SEJARAH LAHIRNYA BAHASA INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA

Sejarah LahirnyaBahasa Indonesia dan Perkembangannya


Kapan bahasa Indonesia lahir? Jika pertanyaan inidiajukan mungkin tidak akan pernah yang mampu menjawabnya. Lahirnya bahasaIndonesia nir bisa diketahui pasti tanggalnya. Akan tetapi prosesnya dapatdiketahui. Seperti yang sudah jamak diketahui bahasa Indonesia merupakan ‘anak’dari bahasa Melayu. Tetapi kapan si induk melahirkan anak yg bernama bahasaIndonesia tidak dapat dijelaskan. Hanya dapat diketahui proses penamaannya dantahun pembuatan ‘akta’-nya.

Bahasa Indonesia tidak diketahui lahirnya tetapi ejaan latin bahasa Indonesia lahir dalam 1901 (Ejaan Ch. A. Van Ophuysen), diberi nama dalam 1928 (bait ketiga ikrar Sumpah Pemuda), dan akta kelahirannya tercatat pada 1945 (disahkannya rancangan Undang-undang Dasar menjadi  Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang pada dalamnya memuat juga penerangan mengenai bahasa resmi negara yaitu bahasa Indonesia).


Bahasa Indonesia sebelumnya dianggap dengan bahasaMelayu. Selama proses penjajahan Belanda, bahasa Melayu sudah dipakai sebagaibahasa pergaulan (lingua franca) oleh rakyat Nusantara yg asal daridaerah yg berbeda supaya sanggup saling memahami. Selama proses itu, bahasa Melayuyang dipakai pada Indonesia (ketika itu masih diklaim: Nusantara atau HindiaBelanda) mengalami perkembangan dan penyerapan istilah secara alami.

Selama itu masuk serapan berdasarkan bahasa Belanda,bahasa Arab, bahasa Parsi, bahasa Sanskerta, termasuk menurut bahasa-bahasa daerahnusantara yg lain. Proses penyerapan berdasarkan bahasa Arab ke pada Bahasa Melayu gencar dilakukan sang Penyair Hamzah Fansuri di Abad 16.

Dari pernyataan di atas, dapat disebutkan bahwabahasa Indonesia lahir secara perlahan. Tidak sekaligus. Momentum lahirnyabahasa Indonesia erat sekali kaitannya dengan Kongres Pemuda Indonesia II yangakhirnya melahirkan ikrar sumpah pemuda. Pada bait ketiga berbunyi:

Kami putra serta putri Indonesia

Menjunjung bahasa persatuan

Bahasa Indonesia


Bedakan menggunakan suara sumpah pertama serta kedua,

Kami putra serta putri Indonesia

Mengaku berbangsa yang satu

Bangsa Indonesia


Kami putra serta putri Indonesia

Mengaku bertumpah darah yang satu

Tanah Air Indonesia


Pada bait tersebut disebutkan berbangsa satu danbertumpah darah satu, ad interim tidak berbahasa yg satu melainkan menjunjungbahasa persatuan.Karena pada ketika itu para peserta Kongres Pemuda Indonesiamenyadari benar bahwa banyak sekali bahasa yang dipakai sang masyarakatnusantara yg dalam waktu itu telah diklaim menjadi Indonesia. Bahkan fakta uniksejarah yg disampaikan sang Asvi Warman Adam dalam bukunya, mengungkapkan bahwasebagian besar peserta Kongres Pemuda II nir sanggup berbahasa Indonesia. Hanyasedikit sekali yg mampu dan memakai bahasa Indonesia. Kebanyakan merekaadalah lulusan sekolah Belanda sehingga hanya sanggup memakai bahasa Ibu(bahasa daerah masing-masing) dan bahasa Belanda sinkron menggunakan sekolahnya.

Yang menjadi perkara merupakan, sekarang ini poly sekali kesalahan pemahaman serta penulisan Sumpah Pemuda. Kesalahan penulisan bahkan masuk ke sekolah-sekolah misalnya yg terjadi pada Poster Sumpah Pemuda yg Salah ini.

Akan namun, para pemuda yg mengikrarkan menjunjungbahasa persatuan, bahasa Indonesia ini telah sebagai tonggak diberi namasebuah bahasa yg sebelumnya disebut bahasa Melayu. Apabila dianalogikan denganproses kelahiran anak dalam rakyat Indonesia (khususnya Jawa), seorang anakyang lahir tidak langsung diberi nama, selang beberapa hari baru diberi nama.nah, bahasa Indonesia yg telah lama lahir baru diberi nama dalam lepas 28Oktober 1928.

Baru dalam tanggal 18 Agustus 1945, bayi yangbernama Bahasa Indonesia dibuatkan akta kelahiran, tepatnya tercatat dalam Undang-undangDasar 1945 yang disahkan dalam sidang BPUPKI dalam 18 Agustus menjadi bahasaresmi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehari selesainya proklamasikemerdekaan Republik Indonesia. Sejak waktu itulah, nama bahasa Indonesia resmitercatat di dokumen negara sebagai bahasa Indonesia.

Selanjutnya, bahasa Indonesia terus mengalamiperkembangan, terus tumbuh, terus belajar, serta menyempurnakan diri sebagaibahasa yg besar . Tidak hanya menjadi bahasa resmi negara namun menjadibahasa pengantar pendidikan, bahasa pergaulan.

Tahun yang juga menjadi tonggak perkembangan danpertumbuhan bahasa Indonesia merupakan tahun 1975, yaitu dengan diterbitkannyaPedoman Ejaan yg Disempurnakan. Pedoman tadi memuat kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Kemudian pada1987 diterbitkan ‘revisi’nya  yaitu PedomanUmum Ejaan yg Disempurnakan. Setahun setelah itu, lahirlah Kamus BesarBahasa Indonesia edisi pertama. Ini adalah Kamus Resmi yangditerbitkan sang negara melalui otoritas yang mengurus tentang bahasaIndonesia. 

Selanjutnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkanoleh lembaga negara ini sudah memasuki edisi yg keempat. Lantaran kebesarannamanya maka nama Kamus Besar Bahasa Indonesia banyak ditiru olehpenerbit-penerbit lain, maka kamus resmi edisi keempat mencantumkan namalembaganya sebagai Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat.kamus Besar Bahasa Indonesia (biasa disingkat KBBI) edisi keempat iniditerbitkan bersamaan dengan 100 tahun kebangkitan nasional, pada 2008. Setahunsetelah itu, 2009, diterbitkan pula Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia PusatBahasa. Juga menjadi Tesaurus resmi lembaga pemerintah di bidang bahasa.



Tonton Juga Video Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia

Video mengenai lahirnya Bahasa Indonesia bisa ditonton di Sini

Setelah masifnya era internet, maka ada pulaancaman lain bagi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia harus pulang menyesuaikandiri dan membuatkan diri (tentu melalui forum negara, baca: PusatBahasa) dengan agresi-agresi bahasa asing yang centang perenang, masukbegitu saja ke pada bahasa Indonesia tanpa melalui pedoman pembentukanistilah. Juga mengenai penyebaran keterangan mengenai istilah pada bahasaIndonesia buat kata-istilah asing akhirnya bentuk asingnya lebih populerdan dimengerti daripada bentuk Indonesianya.

Belum lagi kasus ngawurnya penutur bahasaIndonesia melalui media sosial yang melahirkan istilah aneh (baca: alay) mulaidari beud sampai cemungut,  mulai berdasarkan bingit sampai binggo. Terlepasdari serangan terhadap bahasa Indonesia yang membabi buta, bahasa Indonesiatetap bertahan, dan wajib dipertahankan eksistensinya dan ke-ajeg-annya sebagaibahasa yang baku serta terstandar di samping sebagai bahasa pergaulan yg sangatterbuka terhadap perkembangan. Itulah sejarah singkat tentang lahirnya bahasa Indonesiadan perkembangannya. Kini, menggunakan telah memakan asam garam kehidupan, bahasaIndonesia telah  menuju ke arah kemapanansebuah bahasa buat dapat bersanding dengan bahasa-bahasa akbar lain pada global.

Maka dari itu, kita seluruh wajib memahami proses lahirnya bahasa Indonesia sekaligus perkembangannya. Sekaligus pula mengetahui makna serta arti Sumpah Pemuda, sebagai akibatnya rangkaian sejarah sebagai sebuah bangsa  mampu meresap ke pada sanubari seluruh bangsa.
Penjelasan sederhana terdapat pada slide sederhana mengenai Sejarah Bahasa Indonesia. Silakan dibaca dan diunduh.

TEKS SUMPAH PEMUDA YANG SALAH DAN AHISTORISME KITA

Teks Sumpah Pemuda yg Salah serta Ahistorisme Kita


Hari ini, Selasa (18 April 2017) melaksanakan tugas negara buat menjaga Ujian Sekolah Bestandar Nasional (USBN) di sebuah SMP yg terdapat di bawah Sub Rayon 33/09 Kecamatan Jenggawah. Bukan pada sekolah sendiri.

Seperti hari sebelumnya aku menjalankan tugas misalnya biasa. Lancar. Tanpa ada kecurangan. Peserta ujian pada Sekolah Menengah pertama ini di hari kedua, saya nir lagi menjaga kelas yang kemarin. Setelah melaksanakan tugas pengewasan mulai menurut mengisi berkas sampai mengedarkan naskah soal serta LJK dan LJU (Lembar Jawaban Uraian). Perlu sedikit pada ketahui bahwa USBN tidak hanya berupa soal pilihan ganda, tetapi pula terdapat soal uraian.

Karena hayati nir hanya wajib menentukan antara a, b, c, d. Hidup itu perlu mengusahakan atas jawaban yang akan kita tentukan. Ciee.

Ketika duduk di meja pengawas, pandangan mata aku menunjuk ke sebuah poster yang ditempel pada dinding kelas. Sebuah poster ukuran A3 menggunakan posisi potrait. Warna dominan putih menggunakan gambar bingkai berwarna kuning emas. Di bagian bawah poster tersebut masih ada gambar pahlawan serta gambar bukan pahlawan. Dari kiri masing-masing adalah Patih Gajah Mada, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, RA. Kartini, Bung Tomo, serta Ir. Soekarno.

Poster tersebut merupakan Poster ‘Sumpah Pemuda’ DENGAN TEKS YANG SALAH. Terpaksa aku tulis menggunakan terlebih dulu menekon tombol ‘caps lock’ di papan ketik saya. Gemes.

Ada tiga bait sumpah pemuda, dan bait pertama dan ketiga keliru. Teks di dinding kelas sebuah SMP itu berbunyi:

Sumpah Pemuda


Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia.


Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.


Kami putra serta putri Indonesia mengaku berbahas satu, bahasa Indonesia.


Ternyata, sesudah saya ketik saya baru sadar bahwa ketiga baitnya keliru!

Teks yg pernah diikrarkan sang para pemuda dalam 1928 merupakan menjadi berikut:
Kami putra serta putri Indonesia mengaku BERTUMPAH DARAH YANG SATU, tanah Air Indonesia.


Kami putra dan putri Indonesia mengaku BERBANGSA YANG SATU, bangsa Indonesia.


Kami putra dan putri Indonesia MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN, bahasa Indonesia.

Penjelasan Lengkap Tentang Kaitannya Sumpah Pemuda dan Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia mampu dibaca dalam artikel yg berjudul: Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia dan Perkembangannya

Bait kedua poster pada dinding kelas yang saya sebutkan tadi tidak fatal, ‘hanya’ kurang ‘yg’.

Melihat kesalahan seperti ini menciptakan aku gemes. Lantaran mereka (para pemuda yg berkongres dan ditutup dalam 28 Oktober 1928, yg kemudian diklaim sebagai Sumpah Pemuda tidak main-main. Mereka merumuskan itu menggunakan penuh risiko. Bahkan risiko dibunuh oleh Belanda lantaran dianggap makar.

Kini, sesudah hampir seratus tahun berdasarkan insiden itu kita mengingatnya dengan sembarangan. Padahal itu mampu mengubah makna serta mengurangi kedalaman perjuangannya.

Kata tumpah darah lebih heroik daripada sekadar bertanah air satu. Tumpah darah mengandung arti: kelahiran. Dilahirkan pada Indonesia. Juga mengandung arti usaha, berdarah-darah, terluka, hingga mangkat dalam pertempuran merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Tumbah darah jua mengandung arti kematian. Kita rela tewas, buat negeri tercinta.

Sementara bait terakhir yang memang tak jarang galat adalah perwujudan menurut syarat yg terjadi di Indonesia. Bangsa Indonesia tidak hanya mempunyai satu bahasa. Bahkan dianggap-sebut sebagai negara dengan bahasa daerah palaing banyak pada dunia. Mereka, para pemuda yang berjuang di awal keberadaan Indonesia menjadi bangsa memeahami itu. Maka mereka memakai kata ‘Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia’. Bahasa yg menyatukan dalam ikatan bangsa dan alat komunikasi lintas wilayah yg memiliki bahasa yg bhineka.
Baca Juga: Makna Sumpah Pemuda Bagi Pelajar dan Pemuda Masa Kini

Kemudian aku jadi bertanya, akan tetapi pertanyaanku membentur tombol-tombol papan ketik. (Disadur berdasarkan Puisi ‘Sajak Sebatang Lisong WS Rendra).

Saya jadi bertanya, siapakah yang keliru atas poster sumpah pemuda dengan teks yang salah di kelas ini?

Pertama, yang salah adalah penghasil poster tadi. Saya telah mendekati poster dan mengamati mungkin terdapat identitas pembuat poster, mungkin pabrik, percetakan, atau cv. Nihil. Tidak aku temukan.

Kedua, guru pada sekolah ini. Terutama guru bahasa Indonesia serta Pengajar IPS. Guru bahasa Indonesia bersalah lantaran Sejarah Lahirnya bahasa Indonesia berkaitan erat dengan peristiwa sumpah pemuda ini. Guru IPS di SMP ini pula salah lantaran nir meluruskan kesalahan sejarah.

Ketiga, seluruh pengajar di Sekolah Menengah pertama ini (khususnya wali kelas). Sebagai bangsa Indonesia kita tidak boleh bersifat ahistoris, anti-sejarah, dan setidaknya tidak peduli menggunakan sejarah. Bukankah kita seluruh telah sepakat bahwa Bangsa yang akbar merupakan bangsa yg menghargai jasa para pahlawannya.

Keempat, aku . Lantaran telah mengetahui bahwa itu galat serta tidak berusaha memperbaiki, setidaknya menyarankan kepada pihak sekolah buat menurunkan poster itu. Jika memang nir terdapat ganti poster sumpah pemuda yang teksnya sahih.

Kelima, Anda seluruh! Yang membaca goresan pena ini. Apabila masih keliru menulis teks sumpah pemuda berarti anda salah . Jika masih membisu saja padahal tahu bahwa terdapat teks sumpah pemuda yang salah , berarti anda juga galat.

Tentu kesalahan yg dimaksud di sini bukan dibalas dengan dosa atau hukuman. Apabila kita diam saja serta nir peduli terhadap kesalahan seperti ini. Kita sudah menyalahi dan mengingkari, setidaknya nir menghargai, para pejuang konvoi kemerdekaan.

Ah, dalam menulis hal seperti ini sya memang selalu berapi-barah. Saya mohon maaf jika pembaca yang telah sulit-sulit membaca ini justru disalah-salahkan.

Ujung-ujungnya setelah aku renungi. Ternyata aku sendiri yang salah karena membawa kasus yang terdapat di pada kelas, ke ranah yg lebih luas.


Setidaknya kita adalah sesama bangsa Indonesia. Salam.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Indonesia

Pendidikan pada Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu memang terkait menggunakan banyak sekali faktor menurut zamannya masing-masing, Pendidikan itu sudah ada sejak zaman kuno/tradisional yg dimulai dengan zaman impak agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, serta zaman merdeka (Pidarta, 2009.: 125).


A. Zaman Pengaruh Hindu dan Budha 

Pengaruh pendidikan pada zaman Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme adalah dua kepercayaan yg tidak sinkron, tetapi di Indonesia keduanya memiliki kesamaan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Siva dengan Budha menjadi satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika yg berarti berbeda-beda tetapi tetap satu yaitu Sang Maha Tunggal yaitu Tuhan , secara etimologis dari berdasarkan keyakinan tadi (Mudyahardjo, 2012: 215).
Pada zaman ini pendidikan memiliki tujuan yg sama yaitu pendidikan diarahkan dalam rangka penyebaran serta pelatihan kehidupan keberagamaan Hindu dan Budha (Mudyahardjo, 217), jua mencari petunjuk tentang apa yg diinginkan, baik buruknya, sampai pencapaiannya.

B. Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)

Agama Islam mulai masuk ke Indonesia dalam akhir abad ke-13 serta meliputi sebagian besar Nusantara dalam abad ke-16. Perkembangan pendidikan agama Islam di Indonesia sejalan menggunakan perkembangan penyebaran Islam pada Nusantara, baik sebagai agama juga sebagai arus kebudayaan (Mudyahardjo.: 221). Pendidikan kepercayaan Islam dalam zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.



Tujuan menurut pendidikan agama Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya pada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan sang Nabi Muhammad S.A.W. Untuk mencapai kebahagiaan di global dan akhirat. (Mudyahardjo.: 121-223) Pendidikan agama Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, tetapi banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu serta terkoordinasi sang para wali pada Jawa, terutama Wali Sanga.


C. Zaman Kolonial Belanda

Saat Belanda menjajah Indonesia, pendidikan yg terdapat diawasi secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan, gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda pada Indonesia pada sat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda waktu itu.

Tiga poin primer pada politik etis Belnada dalam masa itu merupakan irigasi, migrasi, serta edukasi. Dalam poin eduksi, peerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat buat kalangan pribumi. Akan namun eksistensi sekolah-sekolah ini ternyata nir sebagai wahana pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yg disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis.


Pada masa ini jua, pendidikan pendidikan warga pula turut timbul. Sekolah sekolah warga misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah ada serta berkembang. Jadi bisa dikatakan dalam masa tersebut terdapat 3 tipe jalur pendidikan yang berbeda:

1)System pendidikan menurut masa islam yang diwakili menggunakan pondok pesantren
2)Pendidikan bergaya barat yang disediakan sang pemerintah Hindia-Belanda
3)Pendidikan “swasta pro-pribumi” seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah
Golongan baru inilah yg kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yg masih bersifat kedaerahan berubah menjadi usaha bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 serta semakin meningkat menggunakan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yg semuanya mendidik anak-anak agar mampu mandiri menggunakan jiwa merdeka (Pidarta, 2009: 125-33).

(Baca juga mengenai Taman Siswa di Sini !!).


D. Zaman Kolonial Jepang

Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Kolonial Jepang tetap berlanjut sampai asa buat merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah serta terus mengobarkan semangat 45 pada hati mereka. Meskipun demikian, ada beberapa segi positif berdasarkan penjajahan Jepang pada Indonesia.
Di bidang pendidikan, Jepang sudah menghapus dualisme pendidikan menurut penjajah Belanda dan menggantikannya menggunakan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang buat pada pakai pada forum-forum pendidikan, di kantor-kantor, serta pada pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia buat merealisasi Indonesia merdeka. Pada lepas 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia sebagai kenyataan waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia (Mudyahardjo, 2012:266-272).

Sejarah pendidikan yg akan diulas merupakan sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:tiga). Pendidikan dibentuk berjenjang, nir berlaku buat seluruh kalangan, dan dari taraf kelas. Pendidikan lebih diutamakan buat anak-anak Belanda, sedangkan buat anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi buat menyediakan tenaga kerja murah yg sangat dibutuhkan sang penguasa. Sarana pendidikan dibentuk dengan biaya yang rendah menggunakan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai kasus peperangan.


Kesulitan keuangan menurut Belanda dampak Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) dan perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yg mahal dan menelan poly korban. Belanda menciptakan siasat agar pengeluaran buat peperangan bisa ditutupi berdasarkan negara jajahan. Kerja paksa dipercaya cara yg paling digdaya buat memperoleh laba yg aporisma yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang simpel buat meraup keuntungan sebanyak-besarnya. Rakyat miskin selalu sebagai bagian yg dirugikan karena digunakan menjadi energi kerja murah. Rakyat miskin yg sebagian bekerja menjadi petani juga dimanfaatkan buat menambah kas negara penguasa.


Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah mengusahakan supaya bahasa Belanda sanggup diujarkan sang warga buat mempermudah komunikasi antara pribumi serta Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi kondisi Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut wajib dipenuhi para calon pegawai yg akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak menurut kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, lantaran masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri menurut lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri masih ada golongan bangsawan dan orang kebanyakan.


Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan dari faktor ekonomi pada dalam maupun pada luar Indonesia, misalnya kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara terkini yang mampu menaklukkan Rusia, serta perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama menjadi indera perusahaan super besar yg bermotif ekonomis supaya upah kerja serendah mungkin buat mencapai keuntungan yg aporisma. Irigasi, transmigrasi, serta pendidikan yang dicanangkan menjadi kedok buat siasat meraup laba. Irigasi dibentuk supaya panen padi nir terancam gagal serta memperoleh output yg lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi buat penyebaran energi kerja, keliru satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan warga .


Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 serta terhambat karena krisis global, nir terkecuali menerpa Hindia Belanda yg dianggap mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, forum pendidikan dibentuk menggunakan biaya yang lebih murah. Kebijakan yg dibuat termasuk penyediaan tenaga guru yg terdiri berdasarkan energi pengajar buat sekolah dasar yg tidak memiliki latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dipercaya layak menjadi pengajar. Masalah lain yg paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu adalah beban yg berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibentuk buat indera penguasa, orang kebanyakan sebagai sasaran yang empuk diberi pengetahuan buat dijadikan energi kerja yang murah.




Pendidikan dibentuk sang Belanda mempunyai ciri-karakteristik eksklusif. Pertama, gradualisme yang luar biasa buat penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan nir begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibentuk terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada taraf bawah. Ketiga, kontrol yg sangat bertenaga.


Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yg menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, pengajar serta orang tua tidak memiliki pengeruh eksklusif politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna buat merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan buat mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan menjadi energi kerja yg murah. Kelima, prinsip konkordasi yg menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia nir berhak sekolah pada pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yg sistematis. Pendidikan menggunakan karakteristik-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang sanggup. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.


Pemerintah Belanda pula membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat buat mengeluarkan porto yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yg dipercaya paling cocok sang Gubernur Jendral Van Heutz menjadi sekolah murah serta nir mengasingkan menurut kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan menggunakan sekolah kelas 2, pemerintah takut penduduk nir bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan permanen menjadi energi kerja demi pengamankan output panen.


Sekolah desa dibuat menggunakan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yg memiliki kurikulum bersifat generik. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan generik. Cara tadi dianggap efektif, sehingga pemerintah nir usah menciptakan sekolah dan mengeluarkan porto (Nasution, 1987:80). Pengajar sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap bisa sebagai guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia buat mengajar di lingkungan desa.


Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan adalah catatan sejarah yang kelam. Penjajah menciptakan pendidikan sebagai alat buat meraup laba melalui energi kerja murah. Sekolah pula dibuat menggunakan biaya yang murah, supaya tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi nir etis pada pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yg sangat mendesak serta aneka macam masalah lain menjadi fenomena yg tercatat pada sejarah pendidikan masa Belanda.


Belanda digantikan sang kekuasaan Jepang. Jepang membawa wangsit kebangkitan Asia yg tidak kalah liciknya berdasarkan Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat buat menyediakan energi cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat sebagai indera kekuasaan Jepang buat kepentingan perang. Pendidikan dalam masa kekuasaan Jepang mempunyai landasan idiil hakko Iciu yg mengajak bangsa Indonesia berkerjasama buat mencapai kemakmuran beserta Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.


Sejarah Belanda hingga Jepang dipahami menjadi alur penjelasan kalau pendidikan dipakai sebagai alat komoditas sang penguasa. Pendidikan dibentuk dan diajarkan buat melatih orang-orang sebagai tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang membuahkan pendidikan sebagai senjata digdaya buat menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yg akan dikembangkan buat membangun negara Indonesia sehabis merdeka.


Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan pada kementrian pendidikan, pedagogi, dan kebudayaan agar cepat buat menyediakan serta mengusahakan pembaharuan pendidikan serta pedagogi sesuai dengan rencana pokok bisnis pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan acara pemberantasan buta alfabet . Program buta alfabet nir gampang dilaksanakan menggunakan aneka macam keterbatasan sumber daya, hambatan gedung sekolah serta pengajar. Kementrian PP dan K pula mengadakan usaha menambah pengajar melalui kursus selama 2 tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu niscaya(Mestoko dkk, 1985:161). Program tadi menerangkan jumlah orang yang buta alfabet seluruh Indonesia lebih kurang 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta alfabet pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud merupakan buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta alfabet pada pedesaan yg diprogramkan sang pemerintah buat menanggulangi nomor buta aksara di Indonesia serta buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan sekitar tidak berdampak dalam tempat tinggal tangga kurang bisa.


Kemerdekaan Indonesia nir menciptakan nasib orang nir sanggup terutama menurut sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus mudah timbul kembali, model yang paling terkenal menggunakan dampak yang hampir serupa misalnya cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yg diadakan dalam tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong lantaran adalah bisnis gotong royong antara pemerintah dan partikelir (asing serta nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian menggunakan memakai metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah buat menaikkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) lima serta PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit menurut Taiwan. Jadi, masyarakat dipaksakan mengikuti kemauan menurut pihak penguasa. Cara tadi lebih kurang sama menggunakan yang dilakukan sang pemerintah Indonesia menjadi cara buat membentuk panen yg lebih maksimal . Muller (1979:73) menyatakan dari penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup pada kemiskinan, paling-paling hanya sanggup memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir nir bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hayati dalam kemewahan.


Pendidikan dalam masa Belanda, Jepang dan selesainya kemerdekaan sulit dicapai sang orang-orang menurut rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan serta diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan buat mencapai keuntungan yang aporisma. Setelah jaman kemerdekaan, warga dari rumah tangga kurang bisa terus menjadi sumber pemaksaan secara halus buat pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai indera penguasa buat membuatkan program yg dipercaya dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.


Landasan Sejarah Pendidikan Di Masa Perjuangan Bangsa Indonesia, Masa Pembangunan Dan MasaReformasi.

A. Masa Perjuangan.

a. Zaman Kolonial Belanda

Didorong oleh kebutuhan mudah berkaitan menggunakan pekerjaan diberbagai bidang, Belanda mendirikan sekolah-sekolah buat masyarakat Indonesia menggunakan tujuan membuat pegawai-pegawai rendahan baik sebagai pegawai negeri maupun partikelir. Adapun kecenderungan pendidikan masa kolonial ini adalah:1) membiarkan terselengarakannya pendidikan islam tradisional serta membantu mendirikan madrasah Islam di Nusantara, 2) mendirikan sekolah Zending (mizionaris) yg bertujuan mengembangkan agama kristen. Adapun ciri spesial pendidikannya diantaranya: 1) dualistik diskriminatif, 2) sentralistik, tiga) tujuan pendidikan buat menghasilkan tamatan sebagai masyarakat negara Belanda kelas dua.

Kurikulum sekolah mengalami radikal dengan masuknya ilham-ilham liberal tadi yang bertujuan berbagi kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional serta sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan buat anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19. Setelah tahun 1848 dimuntahkan peraturan pemerintah yg menerangkan bahwa pemerintah lambat laun mendapat tanggung jawab yg lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia menjadi hasil perdebatan di parlemen Belanda serta mencerminkan perilaku liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia. Pda tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids, Ia menganjurkan supaya pemerintah lebih memajukan kesejahterran masyarakat Indonesia. Ekspresi ini lalu dikenal menggunakan Politik Etis. Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dasa warsa. Pendidikan yg berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas buat beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yang orang tuanta merupakan pegawai pemerintah Belanda, sudah mengakibatkan elite intelektual baru.


Golongan baru inilah yg kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa semenjak berdirinya Budi Utomo dalam tahun 1908 serta semakin meningkat menggunakan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.


b. Zaman Kolonial Jepang

Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942 yg dalam masa itu sedang terjadi Perang Dunia sebagai akibatnya berimbas pada pemerintahan Jepang yang bersifat militeristik. Dalam misinya menguasai Indonesia, Jepang banyak melakukan perubahan. Termasuk dibidang pendidikan, penyelenggaraannya ditujukan buat menghasilkan tentara yg siap memenangkan perang bagi Jepang. Selain itu, di bidang pendidikan secara luas ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang pada Indonesia antara lain: a) Jepang sudah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda serta menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang, b) pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstrusikan sang Jepang buat di pakai pada lembaga-lembaga pendidikan, pada tempat kerja-tempat kerja serta dalam pergaulan sehari-hari. Bahas Jepang menjadi bahasa kedua sedang bahasa Belanda dilarang, c) Jepang mendirikan sekolah guru dengan sistem pelatihan indoktrinasi mental ideologis, d) pembinaan anak didik dan para pemuda dilakukan menggunakan senam pagi (taiso).

c. Zaman Kemerdekaan

Meski belum mencapai suasana aman pada kehidupan pemerintahannya, akan namun pada bidang pendidikan pada awal kemerdekaan ini terus dilaksanakan dengan berpedoman pada UUD1945 pasal 31. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pendidikan pada era 1945-1950 yaitu :
  1. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia mengusulkan perlunya pembaharuan pada bidang pendidikan
  2. Pembentukan pendidikan masyarakat yang bertujuan menciptakan rakyat adil dan makmur berdasar pancasila.
  3. Pembentukan Panitia Penyelidik Pengajaran
  4. Menetapkan kurikulum awal menjadi pedoman penyelenggaraan pendidikan
  5. Pembaharuan kurikulum sebagai kurikulum SR 947

d. Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969) 

Pendidikan dan pedagogi sampai tahun 1945 pada selenggarakan sang kentor pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku serta merupakan bagian menurut kantor penyelenggara urusan pamong praja yg dianggap menggunakan Naimubu. Setelah pada proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia yg baru di bentuk memilih Ki Hajar Dewantara, pendiri taman murid, sebagai menteri pendidikan serta pedagogi mulai 19 Agustus hingga 14 November 1945, lalu diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia berdasarkan lepas 14 November 1945 hingga dengan 12 Maret 1946. Tidak lama lalu Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei berdasarkan 12 Maret 1946 hingga dengan 2 Oktober 1946. Karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, dalam dasarnya tidak banyak yang bisa diperbuat oleh para mentri tersebut.




1. Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan 

Dalam kurun ketika 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, lepas 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional dalam masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini bisa di pahami, lantaran dalam ketika itu bangsa Indonesia baru saja tanggal berdasarkan penjajah yg berlangsung ratusan tahun, serta terdapat gelagat bahwa Belanda ingin pulang menjajah Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yg baru diproklamasikan.

Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 mengenai dasar-dasar pendidikan serta pedagogi pada sekolah. “Tujuan pendidikan dan pengajaran artinya membangun insan yang cukup dan warga negara yg demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.


Kurikulum sekolah dalam masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an ditujukan buat:

• menaikkan pencerahan bernegara dan bermasyarakat,
• mempertinggi pendidikan jasmani,
• mempertinggi pendidikan watak,
• menberikan perhatian terhafap kesenian,
• menghubungkan isi pelajaran menggunakan kehidupan sehari-hari, dan
• mengurangi pendidikan pikiran.

Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yg gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 mengenai Agama, Pendidikan, dan kebudayaan pada adakan perubahan pada rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati menurut ketentuan-ketentuan misalnya yg dikenhendaki sang pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”.


2. Sistem Persekolahan

Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan dalam dasarnya melanjutkan apa yg dikembangkan dalam zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud mencakup 3 tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, serta pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung 3 tahun memiliki beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (Sekolah Menengah pertama) menjadi sekolah menengah pertama generik; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah pengajar B (SGB) serta sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung 3 tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) menjadi sekolah menengah generik, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik (ST), sekolah pengajar kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) serta kursus guru.


3. Pedidikan pada Indonesia Selama PJP I (1969-1993)

Pembangunan jangka panjang mencakup lima pelita, yaitu pelita I-V yg dimulai pada tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994, atau 25 tahun. Selama kurun tadi, pendidikan Indonesia Indonesia mengalami kemajuan. Hal ini terutama pada tandai sang semakin luasnya kesempatan buat memperoleh pendidikan pada seluruh jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; meningkatnya jumblah wahana dan prasarana pendidikan yg tersedia serta tenaga yang terlibat pada pendidikan; meningkatnya mutu pendidikan dibandingkan menggunakan masa-masa sebelumnya; semakin mantapnya sistem pendidikan nasional dengan di sahkan undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 mengenai system pendidikan nasional bersama sejumblah peraturan pemerintah yang menyertainya.
Namun demikian, hingga berakhirnya pelita V, pendidikan nasional masi pada hadapkan dengan berbagai tantangan baik kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, tantangan yang di hadapi menyangkut pemerataan kesempatan buat mamperoleh pendidikan khususnya pendidikan dasar, sementara secara kualitatif tantangan yang di hadapi berkenan dengan upaya mutu pendidikan, peningkatan relefansi pendidikan menggunakan penbangunan, efektifitas serta efisiensi pendidikan.

B. Masa Pembangunan

Dalam rangka menyesuaikan segala bisnis untuk mewujudkan Manipol, melalui Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965 pendidikan nasional ditinjau menjadi indera revolusi. Pendidikan harus difungsikan atau harus mempunyai Lima Dharma Bhakti Pendidikan, yaitu: (1) Membina Manusia Indonesia Baru yg berakhlak tinggi (Moral Pancasila), (dua) Memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam segenap bidang serta tingkatnya (manpower), (3) Memajukan serta berbagi kebudayaan nasional, (4) Memajukan serta membuatkan ilmu engetahuan dan teknlogi, (5) Menggerakkan serta menyadarkan semua kekuatan masyarakat buat menciptakan warga serta manusia Indonesia baru. Selanjutnya dinyatakan bahwa asas pendidikan nasional adalah Pancasila – Manipol USDEK. Dengan demikian tujuan pendidikan nasional merupakan untuk melahirkan masyarakat negara-masyarakat negara sosialis Indonesia yg susila yang bertanggung jawab atas terselenggaranya rakyat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual juga material dan berjiwa Pancasila. Dalam hal ini, moral pendidikan nasional ialah Pancasila Manipol/USDEK, dan politik pendidikannya merupakan Manifesto Politik. Selanjutnya melalui Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila antra lain dirumuskan balik mengenai dasar asas pendidikan nasional, tujuan, isi moral, dan politik nasional. Yang menarik pada rumusan-rumusan tersebut ditegaskan sekali lagi bahwa tugas pendidikan nasional Indonesia artinya menghimpun kekuatan progresif revolusioner berporoskan Nasakom.

Banyak progam pembangunan yg sudah direncanakan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana Thap Pertama (1961-1969). Rencana proyek pembangunan pada bidang pendidikan diantaranya berkenaan pengembangan pendidikan tinggi,diprioritaskannya pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, kursus-kursus serta sebagainya. Tetapi demikian dampak pecahnya pemberontakan G-30S/PKI, maka rontoklah planning pembangunan nasional semesta berencana tadi. Setelah pemberontakan G30S/PKI bisa ditumpas, terjadi suatu keadaan peralihan rakyat Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru.


1. Pendidikan Pada Masa PJP I (Pembangunan Jangka Panjang)

Pelaksaan Pelita I PJP I dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada lepas 28-30 April 1969 pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung buat melakukan konferensi dalam rangka: 1) mengidentifikasi masalah-perkara pendidikan nasional, dan dua) menyusun suatu prioritas pemecahn berdasarkan berbagai maslah tersebut, serta mencari alternatif pemecahannya.


Didalam rumusan-rumusan kebijakan pkok pembangunan pendidikan selama PJP I masih ada beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu: 1) relevansi pendidikan, dua) pemerataan pendidikan, 3) peningkatan mutu gru atau tenaga kependidikan, 4) mutu pendidikan, dan lima) pendidikan kejuruan. Selain kebijakan utama tyersebut terdapat pula beberapa kebijakan yang perlu menerima perhatian kita. Pertama, kebijakan buat menaikkan partisipasi rakyat pada pada bidang pendidikan,. Kedua, pengembangan sistem pendidikan yag efisien dan efektif. Ketiga, dirumuskan serta disahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 Tentang “ Sistem Pendidikan Nasional” menjadi pengganti UU pendidikan usang yg telah diundangkan dari tahun 1950.


Kurikulum Pendidikan pada PJP I sudah dilakukan 3 kali perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu dikenal menjadi: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984. Kurikulum Pendidikan Kejuruan, dalam Pelita I selain penyempurnaan sistem sekolah kejuruan jua ditingkatkan mutu pendidikannya terutama mutu pengajar dan laboratoriumnya. Dengan dana pinjaman Bank Dunia diadakan brbagai usah buat menaikkan pendidikan teknik menengah. Beberapa STM ditingkatkan, juga membentuk apa yang disebut Sekolah Teknik Menengah Pembangunan, diadakan bengkel-bengkel latihan sentra yang dapat digunakan beberapa STM termasuk STM partikelir. Usaha perbaikan kurikulum terus menerus, baik melalui dan pinjaman berdasarkan ADB juga donasi menurut negara-negar teman.


2. Masa Reformasi

Selama Orde Baru berlansung, rezim yg berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal yg mereka ingunkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan serta perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat bertenaga yaitu partai Golkar yg adalah partai terbesar saat itu. Hampir nir ada kebebasan bagi rakyat buat melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara serta mengungkapkan pendapatnya.


Maraknya gerakan reformasi menyebabka tumbangnya kekuasaan orde baru. Implikasi dari insiden itu dapat dirasakan pada semua aspek kehidupan bernegara, termasuk bidang pendidikan. Dengan di berlakukannya UU No. 22/1999 serta UU No. 25/1999 maka sistem penyelengaraan pendidikan berubah ke swatantra pendidikan. Desentralisasi kekuasaan yg menitik beratkan pada partisipasi warga menuntut tersedianya tenaga-energi terampil dalam jumlah serta kualitas yg tnggi dan pemberdayaan forum-lembaga sosial di wilayah termasuk dalm bidang pendidikan. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan pada daerah akan menaruh implikasi pribadi dalam penyusunan kurikulum yang dewasa ini sangat sentalistis.


Disamping itu kesejahteraan energi kependidikan perlahan-huma semakin tinggi. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan, contohnya MBS (Manajemen Berbasi Sekolah), Life Skill (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality

Manajement).

Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini;

1. Harus belajar pendidikan dasar sembilan tahun

Pada tanggal 2 mei 1994 harus belajar pendidikan dasar 9 tahun buat taraf SLTP dicanangkan. Sepuluh tahun sabelumnya, tepatnya pada tanggal dua mei 1984, Indonesia pula memulai harus belajar 6 tahun buat taraf Sekolah Dasar, bersamaan dengan pelantikan berdirinya Universitas terbuka. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mempunyai 2tujuan primer yang berkaitan satu sama lain. Pertama, menaikkan pemerataan kesempatan buat memperoleh pendidikan bagi setiap kelompok umur 7-15 tahun. Kedua buat menaikkan mutu sumberdaya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP. Dengan wajib belajar, maka pendidikan minimal bangsa Indonesia semula 6 tahun ditingkatkan menjadi 9 tahun.


Sasaran-sasaran harus belajar pendidikan dasar 9 tahun pada pelita VI adalah, pertama, menaikkan nomor partisipasi kasar (APK) taraf SLTP sebagai 66,19% menurut keadaan padaawal pelita V yg mencapai 52,67%. Kedua, meningkatkan jumblah lulusan SD/MI yg tertampung di SLTP dan MTs sebanyak 5400.000, yaitu menurut 2,56 juta pad tahun 1993/1994 sebagai 3,10 juta pada tahun 1998/1999. Ketiga, tercapainya jumblah pengajar SD yang minimal berkualifikasi D-II sebayak 80%, pengajar SLYP berkualifikasi D-III sekitar 70%. Tantangan yg di hadapi sang program wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun memang lebih akbar apabila dibandikan menggunakan harus belajar 6 tahun. Alasnya diantaranya, pertama, dalam waktu dimulainya wajip belajar pendidikan dasar sembilan tahun, baru skitar separuh menurut grup umur 13-15 tahun yg berada disekolah. Kedua, daya dukung berupa dana, sarana, serta tenaga yg dimiliki oleh Indonesia buat melaksanakan wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun tidak lagi sebesar dalam saat dilaksanakan harus belajar 6 tahun. Misalnya, pembangunan Sekolah Dasar dalam jumblah besar melalui inpres. Ketiga, guna menampung 6,26 juta anak usia 13-15 tahun pada SLTP dibutuhkan wahana, porto, dan energi yg nir sedikit. Sejak di mulai pada tahun 1994, program wajip belajar pendidikan dasar sembilan tahun mencapai banyak kemajuan. Indikator-indikator kuantitatif yang di catat membuktikan bahwa angka partisipasi meningkat sejalan menggunakan semakin bertambahnya ruang belajar, jumblah guru, dan fasilitas belajar lainnya .


2. Pelaksanaan kurikulum 1994

Kurikulum 1994 di berlakukan secara sedikit demi sedikit mulai tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994 disusun dengan maksud supaya proses pendidikan dapat selalu menyesuakan diri menggunakan tantangan yg terus barkembang, sebagai akibatnya mutu pendidikan akan semakin meningkat. Kurikulum 1984 yg telah berjalan 10 tahun ditinjau perlu buat diperbaharui lantaran menurut hasil-hasil pengkajian, ditemikan adanya materi kurikulum yg tmpang tindih dan memerlukan penambahan. Misalnya tumpang tindih antara materi PMP, Sejarah Nasional, serta PSPB yg dalam kurikulum 1994 strukturnya lebih di sederhanakan. Disahkannya UU No dua/1989 tentang system Pendididkan Nasional yang diikuti sang banyak sekali peraturan pemerintah mempuyai implikasi dalam perlunya kurikulum pendidikan mengalami penyesuaian. Menyusul terjadinya kabar, dilakukan kembali revisi atas kurikilum 1994 dengan menata kembali struktur programnya yang lalu dikenal dengan kurikulum 1994 yang disempurnakan.





3 Implikasi Landasan Sejarah Pendidikan Terhadap Pendidikan.


  • Masa lampau memperjelas pemahaman kita pada masa sekarang. Sistem pendidikan yang kita terapkan masa kini merupakan output perkembangan pendidikan yang tumbuh pada sejarah pengalaman bangsa kita dalam masa lampau. Hal ini telah terbukti menggunakan adanya kemajuan perkembangan pada segala bidang, misalnya; ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial serta budaya. Berikut pembahasan tetntang akibat landasan sejarah terhadap konsep pendidikan ;
  • Tujuan pendidikan diharapkan bertujuan serta bisa menyebarkan banyak sekali macam potensi peserta didik. Serta menyebarkan kepribadian mereka secara lebih serasi. Tujuan pendidikan pula diarahkan buat pengembangkan segala aspek langsung yg terdapat dalam individu peserta didik, baik pada aspek keagamaan ataupun kemandirian. Dengan mengetahui landasan sejarah pendidikan kita dapat mengetahui betapa pentingnya konsep tujuan menurut pendidikan yg seiring menggunakan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
  • Proses Pendidikan terutama proses belajar- mengajar dan bahan ajar harus diadaptasi denagn tingkat perkembangan siswa, melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa, membuatkan kemandirian dan kerjasama siwa dalam pembelajaran, menegmbangkan pelajaran dalam lintas disiplin ilmu, demokratisasi pada pendidikan, serat pengembangan ilmu serta teknologi.
  • Kebudayaan nasional, Sejarah membawa perubahan kebudayaan. Dari zaman dahulu dahulu hingga waktu ini, adanya perubahan budaya lantaran pengalaman sejarah melalui penemuan baru, pertukaran budaya akibat penjajahan bangsa asing sehingga sejarah membawa imbas perubahan peradaban kebudayaan melalui peranan pendidikan.pendidikan harus jua memajukan kebudayaan nasional. Pidarta (2008:149) mengungkapkan bahwa kebudayaan nasional merupakan zenit-zenit budaya daerah serta menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh budaya dunia.
  • Inovasi-inovasi Pendidikan. Inovasi-inovasi harus berumber berdasarkan output hasil penelitian pendidikan pada indonesia, sehingga dibutuhkan dalam akhirnya membentuk konsep-konsep pendidikan yg bercirikan indonesia.


Sumber: Dirangkum menurut berbagai sumber !
Referensi:

Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. Jakarta.


Munandar, Agus Aris. 1990. Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci pada Jawa Timur Abad 14—15. Tesis Magister Humaniora. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.


Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,” pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, tiga—9 Maret 1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, page 304—18.


Winarno, Agung. 2014. Pengantar Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.


Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan pada indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.


Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.jakarta: Rineka Cipta.


Suardi. 2012. Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Jakarta Barat: PT INDEKS.


//tyarmahutasoitregb.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html


//ikadekartajaya.wordpress.com/2013/09/21/landasan-sejarah-pendidikan-di-indonesia/


//dyahrochmawati08.wordpress.com/2008/11/30/landasan-historis-pendidikan-pada-indonesia/.

MENGGALI UNSURUNSUR FILSAFAT INDONESIA

Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia
1. Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’
Adalah mustahil menemukan definisi kata ‘Filsafat Indonesia’ pada kamus-kamus atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yang standar. Filsafat Indonesia memang belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yg sudah lebih dulu dikenal Barat. Ambillah karya Paul Edwards menjadi satu berukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of Philosophy yang 8 jilid itu, masih ada 1.500 artikel yg ditulis oleh 500 kontributor menurut filosof semua dunia, tapi tak satupun artikel yg tentang Filsafat Indonesia. Sementara itu, ada 1 filosof Mesir, 1 filosof Iran, serta 4 filosof Cina yang menyumbangkan artikelnya selain menurut 494 filosof Barat, akan tetapi tidak satupun filosof Indonesia yang sebagai kontributor artikel di dalamnya.

St. Elmo Nauman Jr., pada karyanya yg klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), pula hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia dari daerah Persia, India, Cina, Palestina, Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, serta Lebanon. Tak satupun nama filosof Indonesia yang disebut. Apatah lagi di pada Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005. Kondisi yang sama jua terjadi ketika anda mencoba browsing pada global maya lewat fasilitas mesin search berdasarkan situs misalnya www.google.com. Dengan penuh putus asa tidak akan ditemukan artikel-artikel internet yg berjudul ‘Filsafat Indonesia’.

Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi fenomena yang lebih menciptakan kita, orang Indonesia sendiri, lebih murung . Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta, hanya memiliki koleksi 42 judul kitab pada katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan koleksi buku Filsafat Barat serta Filsafat Timur lainnya malah memiliki beratus-ratus judul.

Seorang filosof Mesir berkaliber internasional seperti Hassan Hanafi pula mengaku nir pernah mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga dalam saat diwawancara sang GATRA pada 5 Juni 2001 berkata dengan penuh sinisme:

…kalian misalnya bilang tentang impak Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, atau Sayyid Qutub, tetapi mana pemikir Indonesia? Seperti yg terjadi di Turki, mereka hanya mengungkapkan impak dari Abduh, Afghani serta lain-lain. Lalu pada mana pemikir Indonesia?

Bahkan pada pada wawancara itu pula Hanafi mengungkap niatnya buat menulis mengenai pemikir-pemikir Indonesia. 

Ini semua berarti, kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan buat orang Indonesia sendiri. Namun, walaupun belum populer secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia telah dikaji di negeri sendiri, sang segelintir orang yang memelopori kajiannya, seperti Sunoto, R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, serta Jakob Sumardjo. Sunoto dan R. Pramono berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen merupakan Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dan Jakob Sumardjo dari ITB Bandung. 

M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian Filsafat Indonesia dalam dekade 60-an. Dalam karyanya yg sangat klasik (Perpustakaan Nasional RI memasukkan bukunya menjadi keliru satu koleksi ‘kitab langka’), Guru Besar UI ini pada poly halaman menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia menggunakan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) serta Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia merupakan suatu Filsafat spesial yg ‘tidak Barat’ dan ‘nir Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, serta kekeluargaan.

Demikian jua Sunoto, yg melakukan kajian serius mengenai Filsafat Indonesia, walaupun diakuinya sendiri bahwa kajiannya ‘…masih berkisar pada kefilsafatan Jawa…,’ serta nir menyeluruh. R. Pramono mencoba lebih jauh berdasarkan Sunoto. Selain Jawa, beliau menelusuri alam pikiran Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia berdasarkan ‘era primordial’, ‘era antik’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna berdasarkan budaya material (lukisan, indera musik, sandang, tarian, serta lain-lain) sampai budaya intelektual (cerita verbal, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, serta lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yg lain, Mencari Sukma Indonesia (2003), Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yg secara radikal amat tidak selaras ontologi, epistemologi, serta aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’. Semua perintis tadi sangat membantu dalam mencapai pemahaman yang dalam tentang Filsafat Indonesia.

Semua pioner Filsafat Indonesia tersebut mendefinisikan Filsafat Indonesia secara bhineka. M. Nasroen mendefinisikan Filsafat Indonesia menjadi sekumpulan ajaran-ajaran filosofis yg asli Indonesia, yang nir pernah dimiliki oleh Filsafat manapun. Dalam ungkapannya sendiri, Nasroen menyebutkan:

Pandangan hayati Indonesia merupakan berlainan betul menurut Pandangan Hidup Junani serta Pandangan Hidup Barat dan Timur yang bersumberkan pada Pandangan Hidup Junani itu…

Sedangkan Sunoto, R. Pramono, serta filosof UGM dari Jurusan Filsafat Indonesia lainnya, mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai ‘…kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yg terkandung di pada kebudayaan sendiri…’ Atau, dalam ungkapan R. Pramono, Filsafat Indonesia berarti ‘…pemikiran-pemikiran…yg tersimpul pada dalam norma istiadat dan kebudayaan daerah…’ Jadi, dalam pemikiran grup filosof UGM itu, Filsafat Indonesia merupakan semua pemikiran filosofis yg ditemukan pada tata cara tata cara dan kebudayaan gerombolan -gerombolan etnis rakyat Indonesia, mulai dari Sabang hingga Merauke. Definisi ini pula dianut sang Alumni UGM serta Dosen Matakuliah Filsafat Indonesia pada UIN Syarif Hidayatullah. 

Jakob Sumardjo mendefinisikan Filsafat Indonesia secara amat gamblang serta lugas sebagai ‘Filsafat Etnik Indonesia’, yakni ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yg menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ berdasarkan suatu kelompok etnik pada Indonesia. Jika diklaim ‘Filsafat Etnik Jawa’, maka ialah:

filsafat… yang terbaca pada cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk tempat tinggal Jawanya, berdasarkan kitab -buku sejarah serta sastra yg ditulisnya…

Semua filosof pelopor tadi, nampaknya, mencapai kata putusan bulat bahwa definisi Filsafat Indonesia merupakan ‘segala warisan pemikiran asli yg masih ada pada tata cara-adat serta kebudayaan seluruh kelompok etnik Indonesia.’ Jadi, semua produk filosofis sebelum datangnya filsafat asing (Cina, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, bisa disebut sebagai Filsafat Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat asli Indonesia’ hanya ada pada ketika rakyat Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Apabila Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka sungguh betul miskinlah tradisi filsafat kita.

Penulis menduga penting adanya definisi baru, agar Filsafat Indonesia tidak hanya misalnya katak pada tempurung, yg kebal terhadap efek intelektual asing dan ‘suci’ dari unsur filosofis asing, dengan cara memperluas scope Filsafat Indonesia, yang bukan hanya mengandung segala warisan pemikiran asli yg masih ada dalam norma-tata cara dan kebudayaan semua gerombolan etnik Indonesia, tapi jua segala pemikiran Indonesia yang terpengaruh oleh antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.

Memang sahih, sebagaimana seringkali ditunjukkan oleh penulis buku Filsafat Islam, Persia, Cina, Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, serta lain-lain, bahwa para filosof menamai kajian mereka dengan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., pada samping buat menegaskan sumbangan komunal berdasarkan komunitas loka mereka dari terhadap tradisi filsafat sejagat, jua buat menunjukkan kekhasan, otentisitas, bukti diri, atau fitur distingtif menurut filsafat yang mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filosof itu nir berhenti sampai pada situ saja. Mereka lalu jua mengakui, baik secara tersirat maupun eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat jua turut memberi warna-warni pada struktur filsafat regional mereka. 

Bertrand Russell, dalam kitab sejarah filsafat Baratnya yg amat klasik History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from The Earliest Times to The Present Day (Sejarah Filsafat Barat dan Hubungannya dengan Kondisi Sosio-Politik berdasarkan Masa Lampau Hingga Sekarang), mengakui imbas Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat. Dengan kata-pungkasnya sendiri, Russell berujar: 

Writers in Arabic showed some originality in mathematics and chemistry in the latter case, as an incidental result of alchemical researches. Mohammedan civilization in its great days was admirable in the arts and in many technical ways, but it showed no capacity for independent speculation in theoretical manners. Its importance, which must not be underrated, is as a transmitter. Between ancient and modern European civilization, the dark ages intervened. The Mohammedans and the Byzantines, while lacking the intellectual energy required for innovation, preserved the apparatus of civilization education, books, and learned leisure. Both stimulated the West when it emerged from barbarism the Mohammedans chiefly in the thirteenth century, the Byzantines chiefly in the fifteenth. In each case the stimulus produced new thought better than any produced by the transmitters in the one case scholasticism, in the other the Renaissance (which however had other causes also)

Pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat juga diakui sang filosof Barat lain, Frederick Mayer. Dalam karyanya yang jua tergolong klasik A History of Ancient & Medieval Philosophy, lektur filsafat dalam University of Redlands California ini mengatakan:

Averrhoes defended, against Al-Gazzali, the value of philosophical discussion. He held that it could give a spiritual interpretation of the faith and lead to a symbolic explanation of dogmas which otherwise would be accepted in their literal sense. After his death Arabic philosophy declined, but his theories played an important part in Western scholastic circles.

Bukan hanya filosof Barat yg mengakui impak rona-warni filsafat asing dalam struktur filsafat regionalnya, tapi juga filosof Jepang, misalnya Masaaki Kôsaka. Dalam artikelnya The Intellectual Background of Modern Japanese Thought (Latarbelakang Intelektual menurut Alam Pikiran Jepang Modern), Masaaki mengakui imbas Filsafat Barat dalam struktur Filsafat Jepang, seraya berkata:

When Japan in the time of The Meiji Restoration-pen. Began dealing with foreign nations, she admitted a host of Western influences. At the time, these sprang solely from modern Europe and America, but it was inevitable that the attention of the Japanese would eventually be caught by the glories of the Renaissance and ancient Greek civilization, and more important, that they would encounter Christianity

Huang Songjie, seorang filosof Cina, jua turut mengakui efek tradisi Filsafat Barat terhadap struktur Filsafat Cina. Dalam artikelnya The ‘Great Triangle’ of Chinese Philosophical Academia and The Modernization of China (‘Segitiga Emas’ Akademi Filsafat Cina dan Modernisasi Cina) , Songjie menegaskan bahwa:

Marxist philosophy, Western philosophy and Chinese traditional philosophy are three independent and yet interrelated philosophical trends in the 20th century Chinese academic and cultural world. I refer to this as the "Great Triangle". Dealing properly with this interrelationship is of great importance for the development of Chinese culture and the modernization of China… Western science and culture spread gradually in China after the Opium War (1840) and forcefully challenged traditional Confucianism. Early in 20th century, with the Revolution of 1911 and the May 4th New Culture Movement, traditional Confucianism was attacked intensely by a large number of progressive intellectuals and radical thinkers. During the twenties and thirties of this century, more and more Chinese intellectuals introduced and popularized Western philosophy in China, among which pragmatism was especially influential. But early in 20th century the greatest impact on Chinese society was the introduction and spread of Marxism. From the 1920’s on the "Great Triangle" appeared in the Chinese philosophical arena, in which the traditional Confucianist philosophy was defeated and Marxist philosophy emerged as the winner. The victory of Marxism is due to the fact that the Chinese communists combined Marxism tactically with Chinese social and revolutionary practice; they made of Marxism an ideological weapon against feudalism and imperialism, leading thereby to the founding of New China.

Tidak mengakui adanya ‘Filsafat orisinil Indonesia’ dan hanya mengakui impak Modernisme Barat dalam struktur Filsafat Indonesia jua sama buruknya dan sama naifnya. Memang tidak bisa disangkal, bahwa istilah ‘Indonesia’ baru diciptakan pada tahun 1917, akan tetapi bukan berarti sebelum tahun itu tradisi Filsafat Indonesia belum terdapat; sebelum tahun itu, pemikir Indonesia belum lahir. Memang tak dapat disangkal, bahwa ‘Indonesia’ sebagai suatu forum politik terkini Republik ala Barat baru lahir pada 17 Agustus 1945, akan tetapi bukan berarti seluruh pemikir yang terdapat sebelum tanggal itu wajib diabaikan begitu saja. 

Semangat ‘anti-tradisi’ semacam itu pernah mencuat pada goresan pena-goresan pena polemis ‘Sutan Takdir Muda’ dengan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian dikenal menjadi Polemik Kebudayaan 1935,[16] dimana Sutan Takdir beropini bahwa tradisi ‘Indonesia Lama’ termasuk struktur budaya, peradaban, seni, dan filsafatnya menjadi satu paket wajib dibuang jauh-jauh ke belakang serta, menjadi gantinya, tradisi Dunia Modern yang mengandung ‘budaya progresif’ wajib diadopsi, dipelajari, dan dikuasai, agar Indonesia dapat mewarisi kebesaran struktur budaya Modern itu serta menjelmakannya buat dirinya sendiri sebagai ‘Indonesia Modern’. Motif-motif ‘anti-tradisi’ pula sempat hadir pada deklarasi serta pernyataan-sikap para sastrawan yang tergabung dalam grup Angkatan ’45, yg terungkap dalam Surat Kepercayaan Gelanggang Indonesia Merdeka (Jakarta, 18 Februari 1950):

…Kami tidak akan menaruh suatu kata ikatan buat kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami nir jangan lupa kepada melap-lap hasil kebudayaan usang hingga berkilat serta buat dibanggakan,… Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yg wajib dihancurkan…

Upaya pengadopsian filsafat asing ke pada struktur tradisional Indonesia dalam wujud proyek Modernisasi (Westernisasi) berada dalam track yg sahih, apabila dimaksudkan untuk menghancurkan residu-residu sukuisme dan feodalisme pra Kemerdekaan, akan tetapi menjadi galat-langkah, jika ditujukan buat membuang seluruh heritage filosofis lama . 

Pada saat Modernisasi mulai mengetam output panennya setelah dua abad berjalan, yang puncaknya tercapai di era Orde Baru Soeharto, tidaklah galat apabila ada orang yang mau ‘balik ke Tradisi’, bukan buat sekadar romantisme yang nostalgik, tapi buat interpretasi-ulang, cipta-ulang, siklus-ulang, reka-ulang, pemaknaan-ulang atau introspeksi terhadap tradisi sendiri. Mungkin terdapat ‘penyakit-penyakit Modernitas’ yang ‘obatnya’ justru masih ada dalam Tradisi. Mungkin jua ada Tradisi yang elemen-elemennya malah menopang sendi-sendi yang ringkih menurut struktur Modernitas. Tradisi yg dimaknai-ulang sang orang terbaru tentu bukan lagi tradisi kuno, akan tetapi menjadi suatu Modernitas baru, lantaran tradisi kuno sudah sejak usang hilang, digantikan sang Modernitas. Ketika Modernitas telah menjadi barang antik sang orang Indonesia sekarang, maka penafsiran-ulang terhadap Tradisi mungkin saja membentuk ‘Modernitas Baru’.

Definisi baru Filsafat Indonesia mesti merangkul Tradisi dan Modernitas sekaligus. Tidak boleh ada preferensi yg hiperbola pada galat satunya. Apabila pilihan dijatuhkan pada salah satu menurut keduanya, berarti Filsafat Indonesia sudah dimiskinkan isinya.

Mitologi kuno yg sarat elemen filosofis, menjadi bagian berdasarkan Tradisi, setidaknya bisa dijadikan titik-tolak (turning point) buat pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, apabila bukan menjadi pintu gerbang (gateway) buat masuk ke alam pikiran Indonesia. Banyak penulis sejarah filsafat yg sengaja memasukkan kajian mitologis menjadi kajian pembuka pada bukunya, apalagi bila bukunya memang disusun berdasarkan kronologi. Thomas Kasulis, pada artikelnya Japanese Philosophy, memulai kajiannya dengan mitologi Jepang kuno. Mohammad Hatta, dalam buku Alam Pikiran Yunani, jua memulai kajiannya dengan mitologi Yunani. Bahkan, Plato, pada setiap tulisannya, menggunakan mitologi, baik menjadi bahan-standar (raw material) filsafatnya juga sebagai sasaran kritik buat menciptakan struktur filosofisnya. 

Untuk membuat definisi yang baik menurut Filsafat Indonesia, maka diperlukan beberapa perbandingan menggunakan definisi filsafat yg lain. Misalnya, ‘Filsafat Islam’ disebut demikian, karena filsafat itu lahir di wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh komunitas religius Islam yang menetap di daerah itu. Hal serupa jua berlaku bagi ‘Filsafat Kristen’ serta ‘Filsafat Yahudi’. Sementara, ‘Filsafat Jerman’ disebut demikian, lantaran dia ditulis dengan aksara dan bahasa Jerman. Ini serupa menggunakan definisi ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Rusia’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Kontinental’ (Filsafat yg ditulis berbahasa Eropa Kontinental), ‘Filsafat Analitis’ (Filsafat yg ditulis berbahasa Inggris atau Amerika), ‘Filsafat Korea’, serta ‘Filsafat Arab’, yang mendasarkan penamaan filosofisnya berdasarkan penggunaan aksara dan bahasa nasionalnya. ‘Filsafat Afrika’ lebih menekankan segi distingtif tradisi filosofisnya menurut tradisi filsafat sejagat lainnya. Ini serupa menggunakan ‘Filsafat Persia’, ‘Filsafat Bantu’, dan ‘Filsafat Pakistan’.

Berdasarkan perbandingan di atas, berarti definisi Filsafat Indonesia bisa dibangun berdasarkan 3 segi: 1) daerah loka filosof itu berada; dua) aksara dan bahasa yang dipakai filosof buat menulis karya filosofisnya; dan 3) segi distingtif pemikiran filosofisnya berdasarkan tradisi filsafat sejagat. Kalau tiga segi ini diterapkan pada definisi Filsafat Indonesia, maka Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di daerah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yg menggunakan bahasa-bahasa pada Indonesia menjadi mediumnya, serta yang isinya kurang-lebih mempunyai segi distingtif jika dibandingkan menggunakan filsafat sejagat lainnya.

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia merupakan filsafat yang diproduksi sang seluruh orang yg menetap di wilayah Indonesia berimplikasi, bahwa seluruh orang yang berasal menurut kelompok etnis, gerombolan ras, atau gerombolan religius yang tidak selaras, asalkan semuanya menetap di Indonesia, maka semuanya filosof Indonesia. 

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang memakai bahasa-bahasa pada Indonesia menjadi medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa seluruh orang yg menetap pada Indonesia, asalkan memakai bahasa-bahasa yg hidup pada Indonesia sebagai mediumnya, maka semuanya merupakan filosof Indonesia. Disebut ‘bahasa-bahasa pada Indonesia’, karena Indonesia mempunyai 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa Indonesia. 

Untuk sifat ketiga, bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yg sekurang-kurangnya mempunyai segi distingtif berdasarkan filsafat sejagat lainnya, wajib diberi penjelasan tambahan. Distinctiveness bukanlah suatu keharusan dalam Filsafat Indonesia, sebab, harus diakui, bahwa segi distingtif dalam isi Filsafat Indonesia amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih banyak borrowing nya daripada otentisitasnya. Lebih poly segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang asli pada Filsafat Indonesia hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yang pinjaman relatif banyak, meliputi pinjaman dari ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’, hingga ‘Filsafat Barat’. Pinjaman-pinjaman itu, dalam saatnya, akan dipulangkannya lagi sehabis beliau berhasil membentuk suatu corak lain, apakah pada bentuk sintesa dialektis, adaptasi, transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi. 

Definisi baru Filsafat Indonesia ini pula berimplikasi pada perkara kapan lahirnya kajian Filsafat Indonesia. Apabila dimaksud menjadi suatu nama cabang filsafat yang dikaji filosof Indonesia, yang membedakannya berdasarkan kajian Filsafat Barat dan Filsafat Asia lainnya, maka Filsafat Indonesia lahir dalam dasa warsa 60-an. Tapi, jika dimaksud menjadi kegiatan berpikir logis-rasional yang diproduksi orang Indonesia, maka Filsafat Indonesia lahir bukan sejak dekade itu, tapi malahan semenjak local genius primitif menghasilkan mitologi filosofis, yang diperkirakan para sejarawan berproduksi semenjak era neolitik lebih kurang 3500-2500 SM, yang jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri hingga sekarang pada kebudayaan suku Sakuddei pada Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim di Papua (Irian Barat), jua di suku Minangkabau, Jawa, Nias, Batak, dan lain-lain.

2. Mazhab, Sumber, serta Tokoh Filsafat Indonesia
Kini tibalah pada tempatnya buat membahas cabang-cabang berdasarkan ‘Filsafat Indonesia’ serta tokoh-tokoh kunci yg menguasai cabang itu. Di sini penulis membagi Filsafat Indonesia ke pada 6 mazhab besar , menurut dalam asal-asal inspirasinya: Filsafat Etnik, Filsafat Timur, Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, dan Filsafat Paska-Soeharto.

Filsafat Etnik
Jakob Sumardjo telah menyebutkan di muka, bahwa yang dimaksud menggunakan ‘Filsafat Etnik’ artinya ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ berdasarkan suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, bila diklaim ‘Filsafat Etnik Jawa’, itu adalah:

filsafat… yg terbaca pada cara rakyat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara menentukan pemimpin-pemimpinnya, menurut bentuk tempat tinggal Jawanya, menurut kitab -buku sejarah dan sastra yang ditulisnya.

‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat asli berdasarkan Indonesia, yg diproduksi oleh local genius primitif sebelum kedatangan dampak filsafat asing. Di era neolitikum, kurang lebih tahun 3500–2500 SM, penduduk Indonesia asli telah membentuk komunitas berupa desa-desa kecil yang telah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan perahu, sistem pelayaran sederhana, dan seni bertenun.[20] Mereka jua telah mulai berspekulasi tentang segala yang mereka perhatikan menurut alam, sehingga merekapun sudah memproduksi filsafat, sekalipun dalam bentuk yg sangat sederhana. Mitologi-mitologi filosofis yg diproduksi suku-suku etnis Indonesia kini telah poly yg dibukukan, sehingga para peneliti Filsafat Indonesia sekarang bisa membacanya, baik dalam Bahasa Indonesia juga dalam bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq telah dibukukan serta diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng dengan judul Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak. 

Kajian ‘Filsafat Etnik’ telah poly dilakukan oleh filosof Indonesia. M. Nasroen adalah orang pertama yg memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ dalam dasa warsa 60-an, lalu Sunoto, yang melakukan kajian berfokus tentang Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono menyelidiki Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia dan Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain. Franz Magnis-Suseno pula menelaah Filsafat Etnik Jawa, misalnya karya-karyanya yang berjudul Kita dan Wayang (Jakarta, 1984), Etika Jawa pada Tantangan, serta Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. I Made Swasthawa Dharmayuda menyelidiki Filsafat Bali yang terkandung dalam adat-tata cara suku Bali pada karyanya Filsafat Adat Bali. P.J. Zoetmulder menelaah Filsafat Etnik Jawa berdasarkan segi kesusastraannya pada buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme serta Monisme pada Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi luriknya pada kitab Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi Endraswara mempelajari Filsafat Etnik Jawa berdasarkan tradisi peribahasanya dalam buku Mutiara Wicara Jawa. Purwadi menyelidiki Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar pada pewayangan Jawa pada karyanya Semar: Jagad Mistik Jawa dan Woro Aryandini mempelajari kearifan tokoh Bima pada karyanya Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang dipahami spesial orang Jawa pada karyanya Filsafat Hidup Jawa, serta masih banyak lagi filosof Indonesia yang menelaah Filsafat Etnik, bahkan sampai detik ini. 

Filsafat Timur
Yang dimaksud dengan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan oleh orang-orang ‘Timur’, menjadi kebalikan menurut orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan oleh bangsa Barat buat bangsa Timur. Pada kenyataannya, nir seluruh bangsa Timur filsafatnya dikenal baik oleh bangsa Barat. Yang tradisii filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, serta ‘Filsafat India’. 

‘Filsafat Cina’ yang terbaru saja dipelajari dengan berfokus oleh filosof Indonesia, walaupun nyatanya orang Cina telah menetap pada Indonesia lebih menurut 30 abad yang lalu! ‘Filsafat Cina Klasik’, misalnya Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-479 SM), serta Chuang Tzu (w.360 SM), sekarang dengan penuh antusias dikaji-ulang serta ditafsir-ulang. Indra Widjaja menyelidiki Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu buat dipahami secara terkini pada karyanya Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern. Soejono Soemargono menciptakan ikhtisar sejarah Filsafat Cina pada karyanya yg pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.

‘Filsafat Cina Modern’ telah mulai dikaji oleh filosof Indonesia semenjak abad 19 M. Sun Yat-Senisme telah dikaji sang Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya Sun Yat Sen Djalan Ke Kemerdekaan dari bahasa Cina ke bahasa Melayu, Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji sang Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji sang Oey Gee Hoat serta Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll. Tetapi, karya Leo Suryadinata yang berjudul Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San hingga Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) serta Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat menggunakan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filosof Indonesia dari etnik Cina. 

‘Filsafat India’ jua masih sedikit yang mempelajari. Dari survei, penulis hanya menemukan satu karya saja yg mempelajari ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, misalnya karya Harun Hadiwidjono yg berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan yang mempelajari ‘Filsafat India Modern’ sudah relatif poly, pada antaranya merupakan R. Wahana Wegig yang mempelajari Filsafat Etika berdasarkan Mahatma Gandhi pada karyanya Dimensi Etis Ajaran Gandhi.

Yang cukup menarik dipelajari ialah karya asli output menurut blending antara Filsafat Etnik Indonesia menggunakan Filsafat India atau hasil menurut blending antara Buddhisme serta Hinduisme, yang saya namakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini merupakan output eksperimen filosofis menurut beberapa filosof kreatif dari Indonesia, yang membentuk corak filosofis yg menarik dan asli. Sambhara Suryawarana, seseorang penulis buku suci Buddhisme yang hidup pada kerajaan Medang Hindu di kurang lebih tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yang Hinduist pada pada kitab kudus Buddhist yang dikarangnya, Sang Hyang Kamahayanikan. Mpu Prapanca (1335-1380) menulis buku Negarakertagama dan Ramayana Kakawin. Ramayana Kakawin artinya terjemahan epik Hindu-India yang diadaptasi dengan alam pikiran Indonesia primitif, sementara Negarakertagama ialah karya puisi epik berbahasa Jawa Kuno yang mengungkapkan filsafat yg dianut Kertanagara (1268-1292), seseorang raja terbesar menurut Dinasti Singhasari, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seorang pengarang yg hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis buku Sutasoma, yg memadukan filsafat Buddhisme menggunakan Syiwaisme-Hindu. 

Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke bahasa Jawa Kuno tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam epik Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yang memerintahkan penyaduran Bharatayudha versi India menjadi versi Jawa, buat menggambarkan perang saudara antara Jayabaya (menjadi Pandawa) menggunakan sepupunya Jenggala (menjadi Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) menurut Sailendra membangun Candi Borobudur yang bertingkat 9, buat memuja arwah 9 famili moyangnya pada bepergian mereka menuju Nirvana.

‘Filsafat Jepang’ masih sporadis dikaji. Dari survei, penulis hanya menemukan dua karya yg ditulis filosof Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yang berjudul Busido, dan kedua, karya Irmansyah Effendi yang berjudul Rei Ki: Teknik Efektif buat Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.

Filsafat Barat
‘Filsafat Barat’ atau Western Philosophy adalah tradisi filsafat yang dikembangkan bangsa Barat sejak masa klasik (abad 5 SM-5 M), pertengahan (6 M-14 M), serta masa terkini (15 M-kini ), yg diproduksi di negara-negara Barat seperti Yunani, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Western Philosophy dipecah-pecah menjadi poly cabang, seperti Analytic Philosophy, Continental Philosophy, German Philosophy, serta lain-lain. 

‘Filsafat Barat’ yang cabang-cabangnya amat banyak itu telah banyak dikaji sang filosof Indonesia, bahkan sanggup dikatakan menjadi filsafat yang paling banyak dikaji serta yang paling dikuasai oleh mereka. Sejak abad 19 M, saat kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’ dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat serta gereja-gereja Protestan yg mengajarkan peradaban Barat Modern di tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ acapkali dijadikan counter-culture terhadap ‘Filsafat Etnik’ sang para filosof Indonesia yg telah Western-minded.

‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad 20, sudah dikajii oleh K. Bertens pada karyanya Filsafat Barat Abad XX dan Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. ‘Filsafat Barat Klasik’, seperti Filsafat Yunani-Kuno semenjak Thales sampai Plotinus, telah dikaji sang Mohammad Hatta (salah satu founding father kita) pada bukunya Alam Pikiran Yunani.

‘Filsafat Barat Modern’ merupakan cabang yang paling poly dikaji, lantaran hampir semua forum sosial-politik Indonesia poly yang terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik, konstitusi negara terbaru, lembaga perwakilan warga , distribusi kekuasaan yg sejalan menggunakan Trias Politica, partai politik, serta ideologi partai tersebut sungguh-sungguh cerminan efek alam pikiran Barat. 

Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika serta D.N. Aidit pada bukunya Tentang Marxisme, Problems of The Indonesian Revolution, dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen mempelajari organisasi buruh komunis pada bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat Sosialisme-Demokrat pernah dikaji sang Sutan Syahrir pada tulisannya Sosialisme pada Eropah Barat dan Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah dikaji oleh Tan Malaka pada kitab Naar de ‘Republiek Indonesia’ serta perkembangan Kapitalisme pada Indonesia pula dibahas dalam bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si penyambung pengecap rakyat’, pernah membahas Filsafat Nasionalisme dalam bukunya Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat Fasisme Jerman pernah mencuat dalam pidato Soepomo di Rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan serta Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh wacana sosial-politik di era Orde Baru Soeharto. 

Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, poly sekali cabang filsafat Barat yg dikaji oleh filosof Indonesia. Filsafat Estetika dikaji oleh Jakob Sumardjo pada bukunya Filsafat Seni. Juga sang Wajid Anwar L. Dalam ke 2 bukunya Filsafat Estetika serta Filsafat Estetika (Sebuah Pengantar). Filsafat Etika dikaji sang K. Bertens dalam beberapa karyanya seperti Keprihatinan Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, serta Aborsi sebagai Masalah Etika. Juga dikaji oleh W. Poespoprodjo pada bukunya Filsafat Moral, dan I.R. Poedjawijatna dalam bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan menelaah Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Kehumasan dalam karyanya Etika Kehumasan, sedangkan M. Dawam Rahardjo menelaah Filsafat Etika yg diterapkan pada bidang Ekonomi dan Manajemen pada bukunya Etika Ekonomi serta Manajemen. 

Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta dalam bukunya Epistemologi Dasar, Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan serta M. Ghozi Badrie dalam karyanya Filsafat Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi menyelidiki Filsafat Epistemologi yg diterapkan pada bidang Geografi dalam karyanya Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji oleh I.R. Poedjawijatna dalam karyanya Logika: Filsafat Berpikir dan Burhanuddin Salam pada bukunya Logika Formal. Filsafat Kosmologi dikaji sang Moertono pada karyanya Filsafat Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara Manusiawi Filsafat.

Filsafat Semiotika pada perspektif Roland Barthes dikaji sang Kurniawan pada bukunya Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji sang Soetikno dalam bukunya Filsafat Hukum, Suhadi pada bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi pada kedua karyanya Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? Dan Filsafat Hukum Mazhab serta Refleksinya. Juga oleh Moertono dalam bukunya Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji oleh J.H. Rapar dalam beberapa karyanya misalnya Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus, Filsafat Politik Machiavelli, serta Filsafat Politik Plato. Franz Magnis-Suseno pula punya concern dalam Filsafat Politik, sebagaimana terlihat dalam bukunya Filsafat Kebudayaan Politik. 

Filsafat Sejarah dikaji sang beberapa filosof, seperti H.R.E Tamburaka dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, dan Purwo Husodo dalam karyanya Filsafat Sejarah Oswald Spengler. Filsafat Agama dikaji sang Tom Jacobs, SJ pada bukunya Paham Allah, pada Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Hamzah Ya’qub pada karyanya Filsafat Agama, Hamka pada bukunya Filsafat Ketuhanan, H.M. Rasjidi dalam karya terjemahannya Filsafat Agama, serta Louis Leahy pada bukunya Filsafat Ketuhanan Kontemporer. 

Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah dalam bukunya Budaya Ilmiah serta Filsafat Ilmu, Jujun Suriasumantri pada dua kitab masterpiece-nya Ilmu dalam Perspektif serta Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Burhanuddin Salam dalam dua karyanya Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan serta Sejarah Filsafat Ilmu serta Teknologi, Hartono Kasmadi pada bukunya Filsafat Ilmu, M. Solly Lubis dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Penelitian, Hidanul I Harun dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan, serta Chairul Arifin pada karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar. Filsafat Pendidikan dikaji sang Redja Mudyahardjo pada karyanya Filsafat Ilmu Pendidikan, Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, dan Paul Suparno pada bukunya Filsafat Konstruktivisme pada Pendidikan. 

Filsafat Manusia dikaji oleh Zainal Abidin dalam bukunya Filsafat Manusia, Burhanuddin Salam pada bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran Wuryo Sanadji dalam bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara pada karyanya Filsafat Manusia, dan Moertono pada karyanya Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan: Potensi Penanganan Masalah. Filsafat Kebebasan dikaji sang satu-satunya filosof Nico Syukur Dister dalam karyanya Filsafat Kebebasan. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji sang dua orang filosof, yakni Rizal Mustansyir pada karyanya Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, serta Peranan Para Tokohnya serta Kaelan dalam karyanya Filsafat Analitis berdasarkan Ludwig Wittgenstein. Filsafat Sastra dan Budaya juga dikaji satu-satunya sang FX. Mudji Sutrisno pada karyanya Filsafat Sastra dan Budaya. Juga Filsafat Matematika yg cuma dikaji oleh The Liang Gie dalam karyanya Filsafat Matematika. Filsafat Ekonomi juga dikaji satu-satunya sang Save M. Dagun pada karyanya Pengantar Filsafat Ekonomi, sedangkan Filsafat Desain dan Supervisi dikaji sang Ir. Hamid Shahab dalam bukunya Filosofi Desain & Supervisi. Demikian juga Filsafat Administrasi yg dikaji hanya oleh Sondang P. Siagian dalam kitab Filsafat Administrasi. 

Filsafat Barat Paska-terkini jua sempat mampir pada Indonesia, yg dikaji sang Budi Hardiman F. Dalam karyanya Melampaui Positivisme dan Modernitas, Onno W. Purbo dalam karyanya Filsafat Naif Dunia Cyber, dan Ridwan Makassary pada karyanya Kematian Manusia Modern.

Yang relatif menarik buat dibahas disini merupakan Filsafat Barat yg diadaptasikan dengan situasi kongkrit Indonesia, yg aku namakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau ‘Adaptasionisme Barat’. Cabang filsafat ini adalah genre filosofis yang corak Baratnya sudah sejauh mungkin dirubah, buat diubahsuaikan dengan situasi historis kongkrit di Indonesia. Tokoh-tokoh berdasarkan cabang filsafat ini diantaranya merupakan Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, serta S.C. Utami Munandar. Tan Malaka menelaah ‘teori gerilya’ menurut Filsafat Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno menyelidiki komunitas Proletar berdasarkan Filsafat Komunisme buat diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat pada goresan pena-tulisannya yg dikumpulkan dan diterbitkan sang Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno mengenai Marhaen. Adaptasionisme pula dilakukan Moh. Hatta, waktu beliau berbicara mengenai demokrasi Barat terbaru buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia pada bukunya Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran dan dalam kumpulan tulisannya yang diterbitkan Tim LP3ES dengan judul Karya Lengkap Bung Hatta. Juga pengkajian demokrasi Barat yang diterapkan Sjahrir pada situasi kongkrit Indonesia pada karyanya Pemikiran Politik Sjahrir. Filsafat Feminisme yang diterapkan pada menyelidiki kaum perempuan Indonesia dilakukan sang Soekarno dalam bukunya Sarinah: Keajaiban Wanita pada Perjuangan Republik Indonesia, Kris Budiman dalam bukunya Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender, S.C. Utami Munandar dalam bukunya Emansipasi serta Peran Ganda Wanita Indonesia serta Toety Heraty pada bukunya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. M. Dawam Rahardjo mengkaji ‘Teori Ketergantungan Dunia Ketiga’ buat diterapkan dalam menyelidiki Ekonomi Indonesia dalam bukunya Transformasi Pertanian, Industrialisasi serta Kesempatan Kerja. Sedangkan Sri-Edi Swasono mempelajari pemikiran adaptasionisme Hatta pada bukunya Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasi v.S.konsentrasi Ekonomi serta Satu Abad Bung Hatta. 

Filsafat Islam
‘Filsafat Islam’ adalah filsafat yg lahir di daerah kuasa Islam serta diproduksi sang komunitas religius Islam yg menetap pada wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ serta ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Islam’ pula merupakan galat satu cabang yg seringkali dikaji serta yang paling dikuasai sang filosof Indonesia, apalagi waktu ini komunitas Islam pada Indonesia menempati posisi sebagai dominan. ‘Filsafat Islam’ sekarang bisa dipecah ke dalam poly cabang, seperti Filsafat Sufisme, Filsafat Pendidikan, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, dan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam dalam kategori regional pula relatif menarik, seperti ‘Filsafat Islam Arab’ dan ‘Filsafat Islam Persia’, karena kedua cabang itu, walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ akan tetapi keduanya mempunyai corak yang berbeda. Bahkan, kini jua bisa dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, lantaran masalah filosofis yg dihadapi dalam situasi historis kongkrit oleh filosof Islam di Indonesia tidak selaras dengan yang dihadapi oleh filosof Islam di Arab atau pada Persia. 

Filsafat Sufisme dikaji sang Alwi Shihab dalam karyanya Islam Sufistik, K. Permadi pada bukunya Pengantar Ilmu Tasawwuf, M. Solichin dalam karyanya Kamus Tasawuf, Sukardi Kd. Pada bukunya Salat pada Perspektif Sufi, Meison Amir Siregar dalam karyanya Rumi: Cinta dan Tasawuf dan oleh Asep Salahuddin pada karyanya Ziarah Sufistik. 

Filsafat Pendidikan Islam dikaji oleh Hamdani Ihsan pada karyanya Filsafat Pendidikan Islam, Abdurrahman S. Abdullah dalam bukunya Teori Pendidikan menurut Al-Quran, H.M. Arifin dalam Filsafat Pendidikan Islam, Zuhairini dalam Filsafat Pendidikan Islam, Jalaluddin & Usman Said dalam Filsafat Pendidikan Islam, dan oleh Imam Barnadib pada karyanya Filsafat Pendidikan Islam. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji oleh satu-satunya pengkaji, yakni, Musa Asya’arie dalam bukunya Filsafat Islam: Tentang Kebudayaan.

Filsafat Hukum Islam dikaji sang Zaini Dahlan pada karyanya Filsafat Hukum Islam, Ishak Farid dalam Ibadah Haji pada Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy pada Falsafah Hukum Islam, dan sang Ismail Muhammad Syah pada karyanya Filsafat Hukum Islam. Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji sang A. Munawwir Sadzali pada karyanya yg monumental Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah serta Pemikiran serta Kamaruzzaman pada kitab Relasi Islam serta Negara.

Teori pengetahuan dari mazhab Islam dikaji oleh Imam Syafi’i pada karyanya Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran serta oleh Mohammad Miska Amien dalam bukunya Epistemologi Islam. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji sang Muh. Hanif Dhakiri pada 2 bukunya Islam serta Pembebasan serta Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Juga oleh Fachrizal A. Halim pada karyanya Beragama pada Belenggu Kapitalisme.

Karya-karya pengantar Filsafat Islam pula poly ditulis oleh filosof Islam Indonesia seperti oleh Abdul Aziz Dahlan menggunakan judul Pemikiran Falsafi dalam Islam, Soedarsono dalam karyanya Filsafat Islam, Oemar Amin Hoesin dalam dua bukunya yg amat klasik Filsafat Islam dan Filsafat Islam: Sedjarah serta Perkembangannya pada Dunia Internasional, H. Musa Asya’arie pada karyanya Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, serta oleh J.W.M. Bakker pada karyanya yg klasik Pengantar Filsafat Islam.

Filsafat Islam Regional seperti ‘Filsafat Arab Klasik’, contohnya, dikaji oleh Harun Nasution dalam karyanya Teologi Islam, Hasan Asari dalam bukunya Nukilan Pemikiran Islam Klasik, dan oleh Ilhamuddin pada buku Pemikiran Kalam Baqillani. ‘Filsafat Arab Modern’ dikaji, umpamanya, sang H.A. Mukti Ali pada bukunya Alam Pikiran Islam Modern pada Timur Tengah, A. Munir dalam bukunya Aliran Modern dalam Islam, H.A. Mukti Ali pada kitab Islam serta Sekularisme pada Turki Modern serta oleh Harun Nasution pada karyanya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. ‘Filsafat Islam Persia’ juga banyak yg menelaah, terutama setelah Syi’isme disebarluas sang cendekiawan Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat dan Haidar Bagir. Amroeni Drajat menyelidiki Filsafat Yahya Al-Suhrawardi pada karyanya Filsafat Illuminasi: Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi. 

Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, misalnya ‘Filsafat Islam Indonesia’, telah poly yang membahas, terutama mengenai mazhab-mazhab misalnya ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, serta ‘Perenialisme’, sebagai akibatnya tak perlu dibahas lagi di sini. Hanya saja, ada kesamaan baru waktu ini yg penulis namakan ‘sesatisme’ atau ‘murtadisme’, yang mulai menyuarakan pandangan-pandangan mereka dalam kitab -kitab tebal yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belum layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas oleh masyarakat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka pada terjemahan Al-Quran berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri menurut mereka, yg sekaligus pula merupakan bukti ketololan mereka akan rapikan-bahasa bahasa Arab—relatif membuktikan bahwa mereka mempunyai sandaran filosofis yg kentara. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, tapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ adalah homogen filsafat. Hartono Ahmad Jaiz bisa dimasukkan dalam mazhab ini. Dalam bukunya Aliran serta Paham Sesat di Indonesia, Jaiz mengritik menjadi ‘sesat’ beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yang pernah terdapat sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ dan ‘Neo-modernisme’. Bukunya yg lain Ada Pemurtadan di IAIN, mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yg bercorak liberal, modern, dan neo-modern. 

Filsafat Kristen
Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (Christian Philosophy) merupakan filsafat yang lahir di daerah kuasa Kristen serta diproduksi sang komunitas religius Kristen yg menetap di wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Kristen’ jua adalah bidang yang amat dikuasai sang filosof-filosof Kristen Indonesia. ‘Filsafat Kristen’ terbagi dalam beberapa cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’, ‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen Pertengahan’ (yg diklaim pula menggunakan sebutan ‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen Renaisans dan Reformasi’, serta ‘Filsafat Kristen Modern dan Kontemporer’. Di samping pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun bisa dikaji secara regional, seperti ‘Filsafat Kristen Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’, ‘Filsafat Kristen Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, lantaran situasi kongkrit yang wajib diresponi umat Kristen pada negara-negara itu tidak mesti sama.

‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister pada karyanya Filsafat Agama Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus. ‘Filsafat Skolastik’, semenjak Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, sudah dikaji oleh A. Hanafi dalam bukunya Filsafat Skolastik. ‘Filsafat Kristen Modern serta Kontemporer’, contohnya, dikaji sang Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi menurut Louis Bouyer. 

Yang tidak kalah menariknya artinya ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yg diadaptasikan menggunakan situasi riel yang dialami filosof Kristen di Indonesia. ‘Filsafat Kristen Indonesia’ dapat dibagi pada 4 cabang seperti ‘Transformasionisme’, ‘Pribumisme’, ‘Liberasionisme’, dan ‘Feminisme’. ‘Transformasionisme’ dikaji sang JB. Banawiratma dalam karyanya 10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, serta Lingkungan Hidup. Sedangkan ‘Pribumisme’ dikaji sang Robert J. Hardawiryana pada bukunya Cara Baru Menggereja pada Indonesia: Umat Kristen Mempribumi. ‘Liberasionisme’ relatif banyak yang mengkaji semenjak era Soeharto, seperti yg dilakukan sang J.B. Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno, Wahono Nitiprawiro, J.B. Banawiratma, A. Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, AL. Purwahadiwardaya, TH. Sumartana, Greg Soetomo, serta Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’ dikaji secara Kristiani sang Smita Notosusanto, seperti kajiannya pada kitab Perempuan dan Pemberdayaan dan St. Darmawijaya pada bukunya Perempuan dalam Perjanjian Lama. 

Filsafat Paska-Soehartoisme
‘Filsafat Paska-Soehartoisme’ berarti filsafat yang lahir buat mengritik paham serta praxis Soehartoisme modernisasi yang dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu dan hendak menghapus segala residu-residunya menggunakan cara menggantinya dengan paham cara lain . Kritik terhadap Soehartoisme sudah mulai merebak sejak dasawarsa 1970-an menurut kampus ITB Bandung (1973) serta Peristiwa Malari di Jakarta (1974), akan tetapi semua kritikan itu tidak didengar. Sejak dasawarsa 1990-an menjelang lengser Soeharto, pulang kritikan dilancarkan sang beberapa filsuf baru. Merekalah cikal-bakal tokoh filsafat yg kemudian dinamakan filsafat paska-Soeharto. Yang termasuk pelopor filsafat ini adalah Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi Swasono, dan Pius Lustrilanang. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme pada karyanya Sri Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’, Dari Orde Baru ke Indonesian Baru Lewat Reformasi Total, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru, dan Dibalik Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif. Sedangkan Budiman Sudjatmiko mengritik Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik Soehartoisme lewat bukunya Menarik Pelajaran dari Kedung Ombo (1990), Menuju Perubahan Sistem Politik (1994), DPR RI Semasa Orde Baru (1994), dan Rakyat Menggugat (1996). Filsafat paska-Soehartoisme yang dianut Pius Lustrilanang dikaji sang Sihol Siagian pada karyanya Menolak Bungkam: Pius Lustrilanang. 

Setelah Soeharto lengser, rupanya Soehartoisme nir beserta-sama tumbang. Soehartoisme masih bertahan, beradaptasi menggunakan situasi Indonesia baru, bahkan hingga saat ini. Soehartoisme permanen bertahan, yang terjadi hanyalah perbaikan-pemugaran tambal-sulam yang kerap disebut ‘Reformasi’, yg dilakukan eksponen-eksponen Soehartoist yang masih selamat menurut kritik warga . Hal itulah yg menggelisahkan Sri-Edi Swasono, saudara tertua kandung menurut Sri-Bintang, sebagai akibatnya ia risi bahwa yang terjadi malah ‘deformasi’ (pembekuan), bukannya perubahan keadaan generik Indonesia yg signifikan. Kekhawatiran itu diungkap dalam karyanya Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat dan Dari Lengser ke Lengser. 

3. Isme-Isme dalam Filsafat Indonesia
Sebelum memilih isme-isme apa saja yg bisa dibuat dalam semesta Filsafat Indonesia, alangkah baiknya apabila mempelajari lebih dulu tentang bagaimana suatu isme dalam filsafat dibentuk. Ada 2 cara membuat kategori isme yg selama ini digunakan peneliti filsafat: (1) isme dibuat dengan cara menyebut nama seseorang filosof eksklusif yg darinya suatu isme dapat dibangun, seperti Marxisme, Leninisme, Maoisme, Platonisme, Konfusianisme, Aristotelianisme, Phytagoreanisme, serta lain-lain; lalu, (dua) isme dibuat dengan cara menyebut ajaran atau doktrin terpenting yang ditemukan menurut teks-teks filosof tertentu. Misalnya, dalam teks-teks Plato rupanya ditemukan doktrin sangat krusial tentang idea, sebagai akibatnya peneliti filsafat menyebut ajaran Plato yang amat krusial itu menggunakan sebutan idealism. Begitu pula menggunakan ajaran krusial Hegel tentang Idea yang darinya asal sebutan idealism. 

Perbedaan kedua cara penyebutan isme itu sangat berpengaruh pada fondasi filsafat yg dibangun. Apabila dianggap ‘Platonisme’, maka landasan filsafat yang dibangun asal menurut teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) Plato selama hidupnya. Tapi jika disebut ‘idealisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal berdasarkan teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) beberapa filosof, baik itu Plato, Hegel, McTaggart, atau Iqbal asalkan kesemuanya mempunyai ajaran krusial tentang idea.

Apakah penyebutan isme-isme dalam struktur Filsafat Barat bisa diterapkan dalam struktur Filsafat Indonesia? Ada dua kemungkinan. Pertama, apabila teks-teks Filsafat Indonesia memang mengungkapkan asal-asal filosofis dari filosof Barat misalnya Marx, Hegel, atau Plato, maka sanggup saja menyebut filosof Indonesia yang menganut mereka menjadi filosof Indonesia yg ‘Marxist’, ‘Hegelianist’, atau ‘Platonist’. Tan Malaka dan D.N. Aidit, karenanya, bisa disebut menjadi filosof Marxist. Kedua, bila teks-teks Filsafat Indonesia mengajarkan suatu doktrin penting mengenai idea, contohnya, maka layaklah disebut sebagai ‘idealist’. Maka, Syahrir dapatlah diklaim ‘sosialist’, Soekarno ‘nasionalist’, dan Soepomo ‘sosialist-nasional’, karena ketiganya membahas menggunakan panjang-lebar dalam karya-karya mereka berturut-turut mengenai sosialisme, natie, dan fasisme Jerman. Tapi, dalam galibnya, filosof-filosof Indonesia mempunyai doktrin-doktrin khas, yg tidak selaras menurut yang biasa ditemukan dalam teks-teks Filsafat Barat. Jadi, peneliti filsafat boleh saja meminjam kategorisasi isme Barat atau boleh jua menciptakan kategorisasinya sendiri, sesuai dengan tema-tema yg diangkat sang seseorang filosof pada negaranya.

Kedua cara pembuatan isme tersebut akan kita terapkan dalam struktur Filsafat Indonesia. Cara 1 penulis terapkan ketika membuat isme-isme misalnya Soekarnoisme dan Soehartoisme. Cara 2 penulis terapkan waktu menciptakan isme-isme seperti ‘lamaisme’, ‘sintesisme’, ‘adaptasionisme’, ‘baruisme’, ‘terpimpinisme’, ‘pembangunanisme’, serta ‘paska-pembangunanisme’. Untuk maksud pengantar, disini akan dibahas sedikit mengenai isme-isme dalam Filsafat Indonesia. 

Sintesisme
Sintesisme berakar dari kata ‘sintesa’ (synthesis), yang berarti menggabungkan bagian-bagian atau unsur-unsur yang tidak sama buat membuat satuan yg kompleks. Artinya, suatu filsafat digabungkan dengan filsafat lainnya buat membentuk struktur filsafat yang baru. Biasanya, filsafat-filsafat yang dicampur-baur itu antagonis sifatnya, tidak selaras isinya, kontras nuansanya. Memang ada beberapa titik-temu pada antara filsafat-filsafat yang berbeda itu, tapi lebih banyak ‘titik-pisah’nya. Tapi justru ‘titik-pisah’ itu, apabila dicampur-baur dengan ‘titik-pisah’ yang lain, akan melahirkan satuan yang kompleks. Contoh sintesisme yang paling terkenal di mata sejarawan filsafat ialah apa yang dilakukan Mpu Prapanca (1335-1380), seorang filosof yg hayati pada masa pemerintahan Kertanegara (1268-1292) berdasarkan Dinasti Singhasari. Mpu Prapanca menulis buku berjudul Negarakertagama, berisi epik filosofis yang ditulis dengan gaya puitik berbahasa Jawa Kuno, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu menggunakan Buddhisme. Cara yg sama pula ditempuh oleh Mpu Tantular, seseorang filosof yg hidup pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), yg menulis buku Sutasoma, pada dalamnya ia berhasil memadukan filsafat Buddhisme menggunakan Syiwaisme-Hindu.

Perpaduan dua filsafat India yang amat tidak sinkron itu Buddhisme justru lahir pada India menjadi reaksi negatif terhadap Hinduisme sang filosof-filosof Indonesia melahirkan corak filsafat yg baru, yg terkenal sebagai filsafat Tantrayana. 

Soekarno, seseorang pendiri Republik kita, pula seorang sintesist. Dia mencoba menyintesa tiga genre filsafat yang amat bertolak-belakang: Nasionalisme, Agama (Islam, Kristen, Hinduisme dan Buddhisme), serta Komunisme (NASAKOM), tapi gagal di tengah perjuangannya. Nurcholish Madjid, seseorang filosof Islam, juga seorang sintesist. Beliau mencoba menyintesa tiga genre filsafat yang tidak sama: Islam, Nasionalisme (Keindonesiaan), serta Barat Modern (Kemodernan) pada karyanya Islam, Keindonesiaan, serta Kemodernan, buat mendobrak tradisi Filsafat Islam Masyumi dan mendukung Soehartoisme. Berbeda dengan Soekarno, Nurcholish sangat berhasil, lantaran amat didukung penguasa saat itu. 

Adaptasionisme 
Adaptasionisme berakar berdasarkan istilah ‘adaptasi’ (adaptation), yg berarti menyesuaikan sesuatu buat situasi atau kegunaan yang baru. Artinya, suatu filsafat diubah sedemikian rupa, sehingga sebagai sesuai dengan situasi Iindonesia serta dapat digunakan dalam konteks Indonesia. Biasanya, yg diadaptasi menggunakan syarat serta situasi Indonesia merupakan filsafat-filsafat asing, bukan filsafat asli Indonesia sendiri. Filosof yang tergolong isme ini biasanya berasumsi bahwa segala produksi filsafat bersifat lokal, regional, serta partikular; nir ada filsafat yang universall secara mutlak. Karena itu pula, kebenaran filsafat nir pernah universal-mutlak. Menurut akal mereka, contohnya, Marxisme yang lahir dari sejarah lokal Barat nir mampu diterapkan atau dicangkok begitu saja pada sejarah kongkrit Indonesia, lantaran kedua area itu mempunyai struktur budaya serta peradaban yang tidak sinkron. Marxisme yg hendak dibangun akar-akarnya pada Indonesia wajib diubah sedemikian rupa, sebagai akibatnya sinkron menggunakan alam Indonesia. 

Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, S.C. Utami Munandar, D.N. Aidit, serta lain-lain merupakan model menurut filosof adaptasionist yg mengadaptasikan Filsafat Barat ke dalam situasi kongkrit Indonesia. Ki Hajar populer menggunakan ‘prinsip nasi goreng’nya. Nasi goreng merupakan makanan asli tradisional yang biasanya digoreng dengan minyak kelapa. Tetapi, apabila margarin yang dari berdasarkan Belanda dapat membuat nasi goreng itu bertambah enak, maka tak ada alasan seseorang wajib menolak penggunaan margarin itu, selama yg menggorengnya ialah orang Indonesia sendiri. Artinya, bila ‘margarin Belanda’ (Filsafat Barat) diadaptasikan menggunakan ‘nasi goreng’ (situasi kongkrit Indonesia), maka ‘margarin’ itu akan menambah sedapnya ‘nasi goreng’. Sedangkan Tan Malaka, beliau mengadaptasikan ‘teori gerilya’ Komunisme buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengadaptasikan konsep ‘proletar’ berdasarkan Komunisme buat diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan diterbitkan sang Penerbit Grasindo menggunakan judul Bung Karno tentang Marhaen. 

Adaptasionisme juga dilakukan oleh tokoh-tokoh Filsafat Islam, misalnya Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai Al-Junusi, Kiyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain, yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke pada situasi Islam pada Indonesia. Zainuddin Labai dan Mohammad Natsir, misalnya, mengadaptasi konsep nasionalisme Barat ke pada situasi Islam Indonesia via buku-buku Musthafa Kamil Pasha (1874-1908). Datuk Batuah serta Natar Zainuddin berdasarkan Padang Panjang, Haji Misbach berdasarkan Surakarta, Semaun, Alimin Prawirodirdjo serta Darsono dari Semarang mengadaptasikan Komunisme Barat ke pada pandangan-global Al-Quran. Begitu pula dengan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yg mengadaptasikan Sosialisme Barat ke pada situasi Islam Indonesia, sehingga menghasilkan karya Islam dan Sosialisme.

Lamaisme 
Isme ini bertolak dari pandangan, bahwa segala tradisi lama , tradisi primordial, dan tradisi orisinil Indonesia merupakan tradisi yg harus dilestarikan, sebab dalam tradisi itulah terletak asal serta tujuan keberadaan manusia Indonesia, alpha dan omega kehidupan insan Indonesia, sangkan serta paran berdasarkan penciptaan insan Indonesia. Dalam pandangan filosof yg menganut isme ini, nir terdapat konsep ‘baru’; nir ada ‘yg baru’ yg bisa membatalkan ‘yg lama ’. ‘Yang lama ’ artinya ‘yang tetap’ mutlak. Konsep waktu serta ruang historis tidak berlaku bagi isme ini, karena ‘yg usang’ terjadi selama-lamanya, abadi, serta tidak berubah. Segala perubahan adalah pemberontakan terhadap ‘yang lama ’, dan karenanya amat ditentang oleh penganut isme ini. Semua filosof etnik Indonesia (seperti M. Nasroen, Sunoto, R. Pramono Jakob Sumardjo, P.J. Zoetmulder, Soewardi Endraswara, Woro Aryandini, dan lain-lain) bisa dikatakan masuk dalam isme ini, karena mereka seluruh menduga bahwa pandangan filosofis lama yang dimiliki etnis-etnis asli Indonesia permanen baik, permanen relevan, tetap wajib diterapkan dalam situasi modern, tetap wajib diwariskan ke generasi baru menjadi ‘penjaga’ bukti diri. Lamaisme sebagai trend pulang pada era Orde Baru, karena filosof lamaist menemukan borok-borok modernisasi Barat sekuler yang diusulkan filosof baruist. Semua filosof kepercayaan , baik dari Islam, Katolik, Protestantisme, Buddhisme, Hinduisme, dan Konfusianisme, yang menolak pembaruan (religious reforms) pada dogmatika tradisionalnya pula dapat masuk dalam gerombolan lamaisme ini. 

Baruisme
Isme ini merupakan versus berdasarkan lamaisme. Apa yang hendak dilestarikan oleh lamaisme akan diserang dan dibatalkan sang baruisme, karena dia bertolak dalam anggapan bahwa segala tradisi lama adalah tradisi yg tidak membawa kepada kemajuan, tradisi lama yang tidak lagi relevan dengan zaman yang terus berubah, atau tradisi dekaden yang apabila tetap dilestarikan akan membuat Indonesia nir pernah maju. Isme ini sangat anti menggunakan filsafat etnik asli, karena, dalam logika tokoh-tokohnya, filsafat etnik masih melestarikan feudalisme dan sukuisme yg justru dipercaya menjadi musuh kebudayaan baru Indonesia. Tokoh-tokoh baruisme, misalnya, merupakan Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, sastrawan Indonesia Angkatan ’45, serta lain-lain. 

Tan Malaka, pada bukunya Massa Actie, amat mencela tradisi lama serta mengusulkan tradisi baru yang diambil dari tradisi Barat. Begitu pula halnya menggunakan Sutan Takdir. Sejak polemiknya yang terkenal pada era 1930-an dengan Ki Hajar Dewantara hingga tulisan-tulisannya sampai dia wafat, Sutan Takdir secara konsisten mengutuk tradisi lama dan mengusulkan tradisi baru Barat menjadi gantinya. Sastrawan Angkatan ’45 jua pernah mempublikasikan suatu ‘manifesto budaya’, terkenal menggunakan nama Surat Kepercayaan Gelanggang, yang isinya menolak buat ‘…melap-lap output kebudayaan usang hingga berkilat serta untuk dibanggakan,…’, karena, ‘Revolusi bagi kami artinya penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai lama yg wajib dihancurkan.’ Nurcholish Madjid mengutuk tradisi usang dari Filsafat Islam di Indonesia (Masyumisme) yg lebih mementingkan ‘cara’ daripada ‘tujuan’ atau lebih mementingkan ‘kulit’ daripada ‘isi’, yang amat kentara terlihat pada apologi Negara Islam. Nurcholish, lantas, mengusulkan desakralisasi atau sekularisasi, yang pada pada dasarnya adalah pemutusan pribadi (direct shift) serta penolakan tegas buat melestarikan Masyumisme kuno. Sebagai gantinya, Nurcholish membangun prinsip baru yang amat revolusioner pada era 1970-an, Islam, Yes! Partai Islam, No!

Terpimpinisme
Disebut ‘terpimpinisme’ karena konsep ‘keterpimpinan’ menjadi sentra ihwal. Terpimpinisme bertolak dari pandangan bahwa warga Indonesia masih membutuhkan figur seseorang pemimpin yang dapat mendidik mereka, melindungi mereka, menunjuki mereka, dan memandu mereka buat menuju kemajuan. Terpimpinisme sama menggunakan paternalisme, pada artian, bahwa paternalisme menganggap penting eksistensi seseorang ‘bapak bangsa’ (pater) yg mendidik, membina, menunjuki, memandu, dan memimpin warga menjadi ‘anak-anak mini ’ nya. 

Contoh berdasarkan konsep ‘keterpimpinan’ yang amat terkenal pada sejarah Filsafat Indonesia merupakan konsep ‘keterpimpinan’ yang dapat dijumpai pada sebagian akbar goresan pena dan praktek Soekarno, galat seorang pendiri RI kita, yg disini dinamakan ‘Soekarnoisme’. Soekarnoisme segala tulisan dan praktek Soekarno mengajarkan 2 jenis ‘keterpimpinan’: ‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’. ‘Demokrasi Terpimpin’ merupakan sejenis praktek demokrasi yg dilakukan dengan cara dipimpin sang seseorang sesepuh istilah Soekarno yg bisa membimbing, menunjuki, dan memandu warga menuju keadilan sosial-politik. Sedangkan ‘Ekonomi Terpimpin’ ialah homogen praktek ekonomi-politik yg dilakukan menggunakan cara dipimpin sang lagi-lagi seseorang sesepuh yg bisa membimbing dan mengantarkan rakyat Indonesia menuju keadilan sosial-irit. Dua ‘keterpimpinan’ itu akan berhasil, jika dipimpin sang seorang sesepuh luar-biasa, yang kuasa yang lahir di abad terbaru, yang dipuja rakyat sebagai teladan masyarakat. Sayang sekali, terpimpinisme jenis ini mudah sekali dituduh sebagai otoritarianisme terselubung, serta itu terbukti dengan praktek pengangkatan Soekarno sebagai ‘presiden seumur hidup’. 

Soeharto bisa juga dimasukkan ke dalam filosof terpimpinist ini. Paternalisme Soeharto mengajarkan keharusan adanya seorang bapak yang bisa memandu serta mengantarkan rakyat pada kemajuan; bapak yang sangat melindungi rakyatnya tapi juga sangat tuli menggunakan bunyi rakyatnya, karena bunyi masyarakat hanya suara ‘anak mini ’ yang harus terus dibimbing. Soeharto pun menerima julukan ‘Bapak Pembangunan’, lantaran beliau memandu rakyatnya menuju kemajuan seperti layaknya seseorang bapak terhadap anak-anak. 

Pembangunanisme
Isme ini lahir menjadi reaksi atas ‘Terpimpinisme Soekarno’disebut jua menjadi ‘Soekarnoisme’yang dipercaya gagal membawa Indonesia menuju kemajuan. Isme ini amat bertolak-belakang menggunakan Soekarnoisme, dalam artian, bahwa ia nir lagi meneruskan paham Soekarno tentang ‘revolusi’, ‘Manipol USDEK’, ‘setan Nekolim’, ‘politik menjadi panglima’, ‘Demokrasi Terpimpin’ serta ‘Ekonomi Terpimpin’, tapi merubahnya dengan pandangan ‘ekonomi sebagai panglima’, ‘stabilitas demi pembangunan, ‘percepatan pembangunan’, ‘pembangunan jangka-panjang’, ‘globalisasi ekonomi’, serta ‘globalisasi modal’. 

Isme ini bertolak dalam perkiraan, bahwa ‘politik revolusi’ sudah nir relevan lagi, lantaran bukan membentuk kemajuan akan tetapi malah menyengsarakan warga . Isme ini menawarkan ‘politik pembangunan’ menjadi penyelesaiannya, dengan fokus bahwa menggunakan pembangunanlah Indonesia akan berhasil maju. 

Paska-pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas kegagalan ‘Pembangunanisme Soeharto’ yang bisa diklaim jua ‘Soehartoisme’ pada membawa masyarakat menuju kesejahteraan dan kemakmuran, sinkron dengan yang dicita-citakan Undang-Undang Dasar 1945. 

4. Periodisasi Filsafat Indonesia
Periodisasi yang biasa dilakukan sang sejarawan filsafat Barat merupakan Periode Klasik, Periode Pertengahan, Periode Modern, dan Periode Kontemporer. Sedangkan sejarawan filsafat Cina membagi Filsafat Cina dalam periode-periode misalnya Periode Klasik, Periode Pertengahan, dan Periode Modern. Lalu pertanyaannya lalu merupakan apakah sejarawan filsafat Indonesia jua wajib mengikuti pembagian periode misalnya itu? Jika memang wajib mengikuti periodisasi Barat serta Cina itu, kapankah periode Klasik menurut Filsafat Indonesia itu? Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik menurut Filsafat Indonesia merupakan periode yg dihitung semenjak era neolitik (lebih kurang 3500-2500 SM) hingga awal abad 19 M, kemudian periode Modern sejak awal abad 19 M hingga era Soeharto lengser, serta periode Kontemporer sejak Soeharto lengser hingga dtk ini (2005).

Sekilas nampaknya periodisasi tadi tidak problematik, tapi apabila ditelaah lebih pada mengandung banyak persoalan. Persoalan-persoalan yang muncul adalah seperti: perbedaan apakah yang paling signifikan antara Filsafat Indonesia dalam era Klasik, era Modern, dan era Kontemporer itu? Apakah disparitas periode itu berdasarkan pada perbedaan point of concern (sentra perhatian) yg dikaji filosof di era tertentu? Apakah perbedaan antara ‘yg klasik’ dengan ‘yg terkini’ hanyalah perbedaan antara ‘yang menolak’ menggunakan ‘yg mendapat’ impak Barat? Apakah perbedaan periode hanya sekadar penanda ketika, dari satu ‘titik pemberhentian’ ke ‘titik pemberhentian’ selanjutnya? Apabila ya, apa yg membedakan ‘titik pemberhentian’ yg satu dengan ‘titik-titik’ yang lain? Apakah yang membedakan ‘yang klasik’ serta ‘yg terbaru’ hanyalah sekadar perpindahan tema filosofis (thematic shift)?

Banyaknya duduk perkara yang timbul dengan mengikuti periodisasi ala Barat serta Cina menampakan, bahwa contoh periodisasi seperti itu tidak sempurna buat sejarah Filsafat Indonesia. Harus dicari model periodisasi lain yg bisa memuat kurang-lebih segala filsafat yg pernah diproduksi sejak era neolitikum sampai kini . Di bawah ini akan diajukan dua contoh periodisasi yang mungkin lebih cocok untuk penulisan sejarah Filsafat Indonesia.

Periodisasi Berdasarkan Interaksi Budaya
Periodisasi Filsafat Indonesia bisa dibuat menurut datangnya budaya-budaya asing yg berinteraksi dengan budaya asli Indonesia, dengan cara membuat kronologi historis dan mengungkapkan menurut budaya dunia mana sumber filosofis itu dari-mula. Dengan model ini, misalnya, bisa dikatakan bahwa Filsafat Indonesia bisa dipecah ke dalam periode-periode misalnya periode Etnik, periode Cina, periode India, periode Persia, periode Arab, dan periode Barat. Periode Etnik dimulai ketika filsafat etnik orisinil Indonesia masih dipeluk dan dipraktekkan oleh orang Indonesia sebelum kedatangan filsafat asing. Sedangkan periode Cina, India, Persia, Arab, serta periode Barat dimulai saat orang Indonesia mulai kemasukan filsafat berdasarkan asal-asal budaya asing Cina, India, Persia, Arab, serta Barat.

Filsafat Indonesia dalam periode Etnik, contohnya, berisi mitologi filosofis, pepatah-petitih, peribahasa, aturan norma, dan segala yg asli dalam filsafat-filsafat etnik Indonesia. Filsafat Indonesia dalam periode Cina mencakup Taoisme, Konfusianisme, Anti-konfusianisme, Sun Yat-Senisme, serta Maoisme. Filsafat Indonesia pada periode India mencakup Hinduisme, Buddhisme, Tantrayana, serta Hinduisme-Bali. Periode Persia meliputi Ibnu-‘arabisme dan Ghazalisme. Periode Arab meliputi Wahhabisme, serta periode Barat mencakup filsafat Nasionalisme, Sosialisme-Demokrat, Komunisme hingga Developmentalisme. Periode Kontemporer mencakup filsafat Pancasila, Liberasionisme, Transformatifisme, Pribumisme, Feminisme, New Agisme, Liberalisme hingga Paska-modernisme. 

Periodisasi Berdasarkan Kejadian Historis Penting
Periodisasi Filsafat Indonesia pula bisa dibuat dari insiden-peristiwa krusial pada bepergian sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode Kemerdekaan, periode Soekarno, periode Soeharto, dan periode paska-Soeharto. 

Yang termasuk pada periode pra-Kemerdekaan adalah filsafat-filsafat mitologi etnik orisinil Indonesia, filsafat tata cara etnik Indonesia, filsafat Konfusianisme, filsafat Hinduisme serta Buddhisme, filsafat Tantrayana, filsafat Islam-Arab, filsafat Sufisme Persia, dan filsafat Pencerahan Barat. Sedangkan filsafat-filsafat yang masuk pada periode Kemerdekaan adalah filsafat Modernisme Islam, filsafat Marxisme-Leninisme, filsafat Maoisme, filsafat Sosialisme Demokrat, dan filsafat Demokrasi. Sedangkan yg masuk dalam periode Soekarno adalah filsafat Revolusi, filsafat Sosialisme Indonesia, filsafat NASAKOM, serta filsafat neo-imperialisme. Periode Soeharto dimulai waktu filsafat Modenisasi serta Developmentalisme didewa-dewakan, kemudian filsafat Pancasila, filsafat Ekonomi Pancasila, filsafat Kebatinan, filsafat sekularisme yang sedang marak. Periode paska-Soeharto dimulai waktu kritik terhadap filsafat Developmentalisme marak serta filsuf mencari cara lain pada filsafat-filsafat lain seperti Liberasionisme, Transformatifisme, Reformisme, serta Revolusionisme. 

5. Metode Pengkajian Filsafat Indonesia
Metode itu ibarat ‘kacamata’ yang dipakai buat tahu tanda-tanda atau empiris. Kegunaan metode pada lapangan filsafat sungguh sangat akbar. Filsafat adalah empiris yg terus berkiprah kekal dan berseliweran pada depan mata seorang filosof, karena sejarah (waktu dan ruang) terus berubah kekal. Hanya metodelah yang mampu membuat still photo menurut empiris filsafat yg bergerak tak pernah mati itu.

Banyak sekali metode yg dapat dipakai buat memahami gejala filsafat pada Indonesia, mulai dari yang imported sampai yg dikembangkan sendiri di tanah-air. Di bawah ini hanya sekadar contoh berdasarkan beberapa metode pengkajian filsafat yg telah dilakukan sang beberapa pengkaji Filsafat Indonesia.

Metode Survival Economy
Metode ini mengingatkan kita pada dibagi dua superstructure-infrastructure dalam Marxisme. Marx pernah beropini bahwa produksi budaya (superstructure) mencakup kepercayaan , seni, dan filsafat berjalan bersamaan menggunakan jenis produksi ekonomis (infrastructure). Bahkan, infrastructurelah yang menentukan corak superstructure. Jika mode of production yang diterapkan artinya ‘feudalisme’, maka kebudayaan yang diproduksi bersamaan menggunakan itu adalah budaya feudalistik. Begitupula dengan mode of production kapitalisme, yang melahirkan budaya kapitalistik.

Metode sejenis ini dipakai sang Jakob Sumardjo, baik pada bukunya Mencari Sukma Indonesia serta Arkeologi Budaya Indonesia. Menurut Jakob, filsafat suatu warga pada Indonesia tergantung pada cara masyarakat itu bertahan hidup (survive); cara warga itu memanfaatkan alam sekitarnya demi kelangsungan hayati komunalnya. Apabila warga itu dapat bertahan hidup dengan cara bersawah, maka filsafat yg diproduksi akan herbi sawah (konsep kesuburan, konsep hari baik, konsep trend baik, konsep hidup sesuai alam, dll.). 

Berdasarkan jenis survival economy yg dianut suatu masyarakat, Jakob membagi Filsafat Indonesia ke dalam 4 jenis pola-pikir, yakni ‘pola-pikir masyarakat persawahan’, ‘pola-pikir masyarakat perladangan’, ‘pola-pikir masyarakat peramu-berburu’, dan ‘pola-pikir warga pesisir-maritim’, dimana di antara 4 pola-pikir (filsafat) itu masih ada perbedaan yang amat akbar. 

Metode Historis
Metode ini adalah metode yang paling antik buat menelaah kenyataan kemanusiaan, termasuk kenyataan filsafat. Filsafat Indonesia pertama-tama ditaruh pada bingkai sejarah, kemudian diurai dalam suatu kronologi, kemudian pada kronologi itu dimasukkan nama-nama tokoh Filsafat Indonesia. Setelah daftar nama memenuhi kronologi, dimulailah pencarian data-data historis yg meliputi biografi tokoh, karya-karya tokoh, peran-peran tokoh itu dalam sejarah filsafat, serta bisa juga dibubuhi data-data mengenai kiprah historis tokoh itu dalam sejarah dunia atau dalam sejarah filsafat dunia. Metode ini telah dipakai, misalnya, oleh Ferry Hidayat dalam karyanya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia. 

Titik-tolak Ferry adalah pandangan bahwa filsafat dimanapun serta kapanpun dia diproduksi adalah produk sejarah, serta karenanya, maka konteks sejarah yg melingkari filsafat itu harus ditemukan jika filsafat hendak dipahami secara lebih baik. Filsafat Marxisme, contohnya, akan lebih baik dipahami bila ditemukan konteks historis yg melingkari produksi Marxisme itu: kondisi sosial apa yg mengakibatkan Karl Marx membangun filsafat Komunisme? Masalah kongkrit apa di Jerman dan pada Inggris yang menyebabkan Marx menulis Das Kapital? Realitas politik apa di era Marx dan Engels hidup yang mendorong mereka membentuk classless society? Jika semua pertanyaan itu bisa ditemukan jawabannya lewat kajian historis, maka filsafat Marxisme bisa dipahami secara lebih pada.

Metode Komparasi dan Kontras
Cara lain buat menelaah Filsafat Indonesia artinya menggunakan cara mencari disparitas dan kecenderungan pada antara filsafat-filsafat sejagat yang ada, kemudian perbedaannya ditunjukkan, sebagai akibatnya nampak fitur distingtif berdasarkan Filsafat Indonesia. M. Nasroen menggunakan metode perbandingan dan kontras untuk memperlihatkan segi-segi tidak sinkron menurut Filsafat Indonesia yang membedakannya menurut filsafat-filsafat sejagat lainnya dalam karyanya Falsafah Indonesia. Ia membandingkan tradisi Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat Indonesia, lalu berkesimpulan bahwa Filsafat Indonesia amat tidak selaras dari 2 filsafat lainnya lantaran mengajarkan ajaran-ajaran asli mengenai mupakat, pantun-pantun, Pancasila, aturan istiadat, ketuhanan, gotong-royong, serta kekeluargaan.

Metode Kritik Teks
Metode ini mengkaji Filsafat Indonesia eksklusif dari teks-teks filsafat yg diwariskan seseorang filosof tertentu. Artinya, semua karya seseorang filosof Indonesia dikumpulkan, kemudian ditelaah secara akurat, diperhatikan konsep-konsep utamanya. Setelah selesai ditelaah, dibangunlah beberapa kesimpulan mengenai teks itu, serta menurut kesimpulan itu dibangunlah pengertian mengenai struktur filsafat yang dibangun teks itu. Metode ini telah diterapkan P.J. Zoetmulder, Sunoto, R. Pramono, serta Jakob Sumardjo pada karya-karya mereka. 

Metode Internalisasi
Metode ini digunakan sang Sunoto dalam karyanya Menuju Filsafat Indonesia. Untuk tahu konsep-konsep kenegaraan Jawa Kuno, Sunoto mengunjungi candi-candi di Jawa, mengamati relik-relik candi buat merenungi pesan cerita yg dipahatkan pada atasnya, menghirup udara di kurang lebih candi, bersemadi di pada area candi buat merasakan auranya, mencoba memasukkan citra fisik serta citra metafisik dari candi itu ke pada badan dan jiwanya, dan saat itu semua berhasil diinternalisir, Sunoto menghentikan semadinya dan lalu membangun konsep-konsep subjektif tentang konsep kenegaraan Jawa darinya.