PENGERTIAN ARTI IDEOLOGI TERBUKA MENURUT PARA AHLI

Pengertian Arti Ideologi terbuka Menurut Para Ahli 
Ideologi terbuka adalah ideologi yg bisa berinteraksi menggunakan perkembangan zaman serta adanya dinamika secara internal (BPP4, 1995). Pandangan hayati bangsa yg memiliki nilai dasar yg bersifat tetap serta nilai instrumental yg dinamis (Kansil, 2000) Dari pengertian-pengertian pada atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ideologi terbuka adalah bentuk ideologi yang menjadi etos bangsa serta mempunyai nilai dasar dan nilai instrumentan yang bisa berinteraksi menggunakan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal. 

Dengan demikian pada ideologi terbuka terdapat: 
1. Nilai-nilai dasar 
Yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung pada sila-sila Pancasila yang terdapat dalam kelima silanya. Nilai-nilai dasar tadi yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Nilai dasar tadi adalah esensi dari sila-sila Pancasila yang sifatnya universal, sebagai akibatnya dalam nilai dasar tadi terkandung hasrat, tujuan, dan nilai-nilai yang baik serta sahih. Nilai-nilai tadi tertuang pada pembukaan UUD 1945, sehingga Pembukaan UUD 1945 adalah kebiasaan dasar yang adalah tertib hukum tertinggi dan sebagai sumber hukum positif. Dalam pembukaan negara, Pembukaan UUD 1945 memiliki kedudukan menjadi “Staatsfundamentalnorm” atau utama kaidah negara yg mendasar yg terletak pada kelangsungan hayati negara. Nilai dasar inilah yang bersifat permanen, nir dapat berubah ataupun diubah. Pembukaan UUD 1945 terletak pada kelangsungan hayati negara, sehingga mengganti Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sama halnya dengan pembubaran negara. Oleh karena itu, meskipun pasal-pasal pada Undang-Undang Dasar 1945 selalu mengalami perubahan serta amandemen, tetapi Pembukaan UUD 1945 permanen dipertahankan. Nilai-nilai dasar tadi kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yg didalamnya terkandung lembaga-lembaga penyelenggara negara, interaksi antar penyelenggara negara beserta tugas dan wewenangnya. 

2. Nilai Instrumental 
Nilai ini merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran serta forum pelaksanaannya. Nilai ini adalah penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar dalam rangka penyesuaian pada aplikasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. 

Nilai ini berlaku buat kurun waktu dan kondisi tertentu. Sifatnya telah lebih bersifat kontekstual, bahkan harus disesuaikan menggunakan tuntutan zaman. Nilai fragmental tampil pada bentuk kebijakan, taktik, organisasi, sistem planning, program. 

Contohnya : Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, GBHN. 

3. Nilai Praksis 
Adalah klasifikasi nilai instrumental yang sifatnya konkret/konkret pada kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Nilai fragmental ini sifatnya sangat dinamis pada tempat dan situasi tertentu. Dengan pengamatan praksis inilah maka akan nampak apakah pembagian terstruktur mengenai nilai-nilai dasar ideologi Pancasila sinkron atau nir menggunakan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi dan dinamika warga . Contoh nilai praksis : demokrasi, toleransi, kerjasama, saling menghargai dan lain-lain. 

Pengertian Pancasila menjadi Ideologi Terbuka 
Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mempunyai nilai dasar yang bersifat permanen sepanjang jaman serta nilai fragmental yg bisa berkembang secara dinamis. 

Nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat tetap adalah impian serta tujuannya, yaitu pembukaan UUD 1945: 
1. Alinea I : keyakinan pada kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, pada perikemanusiaan dan peri keadilan. 
2. Alinea II : cita-cita nasional/kemerdekaan, yaitu suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 
3. Alinea III : watak aktif dari warga indonesia menyatakan kemerdekaan, untuk mencapai kehidupan bangsa yang bebas. 
4. Alinea IV : tujuan negara, susunan negara, sistem pemerintahan sistem presidensil) dan dasar negara. 

Nilai-nilai fragmental Pancasila yg bisa berubah adalah pengembangan dan pengamalannya, yaitu pembagian terstruktur mengenai lebih lanjut berdasarkan pembukaan UUD 1945, menjadi arahan buat kehidupan nyata. Perubahan-perubahan tersebut nir boleh menyimpang berdasarkan nilai-nilai dasarnya. Sifat bergerak maju serta inovatif nilai-nilai fragmental memungkinkan Pancasila bisa senantiasa menyesuaikan diri dan mengikti perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. 

Asal Mula Pancasila menjadi Ideologi Terbuka 
Istilah Pancasila sebagai ideologi terbuka bagi bangsa Indonesia dari menurut: 

1. Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 
a. “...terutama bagi negara baru serta negara muda, lebih baik aturan dasar yang tertulis itu hanya memuat anggaran-aturan utama, sedang aturanaturan yang menyelenggarakan aturan ini diserahkan kepada undangundang yg lebih gampang cara mengolahnya, mengubahnya dan mencabutnya”. 
b. “yang sangat penting dalam pemerintahan dan pada hidupnya negara adalah semangat, semangat penyelenggaraan negara, semangat para pemimpin negara”. 

2. Dikemukakan oleh Presiden Soeharto 
a. Pada tanggal 10 Nopember 1986 dalam program pembukaan Penataran Calon Manggala BP-7 Pusat. 
b. Pada lepas 16 Agustus 1989 dalam pidato kenegaraan 1989 menjadi berikut: 
“Itulah sebabnya, beberapa tahun lalu aku kemukakan, bahwa pancasila adalah ideologi terbuka, maka kita dalam berbagi pemikiran baru yang tegar dan kreatif buat mengamalkan Pancasila pada menjawab perubahan dan tantangan zaman yg terus berkiprah bergerak maju, yakni: 
1) nilai-nilai dasar Pancasila nir boleh berubah 
2) pelaksanaannya kita sesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata yg kita hadapi pada tiap kurun ketika. 

Dimensi-dimensi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka 
Pancasila sebagai suatu ideologi (ideologi terbuka) mempunyai kekuatan yg sangat tergantung dalam kualitas dari dimensi-dimensi yg dikandungnya. Dimensidimensi yang dikandung Pancasila merupakan: 

1. Dimensi Realita 
Yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi (Pancasila) itu secara riil berakar dan hayati dalam masyarakat atau bangsanya (Indonesia), terutama karena nilai-nilai dasar tadi bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya. Pancasila menjadi ideologi wajib mencerminkan realitas hayati yang terdapat pada masyarakat, dan tidak boleh bertentangan menggunakan tradisi, norma-istiadat, kebudayaan serta rapikan hidup keagamaan yg terdapat dalam warga Indonesia. 

Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat utopis yang hanya berisi ide-inspirasi yg bersifat mengawang, melainkan suatu ideologi yang bersifat realistis yang mampu menjalankan diri pada segala aspek kehidupan konkret. 

2. Dimensi Idealitas 
Yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi (Pancasila) mengandung idealisme, bukan lambungan angan-angan yang memberi asa tentang masa depan yg lebih baik melalui perwujudan atau pengamalannya pada praktek kehidupan bersama mereka sehari-hari dengan berbagai dimensinya. Pancasila memiliki nilainilai yg dianggap baik, sahih sang warga Indonesia dalam khususnya serta insan dalam umumnya. Rumusan Pancasila bersifat istematis, rasional serta menyeluruh yaitu hakikat nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila. Hakikat nilainilai Pancasila tadi bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yg terkandung pada Pancasila) sebagai akibatnya kadar idealisme yg terkandung pada Pancasila sanggup memberikan harapan, optimisme serta bisa menggugah motivasi para pendukungnya buat berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan. 

3. Dimensi Fleksibilitas 
Yaitu bahwa ideologi tadi memiliki keluwesan yg memungkinkan serta bahkan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan mengenai dirinya, tanpa menghilangkan hakekat atau jati dirinya yang terkandung pada nilainilai dasarnya.

PENGERTIAN ARTI IDEOLOGI TERBUKA MENURUT PARA AHLI

Pengertian Arti Ideologi terbuka Menurut Para Ahli 
Ideologi terbuka adalah ideologi yang bisa berinteraksi menggunakan perkembangan zaman dan adanya dinamika secara internal (BPP4, 1995). Pandangan hayati bangsa yang memiliki nilai dasar yg bersifat tetap dan nilai instrumental yang dinamis (Kansil, 2000) Dari pengertian-pengertian di atas bisa ditarik suatu konklusi bahwa ideologi terbuka adalah bentuk ideologi yang menjadi etos bangsa dan memiliki nilai dasar dan nilai instrumentan yang bisa berinteraksi dengan perkembangan zaman serta adanya dinamika secara internal. 

Dengan demikian pada ideologi terbuka terdapat: 
1. Nilai-nilai dasar 
Yaitu hakikat nilai-nilai yg terkandung dalam sila-sila Pancasila yang masih ada pada kelima silanya. Nilai-nilai dasar tadi yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan serta Keadilan. Nilai dasar tadi merupakan esensi berdasarkan sila-sila Pancasila yg sifatnya universal, sehingga pada nilai dasar tadi terkandung harapan, tujuan, dan nilai-nilai yg baik serta benar. Nilai-nilai tersebut tertuang dalam pembukaan UUD 1945, sehingga Pembukaan UUD 1945 merupakan norma dasar yg merupakan tertib aturan tertinggi serta sebagai asal hukum positif. Dalam pembukaan negara, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai kedudukan menjadi “Staatsfundamentalnorm” atau pokok kaidah negara yang fundamental yang terletak pada kelangsungan hidup negara. Nilai dasar inilah yg bersifat permanen, tidak dapat berubah ataupun diubah. Pembukaan UUD 1945 terletak dalam kelangsungan hayati negara, sehingga mengganti Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sama halnya dengan pembubaran negara. Oleh karena itu, meskipun pasal-pasal dalam UUD 1945 selalu mengalami perubahan dan amandemen, namun Pembukaan UUD 1945 tetap dipertahankan. Nilai-nilai dasar tersebut lalu dijabarkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yg didalamnya terkandung lembaga-forum penyelenggara negara, hubungan antar penyelenggara negara beserta tugas dan wewenangnya. 

2. Nilai Instrumental 
Nilai ini merupakan arahan, kebijakan, strategi, sasaran dan forum pelaksanaannya. Nilai ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai-nilai dasar dalam rangka penyesuaian pada aplikasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila. 

Nilai ini berlaku buat kurun saat serta kondisi eksklusif. Sifatnya telah lebih bersifat kontekstual, bahkan wajib disesuaikan menggunakan tuntutan zaman. Nilai fragmental tampil dalam bentuk kebijakan, taktik, organisasi, sistem planning, program. 

Contohnya : Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, GBHN. 

3. Nilai Praksis 
Adalah pembagian terstruktur mengenai nilai fragmental yg sifatnya konkret/nyata pada kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Nilai instrumental ini sifatnya sangat dinamis pada tempat serta situasi eksklusif. Dengan pengamatan praksis inilah maka akan nampak apakah pembagian terstruktur mengenai nilai-nilai dasar ideologi Pancasila sinkron atau nir menggunakan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi dan dinamika warga . Contoh nilai praksis : demokrasi, toleransi, kerjasama, saling menghargai dan lain-lain. 

Pengertian Pancasila sebagai Ideologi Terbuka 
Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah etos bangsa Indonesia yg mempunyai nilai dasar yg bersifat permanen sepanjang jaman serta nilai fragmental yang bisa berkembang secara dinamis. 

Nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat permanen adalah harapan dan tujuannya, yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: 
1. Alinea I : keyakinan kepada kemerdekaan menjadi hak segala bangsa, kepada perikemanusiaan serta peri keadilan. 
2. Alinea II : harapan nasional/kemerdekaan, yaitu suatu negara yang merdeka, manunggal, berdaulat, adil dan makmur. 
3. Alinea III : tabiat aktif berdasarkan masyarakat indonesia menyatakan kemerdekaan, buat mencapai kehidupan bangsa yang bebas. 
4. Alinea IV : tujuan negara, susunan negara, sistem pemerintahan sistem presidensil) serta dasar negara. 

Nilai-nilai instrumental Pancasila yg dapat berubah adalah pengembangan dan pengamalannya, yaitu penjabaran lebih lanjut berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, menjadi arahan buat kehidupan nyata. Perubahan-perubahan tersebut tidak boleh menyimpang berdasarkan nilai-nilai dasarnya. Sifat bergerak maju dan inovatif nilai-nilai instrumental memungkinkan Pancasila bisa senantiasa beradaptasi serta mengikti perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya. 

Asal Mula Pancasila menjadi Ideologi Terbuka 
Istilah Pancasila menjadi ideologi terbuka bagi bangsa Indonesia berasal menurut: 

1. Penjelasan Umum UUD 1945 
a. “...terutama bagi negara baru serta negara muda, lebih baik hukum dasar yg tertulis itu hanya memuat anggaran-aturan utama, sedang aturanaturan yg menyelenggarakan aturan ini diserahkan pada undangundang yang lebih mudah cara mengolahnya, mengubahnya serta mencabutnya”. 
b. “yg sangat krusial dalam pemerintahan dan pada hidupnya negara ialah semangat, semangat penyelenggaraan negara, semangat para pemimpin negara”. 

2. Dikemukakan sang Presiden Soeharto 
a. Pada tanggal 10 Nopember 1986 dalam program pembukaan Penataran Calon Manggala BP-7 Pusat. 
b. Pada tanggal 16 Agustus 1989 pada pidato kenegaraan 1989 sebagai berikut: 
“Itulah sebabnya, beberapa tahun lalu saya kemukakan, bahwa pancasila merupakan ideologi terbuka, maka kita pada membuatkan pemikiran baru yang tegar dan kreatif buat mengamalkan Pancasila pada menjawab perubahan dan tantangan zaman yg terus beranjak dinamis, yakni: 
1) nilai-nilai dasar Pancasila nir boleh berubah 
2) pelaksanaannya kita sesuaikan menggunakan kebutuhan serta tantangan konkret yang kita hadapi dalam tiap kurun ketika. 

Dimensi-dimensi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka 
Pancasila sebagai suatu ideologi (ideologi terbuka) mempunyai kekuatan yang sangat tergantung pada kualitas dari dimensi-dimensi yg dikandungnya. Dimensidimensi yang dikandung Pancasila merupakan: 

1. Dimensi Realita 
Yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi (Pancasila) itu secara riil berakar dan hidup dalam rakyat atau bangsanya (Indonesia), terutama lantaran nilai-nilai dasar tadi bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya. Pancasila menjadi ideologi harus mencerminkan empiris hayati yang terdapat pada masyarakat, dan nir boleh bertentangan menggunakan tradisi, istiadat-istiadat, kebudayaan serta tata hayati keagamaan yang ada dalam rakyat Indonesia. 

Dengan demikian, Pancasila menjadi ideologi terbuka nir bersifat utopis yg hanya berisi pandangan baru-ilham yg bersifat mengawang, melainkan suatu ideologi yg bersifat realistis yg bisa menjalankan diri pada segala aspek kehidupan konkret. 

2. Dimensi Idealitas 
Yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi (Pancasila) mengandung idealisme, bukan lambungan angan-angan yang memberi harapan mengenai masa depan yg lebih baik melalui perwujudan atau pengamalannya pada praktek kehidupan beserta mereka sehari-hari menggunakan banyak sekali dimensinya. Pancasila memiliki nilainilai yang dipercaya baik, sahih oleh rakyat Indonesia pada khususnya serta manusia dalam umumnya. Rumusan Pancasila bersifat istematis, rasional serta menyeluruh yaitu hakikat nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila. Hakikat nilainilai Pancasila tadi bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yg terkandung dalam Pancasila) sebagai akibatnya kadar idealisme yg terkandung dalam Pancasila bisa memberikan harapan, optimisme serta sanggup menggugah motivasi para pendukungnya buat berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan. 

3. Dimensi Fleksibilitas 
Yaitu bahwa ideologi tadi memiliki keluwesan yg memungkinkan dan bahkan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya, tanpa menghilangkan hakekat atau jati dirinya yang terkandung pada nilainilai dasarnya.

DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara 
Pancasila sebagai dasar serta ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers ketika negara Indonesia didirikan. Namun dalam bepergian panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering mengalami berbagai deviasi pada aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tadi sanggup berupa penambahan, pengurangan, serta penyimpangan menurut makna yg seharusnya. Walaupun seiring menggunakan itu sering pula terjadi upaya pelurusan balik .

Pancasila sering digolongkan ke pada ideologi tengah di antara dua ideologi akbar global yg paling berpengaruh, sebagai akibatnya tak jarang disifatkan bukan ini serta bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme dan bukan berpaham kapitalisme. Pancasila nir berpaham individualisme serta tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi serta bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yg membuat repot aktualisasi nilai-nilainya ke dalam kehidupan praksis berbangsa serta bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yang selalu bergerak ke kanan serta ke kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti sempurna di tengah.

Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, kita sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 pada mengatur dan menjalankan kehidupan negara.

Namun semenjak Nopember 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden lima Juli 1959 pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikan sistem demokrasi liberal.dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia sebagai pro Liberalisme.deviasi ini dikoreksi menggunakan keluarnya Dekrit Presiden lima Juli 1959.dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser dan digerakan ke kiri.kebijakan ini sangat menguntungkan serta dimanfaatkan sang kekuatan politik di Indonesia yg berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak dalam kebijaksanaan pemerintah yg anti terhadap Barat (kapitalisme) serta pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta-Peking dan Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya merupakan insiden pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.soekarno) dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala defleksi yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yg tadinya menunjuk ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dipercaya penyimpang berdasarkan garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik pada menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat serta berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru sudah timbul 4 regim Pemerintahan Reformasi hingga ketika ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya mampu memberikan koreksi terhadap defleksi pada mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 pada praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan sang Orde Baru.

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua empiris pada alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif serta baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yg terus menerus “sebagai”, walaupun unsur permanensi realitas serta identitas diri dalam perubahan nir boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat jua dikenakan dalam ideologi Pancasila menjadi suatu empiris (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan pada praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? Serta, unsur nilai Pancasila manakah yg mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?

Moerdiono (1995/1996) memberitahuakn adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu merupakan:

Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yg bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas berdasarkan dampak perubahan saat.nilai dasar merupakan prinsip, yg bersifat amat abstrak, bersifat amat generik, tidak terikat oleh waktu dan loka, dengan kandungan kebenaran yg bagaikan aksioma.dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan menggunakan eksistensi sesuatu, yg mencakup keinginan, tujuan, tatanan dasar serta ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan sang para pendiri negara.nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang sudah menyengsarakan rakyat, juga berdasarkan cita-cita yg ditanamkan dalam kepercayaan serta tradisi mengenai suatu masyarakat yang adil serta makmur dari kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh masyarakat rakyat.

Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yg bersifat kontekstual. Nilai fragmental adalah pembagian terstruktur mengenai dari nilai dasar tersebut, yg adalah arahan kinerjanya buat kurun saat tertentu serta buat syarat eksklusif. Nilai fragmental ini bisa dan bahkan harus diadaptasi menggunakan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu dalam nilai dasar yg dijabarkannya. Penjabaran itu mampu dilakukan secara kreatif dan dinamik pada bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, pada batas-batas yg dimungkinkan sang nilai dasar itu.dari kandungan nilainya, maka nilai fragmental adalah kebijaksanaan, taktik, organisasi, sistem, planning, program, bahkan pula proyek-proyek yg menindaklanjuti nilai dasar tadi. Lembaga negara yg berwenang menyusun nilai fragmental ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, serta DPR.

Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung pada fenomena sehari-hari, berupa cara bagaimana masyarakat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis masih ada pada demikian poly wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis juga nir tertulis, baik sang cabang eksekutif, legislatif, juga yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, sang organisasi kemasyarakatan, sang badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang perseteruan antara idealisme serta empiris.

Jika ditinjau menurut segi aplikasi nilai yg dianut, maka sesungguhnya dalam nilai praksislah dipengaruhi tegak atau tidaknya nilai dasar serta nilai fragmental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan tak berbentuk, dan bukan pula dalam kebijaksanaan, strategi, planning, acara atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yg dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya pada lapangan. Bagi suatu ideologi, yg paling krusial merupakan bukti pengamalannya atau aktualisasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat memiliki rumusan yg amat ideal menggunakan ulasan yg amat logis dan konsisten dalam tahap nilai dasar serta nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika dalam nilai praksisnya rumusan tersebut nir bisa diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi merupakan menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai fragmental, serta nilai praksisnya. Sudah barang tentu bila konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan terdapat perkara. Masalah baru ada apabila terdapat inkonsisitensi pada 3 tataran nilai tersebut.

Untuk menjaga konsistensi pada mengaktualisasikan nilai Pancasila ke pada praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang tak berbentuk-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yg generik kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang spesifik individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat menurut subjek gerombolan dan individual, sebagai akibatnya menjiwai seluruh tingkah laku dalam lingkungan praksisnya pada bidang kenegaraan, politik, dan langsung.

Driyarkara menyebutkan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, menggunakan citra gerak transformasi Pancasila formal menjadi kategori tematis (berupa konsep, teori) sebagai kategori imperatif (berupa norma-norma) serta kategori operatif (berupa praktik hayati). Proses tranformasi berjalan tanpa kasus jika tidak terjadi deviasi atau defleksi, yang berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian (pada Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif serta dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai yang dicita-citakan serta ingin diwujudkan. 

Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke pada kehidupan praksis kemasyarakatan serta kenegaraan bukanlah kasus yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: dua-tiga) mensinyalir, bahwa masih masih ada beberapa kekeliruan yg mendasar dalam cara orang tahu dan menghayati Negara Pancasila pada aneka macam seginya. Kiranya nir sempurna menciptakan “sakral” dan taboo aneka macam konsep serta pengertian, seakan-akan sudah kentara betul serta pasti benar, tuntas dan paripurna, sebagai akibatnya nir boleh dipersoalkan lagi. Sikap misalnya itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan nir berkembang, serta mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin sahih bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten pada tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus dicermati pulang dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.

Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan merupakan pemugaran berdasarkan pada dan melalui sistem yg terdapat. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa pada pada diri Pancasila menjadi pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi pada pengertian ini merupakan kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) buat bisa berubah. Subjek sendiri yg berubah menurut pada. Mirip dengan teori A.N.whitehead, setiap satuan aktual (menjadi aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan buat berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yg dapat dipindahkan atau pohon yg dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual menjadi realitas merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yg selanjutnya. Jika dikaitkan menggunakan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan aturan serta perundang-undangan pada segala strata, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis sebagai kategori imperatif), wajib terbuka terhadap peninjauan dan evaluasi atau pengkajian tentang keterkaitan menggunakan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hayati sehari-hari pada bernegara orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yg berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, serta pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, buat tahu transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan menggunakan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif serta upaya buat membentuk persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-dua, dan ke-lima yang berkaitan dengan hidup keagamaan, humanisme serta sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126). 

Perubahan serta Kebaharuan
Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber menurut satu sisi saja, yaitu dampak yg ada dari pada, melainkan bisa terjadi karena impak berdasarkan luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) pada aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata ditimbulkan kemampuan menurut dalam (potensi) menurut Pancasila itu sendiri, melainkan suatu insiden yg terkait atau berrelasi dengan realitas yg lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas pada pada menyerap atau menerima serta menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur menurut luar (asing). Contoh paling jelas menurut terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, merupakan empat kali amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yg telah dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam tahun 1999, 2000, 2001, serta tahun 2002.

Dewasa ini, dampak kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa serta negara mampu mengisolir diri serta menutup rapat menurut imbas budaya asing. Demikian pula terhadap masalah ideologi.dalam kaitan imi, M.habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menyebabkan kebimbangan, terutama didukung sang kenyataan masuknya arus budaya asing dengan aneka macam aspeknya. Kemajuan pada bidang ilmu serta teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini pada satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi menjadi bagian budaya insan sudah jauh mensugesti rapikan kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, nir mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yg tidak selalu sejalan menggunakan tumbuhnya faham kebangsaan.beberapa liputan pada banyak sekali ragam bentuk dan isinya nir bisa selalu diawasi atau dicegah begitu saja.mengingkari dan nir mau tahu “tawaran” atau dampak nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yg seolah-olah menduga bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian sang Whitehead dianggap sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Apabila imbas itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yg hayati pada warga , atau nir mendukung bagi terciptanya syarat yg sinkron menggunakan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, wangsit-pandangan baru yg tiba dari luar.

Dalam konteks budaya, perkara rendezvous kebudayaan bukan perkara memfilter atau menyaring budaya asing, namun memasak serta mengkreasi pada hubungan dinamik sehingga tercipta sesuatu yg baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, lantaran bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi besar pada global kini ini diperhatikan dengan akurat, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu sudah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila wajib sanggup menghadapi imbas budaya asing, khususnya ilmu serta teknologi terkini serta latar belakang filsafatnya yang dari menurut luar.

Prof. Notonagoro telah menemukan cara buat memanfaatkan efek menurut luar tadi, yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan serta ajaran kefilsafatan berdasarkan luar tadi, tetapi menggunakan melepaskan diri menurut sistem filsafat yang bersangkutan serta selanjutnya diinkorporasikan pada struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan berdasarkan sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yg serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham menggunakan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila menjadi struktur atau sistem yg terbuka dinamik, yg dapat menggarap apa yg datang dari luar, dalam arti luas, sebagai miliknya tanpa membarui identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mensugesti serta mengkreasi.

Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam serta keterbukaan yg matang untuk menyerap, menghargai, serta menentukan nilai-nilai hayati yang tepat dan baik buat sebagai pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya pada masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tadi berdasar dalam relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional serta pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yg menyerap atau ditentukan sang nilai-nilai asing, tetapi nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menyebutkan, bahwa dinamika yg terdapat dalam aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif buat melandasi tata kehidupan internasional, baik buat menaruh orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara dalam umumnya.

Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional serta kritis supaya membuka iklim hayati yg bebas serta rasional jua. Konsekuensinya, bahwa Pancasila wajib bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yg terjadi dalam kehidupan manusia serta nir menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yg memang diakui menampakan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sebagai akibatnya menggunakan demikian menduga proses akulturasi sebagai tanda-tanda lumrah. Dengan begitu ideologi Pancasila akan memberitahuakn sifatnya yg dinamik, yaitu mempunyai kesediaan buat mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan langsung manusia dan warga . Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas pada konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan buat menyeleksi nilai-nilai baru serta mencari alternatif bagi pemecahan kasus-kasus politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila nir a priori menolak bahan-bahan baru serta kebudayaan asing, melainkan sanggup menyerap nilai-nilai yg dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat humanisme bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, nir defensif dan tertutup sebagai akibatnya sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari lantaran dipercaya bersifat negatif. Sebaliknya nir diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman buat memilih mana yg pantas serta mana yang nir pantas buat diintegrasikan pada pengembangan dirinya.

Bangsa Indonesia mau tidak mau wajib terlibat pada dialog menggunakan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam serta hilang pada dalamnya. Proses akulturasi nir bisa dihindari. Bangsa Indonesia pula dituntut berperan aktif pada pergaulan global.bangsa Indonesia harus bisa ikut bermain dalam hubungan mondial pada menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya. Untuk sanggup menjalankan peran itu, bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yg menjadi keunikan bangsa, sebagai akibatnya bisa memberikan sumbangan yang relatif berarti pada percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup namun sesuatu yg terus dibentuk dalam hubungan dengan gerombolan masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat global (Sastrapratedja, 1996: 3).

Semuanya itu mengharuskan adanya taktik kebudayaan yg sanggup neneruskan dan berbagi nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.

Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “taktik dialogi antar budaya” dalam menghadapi tanda-tanda penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi yg terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yg dibutuhkan dari hubungan itu merupakan terpeliharanya relatif diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila menjadi jati diri bangsa Indonesia nir mandeg, melainkan wajib diperbaharui secara terus menerus, sebagai akibatnya mampu menaruh pedoman, ilham, dan dukungan dalam setiap anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yg sehat selalu bertitik tolak dalam masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya impian pada masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang tidak selaras haruslah mempunyai transedental dari masa lampau hingga masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau untuk diterapkan dalam masa sekarang serta masa mendatang. Unsur yang sama serta permanen juga unsur yang kreatif serta baru, semuanya harus dirajut pada satu kesatuan yg integral.

Teori hilemorfisme menurut Aristoteles mampu mendukung pandangan tadi. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi konkret apabila dibuat (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya terdapat mobilitas. Setiap relitas yg sudah berbentuk (berdasar materi) bisa juga sebagai materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan. Perubahan yang terdapat bukan kebaharuan sama sekali tetapi perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yg ada sekarang berdasar pada empiris yang sudah ada dalam masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.

DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara 
Pancasila sebagai dasar serta ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers saat negara Indonesia didirikan. Tetapi dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa serta bernegara, Pancasila tak jarang mengalami banyak sekali deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut mampu berupa penambahan, pengurangan, dan defleksi menurut makna yang seharusnya. Walaupun seiring menggunakan itu sering pula terjadi upaya pelurusan pulang.

Pancasila acapkali digolongkan ke pada ideologi tengah di antara 2 ideologi akbar dunia yg paling berpengaruh, sebagai akibatnya seringkali disifatkan bukan ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme serta bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yg bikin capek aktualisasi nilai-nilainya ke pada kehidupan praksis berbangsa serta bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yg selalu berkiprah ke kanan dan ke arah kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti sempurna pada tengah.

Pada ketika berdirinya negara Republik Indonesia, kita putusan bulat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 pada mengatur serta menjalankan kehidupan negara.

Namun sejak Nopember 1945 hingga sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia membarui haluan politiknya menggunakan mempraktikan sistem demokrasi liberal.dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.deviasi ini dikoreksi dengan munculnya Dekrit Presiden lima Juli 1959.dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser serta digerakan ke arah kiri.kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan sang kekuatan politik pada Indonesia yg berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri menggunakan dibuatnya poros Jakarta-Peking serta Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.soekarno) serta berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala defleksi yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya menunjuk ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik pada menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yg dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai ketika ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya sanggup memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 pada praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.

Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa seluruh realitas pada alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik serta suatu proses yang terus menerus “sebagai”, walaupun unsur permanensi empiris dan bukti diri diri dalam perubahan nir boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan dalam ideologi Pancasila menjadi suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa serta bernegara ? Dan, unsur nilai Pancasila manakah yg mesti wajib kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?

Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai pada ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:

Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yg bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas menurut imbas perubahan saat.nilai dasar merupakan prinsip, yg bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh saat dan tempat, dengan kandungan kebenaran yg bagaikan aksioma.dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan menggunakan keberadaan sesuatu, yang mencakup keinginan, tujuan, tatanan dasar dan karakteristik khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.nilai dasar Pancasila tumbuh baik menurut sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yg sudah menyengsarakan warga , maupun berdasarkan impian yg ditanamkan dalam kepercayaan dan tradisi tentang suatu masyarakat yg adil dan makmur dari kebersamaan, persatuan serta kesatuan semua masyarakat rakyat.

Kedua, nilai fragmental, yaitu suatu nilai yg bersifat kontekstual. Nilai fragmental adalah klasifikasi dari nilai dasar tersebut, yg merupakan arahan kinerjanya buat kurun ketika tertentu serta buat syarat eksklusif. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai fragmental haruslah mengacu pada nilai dasar yg dijabarkannya. Penjabaran itu mampu dilakukan secara kreatif serta dinamik dalam bentuk-bentuk baru buat mewujudkan semangat yg sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan sang nilai dasar itu.dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental adalah kebijaksanaan, taktik, organisasi, sistem, planning, acara, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tadi. Lembaga negara yg berwenang menyusun nilai instrumental ini merupakan MPR, Presiden, dan DPR.

Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam fenomena sehari-hari, berupa cara bagaimana masyarakat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis masih ada pada demikian poly wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis juga nir tertulis, baik sang cabang eksekutif, legislatif, juga yudikatif, sang organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis adalah sasana perseteruan antara idealisme serta realitas.

Jika dilihat berdasarkan segi aplikasi nilai yg dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan dalam rumusan abstrak, dan bukan juga dalam kebijaksanaan, strategi, rencana, acara atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yg dianut, namun dalam kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yg paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi bisa memiliki rumusan yg amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar serta nilai instrumentalnya. Akan namun, jika dalam nilai praksisnya rumusan tadi tidak bisa diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi merupakan menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu bila konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu nir akan ada perkara. Masalah baru timbul apabila terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut.

Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke pada praktik hayati berbangsa serta bernegara, maka perlu Pancasila formal yg abstrak-generik-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yg generik kolektif, serta bahkan menjadi Pancasila yg khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila sebagai sifat-sifat menurut subjek gerombolan serta individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku pada lingkungan praksisnya pada bidang kenegaraan, politik, dan eksklusif.

Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, menggunakan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) sebagai kategori imperatif (berupa kebiasaan-kebiasaan) serta kategori operatif (berupa praktik hayati). Proses tranformasi berjalan tanpa perkara apabila tidak terjadi deviasi atau defleksi, yang berupa pengurangan, penambahan,serta penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan serta ingin diwujudkan. 

Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah perkara yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: dua-tiga) mensinyalir, bahwa masih masih ada beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami serta menghayati Negara Pancasila pada aneka macam seginya. Kiranya tidak sempurna menciptakan “sakral” serta taboo banyak sekali konsep serta pengertian, seakan-akan sudah jelas betul serta niscaya sahih, tuntas dan paripurna, sebagai akibatnya nir boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu menciptakan berbagai konsep serta pengertian sebagai statik, kaku dan nir berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin sahih bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap serta abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual juga operasional. Banyak hal wajib ditinjau pulang dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.

Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yg ada. Atau menggunakan istilah lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila menjadi pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) buat dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah berdasarkan pada. Mirip dengan teori A.N.whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan buat berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yg dapat dipindahkan atau pohon yang bisa dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai empiris merupakan sumber daya buat proses ke-sebagai-an yg selanjutnya. Apabila dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum serta perundang-undangan pada segala tingkatan, menjadi aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis sebagai kategori imperatif), wajib terbuka terhadap peninjauan serta penilaian atau pengkajian mengenai keterkaitan menggunakan nilai dasar Pancasila.

Untuk melihat transformasi Pancasila sebagai kebiasaan hidup sehari-hari pada bernegara orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yg berkaitan dengan negara, yg mencakup; daerah, warganegara, serta pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, buat memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan menggunakan bangsa Indonesia, yg meliputi; faktor-faktor integratif serta upaya buat membangun persatuan Indonesia. Sedangkan buat tahu transformasi Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-dua, dan ke-5 yg berkaitan dengan hayati keagamaan, kemanusiaan dan sosial irit (Suwarno, 1993: 126). 

Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan serta perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu dampak yang timbul berdasarkan dalam, melainkan sanggup terjadi lantaran imbas dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) pada aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata ditimbulkan kemampuan berdasarkan pada (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu insiden yang terkait atau berrelasi menggunakan empiris yg lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada kegiatan pada dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling kentara dari terjadinya perubahan transformatif pada aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yg sudah dilakukan MPR dalam tahun 1999, 2000, 2001, serta tahun 2002.

Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu serta teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hayati masyarakat yg begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup kedap berdasarkan imbas budaya asing. Demikian juga terhadap perkara ideologi.dalam kaitan imi, M.habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran serta perubahan nilai-nilai akan menyebabkan kebimbangan, terutama didukung sang fenomena masuknya arus budaya asing menggunakan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu serta teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat serta luas. Kondisi ini pada satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yg mengikat kepentingan nasional nir luput dari pengaruhnya serta bisa menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia sudah jauh menghipnotis rapikan kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, nir tidak mungkin tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan menggunakan tumbuhnya faham kebangsaan.beberapa fakta dalam banyak sekali ragam bentuk serta isinya nir bisa selalu diawasi atau dicegah begitu saja.mengingkari dan nir mau tahu “tawaran” atau impak nilai-nilai asing adalah kesesatan berpikir, yang seolah-olah menduga bahwa ada eksistens yang sanggup berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian sang Whitehead disebut menjadi the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika efek itu tidak sinkron dengan nilai-nilai yg hidup dalam masyarakat, atau nir mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan perilaku yg kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, pandangan baru-ide yang datang dari luar.

Dalam konteks budaya, kasus rendezvous kebudayaan bukan perkara memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi memasak serta mengkreasi pada hubungan dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik merupakan sesuatu yg wajib terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi akbar pada global sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru menggunakan corak nilai, ajaran serta konsep kunci tentang kehidupan yg mempunyai perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi dampak budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi terbaru dan latar belakang filsafatnya yg dari menurut luar.

Prof. Notonagoro sudah menemukan cara buat memanfaatkan imbas dari luar tersebut, yaitu secara eklektif merogoh ilmu pengetahuan serta ajaran kefilsafatan menurut luar tersebut, namun dengan melepaskan diri menurut sistem filsafat yg bersangkutan serta selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap imbas baru menurut luar, maka Pancasila bersifat terbuka menggunakan syarat dilepaskan menurut sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yg serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila menjadi struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang bisa menggarap apa yang tiba menurut luar, dalam arti luas, sebagai miliknya tanpa membarui identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mensugesti dan mengkreasi.

Dinamika Pancasila dimungkinkan bila terdapat daya refleksi yang mendalam serta keterbukaan yg matang buat menyerap, menghargai, dan menentukan nilai-nilai hidup yang sempurna serta baik buat sebagai etos bangsa bagi kelestarian hidupnya pada masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tadi berdasar dalam relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang menyerap atau ditentukan sang nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila mampu ditawarkan serta berpengaruh, dan menyokong pada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila pula tampil menjadi alternatif buat melandasi rapikan kehidupan internasional, baik buat memberikan orientasi pada negara-negara berkembang pada khususnya, juga mewarnai pola komunikasi antar negara dalam umumnya.

Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yg bebas serta rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila wajib bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi pada kehidupan insan serta nir menutup diri terhadap nilai dan pemikiran menurut luar yang memang diakui menerangkan arti dan makna yg positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi menjadi gejala masuk akal. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan sifatnya yg dinamik, yaitu memiliki kesediaan buat mengadakan pembaharuan yg bermanfaat bagi perkembangan eksklusif insan serta masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan menjadi kemampuan buat menyeleksi nilai-nilai baru serta mencari cara lain bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila nir a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan bisa memperkaya serta memperkembangkan kebudayaan sendiri, dan meningkatkan derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, menjadi pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif serta tertutup sebagai akibatnya sesuatu yg berbau asing wajib ditangkal serta dihindari lantaran dipercaya bersifat negatif. Sebaliknya tidak dibutuhkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sebagai akibatnya segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa panduan buat memilih mana yg pantas serta mana yg tidak pantas buat diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.

Bangsa Indonesia mau nir mau wajib terlibat pada dialog menggunakan bangsa-bangsa lain, tetapi nir tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi nir dapat dihindari. Bangsa Indonesia pula dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.bangsa Indonesia harus bisa ikut bermain pada interaksi mondial pada menentukan arah kehidupan insan seluruhnya. Untuk mampu menjalankan kiprah itu, bangsa Indonesia sendiri wajib memiliki kesatuan nilai yang sebagai keunikan bangsa, sehingga bisa memberikan sumbangan yg relatif berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yg tertutup tetapi sesuatu yg terus dibuat pada hubungan dengan gerombolan rakyat bangsa, negara, insan, sistem warga global (Sastrapratedja, 1996: tiga).

Semuanya itu mengharuskan adanya taktik kebudayaan yg mampu neneruskan dan membuatkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.

Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “taktik dialogi antar budaya” pada menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan menggunakan budaya orisinil. Melalui interaksi yg terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yg berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu merupakan terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila menjadi jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg, melainkan wajib diperbaharui secara terus menerus, sebagai akibatnya bisa memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia pada memperkembangkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yg sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya hasrat pada masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, tetapi kepribadian yang terbentuk dalam zaman yang tidak selaras haruslah memiliki kesinambungan menurut masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yg didapatkan di masa lampau buat diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yg kreatif serta baru, semuanya harus dirajut pada satu kesatuan yg integral.

Teori hilemorfisme dari Aristoteles sanggup mendukung pandangan tadi. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi konkret apabila dibentuk (morfe), tetapi materi tidaklah pasif. Artinya terdapat gerak. Setiap relitas yang telah berbentuk (berdasar materi) bisa juga menjadi materi bagi bentuk yang lain,sebagai akibatnya setiap empiris mengalami perubahan. Perubahan yg terdapat bukan kebaharuan sama sekali tetapi perubahan yg kesinambungan. Artinya, aktualitas yg terdapat kini berdasar dalam realitas yg telah terdapat pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan pada masa depan.

PENGERTIAN BANGSA MENURUT PARA AHLI

Pengertian Bangsa Menurut Para Ahli 
Ada beberapa pengertian tentang bangsa (nasion/nation) dan kebangsaan yang berkembang. Ernest Renan menyatakan bahwa bangsa adalah: bukan suatu ras, bukan orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama, bukan jua dibatasi oleh batas-batas geografis atau batas alamiah. Nasion (bangsa) adalah suatu solidaritas, suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu solidaritas yg dapat tercipta sang perasaan pengorbanan yg telah lampau dan bersedia dibuat di masa yg akan datang. Nasion memiliki masa lampau namun berlanjut masa kini pada suatu realita yg jelas melalui kesepakatan dan harapan buat hayati bersama (le desire d’entre ensemble). Nasion nir terkait sang negara, karena negara dari hukum. Menurutnya, wilayah serta ras bukan penyebab timbulnya bangsa. Bagi rakyat negara yg dikuasai ras lain (negara jajahan), para pemimpin konvoi/kemerdekaan mengobarkan semangat nasionalisme dari teori Renan. Oleh karenanya nir mengherankan bahwa dalam negara nasional baru (dikenal jua sebagai negara global ketiga) jiwa nasionalisme tumbuh misalnya teori menurut Ernest Renan. 

Sedangkan Hans Kohn (Kaelan, 2002: 213): bangsa terbentuk persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara serta kewarganegaraan. Teori Kohn ini nampaknya dari perkembangan pengertian bangsa (nasion) di Eropa Daratan (kontinental). Bangsa (nasion) di Eropa kontinental bangkit karena revolusi leksikografi, bahwa bahasa milik pribadi-langsung kelompok khas (Anderson, 2001: 126). Eropa (kontinental) dikuasai oleh dinasti Habsburg pada sebahagian Eropa Tengah dan Timur, dinasti Romanov di Eropa Timur, Rusia serta Asia Barat sampai Siberia dan dinasti Usmaniah (Ottoman) di Balkan, Jazirah Arab serta Afrika Utara, sedangkan Eropa Barat dikuasai ex dinasti Bourbon. Bangsawan (penguasa) lokal diharuskan bisa berbahasa Latin sebagai bahasa resmi pada pada daerah dinasti maupun sebagai lingua franca antara para bangsawan (dinasti serta lokal) dan kaum intelek. Persoalan muncul, bahwa yg sanggup menguasai bahasa resmi hanya sedikit. Ini mengakibatkan percetakan nir bisa menerbitkan secara luas karya tulis para intelektual serta menyebabkan kerugian. Sebagai tindak lanjutnya penerbitan lebih banyak memakai bahasa lokal agar warga yang mampu baca tulis lebih poly. Faham egaliterisme pada kalangan masyarakat menumbuhkan nasionalisme dari budaya lokal. Rupanya faktor inilah mengakibatkan Hans Kohn membuat definisi seperti ini. 

Definisi bangsa dari paham bangsa Indonesia tertuang berdasarkan isi Sumpah Pemuda. Menurut Dr. Kaelan, MS. (2002: 213) adanya unsur rakyat yg menciptakan bangsa yaitu: banyak sekali suku, istiadat norma, kebudayaan, agama serta berdiam di suatu daerah yg terdiri atas beribu-ribu pulau. Selanjutnya bangsa juga mempunyai kepentingan yg sama dengan individu, famili juga masyarakat yaitu tetap eksis serta sejahtera. Salah satu persoalan yang ada dari bangsa adalah ancaman disintegrasi, serta yg menjadi penyebab utama biasanya perbedaan persepsi pada upaya rakyat yang ingin “merekatkan diri lebih ke dalam”, yaitu ingin mempertahankan pola. Oleh karenanya dalam bangsa yg baru merdeka atau berdiri diupayakan mempunyai alat perekat yg dari berdasarkan budaya warga . Pada perkembangannya alat perekat ini, dikenal sebagai ideologi yang hendaknya dipahami sang bangsa itu sendiri. 

Sejarah Berdirinya Bangsa Indonesia
Sejarah lahirnya bangsa (nasion) Indonesia cukup panjang dan ini nir tanggal menurut upaya Vereenigde Oost Indische Companie (VOC) yang dilanjutkan Pemerintah Belanda memecah belah masyarakat nusantara, melalui kebijaksanaan pemilahan penduduk. Namun reaksi rakyat nusantara malah ingin manunggal serta berkelompok atas dasar kecenderungan: tempat tinggal, daerah dari serta agama. Inilah embrio semangat persatuan dalam prulisme terbentuk. 

Gerakan Etika Politik pada Eropa dilaksanakan pula di nusantara dengan maksud ingin membalas jasa masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan gampang diatur sang Belanda. Ternyata gerakan ini disambut baik sang kaum konvoi serta dibantu sang para penguasa lokal. Para pemimpin pergerakan melakukan upaya pendidikan serta mendirikan sekolah-sekolah buat kaum pribumi. Boedi Oetomo merupakan organisasi masyarakat pribumi pertama melakukan pendidikan untuk kaum pribumi. Kaum pribumi menjadi haus bacaan dan ilmu pengetahuan. Sastra Barat mulai diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Melayu serta Jawa yang akhirnya membangkitkan semangat egaliter. Dari semangat egaliter membangkitkan kesadaran berbangsa dan berpolitik, yg selanjutnya mejadi gerakan politik sebagai akibatnya lahirnya bangsa Indonesia. Oleh karena itu Ben Anderson beropini bahwa nation state merupakan komunitas terbayang yg menyatu. 

Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme mengandung arti faham buat mencintai bangsa serta negara sendiri (Indonesia). Nasionalisme adalah gerakan sentimen mencintai bangsa namun hendaknya pada koridor universal. Dengan semangat nasionalisme yg tinggi akan terbangun kekuatan serta kontinuitas sentimen mengasihi bangsa dalam bentuk bukti diri nasional.

Faham nasionalisme terbangun melalui beberapa konsep antara lain: (1) konsep theologi yang identik menggunakan fitrah manusia buat manunggal membangun warga serta membangsa; (dua) konsep politik yang terbangun melalui hakikat budaya politik bangsa; (3) konsep budaya yang permanen menghormati tumbuh dan berkembangnya semangat semangat multikultur. Namun kini faham nasionalisme lebih menekankan pada aspek politik.

Nasionalisme Indonesia bertitik tolak berdasarkan semangat sumpah pemuda yang dalam dasarnya perubahan semangat kesukuan ke semangat kebangsaan (dikenal menjadi “berdasarkan ke-kami-an menjadi ke-kita-an”). Adapun beberapa ciri spesial nasionalisme Indonesia adalah: (1) Bhineka Tunggal Ika; (dua) Etis (paham etika Pancasila); (3) Universalitik; (4) Terbuka kultural; serta (lima) Percaya diri. 

Pertumbuhan Nasionalisme Indonesia telah mengalami perubahan seiring menggunakan perubahan rezim. Masa Orde Lama semangat persatuan mulai menguap dan identitas nasional (sebagai galat satu bentuk nasionalisme) terdistorsi sebagai identitasnya Bung Karno menjadi Pemimpin Besar Revolusi (PBR). Sedangkan jaman Orde Baru spirit kebangsaan ditumbuhkembangkan buat mengatasi keterpurukan ekonomi warisan orde usang. Tetapi ujung-ujungnya Pancasila secara manipuklatif “diritualisasikan” buat mengamankan proses kolusi, korupsi serta nepotisme serta “kroniisme”. Identitas nasional terdistorsi sebagai bukti diri nasionalnya presiden sebagai penguasa tunggal.

Negara dan Bangsa
Negara dari Logemann adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan menggunakan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan suatu rakyat. Lebih jauh menurut Max Weber negara merupakan struktur politik yang diatur sang hukum, yang mencakup suatu komuniti manusia yang hayati pada suatu daerah eksklusif dan meng-anggap wilayah yang bersangkutan menjadi milik mereka buat tempat tinggal dan penghidupan mereka (Naning, 1983: 3 – 4). Ada pengadaan dan pemeliharan rapikan keter-anggaran (hukum) bagi kehidupan mereka. Ada monopoli kepemilikan serta penggunaan kekuatan fisik secara sah (legitimasi). Dengan demikian Negara adalah indera masyarakat buat mengatur interaksi insan menggunakan insan serta manusia menggunakan Negara. Adanya legitimasi pada Negara, organisasi ini bisa memaksa kekuasaannya secara sah terhadap semua kolektiva dalam warga . Ada 3 sifat yang merupakan kedaulatan. Pertama sifat memaksa, yaitu negara mempunyai kekuasaan untuk meng-gunakan kekerasan fisik secara sah (legal) agar dapat tertib dan aman. Kedua sifat monopoli, yaitu negara berhak serta kuasa tunggal dalam memutuskan tujuan bersama menurut masyarakat/bangsa. Ketiga sifat meliputi seluruh, yaitu semua peraturan perundang-undangan mengenai seluruh orang, baik rakyat negara maupun bukan warganegara.

Menurut Konvensi Montevideo dibutuhkan 3(3) syarat yg bersifat konstitutif. Pertama sine qua non daerah, yaitu suatu daerah yang sudah dinyatakan sebagai milik bangsa tersebut, dan batas-batas wilayah dipengaruhi oleh perjanjian internasional. Kedua sine qua non rakyat, yaitu orang yang mendiami di wilayah tersebut dan bisa terdiri menurut atas berbagai golongan/kolektiva sosial; yang wajib patuh dalam hukum dan Pemerintah yg sah. Ketiga harus ada Pemerintah, yaitu suatu organisasi yg berhak mengatur serta berwewenang merumuskan dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yg mengikat warganya. Lebih lanjut dari Prof DR Sri Soemantri, SH (Diknas, 2001: 50) bisa juga ditambahkan ada pengakuan kedaulatan dari negara lain. Kedaulatan merupakan unsur absolut yang sine qua non serta adalah ciri yang membedakan antara organisasi pemerintah dengan organisasi kemasyarakatan/sosial. Untuk lebih bisa menghadapi versus, negara berhak menuntut kesetiaan para warganya. Demikian jua dapat ditambahkan adanya tujuan negara yang tersurat/implisit melalui konstitusi. 

Sistimatika Pembahasan
Berkenaan Buku Ajar – III yg bermuatan Pokok Bahasan Bangsa, Negara serta Lingkungan Hidup pada Indonesia, sistimatika pembahasan disusun menjadi berikut:
  1. Pendahuluan. Dengan didahului membahas latar belakang yang berlanjut menggunakan membahas Bangsa serta Negara (termasuk nasionalisme Indonesia), dan Lingkungan Hidup, dan diakhiri menggunakan Sistematika Pembahasan.
  2. Kewarganegaraan Indonesia. Membahas kasus Rakyat Indonesia (WNI), Penduduk (WNI, WNA, Stateless), hak serta kewajiban penduduk (WNI, WNA, Stateless), dan restriksi mobilitas penduduk pada suatu Negara (Imigrasi adalah bentuk kedaulatan suatu negara). 
  3. Negara Hukum dan Konstitusi. Penjelasan mengenai Negara Hukum, makna konstitusi, hak asasi manusia serta Rule of Law di Indonesia
  4. Negara dan Sistem Politik. Membahas bagaimana Pancasila menjadi dasar negara dituangkan pada penyelenggaraan pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis (good governance, accountable, transparant)
  5. Wilayah menjadi Ruang Hidup. Membahas teori geopolitik Indonesia dan geostrategi Indonesia (ketahanan nasional) serta ketahanan regional (ASEAN, APEC, OPEC) dan implementasinya pada hukum kewilayahan (aturan darat, bahari, udara termasuk kasus otonomi daerahserta diakhiri dengan tata ruang. Membahas pula pasang surut interaksi antar negara.
  6. Lingkungan Hidup. Membahas masalah Lingkungan Hidup, Sumberdaya alam, serta Implementasi pada planning tata ruang daerah buat pengelolaan lingkungan hidup (Undang-Undang terkait) pada rangka pembangunan yg berkelanjutan. Membahas juga ketidaktahuan serta ketidaktaatan masyarakat, bangsa (sumber daya insan) terhadap tadi sampai mengakibatkan pencemaran serta kerusakan lingkungan.
  7. Ilmu Pengetahuan Alam serta Teknologi. Masalah upaya pengungkapan rahasia dan gejala alam semesta buat memenuhi kebutuhan insan.
Keanekaragaman Hayati dan Konservasi. Perkembangan teknologi yang pesat mengakibatkan perubahan pola pikir serta pola tindak insan. Hal ini akan berlanjut menggunakan pemanfaatan teknologi yg berdampak negatif terhadap lingkungan yang bersifat dunia. Dampak negatif eksploitasi yg berlebihan mengancam kehidupan insan. Usaha-bisnis buat mengatasi kerusakan lingkungan global telah dilaksanakan (Undang-Undang, Konvensi, Deklarasi, serta Ratifikasi).

PENGERTIAN WAWASAN NUSANTARA

Pengertian Wawasan Nusantara 
Setiap bangsa mempunyai wawasan nasional (national outlook) yg merupakan visi bangsa yg bersangkutan meneju ke masa depan. Adapun wawasan nasional bangsa Indonesia pada kenal dengan Wawasan Nusantara.

Istilah wawasan nusantara terdiri berdasarkan dua butir kata yakni wawasan dan nusantara. Wawasan asal berdasarkan kata ‘wawas’ yang berarti pandangan, tinjauan atau penglihatan inderawi. Akar kata ini menciptakan istilah ‘mawas’ yang berarti memandang, meninjau atau melihat. Sehingga wawasan dapat berarti cara pandang, cara meninjau, atau cara melihat. Sedangkan Nusantara asal menurut kata ‘nusa’ yg berarti pulau – pulau, serta ‘antara’ yang berarti diapit di antara dua hal (2 benua yaitu benua Asia serta benua Australia serta dua lautan yakni samudera Pasifik serta lautan Hindia). Berdasarkan teori-teori mengenai wawasan, latar belakang falsafah pancasila, latar belakang pemikiran aspek kewilayahan, aspek sosial budaya, dan aspek kesejarahan, terbetuklah satu wawasan nasional indonesia yg disebut wawasan nusantara menggunakan rumusan pengertian yang sampai ini berkembang menjadi berikut:

1. Pengertian wawasan nusantara menurut ketetapan majelis permusyawarahan warga tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN adalah sebagai berikut:

wawasan nusantara yang merupakan wawasan nasional yg bersumber pada Pancasila dan menurut UUD 1945 merupakan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa dan kesatuan daerah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara buat mencapai tujuan nasional.

2. Pengertian wawasan nusantara dari prof. Dr. Wan usman (Ketua Program S-dua PKN – UI )
“wawasan nusantara merupakan cara pandang bangsa indonesia tentang diri dan tanah airnya menjadi negara kepulauan menggunakan semua aspek kehidupan yang beragam.”. Hal tersebut disampaikannya saat lokakarya wawsan nusantara dan ketahanan nasional di Lemhanas dalam Januari 2000. Ia juga menjelaskan bahwa wawasan nusantara merupakan geopolitik indonesia.

3. Pengertian wawasan nusantara, dari kelompok kerja wawasan nusantara, yg diusulkan sebagai ketetapan majelis permusyawaratan rakyat serta dibentuk pada Lemhanas tahun 1999 adalah menjadi berikut:
“cara pandang dan sikap bangsa indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang berseragam serta bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelengarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara buat mencapai tujuan nasional. ”

Secara generik wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa mengenai diri serta lingkungannya yang dijabarkan berdasarkan dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sinkron menggunakan posisi dan kondisi geografi negaranya buat mencapai tujuan atau cita – cita nasionalnya. Sedangkan arti berdasarkan wawasan nusantara merupakan cara pandang bangsa Indonesia tentang diri serta lingkungannya menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa pada mencapai tujuan atau cita – cita nasionalnya. Dengan demikian wawasan nusantara berperan buat membimbing bangsa Indonesia pada penyelengaraan kehidupannya dan menjadi rambu – rambu pada perjuanagan mengisi kemerdekaan. Wawasan nusantara sebagai cara pandang juga mengajarkan bagaimana pentingnya membina persatuan dan kesatuan pada segenap aspek kehidupan bangsa dan negara dalam mencapai tujuan serta cita – citanya.

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara.
Ada beberapa faktor yg menghipnotis wawasan nusantara antara lain:

1. Wilayah (geografi).
a. Asas Kepulauan (archipelagic principle)
Kata ‘archipelago’ serta ‘archipelagic’ dari menurut istilah Italia yakni ‘archipelagos’. Akar ucapnya merupakan ‘archi’ yg berarti terpenting, terutama serta ‘pelagos’ berarti laut atau daerah samudera . Jadi archipelago merupakan samudera terpenting.

Istilah archipelago diantaranya terdapat dalam naskah resmi perjanjian antara Republik Venezza dengan Michael Palaleogus (1268) yang menjelaskan ‘arc(h) Pelego’yang maksudnya merupakan ‘Aigaius Pelagos’ atau bahari Aigia yang dianggap menjadi bahari terpenting oleh negara – negara yang bersangkutan lalu pengertian ini berkembang nir hanya laut Aigia namun pula termasuk pulau – pulau pada dalamnya.

Lahirnya asas archipelago mengandung pengertian bahwa pulau – pulau tersebut selalu dalam kesatuan utuh, sementara tempat unsur perairan atau lautan antara pulau – pulau berfungsi menjadi unsur penghubung dan bukan menjadi unsur pemisah.

b. Kepulauan Indonesia.
Bagian daerah Indische Archipel yg dikuasai Belanda dinamakan Nederandsch Oost Indishe Archipelago. Itulah wilayah jajahan Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai sebutan buat kepulauan ini sudah banyak nama yg dipakai yaitu ‘Hindia Timur’, ‘Insulinde’ oleh Multatuli, ‘Nusantara’, ‘Indonesia’, ‘Hindia Belanda (Nederlandsch-indie)’ pada masa penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia sangat menyayangi nama ‘Indonesia’ walaupun bukan menurut bahasanya sendiri tetapi kreasi orang barat. Nama Indonesia mengandung arti yg sempurna, yaitu kepulauan India. Dalam bahasa Yunani, ‘Indo’ berarti India dan ‘nesos’ berarti pulau.

Sebutan ‘Indonesia’ merupakan kreasi ilmuwan J.R Logan dalam Journal of The Indian Archipelago And East Asia (1850). Sir W.E. Maxwell (seorang pakar hukum) pula memakainya pada kegemarannya menyelidiki rumpun melayu. Kata Indoneis semakin populer berkat kiprah Adolf Bastian, seseorang etnolog yg menegaskan arti kepulauan ini dalam bukunya Indonesien Order Die Inseln Des Malaysichen Archipels (1884 – 1889). Setelah relatif lam istilah itu hanya dipakai sebagai nama keilmuan, maka dalam awal abad ke-20 perkumpulan mahasiswa Indonesia pada Belanda menyebut dirinya menjadi ‘Perhimpunan Indonesia’.

Berikutnya dalam peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28-10-1928 istilah Indonesia di pakai sebagai sebutan bagi bangsa, tanah air dan bahasa. Kemudian dipertegas lagi dalam proklamasi kemerdekaan RI dalam tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menjadi nam resmi negara serta bangsa Indonesia sampai kini .

c. Konsep tentang Wilayah Lautan.
Dalam perkembangan aturan bahari internasional dikenal beberapa konsep tentang kepemilikan serta penggunaan wilayah laut menjadi berikut :
o Res Nullius ? Menyatakan bahwa laut itu tidak terdapat yang memilikinya.
o Res Cimmunis ? Menyatakan bahwa bahari itu adalah milik rakyat global lantaran nir dapat dimiliki oleh masing – masing negara.
o Mare Liberum ? Menyatakan bahwa wilayah bahari adalah bebas buat semua bangsa.
o Mare Clausum (The Right and Dominion of The Sea) ? Menyatakan bahwa hanya laut sepanjang pantai saja yg dapat dimiliki sang suatu negara sejauh yang bisa dikuasai dari darat (kira – kira sejauh tiga mil).
o Archipelagic State Principles (asas negara kepulauan) ? Menjadi dasar pada konvensi PBB mengenai aturan bahari.

Saat ini konvensi PBB mengenai aturan bahari (United Nation Convention on the Law of the Sea – UNCLOS) mengakui adanya cita-cita buat menciptakan tertib hukum serta samudera yang bisa mempermudah komunikasi internasional, mendayagunakan sumber kekayaan alam secara adil dan efisien, konservasi serta pengkajian sumber kekayaan hayatinya, serta proteksi serta pelestarian lingkungan bahari.

Sesuai dengan hukum bahari internasional, secara garis akbar Bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai Laut Teritorial, Perairan Pedalaman, Zone Ekonomi Ekskusif dan Landasan Kontinen.
? Negara Kepulauan adalah negara yg seluruhnya terdiri berdasarkan satu atau lebih kepulauan dan bisa mencakup pulau – pulau yang lain. Kepulauan merupakan suatu perpaduan pulau, termasuk bagian pulau, perairan antara lain.
? Laut Teritorial adalah satu daerah laut yg lebarnya tidak melebihi 12 mil laut diukur berdasarkan garis pangkal, sedangkan garis pangkal adalah garis air surut terendah sepanjang pantai.
? Perairan Pedalaman adalah daerah sebelah dalam daratan atau sebelah pada berdasarkan garis pangkal.
? Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), dimana nir boleh melebihi 200 mil laut berdasarkan garis pagkal. Di pada ZEE, negara yang bersangkutan mempunyai hak kedaulatan untuk keperluan eksplorasi, ekploitasi, konservasi serta pengelolan asal kekayaan alami hayati menurut perairan.
? Landasan Kontinen suatu negara berpantai meliputi dasar bahari serta tanah dibawahnya yang terletak pada luar laut teritorialnya sepanjang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratannya.. Jaraknya 200 mil berdasarkan garis pangkal tau dapat lebih menurut itu menggunakan nir melebihi 350 mil, nir boleh melebihi 100 mil menurut garis batas kedalaman dasar bahari sedalam 2500 m.

d. Karakteristik Wilayah Nusantara.
Nusantara berarti Kepulauan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan benua Australia serta diantara samudra Pasifik serta samudra Indonesia, yg terdiri berdasarkan 17.508 pulau besar juga mini .

Kepulauan Indonesia terletak pada batas astronomi sbb:
Utara : ± 6°08’ LU
Selatan : ± 11°15’ LS
Barat : ± 94°45’ BT
Timur : ± 141°05’ BT

Jarak utara-selatan lebih kurang 1.888 Kemerdekaan, sedangkan jeda barat-timur kurang lebih lima.110 Kemerdekaan. Luas daerah Indonesia seluruhnya merupakan lima.193.250 km², yang terdiri menurut daratan seluas dua.027.087 km² dan perairan seluas tiga.166.163 km².

2. Geopolitik serta Geostrategi.
a. Geopolitik.
? Pengertian Geopolitik.
Geografi memeriksa kenyataan geografi dari aspek politik, sedangkan geopolitik menyelidiki kenyataan politik menurut aspek geografi.

Geopolitik memaparkan dasar pertimbangan dalam menentukan alternatif kebijakan nasional untuk mewujudkan tujuan eksklusif. Prinsip-prinsip pada geopolitik sebagai perkembangan suatu wawasan nusantara.

? Pandangan ajaran Frederich Ratzel.
Pokok-Pokok ajaran F.ratzel adalah sebagai berikut
1) Dalam hal-hal tertentu pertumbuhan negara bisa dianalogikan dengan pertumbuhan organisme yg memerlukan ruang lingkup, melalui proses lahir, tumbuh, berkembang, mempertahankan hayati,menyusut serta mangkat .
2) Negara identik menggunakan suatu ruang yg ditempati oleh gerombolan politik pada arti kekuatan. Makin luas potensi ruang tadi, makin akbar kemungkinan grup politik itu tumbuh (teori ruang, konsep ruang)
3) Suatu bangsa pada mempertahankan kelangsungan hidupnya nir terlepas menurut hukum alam. Hanya bangsa yang unggul saja yang bisa bertahan hayati.
4) Semakin tinggi budaya suatu bangsa, semakin akbar kebutuhan akan asal akan sumber daya alam. Apabila daerah/ruang hayati nir mendukung, bangsa tersebut akan mencari pemenuhan kebutuhan akan kekayaan alam diluar wilayahnya (perluasan). Hal ini melegitimasikan aturan ekspansi yaitu perkembangan atau dinamika budaya pada bentuk gagasan kegiatan (ekonomi, perdagangan, perindustrian/produksi) harus diimbangi oleh pemekaran wilayah; batas-batas suatu negara dalam hakikatnya bersifat ad interim.
? Pandangan Ajaran Rudolf Kjellen

Frederich Ratzel pada akhir abad ke – 19 mengenbangkan kajian geografi politik menggunakan dasar pandangan bahwa Negara merupakan mirip organisme (makhluk hidup). Negara adalah ruang yg ditempati sang kelompok mayarakat politik (bangsa). Apabila bangsa dan negara ingin permanen eksis serta berkembang, maka wajib diberlakukan hukum ekspansi (pemekaran daerah).

Di samping itu Rudolf Kjellen beropini bahwa negara adalah organisme yang wajib mempunyai intelektual. Negara merupakan sistem politik yg meliputi geopolitik, ekonomi politik, kratopolitik, serta sosiopolitik.

Kjellen melanjutkan ajaran Ratzel tentang teori organisme. Kjellen menegaskan bahwa negara merupakan suatu organisme yg dianggap menjadi “prinsip dasar”. Esensi ajaran Kjellen adalah sebagai berikut:
1. Negara merupakan satuan biologis, suatu organisme hidup, yg mempunyai intelektual. Negara dimungkinkan buat memperoleh ruang yang relatif luas supaya kemampuan dan kekuatan rakyatnya bisa berkembang secara bebas.
2. Negara merupakan suatu sistem politik/ pemerintahan yg meliputi bidang- bidang: geopolitik, ekonomi politik, demokrasi politik , sosial politik,serta krato politik(politik memerintah).
3. Negara nir harus bergantung dalam sumber pembekalan luar. Ia harus mampu berswasembada serta memanfaatkan kemajuan kebudayaan serta teknologi untuk mempertinggi kekuatan nasionalnya: ke pada, buat mencapai persatuan dan kesatuan yg harmonis serta ke luar, buat memperoleh batas-batas negara yg lebih baik.

? Pandangan Karl Houshofer.
Pandangan demikian ini semakin jelas dalam pemikiran Karl Haushorfer yg pada masa itu mewarnai geopolitik Nazi Jerman pada bawah pimpinan Adolf Hittler. Pemikiran Haushorfer di samping berisi paham ekspansionisme juga mengandung ajaran rasialisme, yang menyatakan yg menyatakan bahwa ras Jerman adalah ras paling unggul yg harus dapat menguasai global. Pandangan semacam ini juga di global berkembang pada Jepang berupa ajaran Hako Ichiu yang dilandasi sang semangat militerisme dan fasisme.

Pandangan Karl Haushofer berkembang pada Jerman saat negara ini berada di bawah kekuasaan Adolf Hitler. Pokok-utama teori Karl Haushofer ini dalam dasarnya menganut teori Kjellen,yaitu:
1. Kekusaan imperium daratan yg kompak akan dapat mengejar kekuasaan imperium maritim buat menguasai pengawasan pada bahari.
2. Beberapa negara besar pada global akan muncul serta akan menguasai Eropa Barat (Jerman serta Italia) serta Jepang di Asia Timur Raya.
3. Rumusan ajaran Karl Haushofer lainnya adalah menjadi berikut:
Geopoltik merupakan doktrin negara yg manitikberatkan soal-soal strategi perbatasan. Ruang hidup bangsa serta tekanan-tekanan kekuasaan serta sosial yang rasial mengharuskan pembagian baru kekayaan alam pada dunia. Geopolitik adalah landasan bagi tindakan politik dalam usaha menerima ruang hayati.

? Pandangan Ajaran Sir Walter Raleigh dan Alfred Thyer Mahan.
Kedua pakar ini mempunyai gagasan “wawasan laut”, yaitu kekuatan di bahari. Ajarannya berkata bahwa barang siapa menguasai laut akan menguasai “perdagangan”. Menguasai perdagangan berarti menguasai ” kekayaan global”sehingga dalam akhirnya menguasai global.

? Pandangan Ajaran Nicholas J. Spkyman.
Ajaran ini menghasilkan teori yang dinamakan Teori Daerah Batas (rimland) yaitu teori wawasan kombinasi yg menggabungkan kekuatan darat, bahari, serta udara. Dalam pelaksanaannya, teori ini diubahsuaikan dengan keperluan serta syarat suatu negara

? Pandangan Ajaran Sir Halfold Mackinder.
Teori pakar geopolitik ini dalam dasarnya menganut ”konsep kekuatan” dan mencetuskan wawasan benua, yaitu konsep kekutan di darat. Ajarannya menyatakan : barang siapa bisa menguasai “daerah jantung”, yaitu Eurasia (Eropa dan Asia), dia akan dapat menguasai “pulau global”, yaitu Eropa, Asia dan Afrika.

? Pandangan Ajaran W. Mitchel, A.saversky, Giulio Douhet serta John Frederik Charles Fuller.
Keempat pakar geopolotik ini berpendapat bahwa kekuatan pada udara justru yg paling memilih..mereka melahirkan teori ”wawasan dirgantara” yaitu konsep kekuatan pada udara. Kekuatan pada udara hendaknya mempuyai daya yg dapat diandalkan buat menangkis ancaman serta melumpuhkan kekuatan lawan menggunakan menghancurkannya dikandangnya sendiri supaya lawan tidak bisa lagi menyerang.

? Geopolitik Bangsa Indonesia.
Pandangan geopolitik bangsa Indonesia yang didasarkan dalam nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yg luhur menggunakan jelas dan tegas tertuang di pada Pembukaan UUD 1945. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yg cinta hening, namun lebih cinta kemerdekaan. Bangsa Indonesia menolak segala bentuk penjajahan, lantaran penjajahan tidak sinkron denga peri humanisme serta peri keadilan. Bangsa yang berfalsafah dan berideologi Pancasila menganut faham perang serta hening : ” Bangsa Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Wawasan nasional bangsa Indonesia tidak berbagi ajaran tentang kekuasaan serta adu domba, lantaran hal tadi mengandung benih-benih persengketaan dan ekspansionisme. Ajaran wawasan nasional bangsa Indonesia menyatakan bahwa : Ideologi digunakan menjadi landasan idiil dalam menentukan politik nasional, dihadapkan pada syarat dan konstelasi geografis Indonesia menggunakan segala aspek kehidupan nasionalnya. Tujuannya merupakan agar bangsa Indonesia bisa mengklaim kepentingan bangsa serta negaranya ditengah-tengah perkembangan dunia.

Dalam hubungan internasional, bangsa Indonesia berpijak pada paham kebangsaan (nasionalisme) yg menciptakan suatu wawasan kebangsaan menggunakan menolak pandangan chauvisme. Bangsa Indonesia selalu terbuka buat menjalin kerjasama antar bangsa yg saling menolong dan saling menguntungkan. Semua ini pada rangka ikut mewujudkan perdamaian dan ketertiban global yang abadi.

Dalam memilih, membina, serta mengembangkan wawasan nasionalnya, bangsa Indonesia menggali dan mengembangkan berdasarkan kondisi nyata yang terdapat pada lingkungan Indonesia sendiri. Wawasan nasional Indonesia dibuat dan dijiwai sang pemahaman kekuasaan bangsa indonesia yg berlandaskan falsafah Pancasila dan pandangan geopolitik Indonesia yang berlandaskan pemikiran kewilayahan serta kehidupan bangsa Indonesia. Lantaran itu, pembahasan latar belakang filosofis menjadi pemikiran pelatihan serta pengembangan wawasan nasional Indonesia ditinjau berdasarkan :
a. Latar Belakang Pemikiran beradasarkan Falsafah Pancasila
b. Latar belakang pemikiran aspek kewilayahn Nusantara
c. Latar belakang pemikiran aspek Sosial Budaya bangsa Indonesia
d. Latar belakang aspek Kesejarahan bangsa Indonesia

b. Geostrategi.
Geostrategi merupakan politik pada pelaksanaan, yaitu upaya bagaimana mencapai tujuan atau target yg ditetapkan sesuai dengan cita-cita harapan politik. Sebagai model pertimbangan geostrategis buat negara dan bangsa Indonesia adalah fenomena posisi silang Indonesia dari banyak sekali aspek, disamping aspek aspek geografi pula dari aspek . Aspek demografi, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan Hankam. Posisi silang Indonesia tersebut dapat pada rinci menjadi berikut :
1) Geografi : wilayah Indonesia terletak pada antara 2 benua, Asia dan Australia; serta si antara samudra Pasifik serta samudra Hindia.
2) Demografi : penduduk Indonesia terletak di antara penduduk sporadis di selatan (Australia) dan penduduk padat di utara (RRC serta Jepang)
3) Ideologi : ideologi Indonesia (Pancasila) terletak pada antara liberalisme pada selatan ( Australia dan Selandia Baru) serta komunisme di utara ( RRC, Vietnam serta Korea Utara).
4) Politik : Demokrasi Pancasila terletak pada antara demokrasi liberal di selatan serta demokrasi masyarakat ( diktatur proletar) di utara.
5) Ekonomi : Ekonomi Indonesia terletak di antara ekonomi Kapitalis dan selatan Sosialis di utara.
6) Sosial : Masyarakat Indonesia terletak pada antara rakyat individualisme di selatan serta masyarakat sosialisme di utara.
7) Budaya : Budaya Indonesia terletak di antara budaya Barat di selatan dan budaya Timur di utara.
8) Hankam : Geopolitik dan geostrategis Hankam (Pertahanan dan Keamanan) Indonesia terletak diantara wawasan kekuatan maritim di selatan serta wawasan kekuatan kontinental pada utara.

Dengan demikian geostrategis merupakan perumusan strategi nasional menggunakan memperhitungkan syarat serta konstelasi geografi sebagai faktor primer.

3. Perkembangan Wilayah Indonesia dan Dasar Hukumnnya
a. Sejak 17-8-1945 sampai dengan 13-12-1957
Pada masa tersebut wilayah Negara Republik Indonesia bertumpu dalam daerah daratan pulau-pulau yg saling terpisah oleh perairan atau selat di antara pulau-pulau itu. Wilayah laut teritorial masih sangat sedikit lantaran buat setiap pulau hanya ditambah perairan sejauh tiga mil disekelilingnya.

b. Dari Deklarasi Juanda ( 13-12-1957) hingga menggunakan 17-dua-1969
Pada lepas 13 Desember 1957 dikeluarkan Deklarasi Juanda menggunakan tujuan sebagai berikut:
1) Perwujudan bentuk daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia yg utuh dan bulat.
2) Penentuan batas-batas wilayah Negara Indonesia disesuaikan menggunakan asas Negara kepulauan (archipelagic state principles).
3) Pengaturan lalu lintas tenang pelayaran yg lebih menjamin keselamatan serta keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Deklarasi Juanda lalu dikukuhkan dengan Undang-Undang No. 4/Prp/1960 lepas 18 Februari 1960. Mengenai Perairan Indonesia. Sejak itu terjadi perubahan bentuk sejauh 12 mil menurut titik-titik pulau terluar yang saling berafiliasi.

c. Dari 17-2-1969 (Deklarasi Landas kontinen) Sampai Sekarang
Deklarasi mengenai landas kontinen Negara RI adalah konsep politik yang dari wilayah. Disamping pada pandang pula sebagai upaya buat mewujudkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Asas-asas utama yang termuat di pada Deklarasi tentang landas kontinen menjadi berikut:
1) Segala sumber kekayaan alam yg masih ada dalam landas kontinen Indonesia adalah milik tertentu Negara Republik Indonesia.
2) Pemerintah Indonesia bersedia menyelenggarakan soal garis batas landasan kontinen dengan negara-negara tetangga melalui negosiasi.
3) Jika tidak terdapat garis batas, maka landas kontinen merupakan suatu garis yg di tarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan wilayah terluar negara tetangga.
4) Klaim tersebut nir menghipnotis sifat dan status berdasarkan perairan diatas landasan kontinen Indonesia juga udara diatasnya.

Asas-asas pokok tadi dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1973 tentang Landasan Kontinen Indonesia. Di samping itu UU No. 1/1973 pula memberi dasar bagi pengaturan eksplorasi serta penyelidikan ilmiah atas kekayaan alam di landas kontinen dan masalah-masalah yg disebabkan.

d. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Pengumuman Pemerintah tentang Zona Ekonomi Eksklusif terjadi pada 21 Maret 1980. Batas ZEE merupakan selebar 200 mil yang dihitung dari garis dasar bahari wilayah Indonesia. Alasan-alasan yg mendorong sebagai – berikut:
1) Persediaan ikan yang semakin terbatas.
2) Kebutuhan buat pembangunan nasional Indonesia
3) ZEE memiliki kekuatan hukum internasional.