HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Hakikat Dan Tujuan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam 
Dalam Al-Qur’an banyak pada temukan gambaran yang menyampaikan tentang manusia secara filosofis menurut penciptaannya. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang di lengkapi menggunakan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn Arrabi contohnya melukiskan hakikat manusia dengan menyampaikan bahwa,"Tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berpikir, dan tetapkan. 

Manusia adalah makhluk yang sangat penting, lantaran dilengkapi menggunakan penbawaan serta syarat-kondisi yang di perlukan bagi mengemban tugas dan manfaatnya menjadi makhluk Allah pada muka bumi.  

Kemunculan dan perkembangan tradisi keilmuan, pemikiran serta filsafat di global Islam tidak dapat pada sisihkan serta kondisi lingkungan (kebudayaan dan peradaban) yang mengitarinya. Kemunculan serta perkembangan bukan sesuatu yang orisinal serta baru sama sekali tetapi merupakan formulasi baru yang merupakan formasi antara kebudayaan serta peradaban baru yg tiba. Lantaran jauh sebelum daerah-wilayah yg diklaim global Islam pada huni warga muslim, sudah tumbuh suatu masyarakat yg berkebudayaan serta berperadaban. 

1. Pengertian Pendidikan Secara Umum 
Allah telah mendidik serta mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan alam, implisit pengertian yang menyatakan bahwa manusia supaya permanen memelihara kesucian asma` (pelajaran yang pada ajarkan) Tuhan pendidik yang maha tinggi. Tuhan telah menciptakan (alam dan insan), lalu menyempurnakan proses penciptaanya. 

Tuhan sudah menaruh batasan (tetapkan aturan -aturan, dosis, ukuran serta sebagainya pada alam) serta lalu memberi pertunjuk terhadap proses penyempurnaan ciptaan tersebut. Jadi dalam pendidikan filsafat Islam, berarti menyebarkan potensi manusiawi dibawah impak hukum-aturan Allah, baik Al-Quran juga Sunnahtullah, serta hal ini akan menghasilkan kebudayaan, yang terus menerus berkembang. Setiap generasi tua mewariskan kebudayaan pada generasi mudanya serta mengarahkannya agar kebudayaan tadi berkembang.

Dalam tujuan secara generik pendidikan Islam membangun eksklusif bahagia pada global dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yg sanggup mengerakan perkembangan manusia. 

2. Pengertian Pendidikan Islam 
Istilah pendidikan dalam pendidikan Islam dalam biasanya mengacu pada AlTarbiyah, Al-Ta'dib, Al-Ta'lim. Dari ketiga kata tersebut yang populer pada gunakan dalam praktek pendidikan Islam merupakan Al-Tarbiyah, sedangkan Al-Ta'lim serta Al-Ta'dib sporadis sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah dipakai semenjak awal pertumbuhan pendidikan Islam. (Ahmad Syalabi, 1954;21-23) 

Istilah Al-Tarbiyah asal berdasarkan kata Rab. Walaupun kata ini mempunyai banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menerangkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau ekstiensinnya. 

Proses pendidikan Islam adalah bersumber dalam pendidikan yg pada berikan Allah menjadi "pendidik" seluruh ciptaan Nya, termasuk manusia. Pengertian pendidikan Islam yang dikandungkan dalam Al-Tarbiyah, terdiri berdasarkan empat unsur pendekatan, yaitu: 
1. Memelihara dan menjaga fitrah siswa menjelang dewasa (baligh) 
2. Mengembangkan semua potensi menuju kesempurnaan. 
3. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. 
4. Melaksanakan pendidikan secara bertahap. (Abdurrahman An-Nahlawi, 1992:31) 

Istilah Al-Ta'lim merupakan telah digunakan sejak periode awal aplikasi pendidikan Islam. Menurut para pakar, istilah ini lebih bersifat universal pada banding AlTarbiyah mupun Al-Ta'dib. Misalnya mengartikan Al-Ta`lim sebagai proses transmisi aneka macam ilmu pengetahuan dalam jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Melainkan membawa kaum muslimin pada nilai pendidikan tazkiyah dan annafs (pensucian diri) menurut segala kotoran, sebagai akibatnya memungkinkannya mendapat alhikmah serta menyelidiki segala yg bermanfaat buat diketahui. (Abdul Fattah, Jalal, 1998:29-30) 

Istilah Al-Ta'dib merupakan sosialisasi dan pengakuan yang secara berangsurangsur di tanamkan dalam diri manusia (peserta didik) tentang loka-tempat yg tepat berdasarkan segala sesuatu pada pada tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi menjadi pembimbing kearah pengenalan serta pengakuan kepada Tuhan yg sempurna pada tatanan wujud dan kepribadiannya. (Muhammad Naquib Al-Attas 1994:63-64) 

Dalam istilah Al-Tarbiyah yg memiliki arti pengasuh, pemeliharaan, serta kasih sayang nir hanya digunakan buat manusia, akan namun juga digunakan buat melatih serta memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya.

Di antara batasan yg sangat variatif tersebut adalah; 
1. Mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan proses membarui tingkah laris individu peserta didik pada kehidupan pribadi, warga , dan alam sekitarnya. (Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibany, 1979:32-99) 

2. Mendefinisikan pendidikan Islam menjadi upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak siswa hayati lebih bergerak maju menggunakan dari nilai-nilai yg tinggi serta kehidupan yang mulia. 

3. Mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidikan terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang primer (manusia kamil). (Ahmad D. Mariamba, 1989:19) 

4. Mendefinisikan pendidikan Islam menjadi bimbingan yg diberikan oleh seorang agar beliau berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. 

3. Pendidikan Islam Dalam Perspektif Al-Qur’an 
Dalam Al-Qur`an di tegaskan bahwa Allah adalah Rabbal'alamin, ialah merupakan pendidik semesta alam dan pula pendidikan bagi insan. Pengertian tersebut diambil. Karena istilah Rabbal pada arti Tuhan dan Rabb dalam arti pendidik dari berdasarkan dari istilah yang sama. Dengan demikian menurut Al-Qur’an tersebut alam dan manusia memiliki sifat tumbuh dan berkembang serta yg mengatur pertumbuhan dan perkembangan tersebut nir lain kecuali Allah juga. Jadi mendidik serta pendidik pada hakikatmya merupakan fungsi Tuhan dan mendidik adalah mengatur dan, mengarahkan pertumbuhan serta perkembangan alam dan insan sekaligus. Kenapa fenomena bahwa pendidik serta mendidik itu sebagai urusan insan. Dalam pandangan filsafat Islam, menjadi mana ditegaskan pada Al-Qur’an, bahwa pada hakikatnya insan adalah "Khalifah Allah pada alam semesta ini "Khalifah berarti kuasa atau wakil. (Zuhairini, 2004:12) 

Tugas serta Dasar Pendidikan Islam 
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yg berlangsung secara berkesinambungan Berdasarkan hal ini maka tugas dan fungsi yg perlu diemban sang pendidikan Islam adalah pendidikan insan seutuhny dan berlangsung sepajang hayat. 

Konsep ini bermakna bahwa tugas serta fungsi pendidikan mempunyai target dalam peserta didik yang senantiasa tumbuh serta berkembang secara bergerak maju mulai dari kandungan hingga akhir hayatnya. 

Tugas pendidikan Islam merupakan membimbing serta perkembangan siswa menurut tahap ke termin kehidupannya hingga mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsi pendidikan berjalan menggunakan lancar. Adapun sebagai hubungan antara potensi (memberi serta mengadopsi) antara manusia dan lingkungannya. Dengan proses ini, siswa manusia akan menciptakan serta berbagi keterampilan yg pada perlukan untuk mengganti dan memperbaiki syarat-syarat kemanusiaan dan lingkungannya. 

Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam 
Sebagai kegiatan yang berkecimpung dalam proses pembinaan kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yg dijadikan landasan kerja. 

Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi pelaksanaan pendidikan yang telah diprogramkan. Dalam kontek ini, dasar yang sebagai acuan pendidikan Islam hendaknya merupakan sumber nilai kebenaran dan kekuatan yang bisa menghantarkan siswa ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karenanya, dasar yg terpenting berdasarkan pendidikan Islam merupakan Al-Qur'an serta sunnah Rasulullah (hadits). 

Dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu: Menjelaskan sistem pendidikan Islam yg masih ada dalam Al-Qur'an serta menyebutkan hal-hal yang nir masih ada di dalamnya. 

Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah bersama sahabat, perlakuannya terhadap anak-anak, serta pendidikan keimanan yang pernah dilakukannya (Abdurrahman An-Nahlawi, 1992:47). Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling tidak terdapat beberapa hal yg perlu diperhatikan, yaitu: 
1. Tujuan serta tugas insan pada muka bumi. Baik secara vertikal juga horizontal. Sifat-sifat insan tututan warga dan dinamika peradaban 

2. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam (M. Arifin, 1987:120) 
Adapun tujuan pendidikan Islam merupakan berbagi fitrah peserta didik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara bergerak maju, sebagai akibatnya akan terbentuk pribadi yang utuh serta mendukung bagi aplikasi kegunaannya sebagai khalifah fi al-ardh. 

Pendekatan tujuan ini merupakan mempunyai makna, bahwa upaya pendidikan Islam merupakan training pribadi muslim sejati yg mengabdi dan merealisasikan " kehendak " Tuhan sesuai dengan syariat Islam. Serta mengisi tugas kehidupannya di global serta mengakibatkan kehidupan akhirat menjadi tujuan primer pendidikannya. 

Tujuan pendidikan Islam adalah buat mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia (siswa) secara menyeluruh serta seimbang yg dilakukan melalui latihan jiwa, logika pikiran (intelektual), diri manusia yg rasional ; perasaan dan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya meliputi pengembangan semua aspek fitrah siswa ; aspek spiritual, intelektual, khayalan, fisik, ilmiah, serta bahasa, baik secara individual maupun kolektif ; dan mendorong seluruh aspek tadi berkembang kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang paripurna pada Allah, baik secara eksklusif, komunitas, maupun semua umat insan.

HAKIKAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Hakikat Dan Tujuan Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam 
Dalam Al-Qur’an banyak di temukan citra yg menyampaikan mengenai manusia secara filosofis berdasarkan penciptaannya. Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang di lengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn Arrabi misalnya melukiskan hakikat insan dengan berkata bahwa,"Tak terdapat makhluk Allah yg lebih rupawan menurut dalam manusia yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berpikir, dan memutuskan. 

Manusia adalah makhluk yg sangat krusial, lantaran dilengkapi menggunakan penbawaan serta kondisi-syarat yg pada perlukan bagi mengemban tugas serta fungsinya sebagai makhluk Allah pada muka bumi.  

Kemunculan dan perkembangan tradisi keilmuan, pemikiran dan filsafat pada dunia Islam nir dapat pada sisihkan dan kondisi lingkungan (kebudayaan serta peradaban) yg mengitarinya. Kemunculan serta perkembangan bukan sesuatu yang orisinal serta baru sama sekali tetapi adalah formulasi baru yg merupakan gugusan antara kebudayaan dan peradaban baru yg datang. Karena jauh sebelum daerah-daerah yg diklaim global Islam di huni warga muslim, sudah tumbuh suatu masyarakat yang berkebudayaan dan berperadaban. 

1. Pengertian Pendidikan Secara Umum 
Allah telah mendidik dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan alam, tersirat pengertian yg menyatakan bahwa manusia supaya tetap memelihara kesucian asma` (pelajaran yg di ajarkan) Tuhan pendidik yang maha tinggi. Tuhan sudah menciptakan (alam dan manusia), lalu menyempurnakan proses penciptaanya. 

Tuhan sudah menaruh batasan (tetapkan aturan -aturan, takaran, ukuran serta sebagainya di alam) dan kemudian memberi pertunjuk terhadap proses penyempurnaan kreasi tersebut. Jadi pada pendidikan filsafat Islam, berarti mengembangkan potensi manusiawi dibawah pengaruh aturan-hukum Allah, baik Al-Quran maupun Sunnahtullah, serta hal ini akan membentuk kebudayaan, yg terus menerus berkembang. Setiap generasi tua mewariskan kebudayaan dalam generasi mudanya serta mengarahkannya supaya kebudayaan tadi berkembang.

Dalam tujuan secara umum pendidikan Islam membentuk langsung bahagia di dunia serta akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian serta segala hal yg sanggup mengerakan perkembangan insan. 

2. Pengertian Pendidikan Islam 
Istilah pendidikan pada pendidikan Islam pada biasanya mengacu dalam AlTarbiyah, Al-Ta'dib, Al-Ta'lim. Dari ketiga kata tersebut yg terkenal di pakai dalam praktek pendidikan Islam merupakan Al-Tarbiyah, sedangkan Al-Ta'lim serta Al-Ta'dib sporadis sekali digunakan. Padahal kedua kata tersebut sudah digunakan semenjak awal pertumbuhan pendidikan Islam. (Ahmad Syalabi, 1954;21-23) 

Istilah Al-Tarbiyah dari dari kata Rab. Walaupun kata ini memiliki poly arti, akan tetapi pengertian dasarnya menerangkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur serta menjaga kelestarian atau ekstiensinnya. 

Proses pendidikan Islam adalah bersumber dalam pendidikan yg pada berikan Allah menjadi "pendidik" semua kreasi Nya, termasuk manusia. Pengertian pendidikan Islam yang dikandungkan dalam Al-Tarbiyah, terdiri dari empat unsur pendekatan, yaitu: 
1. Memelihara dan menjaga fitrah siswa menjelang dewasa (baligh) 
2. Mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. 
3. Mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. 
4. Melaksanakan pendidikan secara bertahap. (Abdurrahman An-Nahlawi, 1992:31) 

Istilah Al-Ta'lim adalah telah dipakai semenjak periode awal aplikasi pendidikan Islam. Menurut para pakar, kata ini lebih bersifat universal pada banding AlTarbiyah mupun Al-Ta'dib. Misalnya mengartikan Al-Ta`lim menjadi proses transmisi aneka macam ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan serta ketentuan tertentu. Melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah serta annafs (pensucian diri) berdasarkan segala kotoran, sebagai akibatnya memungkinkannya mendapat alhikmah serta menyelidiki segala yang bermanfaat buat diketahui. (Abdul Fattah, Jalal, 1998:29-30) 

Istilah Al-Ta'dib adalah sosialisasi serta pengakuan yg secara berangsurangsur pada tanamkan pada diri insan (siswa) tentang loka-tempat yg tepat berdasarkan segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi menjadi pembimbing kearah pengenalan serta pengakuan kepada Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya. (Muhammad Naquib Al-Attas 1994:63-64) 

Dalam istilah Al-Tarbiyah yang mempunyai arti pengasuh, pemeliharaan, dan afeksi tidak hanya digunakan untuk insan, akan namun pula digunakan buat melatih dan memelihara hewan atau makhluk Allah lainnya.

Di antara batasan yang sangat variatif tadi adalah; 
1. Mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laris individu siswa dalam kehidupan eksklusif, warga , serta alam sekitarnya. (Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibany, 1979:32-99) 

2. Mendefinisikan pendidikan Islam menjadi upaya membuatkan, mendorong dan mengajak siswa hidup lebih bergerak maju menggunakan dari nilai-nilai yang tinggi serta kehidupan yg mulia. 

3. Mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar sang pendidikan terhadap perkembangan jasmani dan rohani siswa menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (manusia kamil). (Ahmad D. Mariamba, 1989:19) 

4. Mendefinisikan pendidikan Islam menjadi bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar dia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. 

3. Pendidikan Islam Dalam Perspektif Al-Qur’an 
Dalam Al-Qur`an pada tegaskan bahwa Allah adalah Rabbal'alamin, ialah merupakan pendidik semesta alam serta jua pendidikan bagi insan. Pengertian tersebut diambil. Karena istilah Rabbal pada arti Tuhan serta Rabb pada arti pendidik asal menurut berasal kata yg sama. Dengan demikian menurut Al-Qur’an tadi alam dan insan mempunyai sifat tumbuh dan berkembang serta yg mengatur pertumbuhan serta perkembangan tersebut tidak lain kecuali Allah juga. Jadi mendidik dan pendidik dalam hakikatmya merupakan fungsi Tuhan dan mendidik merupakan mengatur serta, mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan alam serta manusia sekaligus. Kenapa fenomena bahwa pendidik dan mendidik itu menjadi urusan insan. Dalam pandangan filsafat Islam, menjadi mana ditegaskan dalam Al-Qur’an, bahwa dalam hakikatnya manusia merupakan "Khalifah Allah di alam semesta ini "Khalifah berarti kuasa atau wakil. (Zuhairini, 2004:12) 

Tugas dan Dasar Pendidikan Islam 
Pada hakikatnya, pendidikan Islam merupakan suatu proses yang berlangsung secara berkesinambungan Berdasarkan hal ini maka tugas dan fungsi yang perlu diemban sang pendidikan Islam adalah pendidikan insan seutuhny dan berlangsung sepajang hayat. 

Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan mempunyai sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis mulai dari kandungan hingga akhir hayatnya. 

Tugas pendidikan Islam merupakan membimbing dan perkembangan peserta didik berdasarkan tahap ke termin kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Sementara fungsi pendidikan berjalan menggunakan lancar. Adapun sebagai interaksi antara potensi (memberi serta mengadopsi) antara manusia serta lingkungannya. Dengan proses ini, peserta didik insan akan menciptakan serta membuatkan keterampilan yg di perlukan buat mengganti dan memperbaiki kondisi-syarat humanisme serta lingkungannya. 

Dasar serta Tujuan Pendidikan Islam 
Sebagai aktivitas yg berkiprah pada proses training kepribadian muslim, maka pendidikan Islam memerlukan asas atau dasar yang dijadikan landasan kerja. 

Dengan dasar ini akan memberikan arah bagi aplikasi pendidikan yg telah diprogramkan. Dalam kontek ini, dasar yang sebagai acuan pendidikan Islam hendaknya adalah asal nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan peserta didik ke arah pencapaian pendidikan. Oleh karena itu, dasar yg terpenting dari pendidikan Islam adalah Al-Qur'an serta sunnah Rasulullah (hadits). 

Dalam pendidikan Islam, sunnah Rasul mempunyai dua fungsi, yaitu: Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat pada Al-Qur'an dan menyebutkan hal-hal yg nir masih ada di dalamnya. 

Menyimpulkan metode pendidikan menurut kehidupan Rasulullah bersama teman, perlakuannya terhadap anak-anak, serta pendidikan keimanan yg pernah dilakukannya (Abdurrahman An-Nahlawi, 1992:47). Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, paling nir ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 
1. Tujuan dan tugas manusia di muka bumi. Baik secara vertikal juga horizontal. Sifat-sifat insan tututan warga dan dinamika peradaban 

2. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam (M. Arifin, 1987:120) 
Adapun tujuan pendidikan Islam merupakan berbagi fitrah siswa, baik ruh, fisik, kemauan, serta akalnya secara bergerak maju, sebagai akibatnya akan terbentuk eksklusif yang utuh dan mendukung bagi pelaksanaan manfaatnya sebagai khalifah fi al-ardh. 

Pendekatan tujuan ini adalah memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan langsung muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan " kehendak " Tuhan sinkron dengan syariat Islam. Dan mengisi tugas kehidupannya pada global dan menjadikan kehidupan akhirat menjadi tujuan primer pendidikannya. 

Tujuan pendidikan Islam adalah buat mencapai ekuilibrium pertumbuhan kepribadian insan (peserta didik) secara menyeluruh serta seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, nalar pikiran (intelektual), diri insan yang rasional ; perasaan serta alat. Lantaran itu, pendidikan hendaknya meliputi pengembangan semua aspek fitrah peserta didik ; aspek spiritual, intelektual, khayalan, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif ; dan mendorong seluruh aspek tersebut berkembang kearah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yg paripurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, juga semua umat insan.

KONSEP FITRAH DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENDIDIKAN

Konsep Fitrah Dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan 
Bilamana tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan insan seutuhnya, berarti proses kependidikan yg harus dikelola oleh para pendidik wajib berjalan, di atas pola dasar berdasarkan fitrah yg sudah dibentuk Allah dalam setiap pribadi insan. 

Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yg kompleks, karena pada dalamnya terdapat aspek-aspek kemampuan dasar yg dapat dikembangkan secara dialektis-interaksional (saling mengacu serta mensugesti) buat terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan sempurna melalui arahan kependidikan. 

Makalah ini mencoba menyampaikan konsep fitrah dan bagaimana implikasinya dalam pendidikan Islam. 
1. Konsep Fitrah dalam Perspektif Pendidikan Islam Kaum Nashrani menyatakan bahwa manusia lahir menggunakan seperangkat dosa waris, yakni dosa asal menjadi dampak menurut perbuatan durhaka Adam. Di lain pihak, genre Behaviorisme memandang bahwa insan lahir tidak memiliki kesamaan baik maupun buruk. Teori ini terkenal dengan teori tabularasa (Abdullah, 1982: 59).             

Sedangkan Islam memperlihatkan sebuah konsep tentang hakikat manusia yg tercermin pada konsep fitrahnya. 

Para ahli Islam mencoba memformulasikan makna fitrah, serta tiap-tiap formulasi yg didapatkan melalui kajian serta argumentasi yg kuat. Landasan menurut tiap formulasi tersebut merupakan firman Allah SWT. yang berbunyi : 

ﻓَﺄَﻗِﻢْ وَﺟْﻬَﻚَ ﻟِﻠﺪﱢﻳﻦِ ﺣَﻨِﻴﻔﺎً ﻓِﻄْﺮَةَ اﻟﻠﱠﻪِ اﻟﱠﺘِﻲ ﻓَﻄَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻟَﺎ
ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ ذَﻟِﻚَ اﻟﺪﱢﻳﻦُ اﻟْﻘَﻴﱢﻢُ وَﻟَﻜِﻦﱠ أَآْﺜَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسِ ﻟَﺎ
ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮنَ ﴿٣٠﴾
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepad agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang sudah menciptakan manusia berdasarkan fitrah. Tidak ada perubahan dalam kreasi Allah, (itulah) agama yg lurus, namun kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30) Dari ayat tersebut timbullah berbagai interpretasi tentang makna fitrah yaitu : 
a. Fitrah berarti suci 
b. Fitrah berarti Islam 
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah 
d. Fitrah berarti murni 
e. Fitrah berarti kondisi penciptaan insan yang mempunyai kecenderungan buat mendapat kebenaran. 
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat buat mengabdi serta ma’rifatullah 
g. Fitrah berarti ketetapan atau insiden asal insan mengenai kebahagiaan serta kesesatannya. 
h. Fitrah berarti tabi’at alami yang dimiliki manusia (human nature). 

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fitrah merupakan potensi-potensi dasar manusia yang mempunyai sifat kebaikan dan kesucian buat mendapat rangsangan dan pengaruh berdasarkan luar menuju dalam kesempurnaan serta kebenaran. 

Muhammad Fadhil al-Jamaly memandang fitrah menjadi kemampuan dasar dan kesamaan yg murni bagi setiap individu. 

Fitrah ini lahir dalam bentuk yg paling sederhana dan terbatas, kemudian saling mempengaruhi menggunakan lingkungan sekitarnya, sehingga tumbuh serta berkembang lebih baik, atau bahkan sebaliknya. 

Sebagai mana sudah dijelaskan pada atas bahwa fitrah mengacu kepada potensi yg dimiliki insan. Potensi itu antara lain yaitu, 

a. Potensi beragama 
Perasaan keagamaan adalah insting yang dibawa sejak lahir beserta ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan pada zat tertinggi yg Maha Unggul di luar dirinya serta dan diluar berdasarkan alam benda yg dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh bila manusia dihadapkan dalam dilema dilema yang melingkupinya. 

Akal akan menyadari kekerdilannya serta mengakui akan kudratnya yg terbatas.(Omar, 1979 :122) Akal akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan sang hamba pada Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesame hamba Tuhan. Insan dibawa menyembah kehadirat Allah penciptanya menggunakan lapang dada ikhlas tersisih menurut syirik atau sebarang penyekutuannya. 

b. Kecenderungan moral 
Kecenderungan moral erat kaitannya menggunakan potensi beragama. Ia bisa untuk membedakan yang baik dan tidak baik. Atau yg memiliki hati yg bisa mengarahkan kehendak serta logika. 

Apabila dipandang berdasarkan pengertian fitrah misalnya di atas, maka kesamaan moral itu sanggup mengarah pada dua hal sebagaimana masih ada pada surat Asy-Syam ayat 7:

وَﻧَﻔْﺲٍ وَﻣَﺎ ﺳَﻮﱠاهَﺎ ﴿٧﴾
ﻓَﺄَﻟْﻬَﻤَﻬَﺎ ﻓُﺠُﻮرَهَﺎ وَﺗَﻘْﻮَاهَﺎ ﴿٨﴾
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,

c. Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible). (Omar, 1979 : 156) 
Manusia mampu dibuat serta diubah. Ia sanggup menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adatadat, nilai, tendeni atau genre baru. Atau meninggalkan tata cara, nilai dan genre usang, menggunakan cara hubungan social baik menggunakan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman tentang bagaimana sifat insan yg mudah lentur, masih ada dalam surat Al Insan ayat tiga : 

إِﻧﱠﺎ هَﺪَﻳْﻨَﺎﻩُ اﻟﺴﱠﺒِﻴﻞَ إِﻣﱠﺎ ﺷَﺎآِﺮاً وَإِﻣﱠﺎ آَﻔُﻮراً ﴿٣﴾

Sesungguhnya Kami sudah menunjukinya jalan yang lurus; terdapat yang bersyukur serta ada pula yg kafir.

d. Kecenderungan bermasyarakat 
Manusia pula mempunyai kecendrungan bersosial dan bermasyarakat. 

Menurut Ibnu Taimiyah, pada diri insan setidaknya masih ada 3 potensi (fitrah), (Nizar, 2001 : 76) yaitu : 

a. Daya intelektual (quwwat al-‘aql) 
Yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan jelek. Dengan daya intelektualnya, manusia bisa mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya. 

b. Daya ofensif (quwwat al-syahwat) 
Yaitu potensi dasar yg mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara harmonis dan seimbang. 

c. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan insan berdasarkan segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Tetapi demikian, diantara ketiga potensi tadi, pada samping agama – potensi logika menduduki posisi sentral sebagai indera kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya semua potensi yg ada secara aporisma, sebagaimana yg disinyalir oleh Allah pada buku dan ajaranajaranNya. Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yg dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral. 

Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah insan pada 2 bentuk, yaitu: 

a. Fitrah al gharizat
Merupakan potensi pada diri manusia yang dibawanya sejak lahir. 

Bentuk fitrah ini berupa nafsu, nalar, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan. 

b. Fitrah al munazalat
Merupakan potensi luar insan. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang diturunkan Allah buat membimbing serta mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sinkron menggunakan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara ke 2 fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi jua kualitas manusia. 

Dari seluruh penjelasan tentang potensi manusia, tampak kentara bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal. Lingkungan ikut menghipnotis dinamika serta arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yg dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian jua sebaliknya, penempaan dan pembinaan fitrah yg dimiliki nir dalam fitrahnya maka manusia akan tergelincir menurut tujuan hidupnya. Untuk itu galat satu pembinaan fitrah menggunakan pendidikan. 

Bila pengertian fitrah pada atas dikaitkan dengan tugas serta fungsi manusia lebih lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah manusia tersebut masih memerlukan beberapa upaya buat merangsangnya berkembang secara maksimal . Upaya tersebut merupakan pendidikan. 

Fitrah manusia bukan satu-satunya fotensi insan yang dapat mencetak insan sesuai dengan fungsinya, tetapi terdapat juga potensi lain yang menjadi kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai kecenderungan dalam keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah fitrah wajib permanen dikembangkan serta dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar apabila mendapat suplay yg dijiwai sang wahyu Allah, tentu saja hal ini wajib didorong menggunakan pemahaman Islam secara kaffah serta universal. Semakin tinggi tingkat hubungan seseorang menggunakan Islam, semakin baik jua perkembangan fitrahnya. 

Konsep fitrah dari Islam tidak sama menggunakan teori Tabularasa John Locke. Sebab pada Islam, insan semenjak lahir sudah memiliki banyak sekali bentuk potensi yg mampu dikembangkan. Konsep fitrah insan berdasarkan Islam pula berbeda jauh menggunakan teori nativisme A, Scopenhour, karena dalam Islam mengakui adanya imbas yang besar pada luar diri insan, baik insani juga non insani, dalam menyebarkan dan memodifikasi potensi yang dimilikinya. 

Konsep fitrah dari Islam juga tidak sama dengan teori konvergensi William Stern, karena dalam pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi sang lingkungan semata serta nir mampu dipengaruhi melalui pendekatan kuantitas, sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) pada membentuk kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yang lebih lebih banyak didominasi dalam menciptakan kepribandian manusia, akan tetapi ada kalanya lingkungan yang lebih mayoritas, atau kedua-duanya sama-sama mayoritas. Bahkan dalam Islam, di luar ke 2 impak tadi, terdapat imbas lainnya yang pula ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian insan, yaitu faktor hidayah yg diberikan Allah pada hamba-hamba-Nya yg dikehendaki. 

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa cakupan berdasarkan pengertian fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding menggunakan batasan yang dikembangkan sang para ahli pendidikan pada masa ini pada melihat potensi manusia yg terkesan bersifat parsial serta tanggal dari kerangka bingkai religiusitas manusia yang sakral dan asasi. 

2. Fitrah Manusia dan Pengaruh Lingkungan (suatu pendekatan Konvergensi) 
Manusia lahir menggunakan membawa fitrah, yang meliputi fitrah agama (Q.S.30:30), fitrah intelek (Q.S.7:179), fitrah sosial (Q.S. Lima:dua), fitrah ekonomi (Q.S. 62:10),fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin mengembangkan keturunan (kawin), cinta tanah air, dan sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut harus mendapat tempat serta perhatian, serta imbas dari faktor oksigen insan (lingkungan) buat berbagi serta melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal menurut kelestarian an-nafsu ammarah bis suu`, sebagai akibatnya manusia dapat hayati searah menggunakan tujuan Allah yang mencitakannya. 

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap fitrah insan. 
Bahkan factor tadi bisa mempengaruhi kepribadian insan. Namun demikian, dia bukan satu-satunya factor yang berpengaruh tanpa terdapat dukungan menurut faktor-faktor lain. Pernyataan tadi menolak pandangan Skinner yg menyampaikan bahwa lingkungan memilih kehidupan manusia betapapun dia mengganti lingkungannya. Di sini terlihat bahwa manusia nir lebih hanya mewarisi sejumlah gerak refleks (gerakan-gerakan yg tiak disengaja), pada samping itu kepercayaan sebagai aspek lain menurut tingkah laku insan dapat dijelaskan berkenaan menggunakan factor-faktor lingkungan.. Pernyatan tadi dibuktikan bahwa anak-anak orang Islam umumnya menjadi muslim, sedangkan anak-anak orang Kristen umumnya menjadi Kristen. Hal tersebut disebutkan Skinner sebagai keliru satu model buat menyebutkan teorinya (Abdullah, 1982: 60) Pada fase defense, masa kanak-kanak menaruh kemungkinan orang tuanya untuk memberikan dampak-impak pada putra-putrinya. 

Fakta ini tampaknya menarik perhatian Skinner berkenaan menggunakan hadits Nabi saw, yg menampakan cara fitrah itu dipengaruhi oleh lingkungannya. Sabda Nabi SAW. (Imam Muslim: 53) 

“Tidak seseorang pun dilahirkan kecuali dia mempunyai fitah, maka kedua orang tuanya yang mensugesti, menjadikannya Yahudi, Nasrani serta Majusi”. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah) 

Hadits di atas menyebutkan bahwa fitrah yang dibawa semenjak lahir, dapat ditentukan oleh lingkungan. Fitrah ini nir bisa berkembang tanpa adanya imbas positif menurut lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis apabila lingkungan itu nir memungkinkan buat membuahkan fitrah tadi lebih baik. Factor-faktor eksternal yg bergabung menggunakan fitrah dan sifat dasarnya bergantung dalam sejauh mana hubungan internal berperan terhadap fitrah tadi. 

Sebaliknya, berdasarkan pengamat behavioris, fitrah itu nir mengharuskan insan buat berusaha keras terhadap lingkungannya. Dua anak yg hayati pada syarat yang sama barangkali memberi respon terhadap setiap stimulus dengan cara yg berbeda-beda. Permaisuri Fir’aun menurut Mesir sudah sebagai perempuan yg beriman kepada Allah SWT.sekalipun berada di lingkungan orang musyrik, beliau selalu berdo`a pada Allah SWT yang disebutkan dalam Firman Allah (Q.S At-Tahrim : 11) 

Di samping itu, hadits Nabi SAW. Tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah adalah suatu pembawaan setiap manusia semenjak lahir, dan mengandung nilai-nilai religi. Penyimpangan fitrah adalah akibat berdasarkan factor lingkungan (pendidikan). Di pada fitrah terkandung pengertian baik buruk, sahih galat, indah jelek, lempang sesat, serta seterusnya. 

Pelestarian fitrah ini dapat ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal, atau mengembalikannya dalam kebaikan sesudah dia mengalami penyimpangan (kuratif) (Ahmad: 32). 

Setiap yang dilahirkan mempunyai kemungkinan dan kemampuan buat tumbuh dan berkembang sesuai menggunakan dampak alam sekitarnya. Dari sisi ini, Al-Qur`an sangat menekankan pentingnya pendidikan serta pedagogi. Dari sisi ini pula, al-Qur`an menekankan bahwa Allah SWT. memberi kemampuan nalar yg bisa membedakan antara yg baik dan tidak baik kepada insan, sehingga pendidikan berperan pada mengarahkan akal insan ke jalan yang baik serta sahih, bukan ke jalan yg buruk serta tersesat. Uraian itu dapat dibuktikan pada al-Qur`an bahwa insan memiliki tabiat orisinil (Q.S. 30:30) yg harus diupayakan menggunakan pendidikan (Q.S. 16:78), dan adanya kemampuan memilih bagi manusia (Q.S. 6:78, 90:8, 76:3) (Al-Jamaly, 1986: 66). 

Ibnu Khaldun jua membicarakan bahwa factor-faktor pada luar diri manusia mempengaruhi kecenderungan-kecenderungan tindakan manusia. Dengan demikian, insan yg sebenarnya merupakan manusia yg dibentuk sang lingkungannya, baik lingkungan alam fisik maupun lingkungan alam social yg dibentuk oleh tindakan-tindakan nyata manusia (Raharjo, 1987: 7). Interaksi insan dengan lingkungannya itulah menumbuhkan forum, tradisi, system atau structural yg memberikan ciri pada suatu warga atau peradaban eksklusif. 

3. Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam 
Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa karena sifat dasar insan adalah makhluk yang serba terbatas serta memerlukan upaya yg menciptakan kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna, maka perlu terdapat upaya. Upaya itu adalah lewat pendidikan. Oleh karenanya sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya mengembangkan sifat serta potensi yg dimiliki peserta didiknya secara efektif dan dinamis. Potensi itu mencakup kemampuan mengamati, menganalisa serta mengklasifikasi, berpendapat,serta kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik yg berhubungan pribadi menggunakan insan itu sendiri, alam, sosial, maupun pada Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213) 

Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya dalam pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang terdapat pada aspek jasmani juga rohani: intelektual, emosional, dan moral etis religius dalam diri peserta didiknya unutk mewujudkan sosok insan paripurna yg sanggup melakukan dialektika aktif dalam semua potensi yang dimilikinya. 

Agar mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sinkron dengan nilai-nilai Ilahiah, maka dalam dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media menstimuli bagi perkembangan serta pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai abd juga sebagai khalifah fi al-ardh. Adapun model atau bentuk yg ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan sebagai problem. Terserah pada kebijaksanaan serta kepentingan manusia itu sendiri, asal saja pelaksanaan pendidikan tadi tidak bertentangan, akan namun mempunyai keserasian dengan potensi yang dimiliki sang peserta didik dan fitrah religiusnya buat senantiasa mengarah pada fitrah Allah yg hanif. Dengan upaya ini akan membentuk situasi dan model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel. 

Fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat berdasarkan 2 dimensi manusia secara integral, yaitu fitrah jasmaniah serta fitrah rohaniah. Keduanya mempunyai natur serta kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yg lain, karena hakekat esensial keduanya tidak selaras, akan tetapi keduanya saling melengkapi antara satu menggunakan yg lainnya. Apabila galat satu pada antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas fitrah insan, buat itu proses pendidikan Islam wajib sanggup menyentuh keduanya secara padu dan serasi, yaitu dengan jalan mengembangkan serta memenuhi kebutuhan kedua dimensi tadi terhadap peserta didik. 

Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan menurut satu generasi pada generasi berikutnya, akan namun jauh dari itu, pendidikan Islam adalah suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, mencakup pengembanagn jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi serta akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian sempurna bagi kemashlahatan seluruh umat (Langgulung, 1995: 13). 

Dengan demikian, berarti pendidikan Islam adalah proses penanaman nilai Ilahiah yg diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yg disesuaikan menggunakan kemampuan dan perkembangan potensi siswa. Artinya, pola pendidikan yang ditawarkan wajib disesuaikan menggunakan kebutuhan fisik serta psikis peserta didik sebagai subjek pendidikan. 

Jika nir, proses pendidikan yg ditawarkan akan mengalami stagnasi dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus sanggup menyentuh kesemua aspek insan secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya. 

Apabila kita melihat program pendidikan sebagai bisnis buat menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi serta insani, dan membekali anak didik menggunakan kemampuan yg produktif. 

(Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan bahwa fitrah merupakan potensi dasar murid yang bisa menghantarkan pada tumbuhnya daya kreativitas serta produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai yang kuasa dan insani. Hal tadi dapat dilakukan melalui pembekalan banyak sekali kemampuan menurut lingkungan sekolah serta luar sekolah yang terjadwal pada acara pendidikan. 

Seorang pendidik nir dituntut buat mencetak anak didiknya menjadi orang ini serta itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan serta mengembangkan potensi dasarnya dan kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sinkron dengan kemampuan dan talenta yg dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai sifat dasar yang ditinjau menjadi pembawaan dursila, upaya pendidikan diarahkan serta difokuskan buat menghilangkan dan menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tadi. Bagi teori Lorenz yang membentuk pembawaan serangan insan sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan buat mencapai objek-objek pengganti serta mekanisme-mekanisme sublimasi yang akan membantu menghilangkan sifatsifat serangan ini. Jelasnya seorang pendidik nir perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang sudah dibawa murid semenjak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya buat menjauhkan timbulnya pelajaran yang dapat mengakibatkan kebiasaan-norma yg jelek. Konsep fitrah ini nir terkecuali bagi pendidik muslim buat berikhtiar menanamkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, lantaran fitrah itu tidak dapat berkembang dengan sendirinya. 

Konsep fitrah memiliki tuntutan supaya pendidikan Islam diarahkan buat bertumpu dalam at-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat interaksi yg mengikat insan menggunakan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari siswa seharusnya nir bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan insan akan adanya Allah melalui fitrahnya tidak dapat disamakan menggunakan teori yang memandang bahwa monoteisme menjadi suatu tingkat kepercayaan agama yg tertinggi. At-tauhid merupakan inti berdasarkan seluruh ajaran kepercayaan yang dianugrahkan Allah pada insan, munculnya kepercayaan mengenai banyaknyga Tuhan yg mendominasi manusiahanya saat at-tauhid telah dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi juga perkara kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yg menekankan keagungan Allah yg wajib dipatuhi dan diperhatikan pada kurikulum pendidikan Islam. 

Di samping fitrah, manusia jua mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah misalnya makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah tidak dapat dikonsumsikan sebagaimana fauna, tetapi lebih dari itu, pemenuhan tersebut harus dikonsumsikan serasi buat mengaktualisasikan fitrah manusia. Konsep demikian itu nir berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, misalnya tidak kawin; puasa terus menerus, serta sebagainya,. Pernyataan tadi diisyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-Rum : 30 

ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ

“Tidak ada perubahan dalam kreasi Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30) 

Firman Allah pada atas menerangkan bahwa kebutuhan jasmaniah siswa nir boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan dalam hal-hal yg positif. Seorang pendidik nir boleh mengganti kebutuhan dasar jasmaniah siswa, sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa ayat 119 : 

وَﻵﻣُﺮَﻧﱠﻬُﻢْ ﻓَﻠَﻴُﻐَﻴﱢﺮُنﱠ ﺧَﻠْﻖَ اﻟﻠّﻪِ وَﻣَﻦ ﻳَﺘﱠﺨِﺬِ اﻟﺸﱠﻴْﻄَﺎنَ
وَﻟِﻴّﺎً ﻣﱢﻦ دُونِ اﻟﻠّﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺴِﺮَ ﺧُﺴْﺮَاﻧﺎً ﻣﱡﺒِﻴﻨﺎً ﴿١١٩﴾
…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau merubahnya. Barang siapa yg berakibat syetan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya beliau menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141) 

Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati menyampaikan 5 faktor yang secara konstan serta simultan membangun personalitas anak didik, yaitu : 
• Factor mak yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang penuh dengan afeksi dan kelembutan. 
• Factor ayah yang memberikan dimensi kekuatan akan hahrga diri. 
• Factor sekolah yg membantu terbentuknya sifat. 
• Factor masyarakat dan lingkungan yg memberikan wahana realitas bagi anak. 
• Factor kebudayaan generik rakyat yang memberi pengetahuan serta pengalaman tentang corak kehidupan insan. (Syari`ati, 1982: 64) 

Kelima faktor di atas adalah stimulasi yang bisa menyebarkan fitrah siswa pada aneka macam dimensinya. Lantaran fitrah manusia mempunyai sifat yang kudus dan bersih, orang tua/pendidik dituntut buat tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didiknya dalam kebiasaan yg baik, serta melarang mereka membiasakan diri buat berbuat tidak baik.

KONSEP FITRAH DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENDIDIKAN

Konsep Fitrah Dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan 
Bilamana tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan insan seutuhnya, berarti proses kependidikan yang wajib dikelola sang para pendidik wajib berjalan, pada atas pola dasar berdasarkan fitrah yang sudah dibuat Allah dalam setiap langsung insan. 

Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yg kompleks, lantaran pada dalamnya masih ada aspek-aspek kemampuan dasar yg bisa dikembangkan secara dialektis-interaksional (saling mengacu serta menghipnotis) untuk terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan paripurna melalui arahan kependidikan. 

Makalah ini mencoba mengungkapkan konsep fitrah dan bagaimana implikasinya pada pendidikan Islam. 
1. Konsep Fitrah pada Perspektif Pendidikan Islam Kaum Nashrani menyatakan bahwa insan lahir menggunakan seperangkat dosa waris, yakni dosa berasal sebagai akibat menurut perbuatan durhaka Adam. Di lain pihak, genre Behaviorisme memandang bahwa insan lahir tidak memiliki kesamaan baik juga buruk. Teori ini populer menggunakan teori tabularasa (Abdullah, 1982: 59).             

Sedangkan Islam memberikan sebuah konsep mengenai hakikat insan yang tercermin dalam konsep fitrahnya. 

Para pakar Islam mencoba memformulasikan makna fitrah, serta tiap-tiap formulasi yg didapatkan melalui kajian serta argumentasi yang kuat. Landasan berdasarkan tiap formulasi tadi adalah firman Allah SWT. yg berbunyi : 

ﻓَﺄَﻗِﻢْ وَﺟْﻬَﻚَ ﻟِﻠﺪﱢﻳﻦِ ﺣَﻨِﻴﻔﺎً ﻓِﻄْﺮَةَ اﻟﻠﱠﻪِ اﻟﱠﺘِﻲ ﻓَﻄَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻟَﺎ
ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ ذَﻟِﻚَ اﻟﺪﱢﻳﻦُ اﻟْﻘَﻴﱢﻢُ وَﻟَﻜِﻦﱠ أَآْﺜَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسِ ﻟَﺎ
ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮنَ ﴿٣٠﴾
“Maka hadapkanlah wajahmu menggunakan lurus kepad kepercayaan Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang sudah menciptakan insan berdasarkan fitrah. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30) Dari ayat tersebut timbullah banyak sekali interpretasi mengenai makna fitrah yaitu : 
a. Fitrah berarti suci 
b. Fitrah berarti Islam 
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah 
d. Fitrah berarti murni 
e. Fitrah berarti syarat penciptaan insan yg mempunyai kesamaan untuk menerima kebenaran. 
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia menjadi alat untuk mengabdi serta ma’rifatullah 
g. Fitrah berarti ketetapan atau peristiwa asal manusia mengenai kebahagiaan serta kesesatannya. 
h. Fitrah berarti tabi’at alami yang dimiliki manusia (human nature). 

Dari pendapat di atas, bisa disimpulkan bahwa fitrah merupakan potensi-potensi dasar manusia yg mempunyai sifat kebaikan serta kesucian untuk menerima rangsangan dan dampak menurut luar menuju dalam kesempurnaan serta kebenaran. 

Muhammad Fadhil al-Jamaly memandang fitrah menjadi kemampuan dasar serta kesamaan yang murni bagi setiap individu. 

Fitrah ini lahir dalam bentuk yang paling sederhana dan terbatas, kemudian saling menghipnotis menggunakan lingkungan sekitarnya, sehingga tumbuh dan berkembang lebih baik, atau bahkan kebalikannya. 

Sebagai mana telah dijelaskan pada atas bahwa fitrah mengacu pada potensi yang dimiliki manusia. Potensi itu antara lain yaitu, 

a. Potensi beragama 
Perasaan keagamaan adalah insting yang dibawa semenjak lahir beserta ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan kepada zat tertinggi yg Maha Unggul di luar dirinya serta dan diluar menurut alam benda yg dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh apabila insan dihadapkan pada duduk perkara masalah yg melingkupinya. 

Akal akan menyadari kekerdilannya serta mengakui akan kudratnya yg terbatas.(Omar, 1979 :122) Akal akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan oleh hamba kepada Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesame hamba Tuhan. Insan dibawa menyembah kehadirat Allah penciptanya dengan lapang dada nrimo tersisih menurut syirik atau sebarang penyekutuannya. 

b. Kecenderungan moral 
Kecenderungan moral erat kaitannya dengan potensi beragama. Ia sanggup buat membedakan yang baik serta jelek. Atau yg memiliki hati yang dapat mengarahkan kehendak serta logika. 

Apabila dicermati menurut pengertian fitrah seperti pada atas, maka kecenderungan moral itu mampu menunjuk kepada 2 hal sebagaimana terdapat dalam surat Asy-Syam ayat 7:

وَﻧَﻔْﺲٍ وَﻣَﺎ ﺳَﻮﱠاهَﺎ ﴿٧﴾
ﻓَﺄَﻟْﻬَﻤَﻬَﺎ ﻓُﺠُﻮرَهَﺎ وَﺗَﻘْﻮَاهَﺎ ﴿٨﴾
Dan jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan serta ketakwaannya,

c. Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible). (Omar, 1979 : 156) 
Manusia bisa dibentuk serta diubah. Ia mampu menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adatadat, nilai, tendeni atau aliran baru. Atau meninggalkan adat, nilai serta genre lama , dengan cara hubungan social baik menggunakan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman mengenai bagaimana sifat insan yg gampang lentur, terdapat dalam surat Al Insan ayat 3 : 

إِﻧﱠﺎ هَﺪَﻳْﻨَﺎﻩُ اﻟﺴﱠﺒِﻴﻞَ إِﻣﱠﺎ ﺷَﺎآِﺮاً وَإِﻣﱠﺎ آَﻔُﻮراً ﴿٣﴾

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yg lurus; terdapat yang bersyukur serta ada juga yg kafir.

d. Kecenderungan bermasyarakat 
Manusia pula mempunyai kecendrungan bersosial dan bermasyarakat. 

Menurut Ibnu Taimiyah, pada diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), (Nizar, 2001 : 76) yaitu : 

a. Daya intelektual (quwwat al-‘aql) 
Yaitu potensi dasar yang memungkinkan insan bisa membedakan nilai baik dan jelek. Dengan daya intelektualnya, insan bisa mengetahui serta meng-Esakan Tuhannya. 

b. Daya ofensif (quwwat al-syahwat) 
Yaitu potensi dasar yg mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan serta berguna bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi serta seimbang. 

c. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yg dapat menghindarkan manusia berdasarkan segala perbuatan yg membahayakan dirinya. Tetapi demikian, diantara ketiga potensi tersebut, pada samping kepercayaan – potensi nalar menduduki posisi sentral menjadi alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya semua potensi yg ada secara aporisma, sebagaimana yg disinyalir sang Allah dalam kitab serta ajaranajaranNya. Pengingkaran serta pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yg akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral. 

Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia pada 2 bentuk, yaitu: 

a. Fitrah al gharizat
Merupakan potensi dalam diri insan yang dibawanya semenjak lahir. 

Bentuk fitrah ini berupa nafsu, nalar, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan. 

b. Fitrah al munazalat
Merupakan potensi luar insan. Adapun fitrah ini adalah wahu tuhan yang diturunkan Allah buat membimbing serta mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sesuai menggunakan fitrahnya yg hanif. Semakin tinggi interaksi antara ke 2 fitrah tersebut, maka akan meningkat jua kualitas insan. 

Dari semua penerangan tentang potensi insan, tampak kentara bahwa lingkungan menjadi faktor eksternal. Lingkungan ikut menghipnotis dinamika serta arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki insan, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula kebalikannya, penempaan dan training fitrah yg dimiliki nir pada fitrahnya maka insan akan tergelincir menurut tujuan hidupnya. Untuk itu salah satu training fitrah dengan pendidikan. 

Bila pengertian fitrah pada atas dikaitkan dengan tugas dan fungsi manusia lebih lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah insan tadi masih memerlukan beberapa upaya untuk merangsangnya berkembang secara maksimal . Upaya tersebut adalah pendidikan. 

Fitrah manusia bukan satu-satunya fotensi insan yang dapat mencetak manusia sesuai dengan manfaatnya, tetapi terdapat juga potensi lain yang sebagai kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang memiliki kecenderungan pada keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah fitrah harus permanen dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan masuk akal bila menerima suplay yg dijiwai sang wahyu Allah, tentu saja hal ini harus didorong menggunakan pemahaman Islam secara kaffah serta universal. Semakin tinggi tingkat hubungan seseorang menggunakan Islam, semakin baik jua perkembangan fitrahnya. 

Konsep fitrah dari Islam nir sama dengan teori Tabularasa John Locke. Sebab pada Islam, insan sejak lahir sudah mempunyai banyak sekali bentuk potensi yang mampu dikembangkan. Konsep fitrah insan berdasarkan Islam pula berbeda jauh menggunakan teori nativisme A, Scopenhour, karena dalam Islam mengakui adanya dampak yg akbar di luar diri insan, baik insani maupun non insani, pada membuatkan serta memodifikasi potensi yg dimilikinya. 

Konsep fitrah menurut Islam juga tidak sama menggunakan teori konvergensi William Stern, karena pada pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata ditentukan oleh lingkungan semata dan nir bisa dipengaruhi melalui pendekatan kuantitas, sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membangun kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yg lebih lebih banyak didominasi dalam membangun kepribandian manusia, akan tetapi ada kalanya lingkungan yang lebih lebih banyak didominasi, atau kedua-duanya sama-sama secara umum dikuasai. Bahkan pada Islam, di luar ke 2 imbas tadi, terdapat imbas lainnya yg juga ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian insan, yaitu faktor hidayah yg diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. 

Dari penerangan di atas, terlihat bahwa cakupan menurut pengertian fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding dengan batasan yang dikembangkan oleh para pakar pendidikan kontemporer pada melihat potensi manusia yang terkesan bersifat parsial serta tanggal dari kerangka bingkai religiusitas insan yg sakral dan asasi. 

2. Fitrah Manusia dan Pengaruh Lingkungan (suatu pendekatan Konvergensi) 
Manusia lahir menggunakan membawa fitrah, yang meliputi fitrah agama (Q.S.30:30), fitrah intelek (Q.S.7:179), fitrah sosial (Q.S. Lima:2), fitrah ekonomi (Q.S. 62:10),fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin menyebarkan keturunan (kawin), cinta tanah air, serta sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut wajib menerima loka dan perhatian, serta pengaruh berdasarkan faktor oksigen insan (lingkungan) buat membuatkan serta melestarikan potensinya yang positif serta menjadi penangkal menurut kelestarian an-nafsu ammarah bis suu`, sebagai akibatnya insan dapat hayati searah dengan tujuan Allah yg mencitakannya. 

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap fitrah insan. 
Bahkan factor tadi dapat menghipnotis kepribadian manusia. Namun demikian, beliau bukan satu-satunya factor yang berpengaruh tanpa terdapat dukungan berdasarkan faktor-faktor lain. Pernyataan tadi menolak pandangan Skinner yg berkata bahwa lingkungan memilih kehidupan manusia betapapun dia mengganti lingkungannya. Di sini terlihat bahwa insan tidak lebih hanya mewarisi sejumlah gerak refleks (gerakan-gerakan yang tiak disengaja), di samping itu kepercayaan sebagai aspek lain menurut tingkah laku manusia bisa dijelaskan berkenaan menggunakan factor-faktor lingkungan.. Pernyatan tadi dibuktikan bahwa anak-anak orang Islam umumnya sebagai muslim, sedangkan anak-anak orang Kristen umumnya sebagai Kristen. Hal tersebut disebutkan Skinner sebagai salah satu contoh untuk menjelaskan teorinya (Abdullah, 1982: 60) Pada fase defense, masa kanak-kanak menaruh kemungkinan orang tuanya buat menaruh dampak-impak pada putra-putrinya. 

Fakta ini tampaknya menarik perhatian Skinner berkenaan dengan hadits Nabi saw, yg menerangkan cara fitrah itu dipengaruhi sang lingkungannya. Sabda Nabi SAW. (Imam Muslim: 53) 

“Tidak seseorang pun dilahirkan kecuali dia mempunyai fitah, maka ke 2 orang tuanya yang mempengaruhi, menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (H.R. Muslim menurut Abu Hurairah) 

Hadits pada atas menjelaskan bahwa fitrah yg dibawa semenjak lahir, bisa ditentukan oleh lingkungan. Fitrah ini tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif berdasarkan lingkungannya yang mungkin bisa dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak memungkinkan untuk menjadikan fitrah tadi lebih baik. Factor-faktor eksternal yg bergabung dengan fitrah serta sifat dasarnya bergantung dalam sejauh mana interaksi internal berperan terhadap fitrah tersebut. 

Sebaliknya, dari pengamat behavioris, fitrah itu tidak mengharuskan manusia buat berusaha keras terhadap lingkungannya. Dua anak yang hayati dalam kondisi yg sama barangkali memberi respon terhadap setiap stimulus menggunakan cara yang berbeda-beda. Permaisuri Fir’aun berdasarkan Mesir sudah menjadi perempuan yang beriman pada Allah SWT.sekalipun berada pada lingkungan orang musyrik, beliau selalu berdo`a pada Allah SWT yg disebutkan dalam Firman Allah (Q.S At-Tahrim : 11) 

Di samping itu, hadits Nabi SAW. Tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah adalah suatu pembawaan setiap manusia semenjak lahir, serta mengandung nilai-nilai religi. Penyimpangan fitrah adalah dampak berdasarkan factor lingkungan (pendidikan). Di pada fitrah terkandung pengertian baik buruk, sahih salah , latif tidak baik, lempang sesat, dan seterusnya. 

Pelestarian fitrah ini dapat ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal, atau mengembalikannya dalam kebaikan sehabis dia mengalami defleksi (kuratif) (Ahmad: 32). 

Setiap yang dilahirkan mempunyai kemungkinan dan kemampuan buat tumbuh dan berkembang sesuai dengan impak alam sekitarnya. Dari sisi ini, Al-Qur`an sangat menekankan pentingnya pendidikan serta pedagogi. Dari sisi ini jua, al-Qur`an menekankan bahwa Allah SWT. memberi kemampuan logika yg dapat membedakan antara yg baik serta tidak baik kepada insan, sehingga pendidikan berperan dalam mengarahkan logika manusia ke jalan yg baik serta sahih, bukan ke jalan yang tidak baik dan tersesat. Uraian itu bisa dibuktikan pada al-Qur`an bahwa manusia mempunyai tabiat asli (Q.S. 30:30) yg harus diupayakan menggunakan pendidikan (Q.S. 16:78), dan adanya kemampuan memilih bagi insan (Q.S. 6:78, 90:8, 76:tiga) (Al-Jamaly, 1986: 66). 

Ibnu Khaldun pula membicarakan bahwa factor-faktor pada luar diri manusia mensugesti kesamaan-kesamaan tindakan manusia. Dengan demikian, insan yang sebenarnya merupakan manusia yg dibuat oleh lingkungannya, baik lingkungan alam fisik juga lingkungan alam social yang dibuat oleh tindakan-tindakan nyata insan (Raharjo, 1987: 7). Interaksi manusia menggunakan lingkungannya itulah menumbuhkan lembaga, tradisi, system atau structural yang menaruh ciri dalam suatu warga atau peradaban eksklusif. 

3. Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam 
Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa lantaran sifat dasar manusia merupakan makhluk yg serba terbatas serta memerlukan upaya yg menciptakan kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna, maka perlu terdapat upaya. Upaya itu merupakan lewat pendidikan. Oleh karena itu sifat spesial pendidikan Islam merupakan berupaya menyebarkan sifat serta potensi yang dimiliki peserta didiknya secara efektif dan bergerak maju. Potensi itu mencakup kemampuan mengamati, menganalisa dan mengklasifikasi, berpendapat,dan kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik yg bekerjasama eksklusif menggunakan insan itu sendiri, alam, sosial, juga pada Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213) 

Untuk itu, pendidikan Islam harus sanggup mengintegrasikan semua potensi yang dimiliki peserta didiknya dalam pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang terdapat pada aspek jasmani juga rohani: intelektual, emosional, serta moral etis religius pada diri peserta didiknya unutk mewujudkan sosok manusia paripurna yg bisa melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang dimilikinya. 

Agar sanggup teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sinkron menggunakan nilai-nilai Ilahiah, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi menjadi media menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi insan seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik menjadi abd juga menjadi khalifah fi al-ardh. Adapun model atau bentuk yg ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan menjadi masalah. Terserah pada kebijaksanaan dan kepentingan manusia itu sendiri, asal saja aplikasi pendidikan tadi tidak bertentangan, akan tetapi memiliki keserasian dengan potensi yg dimiliki oleh peserta didik dan fitrah religiusnya buat senantiasa menunjuk pada fitrah Allah yang hanif. Dengan upaya ini akan menciptakan situasi serta contoh pendidikan Islam yg demokratis-fleksibel. 

Fitrah manusia yang dimaksud bisa dilihat dari dua dimensi insan secara integral, yaitu fitrah jasmaniah dan fitrah rohaniah. Keduanya mempunyai natur serta kebutuhan yang tidak selaras antara satu dengan yang lain, lantaran hakekat esensial keduanya tidak sama, akan namun keduanya saling melengkapi antara satu menggunakan yg lainnya. Apabila keliru satu pada antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas fitrah insan, buat itu proses pendidikan Islam wajib mampu menyentuh keduanya secara padu serta serasi, yaitu dengan jalan membuatkan serta memenuhi kebutuhan ke 2 dimensi tersebut terhadap siswa. 

Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu generasi pada generasi berikutnya, akan tetapi jauh berdasarkan itu, pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, mencakup pengembanagn jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian sempurna bagi kemashlahatan semua umat (Langgulung, 1995: 13). 

Dengan demikian, berarti pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai Ilahiah yg diformulasikan secara sistematis serta adaptik, yang diadaptasi dengan kemampuan serta perkembangan potensi siswa. Artinya, pola pendidikan yg ditawarkan harus diadaptasi menggunakan kebutuhan fisik serta psikis siswa sebagai subjek pendidikan. 

Jika nir, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami kemacetan dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu menyentuh kesemua aspek manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya. 

Apabila kita melihat program pendidikan menjadi bisnis buat menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai yang kuasa serta insani, dan membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif. 

(Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan bahwa fitrah adalah potensi dasar murid yg dapat menghantarkan dalam tumbuhnya daya kreativitas serta produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai yang kuasa dan insani. Hal tadi dapat dilakukan melalui pembekalan banyak sekali kemampuan berdasarkan lingkungan sekolah dan luar sekolah yang bersiklus dalam acara pendidikan. 

Seorang pendidik nir dituntut untuk mencetak anak didiknya sebagai orang ini serta itu, tetapi relatif dengan menumbuhkan dan berbagi potensi dasarnya serta kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sinkron menggunakan kemampuan dan talenta yang dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dilihat sebagai pembawaan dursila, upaya pendidikan diarahkan dan difokuskan buat menghilangkan serta menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut. Bagi teori Lorenz yang menciptakan pembawaan agresi manusia sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan buat mencapai objek-objek pengganti serta prosedur-prosedur sublimasi yg akan membantu menghilangkan sifatsifat serangan ini. Jelasnya seseorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang sudah dibawa murid sejak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya buat menjauhkan timbulnya pelajaran yg bisa mengakibatkan norma-kebiasaan yg jelek. Konsep fitrah ini tidak terkecuali bagi pendidik muslim buat berikhtiar menanamkan tingkah laris yang sebaik-baiknya, karena fitrah itu tidak dapat berkembang menggunakan sendirinya. 

Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan buat bertumpu pada at-tauhid. Hal ini dimaksudkan buat memperkuat hubungan yg mengikat insan menggunakan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari murid seharusnya nir bertentangan menggunakan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan insan akan adanya Allah melalui fitrahnya nir dapat disamakan menggunakan teori yg memandang bahwa monoteisme menjadi suatu taraf agama agama yang tertinggi. At-tauhid adalah inti berdasarkan semua ajaran kepercayaan yang dianugrahkan Allah pada manusia, munculnya kepercayaan mengenai banyaknyga Tuhan yang mendominasi manusiahanya ketika at-tauhid sudah dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi pula kasus kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yang menekankan keagungan Allah yg wajib dipatuhi dan diperhatikan pada kurikulum pendidikan Islam. 

Di samping fitrah, insan jua mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah misalnya makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah nir dapat dikonsumsikan sebagaimana fauna, tetapi lebih berdasarkan itu, pemenuhan tersebut harus dikonsumsikan harmonis buat mengaktualisasikan fitrah insan. Konsep demikian itu tidak berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, misalnya tidak kawin; puasa terus menerus, dan sebagainya,. Pernyataan tadi diisyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-Rum : 30 

ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ

“Tidak terdapat perubahan dalam ciptaan Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30) 

Firman Allah pada atas memberitahuakn bahwa kebutuhan jasmaniah anak didik tidak boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan pada hal-hal yg positif. Seorang pendidik tidak boleh membarui kebutuhan dasar jasmaniah anak didik, sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa ayat 119 : 

وَﻵﻣُﺮَﻧﱠﻬُﻢْ ﻓَﻠَﻴُﻐَﻴﱢﺮُنﱠ ﺧَﻠْﻖَ اﻟﻠّﻪِ وَﻣَﻦ ﻳَﺘﱠﺨِﺬِ اﻟﺸﱠﻴْﻄَﺎنَ
وَﻟِﻴّﺎً ﻣﱢﻦ دُونِ اﻟﻠّﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺴِﺮَ ﺧُﺴْﺮَاﻧﺎً ﻣﱡﺒِﻴﻨﺎً ﴿١١٩﴾
…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau merubahnya. Barang siapa yg mengakibatkan syetan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya dia menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141) 

Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati membicarakan 5 faktor yang secara kontinu dan simultan membentuk personalitas murid, yaitu : 
• Factor bunda yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yg penuh dengan afeksi serta kelembutan. 
• Factor ayah yang menaruh dimensi kekuatan akan hahrga diri. 
• Factor sekolah yg membantu terbentuknya sifat. 
• Factor masyarakat serta lingkungan yg menaruh sarana realitas bagi anak. 
• Factor kebudayaan generik warga yg memberi pengetahuan dan pengalaman mengenai corak kehidupan manusia. (Syari`ati, 1982: 64) 

Kelima faktor pada atas merupakan stimulasi yg bisa mengembangkan fitrah murid dalam berbagai dimensinya. Karena fitrah manusia memiliki sifat yg suci dan bersih, orang tua/pendidik dituntut buat tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didiknya dalam kebiasaan yang baik, dan melarang mereka membiasakan diri buat berbuat jelek.

KRITIK ATAS FAHAM DAN GERAKAN PEMBAHARUAN NURCHOLISH MADJID

Kritik Atas Faham Dan Gerakan Pembaharuan Nurcholish Madjid 
Islam dan politik, demikian 2 kata ini nir habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah. (Esposito, 1990 : xxi) Banyak menurut para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), terbaru dan neo terbaru, (Azar, 1996 : 75-142) yg mencoba menaruh sebuah penjelasan hubungan antara islam serta politik, menggunakan majemuk cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.

Pada zaman terkini, usaha Islam terkonsentrasi dalam dua kategori. Pertama, perjuangan pembaharuan pemikiran Islam yang bersifat ke pada (Struggle from with in), yg bertujuan buat menaikkan semangat keberagamaan dengan memperluas cakrawala pemikiran melalui pembaharuan pendidikan, menggunakan tema sentralnya adalah kembali pada kemurnian ajaran Islam Al-Qur’an serta As-Sunnah.. Kedua, usaha politik Islam, sebagai bagian berdasarkan pembebasan ketertindasan warga muslim berdasarkan kediktatoran penguasa Islam yang despotik serta yang terutama merupakan pembebasan dari imperialisme Eropa. 

Setelah kegagalan politik Islam buat menciptakan kekuatan pan-Islamismenya, usaha pembebasan kaum muslimin dari kediktatoran penguasa yang despotik dan imperialisme Barat menjadi sangat lokal, yang didasarkan atas nasionalisme kebangsaannya. Pada fase-fase inilah selanjutnya terjadi perubahan besar paras politik Islam, dari pan-Islamismenya dan kekhalifahan ke bentuk negara yang didasari atas nasionalisme kebangsaan. (Voll, 1999) Walaupun, pada fase selanjutnya, bukti diri ke-Islam-an pada struktur negara-bangsa (nation-state) yg berdasarkan atas nasionalisme tadi, masih terus sebagai perdebatan para pemuka agama (Ulama’) pada kontek lokal masing-masing, dalam rangka pencarian bentuk dan isi, sebagai dampak dari pengaruh besar arus demokratisasi pada belahan dunia ketiga.

Perdebatan mengenai bentuk negara dan mekanisme pemerintahan dalam negara yang berdasarkan sunnah Rosul dan doktrin buku kudus al-Qur’an ini, sangat membutuhkan ketika serta penyesuaian-penyesuaian dengan syarat negara yg berdasarkan atas landasan tetitorial geografis, serta kultur masing-masing. Sehingga aktualisasi diri atau perwujudan paras berdasarkan politik Islam waktu ini, sangat berbeda-beda antar negara muslim yang satu menggunakan negara muslim yang lainnya.

Wacana pembaruan yg dikumandangkan sang gerbong generasi pasca usaha ideologi (Kuntowijoyo, 1991 : 131-134) ini, sangat mengemuka dan menjadi bagian menurut strategi perjuangan umat Islam Indonesia.(Effendi, 1998 : 125-164). Tema hangat yang relatif mengundang perhatian publik dalam kaitannya menggunakan perbincangan persoalan keharusan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah apa yang dikemukakan sang Nurcholish Madjid serta teman-temannya tentang keharusan melakukan sekularisasi, menjadi upaya desakralisasi serta rasionalisasi kehidupan beragama. Dalam kontek ini, kepercayaan tidak hanya dipahami sebagai dimensi yg utuh skral (kudus) menggunakan segala pirantinya. Tetapi terdapat bagian-bagian yang berubah, karena sifatnya yang sosiologis. Sehingga sekularisasi, berdasarkan Nurcholish merupakan jalan yg perlu dilakukan umat Islam, agar pada berislam warga bisa membedakan antara kenyataan sosial, yang sifatnya berbah-ubah serta fenomena wahyu yang sifatnya transenden. (Rasjidi, 1977)

Dalam pandangan Amien Rais, istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran juga pada Sunnah. Oleh karenanya, berdasarkan Amien Rais, nir ada perintah dalam Islam buat menegakkan Negara Islam. Yang terdapat merupakan khilafah, yaitu suatu misi kaum Mislimin yg harus ditegakkan pada muka bumi ini buat memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt., maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, lanjut Amien Rais, al-Quran nir menerangkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk dunia saja. Amien mencontohkan Saudi Arabia, menjadi suatu negara yang aneh dalam zaman terbaru ini, dan para pemimpinya menyatakan tidak perlu konstitusi karena mereka telah memiliki sandaran syari’ah Islam. Namun, bagi Amien aplikasi syari’ah Islam sendiri pada sana begitu sempit, serta jauh berdasarkan idealisme Islam itu sendiri. Amien menyebutkan, seperti prinsip-prinsip monarkhi Saudi Arabia itu sendiri sudah bertabrakan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam di bidang kemasyarakatan dan politik. (Amien, 1982)

Dalam kontek ini, ke 2 pemikir tersebut bisa dikatakan paralel dalam gagasannya. Walaupun pada derivasi instrumentalnya lalu bhineka. Namun pada luar sumbangan gagasan-gagasan sebagaimana yg telah tersebut pada atas, ihwal-perihal politik Islam menjadi upaya reaktualisasi serta reformulasi teologis politik Islam di Indonesia, yang bermula dari gagasan kedua tokoh tersebut sangatlah menarik buat diteliti. Lantaran konsistensinya dalam melakukan reformulasi teologis mengenai politik Islam. Misalnya, kontribusi Amien tentang High Politics dan Low Politics, menjadi baku dasar kategorisasi konduite politisi, Tauhid dengan beragam turunannya yang dijadikan sebagai dasar-dasar etik-moral dalam politik Islam ke 2 tokoh tadi, serta lain-lain.

Pasca reformasi, tema-tema politik Islam kembali bermunculan, mengindikasikan seoalah perbincangan dalam masa Orde Baru belum terselesaikan. Dan akhirnya kini diiringi menggunakan kenyataan euphoria reformasi, tema dan aksi mengenai politik Islam tadi muncul kembali. Di sini amatlah krusial kiranya buat meneliti mengenai pemikiran kedua tokoh tersebut, terutama yg menyangkut dasar-dasar etik-moral poliik Islam serta “Negara Islam” dengan asa bisa menaruh donasi pemikiran pasca reformasi, pada mana tema-tema tadi mulai timbul kembali. 

1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dipertegas pulang rumusan utama perkara yang akan diteliti. Adapun penekanan perkara dalam penulisan penelitian ini adalah : Pertama, Pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid serta M. Amien Rais mengenai etika politik dan Negara Islam di Indonesia serta perbedaan dan titik temunya. Kedua, Relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di Indonesia saat ini.

2. Tinjauan Pustaka
Dalam kontek hubungan Islam serta negara, kitab yg adalah disertasi Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, adalah buku yang mengupas panjang lebar duduk perkara interaksi Islam serta negara dipandang menurut 3 masa, yaitu masa periode kemerdekaan yang menuntut ke arah kesatuan Islam dan negara, periode pasca-revolusi sebagai upaya perjuangan Islam menjadi dasar ideologi negara, dan periode Orde Baru menjadi periode penjinakan idealisme dan aktivisnme politik Islam. Dalam kitab ini penjelajahan penelitiannya lebih poly menunjuk terhadap pola taktik usaha politik Islam serta arus baru formulasi teologis politik Islam. Sehingga generalisasi interaksi Islam serta negara dalam kajian kitab ini lebih nampak berdasarkan dalam kajian pemikiran tokohnya sendiri.

Selain yang tadi pada atas, terdapat kajian lain yg lebih spesifik lagi tentang interaksi Islam serta negara, yaitu kitab yg dikarang sang Abdul Aziz Thaba dengan judul Islam serta Negara Dalam Politik Orde Baru. Buku ini lebih khusus menjelskan pergulatan politik Islam dengan negara pada masa Orde Baru. Terdapat 3 asumsi dasar hubungan antara Islam serta negara pada masa Orde Baru. Pertama, merupakan hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), kedua, interaksi yang bersufat resiprokal-kritis (1982-1985), dan ketiga adalah hubungan yg bersifat akomodatif (1986-1990-an). Kajian ini nir tidak sama jauh menggunakan apa yang ditulis sang Bahtiar Effendi, hanya saja spesifikasi pergolakan politik lebih kental lantaran rentetan waktunya yg lebih spesifik. Tetapi, apa yg didapatkan jua nir mampu lepas dari generalisasi politik Islam berdasarkan dalam kajian pemikiran tokohnya.

Greg Barton pada bukunya Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, serta Abdurrahman Wahid, mengungkapkan lebih khusus lagi terhadap kajian pemikiran tokoh yg mengkategorikan menjadi grup Neo-Modernisme. Dalam buku ini dijelaskan panjang lebar menggunakan disertai analisis yg relatif mendalam tentang pemikiran Neo-Modernisme Islam pada Indonesia yg terdiri berdasarkan keempat tokoh tadi. Pada prinsipnya gagasan pembaruan pemikiran Islam liberalnya lebih kental dari dalam kajian mengenai politik Islamnya. Walaupun ada, tetapi sedikit sekali yg dikaji secara mendalam menurut bagian-bagian politik Islam. 

Modernisme dan Fundamentalisme pada Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), merupakan buku dari output desrtasi Yusril Ihza Mahendra. Dalam kitab ini, gagasan tentang politik Islam sangat spesifik. Yaitu memperbandingkan antara partai Masyumi di Indonesia yang dikategorikan modernis dan partai Jama’at-i-Islami di Pakistan yang mengkategorikan fundamentalis. Kajian pada kitab ini sangat detail dan mendalam. Tetapi, sebagaimana judul bukunya ranah kajiannya lebih spesifik terhadap perkara politik kepartaian dan segala hal yang menyangkut perangklat fragmental dan ideologis pergeraknnya.

Dalam kitab Membaca Pikiran Gus Dur serta Amien Rais Tentang Demokrasi, yang dikarang sang Umaruddin Masdar relatif kentara pada menkaji pemikiran tokohnya, terkhusus pemikiran M. Amien Rais serta Abdurrahman Wahid. Dalam kajian ini, arah demokrasi menjadi bagian dari sistem politik terkini sangat menerima titik aksentuasi. Penerimaan demokrasi sebagai bagian dari sistem politik terkini, yang disepakti sang kedua tokoh tadi, pula nir mampu terlepas dari rentetan panjang sejarah politk Islam Sunni. Di sini, titik kajiannya sangat jelas, yaitu menelusuri alur pemikiran poltik Islam kedua tokoh tadi pada kontek paradigma politik Sunni. 

Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur serta Amien Rais, adalah kitab yg sunting oleh Arief Affandi buat menaruh legitimasi peta perjuangan politik antara model Amien Rais dan Gus Dur. Dalam kitab ini lebih nampak sebagi bunga rampai serta subatansinya lebih datar sebagai bagian menurut polemik strategi perjuangn demokrasi di Indonesia, yaitu antara kultural dan struktural.

Dalam pemikiran politik Ibn Taimiyah, amanah dan keadilan yang berdasarkan dalam agama sangat mendapat penekanan perhatian. Setidaknya orientasi pemikiran politiknya yang menurut pada kepercayaan dan etik pada perspektif Kitab Suci dan Sunnah ini bisa ditinjau dari 3 alasan. Pertama, berdasarkan judul bukunya dibidang politik, Al-Siyasat al-Syar‘iyyat fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra’iyyat (politik yang berdasarkan syari’at bagi perbaikan pemimpin atau penggembala dan yang dipimpin atau gembala). Kedua, dalam muqaddimah buku tadi dia tegaskan bahwa risalahnya itu menyampaikan politik ketuhanan serta politik kenabian yang diharapkan sang pemimpin dan rakyat. Ketiga, dalam pendahukuan bukunya tadi Ibn Taimiyan mendasarkan teori politiknya berdasarkan ayat al-Quran surat ai-Nisa’ ayat 58 yang ditujukan kepada para penguasa serta ayat 59 ditujukan pada masyarakat. (Taimiyah, 1966 : tiga-4)

Di luar ranah pemikiran politik Islam abad klasik serta pertengahan tersbut, merupakan Muhammad Husein Haikal yg jua beropini sebagaimana pada bukunya Hukumat al-Islamiyyat (pemerintahan Islam) mengenai pentingnya landasan moral etik Islam menjadi bagian dari sistem politik. Menurutnya, Islam tidak tetapkan sistem tertentu bagi pemerintahan, akan namun dia meletakkan kaidah-kaidah bagi tingkah laku serta muamalah dalam kehidupan antar manusia. Kaidah-kaidah itu sebagai dasar buat tetapkan sistem pemerintahan yang berkembang sepanjang sejarah (Haikal, 1983 : 44). 

Di luar Muhammad Husein Haikal, merupakan Muhammad ‘Abduh yang beropini bahwa Islam tidak memutuskan bentuk pemerintahan, dan memiliki kesamaan dengn pendapat Ibn Timiyah. Keduanya berpendapat bahwa sistem pemerintahan bisa diadaptasi dengan kehendak umat melalui ijtihad dan nir berdasar kan kepada sistem syari’at yang kaku. Baginya, pemerintahan serta warga mempunyai hak serta kewajiban yang sama dalam memelihara dasar-dasar kepercayaan , serta menafsirkannya selama dia berkaitan menggunakan perkara keduniaan. 

Dari beberapa asumsi yang tersebut di atas, maka di antara pemikiran politik Islam klasik dan pada masa ini masih ada kerangka pikir (mode of thought) yang menempatkan Islam menjadi sumber etik-moral dalam menetapkan landasan kepolitikan dalam suatu negara, yg nir terikat secara kaku dengan model pngetatan terhadap syari’at menggunakan mendirikan kekhilafahan dunia atau negara Islam.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan pertama, mengungkap pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais tentang etika politik dan Negara Islam di Indonesia serta apa perbedaan dan titik temunya. Kedua, mencari relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di Indonesia saat ini.

Adapun manfaat menurut penelitian ini adalah :
  1. Menambah perihal pemikiran politik Islam di Indonesia, khususnya berkai-erat dengan tema khusus penelitian ini.
  2. Memberikan donasi pemikiran mengenai etika politik serta Negara Islam menjadi bahan perbandingan dengan karya-karya penelitian yg lain.
  3. Memberikan kontribusi pemikiran politik Islam dalam matakuliah fiqh siyasah yg diajarkan di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto
METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini dipakai jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang obyeknya berupa pemikiran para ahli yg tertulis dalam buku-buku serta goresan pena-tulisan lain yang berkaitan dengan kajian ini. Dalam hal ini, data yang dibutuhkan diambil dari karya Nurcholish Madjid serta M. Amien Rais yang sekaligus sebagai data utama dan didukung sang karya-karya lain yg herbi obyek kajian ini yang sekaligus sebagai data sekunder.

2. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul akan diolah dengan :
  1. Pengamatan terhadap aspek kelengkapan, validitas dan relevansinya menggunakan tema bahasan; 
  2. Mengklasifikasikan dan mensistematisasikan data-data, kemudian diformulasikan sesuai menggunakan utama konflik yang terdapat;
  3. Melakukan analisa lanjutan terhadap data-data yang sudah diklasifikasikan serta disistematisasaikan menggunakan memakai dalil-dalil, kaidah-kaidah, teori-teori dan konsep pendekatan yg sesuai, sebagai akibatnya memperoleh kesimpulan yang benar.
2. Analisis Data
Data yg telah dikelola, akan dianalisis menggunakan menggunakan alur pemikiran :
  1. Interpretasi, yaitu penyelaman dan penangkapan terhadap arti dan perbedaan makna atau tentang ekspresi manusia yang dipelajari, sehingga tercapai pemahaman yang benar.
  2. Kesinambungan historis, yaitu pemahaman bahwa perkembangan langsung adalah ekuilibrium kegiatan dan insiden pada kehidupan setiap orang sebagai mata rantai yg nir terputus;
  3. Komparasi, yaitu membandingkan antara pandangan tokoh yg sebagai obyek penelitian dengan tokoh lain yg memiliki kualitas sebanding pada bidang keilmuan

HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pemikiran Politik Islam Nurcholish Madjid
Menurut Nurcholish Madjid, buat semua tujuan sosial politik, manusia memang harus pulang kepada naturnya, yaitu fitrah insan yang kudus (hanif). Dan dari sini jua Nurcholish Madjid menciptakan dasar teologis tentang Islam menjadi agama kemanusiaan yg nantinya akan mendasari gagasan-gagasan politik Islam, berdasarkan teoritisasi al-Quran, yang sekaligus sebagai inti pemikiran keagamaan Nurcholish yang mendasari segi-segi pemikiran politiknya. Oleh karena itu, penting pada sini buat mengutip lengkap nuktah-nuktah pandangan dasar kemanuisaan Islam, misalnya yg telah dirumuskan oleh Nurcholish Madjid, dan selalu sebagai dasar ceramah-ceramah juga tulilsan-tulisannya,baik mengenai kepercayaan Islam juga politik sebagaimana berikut:
  1. Manusia diikat dalam suatu perjanjian primordial menggunakan Tuhan, yaitu bahwa insan, semenjak berdasarkan kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji buat mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya; 
  2. Hasilnya adalah kelahiran manusia pada kesucian berasal (fitrah), serta diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu apabila andai kata nir ada imbas lingkungan; 
  3. Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nurani, merupakan bersifat cahaya terang), yg mendorongnya untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik serta sahih; 
  4. Tetapi karena manusia itu diciptakan menjadi makhluk yg lemah (diantaranya, berpandangan pendek, cenderung tertarik kepada hal-hal yang bersifat segera), maka setiap pribadinya memiliki potensi buat salah , karena “terpesona” oleh hal-hal menarik pada jangka pendek; 
  5. Maka , buat hidupnya, manusia dibekali dengan nalar pikiran, kemudian agama, serta terbebani kewajiban terus menerus mencari dan memilih jalan hayati yag lurus, benar dan baik; 
  6. jadi manusia adalah makhluk etis serta moral, pada arti bahwa perbuatan baik buruknya wajib bisa dipertanggungjawabkan, baik di dunia ini sesama insan, maupun di akhirat pada hadapan Tuhan Yang Maha Esa; 
  7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yg nisbi sebagai akibatnya terdapat kemungkinan insan menghindarinya, pertanggungjawaban di akhirat adalah absolut, serta sama sekali tidak mungkin dihindari. Selain itu, pertanggungjawaban mutlak kepada Tuhan pada akhirat itu bersifat sangat langsung, sehingga tidak terdapat pembelaan, interaksi solidaritas serta perkawanan, sekalipun sesama antara sahabat, karib kerabat, anak serta ibu-bapak; 
  8. Semuanya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia, dalam hidupnya di global ini, mempunyai hak dasar buat memilih dan memilih sedniri perilaku moral serta etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etis, serta insan akan sama derajat dengan makhluk yg lain, jadi tidak akan mengalami kebahagiaan sejati); 
  9. Karena hakekat dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan sebagai zenit segala makhluk Allah, yg diciptakan olehnya dalam sebaik-baik kreasi, yg dari asalnya berharkat dan prestise dengan tinggi-tingginya; 
  10. Karena Allah pun memuliakan anak cucu Adam ini, serta melindungi dan menanggungnya di daratan juga dilautan; 
  11. setiap pribadi insan adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Maka barangsiapa merugikan seorang pribadi, misalnya membunuhnya, tanpa alasan yg absah maka dia bagaikan merugikan seluruh umat manusia, serta barangsiapa berbuat baik pada seorang, misalnya menolong hidupnya, maka beliau bagaikan berbuat baik pada seluruh umat insan.; 
  12. Oleh karena itu setiap eksklusif insan harus berbuat baik pada sesamanya, menggunakan memenuhi kewajiban diri eksklusif terhadap pribadi yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang lain, pada suatu jalinan interaksi kemasyarakatan yang tenang dan terbuka”.(Nurcholish, 1995 : 193-194) 
Menurut Nurcholish Madjid, “hak setiap orang buat menentukan serta menyatakan pendapat serta pikiran dan kewajiban setiap orang buat medengar pendapat dan pikiran orang lain itu membentuk inti ajaran tentang musyawarah.” Dalam Islam istilah musyawarah sendiri secara etimologis, dari Nurcholish mengandung arti “saling memberi isyarat”, yakni saling memberi isyarat mengenai apa yang benar serta baik: jadi bersifat reciprocal dan mutual (Ibid : 197). Adapun musyawarah, bagi Nurcholish Madjid tidak akan terwujud menggunakan baik apabila nir disertai dengan kelapangan dada, kerendahan hati serta keterbukaan. Prinsip ini dari Nurcholish Madjid bisa disimpulkan menurut perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. Buat bermusyawarah menggunakan para teman beliau, yaitu sebagai berikut (Q.S. Ali Imran 153) :

Dengan melihat perangkat normatif perintah bermusyawarah tadi, Nurcholish Madjid menaruh tinjauan moral-etis pada pelaksanaan bermusyawarah. Menurutnya, terlaksananya musyawarah yg selanjutnya sebagai dasar kehidupan warga zaman nabi tersebuat lantaran selalu dikaitkan dengan prinsip: 
  1. Adanya Rahmat Allah yg diberikan pada Nabi Muhammad; 
  2. dengan rahmat Allah itu Nabi saw. Senantiasa mengambarkan sikap-sikap lemah lembut, ikhlas dan penuh pengertian pada orang lain;
  3. beliau nir kejam, serta nir pula kasar; 
  4. perintah buat memaafkan kesalahan orang lain; 
  5. perintah buat memohonkan ampun pada Allah bagi orang lain; 
  6. perintah musyawarah, sebagai kelanjutan wajar seluruh hal itu; 
  7. menyandarkan diri (tawakkal) pada Allah bila telah membuat keputusan.(Ibid ; 196) 
Menurut Nurcholish, dilihat dari segi proses sejarah serta perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan “Negara Islam” itu merupakan suatu bentuk kecenderungan apologetis. Setidaknya, menurut Nurcholish, apologetis tadi bisa dicermati dari dua segi: Pertama, kemunculannya merupakan apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme serta lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon dalam apresiasi yg bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan serta berujung dalam usaha Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana masih ada negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yg begitu lebih banyak didominasi pada kalangan umat Islam, yg dibentuk buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara dalam masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih kuat mengiringi perihal politik Islam modern, yg mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai berdasarkan negara menjadi elemen kekuasaan yg akan sanggup mengatur serta menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu telah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sinkron dengan pola kehidupan terbaru menurut segala aspeknya telah nir lagi menjadi kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Dengan demikian, dalam pandangan Nurcholish, hasilnya tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang mencakup seluruh orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1992 : 255) Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi untuk menjelaskan bahwa Islam yg hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan serta perpaduan hukum, yg tegak berdiri di atas formalisme negara serta pemerintahan. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid, yg adalah kekuatan spiritual yg mampu melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme rakyat.

Lebih jauh Nurcholish melihat bahwa tindakan yg lebih prinsispil menurut konsepsi tentang “Negara Islam” tersebut merupakan sutau penyimpangan interaksi proporsional antara negara dan agama. Bagi Nurcholish, Negara merupakan galat satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya merupakan rasional dan kolektif. Sedangkan kepercayaan adalah aspek kehidupan lain yg dimensinya merupakan spiritual dan eksklusif. Antara kepercayaan dan negara memang tidak mampu dipisahkan, namun antara keduanya itu tetap harus dibedakan pada dimensi dan cara pendekatannya. 

2. Pemikiran Politik Islam M. Amien Rais
Politik serta agama acapkali dipahami secara terpisah pada pada kehidupan bermasyarakat. Sehingga seolah nir ada keterkaitan fungsional dan organik antara politik serta agama dan politik serta dakwah. Bahkan ada kesan pada masyarakat seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, dan pelbagai konotasi tidak baik lainnya. Bagi M Amien Rais persepsi politik yang demikian tentu relatif berbahaya. Ditinjau menurut kaca mata agama serta dakwah, pandangan politik seperti ini juga sangat merugikan (Amien, 1995 : 81-85). 

Menurut Amien Rais, seoarang politisi haruslah bersandar dalam moralitas dan etika yang bersumber pada ajaran tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid ini dilepaskan menurut politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan orang poly. Sebagaimana diungkapkan Amien: 

“…. Politik adalah salah satu aktivitas krusial, mengingat bahwa suatu warga hanya mampu hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal pada sebuah negara menggunakan segala perangkat kekuasaannya. Sedemkian krusial peranan politik dalam rakyat terkini, sehingga poly orang beropini bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat memilih corak sosial, ekonomi, budaya, aturan, serta aneka macam aspek kehidupan lainnya. (Amien, 1995 : 27) 

Dengan demikian, maka politik harus mengindahkan nilai-nilai kepercayaan dan fungsional terhadap tujuan dakwah. Politik yg fungsional terhadap tujuan dakwah adalah politik yg sepenuhnya mengindahkan nilai-nilai Islam. Dalam interaksi ini, Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan politik yang Islami tidak menaruh tempat bagi sekulerisasi. Mengutip Harvey Cox, Amien Rais menggambarkan yg dimaksud dengan sekulerisasi dan komponen-komponennya adalah, disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam menurut nilai-nilai kepercayaan , agar masyarakat bisa melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral atas otoritas serta kekuasaan, serta hal ini merupakan syarat buat mempermudah kelangsungan perubahan sosial serta politik pada proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi menggunakan nilai-nilai agama yang bersifat mutlak.ibid : 28-29) 

Politik selalu berkaitan menggunakan kekuasaan (power). Sebagaimana dikatakan V.O. Key, Jr., politik terutama terdiri atas hubungan antara superordinasi dan subordinasi, antara penguasaan serta submisi, antara yg memerintah serta yg diperintah. George Catlin memberi takrif politik menjadi aktivitas manusia yang berkenaan dengan tindakan insan dalam mengontrol warga (the act of human social control). Sedangkan Harold Lasswell menaruh pengertian politik menyangkut who gets what, when and who. What pada sini terutama berupa kekuasaan atau otoritas politik. Sedangkan siapa, kapan, serta bagaimana, merupakan perkara-masalah yg menentukan bentuk pengelolaan politik suatu warga (Ibid : 30).

Menurut Amien Rais, politik kepartaian, proses rekrutmen pejabat atau pegawai, proses agregasi serta artikulasi kepentingan, proses pemecahan pertarungan kepentiangan antargolongan pada masyarakat, proses pembuatan keputusan politik domestik maupun luar negeri serta lain sebagainya, merupakan contoh-contoh aktivitas politik yang nir bisa dilepaskan dari fondasi moral serta etik yg dianut.” (Ibid). Bagi Amein Rais, seorang Marxis, tindakan politik adalah baik jika tindakan itu menguntungkan kaum proletar, memperlemah posisi golongan yang mereka katakan borjuis, serta menuju revolusi sosial ke arah warga tanpa kelas. Begitu halnya menggunakan seorang sekularis-pragmatis, sutau tindakan politik itu baik apabila bisa memberi keuntungan praktis serta manfaat material, walaupun hanya menurut pertimbangan-pertimbangan sesaat. Sedangkan bagi seseorang muslim, suatu tindakan politik itu baik jika beliau bermanfaat bagi semua rakyat, sesuai menggunakan ajaran rahmatan lil’alamin (Ibid).

Dengan melihat banyak sekali kenyataan politik di atas, berdasarkan Amien Rais, dalam kaca mata Islam terdapat dua jenis politik (Amien, 1995 : 74). Yaitu politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral serta etis (high politics) dan politik kualitas rendah atau politik yg terlalu mudah serta tak jarang cenderung nista (low politics). Dalam konteks organisasi, Amien mencontohkan: “Jika sebuah organisasi menerangkan perilaku yang tegas terhadap korupsi, mengajak warga luas buat memerangi ketidakadilan, mengimbau pemerintah buat terus menggelindingkan proses demokrasi serta keterbukaan, maka organisasi tadi dalam hakikatnya sedang memainkan high politics. Sebaliknya, jika sebuah organisasi melakukan gerakan manuver politik buat memperebutkan kursi DPR, minta bagian pada lembaga eksekutif, menciptakan kelompok penekan, mambangun di lobi, dan berkasak-kusuk buat mempertahankan atau memperluas vested interest, maka organisasi tadi sedang melakukan low politics.”

Dalam sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yg diadakan pada tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yg ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur serta tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu loka serta loka yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip generik dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai kesepakatan bahwa demokrasi adalah jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka setuju buat menolak perkiraan filosofis “demokrasi Barat”.

Kedua kesimpulan ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak pada tiadanya perintah pada al-Qur’an serta Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Jika umpamanya terdapat perintah tegas buat mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an dan Sunnah pula akan memberikan tuntunan terinci tentang struktur institusi-institusi negara yg dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan warga , hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan generik (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yang benar-sahih naratif. Jika demikian halnya, maka negara Islam itu nir akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok serta sangat tepat buat masa 14 abad yg silam, namun perlahan-huma dia akan sebagai usang (out of date), dan tidak dapat lagi memiliki kemampuan menanggulangi masalah-perkara modern yg timbul sejalan menggunakan dinamika rakyat manusia, dan pasti nir akan harmonis dengan dinamika sejarah yg terus mengalami perubahan serta pertumbuhan sesuai menggunakan sunnatullah.”

Namun, berdasarkan Amien, menggunakan demikian tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan menciptakan negara sesuai menggunakan kemauan manusiawinya sendiri, serta terlepas menurut ajaran-ajaran utama (fundamentals) agama Islam. Bagi Amien, menciptakan suatu negara yg terlepas dari fundamentals ajaran Islam berarti menciptakan negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual serta menjurus pada kehidupan yang serba-material, yg pada dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut secara bersiklus dalam kesempatan-kesempatan eksklusif.

3. Perbandingan Pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid
Amien Rais dan Nurcholish Madjid sama-sama berpandangan bahwa tauhid adalah prinsip dasar pada menciptakan sistem moral-etik dalam berpolitik. Amien Rais sangat percaya bahwa dengan berprinsip dasar pada tauhid, formulasi teologis pada kontek politik terkini serta keumatan akan sangat sanggup buat bertanding, atau bahkan disejajarkan menggunakan politik modern kini ini. Misalnya dalam menegakkan negara demokrasi, pluralisme, keterbukaan, penegakan hak asasi manusia serta lain sebagainya. Dari paham tauhid ini, Amien rais mereformulasi pandangannya tentang tauhid pada derivasi 5 konsekwensi yang terdiri menurut unity of creation, unity of mankind, unity of guidance, unity of purpose of live, yang kesemuanya itu terlahir dari unity of godhead. Jika diperas, maka reformulasi tauhid tersebut merupakan bentuk kosmopolitanisme dari pandang kehidupan dunia serta akhirat yg tidak terpisahkan. 

Begitu halnya dengan Nurcholish Madjid. Ia sangat percaya bahwa menggunakan dasar-dasar moral-etik yg telah dibangun Rasulullah saw. Pada Madinah yg berdasarkan ukuran zamannya sangat terkini umat Islam sebenarnya lebih siap dalam menghadapi modernitas, yaitu keterbukaan, demokrasi, hak asasi manusia dan lain sebagainya. Tauhid pada pemikiran Nurcholish Madjid pada samping mengandung makna yang dapat diderivasi ke dalam masyarakat modern, jua menuntut pandangan yg wajar dan berdasarkan apa adanya pada dunia dan masalahnya, yang dalam pada dasarnya beliau formulasikan pada bentuk sekularisasi. Bahkan akibat dari pandangan tauhid ini, Nurcholish Madjid sependapat menggunakan M. Iqbal bahwa Islam merupakan “Bolshevisme plus Allah.”

Kedua, Nurcholish Madjid serta Amien Rais sering menggunakan terminologi-terminologi normatif al-Qur’an yg dikontekstualisasikan pada bahasa politik terkini, buat dijadikan menjadi landasan moral-etik politik Islam. Misalnya, istilah musya warah adalah tipikal awal terhadap gagasan demokrasi. Keduanya tidak menolak terhadap gagasan demokrasi lantaran dengan asumsi dasar bahwa Islam sangat sesuai menggunakan prinsip-prinsip dasar demokrasi tersebut sebagaimana perintah musya warah pada bahasa al-Qur’an. Dalam konteks ini, kedua pemikir tersebut tidak selaras menggunakan pemikir politik Islam pada masa ini semacam Husein Haikal serta Ali Abd Razik. Bagi Husein Haikal, dia nir mau memakai terminologi al-Qur’an pada rangka merumuskan suatu sistem politik maupun pemerintahan. Dalam pandangannya, terminologi syura misalnya, yang masih ada dalam al-Qur’an menurutnya bukan diturunkan buat atau dalam kaitan sistem pemerintahan eksklusif, semisal jua demokrasi. Walaupun sebenarnya secara ide Husein Haikal jua tidak menolak istilah demokrasi tadi. Begitu halnya dengan terminologi amar ma’ruf nahi munkar, yang dalam pandangan dunia politik akan selalu memiliki maknanya yang ganda. Yaitu dalam satu sisi bahasa politik Islam akan menuntut adanya afirmasi dalam kebaikan yang bersumber dari legalias teologis-normatif dari ajaran suatu kepercayaan . Dan pada sisi yang lain akan menuntut buat mempunyai keberanian pada menegasikan segala bentuk kemunkaran perilaku politik yang tidak sesuai menggunakan moral-etis warga beragama, yang berarti mendapatkan legalitas sosiologis. 

Ketiga, dalam strategi pembaruan pemikiran Islam Amien Rais serta Nurcholish Madjid memulainya berdasarkan titik pandang yg tidak selaras. Dan lantaran titik pandang ini jua yang menciptakan track record pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid dalam konteks pembaruan pemikiran Islam pada Indonesia mengalami perbedaan. Menurut Nurcholish Madjid, buat melakukan pembaruan pemikiran Islam khususnya berkait erat dengan problem sistem politik, maka menuntut keharusan sekularisasi, serta bukan sekularisme. Sekularisasi bagi Nurcholish adalah desakralisasi dan rasionalisasi paham keagamaan. Karena menggunakan sekularisasi, diharapkan umat Islam bisa membedakan antara urusan global yg temporal dan urusan akhirat yang transendental. Dengan demikian, sekularisasi merupakan afiksasi eksklusif dari pandangan hidup tauhid, yang mendesakralisasikan kehidupan etos selain kepada Allah. Dalam analogi Ahmad Wahib, Nurcholish mengartikan bahwa sekularisasi itu adalah respon kepercayaan terhadap modernitas atau perkembangan kebudayaan. Seperti halnya Muhammadiyah dalam masa awal pergerakannya mendirikan sekolah terbaru, mendirikan tempat tinggal sakit, memakai dasi serta celana serta lain-lain. Sekularisasi ini tidak sama menggunakan sekularisme sebagaimana yang dimaksud sebagian kebanyakan orang di Indonesia.

Muhammad Amien Rais serta Nurcholish Madjid sama-sama sepakat dengan istilan tidak terdapat Negara Islam, pada literatur al-Qur’an juga Sunnah. Dalam pandangan Amien Rais, Islamic State atau negara Islam adalah istilah yg tidak terdapat pada al-Qur’an juga Sunnah. Oleh karena itu, menurutnya tidak ada perintah dalam Islam buat mendirikan negara Islam. Yang lebih krusial adalah selama suatu negara menajalankan pandangan hidup Islam, lalu menegakkan keadilan sosial serta menciptakan suatu warga yang egalitarian, yg jauh daripada eksploitasi manusia atas insan juga pendayagunaan golongan atas golongan, berarti berdasarkan Islam sudah dipandang negara yang baik. Bagi Amien Rais, apalah ialah suatu negara mengguakan Islam menjadi dasar negara, jika ternyata hanya formalitas kosong. Amien mencontohkan negara Arab Saudi yg nir mempunyai konstitusi, dan baginya adalah aneh pada zaman terkini.

Adapun Nurcholish Madjid melihat bahwa kecenderungan umat Islam buat mendirikan Negara Islam tersebut adalah tindakan dan tentang yang apologetis serta utopis. Menurut Nurcholish Madjid, hal ini dapat dipandang berdasarkan dua sudut pandang, yaitu pertama, kemunculannya adalah apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon dalam apresiasi yang bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan berujung dalam perjuangan Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yang begitu dominan di kalangan umat Islam, yang dibuat buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara pada masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih bertenaga mengiringi ihwal politik Islam terbaru, yang mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai menurut negara sebagai elemen kekuasaan yg akan mampu mengatur serta menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu sudah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sesuai menggunakan pola kehidupan terkini menurut segala aspeknya telah nir lagi sebagai kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan jua orang-orang lain. Dengan demikian, pada pandangan Nurcholish, hasilnya nir perlu hanya adalah aturan Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1995 : 255). Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi buat menyebutkan bahwa Islam yang hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak berdiri di atas formalisme negara serta pemerintahan. Namun Islam menjadi pengejawantahan tauhid, yang adalah kekuatan spiritual yg bisa melahirkan jiwa yg hanif, inklusif, demokratis dan menghargai pluralisme rakyat. Lebih jauh Nurcholish beranggapan bahwa upaya penegakan negara Islam adalah tindakan distorsi terhadap ajaran Islam sendiri. Sebab, menurutnya Islam nir mengajarkan negara menurut kepercayaan sebagaimana yg ada pada Kristen. Namun Islam hanya mengajarkan moral-etis buat masyarakat dalam bernegara dan politik. Pandapat ini senada menggunakan apa yg dikatakan oleh Muhammad ‘Abduh, yaitu Islam tidak mengenal negara yg berlandaskan kepercayaan .