PROGRAM PEMANTAUAN PROSES PEMBELAJARAN SMP/MTS

ZONA DOWNLOAD

File Name:Prog. Pemantauan Proses PembelajaranFile Type:ZIPFile Author:-Link:Download 




Zona Download Gratis@cara fleXi Blog Pendidikan

LAPORAN SUPERVISI PROSES PEMBELAJARAN OLEH KEPALA SEKOLAH

Laporan Supervisi Proses Pembelajaran Oleh Kepala Sekolah ini merupakan file modern yang akan caraflexi.blogspot.com bagikan pada kesempatan kali ini. Laporan Supervisi mengacu pada perangkat / instrumen supervisi yang disediakan, penyerahan berkas output pengawasan kepada guru buat dapat persetujuan, ketua sekolah membicarakan laporan rangkuman hasil Supervisi pada Pengawas.

Program Supervisi Kepala Sekolah adalah rangkaian proses menurut evaluasi kepala sekolah/ madrasah pada setiap pengajar yg mengajar disekolah tersebut. Laporan dari output proses tadi pula harus dibentuk menjadi pertanggungjawaban dari kewajiban kepala sekolah pada tugasnya menjadi supervisor.



File ini ditujukan buat memenuhi Bukti Fisik Akreditasi SD/MI Standar Proses khusunya pada Instrumen No.30 bagi sekolah/ madrasah yang sedang mempersiapkan pelaksanaan akreditasi.



Download Juga !!!

BUKTI FISIKAKREDITASI SD 2018 STANDAR PROSES INSTRUMEN 1131

Bukti FisikAkreditasi SD 2018 Standar Proses Instrumen 11-31 ini merupakan dokumen yg wajib dipersiapkan dalam menghadapi Akreditasi SD 2017. Dalam Dokumen Akreditasi ini aku khususkan untuk Bukti Fisik Standar Proses berdasarkan 8 Standar yg wajib dipersiapkan. Bagi sekolah dan madrasah (Sekolah Dasar/MI) yg akan melaksanakan akreditasi tentunya harus mempunyai persiapan yg matang pada memenuhi tuntutan administrasi yg harus dilihat pribadi sang Asesor. Untuk memudahkan anda dalam mempersiapkan dokumen bukti fisik tersebut, disini aku akan share kepada anda administrasi sekolah yang wajib dipersiapkan.


Dalam Bukti Fisik Standar Proses Akreditasi Sekolah Dasar/Mi ini masih ada 20 berdasarkan 119 Instrumen yg sebagai bahan evaluasi dimana instrumen akreditasi tersebut didasarkan pada 8 Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam postingan ini saya fokuskan ke Bukti Fisik Instrumen 11-31 yang terdapat dalam Bukti Fisik untuk Standar Proses. Dan buat baku lainnya seperti Standar Isi, Standar Penilaian, Standar Pembiayaan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Pengelolaan, Standar Kompetensi Lulusan saya sediakan pada artikel lainnya pada blog ini.


Bukti Fisik Akreditasi Sekolah Dasar/MI Standar Proses (Instrumen 11-31)


Instrumen 11
Dibuktikan menggunakan:
  1. Kelengkapan komponen serta isi silabus yg dimiliki sekolah/madrasah buat seluruh tema dan mata pelajaran.

Instrumen 12
Dibuktikan menggunakan:
  1. RPP yg disusun oleh guru pada sekolah/madrasah.

Instrumen 13
Dibuktikan menggunakan:
Jadwal pembelajaran serta kalender akademik.pembagian tugas guru serta tugas tambahan lainnya.dokumen Silabus Mata pelajaran.
Instrumen 14
Dibuktikan menggunakan:
  1.  absensi murid per kelas

Instrumen 15
Dibuktikan menggunakan:
Melihat pencantuman kitab teks mata pelajaran pada RPP.melihat daftar buku teks pelajaran.menanyakan pada beberapa anak didik tentang ketersediaan dan penggunaan kitab teks pelajaran pada bentuk cetak juga eBook.

Instrumen 16
Dibuktikan menggunakan:
Mengamati proses pembelajaran pada 1-2 kelas, yg dipilih sang asesor menggunakan memerhatikan keterlaksanaan dua belas hal di atas.melihat rekap hasil supervisi kelas sang kepala sekolah/madrasah

Instrumen 17
Dibuktikan menggunakan:
Mengamati aplikasi langkah pendahuluan pembelajaran yang dilakukan pengajar pada kelas.melihat kesesuaian antara RPP dengan aplikasi pembelajaran.melihat rekap hasil pengawasan kelas sang ketua sekolah/madrasah.

Instrumen 18
Dibuktikan menggunakan:
Menelaah ragam contoh pembelajaran yang dipakai pengajar dalam: a) RPP. B) Proses pembelajaran di 1-2 kelas, yang dipilih sang asesor.

Instrumen 19
Dibuktikan menggunakan:
Menelaah ragam metode pembelajaran yang dipakai guru pada: a) RPP. B) Proses pembelajaran pada 1-dua kelas, yg dipilih oleh asesor.


Instrumen 20
Dibuktikan menggunakan:
  1. Menelaah ragam media pembelajaran yg digunakan pengajar pada: a) RPP. B) Proses pembelajaran di 1-dua kelas, yg dipilih sang asesor.


Instrumen 21
Dibuktikan menggunakan:
  1. Menelaah ragam sumber belajar yg digunakan guru pada: a) RPP. B) Proses pembelajaran pada 1-2 kelas, yg dipilih oleh asesor.


Instrumen 22
Dibuktikan menggunakan:
  1. Menelaah ragam pendekatan pembelajaran yg digunakan pengajar dalam: a) RPP. B) Proses pembelajaran pada 1-2 kelas, yang dipilih oleh asesor.


Instrumen 23
Dibuktikan menggunakan:
  1. Mengamati pelaksanaan langkah penutupan pembelajaran yg dilakukan guru pada kelas.
  2. Melihat kesesuaian antara RPP dengan aplikasi pembelajaran.
  3. Melihat rekap output supervisi kelas sang kepala sekolah/madrasah.


Instrumen 24
Dibuktikan menggunakan:
  1. Memeriksa dokumen: a) Instrumen penilaian otentik. B) Bukti pelaksanaan evaluasi otentik. C) Hasil penilaian otentik.


Instrumen 25
Dibuktikan menggunakan:
  1. Dokumen bukti pemanfaatan hasil evaluasi otentik yang dilakukan sang pengajar (satu tahun terakhir). Hasil perbaikan dan pengayaan murid setiap mata pelajaran.


Instrumen 26
Dibuktikan menggunakan:
  1. Dokumen bukti perencanaan serta aplikasi pengawasan yg dilakukan sang kepala sekolah/madrasah, dan tindak lanjut output pengawasan dalam peningkatan mutu secara berkelanjutan.


Instrumen 27
Dibuktikan menggunakan:
  1. Dokumen bukti aplikasi pengawasan proses pembelajaran yang dilakukan sang kepala sekolah/madrasah atau pengajar senior yang diberi wewenang oleh kepala sekolah/madrasah.


Instrumen 28
Dibuktikan menggunakan:
  1. Dokumen bukti pemantauan proses pembelajaran yang dilakukan ketua sekolah/madrasah.


Instrumen 29
Dibuktikan menggunakan:


  1. Memeriksa dokumen bukti tindak lanjut pengawasan proses pembelajaran yang dilakukan ketua sekolah.


Instrumen 30
Dibuktikan menggunakan:
  1. Laporan hasil pemantauan, supervisi, serta penilaian proses pembelajaran yang dilakukan kepala sekolah/madrasah.
  2. Dokumen program tindak lanjut hasil supervisi.


Instrumen 31
Dibuktikan menggunakan:
  1. Dokumen bukti pelaksanaan tindak lanjut supervisi yg dilakukan ketua sekolah/madrasah berupa: a) Bukti keikutsertaan pengajar dalam acara PKB. B) Bukti pemberian penguatan serta penghargaan.

Download Juga !!!

PROGRAM TINDAK LANJUT SUPERVISI KEPALA SEKOLAH SD TERBARU

Program Tindak Lanjut Supervisi Kepala Sekolah SD Terbaru ini merupakan arsip terbaru yg akan caraflexi.blogspot.com/ bagikan secara perdeo pada kesempatan kali ini. Dalam proses Supervisi Akademik terutama hasil menurut pengawasan wajib ditindak lanjuti sesuai dengan feedback yang diterima. 



Dari segi isi pada Program Tindak Lanjut Supervisi Akademik Kepala Sekolah pada Proses Pembelajaran ini masih ada tiga proses primer yakni Pelaksanaan, Pendekatan (Pola Pembinaan), serta Sasaran. Tetapi yg mendasari berdasarkan ketiga proses tadi wajib dilakukan dulu analisis kebutuhan peserta menurut analisis hasil supervisi akademik dengan tahapan sebagai berikut.

  • Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan terkait perkara-perkara pembelajaran dan disparitas (gap) apa saja yang ada antara pengetahuan,ketrampilan dan sikap yang nyata dimiliki pengajar dan yang seharusnya dimiliki guru?Perbedaan tersebut kemudian dikelompokkan, disintesiskan serta diklasifikasikan untuk memilih jenis aktivitas tindak lanjut.
  • Mencatat mekanisme-mekanisme untuk mengumpulkan kabar tambahan tentang pengetahuan, ketrampilan serta sikap yang dimiliki pengajar.
  • Mengidentifikasi serta mencatat kebutuhan-kebutuhan khusus training ketrampilan pembelajaran guru.
  • Menetapkan jenis pelatihan ketrampilan pembelajaran pengajar.
  • Menetapkan tujuan pemilihan jenis pelatihan.
  • Mengidentifikasi dukungan lingkungan dan hambatan-hambatannya.
  • Mengidentifikasi tugas-tugas manajemen yang diperlukan buat pelaksanaan tindak lanjutseperti keuangan,sumber-asal belajar, sarana prasarana.


Sekaligus file ini ditujukan buat memenuhi Bukti Fisik Akreditasi Sekolah Dasar/MI Standar Proses khusunya dalam Instrumen No.29-31 bagi sekolah/ madrasah yg sedang mempersiapkan aplikasi akreditasi.


Download Juga !!!

SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP

Sejarah Perkembangan Konsep
1. Pengantar ke arah Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan historik, Januszewski (2001: 2-15) menyampaikan bahwa termin awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam sang tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya menerangkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan dengan ketiga faktor tersebut (engineering, science, serta audiovisual education).

Dalam kaitannya menggunakan engineering, pengkajian diawali menurut makna engineering yg mendeskripsikan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi buat digunakan secara praktis, yg kebanyakan masih ada di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt serta W.W. Charters sebagai perintis penggunaan istilah “educational engineering” dalam tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan buat pengembangan kurikulum. Penggunaan istilah engineering ini dipakai jua oleh Munroe (1912) pada mengikat konsep ilmu managemen pada setting pendidikan dan educational engineering. Munroe beralasan bahwa kata educational engeering diharapkan dalam mempelajari tentang usaha yg besar buat mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya, mana yang lebih baik, mana yg wajib dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana dan mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yang dinyatakan T.J. Hoover serta J.C.L. Fish membicarakan bahwa engineering adalah aktivitas profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan ilmu untuk memanfaatkan asal alam secara efisien pada membuat kesejahteraan. Selanjutnya menurut output diskusi antara konsep engineering yg diungkapkan Charters dan konsep teknologi yg dikembangkan Noble membentuk empat kesamaan, yaitu: 1) keduanya memerlukan usaha yang sistimatik; dua) keduanya menyatakan aplikasi ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan asal; dan 4) tujuan dari keduanya merupakan untuk menghasilkan sesuatu. Dalam penerapannya dalam pendidikan, digambarkan bahwa bisnis sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan pada setiap menyebarkan acara, serta dalam penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya menggunakan pelaksanaan ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar pada pendidikan, serta setiap usaha pada pendidikan perlu dilandasi sang kejelasan ilmu yg dipakai. Untuk hal tersebut, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering menggunakan industrial engineering, keduanya menggunakan metode riset yg dilandasi oleh dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu tetapkan efisiensi pada setiap bisnis yg dilakukannya, guru perlu tetapkan bagaimana cara yg efisien agar siswa memperoleh pengalaman belajar yg maksimal . Dalam kaitannya menggunakan memproduksi setiap program pembelajaran dalam hakekatnya ditujukan buat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik secara aporisma sebagai akibatnya kasus belajar bisa terpecahkan.

Terdapat 3 perbedaan antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu serta engineering pada pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa sistimatisasi pembelajaran dan ilmu yg dipelajari sebagai ukuran pada proses serta hasil belajar, tetapi Dewey kurang putusan bulat menggunakan penggunaan pendekatan algoritmik ilmu serta engineering pada pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu serta berpikir reflektif, Charters mengungkapkan bahwa adanya kesamaan tahapan metode ilmu serta berpikir reflektif pada metode engineering. Berpikir reflektif adalah artikulasi metode engineering, bersifat proses serta prosedur linier pada menetapkan aktivitas awal dan akhir. Sedangkan Dewey kurang sepakat menggunakan inspirasi bahwa berpikir reflektif merupakan prosedur linier, menurutnya bahwa masih ada proses yg terbuka sinkron dengan konflik serta hipotesis yg akan diuji. Akan namun keduanya putusan bulat atas 5 tahapan pada berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang sepakat menggunakan model yg terrencana dalam pendidikan misalnya yang digunakan dalam kiprah pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman dan kepandaian reflektif pada memakai metode ilmu, serta menolak penggunaan mekanisme yang terstandarisasi.

Penggunaan pendekatan science pada bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan merupakan suatu keharusan, karena konsep serta praksis pendidikan dalam hakekatnya mengungkapkan hal-hal yg terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987) sebagai pakar Sejarah Pendidikan serta Kurikulum mengidentifikasi adanya 3 peristiwa yg tidak sama yg ditemukan pada awal abad dua puluh dalam tahu penggunaan science pada pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan anak yang didukung secara mendasar sang konsep G Stanley Hall mengenai ilmu perkembangan. Para pendidik mengkaji perkembangan anak sinkron dengan syarat lingkungan mereka, tujuannya buat mengungkap kurikulum yang paling sempurna buat mereka. Pandangan kedua, pemanfaatan science dalam pendidikan memakai contoh generik scientific inquiry pada berfikir reflektif yang dikembangkan oleh Dewey. Ia tertarik untuk menyelidiki contoh mengajar buat keterampilan berpikir dengan memakai science, serta pola science dijadikan dasar buat menetapkan metode pembelajaran serta materi ajar yg akan disampaikan. Pandangan ketiga, menyampaikan bahwa science sebagai berukuran yg eksak serta baku yg sempurna buat memelihara serta memprediksi keteraturan global (Kliebard, 1987). Sejalan dengan itu, science dalam pendidikan menjadi laboratorium serta percobaan buat menentukan dan menetapkan calon peserta didik, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, serta menilai output belajar peserta didik. Tujuan science pada pendidikan memberikan agunan bahwa insiden belajar yg diperlukan memiliki impak terhadap efisiensi serta efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan output belajar dapat diprediksi dan dikontrol.

Faktor ketiga yang menghipnotis lahirnya teknologi pendidikan merupakan adanya gerakan pengembangan audiovisual (alat pandang dengar) pada pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan tidak memiliki keterkaitan menggunakan konsep engineering serta science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi oleh pemahaman tentang hardware dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan alat-alat pendidikan di kelas digunakan sesudah Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karenanya pemahaman yang terkenal memberitahuakn bahwa teknologi pendidikan merupakan output evolusi gerakan penggunaan audiovisual pada pendidikan. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 beserta ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka menyampaikan interaksi antara materi ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan mengenai visual aid atau alat bantu mengajar yg berupa gambar, contoh, objek yg berupa pengalaman belajar kongkrit pada siswa dengan tujuan buat memperkenalkan, menciptakan, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep tak berbentuk. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar pada dalam kelas. Buku yg pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menyebutkan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana terkenal hingga waktu kini . Konsepnya sangat mensugesti serta mengilhami pengembangan konsep audiovisual.

2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis, berlangsung pada tahun 1963 menggunakan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan sang AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi definisi yang disusun menggunakan serius dalam pemahaman bahwa teknologi pendidikan merupakan teori serta reorientasi konsep yg membedakannya menggunakan konsep audiovisual.

Hasil identifikasi menerangkan bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat tiga inspirasi utama yaitu: 1. Menggunakan konsep proses dibanding konsep produk; 2. Memakai kata massage dan media instrumentation dibanding istilah materials dan machine; dan tiga. Memperkenalkan bagian krusial menurut belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963: 19). Dari kandungan definisi tadi maka sejak tahun 1963 masih ada pemahaman bahwa teknologi pendidikan memperoleh donasi konsep menurut konsep komunikasi, teori belajar, serta teaching machine and programmed instruction.

Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan pada mengusut konsep komunikasi dalam pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yg menekankan perlunya komunikasi pada memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yang terpilih dalam masa itu bergeser berdasarkan komunikasi satu arah ke komunikasi 2 arah atau interaktif. Konsep komunikasi yang diungkapkan Shannon serta Weaver’s menjadi output kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi model yang khas yg diklaim Mathematical Theory of Communication, menggunakan komponen-komponennya yang terdiri berdasarkan: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong dalam komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yg banyak diilhami contoh Shannon serta Weaver membentuk temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak menaruh perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini sebagai dasar pengembangan pada komunikasi audiovisual dalam pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif mempunyai pengaruh terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yg banyak memperhatikan perubahan posisi decoder serta encoder dalam mendapat, memasak, serta menyampaikan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi keterangan.

Kajian pakar-pakar psikologi dan sosial psikologi pada pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama sebagai penekanan kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama pada menetapkan tujuan pengajaran, tahu siswa, pemilihan metode mengajar, pemilihan asal belajar, serta evaluasi. Kemudian berkembang beberapa kajian yang berkaitan dengan hubungan antara media audiovisual dengan pembelajaran yang difokuskan pada persepsi peserta didik, penyajian pesan, dan pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan diwarnai sang aliran psikologi behavior, menjadi contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi behavior ini mempengaruhi teknologi pendidikan pada masa itu pada tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan serta penggunaan teaching machine dan program pembelajaran; 2. Spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives; serta 3. Pencocokan konsep operant conditioning menggunakan konsep model komunikasi (Ely, 1963).

Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji sang para ahli teknologi pendidikan, sebagai akibatnya nir hanya psikologi behavior saja yg mempunyai kontribusi terhadap teknologi pendidikan akan tetapi bergeser ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan sang Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan asal ilham di pada pengembangan contoh pembelajaran, terutama pada pada penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, ciri siswa, syarat-syarat pembelajaran yg wajib dirancang, bersama berbagai fasilitas belajar yg dapat memperkuat pengalaman belajar siswa.

Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), serta kajian kurikulum buat pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat terkenal dan diawali kajiannya sang Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yg mulai membuatkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine serta programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction diantaranya pemahaman mengenai perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, dan penilaian hasil belajar.

Skinner membicarakan bahwa teaching machine sangat fundamental dalam proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel serta menyatu menggunakan usaha penguatan pembelajaran, sebagai akibatnya siswa dapat memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement pada pengajaran ini banyak diwarnai sang aturan operant conditioning yang mengikuti Thorndike’s law effect.

Program pembelajaran pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu berdasarkan atas prinsip-prinsip pengajaran yg sempurna. Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, dan didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yg perlu dipersiapkan buat terjadinya proses pengajaran serta belajar tadi. Pada masa tersebut pemanfaatan media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian utama sehingga mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.

Sumbangan berdasarkan komunikasi, teori belajar, serta the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan sang National Education Association (NEA) pada istilah komunikasi audiovisual diakui AECT sebagai definisi formal yg pertama untuk teknologi pendidikan, walaupun disebutnya dengan memakai istilah komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual merupakan cabang dari teori dan praktek pendidikan yang secara spesifik berkaitan menggunakan desain dan pemanfaatan pesan buat mengendalikan proses belajar. Kegiatannya mencakup: (a). Mempelajari kelebihan dan kekurangan yg unik juga yang relatif berdasarkan pesan baik yg diungkapkan pada bentuk gambar, maupun yang bukan, dan yang digunakan buat tujuan apapun pada proses belajar; serta (b) penyusunan serta penataan pesan oleh insan serta alat pada suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen serta pemanfaatan berdasarkan komponen dan seluruh sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).

3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang serta diubahsuaikan dengan perkembangan pemanfaatan audiovisual dalam pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). Dimungkinkan buat memakai kembali label audiovisual; dua). Merubah nama audiovisual menjadi educational communication; 3). Merubah nama audiovisual sebagai learning resources; serta 4). Merubah nama audiovisual sebagai instructional technology or educational technology. Sejalan menggunakan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) sebagai Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan mencakup kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki akibat terhadap cakupan pekerjaan educational technology yg akan membuat keanekaragaman program serta rancangan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan siswa untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Terdapat 3 konsep utama yang menaruh kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sehingga teknologi pendidikan dijadikan sebagai bidang kajian, yaitu: 1). Keluasan pemaknaan learning resources; dua). Kontribusi acara individual or personal instruction, dan 3). Pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini digabungkan ke dalam suatu pendekatan buat memfasilitasi belajar, membangun keunikan, dan mempunyai alasan buat kepentingan pengembangan dalam bidang teknologi pendidikan.

Learning resources sebagai konsep yang pertama yg mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai menjadi lingkungan belajar yang dapat menaruh, memperkuat, dan menambah fakta yg disampaikan guru. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori, yaitu: bahan belajar, alat-alat serta fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi lain membaginya ke pada dua kelompok, yaitu: human resources, dan non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke dalam dua pola, yaitu by design, dan by utilization. Sumber belajar jenis by utilization kadangkala diklaim dengan “real world resources”, karena tidak spesifik dibuat buat kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang tersedia dalam global nyata buat membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah berbagai sumber belajar yang didesain serta diproduksi pengadaannya buat kepentingan penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini dibutuhkan dapat mengurangi kedudukan pengajar sebagai “transmitter of information” penyampai fakta, akan tetapi sebagai pengajar yg bisa memberi kemudahan pada peserta didik buat mencari serta memperoleh keterangan yg luas serta banyak sesuai menggunakan topik yg sedang dipelajarinya.

Faktor ke 2 yg banyak memberikan kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep dan penggunaan individual or personal instruction pada penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya banyak sekali kebutuhan belajar yg nir bisa dilayani dalam pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yg diselenggarakan pada sekolah, dan atau adanya impian buat menaikkan pemahaman mengenai bahan belajar yang dipelajari di sekolah. Maksud dari individual or personal instruction merupakan sejumlah materi ajar yang disampaikan melalui teknik yg memungkinkan buat dapat belajar secara perorangan.

Empat contoh acara individualized instruction yang sangat populer yg menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, adalah: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan sang Wisconsin Research and Development tahun 1976.

Kajian Mastery Learning poly mempengaruhi konsep individualized instruction dalam tahun 1960 an serta 1970 an. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa melalui mastery learning bisa diprediksi bahwa 95 % siswa dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar bila mereka disediakan ketika belajar yg tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta dapat belajar secara cepat serta independen, bahkan pendekatan ini menekankan dalam penyelesaian belajar buat bagian eksklusif secara utuh sebelum melanjutkan pada bagian lainnya. Bloom (196
mengidentifikasi adanya 5 variabel yg sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan buat memahami pelajaran, ketekunan, saat, serta kecerdasan. Menurut Bloom (196
didasarkan atas hasil kajiiannya memberitahuakn bahwa siswa yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yg diberikannya, bahkan beliau bisa terlibat belajar walaupun buat bahan ajar yang sangat komplek, sedangkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang rendah hanya bisa menyelidiki materi ajar yang sederhana sesuai menggunakan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menyebutkan bahwa bila syarat peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal serta mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah saat belajar yang sama maka pengukuran output belajar akan membuktikan distribusi normal juga. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah ketika belajar merupakan persyaratan bagi peserta didik buat bisa memperoleh hasil belajar secara tuntas.

Disamping mastery learning yg memiliki donasi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan pada kaitannya menggunakan individual instructin adalah Fred Keller (196
yang membuatkan the Personalized System of Instruction (PSI) menjadi hasil kajiannya pada perguruan tinggi. Konsep ini merupakan adonan antara mastery learning menggunakan program pembelajaran yg konvensional, serta ditambah menggunakan motivasi. Pengajaran tatap muka didesain menjadi suplemen buat memperkaya dominasi bahan belajar dibanding sebagai sumber keterangan yang utama untuk ketuntasan pemahaman materi ajar. Keller memakai pengawas atau pembimbing yg menguasai bahan ajar, dan ditugaskan buat mencatat output tes serta memberikan tutorial pada peserta didik yang memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan dapat menaikkan aspek sosial pada diri peserta didik pada proses pendidikan.

Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan jua Individually Prescribed Instruction (IPI) untuk kepentingan pedagogi di sekolah dasar. IPI ini hampir sama menggunakan PSI yg memakai prinsip penggabungan teori belajar behavioris menggunakan mastery learning. Sebelum siswa mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal buat memutuskan kemampuan awal siswa serta strata bahan belajar yg akan dipelajarinya. Tes awal ini yg membedakan antara konsep IPI dengan contoh yang dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan dari hasil kajiannya tes awal ini lebih efektif pada menetapkan awal siswa mempelajari materi ajar dan penguasaan holistik mata pelajaran.

Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yg berbagi Individually Guided Education (IGE) pada lebih kurang 3000 sekolah menggunakan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran spesifik, dan rancangan acara pengajaran. Model ini jua menggunakan adanya pembinaan guru, pengujian contoh pengajaran yang digunakan, adanya team teaching, nir adanya tingkatan sekolah, serta tutor sebaya dan lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf untuk menguasai contoh yg digunakan maka memudahkan dalam mencapai keberhasilan model ini dalam penyelenggaraan pembelajaran.

Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa program pembelajaran merupakan menjadi sistem yg mempunyai komponen-komponen pembelajaran yg saling keterkaitan satu sama lainnya buat mencapai tujuan pengajaran. Sesuai dengan konsep sistem yg bersifat preskriptif, maka rancangan acara merupakan penetapan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pedagogi yang telah ditetapkan. Standar yang terkandung dalam tujuan pengajaran dipakai sebagai acuan buat memutuskan karakteristik siswa, materi ajar, sumber belajar, fasilitas yg perlu digunakan serta tes buat mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984) mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah buat merancang, mengimplementasikan, dan menilai holistik acara pendidikan. Sedangkan penafsiran berdasarkan pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yang menekankan dalam studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami interaksi yang fundamental eksistensi dari keseluruhan komponen dalam sistem.

Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan tidak memutuskan langkah-langkah secara partial akan namun didasarkan atas holistik komponen-komponen yang terlibat pada pendidikan itu sendiri, baik dalam kaitannya menggunakan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.

Didasarkan atas masukan-masukan konsep tadi maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) merupakan suatu bidang yg berkepentingan dengan memfasilitasi belajar dalam insan melalui bisnis yg sistematik pada identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, serta pemanfaatan banyak sekali asal belajar dan menggunakan pengelolaan semua proses tadi (AECT, 1972:36).

4. Masa sistemisasi konsep
Perubahan dari AV communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang menunjuk pada suatu bidang kajian dalam pendidikan. Konsep yang terkandung pada memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan dan didapatkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya buat bidang kajian saja, bahkan termasuk teori serta profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yg didukung oleh tiga konsep primer yaitu: learning resources, managemen, serta pengembangan.

Association of Educational and Communication Technology (AECT) dalam tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yg mengungkapkan: 1) hasil analisis yang sistematis dan menyeluruh mengenai wangsit serta konsep bidang teknologi pendidikan; dan 2) keterkaitan antara wangsit serta konsep yg satu dan lainnya. Buku tersebut mengungkapkan sejarah berdasarkan bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yg melandasi definisi, diskusi tentang pelaksanaan simpel, kode etik profesi organisasi, serta glossary peristilahan yg memiliki keterkaitan dengan definisi. Termasuk bahasan yg menjawab kontroversi antara kata educational technology serta instructional technology, yg memperlihatkan bahwa instructional technology sebagai bagian ”subset” berdasarkan educational technology yang adalah empiris pengajaran dalam pendidikan.

Kontribusi terhadap perumusan pulang definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan menggunakan perubahan penjabaran learning resources, yg dalam awalnya hanya meliputi empat kategori yaitu: bahan, alat-alat, orang, serta lingkungan, sebagai enam (6) kategori atau grup, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.

Terdapat tiga alasan menurut konsep yang terkandung pada learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan asal belajar; 2) media; serta tiga) pengadaan asal melalui rancangan serta pemanfaatan. Keluasan asal belajar sebagai dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan pada memecahkan perkara belajar. Melalui asal belajar yg bervariasi maka contoh pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, sistem penyampaian, dan anugerah pengalaman belajar kepada peserta didik. Pemanfaatan media ditujukan buat mentransformasikan warta, sebagai akibatnya dikembangkan contoh pembelajaran menggunakan memanfaatkan media tadi, seperti model media audio visual dimanfaatkan untuk contoh pembelajaran melalui audio visual. Sedangkan pengadaan asal belajar masih melanjutkan dari konsep versi 1972, yaitu adanya pengadaan yang didesain (by design), serta yg dimanfaatkan (by utilization). Pengadaan asal belajar yang didesain serta yang dimanfaatkan keduanya ditetapkan melalui analisis sistem buat tetapkan komponen pembelajaran yang paling cocok buat kepentingan belajar peserta didik pada mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Perbedaannya terletak dalam proses pengadaan yaitu adanya rancangan serta produk yang sinkron dengan keperluan model pembelajaran, dan pada lain pihak adanya sumber belajar yg dimanfaatkan berupa dunia konkret sebagai lingkungan belajar buat kepentingan pembelajaran. Dalam makna bahwa learning resources yg telah ada pada sekeliling peserta didik dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belajar.

Managemen menjadi pendukungan ke 2 dalam membentuk definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini adalah dampak dari perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mensugesti terhadap administrasi sekolah, serta kemudian mempengaruhi kepada pembelajaran pada kelas. Managemen ini dilihat menjadi proses, yg semenjak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan menggunakan disain serta pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yg berkembang ketika itu sepakat bahwa managemen mempunyai keterkaitan dengan teknologi secara umum, dan pada kaitannya dengan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar serta mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan pengawasan. Untuk itu, disarankan bahwa guru perlu mempunyai pemahaman tentang managemen, karena mereka menjadi manager di dalam kelas yg memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.

Heinich (1970) memiliki konsep bahwa managemen telah dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem di dalam merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan dengan pendapat Hoban (1965) walaupun pada peristilah yang tidak sinkron. Ia menyebutnya dengan kata ”management of instruction”, sedangkan Hoban menggunakan istilah ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of instruction nir hanya membuatkan dan menggunakan bahan belajar serta teknik pembelajaran saja akan namun termasuk pula keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, serta faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan paradigma pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem pendidikan yang pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan buat kepentingan pengajaran pada kelas dalam ketika guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada dan memberi donasi pada dalam proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum serta tahap pengembangannya menjadi sumber penetapan taktik pembelajaran yg mencakup strategi dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan pengajar nir hanya penentu contoh pengajaran yang akan digunakannya, akan tetapi beliau pun menjadi bagian berdasarkan perekayasa pada penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan paradigma tadi sebagaimana terlihat pada bagan berikut:

Bagan 2
Kedudukan Audiovisual dalam Pembelajaran di Kelas (Heinich R, 1970)

Bagan 3
Kedudukan Teknologi Pembelajaran dalam Pengembangan Kurikulum (Heinich, R, 1970):

Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen memiliki dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi serta managemen personal. Margaret Chisholm serta Donald Ely (1976) menyampaikan bahwa tugas ke 2 managemen tadi diperlukan adanya keseimbangan. Menurutnya didalam acara pembelajaran melalui media terdapat enam (6) hal yg wajib sebagai tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program, pendanaan, perencanaan dan pengelolaan fasilitas, akses organisasi serta sistem penyampaian, serta penilaian. Dan managemen personal mempunyai enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, dan pelaksanaan pengawasan.

Penggunaan istilah managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yang hangat diantara para ahli, akan namun dari segi manfaatnya mereka sepakat bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yg penting buat mengelola banyak sekali macam hal yg berkaitan dengan perancangan, aplikasi, pengawasan, serta evaluasi pendidikan yang memakai pendekatan teknologi pendidikan.

Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 merupakan pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan dianggap juga dengan kata teknologi pendidikan yg secara sistematik menyangkut desain, produksi, evaluasi, dan pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan memakai pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yang diwujudkan dalam tahapan-tahapan riset dan pengembangan berdasarkan mulai identifikasi perkara belajar, disain, pengembangan, produksi contoh pembelajaran, uji coba model, pemanfaatan model pembelajaran, serta penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan menggunakan konsep penemuan dan difusi yg dikembangkan Everet M Rogers (1962).

Terdapat 3 alasan pengembangan contoh instruksional yang dilakukan pada teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat buat dikomunikasikan kepada calon peserta didik dan pihak lainnya; ke 2, sebagai rancangan yg dipakai dalam pengelolaan pembelajaran; dan ketiga, model yg sederhana memudahkan buat dikomunikasikan pada calon siswa, serta model yang rinci akan memudahkan pada pengelolaan dan pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yg generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya buat mengimplementasikan dalam banyak sekali macam setting. Jika diklasifikasi model-contoh yang berkembang bisa digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu model mikro yang antara lain dikembangkan oleh Banathy (1968), dan model makro yang dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yg dianggap menggunakan the Instructional Development Institute (IDI). Model Bela H Banathy mempunyai pendekatan terhadap siswa menjadi pusat sistem pembelajaran, serta modelnya ditujukan buat kepentingan pengajar dalam mengelola aktivitas belajar. Model ini diadopsi pada pengembangan sistem pembelajaran pada Indonesia, serta diklaim menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sedangkan contoh IDI bertujuan buat membantu sekolah yang mempunyai keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki dedikasi yang bertenaga dan ingin membantu siswa, dan mengharapkan buat menemukan inovasi menjadi solusi yg efektif buat memecahkan masalah belajar dan pembelajaran. Model IDI ini divalidasi oleh konsorsium empat perguruan tinggi: Michigan State University, Syracuse University, the United States International University, dan the University of Southern California. Model IDI ini mempunyai keberhasilan yg sangat optimal dalam memecahkan pembelajaran siswa, dan para pakar mengakui bahwa model pembelajaran ini sebagai output rekayasa pembelajaran yang sangat matang.

Bagan 4
Model Bela H Banathy (Instructional Design System)

Bagan 5
Model the Instructional Development Institute:

Masukan konsep berdasarkan ketiga faktor: learning resources, managemen, serta pengembangan tadi menghasilkan rumusan definisi teknologi pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan definisi teknologi pendidikan menjadi proses yg komplek serta terpadu yang melibatkan orang, mekanisme, ide, alat-alat, serta oraganisasi buat menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan yg menyangkut seluruh aspek belajar insan.

Didasarkan atas definisi tadi, maka kawasan teknologi pendidikan bisa digambarkan melalui bagan berikut adalah:

Bagan 6
Kawasan Teknologi Pendidikan
(AECT, 1977)

Kawasan teknologi pendidikan tersebut mendeskripsikan bahwa semua usaha dalam teknologi pendidikan ditujukan buat memfasilitasi dan memecahkan perkara belajar siswa. Usaha-usaha tadi terdiri berdasarkan pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran menggunakan memanfaatkan asal belajar.

5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian dari teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan pada definisi 1977 sebagai kajian yg berfokus di lingkungan pakar-pakar pendidikan, sebagai akibatnya melahirkan dua gerombolan yg mempunyai argumentasi masing-masing. Kelompok yang memakai kata teknologi pembelajaran mendasarkan atas 2 alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sinkron menggunakan fungsi teknologi; kedua, istilah pendidikan lebih sesuai buat hal-hal yg berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa istilah pendidikan digunakan buat setting sekolah, sedangkan pembelajaran mempunyai cakupan yg luas, termasuk situasi training. Para ahli yg lebih putusan bulat menggunakan istilah teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa istilah pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian dari pendidikan, sehingga usahakan digunakan peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua kelompok kelihatannya bersikukuh dengan pendapatnya, namun terdapat jua gerombolan yg menggunakan kedua kata tersebut dipakai secara bergantian, hal ini berdasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini kata teknologi pembelajaran lazim digunakan pada Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan dipakai di Inggris serta Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi pada pendidikan dan pengajaran; (c) perlu mendeskripsikan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih tepat; serta (d) dalam satu batasan bisa merujuk baik pada pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan ke 2 istilah tadi, maka kata “teknologi pembelajaran” digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels dari University of Pittsburg dan Rita C Richey dari Wayna State University keduanya menurut komisi termonologi AECT menyebarkan definisi teknologi pembelajaran bersama kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek pada disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber buat belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; dua) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan evaluasi; 3) proses dan asal; dan 4) buat kepentingan belajar.

Komponen teori serta praktek menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran mempunyai landasan pengetahuan yg berdasarkan atas output kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, serta proposisi yg memberi sumbangan terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek merupakan penerapan pengetahuan tersebut dalam setting pembelajaran eksklusif, terutama dalam memecahkan perkara belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang dipakai pada hakekatnya menurunkan menurut teori-teori yg dikembangkan sang ilmu murni, seperti psikologi yang diturunkan ke dalam teori belajar, adanya komunikasi pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran dan ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan pada praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan sesuai menggunakan syarat serta karakteristiknya, sebagai contoh syarat dan ciri siswa, bahan belajar, wahana dan fasilitas.

Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi adalah komponen sistem pengelolaan dalam pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori serta praktek yang spesifik dan mempunyai keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik menjadi masukan juga umpan pulang serta penilaian. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan pengelolaan pembelajaran yang di dalamnya memiliki aktifitas kegiatan masing-masing.

Komponen proses serta asal dimaksudkan menggunakan serangkaian kegiatan yang memanfaatkan sumber belajar buat mencapai hasil belajar. Proses dan sumber mempunyai keterkaitan menggunakan komponen pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis serta ditetapkan aktivitas-aktivitas yg tepat serta sistematis melalui pemanfaatan asal belajar yang sudah diputuskan buat mencapai tujuan pedagogi yg telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa acara pembelajaran yg dirancang pada hakekatnya ditujukan buat terjadinya belajar dalam diri siswa, sebagai akibatnya kasus belajar yang dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yg akan dipecahkan sang suatu acara pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih dahulu, yang dalam akhirnya hal tadi menjadi salah satu kriteria dari keberhasilan acara pembelajaran yg dikembangkan.

Definisi teknologi pembelajaran di atas kemudian dipetakan ke pada tempat teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels dan Richey ini dia:

Bagana 7
Kawasan Teknologi Pembelajaran:
(Seels serta Richey, 1994)

6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi pendidikan menerima kajian secara terus menerus serta selalu dikritisi para pakar terutama yg tergabung pada AECT, hal ini sinkron menggunakan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran serta yg lebih khusus syarat serta ciri peserta didik dan komponen pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yang termasuk masih prematur dan dilemparkan pada semua warga yg terkait menggunakan pendidikan melalui media internet. Pernyataan yg disampaikan bahwa definisi ini adalah pre-publication dari bab awal buku yg akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya buat mahasiswa, studi serta reviu, serta tidak diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.

Konsep definisi versi 2004 merupakan sebagai berikut: Teknologi pendidikan merupakan studi dan praktek yang etis pada memberi kemudahan belajar dan pemugaran kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses serta asal teknologi yang sempurna. Kalau dianalisis, di dalam definisi tersebut terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; dua) praktek yang etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) pemugaran kinerja; 6) kreasi, penggunaan, dan pengelolaan; 7) teknologi yg sempurna; dan
proses dan sumber.

Istilah studi yg dipakai dalam definisi tadi merujuk dalam pemaknaan studi sebagai bisnis buat mengumpulkan kabar dan menganalisisnya melebihi aplikasi riset yg tradisional, meliputi kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif buat mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, dan penilaian. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media serta teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran, dam penerapan teknologi pada pemugaran belajar. Kajian mutakhir banyak difokuskan pada penempatan posisi teori belajar, managemen berita, dan perkembangan pemanfaatan teknologi buat memecahkan perkara belajar yang dihadapi peserta didik. Istilah studi pada definisi tadi pada hakekatnya ditujukan buat memberi kemudahan belajar serta perbaikan kinerja belajar siswa melalui aktivitas belajar yang memanfaatkan sumber belajar yang tepat.

Definisi tersebut mengarahkan bahwa teknologi pendidikan memiliki praktek yang etis pada menaruh kemudahan belajar dan perbaikan kinerja belajar siswa. Maksud dari praktek yang etis tadi adalah adanya baku atau kebiasaan dalam mengkreasi atau merancang, memakai, serta mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan sumber belajar buat kepentingan belajarnya peserta didik.

Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan berdasarkan definisi sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran sebagai teori serta praktek, bahkan bidang kajian, sebagai studi dan praktek yg etis. Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yg mendalam serta lebih sempurna sebagai akibatnya diperoleh konsep-konsep dan praktek belajar sinkron menggunakan kepentingan belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tadi tidak menyurutkan tujuan menurut teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan belajar peserta didik menggunakan menggunakan berbagai macam sumber belajar.

POLA PEMBAHARUAN SISTEM PENDIDIKAN TENAGA KEPENDIDIKAN DI INDONESIA

Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia
Tema mengenai penyelenggaran lembaga sekolah yg kredibel saat ini relatif menarik serta relevan pada tengah konstelasi sistem pendidikan yang kian mengglobal. Relevansi tadi makin beralasan manakala kajian persepsi rakyat diletakkan menjadi titik tolaknya, karena persepsi rakyat dalam memandang bagaimana sebuah sistem dan model pendidikan yang penuh pengharapan, sekaligus kredibel merupakan aspek penting bagi terselenggaranya pendidikan yg solutif.

Untuk menjawab kebutuhan itu, maka mencermati demokratisasi pada dunia pendidikan agaknya mendesak buat dilakukan. Demokratisasi penyelenggaraan forum pendidikan waktu ini bukan sebagai sebatas gagasan akademik belaka, namun lebih berdasarkan itu telah sebagai sebuah keputusan politis menggunakan dukungan landasan sah dan konseptual, bahkan sudah didukung oleh landasan teoritis yg memadai. Kondisi itu memungkinkan serta menjadi sebuah keniscayaan, karena praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sudah berlangsung dalam kurun waktu yg cukup lama . 

Kurikulum berbasis kompetensi dan KTSP 2-duanya memudahkan guru pada mengajarkan pengalaman belajar yang sejalan menggunakan prinsip belajar sepanjang hayat yg mengacu pada empat pilar pendidikan Universal yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar sebagai diri sendiri serta belajar hidup pada kebersamaan.

Sekolah atau madrasah pada beberapa hal dimaknai sebagai sebuah organisasi atau unit sosial yg sengaja dibuat sang beberapa orang dalam ikatan koordinasi buat mencapai tujuan beserta (Carlisle, 1987: 3). Sehingga, sekolah bisa dikatakan menjadi unit sosial yang di dalamnya terdiri atas sekelompok individu yg bersatu secara sengaja meski menggunakan tugas yang tidak sama, tetapi memiliki satu tujuan buat mendidik anak-anak serta mengantarkannya menuju termin pendewasaan, baik secara fisik juga non fisik, supaya anak-anak itu memiliki kemandirian pribadi dan sosial.

Digalakkannya Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) merupakan jawaban atas tuntutan pemerintah serta masyarakat buat peningkatan SDM warga guna siap menghadapi tuntutan zaman yang mengharuskan bangsa Indonesia mampu berkomunikasi dan bertransformasi menggunakan bangsa lain. Dasar pijakan berdirinya Madrasah Bertaraf Internasional merupakan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan:

“Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan menciptakan tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi siswa supaya menjadi insan yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan sebagai masyarakat negara yg demokratis dan bertanggung jawab”.

Tidak kalah krusial merupakan resolusi UNESCO terkait pendidikan bagi seluruh anak pada dunia, bahwa pendidikan harus memenuhi empat aspek, yakni transfer keahlian serta pengetahuan (transfering skill and knowledge), penanaman berpikir logis (mastering logic), pembangunan karakter (character development), dan ketahanan pada menjalani aneka macam arena training (trainning endurance). Empat hal ini menyiratkan tiga aspek kompetensi yaitu kognisi, kasih sayang serta psikomotorik. Dari 3 aspek tadi, aspek afektif memungkinkan buat lebih penting dikedepankan. Penanaman ajaran agama selanjutnya menjadi prioritas. Agama memiliki pandangan dan bahkan mewajibkan umatnya buat mempertinggi kualitas sumber daya. 

Rencana pemerintah buat memajukan kualitas pendidikan telah sepatutnya didukung oleh semua lapisan masyarakat. Munculnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) diperlukan sanggup membantu planning pemerintah buat mewujudkan niat baik tersebut. Hanya saja, kini selesainya tujuh tahun diimplementasikan, disosialisasikan, dan dievaluasi sangat diperlukan adanya kajian dan penelitian yg mendalam tentang keberadaan, kiprah fungsi, dan pemikiran terhadap SBI atau MBI. Tingginya perbedaan pendidikan pada Indonesia, baik dipandang dari pemerataan, kualitas, relevansi serta efisiensi manajemen, secara pribadi menjadi pendorong terhadap perlunya penelitian-penelitian pendidikan termasuk penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap SBI atau MBI.

Secara realitas keberadaan SBI atau MBI kini ini masih menyebabkan penafsiran serta pemaknaan yg majemuk berdasarkan pihak sekolah maupun menurut pihak stakeholder lain misalnya orang tua anak didik atau masyarakat luas dalam umumnya. Hal ini dimungkinkan lantaran pemerintah sendiri belum secara jelas dan gamblang memaparkan apa dan bagaimana SBI atau MBI pada pihak-pihak terkait, terutama warga sebagai konsumen pendidikan. Pandangan warga yang tidak seragam mengenai SBI atau MBI ini harus segera direspon sang pemerintah agar seluruh lapisan warga memahaminya.

Madrasah Bertaraf Internasional yang dikembangkan pada Pacet Mojokerto sesungguhnya adalah solusi cara lain penyelenggaraan sistem pendidikan yg responsif terhadap kebutuhan zaman pada era globalisasi yg sarat dengan kompetisi. MBI MA Amanatul Ummah pada sejarahnya merupakan lembaga pendidikan setingkat SMA/MA yg berupaya secara serius terutama selesainya menerima Qoror Mu’adalah, yakni pernyataan disamakan oleh Perguruan Tinggi Al Azhar yang berkedudukan pada Mesir. Pernyataan disamakan bagi MA Amanatul Ummah inilah yang mendorong serta menginspirasi didirikannya MBI MA Amanatul Ummah pada tahun 2004. Pernyataan disamakan bagi MA Amanatul Ummah yg mengilhami berdirinya MBI MA Amanatul Ummah menjadi sebuah keharusan mengingat bepergian proses, output, dan prestasi yang ditorehkan MA Amanatul Ummah khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan menggunakan kualitas setara menggunakan penyelenggaraan kurikulum pendidikan sebagaimana di Perguruan Tinggi Al Azhar Mesir, sudah mengalami perkembangan yang cantik disertai menggunakan respon publik yg bervariasi.

Selanjutnya, data serta berita pada observasi awal yang didapat menurut penelitian ini berisikan banyak sekali perkembangan jumlah murid sejak awal tahun pertama berdiri Program MBI MA Amanatul Ummah sampai saat ini dan perkembangan jumlah lulusan yg bisa diterima pada forum perguruan tinggi negeri serta swasta. 

Tingginya trend rakyat terhadap program MBI MA Amanatul Ummah yang berlokasi di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto, pada mana banyak orang tua yg ingin menyekolahkan anak-anak mereka dalam lembaga ini yg dari tahun ke tahun memberitahuakn nomor peningkatan sejak empat tahun didirikan. Pada sisi lain, meningkatnya jumlah siswa-siswi tadi mendorong peningkatan jumlah guru buat melaksanakan visi, misi, serta tujuan pendidikan pada forum ini. Berikut ini tersaji data perkembangan jumlah anak didik serta guru yang terdapat pada Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto semenjak empat tahun didirikan. 

Tabel Data Perkembangan Siswa Program Madrasah Bertaraf Internasional MA Amanatul Ummah Surabaya 
No.

Tahun

 Pelajaran

Jumlah

Siswa

Jumlah

Rombongan Belajar

Jumlah

Guru

1
2006-2007
49
2
34
2
2007-2008
114
5
50
3
2008-2009
226
9
68
4
2009-2010
310
12
75
Sumber : Diolah dari Data Primer (2010)

Telah terujinya kualitas pendidikan yang telah didapatkan oleh Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto, di mana semenjak awal sudah melahirkan output lulusan yang berkualitas, di mana nilai tambah lulusan telah mempunyai kualitas moral dan akademis menggunakan dibuktikan menggunakan diterimanya 46 dari 49 murid atau 93,88% lulusan pada perguruan tinggi negeri dan sisanya tiga murid atau 6,12% dalam lembaga perguruan tinggi swasta. Untuk 46 anak didik angkatan I, 3 murid berhasil menerima beasiswa luar negeri ke perguruan tinggi pada Maroko, 22 siswa menerima beasiswa Depag buat mengikuti kuliah pada perguruan tinggi terkemuka di pada negeri (pada antaranya tiga siswa mendapatkan kesempatan beasiswa dalam fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1 murid menempuh acara pendidikan Dokter pada Universitas Gajah Mada, 6 anak didik mendapatkan beasiswa menurut ITS sepuluh Nopember Surabaya, serta beberapa lainnya di IPB, UIN Jakarta serta sebagainya). Dari 46 anak didik MBI MA Amanatul Ummah angkatan I, 4 di antaranya berhasil menempuh perkuliahan melalui PMDK Unibra, ITS da Unair. Sementara itu, ada 17 anak didik yg berhasil lolos melalui jalur SMPTN. Ini mengandung arti bahwa 100% lulusan MBI MA Unggulan Amanatul Ummah Suarabaya yang terdapat pada Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto telah menerima layanan pendidikan secara memadai. 

Walaupun Program MBI MA Amanatul Ummah berprestasi mengesankan pada lulusan pertamanya, tetapi kendala terbesar yang dihadapi oleh Program MBI MA Amanatul Ummah pada Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto waktu ini adalah belum mendapat pengakuan secara formalitas menurut pemerintah khususnya Departemen Agama (Depag), dan belum tersedianya infrastruktur penunjang sarana serta prasarana yang memadai sebagai penunjang aktivitas pendidikan buat merespon tingginya ekspresi dominan masyarakat yang ingin menyekolahkan anak-anaknya di Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Kendala terbesar terhadap penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana pendidikan tersebut lebih dikarenakan sang belum tersedianya dana penunjang. Sejauh ini, dana penunjang masih merupakan dana murni yang dimiliki sang Yayasan Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya.

Di samping itu, observasi awal yang dilakukan oleh peneliti menemukan suatu informasi bahwa hampir seluruh murid MBI MA Amanatul Ummah menjalani serta mengalami proses belajar secara menyenangkan. Letak atau lokasi MBI MA Amanatul Ummah yang spesifik berada pada daerah pegunungan sebagai alasan krusial mengapa proses belajar mengajar di MBI MA Amanatul Ummah berlangsung secara menyenangkan. Sistem pengajaran yang diselenggarakan menggunakan memadukan tiga kurikulum sekaligus, yakni kurikulum Nasional, kurikulum mu’merupakan berdasarkan Al Azhar Mesir, serta kurikulum Cambridge menjadi konsekuensi penyelenggaraan MBI. Ketiga kurikulum yg disinergikan itu memiliki keunikan serta karakter yg khusus dan makin menguatkan dugaan bahwa proses belajar mengajar serta sistem pengajaran di MBI MA Amanatul Ummah adalah representasi contoh pendidikan yg layak diteliti. 

Di samping itu, penyebaran murid alumni atau lulusan MBI MA Amanatul Ummah yg tersebar pada hampir perguruan tinggi terkemuka seperti UGM, IPB, UNAIR, ITS, UIN Jakarta, dan sejumlah perguruan tinggi di luar negeri misalnya Al Azhar, Kourtoum, Maroko, Yaman, dan sejumlah perguruan tinggi di timur tengah, adalah alasan lain keunikan serta kelayakan mengapa penelitian ini diselenggarakan.

Dari berbagai kenyataan pada atas peneliti tertantang buat melakukan penelitian tentang Kualitas Manajemen Madrasah Bertaraf Internasional”. (Kajian Manajemen Pendidikan pada MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto). 

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana sudah diuraikan di atas, kajian ini akan merogoh rumusan perkara menjadi berikut “Bagaimana kualitas manajemen Madrasah Bertaraf Internasional di MBI MA Amanatul Ummah pada Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto?”

KAJIAN TEORI
Pada mulanya memilih kualitas pada Sekolah itu sulit, sebagaimana Fairweather dan Brown (1991: 157) menyatakan bahwa memperoleh daftar yang paripurna berdasarkan penilai-penilai mutu acara akademik di sekolah merupakan problem yg sulit. Akan namun dari dalam beberapa surat keterangan serta pedoman yang digunakan sang institusi resmi, penilai-penilai mutu itu dapat ditemukan serta ditetapkan. The Higher Educational Council (HEC) Australia melihat mutu pada konteks sebagai berikut: the council sees the focus on outcome, the fitness for purpose, as mendasar to understanding how each of the processes within institutions are organized and evaluated in order to ensure the quality of outcome (Linke, 1992). Di sini, prinsip utama merupakan bahwa mutu di forum pendidikan diukur dengan pendekatan fitness for purpose.

Pada umumnya tujuan sekolah meliputi pedagogi, penelitian, dan pengabdian atau yang dikenal menjadi tridarma sekolah. Sehubungan dengan hal ini. Porter (1994) menandakan akan adanya kesulitan pada mengukur mutu sekolah hanya menggunakan memakai pendekatan fitness for purpose. Porter1994) ) menambahkan pendekatan lain yg sifatnya interrelated menggunakan pendekatan fitness for purpose, yaitu konsep exceptional dimana mutu bisa dicermati menjadi passing a set of requirement or minimum standard.

Dalam konteks pendidikan intemasional, Global Alliance for Transnational Education (GATE) mendefenisikan mutu menjadi as meeting or fulfilling requirements, often referred to as fitness for purpose (GATE), 1998) dan pada hubungannya menggunakan pendekatan pemenuhan baku minimum, standar diartikan menjadi a level or grade of goodness of something, and in an education context may be defined as an explicit level of academic attainment. Jelaslah, bahwa fungsi baku diantaranya as means of measurements of the criteria by which quality may be judged (GATE, 1998).

Berdasarkan penjelasan pada atas dapat disimpulkan bahwa kualitas sekolah diartikan sebagai pencapaian tujuan menurut suatu lembaga pendidikan yg umumnya meliputi tri darma sekolah serta pengukurannya dilakukan menggunakan pendekatan exceptional pada mana dari Porter (1994) memiliki 3 variasi, yaitu 1) kualitas sebagai sesuatu yang distinctive, 2) kualitas menjadi sesuatu yang excellence, serta tiga) kualitas sebagai sesuatu yang memenuhi batas standar minimum atau conformance to standard.

Madrasah Bertaraf Internasinal (MBI) merupakan konsep Madrasah yang berupaya mencetak peserta didiknya mempunyai kemampuan akademis dan keimanan pada Allah SWT. SBI/MBI wajib merupakan sekolah atau madrasah yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada Standar Pendidikan keliru satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan atau negara maju lainnya yg mempunyai keunggulan tertentu pada bidang pendidikan sebagai akibatnya mempunyai daya saing pada lembaga internasional. Pada prinsipnya, SBI/MBI pun wajib bisa memberikan agunan mutu pendidikan menggunakan baku yg lebih tinggi menurut Standar Nasional Pendidikan.

Esensi SBI/MBI yg krusial merupakan terpenuhinya pelaksanaan standar isi, baku proses, baku kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, baku sarana serta prasarana, baku pengelolaan, baku pembiayaan, dan standar penilaian. SBI/MBI pula diperkaya menggunakan mengacu dalam standar pendidikan keliru satu anggota OECD menggunakan semangat adaptasi, adopsi, penemuan, dan berorientasi pada pembentukan lulusan (outcome) yang kompeten.

Karakteristik SBI/MBI terletak pada keunggulan yg ditunjukkan menggunakan adanya pengakuan internasional terhadap proses dan output keluaran pendidikan yg berkualitas serta teruji pada banyak sekali aspek melalui hadiah sertifikasi berpredikat baik dari salah satu negara OECD dan atau negara maju lainnya.

Di samping itu, proses dan output pendidikan SBI/MBI dijamin buat memperoleh predikat layak menjadi satuan pendidikan menggunakan indikator pencapaian kinerja kunci minimal, yakni perolehan sertifikasi akreditasi minimal predikat ’A’ menurut Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). Selain itu, predikat keberhasilan SBI/MBI pula ditandai menggunakan perolehan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan dari keliru satu negara OECD serta atau negara maju lainnya.

Sementara itu, kurikulum yg wajib diselenggarakan sang SBI/MBI harus menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sistem satuan kredit semester, memenuhi standar isi serta memenuhi standar kompetensi lainnya. Penerapan sistem administrasi akademik berbasis dan berorientasi pada Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Sementara itu, SBI/MBI juga harus berstandar sarana dan prasarana yg memadai dengan dukungan standar pengelolaan yg baik berbasis multikultural, mampu menjalin persahabatan menggunakan sekolah homogen di luar negeri, bebas narkoba serta rokok, bebas kekerasan (bullying), menerapkan prinsip kesetaraan gender dan sanggup meraih prestasi dan penghargaan kompetisi sains, matematika, teknologi, seni serta olahraga.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Menganalisis bagaimana sebenarnya sebuah lembaga pendidikan setaraf madrasah berkualitas sangatlah nir mudah. Banyak sekali berukuran yg bisa dijadikan indikator. Banyak yg terjadi dalam penilaian kualitas sebuah madrasah hanya berdasarkan klaim semata. Madrasah yg berkualitas tidak hanya dipengaruhi sang megahnya gedung wahana serta prasarana. Madrasah yang baik juga belum boleh dikatakn baik jika hanya dipengaruhi oleh banyaknya jumlah murid yang bermadrasah. Madrasah yg baik pun belum layak dikatakan baik bila ditunjukkan oleh lokasi di mana madrasah itu bertempat.

Untuk menilai sebuah madrasah berkualitas, hingga hari ini terdapat perdebatan. Untuk menyebut sebuah madrasah yg mempunyai kualifikasi tinggi saja masih poly disparitas. Ada yg mengidentifikasi menjadi madrasah efektif, madrasah unggulan, madrasah terpadu, madrasah integral, serta berbagai sebutan lainnya. Dan terlepas menurut banyaknya sebutan buat madrasah yang berkualitas, Coleman (1966) melakukan penelitian pada Amerika serta berhasil mendapatkan berita mengenai syarat anak didik berkaitan dengan latar belakang sosial ekonomi keluarganya serta sampai pada sebuah kesimpulan menjadi berikut : 1) Siswa yg berprestasi tinggi di madrasah, melanjutkan ke jenjang yg lebih tinggi, dan hidupnya berhasil adalah murid yang asal dari keluarga yg sosial ekonominya tinggi. Dua) Siswa yang prestasinya rendah, nir sanggup belajar di madrasah, drop-out, nir melanjutkan ke jenjang yg lebih tinggi, tidak memiliki motivasi belajar merupakan siswa yang asal menurut keluarga yang sosial ekonominya rendah.

Dengan demikian, lagi-lagi sulit dewasa ini buat memilih indikator madrasah unggul. Untuk memudahkannya, madrasah unggul boleh saja disetarakan dengan aplikasi madrasah yang mengaplikasikan manajemen berbasis madrasah (MBS). Tujuan primer penerapan implementasi visi, misi dan komitmen di MBI dalam pada dasarnya adalah buat penyeimbangan struktur kewenangan antara madrasah, pemerintah daerah dan sentra, sebagai akibatnya manajemen sebagai lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran diserahkan pada unit yg paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu madrasah. Di samping itu, penyerahan wewenang itu adalah buat memberdayakan madrasah, supaya madrasah dapat melayani masyarakat secara aporisma sinkron dengan keinginan warga . 

Tujuan penerapan implementasi adalah buat memandirikan atau memberdayakan madrasah melalui kewenangan (otonomi) pada madrasah serta mendorong madrasah buat melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya implementasi itu bertujuan buat menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif madrasah dalam mengelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia. Meningkatkan kepedulian warga madrasah serta masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan beserta. Meningkatkan tanggung jawab madrasah pada orangtua, masyarakat, dan pemerintah mengenai mutu madrasahnya. Meningkatkan kompetisi yg sehat antar madrasah mengenai mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Prinsip primer aplikasi implementasi ini terdapat 5 (5) hal yaitu: Fokus pada mutu, bottom-up rencana and decision making, manajemen yang transparan, pemberdayaan warga , serta peningkatan mutu secara berkelanjutan

Selanjutnya, berkenaan sekolah efektif, Rutter (1979), menyebut sekolah efektif mempunyai karakteristik-ciri menekankan pada pembelajaran, guru merencanakan beserta dan bekerja sama pada pelaksanaan pembelajaran dalam pengawasan yg terarah dari guru senior dan ketua sekolah. Sementara itu, Weber (1971), Austin (1978), Brookeover & Lezotte (1979), Edmonds & Frederickson (1979), Phi Delta Kappa (1980) menyimpulkan sekolah efektif memiliki karakteristik kepemimpinan yang kuat, asa yg tinggi bagi murid serta guru, lingkungan yang kondusif, ketua sekolah berperan menjadi ‘instructional leader’, dan kemajuan prestasi belajar murid seringkali dimonitor pelibatan orang tua secara aktif.

Selanjutnya, yg paling menarik menurut 3 wacana antara visi, misi, atau peruntukan MBI, maka menelusuri peruntukan MBI sebagai relevan, lantaran peruntukan MBI adalah kristalisasi visi dan misi MBI. Sebagaimana telah dicantumkan dalam pelukisan daerah penelitian, bahwa peruntukan MBI merupakan dalam rangka membentuk kader bangsa melalui empat pilar, yakni ulama, pemimpin bangsa, konglomerat, serta profesionalis. Mempersiapkan kader sebagai empat profesi tersebut bukanlah upaya yg gampang. Kaum ulama merupakan suatu bagian yang amat berpengaruh dalam warga Islam. Mereka mempunyai kedudukan yg tinggi berkat pengetahuan kepercayaan mereka. Lantaran itu di dalam tradisi, siapa saja yang telah mempunyai pengetahuan kepercayaan sampai suatu ukuran tertentu yg telah generik diterima orang, bisa sebagai seseorang ulama, menggunakan demikian prestise dan pengaruhnya terhadap masyarakat tergantung berdasarkan kesalehan dan pengabdiannya pada ilmu dan agamanya. Hadits membagi ulama ke dalam 2 kategori; ulama akhirat dan ulama dunya. Dasar pembagian ini adalah disparitas sikap mereka terhadap masalah keduniawian. Ulama akherat hidup bersahaja pada pengabdiannya yg saleh terhadap ilmu agama serta menjauhkan diri dari mengejar hal kebendaan serta politik. Mereka lebih suka melewatkan hari demi hari dalam kemiskinan menurut pada berteman dengan raja dan orang kaya. Ia menampik penghidupan yang kaya serta glamor, dan menolak ditarik dalam pergolakan politik. Keseluruhan hidup mereka adalah buat mengembangkan pengetahuan dan berjuang buat menaikkan moral rakyat, dan darma mereka yg tidak mementingkan diri sendiri buat tujuan ilmu dan pemberantasan kejahilan. Ulama dunya kebalikannya, mereka bersifat duniawi dalam pandangan hidup mereka. Mereka menginginkan kekayaan serta kehormatan duniawi dan tidak segan-segan buat menghianati hati nurani mereka asalkan tujuan mereka tercapai. Mereka berteman bebas menggunakan raja-raja dan pegawai pemerintah, dan menaruh sokongan moral terhadap tindakan mereka yg baik ataupun yg buruk. Ahli Islam jenis ini umumnya diklaim ulama-su’i (ulama yang tidak baik), serta pendapat umum pada kalangan Islam nir hanya memperlakukan mereka secara masa terbelakang sambil mencela serta menghina mereka namun menduga mereka bertanggung jawab buat segala keburukan serta kemalangan yang menimpa komunitas Islam. Selama periode yg dibicarakan ini, adalah waktu ulama menjadi suatu kekuatan pada politik tidak membawa ke arah pencerahan warga karena perilaku sosial dan konduite politiknya yg cenderung mencoba-coba buat nir memperdulikan prestise dan kedudukan mereka sebagai pemimpin agama. Dalam konteks ini, peruntukan MBI dalam mencetak ulama sangat didasari sang kegalauan empiris keterlibatan ulama masa sekarang pada urusan keduniaan. MBI berketetapan buat menjauhi ulama dunya serta berupaya keras mengejar tercapainya ulama akherat. Penggemblengan aspek keagamaan baik pada konsep dan aplikasinya yg digelorakan pada pembelajaran di pesantren MBI harusnya sebagai titik tolak pemenuhan peruntukan menciptakan ulama akbar bagi siswa MBI. Pemberdayaan kurikulum mu’merupakan dan pengajian rutin merupakan jalan masuk menuju hasrat ini.

Selanjutnya, potret MBI dalam bingkai pembentukan pemimpin dimanifestasikan secara kongkrit pada awal murid MBI memasuki jenjang pendidikan. Siswa baru MBI diwajibkan menmgikuti Masa Orientasi Siswa dan Latihan dasar Kepemimpinan yang dikselenggarakan sang WISNU (OSIS MBI). Penanaman jiwa kepemimpinan dipadu menggunakan sosialisasi keorganisasian, kajian pembangunan karakter, dan anugerah ketrampilan memecahkan kasus (dilema solving) tampaknya akan juag sebagai pemicu bagi siswa MBI pada mengenal apa dan bagaimana menjadi seseorang pemimpin. Apa yg disampaikan oleh Karimullah dan Gigih menjadi 2 orang yang pernah menjadi Ketua WISNU kentara pertanda wujud kongkrit pembekalan jiwa kepemimpinan kepada siswa MBI.

Konglomerat dalam sudut pandang moralis adalah para pemilik kapital atau orang kaya yg masih mau berbagi pada sesamanya. Apalah adalah mempunyai harta berlebih jika hanya disimpan untuk memuaskan diri sendiri. Konsep pemahaman zakat, shodaqoh, dan hadiah sejatinya merupakan konsep yg akan membimbing anak didik MBI sebagai langsung konglomerat yang santun. Untuk sebagai konglomerat, maka tausiyah di hampir setiap apel pagi yg sarat motivasi pada murid MBI justru akan makin melambari pribadi siswa MBI buat berjuang serta bercita-cita menjadi pemilik perusahaan bukan pekerja, pemilik pabrik bukan buruh, pemilik forum profit bukan peminta-minta, pemilik Bank syariah bukan nasabah, serta seterusnya. Semangat serta motivasi seperti ini dilakukan dengan berulang-ulang. Visi, misi, komitmen, peruntukan dan tujuan MBI acap disampaikan kepada anak didik MBI pada aneka macam kesempatan buat pada saatnya siswa MBI makin bulat dalam tekad terutama pada pencapaiannya. Reinforcement atau perulangan umumnya akan melahirkan pembiasaan dan norma, sekaligus akan membuat karakter yg dalam akhirnya akan mengukir nasib seorang.

Profesionalis adalah siapapun yg menjalankan setiap tugas dan kewajibannya secara tuntas dan bertanggungjawab. Penanaman komitmen MBI buat sebagai eksklusif yg beriman, bertaqwa, berilmu, berdisiplin, bertanggungjawab, bersih, sopan, ramah dan rapi bukanlah sekedar slogan serta jargon semata. Namun akan membekas pada sanubari siapapun yang mendengar dan merenungkan serta mengamalkannya. Internalisasi nilai yg terkandung pada komitmen MBI akan melahirkan sikap dan konduite yang profesionalis. Untuk lima tahun pertama ini memang belum tampak hasilnya, tetapi indikasi-pertanda kemanjuran internalisasi komitmen itu sudah mulai tampak. Kemajuan dan pertumbuhan di segala aspek pada MBI setidaknya akan menjauhkan kesangsian harapan besar MBI mencetak generasi belia yg unggul.

Profil Madrasah Aliyah Unggulan Program Madrasah Bertaraf Internasioanl (MBI) yang sudah dikembangkan merupakan bukti kongkrit sejalan dengan upaya phraksis setiap mobilitas pikir serta tindakan para pengelola MBI. Perwujudan tersebut telah berlangsung dan berproses sekian lama serta meski memerlukan banyak revisi pada pelaksanaannya, namun itu seluruh merupakan kristalisasi sebagai bentuk perhatian yg serius dalam pembangunan sumber daya manusia dalam domain pendidikan. National building (pembangunan bangsa) ini nir wajib diselenggarakan secara fisik semata, namun lebih dari itu, pembangunan mental serta sosial atas dasar pembangunan etika moral merupakan kunci primer bagi keberhasilan pembangunan pendidikan pada MBI.

Untuk melihat keberhasilan itu, mengurai apa gerangan yg sebagai pola konduite (pattern of behavior) yg mencuat agaknya akan makin menerangkan sisi cerita sukses di MBI. Istilah ini merujuk pada aspek budaya yang berarti kaidah bagi sebuah perilaku. Terma ini sangat filosofis lantaran memuat tentang yg normatif dan preskriptif. Apa yg seharusnya dijadikan dasar pijakan ini seakan penting dan perlu pada setiap penyelenggaraan sebuah ideasi.

Terma ini sebetulnya diilhami oleh pemikirian Hegelian yg meletakkan dataran Mind (pikiran) sebagai asal penjelasan. Realitas pendidikan sebagai kongkritisasi sekolah efektif yang akan dijalankan harusnya bisa dijelaskan dengan apa yang dibayangkan oleh Hegel menjadi wangsit yang menentukan materi. Kalangan Hegelian memang sangat mendewakan ideasi daripada eksistensi materi. Berbeda menggunakan muridnya (Marx) dan seluruh pengikutnya (Marxian), yg meletakkan materi pada atas gagasan / inspirasi yang dipandang abstraktif. Bagi Marxian, segala yang bersifat materi kebendaan sangat memilih, sehingga ideasi dipercaya tidak rasional serta menghambat proses kehidupan manusia. 

Untuk detail, marilah kita lihat tabel preskripsi berikut adalah.

Tabel  Pattern of Behavior / Visi MBI Amanatul Ummah Surabaya
Input

Proses

Output - outcome

Anak-anak bangsa yang menggunakan segala potensi diri yg dimilikinya (minat bakat serta kemampuan):
-sense of interest

-sense of courisity

-sense of reality

-sense of inquiry

-sense of discovery
Modal/investasi moral ini dimantapkan semenjak dini dan diproses pada MBI buat menumbuhkan kreatifitas

Internalisasi Pembiasaan



Karakter (Akhlaqul Karimah)

                    


Nasib Baik

Ulama, Pemimpin, Konglomerat, dan Profesionalis

Selanjutnya, konduite yg mempola merupakan respon aktif atas kaidah perilaku (pola konduite) pada terma budaya. Oleh karena bingkai relijius-multikulturalisme dikedepankan, maka dengan sendirinya konsepsi yg telah dipengaruhi pada pattern of behavior wajib diwujudkan ke dalam tindakan yang realistis realitas (pattern for behavior). Untuk itu marilah kita lihat tabel ini dia.dari tabel di atas, tampaklah bahwa proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya dapat dibangun dengan meminjam penerangan sistem dengan prosedur input-output. Dari wilayah input, proses pembelajaran pada MBI Amanatul Ummah Surabaya diideasikan menggunakan menyiapkan asal daya anak didik yg berpotensi diri menggunakan segala kemampuan buat berminat, ingintahu, mengambarkan, mempelajari, dan menemukan hal baru yang bermanfaat bagi global pendidikan dan kemanusiaan dalam biasanya. Modal serta investasi asal daya anak didik ini selanjutnya diproses melalui apa yang dinamakan pembiasaan buat menanamkan akhlaqul karimah, sehingga melahirkan nasib baik, sebagai akibatnya teraihlah apa yang disemangatkan pada peruntukan MBI buat mencetak ulama, pemimpin, konglomerat serta profesionalis. Proses pembelajaran ini sejauh mungkin berada pada bingkai relijius-multikultural. Oleh karena itu, pendekatan budaya dan konduite yg bermartabat hendak dikedepankan. Sasaran akhir menurut proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya ini diarahkan demi terwujudnya intelektual belia yang tangguh menjadi investasi moral bangunan rakyat Indonesia masa depan.

Tabel  Pattern for Behavior / Misi MBI Amanatul Ummah Surabaya
Input

Proses

Output - Outcome

Unsur-unsur yang harus dimiliki oleh proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya:
-Pengelola  manajerial
-Metode andragogis
-Berbasis kompetensi
-Sumber daya murid yg kritis-etis
Kognitif :

Pemahaman nilai budaya, kemampuan ekspresi, logika dasar dan kecakapan

Lulusan MBI yg Kompeten (Beasiswa dalam serta luar negeri, PMDK, SNMPTN
             
          
Intelektual yg cerdas serta beriman
Afektif :

Pemahaman etika dan keindahan yang berbasis nilai-nilai relijius

Berkaca dari tabel, perwujudan ideasi proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya secara empiris-realistis sangat dekat dengan upaya sinergis antara seluruh elemen pendidikan yang terdiri atas kemampuan manajerial pengelola lembaga pendidikan, pemilihan metode pengajaran yang berwawasan lokalitas, mementingkan basis kompetensi pada setiap kurikulum pengajarannya, dan tersedianya sumber daya anak didik yang kritis-etis. 

Realisasi proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya diarahkan pada tergalinya kemampuan kognisi dan afeksi dari input yang tersedia. Pola ini dikembangkan sedemikian rupa supaya tercapai apa yg dicita-citakan, yaitu intelektual muda yg cerdas serta beriman (lulusan yg kompeten dengan menerima beasiswa dalam dan luar negeri, PMDK, atau SNMPTN).

Dengan demikian, ada hubungan relasional yang saling memajukan antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan murid sebagai investasi moral. Proses pembelajaran pada MBI Amanatul Ummah Surabaya (yang berbasis kognitif-afektif, logis-etis-relijius) adalah salah satu pilar tercapainya visi, misi, komitmen dan peruntukan, dan tujuan MBI Amanatul Ummah Surabaya.

Proses enkulturasi atau pengenalan sangat berperan selesainya proses internalisasi yang berlangsung pada setiap program pembelajaran dalam bingkai relijius-multikulturalisme. Sehingga azas voluntarisme yang menyiratkan kebebasan pada atas pijakan logis-etis-relijius akan mendorong keberhasilan pendidikan nasional di Indonesia.