KRITIK ATAS FAHAM DAN GERAKAN PEMBAHARUAN NURCHOLISH MADJID

Kritik Atas Faham Dan Gerakan Pembaharuan Nurcholish Madjid 
Islam dan politik, demikian 2 kata ini nir habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah. (Esposito, 1990 : xxi) Banyak menurut para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), terbaru dan neo terbaru, (Azar, 1996 : 75-142) yg mencoba menaruh sebuah penjelasan hubungan antara islam serta politik, menggunakan majemuk cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.

Pada zaman terkini, usaha Islam terkonsentrasi dalam dua kategori. Pertama, perjuangan pembaharuan pemikiran Islam yang bersifat ke pada (Struggle from with in), yg bertujuan buat menaikkan semangat keberagamaan dengan memperluas cakrawala pemikiran melalui pembaharuan pendidikan, menggunakan tema sentralnya adalah kembali pada kemurnian ajaran Islam Al-Qur’an serta As-Sunnah.. Kedua, usaha politik Islam, sebagai bagian berdasarkan pembebasan ketertindasan warga muslim berdasarkan kediktatoran penguasa Islam yang despotik serta yang terutama merupakan pembebasan dari imperialisme Eropa. 

Setelah kegagalan politik Islam buat menciptakan kekuatan pan-Islamismenya, usaha pembebasan kaum muslimin dari kediktatoran penguasa yang despotik dan imperialisme Barat menjadi sangat lokal, yang didasarkan atas nasionalisme kebangsaannya. Pada fase-fase inilah selanjutnya terjadi perubahan besar paras politik Islam, dari pan-Islamismenya dan kekhalifahan ke bentuk negara yang didasari atas nasionalisme kebangsaan. (Voll, 1999) Walaupun, pada fase selanjutnya, bukti diri ke-Islam-an pada struktur negara-bangsa (nation-state) yg berdasarkan atas nasionalisme tadi, masih terus sebagai perdebatan para pemuka agama (Ulama’) pada kontek lokal masing-masing, dalam rangka pencarian bentuk dan isi, sebagai dampak dari pengaruh besar arus demokratisasi pada belahan dunia ketiga.

Perdebatan mengenai bentuk negara dan mekanisme pemerintahan dalam negara yang berdasarkan sunnah Rosul dan doktrin buku kudus al-Qur’an ini, sangat membutuhkan ketika serta penyesuaian-penyesuaian dengan syarat negara yg berdasarkan atas landasan tetitorial geografis, serta kultur masing-masing. Sehingga aktualisasi diri atau perwujudan paras berdasarkan politik Islam waktu ini, sangat berbeda-beda antar negara muslim yang satu menggunakan negara muslim yang lainnya.

Wacana pembaruan yg dikumandangkan sang gerbong generasi pasca usaha ideologi (Kuntowijoyo, 1991 : 131-134) ini, sangat mengemuka dan menjadi bagian menurut strategi perjuangan umat Islam Indonesia.(Effendi, 1998 : 125-164). Tema hangat yang relatif mengundang perhatian publik dalam kaitannya menggunakan perbincangan persoalan keharusan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah apa yang dikemukakan sang Nurcholish Madjid serta teman-temannya tentang keharusan melakukan sekularisasi, menjadi upaya desakralisasi serta rasionalisasi kehidupan beragama. Dalam kontek ini, kepercayaan tidak hanya dipahami sebagai dimensi yg utuh skral (kudus) menggunakan segala pirantinya. Tetapi terdapat bagian-bagian yang berubah, karena sifatnya yang sosiologis. Sehingga sekularisasi, berdasarkan Nurcholish merupakan jalan yg perlu dilakukan umat Islam, agar pada berislam warga bisa membedakan antara kenyataan sosial, yang sifatnya berbah-ubah serta fenomena wahyu yang sifatnya transenden. (Rasjidi, 1977)

Dalam pandangan Amien Rais, istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran juga pada Sunnah. Oleh karenanya, berdasarkan Amien Rais, nir ada perintah dalam Islam buat menegakkan Negara Islam. Yang terdapat merupakan khilafah, yaitu suatu misi kaum Mislimin yg harus ditegakkan pada muka bumi ini buat memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt., maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, lanjut Amien Rais, al-Quran nir menerangkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk dunia saja. Amien mencontohkan Saudi Arabia, menjadi suatu negara yang aneh dalam zaman terbaru ini, dan para pemimpinya menyatakan tidak perlu konstitusi karena mereka telah memiliki sandaran syari’ah Islam. Namun, bagi Amien aplikasi syari’ah Islam sendiri pada sana begitu sempit, serta jauh berdasarkan idealisme Islam itu sendiri. Amien menyebutkan, seperti prinsip-prinsip monarkhi Saudi Arabia itu sendiri sudah bertabrakan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam di bidang kemasyarakatan dan politik. (Amien, 1982)

Dalam kontek ini, ke 2 pemikir tersebut bisa dikatakan paralel dalam gagasannya. Walaupun pada derivasi instrumentalnya lalu bhineka. Namun pada luar sumbangan gagasan-gagasan sebagaimana yg telah tersebut pada atas, ihwal-perihal politik Islam menjadi upaya reaktualisasi serta reformulasi teologis politik Islam di Indonesia, yang bermula dari gagasan kedua tokoh tersebut sangatlah menarik buat diteliti. Lantaran konsistensinya dalam melakukan reformulasi teologis mengenai politik Islam. Misalnya, kontribusi Amien tentang High Politics dan Low Politics, menjadi baku dasar kategorisasi konduite politisi, Tauhid dengan beragam turunannya yang dijadikan sebagai dasar-dasar etik-moral dalam politik Islam ke 2 tokoh tadi, serta lain-lain.

Pasca reformasi, tema-tema politik Islam kembali bermunculan, mengindikasikan seoalah perbincangan dalam masa Orde Baru belum terselesaikan. Dan akhirnya kini diiringi menggunakan kenyataan euphoria reformasi, tema dan aksi mengenai politik Islam tadi muncul kembali. Di sini amatlah krusial kiranya buat meneliti mengenai pemikiran kedua tokoh tersebut, terutama yg menyangkut dasar-dasar etik-moral poliik Islam serta “Negara Islam” dengan asa bisa menaruh donasi pemikiran pasca reformasi, pada mana tema-tema tadi mulai timbul kembali. 

1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dipertegas pulang rumusan utama perkara yang akan diteliti. Adapun penekanan perkara dalam penulisan penelitian ini adalah : Pertama, Pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid serta M. Amien Rais mengenai etika politik dan Negara Islam di Indonesia serta perbedaan dan titik temunya. Kedua, Relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di Indonesia saat ini.

2. Tinjauan Pustaka
Dalam kontek hubungan Islam serta negara, kitab yg adalah disertasi Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, adalah buku yang mengupas panjang lebar duduk perkara interaksi Islam serta negara dipandang menurut 3 masa, yaitu masa periode kemerdekaan yang menuntut ke arah kesatuan Islam dan negara, periode pasca-revolusi sebagai upaya perjuangan Islam menjadi dasar ideologi negara, dan periode Orde Baru menjadi periode penjinakan idealisme dan aktivisnme politik Islam. Dalam kitab ini penjelajahan penelitiannya lebih poly menunjuk terhadap pola taktik usaha politik Islam serta arus baru formulasi teologis politik Islam. Sehingga generalisasi interaksi Islam serta negara dalam kajian kitab ini lebih nampak berdasarkan dalam kajian pemikiran tokohnya sendiri.

Selain yang tadi pada atas, terdapat kajian lain yg lebih spesifik lagi tentang interaksi Islam serta negara, yaitu kitab yg dikarang sang Abdul Aziz Thaba dengan judul Islam serta Negara Dalam Politik Orde Baru. Buku ini lebih khusus menjelskan pergulatan politik Islam dengan negara pada masa Orde Baru. Terdapat 3 asumsi dasar hubungan antara Islam serta negara pada masa Orde Baru. Pertama, merupakan hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), kedua, interaksi yang bersufat resiprokal-kritis (1982-1985), dan ketiga adalah hubungan yg bersifat akomodatif (1986-1990-an). Kajian ini nir tidak sama jauh menggunakan apa yang ditulis sang Bahtiar Effendi, hanya saja spesifikasi pergolakan politik lebih kental lantaran rentetan waktunya yg lebih spesifik. Tetapi, apa yg didapatkan jua nir mampu lepas dari generalisasi politik Islam berdasarkan dalam kajian pemikiran tokohnya.

Greg Barton pada bukunya Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, serta Abdurrahman Wahid, mengungkapkan lebih khusus lagi terhadap kajian pemikiran tokoh yg mengkategorikan menjadi grup Neo-Modernisme. Dalam buku ini dijelaskan panjang lebar menggunakan disertai analisis yg relatif mendalam tentang pemikiran Neo-Modernisme Islam pada Indonesia yg terdiri berdasarkan keempat tokoh tadi. Pada prinsipnya gagasan pembaruan pemikiran Islam liberalnya lebih kental dari dalam kajian mengenai politik Islamnya. Walaupun ada, tetapi sedikit sekali yg dikaji secara mendalam menurut bagian-bagian politik Islam. 

Modernisme dan Fundamentalisme pada Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), merupakan buku dari output desrtasi Yusril Ihza Mahendra. Dalam kitab ini, gagasan tentang politik Islam sangat spesifik. Yaitu memperbandingkan antara partai Masyumi di Indonesia yang dikategorikan modernis dan partai Jama’at-i-Islami di Pakistan yang mengkategorikan fundamentalis. Kajian pada kitab ini sangat detail dan mendalam. Tetapi, sebagaimana judul bukunya ranah kajiannya lebih spesifik terhadap perkara politik kepartaian dan segala hal yang menyangkut perangklat fragmental dan ideologis pergeraknnya.

Dalam kitab Membaca Pikiran Gus Dur serta Amien Rais Tentang Demokrasi, yang dikarang sang Umaruddin Masdar relatif kentara pada menkaji pemikiran tokohnya, terkhusus pemikiran M. Amien Rais serta Abdurrahman Wahid. Dalam kajian ini, arah demokrasi menjadi bagian dari sistem politik terkini sangat menerima titik aksentuasi. Penerimaan demokrasi sebagai bagian dari sistem politik terkini, yang disepakti sang kedua tokoh tadi, pula nir mampu terlepas dari rentetan panjang sejarah politk Islam Sunni. Di sini, titik kajiannya sangat jelas, yaitu menelusuri alur pemikiran poltik Islam kedua tokoh tadi pada kontek paradigma politik Sunni. 

Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur serta Amien Rais, adalah kitab yg sunting oleh Arief Affandi buat menaruh legitimasi peta perjuangan politik antara model Amien Rais dan Gus Dur. Dalam kitab ini lebih nampak sebagi bunga rampai serta subatansinya lebih datar sebagai bagian menurut polemik strategi perjuangn demokrasi di Indonesia, yaitu antara kultural dan struktural.

Dalam pemikiran politik Ibn Taimiyah, amanah dan keadilan yang berdasarkan dalam agama sangat mendapat penekanan perhatian. Setidaknya orientasi pemikiran politiknya yang menurut pada kepercayaan dan etik pada perspektif Kitab Suci dan Sunnah ini bisa ditinjau dari 3 alasan. Pertama, berdasarkan judul bukunya dibidang politik, Al-Siyasat al-Syar‘iyyat fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra’iyyat (politik yang berdasarkan syari’at bagi perbaikan pemimpin atau penggembala dan yang dipimpin atau gembala). Kedua, dalam muqaddimah buku tadi dia tegaskan bahwa risalahnya itu menyampaikan politik ketuhanan serta politik kenabian yang diharapkan sang pemimpin dan rakyat. Ketiga, dalam pendahukuan bukunya tadi Ibn Taimiyan mendasarkan teori politiknya berdasarkan ayat al-Quran surat ai-Nisa’ ayat 58 yang ditujukan kepada para penguasa serta ayat 59 ditujukan pada masyarakat. (Taimiyah, 1966 : tiga-4)

Di luar ranah pemikiran politik Islam abad klasik serta pertengahan tersbut, merupakan Muhammad Husein Haikal yg jua beropini sebagaimana pada bukunya Hukumat al-Islamiyyat (pemerintahan Islam) mengenai pentingnya landasan moral etik Islam menjadi bagian dari sistem politik. Menurutnya, Islam tidak tetapkan sistem tertentu bagi pemerintahan, akan namun dia meletakkan kaidah-kaidah bagi tingkah laku serta muamalah dalam kehidupan antar manusia. Kaidah-kaidah itu sebagai dasar buat tetapkan sistem pemerintahan yang berkembang sepanjang sejarah (Haikal, 1983 : 44). 

Di luar Muhammad Husein Haikal, merupakan Muhammad ‘Abduh yang beropini bahwa Islam tidak memutuskan bentuk pemerintahan, dan memiliki kesamaan dengn pendapat Ibn Timiyah. Keduanya berpendapat bahwa sistem pemerintahan bisa diadaptasi dengan kehendak umat melalui ijtihad dan nir berdasar kan kepada sistem syari’at yang kaku. Baginya, pemerintahan serta warga mempunyai hak serta kewajiban yang sama dalam memelihara dasar-dasar kepercayaan , serta menafsirkannya selama dia berkaitan menggunakan perkara keduniaan. 

Dari beberapa asumsi yang tersebut di atas, maka di antara pemikiran politik Islam klasik dan pada masa ini masih ada kerangka pikir (mode of thought) yang menempatkan Islam menjadi sumber etik-moral dalam menetapkan landasan kepolitikan dalam suatu negara, yg nir terikat secara kaku dengan model pngetatan terhadap syari’at menggunakan mendirikan kekhilafahan dunia atau negara Islam.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan pertama, mengungkap pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais tentang etika politik dan Negara Islam di Indonesia serta apa perbedaan dan titik temunya. Kedua, mencari relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di Indonesia saat ini.

Adapun manfaat menurut penelitian ini adalah :
  1. Menambah perihal pemikiran politik Islam di Indonesia, khususnya berkai-erat dengan tema khusus penelitian ini.
  2. Memberikan donasi pemikiran mengenai etika politik serta Negara Islam menjadi bahan perbandingan dengan karya-karya penelitian yg lain.
  3. Memberikan kontribusi pemikiran politik Islam dalam matakuliah fiqh siyasah yg diajarkan di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto
METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini dipakai jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang obyeknya berupa pemikiran para ahli yg tertulis dalam buku-buku serta goresan pena-tulisan lain yang berkaitan dengan kajian ini. Dalam hal ini, data yang dibutuhkan diambil dari karya Nurcholish Madjid serta M. Amien Rais yang sekaligus sebagai data utama dan didukung sang karya-karya lain yg herbi obyek kajian ini yang sekaligus sebagai data sekunder.

2. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul akan diolah dengan :
  1. Pengamatan terhadap aspek kelengkapan, validitas dan relevansinya menggunakan tema bahasan; 
  2. Mengklasifikasikan dan mensistematisasikan data-data, kemudian diformulasikan sesuai menggunakan utama konflik yang terdapat;
  3. Melakukan analisa lanjutan terhadap data-data yang sudah diklasifikasikan serta disistematisasaikan menggunakan memakai dalil-dalil, kaidah-kaidah, teori-teori dan konsep pendekatan yg sesuai, sebagai akibatnya memperoleh kesimpulan yang benar.
2. Analisis Data
Data yg telah dikelola, akan dianalisis menggunakan menggunakan alur pemikiran :
  1. Interpretasi, yaitu penyelaman dan penangkapan terhadap arti dan perbedaan makna atau tentang ekspresi manusia yang dipelajari, sehingga tercapai pemahaman yang benar.
  2. Kesinambungan historis, yaitu pemahaman bahwa perkembangan langsung adalah ekuilibrium kegiatan dan insiden pada kehidupan setiap orang sebagai mata rantai yg nir terputus;
  3. Komparasi, yaitu membandingkan antara pandangan tokoh yg sebagai obyek penelitian dengan tokoh lain yg memiliki kualitas sebanding pada bidang keilmuan

HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pemikiran Politik Islam Nurcholish Madjid
Menurut Nurcholish Madjid, buat semua tujuan sosial politik, manusia memang harus pulang kepada naturnya, yaitu fitrah insan yang kudus (hanif). Dan dari sini jua Nurcholish Madjid menciptakan dasar teologis tentang Islam menjadi agama kemanusiaan yg nantinya akan mendasari gagasan-gagasan politik Islam, berdasarkan teoritisasi al-Quran, yang sekaligus sebagai inti pemikiran keagamaan Nurcholish yang mendasari segi-segi pemikiran politiknya. Oleh karena itu, penting pada sini buat mengutip lengkap nuktah-nuktah pandangan dasar kemanuisaan Islam, misalnya yg telah dirumuskan oleh Nurcholish Madjid, dan selalu sebagai dasar ceramah-ceramah juga tulilsan-tulisannya,baik mengenai kepercayaan Islam juga politik sebagaimana berikut:
  1. Manusia diikat dalam suatu perjanjian primordial menggunakan Tuhan, yaitu bahwa insan, semenjak berdasarkan kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji buat mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya; 
  2. Hasilnya adalah kelahiran manusia pada kesucian berasal (fitrah), serta diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu apabila andai kata nir ada imbas lingkungan; 
  3. Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nurani, merupakan bersifat cahaya terang), yg mendorongnya untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik serta sahih; 
  4. Tetapi karena manusia itu diciptakan menjadi makhluk yg lemah (diantaranya, berpandangan pendek, cenderung tertarik kepada hal-hal yang bersifat segera), maka setiap pribadinya memiliki potensi buat salah , karena “terpesona” oleh hal-hal menarik pada jangka pendek; 
  5. Maka , buat hidupnya, manusia dibekali dengan nalar pikiran, kemudian agama, serta terbebani kewajiban terus menerus mencari dan memilih jalan hayati yag lurus, benar dan baik; 
  6. jadi manusia adalah makhluk etis serta moral, pada arti bahwa perbuatan baik buruknya wajib bisa dipertanggungjawabkan, baik di dunia ini sesama insan, maupun di akhirat pada hadapan Tuhan Yang Maha Esa; 
  7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yg nisbi sebagai akibatnya terdapat kemungkinan insan menghindarinya, pertanggungjawaban di akhirat adalah absolut, serta sama sekali tidak mungkin dihindari. Selain itu, pertanggungjawaban mutlak kepada Tuhan pada akhirat itu bersifat sangat langsung, sehingga tidak terdapat pembelaan, interaksi solidaritas serta perkawanan, sekalipun sesama antara sahabat, karib kerabat, anak serta ibu-bapak; 
  8. Semuanya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia, dalam hidupnya di global ini, mempunyai hak dasar buat memilih dan memilih sedniri perilaku moral serta etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etis, serta insan akan sama derajat dengan makhluk yg lain, jadi tidak akan mengalami kebahagiaan sejati); 
  9. Karena hakekat dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan sebagai zenit segala makhluk Allah, yg diciptakan olehnya dalam sebaik-baik kreasi, yg dari asalnya berharkat dan prestise dengan tinggi-tingginya; 
  10. Karena Allah pun memuliakan anak cucu Adam ini, serta melindungi dan menanggungnya di daratan juga dilautan; 
  11. setiap pribadi insan adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Maka barangsiapa merugikan seorang pribadi, misalnya membunuhnya, tanpa alasan yg absah maka dia bagaikan merugikan seluruh umat manusia, serta barangsiapa berbuat baik pada seorang, misalnya menolong hidupnya, maka beliau bagaikan berbuat baik pada seluruh umat insan.; 
  12. Oleh karena itu setiap eksklusif insan harus berbuat baik pada sesamanya, menggunakan memenuhi kewajiban diri eksklusif terhadap pribadi yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang lain, pada suatu jalinan interaksi kemasyarakatan yang tenang dan terbuka”.(Nurcholish, 1995 : 193-194) 
Menurut Nurcholish Madjid, “hak setiap orang buat menentukan serta menyatakan pendapat serta pikiran dan kewajiban setiap orang buat medengar pendapat dan pikiran orang lain itu membentuk inti ajaran tentang musyawarah.” Dalam Islam istilah musyawarah sendiri secara etimologis, dari Nurcholish mengandung arti “saling memberi isyarat”, yakni saling memberi isyarat mengenai apa yang benar serta baik: jadi bersifat reciprocal dan mutual (Ibid : 197). Adapun musyawarah, bagi Nurcholish Madjid tidak akan terwujud menggunakan baik apabila nir disertai dengan kelapangan dada, kerendahan hati serta keterbukaan. Prinsip ini dari Nurcholish Madjid bisa disimpulkan menurut perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. Buat bermusyawarah menggunakan para teman beliau, yaitu sebagai berikut (Q.S. Ali Imran 153) :

Dengan melihat perangkat normatif perintah bermusyawarah tadi, Nurcholish Madjid menaruh tinjauan moral-etis pada pelaksanaan bermusyawarah. Menurutnya, terlaksananya musyawarah yg selanjutnya sebagai dasar kehidupan warga zaman nabi tersebuat lantaran selalu dikaitkan dengan prinsip: 
  1. Adanya Rahmat Allah yg diberikan pada Nabi Muhammad; 
  2. dengan rahmat Allah itu Nabi saw. Senantiasa mengambarkan sikap-sikap lemah lembut, ikhlas dan penuh pengertian pada orang lain;
  3. beliau nir kejam, serta nir pula kasar; 
  4. perintah buat memaafkan kesalahan orang lain; 
  5. perintah buat memohonkan ampun pada Allah bagi orang lain; 
  6. perintah musyawarah, sebagai kelanjutan wajar seluruh hal itu; 
  7. menyandarkan diri (tawakkal) pada Allah bila telah membuat keputusan.(Ibid ; 196) 
Menurut Nurcholish, dilihat dari segi proses sejarah serta perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan “Negara Islam” itu merupakan suatu bentuk kecenderungan apologetis. Setidaknya, menurut Nurcholish, apologetis tadi bisa dicermati dari dua segi: Pertama, kemunculannya merupakan apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme serta lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon dalam apresiasi yg bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan serta berujung dalam usaha Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana masih ada negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yg begitu lebih banyak didominasi pada kalangan umat Islam, yg dibentuk buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara dalam masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih kuat mengiringi perihal politik Islam modern, yg mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai berdasarkan negara menjadi elemen kekuasaan yg akan sanggup mengatur serta menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu telah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sinkron dengan pola kehidupan terbaru menurut segala aspeknya telah nir lagi menjadi kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Dengan demikian, dalam pandangan Nurcholish, hasilnya tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang mencakup seluruh orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1992 : 255) Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi untuk menjelaskan bahwa Islam yg hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan serta perpaduan hukum, yg tegak berdiri di atas formalisme negara serta pemerintahan. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid, yg adalah kekuatan spiritual yg mampu melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme rakyat.

Lebih jauh Nurcholish melihat bahwa tindakan yg lebih prinsispil menurut konsepsi tentang “Negara Islam” tersebut merupakan sutau penyimpangan interaksi proporsional antara negara dan agama. Bagi Nurcholish, Negara merupakan galat satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya merupakan rasional dan kolektif. Sedangkan kepercayaan adalah aspek kehidupan lain yg dimensinya merupakan spiritual dan eksklusif. Antara kepercayaan dan negara memang tidak mampu dipisahkan, namun antara keduanya itu tetap harus dibedakan pada dimensi dan cara pendekatannya. 

2. Pemikiran Politik Islam M. Amien Rais
Politik serta agama acapkali dipahami secara terpisah pada pada kehidupan bermasyarakat. Sehingga seolah nir ada keterkaitan fungsional dan organik antara politik serta agama dan politik serta dakwah. Bahkan ada kesan pada masyarakat seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, dan pelbagai konotasi tidak baik lainnya. Bagi M Amien Rais persepsi politik yang demikian tentu relatif berbahaya. Ditinjau menurut kaca mata agama serta dakwah, pandangan politik seperti ini juga sangat merugikan (Amien, 1995 : 81-85). 

Menurut Amien Rais, seoarang politisi haruslah bersandar dalam moralitas dan etika yang bersumber pada ajaran tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid ini dilepaskan menurut politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan orang poly. Sebagaimana diungkapkan Amien: 

“…. Politik adalah salah satu aktivitas krusial, mengingat bahwa suatu warga hanya mampu hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal pada sebuah negara menggunakan segala perangkat kekuasaannya. Sedemkian krusial peranan politik dalam rakyat terkini, sehingga poly orang beropini bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat memilih corak sosial, ekonomi, budaya, aturan, serta aneka macam aspek kehidupan lainnya. (Amien, 1995 : 27) 

Dengan demikian, maka politik harus mengindahkan nilai-nilai kepercayaan dan fungsional terhadap tujuan dakwah. Politik yg fungsional terhadap tujuan dakwah adalah politik yg sepenuhnya mengindahkan nilai-nilai Islam. Dalam interaksi ini, Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan politik yang Islami tidak menaruh tempat bagi sekulerisasi. Mengutip Harvey Cox, Amien Rais menggambarkan yg dimaksud dengan sekulerisasi dan komponen-komponennya adalah, disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam menurut nilai-nilai kepercayaan , agar masyarakat bisa melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral atas otoritas serta kekuasaan, serta hal ini merupakan syarat buat mempermudah kelangsungan perubahan sosial serta politik pada proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi menggunakan nilai-nilai agama yang bersifat mutlak.ibid : 28-29) 

Politik selalu berkaitan menggunakan kekuasaan (power). Sebagaimana dikatakan V.O. Key, Jr., politik terutama terdiri atas hubungan antara superordinasi dan subordinasi, antara penguasaan serta submisi, antara yg memerintah serta yg diperintah. George Catlin memberi takrif politik menjadi aktivitas manusia yang berkenaan dengan tindakan insan dalam mengontrol warga (the act of human social control). Sedangkan Harold Lasswell menaruh pengertian politik menyangkut who gets what, when and who. What pada sini terutama berupa kekuasaan atau otoritas politik. Sedangkan siapa, kapan, serta bagaimana, merupakan perkara-masalah yg menentukan bentuk pengelolaan politik suatu warga (Ibid : 30).

Menurut Amien Rais, politik kepartaian, proses rekrutmen pejabat atau pegawai, proses agregasi serta artikulasi kepentingan, proses pemecahan pertarungan kepentiangan antargolongan pada masyarakat, proses pembuatan keputusan politik domestik maupun luar negeri serta lain sebagainya, merupakan contoh-contoh aktivitas politik yang nir bisa dilepaskan dari fondasi moral serta etik yg dianut.” (Ibid). Bagi Amein Rais, seorang Marxis, tindakan politik adalah baik jika tindakan itu menguntungkan kaum proletar, memperlemah posisi golongan yang mereka katakan borjuis, serta menuju revolusi sosial ke arah warga tanpa kelas. Begitu halnya menggunakan seorang sekularis-pragmatis, sutau tindakan politik itu baik apabila bisa memberi keuntungan praktis serta manfaat material, walaupun hanya menurut pertimbangan-pertimbangan sesaat. Sedangkan bagi seseorang muslim, suatu tindakan politik itu baik jika beliau bermanfaat bagi semua rakyat, sesuai menggunakan ajaran rahmatan lil’alamin (Ibid).

Dengan melihat banyak sekali kenyataan politik di atas, berdasarkan Amien Rais, dalam kaca mata Islam terdapat dua jenis politik (Amien, 1995 : 74). Yaitu politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral serta etis (high politics) dan politik kualitas rendah atau politik yg terlalu mudah serta tak jarang cenderung nista (low politics). Dalam konteks organisasi, Amien mencontohkan: “Jika sebuah organisasi menerangkan perilaku yang tegas terhadap korupsi, mengajak warga luas buat memerangi ketidakadilan, mengimbau pemerintah buat terus menggelindingkan proses demokrasi serta keterbukaan, maka organisasi tadi dalam hakikatnya sedang memainkan high politics. Sebaliknya, jika sebuah organisasi melakukan gerakan manuver politik buat memperebutkan kursi DPR, minta bagian pada lembaga eksekutif, menciptakan kelompok penekan, mambangun di lobi, dan berkasak-kusuk buat mempertahankan atau memperluas vested interest, maka organisasi tadi sedang melakukan low politics.”

Dalam sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yg diadakan pada tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yg ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur serta tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu loka serta loka yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip generik dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai kesepakatan bahwa demokrasi adalah jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka setuju buat menolak perkiraan filosofis “demokrasi Barat”.

Kedua kesimpulan ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak pada tiadanya perintah pada al-Qur’an serta Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Jika umpamanya terdapat perintah tegas buat mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an dan Sunnah pula akan memberikan tuntunan terinci tentang struktur institusi-institusi negara yg dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan warga , hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan generik (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yang benar-sahih naratif. Jika demikian halnya, maka negara Islam itu nir akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok serta sangat tepat buat masa 14 abad yg silam, namun perlahan-huma dia akan sebagai usang (out of date), dan tidak dapat lagi memiliki kemampuan menanggulangi masalah-perkara modern yg timbul sejalan menggunakan dinamika rakyat manusia, dan pasti nir akan harmonis dengan dinamika sejarah yg terus mengalami perubahan serta pertumbuhan sesuai menggunakan sunnatullah.”

Namun, berdasarkan Amien, menggunakan demikian tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan menciptakan negara sesuai menggunakan kemauan manusiawinya sendiri, serta terlepas menurut ajaran-ajaran utama (fundamentals) agama Islam. Bagi Amien, menciptakan suatu negara yg terlepas dari fundamentals ajaran Islam berarti menciptakan negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual serta menjurus pada kehidupan yang serba-material, yg pada dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut secara bersiklus dalam kesempatan-kesempatan eksklusif.

3. Perbandingan Pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid
Amien Rais dan Nurcholish Madjid sama-sama berpandangan bahwa tauhid adalah prinsip dasar pada menciptakan sistem moral-etik dalam berpolitik. Amien Rais sangat percaya bahwa dengan berprinsip dasar pada tauhid, formulasi teologis pada kontek politik terkini serta keumatan akan sangat sanggup buat bertanding, atau bahkan disejajarkan menggunakan politik modern kini ini. Misalnya dalam menegakkan negara demokrasi, pluralisme, keterbukaan, penegakan hak asasi manusia serta lain sebagainya. Dari paham tauhid ini, Amien rais mereformulasi pandangannya tentang tauhid pada derivasi 5 konsekwensi yang terdiri menurut unity of creation, unity of mankind, unity of guidance, unity of purpose of live, yang kesemuanya itu terlahir dari unity of godhead. Jika diperas, maka reformulasi tauhid tersebut merupakan bentuk kosmopolitanisme dari pandang kehidupan dunia serta akhirat yg tidak terpisahkan. 

Begitu halnya dengan Nurcholish Madjid. Ia sangat percaya bahwa menggunakan dasar-dasar moral-etik yg telah dibangun Rasulullah saw. Pada Madinah yg berdasarkan ukuran zamannya sangat terkini umat Islam sebenarnya lebih siap dalam menghadapi modernitas, yaitu keterbukaan, demokrasi, hak asasi manusia dan lain sebagainya. Tauhid pada pemikiran Nurcholish Madjid pada samping mengandung makna yang dapat diderivasi ke dalam masyarakat modern, jua menuntut pandangan yg wajar dan berdasarkan apa adanya pada dunia dan masalahnya, yang dalam pada dasarnya beliau formulasikan pada bentuk sekularisasi. Bahkan akibat dari pandangan tauhid ini, Nurcholish Madjid sependapat menggunakan M. Iqbal bahwa Islam merupakan “Bolshevisme plus Allah.”

Kedua, Nurcholish Madjid serta Amien Rais sering menggunakan terminologi-terminologi normatif al-Qur’an yg dikontekstualisasikan pada bahasa politik terkini, buat dijadikan menjadi landasan moral-etik politik Islam. Misalnya, istilah musya warah adalah tipikal awal terhadap gagasan demokrasi. Keduanya tidak menolak terhadap gagasan demokrasi lantaran dengan asumsi dasar bahwa Islam sangat sesuai menggunakan prinsip-prinsip dasar demokrasi tersebut sebagaimana perintah musya warah pada bahasa al-Qur’an. Dalam konteks ini, kedua pemikir tersebut tidak selaras menggunakan pemikir politik Islam pada masa ini semacam Husein Haikal serta Ali Abd Razik. Bagi Husein Haikal, dia nir mau memakai terminologi al-Qur’an pada rangka merumuskan suatu sistem politik maupun pemerintahan. Dalam pandangannya, terminologi syura misalnya, yang masih ada dalam al-Qur’an menurutnya bukan diturunkan buat atau dalam kaitan sistem pemerintahan eksklusif, semisal jua demokrasi. Walaupun sebenarnya secara ide Husein Haikal jua tidak menolak istilah demokrasi tadi. Begitu halnya dengan terminologi amar ma’ruf nahi munkar, yang dalam pandangan dunia politik akan selalu memiliki maknanya yang ganda. Yaitu dalam satu sisi bahasa politik Islam akan menuntut adanya afirmasi dalam kebaikan yang bersumber dari legalias teologis-normatif dari ajaran suatu kepercayaan . Dan pada sisi yang lain akan menuntut buat mempunyai keberanian pada menegasikan segala bentuk kemunkaran perilaku politik yang tidak sesuai menggunakan moral-etis warga beragama, yang berarti mendapatkan legalitas sosiologis. 

Ketiga, dalam strategi pembaruan pemikiran Islam Amien Rais serta Nurcholish Madjid memulainya berdasarkan titik pandang yg tidak selaras. Dan lantaran titik pandang ini jua yang menciptakan track record pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid dalam konteks pembaruan pemikiran Islam pada Indonesia mengalami perbedaan. Menurut Nurcholish Madjid, buat melakukan pembaruan pemikiran Islam khususnya berkait erat dengan problem sistem politik, maka menuntut keharusan sekularisasi, serta bukan sekularisme. Sekularisasi bagi Nurcholish adalah desakralisasi dan rasionalisasi paham keagamaan. Karena menggunakan sekularisasi, diharapkan umat Islam bisa membedakan antara urusan global yg temporal dan urusan akhirat yang transendental. Dengan demikian, sekularisasi merupakan afiksasi eksklusif dari pandangan hidup tauhid, yang mendesakralisasikan kehidupan etos selain kepada Allah. Dalam analogi Ahmad Wahib, Nurcholish mengartikan bahwa sekularisasi itu adalah respon kepercayaan terhadap modernitas atau perkembangan kebudayaan. Seperti halnya Muhammadiyah dalam masa awal pergerakannya mendirikan sekolah terbaru, mendirikan tempat tinggal sakit, memakai dasi serta celana serta lain-lain. Sekularisasi ini tidak sama menggunakan sekularisme sebagaimana yang dimaksud sebagian kebanyakan orang di Indonesia.

Muhammad Amien Rais serta Nurcholish Madjid sama-sama sepakat dengan istilan tidak terdapat Negara Islam, pada literatur al-Qur’an juga Sunnah. Dalam pandangan Amien Rais, Islamic State atau negara Islam adalah istilah yg tidak terdapat pada al-Qur’an juga Sunnah. Oleh karena itu, menurutnya tidak ada perintah dalam Islam buat mendirikan negara Islam. Yang lebih krusial adalah selama suatu negara menajalankan pandangan hidup Islam, lalu menegakkan keadilan sosial serta menciptakan suatu warga yang egalitarian, yg jauh daripada eksploitasi manusia atas insan juga pendayagunaan golongan atas golongan, berarti berdasarkan Islam sudah dipandang negara yang baik. Bagi Amien Rais, apalah ialah suatu negara mengguakan Islam menjadi dasar negara, jika ternyata hanya formalitas kosong. Amien mencontohkan negara Arab Saudi yg nir mempunyai konstitusi, dan baginya adalah aneh pada zaman terkini.

Adapun Nurcholish Madjid melihat bahwa kecenderungan umat Islam buat mendirikan Negara Islam tersebut adalah tindakan dan tentang yang apologetis serta utopis. Menurut Nurcholish Madjid, hal ini dapat dipandang berdasarkan dua sudut pandang, yaitu pertama, kemunculannya adalah apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon dalam apresiasi yang bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan berujung dalam perjuangan Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yang begitu dominan di kalangan umat Islam, yang dibuat buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara pada masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih bertenaga mengiringi ihwal politik Islam terbaru, yang mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai menurut negara sebagai elemen kekuasaan yg akan mampu mengatur serta menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu sudah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sesuai menggunakan pola kehidupan terkini menurut segala aspeknya telah nir lagi sebagai kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan jua orang-orang lain. Dengan demikian, pada pandangan Nurcholish, hasilnya nir perlu hanya adalah aturan Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1995 : 255). Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi buat menyebutkan bahwa Islam yang hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak berdiri di atas formalisme negara serta pemerintahan. Namun Islam menjadi pengejawantahan tauhid, yang adalah kekuatan spiritual yg bisa melahirkan jiwa yg hanif, inklusif, demokratis dan menghargai pluralisme rakyat. Lebih jauh Nurcholish beranggapan bahwa upaya penegakan negara Islam adalah tindakan distorsi terhadap ajaran Islam sendiri. Sebab, menurutnya Islam nir mengajarkan negara menurut kepercayaan sebagaimana yg ada pada Kristen. Namun Islam hanya mengajarkan moral-etis buat masyarakat dalam bernegara dan politik. Pandapat ini senada menggunakan apa yg dikatakan oleh Muhammad ‘Abduh, yaitu Islam tidak mengenal negara yg berlandaskan kepercayaan .

Comments