MANAJEMEN PEMASARAN ANALISA PERILAKU KONSUMEN

Manajemen Pemasaran, Analisa Perilaku Konsumen
Konsep Pemasaran Dalam Industri Perbankan Di Indonesia
“Tingkatkan produksi, turunkan harga” demikian pemikiran Henry Ford dalam membuatkan pasar mobil era 1900 an (Kotler & Amstrong, 1991). Dengan banyak sekali kemampuan, Ford menaikkan produksi secara besar -besaran buat mengurangi biaya . Hasil menampakan Ford sanggup menguasai pasar mobil di Amerika Serikat (AS) dengan strategi biaya minimum.

Saat ini di seluruh dunia termasuk pada AS kejayaan Ford telah berakhir berganti menggunakan era kendaraan beroda empat-mobil Jepang. Padahal di Alaihi Salam, Ford diyakini menjadi mobilnya orang Amerika yang tidak akan tergoyahkan. Gencarnya serbuan kendaraan beroda empat-kendaraan beroda empat protesis Jepang dengan strategi memahami konsumen Alaihi Salam membuat kampiun industri mobil ini collapse sehingga akhirnya menjadi tamu pada negerinya sendiri.

Fenomena pada atas menampakan bahwa dalam persaingan yang sangat kompetitif, pemimpin industri (industry leader) yang sebelumnya begitu secara umum dikuasai bisa terhempas. Kasus yg lebih aktual merupakan goyahnya jawara industri personal komputer IBM oleh tekanan Compaq. Dalam industri perbankan pada Indonesia, Bank Mandiri menjadi bank terbesar di Indonesia menggantikan kedudukan Bank BNI dan Bank BCA. Contoh lainnya dalam industri perbankan syariah, Bank Syariah Mandiri sebagai bank syariah terbesar menggeser kiprah Bank Muammalat Indonesia.

Situasi tadi menggambarkan gelombang perubahan yg dahsyat dalam usaha. Gelombang perubahan tadi mengakibatkan pergeseran paradigma pemasaran dan usaha. Pesaing pada pada industri semakin poly dan berkualitas. Demikian halnya konsumen semakin cerdas dalam menentukan produk.

Perubahan dalam lingkungan bisnis adalah sebuah keniscayaan. “Tidak terdapat sesuatu yang kontinu atau tetap, kecuali perubahan itu sendiri” . Implikasinya, setiap perusahaan seharusnya adaptif dan antisipatif terhadap perubahan bila mereka tidak ingin menjadi cerita latif di masa kemudian.

Bagaimana pada Konteks Industri Perbankan di Indonesia? 
Bagi industri perbankan, kasus-masalah pemasaran dapat dijadikan semacam proyeksi dalam menerapkan strategi menghadapi gempuran perubahan. Kompetitor yg timbul bukan hanya sesama pemain dalam industri perbankan, tetapi pula forum keuangan bukan bank, misalnya modal ventura, reksadana, pasar modal, BMT dan sebagainya.

Dalam konteks perbankan nasional telah terjadi revolusi yg sangat mendasar. Berawal berdasarkan serangkaian kebijakan deregulasi di sektor keuangan, khususnya menyangkut bidang perbankan serta moneter yg pula menandai berakhirnya represi keuangan (financial repression) serta pada mulainya liberalisasi keuangan perbankan (financial liberalization).

Kehadiran kebijakan Paket Juni (pakjun) 1983, Paket Oktober (pakto)1988 serta paket-paket berikutnya menyebabkan persaingan semakin kompetitif dan nasabah menjadi semakin selektif lantaran keberadaan penawaran produk yg semakin semakin tinggi. Paradigma yg menekankan dalam berbagai upaya menerima laba menggunakan cara menjual sebesar-banyaknya supaya mencapai laba aporisma (selling concept) menjadi lama . Dahulu selling concept memang berakibat hasil lantaran pasarnya merupakan pasar penjual (seller’s market). Tetapi syarat saat ini, yaitu pasokan melebihi permintaan, maka upaya mendongkrak penjualan nir sanggup memecahkan persoalan jangka panjang perusahaan.

Customer Driven Company
Keberhasilan bisnis perbankan dewasa ini sangat dipengaruhi kepuasan nasabahnya. Hal tadi sejalan dengan pandangan para ahli pemasaran bahwa pelanggan merupakan faktor kunci keberhasilan pemasaran (Assael, 1998; Dharmesta & Handoko, 2000). Dalam buku terbarunya ”Beyond Maxi Marketing”, Stan Rapp dan Collins (dikutip pada Kertajaya, 1999) berpendapat bahwa syarat saat ini konsumen akan semakin pandai , minta dilayani secara langsung, minta terlibat pada pengembangan suatu produk, makin sensitif dan makin tidak loyal pada merek tertentu. Dengan demikian permintaan serta asa-asa mereka (nasabah) semakin meningkat.

Dalam persaingan yang semakin tajam, program-acara pengembangan kualitas produk bagi pengembangan kualitas buat kepuasan nasabah menjadi hal yg bersifat fardlu ’ain (wajib secara individual). Dalam situasi tadi, perilaku dan perilaku nasabah kritis serta cerdas. Oleh karenanya bank harus bisa dan mau mengerti arti nilai suatu produk di mata nasabah, supaya dapat memuaskan kebutuhan mereka. 

Dalam pandangan Kertajaya (1999) sudah terjadi pergeseran orientasi perusahaan berdasarkan pemasaran yg masih berorientasi perusahaan (marketing oriented company) menjadi perusahaan yang penekanan dalam pelanggan (custoner driven company). Pergeseran tersebut dipicu sang situasi persaingan pada saat itu. Apabila situasi persaingan rendah atau bahkan tidak terdapat persaingan, maka pemasaran tidak atau belum terlalu dibutuhkan perusahaan. Apabila pada situasi persaingan yg semakin keras maka fungsi pemasaran sebagai semakin krusial pada pada perusahaan. Sedangkan pada situasi persaingan yg sangat keras, nir bisa diduga dan rancu, maka pemasaran wajib menjadi jiwa setiap orang di pada perusahaan tadi.

Pada syarat persaingan yang sangat keras pada atas, jiwa organisasi adalah pemasaran. Dari sisi struktur organisasi, mungkin tidak terdapat departemen pemasaran atau bahkan istilah pemasaran sudah hilang dari badan organisasi, namun setiap departemen serta unit mempunyai jiwa pemasaran. Kombinasi pemasaran yg dibangun perusahaan sudah bergeser dari 4-P (product, price,place, promotion) sebagai 4-C, yaitu menjadi berikut:
  • Customer solution (solusi untuk pelanggan) adalah perusahaan berpandangan bahwa produk akan semakin bermakna bila bisa menaruh solusi bagi atas perkara yang dihadapi pelanggannya. 
  • Cost (biaya dari sisi pelanggan) merupakan perusahaan seharusnya melihat penetapan harga (price) sebagai suatu konsekuensi finansial secara total yg adalah beban bagi pelanggan. 
  • Convenient channel, merupakan refleksi berdasarkan timbulnya beragam cara pelanggan membeli produk. Produsen nir mampu hanya mengandalkan distributor konvensional, namun wajib menaruh aneka macam pilihan bagi konsumen dalam menerima produk. 
  • Communication, interaksi yang bersifat dua atah merupakan revolusi akbar menurut bauran pemasaran (marketing mix) yg berkonotasi satu arah.

PENGELOLAAN APBN DALAM SISTEM MANAJEMEN KEUANGAN NEGARA

Pengelolaan Apbn Dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah alat utama pemerintah buat mensejahterakan rakyatnya serta sekaligus alat pemerintah buat mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun pula menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, serta pengawasan yg dimilikinya perlu lebih berperan pada mengawal APBN sebagai akibatnya APBN benar-sahih dapat secara efektif menjadi instrumen buat mensejahterakan masyarakat dan mengelola perekonomian negara menggunakan baik.

Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, semenjak beberapa tahun yang kemudian sudah diintrodusir Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut menerima landasan hukum yang kuat dengan telah disahkannya UU No. 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 mengenai Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 mengenai Pemeriksaan Pengelolaan serta Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Tulisan ini menguraikan sistem serta proses pengelolaan APBN dalam kerangka manajemen keuangan negara. Selain diuraikan pokok-utama manajemen keuangan negara dan proses APBN, diuraikan juga peranan DPR dalam pengelolaan anggaran negara melalui fungsi-fungsi yg dimilikinya, yakni fungsi legislasi, fungsi aturan, serta fungsi supervisi.

Landasan Pengelolaan Keuangan Negara
Landasan pengelolaan keuangan negara adalah Pasal 23C Undang Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga: “hal-hal lain mengenai keuangan negara ditetapkan melalui undang-undang”. Berangkat menurut landasan konstitual itulah aneka macam upaya dilakukan buat bisa menghadirkan Undang-undang Keuangan Negara. Tercatat 14 (empat belas) tim sudah dibuat menggunakan tugas untuk menyusun RUU bidang Keuangan Negara atau RUU mengenai Perbendaharaan Negara. Ke-14 tim itu adalah:
NO
1
2
3 4 lima 6
7 8
TIM
HASIL
TAHUN


Panitia Achmad Natanegara
Konsep RUU Keuangan Republik Indonesia “UKRI”
1945-1947


Panitia Hermans
Menyusun RUU Pokok tentang Pengurusan Keuangan Negara disingkat “UUPKN” (pada bahasa Belanda)
1950-1957


Panitia Ahli Departemen Keuangan
Tidak membentuk konsep RUU
1959 –1962


Panitia Ahli Departemen Keuangan serta Politisi
Tidak membentuk konsep RUU
1963 – 1965


Panitia Soedarmin
Menyusun Konsep RUU tentang pengurusan Keuangan Negara
1969 – 1974


Panitia Gandhi
Menyusun konsep RUU semula berjudul “Undang-undang tentang Cara Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara” berubah menjadi “Undang-undang mengenai Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara”, berubah sebagai “Undang-undang mengenai Keuangan Negara” , berubah sebagai “Undang-undang mengenai Pengurusan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara”, dan akhirnya berubah sebagai “Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara
1975 – 1983


Panitia Prof. Dr. Rochmat Soemitro
Panitia ini dibentuk oleh Departemen Kehakiman serta menyusun konsep RUU semula berjudul “Undang-undang mengenai Perbendaharaan Negara” lalu menjadi “Undang-undang mengenai Pokok-Pokok Perbendaharaan Negara”
1983 – 1984


Panitia Soegito
Mengolah balik RUU output panitia Gandhi yang lalu diberi judul “Undang-undang tentang perbendaharaan Negara”
1984 – 1988
9
Tim Intern Badan
Menyusun konsep RUU berjudul
1990
10 11
12 13
14
Pemeriksa Keuangan
“Undang-undang mengenai Keuangan Negara”

Panitia Taufik
Mengkaji ulang output Panitia Soegito serta hasilnya permanen diberi judul “Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara
1989 – 1993
Tim Pengkajian dan Penyempurnaan RUU Perbendaharaan Negara
Mengkaji dan menyempurnakan RUU Perbendaharaan Negara output panitia Taufik dan permanen diberi judul “Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara”, Namun hanya mengatur aspek aplikasi serta pertanggungjawaban aturan, yaitu sebagian menurut siklus anggaran. Hal ini dilakukan lantaran RUU Perbendaharaan Negara ini merupakan bagian berdasarkan paket RUU bidang Keuangan Negara yg terdiri atas:
a.           RUU mengenai Ketentuan Pokok
Keuangan Negara
b.           RUU tentang Perbendaharaan
Negara
1998 – 1999
Tim Counterpart RUU BPK
Menyusun RUU yang diberi judul “RUU mengenai Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara”
1999
Tim Penyusunan RUU Ketentuan Pokok Keuangan Negara
Merupakan Tim Pemerintah beserta Badan Pemeriksa Keuangan berhasil menyusun pulang RUU output Tim Pengkajian dan Penyuempurnaan RUU Perbendaharaan Negara dan Tim RUU Bidang Keuangan Negara yg terdiri atas:
a.           RUU tentang Keuangan Negara
b.           RUU tentang Perbendaharaan
Negara
c.           RUU mengenai Pemeriksaan
Tanggung Jawab Keuangan
Negara, dan
Paket tersebut sudah diajukan ke DPR
1999-2001
Komite Penyempurnaan Manajemen Keuangan
Melanjutkan tim Penyusunan RUU Ketentuan Pokok Keuangan Negara, serta telah membentuk UU Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 mengenai Perbendaharaan Negara.
2001 – sekarang

Sumber: Prinsip Keuangan N
egara, 2001

Hingga tahun 2003 yg kemudian–sebelum UU No.17/2003 diundangkan-aturan yg berlaku buat pengelolaan Keuangan Negara masih memakai peraturan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda misalnya Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal menggunakan nama ICW stbl. 1925 No.488 yang ditetapkan pertama kali dalam tahun 1864 serta mulai berlaku tahun 1867. Selain

ICW ada juga Indische Bedrijvenwet (IBW) stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) stbl. 1933 No.381. Sementara itu buat aplikasi pemeriksaan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara digunakan Insctructie en verdere bapelingen voor Algemeene Rekenkamer (IAR) stbl. 1933 No.320.

Peraturan-peraturan misalnya ICW, IAR, IBW, serta RAB, sengaja diciptakan dan dibentuk sang pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa yg menjajah Indonesia waktu itu dengan pendekatan buat menjaga kepentingan negara Belanda atas Indonesia. Paradigma negeri jajahan itulah yang sangat kental mewarnai peraturan-peraturan itu. Ketika diterapkan pada sebuah negara yang berdaulat serta merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturan-peraturan itu telah nir lagi relevan serta layak dijadikan pedoman pengelolaan keuangan negara. Merubah seluruh peraturan pada atas menggunakan peraturan yg bersemangat independensi dan menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, tentunya wajib dilakukan. Ke empat belas tim pada atas menyadari itu, namun upaya yang sangat panjang itu baru dapat mencapai output dalam tahun 2003, yaitu 58 tahun selesainya masa kemerdekaan. Selain itu muatan yg terdapat di pada anggaran-anggaran kolonial itu sudah out of date serta nir relevan lagi dengan syarat saat ini, apalagi taraf kompleksitas perseteruan saat ini jauh lebih tinggi dari masa dulu. Oleh karenanya, walaupun masih berlaku menjadi sebuah anggaran perundang-undangan namun secara materil telah tidak dapat dilaksanakan.

Kekosongan perundang-undangan ini menciptakan lemahnya sistem pengelolaan Keuangan Negara. Selama ini, kekosongan itu hanya dilengkapi menggunakan Keputusan Presiden, yang terakhir antara lain di atur oleh Keppres No. 42 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres 80 tahun 2003 mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Keputusan Presiden di pada rapikan aturan tidak terlalu mengikat sebagaimana sebuah undang-undang.

Dari kelemahan tata aturan itulah kemudian menjadi galat satu penyebab banyaknya praktik defleksi dan KKN pada pada pengelolaan Keuangan negara selama ini. Puncaknya menggunakan terjadi krisis moneter pertengahan 1997 yg telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yg sudah dibangun dengan susah payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai dengan anjloknya rupiah hingga menembus level Rp 17.000 per satu USD. Krisis berlanjut sampai sebagai krisis multidimensional yang kemudian melahirkan era reformasi. Era reformasi inilah yang menaruh momentum terciptanya rapikan anggaran baru pada pengelolaan keuangan negara.

Paket UU Keuangan Negara tadi (yg terdiri menurut 2 UU yg telah diundangkan, yaitu UU No.17 tahun 2003 mengenai Keuangan Negara dan UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, serta satu RUU, yaitu RUU Pemeriksaan pengelolaan Keuangan Negara yang masih dibahas di DPR) merumuskan empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu:
1. Akuntabilitas menurut output atau kinerja;
2. Keterbukaan pada setiap transaksi pemerintah;
3. Pemberdayaan manajer professional; dan
4. Adanya forum pemeriksa eksternal yg bertenaga, professional serta berdikari serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan inspeksi.

Perubahan fundamental yg diatur sang Undang-undang No.17 tahun 2003 yaitu:
a. Tentang pengertian dan ruang lingkup menurut keuangan negara;
b. Azas-azas umum pengelolaan keuangan negara;
c. Kedudukan presiden menjadi pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara;
d. Pendelegasian kekuasaan presiden pada menteri Keuangan serta Menteri/Pimpinan Lembaga;
e. Susunan APBN serta APBD;
f. Ketentuan mengenai penyusunan serta penetapan APBN dan APBD;
g. Pengaturan Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan bank sentral, pemerintah daerah serta pemerintah/forum asing;
h. Pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan wilayah dan perusahaan swasta;
i. Badan pengelola dana warga ; dan
j. Penetapan bentuk serta batas ketika penyampaian laporan pertanggungjawaban aplikasi APBN dan APBD. 
k. Penggunaan Medium Term Expenditure Framework (MTEF) sebagai pengganti Propenas serta Repeta. Sedangkan perubahan fundamental pada pengelolaan perbendaharaan negara yg tercantum dalam UU No.1 tahun 2004 yaitu:
1. Penerapan aturan berbasis kinerja;
2. Pemberlakuan pengakuan dan pengukuran pendapatan serta belanja negara berbasis akrual;
3. Munculnya jabatan fungsional Perbendaharaan Negara;
4. Pemberian jasa giro atau bunga atas dana pemerintah yg disimpan pada bank sentral;
5. Sertifikan Bank Indonesia yg selama ini sebagai instrumen moneter akan digantikan oleh Surat Utang Negara; dll.

PERENCANAAN KEUANGAN DAN PERTUMBUHAN PERUSAHAAN

Perencanaan Keuangan serta Pertumbuhan Perusahaan
Keberhasilan sebuah perusahaan bisa terlihat dari kemampuan para pengelola atau pihak manajemen perusahaan memanfaatkan peluang secara maksimal sehingga membentuk return (imbal output) sinkron yg dibutuhkan, itulah sebabnya tugas yg utama berdasarkan pengelola atau pihak manajemen perusahaan merupakan merencanakan masa depan perusahaan agar seluruh peluang atau kemungkinan yang diprediksi bisa diambil serta direalisasikan.

Pada dasarnya sebuah perencanaan tentang masa depan adalah perencanaan jangka panjang, itulah sebabnya diharapkan sebuah koordinasi yang padu tentang perencanaan jangka panjang berdasarkan aneka macam fungsi dalam perusahaan. Dalam hal perencanaan keuangan jangka panjang perusahaan dibutuhkan unsur-unsur dasar berdasarkan kebijakan keuangan perusahaan, membaginya sebagai 4 (empat) unsur yakni :
  1. Perusahaan membutuhkan investasi pada asset-aset baru : Unsur ini akan muncul dari peluang-peluang investasi yg dipilih buat dilaksanakan perusahaan dan adalah output berdasarkan keputusan penganggaran kapital perusahaan.
  2. Tingkat Leverage keuangan yang dipilih buat dipergunakan : Hal ini akan menentukan jumlah pinjaman yg akan dipakai sang perusahaan buat mendanai investasinya dalam asset riil. Hal ini adalah kebijakan struktur kapital perusahaan. 
  3. Jumlah kas yang dirasakan perusahaan perlu dan layak buat dibayarkan kepada pemegang saham: hal ini ada kebijakan dividen perusahaan. 
  4. Jumlah likuiditas serta modal kerja yg diharapkan perusahaan pada operasi sehari-hari: Ini adalah keputusan modal kerja bersih perusahaan. 
Jadi keputusan mengenai perencanaan keuangan perusahaan mengenai masa depan perusahaan tersebut akan mencakup ke-empat area ini yang dalam gilirannya akan mencakup peluang pertumbuhan perusahaan yang berimbas dalam pemenuhan kebutuhan pendanaan baik melalui internal maupun eksternal yang akan memilih profitabilitas perusahaan tadi.

Adapun proses perencanaan keuangan adalah merupakan kegiatan perencanaan keuangan yg memperkirakan posisi serta syarat keuangan di masa depan, sehingga dalam menyusun rencana keuangan tadi dipergunakan serangkaian skenario yg merupakan perkiraan terhadap kemungkinan terjadinya kondisi di masa depan. Adapun serangkaian skenario masa depan tadi umumnya dibagi pada 3 (3) kondisi:
  1. Kondisi Terburuk ( Worst Condition) : Kondisi ini merupakan syarat yang diperkirakan terjadi waktu situasi perusahaan dan perekonomian sedang berada dalam situasi yang sulit sebagai akibatnya angka-angka yg digunakan dalam perencanaan merupakan angka-nomor yg pesimistis.
  2. Kondisi Normal (Normal Condition): Kondisi ini adalah kondisi dimana dianggap situasi perusahaan serta perekonomian yg biasa terjadi serta berjalan misalnya sebelumnya.
  3. Kondisi Terbaik ( Best Condition): Kondisi ini merupakan syarat waktu situasi perusahaan atau perekonomian sedang berada dalam situasi terbaiknya sebagai akibatnya angka –angka yg digunakan pada perencanaan adalah nomor –nomor yang optimistik.

Model Perencanaan Keuangan
Ketika sebuah perencanaan keuangan dibuat maka rencana tadi jua akan memasukkan laporan keuangan yakni neraca, laporan keuntungan-rugi menjadi bagian menurut perencanaan yang dibuat, adapun laporan keuangan ini diklaim jua laporan keuangan pro forma ( “pada bentuk”) . Jadi dalam hal ini laporan keuangan pro forma ini akan memasukkan serangkaian kemungkinan atau skenario yang terjadi pada masa depan, sehingga laporan keuangan pro forma merupakan hasil dari model perencanaan keuangan.

Andaikan seseorang memberikan data proyeksi penjualan yang telah diperkirakan maka contoh perencanaan keuangan akan menyediakan laporan keuangan berupa neraca dan laba rugi yang didapatkan berdasarkan data proyeksi penjualan tersebut. Disini, data proyeksi penjualan yang telah diperkirakan tersebut menjadi “penggerak (driver)” yg artinya data proyeksi penjualan ini akan diberikan terlebih dahulu, kemudian data proyeksi laporan keuanganitu akan dihitung menurut atas data tersebut. 

Bisa saja, nomor proyeksi penjualan akan diberikan pada bentuk tingkat pertumbuhan pada penjualan, hal ini tidaklah menjadi duduk perkara karena perhitungan proyeksi penjualan akan diketahui sehabis diketahui tingkat pertumbuhannya. Sesudah dilakukan serangkaian skenario, maka yang teRp.enting disini bukanlah proyeksi penjualan wajib sempurna namun bagaimana interaksi atau keterkaitan antara investasi dan kebutuhan pendanaan pada aneka macam kemungkinan taraf penjualan bisa diketahui buat dipelajari agar bisa dilakukan keputusan-keputusan strategis serta berdampak jangka panjang.

Dalam hal investasi, disini akan diperkirakan proyeksi belanja kapital, serta akan terlihat pula disini proyeksi neraca melalui perubahan pada total asset tetap dan modal kerja higienis, sedangkan dalam hal keuangan (financing) akan bagaimana mencari dana yang diperlukan terhadap dana investasi yg diharapkan, akan ada masalah mengenai kebijakan deviden dan kebijakan utang agar perusahaan mendapatkan dana yg “siap” buat dipakai belanja kapital. 

Setelah data proyeksi penjualan dan perkiraan belanja kapital yg diharapkan diketahui maka akan terjadi ketidak-seimbangan dalam neraca, hal ini dikarenakan proyeksi total asset pasti lebih akbar menurut proyeksi sisi total pasiva. Karena itu diharapkan pendanaan baru buat menutupi semua proyeksi belanja modal, variable penyeimbang inilah yg dianggap “Plug” yang wajib dipilih, Penyeimbang ini adalah sumber berdasarkan pendanaan eksternal spesifik yg diharapkan untuk mengatasi kekuranagn (kelebihan) pada pendanaan sehingga dana bisa menjadi seimbang lagi seperti sebelumnya.

Tentu saja, yg terakhir dan jua sangat penting adalah dalam perencanaan tadi haruslah secara kentara menyatakan kondisi perekonomian suatu negara atau daerah kekuasaan politik dimana perusahaan tersebut berada, hal ini dikenal sebagai syarat makro-ekonomi suatu negara. Kondisi makro- ekonomian tadi antara lain mengenai inflasi, taraf suku bunga serta tarif pajak perusahaan.

Model Sederhana berdasarkan Perencanaan Keuangan
Adapun sebuah contoh dari model perencanaan keuangan sederhana menjadi berikut :
PT. Campur
Laporan Keuangan
Laporan Rugi Laba
Neraca
Penjualan

Rp.1000
Aset
Rp. 500
Hutang
Rp.250
Biaya

800


Modal Sendiri
Rp.250
Laba bersih
Rp.200
Total
Rp.500
Total
Rp.500

Perencanaan keuangan PT.campur berasumsi bahwa semua variabel terikat dalam penjualan serta interaksi yang sekarang merupakan optimal. Artinya semua item akan berkembang menggunakan persentase yg sama menggunakan penjualan. Misalkan penjualan meningkat 20 % berdasarkan Rp.1000 menjadi Rp.1200. Perencana pula akan meramalkan bahwa masih ada peningkatan biaya sebesar 20 persen, dari Rp. 800 menjadi Rp.800X1,dua=Rp.960. Laporan Pro forma akan menjadi:
Pro Forma
Laporan Laba Rugi
Penjualan
Rp. 1200
Biaya
960
Laba bersih
Rp.240
Asumsi bahwa semua variabel akan meningkat sebesar 20 %, membuat kita juga dapat membuat neraca pro forma.
Pro Forma Neraca
Aset
Rp.600(+100)

Hutang
Rp. 300(+50)



Modal Sendiri
300(+50)
Total
Rp.600(+100)

Total
Rp.600 (+100)

Sekarang kita harus merekonsiliasi ke 2 pro forma. Contohnya dapatkah Laba higienis sama menggunakan Rp.240 dan Modal Sendiri meningkat hanya Rp.50? Jawabannya merupakan bahwa PT.campur wajib membayar disparitas sebesar Rp.240-Rp.50=Rp.190,kemungkinan menjadi dividen. Dalam kasus ini dividen adalah plug variable.

Misalkan PT.campur tidak membayar Rp.190 tersebut. Dalam perkara ini, tambahan ke Laba ditahan merupakan sejumlah Rp.240. Pos Modal Sendiri PT.campur akan bertambah menjadi Rp.490(Rp.250 sebagai starting income+Rp.240 sebagai net income), serta hutang wajib dilunasi buat menjaga jumlah asset tetap Rp.600.

Dengan Rp.600 pada total Aset and Rp.490 pada Modal Sendiri, maka Hutang wajib Rp.600-Rp.490=Rp.190. Karena saldo awal Hutang merupakan Rp.250, maka PT.campur harus melunasi hutang sebanyak Rp.250-Rp.110=Rp.140. Maka neraca pro forma akan sebagai:
Pro Forma Neraca
Aset
$600(+100)

Hutang
$ 110(-140)



Modal Sendiri
490(+240)
Total
$600(+100)

Total
$600 (+100)
Dalam masalah ini, Hutang merupakan plug variable yang digunakan buat menyeimbangkan proyeksi total aset serta Kewajiban. Contoh ini menerangkan hubungan diantara pertumbuhan penjualan serta kebijakan keuangan. Ketika penjualan semakin tinggi, total aset jua meningkat. Hal ini terjadi lantaran perusahaan harus berinvestasi pada kapital kerja bersih (net working capital) serta Aset tetap (fixed asset) buat mendukung taraf penjualan yg lebih tinggi. Karena Aset berkembang, total Modal Sendiri dan Kewajiban (Hutang) pula akan berkembang.

Hal yg wajib kita perhatikan berdasarkan contoh di atas adalah cara Kewajiban (Hutang) dan Modal Sendiri berubah berubah bergantung dalam dalam kebijakan pendanaan dan kebijakan dividen perusahaan. Pertumbuhan asset dipengaruhi bagaimana perusahaan mendanai pertumbuhan tersebut.

Pendekatan Persentase Penjualan (The Percentage of PenjualanApproach)
Pada bagian sebelumnya, kita mendisikripsikan sebuah contoh perencanaan yang simple dimana persentase seluruh pos meningkat secara bersamaan dengan persentase penjualan.ini mungkin asumsi yang logis bagi beberapa pos atau akun dalam laporan keuangan. Tetapi buat pinjaman jangka panjang mungkin nir akan sesuai. Jumlah dari pinjaman jangka panjang itu dipengaruhi oleh pihak manajemen, dan tidak ada kaitannya menggunakan tingkat penjualan.

Pada bagian ini, akan dijelaskan tambahan atau ekspansi dari contoh sederhana yang sebelumnya. Prinsip dasarnya adalah buat memisahkan Laporan Rugi-Laba dan Neraca sebagai 2 kelompok, dimana yang satu langsung terkait penjualan serta yang satunya nir pribadi terkait. Jika suatu ramalan penjualan ditetapkan,maka akan dapat mengitung berapa banyak dana yang diperlukan perusahaan buat menopang prediksi taraf penjualan.

Laporan Laba Rugi (The Income Statement)
Dimulai membahas menggunakan memakai laporan Laba -Rugi milik PT.hale, seperti yg ditunjukan pada tabel 4.1. Disini masih menyederhanakan hal – hal berikut misalnya : biaya , penyusutan, dan bunga pada satu bentuk pos atau akun : porto.

PT.hale telah memproyeksikan 25% peningkatan dalam Penjualan buat tahun yg akan datang, jadi mengantisipasi penjualan sejumlah Rp.1000 x 1.25 = Rp.1250. Untuk membentuk pro forma laporan Rugi Laba, kita asumsikan bahwa total porto akan terus berjalan pada level (Rp.800/1000 )= 80% menurut penjualan. Dengan perkiraan ini, pro forma laoran Rugi Laba PT.hale ditampilkan pada tabel 4.2. Konsekwensi dari mengasumsikan bahwa biaya itu mempunyai persentase yang konstan dengan Penjualan merupakan profit margin itu akan konstan. Untuk memeriksanya,profit marginnya Rp.132/1000 = 13.2%. Di pro forma milik PT.hale, profit marginnya Rp.165/1250 = 13.dua%, jadi itu tidak berubah.

Selanjutnya, kita butuh memproyeksikan pembayaran dividen. Jumlahnya tergantung pihak manajemen PT.hale. Kita akan mengasumsikan PT.hale memiliki kebijakan buat membayar dividen secara tunai.

TABLE 
PT.hale
Laporan Laba Rugi
Penjualan
 Rp.          1,000
Biaya-biaya
 Rp.              800
Laba kena pajak
 Rp.              200
Pajak (34%)
 Rp.                68
Laba bersih
 Rp.              132
     Dividend
 Rp.                                44

     Tambahan Laba ditahan

 Rp.                                88


TABLE 
PT.hale
Laporan Laba Rugi Pro Forma
Penjualan(proyeksi)
 Rp.          1,250
Costs (80% menurut penjualan)
 Rp.          1,000
Laba kena pajak
 Rp.              250
Pajak (34%)
 Rp.                85
Laba bersih


 Rp.              165


Untuksebagian akbar dari tahun sekarang, dividendpayout ratio merupakan :
            Dividend payout ratio = CashDividens/Net Income
                                                = Rp.44/132 = 33 1/tigapersen
Kitajuga bisa menghitung ratio berdasarkan tambahan laba ditahan terhadap laba bersih :
            Tambahan Laba ditahan/Laba ditahan =Rp.88/132 = 66 2/tigapersen
Ratioini biasa dianggap menggunakan retention ratioatau plowback ratio, serta itu samadengan 1 dikurangi menggunakan dividend payoutratio, lantaran sisa yg nir dibayarkan sebagai  laba yang ditahan. Dengan asumsi bahwa payout ratio konstan, berikut adalah adalahproyeksi dividen serta tambahan pada Laba yang ditahan:
               Proyeksi dividen buat pemegangsaham= Rp.165X1/tiga= Rp.  55
                            Proyeksi tambahan  Laba yg ditahan  =Rp.165X2/tiga  =Rp.110

                                      Rp.165


Neraca ( The Neraca)
Untuk membuat pro forma Neraca, dimulai menggunakan statements yg paling baru. Dalam neracadi asumsikan bahwa beberapa pos atau akunnya dapat mensugesti penjualan dan juga ada yg tidak. Untuk pos atau akun yang memliki hubungan dengan penjualan, dinyatakan persentase penjualan pada tahun yang baru saja sudah selesai.ketika sebuah pos tersebut nir mempengaruhi penjualan secara pribadi, dituliskan “n/a” (not applicable).

Untuk model, pada bagian aset, maka persediaan sama menggunakan 60persen dari Penjualan(Rp.600/1000) buat akhir tahun. Kita asumsikan persentase diaplikasikan buat tahun yang akan tiba, jadi setiap peningkatan Rp.1,- pada penjualan, persaediaan akan naik sebanyak Rp..60. Ratio menurut total assets kepada penjualan buat akhir tahun adalah Rp.3000/1000 = tiga, atau 300%.

Ratio dari total assets pada penjualan itu dianggap sebagai capital intensity ratio.itu memberitahukan bahwa jumlah asset yg diperlukan buat menghasilkan Rp.1 dalam penjualan. Jadi meningkat ratio nya, semakin tinggi capital intensity pada suatu perusahaan.

Selanjutnya disusunlah neraca pro forma buat PT.hale. Lakukan menggunakan memakai persentase-persentase yg dihitung guna menghitung jumlah yang diproyeksikan. Perlu diperhatikan, buat pos-pos yang nir berkecimpung pribadi mengikuti penjualan, sumsi awalnya nir ada perubahan dan hanya menulis saldo aslinya. Dari neraca diatas bahwa aset diproyeksikan naik sebanyak Rp.750. Namun tanpa pendanaan tambahan, kewajiban serta ekuitas (modal sendiri) hanya mengalami kenaikan Rp.185 sehingga terjadi kekurangan sebesar Rp.750-185= Rp 565. Ini dianggap kebutuhan pendanaan eksternal (EFN= External Financing Needed)


SKENARIO KHUSUS (A PARTICULAR SCENARIO)
Model prencanaan finansial ini mengingatkan dalam humor mengenai warta cantik danberita tidak baik. Berita bagusnya, Perusahaan ternyata sanggup memproyeksikan kenaikan penjualan 25%. Berita buruknya merupakan hal itu tidak mungkin terjadi kecuali PT.hale entah dengan cara bagaimana harus mencari pembiayaan sebanyak Rp.565.

Selain itu, hal ini merupakan model yg mengagumkan bagaimana proses perencanaan bisa menyelesaikan kasus serta potensi konflik. Mengapa ? Jika kita lihat dalam PT.hale, misalkan perusahaan ini punya tujuan nir mau meminjam sedikitpun buat dana tambahan serta tidak mau menjual ekuitas baru, maka kenaikan 25% mungkin nir mampu dilakukan. Jika kita menambahkan Rp.565 sebagai pendanaan yang baru maka PT.hale memiliki tiga asal yg memungkinkan : Pinjaman jangka pendek, Pinjaman jangka panjang, dan Ekuitas baru. Jadi, ini tergantung menurut keputusan manajemen.

Misalnya PT.hale menetapkan buat meminjam dana yang butuhkan, dalam kasus ini perusahaan bisa menentukan buat meminjam sebagian pinjaman jangka panjang serta sebagian lagi pinjaman jangka pendek. Contohnya, aset lancar (current asset ) bertambah Rp.300 dimana current kewajiban (liabilities) hanya bertambah Rp.75. PT.hale pula dapat meminjam Rp.300-Rp.75=Rp.225 sebagai pinjaman jangka pendek. Dengan Rp.565 yang dibutuhkan maka residu Rp.565-Rp.225= Rp.340 sanggup didapatkan dengan pinjaman jangka panjang. Tabel 4.5 membuktikan pro forma neraca PT.hale.

SKENARIO ALTERNATIF (AN ALTERNATIVE SCENARIO )
Asumsi bahwa asset adalah presentase permanen berdasarkan penjualan merupakan sahih, tapi mungkin saja tidak cocok dalam beberapa syarat riil yang terjadi. Khususnya jika mengasumsikan PT.hale memakai 100 persen kapasitas karena setiap peningkatan pada penjualan mengarah pada peningkatan fixed assets. Bagi sebagian bisnis, mungkin akan terjadi sedikit kelonggaran atau kelebihan kapasitas, serta produksi mungkin mampu bertambah dengan menjalankan shift tambahan.

Jika kita mengasumsikan bahwa PT.hale beroperasi dalam 70% menurut holistik kapasitas, maka kebutuhan dana eksternal akan sedikit berbeda. Ketika dikatatakan “ 70 persen dari kapasitas”, hal ini bermaksud bahwa level penjualan waktu ini 70 % menurut keseluruhan kapasitas

Penjualan waktu ini: Rp.1000 = 70 X Kapasitas penuh

Penjualan dengan kapasitas penuh: Rp.1000/70 = Rp.1429

Ini memberitahukan bahwa penjualan naik hampir 43 persen menurut Rp.1000 menjadi Rp.1429 sebelum sedikitpun aset permanen dibutuhkan. 

Pada skenario sebelumnya, diasumsikan bahwa penambahan aset tetapRp.450 sangat dibutuhkan. Sedangkan pada skenario yg kini , nir terdapat aset tetap yg dibutuhkan lantaran penjualan hanya diproyeksikan hanya menjadi Rp.1250 yang mana kurang menurut Rp.1429 menjadi level kapasitas penuh. Hasilnya, perkiraan awal sebesar Rp.565 dalam dana eksternal dievaluasi terlalu tinggi. Kita berasumsi bahwa Rp.450 dalam aset tetap baru diharapkan. Padahal nir ada penggunaan menurut aset baru permanen diharapkan. Sehingga bila beroperasi pada 70 % kapasitas, maka hanya memerlukan Rp.115 (Rp.565-Rp.450) pada dana eksternal.

Pendanaan dan Pertumbuhan Eksterna (External Financing and Growth) 
Kebutuhan pendanaan eksternal dan pertumbuhan bekerjasama.semakin tinggi tingkat pertumbuhan penjualan atau assets, maka semakin akbar jua pendanaan eksternal yg diperlukan. Bila pada bagian sebelumnya kita tinggal menentukan pendanaan eksternalnya saja, maka pada bagian ini kita akan mencari tahu hubungan antar kebijakan finansial serta kemampuan perusahaan untuk mendanai investasi baru serta pertumbuhannya. 

EFN serta Pertumbuhan (EFN and Growth)
Hal pertama yang wajib dilakukan adalah mengadakan interaksi antara EFN serta Growth. Untuk melakukannya kita akan menunjukan income statement singkat serta neraca menurut PT,HaLe pada table 4.6
PT,HaLe
Laporan Rugi Laba
Penjualan
 Rp.    500
Biaya
 Rp.    400
Laba kena pajak
 Rp.    100
Pajak (34%)
 Rp.      34
Laba bersih
 Rp.      66
Deviden
 Rp.      22
Tambahan Laba ditahan
 Rp.      44

PT.hale
Neraca
Asset
Kewajiban
Rp.
Percentage of Sales
Rp.
Percentage of Sales
Aset lancar
200
40persen
Total Hutang
250
n/a
Aktiva Tetap bersih
300
60persen
Modal Sendiri
250
n/a
Total Asset
500
100%
Total Kewajiban and Modal Sendiri
500
n/a


PT.hale memperkirakan level penjualan tahun depan sebanyak Rp. 600, semakin tinggi Rp. 100. Diketahui bahwa persentase kenaikan penjualan sebesar 20% maka pada tabel 4.7 mengilustrasikan dengan tingkat pertumbuhan 20%, PT.hale membutuhkan penambahan Rp.100 pada asset baru (dipercaya kapasitas penuh). Proyeksi penambahan dalam laba yg ditahan merupakan Rp. 52.8, maka EFN nya adalah Rp.100 - 52.8 = Rp.47.2
PT.hale

Pro-Forma Income Statement

Penjualan(projected)
 Rp.         600.0

Biaya (80% of Sales)
 Rp.         480.0

Laba kena pajak
 Rp.         120.0

Pajak(34%)
 Rp.           40.8

Laba bersih
 Rp.           79.dua

Devidend
 Rp.         26.4

Tambahan Laba yg ditahan
 Rp.         52.8





Neraca PT HaLe
Aset
Liabilities
Rp.
Persentase Penjualan
Rp.
Percentage Penjualan
Aset Lancar
240
40persen
Total Hutang
250
n/a
Aktiva tetap bersih
360
60persen
Modal Sendiri
302.8
n/a
Total Asset
600
100%
Total hutang and Modal Sendiri
552.8
n/a
EFN (Kebutuhan pendanaan menurut luar)
47.2
n/a
Tabel pada atas memperlihatkan EFN berdasarkan taraf pertumbuhan yang tidak selaras. Proyeksi tambahan ke Laba yang ditahan dan proyeksi ratio Hutang serta Modal Sendiri buat setiap scenario jua masih ada di tabel. Dalam menentukan rasio Hutang dan Modal Sendiri, diasumsikan bahwa dana yang dibutuhkan adalah pinjaman, serta juga berasumsi bahwa dana surplus dipakai buat melunasi hutang. Lalu untuk pertumbuhan nol, utang berkurang sebanyak Rp.44 menurut Rp.250 sebagai Rp.206.. Pertambahan asset yang dibutuhkan sama menggunakan aset asli sebesar Rp.500 dikalikan dengan taraf pertumbuhan. Tambahan ke retained earning sama dengan Rp.44 ditambah menggunakan Rp.44 dikali taraf pertumbuhan.

Untuk tingkat pertumbuhan yang nisbi rendah, PT.hale akan menjalankan surplus dan rasio Hutang dan Modal Sendirinya akan menurun. Namun taraf pertumbuhan meningkat sampai 10 %, surplus menjadi berubah defisit. Lebih lanjut, saat taraf pertumbuhan melebihi 20 persen, rasio Hutang serta Modal Sendirinya akan melewati nilai 1,0.

Kebijakan keuangan serta pertumbuhan
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, sudah dinyatakan bahwa terdapat sebuah interaksi langsung antara pertumbuhan serta pembiayaan eksternal. Dalam bagian ini, dua taraf pertumbuhan yg khususnya yg berguna dalam perencanaan jeda jauh.

Tingkat pertumbuhan internal, Tingkat Pertumbuhan pertama merupakan pertumbuhan maksimum yang dapatdiraih menggunakan tidak terdapat pembiayaan eksternal apapun. Diklaim taraf pertumbuhan internal karena ini adalah taraf perusahaan dapat mempertahankan menggunakan mengandalkan pembiayaan internal. Dalam gambar 4.1, taraf pertumbuhan internal ini diwakili sang titik mana dua garis bertemu..pada titik ini. Peningkatan penambahan aset yang diperlukan pada aset merupakan persis sama menggunakan penambahan buat dipertahankan penghasilan, serta kebutuhan pertumbuhan external ( external financing needed) merupakan nol. Hal ini terjadi saat pertumbuhan angka ini sedikit kurang berdasarkan 10 persen. Menggunakan sedikit perhitungan matematis, maka dapat didefinisikan tingkat pertumbuhan ini t =

Tingkat Pertumbuhan Internal (Internal Growth Rate) = (ROA x b)/1-ROA x b

di sini, ROA merupakan keuntungan atas aset (Return on Aset), serta b adalah ratio retensi, rasio yang melihat dana ditanamkan balik ke perusahaan.

Untuk perusahaan PT.halelaba bersihnya sebanyak Rp. 66 and total asetnya adalah Rp.500, Sehingga ROA merupakan Rp.66/Rp.500= 13.dua%. Dari Laba higienis sebesar Rp.66, Rp.44 adalah bagian laba yg ditanamkan pulang ke perusahaan, jadi plowback ratio merupakan Rp.44/Rp.66= dua/3. Dengan hasil ini, dapat menghitung Tingkat Pertumbuhan Internal (Internal Growth Rate):

Tingkat Pertumbuhan Internal (Internal Growth Rate): (ROA x b)/ 1- ROA x b

0.132x(2/tiga)/ 1- .132x (2/3) = 9.65 %

Dengan demikian, perusahaan PT.hale bisa memperluas atau ekspansi di taraf maximun 9.65 % per tahun tanpa pengeluaran pembiayaan external.

Tingkat Pertumbuhan yang sustain (Sustainable Growth Rate), Jika perusahaan PT.hale berharap buat berkembang lebih cepat dari 9,65% pertahun, maka pembiayaan eksternal wajib diatur atau diadakan. Pembahasan mengenai Tingkat Pertumbuhan yg sustain (Sustainable Growth Rate) adalah taraf pertumbuhan aporisma oleh sebuah perusahaan dengan nir terdapat pembiayaan menurut ekuitas (Modal Sendiri) tapi tetap mempertahankan rasio utang-ekuitas tersebut sama.

Untuk Tingkat Pertumbuhan yg sustain (Sustainable Growth Rate ) perushaan PT.hale adalah kira-kira 20 % karena rasio utang-ekuitas dekat 1.0 dalam tingkat pertumbuhan tadi.

Tingkat Pertumbuhan yg sustain (Sustainable Growth Rate): ( ROE x b)/ 1 – ROE x b

Perhitungan ini identik dengan tingkat pertumbuhan interna, kecuali rasio profitabilitas yang digunakan merupakan ROE bukan ROA.L 

Untuk perusahaan PT.hale, Laba bersihnya adalah Rp.66 serta totl ekuitasnya Rp.250, dengan demikian ROEnya Rp.66/Rp.250 = 26.4 %, sedangkan Plowback rationnya merupakan, b, tetap dua/3, jadi Tingkat Pertumbuhan yg sustain (Sustainable Growth Rate) menjadi berikut :

Tingkat Pertumbuhan yang sustain (Sustainable Growth Rate ) : ROE x b/ 1-ROExb

0.264x (2/tiga)/ 0.264x (dua/tiga) : 21,36persen

Dengan demikian, perusahaan PT.hale dapat memperluas usahanya atau perluasan dalam taraf maximal sebanyak 21.36 % pertahun tanpa pembiayaan ekuitas dari pihak eksternal.

Determinan berdasarkan Pertumbuhan (Determinants of Growth) 
Diketahui bahwa ROE ( Return on Equity) sanggup disusun berdasarkan aneka macam komponen menggunakan persamaan Du Pont Karena ROE sangat menonjol dalam memilih tingkat pertumbuhan yg berkelanjutan, jelas bahwa factor penting yang menentukan ROE pula penting menentukan pertumbuhan

ROE = Profit margin X Total Asset turnover X Modal Sendiri Multiplier

Disini dapat melihat, apapun yang menambah ROE akan menambah tingkat pertumbuhan yang berkelanjutan dengan cara menciptakan pembilang semakin akbar dan penyebut semakin mini . Meningkatkan plowback ratio jua akan menyebabkan imbas yang sama. Jikalau semuanya disatukan bisa diketahui bahwa kemampuan perusahaan menopang pertumbuhan menurut 4 faktor ini dia :

  1. Profit Margin : Penambahan profit margin akan menaikkan kemampuan perusahaan untuk membuat dana secara internal dan menaikkan pertumbuhan yang sustain atau dipertahankan.
  2. Devidend Policy : Pengurangan persentase laba bersih yg dibayarkan buat deviden akan menaikkan retention ratio. Hal ini akan membentuk ekuitas secara internal serta menaikkan pertumbuhan sustain atau dipertahankan.
  3. Financial Policy : Peningkatan dalam Hutang-Modal Sendiri ratio akan menaikkan leverage keuangan perusahaan. Lantaran ini membuka peluang tambahan hutang, maka tentu saja tingkat pertumbuhan yang sustain pula akan semakin tinggi.
  4. Total Asset Turnover : Peningkatan dalam total asset turnover perusahaan akan mempertinggi penjualan dihasilkan buat setiap rupiah aset. Ini akan mengurangi kebutuhan perusahaan akan aset baru sebagai akibatnya ada pertumbuhan penjualan dan bagaimanapun akan menaikkan taraf pertumbuhan yang sustain. Ingat, bahwa peningkatan total asset turnover sama saja mengurangi intensitas kapital

DASARDASAR KONSEP SISTEM INFORMASI

Dasar-dasar konsep sistem informasi
a. Defenisi & Pengertian
  • Sistem merupakan suatu jaringan kerja berdasarkan mekanisme-prosedur yang saling berafiliasi, berkumpul bersama-sama buat suatu kegiatan buat menyelesaikan suatu sasaran tertentu.
  • Informasi merupakan hasil pengolahan data yang memiliki manfaat atau belum mempunyai arti guna.
  • Data merupakan berita-fakta, asumsi, atau pendapat yang tidak atau belum mempunyai arti guna.
  • Prosedure adalah urutan berdasarkan prosedur-mekanisme yang bekerja melibatkan beberapa orang pada daam satu atau lebih departemen buat menuntaskan suatu permasaalahan.
  • Sistem Informasi merupakan jaringan kerja menurut prosedur-mekanisme yang saling berhbungan / bekerja sama buat melakukan suatu aktivitas guna menyelesaikan suatu perkara yg memeilki manfaat atau nilai guna bagi orang yg membutuhkannya.
b. Klasifikasi Sistem
Sistem dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu :
  • Sistem tak berbentuk (abstract system) dan sistem fisik. Sistem abstrak merupakan system yg tidak bisa dicermati secara fisik atau system yang berisi gagasan atau konsep. Contohnya system teologi yg berisi gagasan mengenai hubungan insan dan Tuhan. Sistem fisik adaalh system yang secara fisik bisa dilihat. Contohnya system konputer, system sekolah serta lain-lain.
  • Sistem alamiah (natural system) serta sistem protesis insan (human made system). System alamiah merupakan system yg terjadi lantaran alam. Misalnya system rapikan matahari, system sirkulasi darah pada tubuh insan. System buatan merupakan system yg dibentuk sang insan. Misalnya system komputer dan system mobil.
  • Sistem eksklusif (deterministic system) serta sistem tidak tentu (probabilistik system). System eksklusif adalah system yg operasinya dapat diprediksi secara tepat. Misalnya system komputer. Sedangkan system tak tebtu merupakan system yg nir bisa diramal menggunakan niscaya. Misalnya system persediaan serta system arisan.
  • Sistem tertutup (close system) dan sistem terbuka (open system). System tertutup merupakan system yang tidak bertukar materi, warta atau energi dengan lingkungan atau sistenm yg tidak terpengaruh oleh lingkungan. Misalnya reaksi kimia dalam tabung yang terisolasi. Sedangakan system terbuka adalah system yg terpengaruh oleh lingkungannya. Misalnya system perusahaan dagang yang terpengaruh oleh permintaan pasar.
c. Karakteristik sistem
Sistem mempunyai karakteristik atau sifat-sifat eksklusif , yaitu:
· Komponen (componens)
Terdiri menurut sejumlah yang saling berinteraksi, serta bekerja sama membentuk satu kesatuan.

· Batas Sistem (boundary)
Merupakan wilayah yang membatasi suatu sistem dengan sistem lainnya dengan lingkungan luarnya.

· Lingukungan luar sistem (environments)
Adalah apapun diluar batas menurut sistem yg menghipnotis operasi sistem.

· Penghubung (interface)
Merupakan media penghubung antara sub sistem, yg memungkinkan sumber-asal daya mengalir dari suatu subsistem ke sub sistem lainnya.

· Masukan (input)
Adalah tenaga yg dimasukkan ke dalam sistem, yg dapat berupa masukan perawatan dan masukan frekuwensi.

· Keluaran (output)
Adalah output berdasarkan energi yg diolah dan diklasifikasikan menjadi keluaran yang bermanfaat serta sisa pembuangan.

· Pengolahan (proses)
Suatu sistem yg merupakan suatu bagian pengolah yg merubah masukan sebagai keluaran.

· Sasaran (objectivitas) atau tujuan (goals)

d. Dasar – dasar liputan 
Informasi ibarat darah yang mengalir di pada tubuh suatu organisasi :

· Siklus Informasi
Data adalah bentuk yg masih mentah yg belum dapat bercerta poly, sehingga perlu diolah lebih lanjut. Data diolah melalui suatu contoh untuk didapatkan kabar.

Informasi yg ada diperlukan sebagai dasar pertimbangan para pengelola organisasi dalam merogoh keputusan manajerial strategis.
  1. Data (ditangkap) / pengumpulan data
  2. Input
  3. Pengolahan data (proses)
  4. Output / Informasi
  5. Penerima / Distribusi
  6. Keputusan
  7. Hasil Tindakan
· Kualitas Informasi
Kualitas keterangan tergantung pada 3 hal, yaitu:
  1. Akuratà bebas berdasarkan kesalahan
  2. Tepat waktuà inormasi tidak boleh terlambat
  3. Relevanàmemiliki manfaat buat pemakainya

Selain tiga hal diatas kualitas informasi pula ditentukan oleh:
  • Informasi tadi bisa dipercaya
  • Ekonomis
  • Efisien
· Nilai Informasi
Nilai menurut liputan (value of infromation) dipengaruhi dari dua hal, yaitu :
  • manfaat
  • Biaya
Informasi dikatakan bernilai apabila manfaatnya lebih efektif dibandingkan menggunakan porto mendapatkannya, selain itu pula dapat diukur dengan evektifitasnya. Pengukuran nilai fakta umumnya dihubungkan menggunakan analisis cost, efectivitas atau cost benefit.

Konsep sistem Informasi
a. Komponen Sistem Informasi
Sistem kabar terdiri berdasarkan blok-blok atau komponen-komponen , yaitu:
  • Blok Hardware, mencakup piranti-piranti fisik seperti personal komputer dan printer.
  • Blok Software (acara), sekumpulan instruksi yang memungkinkan hardware buat dapat memproses data.
  • Blok Brainware, seluruh orang yg bertanggung jawab pada pengembangan system liputan, pemprosesan dan penggunaan keluaran system fakta.
  • Blok Basis Data (database), gugusan table, interaksi dan lain-lain yang berkaitan menggunakan penyimpanan data.
  • Blok Jaringan personal komputer & komunikasi Data, system penghubung yang memungkinkan asal dipakai secara bersama atau diakses oleh sejumlah pemakai.
  • Prosedur, sekumpulan aturan yg dipakai untuk mewujudkan pemprosesan serta pembangkitan keluaran yang dikehendaki


b. Tingkatan sistem Informasi
Beberapa jenis sistem kabar berbasis TI yang dikembangkan berdasarkan lini manajerial. Masing-masing dari SI tersebut mempunyai fungsi dan manfaat bagi tiap strata manajerial. Adapun tingkatan SI tersebut adalah:
  • Sistem Pemrosesan Transaksi, merupakan output perkembangan menurut pembentukan tempat kerja elektronik, dimana sebagian berdasarkan pekerjaan rutin diotomatisasi termasuk buat pemprosesan transaksi. Pada system ini data yang dimasukkan merupakan data-data transaksi yg terjadi.
  • Sistem Informasi Manajemen (SIM), SIM adalah sebuah kelengkapan pengelolaan menurut proses-proses yg yang menyediakan berita buat manajer guna mendukung operasi-operasi serta pembuatan keputusan pada sebuah organisasi.
  • Sistem penunjang keputusan (SPK), merupakan peningkatan berdasarkan SIM dengan penyediaan mekanisme-mekanisme khusus dan pemodelan yang unik yang akan membantu manajer pada memperoleh alternatif-alternatif keputusan.
  • Sistem Informasi e-busines, dibangun untuk menjawab tantangan pengintegrasian data serta warta menurut proses usaha berbasis internet.
c. Perkembangan sistem Informasi
Pada mulanya SI dipakai buat meningkatkan kualitas manajerial, sehingga tak jarang dianggap SIM yg lalu dikembangkan terus seiring dengan perkembangan TI, adapaun tahapan perkembangan tadi adalah

1. Sistem Informasi Tradisional
SI dioperasikan dan dikelola secara semi manual. SI ini beroperasi secara lambat, sehingga sering pimpinan mengambil keputusan hanya menurut data asumsi atau perkiraan. Disamping itu keakuratan liputan yg didapatkan pula masih diragukan. Kondisi ini akan menjadikan tidak baik terhadap perkembangan perusaaan. 

2. Sistem Informasi Berbasis Komputer.
Adalah SI yang menggunakan teknologi komputer. Keuntungan utama menurut teknologi ini adalah waktu buat membentuk kabar lebih singkat sebagai akibatnya menghasilkan fakta menggunakan tingkat keakuratan yg lebih tinggi.

3. Sistem Informasi Berbasis Jaringan Perkantoran.
Melalui Sistem Informasi Berbasis Jaringan Perkantoran ini transaksi dapat dilakukan pada aneka macam tempat yg tidak sinkron menggunakan sentra pengolahan datanya. Perusahaan dimungkinkan untuk membuka sejumlah loka transaksi sehingga bisa mempertinggi profit pada jumlah yg sangat besar .

4. Sistem Informasi Lintas Platform
System ini adalah gabungan antara teknologi keterangan serta teknologi komunikasi data. Dqalam perkembangan selanjutnya lahirlah sebuah teknolgi internet yg dapat menghubungkan personal komputer pada semua dunia. 

Terdapat empat test buat mengungkapkan sebuah pesan yang khusus dalam keterangan, yaitu:
1. Kepada siapa berita ditujukan?
2. Untuk keputusan apa warta ditujukan?
3. Sejauh mana keterangan dapat dipakai buat mendeteksi serta memecahkan masalah?

d. Analisa system
Untuk mencapai tujuan dari sistem diperlukan 3 perangkat atau indera bantu, yaitu:
  • Hardware
  • Software
  • Brainware
Brainware atau perangkat manusia dapt berupa manaejer, analais sistem, programmer serta sebagainya.

e. Sistem Analis
  • Pengertian
  • sistem analis merupakan seseorang yg mempunyai kemampuan buat menganalisa sistem.
  • Sistem analais adalah seseorang yg memiliki pengetahuan mengenai aplikasi komputer yg digunakan buat memecahkan kasus usaha serta perkara-kasus yg lainnya.
  • Sistem analis merupakan seorang yg mempunyai kemampuan untuk menentukan alternatif pemecahan kasus yang paling sempurna.
  • Sistem analis merupakan seseorang yg memiliki kemampuan buat merencanakan serta menerapkan rancangan sistemnya sesuai dengan permasaalahan yg terjadi.
Tugas Analis Sistem
Tugas-tugas generik yg dilakukan oleh seseorang analis sistem adalah:
  • mengumpulkan serta menganalisa segala dokumen-dokumen, arsip-file, formulir-formulir, yang digunakan dalam sistem yg telah berjalan.
  • Menyusun laporan dari sistem yg sudah berjalan serta mengevaluasi kekurangan-kekurangan apa saja yang ada pada sistem tersebut pada pemakai sistem.
  • Merancang perbaikan-pemugaran dalam sistem tadi serta menyusun sistem batu.
  • Menganalisa serta menyusun perkiraan biaya yang diperlukan buat sistem baru.
  • Mengawasi segala kegiatan yang ada terutama berkaitan dengan penerapan sistem yang baru.
f. Manfaat Sistem Informasi
Sistem warta mempunyai berbagai manfaat, diantaranya :
  • Organisasi memakai sistem warta untuk memasak transaksi-transaksi, mengurangi biaya serta membuat penda
  • patan sebagai salah satu produk atau pelayanan mereka.
  • perusahaan memakai sistem kabar buat mempertahankan persediaan dalam taraf paling rendah supaya konsisten menggunakan jenis barang yang tersedia.
Sistem Informasi Berbasis Komputer (SIBK)
Sistem liputan berbasiskan personal komputer (SIBK) atau Computere Base Information System (CBIS) merupakan sistem Informasi yg menggunakan serta memanfaatkan kemampuan personal komputer dalam melaksanakan tugas guna pencapaian tujuan sebuah SI.

a. Konsep Dasar SIBK
Tugas–tugas yg dilakukan komputer dianggap aplikasi. Istilah sistem seringkali dipakai. Pada awalnya, satu-satunya pelaksanaan koputer merupakan pengolahan data. Komputer dikenal sebagai peralatan yg bisa membuat berita untuk pengambilan keputusan manajemen.

Usaha awal buat menerapkan personal komputer pada areal bisnis terfocus pada data. Pendekatan dilakukan dalam masalah warta serta pendukung keputusan. Dan sekarang ini pemfokusan diarahkan pada komunikasi serta konsultasi

Evolusi SIBK
  • fokus dalam data
  • fokus baru dalam kabar 
  • fokus kini pada komunikasi
  • fokus dalam komunikasi
b. Model SIBK

c. Pemakai SIBK
Pemakai SIBK terdiri atas tiga, yaitu:
  • para manajer
  • non manajer
  • orang-orang dan organisasi lingkungan perusahaan
d. Sub sistem SIBK
Macam2 Sistem Informasi Berbasiskan Komputer
1. Sistem Informasi Akuntansi (SIA)
2. Sistem Penunjang Keputusan (SPK)
3. Sistem Informasi Manajemen (SIM)
4. Otomatisasi Kantor (OA)
5. Sistem Pakar (SP)

1. Sistem Informasi Akuntansi (SIA)
yaitu: Suatu sistem fakta yg melakukan proses pengumpulan data dan pengolahan /pemprosesan data-data transaksi keuangan perusahaan yang bersifat historis.

Ciri-2 / Karakhteristik SIA :
• Melaksanakan tugas yg diperlukan
• Menggunakan mekanisme yang standart
• Menangani data yg rinci
• Berfocus dalam histori
• Menyadiakan warta pemecah masalah

Tugas pengolahan data :
• Pengumpulan data
• Manipulasi data (pengklasifikasian,penyortiran,penghitungan,pengikhtisaran)
• Penyimpanan data
• Penyiapan dokumen

Laporan / warta yang didapatkan SIA :
• Jurnal L/R
• Jurnal Umum
• Neraca Saldo.
• Dll

2. Sistem Penunjang Keputusan (SPK)
Sistem penunjang keputusan merupakan :
Suatu sistem warta yang membantu pihak manajemen dalam melakukan penyelesaian masalah yg bersifat semi terstruktur.

Ciri-dua /Karakteristik SPK :
• Menyelesaikan Maslah semi terstruktur
• Analisa canggih
• Sistemnya friendly dengan user

3. Sistem Informasi Manajemen (SIM)
Penerapan system berita dalam suatu organisasi. Pembahasan lebih detailnya dalam mata kuliah Sistem Infoirmasi Manajemen. 

4. Otomatisasi Kantor 
Otomatisasi tempat kerja yaitu :
Pengoptimalan kemampuan personal komputer dalam melaksanakan pekerjaan dalam suatu kantor.

Ciri-dua otomatisasi tempat kerja :
  • Segala hal yg berbau kertas dirubah ke pada bentuk file
  • Efisien
Ruang lingkup Otomatisasi Kantor :
• e-mail * Audio conference
• Voice mail * Faximili
• Video converence * d l l
• Video text
• Pencitraan

PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK KOMPETENSI MANAJERIAL KAPASITAS POLITIK

Paradigma Administrasi Publik, Kompetensi Manajerial, Kapasitas Politik
Dunia yg terus berubah memunculkan beragam tantangan bagi organisasi, apapun bentuk dan wujud organisasi tadi. Meski sebagian besar berita bukan hal baru, konteks lingkungan yang berubah tetap menuntut sebuah tindak perlakuan organisasional sesuai konteks kekinian. Dalam sejarah panjang pergumulan teori serta praktik yg berkaitan menggunakan kehidupan organisasi, kepemimpinan telah mencatatkan diri sebagai info organisasional yg terus inheren dan memancing diskursus terkait tantangan-tantangan kepemimpinan yang efektif menggunakan konteks lingkungan yg terdapat. Kepemimpinan serasa sebagai kunci sukses organisasi dalam sebuah proses kontestasi yang ketat. Potret organisasi dengan segala ciri serta kapasitas yang teraktualisasi tidak lain adalah produk yg dapat diidentikkan menggunakan kapasitas kepemimpinan (bukan sekedar pemimpin).

Mendiskusikan kepemimpinan sektor publik sepertinya tidak kalah menariknya (pada beberapa dimensi bahkan jauh lebih menarik) dibanding perdebatan konseptual maupun mudah kepemimpinan private sector. Apabila seorang pemimpin perusahaan secara penuh sanggup mendasarkan perilaku atau aktivitas organisasi semata-mata dalam perhitungan konkrit efektivitas serta efisiensi organisasi sehingga hiegenis menurut sebuah proses tekanan, kompromi dan persekongkolan dan itu bisa menggunakan mudah ditularkan pada seluruh anggota organisasi yg jua berkepentingan terhadap efektivitas serta efisiensi nir demikian halnya dengan kepemimpinan di sektor publik. Dalam kasus tertentu, meskipun perhitungan efisiensi sudah merekomendasikan tindakan konkret yg harus diambil, tidak jarang pemimpin sektor publik justru dipaksa atau mungkin jua memaksakan diri buat merogoh tindakan yang berlawanan menggunakan pilihan yang rasional-efisien. Tarik ulur serta hegemoni politik menambah ketidakpastian (uncertainty) bagaimana seorang pemimpin harus bertindak serta merogoh suatu keputusan eksklusif lantaran dalam nyatanya tekanan-tekanan kekuatan politik mampu saja menegasikan koridor-koridor etik dan legal dari suatu keputusan yang dibentuk. Menariknya lagi, tekanan-tekanan dan intervensi politik tak jarang nir muncul pada bentuk yang nyata serta terbenam di pada sebuah konspirasi yg rapi dan kompleks. Dalam syarat demikian pilihan rasional mampu menjadi nir rasional buat dipilih dan kebalikannya pilihan yang tidak rasional justru bisa sebagai pilihan terbaik buat diambil. Keputusan yg terbaik buat rakyat tidak selalu mempunyai akal pembenaran yang linear bagi kekuatan-kekuatan politik yang terus bersaing memberi dampak dalam public administrator’s top leader. Para elite administrasi negara pada strata eksekutif seringkali lebih terpesona serta tertarik memakai instrumen politik untuk menyelesaikan dilema masyarakat. Persoalan administrasi disulap menjadi sekedar dilema politik, sebagai akibatnya pembuatan suatu kebijakan, pelaksanaan suatu program nir bisa menemukan bentuknya menjadi instrumen yg memang sanggup bekerja dan menyelesaikan kasus publik. Kebijakan serta program acapkali hanya menjadi instrumen ajang administrasi negara melakukan ”dramaturgi” politik sekedar buat menarik simpati serta membangun status quo, ataupun memperkuat koalisi sempit antar partai yg berujung dengan orgasme politik partisanship. Celakanya, dramaturgi politik oleh administrator negara, dalam banyak hal sudah memakan korban kemampuan manajerial serta teknis birokrasi pemerintah. 

Lalu, apakah pendekatan kepemimpinan semacam ini dapat terus dipertahankan oleh seorang administrator ? Dalam tataran yg lebih luas pertanyaan tersebut bisa diperpanjang dengan pertanyaan bagaimana seseorang administrator negara seharusnya memimpin di tengah arus deras perubahan lingkungan sektor publik? Haruskah ia terjebak pada pragmatisme politik sehingga melupakan bahwa administrasi juga mempunyai sejumlah tantangan yg harus dijawab dengan kemampuan manajerial, yg mengedepankan knowledge dan mempertemukan rasionalitas tindakan dengan real persoalan yang terdapat? Akal berpikirnya merupakan dilema administrasi tidak akan terselesaikan begitu saja hanya dengan kemampuan administrasi negara menampilkan kemampuan politiknya misalnya, menekan, menggiring opini, mencari simpati, melakukan pencitraan.

Sebaliknya, jikalau dirasa pendekatan politik telah memandulkan kompetensi teknis administrasi negara pada memecahkan kasus publik, apakah lantas kepemimpinan administrasi negara wajib mengasingkan diri berdasarkan ”zona” politik serta wajib berkonsentrasi secara penuh pada pencarian rasionalitas administratif dari putusan-putusan politik yg sudah dibuat sang lembaga lain yg adalah lembaga politik ? Dalam tingkatan yang relatif dikatakan ekstreem, akankah kita balik dalam reproduksi konsep ideal weber dengan mengadaptasikan konsep birokrasi ke pada level eksekutif pemerintahan ? 

bagi sebagian pemikir hal tersebut bukanlah pilihan lantaran tindakan politis administrasi negara merupakan suatu keniscayaan serta kewajaran lantaran top eksekutif administrasi merupakan jelas adalah jabatan dengan proses rekuitmen politis

Kontroversi yg melibatkan hubungan pendekatan serta penggunaan kekuasaan politik dengan pendekatan yang mengedepankan kinerja menurut kapasitas manajerial, dalam dasarnya (kembali) menyeret kita pada suatu episode historis paradigmatik yang memperdebatkan interaksi politik dan administrasi. 

Tulisan ini berusaha menggambarkan dan memaparkan konstruksi ilham kepemimpinan sektor publik atau administrasi negara dengan menelaah balik struktur rekanan politik serta administrasi secara paradigmatik.

Relasi Politik serta Administrasi Dalam Tinjauan Paradigmatik
Dalam sejarah kelahiran dan evolusi ilmu administrasi publik, perdebatan tentang struktur dan konfigurasi relasi politik serta administrasi sebagai tema tak pernah mati yang bahkan sampai dewasa ini belum menerima konvensi final. Dalam setiap kerangka berpikir yg berkembang, relasi politik dan administrasi selalu menerima tempat tersendiri untuk didiskusikan. Tidak berlebihan, bila perdebatan tersebut kemudian menjadi ide-ilham konstruktif yang melahirkan paradigma-kerangka berpikir eksklusif.

Ketika ilmu administrasi masih pada fase embrio, praktek penyelenggaraan pemerintahan yang menginteraksikan politik dan administrasi pun telah jamak terjadi. Sebut saja pada negeri yang melahirkan ilmu administrasi publik, USA, ketika Andrew Jackson (melahirkan Jacksonian) menjadi top administrator. Jackson secara konsepsional menyepakati dilakukannya separation of power berdasarkan ajaran trias politica. Kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif serta yudikatif. Logika berpikir tadi menempatkan kekuasaan eksekutif bersifat administratif yang menjalankan keputusan-keputusan politis. Tetapi demikian dalam prakteknya, Jackson justru menjadikan wilayah eksekutif menjadi arena kekuasaan politiknya. Dengan kekuatan tadi Jackson mulai berorientasi melebarkan dominasinya melalui pemenangan-pemenangan strategis kepentingan politiknya nir terbatas dalam domain eksekutif, namun juga pada domain birokrasi, legislatif dan yudikatif. Di aneka macam unit kekuasaan tadi, Jackson banyak menempatkan, merekrut dan menggalang orang-orang yang ditinjau bisa memperkuat kekuatan politiknya dan sanggup menghadang versus politiknya. Koneksi politik demikian menggerogoti eksekutif serta birokrasinya yg menjadi sangat partisanship.

Ketika masa berganti, woodrow wilson, pula menyoroti secara khusus relasi politik dan administrasi. Bahkan pemikiran wilson berstatus fundamental bagi kelahiran ilmu administrasi. Pemikirannya menolak ajaran trichotomi serta menegaskan perlunya dilakukan dichotomi antara politik serta administrasi. Wilson menginginkan pemerintahan dijalankan dengan ilmu, gaya, pemikiran, pendekatan, praktek dan tindakan administrasi bukan tindakan politik. Menggerakkan roda pemerintahan tidak ubahnya misalnya menjalankan organisasi-organisasi bisnis di mana efektivitas, efisiensi, managerial skill sebagai titik tekannya. Dalam essaynya, wilson menyampaikan, ”…Administration is the most obvious part of government, it is government in action, it is the executive, the operative, the most visible of government….administration is the activity of the state in individual and small things, the province of the technical official…..”

Wilson mendapat dukungan luas dalam masa itu bahkan menjadi pemikiran tunggal yang mendominasi periode awal perkembangan ilmu administrasi. Munculnya buku text pertama dalam ilmu administrasi publik, Introduction to the study of public administration karya Leonard D. White, balik memberi fokus akan pentingnya fungsi manajerial dalam administrasi publik. Leonard D. White mendefinisikan public administration Definisi tadi secara jelas benderang menampakan bahwa kegiatan administrasi publik adalah aktivitas manajemen, yakni execution, bukan aktivitas politik sekalipun D.white mengakui bahkan mensyaratkan bahwa buat melakonkan kiprah tadi administrasi publik harus berinteraksi menggunakan kegiatan dari political branch (satu hal yg dalam hal tertentu pula diakui oleh Wilson).

Ketika kerangka berpikir administrasi terus berkembang, tampaknya perdebatan akademik seputar rekanan politik dan administrasi tak kunjung surut. Setelah mengalami arus balik dalam paradigma ke-3 Nicholas Henry (administrasi publik menjadi ilmu politik), administrasi publik cenderung sebagai ilmu serta praktik yang bebas nilai dan menjauh dari hingar bingar politik buat lalu lebih fokus pada persoalan-dilema organisasi. Gerakan yg cukup revolusioner menggunakan label New Public Administration Movement dalam akhir dekade 1960-an kembali melakukan gugatan terhadap netralitas administrasi publik yg sepertinya tidak memberikan donasi terhadap banyak sekali pertarungan kenegaraan dan kemasyarakatan yg muncul pasca perang dunia. Administrasi publik balik dipaksa masuk pada ranah politik di mana beliau wajib memiliki set of value, ethic dan kekuatan moral. Pemilihan nilai, alokasi nilai serta keberpihakan dalam moral tertentu adalah proses yang cenderung lebih dekat dengan kegiatan politik. Semua atribut tersebut harus teraktualisasi pada produk kebijakan yg terdapat. Untuk menggaransinya, maka administrasi publik jua dituntut berperan nir saja dalam policy implementation melainkan juga pada proses policy formulation. Administrasi publik pun semakin kental dengan proses dan aktivitas politik. Pertanyaan-pertanyaan moral serta social equity selalu mengikuti tindakan administrasi buat memberi koridor sah bagi kegiatan politik administrasi publik.

Sebagai periode transisi pergeseran antara classic public and contemporer public administration, gerakan new public administration tampaknya pula nir sepenuhnya memuaskan banyak pihak. Lambannya dan inefisiensi tindakan administrasi karena penguasaan peran dan luasnya lapangan yang wajib dicakup sebagai akibat konsep welfare state, mendorong para pakar dan praktisi mereposisi peran administrasi dengan pendekatan-pendekatan yang based on managerialism dalam dasa warsa 1980-1990an. Arus balik serta gelombang pemikiran yg menekankan pada pendekatan-pendekatan manajerial, pulang menghinggapi administrasi publik. Gaya dan perilaku politik yg dilakonkan ”top public administrator” dipandang hanya mereduksi serta memandulkan kapasitas pencapaian efektivitas serta efisiensi administrasi publik.

Paradigma governance, yang sepertinya waktu ini sebagai mufakat ilmiah belum pasti, pula nir mampu melepaskan diri dari perdebatan panjang pola rekanan administrasi (manajerial) serta politik. Sebagai pakar lebih memandang governance berdasarkan sisi politik dengan mengkaitkannya dengan konsep-konsep demokrasi, deliberative public administration, atau juga civil society. Sebagian yg lain lebih memahaminya serta mensyaratkan keluarnya model-model teknis networking bagi bekerjanya governance. Governance bukan hanya nilai untuk mendudukan aktor non pemerintah secara selaras, namun juga menkonstruksikan bagaimana model teknis yang tepat buat mendudukan aktor tersebut. So, governance is just not only political comitment but also managerial knowledge making it works.

Telaah menurut aneka macam uraian tersebut di atas memberitahuakn bahwa rekanan politik serta administrasi menurut tindakan administrasi public adalah perdebatan panjang yg bahkan selalu hadir dalam kerangka berpikir administrasi yang berkembang. Pada satu sisi, timbul harapan buat mengakibatkan administrasi public menjadi management based activity. Pandangan dalam sisi yang lain menghendaki perilaku politik menurut sosok administrasi publik.


Relasi Politik-Administrasi serta Problematika Kepemimpinan
Pasang surut konfigurasi rekanan politik dan administrasi bukan sekedar empiris akademik melainkan pula sebagai potret bergerak maju administrasi publik pada tataran empirik. Konstruksi ideal kepemimpinan administrasi publik segera menjadi pertanyaan besar yang timbul, ”bagaimana kepemimpinan administrasi publik harus dilakonkan ? Politik ataukah administratif-manajerial yang harus dipilih ? Dalam nyatanya banyak pandangan yg nir secara eksplisit memperlihatkan satu pilihan menggunakan menolak pilihan yang lain. Paparan Rosenbloom (....) pula mengungkap bahwa administrasi merupakan integralisasi pemahaman berdasarkan tiga pendekatan yg memiliki konsepsi dan konstruksi nilai yg tidak sama, yakni politik, manajemen, serta sah context. 

Dengan begitu pertanyaan yang harus dijawab merupakan, ”kalaupun keduanya harus dipilih, bagaimana konfigurasi idealnya?

Menjawab pertanyaan tadi, poly pandangan yang lantas mengaitkannya dengan level administrasi yg ada. Kumorotomo (.....) menjelaskan bahwa level administrasi bisa dipahami mengikuti jenjang top administrator, midle of administration serta lower administration level. Kepemimpinan administrasi Negara dalam level top executive lebih adalah wilayah politik karena keberadaan dan keabsahannya dilakukan melalui proses politik. Jabatan serta lingkup pekerjaannya pun dicermati adalah political action, misalnya misalnya artikulasi kepentingan publik, perumusan atau pembuatan kebijakan. Dalam level tadi, top administrator dimaklumi bahkan dituntut bertindak layaknya seorang politisi menggunakan menggunakan aneka macam sumber otoritas politiknya.

Politik tetap sebagai bukti diri tindakan administrasi lantaran memang sebagian administrator level executive dibentuk melalui pilihan-pilihan pada sebuah proses rekruitmen politik. Dengan jabatan yang didudukinya secara politik, maka jelas pemimpin administrasi juga menjalankan tugas-tugasnya dengan pendekatan politik. Pemahaman proses perumusan kebijakan sebagai proses politik menguatkan pembenaran tindakan politik administrasi publik yg tentunya tidak relevan lagi untuk diperdebatkan sepanjang fungsi perumusan kebijakan inheren dalam administrasi publik. Dengan posisi tersebut, administrasi publik merupakan collective political actors yg memungkinkan sekali melakukan identifikasi masalah serta konstruksi kebijakan berdasarkan skenario-skenario, manuver-manuver politik entitas yg partisan. Entitas yang dimaksud dalam hal ini merupakan entitas gerombolan dan kekuatan politik yg membangun administrasi publik yg bisa berupa single mayority ataupun strong coalicy. Pemimpin administrasi publik merupakan pemimpin atas seluruh kegiatan politik tadi di dalam tubuh administrasi publik.

Lantas, bagaimana dengan tuntutan kepemimpinan administrasi publik yang lebih menunjuk dalam kapasitas manajerial dan profesional, yg menuntaskan kasus menggunakan knowledge nir menggunakan perundingan politik? Tawaran teoritik yang ada adalah dengan meletakkan permasalahan manajerial menjadi permasalahan yang lebih berada dalam level middle administration yang lalu secara technical dioperasionalkan oleh lower administration. Dalam pandangan Kumorotomo (.....), dengan memetakan duduk perkara relasi politik dan administrasi ke dalam jenjang hierakhis administrasi, perdebatan politik dan administrasi pada kepemimpinan administrasi publik dipandang terselesaikan serta terpecahkan. Identitas aktivitas politik dan administrasi permanen dapat dipertahankan buat merepresentasikan sosok administrator publik. Dikotomi politik dan administrasi dicermati telah terkubur dalam tumpukkan sejarah pemikiran administrasi. 

Pandangan lain yg senada juga telah menduga final bahwa tindakan dan perilaku politik berdasarkan administrasi publik adalah suatu pandangan final. Tidak terdapat yg keliru dengan tindakan dan pendekatan politis administrasi publik serta managerial competency ditempatkan pada second level dalam sebuah struktur piramida administrasi publik yang berarti juga menghambakan diri dalam politik (politic as a god for administrator activity). Benarkah konfigurasi ini ideal dan menjadi pilihan yg tidak tergugat ?

Bagi penulis, terdapat sederetan fakta serta argumen yg menyajikan aneka macam kekhawatiran jika administrasi (baca: pendekatan manajerial) memang benar-benar hanya menjadi second activity dan yang hanya menempati second level berdasarkan aktivitas politik di pada tubuh administrasi negara. Alangkah naifnya bila manuver politik apapun dari administrator negara mendapat pemakluman hanya lantaran jabatan mereka yang diperoleh melalui prosedur politik. Dalam bagian-bagian tertentu, barangkali dalam bagian terbesar, aktivitas-kegiatan administrator negara level eksekutif (presiden serta kabinet) merupakan perpaduan pekerjaan yg harus diselesaikan dengan knowledge, menggunakan kompetensi, dengan kapasitas pengumpulan dan analisis data, menggunakan kemampuan menangkap evidence, nir sekedar dengan tindakan yg lebih poly dilakukan melalui perhitungan untung rugi berdasarkan realitas afiliasi politis. Tekanan berlebihan pada pilihan pendekatan politik hanya akan membentuk administrasi negara yg pintar bersilat lidah, provokatif, sok kuasa, cermat memainkan suasana batin serta perhatian publik, pintar meredam amarah publik tanpa merampungkan perkara yang sesungguhnya. Administrasi negara hanya mementingkan image kekuasaannya tanpa kapasitas riil menggunakannya. 

Menjadi sesuatu yang sangat krusial buat nir meletakkan masalah-masalah manajerial menjadi masalah birokrasi belaka. Level eksekutif dalam porsi yang nir bisa dikatakan mini juga wajib memiliki serta memakai kemampuan manajerial. Ketika fungsi manajerial dipercaya hanya sebagai tanggung jawab birokrasi, sementara political frame menjadi kredo tunggal bagi level eksekutif pemerintah maka yg terjadi adalah profesionalisasi yg berlangsung pada tubuh birokrasi pada satu sisi nir akan poly memberi manfaat dan pengaruh bagi pemugaran kinerja sektor publik yg lalu memungkinkan aspek profesionalitas nir menjadi sesuatu yang dianggap krusial serta dalam sisi yg lain akan menciptakan ketergantungan yang hiperbola dan kerentanan birokrasi buat mengalami politisasi sang pemerintah (mengalami tindak perlakukan organisasional sinkron pragmatisme kepentingan politik pemerintah). Dalam konteks yang demikian, administrasi negara telah begitu rentan serta parah terinfeksi penyakit-penyakit politik partisan.

Tuntutan-tuntutan profesionalisme selama ini terkesan galat alamat ketika hanya ditujukan pada birokrasi semata. Tanpa ditekan sedemikian rupa, sebenarnya birokrasi memang berdasarkan konsep idealnya mempunyai kesamaan ilmiah karena memang tugas primer mereka adalah public service dengan metode yg sebaik mungkin. Birokrasi sebagai nir profesional serta tidak netral waktu kepentingan-kepentingan politik pemerintah terus mendapat ruang ekspansif dan sudah demikian dalam mengintervensi netralitas birokrasi itu sendiri. 

Kembali ke utama persoalan, pemerintah nir sanggup dibiarkan begitu saja dan dibenarkan sepenuhnya jika merogoh sebuah tindakan hanya dengan pertimbangan-pertimbangan politik. Sungguhpun proses penentuhan pilihan tadi merupakan proses politik, namun pendekatan manajerial menggunakan perhitungan rasional yg kentara jua harus menjadi dasar yg menyertai proses pembuatan kebijakan tersebut. Melaksanakan pekerjaan politik tidak selalu harus menggunakan cara-cara serta pendekatan politik. Memilih menteri pada penyusunan kabinet adalah hak prerogatif politis presiden, tetapi bukan berarti harus menggeser pertimbangan-pertimbangan rasional yang mengedepankan kemampuan, kompetensi, kecakapan, kredibelitas. Tingkat pemenuhan tuntutan aspek manajerial dalam gilirannya juga akan memberi efek pada kepercayaan politik rakyat. Dengan kata lain, tuntutan politis sebenarnya akan terpenuhi saat kapasitas manajerial dioptimalkan secara profesional.

Secara konseptual serta teoritik, ilham serta gagasan tadi mungkin dianggap sebuah keganjilan lantaran mengangkat balik gosip dikotomi politik dan administrasi yang tampaknya bagi sebagian besar kalangan dipercaya telah terkubur. Atau mungkin pandangan baru tersebut dicermati utopis lantaran membangkitkan pulang pemikiran kaum orthodoxy yang secara ekstrem melimitasi pengaruh politik dalam administrasi publik. Meski dipandang ”aneh” atau bahkan tidak relevan, reduksi penggunaan pendekatan politis atau setidaknya penyeimbangan kemampuan politis dan manajerial bagi kepemimpinan administrasi negara pada masa mendatang justru akan poly menjadi kunci kemampuan kepemimpinan sektor publik menjawab perkara-perkara mudah warga .

Konsep-konsep serta kajian teoritik tentang teknologi administrasi (meminjam kata Islamy, ...) menunjukkan kesamaan banyaknya instrumen konseptual yg bisa dipakai buat menaikkan performance sektor publik menurut sisi manajerial tanpa harus menghambakan (serta sekaligus mengabaikan) diri secara total dalam proses politik. Sektor publik dimaksud tidak dapat dipahami secara sempit menjadi domain birokrasi melainkan jua administrasi negara secara luas yg pada hal ini termasuk jua pemerintah (top level public administrator). Bahkan, top level public administrator inilah sebenarnya titik kritis yg wajib secara revolutif direformasi, bukan birokrasi semata. Tawaran paradigmatik dari Osborne serta Gebler (....) tentang Reinventing Government,....secara jelas meletakkan pemerintah menjadi lokus dan fokus upaya reformasi, tetapi demikian patut disayangkan sering pemikiran tadi mengalami reduksi bahkan distorsi buat secara sempit sekedar diarahkan hanya dalam birokrasi, bukan pemerintah yang semestinya.

Seringkali yg terjadi pada konteks akademik maupun simpel, reformasi sektor publik diselewengkan dan direduksi hanya pada level birokrasi, contohnya menggunakan marak keluarnya istilah-istilah reformasi birokrasi, penemuan birokrasi, kewirausahaan birokrasi. Tentu hal tadi nir galat, tetapi jelas reformasi administrasi publik membutuhkan ranah dan domain yang lebih luas berdasarkan hal tadi dan lebih sebagai inti dari dilema yg sesungguhnya.

Birokrasi, buat poly hal, harus rela sebagai target tembak sebagai biang kegagalan sektor publik. Padahal di sisi lain, banyak berita menunjukan bahwa ketidakberdayaan birokrasi merupakan bersumber dalam praktik politisasi pemerintah (level eksekutif) yang nir cakap.

Ketakutan Berlebihan Pada pendekatan Manajerial
Disadari sepenuhnya bahwa pemikiran yg memandang administrasi publik juga menjadi proses aktivitas politik adalah mainstream yg tampaknya semakin menguat semenjak kritik tajam meruntuhkan kalangan orthodox sekitar tahun 1940an ataupun sebagaimana pula kritik atas new public management. Gugatan pemikiran pada goresan pena ini juga tidak dimaksudkan buat melucuti eksitensi pendekatan politik. Namun penguasaan politik yang tidak disertai dengan kecakapan manajerial sosok administrator publik, jelas sebagai bala besar bagi kinerja administrasi publik. 

Celakanya, kondisi itulah yg ketika ini tergambar kentara menurut potret wajah administrator publik, khususnya pada Indonesia. Banyak model menampakan betapa pemerintah (Presiden serta kabinetnya) banyak menghadapi dan berusaha menuntaskan masalah administrasi publik hanya menggunakan cara-cara politik serta diorientasikan buat kepentingan politik penguasa. 

Penanganan terorisme dipolitisasi, pemberantasan korupsi diseleksi sinkron kepentingan politik, penanganan pengemplang pajak negara pasang surut sinkron tingkat kemesraan partai koalisi, pengguliran acara pembangunan digunakan sebagai alat kenaikan pangkat politik, bahkan hingga penanganan bencana pula nir luput digunakan senjata politik buat mendukung ataupun menyerang lawan politik merupakan formasi panjang bukti dominanya penggunaan cara serta pendekatan politik oleh administrasi publik. 

Padahal di sisi lain, dilema-problem tadi adalah duduk perkara yg wajib diselesaikan administrasi publik dengan tuntutan kapasitas manajerial yg dari saat ke saat semakin akbar.

Ketika budaya politik atau lebih khususnya perilaku politik demokrasi belum sepenuhnya terbangun, ad interim di sisi lain top administrator lebih tertarik menggunakannya ketimbang pertimbangan rationalitas, maka banyak dilema negara yang hanya akan menjadi obyek kompromi, perundingan , dan ”deal-deal” politik tanpa hasrat buat sahih-benar menyelesaikannya menjadi sebuah masalah. 

Di waktu politik sendiri belum mampu mendewasakan kinerja demokrasi yang diusungnya, sepertinya administrasi wajib bersikap lain berdasarkan sekedar sebagai kepanjangan tangan penguasa politik. Administrator publik, bahkan yang terpilih melalui proses politik, absolut harus menyeimbangkan kekuatan politiknya menggunakan kecakapan manajerial. Penggunaan instrumen politik buat memecahkan semua masalah pemerintahan, justru akan kontraproduksi bagi kinerja secara keseluruhan administrasi publik. Tentu kesepahaman seperti dimaksud akan terbangun jika kita terlebih dahulu putusan bulat memahami administrasi negara tidak hanya urusan birokrasi melainkan jua yang utama merupakan pemerintah atau government, serta pemerintah tidak relatif memerintah dengan sekedar mengandalkan kapasitas politiknya.

Terdapat kekhawatiran yang kemudian mendasari kuatnya pemikiran, tindakan serta praktek politik sang administrasi publik. Secara konseptual, aktivitas politik administrator negara diakui karena kiprah pentingnya tidak hanya sekedar pada urusan eksekusi kebijakan melainkan kiprah pada merumuskan kebijakan. Peran baru administrator negara tadi (sesudah dasa warsa 1940-1950an) bahkan dicermati sebagai kemajuan luar biasa bagi disiplin ilmu administrasi pada mana administrator nir hanya sebagai robot pelaksana keputusan politik. Terdapat kekhawatiran pada waktu itu, pendekatan manajerial hanya akan mengakibatkan administrator negara sebagai robot tanpa kreasi inisiatif. Kekhawatiran dan keluhan lain adalah pilihan manajerial hanya akan mengakibatkan administrator negara bebas nilai, sementara pada sisi lain efektivitas serta efisiensi yang dilekatkan menggunakan pendekatan manajerial dipandang nir sinkron menggunakan sektor publik (baca: pemerintah). Bagi penulis, kekhawatiran tersebut cukup hiperbola bila lalu menjadi orientasi buat lebih mengedepankan pilihan-pilihan politik dibanding pilihan manajerial. Tidak selamanya pilihan manajerial lebih buruk ketimbang pilihan politis, sebagai akibatnya nir selamanya pendekatan manajemen harus dilihat menjadi second level and choice. Pendekatan manajerial berada dalam level yang sama serta dalam derajat kepentingan yg sama menggunakan pendekatan politik. Bahkan, profesionalisasi kapasitas sektor publik seharusnya lebih dikaitkan dengan kemampuan manajerial administrator negara yang terefleksi pada keputusan-keputusan yang logis, rasional, seksama, sesuai perseteruan, sistematis, kooperatif, yg bahkan wajib bebas berdasarkan bias pertimbangan politik yg partisan serta oppotunis.

Tidak beralasan bila lalu pendekatan manajerial dihadapkan secara antagonis dengan keberpihakan serta keadilan lantaran operasionalisasi konsep efektivitas dan efisiensi (yang dicermati menjadi nilai dasar pendekatan manajerial) bisa direkonstruksi menggunakan karakter sektor publik. Konsep efektivitas dan efisiensi bukanlah adopsi secara mentah dari konsep yg diterapkan dalam sektor partikelir. Secara alamiah pun, Simon (.......) sudah berkata bahwa rasionalitas konduite administratif insan sudah pasti akan mengalami banyak sekali limitasi (bounded rationality). Pemikiran tadi adalah keniscayaan buat melakukan adaptasi operasionalisasi pendekatan manajerial menggunakan nilai efektivitas dan efisiensi ke dalam sektor publik. 

Inovation and Knowledge Management : Keniscayaan Managerial Competency Pemerintah
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan administrasi negara terutama di negara-negara maju diwarnai menggunakan jamak bermunculannya pemikiran-pemikiran yang menunjukkan contoh-contoh konseptual penemuan kinerja agen-agen organisasi public, terutama aspek kepemimpinannya. Meski ada juga kritik yang menyatakan bahwa administrasi negara hari ini terlalu sibuk menggunakan teknologi administrasi, tetapi dalam nyatanya memang perkembangan-perkembangan seperti itulah yang dibutuhkan buat mereformasi wajah buram administrasi Negara. Di Negara maju, contoh-contoh yg wajib diakui sebagai proponen kerangka berpikir New Public Management, Governance, serta New Public Service, sudah menceritakan optimisme yang beralasan. Di pihak lain, Negara berkembang termasuk Indonesia, masih harus bekerja keras buat menghadirkan cerita-cerita sukses. 

Pernyataan pada atas, tentu tidak dimaksudkan buat melegalisasi pilihan secara paradigmatik. Yang hendak ditegaskan adalah bahwa jebakan politisasi praktis berdasarkan para top level public administrator justru menempatkan negara-negara berkembang dalam perangkap ketidakmampuan melakukan penemuan. Padahal pada sisi lain, penemuan merupakan kunci keberhasilan organisasi public ke depan. Sekalipun masih poly pandangan yang mengabaikan pentingnya penemuan bagi sektor public lantaran tidak adanya kasus ancaman akan kelangsungan organisasi, Muluk (2008) menyebut bahwa dalam era desentralisasi yg membawa dampak sertaan berupa tuntutan kreatifitas serta kompetisi antar wilayah pada pelayanan publik sudah melahirkan kebutuhan buat melakukan inovasi. Konsekuensi penghapusan wilayah otonom yg tidak sanggup menyelenggarakan layanan public yang baik juga memunculkan kasus kelangsungan organisasi menjadi ancaman organisasi publik sehingga menguatkan keniscayaan akan pentingnya inovasi. Lagipula, berkaca pada pendapat Carter et.al (1992), nir terdapat satu organisasi public pun yang secara ekstreem terbebas dari kompetisi. Sekecil apapun tingkatnya, organisasi public permanen berada dalam ruang kompetisi. 

Kondisi tadi adalah tantangan sekaligus tuntutan bagi kinerja administrasi public yang telah barang tentu nir akan pernah terwujud ketika kepemimpinan adminitrasi publik hanya tergiur untuk menentukan cara-cara atau pendekatan politik sebagai sumber kekuasaannya.

Inovasi merupakan tantangan kepemipinan sektor publik buat mengedepankan kapasitas manajerial, meski nir sama sekali meninggalkan kapasitas politiknya. Justru dalam kontek tadi, kemampuan politik dipakai hanya buat menggaransi terbangunnya sistem manajemen yg efektif. Garansi tadi dilakukan menggunakan penguatan komitmen dan dukungan politik untuk manajerialisme administrasi publik.

Tuntutan inovasi membawa rentetan kinerja organisasi untuk mau nir mau menghadirkan kapasitas manajemen pengetahuan (knowledge management) lantaran knowledge management inilah yang menjamin organisasi memiliki kemampuan inti sebagaimana dipersyaratkan buat keberhasilan penemuan.

Kemampuan dan keberhasilan inovasi, termasuk pula di dalamnya kemampuan manajemen pengetahuan, sangat dipengaruhi oleh kinerja kepemimpinan. Kepemimpinan yg mendukung proses penemuan adalah kondisi primer bagi terjadinya inovasi administrasi publik (Muluk, 2008). 

Disebutkan pula bahwa kepemimpinan dimaksud tidak hanya mengarah pada adanya pemimpin yang mendukung penemuan namun jua melibatkan adanya arahan taktik proses inovasi yg menjadi landasan operasional proses inovasi bagi seluruh elemen organisasi. Pendapat di atas memberi makna bahwa kapasitas kepemimpinan yg dibutuhkan bukanlah sekedar kemampuan politik pemimpin, bukanlah sekedar kemauan politik pemimpin melainkan jua kemampuan pemimpin memberi arahan substansi, arahan sistemik dan teknis buat mengawal dan memimpin proses inovasi itu sendiri. Artinya, kemampuan serta kemauan politik nir akan sanggup mengantarkan organisasi mencapai keberhasilan penemuan. Kemampuan manajerial buat tahu kompleksitas detail organisasi, kemampuan menganalisis kebutuhan inovasi, dan kemampuan menyusun taktik serta blue print penemuan merupakan kunci yang jauh lebih krusial ketimbang sibuk menggunakan instrumen-instrumen politik. Lebih parah lagi instrumen politik yang digunakan hampir selalu bersifat pencitraan fiktif, hipokrit, kompromistis, dramaturgi, partizanship. 

Kepemimpinan yang sepenuhnya digerakkan sang kemampuan politik berupa pencitraan dan dramaturgi politik menggunakan formalisme simbolik, kemampuan eufemisme terhadap cara-cara kooptatif, kompromi dan politik “dagang sapi”, tidak akan sanggup menuntaskan tantangan-tantangan kekinian yang semakin menuntut kemampuan substantif, kemampuan inti administrasi publik. Kalau kondisi tersebut yg terjadi maka akan menjadi sia-sia setiap upaya buat mengakibatkan birokrasi profesional lantaran profesionalisme tidak hanya menjadi tuntutan bagi birokrasi tetapi juga pemerintah sebagai top level administrator. Kepemimpinan yg inovatif absolut diperlukan sekalipun sang pemimpin-pemimpin zenit administrasi yang lebih beroperasi serta dipilih secara politik.