MANFAAT DAN APLIKASI MODEL PENERIMAAN TEKNOLOGI PADA KEPUTUSAN OUTSOURCING TI

Manfaat serta Aplikasi Model Penerimaan Teknologi Pada Keputusan Outsourcing TI
Perkembangan outsourcing ketika ini meningkat dengan cepat, baik sifat maupun fokusnya. Secara historis outsourcing banyak dilakukan pada industri manufaktur, dan sekarang kegiatan outsourcing telah mulai berkembang pesat pada industri jasa. Baik pada industri manufaktur maupun jasa, outsourcing telah semakin tinggi melewati batas nasional serta dunia. Sifat outsourcing juga beragam. Beberapa perusahaan sekarang melakukan outsourcing dalam aktifitas produksi inti secara ekstensif sebagai akibatnya mereka nir lagi terlibat pada produksi (Globerman dan Vining, 2004). Inbound serta outbound logistic juga mulai pada-outsource secara luas. Perusahaan lain melakukan outsourcing secara luas terhadap aktifitas rantai nilai kedua seperti teknologi kabar, sistem akuntansi, distribusi, aspek-aspek manajemen sumber daya manusia dan R&D (Johnson dan Schneider, 1995).

Outsourcing teknologi informasi bukanlah fenomena baru, dimulai dengan jasa profesional dan jasa manajemen fasilitas pada bidang keuangan serta operasi pada tahun 1960-an serta 1970 (Lee, 2003). Fokus outsourcing teknologi warta telah berkembang mulai dari perangkat keras personal komputer , software, standarisasi perangkat keras dan aplikasi, hingga pada solusi total yg mengacu dalam manajemen aktiva (Xue et al., 2005).

Meskipun kepentingan terhadap outsourcing semakin tinggi, namun masih poly perusahaan belum memiliki pemahaman yg kentara tentang manfaat serta porto berdasarkan aktivitas outsourcing. Sasaran strategik berdasarkan pembuatan keputusan outsourcing harus bisa memaksimumkan manfaat higienis berdasarkan outsourcing tadi dalam aktifitas rantai nilai pada perusahaan. Dalam prakteknya berdasarkan Globerman serta Vining (2004) hal ini diwujudkan dalam bentuk meminimumkan porto total pada kualitas dan kuantitas tertentu berdasarkan aktifitas atau barang-barang yang pada-outsource.

Artikel ini secara generik mencoba menguraikan beberapa aspek penting terkait dengan pengambilan keputusan outsourcing teknologi warta, dicermati berdasarkan sudut pandang manfaat, resiko serta biaya outsourcing. Analisis terhadap manfaat, resiko serta porto outsourcing akan memilih keputusan perusahaan buat melakukan outsourcing. Pada akhir tulisan ini penulis mengusulkan sebuah proposisi menggunakan mengadopsi teori penerimaan teknologi (Technology Acceptance Model) pada penentuan keputusan outsourcing.

DEFENISI DAN JENIS OUTSOURCING
Outsourcing teknologi informasi (TI) adalah pemindahan seluruh atau sebagian fungsi atau proses TI perusahaan dalam pihak luar (Benamati dan Rajkumar, 2002). Sementara Aalders (2002) menyatakan outsourcing merupakan mengontrak/menyewa pihak ketiga untuk mengelola sebuah proses bisnis lebih efisien serta efektif daripada yg mampu dilakukan di dalam perusahaan sendiri. Dari pengertian tadi memperlihatkan bahwa outsourcing menyebabkan terciptanya interaksi usaha antara perusahaan dan suplier dari luar. Penggunaan suplier luar buat melaksanakan aktifitas usaha dimaksudkan buat mencapai efisiensi dan manfaat-manfaat lainnya. Sebuah rencana outsourcing diperlukan akan membuat produktifitas yg lebih tinggi menggunakan membiarkan setiap grup lebih memfokuskan usaha dan modalnya dalam kompetensi inti.

Teknologi warta waktu ini berperan krusial dalam taktik organisasi sebagai akibatnya banyak organisasi yg menggantungkan kesuksesannya dalam teknologi informasi yg dimiliki. Perkembangan dan perubahan teknologi yg sangat cepat telah mengakibatkan kesulitan pada mengelola sumber daya vital tadi. Dengan outsourcing semua atau beberapa fungsi teknologi informasi, memberikan cara lain buat mengelola bidang organisasi yang sangat kompleks ini. Menurut Benamati dan Rajkumar (2002), outsourcing teknologi kabar melibatkan divestasi kendali atas asal daya organisasi yang krusial dalam pihak ekternal. Oleh karenanya pemilihan fungsi teknologi keterangan yang paling tepat dan kelompok ketiga yang terbaik akan sebagai sangat kompleks. Lebih lanjut McFarlan dan Norlan, (1995) menjelaskan banyak sekali fungsi teknologi keterangan yang tak jarang pada-outsource seperti operasi sentra data, manajemen network, pemeliharaan/akuisisi hardware, technical support, training/pendidikan dan pengembangan aplikasi. Outsourcing mampu dilaksanakan pada dalam perusahaan (onshore), namun tak jarang pula dilakukan pada luar perusahaan (offshore).

ALASAN/MOTIVASI OUTSOURCING
Pada dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi informasi demikian pesatnya serta sebagai faktor penentu dalam mencapai keberhasilan. Ketepatan serta kecepatan liputan sebagai faktor penting bagi organisasi pada memenangkan persaingan. Kebutuhan organisasi akan teknologi berita telah tidak diragukan lagi, dan outsourcing mampu sebagai alat yg efektif serta efisien untuk memenuhi permintaan terhadap teknologi keterangan tersebut. 

Keputusan perusahaan untuk melakukan outsourcing dipengaruhi sang banyak faktor. Lee et al. (2000) dalam Benamati serta Rajkumar (2002) mengemukakan bahwa sejumlah besar keputusan outsourcing didorong sang masalah fundamental misalnya ekonomi, strategi serta teknis. Selanjutnya Lee (2004) menemukan beberapa perusahaan melakukan outsource buat mencapai fleksibilitas produksi yang lebih tinggi, buat menyebarkan kapasitas, atau agar lebih fokus dalam kompetensi inti. Tetapi mayoritas perusahaan melakukan outsource terhadap aktifitas produksi buat mengurangi biaya atau menaikkan kualitas produk dengan menggunakan keahlian berdasarkan supplier mereka. Microsoft adalah salah satu perusahaan yang memakai outsourcing buat memungkinkan teknologi informasinya mampu menaikkan kapabilitas supply chain mereka (Bardhan et al., 2006). Melalui outsourcing Microsoft sanggup membuat 360 game video dan sistem hiburan di akhir tahun 2005 dengan mempercayakan pada jaringan kontraktor dan supplier buat mengungkapkan komponen-komponen dan layanan-layanan utama yang krusial bagi produk mereka. 

Banyak yang berpendapat bahwa biaya merupakan motivasi utama dalam melakukan outsourcing (Hurley serta Schaumann, 1997). Permintaan terhadap keahlian teknologi informasi sangat tinggi serta mahal. Seringkali dianggap lebih murah menyewa seorang energi pakar daripada mengembangkannya sendiri. Selain itu sumber daya eksternal pula lebih siap buat ditambah atau dikurangi dibanding staf permanen. Tetapi menurut Aalders (2002), generasi pertama yg melakukan outsourcing semata-mata lantaran dorongan biaya acapkali menemui kegagalan. 

Faktor motivator lain berdasarkan Hurley serta Schaumann (1997) adalah memperbaharui fokus dalam kompetensi inti bagi organisasi atau bagi staf teknologi warta di pada perusahaan. Tidak semua organisasi mempunyai sumber daya buat berbagi teknologi informasi yg berkualitas tinggi. Usaha mereka lebih baik digunakan buat penekanan secara strategik dalam sisi bersaingnya. Selain itu organisasi teknologi liputan yg tidak efisien pula mampu memotivasi penggunaan outsourcing. Banyak perusahaan yg memakai outsourcing buat mengatasi perkara misalnya tidak tersedianya keahlian pada pada perusahaan, kualitas yang tidak baik atau produktifitas yg rendah, permintaan yang sifatnya sementara atas keahlian eksklusif, atau siklus hidup pengembangan produk yang panjang. Namun dibalik semua motivasi tersebut, keputusan buat meng-outsource wajib dibuat menurut perspektif yg strategis dan memiliki tujuan serta target yg kentara supaya perusahaan sahih-sahih menerima manfaat dari keputusan yang diambil.

MANFAAT OUTSOURCING
Pertumbuhan yang sangat akbar dalam outsourcing sistem warta dibuktikan oleh banyaknya outsourcing yg dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Boeing, Bank One dan Xerox (Kim serta Chung, 2003). Tren outsourcing ini masih terus berlanjut hingga ketika ini. International Data Corporation (IDC) memprediksi bahwa pasar outsourcing diseluruh dunia tumbuh menurut $100 milyar di tahun 1998 sebagai $151 milyar pada tahun 2003 (Kim dan Chung, 2003). Alasan yang mendasari fenomena ini majemuk, tetapi poly yang percaya bahwa outsourcing sistem atau teknologi fakta akan membentuk poly manfaat mencakup penghematan porto, meningkatnya kualitas layanan, akses terhadap teknologi yang up-to-date, fleksibilitas operasi dan fokus dalam kompetensi inti (Slaughter dan Ang, 1996; Smith et al., 1998 pada Kim serta Chung, 2003). 

Manfaat lain yang diperoleh dari outsourcing merupakan peningkatan terhadap nilai perusahaan (Hayes et al., 2000). Peningkatan terhadap nilai perusahaan ini ditimbulkan oleh empat faktor. Pertama, skala irit (economic of scale and scope). Penyedia jasa outsourcing seringkali memiliki tingkat keahlian serta pengetahuan sistem warta yg lebih tinggi pada banyak sekali kasus dan pengalaman, dan mereka mencurahkan seluruh kemampuan buat menyediakan layanan sistem keterangan (Grover et al., 1996; Huff 1991; Loh serta Venkatraman, 1992; Poppo dan Zenger, 1998; Quinn et al., 1990, pada Hayes et al., 2000). Kombinasi ke 2 hal tersebut menyebabkan provider layanan bisa memperlihatkan skala irit serta ruang lingkup operasi yang lebih akbar yang bisa didapat oleh perusahaan.

Faktor ke 2 adalah kepentingan kompetensi inti (importance of core competency). Peningkatan nilai perusahaan didapat melalui transfer asal daya berdasarkan fungsi staf yg nir memiliki nilai tambah sebagai fungsi kompetensi inti yg mempunyai nilai tambah. Bettis et al. (1992) dalam Hayes et al. (2000) mengindikasikan bahwa outsourcing seharusnya ditinjau sebagai sebuah taktik usaha yg agresif, serta outsourcing terhadap fungsi-fungsi bisnis yg bukan inti sanggup berhemat sumber daya sehingga perusahaan bisa membuatkan taktik bisnis jangka panjang. Hal yang sama diungkapkan sang Pandey dan Bansal (2003), outsourcing teknologi informasi mengakibatkan perusahaan bisa lebih menaikkan fokus pada kompetensi inti, sebagai akibatnya perusahaan mempunyai kesempatan buat mendapatkan nilai tambah dari kompetensi intinya tadi.

Ketiga, fleksibilitas (flexibility). Menurut Hayes et al. (2000) perusahaan yang melakukan outsourcing mampu terhindar dari keusangan teknologi yang selalu berubah cepat, lantaran mereka nir perlu menginvestasikan modal dan asal daya insan yang besar dalam teknologi. Perusahaan mampu menaikkan fleksibilitasnya menggunakan mengarahkan kontrak teknologi informasi secara terus menerus buat memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan fakta mereka. Faktor keempat yaitu pengurangan porto (cost reduction). Peningkatan nilai perusahaan mampu didapat dengan memasukkan acara pengurangan porto yang didisain buat memelihara atau menaikkan posisi besaing perusahaan (Bettis et al., 1992; Huff 1991; Loh dan Venkatraman, 1992, dalam Hayes et al., 2000). 

Perusahaan mampu menurunkan harga pembelian beberapa input menggunakan merogoh laba menurut biaya supplier yg lebih rendah, atau menaikkan kualitas input dengan pembelian beberapa kapabilitas superior dari supplier luar (Globerman serta Vining, 2004). Penghematan biaya juga bisa didapatkan berdasarkan perubahan kewajiban yang dihadapi oleh perusahaan dibawah aturan pemerintah serta peraturan atau kesepakatan menggunakan serikat buruh, contohnya kewajiban membayar biaya kesehatan bagi pekerja full-time (Abraham serta Taylor, 1996 dalam Globerman serta Vining, 2004). Aktifitas outsourcing memungkinkan perusahaan buat mendapatkan pekerja yg sama berdasarkan supplier luar menjadi karyawan sementara.

Menurut Hayes et al. (2000) dorongan buat memotong biaya mengakibatkan perusahaan secara asal-asalan menentukan fungsi teknologi atau sistem informasi yang akan di-outsource, yang berarti perusahaan nir memisahkan fungsi sistem berita yang tidak mempunyai nilai tambah menurut fungsi kompetensi inti sistem keterangan yang memiliki nilai tambah. Oleh karenanya, keputusan untuk melakukan outsource seharusnya tidak hanya didorong semata-mata sang keinginan buat mengurangi porto, tetapi pula dimotivasi sang manfaat strategis jangka panjang yg didapat menurut outsourcing (Quinn et al.,1990 dalam Hayes et al., 2000)

Kapabilitas eksklusif yg dimiliki perusahaan merupakan faktor penggerak bagi suksesnya persaingan. Kapabilitas yg sulit buat ditiru merupakan kunci keunggulan bersaing yg terus menerus (Barney, 1991 dalam Globerman serta Vining, 2004). Untuk kapabilitas yg sulit ditiru, perusahaan bisa mendapatkannya melalui outsourcing. Bukti menampakan bahwa pengurangan porto buat mendapatkan kapabilitas yg sulit ditiru adalah salah satu manfaat yang dibutuhkan berdasarkan kegiatan outsourcing disamping menaikkan fleksibilitas, kualitas serta kontrol.

KESULITAN DALAM MELAKUKAN OUTSOURCING
Meskipun banyak perusahaan yg merasa puas menggunakan outsourcing, tetapi banyak perangkap yg apabila tidak dipersiapkan menggunakan baik akan menciptakan perusahaan yg melakukan outsourcing terjatuh ke dalamnya. Menurut Barthelemy (2001), berdasarkan survey terhadap 50 perusahaan, lebih kurang 14% operasi outsourcing mengalami kegagalan. Selama proses transisi, perusahaan beranjak menurut lingkungan in-sourced menuju lingkungan outsouced, perusahaan wajib berhadapan menggunakan aneka macam perubahan proses dan perubahan budaya (Aalder, 2001; Lanser, 2003). Perubahan ini, terutama perubahan budaya, bukanlah hal yg gampang lantaran masih ada sebuah perubahan pada budaya perusahaan yg menjadi dasar bagi semua proses kerja dan norma karyawan. Untuk mengatasi perkara yg berkaitan dengan outsourcing teknologi informasi, poly penelitian yang dilaksanakan buat menaruh pemahaman mengenai topik tadi. 

Teirlynck (1998) menyatakan pengembangan taktik outsourcing bisa dibagi ke pada empat termin. Pertama, termin persiapan. Pada tahap ini perusahaan harus menentukan keahlian inti serta bukan inti yang dimilikinya, menilai kinerja saat ini, mengevaluasi peluang outsourcing untuk yg bukan keahlian inti, menguraikan akibat outsourcing bagi organisasi, dan memilih contoh interaksi buat membentuk hubungan dengan penyedia (provider) outsourcing. Kedua, melakukan seleksi. Tahap ini adalah penentuan kriteria evaluasi bagi provider, menyaring provider, serta mengevaluasi proposal berdasarkan provider. Ketiga merupakan termin perundingan , meliputi audit terhadap calon yang terdaftar, pemilihan prioritas calon, penentuan ruang lingkup serta struktur kontrak, serta transfer rincian perencanaan dalam provider. Sedangkan tahap keempat adalah termin implementasi, meliputi re-engineering perantara, penyesuaian internal organisasi, dan penetapan sistem pengukuran provider. Xue et al. (2005) menyatakan bahwa kesuksesan outsourcing teknologi liputan terutama yg dilakukan diluar perusahaan (offshore), berhubungan erat menggunakan kinerja impian team. Oleh karena perusahaan yg melakukan outsourcing serta provider outsourcing bekerja sama dalam jarak yang jauh, diharapkan kerja sama berdasarkan seluruh anggota virtual team yang terdistribusi secara geografis.

RESIKO DAN BIAYA OUTSOURCING
Resiko diidentifikasi menjadi galat satu faktor penting dalam keputusan outsourcing, yg mana jika diabaikan akan meningkatkan kemungkinan gagalnya proyek yg di-outsource (Benamati serta Rajkumar, 2002). Manajer sistem fakta mungkin mempercayai bahwa outsourcing akan mengurangi timbulnya resiko lantaran beliau dapat menyediakan personel atau keahlian yang diharapkan oleh organisasi, namun outsourcing juga bisa memunculkan resiko-resiko baru seperti biaya yang tersembunyi, kasus penurunan moral staff, serta kehilangan kendali atas posisi/asal daya tertentu. O’Keeffe dan Vanlandingham (2007) menjelaskan, strategi outsourcing telah terbukti efektif, akan tetapi diikuti oleh resiko yang harus disadari dan dikelola menggunakan baik. Dalam outsourcing, perusahaan mempercayakan orang lain untuk menjalankan fungsi bisnis eksklusif. Apabila tidak dikelola secara baik, mungkin akan berpengaruh negatif pada operasi serta konsumen perusahaan. Produk dan jasa mampu di-outsource, tetapi resiko nir.

Aubert et al. (1998) menyatakan kata resiko mengacu pada 2 konsep yang tidak selaras. Pertama, resiko kadang-kadang dipakai sebagai sebuah ungkapan umum yg mengacu pada output negatif, contohnya porto yg tersembunyi (hidden cost), penurunan dalam kinerja sistem, atau hilangnya kemampuan inovatif. Kedua, istilah resiko mengacu pada faktor-faktor yang mengakibatkan hasil negatif, seperti kurangnya komitmen berdasarkan manajemen taraf atas, staf yang nir berpengalaman, atau ketidakpastian bisnis saat mendiskusikan outsourcing teknologi kabar (Earl, 1996).

Jenis resiko pertama berupa hasil negatif, adalah konsekuensi yang tidak diinginkan menurut outsourcing serta herbi porto yang tersembunyi, yang mana kadang-kadang dikatakan sebagai perkara outsourcing teknologi berita yang paling akbar (Lacity et al., 1995). Biaya tadi mencakup biaya transisi (misalnya porto set up, biaya relokasi dsb) dan biaya manajemen asal daya manusia yg wajib ditempatkan buat mengelola kontrak outsourcing. Dalam mendiskusikan aspek porto-manfaat keputusan akuisisi perangkat lunak, Nelson et al. (1996) mengidentifikasi jenis porto lain yang sanggup dimasukkan ke pada porto transisi serta porto manajemen, yaitu biaya kontrak yang meliputi biaya -biaya yang berhubungan dengan pencarian serta evaluasi vendor yg sesuai, benchmark layanan yg ditawarkan, penentuan kontrak secara hukum, menegosiasikan kontrak dan penyelesaian perselisihan.

Aubert et al. (1998) merangkum resiko-resiko berupa konsekuensi yang nir diinginkan menurut outsourcing teknologi kabar misalnya terlihat dalam Tabel 1 berikut :
Tabel 1

Konsekuensi yg tidak diinginkan menurut outsourcing teknologi informasi
Biaya tersembunyi
Biaya transisi yang tersembunyi dan biaya manajemen
Biaya layanan yg tersembunyi
Kesulitan dalam kontrak
Biaya amandemen kontrak
Perselisihan dan pengajuan perkara
Kesulitan dalam menegosiasikan lagi kontrak
Penurunan nilai layanan
Berkurangnya kualitas layanan
Meningkatnya biaya layanan
Hilangnya kompetensi organisasi
Hilangnya keahlian IT
Hilangnya kemampuan inovatif
Hilangnya kendali terhadap aktifitas
Hilangnya keunggulan bersaing
Konsekuensi yg tidak diinginkan menurut outsourcing pada dasarnya disebabkan oleh faktor-faktor resiko yang bisa dilihat dari tiga perspektif yaitu agen (provider), principal, dan transaksi outsourcing itu sendiri. Menurut Aubert et al. (1998), faktor resiko yang ditinjau dari ketiga perspektif tersebut antara lain: perilaku opportunis agen (provider), kurangnya pengalaman dan keahlian dengan aktifitas yang di-outsource, kurangnya pengalaman dan keahlian dalam mengelola kontrak outsourcing, jumlah supplier/vendor outsourcing yang terbatas/sedikit, ketidakpastian kebutuhan di waktu yang akan datang, tingkat ketergantungan aktifitas yang di-outsource, serta kedekatan dengan kompetensi inti. Tabel berikut memperlihatkan hubungan antara faktor resiko dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari outsourcing teknologi informasi. Tabel 1 di atas memperlihatkan beberapa hasil negatif yang ditimbulkan dari aktifitas outsourcing teknologi informasi. Disamping konsekuensi di atas, outsourcing juga menimbulkan berbagai masalah yang berkaitan dengan staf. Menurut Grover et al.(1994) seringkali staf memandang outsourcing sebagai ancaman bagi posisi kerja mereka seperti pemecatan atau dipindahkan ke bagian lain perusahaan. Situasi yang tidak pasti ini menciptakan kegelisahan dan perasaan tidak aman yang mungkin akan menyebabkan menurunnya produktifitas karyawan selama periode menuju penandatanganan kontrak atau bahkan setelah kontrak ditandatangani. 
Tabel 2

Kaitan antara konsekuensi yg nir diinginkandan faktor resiko
Konsekuensi yg nir diinginkan
Faktor resiko
Transisi yg tidak diperlukan serta biaya manajemen
·Kurangnya pengalaman dan keahlian berdasarkan principal tentang aktifitas
Lock-in

·Ketegasan transaksi
·Jumlah supplier/vendor yg sedikit
Biaya perubahan kontrak
·Ketidakpastian
·Teknologi yang terputus
Perselisihan dan sengketa
·Masalah pengukuran
·Kurangnya pengalaman dan keahlian berdasarkan principal serta agen mengenai kontrak outsourcing
Penurunan layanan
·Ketergantungan aktifitas
·Kurangnya pengalaman serta keahlian agen tentang aktifitas
·Ukuran supplier
·Stabilitas keuangan supplier
Meningkatnya biaya layanan
·Perilaku opportunis agen
·Kurangnya pengalaman dan keahlian dari principal tentang manajemen kontrak
Hilangnya kompetensi organisasi
·Kedekatan dengan kompetensi inti
Tabel dua mengklasifikasikan beberapa hasil negatif dari outsourcing menurut faktor penyebabnya. Meskipun motivasi primer melakukan outsourcing merupakan buat memotong biaya , namun bila nir diantisipasi dengan baik outsourcing sanggup memunculkan porto-biaya baru misalnya porto manajemen, porto perubahan kontrak, serta meningkatnya biaya layanan pada konsumen. Outsourcing pula sanggup menyebabkan hilangnya kompetensi perusahaan bila pemilihan fungsi sistem keterangan yg akan di-outsource dilakukan secara sembarangan. Upaya buat meminimalkan resiko outsourcing dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor yang sebagai penyebab timbulnya konsekuensi yang tidak diinginkan tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa alternatif mengelola resiko outsourcing.

MENGELOLA RESIKO OUTSOURCING
Aktifitas outsourcing membawa sejumlah resiko yg signifikan. Resiko akan lebih besar jika perusahaan memilih buat melakukan outsourcing total. Banyak perusahaan yang menyadari resiko ini serta merespon menggunakan mengadopsi proses analisis resiko secara menyeluruh yg digabungkan menggunakan menjalankan manajemen resiko supaya mampu mengurangi resiko outsourcing secara efektif. Manajer sistem warta juga harus mempertimbangkan alternatif-altenatif lain seperti melakukan outsourcing melalui poly penawaran (multiple bidders)(Yost serta Harmon, 2002; Currie, 1998). Dengan outsourcing yang selektif, perusahaan dapat mempertahankan pengetahuan internal yg dibutuhkan untuk menangani outsourcing provider. Dengan pilihan multiple bidders, perusahaan bisa menegosiasikan kontrak outsourcing dengan poly vendor yang tidak sama kompetensi, pengalaman serta posisi pasarnya. Namun taktik ini juga memiliki resiko, Cross (1995) menyatakan sulit buat mengelola serta mengkoordinasikan kerja dari beberapa provider. Sementara Loh dan Venkatraman (1992) menjelaskan bahwa nir mudah menentukan tanggung jawab masing-masing provider terutama apabila aktifitas yg pada-outsource saling tergantung satu sama lain.

Pandey serta Bansal (2003) menyatakan buat meminimalkan resiko maka perusahaan harus mempertimbangkan aktifitas-aktifitas perusahaan yg dilihat paling kritis dalam memutuskan apakah akan melakukan outsourcing teknologi keterangan atau tidak. Ada empat aktifitas yg dipandang paling kritis, yaitu perencanaan kebutuhan bahan (MRP/Material Requirement Planning), keuangan, manajemen sumber daya manusia (misalnya pembayaran honor ), dan pengembangan serta pemeliharaan website. Disamping itu perusahaan usahakan pula menyewa seorang konsultan buat membuat keputusan outsourcing, serta ikut mempertimbangkan trend yang sedang berlaku di pasar.

O’Keeffe dari forum konsultan resiko independen Protiviti mengungkapkan buat menanggulangi resiko dalam kontrak outsourcing perusahaan sebaiknya menyebarkan sebuah planning kontrak serta mendokumentasikan seluruh aspek-aspek kesepakatan yang mencakup kesepakatan mengenai taraf pelayanan (service level), spesifikasi produk, persyaratan perubahan, peran dan tanggung jawab serta hal-hal yang dikecualikan. Pengelolaan terhadap resiko outsourcing telah wajib dimulai dalam waktu perencanaan kontrak dilakukan, tahap perundingan serta termin selesainya kontrak disepakati. Mekanisme umpan kembali kinerja yang efektif wajib diikuti dengan supervisi terhadap kontrak serta kinerja secara terencana. Disamping itu kejelasan mengenai kiprah serta tanggung jawab masing-masing pihak akan mendukung pencapaian efisiensi serta tujuan pengendalian dari suplier serta kontrak menajemen. Dengan prosedur supervisi yg baik dan kejelasan mengenai konvensi kontrak akan dapat meminimalkan resiko sehubungan menggunakan aktifitas outsourcing. 

Untuk mengatasi resiko hilangnya kompetensi perusahaan dari Hayes et al. (2000), perusahaan harus memisahkan fungsi sistem warta yang tidak memiliki nilai tambah berdasarkan fungsi kompetensi inti sistem keterangan yang memiliki nilai tambah. Dengan demikian outsourcing sistem berita akan membentuk manfaat strategis jangka panjang.

MODEL PENERIMAAN TEKNOLOGI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN OUTSOURCING
Model penerimaan teknologi atau technology acceptance contoh (TAM) adalah contoh yg dapat mengungkapkan secara akurat penerimaan sistim fakta oleh pemakainya. TAM sendiri diadopsi menurut teori tindakan yang dipertimbangkan (theory of reasoned action) yang dikemukakan sang Ajzen dan Fishbein dalam tahun 1980, dan diperkenalkan pertama kali oleh Davis pada tahun 1989 (Lee et al., 2004). TAM menghipotesiskan bahwa perilaku pengguna terhadap teknologi dipengaruhi sang persepsi mereka tentang kegunaan yang dirasakan atau perceived of usefulness (PU) serta kemudahan yang dirasakan pada penggunaan atau perceived ease of use (PEOU) pada teknologi dan perilaku ini akan mensugesti niat mereka buat menggunakan teknologi tersebut (Intention to use). TAM juga menyatakan bahwa perceived ease of use (PEOU) mempengaruhi perceived of usefulness (PU), lantaran sesuatu yg lebih gampang dipakai dipersepsikan akan lebih berguna. Niat buat menggunakan teknologi dipengaruhi oleh poly variabel eksternal. Persepsi mengenai kegunaan dan kemudahan teknologi memediasi imbas variabel eksternal tadi dalam perilaku dan niat buat menggunakan teknologi.

Hubungan antara perceived ease of use, perceived usefulness serta penerimaan individu bisa dilihat pada gambar berikut: 

Gambar 1. Technology Acceptance Model (Davis, et al. 1989)

TAM adalah contoh yg mendapat poly perhatian dalam penelitian di bidang teknologi liputan. Hal ini ditimbulkan lantaran penerimaan teknologi oleh pemakai teknologi berita sangat penting dalam pengembangan teknologi fakta. Oleh karena itu TAM banyak dirujuk dalam penelitian yang terkait dengan penerimaan teknologi berita sang pemakainya. 

Keputusan perusahaan buat melakukan outsourcing teknologi keterangan bisa dilihat dengan menggunakan contoh penerimaan teknologi tersebut. Benamati dan Rajkumar (2002) menggunakan TAM buat mengetahui faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan outsourcing pada pengembangan pelaksanaan. Dengan menggunakan metode kualitatif, output penelitian tadi menyarankan bahwa keputusan outsourcing dipengaruhi oleh variabel eksternal misalnya lingkungan luar, interaksi outsourcing terdahulu, serta resiko menurut outsourcing. Variabel eksternal ini selanjutnya menghipnotis kegunaan yg dirasakan dari keputusan outsourcing dan kemudahan yg dirasakan pada penggunaan.

Artikel ini mengusulkan model penerimaan teknologi TAM dalam pengambilan keputusan outsourcing dicermati menurut persepsi pengambil keputusan tentang manfaat, resiko serta biaya yang ditimbulkan dari aktifitas outsourcing. Seperti dijelaskan sebelumnya, outsourcing tidak hanya mendatangkan manfaat, tetapi jua memunculkan resiko-resiko baru misalnya biaya tersembunyi, masalah moral staf, dan hilangnya kontrol atas aktifitas tertentu. Resiko-resiko tersebut apabila diabaikan akan menaikkan kemungkinan kegagalan proyek. Hal ini memiliki akibat bahwa manfaat berdasarkan outsourcing ditentukan sang persepsi resiko mengenai outsourcing tersebut. Persepsi terhadap resiko akan menghipnotis sikap para pengambil keputusan terhadap outsourcing dan selanjutnya akan menghipnotis niatnya buat melakukan outsourcing. 

Menurut Keil et al (1998), pengambil keputusan akan mempersepsikan resiko menjadi sesuatu yg lebih penting apabila mereka nir memiliki kontrol terhadap resiko-resiko tersebut. Makin akbar resiko outsourcing, maka makin akbar pula biaya yg disebabkan, menggunakan demikian masih ada hubungan positif antara resiko dengan biaya outsourcing. Sebaliknya, persepsi mengenai manfaat outsourcing akan berpengaruh positif terhadap keputusan outsourcing teknologi keterangan. Analisis terhadap manfaat yg diperoleh serta biaya yg ditimbulkan dari outsourcing, serta pertimbangan mengenai resiko yg akan dihadapi akan mempengaruhi niat pengambil keputusan buat melakukan outsourcing teknologi berita. Dari uraian tersebut penulis mengajukan proposisi sebagai berikut: 
Proposisi 1: Persepsi mengenai manfaat yg dirasakan berdasarkan outsourcing memiliki interaksi positif dengan sikap terhadap outsourcing dan selanjutnya akan mempengaruhi niat buat melakukan outsourcing.
Proposisi 2: Persepsi mengenai resiko yg dirasakan berdasarkan outsourcing mempunyai hubungan negatif menggunakan perilaku terhadap outsourcing serta selanjutnya akan mempengaruhi niat buat melakukan outsourcing.
Proposisi tiga: Persepsi mengenai resiko yg dirasakan dari outsourcing memiliki hubungan negatiff menggunakan persepsi tentang manfaat yg dirasakan menurut kegiatan outsourcing, dan seterusnya akan bekerjasama positif dengan sikap terhadap outsourcing.
Proposisi 4: Persepsi tentang resiko yg dirasakan dari outsourcing memiliki hubungan positif dengan persepsi tentang biaya yang dirasakan dari aktivitas outsourcing, dan seterusnya akan berafiliasi negatif menggunakan perilaku terhadap outsourcing.
Proposisi lima: Persepsi mengenai porto yang dirasakan dari outsourcing akan berafiliasi negatif dengan sikap terhadap outsourcing serta seterusnya akan mempengaruhi niat buat melakukan outsourcing.

Dari kelima proposisi tadi dapat digambarkan model penerimaan keputusan outsourcing sebagai berikut:

Gambar 2 : Model penerimaan keputusan outsourcing

PENGERTIAN DAN DEFINISI OUTSOURCING

Pengertian Dan Definisi Outsourcing
Dalam era globalisasi serta tuntutan persaingan dunia bisnis yang ketat ketika ini, maka perusahaan dituntut buat berusaha menaikkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yg efektif serta efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menggunakan mempekerjakan energi kerja seminimal mungkin buat dapat memberi kontribusi aporisma sinkron target perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya penekanan menangani pekerjaan yg sebagai usaha inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan pada pihak lain. Proses aktivitas ini dikenal dengan istilah “outsourcing.” 

“Outsourcing is subcontracting a process, such as product design or manufacturing, to a third-party company. The decision to outsource is often made in the interest of lowering firm costs, redirecting or conserving energy directed at the competencies of a particular business, or to make more efficient use of land, labor, capital, (information) technology and resources. Outsourcing became part of the business lexicon during the 1980s.“ 

Atau dengan istilah lain outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja menurut perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan induk. Perusahaan diluar perusahaan induk mampu berupa vendor, koperasi ataupun instansi lain yg diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi ketenagakerjaan bisa hanya meliputi energi kerja dalam proses pendukung (non--core business unit) atau secara praktek semua lini kerja bisa dialihkan menjadi unit outsourcing. 

Outsourcing menjadi perkara tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi energi kerja. Oleh karena itu terdapat pro serta kontra terhadap penggunaan outsourcing, berikut beberapa penjabarannya pada tabel.

TABEL Pro – Kontra Penggunaan Outsourcing
PRO OUTSOURCING

KONTRAOUTSOURCING

-Business owner mampu penekanan dalam core business.

-Cost reduction.

-Biaya investasi berubah sebagai porto belanja.

-Tidak lagi dipusingkan menggunakan sang turn over energi kerja.

-Bagian menurut modenisasi global bisnis (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)

-Ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi energi kerja. (Sumber: www.hukumonline.com)

-Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal dengan karyawan outsource. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” //recruitmentindonesia.wordpress.com)

-Career Path di outsourcing tak jarang kurang berkala serta terarah. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” //recruitmentindonesia.wordpress.com)

-Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin tetapkan hubungan kerjasama menggunakan outsourcing provider dan mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh.  (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra” //recruitmentindonesia.wordpress.com)

-Eksploitasi insan (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)

(Informasi berdasarkan berbagai asal output browsing pada internet)

1. Undang-undang Mengenai Outsourcing
Untuk mengantisipasi kontra yang terjadi dalam penggunaan outsourcing, maka dibentuk Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Bab IX tentang Hubungan Kerja, yg didalamnya terdapat pasal-pasal yg terkait pribadi menggunakan outsourcing. Berikut dijabarkan isi menurut undang-undang tadi. 
· Pasal 50 – 55, Perjanjian Kerja
· Pasal 56 – 59, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Pasal 59 
(1) Perjanjian kerja buat ketika tertentu hanya dibuat buat pekerjaan eksklusif yg menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai pada waktu tertentu, yaitu :
1. Pekerjaan yang sekali terselesaikan atau yang sementara sifatnya;
2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya pada waktu yang tidak terlalu usang serta paling lama tiga (tiga) tahun;
3. Pekerjaan yg bersifat musiman;
4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, aktivitas baru, atau produk tambahan yg masih pada percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja buat ketika tertentu tidak dapat diadakan buat pekerjaan yg bersifat tetap.
(tiga) Perjanjian kerja buat waktu eksklusif dapat diperpanjang atau diperbaharui. 
(4) Perjanjian kerja buat waktu tertentu yang berdasarkan atas jangaka ketika eksklusif dapat diadakan buat paling usang 2 (2) tahun serta hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali buat jangka saat paling usang 1 (satu) tahun.
· Pasal 60 – 63, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Terbatas (PKWTT)
· Pasal 64 – 66, Outsourcing 

Pasal 64
Perusahaan bisa menyerahkan sebagian aplikasi pekerja kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibentuk secara tertulis.

Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibentuk secara tertulis.
(dua) Pekerjaan yg bisa diserahkan pada perusahaan lai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi kondisi-syarat sebaga berikut:
a. Dilakukan secara terpisah berdasarkan aktivitas utama;
b. Dilakukan menggunakan perintah langsung atau nir pribadi dari pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara holistik; serta 
d. Tidak merusak proses produksi secara langsung
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berbentuk badan aturan.
(4) Perlindungan kerja dan yarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh dalam perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama menggunakan proteksi kerja serta syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(lima) Perubahan serta/atau penambahan syarat-kondisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (dua) diatur lebih lanjut menggunakan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja pada pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulisa antara perusahaan lain serta pekerja/buruh yg dipekerjakan. 
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berdasarkan atas perjanjian kerja waktu nir eksklusif atau perjanjian kerja waktu eksklusif jika memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 59. 
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih sebagai interaksi kerja pekerja/buruh menggunakan perusahaan pemberi pekerjaan. 

Pasal 66, 
Penyediaan jasa pekerja./buruh buat kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yg tidak berafiliasi langsung menggunakan proses produksi wajib memenuhi kondisi menjadi berikut : Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh serta perusahaan penyedia jasa pekerj/buruh;

Pasal 1 ayat 15, “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha menggunakan pekerja/buruh menurut perjanjian kerja, yg memiliki unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” 

Pekerja menurut perusahaan penyedia jasa pekerja nir boleh dipakai sang pemberi kerja melaksanakan aktivitas utama atau aktivitas yang berhubungan pribadi menggunakan proses produksi, kecuali buat aktivitas jasa penunjang atas kegiatan yang nir berhubungan langsung dengan proses produksi. 

2. Penerapan Outsourcing Di Perusahaan
Survei dilakukan menggunakan kuesioner menggunakan convinience sampling pada 44 perusahaan, 

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa 73% perusahaan memakai energi outsource pada aktivitas operasionalnya, sedangkan sisanya yaitu 27% nir menggunakan energi outsource. 

Dari 73%, perusahaan yang sepenuhnya menggunakan energi outsource merupakan jenis industri perbankan, kertas, jasa pendidikan, pengolahan karet & plastik, dan industri kuliner & minuman. Sedangkan industri alat berat, mesin serta wahana transportasi (otomotif serta sparepart) menggunakan energi outsource sebesar 57.14%. Untuk industri farmasi & kimia dasar (80%), industri telekomunikasi & warta teknologi (60%) serta industri lainnya sebanyak 50% terdiri menurut industri jasa pemeliharaan pembangkit listrik, konsultan, EPC (enginering, procurement, construction), pengolahan kayu, kesehatan, percetakan & penerbitan, dan elektronika.

Jika dipandang berdasarkan status kepemilikan, diketahui bahwa BUMN, Joint Venture dan Nirlaba memakai 100% energi outsource dalam aktivitas operasionalnya. Sedangkan untuk swasta nasional memakai energi outsource sebesar 57.69% serta swasta asing memakai sebanyak 85.71%. Hal ini terlihat pada gambar 1, gambar 2 serta gambar 3.

GAMBAR 1 Perusahaan Yang Menggunakan Tenaga Outsourcing
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

GAMBAR dua Perusahaan Yang Menggunakan Outsource Berdasarkan Jenis Industri
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

GAMBAR 3 Perusahaan Yang Menggunakan Outsource Berdasarkan Status Kepemilikan
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

Dalam survei ini ingin diketahui hingga sejauh mana penerapan Outsourcing pada perusahaan, jenis pekerjaan misalnya apa yang poly memakai tenaga outsource, apakah penggunaan tenaga outsource dievaluasi efektif oleh perusahaan?

3. Langkah-langkah Penerapan Sistem Outsourcing
Ketentuan Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan serta putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004, sebagai legitimasi tersendiri bagi eksistensi outsourcing di Indonesia. Artinya, secara legal formal, sistem kerja outsourcing memiliki dasar aturan yg bertenaga untuk diterapkan. Keadaan demikian yg membuat pengusaha menerapkan sistem ini. 

Dimuatnya ketentuan outsourcing pada Undang-Undang Tenaga Kerja dimaksudkan buat mengundang para investor agar mau berinvestasi di Indonesia. 

Penggunaan outsourcing tak jarang dipakai menjadi taktik kompetisi perusahaan buat penekanan pada core business-nya. Tetapi, pada prakteknya outsourcing didorong sang harapan perusahaan buat menekan cost hingga serendah-rendahnya dan menerima laba berlipat ganda walaupun tak jarang melanggar etika usaha. 

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 44 perusahaan dari berbagai industri terdapat lebih menurut 50% perusahaan di Indonesia menggunakan energi outsource, yaitu sebesar 73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak memakai tenaga outsource dalam operasional di perusahaannya.

Dari 73% perusahaan yg menggunakan energi outsource diketahui lima alasan menggunakan outsourcing, yaitu supaya perusahaan bisa penekanan terhadap core business (33.75%), buat menghemat porto operasional (28,75%), turn over karyawan menjadi rendah (15%), modernisasi global bisnis serta lainnya, masing-masing sebesar 11.25%, seperti terlihat dalam gambar 4. Adapun yg sebagai alasan lainnya adalah :
a. Efektifitas manpower
b. Tidak perlu menyebarkan SDM buat pekerjaan yg bukan primer.
c. Memberdayakan anak perusahaan.
d. Dealing with unpredicted business condition.

GAMBAR 4 Alasan Menggunakan Outsourcing
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

Outsourcing, tidak terlepas menurut perusahaan penyedia (provider) jasa energi outsource. Perusahaan wajib memilih provider yg sinkron menggunakan apa yang dibutuhkan dimana perusahaan outsourcing tadi wajib teruji kualitas yg dijanjikan, serta adanya kesepatan untuk membuat hubungan jangka panjang. (Sumber: ”Kesulitan Outsourcing pada Indonesia.” //rahard.wordpress.com)

Oleh sebab itu, perlu diketahui faktor-faktor yang sebagai pertimbangan pada pemilihan provider jasa energi outsource, seperti yg dijabarkan dalam gambar lima. 

GAMBAR lima Faktor-faktor Pemilihan Partner Outsourcing
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

Berdasarkan hasil survei, diketahui bahwa harga sebagai faktor primer pada pemilihan partner outsourcing (22.62%). Sedangkan reputasi yg baik berdasarkan provider outsource menempati posisi kedua yaitu sebesar 21.43%. Untuk tenaga outsource yang dimiliki sinkron menggunakan kebutuhan perusahaan (19.05%), pengetahuan provider outsource terhadap proses usaha perusahaan (11.90%). Pengalaman sebelumnya menempati posisi kelima pada pemilihan partner outsourcing (10.71%), diikuti sang stabilitas provider outsource (8.33%) serta lainnya sebesar lima.95%. Adapun faktor-faktor lainnya merupakan pemenuhan persyaratan ketentuan tenaga kerja serta penyerapan energi terdekat dengan unit kerja. 

Jenis pekerjaan yg dapat menggunakan outsourcing merupakan pekerjaan-pekerjaan yang bukan merupakan tanggungjawab inti menurut perusahaan.

Adapun komposisi jenis pekerjaan yang paling poly menggunakan energi outsource merupakan cleaning service (56.82%), security (38.64%), lainnya (36.36%), driver (25%), sekretaris (22.73%), customer service (13.64%) dan SPG (9.09%), misalnya terlihat di gambar 6. Untuk jenis pekerjaan lainnya terdiri berdasarkan:
  • Bagian pengepakan barang (packing).
  • Helper baik buat maintenance juga mechanic.
  • Facilitator pembinaan, 
  • Resepsionis/operator telepon.
  • Data entry.
  • Call center.

GAMBAR 6 Jenis Pekerjaan Yang Menggunakan Tenaga Outsource
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

4. Masalah Umum Yang Terjadi Dalam Penggunaan Outsourcing
1. Penentuan partner outsourcing.
Hal ini menjadi sangat krusial lantaran partner outsourcing harus mengetahui apa yg sebagai kebutuhan perusahaan dan menjaga hubungan baik menggunakan partner outsourcing.
2. Perusahaan outsourcing harus berbadan aturan.
Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak tenaga outsource, sehingga mereka memiliki kepastian aturan. 
3. Pelanggaran ketentuan outsourcing.
Demi mengurangi porto produksi, perusahaan terkadang melanggar ketentuan-ketentuan yg berlaku. Akibat yg terjadi merupakan demonstrasi buruh yang menuntut hak-haknya. Hal ini sebagai keliru satu perhatian bagi investor asing buat mendirikan usaha pada Indonesia. 
4. Perusahan outsourcing memotong gaji energi kerja tanpa ada batasan sehingga, yg mereka terima, berkurang lebih banyak. 

5. Indikator Keberhasilan Penerapan Sistem Outsourcing
Tidak semua perusahaan berhasil menerapkan sistem outsourcing. Responden melihat indikator keberhasilan terbesar (25%) dalam penerapan outsourcing merupakan pihak yang terlibat wajib bertanggungjawab, mendukung, serta berkomitmen untuk melaksanakan outsourcing. Sedangkan 23.81% menyatakan bahwa keberhasilan dicermati menurut lebih jelasnya aturan main outsourcing didefinisikan dalam kontrak kerja. Untuk kejelasan ruang lingkup proses outsourcing yang ingin dilakukan sebagai faktor keberhasilan yang dipilih sang 17.86%. Update perjanjian antar pengguna serta penyedia energi outsource (13.10%), ada atau tidaknya prosedur formal pada tender calon perusahaan outsourcing (10.71%) dan jangka ketika penyelenggaraan outsourcing (9.52%).

GAMBAR 7 Faktor Keberhasilan Proses Outsourcing
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008 

Inti berdasarkan faktor-faktor tersebut diatas adalah wajib adanya kerjasama serta komitmen yang jelas antara kedua belah pihak supaya outsourcing dapat berjalan sebagaimana asa yang keseluruhan perjanjian kerjasama tadi dinyatakan secara jelas dan jelas di pada kontrak outsourcing.

6. Kepuasan Perusahaan Terhadap Tenaga Outsource
Dari 73% perusahaan yang memakai tenaga outsource, kepuasan perusahaan terhadap tenaga outsource dievaluasi menurut pengertian tenaga outsource terhadap bidang pekerjaan yang dilakukan yaitu sebanyak (87%), kinerja energi outsource (68%), semangat kerja (66%), disiplin kerja (61%). Sedangkan untuk loyalitas energi outsource (55%) diragukan sang perusahaan, seperti terlihat pada gambar 8.

GAMBAR 8 Kepuasan Perusahaan Terhadap Tenaga Outsource
Sumber : Divisi Riset PPM Manajemen, Agustus 2008

7. Keefektifan Outsourcing
Dengan melihat alasan menggunakan outsourcing, faktor-faktor pemilihan perusahaan penyedia jasa outsourcing, dan kepuasan perusahaan terhadap energi outsource, sebanyak 68.2% menyatakan bahwa penggunaan tenaga outsource dinilai efektif serta akan terus menggunakan outsourcing dalam aktivitas operasionalnya. 

Untuk dapat lebih efektif disarankan adanya: 
a. Komunikasi dua arah antara perusahaan dengan provider jasa outsource (Service Level Agreement) akan kerjasama, perubahan atau konflik yang terjadi.
b. Tenaga outsource sudah di training terlebih dahulu supaya memiliki kemampuan/ketrampilan.
c. Memperhatikan hak serta kewajiban baik pengguna outsource juga tenaga kerja yg ditulis secara detail serta mengingformasikan apa yang sebagai hak-haknya.

Sedangkan yg mengakibatkan outsourcing menjadi nir efektif merupakan lantaran kurangnya knowledge, skill dan attitude (K.S.A) dari tenaga outsource.

MANFAAT DAN APLIKASI MODEL PENERIMAAN TEKNOLOGI PADA KEPUTUSAN OUTSOURCING TI

Manfaat serta Aplikasi Model Penerimaan Teknologi Pada Keputusan Outsourcing TI
Perkembangan outsourcing ketika ini semakin tinggi menggunakan cepat, baik sifat maupun fokusnya. Secara historis outsourcing poly dilakukan dalam industri manufaktur, serta sekarang kegiatan outsourcing telah mulai berkembang pesat dalam industri jasa. Baik pada industri manufaktur maupun jasa, outsourcing telah semakin tinggi melewati batas nasional serta global. Sifat outsourcing jua majemuk. Beberapa perusahaan kini melakukan outsourcing dalam aktifitas produksi inti secara ekstensif sebagai akibatnya mereka nir lagi terlibat dalam produksi (Globerman serta Vining, 2004). Inbound dan outbound logistic pula mulai di-outsource secara luas. Perusahaan lain melakukan outsourcing secara luas terhadap aktifitas rantai nilai ke 2 seperti teknologi informasi, sistem akuntansi, distribusi, aspek-aspek manajemen asal daya insan dan R&D (Johnson dan Schneider, 1995).

Outsourcing teknologi warta bukanlah kenyataan baru, dimulai dengan jasa profesional dan jasa manajemen fasilitas di bidang keuangan serta operasi dalam tahun 1960-an serta 1970 (Lee, 2003). Fokus outsourcing teknologi liputan telah berkembang mulai berdasarkan perangkat keras personal komputer , perangkat lunak, standarisasi perangkat keras dan perangkat lunak, sampai dalam solusi total yang mengacu pada manajemen aktiva (Xue et al., 2005).

Meskipun kepentingan terhadap outsourcing semakin tinggi, tetapi masih banyak perusahaan belum mempunyai pemahaman yg kentara mengenai manfaat dan biaya menurut kegiatan outsourcing. Sasaran strategik dari pembuatan keputusan outsourcing harus mampu memaksimumkan manfaat bersih menurut outsourcing tersebut pada aktifitas rantai nilai pada perusahaan. Dalam prakteknya dari Globerman serta Vining (2004) hal ini diwujudkan dalam bentuk meminimumkan porto total dalam kualitas serta kuantitas tertentu berdasarkan aktifitas atau barang-barang yang pada-outsource.

Artikel ini secara generik mencoba menguraikan beberapa aspek krusial terkait dengan pengambilan keputusan outsourcing teknologi liputan, ditinjau menurut sudut pandang manfaat, resiko dan porto outsourcing. Analisis terhadap manfaat, resiko serta porto outsourcing akan memilih keputusan perusahaan buat melakukan outsourcing. Pada akhir tulisan ini penulis mengusulkan sebuah proposisi menggunakan mengadopsi teori penerimaan teknologi (Technology Acceptance Model) pada penentuan keputusan outsourcing.

DEFENISI DAN JENIS OUTSOURCING
Outsourcing teknologi fakta (TI) adalah pemindahan seluruh atau sebagian fungsi atau proses TI perusahaan dalam pihak luar (Benamati dan Rajkumar, 2002). Sementara Aalders (2002) menyatakan outsourcing adalah mengontrak/menyewa pihak ketiga buat mengelola sebuah proses usaha lebih efisien serta efektif daripada yang sanggup dilakukan di dalam perusahaan sendiri. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa outsourcing menyebabkan terciptanya interaksi usaha antara perusahaan dan suplier berdasarkan luar. Penggunaan suplier luar buat melaksanakan aktifitas bisnis dimaksudkan buat mencapai efisiensi serta manfaat-manfaat lainnya. Sebuah planning outsourcing diharapkan akan membuat produktifitas yang lebih tinggi dengan membiarkan setiap grup lebih memfokuskan bisnis dan modalnya dalam kompetensi inti.

Teknologi warta waktu ini berperan penting dalam strategi organisasi sebagai akibatnya poly organisasi yg menggantungkan kesuksesannya pada teknologi keterangan yang dimiliki. Perkembangan dan perubahan teknologi yang sangat cepat telah mengakibatkan kesulitan pada mengelola asal daya penting tadi. Dengan outsourcing semua atau beberapa fungsi teknologi fakta, menaruh cara lain buat mengelola bidang organisasi yang sangat kompleks ini. Menurut Benamati serta Rajkumar (2002), outsourcing teknologi keterangan melibatkan divestasi kendali atas asal daya organisasi yang penting pada pihak ekternal. Oleh karenanya pemilihan fungsi teknologi keterangan yang paling tepat dan kelompok ketiga yang terbaik akan sebagai sangat kompleks. Lebih lanjut McFarlan serta Norlan, (1995) menjelaskan banyak sekali fungsi teknologi keterangan yg seringkali pada-outsource seperti operasi sentra data, manajemen network, pemeliharaan/akuisisi hardware, technical support, pembinaan/pendidikan serta pengembangan pelaksanaan. Outsourcing mampu dilaksanakan pada pada perusahaan (onshore), namun acapkali pula dilakukan di luar perusahaan (offshore).

ALASAN/MOTIVASI OUTSOURCING
Pada dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi warta demikian pesatnya dan sebagai faktor penentu pada mencapai keberhasilan. Ketepatan serta kecepatan liputan sebagai faktor krusial bagi organisasi pada memenangkan persaingan. Kebutuhan organisasi akan teknologi informasi sudah nir diragukan lagi, serta outsourcing mampu menjadi indera yg efektif serta efisien buat memenuhi permintaan terhadap teknologi warta tersebut. 

Keputusan perusahaan buat melakukan outsourcing ditentukan sang poly faktor. Lee et al. (2000) dalam Benamati serta Rajkumar (2002) mengemukakan bahwa sejumlah akbar keputusan outsourcing didorong sang kasus mendasar misalnya ekonomi, strategi serta teknis. Selanjutnya Lee (2004) menemukan beberapa perusahaan melakukan outsource untuk mencapai fleksibilitas produksi yg lebih tinggi, buat berbagi kapasitas, atau supaya lebih penekanan pada kompetensi inti. Tetapi mayoritas perusahaan melakukan outsource terhadap aktifitas produksi untuk mengurangi porto atau meningkatkan kualitas produk menggunakan memakai keahlian dari supplier mereka. Microsoft adalah keliru satu perusahaan yg menggunakan outsourcing buat memungkinkan teknologi informasinya bisa mempertinggi kapabilitas supply chain mereka (Bardhan et al., 2006). Melalui outsourcing Microsoft sanggup membentuk 360 game video dan sistem hiburan di akhir tahun 2005 dengan mempercayakan pada jaringan kontraktor serta supplier untuk mengungkapkan komponen-komponen serta layanan-layanan primer yg krusial bagi produk mereka. 

Banyak yang berpendapat bahwa porto adalah motivasi primer pada melakukan outsourcing (Hurley serta Schaumann, 1997). Permintaan terhadap keahlian teknologi kabar sangat tinggi serta mahal. Seringkali dianggap lebih murah menyewa seorang tenaga pakar daripada mengembangkannya sendiri. Selain itu sumber daya eksternal jua lebih siap buat ditambah atau dikurangi dibanding staf permanen. Tetapi dari Aalders (2002), generasi pertama yang melakukan outsourcing semata-mata lantaran dorongan porto sering menemui kegagalan. 

Faktor motivator lain berdasarkan Hurley serta Schaumann (1997) adalah memperbaharui fokus dalam kompetensi inti bagi organisasi atau bagi staf teknologi fakta pada pada perusahaan. Tidak semua organisasi mempunyai asal daya untuk menyebarkan teknologi informasi yg berkualitas tinggi. Usaha mereka lebih baik dipergunakan buat fokus secara strategik pada sisi bersaingnya. Selain itu organisasi teknologi fakta yg nir efisien pula bisa memotivasi penggunaan outsourcing. Banyak perusahaan yang menggunakan outsourcing buat mengatasi perkara seperti tidak tersedianya keahlian di dalam perusahaan, kualitas yang buruk atau produktifitas yang rendah, permintaan yang sifatnya ad interim atas keahlian eksklusif, atau siklus hidup pengembangan produk yg panjang. Namun dibalik seluruh motivasi tersebut, keputusan buat meng-outsource wajib dibentuk menurut perspektif yg strategis dan memiliki tujuan serta sasaran yang jelas supaya perusahaan benar-benar menerima manfaat menurut keputusan yg diambil.

MANFAAT OUTSOURCING
Pertumbuhan yg sangat akbar pada outsourcing sistem kabar dibuktikan sang banyaknya outsourcing yang dilakukan sang perusahaan-perusahaan akbar seperti Boeing, Bank One serta Xerox (Kim dan Chung, 2003). Tren outsourcing ini masih terus berlanjut hingga ketika ini. International Data Corporation (IDC) memprediksi bahwa pasar outsourcing diseluruh dunia tumbuh dari $100 milyar di tahun 1998 menjadi $151 milyar dalam tahun 2003 (Kim dan Chung, 2003). Alasan yang mendasari fenomena ini beragam, tetapi poly yg percaya bahwa outsourcing sistem atau teknologi liputan akan menghasilkan poly manfaat meliputi penghematan biaya , meningkatnya kualitas layanan, akses terhadap teknologi yang up-to-date, fleksibilitas operasi dan fokus dalam kompetensi inti (Slaughter serta Ang, 1996; Smith et al., 1998 dalam Kim dan Chung, 2003). 

Manfaat lain yang diperoleh berdasarkan outsourcing adalah peningkatan terhadap nilai perusahaan (Hayes et al., 2000). Peningkatan terhadap nilai perusahaan ini ditimbulkan sang empat faktor. Pertama, skala ekonomis (economic of scale and scope). Penyedia jasa outsourcing tak jarang memiliki taraf keahlian dan pengetahuan sistem liputan yg lebih tinggi dalam aneka macam masalah serta pengalaman, dan mereka mencurahkan seluruh kemampuan buat menyediakan layanan sistem fakta (Grover et al., 1996; Huff 1991; Loh dan Venkatraman, 1992; Poppo serta Zenger, 1998; Quinn et al., 1990, pada Hayes et al., 2000). Kombinasi ke 2 hal tersebut menyebabkan provider layanan mampu menawarkan skala irit serta ruang lingkup operasi yang lebih besar yg mampu didapat oleh perusahaan.

Faktor ke 2 merupakan kepentingan kompetensi inti (importance of core competency). Peningkatan nilai perusahaan didapat melalui transfer sumber daya berdasarkan fungsi staf yg nir memiliki nilai tambah menjadi fungsi kompetensi inti yang memiliki nilai tambah. Bettis et al. (1992) pada Hayes et al. (2000) menandakan bahwa outsourcing seharusnya dipandang menjadi sebuah strategi bisnis yang proaktif, dan outsourcing terhadap fungsi-fungsi usaha yg bukan inti mampu menghemat asal daya sebagai akibatnya perusahaan dapat berbagi taktik usaha jangka panjang. Hal yg sama diungkapkan sang Pandey dan Bansal (2003), outsourcing teknologi warta menyebabkan perusahaan sanggup lebih mempertinggi fokus dalam kompetensi inti, sebagai akibatnya perusahaan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan nilai tambah menurut kompetensi pada dasarnya tadi.

Ketiga, fleksibilitas (flexibility). Menurut Hayes et al. (2000) perusahaan yg melakukan outsourcing bisa terhindar berdasarkan keusangan teknologi yg selalu berubah cepat, lantaran mereka nir perlu menginvestasikan modal serta sumber daya manusia yang akbar pada teknologi. Perusahaan mampu meningkatkan fleksibilitasnya dengan mengarahkan kontrak teknologi warta secara terus menerus untuk memenuhi perubahan kebutuhan pelanggan fakta mereka. Faktor keempat yaitu pengurangan biaya (cost reduction). Peningkatan nilai perusahaan sanggup didapat dengan memasukkan acara pengurangan porto yg didisain buat memelihara atau menaikkan posisi besaing perusahaan (Bettis et al., 1992; Huff 1991; Loh dan Venkatraman, 1992, pada Hayes et al., 2000). 

Perusahaan sanggup menurunkan harga pembelian beberapa input dengan mengambil laba menurut biaya supplier yang lebih rendah, atau menaikkan kualitas input menggunakan pembelian beberapa kapabilitas superior berdasarkan supplier luar (Globerman serta Vining, 2004). Penghematan porto pula mampu dihasilkan menurut perubahan kewajiban yg dihadapi oleh perusahaan dibawah hukum pemerintah dan peraturan atau konvensi dengan perkumpulan buruh, misalnya kewajiban membayar porto kesehatan bagi pekerja full-time (Abraham dan Taylor, 1996 pada Globerman dan Vining, 2004). Aktifitas outsourcing memungkinkan perusahaan buat mendapatkan pekerja yang sama menurut supplier luar sebagai karyawan ad interim.

Menurut Hayes et al. (2000) dorongan buat memotong biaya menyebabkan perusahaan secara asal-asalan menentukan fungsi teknologi atau sistem informasi yang akan di-outsource, yg berarti perusahaan tidak memisahkan fungsi sistem informasi yang nir memiliki nilai tambah menurut fungsi kompetensi inti sistem informasi yg mempunyai nilai tambah. Oleh karenanya, keputusan untuk melakukan outsource seharusnya tidak hanya didorong semata-mata sang cita-cita buat mengurangi porto, tetapi juga dimotivasi oleh manfaat strategis jangka panjang yang didapat dari outsourcing (Quinn et al.,1990 dalam Hayes et al., 2000)

Kapabilitas eksklusif yang dimiliki perusahaan adalah faktor penggerak bagi suksesnya persaingan. Kapabilitas yg sulit buat ditiru adalah kunci keunggulan bersaing yg terus menerus (Barney, 1991 dalam Globerman dan Vining, 2004). Untuk kapabilitas yang sulit ditiru, perusahaan bisa mendapatkannya melalui outsourcing. Bukti menunjukkan bahwa pengurangan biaya untuk menerima kapabilitas yg sulit ditiru merupakan galat satu manfaat yang diharapkan menurut aktivitas outsourcing disamping menaikkan fleksibilitas, kualitas dan kontrol.

KESULITAN DALAM MELAKUKAN OUTSOURCING
Meskipun poly perusahaan yg merasa puas dengan outsourcing, namun poly perangkap yang bila nir dipersiapkan menggunakan baik akan menciptakan perusahaan yang melakukan outsourcing terjatuh ke dalamnya. Menurut Barthelemy (2001), dari kuesioner terhadap 50 perusahaan, lebih kurang 14% operasi outsourcing mengalami kegagalan. Selama proses transisi, perusahaan berkecimpung menurut lingkungan in-sourced menuju lingkungan outsouced, perusahaan harus berhadapan dengan banyak sekali perubahan proses dan perubahan budaya (Aalder, 2001; Lanser, 2003). Perubahan ini, terutama perubahan budaya, bukanlah hal yang gampang lantaran terdapat sebuah perubahan pada budaya perusahaan yg sebagai dasar bagi semua proses kerja serta kebiasaan karyawan. Untuk mengatasi masalah yang berkaitan menggunakan outsourcing teknologi berita, poly penelitian yg dilaksanakan buat menaruh pemahaman tentang topik tersebut. 

Teirlynck (1998) menyatakan pengembangan taktik outsourcing bisa dibagi ke dalam empat tahap. Pertama, termin persiapan. Pada tahap ini perusahaan harus memilih keahlian inti dan bukan inti yg dimilikinya, menilai kinerja saat ini, mengevaluasi peluang outsourcing buat yang bukan keahlian inti, menguraikan implikasi outsourcing bagi organisasi, serta memilih contoh hubungan untuk membangun hubungan dengan penyedia (provider) outsourcing. Kedua, melakukan seleksi. Tahap ini merupakan penentuan kriteria penilaian bagi provider, menyaring provider, serta mengevaluasi proposal berdasarkan provider. Ketiga adalah tahap perundingan , mencakup audit terhadap calon yang terdaftar, pemilihan prioritas calon, penentuan ruang lingkup dan struktur kontrak, serta transfer rincian perencanaan dalam provider. Sedangkan tahap keempat merupakan termin implementasi, meliputi re-engineering mediator, penyesuaian internal organisasi, dan penetapan sistem pengukuran provider. Xue et al. (2005) menyatakan bahwa kesuksesan outsourcing teknologi berita terutama yg dilakukan diluar perusahaan (offshore), bekerjasama erat menggunakan kinerja impian team. Oleh lantaran perusahaan yang melakukan outsourcing dan provider outsourcing bekerja sama pada jeda yang jauh, diperlukan kerja sama menurut seluruh anggota virtual team yang terdistribusi secara geografis.

RESIKO DAN BIAYA OUTSOURCING
Resiko diidentifikasi menjadi salah satu faktor krusial pada keputusan outsourcing, yang mana jika diabaikan akan menaikkan kemungkinan gagalnya proyek yg pada-outsource (Benamati dan Rajkumar, 2002). Manajer sistem fakta mungkin mempercayai bahwa outsourcing akan mengurangi timbulnya resiko karena beliau dapat menyediakan personel atau keahlian yang diharapkan oleh organisasi, namun outsourcing pula bisa memunculkan resiko-resiko baru misalnya biaya yang tersembunyi, perkara penurunan moral staff, dan kehilangan kendali atas posisi/sumber daya tertentu. O’Keeffe dan Vanlandingham (2007) menjelaskan, strategi outsourcing telah terbukti efektif, akan tetapi diikuti oleh resiko yang wajib disadari serta dikelola menggunakan baik. Dalam outsourcing, perusahaan mempercayakan orang lain buat menjalankan fungsi usaha eksklusif. Jika nir dikelola secara baik, mungkin akan berpengaruh negatif dalam operasi dan konsumen perusahaan. Produk serta jasa bisa di-outsource, namun resiko tidak.

Aubert et al. (1998) menyatakan istilah resiko mengacu dalam 2 konsep yang berbeda. Pertama, resiko kadang-kadang digunakan sebagai sebuah ungkapan umum yg mengacu dalam output negatif, misalnya porto yang tersembunyi (hidden cost), penurunan pada kinerja sistem, atau hilangnya kemampuan inovatif. Kedua, istilah resiko mengacu pada faktor-faktor yg menyebabkan hasil negatif, misalnya kurangnya komitmen berdasarkan manajemen taraf atas, staf yg nir berpengalaman, atau ketidakpastian usaha waktu mendiskusikan outsourcing teknologi informasi (Earl, 1996).

Jenis resiko pertama berupa output negatif, merupakan konsekuensi yang nir diinginkan dari outsourcing dan berhubungan dengan biaya yg tersembunyi, yg mana kadang-kadang dikatakan menjadi masalah outsourcing teknologi keterangan yg paling besar (Lacity et al., 1995). Biaya tersebut mencakup porto transisi (misalnya porto set up, porto relokasi dsb) dan biaya manajemen sumber daya insan yang harus ditempatkan untuk mengelola kontrak outsourcing. Dalam mendiskusikan aspek porto-manfaat keputusan akuisisi aplikasi, Nelson et al. (1996) mengidentifikasi jenis porto lain yg sanggup dimasukkan ke dalam porto transisi dan porto manajemen, yaitu porto kontrak yg meliputi porto-biaya yg herbi pencarian dan penilaian vendor yg sinkron, benchmark layanan yg ditawarkan, penentuan kontrak secara aturan, menegosiasikan kontrak serta penyelesaian perselisihan.

Aubert et al. (1998) merangkum resiko-resiko berupa konsekuensi yg tidak diinginkan berdasarkan outsourcing teknologi fakta misalnya terlihat pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1

Konsekuensi yang tidak diinginkan berdasarkan outsourcing teknologi informasi
Biaya tersembunyi
Biaya transisi yg tersembunyi serta biaya manajemen
Biaya layanan yg tersembunyi
Kesulitan dalam kontrak
Biaya amandemen kontrak
Perselisihan dan pengajuan perkara
Kesulitan dalam menegosiasikan lagi kontrak
Penurunan nilai layanan
Berkurangnya kualitas layanan
Meningkatnya porto layanan
Hilangnya kompetensi organisasi
Hilangnya keahlian IT
Hilangnya kemampuan inovatif
Hilangnya kendali terhadap aktifitas
Hilangnya keunggulan bersaing
Konsekuensi yang tidak diinginkan berdasarkan outsourcing pada dasarnya disebabkan oleh faktor-faktor resiko yang bisa dilihat dari tiga perspektif yaitu agen (provider), principal, dan transaksi outsourcing itu sendiri. Menurut Aubert et al. (1998), faktor resiko yang ditinjau dari ketiga perspektif tersebut antara lain: perilaku opportunis agen (provider), kurangnya pengalaman dan keahlian dengan aktifitas yang di-outsource, kurangnya pengalaman dan keahlian dalam mengelola kontrak outsourcing, jumlah supplier/vendor outsourcing yang terbatas/sedikit, ketidakpastian kebutuhan di waktu yang akan datang, tingkat ketergantungan aktifitas yang di-outsource, serta kedekatan dengan kompetensi inti. Tabel berikut memperlihatkan hubungan antara faktor resiko dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari outsourcing teknologi informasi. Tabel 1 di atas memperlihatkan beberapa hasil negatif yang ditimbulkan dari aktifitas outsourcing teknologi informasi. Disamping konsekuensi di atas, outsourcing juga menimbulkan berbagai masalah yang berkaitan dengan staf. Menurut Grover et al.(1994) seringkali staf memandang outsourcing sebagai ancaman bagi posisi kerja mereka seperti pemecatan atau dipindahkan ke bagian lain perusahaan. Situasi yang tidak pasti ini menciptakan kegelisahan dan perasaan tidak aman yang mungkin akan menyebabkan menurunnya produktifitas karyawan selama periode menuju penandatanganan kontrak atau bahkan setelah kontrak ditandatangani. 
Tabel 2

Kaitan antara konsekuensi yang nir diinginkandan faktor resiko
Konsekuensi yang tidak diinginkan
Faktor resiko
Transisi yang nir dibutuhkan serta porto manajemen
·Kurangnya pengalaman dan keahlian dari principal mengenai aktifitas
Lock-in

·Ketegasan transaksi
·Jumlah supplier/vendor yg sedikit
Biaya perubahan kontrak
·Ketidakpastian
·Teknologi yang terputus
Perselisihan dan sengketa
·Masalah pengukuran
·Kurangnya pengalaman serta keahlian dari principal dan agen mengenai kontrak outsourcing
Penurunan layanan
·Ketergantungan aktifitas
·Kurangnya pengalaman serta keahlian agen mengenai aktifitas
·Ukuran supplier
·Stabilitas keuangan supplier
Meningkatnya porto layanan
·Perilaku opportunis agen
·Kurangnya pengalaman dan keahlian berdasarkan principal tentang manajemen kontrak
Hilangnya kompetensi organisasi
·Kedekatan menggunakan kompetensi inti
Tabel 2 mengklasifikasikan beberapa hasil negatif dari outsourcing berdasarkan faktor penyebabnya. Meskipun motivasi primer melakukan outsourcing adalah buat memotong biaya , tetapi apabila nir diantisipasi menggunakan baik outsourcing sanggup memunculkan porto-biaya baru seperti porto manajemen, porto perubahan kontrak, serta meningkatnya porto layanan kepada konsumen. Outsourcing jua sanggup mengakibatkan hilangnya kompetensi perusahaan apabila pemilihan fungsi sistem fakta yg akan pada-outsource dilakukan secara sembarangan. Upaya buat meminimalkan resiko outsourcing dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor yang menjadi penyebab timbulnya konsekuensi yang nir diinginkan tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa cara lain mengelola resiko outsourcing.

MENGELOLA RESIKO OUTSOURCING
Aktifitas outsourcing membawa sejumlah resiko yang signifikan. Resiko akan lebih besar jika perusahaan menentukan buat melakukan outsourcing total. Banyak perusahaan yang menyadari resiko ini serta merespon dengan mengadopsi proses analisis resiko secara menyeluruh yang digabungkan dengan menjalankan manajemen resiko agar sanggup mengurangi resiko outsourcing secara efektif. Manajer sistem informasi pula harus mempertimbangkan cara lain -altenatif lain seperti melakukan outsourcing melalui banyak penawaran (multiple bidders)(Yost dan Harmon, 2002; Currie, 1998). Dengan outsourcing yang selektif, perusahaan bisa mempertahankan pengetahuan internal yg diperlukan untuk menangani outsourcing provider. Dengan pilihan multiple bidders, perusahaan dapat menegosiasikan kontrak outsourcing menggunakan banyak vendor yang tidak selaras kompetensi, pengalaman serta posisi pasarnya. Namun strategi ini juga memiliki resiko, Cross (1995) menyatakan sulit buat mengelola dan mengkoordinasikan kerja dari beberapa provider. Sementara Loh serta Venkatraman (1992) menjelaskan bahwa tidak gampang memilih tanggung jawab masing-masing provider terutama apabila aktifitas yang pada-outsource saling tergantung satu sama lain.

Pandey serta Bansal (2003) menyatakan buat meminimalkan resiko maka perusahaan harus mempertimbangkan aktifitas-aktifitas perusahaan yang dilihat paling kritis dalam memutuskan apakah akan melakukan outsourcing teknologi fakta atau nir. Ada empat aktifitas yg dicermati paling kritis, yaitu perencanaan kebutuhan bahan (MRP/Material Requirement Planning), keuangan, manajemen sumber daya insan (seperti pembayaran gaji), dan pengembangan serta pemeliharaan website. Disamping itu perusahaan sebaiknya jua menyewa seseorang konsultan buat membuat keputusan outsourcing, serta ikut mempertimbangkan demam isu yang sedang berlaku pada pasar.

O’Keeffe dari forum konsultan resiko independen Protiviti menjelaskan buat menanggulangi resiko pada kontrak outsourcing perusahaan sebaiknya membuatkan sebuah planning kontrak dan mendokumentasikan seluruh aspek-aspek konvensi yg mencakup konvensi tentang taraf pelayanan (service level), spesifikasi produk, persyaratan perubahan, peran serta tanggung jawab serta hal-hal yg dikecualikan. Pengelolaan terhadap resiko outsourcing sudah harus dimulai dalam waktu perencanaan kontrak dilakukan, termin negosiasi serta tahap selesainya kontrak disepakati. Mekanisme umpan kembali kinerja yang efektif wajib diikuti menggunakan supervisi terhadap kontrak dan kinerja secara bersiklus. Disamping itu kejelasan tentang kiprah serta tanggung jawab masing-masing pihak akan mendukung pencapaian efisiensi serta tujuan pengendalian menurut suplier dan kontrak menajemen. Dengan mekanisme supervisi yg baik dan kejelasan mengenai konvensi kontrak akan bisa meminimalkan resiko sehubungan menggunakan aktifitas outsourcing. 

Untuk mengatasi resiko hilangnya kompetensi perusahaan menurut Hayes et al. (2000), perusahaan harus memisahkan fungsi sistem fakta yang nir memiliki nilai tambah berdasarkan fungsi kompetensi inti sistem informasi yg memiliki nilai tambah. Dengan demikian outsourcing sistem keterangan akan menghasilkan manfaat strategis jangka panjang.

MODEL PENERIMAAN TEKNOLOGI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN OUTSOURCING
Model penerimaan teknologi atau technology acceptance model (TAM) adalah model yang bisa mengungkapkan secara akurat penerimaan sistim warta oleh pemakainya. TAM sendiri diadopsi menurut teori tindakan yang dipertimbangkan (theory of reasoned action) yg dikemukakan sang Ajzen dan Fishbein pada tahun 1980, dan diperkenalkan pertama kali oleh Davis pada tahun 1989 (Lee et al., 2004). TAM menghipotesiskan bahwa perilaku pengguna terhadap teknologi dipengaruhi sang persepsi mereka mengenai kegunaan yang dirasakan atau perceived of usefulness (PU) serta kemudahan yang dirasakan pada penggunaan atau perceived ease of use (PEOU) dalam teknologi dan sikap ini akan mensugesti niat mereka untuk memakai teknologi tersebut (Intention to use). TAM juga menyatakan bahwa perceived ease of use (PEOU) mempengaruhi perceived of usefulness (PU), lantaran sesuatu yang lebih mudah dipakai dipersepsikan akan lebih bermanfaat. Niat untuk memakai teknologi ditentukan sang poly variabel eksternal. Persepsi tentang kegunaan serta kemudahan teknologi memediasi impak variabel eksternal tadi pada perilaku dan niat buat menggunakan teknologi.

Hubungan antara perceived ease of use, perceived usefulness dan penerimaan individu dapat dilihat pada gambar berikut: 

Gambar 1. Technology Acceptance Model (Davis, et al. 1989)

TAM merupakan model yang menerima banyak perhatian dalam penelitian pada bidang teknologi warta. Hal ini disebabkan lantaran penerimaan teknologi sang pemakai teknologi fakta sangat krusial dalam pengembangan teknologi fakta. Oleh karena itu TAM banyak dirujuk dalam penelitian yang terkait dengan penerimaan teknologi fakta oleh pemakainya. 

Keputusan perusahaan buat melakukan outsourcing teknologi warta dapat dipandang menggunakan memakai contoh penerimaan teknologi tersebut. Benamati serta Rajkumar (2002) memakai TAM buat mengetahui faktor yg menghipnotis pengambilan keputusan outsourcing pada pengembangan aplikasi. Dengan memakai metode kualitatif, hasil penelitian tadi menyarankan bahwa keputusan outsourcing ditentukan sang variabel eksternal seperti lingkungan luar, hubungan outsourcing terdahulu, serta resiko berdasarkan outsourcing. Variabel eksternal ini selanjutnya menghipnotis kegunaan yg dirasakan menurut keputusan outsourcing serta kemudahan yang dirasakan pada penggunaan.

Artikel ini mengusulkan model penerimaan teknologi TAM dalam pengambilan keputusan outsourcing ditinjau dari persepsi pengambil keputusan tentang manfaat, resiko dan biaya yg ditimbulkan berdasarkan aktifitas outsourcing. Seperti dijelaskan sebelumnya, outsourcing tidak hanya mendatangkan manfaat, namun jua memunculkan resiko-resiko baru seperti biaya tersembunyi, masalah moral staf, serta hilangnya kontrol atas aktifitas tertentu. Resiko-resiko tersebut bila diabaikan akan menaikkan kemungkinan kegagalan proyek. Hal ini memiliki akibat bahwa manfaat berdasarkan outsourcing dipengaruhi sang persepsi resiko tentang outsourcing tadi. Persepsi terhadap resiko akan mensugesti sikap para pengambil keputusan terhadap outsourcing dan selanjutnya akan mempengaruhi niatnya buat melakukan outsourcing. 

Menurut Keil et al (1998), pengambil keputusan akan mempersepsikan resiko menjadi sesuatu yang lebih krusial bila mereka nir memiliki kontrol terhadap resiko-resiko tersebut. Makin besar resiko outsourcing, maka makin akbar juga biaya yg disebabkan, menggunakan demikian terdapat hubungan positif antara resiko menggunakan biaya outsourcing. Sebaliknya, persepsi mengenai manfaat outsourcing akan berpengaruh positif terhadap keputusan outsourcing teknologi keterangan. Analisis terhadap manfaat yg diperoleh dan porto yang disebabkan berdasarkan outsourcing, dan pertimbangan tentang resiko yang akan dihadapi akan menghipnotis niat pengambil keputusan buat melakukan outsourcing teknologi berita. Dari uraian tadi penulis mengajukan proposisi sebagai berikut: 
Proposisi 1: Persepsi mengenai manfaat yg dirasakan menurut outsourcing memiliki interaksi positif menggunakan sikap terhadap outsourcing serta selanjutnya akan menghipnotis niat buat melakukan outsourcing.
Proposisi dua: Persepsi mengenai resiko yang dirasakan berdasarkan outsourcing mempunyai interaksi negatif menggunakan sikap terhadap outsourcing serta selanjutnya akan mensugesti niat buat melakukan outsourcing.
Proposisi tiga: Persepsi mengenai resiko yg dirasakan berdasarkan outsourcing mempunyai interaksi negatiff menggunakan persepsi mengenai manfaat yg dirasakan berdasarkan aktivitas outsourcing, serta seterusnya akan berhubungan positif menggunakan sikap terhadap outsourcing.
Proposisi 4: Persepsi mengenai resiko yang dirasakan dari outsourcing mempunyai hubungan positif dengan persepsi mengenai porto yg dirasakan berdasarkan kegiatan outsourcing, dan seterusnya akan berafiliasi negatif menggunakan sikap terhadap outsourcing.
Proposisi 5: Persepsi tentang biaya yg dirasakan dari outsourcing akan berafiliasi negatif dengan perilaku terhadap outsourcing dan seterusnya akan menghipnotis niat buat melakukan outsourcing.

Dari kelima proposisi tadi dapat digambarkan model penerimaan keputusan outsourcing menjadi berikut:

Gambar 2 : Model penerimaan keputusan outsourcing