SEJARAH LAHIRNYA BAHASA INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA

Sejarah LahirnyaBahasa Indonesia dan Perkembangannya


Kapan bahasa Indonesia lahir? Jika pertanyaan inidiajukan mungkin tidak akan pernah yang mampu menjawabnya. Lahirnya bahasaIndonesia nir bisa diketahui pasti tanggalnya. Akan tetapi prosesnya dapatdiketahui. Seperti yang sudah jamak diketahui bahasa Indonesia merupakan ‘anak’dari bahasa Melayu. Tetapi kapan si induk melahirkan anak yg bernama bahasaIndonesia tidak dapat dijelaskan. Hanya dapat diketahui proses penamaannya dantahun pembuatan ‘akta’-nya.

Bahasa Indonesia tidak diketahui lahirnya tetapi ejaan latin bahasa Indonesia lahir dalam 1901 (Ejaan Ch. A. Van Ophuysen), diberi nama dalam 1928 (bait ketiga ikrar Sumpah Pemuda), dan akta kelahirannya tercatat pada 1945 (disahkannya rancangan Undang-undang Dasar menjadi  Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang pada dalamnya memuat juga penerangan mengenai bahasa resmi negara yaitu bahasa Indonesia).


Bahasa Indonesia sebelumnya dianggap dengan bahasaMelayu. Selama proses penjajahan Belanda, bahasa Melayu sudah dipakai sebagaibahasa pergaulan (lingua franca) oleh rakyat Nusantara yg asal daridaerah yg berbeda supaya sanggup saling memahami. Selama proses itu, bahasa Melayuyang dipakai pada Indonesia (ketika itu masih diklaim: Nusantara atau HindiaBelanda) mengalami perkembangan dan penyerapan istilah secara alami.

Selama itu masuk serapan berdasarkan bahasa Belanda,bahasa Arab, bahasa Parsi, bahasa Sanskerta, termasuk menurut bahasa-bahasa daerahnusantara yg lain. Proses penyerapan berdasarkan bahasa Arab ke pada Bahasa Melayu gencar dilakukan sang Penyair Hamzah Fansuri di Abad 16.

Dari pernyataan di atas, dapat disebutkan bahwabahasa Indonesia lahir secara perlahan. Tidak sekaligus. Momentum lahirnyabahasa Indonesia erat sekali kaitannya dengan Kongres Pemuda Indonesia II yangakhirnya melahirkan ikrar sumpah pemuda. Pada bait ketiga berbunyi:

Kami putra serta putri Indonesia

Menjunjung bahasa persatuan

Bahasa Indonesia


Bedakan menggunakan suara sumpah pertama serta kedua,

Kami putra serta putri Indonesia

Mengaku berbangsa yang satu

Bangsa Indonesia


Kami putra serta putri Indonesia

Mengaku bertumpah darah yang satu

Tanah Air Indonesia


Pada bait tersebut disebutkan berbangsa satu danbertumpah darah satu, ad interim tidak berbahasa yg satu melainkan menjunjungbahasa persatuan.Karena pada ketika itu para peserta Kongres Pemuda Indonesiamenyadari benar bahwa banyak sekali bahasa yang dipakai sang masyarakatnusantara yg dalam waktu itu telah diklaim menjadi Indonesia. Bahkan fakta uniksejarah yg disampaikan sang Asvi Warman Adam dalam bukunya, mengungkapkan bahwasebagian besar peserta Kongres Pemuda II nir sanggup berbahasa Indonesia. Hanyasedikit sekali yg mampu dan memakai bahasa Indonesia. Kebanyakan merekaadalah lulusan sekolah Belanda sehingga hanya sanggup memakai bahasa Ibu(bahasa daerah masing-masing) dan bahasa Belanda sinkron menggunakan sekolahnya.

Yang menjadi perkara merupakan, sekarang ini poly sekali kesalahan pemahaman serta penulisan Sumpah Pemuda. Kesalahan penulisan bahkan masuk ke sekolah-sekolah misalnya yg terjadi pada Poster Sumpah Pemuda yg Salah ini.

Akan namun, para pemuda yg mengikrarkan menjunjungbahasa persatuan, bahasa Indonesia ini telah sebagai tonggak diberi namasebuah bahasa yg sebelumnya disebut bahasa Melayu. Apabila dianalogikan denganproses kelahiran anak dalam rakyat Indonesia (khususnya Jawa), seorang anakyang lahir tidak langsung diberi nama, selang beberapa hari baru diberi nama.nah, bahasa Indonesia yg telah lama lahir baru diberi nama dalam lepas 28Oktober 1928.

Baru dalam tanggal 18 Agustus 1945, bayi yangbernama Bahasa Indonesia dibuatkan akta kelahiran, tepatnya tercatat dalam Undang-undangDasar 1945 yang disahkan dalam sidang BPUPKI dalam 18 Agustus menjadi bahasaresmi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehari selesainya proklamasikemerdekaan Republik Indonesia. Sejak waktu itulah, nama bahasa Indonesia resmitercatat di dokumen negara sebagai bahasa Indonesia.

Selanjutnya, bahasa Indonesia terus mengalamiperkembangan, terus tumbuh, terus belajar, serta menyempurnakan diri sebagaibahasa yg besar . Tidak hanya menjadi bahasa resmi negara namun menjadibahasa pengantar pendidikan, bahasa pergaulan.

Tahun yang juga menjadi tonggak perkembangan danpertumbuhan bahasa Indonesia merupakan tahun 1975, yaitu dengan diterbitkannyaPedoman Ejaan yg Disempurnakan. Pedoman tadi memuat kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Kemudian pada1987 diterbitkan ‘revisi’nya  yaitu PedomanUmum Ejaan yg Disempurnakan. Setahun setelah itu, lahirlah Kamus BesarBahasa Indonesia edisi pertama. Ini adalah Kamus Resmi yangditerbitkan sang negara melalui otoritas yang mengurus tentang bahasaIndonesia. 

Selanjutnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkanoleh lembaga negara ini sudah memasuki edisi yg keempat. Lantaran kebesarannamanya maka nama Kamus Besar Bahasa Indonesia banyak ditiru olehpenerbit-penerbit lain, maka kamus resmi edisi keempat mencantumkan namalembaganya sebagai Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat.kamus Besar Bahasa Indonesia (biasa disingkat KBBI) edisi keempat iniditerbitkan bersamaan dengan 100 tahun kebangkitan nasional, pada 2008. Setahunsetelah itu, 2009, diterbitkan pula Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia PusatBahasa. Juga menjadi Tesaurus resmi lembaga pemerintah di bidang bahasa.



Tonton Juga Video Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia

Video mengenai lahirnya Bahasa Indonesia bisa ditonton di Sini

Setelah masifnya era internet, maka ada pulaancaman lain bagi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia harus pulang menyesuaikandiri dan membuatkan diri (tentu melalui forum negara, baca: PusatBahasa) dengan agresi-agresi bahasa asing yang centang perenang, masukbegitu saja ke pada bahasa Indonesia tanpa melalui pedoman pembentukanistilah. Juga mengenai penyebaran keterangan mengenai istilah pada bahasaIndonesia buat kata-istilah asing akhirnya bentuk asingnya lebih populerdan dimengerti daripada bentuk Indonesianya.

Belum lagi kasus ngawurnya penutur bahasaIndonesia melalui media sosial yang melahirkan istilah aneh (baca: alay) mulaidari beud sampai cemungut,  mulai berdasarkan bingit sampai binggo. Terlepasdari serangan terhadap bahasa Indonesia yang membabi buta, bahasa Indonesiatetap bertahan, dan wajib dipertahankan eksistensinya dan ke-ajeg-annya sebagaibahasa yang baku serta terstandar di samping sebagai bahasa pergaulan yg sangatterbuka terhadap perkembangan. Itulah sejarah singkat tentang lahirnya bahasa Indonesiadan perkembangannya. Kini, menggunakan telah memakan asam garam kehidupan, bahasaIndonesia telah  menuju ke arah kemapanansebuah bahasa buat dapat bersanding dengan bahasa-bahasa akbar lain pada global.

Maka dari itu, kita seluruh wajib memahami proses lahirnya bahasa Indonesia sekaligus perkembangannya. Sekaligus pula mengetahui makna serta arti Sumpah Pemuda, sebagai akibatnya rangkaian sejarah sebagai sebuah bangsa  mampu meresap ke pada sanubari seluruh bangsa.
Penjelasan sederhana terdapat pada slide sederhana mengenai Sejarah Bahasa Indonesia. Silakan dibaca dan diunduh.

TEKS SUMPAH PEMUDA YANG SALAH DAN AHISTORISME KITA

Teks Sumpah Pemuda yg Salah serta Ahistorisme Kita


Hari ini, Selasa (18 April 2017) melaksanakan tugas negara buat menjaga Ujian Sekolah Bestandar Nasional (USBN) di sebuah SMP yg terdapat di bawah Sub Rayon 33/09 Kecamatan Jenggawah. Bukan pada sekolah sendiri.

Seperti hari sebelumnya aku menjalankan tugas misalnya biasa. Lancar. Tanpa ada kecurangan. Peserta ujian pada Sekolah Menengah pertama ini di hari kedua, saya nir lagi menjaga kelas yang kemarin. Setelah melaksanakan tugas pengewasan mulai menurut mengisi berkas sampai mengedarkan naskah soal serta LJK dan LJU (Lembar Jawaban Uraian). Perlu sedikit pada ketahui bahwa USBN tidak hanya berupa soal pilihan ganda, tetapi pula terdapat soal uraian.

Karena hayati nir hanya wajib menentukan antara a, b, c, d. Hidup itu perlu mengusahakan atas jawaban yang akan kita tentukan. Ciee.

Ketika duduk di meja pengawas, pandangan mata aku menunjuk ke sebuah poster yang ditempel pada dinding kelas. Sebuah poster ukuran A3 menggunakan posisi potrait. Warna dominan putih menggunakan gambar bingkai berwarna kuning emas. Di bagian bawah poster tersebut masih ada gambar pahlawan serta gambar bukan pahlawan. Dari kiri masing-masing adalah Patih Gajah Mada, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, RA. Kartini, Bung Tomo, serta Ir. Soekarno.

Poster tersebut merupakan Poster ‘Sumpah Pemuda’ DENGAN TEKS YANG SALAH. Terpaksa aku tulis menggunakan terlebih dulu menekon tombol ‘caps lock’ di papan ketik saya. Gemes.

Ada tiga bait sumpah pemuda, dan bait pertama dan ketiga keliru. Teks di dinding kelas sebuah SMP itu berbunyi:

Sumpah Pemuda


Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia.


Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.


Kami putra serta putri Indonesia mengaku berbahas satu, bahasa Indonesia.


Ternyata, sesudah saya ketik saya baru sadar bahwa ketiga baitnya keliru!

Teks yg pernah diikrarkan sang para pemuda dalam 1928 merupakan menjadi berikut:
Kami putra serta putri Indonesia mengaku BERTUMPAH DARAH YANG SATU, tanah Air Indonesia.


Kami putra dan putri Indonesia mengaku BERBANGSA YANG SATU, bangsa Indonesia.


Kami putra dan putri Indonesia MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN, bahasa Indonesia.

Penjelasan Lengkap Tentang Kaitannya Sumpah Pemuda dan Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia mampu dibaca dalam artikel yg berjudul: Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia dan Perkembangannya

Bait kedua poster pada dinding kelas yang saya sebutkan tadi tidak fatal, ‘hanya’ kurang ‘yg’.

Melihat kesalahan seperti ini menciptakan aku gemes. Lantaran mereka (para pemuda yg berkongres dan ditutup dalam 28 Oktober 1928, yg kemudian diklaim sebagai Sumpah Pemuda tidak main-main. Mereka merumuskan itu menggunakan penuh risiko. Bahkan risiko dibunuh oleh Belanda lantaran dianggap makar.

Kini, sesudah hampir seratus tahun berdasarkan insiden itu kita mengingatnya dengan sembarangan. Padahal itu mampu mengubah makna serta mengurangi kedalaman perjuangannya.

Kata tumpah darah lebih heroik daripada sekadar bertanah air satu. Tumpah darah mengandung arti: kelahiran. Dilahirkan pada Indonesia. Juga mengandung arti usaha, berdarah-darah, terluka, hingga mangkat dalam pertempuran merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Tumbah darah jua mengandung arti kematian. Kita rela tewas, buat negeri tercinta.

Sementara bait terakhir yang memang tak jarang galat adalah perwujudan menurut syarat yg terjadi di Indonesia. Bangsa Indonesia tidak hanya mempunyai satu bahasa. Bahkan dianggap-sebut sebagai negara dengan bahasa daerah palaing banyak pada dunia. Mereka, para pemuda yang berjuang di awal keberadaan Indonesia menjadi bangsa memeahami itu. Maka mereka memakai kata ‘Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia’. Bahasa yg menyatukan dalam ikatan bangsa dan alat komunikasi lintas wilayah yg memiliki bahasa yg bhineka.
Baca Juga: Makna Sumpah Pemuda Bagi Pelajar dan Pemuda Masa Kini

Kemudian aku jadi bertanya, akan tetapi pertanyaanku membentur tombol-tombol papan ketik. (Disadur berdasarkan Puisi ‘Sajak Sebatang Lisong WS Rendra).

Saya jadi bertanya, siapakah yang keliru atas poster sumpah pemuda dengan teks yang salah di kelas ini?

Pertama, yang salah adalah penghasil poster tadi. Saya telah mendekati poster dan mengamati mungkin terdapat identitas pembuat poster, mungkin pabrik, percetakan, atau cv. Nihil. Tidak aku temukan.

Kedua, guru pada sekolah ini. Terutama guru bahasa Indonesia serta Pengajar IPS. Guru bahasa Indonesia bersalah lantaran Sejarah Lahirnya bahasa Indonesia berkaitan erat dengan peristiwa sumpah pemuda ini. Guru IPS di SMP ini pula salah lantaran nir meluruskan kesalahan sejarah.

Ketiga, seluruh pengajar di Sekolah Menengah pertama ini (khususnya wali kelas). Sebagai bangsa Indonesia kita tidak boleh bersifat ahistoris, anti-sejarah, dan setidaknya tidak peduli menggunakan sejarah. Bukankah kita seluruh telah sepakat bahwa Bangsa yang akbar merupakan bangsa yg menghargai jasa para pahlawannya.

Keempat, aku . Lantaran telah mengetahui bahwa itu galat serta tidak berusaha memperbaiki, setidaknya menyarankan kepada pihak sekolah buat menurunkan poster itu. Jika memang nir terdapat ganti poster sumpah pemuda yang teksnya sahih.

Kelima, Anda seluruh! Yang membaca goresan pena ini. Apabila masih keliru menulis teks sumpah pemuda berarti anda salah . Jika masih membisu saja padahal tahu bahwa terdapat teks sumpah pemuda yang salah , berarti anda juga galat.

Tentu kesalahan yg dimaksud di sini bukan dibalas dengan dosa atau hukuman. Apabila kita diam saja serta nir peduli terhadap kesalahan seperti ini. Kita sudah menyalahi dan mengingkari, setidaknya nir menghargai, para pejuang konvoi kemerdekaan.

Ah, dalam menulis hal seperti ini sya memang selalu berapi-barah. Saya mohon maaf jika pembaca yang telah sulit-sulit membaca ini justru disalah-salahkan.

Ujung-ujungnya setelah aku renungi. Ternyata aku sendiri yang salah karena membawa kasus yang terdapat di pada kelas, ke ranah yg lebih luas.


Setidaknya kita adalah sesama bangsa Indonesia. Salam.

DEFINISI BARU FILSAFAT INDONESIA

Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’ 
Adalah tidak mungkin menemukan definisi kata ‘Filsafat Indonesia’ dalam kamus-kamus atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yg baku. Filsafat Indonesia memang belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yg sudah lebih dulu dikenal Barat. Ambillah karya Paul Edwards menjadi satu ukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of Philosophy yg 8 jilid itu, terdapat 1.500 artikel yang ditulis oleh 500 kontributor berdasarkan filosof seluruh dunia, akan tetapi tak satupun artikel yang tentang Filsafat Indonesia. Sementara itu, ada 1 filosof Mesir, 1 filosof Iran, serta 4 filosof Cina yang menyumbangkan artikelnya selain menurut 494 filosof Barat, akan tetapi tak satupun filosof Indonesia yang menjadi kontributor artikel di dalamnya. 

St. Elmo Nauman Jr., dalam karyanya yg klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), jua hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia berdasarkan wilayah Persia, India, Cina, Palestina, Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, dan Lebanon. Tak satupun nama filosof Indonesia yang dianggap. Apatah lagi di dalam Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005. Kondisi yang sama juga terjadi waktu anda mencoba browsing di global maya lewat fasilitas mesin search menurut situs seperti www.google.com. Dengan penuh putus asa nir akan ditemukan artikel-artikel internet yg berjudul ‘Filsafat Indonesia’. 

Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi fenomena yg lebih membuat kita, orang Indonesia sendiri, lebih murung . Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta, hanya mempunyai koleksi 42 judul buku pada katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan koleksi buku Filsafat Barat dan Filsafat Timur lainnya malah memiliki beratus-ratus judul.

Seorang filosof Mesir berkaliber internasional misalnya Hassan Hanafi juga mengaku nir pernah mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga pada ketika diwawancara oleh GATRA dalam lima Juni 2001 berkata dengan penuh sinisme:

…kalian misalnya bilang mengenai efek Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, atau Sayyid Qutub, tetapi mana pemikir Indonesia? Seperti yang terjadi di Turki, mereka hanya menjelaskan pengaruh dari Abduh, Afghani serta lain-lain. Lalu di mana pemikir Indonesia?

Bahkan di pada wawancara itu pula Hanafi mengungkap niatnya untuk menulis tentang pemikir-pemikir Indonesia. 

Ini semua berarti, kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan buat orang Indonesia sendiri. Tetapi, walaupun belum terkenal secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia sudah dikaji pada negeri sendiri, oleh segelintir orang yang memelopori kajiannya, seperti Sunoto, R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, serta Jakob Sumardjo. Sunoto serta R. Pramono berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen merupakan Pengajar Besar Filsafat di Universitas Indonesia serta Jakob Sumardjo berdasarkan ITB Bandung. 

M. Nasroen merupakan orang pertama yg memelopori kajian Filsafat Indonesia pada dasa warsa 60-an. Dalam karyanya yang sangat klasik (Perpustakaan Nasional RI memasukkan bukunya sebagai keliru satu koleksi ‘kitab langka’), Pengajar Besar UI ini dalam banyak page menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu konklusi bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu Filsafat spesial yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yg amat kentara termanifestasi pada ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan. 

Demikian juga Sunoto, yang melakukan kajian serius mengenai Filsafat Indonesia, walaupun diakuinya sendiri bahwa kajiannya ‘…masih berkisar dalam kefilsafatan Jawa…,’ dan nir menyeluruh. R. Pramono mencoba lebih jauh dari Sunoto. Selain Jawa, beliau menelusuri alam pikiran Batak, Minangkabau, serta Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, pada karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yg secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia berdasarkan ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’ Dengan berbekal hermeneutika yg sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna berdasarkan budaya material (lukisan, indera musik, pakaian, tarian, dan lain-lain) sampai budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda masyarakat, teks-teks kuno, serta lain-lain) yg adalah warisan filosofis agung rakyat Indonesia. Dalam karyanya yg lain, Mencari Sukma Indonesia (2003), Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat tidak sinkron ontologi, epistemologi, serta aksiologinya berdasarkan ‘Filsafat Indonesia Lama’. Semua pioner tadi sangat membantu pada mencapai pemahaman yg dalam tentang Filsafat Indonesia.

Semua perintis Filsafat Indonesia tadi mendefinisikan Filsafat Indonesia secara bhineka. M. Nasroen mendefinisikan Filsafat Indonesia menjadi sekumpulan ajaran-ajaran filosofis yang asli Indonesia, yang nir pernah dimiliki oleh Filsafat manapun. Dalam ungkapannya sendiri, Nasroen menjelaskan:

Pandangan hidup Indonesia merupakan berlainan benar menurut Pandangan Hidup Junani dan Pandangan Hidup Barat dan Timur yg bersumberkan pada Pandangan Hidup Junani itu…

Sedangkan Sunoto, R. Pramono, serta filosof UGM berdasarkan Jurusan Filsafat Indonesia lainnya, mendefinisikan Filsafat Indonesia menjadi ‘…kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri…’ Atau, pada ungkapan R. Pramono, Filsafat Indonesia berarti ‘…pemikiran-pemikiran…yg tersimpul di dalam norma tata cara serta kebudayaan daerah…’ Jadi, pada pemikiran kelompok filosof UGM itu, Filsafat Indonesia merupakan semua pemikiran filosofis yang ditemukan dalam adat norma dan kebudayaan gerombolan -grup etnis masyarakat Indonesia, mulai menurut Sabang hingga Merauke. Definisi ini juga dianut oleh Alumni UGM dan Dosen Matakuliah Filsafat Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah. 

Jakob Sumardjo mendefinisikan Filsafat Indonesia secara amat gamblang serta lugas sebagai ‘Filsafat Etnik Indonesia’, yakni ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yg menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu grup etnik di Indonesia. Jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, maka adalah:

filsafat…  terbaca dalam cara warga Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, berdasarkan kitab -buku sejarah dan sastra yg ditulisnya 

Semua filosof pelopor tersebut, nampaknya, mencapai istilah setuju bahwa definisi Filsafat Indonesia adalah ‘segala warisan pemikiran asli yg masih ada pada tata cara-tata cara dan kebudayaan seluruh grup etnik Indonesia.’ Jadi, semua produk filosofis sebelum datangnya filsafat asing (Cina, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, dapat disebut menjadi Filsafat Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat asli Indonesia’ hanya terdapat dalam waktu masyarakat Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Apabila Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka sungguh betul miskinlah tradisi filsafat kita.

Penulis menduga krusial adanya definisi baru, agar Filsafat Indonesia nir hanya seperti katak dalam tempurung, yg kebal terhadap impak intelektual asing serta ‘suci’ berdasarkan unsur filosofis asing, menggunakan cara memperluas scope Filsafat Indonesia, yg bukan hanya mengandung segala warisan pemikiran asli yg masih ada dalam tata cara-norma dan kebudayaan seluruh kelompok etnik Indonesia, akan tetapi jua segala pemikiran Indonesia yang terpengaruh sang antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.

Memang benar, sebagaimana tak jarang ditunjukkan oleh penulis buku Filsafat Islam, Persia, Cina, Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, dan lain-lain, bahwa para filosof menamai kajian mereka menggunakan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., pada samping untuk menegaskan sumbangan komunal berdasarkan komunitas tempat mereka asal terhadap tradisi filsafat sejagat, jua buat menunjukkan kekhasan, otentisitas, bukti diri, atau fitur distingtif menurut filsafat yg mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filosof itu tidak berhenti hingga pada situ saja. Mereka kemudian juga mengakui, baik secara tersirat juga eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat jua turut memberi warna-warni dalam struktur filsafat regional mereka. 

Bertrand Russell, dalam kitab sejarah filsafat Baratnya yg amat klasik History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from The Earliest Times to The Present Day (Sejarah Filsafat Barat dan Hubungannya menggunakan Kondisi Sosio-Politik berdasarkan Masa Lampau Hingga Sekarang), mengakui impak Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat. Dengan kata-ucapnya sendiri, Russell berujar: 

Writers in Arabic showed some originality in mathematics and chemistry in the latter case, as an incidental result of alchemical researches. Mohammedan civilization in its great days was admirable in the arts and in many technical ways, but it showed no capacity for independent speculation in theoretical manners. Its importance, which must not be underrated, is as a transmitter. Between ancient and terbaru European civilization, the dark ages intervened. The Mohammedans and the Byzantines, while lacking the intellectual energy required for innovation, preserved the apparatus of civilization education, books, and learned leisure. Both stimulated the West when it emerged from barbarism the Mohammedans chiefly in the thirteenth century, the Byzantines chiefly in the fifteenth. In each case the stimulus produced new thought better than any produced by the transmitters in the one case scholasticism, in the other the Renaissance (which however had other causes also)

Pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat pula diakui oleh filosof Barat lain, Frederick Mayer. Dalam karyanya yg pula tergolong klasik A History of Ancient & Medieval Philosophy, lektur filsafat pada University of Redlands California ini berkata:

Averrhoes defended, against Al-Gazzali, the value of philosophical discussion. He held that it could give a spiritual interpretation of the faith and lead to a symbolic explanation of dogmas which otherwise would be accepted in their literal sense. After his death Arabic philosophy declined, but his theories played an important part in Western scholastic circles 

Bukan hanya filosof Barat yang mengakui imbas rona-warni filsafat asing pada struktur filsafat regionalnya, akan tetapi jua filosof Jepang, misalnya Masaaki Kôsaka. Dalam artikelnya The Intellectual Background of Modern Japanese Thought (Latarbelakang Intelektual menurut Alam Pikiran Jepang Modern), Masaaki mengakui dampak Filsafat Barat pada struktur Filsafat Jepang, seraya mengatakan:

When Japan [in the time of The Meiji Restoration-pen.] began dealing with foreign nations, she admitted a host of Western influences. At the time, these sprang solely from terkini Europe and America, but it was inevitable that the attention of the Japanese would eventually be caught by the glories of the Renaissance and ancient Greek civilization, and more important, that they would encounter Christianity… 

Huang Songjie, seorang filosof Cina, jua turut mengakui imbas tradisi Filsafat Barat terhadap struktur Filsafat Cina. Dalam artikelnya The ‘Great Triangle’ of Chinese Philosophical Academia and The Modernization of China (‘Segitiga Emas’ Akademi Filsafat Cina serta Modernisasi Cina) , Songjie menegaskan bahwa:

Marxist philosophy, Western philosophy and Chinese traditional philosophy are three independent and yet interrelated philosophical trends in the 20th century Chinese academic and cultural world. I refer to this as the "Great Triangle". Dealing properly with this interrelationship is of great importance for the development of Chinese culture and the modernization of China… Western science and culture spread gradually in China after the Opium War (1840) and forcefully challenged traditional Confucianism. Early in 20th century, with the Revolution of 1911 and the May 4th New Culture Movement, traditional Confucianism was attacked intensely by a large number of progressive intellectuals and radical thinkers. During the twenties and thirties of this century, more and more Chinese intellectuals introduced and popularized Western philosophy in China, among which pragmatism was especially influential. But early in 20th century the greatest impact on Chinese society was the introduction and spread of Marxism. From the 1920’s on the "Great Triangle" appeared in the Chinese philosophical arena, in which the traditional Confucianist philosophy was defeated and Marxist philosophy emerged as the winner. The victory of Marxism is due to the fact that the Chinese communists combined Marxism tactically with Chinese social and revolutionary practice; they made of Marxism an ideological weapon against feudalism and imperialism, leading thereby to the founding of New China.

Tidak mengakui adanya ‘Filsafat orisinil Indonesia’ serta hanya mengakui efek Modernisme Barat dalam struktur Filsafat Indonesia pula sama buruknya serta sama naifnya. Memang nir dapat disangkal, bahwa kata ‘Indonesia’ baru diciptakan dalam tahun 1917, tapi bukan berarti sebelum tahun itu tradisi Filsafat Indonesia belum terdapat; sebelum tahun itu, pemikir Indonesia belum lahir. Memang tak dapat disangkal, bahwa ‘Indonesia’ menjadi suatu lembaga politik modern Republik ala Barat baru lahir pada 17 Agustus 1945, tapi bukan berarti seluruh pemikir yg terdapat sebelum lepas itu harus diabaikan begitu saja. 

Semangat ‘anti-tradisi’ semacam itu pernah mencuat pada goresan pena-goresan pena polemis ‘Sutan Takdir Muda’ dengan Ki Hajar Dewantara, yang lalu dikenal sebagai Polemik Kebudayaan 1935, dimana Sutan Takdir berpendapat bahwa tradisi ‘Indonesia Lama’—termasuk struktur budaya, peradaban, seni, dan filsafatnya menjadi satu paket—harus dibuang jauh-jauh ke belakang dan, menjadi gantinya, tradisi Dunia Modern yg mengandung ‘budaya progresif’ harus diadopsi, dipelajari, dan dikuasai, supaya Indonesia bisa mewarisi kebesaran struktur budaya Modern itu dan menjelmakannya buat dirinya sendiri menjadi ‘Indonesia Modern’. Motif-motif ‘anti-tradisi’ pula sempat hadir pada deklarasi serta pernyataan-sikap para sastrawan yg tergabung dalam gerombolan Angkatan ’45, yg terungkap dalam Surat Kepercayaan Gelanggang Indonesia Merdeka (Jakarta, 18 Februari 1950):

…Kami tidak akan menaruh suatu kata ikatan buat kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara mengenai kebudayaan Indonesia, kami nir ingat pada melap-lap output kebudayaan usang sampai berkilat serta buat dibanggakan,… Revolusi bagi kami artinya penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan…

Upaya pengadopsian filsafat asing ke pada struktur tradisional Indonesia dalam wujud proyek Modernisasi (Westernisasi) berada dalam track yang benar, bila dimaksudkan buat menghancurkan sisa-residu sukuisme dan feodalisme pra-Kemerdekaan, tapi sebagai galat-langkah, bila ditujukan buat membuang seluruh heritage filosofis lama . 

Pada ketika Modernisasi mulai mengetam output panennya selesainya 2 abad berjalan, yg puncaknya tercapai di era Orde Baru Soeharto, tidaklah galat jika terdapat orang yg mau ‘balik ke Tradisi’, bukan buat sekadar romantisme yang nostalgik, tapi untuk interpretasi-ulang, cipta-ulang, daur-ulang, reka-ulang, pemaknaan-ulang atau introspeksi terhadap tradisi sendiri. Mungkin terdapat ‘penyakit-penyakit Modernitas’ yang ‘obatnya’ justru terdapat pada Tradisi. Mungkin jua terdapat Tradisi yang elemen-elemennya malah menopang sendi-sendi yang ringkih dari struktur Modernitas. Tradisi yg dimaknai-ulang sang orang terbaru tentu bukan lagi tradisi antik, tapi menjadi suatu Modernitas baru, karena tradisi kuno sudah semenjak lama hilang, digantikan sang Modernitas. Ketika Modernitas telah sebagai barang antik sang orang Indonesia sekarang, maka penafsiran-ulang terhadap Tradisi mungkin saja membuat ‘Modernitas Baru’.

Definisi baru Filsafat Indonesia mesti merangkul Tradisi dan Modernitas sekaligus. Tidak boleh ada preferensi yang berlebihan pada galat satunya. Jika pilihan dijatuhkan dalam keliru satu menurut keduanya, berarti Filsafat Indonesia telah dimiskinkan isinya.

Mitologi antik yang sarat elemen filosofis, menjadi bagian dari Tradisi, setidaknya dapat dijadikan titik-tolak (turning point) buat pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, jika bukan sebagai pintu gerbang (gateway) buat masuk ke alam pikiran Indonesia. Banyak penulis sejarah filsafat yg sengaja memasukkan kajian mitologis sebagai kajian pembuka pada bukunya, apalagi bila bukunya memang disusun menurut kronologi. Thomas Kasulis, pada artikelnya Japanese Philosophy, memulai kajiannya menggunakan mitologi Jepang antik. Mohammad Hatta, pada buku Alam Pikiran Yunani, pula memulai kajiannya menggunakan mitologi Yunani. Bahkan, Plato, dalam setiap tulisannya, memakai mitologi, baik menjadi bahan-standar (raw material) filsafatnya maupun sebagai sasaran kritik buat membentuk struktur filosofisnya. 

Untuk menciptakan definisi yg baik menurut Filsafat Indonesia, maka diharapkan beberapa perbandingan menggunakan definisi filsafat yg lain. Misalnya, ‘Filsafat Islam’ disebut demikian, lantaran filsafat itu lahir pada daerah kuasa Islam serta diproduksi sang komunitas religius Islam yg menetap di wilayah itu. Hal serupa juga berlaku bagi ‘Filsafat Kristen’ serta ‘Filsafat Yahudi’. Sementara, ‘Filsafat Jerman’ disebut demikian, karena dia ditulis menggunakan aksara serta bahasa Jerman. Ini serupa dengan definisi ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Rusia’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Kontinental’ (Filsafat yg ditulis berbahasa Eropa Kontinental), ‘Filsafat Analitis’ (Filsafat yang ditulis berbahasa Inggris atau Amerika), ‘Filsafat Korea’, serta ‘Filsafat Arab’, yg mendasarkan penamaan filosofisnya dari penggunaan aksara dan bahasa nasionalnya. ‘Filsafat Afrika’ lebih menekankan segi distingtif tradisi filosofisnya dari tradisi filsafat sejagat lainnya. Ini serupa menggunakan ‘Filsafat Persia’, ‘Filsafat Bantu’, serta ‘Filsafat Pakistan’.

Berdasarkan perbandingan di atas, berarti definisi Filsafat Indonesia dapat dibangun dari tiga segi: 1) daerah loka filosof itu berada; 2) aksara dan bahasa yg dipakai filosof untuk menulis karya filosofisnya; dan 3) segi distingtif pemikiran filosofisnya menurut tradisi filsafat sejagat. Kalau 3 segi ini diterapkan pada definisi Filsafat Indonesia, maka Filsafat Indonesia merupakan filsafat yg diproduksi oleh seluruh orang yg menetap pada daerah yang dinamakan belakangan menjadi Indonesia, yg memakai bahasa-bahasa pada Indonesia menjadi mediumnya, serta yg isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif apabila dibandingkan menggunakan filsafat sejagat lainnya.

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yg diproduksi sang semua orang yg menetap pada daerah Indonesia berimplikasi, bahwa semua orang yg asal dari grup etnis, grup ras, atau kelompok religius yang tidak sinkron, asalkan semuanya menetap pada Indonesia, maka semuanya filosof Indonesia. 

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia merupakan filsafat yang menggunakan bahasa-bahasa pada Indonesia sebagai medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa seluruh orang yang menetap di Indonesia, asalkan memakai bahasa-bahasa yg hidup di Indonesia menjadi mediumnya, maka semuanya merupakan filosof Indonesia. Disebut ‘bahasa-bahasa di Indonesia’, lantaran Indonesia memiliki 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa Indonesia. 

Untuk sifat ketiga, bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yg sekurang-kurangnya mempunyai segi distingtif menurut filsafat sejagat lainnya, wajib diberi penjelasan tambahan. Distinctiveness bukanlah suatu keharusan dalam Filsafat Indonesia, karena, wajib diakui, bahwa segi distingtif dalam isi Filsafat Indonesia amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih poly borrowing nya daripada otentisitasnya. Lebih poly segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang asli pada Filsafat Indonesia hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yang pinjaman relatif poly, mencakup pinjaman dari ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’, hingga ‘Filsafat Barat’. Pinjaman-pinjaman itu, pada saatnya, akan dipulangkannya lagi setelah dia berhasil membangun suatu corak lain, apakah dalam bentuk sintesa dialektis, adaptasi, transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi serta objeksi. 

Definisi baru Filsafat Indonesia ini pula berimplikasi dalam masalah kapan lahirnya kajian Filsafat Indonesia. Apabila dimaksud sebagai suatu nama cabang filsafat yg dikaji filosof Indonesia, yg membedakannya berdasarkan kajian Filsafat Barat dan Filsafat Asia lainnya, maka Filsafat Indonesia lahir pada dasa warsa 60-an. Tapi, apabila dimaksud sebagai kegiatan berpikir logis-rasional yg diproduksi orang Indonesia, maka Filsafat Indonesia lahir bukan sejak dekade itu, akan tetapi malahan semenjak local genius primitif menghasilkan mitologi filosofis, yang diperkirakan para sejarawan berproduksi semenjak era neolitik lebih kurang 3500-2500 SM, yang jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri hingga kini dalam kebudayaan suku Sakuddei di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim pada Papua (Irian Barat), pula di suku Minangkabau, Jawa, Nias, Batak, serta lain-lain.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Indonesia

Pendidikan pada Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu memang terkait menggunakan banyak sekali faktor menurut zamannya masing-masing, Pendidikan itu sudah ada sejak zaman kuno/tradisional yg dimulai dengan zaman impak agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, serta zaman merdeka (Pidarta, 2009.: 125).


A. Zaman Pengaruh Hindu dan Budha 

Pengaruh pendidikan pada zaman Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme adalah dua kepercayaan yg tidak sinkron, tetapi di Indonesia keduanya memiliki kesamaan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Siva dengan Budha menjadi satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika yg berarti berbeda-beda tetapi tetap satu yaitu Sang Maha Tunggal yaitu Tuhan , secara etimologis dari berdasarkan keyakinan tadi (Mudyahardjo, 2012: 215).
Pada zaman ini pendidikan memiliki tujuan yg sama yaitu pendidikan diarahkan dalam rangka penyebaran serta pelatihan kehidupan keberagamaan Hindu dan Budha (Mudyahardjo, 217), jua mencari petunjuk tentang apa yg diinginkan, baik buruknya, sampai pencapaiannya.

B. Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)

Agama Islam mulai masuk ke Indonesia dalam akhir abad ke-13 serta meliputi sebagian besar Nusantara dalam abad ke-16. Perkembangan pendidikan agama Islam di Indonesia sejalan menggunakan perkembangan penyebaran Islam pada Nusantara, baik sebagai agama juga sebagai arus kebudayaan (Mudyahardjo.: 221). Pendidikan kepercayaan Islam dalam zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.



Tujuan menurut pendidikan agama Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya pada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan sang Nabi Muhammad S.A.W. Untuk mencapai kebahagiaan di global dan akhirat. (Mudyahardjo.: 121-223) Pendidikan agama Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, tetapi banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu serta terkoordinasi sang para wali pada Jawa, terutama Wali Sanga.


C. Zaman Kolonial Belanda

Saat Belanda menjajah Indonesia, pendidikan yg terdapat diawasi secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan, gerakan-gerakan perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda pada Indonesia pada sat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda waktu itu.

Tiga poin primer pada politik etis Belnada dalam masa itu merupakan irigasi, migrasi, serta edukasi. Dalam poin eduksi, peerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat buat kalangan pribumi. Akan namun eksistensi sekolah-sekolah ini ternyata nir sebagai wahana pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yg disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis.


Pada masa ini jua, pendidikan pendidikan warga pula turut timbul. Sekolah sekolah warga misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah ada serta berkembang. Jadi bisa dikatakan dalam masa tersebut terdapat 3 tipe jalur pendidikan yang berbeda:

1)System pendidikan menurut masa islam yang diwakili menggunakan pondok pesantren
2)Pendidikan bergaya barat yang disediakan sang pemerintah Hindia-Belanda
3)Pendidikan “swasta pro-pribumi” seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah
Golongan baru inilah yg kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yg masih bersifat kedaerahan berubah menjadi usaha bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 serta semakin meningkat menggunakan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928. Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yg semuanya mendidik anak-anak agar mampu mandiri menggunakan jiwa merdeka (Pidarta, 2009: 125-33).

(Baca juga mengenai Taman Siswa di Sini !!).


D. Zaman Kolonial Jepang

Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Kolonial Jepang tetap berlanjut sampai asa buat merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah serta terus mengobarkan semangat 45 pada hati mereka. Meskipun demikian, ada beberapa segi positif berdasarkan penjajahan Jepang pada Indonesia.
Di bidang pendidikan, Jepang sudah menghapus dualisme pendidikan menurut penjajah Belanda dan menggantikannya menggunakan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang buat pada pakai pada forum-forum pendidikan, di kantor-kantor, serta pada pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia buat merealisasi Indonesia merdeka. Pada lepas 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia sebagai kenyataan waktu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia (Mudyahardjo, 2012:266-272).

Sejarah pendidikan yg akan diulas merupakan sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:tiga). Pendidikan dibentuk berjenjang, nir berlaku buat seluruh kalangan, dan dari taraf kelas. Pendidikan lebih diutamakan buat anak-anak Belanda, sedangkan buat anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi buat menyediakan tenaga kerja murah yg sangat dibutuhkan sang penguasa. Sarana pendidikan dibentuk dengan biaya yang rendah menggunakan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai kasus peperangan.


Kesulitan keuangan menurut Belanda dampak Perang Dipenogoro pada tahun 1825 sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) dan perang Belanda dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yg mahal dan menelan poly korban. Belanda menciptakan siasat agar pengeluaran buat peperangan bisa ditutupi berdasarkan negara jajahan. Kerja paksa dipercaya cara yg paling digdaya buat memperoleh laba yg aporisma yang dikenal dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat dijalankan sebagai cara yang simpel buat meraup keuntungan sebanyak-besarnya. Rakyat miskin selalu sebagai bagian yg dirugikan karena digunakan menjadi energi kerja murah. Rakyat miskin yg sebagian bekerja menjadi petani juga dimanfaatkan buat menambah kas negara penguasa.


Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah, pemerintah mengusahakan supaya bahasa Belanda sanggup diujarkan sang warga buat mempermudah komunikasi antara pribumi serta Belanda. Lalu, bahasa Belanda menjadi kondisi Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut wajib dipenuhi para calon pegawai yg akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12). Jadi, anak menurut kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam paksa lebih efektif, lantaran masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat. Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri menurut lapisan-lapisan sosial yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri masih ada golongan bangsawan dan orang kebanyakan.


Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan dari faktor ekonomi pada dalam maupun pada luar Indonesia, misalnya kebangkitan Asia, timbulnya Jepang sebagai Negara terkini yang mampu menaklukkan Rusia, serta perang dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama menjadi indera perusahaan super besar yg bermotif ekonomis supaya upah kerja serendah mungkin buat mencapai keuntungan yg aporisma. Irigasi, transmigrasi, serta pendidikan yang dicanangkan menjadi kedok buat siasat meraup laba. Irigasi dibentuk supaya panen padi nir terancam gagal serta memperoleh output yg lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi buat penyebaran energi kerja, keliru satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan warga .


Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 serta terhambat karena krisis global, nir terkecuali menerpa Hindia Belanda yg dianggap mangalami malaise (Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan lembaga pendidikan. Lalu, forum pendidikan dibentuk menggunakan biaya yang lebih murah. Kebijakan yg dibuat termasuk penyediaan tenaga guru yg terdiri berdasarkan energi pengajar buat sekolah dasar yg tidak memiliki latar belakang pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua dipercaya layak menjadi pengajar. Masalah lain yg paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu adalah beban yg berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibentuk buat indera penguasa, orang kebanyakan sebagai sasaran yang empuk diberi pengetahuan buat dijadikan energi kerja yang murah.




Pendidikan dibentuk sang Belanda mempunyai ciri-karakteristik eksklusif. Pertama, gradualisme yang luar biasa buat penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan nir begitu diperhatikan. Kedua, dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibentuk terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada taraf bawah. Ketiga, kontrol yg sangat bertenaga.


Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yg menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, pengajar serta orang tua tidak memiliki pengeruh eksklusif politik pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna buat merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan buat mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan menjadi energi kerja yg murah. Kelima, prinsip konkordasi yg menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia nir berhak sekolah pada pendidikan Belanda. Keenam, tidak adanya organisasi yg sistematis. Pendidikan menggunakan karakteristik-cri tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang sanggup. Pemerintah Belanda lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan anak-anak Indonesia.


Pemerintah Belanda pula membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat buat mengeluarkan porto yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun 1907. Tipe sekolah desa yg dipercaya paling cocok sang Gubernur Jendral Van Heutz menjadi sekolah murah serta nir mengasingkan menurut kehidupan agraris (Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan menggunakan sekolah kelas 2, pemerintah takut penduduk nir bekerja lagi di sawah. Penduduk diupayakan permanen menjadi energi kerja demi pengamankan output panen.


Sekolah desa dibuat menggunakan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi madrasah yg memiliki kurikulum bersifat generik. Pesatren dibumbui dengan pengetahuan generik. Cara tadi dianggap efektif, sehingga pemerintah nir usah menciptakan sekolah dan mengeluarkan porto (Nasution, 1987:80). Pengajar sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap bisa sebagai guru sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia buat mengajar di lingkungan desa.


Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan adalah catatan sejarah yang kelam. Penjajah menciptakan pendidikan sebagai alat buat meraup laba melalui energi kerja murah. Sekolah pula dibuat menggunakan biaya yang murah, supaya tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi nir etis pada pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yg sangat mendesak serta aneka macam masalah lain menjadi fenomena yg tercatat pada sejarah pendidikan masa Belanda.


Belanda digantikan sang kekuasaan Jepang. Jepang membawa wangsit kebangkitan Asia yg tidak kalah liciknya berdasarkan Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat buat menyediakan energi cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat sebagai indera kekuasaan Jepang buat kepentingan perang. Pendidikan dalam masa kekuasaan Jepang mempunyai landasan idiil hakko Iciu yg mengajak bangsa Indonesia berkerjasama buat mencapai kemakmuran beserta Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.


Sejarah Belanda hingga Jepang dipahami menjadi alur penjelasan kalau pendidikan dipakai sebagai alat komoditas sang penguasa. Pendidikan dibentuk dan diajarkan buat melatih orang-orang sebagai tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang membuahkan pendidikan sebagai senjata digdaya buat menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yg akan dikembangkan buat membangun negara Indonesia sehabis merdeka.


Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan pada kementrian pendidikan, pedagogi, dan kebudayaan agar cepat buat menyediakan serta mengusahakan pembaharuan pendidikan serta pedagogi sesuai dengan rencana pokok bisnis pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu, pemerintah mengadakan acara pemberantasan buta alfabet . Program buta alfabet nir gampang dilaksanakan menggunakan aneka macam keterbatasan sumber daya, hambatan gedung sekolah serta pengajar. Kementrian PP dan K pula mengadakan usaha menambah pengajar melalui kursus selama 2 tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa Inggris, ilmu bumi, dan ilmu niscaya(Mestoko dkk, 1985:161). Program tadi menerangkan jumlah orang yang buta alfabet seluruh Indonesia lebih kurang 32,21 juta (kurang lebih 40%), buta alfabet pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud merupakan buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan buta alfabet pada pedesaan yg diprogramkan sang pemerintah buat menanggulangi nomor buta aksara di Indonesia serta buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan sekitar tidak berdampak dalam tempat tinggal tangga kurang bisa.


Kemerdekaan Indonesia nir menciptakan nasib orang nir sanggup terutama menurut sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus mudah timbul kembali, model yang paling terkenal menggunakan dampak yang hampir serupa misalnya cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yg diadakan dalam tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong lantaran adalah bisnis gotong royong antara pemerintah dan partikelir (asing serta nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian menggunakan memakai metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah buat menaikkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) lima serta PB 8.37. Pada jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang memaksakan penanaman bibit menurut Taiwan. Jadi, masyarakat dipaksakan mengikuti kemauan menurut pihak penguasa. Cara tadi lebih kurang sama menggunakan yang dilakukan sang pemerintah Indonesia menjadi cara buat membentuk panen yg lebih maksimal . Muller (1979:73) menyatakan dari penelitian yang dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup pada kemiskinan, paling-paling hanya sanggup memenuhi kebutuhan hidup yang paling minim, dan hampir nir bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas hayati dalam kemewahan.


Pendidikan dalam masa Belanda, Jepang dan selesainya kemerdekaan sulit dicapai sang orang-orang menurut rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan serta diberi pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja yang diandalkan buat mencapai keuntungan yang aporisma. Setelah jaman kemerdekaan, warga dari rumah tangga kurang bisa terus menjadi sumber pemaksaan secara halus buat pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan sebagai indera penguasa buat membuatkan program yg dipercaya dapat mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.


Landasan Sejarah Pendidikan Di Masa Perjuangan Bangsa Indonesia, Masa Pembangunan Dan MasaReformasi.

A. Masa Perjuangan.

a. Zaman Kolonial Belanda

Didorong oleh kebutuhan mudah berkaitan menggunakan pekerjaan diberbagai bidang, Belanda mendirikan sekolah-sekolah buat masyarakat Indonesia menggunakan tujuan membuat pegawai-pegawai rendahan baik sebagai pegawai negeri maupun partikelir. Adapun kecenderungan pendidikan masa kolonial ini adalah:1) membiarkan terselengarakannya pendidikan islam tradisional serta membantu mendirikan madrasah Islam di Nusantara, 2) mendirikan sekolah Zending (mizionaris) yg bertujuan mengembangkan agama kristen. Adapun ciri spesial pendidikannya diantaranya: 1) dualistik diskriminatif, 2) sentralistik, tiga) tujuan pendidikan buat menghasilkan tamatan sebagai masyarakat negara Belanda kelas dua.

Kurikulum sekolah mengalami radikal dengan masuknya ilham-ilham liberal tadi yang bertujuan berbagi kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional serta sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan buat anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19. Setelah tahun 1848 dimuntahkan peraturan pemerintah yg menerangkan bahwa pemerintah lambat laun mendapat tanggung jawab yg lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia menjadi hasil perdebatan di parlemen Belanda serta mencerminkan perilaku liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia. Pda tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Deventer berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids, Ia menganjurkan supaya pemerintah lebih memajukan kesejahterran masyarakat Indonesia. Ekspresi ini lalu dikenal menggunakan Politik Etis. Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dasa warsa. Pendidikan yg berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas buat beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yang orang tuanta merupakan pegawai pemerintah Belanda, sudah mengakibatkan elite intelektual baru.


Golongan baru inilah yg kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa semenjak berdirinya Budi Utomo dalam tahun 1908 serta semakin meningkat menggunakan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.


b. Zaman Kolonial Jepang

Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942 yg dalam masa itu sedang terjadi Perang Dunia sebagai akibatnya berimbas pada pemerintahan Jepang yang bersifat militeristik. Dalam misinya menguasai Indonesia, Jepang banyak melakukan perubahan. Termasuk dibidang pendidikan, penyelenggaraannya ditujukan buat menghasilkan tentara yg siap memenangkan perang bagi Jepang. Selain itu, di bidang pendidikan secara luas ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang pada Indonesia antara lain: a) Jepang sudah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda serta menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang, b) pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstrusikan sang Jepang buat di pakai pada lembaga-lembaga pendidikan, pada tempat kerja-tempat kerja serta dalam pergaulan sehari-hari. Bahas Jepang menjadi bahasa kedua sedang bahasa Belanda dilarang, c) Jepang mendirikan sekolah guru dengan sistem pelatihan indoktrinasi mental ideologis, d) pembinaan anak didik dan para pemuda dilakukan menggunakan senam pagi (taiso).

c. Zaman Kemerdekaan

Meski belum mencapai suasana aman pada kehidupan pemerintahannya, akan namun pada bidang pendidikan pada awal kemerdekaan ini terus dilaksanakan dengan berpedoman pada UUD1945 pasal 31. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pendidikan pada era 1945-1950 yaitu :
  1. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia mengusulkan perlunya pembaharuan pada bidang pendidikan
  2. Pembentukan pendidikan masyarakat yang bertujuan menciptakan rakyat adil dan makmur berdasar pancasila.
  3. Pembentukan Panitia Penyelidik Pengajaran
  4. Menetapkan kurikulum awal menjadi pedoman penyelenggaraan pendidikan
  5. Pembaharuan kurikulum sebagai kurikulum SR 947

d. Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969) 

Pendidikan dan pedagogi sampai tahun 1945 pada selenggarakan sang kentor pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku serta merupakan bagian menurut kantor penyelenggara urusan pamong praja yg dianggap menggunakan Naimubu. Setelah pada proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia yg baru di bentuk memilih Ki Hajar Dewantara, pendiri taman murid, sebagai menteri pendidikan serta pedagogi mulai 19 Agustus hingga 14 November 1945, lalu diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia berdasarkan lepas 14 November 1945 hingga dengan 12 Maret 1946. Tidak lama lalu Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dig anti oleh Mohamad Syafei berdasarkan 12 Maret 1946 hingga dengan 2 Oktober 1946. Karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, dalam dasarnya tidak banyak yang bisa diperbuat oleh para mentri tersebut.




1. Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan 

Dalam kurun ketika 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, lepas 1 Maret 1946, tujuan pendidikan nasional dalam masa awal kemerdekaan amat menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini bisa di pahami, lantaran dalam ketika itu bangsa Indonesia baru saja tanggal berdasarkan penjajah yg berlangsung ratusan tahun, serta terdapat gelagat bahwa Belanda ingin pulang menjajah Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yg baru diproklamasikan.

Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patrionisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 mengenai dasar-dasar pendidikan serta pedagogi pada sekolah. “Tujuan pendidikan dan pengajaran artinya membangun insan yang cukup dan warga negara yg demokaratis secara bertanggung jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air”.


Kurikulum sekolah dalam masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an ditujukan buat:

• menaikkan pencerahan bernegara dan bermasyarakat,
• mempertinggi pendidikan jasmani,
• mempertinggi pendidikan watak,
• menberikan perhatian terhafap kesenian,
• menghubungkan isi pelajaran menggunakan kehidupan sehari-hari, dan
• mengurangi pendidikan pikiran.

Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yg gagal, maka melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 mengenai Agama, Pendidikan, dan kebudayaan pada adakan perubahan pada rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, “Membentuk manusia pancasilais sejati menurut ketentuan-ketentuan misalnya yg dikenhendaki sang pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”.


2. Sistem Persekolahan

Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan dalam dasarnya melanjutkan apa yg dikembangkan dalam zaman pendudukan jepang. Sistem dimaksud mencakup 3 tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, serta pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah menengah pertama yang berlangsung 3 tahun memiliki beberapa jenis, yaitu sekolah menegah pertama (Sekolah Menengah pertama) menjadi sekolah menengah pertama generik; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN), sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah menengah pertama kejuruan; serta sekolah pengajar B (SGB) serta sekolah guru C (SGC) sebagai sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung 3 tahun, meliputi sekolah menengah tinggi (SMT) menjadi sekolah menengah generik, dan sekolah kejuruan berupa sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik (ST), sekolah pengajar kepandayan putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) serta kursus guru.


3. Pedidikan pada Indonesia Selama PJP I (1969-1993)

Pembangunan jangka panjang mencakup lima pelita, yaitu pelita I-V yg dimulai pada tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994, atau 25 tahun. Selama kurun tadi, pendidikan Indonesia Indonesia mengalami kemajuan. Hal ini terutama pada tandai sang semakin luasnya kesempatan buat memperoleh pendidikan pada seluruh jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; meningkatnya jumblah wahana dan prasarana pendidikan yg tersedia serta tenaga yang terlibat pada pendidikan; meningkatnya mutu pendidikan dibandingkan menggunakan masa-masa sebelumnya; semakin mantapnya sistem pendidikan nasional dengan di sahkan undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 mengenai system pendidikan nasional bersama sejumblah peraturan pemerintah yang menyertainya.
Namun demikian, hingga berakhirnya pelita V, pendidikan nasional masi pada hadapkan dengan berbagai tantangan baik kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, tantangan yang di hadapi menyangkut pemerataan kesempatan buat mamperoleh pendidikan khususnya pendidikan dasar, sementara secara kualitatif tantangan yang di hadapi berkenan dengan upaya mutu pendidikan, peningkatan relefansi pendidikan menggunakan penbangunan, efektifitas serta efisiensi pendidikan.

B. Masa Pembangunan

Dalam rangka menyesuaikan segala bisnis untuk mewujudkan Manipol, melalui Keputusan Presiden RI No. 145 Tahun 1965 pendidikan nasional ditinjau menjadi indera revolusi. Pendidikan harus difungsikan atau harus mempunyai Lima Dharma Bhakti Pendidikan, yaitu: (1) Membina Manusia Indonesia Baru yg berakhlak tinggi (Moral Pancasila), (dua) Memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam segenap bidang serta tingkatnya (manpower), (3) Memajukan serta berbagi kebudayaan nasional, (4) Memajukan serta membuatkan ilmu engetahuan dan teknlogi, (5) Menggerakkan serta menyadarkan semua kekuatan masyarakat buat menciptakan warga serta manusia Indonesia baru. Selanjutnya dinyatakan bahwa asas pendidikan nasional adalah Pancasila – Manipol USDEK. Dengan demikian tujuan pendidikan nasional merupakan untuk melahirkan masyarakat negara-masyarakat negara sosialis Indonesia yg susila yang bertanggung jawab atas terselenggaranya rakyat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual juga material dan berjiwa Pancasila. Dalam hal ini, moral pendidikan nasional ialah Pancasila Manipol/USDEK, dan politik pendidikannya merupakan Manifesto Politik. Selanjutnya melalui Penetapan Presiden RI No. 19 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila antra lain dirumuskan balik mengenai dasar asas pendidikan nasional, tujuan, isi moral, dan politik nasional. Yang menarik pada rumusan-rumusan tersebut ditegaskan sekali lagi bahwa tugas pendidikan nasional Indonesia artinya menghimpun kekuatan progresif revolusioner berporoskan Nasakom.

Banyak progam pembangunan yg sudah direncanakan dalam Pembangunan Nasional Semesta Berencana Thap Pertama (1961-1969). Rencana proyek pembangunan pada bidang pendidikan diantaranya berkenaan pengembangan pendidikan tinggi,diprioritaskannya pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, kursus-kursus serta sebagainya. Tetapi demikian dampak pecahnya pemberontakan G-30S/PKI, maka rontoklah planning pembangunan nasional semesta berencana tadi. Setelah pemberontakan G30S/PKI bisa ditumpas, terjadi suatu keadaan peralihan rakyat Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru.


1. Pendidikan Pada Masa PJP I (Pembangunan Jangka Panjang)

Pelaksaan Pelita I PJP I dicanangkan mulai 1 April 1969, maka pada lepas 28-30 April 1969 pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 orang pakar/pemikir pendidikan di Cipayung buat melakukan konferensi dalam rangka: 1) mengidentifikasi masalah-perkara pendidikan nasional, dan dua) menyusun suatu prioritas pemecahn berdasarkan berbagai maslah tersebut, serta mencari alternatif pemecahannya.


Didalam rumusan-rumusan kebijakan pkok pembangunan pendidikan selama PJP I masih ada beberapa kebijakan yang terus menerus dikemukakan, yaitu: 1) relevansi pendidikan, dua) pemerataan pendidikan, 3) peningkatan mutu gru atau tenaga kependidikan, 4) mutu pendidikan, dan lima) pendidikan kejuruan. Selain kebijakan utama tyersebut terdapat pula beberapa kebijakan yang perlu menerima perhatian kita. Pertama, kebijakan buat menaikkan partisipasi rakyat pada pada bidang pendidikan,. Kedua, pengembangan sistem pendidikan yag efisien dan efektif. Ketiga, dirumuskan serta disahkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 Tentang “ Sistem Pendidikan Nasional” menjadi pengganti UU pendidikan usang yg telah diundangkan dari tahun 1950.


Kurikulum Pendidikan pada PJP I sudah dilakukan 3 kali perubahan kurikulum pendidikan (sekolah), yaitu dikenal menjadi: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, dan Kurikulum 1984. Kurikulum Pendidikan Kejuruan, dalam Pelita I selain penyempurnaan sistem sekolah kejuruan jua ditingkatkan mutu pendidikannya terutama mutu pengajar dan laboratoriumnya. Dengan dana pinjaman Bank Dunia diadakan brbagai usah buat menaikkan pendidikan teknik menengah. Beberapa STM ditingkatkan, juga membentuk apa yang disebut Sekolah Teknik Menengah Pembangunan, diadakan bengkel-bengkel latihan sentra yang dapat digunakan beberapa STM termasuk STM partikelir. Usaha perbaikan kurikulum terus menerus, baik melalui dan pinjaman berdasarkan ADB juga donasi menurut negara-negar teman.


2. Masa Reformasi

Selama Orde Baru berlansung, rezim yg berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal yg mereka ingunkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan serta perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat bertenaga yaitu partai Golkar yg adalah partai terbesar saat itu. Hampir nir ada kebebasan bagi rakyat buat melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara serta mengungkapkan pendapatnya.


Maraknya gerakan reformasi menyebabka tumbangnya kekuasaan orde baru. Implikasi dari insiden itu dapat dirasakan pada semua aspek kehidupan bernegara, termasuk bidang pendidikan. Dengan di berlakukannya UU No. 22/1999 serta UU No. 25/1999 maka sistem penyelengaraan pendidikan berubah ke swatantra pendidikan. Desentralisasi kekuasaan yg menitik beratkan pada partisipasi warga menuntut tersedianya tenaga-energi terampil dalam jumlah serta kualitas yg tnggi dan pemberdayaan forum-lembaga sosial di wilayah termasuk dalm bidang pendidikan. Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan pada daerah akan menaruh implikasi pribadi dalam penyusunan kurikulum yang dewasa ini sangat sentalistis.


Disamping itu kesejahteraan energi kependidikan perlahan-huma semakin tinggi. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan, contohnya MBS (Manajemen Berbasi Sekolah), Life Skill (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality

Manajement).

Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini;

1. Harus belajar pendidikan dasar sembilan tahun

Pada tanggal 2 mei 1994 harus belajar pendidikan dasar 9 tahun buat taraf SLTP dicanangkan. Sepuluh tahun sabelumnya, tepatnya pada tanggal dua mei 1984, Indonesia pula memulai harus belajar 6 tahun buat taraf Sekolah Dasar, bersamaan dengan pelantikan berdirinya Universitas terbuka. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mempunyai 2tujuan primer yang berkaitan satu sama lain. Pertama, menaikkan pemerataan kesempatan buat memperoleh pendidikan bagi setiap kelompok umur 7-15 tahun. Kedua buat menaikkan mutu sumberdaya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP. Dengan wajib belajar, maka pendidikan minimal bangsa Indonesia semula 6 tahun ditingkatkan menjadi 9 tahun.


Sasaran-sasaran harus belajar pendidikan dasar 9 tahun pada pelita VI adalah, pertama, menaikkan nomor partisipasi kasar (APK) taraf SLTP sebagai 66,19% menurut keadaan padaawal pelita V yg mencapai 52,67%. Kedua, meningkatkan jumblah lulusan SD/MI yg tertampung di SLTP dan MTs sebanyak 5400.000, yaitu menurut 2,56 juta pad tahun 1993/1994 sebagai 3,10 juta pada tahun 1998/1999. Ketiga, tercapainya jumblah pengajar SD yang minimal berkualifikasi D-II sebayak 80%, pengajar SLYP berkualifikasi D-III sekitar 70%. Tantangan yg di hadapi sang program wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun memang lebih akbar apabila dibandikan menggunakan harus belajar 6 tahun. Alasnya diantaranya, pertama, dalam waktu dimulainya wajip belajar pendidikan dasar sembilan tahun, baru skitar separuh menurut grup umur 13-15 tahun yg berada disekolah. Kedua, daya dukung berupa dana, sarana, serta tenaga yg dimiliki oleh Indonesia buat melaksanakan wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun tidak lagi sebesar dalam saat dilaksanakan harus belajar 6 tahun. Misalnya, pembangunan Sekolah Dasar dalam jumblah besar melalui inpres. Ketiga, guna menampung 6,26 juta anak usia 13-15 tahun pada SLTP dibutuhkan wahana, porto, dan energi yg nir sedikit. Sejak di mulai pada tahun 1994, program wajip belajar pendidikan dasar sembilan tahun mencapai banyak kemajuan. Indikator-indikator kuantitatif yang di catat membuktikan bahwa angka partisipasi meningkat sejalan menggunakan semakin bertambahnya ruang belajar, jumblah guru, dan fasilitas belajar lainnya .


2. Pelaksanaan kurikulum 1994

Kurikulum 1994 di berlakukan secara sedikit demi sedikit mulai tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994 disusun dengan maksud supaya proses pendidikan dapat selalu menyesuakan diri menggunakan tantangan yg terus barkembang, sebagai akibatnya mutu pendidikan akan semakin meningkat. Kurikulum 1984 yg telah berjalan 10 tahun ditinjau perlu buat diperbaharui lantaran menurut hasil-hasil pengkajian, ditemikan adanya materi kurikulum yg tmpang tindih dan memerlukan penambahan. Misalnya tumpang tindih antara materi PMP, Sejarah Nasional, serta PSPB yg dalam kurikulum 1994 strukturnya lebih di sederhanakan. Disahkannya UU No dua/1989 tentang system Pendididkan Nasional yang diikuti sang banyak sekali peraturan pemerintah mempuyai implikasi dalam perlunya kurikulum pendidikan mengalami penyesuaian. Menyusul terjadinya kabar, dilakukan kembali revisi atas kurikilum 1994 dengan menata kembali struktur programnya yang lalu dikenal dengan kurikulum 1994 yang disempurnakan.





3 Implikasi Landasan Sejarah Pendidikan Terhadap Pendidikan.


  • Masa lampau memperjelas pemahaman kita pada masa sekarang. Sistem pendidikan yang kita terapkan masa kini merupakan output perkembangan pendidikan yang tumbuh pada sejarah pengalaman bangsa kita dalam masa lampau. Hal ini telah terbukti menggunakan adanya kemajuan perkembangan pada segala bidang, misalnya; ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial serta budaya. Berikut pembahasan tetntang akibat landasan sejarah terhadap konsep pendidikan ;
  • Tujuan pendidikan diharapkan bertujuan serta bisa menyebarkan banyak sekali macam potensi peserta didik. Serta menyebarkan kepribadian mereka secara lebih serasi. Tujuan pendidikan pula diarahkan buat pengembangkan segala aspek langsung yg terdapat dalam individu peserta didik, baik pada aspek keagamaan ataupun kemandirian. Dengan mengetahui landasan sejarah pendidikan kita dapat mengetahui betapa pentingnya konsep tujuan menurut pendidikan yg seiring menggunakan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
  • Proses Pendidikan terutama proses belajar- mengajar dan bahan ajar harus diadaptasi denagn tingkat perkembangan siswa, melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa, membuatkan kemandirian dan kerjasama siwa dalam pembelajaran, menegmbangkan pelajaran dalam lintas disiplin ilmu, demokratisasi pada pendidikan, serat pengembangan ilmu serta teknologi.
  • Kebudayaan nasional, Sejarah membawa perubahan kebudayaan. Dari zaman dahulu dahulu hingga waktu ini, adanya perubahan budaya lantaran pengalaman sejarah melalui penemuan baru, pertukaran budaya akibat penjajahan bangsa asing sehingga sejarah membawa imbas perubahan peradaban kebudayaan melalui peranan pendidikan.pendidikan harus jua memajukan kebudayaan nasional. Pidarta (2008:149) mengungkapkan bahwa kebudayaan nasional merupakan zenit-zenit budaya daerah serta menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh budaya dunia.
  • Inovasi-inovasi Pendidikan. Inovasi-inovasi harus berumber berdasarkan output hasil penelitian pendidikan pada indonesia, sehingga dibutuhkan dalam akhirnya membentuk konsep-konsep pendidikan yg bercirikan indonesia.


Sumber: Dirangkum menurut berbagai sumber !
Referensi:

Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka Jaya. Jakarta.


Munandar, Agus Aris. 1990. Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci pada Jawa Timur Abad 14—15. Tesis Magister Humaniora. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.


Santiko, Hariani. 1986. “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,” pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, tiga—9 Maret 1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, page 304—18.


Winarno, Agung. 2014. Pengantar Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.


Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan pada indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.


Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.jakarta: Rineka Cipta.


Suardi. 2012. Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. Jakarta Barat: PT INDEKS.


//tyarmahutasoitregb.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html


//ikadekartajaya.wordpress.com/2013/09/21/landasan-sejarah-pendidikan-di-indonesia/


//dyahrochmawati08.wordpress.com/2008/11/30/landasan-historis-pendidikan-pada-indonesia/.

DEFINISI BARU FILSAFAT INDONESIA

Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’ 
Adalah tidak mungkin menemukan definisi istilah ‘Filsafat Indonesia’ pada kamus-kamus atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yg standar. Filsafat Indonesia memang belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yang sudah lebih dulu dikenal Barat. Ambillah karya Paul Edwards sebagai satu berukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of Philosophy yg 8 jilid itu, terdapat 1.500 artikel yg ditulis sang 500 kontributor menurut filosof semua global, tapi tak satupun artikel yang mengenai Filsafat Indonesia. Sementara itu, ada 1 filosof Mesir, 1 filosof Iran, dan 4 filosof Cina yang menyumbangkan artikelnya selain menurut 494 filosof Barat, akan tetapi tak satupun filosof Indonesia yg sebagai kontributor artikel di dalamnya. 

St. Elmo Nauman Jr., pada karyanya yang klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), jua hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia dari daerah Persia, India, Cina, Palestina, Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, dan Lebanon. Tak satupun nama filosof Indonesia yg dianggap. Apatah lagi di pada Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005. Kondisi yg sama juga terjadi saat anda mencoba browsing pada dunia maya lewat fasilitas mesin search menurut situs seperti www.google.com. Dengan penuh putus harapan nir akan ditemukan artikel-artikel internet yg berjudul ‘Filsafat Indonesia’. 

Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi kenyataan yg lebih membuat kita, orang Indonesia sendiri, lebih murung . Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta, hanya mempunyai koleksi 42 judul kitab pada katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan koleksi kitab Filsafat Barat serta Filsafat Timur lainnya malah mempunyai beratus-ratus judul.

Seorang filosof Mesir berkaliber internasional seperti Hassan Hanafi juga mengaku tidak pernah mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga pada waktu diwawancara sang GATRA pada 5 Juni 2001 mengatakan dengan penuh sinisme:

…kalian contohnya bilang tentang imbas Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, atau Sayyid Qutub, namun mana pemikir Indonesia? Seperti yg terjadi pada Turki, mereka hanya menyebutkan imbas dari Abduh, Afghani serta lain-lain. Lalu pada mana pemikir Indonesia?

Bahkan di dalam wawancara itu jua Hanafi mengungkap niatnya buat menulis tentang pemikir-pemikir Indonesia. 

Ini semua berarti, kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan buat orang Indonesia sendiri. Namun, walaupun belum terkenal secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia telah dikaji pada negeri sendiri, oleh segelintir orang yang memelopori kajiannya, misalnya Sunoto, R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, dan Jakob Sumardjo. Sunoto dan R. Pramono berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen adalah Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dan Jakob Sumardjo menurut ITB Bandung. 

M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian Filsafat Indonesia pada dekade 60-an. Dalam karyanya yg sangat klasik (Perpustakaan Nasional RI memasukkan bukunya menjadi keliru satu koleksi ‘buku langka’), Pengajar Besar UI ini dalam banyak halaman menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, kemudian mencapai satu konklusi bahwa Filsafat Indonesia merupakan suatu Filsafat spesial yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, aturan adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan. 

Demikian jua Sunoto, yang melakukan kajian berfokus tentang Filsafat Indonesia, walaupun diakuinya sendiri bahwa kajiannya ‘…masih berkisar dalam kefilsafatan Jawa…,’ serta nir menyeluruh. R. Pramono mencoba lebih jauh dari Sunoto. Selain Jawa, beliau menelusuri alam pikiran Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yg secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia menurut ‘era primordial’, ‘era antik’, hingga ‘era madya’ Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna menurut budaya material (lukisan, alat musik, sandang, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita ekspresi, pantun, legenda rakyat, teks-teks antik, dan lain-lain) yg merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia (2003), Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yg secara radikal amat tidak sama ontologi, epistemologi, serta aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’. Semua perintis tersebut sangat membantu pada mencapai pemahaman yg dalam mengenai Filsafat Indonesia.

Semua perintis Filsafat Indonesia tadi mendefinisikan Filsafat Indonesia secara berbeda-beda. M. Nasroen mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai sekumpulan ajaran-ajaran filosofis yg orisinil Indonesia, yang tidak pernah dimiliki oleh Filsafat manapun. Dalam ungkapannya sendiri, Nasroen menjelaskan:

Pandangan hidup Indonesia adalah berlainan betul dari Pandangan Hidup Junani dan Pandangan Hidup Barat serta Timur yg bersumberkan pada Pandangan Hidup Junani itu…

Sedangkan Sunoto, R. Pramono, dan filosof UGM berdasarkan Jurusan Filsafat Indonesia lainnya, mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai ‘…kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yg terkandung pada pada kebudayaan sendiri…’ Atau, dalam ungkapan R. Pramono, Filsafat Indonesia berarti ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di pada istiadat norma dan kebudayaan daerah…’ Jadi, dalam pemikiran gerombolan filosof UGM itu, Filsafat Indonesia merupakan seluruh pemikiran filosofis yg ditemukan dalam istiadat istiadat dan kebudayaan grup-grup etnis rakyat Indonesia, mulai berdasarkan Sabang sampai Merauke. Definisi ini juga dianut sang Alumni UGM serta Dosen Matakuliah Filsafat Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah. 

Jakob Sumardjo mendefinisikan Filsafat Indonesia secara amat gamblang serta lugas menjadi ‘Filsafat Etnik Indonesia’, yakni ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur semua bangunan karya budaya…’ menurut suatu grup etnik di Indonesia. Jika diklaim ‘Filsafat Etnik Jawa’, maka merupakan:

filsafat…  terbaca pada cara warga Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara menentukan pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk tempat tinggal Jawanya, dari kitab -kitab sejarah dan sastra yg ditulisnya 

Semua filosof pelopor tersebut, nampaknya, mencapai kata putusan bulat bahwa definisi Filsafat Indonesia merupakan ‘segala warisan pemikiran orisinil yg masih ada dalam tata cara-istiadat dan kebudayaan seluruh grup etnik Indonesia.’ Jadi, seluruh produk filosofis sebelum datangnya filsafat asing (Cina, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, bisa dianggap sebagai Filsafat Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat orisinil Indonesia’ hanya terdapat pada saat warga Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Apabila Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka benar-benar benar miskinlah tradisi filsafat kita.

Penulis menganggap krusial adanya definisi baru, supaya Filsafat Indonesia nir hanya misalnya katak dalam tempurung, yg kebal terhadap efek intelektual asing dan ‘kudus’ berdasarkan unsur filosofis asing, dengan cara memperluas scope Filsafat Indonesia, yang bukan hanya mengandung segala warisan pemikiran orisinil yg masih ada pada adat-istiadat dan kebudayaan seluruh kelompok etnik Indonesia, tapi jua segala pemikiran Indonesia yg terpengaruh sang antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.

Memang sahih, sebagaimana acapkali ditunjukkan oleh penulis kitab Filsafat Islam, Persia, Cina, Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, serta lain-lain, bahwa para filosof menamai kajian mereka dengan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., pada samping untuk menegaskan sumbangan komunal dari komunitas loka mereka berasal terhadap tradisi filsafat sejagat, pula buat memberitahuakn kekhasan, otentisitas, identitas, atau fitur distingtif menurut filsafat yang mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filosof itu nir berhenti sampai di situ saja. Mereka lalu juga mengakui, baik secara implisit juga eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat juga turut memberi warna-warni pada struktur filsafat regional mereka. 

Bertrand Russell, dalam kitab sejarah filsafat Baratnya yg amat klasik History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from The Earliest Times to The Present Day (Sejarah Filsafat Barat dan Hubungannya dengan Kondisi Sosio-Politik menurut Masa Lampau Hingga Sekarang), mengakui dampak Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat. Dengan istilah-pungkasnya sendiri, Russell berujar: 

Writers in Arabic showed some originality in mathematics and chemistry in the latter case, as an incidental result of alchemical researches. Mohammedan civilization in its great days was admirable in the arts and in many technical ways, but it showed no capacity for independent speculation in theoretical manners. Its importance, which must not be underrated, is as a transmitter. Between ancient and terkini European civilization, the dark ages intervened. The Mohammedans and the Byzantines, while lacking the intellectual energy required for innovation, preserved the apparatus of civilization education, books, and learned leisure. Both stimulated the West when it emerged from barbarism the Mohammedans chiefly in the thirteenth century, the Byzantines chiefly in the fifteenth. In each case the stimulus produced new thought better than any produced by the transmitters in the one case scholasticism, in the other the Renaissance (which however had other causes also)

Pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat jua diakui oleh filosof Barat lain, Frederick Mayer. Dalam karyanya yg juga tergolong klasik A History of Ancient & Medieval Philosophy, lektur filsafat dalam University of Redlands California ini mengungkapkan:

Averrhoes defended, against Al-Gazzali, the value of philosophical discussion. He held that it could give a spiritual interpretation of the faith and lead to a symbolic explanation of dogmas which otherwise would be accepted in their literal sense. After his death Arabic philosophy declined, but his theories played an important part in Western scholastic circles 

Bukan hanya filosof Barat yg mengakui impak rona-warni filsafat asing pada struktur filsafat regionalnya, tapi pula filosof Jepang, misalnya Masaaki Kôsaka. Dalam artikelnya The Intellectual Background of Modern Japanese Thought (Latarbelakang Intelektual berdasarkan Alam Pikiran Jepang Modern), Masaaki mengakui imbas Filsafat Barat pada struktur Filsafat Jepang, seraya menyampaikan:

When Japan [in the time of The Meiji Restoration-pen.] began dealing with foreign nations, she admitted a host of Western influences. At the time, these sprang solely from terkini Europe and America, but it was inevitable that the attention of the Japanese would eventually be caught by the glories of the Renaissance and ancient Greek civilization, and more important, that they would encounter Christianity… 

Huang Songjie, seseorang filosof Cina, pula turut mengakui impak tradisi Filsafat Barat terhadap struktur Filsafat Cina. Dalam artikelnya The ‘Great Triangle’ of Chinese Philosophical Academia and The Modernization of China (‘Segitiga Emas’ Akademi Filsafat Cina serta Modernisasi Cina) , Songjie menegaskan bahwa:

Marxist philosophy, Western philosophy and Chinese traditional philosophy are three independent and yet interrelated philosophical trends in the 20th century Chinese academic and cultural world. I refer to this as the "Great Triangle". Dealing properly with this interrelationship is of great importance for the development of Chinese culture and the modernization of China… Western science and culture spread gradually in China after the Opium War (1840) and forcefully challenged traditional Confucianism. Early in 20th century, with the Revolution of 1911 and the May 4th New Culture Movement, traditional Confucianism was attacked intensely by a large number of progressive intellectuals and radical thinkers. During the twenties and thirties of this century, more and more Chinese intellectuals introduced and popularized Western philosophy in China, among which pragmatism was especially influential. But early in 20th century the greatest impact on Chinese society was the introduction and spread of Marxism. From the 1920’s on the "Great Triangle" appeared in the Chinese philosophical arena, in which the traditional Confucianist philosophy was defeated and Marxist philosophy emerged as the winner. The victory of Marxism is due to the fact that the Chinese communists combined Marxism tactically with Chinese social and revolutionary practice; they made of Marxism an ideological weapon against feudalism and imperialism, leading thereby to the founding of New China.

Tidak mengakui adanya ‘Filsafat asli Indonesia’ serta hanya mengakui efek Modernisme Barat dalam struktur Filsafat Indonesia pula sama buruknya dan sama naifnya. Memang tidak bisa disangkal, bahwa kata ‘Indonesia’ baru diciptakan dalam tahun 1917, tapi bukan berarti sebelum tahun itu tradisi Filsafat Indonesia belum terdapat; sebelum tahun itu, pemikir Indonesia belum lahir. Memang tak dapat disangkal, bahwa ‘Indonesia’ sebagai suatu forum politik terkini Republik ala Barat baru lahir pada 17 Agustus 1945, akan tetapi bukan berarti seluruh pemikir yg ada sebelum tanggal itu wajib diabaikan begitu saja. 

Semangat ‘anti-tradisi’ semacam itu pernah mencuat dalam tulisan-tulisan polemis ‘Sutan Takdir Muda’ menggunakan Ki Hajar Dewantara, yg kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan 1935, dimana Sutan Takdir berpendapat bahwa tradisi ‘Indonesia Lama’—termasuk struktur budaya, peradaban, seni, serta filsafatnya sebagai satu paket—wajib dibuang jauh-jauh ke belakang serta, sebagai gantinya, tradisi Dunia Modern yang mengandung ‘budaya progresif’ harus diadopsi, dipelajari, serta dikuasai, supaya Indonesia bisa mewarisi kebesaran struktur budaya Modern itu serta menjelmakannya buat dirinya sendiri sebagai ‘Indonesia Modern’. Motif-motif ‘anti-tradisi’ jua sempat hadir dalam deklarasi serta pernyataan-sikap para sastrawan yang tergabung pada kelompok Angkatan ’45, yang terungkap dalam Surat Kepercayaan Gelanggang Indonesia Merdeka (Jakarta, 18 Februari 1950):

…Kami nir akan memberikan suatu kata ikatan buat kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara mengenai kebudayaan Indonesia, kami nir ingat pada melap-lap output kebudayaan usang sampai berkilat dan buat dibanggakan,… Revolusi bagi kami artinya penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yg wajib dihancurkan…

Upaya pengadopsian filsafat asing ke pada struktur tradisional Indonesia dalam wujud proyek Modernisasi (Westernisasi) berada pada track yg benar, jika dimaksudkan buat menghancurkan residu-residu sukuisme serta feodalisme pra-Kemerdekaan, akan tetapi sebagai galat-langkah, apabila ditujukan buat membuang semua heritage filosofis lama . 

Pada saat Modernisasi mulai mengetam output panennya selesainya 2 abad berjalan, yang puncaknya tercapai pada era Orde Baru Soeharto, tidaklah keliru jika ada orang yg mau ‘pulang ke Tradisi’, bukan untuk sekadar romantisme yang nostalgik, akan tetapi buat interpretasi-ulang, cipta-ulang, siklus-ulang, reka-ulang, pemaknaan-ulang atau introspeksi terhadap tradisi sendiri. Mungkin ada ‘penyakit-penyakit Modernitas’ yang ‘obatnya’ justru masih ada dalam Tradisi. Mungkin juga terdapat Tradisi yang elemen-elemennya malah menopang sendi-sendi yg rapuh menurut struktur Modernitas. Tradisi yang dimaknai-ulang sang orang terkini tentu bukan lagi tradisi antik, akan tetapi menjadi suatu Modernitas baru, lantaran tradisi antik sudah sejak usang hilang, digantikan oleh Modernitas. Ketika Modernitas telah sebagai barang antik sang orang Indonesia sekarang, maka penafsiran-ulang terhadap Tradisi mungkin saja membentuk ‘Modernitas Baru’.

Definisi baru Filsafat Indonesia mesti merangkul Tradisi serta Modernitas sekaligus. Tidak boleh terdapat preferensi yg hiperbola pada galat satunya. Apabila pilihan dijatuhkan dalam salah satu menurut keduanya, berarti Filsafat Indonesia telah dimiskinkan isinya.

Mitologi kuno yg sarat elemen filosofis, sebagai bagian menurut Tradisi, setidaknya dapat dijadikan titik-tolak (turning point) buat pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, bila bukan menjadi pintu gerbang (gateway) buat masuk ke alam pikiran Indonesia. Banyak penulis sejarah filsafat yg sengaja memasukkan kajian mitologis menjadi kajian pembuka dalam bukunya, apalagi apabila bukunya memang disusun berdasarkan kronologi. Thomas Kasulis, dalam artikelnya Japanese Philosophy, memulai kajiannya dengan mitologi Jepang kuno. Mohammad Hatta, pada buku Alam Pikiran Yunani, jua memulai kajiannya menggunakan mitologi Yunani. Bahkan, Plato, pada setiap tulisannya, memakai mitologi, baik sebagai bahan-standar (raw material) filsafatnya maupun menjadi target kritik buat menciptakan struktur filosofisnya. 

Untuk menciptakan definisi yang baik menurut Filsafat Indonesia, maka dibutuhkan beberapa perbandingan dengan definisi filsafat yang lain. Misalnya, ‘Filsafat Islam’ diklaim demikian, karena filsafat itu lahir pada wilayah kuasa Islam serta diproduksi oleh komunitas religius Islam yg menetap di daerah itu. Hal serupa juga berlaku bagi ‘Filsafat Kristen’ dan ‘Filsafat Yahudi’. Sementara, ‘Filsafat Jerman’ disebut demikian, lantaran beliau ditulis dengan aksara dan bahasa Jerman. Ini serupa menggunakan definisi ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Rusia’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Kontinental’ (Filsafat yang ditulis berbahasa Eropa Kontinental), ‘Filsafat Analitis’ (Filsafat yg ditulis berbahasa Inggris atau Amerika), ‘Filsafat Korea’, serta ‘Filsafat Arab’, yg mendasarkan penamaan filosofisnya menurut penggunaan aksara dan bahasa nasionalnya. ‘Filsafat Afrika’ lebih menekankan segi distingtif tradisi filosofisnya berdasarkan tradisi filsafat sejagat lainnya. Ini serupa dengan ‘Filsafat Persia’, ‘Filsafat Bantu’, serta ‘Filsafat Pakistan’.

Berdasarkan perbandingan di atas, berarti definisi Filsafat Indonesia dapat dibangun berdasarkan 3 segi: 1) daerah loka filosof itu berada; dua) aksara dan bahasa yang dipakai filosof buat menulis karya filosofisnya; serta 3) segi distingtif pemikiran filosofisnya dari tradisi filsafat sejagat. Kalau tiga segi ini diterapkan pada definisi Filsafat Indonesia, maka Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh seluruh orang yang menetap pada daerah yg dinamakan belakangan menjadi Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yg isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia merupakan filsafat yang diproduksi oleh seluruh orang yg menetap pada daerah Indonesia berimplikasi, bahwa semua orang yang dari dari kelompok etnis, gerombolan ras, atau gerombolan religius yang tidak sama, asalkan semuanya menetap pada Indonesia, maka semuanya filosof Indonesia. 

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia merupakan filsafat yg menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa seluruh orang yang menetap pada Indonesia, asalkan memakai bahasa-bahasa yang hayati pada Indonesia menjadi mediumnya, maka semuanya merupakan filosof Indonesia. Disebut ‘bahasa-bahasa di Indonesia’, karena Indonesia mempunyai 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa Indonesia. 

Untuk sifat ketiga, bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang sekurang-kurangnya mempunyai segi distingtif dari filsafat sejagat lainnya, harus diberi penerangan tambahan. Distinctiveness bukanlah suatu keharusan dalam Filsafat Indonesia, karena, wajib diakui, bahwa segi distingtif pada isi Filsafat Indonesia amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih banyak borrowing nya daripada otentisitasnya. Lebih banyak segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang orisinil pada Filsafat Indonesia hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yg pinjaman cukup banyak, mencakup pinjaman berdasarkan ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’, sampai ‘Filsafat Barat’. Pinjaman-pinjaman itu, dalam saatnya, akan dipulangkannya lagi selesainya beliau berhasil menciptakan suatu corak lain, apakah dalam bentuk sintesa dialektis, adaptasi, transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi. 

Definisi baru Filsafat Indonesia ini pula berimplikasi pada masalah kapan lahirnya kajian Filsafat Indonesia. Apabila dimaksud sebagai suatu nama cabang filsafat yg dikaji filosof Indonesia, yang membedakannya menurut kajian Filsafat Barat serta Filsafat Asia lainnya, maka Filsafat Indonesia lahir dalam dasa warsa 60-an. Tapi, apabila dimaksud sebagai kegiatan berpikir logis-rasional yang diproduksi orang Indonesia, maka Filsafat Indonesia lahir bukan sejak dekade itu, akan tetapi malahan sejak local genius primitif menghasilkan mitologi filosofis, yg diperkirakan para sejarawan berproduksi semenjak era neolitik sekitar 3500-2500 SM, yang jejak-jejaknya masih bisa ditelusuri hingga kini dalam kebudayaan suku Sakuddei pada Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim pada Papua (Irian Barat), jua pada suku Minangkabau, Jawa, Nias, Batak, dan lain-lain.