PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PUBLIK

Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik 
Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy) merupakan “Pola ketergantungan yg kompleks berdasarkan pilihan-pilihan kolektif yg saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan buat bertindak yg dibentuk oleh badan atau kantor pemerintah” (N. Dunn, 2000:132). 

Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu kasus lantaran merupakan upaya memecahkan, mengurangi serta mencegah suatu keburukan dan sebaliknya sebagai penganjur penemuan dan pemuka terjadinya kebaikan dengan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan juga bahwa pengetahuan mengenai kebijakan publik merupakan pengetahuan mengenai karena-karena, konsekuensi, dan kinerja kebijakan serta acara publik (Kencana, 1999:106).

Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan pada bahasa Indonesia asal menurut istilah bijaksana yg ialah: (1) selalu memakai logika budinya (pengalaman serta pengetahuan), arif, tajam pikirannya; (2) pandai dan ingat-jangan lupa pada menghadapi kesulitan (cermat; teliti). Pengertian kebijakan sendiri adalah; (1) kemampuan berpikir, kemahiran; (2) rangkaian konsep serta asas yang menjadi garis akbar dan dasar planning pada aplikasi suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (mengenai pemerintahan dan organisasi); penyertaan harapan, tujuan, prinsip dan maksud. Sementara itu pengertian publik yang berasal berdasarkan bahasa Inggris yang berarti negara atau pemerintah. Serangkaian pengertian tadi diambil makna bahwa pengertian kebijakan publik dari Santosa adalah :

“Serangkaian keputusan yg dibuat oleh suatu pemerintah buat mencapai suatu tujuan tertentu dan pula petunjuk-petunjuk yg diperlukan untuk mencapai tujuan tadi terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:lima).

Ahli-pakar ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yg mempunyai tujuan atau maksud-maksud eksklusif, dan mereka yg menganggap kebijakan publik mempunyai akibat-dampak yg mampu diramalkan. Mewakili grup tersebut Nakamura dan Smallwood pada bukunya yg berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat kebijakan publik pada ketiga lingkungannya yaitu :
1. Yaitu lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),
2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan
3. Lingkungan evaluasi (Evaluation) kebijakan.

Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tersebut ini berarti kebijakan publik merupakan :

“Serangkaian instruksi dari para penghasil keputusan kepada pelaksana kebijakan yg mengupayakan baik tujuan-tujuan serta cara-cara buat mencapai tujuan tadi (A set of instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri berdasarkan lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi serta lingkungan penilaian” (Nakamura, 1980:31).

Para pakar pada memberi definisi kebijakan publik acapkali tidak selaras sesuai menggunakan pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. Dye dalam bukunya yang berjudul Understanding Public Policy menaruh definisi kebijakan publik sebagai What ever government choose to do or not to do (apapun yg dipilih oleh pemerintah buat dilakukan atau nir dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12). Selanjutnya Dye mengungkapkan bahwa apabila pemerintah memilih buat melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya. Dan kebijakan publik wajib meliputi seluruh tindakan pemerintah jadi bukan semata-mata adalah pernyataan asa pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yg nir dilakukan pemerintah juga adalah kebijakan publik karena memiliki impak yg sama besar dengan sesuatu yg dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yg nir dilakukan niscaya terkait dengan satu tujuan sebagai komponen penting menurut kebijakan.

Kaitannya dengan hal tersebut, kebijakan publik tentunya mempunyai suatu kepentingan yg bersifat publik dimana berdasarkan Schubert Jr. Membicarakan bahwa kepentingan publik itu ternyata paling nir sedikitnya ada tiga pandangan yaitu :
1. Pandangan rasionalis yang berkata kepentingan publik merupakan kepentingan terbanyak dari total penduduk yang ada.
2. Pandangan idealis menyampaikan kepentingan publik itu adalah hal yang luhur, sebagai akibatnya nir boleh direka-reka sang manusia.
3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik merupakan output kompromi dari pertarungan berbagai grup kepentingan.
(Dalam Fadillah, 2001:20-21).

Dengan melihat penerangan tadi pada atas, nampaknya kita harus merefleksikan dalam fenomena riil kehidupan politik rakyat terkini, maksudnya masyarakat warga terkini yg ideal merupakan rakyat yang mampu mengorganisir diri mereka sinkron menggunakan kepentingan mereka masing-masing.

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEBIJAKAN PUBLIK

Pengertian serta Ruang Lingkup Kebijakan Publik 
Menurut N. Dunn, menyatakan bahwa kebijakan publik (Public policy) adalah “Pola ketergantungan yang kompleks berdasarkan pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan buat bertindak yang dibuat oleh badan atau tempat kerja pemerintah” (N. Dunn, 2000:132). 

Kebijakan publik merupakan semacam jawaban terhadap suatu kasus karena merupakan upaya memecahkan, mengurangi serta mencegah suatu keburukan serta kebalikannya sebagai penganjur penemuan dan pemuka terjadinya kebaikan menggunakan cara terbaik dan tindakan terarah. Dapat dirumuskan pula bahwa pengetahuan mengenai kebijakan publik adalah pengetahuan tentang karena-sebab, konsekuensi, dan kinerja kebijakan serta acara publik (Kencana, 1999:106).

Menelusuri pengertian kebijakan, pertama kebijakan dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah bijaksana yg merupakan: (1) selalu memakai logika budinya (pengalaman dan pengetahuan), arif, tajam pikirannya; (dua) pintar dan jangan lupa-jangan lupa dalam menghadapi kesulitan (cermat; teliti). Pengertian kebijakan sendiri merupakan; (1) kepandaian, kemahiran; (2) rangkaian konsep serta asas yang sebagai garis akbar dan dasar rencana dalam aplikasi suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (mengenai pemerintahan serta organisasi); penyertaan hasrat, tujuan, prinsip dan maksud. Sementara itu pengertian publik yg berasal menurut bahasa Inggris yg berarti negara atau pemerintah. Serangkaian pengertian tadi diambil makna bahwa pengertian kebijakan publik berdasarkan Santosa adalah :

“Serangkaian keputusan yg dibuat sang suatu pemerintah buat mencapai suatu tujuan tertentu dan jua petunjuk-petunjuk yang diharapkan buat mencapai tujuan tersebut terutama pada bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah” (Santosa, 1988:lima).

Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik menjadi keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud eksklusif, dan mereka yang menganggap kebijakan publik mempunyai akibat-dampak yg sanggup diramalkan. Mewakili grup tersebut Nakamura dan Smallwood dalam bukunya yg berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat kebijakan publik pada ketiga lingkungannya yaitu :
1. Yaitu lingkungan perumusan kebijakan (Formulation),
2. Lingkungan penerapan (Implementation), dan
3. Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.

Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tersebut ini berarti kebijakan publik adalah :

“Serangkaian instruksi berdasarkan para pembuat keputusan pada pelaksana kebijakan yg mengupayakan baik tujuan-tujuan dan cara-cara buat mencapai tujuan tersebut (A set of instruction from policy makers to policy implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals). Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri berdasarkan lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan evaluasi” (Nakamura, 1980:31).

Para pakar pada memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sinkron dengan pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. Dye dalam bukunya yang berjudul Understanding Public Policy menaruh definisi kebijakan publik sebagai What ever government choose to do or not to do (apapun yg dipilih oleh pemerintah buat dilakukan atau tidak dilakukan/mendiamkan) (Dye, 1978:12). Selanjutnya Dye mengungkapkan bahwa bila pemerintah memilih buat melakukan sesuatu maka sine qua non tujuannya. Dan kebijakan publik wajib meliputi seluruh tindakan pemerintah jadi bukan semata-mata adalah pernyataan cita-cita pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yg tidak dilakukan pemerintah juga adalah kebijakan publik lantaran mempunyai pengaruh yang sama akbar dengan sesuatu yang dilakukan. Baik yg dilakukan juga yang tidak dilakukan pasti terkait dengan satu tujuan sebagai komponen krusial menurut kebijakan.

Kaitannya dengan hal tadi, kebijakan publik tentunya memiliki suatu kepentingan yang bersifat publik dimana dari Schubert Jr. Menyampaikan bahwa kepentingan publik itu ternyata paling nir sedikitnya terdapat tiga pandangan yaitu :
1. Pandangan rasionalis yg berkata kepentingan publik merupakan kepentingan terbanyak berdasarkan total penduduk yg ada.
2. Pandangan idealis berkata kepentingan publik itu merupakan hal yg luhur, sebagai akibatnya nir boleh direka-reka oleh manusia.
3. Pandangan realis memandang bahwa kepentingan publik merupakan output kompromi dari perseteruan aneka macam grup kepentingan.
(Dalam Fadillah, 2001:20-21).

Dengan melihat penjelasan tadi pada atas, nampaknya kita harus merefleksikan dalam kenyataan riil kehidupan politik warga terkini, maksudnya masyarakat warga modern yg ideal adalah warga yang sanggup mengorganisir diri mereka sinkron menggunakan kepentingan mereka masing-masing.

URGENSI KODIFIKASI HUKUM EKONOMI SYARIAH

Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah
Gagasan ke arah kodifikasi hukum ekonomi syari’ah menerima perhatian berbagai pihak, khususnya para pendaftar serta pemerhati aturan ekonomi syari’ah, sehingga topik ini bermaksud buat membahas sejauhmana pemikiran mengkodifikasikan aturan ekonomi syariah bisa dilaksanakan dalam kerangka sistem perundang-undangan nasional.

Beberapa liputan obyektif penerapan sistem ekonomi syariah yg mendorong perlunya dibuat fundamental hukum ekonomi berwawasan syariah dapat dikemukakan menggunakan menyebutkan beberapa perkembangan historis sebagai berikut:

Perkembangan Historis Penerapan Ekonomi Syariah
Menurut Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, yang membahas hukum Islam serta keuangan, pemikiran awal keuangan Islami bukan suatu temuan (invention) abad ini, yang ditandai menggunakan gerakan politik Islam yg diprakarsai sang para pemikir ekstrim (extrimist political movement), melainkan berakar menurut perintah al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad (Saw), seperti halnya pemikiran yang mengilhami terbentuknya aturan Islam pada bidang perkawinan. Dalam perjalanan ketika berabad-abad lamanya, praktik keuangan kuno yang diterapkan pada negara-negara Islam mengadopsi sistem yg dipaksakan sang kolonial menggunakan peraturan yg dibuat oleh kekuasaan Barat. Dengan impak yg begitu bertenaga berdasarkan Eropa, kebanyakan negara-negara Islam menerapkan sistem perbankan dan praktik usaha yang didominasi oleh sistem Barat. Dapat dikatakan bahwa permulaan penerapan sistem keuangan Islam periode moderen kini ini terjadi seiring menggunakan independensi negara – negara Islam setelah Perang Dunia Kedua.[1] 

Berdasarkan catatan yg ada, institusi keuangan islami pertama adalah proyek Mit Ghamr yg didirikan pada Mesir pada tahun 1963, yg segera disusul sang Nasser Social Bank dalam tahun 1971. Pendirian Islamic Development Bank (1973) yg diprakarsai sang Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang sahamnya sebagian dipegang pemerintah serta sebagian lainnya sang partikelir, adalah tiang pancang pembangunan sistem perbankan moderen. Didorong sang cita-cita buat melepaskan diri menurut politik serta budaya yg didominasi Barat serta kenginan buat melaksanakan suatu hal dari prinsip Syariah, pada aneka macam negara lalu telah berdiri beberapa bank menurut prinsip Syariah.

Gagasan suatu sistem ekonomi Islam berangkat berdasarkan keprihatinan dunia Islam mengenai penerapan sistem bunga pada bank konvensional yg oleh sebagian kalangan muslim dipercaya termasuk pada kategori riba. Oleh karenanya pada dasawarsa 70-an, ketika buat pertama kali muncul pemikiran tentang sistem ekonomi Islam dalam Konferensi Internasional tentang Ekonomi Islam pada Mekkah pada tahun 1976.[2]

Institusi yg memberikan jasa keuangan islami mulai bermunculan dalam tahun 1960-an secara terpencil, tapi pergerakan perbankan serta keuangan islami menerima momentum pertumbuhan dengan didirikannya Dubai Islamic Bank serta Islamic Development Bank yg berbasis di Jeddah pada tahun 1975. Dalam proses evolusinya, model teoritis awal berdasarkan mudharabah dua tingkat dikembangkan menjadi model serbaguna yg memungkinkan Institusi Finansial Islami (IFI) melakukan perdagangan dan usaha pembiayaan guna menerima keuntungan serta membagikan bagian yang sama ke deposan/investor. Guna melengkapi daur keuangan islami, mulai bermunculanlah institusi yg memperlihatkan jasa Takaful pada tahun 1979 menjadi pengganti sisten iuran pertanggungan moderen.[3]

Selain meningkatnyya keterlibatan ahli Syariah, hasil kerja kreatif institusi penelitian misalnya IRTI (IDB), dan penerbitan Standar Syariah oleh AAOIFI (Bahrain) yang menyediakan landasan bagi disiplin keuangan yang mulai berkembang, partisipasi institusi perbankan utama dunia misalnya HSBC, BNP Paribas serta Citigroup pada tahun 1990-an menaruh daya dorong yg buat mentransformasikan menurut disiplin ilmu yg mini menjadi idustri dunia. Pendirian Islamic Financial Services Board (IFSB) pada tahun 2002 yg berfungsi menjadi institusi yang memilih standar keuangan islami yg membukakan jalan bagi Keuangan Islami menjadi proposisi yang bisa diterima secara global. Ia menyediakan dorongan atas promosi dan standardisaasi operasiopnal finansial dari Institusi Finansial Islami IFI) yang mencakup konsultasi pada antara otoritas penghasil peraturan dan institusi finansial internasional. Kemunculan sukuk menjadi investasi serta instrumen menejemen likuiditas dalam enam tahun terakhir tidak hanya cenderung melengkapi daur investasi dalam struktur finansial yang mulai tumbuh, tapi pula menyediakan daya dorong buat perkembangnya dengan potensi yg besar di hadapannya.[4]

Perkembangan Legislasi Syariah Dalam Peraturan Perundang-undangan 
Sejak zaman proklamasi hingga dasa warsa 1990-an, kata syariah dipercaya tabu buat dimasukkan dalam khazanah perundang-undangan. Stigma syariah dalam ihwal politik dan hukum barangkali lantaran adanya phobia (kekuatiran) bahwa implementasi syariah akan menuju kepada pembentukan negara Islam, atau setidak-tidaknya “kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Tetapi menggunakan perkembangan yg terjadi dalam penggalan akhir menurut rezim Orde Baru, pemerintah serta kebijakan politik aturan nasaional mulai “toleran” dengan kata tadi, sehingga stigamasasi syariah pelan-pelan hapus.

Berdasarkan penelusuran (ad interim) dalam Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum serta HAM, saat ini terdapat 108 peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, serta Peraturan Bank Indonesia

Penerapan kegiatan usaha menurut prinsip ekonomi syariah mencapai perkembangan yang cukup signifikan buat diamati, sekurang-sekurangnya dari aspek legislasi. Dalam hal ini akan dikemukakan pembentukan legislasi syariah di bidang perbankan, peradilan, surat berharga serta peraturan pada bidang perseroan terbatas. 

Rintisan penerapan ekonomi (keuangan) syariah taraf nasional diawali menggunakan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, yang secara tegas memberikan pelayanan operasional perbankan menggunakan sistem bagi output (mudharabah). Beroperasinya sistem perbankan syariah memperoleh landasan hukum Undang-Undang Nomor 10 mengenai Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian diperkuat lagi menggunakan UU No. 23 Tahun 1992 mengenai Bank Indonesia sebagaimana telah diubah menggunakan UU No. Tiga Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yg memungkinkan penerapan kebijakan moneter menurut prinsip-prinsip syariah. Kedua undang-undang tersebut sebagai landasan aturan bagi perbankan nasional buat menerapkan sistem perbankan ganda (dual banking system), yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara paralel.[5] Pengembangan bank syariah dapat meningkatklan ketahanan sistem perbankan nasional, namun di sisi lain, dapat membawa konsekuensi terjadinya benturan aturan yg ditimbulkan adanya perbedaan yg prinsip antara ketentuan aturan yg berlaku bagi bank konvensional dengan bank syariah.[6] Mengingat luasnya substansi perbankan syariah (misalnya, perizinan, kepemilikan, bentuk badan hukum, struktur organisasi, manajemen permodalan, jenis kegiatan usaha, cakupan misteri bank, evaluasi kesehatan bank, pengawasan syariah, pasar keuangan, instrumen pasar uang, likuidasi, dan sanksi pidana), Dhani Gunawan menyimpulkan bahwa keberadaan perbankan syariah memerlukan landasan hukum yg kuat pada bentuk undang-undang.[7] 

Pada 7 Mei 2008, berlaku UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) menjadi dasar hukum pengembangan instrumen keuangan syariah. Dengan diakuinya SBSN menjadi cara lain instrumen pembiayaan aturan negara, maka sistem perundang-undang nasional telah menaruh landasan aturan bagi upaya memobilisasi dana publik secara luas berdasarkan prinsip syariah. Upaya pengembangan instrumen pembiayaan tersebut bertujuan buat: (1) memperkuat dan menaikkan sistem keuangan berbasis syariah pada pada negeri; (2) memperluas basis pembiayaan aturan negara; (tiga) membentuk bench mark instrumen keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5) mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri juga luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; serta (6) mendorong pertumbuihan pasar keuangan syariah pada Indonesia.[8] SBSN (Sukuk Negara) yang adalah surat berharga dari prinsip syariah, sebagai akibatnya banyak sekali bentuk akad sukuk yg dikenal pada ekonomi syariah (ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna’, serta lain-lain) bisa diterapkan dari UU No. 19 Tahun 2008. 

Perkembangan aktivitas usaha dari prinsip syariah yg dilakukan sang badan aturan perseroan terbatas merupakan salah satu alasan penggantian UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menggunakan UU No. 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha menurut prinsip syariah, selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. DPS bertugas memberikan nasihat dan saran pada Direksi dan mengawasi aktivitas Perseroan agar sesuai menggunakan prinsip syariah.[9] DPS sebagai organ perseroan yang mendampingi atau melengkapi Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan supaya aktivitas perseroan tidak melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip ekonomi syariah (umpama embargo riba - bunga uang atau return yang diperoleh dari penggunaan uang buat menerima uang - maysir - unsur spekulasi, judi, dan perilaku untung-untungan – dan gharar - unsur ketidakpastian yg antara lain denngan penyerahan, kualitas serta kuantitas. 

Sejalan dengan perkembangan legislasi syariah di atas, maka legislasi di bidang badan peradilan pula perlu “beradaptasi”. UU No. 7 Tahun 1989 mengenai Peradilan Agama sudah diubah dengan UU No. Tiga Tahun 2006. Salah satu pertimbangan yuridis bagi perubahan tadi adalah “perluasan kewenangan Pengadilan Agama” menggunakan alasan “sesuai menggunakan perkembangan hukum dan kebutuhan warga , khususnya rakyat muslim.” Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah.[10] Dengan demikian ruang lingkup yurisdiksi Pengadilan Agama mencakup bidang perkawinan, waris, wasiat, hadiah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.[11] 

Pemikiran dan Urgensi Kodifikasi Hukum
a. Pengertian Kodifikasi 
Dalam Bahasa Latin, code atau codex berarti “a systematically arranged and comprehensive collection of laws[12] yg berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yg disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke pada suatu buku hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations) into a code).[13]

Fockema Andreas mengartikan bahwa codificatie adalah: “Het samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van enige omvang.[14]” (menyusun serta membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang pada bidang hukum menggunakan ruang lingkup yg luas). 

M.J. Koenen serta J.B. Drewes mengartikan codificatie menjadi vereniging van verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek[15] (menyatukan aneka macam peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang). 

Henry Campbell Black mengartikan bahwa:
  • codification merupakan the process of collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering a particular area or subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code or revised statute.[16] (proses mengumpulkan serta menyusun secara sistematik hukum-aturan negara atau peraturan dan regulasi yg mencakup bidang eksklusif atau subyek (isi) hukum atau praktik, yg umumnya dari subyek (isi)nya. 
  • code sebagai a systematic collection, compendium or revision of laws, rules, regulations. A private or official compilation of all permanent laws in force consolidated and classified according to subject matter[17] (himpunan, kompendium, atau reveisi hukum secara sistematik. Kompilasi swasta atau resmi berdasarkan seluruh hukum yang berlaku permanen yang dikonsolidasikan serta dikelompokkan berdasarkan isinya. Maka code (antara lain) berarti buku undang-undang (wetboek). 
Dari berbagai kutipan definisi pada atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi merupakan proses menghimpun serta menyusun secara sistimatik banyak sekali aturan, regulasi atau peraturan pada bidang eksklusif yang ditetapkan oleh negara. Produk menurut kegiatan kodifikasi dapat berupa buku undang-undang (wet, code). 

Bagaimana membedakan atara kodifikasi dengan kompilasi (compilation)? Secara teknis yuridis ke 2 kata tadi agak sulit dibedakan. Tetapi menggunakan memperhatikan definisi tentang compilation dapat diketahui kata tadi berarti “a bringing together of preexisting statutes in the form in which they appear in the books, with the removal of sections which have been repealed and the substitution of amendments in arrangement designed to facilitate their use.”[18] (membawa bersama-sama undang-undang yang ada sebelumnya dalam format yang timbul pada buku, menggunakan menghapus bagian-bagian yang telah dicabut dan penggantian dari perubahan dengan susunan yang dirancang buat menfasilitasi pemakaiannya). Jadi kompilasi dilaksanakan terhadap aneka macam anggaran yg telah terdapat sebelumnya (preexisting statutes) menggunakan mengungkapkan bagian mana (pasal atau paragraf) yg sudah dicabut berikut substitusi (penggantian)nya. 

Apakah kodifikasi atau kompilasi membuat suatu undang-undang atau peraturan yang sama sekali baru? Dari aneka macam definisi di atas terlihat bahwa kodifikasi dalam dasarnya bukanlah membuat undang-undang atau peraturan yang baru melainkan mengumpulkan dan menyusun peraturan yg sudah ada di bidang tertentu secara sistimatik. Tetapi pada perpestif sejarah, misalnya akan diuraikan di bawah ini, masih ada kesan bahwa kodifikasi berarti membangun suatu undang-undang atau peraturan.

b. Asal Usul Kodifikasi 
Mengkodifikasikan undang-undang adalah salah satu kegiatan pembangunan aturan yg merujuk kepada produk aturan abad ke 18 dan 19, yg ditandai menggunakan lahirnya Kodifikasi Napoleon yang diikuti menggunakan banyak sekali kodifikasi di Jerman, Belanda, Italia, dan Indonesia. Tetapi, sebenarnya kegiatan para ilmuwan aturan pada bidang kodifikasi sudah terdapat semenjak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum Masehi. 

Dalam filsafat aturan alam yg berlatar belakang Plato serta Aristoteles terdapat semacam teori bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja dari dalam perjanjian yg dibuat dengan rakyat, yang intinya rakyat bersedia menyerahkan hak-hak mereka pada raja, setelah mereka bersepakat terlebih dahulu (pactum subjectionis) . Sebelum perjanjian itu dibuat mereka setuju lebih dahulu bahwa hak-hak mereka telah diserahkan pada koltivitas (pactum unionis). Sebelum paham aturan alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau yang seringkali dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang membentuk hukum menggunakan memperhtikan faktor-faktor atau kondisi moral, politik, dan sosiologi warga . Hukum Rumawi yang religious serta agraris uyang dituangkan dalam normatif yuridis, pada arti aturan dilihat sebagai norma. Sejak awal hingga akhir, perkembangan hukum Rumawi adalah bersandarkan kodifikaasi, yaitu yang dimulai menggunakan kodifikasi yg diklaim twaalftafelen (meja atau batu hukum dua belas) serta diakhiri pula dengan kodifikasi yaitu yg dianggap Corpus Iuris Civilis.[19] 

Menurut Djoklosoetono, kodifikasi terbesar sepanjang sejarah hukum yg tidak terdapat bandingannya hingga sekarang, terjadi dampak adanya 2 lapisan masyarakat (standen) yang disebut Res Mancipi serta Emancipatio, yg diwujudkan dengan gerombolan (golongan) patriciers dana golongan plebeyers yang selalu terjadi permasalahan karena tidak ada persamaan hak. Golongan patriciers menguasai 

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance – Religion, Risk, and Return, (The Hague, Kluwer International, 1998), hal. 4 - 5
[2] Marulak Pardede & Ahyar, Problem Dual Banking System, dalam Buletin Hukum Perbankan & Kebanksetralan Vol. Tiga – 1 April 2005, hal. 13
[3] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, A – Z Keuangan Syariah, penerjemah Aditiya Wisnu Abadi, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009), hal. Xxvii - xxviii
[4] Ibid
[5] Pasal 1 nomor 3 UU 10/1998
[6] Dhani Gunawan Idat, Analisis Yuridis Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah, pada Buletin Hukum Perbankan serta Kebanksentralan, Vol. Tiga – 1 April 2005, hal. Dua - 3
[7] Ibid, hal. 11
[8] Penjelasan Umum alinea 2 UU 19/2008.
[9] UU 40/2007, Pasal 109, ayat (1), (dua) serta (tiga)
[10] Penjelasan Umum, alinea 2, UU 3/2006. 
[11] “Pasal 49 UU 3/2006.
[13] The American Haritage Dictionary, hal. 287
[14] Juridisch Woordenboek, 97
[15] Wolters’ Woordenboek Nederlands, hal. 263
[16] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[17] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[18] Black’s Law Dictionary, hal. 258
[19] Djokosoetono, Ilmu Negara, Catatan Kuliah yg dihimpun sang Harun Alrasid, 2006, hal. 146 – 147.

URGENSI KODIFIKASI HUKUM EKONOMI SYARIAH

Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah
Gagasan ke arah kodifikasi hukum ekonomi syari’ah menerima perhatian berbagai pihak, khususnya para peminat dan pemerhati hukum ekonomi syari’ah, sebagai akibatnya topik ini bermaksud buat membahas sejauhmana pemikiran mengkodifikasikan aturan ekonomi syariah dapat dilaksanakan pada kerangka sistem perundang-undangan nasional.

Beberapa liputan obyektif penerapan sistem ekonomi syariah yang mendorong perlunya dibentuk mendasar hukum ekonomi berwawasan syariah bisa dikemukakan dengan mengungkapkan beberapa perkembangan historis sebagai berikut:

Perkembangan Historis Penerapan Ekonomi Syariah
Menurut Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, yg membahas aturan Islam serta keuangan, pemikiran awal keuangan Islami bukan suatu temuan (invention) abad ini, yang ditandai dengan gerakan politik Islam yg diprakarsai sang para pemikir ekstrim (extrimist political movement), melainkan berakar berdasarkan perintah al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad (Saw), misalnya halnya pemikiran yang mengilhami terbentuknya hukum Islam di bidang perkawinan. Dalam bepergian waktu berabad-abad lamanya, praktik keuangan antik yang diterapkan pada negara-negara Islam mengadopsi sistem yg dipaksakan sang kolonial menggunakan peraturan yg dibuat oleh kekuasaan Barat. Dengan imbas yg begitu bertenaga dari Eropa, kebanyakan negara-negara Islam menerapkan sistem perbankan dan praktik bisnis yg didominasi oleh sistem Barat. Dapat dikatakan bahwa permulaan penerapan sistem keuangan Islam periode moderen kini ini terjadi seiring dengan independensi negara – negara Islam selesainya Perang Dunia Kedua.[1] 

Berdasarkan catatan yang ada, institusi keuangan islami pertama merupakan proyek Mit Ghamr yg didirikan di Mesir pada tahun 1963, yang segera disusul sang Nasser Social Bank dalam tahun 1971. Pendirian Islamic Development Bank (1973) yang diprakarsai sang Organisasi Konferensi Islam (OKI), yg sahamnya sebagian dipegang pemerintah serta sebagian lainnya oleh swasta, adalah tiang pancang pembangunan sistem perbankan moderen. Didorong sang hasrat buat melepaskan diri menurut politik dan budaya yang didominasi Barat serta kenginan buat melaksanakan suatu hal dari prinsip Syariah, pada banyak sekali negara lalu telah berdiri beberapa bank menurut prinsip Syariah.

Gagasan suatu sistem ekonomi Islam berangkat dari keprihatinan global Islam tentang penerapan sistem bunga pada bank konvensional yg sang sebagian kalangan muslim dipercaya termasuk pada kategori riba. Oleh karena itu dalam dasawarsa 70-an, waktu buat pertama kali muncul pemikiran mengenai sistem ekonomi Islam pada Konferensi Internasional mengenai Ekonomi Islam di Mekkah dalam tahun 1976.[2]

Institusi yang memberikan jasa keuangan islami mulai bermunculan dalam tahun 1960-an secara terpencil, akan tetapi konvoi perbankan dan keuangan islami menerima momentum pertumbuhan dengan didirikannya Dubai Islamic Bank dan Islamic Development Bank yang berbasis pada Jeddah dalam tahun 1975. Dalam proses evolusinya, contoh teoritis awal berdasarkan mudharabah dua taraf dikembangkan sebagai model serbaguna yang memungkinkan Institusi Finansial Islami (IFI) melakukan perdagangan serta usaha pembiayaan guna mendapatkan laba serta membagikan bagian yg sama ke deposan/investor. Guna melengkapi daur keuangan islami, mulai bermunculanlah institusi yang menawarkan jasa Takaful pada tahun 1979 menjadi pengganti sisten asuransi moderen.[3]

Selain meningkatnyya keterlibatan pakar Syariah, hasil kerja kreatif institusi penelitian misalnya IRTI (IDB), serta penerbitan Standar Syariah sang AAOIFI (Bahrain) yang menyediakan landasan bagi disiplin keuangan yg mulai berkembang, partisipasi institusi perbankan primer global seperti HSBC, BNP Paribas serta Citigroup pada tahun 1990-an memberikan daya dorong yang buat mentransformasikan dari disiplin ilmu yg mini menjadi idustri dunia. Pendirian Islamic Financial Services Board (IFSB) dalam tahun 2002 yg berfungsi sebagai institusi yang menentukan standar keuangan islami yg membukakan jalan bagi Keuangan Islami menjadi proposisi yang dapat diterima secara global. Ia menyediakan dorongan atas kenaikan pangkat dan standardisaasi operasiopnal finansial dari Institusi Finansial Islami IFI) yg mencakup konsultasi pada antara otoritas penghasil peraturan dan institusi finansial internasional. Kemunculan sukuk menjadi investasi serta instrumen menejemen likuiditas pada enam tahun terakhir nir hanya cenderung melengkapi siklus investasi pada struktur finansial yg mulai tumbuh, tapi juga menyediakan daya dorong buat perkembangnya menggunakan potensi yg akbar di hadapannya.[4]

Perkembangan Legislasi Syariah Dalam Peraturan Perundang-undangan 
Sejak zaman proklamasi hingga dasa warsa 1990-an, kata syariah dianggap tabu untuk dimasukkan pada khazanah perundang-undangan. Stigma syariah pada tentang politik dan aturan barangkali karena adanya phobia (kekuatiran) bahwa implementasi syariah akan menuju kepada pembentukan negara Islam, atau setidak-tidaknya “kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebagaimana tercantum pada Piagam Jakarta. Tetapi dengan perkembangan yang terjadi pada penggalan akhir berdasarkan rezim Orde Baru, pemerintah serta kebijakan politik hukum nasaional mulai “toleran” dengan istilah tersebut, sehingga stigamasasi syariah pelan-pelan hapus.

Berdasarkan penelusuran (sementara) dalam Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum serta HAM, waktu ini terdapat 108 peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, serta Peraturan Bank Indonesia

Penerapan aktivitas usaha dari prinsip ekonomi syariah mencapai perkembangan yg cukup signifikan buat diamati, sekurang-sekurangnya menurut aspek legislasi. Dalam hal ini akan dikemukakan pembentukan legislasi syariah pada bidang perbankan, peradilan, surat berharga dan peraturan di bidang perseroan terbatas. 

Rintisan penerapan ekonomi (keuangan) syariah tingkat nasional diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, yg secara tegas memberikan pelayanan operasional perbankan menggunakan sistem bagi hasil (mudharabah). Beroperasinya sistem perbankan syariah memperoleh landasan aturan Undang-Undang Nomor 10 mengenai Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan. Kemudian diperkuat lagi menggunakan UU No. 23 Tahun 1992 mengenai Bank Indonesia sebagaimana sudah diubah dengan UU No. Tiga Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yg memungkinkan penerapan kebijakan moneter dari prinsip-prinsip syariah. Kedua undang-undang tersebut menjadi landasan aturan bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda (dual banking system), yaitu penggunaan perbankan konvensional serta syariah yang berjalan secara paralel.[5] Pengembangan bank syariah dapat meningkatklan ketahanan sistem perbankan nasional, namun pada sisi lain, dapat membawa konsekuensi terjadinya benturan hukum yg ditimbulkan adanya perbedaan yang prinsip antara ketentuan hukum yg berlaku bagi bank konvensional dengan bank syariah.[6] Mengingat luasnya substansi perbankan syariah (contohnya, perizinan, kepemilikan, bentuk badan hukum, struktur organisasi, manajemen permodalan, jenis kegiatan usaha, cakupan rahasia bank, penilaian kesehatan bank, pengawasan syariah, pasar keuangan, instrumen pasar uang, likuidasi, dan sanksi pidana), Dhani Gunawan menyimpulkan bahwa keberadaan perbankan syariah memerlukan landasan aturan yang bertenaga dalam bentuk undang-undang.[7] 

Pada 7 Mei 2008, berlaku UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) menjadi dasar aturan pengembangan instrumen keuangan syariah. Dengan diakuinya SBSN menjadi alternatif instrumen pembiayaan aturan negara, maka sistem perundang-undang nasional sudah menaruh landasan hukum bagi upaya memobilisasi dana publik secara luas menurut prinsip syariah. Upaya pengembangan instrumen pembiayaan tadi bertujuan buat: (1) memperkuat dan menaikkan sistem keuangan berbasis syariah pada dalam negeri; (2) memperluas basis pembiayaan anggaran negara; (3) membentuk bench mark instrumen keuangan syariah baik pada pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas serta mendiversifikasi basis investor; (lima) membuatkan cara lain instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri juga luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; serta (6) mendorong pertumbuihan pasar keuangan syariah di Indonesia.[8] SBSN (Sukuk Negara) yg merupakan surat berharga menurut prinsip syariah, sebagai akibatnya aneka macam bentuk akad sukuk yang dikenal pada ekonomi syariah (ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna’, dan lain-lain) bisa diterapkan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2008. 

Perkembangan aktivitas usaha dari prinsip syariah yang dilakukan sang badan hukum perseroan terbatas merupakan keliru satu alasan penggantian UU No. 1 Tahun 1995 mengenai Perseroan Terbatas menggunakan UU No. 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas yang menjalankan aktivitas bisnis berdasarkan prinsip syariah, selain mempunyai Dewan Komisaris harus mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS), yg diangkat sang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. DPS bertugas menaruh petuah serta saran kepada Direksi serta mengawasi aktivitas Perseroan supaya sinkron menggunakan prinsip syariah.[9] DPS menjadi organ perseroan yang mendampingi atau melengkapi Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan supaya kegiatan perseroan nir melakukan aktivitas bisnis yang bertentangan menggunakan prinsip ekonomi syariah (umpama embargo riba - bunga uang atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang - maysir - unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan – dan gharar - unsur ketidakpastian yg diantaranya denngan penyerahan, kualitas dan kuantitas. 

Sejalan menggunakan perkembangan legislasi syariah pada atas, maka legislasi di bidang badan peradilan jua perlu “menyesuaikan diri”. UU No. 7 Tahun 1989 mengenai Peradilan Agama sudah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Salah satu pertimbangan yuridis bagi perubahan tadi merupakan “perluasan wewenang Pengadilan Agama” dengan alasan “sesuai menggunakan perkembangan aturan serta kebutuhan rakyat, khususnya masyarakat muslim.” Perluasan tersebut diantaranya mencakup ekonomi syariah.[10] Dengan demikian ruang lingkup yurisdiksi Pengadilan Agama meliputi bidang perkawinan, waris, wasiat, hadiah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, serta ekonomi syariah.[11] 

Pemikiran serta Urgensi Kodifikasi Hukum
a. Pengertian Kodifikasi 
Dalam Bahasa Latin, code atau codex berarti “a systematically arranged and comprehensive collection of laws[12] yg berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yg disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun aturan atau peraturan ke pada suatu buku aturan secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations) into a code).[13]

Fockema Andreas mengartikan bahwa codificatie merupakan: “Het samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van enige omvang.[14]” (menyusun serta membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke pada buku undang-undang pada bidang hukum dengan ruang lingkup yang luas). 

M.J. Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie menjadi vereniging van verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek[15] (menyatukan aneka macam peraturan ke pada suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang). 

Henry Campbell Black mengartikan bahwa:
  • codification adalah the process of collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering a particular area or subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code or revised statute.[16] (proses mengumpulkan serta menyusun secara sistematik aturan-aturan negara atau peraturan dan regulasi yg meliputi bidang eksklusif atau subyek (isi) aturan atau praktik, yang umumnya dari subyek (isi)nya. 
  • code menjadi a systematic collection, compendium or revision of laws, rules, regulations. A private or official compilation of all permanent laws in force consolidated and classified according to subject matter[17] (himpunan, kompendium, atau reveisi hukum secara sistematik. Kompilasi swasta atau resmi dari semua hukum yg berlaku tetap yang dikonsolidasikan serta dikelompokkan dari isinya. Maka code (antara lain) berarti buku undang-undang (wetboek). 
Dari berbagai kutipan definisi pada atas bisa disimpulkan bahwa kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik aneka macam hukum, regulasi atau peraturan pada bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Produk menurut aktivitas kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang (wet, code). 

Bagaimana membedakan atara kodifikasi menggunakan kompilasi (compilation)? Secara teknis yuridis kedua kata tadi relatif sulit dibedakan. Namun menggunakan memperhatikan definisi mengenai compilation dapat diketahui kata tersebut berarti “a bringing together of preexisting statutes in the form in which they appear in the books, with the removal of sections which have been repealed and the substitution of amendments in arrangement designed to facilitate their use.”[18] (membawa bersama-sama undang-undang yg ada sebelumnya pada format yang ada dalam kitab , menggunakan menghapus bagian-bagian yg telah dicabut serta penggantian menurut perubahan menggunakan susunan yg dibuat buat menfasilitasi pemakaiannya). Jadi kompilasi dilaksanakan terhadap berbagai anggaran yg sudah terdapat sebelumnya (preexisting statutes) menggunakan menyebutkan bagian mana (pasal atau paragraf) yang sudah dicabut berikut substitusi (penggantian)nya. 

Apakah kodifikasi atau kompilasi membuat suatu undang-undang atau peraturan yang sama sekali baru? Dari berbagai definisi di atas terlihat bahwa kodifikasi pada dasarnya bukanlah membuat undang-undang atau peraturan yg baru melainkan mengumpulkan serta menyusun peraturan yg telah ada di bidang tertentu secara sistimatik. Namun pada perpestif sejarah, seperti akan diuraikan di bawah ini, terdapat kesan bahwa kodifikasi berarti menciptakan suatu undang-undang atau peraturan.

b. Asal Usul Kodifikasi 
Mengkodifikasikan undang-undang adalah salah satu kegiatan pembangunan aturan yang merujuk kepada produk hukum abad ke 18 serta 19, yang ditandai menggunakan lahirnya Kodifikasi Napoleon yang diikuti menggunakan aneka macam kodifikasi di Jerman, Belanda, Italia, dan Indonesia. Tetapi, sebenarnya kegiatan para ilmuwan hukum di bidang kodifikasi telah terdapat sejak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum Masehi. 

Dalam filsafat hukum alam yang berlatar belakang Plato dan Aristoteles terdapat semacam teori bahwa kekuasaan yg dimiliki seseorang raja dari pada perjanjian yg dibentuk dengan warga , yang pada dasarnya rakyat bersedia menyerahkan hak-hak mereka dalam raja, sehabis mereka bersepakat terlebih dahulu (pactum subjectionis) . Sebelum perjanjian itu dibentuk mereka setuju lebih dahulu bahwa hak-hak mereka sudah diserahkan kepada koltivitas (pactum unionis). Sebelum paham aturan alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau yang sering dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang membentuk hukum dengan memperhtikan faktor-faktor atau syarat moral, politik, serta sosiologi masyarakat. Hukum Rumawi yang religious dan agraris uyang dituangkan dalam normatif yuridis, dalam arti aturan ditinjau sebagai norma. Sejak awal sampai akhir, perkembangan hukum Rumawi merupakan bersandarkan kodifikaasi, yaitu yang dimulai dengan kodifikasi yg diklaim twaalftafelen (meja atau batu aturan dua belas) serta diakhiri pula menggunakan kodifikasi yaitu yg diklaim Corpus Iuris Civilis.[19] 

Menurut Djoklosoetono, kodifikasi terbesar sepanjang sejarah aturan yang nir terdapat bandingannya hingga sekarang, terjadi akibat adanya 2 lapisan masyarakat (standen) yg diklaim Res Mancipi serta Emancipatio, yang diwujudkan menggunakan kelompok (golongan) patriciers dana golongan plebeyers yg selalu terjadi konflik lantaran nir terdapat persamaan hak. Golongan patriciers menguasai 

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance – Religion, Risk, and Return, (The Hague, Kluwer International, 1998), hal. 4 - 5
[2] Marulak Pardede & Ahyar, Problem Dual Banking System, pada Buletin Hukum Perbankan & Kebanksetralan Vol. Tiga – 1 April 2005, hal. 13
[3] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, A – Z Keuangan Syariah, penerjemah Aditiya Wisnu Abadi, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009), hal. Xxvii - xxviii
[4] Ibid
[5] Pasal 1 angka tiga UU 10/1998
[6] Dhani Gunawan Idat, Analisis Yuridis Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah, dalam Buletin Hukum Perbankan serta Kebanksentralan, Vol. 3 – 1 April 2005, hal. 2 - 3
[7] Ibid, hal. 11
[8] Penjelasan Umum alinea 2 UU 19/2008.
[9] UU 40/2007, Pasal 109, ayat (1), (dua) serta (3)
[10] Penjelasan Umum, alinea 2, UU tiga/2006. 
[11] “Pasal 49 UU tiga/2006.
[13] The American Haritage Dictionary, hal. 287
[14] Juridisch Woordenboek, 97
[15] Wolters’ Woordenboek Nederlands, hal. 263
[16] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[17] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[18] Black’s Law Dictionary, hal. 258
[19] Djokosoetono, Ilmu Negara, Catatan Kuliah yang dihimpun oleh Harun Alrasid, 2006, hal. 146 – 147.