-7 Pusat. 
b. Pada tanggal 16 Agustus 1989 pada pidato kenegaraan 1989 sebagai berikut: 
“Itulah sebabnya, beberapa tahun lalu saya kemukakan, bahwa pancasila merupakan ideologi terbuka, maka kita pada membuatkan pemikiran baru yang tegar dan kreatif buat mengamalkan Pancasila pada menjawab perubahan dan tantangan zaman yg terus beranjak dinamis, yakni: 
1) nilai-nilai dasar Pancasila nir boleh berubah 
2) pelaksanaannya kita sesuaikan menggunakan kebutuhan serta tantangan konkret yang kita hadapi dalam tiap kurun ketika. 

Dimensi-dimensi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka 
Pancasila sebagai suatu ideologi (ideologi terbuka) mempunyai kekuatan yang sangat tergantung pada kualitas dari dimensi-dimensi yg dikandungnya. Dimensidimensi yang dikandung Pancasila merupakan: 

1. Dimensi Realita 
Yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi (Pancasila) itu secara riil berakar dan hidup dalam rakyat atau bangsanya (Indonesia), terutama lantaran nilai-nilai dasar tadi bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya. Pancasila menjadi ideologi harus mencerminkan empiris hayati yang terdapat pada masyarakat, dan nir boleh bertentangan menggunakan tradisi, istiadat-istiadat, kebudayaan serta tata hayati keagamaan yang ada dalam rakyat Indonesia. 

Dengan demikian, Pancasila menjadi ideologi terbuka nir bersifat utopis yg hanya berisi pandangan baru-ilham yg bersifat mengawang, melainkan suatu ideologi yg bersifat realistis yg bisa menjalankan diri pada segala aspek kehidupan konkret. 

2. Dimensi Idealitas 
Yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi (Pancasila) mengandung idealisme, bukan lambungan angan-angan yang memberi harapan mengenai masa depan yg lebih baik melalui perwujudan atau pengamalannya pada praktek kehidupan beserta mereka sehari-hari menggunakan banyak sekali dimensinya. Pancasila memiliki nilainilai yang dipercaya baik, sahih oleh rakyat Indonesia pada khususnya serta manusia dalam umumnya. Rumusan Pancasila bersifat istematis, rasional serta menyeluruh yaitu hakikat nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila. Hakikat nilainilai Pancasila tadi bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yg terkandung dalam Pancasila) sebagai akibatnya kadar idealisme yg terkandung dalam Pancasila bisa memberikan harapan, optimisme serta sanggup menggugah motivasi para pendukungnya buat berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan. 

3. Dimensi Fleksibilitas 
Yaitu bahwa ideologi tadi memiliki keluwesan yg memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan hakekat atau jati dirinya yang terkandung pada nilainilai dasarnya.

PERWUJUDAN PANCASILA DALAM PELAKSANAAN FUNGSINYA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL

Perwujudan Pancasila dalam aplikasi manfaatnya menjadi Ideologi Nasional
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku serta tertutup, namun bersifat reformatif, bergerak maju serta terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, bergerak maju, antisipatif dan senantiasa bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yg terkandung pada dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih kongkrit, sehingga memiliki kemampuan yg reformatif buat memcahkan perkara-perkara aktual yang senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi warga , perkembangan iptek serta zaman.

Dalam ideologi terbuka terdapat asa serta nilai-nilai yang mendasar yang bersifat permanen dan nir berubah sehingga tidak eksklusif bersifat operasional, sang karenanya setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan menggunakan menghadapkannya pada banyak sekali perkara yg selalu silih berganti melalui refleksi yang rasional sehingga terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian pembagian terstruktur mengenai ideologi dilaksanakan menggunakan interpretasi yang kritis dan rasional. Sebagai suatu contoh dalam kaitannya dengan ekonomi yaitu diterapkannya ekonomi kerakyatan, demikian jua pada kaitannya dengan pendidikan, aturan, kebudayaan, iptek, hankam, serta bidang lainnya.

Berdasarkan pengertian tentang ideologi terbuka tersebut nilai-nilai yang terkandung pada ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah sebagai berikut:
  • Nilai Dasar, yaitu hakikat kelima sila Pancasila yaitu Ketuhanan, humanisme, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai dasar tersebut merupakan merupakan esensi berdasarkan sila-sila Pancasila yg bersifat universal, sebagai akibatnya pada nilai dasar tersebut terkandung asa, tujuan dan nilai-nilai yang baik serta sahih. Nilai dasar ideologi tersebut tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga sang lantaran Pembukaan memuat nilai-nilai dasar ideologi Pancasila maka Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu kebiasaan dasar yg merupakan tertib aturan tertinggi, menjadi asal hukum positif sehingga pada negara memiliki kedudukan sebagai ”Sttatsfundamentalnorm” atau utama kaidah negara yang mendasar. Sebagai ideologi terbuka, nilai dasar inilah yang bersifat tetap dan terletak pada kelangsungan hayati negara, sebagai akibatnya mengubah Pembukaan UUD 1945 yang memuat nilai dasar ideologi Pancasila tersebut sama halnya dengan pembubaran begara. Adapun nilai dasar tersebut kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang didalamnya terkandung lembaga-lembaga penyelenggaraan negara, hubungan antara forum penyelenggara negara beserta tugas dan wewenangnya.
  • Nilai Instrumental, yg merupakan arahan, kebijakan, taktik, target serta forum pelaksanaannya. Nilai instrumental ini adalah eksplisitasi, klasifikasi lebih lanjut menurut nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Misalnya, Garis-Garis Besar Haluan Negara yg 5 tahun senantiasa diadaptasi dengan perkembangan zaman dan aspirasi Masyarakat, undang-undang, departemen-departemen sebagai forum pelaksanaan serta lain sebagainya. Pada aspek ini senantiasa bisa dilakukan perubahan (reformatif).
  • Nilai Praksis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu realisasi pengamalan yang bersifat nyata, pada kehidupan sehari-hari pada bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Dalam realissi praksis inilah maka penjabaran nilai-nilai Pancasila senantiasa berkembang serta selalu bisa dilakukan perubahan serta perbaikan (reformasi) sesuai menggunakan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan serta teknologi serta aspirasi rakyat.
Suatu ideologi selain mempunyai aspek-aspek yg bersifat ideal yang berupa cita-cita, pemikiran-pemikiran serta nilai-nilai yang dipercaya baik, jua harus memiliki kebiasaan yang jelas lantaran ideologi harus bisa direalisasikan dalam kehidupan praksis yg merupakan suatu aktualisasi secara kongkret. Oleh karena itu, Pancasila menjadi ideologi terbuka secara struktural memiliki 3 dimensi yaitu:
  • Dimensi Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila yang bersifat sistematis, rasional serta menyeluruh, yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, serta Keadilan. Hakikat nilai-nilai Pancasila tersebut bersumber pada filsafat Pancasila. Karena setiap ideologi bersumber pada suatu nilai-nilai filosofis atau sistem filsafat. Kadar dan idealisme yg terkandung pada Pancasila mampu menaruh asa, optimisme dan bisa menggugah motivasi para pendukungnya buat berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan.
  • Dimensi Normatif, yaitu nilai-nilai yang tekandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem kebiasaan, sebagaimana tekandung dalam normr-normr, kenegaraan. Dalam pengertian ini Pancasila terkandung pada Pembukaan UUD 1945 yg merupakan norma tertib hukum tertinggi pada negara Indonesia serta adalah Pokok kaidah Negara yg mendasar. Dalam pengertian ini ideologi Pancasila supaya bisa dijabarkan ke dalam langkah operasional, maka perlu memiliki kebiasaan yang kentara.
  • Dimensi Realistis, yaitu suatu ideologi wajib mampu mencerminkan realitas yg hayati berkembang di rakyat. Olek karena itu, Pancasila selain memiliki dimensi nilai-nilai ideal dan normatif, maka Pancasila wajib mampu dijabarkan dalam kehidupan warga secara konkret (kongkrit) baik pada kehidupan sehari-hari maupun pada penyelenggaraan negara. Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi terbuka nir bersifat ”utopis” yg hanya berisi ilham-wangsit yang bersifat mengawang-awang, melainkan suatu ideologi yg bersifat ”realistis” ialah sanggup dijabarkan dalam segala aspek kehidupan konkret.
Berdasarkan dimensi yg dimiliki oleh Pancasila sebagai ideologi tebuka, maka sifat ideologi Pancasila nir bersifat ”Utopis” yaitu hanya adalah sistem ide-pandangan baru belaka yg jauh menurut kehidupan sehari-hari secara konkret. Demikian juga ideologi Pancasila bukanlah merupakan suatu ”doktrin” belaka yang bersifat tertutup yg adalah kebiasaan-kebiasaan yg beku, melainkan disamping memiliki idealisme, Pancasila juga bersifat konkret serta reformatif yang sanggup melakukan perubahan. Akhirnya Pancasila pula bukan merupakan suatu ideologi yang ”pragmatis” yang hanya menekankan segi-segi mudah belaka tanpa adanya aspek idealisme. Maka ideologi Pancasila yang bersifat terbuka dalam hakikatnya, nilai-nilai dasar yang bersifat universal serta permanen, adapun pembagian terstruktur mengenai realisasinya senantiasa dieksplisitkan secara dinamis reformatif yang senantiasa mampu melakukan perubahan sesuai dengan dinamika aspirasi rakyat. Hal inilah yang adalah perwujudan Pancasila pada aplikasi manfaatnya sebagai ideologi nasional.  

PERWUJUDAN PANCASILA DALAM PELAKSANAAN FUNGSINYA SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL

Perwujudan Pancasila pada aplikasi kegunaannya menjadi Ideologi Nasional
Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku serta tertutup, namun bersifat reformatif, dinamis serta terbuka. Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, bergerak maju, antisipatif dan senantiasa mampu menyesuaikan menggunakan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan serta teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat. Keterbukaan ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yg terkandung pada dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih kongkrit, sehingga mempunyai kemampuan yang reformatif buat memcahkan masalah-perkara aktual yg senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi rakyat, perkembangan iptek dan zaman.

Dalam ideologi terbuka terdapat impian dan nilai-nilai yg mendasar yang bersifat permanen dan tidak berubah sehingga tidak pribadi bersifat operasional, oleh karena itu setiap kali harus dieksplisitkan. Eksplisitasi dilakukan dengan menghadapkannya pada banyak sekali masalah yang selalu silih berganti melalui refleksi yang rasional sebagai akibatnya terungkap makna operasionalnya. Dengan demikian penjabaran ideologi dilaksanakan menggunakan interpretasi yang kritis dan rasional. Sebagai suatu model dalam kaitannya dengan ekonomi yaitu diterapkannya ekonomi kerakyatan, demikian jua pada kaitannya dengan pendidikan, aturan, kebudayaan, iptek, hankam, serta bidang lainnya.

Berdasarkan pengertian mengenai ideologi terbuka tadi nilai-nilai yang terkandung pada ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka merupakan sebagai berikut:
  • Nilai Dasar, yaitu hakikat kelima sila Pancasila yaitu Ketuhanan, humanisme, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Nilai dasar tersebut merupakan merupakan esensi berdasarkan sila-sila Pancasila yang bersifat universal, sehingga dalam nilai dasar tadi terkandung asa, tujuan serta nilai-nilai yg baik dan sahih. Nilai dasar ideologi tersebut tertuang pada Pembukaan UUD 1945, sehingga oleh karena Pembukaan memuat nilai-nilai dasar ideologi Pancasila maka Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu norma dasar yang merupakan tertib hukum tertinggi, menjadi sumber hukum positif sebagai akibatnya dalam negara memiliki kedudukan sebagai ”Sttatsfundamentalnorm” atau utama kaidah negara yang mendasar. Sebagai ideologi terbuka, nilai dasar inilah yang bersifat tetap serta terletak pada kelangsungan hidup negara, sehingga membarui Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat nilai dasar ideologi Pancasila tersebut sama halnya menggunakan pembubaran begara. Adapun nilai dasar tadi lalu dijabarkan pada pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yg didalamnya terkandung forum-forum penyelenggaraan negara, hubungan antara forum penyelenggara negara beserta tugas dan wewenangnya.
  • Nilai Instrumental, yang adalah arahan, kebijakan, strategi, target dan forum pelaksanaannya. Nilai instrumental ini adalah eksplisitasi, penjabaran lebih lanjut menurut nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. Misalnya, Garis-Garis Besar Haluan Negara yang 5 tahun senantiasa disesuaikan menggunakan perkembangan zaman serta aspirasi Masyarakat, undang-undang, departemen-departemen sebagai forum aplikasi dan lain sebagainya. Pada aspek ini senantiasa bisa dilakukan perubahan (reformatif).
  • Nilai Praksis, yaitu merupakan realisasi nilai-nilai fragmental dalam suatu realisasi pengamalan yang bersifat nyata, pada kehidupan sehari-hari pada bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam realissi praksis inilah maka pembagian terstruktur mengenai nilai-nilai Pancasila senantiasa berkembang dan selalu dapat dilakukan perubahan dan perbaikan (reformasi) sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan serta teknologi serta aspirasi rakyat.
Suatu ideologi selain mempunyai aspek-aspek yang bersifat ideal yang berupa keinginan, pemikiran-pemikiran dan nilai-nilai yg dipercaya baik, jua harus mempunyai norma yang jelas lantaran ideologi harus mampu direalisasikan pada kehidupan praksis yg merupakan suatu aktualisasi secara kongkret. Oleh karena itu, Pancasila sebagai ideologi terbuka secara struktural mempunyai tiga dimensi yaitu:
  • Dimensi Idealistis, yaitu nilai-nilai dasar yg terkandung pada Pancasila yg bersifat sistematis, rasional serta menyeluruh, yaitu hakikat nilai-nilai yg terkandung pada sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, serta Keadilan. Hakikat nilai-nilai Pancasila tadi bersumber pada filsafat Pancasila. Karena setiap ideologi bersumber pada suatu nilai-nilai filosofis atau sistem filsafat. Kadar serta idealisme yang terkandung pada Pancasila sanggup memberikan harapan, optimisme serta sanggup menggugah motivasi para pendukungnya buat berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan.
  • Dimensi Normatif, yaitu nilai-nilai yang tekandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam suatu sistem kebiasaan, sebagaimana tekandung dalam normr-normr, kenegaraan. Dalam pengertian ini Pancasila terkandung pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yg adalah norma tertib hukum tertinggi pada negara Indonesia serta merupakan Pokok kaidah Negara yg fundamental. Dalam pengertian ini ideologi Pancasila agar bisa dijabarkan ke pada langkah operasional, maka perlu memiliki kebiasaan yg jelas.
  • Dimensi Realistis, yaitu suatu ideologi harus sanggup mencerminkan realitas yang hayati berkembang di warga . Olek karena itu, Pancasila selain mempunyai dimensi nilai-nilai ideal dan normatif, maka Pancasila wajib bisa dijabarkan dalam kehidupan warga secara nyata (kongkrit) baik pada kehidupan sehari-hari juga dalam penyelenggaraan negara. Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat ”utopis” yang hanya berisi ilham-pandangan baru yang bersifat mengawang-awang, melainkan suatu ideologi yang bersifat ”realistis” merupakan mampu dijabarkan pada segala aspek kehidupan konkret.
Berdasarkan dimensi yg dimiliki oleh Pancasila sebagai ideologi tebuka, maka sifat ideologi Pancasila tidak bersifat ”Utopis” yaitu hanya adalah sistem ilham-pandangan baru belaka yang jauh dari kehidupan sehari-hari secara nyata. Demikian jua ideologi Pancasila bukanlah merupakan suatu ”doktrin” belaka yang bersifat tertutup yg merupakan kebiasaan-norma yg beku, melainkan disamping memiliki idealisme, Pancasila pula bersifat konkret dan reformatif yang sanggup melakukan perubahan. Akhirnya Pancasila pula bukan adalah suatu ideologi yang ”pragmatis” yang hanya menekankan segi-segi mudah belaka tanpa adanya aspek idealisme. Maka ideologi Pancasila yang bersifat terbuka pada hakikatnya, nilai-nilai dasar yang bersifat universal dan tetap, adapun pembagian terstruktur mengenai realisasinya senantiasa dieksplisitkan secara bergerak maju reformatif yang senantiasa mampu melakukan perubahan sesuai menggunakan dinamika aspirasi masyarakat. Hal inilah yg adalah perwujudan Pancasila dalam pelaksanaan manfaatnya sebagai ideologi nasional.  

DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara 
Pancasila sebagai dasar serta ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers saat negara Indonesia didirikan. Tetapi dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa serta bernegara, Pancasila tak jarang mengalami banyak sekali deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut mampu berupa penambahan, pengurangan, dan defleksi menurut makna yang seharusnya. Walaupun seiring menggunakan itu sering pula terjadi upaya pelurusan pulang.

Pancasila acapkali digolongkan ke pada ideologi tengah di antara 2 ideologi akbar dunia yg paling berpengaruh, sebagai akibatnya seringkali disifatkan bukan ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme serta bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yg bikin capek aktualisasi nilai-nilainya ke pada kehidupan praksis berbangsa serta bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yg selalu berkiprah ke kanan dan ke arah kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti sempurna pada tengah.

Pada ketika berdirinya negara Republik Indonesia, kita putusan bulat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 pada mengatur serta menjalankan kehidupan negara.

Namun sejak Nopember 1945 hingga sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia membarui haluan politiknya menggunakan mempraktikan sistem demokrasi liberal.dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.deviasi ini dikoreksi dengan munculnya Dekrit Presiden lima Juli 1959.dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser serta digerakan ke arah kiri.kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan sang kekuatan politik pada Indonesia yg berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri menggunakan dibuatnya poros Jakarta-Peking serta Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.soekarno) serta berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala defleksi yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya menunjuk ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik pada menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yg dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai ketika ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya sanggup memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 pada praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa seluruh realitas pada alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik serta suatu proses yang terus menerus “sebagai”, walaupun unsur permanensi empiris dan bukti diri diri dalam perubahan nir boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan dalam ideologi Pancasila menjadi suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa serta bernegara ? Dan, unsur nilai Pancasila manakah yg mesti wajib kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?

Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai pada ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:

Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yg bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas menurut imbas perubahan saat.nilai dasar merupakan prinsip, yg bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh saat dan tempat, dengan kandungan kebenaran yg bagaikan aksioma.dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan menggunakan keberadaan sesuatu, yang mencakup keinginan, tujuan, tatanan dasar dan karakteristik khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.nilai dasar Pancasila tumbuh baik menurut sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yg sudah menyengsarakan warga , maupun berdasarkan impian yg ditanamkan dalam kepercayaan dan tradisi tentang suatu masyarakat yg adil dan makmur dari kebersamaan, persatuan serta kesatuan semua masyarakat rakyat.

Kedua, nilai fragmental, yaitu suatu nilai yg bersifat kontekstual. Nilai fragmental adalah klasifikasi dari nilai dasar tersebut, yg merupakan arahan kinerjanya buat kurun ketika tertentu serta buat syarat eksklusif. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai fragmental haruslah mengacu pada nilai dasar yg dijabarkannya. Penjabaran itu mampu dilakukan secara kreatif serta dinamik dalam bentuk-bentuk baru buat mewujudkan semangat yg sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan sang nilai dasar itu.dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental adalah kebijaksanaan, taktik, organisasi, sistem, planning, acara, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tadi. Lembaga negara yg berwenang menyusun nilai instrumental ini merupakan MPR, Presiden, dan DPR.

Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam fenomena sehari-hari, berupa cara bagaimana masyarakat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis masih ada pada demikian poly wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis juga nir tertulis, baik sang cabang eksekutif, legislatif, juga yudikatif, sang organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis adalah sasana perseteruan antara idealisme serta realitas.

Jika dilihat berdasarkan segi aplikasi nilai yg dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan dalam rumusan abstrak, dan bukan juga dalam kebijaksanaan, strategi, rencana, acara atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yg dianut, namun dalam kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yg paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi bisa memiliki rumusan yg amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar serta nilai instrumentalnya. Akan namun, jika dalam nilai praksisnya rumusan tadi tidak bisa diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi merupakan menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu bila konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu nir akan ada perkara. Masalah baru timbul apabila terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut.

Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke pada praktik hayati berbangsa serta bernegara, maka perlu Pancasila formal yg abstrak-generik-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yg generik kolektif, serta bahkan menjadi Pancasila yg khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila sebagai sifat-sifat menurut subjek gerombolan serta individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku pada lingkungan praksisnya pada bidang kenegaraan, politik, dan eksklusif.

Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, menggunakan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) sebagai kategori imperatif (berupa kebiasaan-kebiasaan) serta kategori operatif (berupa praktik hayati). Proses tranformasi berjalan tanpa perkara apabila tidak terjadi deviasi atau defleksi, yang berupa pengurangan, penambahan,serta penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan serta ingin diwujudkan. 

Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah perkara yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: dua-tiga) mensinyalir, bahwa masih masih ada beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami serta menghayati Negara Pancasila pada aneka macam seginya. Kiranya tidak sempurna menciptakan “sakral” serta taboo banyak sekali konsep serta pengertian, seakan-akan sudah jelas betul serta niscaya sahih, tuntas dan paripurna, sebagai akibatnya nir boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu menciptakan berbagai konsep serta pengertian sebagai statik, kaku dan nir berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin sahih bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap serta abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual juga operasional. Banyak hal wajib ditinjau pulang dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.

Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yg ada. Atau menggunakan istilah lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila menjadi pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) buat dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah berdasarkan pada. Mirip dengan teori A.N.whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan buat berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yg dapat dipindahkan atau pohon yang bisa dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai empiris merupakan sumber daya buat proses ke-sebagai-an yg selanjutnya. Apabila dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum serta perundang-undangan pada segala tingkatan, menjadi aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis sebagai kategori imperatif), wajib terbuka terhadap peninjauan serta penilaian atau pengkajian mengenai keterkaitan menggunakan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila sebagai kebiasaan hidup sehari-hari pada bernegara orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yg berkaitan dengan negara, yg mencakup; daerah, warganegara, serta pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, buat memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan menggunakan bangsa Indonesia, yg meliputi; faktor-faktor integratif serta upaya buat membangun persatuan Indonesia. Sedangkan buat tahu transformasi Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-dua, dan ke-5 yg berkaitan dengan hayati keagamaan, kemanusiaan dan sosial irit (Suwarno, 1993: 126). 

Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan serta perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu dampak yang timbul berdasarkan dalam, melainkan sanggup terjadi lantaran imbas dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) pada aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata ditimbulkan kemampuan berdasarkan pada (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu insiden yang terkait atau berrelasi menggunakan empiris yg lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada kegiatan pada dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling kentara dari terjadinya perubahan transformatif pada aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yg sudah dilakukan MPR dalam tahun 1999, 2000, 2001, serta tahun 2002.

Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu serta teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hayati masyarakat yg begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup kedap berdasarkan imbas budaya asing. Demikian juga terhadap perkara ideologi.dalam kaitan imi, M.habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran serta perubahan nilai-nilai akan menyebabkan kebimbangan, terutama didukung sang fenomena masuknya arus budaya asing menggunakan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu serta teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat serta luas. Kondisi ini pada satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yg mengikat kepentingan nasional nir luput dari pengaruhnya serta bisa menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia sudah jauh menghipnotis rapikan kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, nir tidak mungkin tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan menggunakan tumbuhnya faham kebangsaan.beberapa fakta dalam banyak sekali ragam bentuk serta isinya nir bisa selalu diawasi atau dicegah begitu saja.mengingkari dan nir mau tahu “tawaran” atau impak nilai-nilai asing adalah kesesatan berpikir, yang seolah-olah menduga bahwa ada eksistens yang sanggup berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian sang Whitehead disebut menjadi the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika efek itu tidak sinkron dengan nilai-nilai yg hidup dalam masyarakat, atau nir mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan perilaku yg kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, pandangan baru-ide yang datang dari luar.

Dalam konteks budaya, kasus rendezvous kebudayaan bukan perkara memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi memasak serta mengkreasi pada hubungan dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik merupakan sesuatu yg wajib terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi akbar pada global sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru menggunakan corak nilai, ajaran serta konsep kunci tentang kehidupan yg mempunyai perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi dampak budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi terbaru dan latar belakang filsafatnya yg dari menurut luar.

Prof. Notonagoro sudah menemukan cara buat memanfaatkan imbas dari luar tersebut, yaitu secara eklektif merogoh ilmu pengetahuan serta ajaran kefilsafatan menurut luar tersebut, namun dengan melepaskan diri menurut sistem filsafat yg bersangkutan serta selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap imbas baru menurut luar, maka Pancasila bersifat terbuka menggunakan syarat dilepaskan menurut sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yg serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila menjadi struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang bisa menggarap apa yang tiba menurut luar, dalam arti luas, sebagai miliknya tanpa membarui identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mensugesti dan mengkreasi.

Dinamika Pancasila dimungkinkan bila terdapat daya refleksi yang mendalam serta keterbukaan yg matang buat menyerap, menghargai, dan menentukan nilai-nilai hidup yang sempurna serta baik buat sebagai etos bangsa bagi kelestarian hidupnya pada masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tadi berdasar dalam relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang menyerap atau ditentukan sang nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila mampu ditawarkan serta berpengaruh, dan menyokong pada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila pula tampil menjadi alternatif buat melandasi rapikan kehidupan internasional, baik buat memberikan orientasi pada negara-negara berkembang pada khususnya, juga mewarnai pola komunikasi antar negara dalam umumnya.

Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yg bebas serta rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila wajib bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi pada kehidupan insan serta nir menutup diri terhadap nilai dan pemikiran menurut luar yang memang diakui menerangkan arti dan makna yg positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi menjadi gejala masuk akal. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan sifatnya yg dinamik, yaitu memiliki kesediaan buat mengadakan pembaharuan yg bermanfaat bagi perkembangan eksklusif insan serta masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan menjadi kemampuan buat menyeleksi nilai-nilai baru serta mencari cara lain bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila nir a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan bisa memperkaya serta memperkembangkan kebudayaan sendiri, dan meningkatkan derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, menjadi pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif serta tertutup sebagai akibatnya sesuatu yg berbau asing wajib ditangkal serta dihindari lantaran dipercaya bersifat negatif. Sebaliknya tidak dibutuhkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sebagai akibatnya segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa panduan buat memilih mana yg pantas serta mana yg tidak pantas buat diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.

Bangsa Indonesia mau nir mau wajib terlibat pada dialog menggunakan bangsa-bangsa lain, tetapi nir tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi nir dapat dihindari. Bangsa Indonesia pula dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.bangsa Indonesia harus bisa ikut bermain pada interaksi mondial pada menentukan arah kehidupan insan seluruhnya. Untuk mampu menjalankan kiprah itu, bangsa Indonesia sendiri wajib memiliki kesatuan nilai yang sebagai keunikan bangsa, sehingga bisa memberikan sumbangan yg relatif berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yg tertutup tetapi sesuatu yg terus dibuat pada hubungan dengan gerombolan rakyat bangsa, negara, insan, sistem warga global (Sastrapratedja, 1996: tiga).

Semuanya itu mengharuskan adanya taktik kebudayaan yg mampu neneruskan dan membuatkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.

Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “taktik dialogi antar budaya” pada menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan menggunakan budaya orisinil. Melalui interaksi yg terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yg berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu merupakan terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila menjadi jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg, melainkan wajib diperbaharui secara terus menerus, sebagai akibatnya bisa memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia pada memperkembangkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yg sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya hasrat pada masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, tetapi kepribadian yang terbentuk dalam zaman yang tidak selaras haruslah memiliki kesinambungan menurut masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yg didapatkan di masa lampau buat diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yg kreatif serta baru, semuanya harus dirajut pada satu kesatuan yg integral.

Teori hilemorfisme dari Aristoteles sanggup mendukung pandangan tadi. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi konkret apabila dibentuk (morfe), tetapi materi tidaklah pasif. Artinya terdapat gerak. Setiap relitas yang telah berbentuk (berdasar materi) bisa juga menjadi materi bagi bentuk yang lain,sebagai akibatnya setiap empiris mengalami perubahan. Perubahan yg terdapat bukan kebaharuan sama sekali tetapi perubahan yg kesinambungan. Artinya, aktualitas yg terdapat kini berdasar dalam realitas yg telah terdapat pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan pada masa depan.

DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara 
Pancasila sebagai dasar serta ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam bepergian panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi pada aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tadi sanggup berupa penambahan, pengurangan, serta penyimpangan menurut makna yg seharusnya. Walaupun seiring menggunakan itu sering pula terjadi upaya pelurusan balik .

Pancasila sering digolongkan ke pada ideologi tengah di antara dua ideologi akbar global yg paling berpengaruh, sebagai akibatnya tak jarang disifatkan bukan ini serta bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila nir berpaham individualisme serta tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi serta bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yg membuat repot aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa serta bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan serta ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti sempurna di tengah.

Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 pada mengatur dan menjalankan kehidupan negara.

Namun semenjak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden lima Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal.dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia sebagai pro Liberalisme.deviasi ini dikoreksi menggunakan keluarnya Dekrit Presiden lima Juli 1959.dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri.kebijakan ini sangat menguntungkan serta dimanfaatkan sang kekuatan politik di Indonesia yg berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak dalam kebijaksanaan pemerintah yg anti terhadap Barat (kapitalisme) serta pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya merupakan insiden pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala defleksi yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yg tadinya menunjuk ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dipercaya penyimpang berdasarkan garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik pada menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat serta berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru sudah timbul 4 regim Pemerintahan Reformasi hingga ketika ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap defleksi pada mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 pada praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan sang Orde Baru.

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua empiris pada alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif serta baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yg terus menerus “sebagai”, walaupun unsur permanensi realitas serta identitas diri dalam perubahan nir boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat jua dikenakan dalam ideologi Pancasila menjadi suatu empiris (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan pada praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? Serta, unsur nilai Pancasila manakah yg mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?

Moerdiono (1995/1996) memberitahuakn adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu merupakan:

Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yg bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas berdasarkan dampak perubahan saat.nilai dasar merupakan prinsip, yg bersifat amat abstrak, bersifat amat generik, tidak terikat oleh waktu dan loka, dengan kandungan kebenaran yg bagaikan aksioma.dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan menggunakan eksistensi sesuatu, yg mencakup keinginan, tujuan, tatanan dasar serta ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan sang para pendiri negara.nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang sudah menyengsarakan rakyat, juga berdasarkan cita-cita yg ditanamkan dalam kepercayaan serta tradisi mengenai suatu masyarakat yang adil serta makmur dari kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh masyarakat rakyat.

Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yg bersifat kontekstual. Nilai fragmental adalah pembagian terstruktur mengenai dari nilai dasar tersebut, yg adalah arahan kinerjanya buat kurun saat tertentu serta buat syarat eksklusif. Nilai fragmental ini bisa dan bahkan harus diadaptasi menggunakan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu dalam nilai dasar yg dijabarkannya. Penjabaran itu mampu dilakukan secara kreatif dan dinamik pada bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, pada batas-batas yg dimungkinkan sang nilai dasar itu.dari kandungan nilainya, maka nilai fragmental adalah kebijaksanaan, taktik, organisasi, sistem, planning, program, bahkan pula proyek-proyek yg menindaklanjuti nilai dasar tadi. Lembaga negara yg berwenang menyusun nilai fragmental ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, serta DPR.

Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung pada fenomena sehari-hari, berupa cara bagaimana masyarakat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis masih ada pada demikian poly wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis juga nir tertulis, baik sang cabang eksekutif, legislatif, juga yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, sang organisasi kemasyarakatan, sang badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang perseteruan antara idealisme serta empiris.

Jika ditinjau menurut segi aplikasi nilai yg dianut, maka sesungguhnya dalam nilai praksislah dipengaruhi tegak atau tidaknya nilai dasar serta nilai fragmental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan tak berbentuk, dan bukan pula dalam kebijaksanaan, strategi, planning, acara atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yg dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya pada lapangan. Bagi suatu ideologi, yg paling krusial merupakan bukti pengamalannya atau aktualisasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat memiliki rumusan yg amat ideal menggunakan ulasan yg amat logis dan konsisten dalam tahap nilai dasar serta nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika dalam nilai praksisnya rumusan tersebut nir bisa diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi merupakan menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai fragmental, serta nilai praksisnya. Sudah barang tentu bila konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan terdapat perkara. Masalah baru ada apabila terdapat inkonsisitensi pada 3 tataran nilai tersebut.

Untuk menjaga konsistensi pada mengaktualisasikan nilai Pancasila ke pada praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang tak berbentuk-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yg generik kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang spesifik individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat menurut subjek gerombolan dan individual, sebagai akibatnya menjiwai seluruh tingkah laku dalam lingkungan praksisnya pada bidang kenegaraan, politik, dan langsung.

Driyarkara menyebutkan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, menggunakan citra gerak transformasi Pancasila formal menjadi kategori tematis (berupa konsep, teori) sebagai kategori imperatif (berupa norma-norma) serta kategori operatif (berupa praktik hayati). Proses tranformasi berjalan tanpa kasus jika tidak terjadi deviasi atau defleksi, yang berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian (pada Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif serta dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang dicita-citakan serta ingin diwujudkan. 

Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke pada kehidupan praksis kemasyarakatan serta kenegaraan bukanlah kasus yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: dua-tiga) mensinyalir, bahwa masih masih ada beberapa kekeliruan yg mendasar dalam cara orang tahu dan menghayati Negara Pancasila pada aneka macam seginya. Kiranya nir sempurna menciptakan “sakral” dan taboo aneka macam konsep serta pengertian, seakan-akan sudah kentara betul serta pasti benar, tuntas dan paripurna, sebagai akibatnya nir boleh dipersoalkan lagi. Sikap misalnya itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan nir berkembang, serta mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin sahih bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten pada tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus dicermati pulang dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.

Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan merupakan pemugaran berdasarkan pada dan melalui sistem yg terdapat. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa pada pada diri Pancasila menjadi pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi pada pengertian ini merupakan kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) buat bisa berubah. Subjek sendiri yg berubah menurut pada. Mirip dengan teori A.N.whitehead, setiap satuan aktual (menjadi aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan buat berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yg dapat dipindahkan atau pohon yg dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual menjadi realitas merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yg selanjutnya. Jika dikaitkan menggunakan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan aturan serta perundang-undangan pada segala strata, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis sebagai kategori imperatif), wajib terbuka terhadap peninjauan dan evaluasi atau pengkajian tentang keterkaitan menggunakan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hayati sehari-hari pada bernegara orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yg berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, serta pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, buat tahu transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan menggunakan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif serta upaya buat membentuk persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-dua, dan ke-lima yang berkaitan dengan hidup keagamaan, humanisme serta sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126). 

Perubahan serta Kebaharuan
Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber menurut satu sisi saja, yaitu dampak yg ada dari pada, melainkan bisa terjadi karena impak berdasarkan luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) pada aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata ditimbulkan kemampuan menurut dalam (potensi) menurut Pancasila itu sendiri, melainkan suatu insiden yg terkait atau berrelasi dengan realitas yg lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas pada pada menyerap atau menerima serta menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur menurut luar (asing). Contoh paling jelas menurut terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, merupakan empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yg telah dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam tahun 1999, 2000, 2001, serta tahun 2002.

Dewasa ini, dampak kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa serta negara mampu mengisolir diri serta menutup rapat menurut imbas budaya asing. Demikian pula terhadap masalah ideologi.dalam kaitan imi, M.habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menyebabkan kebimbangan, terutama didukung sang kenyataan masuknya arus budaya asing dengan aneka macam aspeknya. Kemajuan pada bidang ilmu serta teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini pada satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi menjadi bagian budaya insan sudah jauh mensugesti rapikan kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, nir mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yg tidak selalu sejalan menggunakan tumbuhnya faham kebangsaan.beberapa liputan pada banyak sekali ragam bentuk dan isinya nir bisa selalu diawasi atau dicegah begitu saja.mengingkari dan nir mau tahu “tawaran” atau dampak nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yg seolah-olah menduga bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian sang Whitehead dianggap sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Apabila imbas itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yg hayati pada warga , atau nir mendukung bagi terciptanya syarat yg sinkron menggunakan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, wangsit-pandangan baru yg tiba dari luar.

Dalam konteks budaya, perkara rendezvous kebudayaan bukan perkara memfilter atau menyaring budaya asing, namun memasak serta mengkreasi pada hubungan dinamik sehingga tercipta sesuatu yg baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, lantaran bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar pada global kini ini diperhatikan dengan akurat, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu sudah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila wajib sanggup menghadapi imbas budaya asing, khususnya ilmu serta teknologi terkini serta latar belakang filsafatnya yang dari menurut luar.

Prof. Notonagoro telah menemukan cara buat memanfaatkan efek menurut luar tadi, yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan serta ajaran kefilsafatan berdasarkan luar tadi, tetapi menggunakan melepaskan diri menurut sistem filsafat yang bersangkutan serta selanjutnya diinkorporasikan pada struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan berdasarkan sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yg serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham menggunakan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila menjadi struktur atau sistem yg terbuka dinamik, yg dapat menggarap apa yg datang dari luar, dalam arti luas, sebagai miliknya tanpa membarui identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mensugesti serta mengkreasi.

Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam serta keterbukaan yg matang untuk menyerap, menghargai, serta menentukan nilai-nilai hayati yang tepat dan baik buat sebagai pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya pada masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tadi berdasar dalam relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional serta pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yg menyerap atau ditentukan sang nilai-nilai asing, tetapi nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menyebutkan, bahwa dinamika yg terdapat dalam aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif buat melandasi tata kehidupan internasional, baik buat menaruh orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara dalam umumnya.

Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional serta kritis supaya membuka iklim hayati yg bebas serta rasional jua. Konsekuensinya, bahwa Pancasila wajib bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yg terjadi dalam kehidupan manusia serta nir menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yg memang diakui menampakan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sebagai akibatnya menggunakan demikian menduga proses akulturasi sebagai tanda-tanda lumrah. Dengan begitu ideologi Pancasila akan memberitahuakn sifatnya yg dinamik, yaitu mempunyai kesediaan buat mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan langsung manusia dan warga . Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas pada konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan buat menyeleksi nilai-nilai baru serta mencari alternatif bagi pemecahan kasus-kasus politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila nir a priori menolak bahan-bahan baru serta kebudayaan asing, melainkan sanggup menyerap nilai-nilai yg dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat humanisme bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, nir defensif dan tertutup sebagai akibatnya sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari lantaran dipercaya bersifat negatif. Sebaliknya nir diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman buat memilih mana yg pantas serta mana yang nir pantas buat diintegrasikan pada pengembangan dirinya.

Bangsa Indonesia mau tidak mau wajib terlibat pada dialog menggunakan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam serta hilang pada dalamnya. Proses akulturasi nir bisa dihindari. Bangsa Indonesia pula dituntut berperan aktif pada pergaulan global.bangsa Indonesia harus bisa ikut bermain dalam hubungan mondial pada menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk sanggup menjalankan peran itu, bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yg menjadi keunikan bangsa, sebagai akibatnya bisa memberikan sumbangan yang relatif berarti pada percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup namun sesuatu yg terus dibentuk dalam hubungan dengan gerombolan masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat global (Sastrapratedja, 1996: 3).

Semuanya itu mengharuskan adanya taktik kebudayaan yg sanggup neneruskan dan berbagi nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.

Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “taktik dialogi antar budaya” dalam menghadapi tanda-tanda penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi yg terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yg dibutuhkan dari hubungan itu merupakan terpeliharanya relatif diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila menjadi jati diri bangsa Indonesia nir mandeg, melainkan wajib diperbaharui secara terus menerus, sebagai akibatnya mampu menaruh pedoman, ilham, dan dukungan dalam setiap anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yg sehat selalu bertitik tolak dalam masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya impian pada masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang tidak selaras haruslah mempunyai transedental dari masa lampau hingga masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau untuk diterapkan dalam masa sekarang serta masa mendatang. Unsur yang sama serta permanen juga unsur yang kreatif serta baru, semuanya harus dirajut pada satu kesatuan yg integral.

Teori hilemorfisme menurut Aristoteles mampu mendukung pandangan tadi. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi konkret apabila dibuat (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya terdapat mobilitas. Setiap relitas yg sudah berbentuk (berdasar materi) bisa juga sebagai materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan. Perubahan yang terdapat bukan kebaharuan sama sekali tetapi perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yg ada sekarang berdasar pada empiris yang sudah ada dalam masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.

PENGERTIAN PERANG DAGANG PENJELASAN DAN CONTOH PENERAPAN PERANG DAGANG DI DUNIA

Informasi mengenai perang dagang pulang mencuat. Khususnya berkaitan permasalahan perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Dua kekuatan ekonomi akbar global. Amerika Serikat menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar, melawan Tiongkok yg berposisi sebagai runner up-nya.
Seperti halnya pada segala jenis pertandingan. Pertandingan antara tim kuat melawan tim bertenaga niscaya akan sangat seru buat disaksikan. Begitu juga menggunakan perang dagang ini. Bukan lagi sekadar seru. Tapi jua ada kekhawatiran. Khawatir jika perang dagang antara Amerika perkumpulan menggunakan Tiongkok ini berimbas dalam perekonomian dunia. Mengakibatkan krisis di seluruh global. Bahaya.
Sebenarnya apa sih yang dimaksud menggunakan kata perang dagang?
Istilah perang identik menggunakan konflik dan adu tembak. Istilah kerennya 'hubungan tembak'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, sudah ada istilah perang. Tapi nir terdapat istilah pengertian perang dagang.
Dalam KBBI, istilah atau lema 'perang' memiliki empat arti. Berikut ini pengertian perang yg masih ada pada KBBI:
Pengertian Perang yg pertama: permusuhan antara 2 negara (bangsa, kepercayaan , suku, dan sebagainya). Pengertian ini merujuk dalam permusuhan antara 2 hal yg tidak sinkron. Perang mengandung makna yg lebih luas. Yaitu segala jenis permusuhan.
Pengertian Perang yang kedua: pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan (tentara, laskar, pemberontak, serta sebagainya). Pengertian perang yg kedua ini mengacu dalam upaya saling mengalahkan dengan menggunakan senjata. Dalam pengertian ini, hubungan tembak harus dalam skala akbar. Jika hubungan tembak hanya berupa penembakan-penembakan jarang, tidak bisa disbut menggunakan perang.
Pengertian Perang yang ketiga: perkelahian; perseteruan. Misalnya ada perang batu. Yaitu tindakan saling melempar batu.
Pengertian Perang yang keempat: cara membicarakan permusuhan. Dalam hal ini berkaitan degnan ideologi. Misalnya perang antara kaum komunis menggunakan kaum nasionalis dan agamis yg pernah terjadi di Indonesia.
Dari keempat pengertian pada atas, dapat diketahui bahwa perang itu mengandung unsur primer yaitu 2 belah pihak. Yang masing-masing berusaha buat saling mengalahkan.
Dalam perang kemerdekaan Indonesia, misalnya, ada upaya buat saling mengalahkan. Sekutu dan Belanda berusaha mengalahkan bangsa Indonesia yg ingin merdeka. Dengan segala macam cara. Baik melalui pertempuran bersenjata. Melalui diplomasi. Melalui upaya tekanan serta embargo oleh negara-negara lain. Baik yg pro juga yang kontra.
Upaya saling mengalahkan serta menjatuhkan itu, nir hanya menurut segi fisik. Misalnya, pengertian perang yg pertama, ke 2, dan ketiga. Ada pula menurut segili non-fisik. Misalnya perang ideologi. Misalnya bangsa Indonesia kali ini sedang melaksanakan perang. Perang melawan paham radikal yang seenaknya membunuh insan lain.
Nah, yg sebagai perkara nir terdapat kata perang dagang. Perang dagang bukan para pedagang yg sedang berperang dengan senjata.
Perang dagang merupakan sebuah istilah yang merujuk dalam kebijakan antara 2 negara yang saling menjatuhkan sistem dan perekonomian negara lawan melalui kebijakan perdagangan luar negari.
Perang dagang nir hanya sanggup dilakukan sang setingkat negara. Perang dagang mampu dilakukan oleh dua entitas yg saling berkepentingan.
Seperti yg sedang hangat sekarang ini. Perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Senjata yang dipakai dalam perang dagang merupakan kebijakan ekonomi.
Misalnya, pemerintah Amerika Serikat yg dipimpin sang Donald Trump menerapkan bea masuk (pajak impor) berdasarkan Tiongkok sebanyak 25 persen. Tentu ini sangat berat bagi perdagangan Tiongkok. Pasti nilai ekspor Tiongkok merosot.
Kebijakan yg dianggap baik bagi Alaihi Salam ini niscaya akan berdampak tidak baik bagi Tiongkok. Maka Tiongkok membalas serangan Alaihi Salam ini. Tiongkok melakukan hal yang sama. Beberapa produk yang dari menurut AS dikenai bea masuk yang sangat tinggi pada Tiongkok.
Keduanya akan sangat terpukul. Tiongkok akan kesulitan memasarkan produk baja dan produk bahan standar lainnya. Harganya sangat mahal. Tapi, para pengusaha yang ada di AS juga akan kesulitan. Pembuat otomotif, pasti merasa terpukul. Bahan standar baja harganya pasti naik. Biaya produksi naik. Laba niscaya menurun.
Memang, tidak terdapat senjata barah yang ditembakkan. Tidak ada serbuan pesawat tempur apalagi pengerahan kapal induk. Ingat, AS dan Tiongkok sama-sama punya kapal induk.tapi, dampak menurut perang dagang bisa jadi berupa perang sungguhan. Perang senjata barah.
Misalkan, ke 2 negara hingga kolaps lantaran tidak bisa memenuhi kebutuhan yang sebelumnya disuplai sang negara lawannya. Bahaya. Bisa perang terbuka karena banyak orang yg merasa tidak puas.
Tapi umumnya itu sangat jarang terjadi. Yang pasti, perang dagang akan menyulitkan orang kecil.
Di samping perang dagang, terdapat juga perang yg nir memakai senjata. Perang istilah-istilah. Pakai senjata, akan tetapi bukan senjata barah. Senjatanya merupakan istilah-kata. Bahkan, di dua korea. Korea Selatan serta Korea Utara, telah sejak lama berlangsung perang pengeras suara. Di perbatasan. Untuk saling ejek dan kenaikan pangkat . Tapi kini telah berakhir. Pengeras-pengeras suara yang dipakai perang itu telah dicopoti. Ketika Kim Jong Un, pemimpin tertinggi Korut telah mulai melunak.
Semoga relatif di perang dagang antara AS melawan Tiongkok saja. Kita nir terlibat. Tidak terimbas pula.

PENGERTIAN BANGSA MENURUT PARA AHLI

Pengertian Bangsa Menurut Para Ahli 
Ada beberapa pengertian mengenai bangsa (nasion/nation) serta kebangsaan yang berkembang. Ernest Renan menyatakan bahwa bangsa adalah: bukan suatu ras, bukan orang-orang yg memiliki kepentingan yang sama, bukan pula dibatasi sang batas-batas geografis atau batas alamiah. Nasion (bangsa) adalah suatu solidaritas, suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu solidaritas yang bisa tercipta sang perasaan pengorbanan yg sudah lampau dan bersedia dibentuk pada masa yg akan datang. Nasion mempunyai masa lampau namun berlanjut masa kini pada suatu realita yang kentara melalui kesepakatan serta harapan untuk hayati bersama (le desire d’entre ensemble). Nasion tidak terkait oleh negara, karena negara berdasarkan hukum. Menurutnya, daerah dan ras bukan penyebab timbulnya bangsa. Bagi warga negara yg dikuasai ras lain (negara jajahan), para pemimpin konvoi/kemerdekaan mengobarkan semangat nasionalisme menurut teori Renan. Oleh karenanya tidak mengherankan bahwa pada negara nasional baru (dikenal juga sebagai negara dunia ketiga) jiwa nasionalisme tumbuh misalnya teori berdasarkan Ernest Renan. 

Sedangkan Hans Kohn (Kaelan, 2002: 213): bangsa terbentuk persamaan bahasa, ras, kepercayaan , peradaban, daerah, negara dan kewarganegaraan. Teori Kohn ini nampaknya dari perkembangan pengertian bangsa (nasion) di Eropa Daratan (kontinental). Bangsa (nasion) di Eropa kontinental bangkit lantaran revolusi leksikografi, bahwa bahasa milik eksklusif-langsung grup khas (Anderson, 2001: 126). Eropa (kontinental) dikuasai sang dinasti Habsburg di sebahagian Eropa Tengah serta Timur, dinasti Romanov di Eropa Timur, Rusia serta Asia Barat hingga Siberia serta dinasti Usmaniah (Ottoman) di Balkan, Jazirah Arab serta Afrika Utara, sedangkan Eropa Barat dikuasai ex dinasti Bourbon. Bangsawan (penguasa) lokal diharuskan mampu berbahasa Latin menjadi bahasa resmi di pada wilayah dinasti maupun menjadi lingua franca antara para bangsawan (dinasti serta lokal) dan kaum intelek. Persoalan timbul, bahwa yg bisa menguasai bahasa resmi hanya sedikit. Ini mengakibatkan percetakan tidak dapat menerbitkan secara luas karya tulis para intelektual serta menimbulkan kerugian. Sebagai tindak lanjutnya penerbitan lebih poly memakai bahasa lokal supaya rakyat yg bisa baca tulis lebih banyak. Faham egaliterisme pada kalangan masyarakat menumbuhkan nasionalisme berdasarkan budaya lokal. Rupanya faktor inilah menjadikan Hans Kohn menciptakan definisi misalnya ini. 

Definisi bangsa berdasarkan paham bangsa Indonesia tertuang berdasarkan isi Sumpah Pemuda. Menurut Dr. Kaelan, MS. (2002: 213) adanya unsur rakyat yang membangun bangsa yaitu: aneka macam suku, adat adat, kebudayaan, kepercayaan serta berdiam pada suatu daerah yang terdiri atas beribu-ribu pulau. Selanjutnya bangsa jua mempunyai kepentingan yg sama menggunakan individu, keluarga maupun masyarakat yaitu tetap eksis serta sejahtera. Salah satu masalah yang timbul menurut bangsa merupakan ancaman disintegrasi, serta yang sebagai penyebab utama umumnya perbedaan persepsi pada upaya masyarakat yg ingin “merekatkan diri lebih ke dalam”, yaitu ingin mempertahankan pola. Oleh karena itu pada bangsa yang baru merdeka atau berdiri diupayakan mempunyai indera perekat yg berasal dari budaya warga . Pada perkembangannya alat perekat ini, dikenal sebagai ideologi yg hendaknya dipahami oleh bangsa itu sendiri. 

Sejarah Berdirinya Bangsa Indonesia
Sejarah lahirnya bangsa (nasion) Indonesia cukup panjang dan ini tidak tanggal dari upaya Vereenigde Oost Indische Companie (VOC) yg dilanjutkan Pemerintah Belanda memecah belah rakyat nusantara, melalui kebijaksanaan pemilahan penduduk. Tetapi reaksi rakyat nusantara malah ingin manunggal serta berkelompok atas dasar kecenderungan: tempat tinggal, daerah asal serta kepercayaan . Inilah embrio semangat persatuan pada prulisme terbentuk. 

Gerakan Etika Politik di Eropa dilaksanakan pula pada nusantara menggunakan maksud ingin membalas jasa masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan mudah diatur oleh Belanda. Ternyata gerakan ini disambut baik oleh kaum konvoi dan dibantu oleh para penguasa lokal. Para pemimpin konvoi melakukan upaya pendidikan serta mendirikan sekolah-sekolah buat kaum pribumi. Boedi Oetomo merupakan organisasi masyarakat pribumi pertama melakukan pendidikan untuk kaum pribumi. Kaum pribumi menjadi haus bacaan serta ilmu pengetahuan. Sastra Barat mulai diterjemahkan serta diterbitkan pada bahasa Melayu serta Jawa yang akhirnya membangkitkan semangat egaliter. Dari semangat egaliter membangkitkan pencerahan berbangsa serta berpolitik, yg selanjutnya mejadi gerakan politik sehingga lahirnya bangsa Indonesia. Oleh karena itu Ben Anderson berpendapat bahwa nation state adalah komunitas terbayang yang menyatu. 

Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme mengandung arti faham buat menyayangi bangsa serta negara sendiri (Indonesia). Nasionalisme adalah gerakan sentimen menyayangi bangsa namun hendaknya dalam koridor universal. Dengan semangat nasionalisme yang tinggi akan terbangun kekuatan dan kontinuitas sentimen mencintai bangsa dalam bentuk identitas nasional.

Faham nasionalisme terbangun melalui beberapa konsep antara lain: (1) konsep theologi yg identik menggunakan fitrah insan buat bersatu membentuk masyarakat dan membangsa; (dua) konsep politik yg terbangun melalui hakikat budaya politik bangsa; (tiga) konsep budaya yang tetap menghormati tumbuh serta berkembangnya semangat semangat multikultur. Tetapi kini faham nasionalisme lebih menekankan pada aspek politik.

Nasionalisme Indonesia bertitik tolak berdasarkan semangat sumpah pemuda yg dalam dasarnya perubahan semangat kesukuan ke semangat kebangsaan (dikenal sebagai “menurut ke-kami-an sebagai ke-kita-an”). Adapun beberapa karakteristik khas nasionalisme Indonesia adalah: (1) Bhineka Tunggal Ika; (2) Etis (paham etika Pancasila); (tiga) Universalitik; (4) Terbuka kultural; serta (lima) Percaya diri. 

Pertumbuhan Nasionalisme Indonesia telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan rezim. Masa Orde Lama semangat persatuan mulai menguap serta identitas nasional (sebagai salah satu bentuk nasionalisme) terdistorsi menjadi identitasnya Bung Karno menjadi Pemimpin Besar Revolusi (PBR). Sedangkan jaman Orde Baru spirit kebangsaan ditumbuhkembangkan buat mengatasi keterpurukan ekonomi warisan orde lama . Tetapi ujung-ujungnya Pancasila secara manipuklatif “diritualisasikan” untuk mengamankan proses kolusi, korupsi dan nepotisme serta “kroniisme”. Identitas nasional terdistorsi sebagai bukti diri nasionalnya presiden sebagai penguasa tunggal.

Negara serta Bangsa
Negara berdasarkan Logemann adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur dan menyelenggarakan suatu warga . Lebih jauh berdasarkan Max Weber negara adalah struktur politik yg diatur sang aturan, yang meliputi suatu komuniti insan yang hayati dalam suatu wilayah tertentu dan meng-anggap wilayah yang bersangkutan menjadi milik mereka buat tempat tinggal dan penghidupan mereka (Naning, 1983: tiga – 4). Ada pengadaan dan pemeliharan tata keter-anggaran (aturan) bagi kehidupan mereka. Ada monopoli kepemilikan serta penggunaan kekuatan fisik secara sah (legitimasi). Dengan demikian Negara merupakan indera warga untuk mengatur interaksi insan menggunakan insan dan manusia dengan Negara. Adanya legitimasi dalam Negara, organisasi ini bisa memaksa kekuasaannya secara sah terhadap seluruh kolektiva dalam rakyat. Ada tiga sifat yang merupakan kedaulatan. Pertama sifat memaksa, yaitu negara memiliki kekuasaan untuk meng-gunakan kekerasan fisik secara absah (legal) supaya dapat tertib dan aman. Kedua sifat monopoli, yaitu negara berhak serta kuasa tunggal pada tetapkan tujuan bersama menurut masyarakat/bangsa. Ketiga sifat mencakup seluruh, yaitu seluruh peraturan perundang-undangan mengenai semua orang, baik masyarakat negara maupun bukan warganegara.

Menurut Konvensi Montevideo diperlukan tiga(tiga) kondisi yang bersifat konstitutif. Pertama harus ada wilayah, yaitu suatu wilayah yang sudah dinyatakan menjadi milik bangsa tadi, serta batas-batas daerah dipengaruhi oleh perjanjian internasional. Kedua harus ada warga , yaitu orang yang mendiami pada daerah tadi dan dapat terdiri dari atas aneka macam golongan/kolektiva sosial; yang wajib patuh pada aturan dan Pemerintah yg sah. Ketiga sine qua non Pemerintah, yaitu suatu organisasi yg berhak mengatur serta berwewenang merumuskan dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yg mengikat warganya. Lebih lanjut menurut Prof DR Sri Soemantri, SH (Diknas, 2001: 50) dapat juga ditambahkan terdapat pengakuan kedaulatan menurut negara lain. Kedaulatan merupakan unsur mutlak yg sine qua non dan merupakan karakteristik yang membedakan antara organisasi pemerintah menggunakan organisasi kemasyarakatan/sosial. Untuk lebih mampu menghadapi lawan, negara berhak menuntut kesetiaan para warganya. Demikian jua dapat ditambahkan adanya tujuan negara yang tersurat/implisit melalui konstitusi. 

Sistimatika Pembahasan
Berkenaan Buku Ajar – III yg bermuatan Pokok Bahasan Bangsa, Negara dan Lingkungan Hidup di Indonesia, sistimatika pembahasan disusun sebagai berikut:
  1. Pendahuluan. Dengan didahului membahas latar belakang yang berlanjut menggunakan membahas Bangsa serta Negara (termasuk nasionalisme Indonesia), serta Lingkungan Hidup, serta diakhiri menggunakan Sistematika Pembahasan.
  2. Kewarganegaraan Indonesia. Membahas masalah Rakyat Indonesia (WNI), Penduduk (WNI, WNA, Stateless), hak dan kewajiban penduduk (WNI, WNA, Stateless), serta pembatasan mobilitas penduduk dalam suatu Negara (Imigrasi adalah bentuk kedaulatan suatu negara). 
  3. Negara Hukum serta Konstitusi. Penjelasan tentang Negara Hukum, makna konstitusi, hak asasi insan serta Rule of Law di Indonesia
  4. Negara serta Sistem Politik. Membahas bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dituangkan pada penyelenggaraan pemerintahan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yg demokratis (good governance, accountable, transparant)
  5. Wilayah sebagai Ruang Hidup. Membahas teori geopolitik Indonesia serta geostrategi Indonesia (ketahanan nasional) serta ketahanan regional (ASEAN, APEC, OPEC) dan implementasinya dalam hukum kewilayahan (aturan darat, bahari, udara termasuk perkara otonomi daerahserta diakhiri menggunakan tata ruang. Membahas juga pasang surut interaksi antar negara.
  6. Lingkungan Hidup. Membahas kasus Lingkungan Hidup, Sumberdaya alam, serta Implementasi pada planning rapikan ruang wilayah buat pengelolaan lingkungan hidup (Undang-Undang terkait) pada rangka pembangunan yang berkelanjutan. Membahas juga ketidaktahuan dan ketidaktaatan warga , bangsa (asal daya manusia) terhadap tadi hingga mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.
  7. Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi. Masalah upaya pengungkapan rahasia serta gejala alam semesta buat memenuhi kebutuhan manusia.
Keanekaragaman Hayati dan Konservasi. Perkembangan teknologi yg pesat mengakibatkan perubahan pola pikir serta pola tindak insan. Hal ini akan berlanjut dengan pemanfaatan teknologi yang berdampak negatif terhadap lingkungan yang bersifat dunia. Dampak negatif pendayagunaan yang berlebihan mengancam kehidupan insan. Usaha-bisnis untuk mengatasi kerusakan lingkungan dunia telah dilaksanakan (Undang-Undang, Konvensi, Deklarasi, dan Ratifikasi).