PERMASALAHAN YANG SERING TERJADI PADA WARNA CRT

CARA FLEXI- Berikut ini aku ingin menghadirkan beberapa konflik, gejala,  rona gambar yg sering bermasalah dan bagaimana mengatasinya.

"Cekidot! "
Tapi sebelum itu saya menyarankan supaya anda memahami blog bagian pemproses rona

1. Gambar menampilkan galat satu warna yg mayoritas, gejalanya dalam ketika penampilan gambar, kondisi rona cenderung terus-menerus/satu rona.
Hal ini umumnya pada sebabkan karena penyetelan white balance yg tidak paripurna atau dapat jua lantaran kerusakan dalam keliru satu hasil dari demodulasi rona.

Cara Mengatasinya;
Dengan tampilan galat satu rona yang lebih secara umum dikuasai itu berarti bahwa keliru satu tegangan katoda CRT menurun, pada sebabkan lantaran penguat RGB galat satunya tidak bekerja. Tidak bekerjanya penguat RGB tadi bisa saja pada karenakan tidak adanya signal masukan dari matrix. Atau salah satu katoda terdapat yg short sama screen.

Raster berwarna pada galat satu rona lebih banyak didominasi ,
-periksa demodulator/transistor penguat pada rangkaian blog RGB. Cek pelawan pembatas tegangan 180 volt umumnya short atau putus. Cek hasil dari ic croma kurang lebih dua,5volt DC. Periksa soket.
Cek dalam keliru satu katoda apakah terdapat yg short sama pin screen/grid.

2. Tidak ada galat satu rona gambar
Gejalanya: gambar nir tampil galat satu warna utama, hal ini di sebabkan lantaran salah satu penguat warna pada RGB out rusak.
Cara mengatasinya;
Periksa transistor yang bekerja menjadi penguat RGB secara pasive (tanpa tegangan) bila kondisinya masih baik maka pada lanjutkan dengan mengukur tegangan bias transistor khususnya Vbe (volt  basis emitor) harus sebanyak 0,7 Volt.

3. Gambar tidak terdapat warna

Gejalanya ada dua hal. Pertama kemungkinan gambar menjadi hitam putih walaupun pesawat mendapat  siaran berwarna.  Kemungkinan ke dua gambar monocromatik gambar hitam  putih dengan warna yg sangat tipis. Penyebab gangguan  misalnya ini umumnya lantaran signal krominan nir dapat pada proses hingga pada bagian matrix RGB, atau bisa jua osciltor 4,43MHz tidak bekerja sehingga proses demodulator warna tidak dapat bekerja.
Cara mengatasinya:

- Metode mengusut bagian penguat band-pass:
Gunakan oscilacope buat melacak signal Burst menurut Output Band Pass Filter(BPF) atau ukurlah input menurut bagian pemproses warna croma pada ic pemproses warna.
Bila signal Brust pada input croma nir pada temukan, cobalah mengatur pulang fine tuning pada tuner menggunakan sempurna serta apabila ternyata signal Brust dapat di tempilkan dalam oscilacope, berarty kerusakan terletak dalam ic pemproses warna khususnya dalam bagian pemproses Chroma. Sebaiknya ganti IC Chroma dengan yg baru.

- Apabila inspeksi signal brust hingga dalam bagian croma normal, maka di lanjutkan pengukuran ke bagian output ic croma yaitu berupa signal U dan V (biru dan merah). Cocokan bentuk gelombang hasil croma sesuai dengan skema servis manual. Jika output chroma normal, maka terjadi kerusakan pada bagian matrix rona. Gnti saja dengan ic matrix yg baru.

- Untuk mengetahui hasil matrix bekerja atau nir bisa mengukur langsung dalam pin IC Matrix menjadi hasil RGB, biasanya mempunyai tegangan DC sebesar kurang lebij dua,5 volt. Jika tegangan ini nir di hasilkan berarti IC Matrix rusak.

- kemungkinan lainya untuk mencari kerusakan pada bagian rona bisa mengukur output oscilator lokal dalam bagian pemproses rona yang besarnya 4,43MHz sine qua non menggunakan bentuk sinusa. Jika oscilator 4,43MHz nir bisa di hasilkan maka rangkaian pemproses rona tidak bisa bekerja lantaran tidak terjadi proses switching buat memisahkan signal U dan V.

Ini aku tulis bersumber menurut materi repair tv lawas sehingga aku modifikasi menggunakan pengalaman saya sendiri. Semoga berguna ya gan?!

Artikel terkait; 6 kerusakan sitim warna secara umum

CAUSE RELATED MARKETING SEBAGAI BAGIAN DARI CSR

Cause Related Marketing Sebagai Bagian Dari CSR
Perkembangan usaha dalam beberapa tahun terakhir menampakan galat satu nilai yg membawa perubahan fundamental yaitu konsep corporate social responsibility (CSR), atau tanggung jawab sosial. Tanggung jawab yang dimaksud adalah perusahaan meluaskan perannya lebih berdasarkan sekedar memakai sumber-sumber dayanya serta terlibat pada kegiatan yang dirancang buat meningkatkan keuntungan sinkron menggunakan anggaran main. Lebih luas serta mendasar, perusahaan wajib berperilaku mengarah dalam etika serta berkontribusi terhadap kehidupan yang layak bagi rakyat, sehingga dibutuhkan perusahaan bisa meminimalkan efek negatif serta memaksimalkan impak positif menurut kehadiran CSR (Kiroyan, 2006). 

CSR memberitahuakn kecenderungan yg sangat semakin tinggi di dunia global serta pada Indonesia. Adanya pencerahan bahwa laba serta keberlangsungan suatu entitas usaha secara jangka panjang hanya sanggup diperoleh melalui adanya kesejahteraan warga sudah mendorong timbulnya komitmen perusahaan buat melakukan tanggung jawab sosial (Abidin, 2006). Hasil riset SWA (2005) menerangkan bahwa sebesar 80% responden perusahaan telah menyadari pentingnya tanggung jawab sosial bagi perusahaan serta memasukkan unsur-unsur yang sebagai tujuan tanggung jawab sosial perusahaan, misalnya contohnya kepentingan stakeholders serta kepedulian pada masyarakat serta lingkungan dalam kebijakan perusahaan. Penerapan CSR di perusahaan akan membentuk iklim saling percaya pada dalamnya, yg akan meningkatkan motivasi serta komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, serta stakeholders yg lain jua sudah terbukti lebih mendukung perusahaan yg dinilai bertanggung jawab sosial, sebagai akibatnya menaikkan peluang pasar serta keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan memberitahuakn kinerja yg lebih baik serta laba serta pertumbuhan yang semakin tinggi (Kiroyan, 2006).

Menurut Abidin (2006), aktivitas CSR telah ditinjau sebagai kewajiban serta tanggung jawab kegiatan serta taktik buat menjamin keberlangsungan hidup, implementasi nilai-nilai perusahaan serta kegiatan yang bisa menaikkan gambaran perusahaan. Beragamnya informasi sosial yang menjadi perhatian pada tengah-tengah rakyat serta adanya keterbatasan pada perusahaan, seperti kemampuan finansial serta asal daya manusia menghadapkan perusahaan pada tugas buat memilih info sosial yang sempurna sehingga dapat mencapai tujuan yg dibutuhkan berdasarkan pelaksanaan CSR. Sumardy (2006) menyatakan bahwa perusahaan wajib melakukan cause-business-objective analysis, yaitu analisis secara mendalam kesesuaian acara CSR menggunakan misi serta tujuan perusahaan atau merek. Adanya pendapat berdasarkan aneka macam kalangan akan pentingnya intregrasi antara kegiatan CSR serta usaha. Jika intregrasi ke 2 kegiatan ini bisa berjalan sesuai dengan tujuannya, diperlukan terjadi sinergi yg sanggup menguntungkan perusahaan. Khususnya buat kegiatan marketing, beberapa grup menamakan intregrasi ini sebagai CSR marketing, yaitu kegiatan pemasaran seperti pengembangan produk serta promosi yg dihubungkan menggunakan kegiatan CSR (Anonim, 2007). 

Kotler serta Keller (2006) membicarakan bahwa CSR marketing yang berhasil akan menaruh poly keuntungan bagi perusahaan. Keuntungan tadi diantaranya merupakan lebih mudahnya akuisisi customer serta pasar niche baru, kenaikan penjualan, serta terbentuknya bukti diri merek yg baik. Hanya saja, agar kegiatan CSR bisa efektif serta menaruh efek yg besar , diharapkan taktik serta acara yg berkala menggunakan baik. Terdapat empat hal yg harus diperhatikan pada menyusun taktik kegiatan CSR marketing, yaitu:
  1. Kegiatan CSR wajib memiliki penekanan, merupakan perusahaan harus memilih satu atau beberapa tema yang sebagai penekanan kegiatan CSR-nya, contohnya tema pendidikan, lingkungan hayati, kesehatan, atau kesenjangan sosial. Tidak memiliki tema yang menjadi fokus akan mengaburkan tujuan kegiatan itu serta bisa menghambat impak yg diharapkan. 
  2. Kegiatan CSR wajib dilakukan secara konsisten. Jika perusahaan melakukan kegiatan CSR-nya secara konsisten pada jangka panjang, kemungkinan akbar akan mendapat kepercayaan berdasarkan stakeholder serta akan menarik mereka buat ikut berpartisipasi. 
  3. Kegiatan CSR dihubungkan dengan merk yang dimiliki perusahaan, bertujuan buat membetuk identitas merk yang baik lewat aktivitas CSR. 
  4. Perusahaan memerekkan kegiatan CSR itu sendiri, misalnya menggunakan cara memberi nama, membuat logo atau slogan tentang aktivitas CSR tadi. Dengan demikian dibutuhkan perusahaan lebih gampang mengkomunikasikan kegiatan CSR mereka kepada stakeholder-nya.
Menurut Kotler serta Lee (2005), kegiatan CSR marketing terdiri menurut enam bentuk, diantaranya corporate cause promotion, cause-related marketing, corporate social marketing, corporate philanthropy, community volunteering serta socially responsibility business practices. Ketika sebuah perusahaan menyatakan bahwa sebagian berdasarkan keuntungan atau penjualan produknya akan disumbangkan buat aktivitas sosial eksklusif, maka perusahaan tersebut sedang melakukan apa yang disebut sebagai cause-related marketing. 

Cause-related marketing sebagai populer pada global usaha pada beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 1990 nilai menurut cause-related marketing meningkat lebih dari 500% tanpa adanya tanda yg menurun pada lalu hari. Selama periode tahun 1990-an cause-related marketing menjadi alat pemasaran yg efektif bagi perusahaan. Popularitas cause-related marketing terus semakin semakin tinggi sejak terjadinya tsunami di Asia dalam tahun 2004 serta menjadi tren dikalangan perusahaan (Endacott, 2004). 

Polonski serta Speed (2001) menjelaskan cause-related marketing merupakan bantuan menurut perusahaan pada penerima atau cause yg berbasis berdasarkan jumlah pendapatan yg diterima perusahaan menurut output penjualan produk, Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan cause-related marketing merupakan kegiatan pemasaran, suatu cara agar perusahaan sebagai baik dengan melakukan aktivitas yang baik. Manfaat dari cause-related marketing menurut Endacott (2004) adalah situasi yang saling menguntungkan bagi bisnis, penerima (cause) serta konsumen. Konsumen memperoleh kesempatan buat bisa membantu cause. Penerima (cause) program cause-related marketing akan memberikan laba bagi perusahaan berupa publisitas yang dapat meningkatkan penjualan produk serta good corporate citizen. Media primer perusahaan pada mempromosikan kegiatan cause-related marketing merupakan dengan memakai iklan di banyak sekali media. 

Iklan cause-related marketing merupakan bentuk presentasi nonpersonal serta kenaikan pangkat ilham, barang serta jasa yg dikendalikan sang perusahaan tertentu buat memberitahukan serta membujuk segmen pasar yang dipilih sang perusahaan tersebut. Iklan tadi merupakan komunikasi searah dari pembuat pada konsumen, yang bertujuan buat menyampaikan pesan, memberitahukan produk serta jasa, atau buat menarik konsumen serta merangsang pembelian melalui kampanye cause-related marketing. Oleh karena itu, iklan mengenai cause-related marketing yg ditayangkan melalui mengembangkan media wajib dirancang menggunakan baik sebagai akibatnya menarik pemirsanya (Belch serta Belch 2004).

Cause-related marketing meningkatkan pengetahuan yg majemuk terhadap imbas serta kinerja pemasaran. Sen serta Bhattacharya (2001) membicarakan adanya dampak yg positif berdasarkan cause-related marketing yg berdampak meningkatnya persepsi konsumen terhadap citra perusahaan. Webb serta Mohr (1998) menyatakan adanya konsumen yang membeli produk dengan penawaran acara cause-related marketing sang perusahaan nir menaruh impak positif terhadap konduite pembelian produk. Sebuah studi yg dilakukan oleh Creyer serta Ross (1997) memperlihatkan konsumen akan memberikan perhatian lebih kepada perusahan yg memiliki etika yang baik serta menjauhi perusahaan yg tidak beretika. Lebih lanjut, Barone et al. (2000) menemukan konsumen yg berpindah pilihan produk kepada perusahaan lain karena perusahaan tersebut menerapkan acara cause-related marketing, yakni terjadinya penilaian secara umum oleh konsumen yang lebih tertarik kepada perusahaan yang melakukan acara cause-related marketing ketika menunjukkan produk baru. 

Cause-related marketing dapat menaikkan aktivitas pemasaran produk tergantung pada pola kampanye acara melalui berbagai macam taktik yang sempurna. Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan bahwa jenis taktik yang dilakukan dalam cause-related marketing terdiri menurut 2 bentuk, yaitu cause-related marketing strategis serta cause-related marketing taktis. Perusahaaan pada mendeterminasikan cause-related marketing strategis serta taktis melalui empat pendekatan, yaitu kesesuaian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment) serta keterlibatan manajemen (management involvement). Determinasi empat faktor tadi apabila mempunyai nilai yg rendah biasanya memperlihatkan perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing secara taktis, sedangkan apabila memiliki nilai yang tinggi memberitahuakn perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing secara strategis. Pendekatan cause-related marketing tidak sepenuhnya wajib secara taktis juga strategis, namun setidaknya mempunyai ciri dari bentuk taktis serta strategis. Empat dimensi tersebut sebagai dasar yg baik bagi perusahaan buat terlibat dalam cause-related marketing. 

Penelitian yg dilakukan sang peneliti merupakan replikasi berdasarkan eksperimen penelitian Brink et al (2006). Program cause-related marketing diduga berpengaruh positif dalam membangun loyalitas merek. Loyalitas merupakan konsep krusial khususnya pada syarat pasar menggunakan tingkat pertumbuhan yang sangat rendah namun tingkat persaingannya sangat ketat. Keberadaan konsumen yg loyal terhadap suatu merek sangat dibutuhkan agar perusahaan bisa bertahan hidup. Adanya aktivitas cause-related marketing diperlukan bisa menaikkan loyalitas pelanggan terhadap merek produk. Strahilevitz serta Myers (1998) menjelaskan bahwa hubungan antara cause-related marketing menggunakan loyalitas merek bisa ditingkatkan dengan adanya keterlibatan konsumen. Kampanye cause-related marketing lebih efektif menggunakan memberikan kabar yg luas pada konsumen supaya membeli produk serta menyumbangkan sebagian dananya untuk aktivitas filantropi. Keterlibatan konsumen bisa dijadikan menjadi faktor pemoderator antara cause-related marketing menggunakan loyalitas terhadap merek. Keberadaan konsumen yang loyal terhadap suatu merek sangat diperlukan supaya perusahaan dapat bertahan hayati. 

1. Konsep Pemasaran Holistik 
Kotler serta Keller (2006) mengungkapkan bahwa pemasaran keseluruhan merupakan konsep yg berbasis pengembangan, desain, implementasi serta aktivitas proses pemasaran yang dikenali mempunyai nilai ketergantungan yang tinggi. Pendekatan keseluruhan didasari pada cara buat mengatasi menyebarkan pertarungan pemasaran yg kompleks serta luas. Karakteristik pemasaran keseluruhan merupakan integrasi menurut empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) serta pemasaran sosial (societal marketing). 

Pemasaran sosial (societal marketing) merupakan konsep yg memandang bahwa organisasi berusaha memilih apa hasrat, kebutuhan, serta ketertarikan atau kepentingan berdasarkan sasaran pasar. Organisasi lalu menaruh nilai superior pada konsumen menggunakan cara-cara yang bisa mempertahankan atau menaikkan kesejahteraan konsumen serta masyarakat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar untuk dapat menyeimbangkan tiga pertimbangan dalam merogoh keputusan tentang kebijakan pemasaran, yaitu laba perusahaan, kepuasan konsumen, serta kepentingan rakyat. Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, bonus serta teori pertukaran dipakai buat memaksimalkan respon yang bersifat komersial (Kotler serta Lee, 2005). 

Pemasaran sosial menggunakan konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan serta pengujian konsep produk, komunikasi yg diarahkan, anugerah fasilitas, bonus-bonus serta perubahan teori buat memaksimumkan tanggapan kelompok sasaran. Asumsi dasar penelitian ini merupakan bahwa konsep pemasaran sosial yang condong untuk aktivitas komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi aktivitas pengembangan warga yg bersifat non profit. Kotler serta Keller (2006) menyebutkan:

“Social marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements of traditional approaches to social change in an integrated planning and action framework and utilities advances in communication technology and marketing skills”

Pemasaran sosial akan dibawa ke rakyat sang institusi yang berkepentingan buat mengubah perilaku masyarakat, yaitu suatu produk sosial. Bentuk menurut produk sosial diantaranya berupa wangsit sosial, yaitu bentuk menurut keyakinan, sikap atau nilai. Ide sosial yg dipasarkan dapat juga merupakan sebuat sikap atau sebuah nilai.

Belch serta Belch (2004) mengungkapkan bahwa pertukaran nilai menjadi konsep sentral berdasarkan societal marketing serta pertukaran ini nir hanya terbatas pada pertukaran uang buat barang atau jasa. Sebagai model misalnya dalam interaksi antara perusahaan donor serta lembaga nirlaba terkait menggunakan suatu info sosial. Lembaga nirlaba akan mendapat sejumlah donasi menurut perusahaan, namun demikian perusahaan sponsor tidak menerima bentuk keuntungan material serta kontribusi yg diberikan. Donasi yg diberikan sang perusahaan adalah pertukaran buat keperluan sosial serta psikologis bagi perusahaan, seperti misalnya feelings of goodwill serta altruisme. 

2. Cause-Related Marketing 
Permulaan berdasarkan frase cause-related marketing ditujukan kepada perusahaan kartu kredit American Express yg menjalankan strategi pemasarannya dalam tahun 1983. Tujuan awal perusahaan adalah mempertinggi jumlah pengguna kartu kredit, yang lalu berkembang menggunakan strategi pemasaran lanjutan buat berkomitmen buat mendonasikan sebagian dana, guna restorasi patung Liberty pada Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji buat mendonasikan uang sejumlah satu cent dari penggunaan kartu kredit, serta satu dollar menurut penerbitan kartu kredit baru, selama empat bulan di tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit sebanyak 28 persen, dibandingkan dengan periode yg sama tahun sebelumnya. Kampanye yang dilakukan American Express buat memperbaiki patung Liberty menghasilkan dana sebanyak US$ 1,7 Milyar (Westberg, 2004). 

Varadarajan serta Menon (1988) mempublikasikan literatur akademis yang berhubungan dengan cause-related marketing yg mengungkapkan keluarnya konsep sejalan dengan teori yg hampir sama menggunakan corporate social responsibility:

Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives 

Cause-related marketing merupakan aktivitas yang khusus yaitu perusahaan berjanji pada konsumen buat mendonasikan sumberdaya perusahaan dari setiap penjualan produk atau jasa kepada orang-orang yg membutuhkan donasi. Kampanye cause-related marketing memiliki dua tujuan, yaitu buat mendukung kegiatan sosial serta untuk menaikkan hasil pemasaran. Program cause-related marketing dilaksanakan setidaknya sang tiga stakeholders, yaitu konsumen perusahaan, shareholders serta satu stakeholder yg nir berafiliasi eksklusif dengan aktivitas komersial berdasarkan perusahaan (Varadarajan serta Menon, 1988). 

Menurut Polonski serta Speed (2001), banyak laba yang sanggup diperoleh sang perusahaan serta atau mitranya dengan melakukan cause-related marketing. Keuntungan pertama adalah menarik para konsumen baru, yaitu orang yg sedari awal telah tertarik untuk melakukan cause yang lalu dipromosikan sang perusahaan. Keuntungan kedua adalah tersedianya dana buat membiayai aktivitas sosial eksklusif. Manfaat ketiga, aktivitas sosial bisa ditentukan oleh perusahaan, yg melihat keterkaitan antara produknya dengan kegiatan sosial eksklusif. Perusahaan yg melakukan cause-related marketing akan bisa mendapatkan ceruk pasarnya menggunakan lebih sempurna. Cause-related marketing akan menghubungkan antara produk menggunakan info tertentu, serta konsumen yang tertarik menggunakan gosip tersebut akan mengetahui asosiasi antara produk eksklusif menggunakan info yang sebagai perhatiannya. Keempat, output penjualan mampu meningkat karena tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan dengan pihak-pihak yg mempunyai kepedulian yg sama. Keuntungan yang terakhir merupakan perusahaan akan menikmati identitas merek yang positif.

Sundar (2007) menyatakan adanya penjelasan yg kentara perbedaan diantara cause-related marketing dengan philanthropy perusahaan serta sponsorship. Cause-related marketing tidak termasuk dalam philanthropy perusahaan serta sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan uang pada pihak nonprofit, berdasar pada jumlah produk yg bisa terjual pada konsumen. Program khusus yg dilakukan dalam cause-related marketing adalah penjualan serta promosi suatu produk. Donasi acara murni dipengaruhi sang perusahaan. Sponsorship adalah aktivitas yg melibatkan uang serta barang kepada pihak lain yang bertujuan mengenalkan produk tertentu serta nama perusahaan melalui aktivitas yg diadakan sang pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship menggunakan pihak lain melalui perjanjian yg sudah disepakati sang kedua pihak tentang jumlah serta cara donasinya. Perbedaan antara cause-related marketing dengan philanthropy perusahaan serta sponsorship tersaji dalam Tabel  berikut:

Tabel Perbedaan antara Philanthropy Perusahaan, Sponsorships serta Cause-Related Marketing
Aktivitas

Philanthropy Perusahaan

Sponsorships

Cause-Related Marketing

Fokus Utama
Organisasi
Produk serta Organisasi
Produk
Susunan Waktu
Berkelanjutan
Terbatas
Dapat berkelanjutan serta terbatas
Organisasi
Manajemen Puncak
Departemen Pemasaran
Departemen Pemasaran
Tujuan
Meningkatkan kompetensi organisasi buat aktivitas sosial
Meningkatkan brand awareness serta target market
Meningkatkan penjualan produk
Asosiasi serta Sumber daya
Tidak ada
Asosiasi untuk pengenalan serta perhatian konsumen terhadap produk
Asosiasi supaya konsumen mempunyai donasi sosial
Hasil Kunci
Tidak ada
Sikap, perilaku serta perhatian konsumen
Sikap, perilaku serta perhatian konsumen
Pengaruh terhadap penjualan
Tidak ada
Berpengaruh secara nir langsung
Berpengaruh secara langsung
Penerimaan dana
Tidak ada
Eksklusif pada sponsor
Terbagi pada perusahaan serta sponsor

Menurut Kotler serta Lee (2005), terdapat berbagai macam cara untuk melakukan cause-related marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang tertentu setiap produk terjual, (2) jumlah uang tertentu setiap aplikasi terhadap produk jasa tertentu, (3) persentase tertentu dari penjualan produk, (4) proporsi yang tidak ditentukan sebelumnya dari penjualan produk, (5) perusahaan memberikan kontribusi sejumlah kontribusi dari konsumen, (6) persentase tertentu dari keuntungan bersih, (7) penawarannya mungkin terkait dengan satu produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku untuk kerangka waktu tertentu atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan menetapkan batas atas dari kontribusi (bukan dengan waktu). Sumber: Sundar, (2007)

Dari berbagai contoh cause-related marketing di Indonesia, terdapat kecenderungan menggunakan jumlah uang tertentu pada setiap produk yang terjual, seperti yang dilakukan PT Unilever Indonesia Tbk terhadap produk sabun Lifebouy serta produk es krim Walls. PT. Unilever Indonesia Tbk adalah salah satu perusahaan yang memiliki perhatian lebih terhadap kegiatan tanggung jawab sosial. PT. Unilever Indonesia menyadari pentingnya memberi serta berbagi, bukan semata untuk meningkatkan reputasi, tetapi membantu perusahaan untuk terus tumbuh serta berkembang. Bagi Unilever Indonesia (UI), tanggung jawab sosial tidak terpisahkan dari bisnis. Setiap hari, begitu banyak orang Indonesia memakai produknya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, kesehatan, serta kebersihan. Mereka ikut membantu perusahaan untuk terus tumbuh serta menjadi perusahaan fast moving consumer goods terkemuka. Berbagai manfaat dari pertumbuhan bisnis telah menjadi bagian dari budaya perusahaan yang telah diwujudkan dengan mengikutsertakan usaha kecil menengah (UKM) dalam kegiatan produksi, menciptakan kesempatan kerja, serta memberikan manfaatnya kembali kepada masyarakat (Susanto, 2007).

Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan bagi keluarga Indonesia untuk mendukung program peningkatan kesadaran masyarakat tentang kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp. 10- pada setiap pembelian sabun batang Lifebouy. Hasil yang terkumpul sejauh ini telah dirasakan manfaatnya oleh 10.000 siswa SD yang memperoleh modul interaktif mengenai perawatan kesehatan pribadi. Bahkan dana tersebut cukup untuk membiayai program dari sekolah ke sekolah, yang mengajak anak-anak menjadi agen perubahan dalam keluarga mereka serta mendorong terciptanya gaya hidup yang lebih sehat. Ribuan anak turut serta dalam memberikan cap kedua tangan mereka di atas sebuah spanduk sebagai ungkapan tekad mereka untuk mendukung peningkatan kebersihan. Perusahaan tidak saja mengembangkan iklan serta promosi yang bertanggung jawab, tetapi juga memadukan kampanye sosial kesehatan bersama promosi produk. Di dalam komunikasi, perusahaan tidak saja menyampaikan tentang manfaat produk itu sendiri, tetapi juga pesan-pesan pendidikan mengenai kesadaran hidup sehat (Susanto, 2007). 

Selain program “Lifebouy Berbagi Sehat”, PT. Unilever Indonesia juga melakukan program cause-related marketing melalui produk es krim Walls. Berangkat dari rasa keprihatinan serta kepedulian terhadap kemajuan pendidikan anak Indonesia saat ini, Unilever menyelenggarakan program “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta” yang bertujuan untuk membantu menyekolahkan anak-anak kurang mampu dengan dana yang didapat dari hasil penjualan es krim Walls serta akan disumbangkan melalui Dompet Dhuafa. Melalui program “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta”, Wall’s akan menyumbangkan Rp 1.000 dari setiap kotak es krim Viennetta Kurma serta varian lainnya yang terjual, kepada 1.000 anak kurang mampu yang berprestasi di 33 propinsi di Indonesia melalui lembaga terpercaya, Dompet Dhuafa. Program “Wall’s Berbagi 1.000 Kebaikan Bersama Viennetta” diselenggarakan mulai September 2007, menjelang bulan suci Ramadhan, yang merupakan momen istimewa untuk berbagi serta memberi kepada sesama. Program ini berakhir pada Desember 2007 (Anonim, 2007) 

3. Cause-Related Marketing Strategis serta Taktis
Menurut Mohr et al. (2001), kegiatan cause-related marketing dalam pemasaran memiliki hubungan yang signifikan antara perusahaan, organisasi nonprofit serta konsumen. Namun, pengaruh yang dihasilkan akan berbeda-beda tergantung kepada situasi tertentu, yakni pola kampanye program cause-related marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam kampanye cause-related marketing terdiri dari dua bentuk, yaitu pola strategis serta taktis. Pola cause-related marketing taktis memiliki perbedaan yang mendasar dengan pola cause-related marketing strategis, namun memiliki dimensi yang sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment), serta keterlibatan manajemen (management involvement)

Gambar Skema dari cause-related marketing taktis serta strategis

Sumber : Brink et al. (2006).

Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing dengan cara strategis adalah komitmen perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing dalam jangka waktu yang lama, keterlibatan manajemen yang menyeluruh dari puncak hingga bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan dalam program besar, serta adanya kesesuaian hubungan yang tinggi yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, brand image, positioning serta target pasar. Perusahaan yang menggunakan cause-related marketing dengan cara taktis adalah komitmen perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing dalam jangka waktu yang terbatas serta dalam periode waktu tertentu, keterlibatan manajemen dalam program sebatas kelompok yang dibentuk dalam kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan tidak sebesar strategic cause-related marketing, serta kesesuaian hubungan yang tidak tinggi yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, brand image, positioning serta target pasar (Varadarajan serta Menon, 1988). 

a. Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan kegiatan cause-related marketing diyakini menaruh pengaruh positif bagi perusahaan. Namun demikian, dampak positif tadi nir terbentuk begitu saja. Konsumen tidak secara mudah menerima inisiatif sosial buat lalu memberikan reward pada perusahaan. Asosiasi positif yg terbentuk menurut suatu inisiatif sosial akan bergantung pada evaluasi konsumen terhadap inisiatif tersebut pada hubungannya dengan perusahaan (Becker et al, 2006).

Salah satu variabel yang memiliki peran penting dalam proses evaluasi konsumen terhadap aktivitas cause-related marketing adalah perceived congruence (Ellen et al, 2006). Konsumen akan bersandar pada level congruence atau kesesuaian antara perusahaan sponsor serta aktivitas filantropi untuk memutuskan apakah pantas bagi perusahaan tersebut untuk terlibat dalam suatu sponsorship spesifik (Drumwright et al, 1996). Konsumen memiliki keyakinan yang kuat bahwa perusahaan seharusnya mensponsori isu-isu sosial yang memiliki asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). 

Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan bahwa dalam cause-related marketing, congruence atau fit didefinisikan sebagai kesesuaian hubungan yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, brand image, positioning serta target pasar. Congruence atau fit berasal dari asosiasi bersama antara merek serta filantropi, seperti misalnya dimensi produk, afinitas dengan target segmen spesifik, corporate image associations yang terbentuk akibat aktivitas merek terdahulu dalam domain sosial spesifik, serta keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau merek pada domain sosial (Menon serta Khan, 2003). Definsi lain mengenai congruence diberikan oleh Becker et al. (2006) sebagai kesesuaian antara perusahaan serta isu sosial yang dapat diperoleh dari misi, produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau berbagi bentuk asosiasi kinci lainnya.

Becker et al. (2006) mengemukakan bahwa peran penting congruence didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh pada kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu pada suatu hubungan, misalnya meningkatkan elaborasi mengenai perusahaan, inisitif sosial, serta atau hubungan itu sendiri ketika dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal serta informasi yang ada. Alasan kedua adalah congruence berpengaruh pada tipe spesifik yang timbul dalam pikiran, seperti misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif serta low congruence itu sendiri dapat dinilai negatif. Alasan ketiga adalah congruence mempengaruhi evaluasi dari dua objek. Jika konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka terdapat kecenderungan untuk mengurangi sikap mereka terhadap perubahan serta inisiatif sosial serta mempertanyakan motif dari apa yang dilakukan oleh perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). Chandon et al. (2000) menjelaskan bahwa incongruent yang dirasakan lemah atau tidak ada pada aliansi antara organisasi menunjukkan bahwa konsumen membutuhkan elaborasi konitif yang lebih dalam pada informasi yang ada untuk menentukan alasan dari aliansi tersebut. 

b. Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) dalam Wymer serta Sergeant (2006), salah satu dimensi dalam cause-related marketing adalah durasi. Usia yang panjang dalam suatu hubungan terlihat adalah penting bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis dengan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan durasi waktu yang panjang adalah bentuk yang ideal. Ketika hubungan tersebut berjalan dengan waktu yang lama, maka akan terbentuk hubungan partnership yang akan membentuk komitmen perusahaan yang sejalan dengan misi dari organisasi non profit. Sagawa serta Segal (2001) dalam Wymer serta Sergeant (2006) mengambil suatu pandangan yang lebih pragmatis, yakni dengan merekomendasikan para mitra atau organisasi non profit untuk tidak mencari keuntungan, dengan mengenali manfaat-manfaat yang diharapkan dari para pendukung bisnis (perusahaan) untuk memastikan bahwa para mitra bisnis mendapat publisitas serta pengenalan yang besar untuk dukungan mereka. 

Drumwright (1996) membicarakan bahwa beberapa perusahaan usaha tidak tertarik terhadap interaksi-interaksi jangka panjang pada acara cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan dengan organsiasi non profit melalui pembatasan ketika. Perusahaan memandang hubungan-hubungan pada jangka waktu yg lebih pendek dipercayai bisa memperoleh sasaran hasil yg lebih baik, serta memperoleh lebih poly manfaat-manfaat dalam hal biaya -biaya yang lebih rendah. Perusahaan melakukan aktivitas bisnis menggunakan tujuan primer buat mencari keuntungan mengakibatkan pengalaman para pemasar cenderung untuk mempunyai asa-asa yg lebih realistis.

Menurut Sundar (2007), masih ada dua bentuk durasi acara cause-related marketing dari waktu, yaitu:
  1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama menggunakan pihak organisasi non profit dalam jangka waktu yang pendek. Sebagai model, perusahaan melakukan acara cause-related marketing pada jangka ketika tiga bulan.
  2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama menggunakan pihak organisasi non profit pada jangka waktu yang panjang, namun tidak secara permanen. 
Hubungan antara cause-related marketing perusahaan dengan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif dapat meningkatkan brand equity melalui kerjasama dalam waktu yang lama dengan organisasi tersebut. Asosiasi kedua pihak menciptakan ingatan jangka panjang (long term memory). Perusahaan serta merek-merek dari perusahaan dengan mudah dapat mengatur kembali asosiasi network dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yang menghubungkan antara perusahaan serta konsumen. Melalui penggunaan yang efektif dari prinsip-prinsip pelajaran dasar asosiasi, perusahaan dapat meningkatkan dengan mudah serta kuat investasi mereka dalam hal yang terkait dengan cause-related marketing (Till serta Nowak, 2000).

c. Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan cause-related marketing seharusnya tidak dianggap sebagai cost semata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan harus yakin bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan cause-related marketing dengan meningkatnya apresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan yang bersangkutan. Pelaksanaan cause-related marketing secara konsisten dalam jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya dapat memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dari segi penyampaian serta peruntukannya, banyak perusahaan yang sudah well-planned serta bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga sangat sistematis serta metodologis, tetapi juga masih banyak perusahaan yang pengeluaran dana CSR-nya berbasis kepada proposal yang diajukan masyarakat (Susanto, 2007).

Cause-related marketing dapat dilihat sebagai perwujudan perhatian perusahaan terhadap kegiatan sosial. Pada dasarnya program cause-related marketing memiliki dua tujuan utama, yaitu meningkatkan performa perusahaan serta memberikan bantuan sosial yang berguna, dengan meningkatkan anggaran yang sebagian dari keuntungan atau penjualan produknya akan disumbangkan untuk kegiatan sosial tertentu. Dalam beberapa kasus, perusahaan yang melakukan cause-related marketing tidak memiliki anggaran yang tetap sepanjang waktu untuk kegiatan tersebut. Porsi dari anggaran cause-related marketing lebih banyak digunakan melalui iklan yang ditayangkan di suratkabar atau televisi untuk mempromosikan kegiatan cause-related marketing tersebut. Hai ini dilakukan agar memperoleh respon yang positif dari konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing, yang secara tidak langsung di sisi lainnya adalah produk yang berkaitan dengan program cause-related marketing dapat dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan serta Menon, 1988).

d. Keterlibatan Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) dalam pemasaran baru dapat menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat oleh suatu perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada di dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen serta dukungan dengan penuh antusias dari karyawan akan menjadikan program-program tersebut tidak berjalan dengan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari program-program tersebut akan memberikan arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.

Miller (2002) menjelaskan faktor utama yang dapat meningkatkan kesetiaan pelanggan dalam suatu kegiatan pemasaran yang terkait dengan cause-related marketing adalah menyatakan terlibat dalam program tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan kata lain, cause-related marketing adalah penting bagi suatu kemitraan untuk tidak mencari keuntungan, bahwa dengan mengintegrasikan donasi, sukarelawan-sukarelawan karyawan serta manajemen puncak perusahaan yang dapat mendukung program cause-related marketing adalah penting bagi publik. Hal ini menunjukkan adanya komitmen yang tinggi dari perusahaan untuk kemitraan dalam jangka waktu yang panjang, yang pada akhirnya akan membangun loyalitas dengan konsumen. Ketika mengembangkan suatu program cause-related marketing, stakeholder perusahaan perlu memahami keterkaitan dengan kemitraan tersebut, yang paling mudah dikomunikasikan dengan memilih suatu program yang sesuai dengan kemampuan perusahaan dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial. 

Kegiatan cause-related marketing yg herbi CSR mempunyai tahapan-tahapan pada pelaksanaannya. Menurut Susanto (2007), tahapan-tahapan tadi antara lain:

1. Membentuk tim kepemimpinan
Biasanya tim kepemimpinan mencakup perwakilan dari dewan direksi, manajemen puncak, serta pemilik serta sukarelawan dari berbagai unit dalam perusahaan yang terkena dampak atau terlibat dengan isu-isu seputar cause-related marketing dalam CSR.

2. Merumuskan definisi program
Perumusan definisi program akan menjadi landasan bagi aktivitas penilaian selanjutnya, dapat juga diidentifikasi sebagai nilai-nilai kunci yang memotivasi perusahaan. Melibatkan orang-orang pada setiap tingkatan dalam perusahaan akan lebih menjamin tercapainya tujuan serta penerimaan dari aktivitas cause-related marketing dalam CSR.

3. Melakukan kajian terhadap dokumen, proses, serta aktivitas perusahaan
Dokumen-dokumen ini mencakup misi, kebijakan, code of conduct, prinsip-prinsip serta dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara khusus memiliki proses pengambilan keputusan yang spesifik serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari kegiatan operasionalnya, aktivitas-aktivitas yang secara langsung berhubungan dengan produk serta layanan yang dihasilkan. 

4. Mengidentifikasi serta melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan informasi-info krusial yang sedang hangat dalam tanggung jawab sosial. Oleh karenanya diskusi dengan stakeholder kunci, khususnya pihak eksternal sangat penting guna memetakan kepentingan yg mereka miliki. Adalah krusial untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan diskusi, lantaran stakeholder bisa melihat menjadi kesempatan buat mengemukakan pandangan mereka tentang perilaku perusahaan, Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder ini merupakan memetakan definisi mereka tentang keberhasilan pada rangka kerjasamanya dengan perusahaan.

Periklanan pada Cause-Related Marketing 
Menurut Belch serta Belch (2004), iklan yang dikeluarkan perusahaan untuk menanamkan suatu ide, citra atau kesan tertentu disebut iklan korporat. Posisi strategis iklan korporat dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu: image advertising, event sponsorship, advocacy advertising, serta cause-related advertising. Seluruh iklan tersebut diposisikan dalam konteks upaya perusahaan untuk membangun citra serta reputasi, meneguhkan sikap terhadap suatu masalah sosial, atau mengundang keterlibatan masyarakat. Fungi iklan semacam itu bukan untuk mengenalkan produk, apalagi membujuk orang untuk membeli, tetapi arahnya sebagai alat kehumasan (public relations). Iklan dilakukan untuk memantapkan citra perusahaan atau memperkuat iklan-iklan produk yang ditawarkan perusahaan. Lebih dari itu, iklan korporat terkadang digunakan untuk membentuk opini pada kalangan tertentu, misal investor, pialang saham, pejabat pemerintah, mitra usaha, eksekutif serta para profesional, atau khalayak spesifik. 

Salah satu metode dalam pemasaraan yang saat ini cukup populer di dunia adalah cause-related marketing yang membangun merek dengan membuat suatu hubungan yang sinergis antara perusahaan dengan organisasi amal. Gaya pemasaran yang berdimensi sosial serta empatik dapat melibatkan konsumen untuk berpartisipasi, mengajak konsumen untuk menyumbang sambil membeli produk. Warna promosi yang melibatkan konsumen agar mengeluarkan uang untuk belanja sekaligus berderma demi kemanusiaan atau mengatasi masalah sosial ini makin populer. Perusahaan menerapkan pemasaran berdimensi sosial (cause-related marketing) dengan menyisihkan sebagian dana dari penjualan atau laba untuk membantu memecahkan problema sosial. 

Beberapa promosi cause-related marketing bukan saja membebaskan perusahaan untuk menyediakan dana promosi tambahan, tetapi malah meraup dana melalui konsumen. Dana promosi yang dihimpun digunakan untuk menunjukan langkah alat kehumasan yang peduli. Keuntungan perusahaan diperoleh dari publisitas isu sosial yang membutuhkan donasi amal yang cukup besar. Gaya promosi simpatik semacam ini banyak diterapkan pada era tahun 2000-an Sejak tahun 1990, investasi promosi yang ditanamkan perusahaan dalam program cause-related marketing terus meningkat sebesar 300%, mencapai $ 828 juta di tahun 2002 (Kotler serta Lee, 2005).

Keterlibatan Konsumen dalam Produk (Consumer Product Involvement) 
Berdasarkan Traylor (1981), keterlibatan produk didefinisikan sebagai derajat tingkat kepentingan seorang konsumen untuk membeli suatu produk, sedangkan keterlibatan konsumen dalam produk didefinisikan sebagai kepentingan personal yang terlibat dengan kategori dari produk. Dimensi dari keterlibatan menurut Quester serta Lim (2003) terdiri atas:

1. Interest (harapan)
Interest adalah keinginan seseorang terhadap suatu produk, yang diartikan memiliki nilai yang penting. Elemen interest adalah kepentingan pada produk, keinginan pada produk serta permasalahan pada produk.

2. Pleasure (kesenangan)
Pleasure adalah nilai hedonis dari produk yang memiliki kemampuan untuk menyediakan kenyamanan serta kesenangan. Elemen dari pleasure adalah kesenangan ketika membeli produk serta kesenangan memiliki produk.

3. Sign (pertanda)
Sign adalah nilai produk yg diekspresikan sang seseorang. Elemen sign berupa personifikasi konsumen pada menentukan produk.

4. Risk Importance (resiko krusial)
Risk importance adalah kepentingan yang didapat dari konsekuensi negatif yang diasosiasikan pada pilihan produk buruk. Elemen risk importance terdiri dari nilai penting ketika melakukan kesalahan dalam memilih produk, nilai penting ketika produk tidak nyaman serta ketika membuat kesalahan pilihan.

5. Risk Probability (resiko kemungkinan) 
Risk probability adalah kemungkinan membuat pilihan produk yang buruk. Elemen risk probability adalah ketidakpastian ketika memilih, ketidakpastian dalam mengambil produk serta kerumitan dalam mengambil keputusan.

Quester serta Lim (2003) mengungkapkan bahwa produk dengan keterlibatan tinggi adalah produk yang memiliki nilai aspek yang tinggi pada keterlibatan konsumen didalamnya, yaitu ketertarikan yang tinggi untuk memilih produk (interest), ekspektasi yang tinggi (pleasure) untuk memilih produk, ekspresi kepuasan (sign) dapat memiliki produk sesuai pilihan, serta resiko dalam membuat pilihan (risk importance) serta mengambil keputusan (risk probability) yang tinggi pada produk. 

Menurut Assael (1998), definisi kognitif dari loyalitas merek menunjukkan loyalitas merepresentasikan komitmen serta keterlibatan konsumen dalam produk. Loyalitas terhadap merek akan tinggi ketika konsumen secara personal terlibat dengan merek serta melakukan pembelian. Hal ini menunjukkan keterlibatan produk tinggi, sehingga merek merupakan sumber identifikasi diri. Contoh produk dengan keterlibatan tinggi adalah telepon genggam, kosmetik, sepatu serta rokok. Apabila konsumen dalam membeli produk tanpa komitmen, maka keterlibatan konsumen pada produk rendah. Konsumen tidak memiliki opini yang kuat terhadap merek produk. Contoh produk dengan keterlibatan produk rendah adalah sabun, bolpen, serta sikat gigi.

Pembuatan keputusan konsumen tidak dapat dilepaskan dalam kaitannya dengan tingkat keterlibatan konsumen. Keterlibatan adalah tingkat kepentingan pribadi yang dirasakan atau minat yang dibangkitkan oleh stimulus di dalam situasi spesifik. Hawkins et al (2007) mengemukakan bahwa tingkat keterlibatan konsumen dalam pembelian dipengaruhi oleh kepentingan personal yang dirasakan serta ditimbulkan oleh stimulus. Tingkat keterlibatan konsumen dalam pengambilan keputusan ditentukan oleh pemrosesan informasi yang dapat mempengaruhi konsumen yang pada akhirnya menimbulkan pembuatan keputusan yang kompleks.

Assael (1992) menyatakan terdapat dua tipe keterlibatan konsumen yaitu keterlibatan situasional (situational involvement) serta keterlibatan tahan lama (enduring involvement). Keterlibatan situasional hanya terjadi seketika pada situasi khusus serta temporer sifatnya. Keterlibatan situasional tercipta dari simbol-simbol nilai kelompok rujukan pada suatu produk (bedge value) serta adanya resiko pembelian. Konsumen akan terlibat secara situasional pada produk-produk yang ada hubungannya dengan simbol-simbol serta nilai-nilai kelompok rujukan. Keterlibatan situasional disebabkan oleh adanya resiko dalam pembelian, karena konsumen merasakan adanya ketidakpastian mengenai keputusan pembelian serta adanya akibat buruk yang potensial dari pembuatan keputusan. 

Tipe keterlibatan tahan lama (enduring involvement) berlangsung lebih lama serta lebih permanen sifatnya, artinya tingkat keterlibatan konsumen terhadap suatu merek produk lebih memperhatikan resiko sosial yang mungkin diterima oleh konsumen. Keterlibatan tahan lama mendorong keputusan pembelian yang penuh pertimbangan, informasi alternatif banyak dikumpulkan, serta evaluasi alternatif pun dilakukan namun lebih cenderung loyal di kemudian hari. Informasi alternatif tidak banyak dikumpulkan dari kehadiran keterlibatan situasional. Keterlibatan situasional dapat berangsur menjadi keterlibatan permanen bila ternyata pembeliannya yang tiba-tiba tersebut memenuhi kebutuhan serta keingianannya yang telah lama tersimpan dalam benak konsumen (Kotler serta Keller, 2006).

Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Merek merupakan nama, tanda, simbol rancangan atau kombinasi dari hal-hal yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang kelompok penjual serta untuk membedakannya dari produk pesaing (Kotler serta Keller, 2006). Aaker (1991) dalam Brink et al. (2006) mendefinisikan loyalitas merek (brand loyalty) sebagai situasi yang merefleksikan seberapa suka pelanggan akan berpindah ke merek lain, khususnya saat merek melakukan perubahan baik itu pada harga atau fitur produk. Loyalitas merek yang didasarkan pada pelanggan merupakan inti dari ekuitas merek (brand equity) serta merupakan ukuran pelengkap yang dimiliki konsumen dari sebuah merek. Loyalitas merek secara kualitatif berbeda dengan dimensi utama dari ekuitas merek lainnya, karena lebih mengarah pada pengalaman penggunaan. Loyalitas merek tidak dapat muncul tanpa pembelian serta pengalaman penggunaan terlebih dahulu.

Loyalitas merek merupakan indikator kedekatan pelanggan pada sebuah merek. Bila loyalitas merek meningkat, keeratan kelompok pelanggan terhadap pesaing dapat dikurangi. Loyalitas merupakan indikator ekuitas merek yang berkaitan dengan penjualan serta laba masa depan. Beberapa pengertian loyalitas merek berikut ini didasarkan pada pendekatan sikap sebagai komitmen psikologis serta pendekatan keperilakuan yang tercermin dalam perilaku beli aktual. Dharmmesta (1999) telah mengklarifikasi istilah tersebut melalui definisi yang mencakup enam kondisi yang secara kolektif memadai sebagai berikut:

Loyalitas merek adalah (1) respon keperilakuan yaitu pembelian, (2) yang bersifat bias (nonrandom), (3) terungkap secara terus menerus, (4) oleh unit pengambilan keputusan, (5) dengan memperhatikan satu atau beberapa merek alternatif dari sejumlah merek sejenis, serta (6) merupakan fungsi proses psikologis (pengambilan keputusan evaluatif). 

Menurut definisi tersebut, penelitian tentang loyalitas merek selalu berkaitan dengan preferensi konsumen serta pembelian aktual, meskipun bobot relatif yang diberikan pada kedua variabel itu dapat berbeda, bergantung pada bidang produk, atau merek yang terlibat serta faktor situasional yang ada pada saat pembelian tertentu dilakukan. Pemahaman tentang hubungan antara loyalitas merek secara psikologis serta faktor-faktor situasional yang dapat mempengaruhi keputusan pembelian mencerminkan informasi kritis yang dapat mempengaruhi pengembangan rencana serta strategi pemasaran. Sebagai contoh, loyalitas sebuah merek yang rentan terhadap perbedaan harga atau terhadap kondisi kehabisan persediaan memerlukan perhatian yang lebih besar pada penetapan harga kompetitif serta alokasi sumber yang lebih banyak untuk mempertahankan distribusi dibandingkan dengan loyalitas merek yang kurang rentan terhadap dua variabel pemasaran tersebut.

Mowen serta Minor (1998) seperti dikutip dalam Dharmmesta (1999) menggunakan definisi loyalitas merek dalam arti kondisi konsumen mempunyai sikap positif terhadap sebuah merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, serta bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Definisi ini juga didasarkan pada kedua pendekatan yaitu keperilakukan serta sikap. Boulding et al (1993) dalam Dharmmesta (1999) juga mengemukakan bahwa terjadinya loyalitas merek pada konsumen disebabkan oleh adanya pengaruh kepuasan atau ketidakpuasan dengan merek tersebut yang terakumulasi secara terus-menerus, disamping adanya persepsi tentang kualitas produk. Definisi yang dikemukakan didasarkan pada kedua pendekatan, yaitu keperilakuan serta sikap. Jika pendekatan yang dipakai adalah pendekatan keperilakuan, maka perlu dibedakan antara loyalitas merek serta perilaku beli ulang. Perilaku beli ulang dapat diartikan sebagai perilaku konsumen yang hanya membeli sebuah produk secara berulang-ulang, tanpa menyertakan aspek perasaan di dalamnya. Sebaliknya, loyalitas merek mengandung aspek kesukaan konsumen pada sebuah merek. Ini berarti bahwa aspek sikap tercakup di dalamnya.

Menurut Dharmmesta (1999), masih ada 2 pendekatan yang bisa dipakai buat tahu loyalitas:

1. Pendekatan keperilakuan (behavioral approach)
Merek didefinisikan dengan berbagai ukuran perilaku, yaitu runtutan pembelian, proporsi pembelian, serta probabilitas pembelian.

2. Pendekatan kesikapan (attitudinal approach)
Pendekatan ini menekankan pada komitmen psikologis terhadap merek. Dalam pendekatan kesikapan, ukuran yang dipakai meliputi kepuasan, komitmen serta niat. Riset loyalitas yang menekankan pada sikap dipandang lebih penting serta bermanfaat karena sikaplah yang mendorong berperilaku tertentu.

Pendeteksian adanya loyalitas merek tunggal yg sesungguhnya bisa dilakukan menggunakan menguji:
1. Loyalitas kognitif merupakan liputan merek yg dipegang sang konsumen (yaitu keyakinan konsumen) harus memilih dalam merek fokal yang dipercaya superior dalam persaingan.
2. Loyalitas afektif adalah taraf kesukaan konsumen arus lebih tinggi daripada merek saingan, dehingga ada preferensi afektif yang kentara dalam merek fokal.
3. Loyalitas konatif merupakan struktur niat konsumen terhadap merek fokal, merupakan konsumen wajib mempunyai niat buat membeli merek fokal, bukan merek lain ketika keputusan beli dilakukan.
4. Loyalitas tindakan adalah loyalitas yang merupakan perilaku atau tindakan atas kontrol tindakan yang merupakan pengembangan dari loyalitas konagtif. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti motivasi meruapakn kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak serta pada keinginan untuk mengatasi hambatan untuk mencapai tindakan tersebut. 

Loyalitas yang sesungguhnya akan terjadi hanya ketika patronase pengulangan muncul bersama sikap relatif yang tinggi. Jika sikap relatifnya rendah, maka loyalitas dapat dianggap palsu atau pura-pura yang tidak diharapkan akan terjadi terus. Konsumen pada kondisi ini (inersia) dapat melakukan pembelian ulang karena hanya satu merek yang tersedia di penjual. Jika patronase pengulangan serta sikap relatifnya sama-sama rendah, tidak terjadi loyalitas. Akan tetapi, kebutuhan yang bersifat sering untuk suatu produk atau layanan, pembelian ulang yang rendah pada suatu merek masih dapat memberikan harapan bagi pemasar apabila dapat ditanamkan sikap relatif yang tinggi pada konsumen.

Loyalitas terhadap merek tidak terbentuk secara instan, perlu waktu panjang untuk menciptakannya, dari hasil akumulasi pengalaman berinteraksi antara konsumen dengan merek tersebut, disebut dengan pengalaman merek (brand experience). Loyalitas dapat terbentuk apabila konsumen menemukan bahwa pengalaman merek (brand experience) sama dengan keyakinan merek (brand beliefs). Namun yang seringkali terjadi adalah pengalaman merek (brand experience) berlawanan dengan keyakinan merek (brand beliefs). Apa yang diyakini oleh konsumen akan didapat saat mencoba (trial) sebuah produk atau jasa, ternyata tidak diperolehnya. Pada kondisi ini proses konversi mencoba (trial) ke pembelian kembali (repeat purchase) atau pembelian kembali (repeate purchase) menuju loyalitas merek (brand loyalty) menjadi terhenti. Untuk memperoleh loyalitas merek, perusahaan harus berusaha untuk memberikan pengalaman merek (brand experience) yang terbaik serta konsisten dari waktu ke waktu, dari sejak interaksi awal hingga interaksi-interaksi berikutnya. Setelah terbentuk loyalitas, walaupun masih mungkin terpengaruh oleh promosi kompetitor, tetapi peluangnya menjadi lebih kecil untuk berpindah (Kotler serta Keller, 2006). Beberapa manfaat yang dapat diperoleh perusahaan yang memiliki pelanggan dengan loyalitas merek yang kuat adalah:
1. Perusahaan akan mengeluarkan biaya pemasaran yang relatif lebih kecil karena tingkat kesadaran serta kesetiaan merek pelanggan yang tinggi.
2. Perusahaan akan mempunyai posisi yang lebih kuat dalam negosiasi dengan distributor serta pengecer karena pelanggan mengharapkan mendapatkan merek tersebut.
3. Perusahaan dapat mengenakan harga yang lebih tinggi berdasarkan pesaingnya lantaran merek tersebut mempunyai kualitas yang diyakini lebih tinggi.
4. Perusahaan bisa lebih mudah buat melakukan ekspansi merek lantaran merek tersebut mempunyai dapat dipercaya yg tinggi.
5. Merek itu memberikan pertahanan terhadap persaingan harga yang ketat.

Menurut Dharmamesta (1999), secara umum loyalitas merek dapat diukur menggunakan cara menjadi berikut :
1. Runtutan pilihan-merek (merk-choice sequence),
2. Proporsi pembelian (proportion of purchase),
3. Preferensi merek (brand preference), dan
4. Komitmen merek (merk commitment).

Cara pertama serta kedua merupakan pendekatan keperilakuan (behavioral approach), sedangkan cara ketiga serta keempat termasuk dalam pendekatan sikap (attitudinal approach). Dalam prakteknya, pengidentifikasian loyalitas merek harus dilakukan secara terus-menerus. Basis harian, mingguan, atau bulanan dapat dipakai sesuai dengan karakteristik keputusan beli konsumen. Untuk pembelian bahan makanan misalnya, pengidentifikasian loyalitas merek dapat dilakukan secara harian atau mingguan. Perlu diperhatikan juga bahwa jika konsumen membeli produk-produk tertentu karena pengaruh promosi penjualan dari pemasar serta bukannya karena kualitas positif intrinsik produk tersebut, maka konsumen akan memiliki kebiasaan beli hanya ketika diadakan promosi penjualan.

PENGERTIAN DAN DEFINISI OUTSOURCING

Pengertian Dan Definisi Outsourcing
Dalam era globalisasi dan tuntutan persaingan dunia bisnis yang ketat ketika ini, maka perusahaan dituntut buat berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yg efektif dan efisien. Salah satu upaya yg dilakukan adalah menggunakan mempekerjakan energi kerja seminimal mungkin buat bisa memberi kontribusi aporisma sinkron sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya penekanan menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan pada pihak lain. Proses aktivitas ini dikenal menggunakan istilah “outsourcing.” 

“Outsourcing is subcontracting a process, such as product design or manufacturing, to a third-party company. The decision to outsource is often made in the interest of lowering firm costs, redirecting or conserving energy directed at the competencies of a particular business, or to make more efficient use of land, labor, capital, (information) technology and resources. Outsourcing became part of the business lexicon during the 1980s.“ 

Atau menggunakan istilah lain outsourcing atau alih daya adalah proses pemindahan tanggung jawab energi kerja berdasarkan perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Perusahaan diluar perusahaan induk mampu berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yang diatur pada suatu kesepakatan eksklusif. Outsourcing pada regulasi ketenagakerjaan mampu hanya meliputi tenaga kerja dalam proses pendukung (non--core business unit) atau secara praktek seluruh lini kerja bisa dialihkan menjadi unit outsourcing. 

Outsourcing sebagai masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi energi kerja. Oleh karena itu masih ada pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing, berikut beberapa penjabarannya pada tabel.

TABEL Pro – Kontra Penggunaan Outsourcing
PRO OUTSOURCING

KONTRAOUTSOURCING

-Business owner bisa fokus dalam core business.

-Cost reduction.

-Biaya investasi berubah menjadi biaya belanja.

-Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn over energi kerja.

-Bagian berdasarkan modenisasi global usaha (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu serta “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)

-Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi energi kerja. (Sumber: www.hukumonline.com)

-Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal menggunakan karyawan outsource. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” //recruitmentindonesia.wordpress.com)

-Career Path pada outsourcing sering kurang bersiklus dan terarah. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” //recruitmentindonesia.wordpress.com)

-Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin tetapkan interaksi kerjasama dengan outsourcing provider dan menyebabkan ketidakjelasan status kerja buruh.  (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” //recruitmentindonesia.wordpress.com)

-Eksploitasi insan (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu serta “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)

(Informasi dari berbagai sumber hasil browsing pada internet)

1. Undang-undang Mengenai Outsourcing
Untuk mengantisipasi kontra yang terjadi pada penggunaan outsourcing, maka dibentuk Undang-undang No.13/2003 mengenai Ketenagakerjaan, khususnya Bab IX mengenai Hubungan Kerja, yg didalamnya terdapat pasal-pasal yg terkait eksklusif dengan outsourcing. Berikut dijabarkan isi berdasarkan undang-undang tadi. 
· Pasal 50 – 55, Perjanjian Kerja
· Pasal 56 – 59, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pasal 59 
(1) Perjanjian kerja untuk saat eksklusif hanya dibentuk buat pekerjaan tertentu yang dari jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai pada waktu tertentu, yaitu :
1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yg sementara sifatnya;
2. Pekerjaan yg diperkirakan solusinya dalam ketika yang tidak terlalu lama serta paling usang 3 (tiga) tahun;
3. Pekerjaan yang bersifat musiman;
4. Pekerjaan yg herbi produk baru, aktivitas baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(dua) Perjanjian kerja buat saat tertentu tidak bisa diadakan buat pekerjaan yg bersifat permanen.
(tiga) Perjanjian kerja untuk saat tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. 
(4) Perjanjian kerja buat waktu eksklusif yang didasarkan atas jangaka saat eksklusif bisa diadakan untuk paling usang dua (2) tahun serta hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali buat jangka ketika paling usang 1 (satu) tahun.
· Pasal 60 – 63, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Terbatas (PKWTT)
· Pasal 64 – 66, Outsourcing 

Pasal 64
Perusahaan bisa menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yg dibuat secara tertulis.
(dua) Pekerjaan yg dapat diserahkan pada perusahaan lai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kondisi-syarat sebaga berikut:
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan primer;
b. Dilakukan dengan perintah pribadi atau tidak eksklusif dari pemberi pekerjaan;
c. Merupakan aktivitas penunjang perusahaan secara keseluruhan; serta 
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung
(tiga) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib berbentuk badan aturan.
(4) Perlindungan kerja serta yarat-kondisi kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama menggunakan proteksi kerja dan kondisi-syarat kerja dalam perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yg berlaku.
(lima) Perubahan dan/atau penambahan kondisi-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (dua) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja pada aplikasi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur pada perjanjian kerja secara tertulisa antara perusahaan lain serta pekerja/buruh yg dipekerjakan. 
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu nir tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu bila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 59. 
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta ayat (tiga) nir terpenuhi, maka demi aturan status interaksi kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi interaksi kerja pekerja/buruh menggunakan perusahaan pemberi pekerjaan. 

Pasal 66, 
Penyediaan jasa pekerja./buruh untuk aktivitas jasa penunjang atau kegiatan yg nir berhubungan pribadi menggunakan proses produksi harus memenuhi kondisi sebagai berikut : Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerj/buruh;

Pasal 1 ayat 15, “Hubungan kerja merupakan interaksi antara pengusaha dengan pekerja/buruh dari perjanjian kerja, yg mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” 

Pekerja berdasarkan perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan sang pemberi kerja melaksanakan aktivitas pokok atau aktivitas yang berafiliasi eksklusif dengan proses produksi, kecuali buat kegiatan jasa penunjang atas kegiatan yg nir berhubungan eksklusif menggunakan proses produksi. 

2. Penerapan Outsourcing Di Perusahaan
Survei dilakukan memakai kuesioner dengan convinience sampling kepada 44 perusahaan, 

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa 73% perusahaan memakai tenaga outsource pada aktivitas operasionalnya, sedangkan sisanya yaitu 27% nir memakai tenaga outsource. 

Dari 73%, perusahaan yang sepenuhnya menggunakan tenaga outsource adalah jenis industri perbankan, kertas, jasa pendidikan, pengolahan karet & plastik, dan industri makanan & minuman. Sedangkan industri indera berat, mesin dan sarana transportasi (otomotif serta sparepart) memakai tenaga outsource sebanyak 57.14%. Untuk industri farmasi & kimia dasar (80%), industri telekomunikasi & fakta teknologi (60%) dan industri lainnya sebanyak 50% terdiri berdasarkan industri jasa pemeliharaan pembangkit listrik, konsultan, EPC (enginering, procurement, construction), pengolahan kayu, kesehatan, percetakan & penerbitan, serta elektro.

Jika dipandang berdasarkan status kepemilikan, diketahui bahwa BUMN, Joint Venture dan Nirlaba memakai 100% energi outsource pada kegiatan operasionalnya. Sedangkan buat partikelir nasional menggunakan energi outsource sebanyak 57.69% serta swasta asing menggunakan sebesar 85.71%. Hal ini terlihat pada gambar 1, gambar 2 dan gambar 3.

GAMBAR 1 Perusahaan Yang Menggunakan Tenaga Outsourcing
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

GAMBAR 2 Perusahaan Yang Menggunakan Outsource Berdasarkan Jenis Industri
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

GAMBAR 3 Perusahaan Yang Menggunakan Outsource Berdasarkan Status Kepemilikan
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

Dalam survei ini ingin diketahui sampai sejauh mana penerapan Outsourcing pada perusahaan, jenis pekerjaan seperti apa yang banyak menggunakan tenaga outsource, apakah penggunaan tenaga outsource dinilai efektif oleh perusahaan?

3. Langkah-langkah Penerapan Sistem Outsourcing
Ketentuan Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004, menjadi legitimasi tersendiri bagi keberadaan outsourcing pada Indonesia. Artinya, secara legal formal, sistem kerja outsourcing memiliki dasar hukum yang kuat untuk diterapkan. Keadaan demikian yang membuat pengusaha menerapkan sistem ini. 

Dimuatnya ketentuan outsourcing pada Undang-Undang Tenaga Kerja dimaksudkan untuk mengundang para investor agar mau berinvestasi pada Indonesia. 

Penggunaan outsourcing acapkali digunakan menjadi taktik kompetisi perusahaan buat penekanan dalam core business-nya. Namun, dalam prakteknya outsourcing didorong sang hasrat perusahaan buat menekan cost sampai serendah-rendahnya serta menerima keuntungan berlipat ganda walaupun acapkali melanggar etika usaha. 

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 44 perusahaan dari berbagai industri terdapat lebih dari 50% perusahaan pada Indonesia menggunakan tenaga outsource, yaitu sebesar 73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak menggunakan tenaga outsource dalam operasional pada perusahaannya.

Dari 73% perusahaan yang memakai energi outsource diketahui lima alasan memakai outsourcing, yaitu supaya perusahaan bisa fokus terhadap core business (33.75%), buat berhemat biaya operasional (28,75%), turn over karyawan sebagai rendah (15%), modernisasi dunia usaha dan lainnya, masing-masing sebesar 11.25%, seperti terlihat dalam gambar 4. Adapun yang menjadi alasan lainnya merupakan :
a. Efektifitas manpower
b. Tidak perlu menyebarkan SDM buat pekerjaan yang bukan utama.
c. Memberdayakan anak perusahaan.
d. Dealing with unpredicted business condition.

GAMBAR 4 Alasan Menggunakan Outsourcing
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

Outsourcing, tidak terlepas dari perusahaan penyedia (provider) jasa tenaga outsource. Perusahaan harus memilih provider yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan dimana perusahaan outsourcing tersebut harus teruji kualitas yang dijanjikan, serta adanya kesepatan untuk membuat hubungan jangka panjang. (Sumber: ”Kesulitan Outsourcing pada Indonesia.” //rahard.wordpress.com)

Oleh sebab itu, perlu diketahui faktor-faktor yg sebagai pertimbangan dalam pemilihan provider jasa energi outsource, misalnya yg dijabarkan pada gambar 5. 

GAMBAR lima Faktor-faktor Pemilihan Partner Outsourcing
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

Berdasarkan output survei, diketahui bahwa harga sebagai faktor primer pada pemilihan partner outsourcing (22.62%). Sedangkan reputasi yang baik berdasarkan provider outsource menempati posisi ke 2 yaitu sebanyak 21.43%. Untuk tenaga outsource yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan perusahaan (19.05%), pengetahuan provider outsource terhadap proses usaha perusahaan (11.90%). Pengalaman sebelumnya menempati posisi kelima pada pemilihan partner outsourcing (10.71%), diikuti oleh stabilitas provider outsource (8.33%) dan lainnya sebesar 5.95%. Adapun faktor-faktor lainnya adalah pemenuhan persyaratan ketentuan tenaga kerja dan penyerapan energi terdekat menggunakan unit kerja. 

Jenis pekerjaan yg bisa menggunakan outsourcing merupakan pekerjaan-pekerjaan yang bukan adalah tanggungjawab inti berdasarkan perusahaan.

Adapun komposisi jenis pekerjaan yang paling banyak menggunakan tenaga outsource adalah cleaning service (56.82%), security (38.64%), lainnya (36.36%), driver (25%), sekretaris (22.73%), customer service (13.64%) dan SPG (9.09%), seperti terlihat pada gambar 6. Untuk jenis pekerjaan lainnya terdiri dari:
  • Bagian pengepakan barang (packing).
  • Helper baik buat maintenance juga mechanic.
  • Facilitator pelatihan, 
  • Resepsionis/operator telepon.
  • Data entry.
  • Call center.

GAMBAR 6 Jenis Pekerjaan Yang Menggunakan Tenaga Outsource
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

4. Masalah Umum Yang Terjadi Dalam Penggunaan Outsourcing
1. Penentuan partner outsourcing.
Hal ini menjadi sangat krusial lantaran partner outsourcing wajib mengetahui apa yg sebagai kebutuhan perusahaan dan menjaga interaksi baik menggunakan partner outsourcing.
2. Perusahaan outsourcing harus berbadan aturan.
Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak energi outsource, sebagai akibatnya mereka mempunyai kepastian aturan. 
3. Pelanggaran ketentuan outsourcing.
Demi mengurangi biaya produksi, perusahaan terkadang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku. Akibat yang terjadi adalah demonstrasi buruh yang menuntut hak-haknya. Hal ini menjadi salah satu perhatian bagi investor asing untuk mendirikan usaha pada Indonesia. 
4. Perusahan outsourcing memotong gaji energi kerja tanpa terdapat batasan sebagai akibatnya, yg mereka terima, berkurang lebih poly. 

5. Indikator Keberhasilan Penerapan Sistem Outsourcing
Tidak seluruh perusahaan berhasil menerapkan sistem outsourcing. Responden melihat indikator keberhasilan terbesar (25%) pada penerapan outsourcing merupakan pihak yg terlibat wajib bertanggungjawab, mendukung, dan berkomitmen buat melaksanakan outsourcing. Sedangkan 23.81% menyatakan bahwa keberhasilan dipandang berdasarkan detail aturan main outsourcing didefinisikan dalam kontrak kerja. Untuk kejelasan ruang lingkup proses outsourcing yang ingin dilakukan sebagai faktor keberhasilan yg dipilih oleh 17.86%. Update perjanjian antar pengguna serta penyedia energi outsource (13.10%), terdapat atau tidaknya prosedur formal dalam tender calon perusahaan outsourcing (10.71%) serta jangka waktu penyelenggaraan outsourcing (9.52%).

GAMBAR 7 Faktor Keberhasilan Proses Outsourcing
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008 

Inti dari faktor-faktor tersebut diatas adalah harus adanya kerjasama dan komitmen yang jelas antara kedua belah pihak agar outsourcing dapat berjalan sebagaimana harapan yang keseluruhan perjanjian kerjasama tersebut dinyatakan secara jelas dan terperinci pada dalam kontrak outsourcing.

6. Kepuasan Perusahaan Terhadap Tenaga Outsource
Dari 73% perusahaan yang memakai energi outsource, kepuasan perusahaan terhadap tenaga outsource dievaluasi menurut pengertian energi outsource terhadap bidang pekerjaan yg dilakukan yaitu sebesar (87%), kinerja tenaga outsource (68%), semangat kerja (66%), disiplin kerja (61%). Sedangkan buat loyalitas energi outsource (55%) diragukan oleh perusahaan, seperti terlihat pada gambar 8.

GAMBAR 8 Kepuasan Perusahaan Terhadap Tenaga Outsource
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

7. Keefektifan Outsourcing
Dengan melihat alasan memakai outsourcing, faktor-faktor pemilihan perusahaan penyedia jasa outsourcing, serta kepuasan perusahaan terhadap tenaga outsource, sebanyak 68.2% menyatakan bahwa penggunaan tenaga outsource dievaluasi efektif serta akan terus memakai outsourcing pada kegiatan operasionalnya. 

Untuk dapat lebih efektif disarankan adanya: 
a. Komunikasi 2 arah antara perusahaan dengan provider jasa outsource (Service Level Agreement) akan kerjasama, perubahan atau permasalahan yang terjadi.
b. Tenaga outsource telah pada training terlebih dahulu agar memiliki kemampuan/ketrampilan.
c. Memperhatikan hak dan kewajiban baik pengguna outsource maupun tenaga kerja yg ditulis secara lebih jelasnya dan mengingformasikan apa yang menjadi hak-haknya.

Sedangkan yang menyebabkan outsourcing sebagai tidak efektif adalah lantaran kurangnya knowledge, skill dan attitude (K.S.A) menurut tenaga outsource.