DEFINISI BARU FILSAFAT INDONESIA
Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’
Adalah tidak mungkin menemukan definisi istilah ‘Filsafat Indonesia’ pada kamus-kamus atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yg standar. Filsafat Indonesia memang belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yang sudah lebih dulu dikenal Barat. Ambillah karya Paul Edwards sebagai satu berukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of Philosophy yg 8 jilid itu, terdapat 1.500 artikel yg ditulis sang 500 kontributor menurut filosof semua global, tapi tak satupun artikel yang mengenai Filsafat Indonesia. Sementara itu, ada 1 filosof Mesir, 1 filosof Iran, dan 4 filosof Cina yang menyumbangkan artikelnya selain menurut 494 filosof Barat, akan tetapi tak satupun filosof Indonesia yg sebagai kontributor artikel di dalamnya.
St. Elmo Nauman Jr., pada karyanya yang klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), jua hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia dari daerah Persia, India, Cina, Palestina, Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, dan Lebanon. Tak satupun nama filosof Indonesia yg dianggap. Apatah lagi di pada Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005. Kondisi yg sama juga terjadi saat anda mencoba browsing pada dunia maya lewat fasilitas mesin search menurut situs seperti www.google.com. Dengan penuh putus harapan nir akan ditemukan artikel-artikel internet yg berjudul ‘Filsafat Indonesia’.
Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi kenyataan yg lebih membuat kita, orang Indonesia sendiri, lebih murung . Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta, hanya mempunyai koleksi 42 judul kitab pada katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan koleksi kitab Filsafat Barat serta Filsafat Timur lainnya malah mempunyai beratus-ratus judul.
Seorang filosof Mesir berkaliber internasional seperti Hassan Hanafi juga mengaku tidak pernah mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga pada waktu diwawancara sang GATRA pada 5 Juni 2001 mengatakan dengan penuh sinisme:
…kalian contohnya bilang tentang imbas Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, atau Sayyid Qutub, namun mana pemikir Indonesia? Seperti yg terjadi pada Turki, mereka hanya menyebutkan imbas dari Abduh, Afghani serta lain-lain. Lalu pada mana pemikir Indonesia?
Bahkan di dalam wawancara itu jua Hanafi mengungkap niatnya buat menulis tentang pemikir-pemikir Indonesia.
Ini semua berarti, kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan buat orang Indonesia sendiri. Namun, walaupun belum terkenal secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia telah dikaji pada negeri sendiri, oleh segelintir orang yang memelopori kajiannya, misalnya Sunoto, R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, dan Jakob Sumardjo. Sunoto dan R. Pramono berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen adalah Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dan Jakob Sumardjo menurut ITB Bandung.
M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian Filsafat Indonesia pada dekade 60-an. Dalam karyanya yg sangat klasik (Perpustakaan Nasional RI memasukkan bukunya menjadi keliru satu koleksi ‘buku langka’), Pengajar Besar UI ini dalam banyak halaman menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, kemudian mencapai satu konklusi bahwa Filsafat Indonesia merupakan suatu Filsafat spesial yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, aturan adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.
Demikian jua Sunoto, yang melakukan kajian berfokus tentang Filsafat Indonesia, walaupun diakuinya sendiri bahwa kajiannya ‘…masih berkisar dalam kefilsafatan Jawa…,’ serta nir menyeluruh. R. Pramono mencoba lebih jauh dari Sunoto. Selain Jawa, beliau menelusuri alam pikiran Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yg secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia menurut ‘era primordial’, ‘era antik’, hingga ‘era madya’ Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna menurut budaya material (lukisan, alat musik, sandang, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita ekspresi, pantun, legenda rakyat, teks-teks antik, dan lain-lain) yg merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia (2003), Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yg secara radikal amat tidak sama ontologi, epistemologi, serta aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’. Semua perintis tersebut sangat membantu pada mencapai pemahaman yg dalam mengenai Filsafat Indonesia.
Semua perintis Filsafat Indonesia tadi mendefinisikan Filsafat Indonesia secara berbeda-beda. M. Nasroen mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai sekumpulan ajaran-ajaran filosofis yg orisinil Indonesia, yang tidak pernah dimiliki oleh Filsafat manapun. Dalam ungkapannya sendiri, Nasroen menjelaskan:
Pandangan hidup Indonesia adalah berlainan betul dari Pandangan Hidup Junani dan Pandangan Hidup Barat serta Timur yg bersumberkan pada Pandangan Hidup Junani itu…
Sedangkan Sunoto, R. Pramono, dan filosof UGM berdasarkan Jurusan Filsafat Indonesia lainnya, mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai ‘…kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yg terkandung pada pada kebudayaan sendiri…’ Atau, dalam ungkapan R. Pramono, Filsafat Indonesia berarti ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di pada istiadat norma dan kebudayaan daerah…’ Jadi, dalam pemikiran gerombolan filosof UGM itu, Filsafat Indonesia merupakan seluruh pemikiran filosofis yg ditemukan dalam istiadat istiadat dan kebudayaan grup-grup etnis rakyat Indonesia, mulai berdasarkan Sabang sampai Merauke. Definisi ini juga dianut sang Alumni UGM serta Dosen Matakuliah Filsafat Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah.
Jakob Sumardjo mendefinisikan Filsafat Indonesia secara amat gamblang serta lugas menjadi ‘Filsafat Etnik Indonesia’, yakni ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur semua bangunan karya budaya…’ menurut suatu grup etnik di Indonesia. Jika diklaim ‘Filsafat Etnik Jawa’, maka merupakan:
filsafat… terbaca pada cara warga Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara menentukan pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk tempat tinggal Jawanya, dari kitab -kitab sejarah dan sastra yg ditulisnya
Semua filosof pelopor tersebut, nampaknya, mencapai kata putusan bulat bahwa definisi Filsafat Indonesia merupakan ‘segala warisan pemikiran orisinil yg masih ada dalam tata cara-istiadat dan kebudayaan seluruh grup etnik Indonesia.’ Jadi, seluruh produk filosofis sebelum datangnya filsafat asing (Cina, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, bisa dianggap sebagai Filsafat Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat orisinil Indonesia’ hanya terdapat pada saat warga Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Apabila Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka benar-benar benar miskinlah tradisi filsafat kita.
Penulis menganggap krusial adanya definisi baru, supaya Filsafat Indonesia nir hanya misalnya katak dalam tempurung, yg kebal terhadap efek intelektual asing dan ‘kudus’ berdasarkan unsur filosofis asing, dengan cara memperluas scope Filsafat Indonesia, yang bukan hanya mengandung segala warisan pemikiran orisinil yg masih ada pada adat-istiadat dan kebudayaan seluruh kelompok etnik Indonesia, tapi jua segala pemikiran Indonesia yg terpengaruh sang antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.
Memang sahih, sebagaimana acapkali ditunjukkan oleh penulis kitab Filsafat Islam, Persia, Cina, Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, serta lain-lain, bahwa para filosof menamai kajian mereka dengan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., pada samping untuk menegaskan sumbangan komunal dari komunitas loka mereka berasal terhadap tradisi filsafat sejagat, pula buat memberitahuakn kekhasan, otentisitas, identitas, atau fitur distingtif menurut filsafat yang mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filosof itu nir berhenti sampai di situ saja. Mereka lalu juga mengakui, baik secara implisit juga eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat juga turut memberi warna-warni pada struktur filsafat regional mereka.
Bertrand Russell, dalam kitab sejarah filsafat Baratnya yg amat klasik History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from The Earliest Times to The Present Day (Sejarah Filsafat Barat dan Hubungannya dengan Kondisi Sosio-Politik menurut Masa Lampau Hingga Sekarang), mengakui dampak Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat. Dengan istilah-pungkasnya sendiri, Russell berujar:
Writers in Arabic showed some originality in mathematics and chemistry in the latter case, as an incidental result of alchemical researches. Mohammedan civilization in its great days was admirable in the arts and in many technical ways, but it showed no capacity for independent speculation in theoretical manners. Its importance, which must not be underrated, is as a transmitter. Between ancient and terkini European civilization, the dark ages intervened. The Mohammedans and the Byzantines, while lacking the intellectual energy required for innovation, preserved the apparatus of civilization education, books, and learned leisure. Both stimulated the West when it emerged from barbarism the Mohammedans chiefly in the thirteenth century, the Byzantines chiefly in the fifteenth. In each case the stimulus produced new thought better than any produced by the transmitters in the one case scholasticism, in the other the Renaissance (which however had other causes also)
Pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat jua diakui oleh filosof Barat lain, Frederick Mayer. Dalam karyanya yg juga tergolong klasik A History of Ancient & Medieval Philosophy, lektur filsafat dalam University of Redlands California ini mengungkapkan:
Averrhoes defended, against Al-Gazzali, the value of philosophical discussion. He held that it could give a spiritual interpretation of the faith and lead to a symbolic explanation of dogmas which otherwise would be accepted in their literal sense. After his death Arabic philosophy declined, but his theories played an important part in Western scholastic circles
Bukan hanya filosof Barat yg mengakui impak rona-warni filsafat asing pada struktur filsafat regionalnya, tapi pula filosof Jepang, misalnya Masaaki Kôsaka. Dalam artikelnya The Intellectual Background of Modern Japanese Thought (Latarbelakang Intelektual berdasarkan Alam Pikiran Jepang Modern), Masaaki mengakui imbas Filsafat Barat pada struktur Filsafat Jepang, seraya menyampaikan:
When Japan [in the time of The Meiji Restoration-pen.] began dealing with foreign nations, she admitted a host of Western influences. At the time, these sprang solely from terkini Europe and America, but it was inevitable that the attention of the Japanese would eventually be caught by the glories of the Renaissance and ancient Greek civilization, and more important, that they would encounter Christianity…
Huang Songjie, seseorang filosof Cina, pula turut mengakui impak tradisi Filsafat Barat terhadap struktur Filsafat Cina. Dalam artikelnya The ‘Great Triangle’ of Chinese Philosophical Academia and The Modernization of China (‘Segitiga Emas’ Akademi Filsafat Cina serta Modernisasi Cina) , Songjie menegaskan bahwa:
Marxist philosophy, Western philosophy and Chinese traditional philosophy are three independent and yet interrelated philosophical trends in the 20th century Chinese academic and cultural world. I refer to this as the "Great Triangle". Dealing properly with this interrelationship is of great importance for the development of Chinese culture and the modernization of China… Western science and culture spread gradually in China after the Opium War (1840) and forcefully challenged traditional Confucianism. Early in 20th century, with the Revolution of 1911 and the May 4th New Culture Movement, traditional Confucianism was attacked intensely by a large number of progressive intellectuals and radical thinkers. During the twenties and thirties of this century, more and more Chinese intellectuals introduced and popularized Western philosophy in China, among which pragmatism was especially influential. But early in 20th century the greatest impact on Chinese society was the introduction and spread of Marxism. From the 1920’s on the "Great Triangle" appeared in the Chinese philosophical arena, in which the traditional Confucianist philosophy was defeated and Marxist philosophy emerged as the winner. The victory of Marxism is due to the fact that the Chinese communists combined Marxism tactically with Chinese social and revolutionary practice; they made of Marxism an ideological weapon against feudalism and imperialism, leading thereby to the founding of New China.
Tidak mengakui adanya ‘Filsafat asli Indonesia’ serta hanya mengakui efek Modernisme Barat dalam struktur Filsafat Indonesia pula sama buruknya dan sama naifnya. Memang tidak bisa disangkal, bahwa kata ‘Indonesia’ baru diciptakan dalam tahun 1917, tapi bukan berarti sebelum tahun itu tradisi Filsafat Indonesia belum terdapat; sebelum tahun itu, pemikir Indonesia belum lahir. Memang tak dapat disangkal, bahwa ‘Indonesia’ sebagai suatu forum politik terkini Republik ala Barat baru lahir pada 17 Agustus 1945, akan tetapi bukan berarti seluruh pemikir yg ada sebelum tanggal itu wajib diabaikan begitu saja.
Semangat ‘anti-tradisi’ semacam itu pernah mencuat dalam tulisan-tulisan polemis ‘Sutan Takdir Muda’ menggunakan Ki Hajar Dewantara, yg kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan 1935, dimana Sutan Takdir berpendapat bahwa tradisi ‘Indonesia Lama’—termasuk struktur budaya, peradaban, seni, serta filsafatnya sebagai satu paket—wajib dibuang jauh-jauh ke belakang serta, sebagai gantinya, tradisi Dunia Modern yang mengandung ‘budaya progresif’ harus diadopsi, dipelajari, serta dikuasai, supaya Indonesia bisa mewarisi kebesaran struktur budaya Modern itu serta menjelmakannya buat dirinya sendiri sebagai ‘Indonesia Modern’. Motif-motif ‘anti-tradisi’ jua sempat hadir dalam deklarasi serta pernyataan-sikap para sastrawan yang tergabung pada kelompok Angkatan ’45, yang terungkap dalam Surat Kepercayaan Gelanggang Indonesia Merdeka (Jakarta, 18 Februari 1950):
…Kami nir akan memberikan suatu kata ikatan buat kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara mengenai kebudayaan Indonesia, kami nir ingat pada melap-lap output kebudayaan usang sampai berkilat dan buat dibanggakan,… Revolusi bagi kami artinya penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yg wajib dihancurkan…
Upaya pengadopsian filsafat asing ke pada struktur tradisional Indonesia dalam wujud proyek Modernisasi (Westernisasi) berada pada track yg benar, jika dimaksudkan buat menghancurkan residu-residu sukuisme serta feodalisme pra-Kemerdekaan, akan tetapi sebagai galat-langkah, apabila ditujukan buat membuang semua heritage filosofis lama .
Pada saat Modernisasi mulai mengetam output panennya selesainya 2 abad berjalan, yang puncaknya tercapai pada era Orde Baru Soeharto, tidaklah keliru jika ada orang yg mau ‘pulang ke Tradisi’, bukan untuk sekadar romantisme yang nostalgik, akan tetapi buat interpretasi-ulang, cipta-ulang, siklus-ulang, reka-ulang, pemaknaan-ulang atau introspeksi terhadap tradisi sendiri. Mungkin ada ‘penyakit-penyakit Modernitas’ yang ‘obatnya’ justru masih ada dalam Tradisi. Mungkin juga terdapat Tradisi yang elemen-elemennya malah menopang sendi-sendi yg rapuh menurut struktur Modernitas. Tradisi yang dimaknai-ulang sang orang terkini tentu bukan lagi tradisi antik, akan tetapi menjadi suatu Modernitas baru, lantaran tradisi antik sudah sejak usang hilang, digantikan oleh Modernitas. Ketika Modernitas telah sebagai barang antik sang orang Indonesia sekarang, maka penafsiran-ulang terhadap Tradisi mungkin saja membentuk ‘Modernitas Baru’.
Definisi baru Filsafat Indonesia mesti merangkul Tradisi serta Modernitas sekaligus. Tidak boleh terdapat preferensi yg hiperbola pada galat satunya. Apabila pilihan dijatuhkan dalam salah satu menurut keduanya, berarti Filsafat Indonesia telah dimiskinkan isinya.
Mitologi kuno yg sarat elemen filosofis, sebagai bagian menurut Tradisi, setidaknya dapat dijadikan titik-tolak (turning point) buat pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, bila bukan menjadi pintu gerbang (gateway) buat masuk ke alam pikiran Indonesia. Banyak penulis sejarah filsafat yg sengaja memasukkan kajian mitologis menjadi kajian pembuka dalam bukunya, apalagi apabila bukunya memang disusun berdasarkan kronologi. Thomas Kasulis, dalam artikelnya Japanese Philosophy, memulai kajiannya dengan mitologi Jepang kuno. Mohammad Hatta, pada buku Alam Pikiran Yunani, jua memulai kajiannya menggunakan mitologi Yunani. Bahkan, Plato, pada setiap tulisannya, memakai mitologi, baik sebagai bahan-standar (raw material) filsafatnya maupun menjadi target kritik buat menciptakan struktur filosofisnya.
Untuk menciptakan definisi yang baik menurut Filsafat Indonesia, maka dibutuhkan beberapa perbandingan dengan definisi filsafat yang lain. Misalnya, ‘Filsafat Islam’ diklaim demikian, karena filsafat itu lahir pada wilayah kuasa Islam serta diproduksi oleh komunitas religius Islam yg menetap di daerah itu. Hal serupa juga berlaku bagi ‘Filsafat Kristen’ dan ‘Filsafat Yahudi’. Sementara, ‘Filsafat Jerman’ disebut demikian, lantaran beliau ditulis dengan aksara dan bahasa Jerman. Ini serupa menggunakan definisi ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Rusia’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Kontinental’ (Filsafat yang ditulis berbahasa Eropa Kontinental), ‘Filsafat Analitis’ (Filsafat yg ditulis berbahasa Inggris atau Amerika), ‘Filsafat Korea’, serta ‘Filsafat Arab’, yg mendasarkan penamaan filosofisnya menurut penggunaan aksara dan bahasa nasionalnya. ‘Filsafat Afrika’ lebih menekankan segi distingtif tradisi filosofisnya berdasarkan tradisi filsafat sejagat lainnya. Ini serupa dengan ‘Filsafat Persia’, ‘Filsafat Bantu’, serta ‘Filsafat Pakistan’.
Berdasarkan perbandingan di atas, berarti definisi Filsafat Indonesia dapat dibangun berdasarkan 3 segi: 1) daerah loka filosof itu berada; dua) aksara dan bahasa yang dipakai filosof buat menulis karya filosofisnya; serta 3) segi distingtif pemikiran filosofisnya dari tradisi filsafat sejagat. Kalau tiga segi ini diterapkan pada definisi Filsafat Indonesia, maka Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh seluruh orang yang menetap pada daerah yg dinamakan belakangan menjadi Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yg isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.
Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia merupakan filsafat yang diproduksi oleh seluruh orang yg menetap pada daerah Indonesia berimplikasi, bahwa semua orang yang dari dari kelompok etnis, gerombolan ras, atau gerombolan religius yang tidak sama, asalkan semuanya menetap pada Indonesia, maka semuanya filosof Indonesia.
Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia merupakan filsafat yg menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa seluruh orang yang menetap pada Indonesia, asalkan memakai bahasa-bahasa yang hayati pada Indonesia menjadi mediumnya, maka semuanya merupakan filosof Indonesia. Disebut ‘bahasa-bahasa di Indonesia’, karena Indonesia mempunyai 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa Indonesia.
Untuk sifat ketiga, bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang sekurang-kurangnya mempunyai segi distingtif dari filsafat sejagat lainnya, harus diberi penerangan tambahan. Distinctiveness bukanlah suatu keharusan dalam Filsafat Indonesia, karena, wajib diakui, bahwa segi distingtif pada isi Filsafat Indonesia amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih banyak borrowing nya daripada otentisitasnya. Lebih banyak segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang orisinil pada Filsafat Indonesia hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yg pinjaman cukup banyak, mencakup pinjaman berdasarkan ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’, sampai ‘Filsafat Barat’. Pinjaman-pinjaman itu, dalam saatnya, akan dipulangkannya lagi selesainya beliau berhasil menciptakan suatu corak lain, apakah dalam bentuk sintesa dialektis, adaptasi, transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi.
Definisi baru Filsafat Indonesia ini pula berimplikasi pada masalah kapan lahirnya kajian Filsafat Indonesia. Apabila dimaksud sebagai suatu nama cabang filsafat yg dikaji filosof Indonesia, yang membedakannya menurut kajian Filsafat Barat serta Filsafat Asia lainnya, maka Filsafat Indonesia lahir dalam dasa warsa 60-an. Tapi, apabila dimaksud sebagai kegiatan berpikir logis-rasional yang diproduksi orang Indonesia, maka Filsafat Indonesia lahir bukan sejak dekade itu, akan tetapi malahan sejak local genius primitif menghasilkan mitologi filosofis, yg diperkirakan para sejarawan berproduksi semenjak era neolitik sekitar 3500-2500 SM, yang jejak-jejaknya masih bisa ditelusuri hingga kini dalam kebudayaan suku Sakuddei pada Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim pada Papua (Irian Barat), jua pada suku Minangkabau, Jawa, Nias, Batak, dan lain-lain.
Comments
Post a Comment