MENGENAL AGAMA WAHYU YANG ADA DI DUNIA INI

Cara flexi---Agama wahyu atau disebut pula kepercayaan samawi, agama langit merupakan agama yg menghendaki iman pada Tuhan, kepada para rasul-rasul-Nya, dan kepada kitab -buku-Nya dan pesannya buat disebarkan kepada segenap umat manusia. Beberapa pendapat menyimpulkan bahwa suatu agama diklaim agama Samawi jika sedikitnya mempunyai tiga hal, yaitu; mempunyai definisi Tuhan yang jelas; mempunyai penyampai risalah (Nabi serta Rasul); serta memiliki perpaduan wahyu menurut Tuhan yang diwujudkan pada Kitab suci.
Berdasarkan hal tersebut, agama wahyu mempunyai keteraturan tindakan pada melaksanakan keyakinannya dan keteraturan dalam berhubungan dengan sesama makhluk, yg didasari sang hal-hal berikut;

  1. Agama adalah satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yg mutlak di luar manusia.
  2. Disamping itu kepercayaan pula menjadi sistem ritus (rapikan peribadatan) insan kepada yg dianggap Yang Mutlak itu.
  3. Disamping adalah satu sistem credo serta sistema ritus, maka kepercayaan jua adalah satu sistem norm a (rapikan kaidah) yang mengatur interaksi manusia dengan sesama manusia serta interaksi insan menggunakan alam serta mahluk lainnya, sesuai dan sejalan dengan rapikan keimanan dan rapikan peribadatan.
Agama wahyu mempunyai karakteristik-ciri yang dapat dibedakan menggunakan agama bumi, yaitu menjadi berikut :
  1. Agama wahyu berpokok pada konsep ke-Esa-an Tuhan (monotheis).
  2. Agama wahyu beriman kepada Nabi. Disampaikan oleh Rasul menjadi utusan Yang Maha Kuasa.
  3. Bagi agama wahyu maka sumber utama tuntutan dan berukuran bagi baik serta jelek merupakan kitab kudus yg diwujudkan. Kitab suci dibawa dan disebarkan pada umat berdasarkan Wahyu Allah.
  4. Semua kepercayaan wahyu lahir pada Asia Barat daya.
  5. Agama Wahyu muncul pada wilayah yg menurut sejarah berada di bawah pengaruh ras semitik, kemudian berhasil menyebar ke luar daerah impak semitik.
  6. Sesuai dengan ajaran agama wahyu serta historisnya maka kepercayaan wahyu adalah agama misionary.
  7. Ajaran kepercayaan wahyu tegas dan jelas. Tidak berubah dengan adanya perubahan warga penganutnya, bahkan kebalikannya bahwa rakyat dapat saja berubah tetapi agama nir mengalami perubahan.
  8. Ajaran agama wahyu memberikan arah dan jalan yang lengkap kepada para pemeluknya, yg berpegang pada aspek duniawi maupun aspek spritual dan kehidupan ini
  9. Kebenaran ajaran dasarnya tahan uji terhadap kritik dari nalar manusia
  10. Sistem merasa dan berfikir nir sama dengan sistem merasa dan berfikir warga penganutnya.

Agama-kepercayaan Besar Samawi
Di dunia ini kepercayaan -agama besar yang dianggap sebagai agama samawi antara lain adalah agama Yahudi, Nasrani, serta Islam. Berikut penerangan dari masing-masing kepercayaan tadi;
1. Yahudi
Yahudi adalah sebuah kata yang bisa merujuk nir hanya kepada sebuah agama melainkan jua pada suku bangsa. Agama Yahudi merupakan kombinasi antara agama dan suku bangsa. Kepercayaan semata-mata dalam agama Yahudi tidak membuahkan seseorang sebagai Yahudi. Di samping itu, menggunakan nir memegang pada prinsip-prinsip agama Yahudi tidak berakibat seorang Yahudi kehilangan status Yahudinya. Namun, definisi Yahudi undang-undang kerajaan Israel nir termasuk Yahudi yg memeluk kepercayaan yg lain.

2. Kristen

Agama Kristen (atau juga Kekeristenan) adalah sebuah kepercayaan yg bedasar pada ajaran Yesus Kristus atau Isa Almasih. Agama ini percaya bahwa Yesus Kristus merupakan Tuhan dan Mesias, juru selamat bagi seluruh umat insan, yg menebus manusia berdasarkan dosa. Mereka beribadah di gereja  serta kitab kudus mereka merupakan Alkitab.
Kekristenan merupakan monotheisme, yg percaya akan tiga pribadi Tuhan atau Tritunggal. Orang yang memeluk kepercayaan Kristen percaya bahwa Yesus Kristus atau Isa Almasih adalah juru selamatnya, serta memegang teguh setiap ajaran yang disampaikan Yesus Kristus.
Penganut kepercayaan Kristen pula percaya dalam janji Yesus Kristus yang akan datang dalam kedua kalinya sebaga Raja serta Hakim akan dunia ini. Sebagaimana kepercayaan Yahudi, mereka menjunjung ajaran moral yg tertulis dalam Sepuluh Perintah Tuhan.

3. Islam

Islam pada bahasa Arab, Al-Islam: "berserah diri pada Tuhan" adalah kepercayaan yg mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Agama Islam termasuk agama samawi (agama yg dianggap sang para pengikutnya diturunkan berdasarkan langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim. Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai kepercayaan terbesar ke 2 di global. Pengikut ajaran Islam dikenal menggunakan sebutan Muslim. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya pada insan melalui para nabi serta rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan benar-benar-benar-benar bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi serta rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.
Perbandingan Agama Wahyu dengan Agama Bumi
Berikut ini adalah perbedaan antara agama-kepercayaan wahyu dengan agama-kepercayaan bukan wahyu (bumi) berdasarkan Almasdoosi, yaitu yg terlihat dalam tabel sebagai berikut;

Tabel Perbandingan Karakteristik Agama Wahyu dan Agama Bumi

Demikian tentang kepercayaan -kepercayaan wahyu yg terdapat pada global ini, buat menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai agama-kepercayaan yang terdapat pada dunia ini. semoga berguna terimakasih.

MENGENAL AGAMA BUMI DAN AGAMA WAHYU YANG ADA DI DUNIA

Cara flexi---Warga belajar serta murid sekalian, pada pembahasan tentang Agama dari kacamata ilmu antropologi kali ini kita akan mencoba mengupas tentang kepercayaan wahyu dan kepercayaan bumi yg terdapat pada dunia ini. Untuk memahami tentang agama bumi dan agam wahyu, ada baiknya disinggung terlebih dahulu pengertian agama seperti yang diuraikan dibawah ini :
1. Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kepercayaan adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau jua disebut menggunakan nama Dewa atau nama lainnya menggunakan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian menggunakan kepercayaan tersebut.
Kata "kepercayaan " berasal menurut bahasa Sansekerta yg berarti "tradisi" sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang dari berdasarkan bahasa Latin dan dari dari istilah kerja "re-ligare" yang berarti "mengikat balik ". Maksudnya dengan berreligi, seorang mengikat dirinya pada Tuhan..
2. Cara-cara Beragama
Jika dilihat menurut caranya, beragama bisa dibedakan sebagai berikut :
a. Cara Tradisional, yaitu cara beragama berdasarkan tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur atau orang-orang berdasarkan angkatan sebelumnya. Pada umumnya bertenaga dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yg baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar kepercayaan , bahkan tidak terdapat minat. Dengan demikian kurang dalam mempertinggi ilmu amal keagamaannya.
b. Cara Formal, yaitu cara beragama dari formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini umumnya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya imbas. Pada umumnya nir kuat pada beragama. Praktis mengubah cara beragamanya bila berpindah lingkungan atau rakyat yg tidak sama dengan cara beragamanya. Mudah bertukar kepercayaan jika mereka memasuki lingkungan atau masyarakat yg lain agamanya. Mereka terdapat minat menaikkan ilmu serta amal keagamaannya akan namun hanya tentang hal-hal yg mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatanya.
c. Cara Rasional, yaitu cara beragama dari penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha tahu serta menghayati ajaran agamanya menggunakan pengetahuan, ilmu serta pengamalannya. Mereka mampu asal dari orang yg beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
d. Cara Metode Pendahuluan, yaitu cara beragama menurut penggunaan logika dah hati (perasaan) pada bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha tahu serta menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu pada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran orisinil yang dibawa sang utusan dari sesembahannya semisal nNabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan serta bersabar (berpegang teguh) dengan itu seluruh.



Agama Bumi

Agama bumi dianggap juga kepercayaan wad'i (natural Religion) adalah kepercayaan yg bersumber pada nalar, pikiran, dan konduite insan, sehingga diklaim pula kepercayaan budaya. Agama bumi lahir berdasarkan filsafat masyarakat, baik yang dari berdasarkan para pemimpin masyarakat atau berdasarkan para pengajur kepercayaan yang besangkutan.

1. Karakteristik Agama Bumi
Pada mulanya, kepercayaan bumi muncul pada kalangan orang-orang atau rakyat sederhana, agama ini memuat keyakinan kepada sejumlah kekuatan yang terdapat di luar manusia menjadi tempat buat memohon petunjuk manakala mereka menghadapi waktu-waktu kritis. Kekuatan-kekuatan tersebut bisa saja menjadi roh orang yang telah mangkat ; makhluk halus yg menghuni gunung, batu akbar, pohon besar , pada hewan eksklusif atau segala makhluk yg tidak berwujud.
Kepercayaan terhadap makhluk-mahkluk halus tersebut dikenal menggunakan sebutan Animisme. Berbeda dengan agama dalam Ma'na yaitu kekuatan supernatural yg dimanifestasikan dalam individu eksklusif tau dalam benda yg dipercaya memiliki kekuatan luar biasa dan keajaiban. Sampai sekarang, jenis agama ini dihubungkan dengan rakyat yg masih kolot, diklaim tribal religions pada muka bumi. Setiap warga pada permukaan bumi ini kadangkala harus memahami, adanya kekuatan pada luar kekuatan manusi, terutama setiap fenomena alam yang terjadi di sekitar kehidupannya, seperti gempa bumi, angin ribut, halilintar, hujan lebat, dan lain-lain. Kekuatan tersebut bisa dianggap menjadi kekuatan mistik, karena manusia nir bisa berbuat hal buat memunculkan fenomena alam semacam itu.
Pada rakyat sederhana masih ada suatu keteraturan melalui nilai-nilai atau norma-norma yang dilandasi oleh adanya agama bersama terhadap sesuatu yg dipercaya gaib dan bisa mempersatukan tiap bagian warga . Kepercayaan beserta pada bentuk religi ini merupaka suatu pengakuan yang mengakibatkan adanya saling ketergantungan di antara masyarakat warga dalam hal agama mereka. Hal ini terntu saja tidak sama dengan warga yang sudah mengalami kemajuan. Masyarakat sederhana seperti ini memiliki ikatan nilai serta kebiasaan yang sangat erat menggunakan berpedoman dalam religinya. Religi yg dimiliki masyarakat sederhana ini nampaknya membantu terwujudnya solidarits sosial bagi mereka yang terlibat pada dalamnya.
Religi menurut Emile Durkheim adalah ....suatu sistem terpadu mengenai agama-kepercayaan , praktik-praktik yang berhubungan dengan benda-benda kudus ... Benda-benda spesifik atau terlarang - agama dan praktik-praktik yg menyatu pada satu komunitas yg diklaim umat, semuanya yang berhubungan dengan itu.
Kegiatan yang dilakukan rakyat pada rangka aktivitas religi memerlukan suatu alat yang dipercaya kudus dalam bentuk simbol yg diyakini bersam yang memiliki suatu kekuatan yg dapat mempersatukan kehidupan mereka yg diklaim Totem. Totem adalah nama atau lambang klan itu, serta mereka percaya bahwa benda totem itu mewujudkan prinsip totem yang kudus, atau apa yang diklaim mana. Ternyata suatu grup masyarakat yg dilandasi sang relasi pada bentuk kaln mempunyai totem masing-masing yang dijadikan pengikat solidaritas sosial yg mekanik.
Emile Durkheim menyatakan bahwa totem merupakan : ...simbol masyarakat yang dianggap klan. (Simbolnya) itu adalah benderanya ...dewa klan, prinsip totemik kemudian nir bisa lain berdasarkan pada klan itu sendiri, terjelma dam terwakili dalam khayalan melalui bentuk-bentuk binatang atau sayur mayur yg bisa dipandang, yang mereka perlakukan sebagai totem.
Dengan demikian, bahwa sistem totem sebagai religi yang hayati pada rakyat primitif, sudah menaruh suatu keyakinan yg pada terhadap kehidupan kelompoknya, sebagai akibatnya dimanapun mereka berada akan permanen manunggal pada totem yang sama dan akan berkumpul pada waktu-waktu eksklusif dalam upacara keagamaan yang dilaksanakan sang klannya, sehingga totem ini menjadi alat integrasi sosial ke pada bagi kehidupan warga .
Religi melalui totemismenya, berbeda dengan mentalitas sederhana (primitif), pemikiran mengenai mentalitas sederhana yg dimiliki oleh individu yang masih ada pada suatu kelompok masyarakat akan dipengaruhi sang citra-citra kolektif pada mana yg bersangkutan berada.
Dalam kehidupan rakyat sederhana menegaskan bahwa eksistensi individu serta pemikirannya terhadap suatu hal tergantung pada masyarakatnya, lantaran masyarakatlah yang memberikan pengetahuan dan konsep-konsep kehidupan sebagai suatu kenyataan sosial juga fenomena alam dalam individu. Dalam hal menanggapi gambaran-citra kolektif berdasarkan suatu kenyataan, bagi warga selalu bersifat mistis atau adanya suatu kekuatan yang supra-natural dari setiap kejadina yang berlangsung pada alam.
Religi dalam hal kepercayaan kolektif yang dimiliki rakyat, yaitu sama-sama adanya suatu agama yg dilandasi sang adanya kekuatan supra-natural yg dihasilkan oleh kenyataan alam yg ada pada lingkungan kehidupan warga sederhana, kemudian ditanggapinya menjadi suatu citra kolektif serta yakini bersama, keduanya menekankan bahwa kehidupan masyarakat akan menentukan eksistensi individu, begitu juga bahwa religi yang dianut individu sebagai hasil menurut keyakinan yang dianut bersama dalam warga .
Adapula pendapat bahwa religi timbul dimulai berdasarkan adanya magic melalui pengobatan-pengobatan yg dilakukan oleh dukun terhadap setiap warga masyarakat yg sakit. Kesembuhan berdasarkan adanya sakit tadi menjadi suatu pertolongan yang dilakukan oleh roh leluhur rakyat yg membantu dan melindungi warganya melalu perantaraan dukun yg bersangkutan. Dukun sihir menaruh keyakinan terhadap warga akan adanya kekuatan ghaib yang dimilikinya, terutama dalam hal pengobatan dampak adanya gangguan-gangguan berdasarkan makhluk lain. Religi yg terdapat dalam kehidupan masyarakat tidak tanggal menurut adanya simbol religi.
Dalam hal ini terdapat keselarasan antara dukun yg mengobati dengan pasien melalui mitos dan kasi yang dilakukan sang keduanya. Munculnya mitos pada kehidupan warga selalu dihubungkan dengan keadaan masa kemudian yg penuh dengan kepahlawanan dan mitos ini memberikan jalan keluar daei keadaan yg stress. Mitos dalam kehidupan rakyat tidak terlepas dari adanya suatu keyakinan akan insiden-kejadian pada masa lampu yang belum tentu kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan, tetapi adanya keyakinana rakyat akan adanya religi yg mempercayai mitos tentu mempunyai tingkatan yg lebih tinggi dibandingkan menggunakan pengertian religi sebelumnya.
 
Kembali kita memahami akan kemunculan religi yg hidup pada warga sederhana atau primitif, nir lain lantaran adanya kenyataan alam, diluar jangkauan serta keterbatasan pemikiran insan pada menjawab fenomena tersebut, sebagai akibatnya mereka menduga adanya kekuatan dahsyat yg nir dapat ditaklukan oleh kekuatan insan. Hal itu sebagai kekuatan supra-natural, sebagai akibatnya wajib dihormati dan dipuja agar menaruh proteksi dan berkah bagi insan dan masyarakatnya. 


Pada hakikatnya tindakan hal-hal gaib ini adalah penyempurnaan bagi bisnis-usaha biasa berdasarkan manusia. Ternyata kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib di luar jangkauan insan merupakan kekuatan sebagai penyelaras hubungan manusia menggunakan alam dan menjadi pengawas terhadap tingkah laku manusia dengan sesamanya juga dengan alam melalui norma-kebiasaan yang dihasilkannya, baik pada bentuk anjuran, keharusan, maupun larangan.

Manusia mempunyai rasa takut apabila melanggar kebiasaan yg telah ditetapkan, dan setiap pelanggaran yang dilakukan dapat mendatangkan bencana tidak saja kepada si pelanggar, juga kepada orang lain pada kelompoknya bahkan bagi seluruh warga . Sehingga insan senantiasa mentaati kebiasaan yg terdapat serta menjaga keselarasan hidup pada alam.
Religi yang dilakukan insan hubungannya dengan fenomena alam, apabila diurutkan, maka harus memenuhi 3 faktor, yaitu :
  1. alat-alat yg digunakan, pada bentuk wujud yang dicita-citakan individu atau rakyat menjadi lambang menurut suatu agama eksklusif;
  2. cara pada melakukan ritual yg berhubungan dengan religi, Ritual menjadi upacara keagamaan senantiasa dilakukan buat menghormati yang rakyat puja, baik terhadap roh nenek moyang, ilahi, ataupun totem yg memberikan kehidupan bagi mereka; dan
  3. Mantera-mantera yg diciptakan sebagai penguat keyakinan mereka terhadap hal-hal yang dianggap gaib. Mantera ini di rakyat dapat saja dalam bentuk karya sastra yang berfungsi juga sebagai mantera penyembuh, mantera pesugihan, matera penolak bala, matera kesuburan serta lain-lain.

Ketigafaktor tersebut adalah norma dalam menjalankan religi dan mempunyai nilai magis yg dipercaya memiliki kekuatan bagi yg menggunakannya. Adapun kekuatan tersebut mempunyai sifat masing-masing yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat menjadikannya menjadi ajimat yg mempunyai kekuatan mistik siap digunakan setiap waktu. Kekuatan tersebut mencakup :
a. Bersifat menghancurkan pada bentuk kerusakan, penyakit, dan kematian;
b. Bersifat melindungi bagi yang menggunakannya baik dalam menghadapi tantangan alam, gangguan serta hewan buas, maupun gangguan dari manusia lain yg dapat merongrong harta milik eksklusif; dan
c, bersifat produktif, yaitu buat menghasilkan suatu barang atau jasa guna menunjang perekonomian keluarga tau masyarakat seperti berburu, panen, minta hujan, minta jodoh, serta lain-lain.
Untuk memperjelas magis serta religi perlu kembali dipertegas yaitu: Apabila insan itu disalurkan kepada suatu perilaku rohani yg mengabdi yang menghamba terhadap kekuasaan-kekuasaan atas alam, maka kita namakan religi. Sedang istilah magi menyatakan kemauan untuk menguasainya. 
Dengan demikian, bahwa religi lebih menekankan pada penyerahan diri terhadap yg diyakini masyarakat, sedangkan magis lebih menekankan dalam bentuk dominasi 3 faktor religi, misalnya : yang bersifat menghancurkan, bersifat melindungi, serta produktif.
Pada dasarnya insan itu hidup bagi masyarakat sederhana dipercaya memiliki serba keterbatasan dari kekuatan alam yg dipercaya dahsyat, sehingga menjadi nir berdaya terhadap hal itu, sebagai akibatnya munculah keyakinan terhadap kekuatan lain yg nir mungkin dimiliki manusia. Adanya ketidak mampuan seperti di atas, maka insan mempercayai adanya kekuatan mistik yang dipercaya bisa mengatasi, menyelematkan, atau membantu insan. Dengan demikian, bahwa adanya agama terhadap kekuatan mistik yg dibuat sudah dianggap menjadi jalan keluar buat menjawab setiap rahasia serta tantangan alam yg terdapat disekitar manusia.    
2. Agama Budaya
Di samping itu, bahwa keluarnya agama budaya dalam pikiran insan ditimbulkan oleh adanya getaran jiwa yg diklaim emosi keagamaan. Muncul emosi keagamaan lantaran setiam insan pernah mengalaminya, walaupun getarannya hanya sesaat lalu menghilang. Adanya emosi keagamaan menyebabkan insan seolah-olah terpesona oleh benda, tindakan, dan gagasan yang dianggap memiliki kekuatan luar biasa, sebagai akibatnya dipercaya memiliki nilai keramat serta dianggap suci, lalu mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yg bersifat religi.
Di pada agama budaya masih ada unsur-unsur yg dipertahankan dan dilaksanakan oleh para penganutnya, yaitu :
a. Memelihara emosi keagamaan
b. Konfiden serta percaya dalam yg gaib
c. Melakukan program serta upacara tertentu
d. Mempunyai sejumlah pengikut yang mentaati.
Keempat unsur tersebut saling bertautan, yg kesemuanya berdasarkan dalam kepercayaan terhadap hal yg gaib, yang ditakuti serta disayangi, yang dianggap., Tuhan, Dewa, Roh, atau makhluk halus, yg bersifat dursila maupun yang bersifat baik.
Pewarisan kepercayaan pada masyarakat sederhana yg berasal berdasarkan emosi keagamaan diturunkan dan diwariskan kepada penerusnya melalui ungkapan, cerita berirama, dongeng-dongeng suci, dan sebagainya. Pewarisan agama budaya seperti ini dilakukan secara ekspresi, sedangkan pada masyarakat yg lebih maju dan telah mengenal tulisan umumnya sudah terdokumentasikan melalui goresan pena pada atas daun, kulit kayu, bambu, kulit hewan, bahkan kertas serta dibukukan menjadi kitab atau buku kudus yg dikeramatkan.
Agam budaya timbul berdasarkan hasil pemikiran masyarakat menjadi filsafat agama yang bersangkutan, pada dalamnya termasuk kepercayaan yang dianut sang masyarakat yang masih sederhana atau tradisional. Agama budaya atau Wad'i nir memiliki pegangan kitab suci yang berisi firman Allah dan tidak dari pada ajaran yg dibawa oleh para Rasul  misalnya pada agama Wahyu (Baca Mengenal Agama Wahyu).
3. Ciri-karakteristik Agama Bumi
Berdasarkan uraian serta penjelasan tentang kepercayaan bumi di atas, maka ciri-karakteristik kepercayaan bumi dapat kita lihat merupakan menjadi berikut :
a. Konsep ketuhanannya nir monotheis, bahkan nir jelas
b. Tidak disampaikan oleh rasul Allah menjadi utusannya,
c. Kitab suci bukan berdasarkan wahyu Tuhan,
d. Dapat berubah dengan terjadinya perubahan kehidupan warga dan penganutnya,
e. Kebenaran ajaran dasarnya nir tahan kritik terhadap akan manusia
f.  Sistem merasa serta berfikir sama dengan sistem merasa serta berfikir kehidupan rakyat penganutnya.
Baca selanjutnya.... Dalam Artikel.... Mengenal Agama Wahyu di Sini !!                    

KRITIK ATAS FAHAM DAN GERAKAN PEMBAHARUAN NURCHOLISH MADJID

Kritik Atas Faham Dan Gerakan Pembaharuan Nurcholish Madjid 
Islam serta politik, demikian 2 kata ini nir habis-habisnya sebagai perbincangan (discourse) pada khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan fenomena sepanjang sejarah. (Esposito, 1990 : xxi) Banyak berdasarkan para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), terkini serta neo terkini, (Azar, 1996 : 75-142) yg mencoba memberikan sebuah penerangan interaksi antara islam serta politik, menggunakan majemuk cara pendekatan dan metode yang bhineka.

Pada zaman modern, perjuangan Islam terkonsentrasi pada 2 kategori. Pertama, perjuangan pembaharuan pemikiran Islam yang bersifat ke pada (Struggle from with in), yg bertujuan buat menaikkan semangat keberagamaan menggunakan memperluas cakrawala pemikiran melalui pembaharuan pendidikan, menggunakan tema sentralnya merupakan pulang kepada kemurnian ajaran Islam Al-Qur’an serta As-Sunnah.. Kedua, perjuangan politik Islam, sebagai bagian berdasarkan pembebasan ketertindasan warga muslim berdasarkan kediktatoran penguasa Islam yang despotik serta yg terutama adalah pembebasan berdasarkan imperialisme Eropa. 

Setelah kegagalan politik Islam buat membentuk kekuatan pan-Islamismenya, usaha pembebasan kaum muslimin dari kediktatoran penguasa yg despotik serta imperialisme Barat sebagai sangat lokal, yang berdasarkan atas nasionalisme kebangsaannya. Pada fase-fase inilah selanjutnya terjadi perubahan akbar paras politik Islam, dari pan-Islamismenya serta kekhalifahan ke bentuk negara yg didasari atas nasionalisme kebangsaan. (Voll, 1999) Walaupun, dalam fase selanjutnya, identitas ke-Islam-an dalam struktur negara-bangsa (nation-state) yg didasarkan atas nasionalisme tersebut, masih terus sebagai perdebatan para pemuka agama (Ulama’) pada kontek lokal masing-masing, dalam rangka pencarian bentuk dan isi, menjadi dampak dari pengaruh akbar arus demokratisasi di belahan dunia ketiga.

Perdebatan tentang bentuk negara dan prosedur pemerintahan dalam negara yg berdasarkan sunnah Rosul dan doktrin kitab suci al-Qur’an ini, sangat membutuhkan waktu serta penyesuaian-penyesuaian menggunakan syarat negara yg didasarkan atas landasan tetitorial geografis, serta kultur masing-masing. Sehingga aktualisasi diri atau perwujudan paras menurut politik Islam waktu ini, sangat berbeda-beda antar negara muslim yang satu menggunakan negara muslim yg lainnya.

Wacana pembaruan yg dikumandangkan sang gerbong generasi pasca perjuangan ideologi (Kuntowijoyo, 1991 : 131-134) ini, sangat mengemuka dan menjadi bagian berdasarkan strategi perjuangan umat Islam Indonesia.(Effendi, 1998 : 125-164). Tema hangat yang relatif mengundang perhatian publik dalam kaitannya dengan perbincangan persoalan keharusan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah apa yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid dan teman-temannya tentang keharusan melakukan sekularisasi, sebagai upaya desakralisasi serta rasionalisasi kehidupan beragama. Dalam kontek ini, agama nir hanya dipahami menjadi dimensi yg utuh skral (suci) dengan segala pirantinya. Namun masih ada bagian-bagian yang berubah, lantaran sifatnya yang sosiologis. Sehingga sekularisasi, menurut Nurcholish adalah jalan yg perlu dilakukan umat Islam, agar dalam berislam rakyat bisa membedakan antara kenyataan sosial, yg sifatnya berbah-ubah dan kenyataan wahyu yang sifatnya transenden. (Rasjidi, 1977)

Dalam pandangan Amien Rais, kata Islamic State atau Negara Islam tidak terdapat dalam al-Quran juga pada Sunnah. Oleh karena itu, berdasarkan Amien Rais, tidak terdapat perintah pada Islam untuk menegakkan Negara Islam. Yang ada merupakan khilafah, yaitu suatu misi kaum Mislimin yg wajib ditegakkan pada muka bumi ini buat memakmurkan sinkron menggunakan petunjuk dan peraturan Allah swt., juga Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, lanjut Amien Rais, al-Quran tidak menunjukkan secara jelas, tetapi dalam bentuk global saja. Amien mencontohkan Saudi Arabia, sebagai suatu negara yg aneh dalam zaman terbaru ini, serta para pemimpinya menyatakan tidak perlu konstitusi karena mereka telah memiliki sandaran syari’ah Islam. Namun, bagi Amien aplikasi syari’ah Islam sendiri pada sana begitu sempit, serta jauh berdasarkan idealisme Islam itu sendiri. Amien menjelaskan, seperti prinsip-prinsip monarkhi Saudi Arabia itu sendiri telah bertabrakan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam pada bidang kemasyarakatan serta politik. (Amien, 1982)

Dalam kontek ini, ke 2 pemikir tersebut dapat dikatakan paralel pada gagasannya. Walaupun dalam derivasi instrumentalnya kemudian berbeda-beda. Namun di luar sumbangan gagasan-gagasan sebagaimana yg sudah tersebut di atas, perihal-perihal politik Islam menjadi upaya reaktualisasi dan reformulasi teologis politik Islam di Indonesia, yang bermula berdasarkan gagasan ke 2 tokoh tersebut sangatlah menarik buat diteliti. Karena konsistensinya pada melakukan reformulasi teologis mengenai politik Islam. Misalnya, kontribusi Amien mengenai High Politics serta Low Politics, sebagai baku dasar kategorisasi perilaku politisi, Tauhid dengan beragam turunannya yang dijadikan sebagai dasar-dasar etik-moral pada politik Islam kedua tokoh tadi, dan lain-lain.

Pasca reformasi, tema-tema politik Islam balik bermunculan, menandakan seoalah perbincangan dalam masa Orde Baru belum selesai. Dan akhirnya sekarang diiringi menggunakan fenomena euphoria reformasi, tema serta aksi tentang politik Islam tersebut muncul kembali. Di sini amatlah penting kiranya buat meneliti tentang pemikiran kedua tokoh tadi, terutama yg menyangkut dasar-dasar etik-moral poliik Islam serta “Negara Islam” menggunakan asa dapat menaruh donasi pemikiran pasca reformasi, di mana tema-tema tadi mulai timbul kembali. 

1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dipertegas pulang rumusan pokok kasus yg akan diteliti. Adapun penekanan perkara dalam penulisan penelitian ini adalah : Pertama, Pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais tentang etika politik serta Negara Islam di Indonesia serta disparitas dan titik temunya. Kedua, Relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais pada Indonesia waktu ini.

2. Tinjauan Pustaka
Dalam kontek hubungan Islam serta negara, buku yg merupakan disertasi Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, merupakan buku yang mengupas panjang lebar problem interaksi Islam dan negara dilihat berdasarkan tiga masa, yaitu masa periode kemerdekaan yang menuntut ke arah kesatuan Islam dan negara, periode pasca-revolusi menjadi upaya perjuangan Islam sebagai dasar ideologi negara, dan periode Orde Baru sebagai periode penjinakan idealisme serta aktivisnme politik Islam. Dalam kitab ini penjelajahan penelitiannya lebih poly mengarah terhadap pola taktik perjuangan politik Islam serta arus baru formulasi teologis politik Islam. Sehingga generalisasi hubungan Islam serta negara pada kajian buku ini lebih nampak dari pada kajian pemikiran tokohnya sendiri.

Selain yg tersebut pada atas, masih ada kajian lain yg lebih spesifik lagi mengenai interaksi Islam serta negara, yaitu buku yang dikarang sang Abdul Aziz Thaba dengan judul Islam serta Negara Dalam Politik Orde Baru. Buku ini lebih spesifik menjelskan pergulatan politik Islam dengan negara pada masa Orde Baru. Terdapat tiga perkiraan dasar interaksi antara Islam serta negara pada masa Orde Baru. Pertama, merupakan hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), ke 2, hubungan yg bersufat resiprokal-kritis (1982-1985), dan ketiga adalah interaksi yg bersifat akomodatif (1986-1990-an). Kajian ini tidak tidak selaras jauh dengan apa yg ditulis sang Bahtiar Effendi, hanya saja spesifikasi pergolakan politik lebih kental karena rentetan waktunya yang lebih spesifik. Tetapi, apa yg didapatkan juga tidak mampu tanggal berdasarkan generalisasi politik Islam menurut pada kajian pemikiran tokohnya.

Greg Barton dalam bukunya Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, serta Abdurrahman Wahid, menyebutkan lebih spesifik lagi terhadap kajian pemikiran tokoh yg mengkategorikan sebagai gerombolan Neo-Modernisme. Dalam buku ini dijelaskan panjang lebar menggunakan disertai analisis yg relatif mendalam mengenai pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia yang terdiri berdasarkan keempat tokoh tadi. Pada prinsipnya gagasan pembaruan pemikiran Islam liberalnya lebih kental berdasarkan pada kajian tentang politik Islamnya. Walaupun terdapat, namun sedikit sekali yang dikaji secara mendalam dari bagian-bagian politik Islam. 

Modernisme dan Fundamentalisme pada Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) serta Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), adalah buku menurut hasil desrtasi Yusril Ihza Mahendra. Dalam buku ini, gagasan mengenai politik Islam sangat spesifik. Yaitu memperbandingkan antara partai Masyumi di Indonesia yg dikategorikan modernis dan partai Jama’at-i-Islami di Pakistan yang dikategorikan fundamentalis. Kajian dalam kitab ini sangat lebih jelasnya serta mendalam. Tetapi, sebagaimana judul bukunya ranah kajiannya lebih khusus terhadap masalah politik kepartaian dan segala hal yg menyangkut perangklat fragmental dan ideologis pergeraknnya.

Dalam buku Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, yang dikarang sang Umaruddin Masdar relatif kentara dalam menkaji pemikiran tokohnya, terkhusus pemikiran M. Amien Rais serta Abdurrahman Wahid. Dalam kajian ini, arah demokrasi menjadi bagian dari sistem politik terbaru sangat mendapatkan titik aksentuasi. Penerimaan demokrasi sebagai bagian dari sistem politik terbaru, yang disepakti oleh ke 2 tokoh tadi, jua tidak sanggup terlepas menurut rentetan panjang sejarah politk Islam Sunni. Di sini, titik kajiannya sangat kentara, yaitu menelusuri alur pemikiran poltik Islam ke 2 tokoh tersebut pada kontek paradigma politik Sunni. 

Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, adalah buku yg sunting sang Arief Affandi untuk menaruh legitimasi peta perjuangan politik antara model Amien Rais serta Gus Dur. Dalam buku ini lebih nampak sebagi bunga rampai serta subatansinya lebih datar sebagai bagian dari polemik taktik perjuangn demokrasi di Indonesia, yaitu antara kultural serta struktural.

Dalam pemikiran politik Ibn Taimiyah, amanah dan keadilan yang berdasarkan dalam kepercayaan sangat menerima penekanan perhatian. Setidaknya orientasi pemikiran politiknya yang dari pada kepercayaan dan etik pada perspektif Kitab Suci dan Sunnah ini dapat dipandang berdasarkan 3 alasan. Pertama, dari judul bukunya dibidang politik, Al-Siyasat al-Syar‘iyyat fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra’iyyat (politik yang dari syari’at bagi perbaikan pemimpin atau penggembala dan yg dipimpin atau gembala). Kedua, dalam muqaddimah buku tadi beliau tegaskan bahwa risalahnya itu membicarakan politik ketuhanan serta politik kenabian yang diperlukan oleh pemimpin serta warga . Ketiga, pada pendahukuan bukunya tadi Ibn Taimiyan mendasarkan teori politiknya menurut ayat al-Quran surat ai-Nisa’ ayat 58 yang ditujukan kepada para penguasa dan ayat 59 ditujukan kepada warga . (Taimiyah, 1966 : 3-4)

Di luar ranah pemikiran politik Islam abad klasik serta pertengahan tersbut, adalah Muhammad Husein Haikal yg pula berpendapat sebagaimana pada bukunya Hukumat al-Islamiyyat (pemerintahan Islam) mengenai pentingnya landasan moral etik Islam sebagai bagian menurut sistem politik. Menurutnya, Islam tidak tetapkan sistem tertentu bagi pemerintahan, akan namun dia meletakkan kaidah-kaidah bagi tingkah laris dan muamalah dalam kehidupan antar manusia. Kaidah-kaidah itu sebagai dasar untuk memutuskan sistem pemerintahan yg berkembang sepanjang sejarah (Haikal, 1983 : 44). 

Di luar Muhammad Husein Haikal, merupakan Muhammad ‘Abduh yang berpendapat bahwa Islam nir menetapkan bentuk pemerintahan, serta mempunyai kesamaan dengn pendapat Ibn Timiyah. Keduanya beropini bahwa sistem pemerintahan dapat diadaptasi menggunakan kehendak umat melalui ijtihad serta nir berdasar kan pada sistem syari’at yang kaku. Baginya, pemerintahan dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yg sama pada memelihara dasar-dasar agama, serta menafsirkannya selama ia berkaitan menggunakan perkara keduniaan. 

Dari beberapa perkiraan yg tadi pada atas, maka di antara pemikiran politik Islam klasik dan kontemporer masih ada kerangka pikir (mode of thought) yang menempatkan Islam sebagai asal etik-moral pada tetapkan landasan kepolitikan dalam suatu negara, yg nir terikat secara kaku dengan contoh pngetatan terhadap syari’at dengan mendirikan kekhilafahan global atau negara Islam.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan pertama, mengungkap pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais mengenai etika politik serta Negara Islam di Indonesia dan apa disparitas serta titik temunya. Kedua, mencari relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais pada Indonesia saat ini.

Adapun manfaat menurut penelitian ini merupakan :
  1. Menambah tentang pemikiran politik Islam di Indonesia, khususnya berkai-erat dengan tema khusus penelitian ini.
  2. Memberikan donasi pemikiran mengenai etika politik serta Negara Islam sebagai bahan perbandingan dengan karya-karya penelitian yang lain.
  3. Memberikan donasi pemikiran politik Islam pada matakuliah fiqh siyasah yg diajarkan pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto
METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini dipakai jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yg obyeknya berupa pemikiran para ahli yg tertulis pada buku-kitab dan goresan pena-goresan pena lain yg berkaitan menggunakan kajian ini. Dalam hal ini, data yg diharapkan diambil berdasarkan karya Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais yang sekaligus menjadi data primer dan didukung oleh karya-karya lain yang berhubungan dengan obyek kajian ini yg sekaligus sebagai data sekunder.

2. Pengolahan Data
Data yang sudah terkumpul akan diolah menggunakan :
  1. Pengamatan terhadap aspek kelengkapan, validitas dan relevansinya menggunakan tema bahasan; 
  2. Mengklasifikasikan serta mensistematisasikan data-data, lalu diformulasikan sesuai dengan pokok perseteruan yg terdapat;
  3. Melakukan analisa lanjutan terhadap data-data yg telah diklasifikasikan serta disistematisasaikan dengan menggunakan dalil-dalil, kaidah-kaidah, teori-teori serta konsep pendekatan yang sesuai, sebagai akibatnya memperoleh kesimpulan yg sahih.
2. Analisis Data
Data yg sudah dikelola, akan dianalisis dengan menggunakan alur pemikiran :
  1. Interpretasi, yaitu penyelaman serta penangkapan terhadap arti dan nuansa atau mengenai ekspresi manusia yg dipelajari, sehingga tercapai pemahaman yang benar.
  2. Kesinambungan historis, yaitu pemahaman bahwa perkembangan eksklusif adalah keseimbangan kegiatan dan peristiwa pada kehidupan setiap orang menjadi mata rantai yg tidak terputus;
  3. Komparasi, yaitu membandingkan antara pandangan tokoh yg sebagai obyek penelitian menggunakan tokoh lain yg memiliki kualitas sebanding pada bidang keilmuan

HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pemikiran Politik Islam Nurcholish Madjid
Menurut Nurcholish Madjid, buat semua tujuan sosial politik, insan memang harus kembali pada naturnya, yaitu fitrah manusia yang kudus (hanif). Dan berdasarkan sini pula Nurcholish Madjid membentuk dasar teologis mengenai Islam sebagai kepercayaan kemanusiaan yang nantinya akan mendasari gagasan-gagasan politik Islam, berdasarkan teoritisasi al-Quran, yg sekaligus menjadi inti pemikiran keagamaan Nurcholish yg mendasari segi-segi pemikiran politiknya. Oleh karena itu, penting pada sini buat mengutip lengkap nuktah-nuktah pandangan dasar kemanuisaan Islam, seperti yg sudah dirumuskan oleh Nurcholish Madjid, dan selalu menjadi dasar ceramah-ceramah maupun tulilsan-tulisannya,baik mengenai agama Islam maupun politik sebagaimana berikut:
  1. Manusia diikat pada suatu perjanjian primordial dengan Tuhan, yaitu bahwa insan, sejak dari kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji buat mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai sentra orientasi hidupnya; 
  2. Hasilnya ialah kelahiran insan pada kesucian asal (fitrah), dan diasumsikan ia akan tumbuh pada kesucian itu apabila seandainya tidak ada imbas lingkungan; 
  3. Kesucian dari itu bersemayam pada hati nurani (nurani, merupakan bersifat cahaya terperinci), yang mendorongnya buat senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yg baik serta benar; 
  4. Tetapi karena manusia itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah (diantaranya, berpandangan pendek, cenderung tertarik pada hal-hal yg bersifat segera), maka setiap pribadinya mempunyai potensi buat salah , lantaran “tergoda” oleh hal-hal menarik dalam jangka pendek; 
  5. Maka , buat hidupnya, manusia dibekali menggunakan nalar pikiran, kemudian agama, serta terbebani kewajiban terus menerus mencari serta memilih jalan hayati yag lurus, benar dan baik; 
  6. jadi insan adalah makhluk etis serta moral, pada arti bahwa perbuatan baik buruknya wajib bisa dipertanggungjawabkan, baik pada dunia ini sesama manusia, maupun pada akhirat pada hadapan Tuhan Yang Maha Esa; 
  7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yang relatif sebagai akibatnya terdapat kemungkinan insan menghindarinya, pertanggungjawaban pada akhirat adalah mutlak, serta sama sekali nir mungkin dihindari. Selain itu, pertanggungjawaban absolut kepada Tuhan pada akhirat itu bersifat sangat pribadi, sehingga nir ada pembelaan, interaksi solidaritas serta perkawanan, sekalipun sesama antara sahabat, karib kerabat, anak serta ibu-bapak; 
  8. Semuanya itu mengasumsikan bahwa setiap langsung manusia, dalam hidupnya di global ini, mempunyai hak dasar untuk menentukan dan memilih sedniri konduite moral dan etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etis, dan insan akan sama derajat menggunakan makhluk yang lain, jadi nir akan mengalami kebahagiaan sejati); 
  9. Karena hakekat dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan menjadi zenit segala makhluk Allah, yang diciptakan olehnya pada sebaik-baik kreasi, yg menurut asalnya berharkat dan martabat setinggi-tingginya; 
  10. Karena Allah pun memuliakan anak cucu Adam ini, serta melindungi dan menanggungnya pada daratan maupun dilautan; 
  11. setiap pribadi insan merupakan berharga, seharga humanisme sejagad. Maka barangsiapa merugikan seseorang pribadi, seperti membunuhnya, tanpa alasan yang sah maka beliau bagaikan merugikan seluruh umat manusia, dan barangsiapa berbuat baik kepada seorang, seperti menolong hidupnya, maka ia bagaikan berbuat baik pada semua umat insan.; 
  12. Oleh karena itu setiap pribadi manusia wajib berbuat baik pada sesamanya, dengan memenuhi kewajiban diri eksklusif terhadap pribadi yg lain, serta dengan menghormati hak-hak orang lain, pada suatu jalinan hubungan kemasyarakatan yg damai serta terbuka”.(Nurcholish, 1995 : 193-194) 
Menurut Nurcholish Madjid, “hak setiap orang untuk memilih dan menyatakan pendapat serta pikiran dan kewajiban setiap orang buat medengar pendapat serta pikiran orang lain itu membangun inti ajaran mengenai musyawarah.” Dalam Islam kata musyawarah sendiri secara etimologis, dari Nurcholish mengandung arti “saling memberi isyarat”, yakni saling memberi isyarat mengenai apa yang sahih serta baik: jadi bersifat reciprocal dan mutual (Ibid : 197). Adapun musyawarah, bagi Nurcholish Madjid tidak akan terwujud dengan baik bila tidak disertai menggunakan kelapangan dada, kerendahan hati serta keterbukaan. Prinsip ini dari Nurcholish Madjid bisa disimpulkan dari perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. Buat bermusyawarah dengan para sahabat beliau, yaitu menjadi berikut (Q.S. Ali Imran 153) :

Dengan melihat perangkat normatif perintah bermusyawarah tadi, Nurcholish Madjid menaruh tinjauan moral-etis dalam aplikasi bermusyawarah. Menurutnya, terlaksananya musyawarah yang selanjutnya sebagai dasar kehidupan masyarakat zaman nabi tersebuat lantaran selalu dikaitkan menggunakan prinsip: 
  1. Adanya Rahmat Allah yang diberikan pada Nabi Muhammad; 
  2. dengan rahmat Allah itu Nabi saw. Senantiasa menerangkan sikap-perilaku lemah lembut, tulus serta penuh pengertian kepada orang lain;
  3. beliau tidak kejam, serta tidak pula kasar; 
  4. perintah buat memaafkan kesalahan orang lain; 
  5. perintah buat memohonkan ampun kepada Allah bagi orang lain; 
  6. perintah musyawarah, menjadi kelanjutan wajar semua hal itu; 
  7. menyandarkan diri (tawakkal) pada Allah bila telah menciptakan keputusan.(Ibid ; 196) 
Menurut Nurcholish, dicermati menurut segi proses sejarah dan perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan “Negara Islam” itu merupakan suatu bentuk kesamaan apologetis. Setidaknya, menurut Nurcholish, apologetis tersebut bisa dilihat menurut dua segi: Pertama, kemunculannya merupakan apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tadi direspon dalam apresiasi yg bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan berujung dalam usaha Islam politik yg mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana masih ada negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme menjadi kelanjutan fikihisme yg begitu lebih banyak didominasi di kalangan umat Islam, yg dibentuk buat memenuhi kebutuhan sistem hukum yang mengatur pemerintahan dan negara pada masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih bertenaga mengiringi ihwal politik Islam terbaru, yg mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai dari negara sebagai elemen kekuasaan yang akan mampu mengatur dan menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sehingga sesuai dengan pola kehidupan terkini menurut segala aspeknya sudah tidak lagi menjadi kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Dengan demikian, pada pandangan Nurcholish, hasilnya tidak perlu hanya adalah aturan Islam, melainkan hukum yg meliputi seluruh orang, buat mengatur kehidupan beserta (Nurcholish, 1992 : 255) Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi buat menjelaskan bahwa Islam yg hakiki bukan semata merupakan struktur atau susunan dan formasi hukum, yang tegak berdiri pada atas formalisme negara serta pemerintahan. Namun Islam menjadi pengejawantahan tauhid, yang adalah kekuatan spiritual yg bisa melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis dan menghargai pluralisme rakyat.

Lebih jauh Nurcholish melihat bahwa tindakan yg lebih prinsispil berdasarkan konsepsi mengenai “Negara Islam” tadi merupakan sutau penyimpangan hubungan proporsional antara negara dan agama. Bagi Nurcholish, Negara adalah keliru satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya merupakan rasional serta kolektif. Sedangkan kepercayaan adalah aspek kehidupan lain yg dimensinya merupakan spiritual serta langsung. Antara kepercayaan serta negara memang tidak sanggup dipisahkan, namun antara keduanya itu permanen wajib dibedakan dalam dimensi dan cara pendekatannya. 

2. Pemikiran Politik Islam M. Amien Rais
Politik serta agama seringkali dipahami secara terpisah pada pada kehidupan bermasyarakat. Sehingga seolah nir terdapat keterkaitan fungsional serta organik antara politik dan kepercayaan dan politik serta dakwah. Bahkan terdapat kesan pada masyarakat seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, serta pelbagai konotasi buruk lainnya. Bagi M Amien Rais persepsi politik yang demikian tentu relatif berbahaya. Ditinjau berdasarkan kaca mata agama dan dakwah, pandangan politik seperti ini pula sangat merugikan (Amien, 1995 : 81-85). 

Menurut Amien Rais, seoarang politisi haruslah bersandar dalam moralitas serta etika yg bersumber pada ajaran tauhid. Jika moralitas serta etika tauhid ini dilepaskan menurut politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, serta bermuara pada kesengsaraan orang poly. Sebagaimana diungkapkan Amien: 

“…. Politik merupakan galat satu aktivitas penting, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya sanggup hidup secara teratur jikalau beliau hayati serta tinggal dalam sebuah negara menggunakan segala perangkat kekuasaannya. Sedemkian penting peranan politik pada warga modern, sebagai akibatnya banyak orang berpendapat bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat memilih corak sosial, ekonomi, budaya, hukum, serta aneka macam aspek kehidupan lainnya. (Amien, 1995 : 27) 

Dengan demikian, maka politik wajib mengindahkan nilai-nilai kepercayaan serta fungsional terhadap tujuan dakwah. Politik yg fungsional terhadap tujuan dakwah merupakan politik yg sepenuhnya mengindahkan nilai-nilai Islam. Dalam interaksi ini, Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan politik yang Islami tidak menaruh tempat bagi sekulerisasi. Mengutip Harvey Cox, Amien Rais menggambarkan yang dimaksud menggunakan sekulerisasi serta komponen-komponennya merupakan, disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam menurut nilai-nilai agama, agar rakyat bisa melakukan perubahan serta pembangunan menggunakan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral atas otoritas dan kekuasaan, dan hal ini merupakan kondisi buat mempermudah kelangsungan perubahan sosial serta politik pada proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama, agar manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan nilai-nilai kepercayaan yang bersifat absolut.ibid : 28-29) 

Politik selalu berkaitan dengan kekuasaan (power). Sebagaimana dikatakan V.O. Key, Jr., politik terutama terdiri atas interaksi antara superordinasi dan subordinasi, antara dominasi serta submisi, antara yg memerintah serta yang diperintah. George Catlin memberi takrif politik menjadi kegiatan insan yang berkenaan dengan tindakan insan pada mengontrol warga (the act of human social control). Sedangkan Harold Lasswell memberikan pengertian politik menyangkut who gets what, when and who. What di sini terutama berupa kekuasaan atau otoritas politik. Sedangkan siapa, kapan, serta bagaimana, adalah perkara-kasus yang menentukan bentuk pengelolaan politik suatu rakyat (Ibid : 30).

Menurut Amien Rais, politik kepartaian, proses rekrutmen pejabat atau pegawai, proses agregasi serta artikulasi kepentingan, proses pemecahan permasalahan kepentiangan antargolongan dalam rakyat, proses pembuatan keputusan politik domestik maupun luar negeri dan lain sebagainya, merupakan contoh-model aktivitas politik yg nir dapat dilepaskan menurut fondasi moral dan etik yang dianut.” (Ibid). Bagi Amein Rais, seorang Marxis, tindakan politik merupakan baik apabila tindakan itu menguntungkan kaum proletar, memperlemah posisi golongan yang mereka katakan borjuis, dan menuju revolusi sosial ke arah masyarakat tanpa kelas. Begitu halnya menggunakan seorang sekularis-pragmatis, sutau tindakan politik itu baik jika bisa memberi laba mudah dan manfaat material, walaupun hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sesaat. Sedangkan bagi seseorang muslim, suatu tindakan politik itu baik bila ia bermanfaat bagi semua rakyat, sesuai dengan ajaran rahmatan lil’alamin (Ibid).

Dengan melihat berbagai fenomena politik di atas, berdasarkan Amien Rais, dalam kaca mata Islam terdapat 2 jenis politik (Amien, 1995 : 74). Yaitu politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral serta etis (high politics) serta politik kualitas rendah atau politik yang terlalu mudah serta tak jarang cenderung nista (low politics). Dalam konteks organisasi, Amien mencontohkan: “Jika sebuah organisasi menunjukkan sikap yg tegas terhadap korupsi, mengajak rakyat luas buat memerangi ketidakadilan, mengimbau pemerintah buat terus menggelindingkan proses demokrasi serta keterbukaan, maka organisasi tersebut pada hakikatnya sedang memainkan high politics. Sebaliknya, jika sebuah organisasi melakukan gerakan manuver politik buat memperebutkan kursi DPR, minta bagian pada lembaga eksekutif, membuat kelompok penekan, mambangun pada lobi, serta berkasak-kusuk buat mempertahankan atau memperluas vested interest, maka organisasi tersebut sedang melakukan low politics.”

Dalam sebuah seminar yg membahas topik pemikiran politik Islam yg diadakan dalam tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yg ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur serta tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu tempat dan loka yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yg dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur serta tujuannya merupakan prinsip-prinsip generik dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai konvensi bahwa demokrasi merupakan jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka putusan bulat buat menolak perkiraan filosofis “demokrasi Barat”.

Kedua konklusi ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak dalam tiadanya perintah dalam al-Qur’an serta Sunnah supaya mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Apabila umpamanya terdapat perintah tegas buat mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an serta Sunnah jua akan menaruh tuntunan naratif tentang struktur institusi-institusi negara yg dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan masyarakat, hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan generik (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yg benar-sahih terinci. Bila demikian halnya, maka negara Islam itu tidak akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok dan sangat sempurna buat masa 14 abad yg silam, namun perlahan-lahan ia akan sebagai lama (out of date), serta nir dapat lagi mempunyai kemampuan menanggulangi kasus-masalah terkini yg ada sejalan dengan dinamika masyarakat manusia, serta pasti nir akan serasi dengan dinamika sejarah yg terus mengalami perubahan serta pertumbuhan sesuai menggunakan sunnatullah.”

Namun, dari Amien, dengan demikian nir berarti lantas kaum muslimin diperkenankan membentuk negara sinkron dengan kemauan manusiawinya sendiri, dan terlepas menurut ajaran-ajaran pokok (fundamentals) kepercayaan Islam. Bagi Amien, membentuk suatu negara yg terlepas berdasarkan fundamentals ajaran Islam berarti menciptakan negara yg sekularistis, yg kehilangan dimensi spiritual serta menjurus pada kehidupan yang serba-material, yang di dalamnya petunjuk wahyu hanya diklaim-sebut secara bersiklus dalam kesempatan-kesempatan eksklusif.

3. Perbandingan Pemikiran Amien Rais dan Nurcholish Madjid
Amien Rais serta Nurcholish Madjid sama-sama berpandangan bahwa tauhid merupakan prinsip dasar pada membentuk sistem moral-etik pada berpolitik. Amien Rais sangat percaya bahwa dengan berprinsip dasar dalam tauhid, formulasi teologis dalam kontek politik modern serta keumatan akan sangat sanggup buat bertanding, atau bahkan disejajarkan menggunakan politik modern sekarang ini. Misalnya pada menegakkan negara demokrasi, pluralisme, keterbukaan, penegakan hak asasi manusia serta lain sebagainya. Dari paham tauhid ini, Amien rais mereformulasi pandangannya tentang tauhid pada afiksasi 5 konsekwensi yg terdiri berdasarkan unity of creation, unity of mankind, unity of guidance, unity of purpose of live, yang kesemuanya itu terlahir dari unity of godhead. Apabila diperas, maka reformulasi tauhid tadi adalah bentuk kosmopolitanisme berdasarkan pandang kehidupan dunia dan akhirat yang tak terpisahkan. 

Begitu halnya menggunakan Nurcholish Madjid. Ia sangat percaya bahwa menggunakan dasar-dasar moral-etik yg sudah dibangun Rasulullah saw. Pada Madinah yg berdasarkan ukuran zamannya sangat terkini umat Islam sebenarnya lebih siap dalam menghadapi modernitas, yaitu keterbukaan, demokrasi, hak asasi manusia serta lain sebagainya. Tauhid pada pemikiran Nurcholish Madjid di samping mengandung makna yang dapat diderivasi ke dalam rakyat terkini, jua menuntut pandangan yg wajar serta berdasarkan apa adanya kepada global dan masalahnya, yang pada pada dasarnya ia formulasikan dalam bentuk sekularisasi. Bahkan akibat menurut pandangan tauhid ini, Nurcholish Madjid sependapat menggunakan M. Iqbal bahwa Islam adalah “Bolshevisme plus Allah.”

Kedua, Nurcholish Madjid dan Amien Rais sering memakai terminologi-terminologi normatif al-Qur’an yang dikontekstualisasikan pada bahasa politik modern, buat dijadikan menjadi landasan moral-etik politik Islam. Misalnya, istilah musya warah merupakan tipikal awal terhadap gagasan demokrasi. Keduanya nir menolak terhadap gagasan demokrasi karena dengan perkiraan dasar bahwa Islam sangat sesuai dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi tadi sebagaimana perintah musya warah pada bahasa al-Qur’an. Dalam konteks ini, kedua pemikir tadi tidak sinkron dengan pemikir politik Islam pada masa ini semacam Husein Haikal dan Ali Abd Razik. Bagi Husein Haikal, dia tidak mau menggunakan terminologi al-Qur’an dalam rangka merumuskan suatu sistem politik juga pemerintahan. Dalam pandangannya, terminologi syura misalnya, yg masih ada pada al-Qur’an menurutnya bukan diturunkan buat atau dalam kaitan sistem pemerintahan eksklusif, semisal juga demokrasi. Walaupun sebenarnya secara wangsit Husein Haikal jua tidak menolak kata demokrasi tersebut. Begitu halnya dengan terminologi amar ma’ruf nahi munkar, yang dalam pandangan dunia politik akan selalu mempunyai maknanya yang ganda. Yaitu pada satu sisi bahasa politik Islam akan menuntut adanya afirmasi pada kebaikan yang bersumber dari legalias teologis-normatif dari ajaran suatu agama. Dan pada sisi yang lain akan menuntut buat mempunyai keberanian pada menegasikan segala bentuk kemunkaran perilaku politik yg tidak sesuai menggunakan moral-etis masyarakat beragama, yang berarti mendapatkan legalitas sosiologis. 

Ketiga, dalam strategi pembaruan pemikiran Islam Amien Rais serta Nurcholish Madjid memulainya berdasarkan titik pandang yg tidak sinkron. Dan lantaran titik pandang ini pula yang membuat track record pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid pada konteks pembaruan pemikiran Islam pada Indonesia mengalami perbedaan. Menurut Nurcholish Madjid, buat melakukan pembaruan pemikiran Islam khususnya berkait erat dengan dilema sistem politik, maka menuntut keharusan sekularisasi, serta bukan sekularisme. Sekularisasi bagi Nurcholish merupakan desakralisasi serta rasionalisasi paham keagamaan. Karena menggunakan sekularisasi, diperlukan umat Islam dapat membedakan antara urusan dunia yg temporal dan urusan akhirat yang transendental. Dengan demikian, sekularisasi merupakan derivasi langsung menurut etos tauhid, yg mendesakralisasikan kehidupan pandangan hidup selain kepada Allah. Dalam analogi Ahmad Wahib, Nurcholish mengartikan bahwa sekularisasi itu merupakan respon agama terhadap modernitas atau perkembangan kebudayaan. Seperti halnya Muhammadiyah dalam masa awal pergerakannya mendirikan sekolah terkini, mendirikan tempat tinggal sakit, memakai dasi serta celana serta lain-lain. Sekularisasi ini nir sama menggunakan sekularisme sebagaimana yg dimaksud sebagian kebanyakan orang di Indonesia.

Muhammad Amien Rais dan Nurcholish Madjid sama-sama putusan bulat menggunakan istilan nir ada Negara Islam, pada literatur al-Qur’an juga Sunnah. Dalam pandangan Amien Rais, Islamic State atau negara Islam adalah istilah yg tidak terdapat pada al-Qur’an maupun Sunnah. Oleh karena itu, menurutnya tidak terdapat perintah dalam Islam buat mendirikan negara Islam. Yang lebih penting adalah selama suatu negara menajalankan pandangan hidup Islam, lalu menegakkan keadilan sosial serta membangun suatu warga yang egalitarian, yg jauh daripada eksploitasi manusia atas manusia juga eksploitasi golongan atas golongan, berarti berdasarkan Islam telah dilihat negara yang baik. Bagi Amien Rais, apalah merupakan suatu negara mengguakan Islam sebagai dasar negara, kalau ternyata hanya formalitas kosong. Amien mencontohkan negara Arab Saudi yang tidak memiliki konstitusi, serta baginya merupakan aneh pada zaman terkini.

Adapun Nurcholish Madjid melihat bahwa kecenderungan umat Islam buat mendirikan Negara Islam tadi adalah tindakan dan wacana yang apologetis dan utopis. Menurut Nurcholish Madjid, hal ini bisa dicermati dari dua sudut pandang, yaitu pertama, kemunculannya merupakan apologi terhadap ideologi-ideologi Barat seperti demokrasi, sosialisme, komunisme serta lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tadi direspon pada apresiasi yg bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan berujung pada perjuangan Islam politik yg mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yang begitu lebih banyak didominasi pada kalangan umat Islam, yg dibentuk buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara dalam masa lalu. Pemahaman yamg demikian masih kuat mengiringi ihwal politik Islam terkini, yg mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai dari negara menjadi elemen kekuasaan yang akan mampu mengatur serta menegakkannya. Padahal, dari Nurcholish, Fikih itu telah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sinkron dengan pola kehidupan terkini menurut segala aspeknya sudah tidak lagi menjadi kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan jua orang-orang lain. Dengan demikian, pada pandangan Nurcholish, hasilnya tidak perlu hanya merupakan aturan Islam, melainkan hukum yg mencakup semua orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1995 : 255). Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi buat mengungkapkan bahwa Islam yg hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan dan perpaduan hukum, yg tegak berdiri di atas formalisme negara dan pemerintahan. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid, yang merupakan kekuatan spiritual yang bisa melahirkan jiwa yg hanif, inklusif, demokratis dan menghargai pluralisme warga . Lebih jauh Nurcholish beranggapan bahwa upaya penegakan negara Islam merupakan tindakan distorsi terhadap ajaran Islam sendiri. Sebab, menurutnya Islam tidak mengajarkan negara dari kepercayaan sebagaimana yang terdapat pada Kristen. Tetapi Islam hanya mengajarkan moral-etis buat rakyat dalam bernegara dan politik. Pandapat ini senada menggunakan apa yang dikatakan sang Muhammad ‘Abduh, yaitu Islam tidak mengenal negara yang berlandaskan kepercayaan .

KRITIK ATAS FAHAM DAN GERAKAN PEMBAHARUAN NURCHOLISH MADJID

Kritik Atas Faham Dan Gerakan Pembaharuan Nurcholish Madjid 
Islam dan politik, demikian 2 kata ini nir habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah. (Esposito, 1990 : xxi) Banyak menurut para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), terbaru dan neo terbaru, (Azar, 1996 : 75-142) yg mencoba menaruh sebuah penjelasan hubungan antara islam serta politik, menggunakan majemuk cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.

Pada zaman terkini, usaha Islam terkonsentrasi dalam dua kategori. Pertama, perjuangan pembaharuan pemikiran Islam yang bersifat ke pada (Struggle from with in), yg bertujuan buat menaikkan semangat keberagamaan dengan memperluas cakrawala pemikiran melalui pembaharuan pendidikan, menggunakan tema sentralnya adalah kembali pada kemurnian ajaran Islam Al-Qur’an serta As-Sunnah.. Kedua, usaha politik Islam, sebagai bagian berdasarkan pembebasan ketertindasan warga muslim berdasarkan kediktatoran penguasa Islam yang despotik serta yang terutama merupakan pembebasan dari imperialisme Eropa. 

Setelah kegagalan politik Islam buat menciptakan kekuatan pan-Islamismenya, usaha pembebasan kaum muslimin dari kediktatoran penguasa yang despotik dan imperialisme Barat menjadi sangat lokal, yang didasarkan atas nasionalisme kebangsaannya. Pada fase-fase inilah selanjutnya terjadi perubahan besar paras politik Islam, dari pan-Islamismenya dan kekhalifahan ke bentuk negara yang didasari atas nasionalisme kebangsaan. (Voll, 1999) Walaupun, pada fase selanjutnya, bukti diri ke-Islam-an pada struktur negara-bangsa (nation-state) yg berdasarkan atas nasionalisme tadi, masih terus sebagai perdebatan para pemuka agama (Ulama’) pada kontek lokal masing-masing, dalam rangka pencarian bentuk dan isi, sebagai dampak dari pengaruh besar arus demokratisasi pada belahan dunia ketiga.

Perdebatan mengenai bentuk negara dan mekanisme pemerintahan dalam negara yang berdasarkan sunnah Rosul dan doktrin buku kudus al-Qur’an ini, sangat membutuhkan ketika serta penyesuaian-penyesuaian dengan syarat negara yg berdasarkan atas landasan tetitorial geografis, serta kultur masing-masing. Sehingga aktualisasi diri atau perwujudan paras berdasarkan politik Islam waktu ini, sangat berbeda-beda antar negara muslim yang satu menggunakan negara muslim yang lainnya.

Wacana pembaruan yg dikumandangkan sang gerbong generasi pasca usaha ideologi (Kuntowijoyo, 1991 : 131-134) ini, sangat mengemuka dan menjadi bagian menurut strategi perjuangan umat Islam Indonesia.(Effendi, 1998 : 125-164). Tema hangat yang relatif mengundang perhatian publik dalam kaitannya menggunakan perbincangan persoalan keharusan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah apa yang dikemukakan sang Nurcholish Madjid serta teman-temannya tentang keharusan melakukan sekularisasi, menjadi upaya desakralisasi serta rasionalisasi kehidupan beragama. Dalam kontek ini, kepercayaan tidak hanya dipahami sebagai dimensi yg utuh skral (kudus) menggunakan segala pirantinya. Tetapi terdapat bagian-bagian yang berubah, karena sifatnya yang sosiologis. Sehingga sekularisasi, berdasarkan Nurcholish merupakan jalan yg perlu dilakukan umat Islam, agar pada berislam warga bisa membedakan antara kenyataan sosial, yang sifatnya berbah-ubah serta fenomena wahyu yang sifatnya transenden. (Rasjidi, 1977)

Dalam pandangan Amien Rais, istilah Islamic State atau Negara Islam tidak ada dalam al-Quran juga pada Sunnah. Oleh karenanya, berdasarkan Amien Rais, nir ada perintah dalam Islam buat menegakkan Negara Islam. Yang terdapat merupakan khilafah, yaitu suatu misi kaum Mislimin yg harus ditegakkan pada muka bumi ini buat memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt., maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya, lanjut Amien Rais, al-Quran nir menerangkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk dunia saja. Amien mencontohkan Saudi Arabia, menjadi suatu negara yang aneh dalam zaman terbaru ini, dan para pemimpinya menyatakan tidak perlu konstitusi karena mereka telah memiliki sandaran syari’ah Islam. Namun, bagi Amien aplikasi syari’ah Islam sendiri pada sana begitu sempit, serta jauh berdasarkan idealisme Islam itu sendiri. Amien menyebutkan, seperti prinsip-prinsip monarkhi Saudi Arabia itu sendiri sudah bertabrakan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam di bidang kemasyarakatan dan politik. (Amien, 1982)

Dalam kontek ini, ke 2 pemikir tersebut bisa dikatakan paralel dalam gagasannya. Walaupun pada derivasi instrumentalnya lalu bhineka. Namun pada luar sumbangan gagasan-gagasan sebagaimana yg telah tersebut pada atas, ihwal-perihal politik Islam menjadi upaya reaktualisasi serta reformulasi teologis politik Islam di Indonesia, yang bermula dari gagasan kedua tokoh tersebut sangatlah menarik buat diteliti. Lantaran konsistensinya dalam melakukan reformulasi teologis mengenai politik Islam. Misalnya, kontribusi Amien tentang High Politics dan Low Politics, menjadi baku dasar kategorisasi konduite politisi, Tauhid dengan beragam turunannya yang dijadikan sebagai dasar-dasar etik-moral dalam politik Islam ke 2 tokoh tadi, serta lain-lain.

Pasca reformasi, tema-tema politik Islam kembali bermunculan, mengindikasikan seoalah perbincangan dalam masa Orde Baru belum terselesaikan. Dan akhirnya kini diiringi menggunakan kenyataan euphoria reformasi, tema dan aksi mengenai politik Islam tadi muncul kembali. Di sini amatlah krusial kiranya buat meneliti mengenai pemikiran kedua tokoh tersebut, terutama yg menyangkut dasar-dasar etik-moral poliik Islam serta “Negara Islam” dengan asa bisa menaruh donasi pemikiran pasca reformasi, pada mana tema-tema tadi mulai timbul kembali. 

1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu dipertegas pulang rumusan utama perkara yang akan diteliti. Adapun penekanan perkara dalam penulisan penelitian ini adalah : Pertama, Pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid serta M. Amien Rais mengenai etika politik dan Negara Islam di Indonesia serta perbedaan dan titik temunya. Kedua, Relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di Indonesia saat ini.

2. Tinjauan Pustaka
Dalam kontek hubungan Islam serta negara, kitab yg adalah disertasi Bahtiar Effendi, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, adalah buku yang mengupas panjang lebar duduk perkara interaksi Islam serta negara dipandang menurut 3 masa, yaitu masa periode kemerdekaan yang menuntut ke arah kesatuan Islam dan negara, periode pasca-revolusi sebagai upaya perjuangan Islam menjadi dasar ideologi negara, dan periode Orde Baru menjadi periode penjinakan idealisme dan aktivisnme politik Islam. Dalam kitab ini penjelajahan penelitiannya lebih poly menunjuk terhadap pola taktik usaha politik Islam serta arus baru formulasi teologis politik Islam. Sehingga generalisasi interaksi Islam serta negara dalam kajian kitab ini lebih nampak berdasarkan dalam kajian pemikiran tokohnya sendiri.

Selain yang tadi pada atas, terdapat kajian lain yg lebih spesifik lagi tentang interaksi Islam serta negara, yaitu kitab yg dikarang sang Abdul Aziz Thaba dengan judul Islam serta Negara Dalam Politik Orde Baru. Buku ini lebih khusus menjelskan pergulatan politik Islam dengan negara pada masa Orde Baru. Terdapat 3 asumsi dasar hubungan antara Islam serta negara pada masa Orde Baru. Pertama, merupakan hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), kedua, interaksi yang bersufat resiprokal-kritis (1982-1985), dan ketiga adalah hubungan yg bersifat akomodatif (1986-1990-an). Kajian ini nir tidak sama jauh menggunakan apa yang ditulis sang Bahtiar Effendi, hanya saja spesifikasi pergolakan politik lebih kental lantaran rentetan waktunya yg lebih spesifik. Tetapi, apa yg didapatkan jua nir mampu lepas dari generalisasi politik Islam berdasarkan dalam kajian pemikiran tokohnya.

Greg Barton pada bukunya Gagasan Islam Liberal Di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, serta Abdurrahman Wahid, mengungkapkan lebih khusus lagi terhadap kajian pemikiran tokoh yg mengkategorikan menjadi grup Neo-Modernisme. Dalam buku ini dijelaskan panjang lebar menggunakan disertai analisis yg relatif mendalam tentang pemikiran Neo-Modernisme Islam pada Indonesia yg terdiri berdasarkan keempat tokoh tadi. Pada prinsipnya gagasan pembaruan pemikiran Islam liberalnya lebih kental dari dalam kajian mengenai politik Islamnya. Walaupun ada, tetapi sedikit sekali yg dikaji secara mendalam menurut bagian-bagian politik Islam. 

Modernisme dan Fundamentalisme pada Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami (Pakistan), merupakan buku dari output desrtasi Yusril Ihza Mahendra. Dalam kitab ini, gagasan tentang politik Islam sangat spesifik. Yaitu memperbandingkan antara partai Masyumi di Indonesia yang dikategorikan modernis dan partai Jama’at-i-Islami di Pakistan yang mengkategorikan fundamentalis. Kajian pada kitab ini sangat detail dan mendalam. Tetapi, sebagaimana judul bukunya ranah kajiannya lebih spesifik terhadap perkara politik kepartaian dan segala hal yang menyangkut perangklat fragmental dan ideologis pergeraknnya.

Dalam kitab Membaca Pikiran Gus Dur serta Amien Rais Tentang Demokrasi, yang dikarang sang Umaruddin Masdar relatif kentara pada menkaji pemikiran tokohnya, terkhusus pemikiran M. Amien Rais serta Abdurrahman Wahid. Dalam kajian ini, arah demokrasi menjadi bagian dari sistem politik terkini sangat menerima titik aksentuasi. Penerimaan demokrasi sebagai bagian dari sistem politik terkini, yang disepakti sang kedua tokoh tadi, pula nir mampu terlepas dari rentetan panjang sejarah politk Islam Sunni. Di sini, titik kajiannya sangat jelas, yaitu menelusuri alur pemikiran poltik Islam kedua tokoh tadi pada kontek paradigma politik Sunni. 

Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur serta Amien Rais, adalah kitab yg sunting oleh Arief Affandi buat menaruh legitimasi peta perjuangan politik antara model Amien Rais dan Gus Dur. Dalam kitab ini lebih nampak sebagi bunga rampai serta subatansinya lebih datar sebagai bagian menurut polemik strategi perjuangn demokrasi di Indonesia, yaitu antara kultural dan struktural.

Dalam pemikiran politik Ibn Taimiyah, amanah dan keadilan yang berdasarkan dalam agama sangat mendapat penekanan perhatian. Setidaknya orientasi pemikiran politiknya yang menurut pada kepercayaan dan etik pada perspektif Kitab Suci dan Sunnah ini bisa ditinjau dari 3 alasan. Pertama, berdasarkan judul bukunya dibidang politik, Al-Siyasat al-Syar‘iyyat fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra’iyyat (politik yang berdasarkan syari’at bagi perbaikan pemimpin atau penggembala dan yang dipimpin atau gembala). Kedua, dalam muqaddimah buku tadi dia tegaskan bahwa risalahnya itu menyampaikan politik ketuhanan serta politik kenabian yang diharapkan sang pemimpin dan rakyat. Ketiga, dalam pendahukuan bukunya tadi Ibn Taimiyan mendasarkan teori politiknya berdasarkan ayat al-Quran surat ai-Nisa’ ayat 58 yang ditujukan kepada para penguasa serta ayat 59 ditujukan pada masyarakat. (Taimiyah, 1966 : tiga-4)

Di luar ranah pemikiran politik Islam abad klasik serta pertengahan tersbut, merupakan Muhammad Husein Haikal yg jua beropini sebagaimana pada bukunya Hukumat al-Islamiyyat (pemerintahan Islam) mengenai pentingnya landasan moral etik Islam menjadi bagian dari sistem politik. Menurutnya, Islam tidak tetapkan sistem tertentu bagi pemerintahan, akan namun dia meletakkan kaidah-kaidah bagi tingkah laku serta muamalah dalam kehidupan antar manusia. Kaidah-kaidah itu sebagai dasar buat tetapkan sistem pemerintahan yang berkembang sepanjang sejarah (Haikal, 1983 : 44). 

Di luar Muhammad Husein Haikal, merupakan Muhammad ‘Abduh yang beropini bahwa Islam tidak memutuskan bentuk pemerintahan, dan memiliki kesamaan dengn pendapat Ibn Timiyah. Keduanya berpendapat bahwa sistem pemerintahan bisa diadaptasi dengan kehendak umat melalui ijtihad dan nir berdasar kan kepada sistem syari’at yang kaku. Baginya, pemerintahan serta warga mempunyai hak serta kewajiban yang sama dalam memelihara dasar-dasar kepercayaan , serta menafsirkannya selama dia berkaitan menggunakan perkara keduniaan. 

Dari beberapa asumsi yang tersebut di atas, maka di antara pemikiran politik Islam klasik dan pada masa ini masih ada kerangka pikir (mode of thought) yang menempatkan Islam menjadi sumber etik-moral dalam menetapkan landasan kepolitikan dalam suatu negara, yg nir terikat secara kaku dengan model pngetatan terhadap syari’at menggunakan mendirikan kekhilafahan dunia atau negara Islam.

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini merupakan pertama, mengungkap pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais tentang etika politik dan Negara Islam di Indonesia serta apa perbedaan dan titik temunya. Kedua, mencari relevansi pemikiran politik Islam Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais di Indonesia saat ini.

Adapun manfaat menurut penelitian ini adalah :
  1. Menambah perihal pemikiran politik Islam di Indonesia, khususnya berkai-erat dengan tema khusus penelitian ini.
  2. Memberikan donasi pemikiran mengenai etika politik serta Negara Islam menjadi bahan perbandingan dengan karya-karya penelitian yg lain.
  3. Memberikan kontribusi pemikiran politik Islam dalam matakuliah fiqh siyasah yg diajarkan di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto
METODE PENELITIAN
1. Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini dipakai jenis penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang obyeknya berupa pemikiran para ahli yg tertulis dalam buku-buku serta goresan pena-tulisan lain yang berkaitan dengan kajian ini. Dalam hal ini, data yang dibutuhkan diambil dari karya Nurcholish Madjid serta M. Amien Rais yang sekaligus sebagai data utama dan didukung sang karya-karya lain yg herbi obyek kajian ini yang sekaligus sebagai data sekunder.

2. Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul akan diolah dengan :
  1. Pengamatan terhadap aspek kelengkapan, validitas dan relevansinya menggunakan tema bahasan; 
  2. Mengklasifikasikan dan mensistematisasikan data-data, kemudian diformulasikan sesuai menggunakan utama konflik yang terdapat;
  3. Melakukan analisa lanjutan terhadap data-data yang sudah diklasifikasikan serta disistematisasaikan menggunakan memakai dalil-dalil, kaidah-kaidah, teori-teori dan konsep pendekatan yg sesuai, sebagai akibatnya memperoleh kesimpulan yang benar.
2. Analisis Data
Data yg telah dikelola, akan dianalisis menggunakan menggunakan alur pemikiran :
  1. Interpretasi, yaitu penyelaman dan penangkapan terhadap arti dan perbedaan makna atau tentang ekspresi manusia yang dipelajari, sehingga tercapai pemahaman yang benar.
  2. Kesinambungan historis, yaitu pemahaman bahwa perkembangan langsung adalah ekuilibrium kegiatan dan insiden pada kehidupan setiap orang sebagai mata rantai yg nir terputus;
  3. Komparasi, yaitu membandingkan antara pandangan tokoh yg sebagai obyek penelitian dengan tokoh lain yg memiliki kualitas sebanding pada bidang keilmuan

HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pemikiran Politik Islam Nurcholish Madjid
Menurut Nurcholish Madjid, buat semua tujuan sosial politik, manusia memang harus pulang kepada naturnya, yaitu fitrah insan yang kudus (hanif). Dan dari sini jua Nurcholish Madjid menciptakan dasar teologis tentang Islam menjadi agama kemanusiaan yg nantinya akan mendasari gagasan-gagasan politik Islam, berdasarkan teoritisasi al-Quran, yang sekaligus sebagai inti pemikiran keagamaan Nurcholish yang mendasari segi-segi pemikiran politiknya. Oleh karena itu, penting pada sini buat mengutip lengkap nuktah-nuktah pandangan dasar kemanuisaan Islam, misalnya yg telah dirumuskan oleh Nurcholish Madjid, dan selalu sebagai dasar ceramah-ceramah juga tulilsan-tulisannya,baik mengenai kepercayaan Islam juga politik sebagaimana berikut:
  1. Manusia diikat dalam suatu perjanjian primordial menggunakan Tuhan, yaitu bahwa insan, semenjak berdasarkan kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji buat mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya; 
  2. Hasilnya adalah kelahiran manusia pada kesucian berasal (fitrah), serta diasumsikan ia akan tumbuh dalam kesucian itu apabila andai kata nir ada imbas lingkungan; 
  3. Kesucian asal itu bersemayam dalam hati nurani (nurani, merupakan bersifat cahaya terang), yg mendorongnya untuk senantiasa mencari, berpihak dan berbuat yang baik serta sahih; 
  4. Tetapi karena manusia itu diciptakan menjadi makhluk yg lemah (diantaranya, berpandangan pendek, cenderung tertarik kepada hal-hal yang bersifat segera), maka setiap pribadinya memiliki potensi buat salah , karena “terpesona” oleh hal-hal menarik pada jangka pendek; 
  5. Maka , buat hidupnya, manusia dibekali dengan nalar pikiran, kemudian agama, serta terbebani kewajiban terus menerus mencari dan memilih jalan hayati yag lurus, benar dan baik; 
  6. jadi manusia adalah makhluk etis serta moral, pada arti bahwa perbuatan baik buruknya wajib bisa dipertanggungjawabkan, baik di dunia ini sesama insan, maupun di akhirat pada hadapan Tuhan Yang Maha Esa; 
  7. Berbeda dengan pertanggungjawaban di dunia yg nisbi sebagai akibatnya terdapat kemungkinan insan menghindarinya, pertanggungjawaban di akhirat adalah absolut, serta sama sekali tidak mungkin dihindari. Selain itu, pertanggungjawaban mutlak kepada Tuhan pada akhirat itu bersifat sangat langsung, sehingga tidak terdapat pembelaan, interaksi solidaritas serta perkawanan, sekalipun sesama antara sahabat, karib kerabat, anak serta ibu-bapak; 
  8. Semuanya itu mengasumsikan bahwa setiap pribadi manusia, dalam hidupnya di global ini, mempunyai hak dasar buat memilih dan memilih sedniri perilaku moral serta etisnya (tanpa hak memilih itu tidak mungkin dituntut pertanggungjawaban moral dan etis, serta insan akan sama derajat dengan makhluk yg lain, jadi tidak akan mengalami kebahagiaan sejati); 
  9. Karena hakekat dasar yang mulia itu, manusia dinyatakan sebagai zenit segala makhluk Allah, yg diciptakan olehnya dalam sebaik-baik kreasi, yg dari asalnya berharkat dan prestise dengan tinggi-tingginya; 
  10. Karena Allah pun memuliakan anak cucu Adam ini, serta melindungi dan menanggungnya di daratan juga dilautan; 
  11. setiap pribadi insan adalah berharga, seharga kemanusiaan sejagad. Maka barangsiapa merugikan seorang pribadi, misalnya membunuhnya, tanpa alasan yg absah maka dia bagaikan merugikan seluruh umat manusia, serta barangsiapa berbuat baik pada seorang, misalnya menolong hidupnya, maka beliau bagaikan berbuat baik pada seluruh umat insan.; 
  12. Oleh karena itu setiap eksklusif insan harus berbuat baik pada sesamanya, menggunakan memenuhi kewajiban diri eksklusif terhadap pribadi yang lain, dan dengan menghormati hak-hak orang lain, pada suatu jalinan interaksi kemasyarakatan yang tenang dan terbuka”.(Nurcholish, 1995 : 193-194) 
Menurut Nurcholish Madjid, “hak setiap orang buat menentukan serta menyatakan pendapat serta pikiran dan kewajiban setiap orang buat medengar pendapat dan pikiran orang lain itu membentuk inti ajaran tentang musyawarah.” Dalam Islam istilah musyawarah sendiri secara etimologis, dari Nurcholish mengandung arti “saling memberi isyarat”, yakni saling memberi isyarat mengenai apa yang benar serta baik: jadi bersifat reciprocal dan mutual (Ibid : 197). Adapun musyawarah, bagi Nurcholish Madjid tidak akan terwujud menggunakan baik apabila nir disertai dengan kelapangan dada, kerendahan hati serta keterbukaan. Prinsip ini dari Nurcholish Madjid bisa disimpulkan menurut perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. Buat bermusyawarah menggunakan para teman beliau, yaitu sebagai berikut (Q.S. Ali Imran 153) :

Dengan melihat perangkat normatif perintah bermusyawarah tadi, Nurcholish Madjid menaruh tinjauan moral-etis pada pelaksanaan bermusyawarah. Menurutnya, terlaksananya musyawarah yg selanjutnya sebagai dasar kehidupan warga zaman nabi tersebuat lantaran selalu dikaitkan dengan prinsip: 
  1. Adanya Rahmat Allah yg diberikan pada Nabi Muhammad; 
  2. dengan rahmat Allah itu Nabi saw. Senantiasa mengambarkan sikap-sikap lemah lembut, ikhlas dan penuh pengertian pada orang lain;
  3. beliau nir kejam, serta nir pula kasar; 
  4. perintah buat memaafkan kesalahan orang lain; 
  5. perintah buat memohonkan ampun pada Allah bagi orang lain; 
  6. perintah musyawarah, sebagai kelanjutan wajar seluruh hal itu; 
  7. menyandarkan diri (tawakkal) pada Allah bila telah membuat keputusan.(Ibid ; 196) 
Menurut Nurcholish, dilihat dari segi proses sejarah serta perkembangan pemikiran, timbulnya gagasan “Negara Islam” itu merupakan suatu bentuk kecenderungan apologetis. Setidaknya, menurut Nurcholish, apologetis tadi bisa dicermati dari dua segi: Pertama, kemunculannya merupakan apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme serta lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon dalam apresiasi yg bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan serta berujung dalam usaha Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana masih ada negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yg begitu lebih banyak didominasi pada kalangan umat Islam, yg dibentuk buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara dalam masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih kuat mengiringi perihal politik Islam modern, yg mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai berdasarkan negara menjadi elemen kekuasaan yg akan sanggup mengatur serta menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu telah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sinkron dengan pola kehidupan terbaru menurut segala aspeknya telah nir lagi menjadi kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Dengan demikian, dalam pandangan Nurcholish, hasilnya tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang mencakup seluruh orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1992 : 255) Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi untuk menjelaskan bahwa Islam yg hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan serta perpaduan hukum, yg tegak berdiri di atas formalisme negara serta pemerintahan. Tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid, yg adalah kekuatan spiritual yg mampu melahirkan jiwa yang hanif, inklusif, demokratis serta menghargai pluralisme rakyat.

Lebih jauh Nurcholish melihat bahwa tindakan yg lebih prinsispil menurut konsepsi tentang “Negara Islam” tersebut merupakan sutau penyimpangan interaksi proporsional antara negara dan agama. Bagi Nurcholish, Negara merupakan galat satu segi kehidupan duniawi, yang dimensinya merupakan rasional dan kolektif. Sedangkan kepercayaan adalah aspek kehidupan lain yg dimensinya merupakan spiritual dan eksklusif. Antara kepercayaan dan negara memang tidak mampu dipisahkan, namun antara keduanya itu tetap harus dibedakan pada dimensi dan cara pendekatannya. 

2. Pemikiran Politik Islam M. Amien Rais
Politik serta agama acapkali dipahami secara terpisah pada pada kehidupan bermasyarakat. Sehingga seolah nir ada keterkaitan fungsional dan organik antara politik serta agama dan politik serta dakwah. Bahkan ada kesan pada masyarakat seolah-olah politik selalu mengandung kelicikan, hipokrisi, ambisi buta, pengkhianatan, penipuan, dan pelbagai konotasi tidak baik lainnya. Bagi M Amien Rais persepsi politik yang demikian tentu relatif berbahaya. Ditinjau menurut kaca mata agama serta dakwah, pandangan politik seperti ini juga sangat merugikan (Amien, 1995 : 81-85). 

Menurut Amien Rais, seoarang politisi haruslah bersandar dalam moralitas dan etika yang bersumber pada ajaran tauhid. Bila moralitas dan etika tauhid ini dilepaskan menurut politik, maka politik itu akan berjalan tanpa arah, dan bermuara pada kesengsaraan orang poly. Sebagaimana diungkapkan Amien: 

“…. Politik adalah salah satu aktivitas krusial, mengingat bahwa suatu warga hanya mampu hidup secara teratur kalau ia hidup dan tinggal pada sebuah negara menggunakan segala perangkat kekuasaannya. Sedemkian krusial peranan politik dalam rakyat terkini, sehingga poly orang beropini bahwa politik adalah panglima. Artinya, politik sangat memilih corak sosial, ekonomi, budaya, aturan, serta aneka macam aspek kehidupan lainnya. (Amien, 1995 : 27) 

Dengan demikian, maka politik harus mengindahkan nilai-nilai kepercayaan dan fungsional terhadap tujuan dakwah. Politik yg fungsional terhadap tujuan dakwah adalah politik yg sepenuhnya mengindahkan nilai-nilai Islam. Dalam interaksi ini, Amien Rais menegaskan bahwa kehidupan politik yang Islami tidak menaruh tempat bagi sekulerisasi. Mengutip Harvey Cox, Amien Rais menggambarkan yg dimaksud dengan sekulerisasi dan komponen-komponennya adalah, disenchanment of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of nature berarti pembebasan alam menurut nilai-nilai kepercayaan , agar masyarakat bisa melakukan perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna penghapusan legitimasi sakral atas otoritas serta kekuasaan, serta hal ini merupakan syarat buat mempermudah kelangsungan perubahan sosial serta politik pada proses sejarah. Sedangkan dekonsentrasi nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi menggunakan nilai-nilai agama yang bersifat mutlak.ibid : 28-29) 

Politik selalu berkaitan menggunakan kekuasaan (power). Sebagaimana dikatakan V.O. Key, Jr., politik terutama terdiri atas hubungan antara superordinasi dan subordinasi, antara penguasaan serta submisi, antara yg memerintah serta yg diperintah. George Catlin memberi takrif politik menjadi aktivitas manusia yang berkenaan dengan tindakan insan dalam mengontrol warga (the act of human social control). Sedangkan Harold Lasswell menaruh pengertian politik menyangkut who gets what, when and who. What pada sini terutama berupa kekuasaan atau otoritas politik. Sedangkan siapa, kapan, serta bagaimana, merupakan perkara-masalah yg menentukan bentuk pengelolaan politik suatu warga (Ibid : 30).

Menurut Amien Rais, politik kepartaian, proses rekrutmen pejabat atau pegawai, proses agregasi serta artikulasi kepentingan, proses pemecahan pertarungan kepentiangan antargolongan pada masyarakat, proses pembuatan keputusan politik domestik maupun luar negeri serta lain sebagainya, merupakan contoh-contoh aktivitas politik yang nir bisa dilepaskan dari fondasi moral serta etik yg dianut.” (Ibid). Bagi Amein Rais, seorang Marxis, tindakan politik adalah baik jika tindakan itu menguntungkan kaum proletar, memperlemah posisi golongan yang mereka katakan borjuis, serta menuju revolusi sosial ke arah warga tanpa kelas. Begitu halnya menggunakan seorang sekularis-pragmatis, sutau tindakan politik itu baik apabila bisa memberi keuntungan praktis serta manfaat material, walaupun hanya menurut pertimbangan-pertimbangan sesaat. Sedangkan bagi seseorang muslim, suatu tindakan politik itu baik jika beliau bermanfaat bagi semua rakyat, sesuai menggunakan ajaran rahmatan lil’alamin (Ibid).

Dengan melihat banyak sekali kenyataan politik di atas, berdasarkan Amien Rais, dalam kaca mata Islam terdapat dua jenis politik (Amien, 1995 : 74). Yaitu politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral serta etis (high politics) dan politik kualitas rendah atau politik yg terlalu mudah serta tak jarang cenderung nista (low politics). Dalam konteks organisasi, Amien mencontohkan: “Jika sebuah organisasi menerangkan perilaku yang tegas terhadap korupsi, mengajak warga luas buat memerangi ketidakadilan, mengimbau pemerintah buat terus menggelindingkan proses demokrasi serta keterbukaan, maka organisasi tadi dalam hakikatnya sedang memainkan high politics. Sebaliknya, jika sebuah organisasi melakukan gerakan manuver politik buat memperebutkan kursi DPR, minta bagian pada lembaga eksekutif, menciptakan kelompok penekan, mambangun di lobi, dan berkasak-kusuk buat mempertahankan atau memperluas vested interest, maka organisasi tadi sedang melakukan low politics.”

Dalam sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yg diadakan pada tahun 1982 menyimpulkan: (Mumtaz, 1993) Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yg ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur serta tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu loka serta loka yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubah-ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip generik dalam bernegara secara Islami. Kedua, tercapai kesepakatan bahwa demokrasi adalah jiwa sitem pemerintahan Islam meskipun mereka setuju buat menolak perkiraan filosofis “demokrasi Barat”.

Kedua kesimpulan ini senada dengan pendapat Amien Rais, (Amien, 1992 : 44) bahwa “keabadian wahyu Allah justru terletak pada tiadanya perintah pada al-Qur’an serta Sunnah agar mendirikan Negara Islam (Daulah Islamiyyah). Jika umpamanya terdapat perintah tegas buat mendirikan negara Islam, maka al-Qur’an dan Sunnah pula akan memberikan tuntunan terinci tentang struktur institusi-institusi negara yg dimaksudkan. Seperti sistem perwakilan warga , hubungan antar badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sistem pemilihan generik (apakah sistem distrik atau sistem proporsional), dan detil-detil lain yang benar-sahih naratif. Jika demikian halnya, maka negara Islam itu nir akan tahan zaman. Mungkin negara itu cocok serta sangat tepat buat masa 14 abad yg silam, namun perlahan-huma dia akan sebagai usang (out of date), dan tidak dapat lagi memiliki kemampuan menanggulangi masalah-perkara modern yg timbul sejalan menggunakan dinamika rakyat manusia, dan pasti nir akan harmonis dengan dinamika sejarah yg terus mengalami perubahan serta pertumbuhan sesuai menggunakan sunnatullah.”

Namun, berdasarkan Amien, menggunakan demikian tidak berarti lantas kaum muslimin diperkenankan menciptakan negara sesuai menggunakan kemauan manusiawinya sendiri, serta terlepas menurut ajaran-ajaran utama (fundamentals) agama Islam. Bagi Amien, menciptakan suatu negara yg terlepas dari fundamentals ajaran Islam berarti menciptakan negara yang sekularistis, yang kehilangan dimensi spiritual serta menjurus pada kehidupan yang serba-material, yg pada dalamnya petunjuk wahyu hanya disebut-sebut secara bersiklus dalam kesempatan-kesempatan eksklusif.

3. Perbandingan Pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid
Amien Rais dan Nurcholish Madjid sama-sama berpandangan bahwa tauhid adalah prinsip dasar pada menciptakan sistem moral-etik dalam berpolitik. Amien Rais sangat percaya bahwa dengan berprinsip dasar pada tauhid, formulasi teologis pada kontek politik terkini serta keumatan akan sangat sanggup buat bertanding, atau bahkan disejajarkan menggunakan politik modern kini ini. Misalnya dalam menegakkan negara demokrasi, pluralisme, keterbukaan, penegakan hak asasi manusia serta lain sebagainya. Dari paham tauhid ini, Amien rais mereformulasi pandangannya tentang tauhid pada derivasi 5 konsekwensi yang terdiri menurut unity of creation, unity of mankind, unity of guidance, unity of purpose of live, yang kesemuanya itu terlahir dari unity of godhead. Jika diperas, maka reformulasi tauhid tersebut merupakan bentuk kosmopolitanisme dari pandang kehidupan dunia serta akhirat yg tidak terpisahkan. 

Begitu halnya dengan Nurcholish Madjid. Ia sangat percaya bahwa menggunakan dasar-dasar moral-etik yg telah dibangun Rasulullah saw. Pada Madinah yg berdasarkan ukuran zamannya sangat terkini umat Islam sebenarnya lebih siap dalam menghadapi modernitas, yaitu keterbukaan, demokrasi, hak asasi manusia dan lain sebagainya. Tauhid pada pemikiran Nurcholish Madjid pada samping mengandung makna yang dapat diderivasi ke dalam masyarakat modern, jua menuntut pandangan yg wajar dan berdasarkan apa adanya pada dunia dan masalahnya, yang dalam pada dasarnya beliau formulasikan pada bentuk sekularisasi. Bahkan akibat dari pandangan tauhid ini, Nurcholish Madjid sependapat menggunakan M. Iqbal bahwa Islam merupakan “Bolshevisme plus Allah.”

Kedua, Nurcholish Madjid serta Amien Rais sering menggunakan terminologi-terminologi normatif al-Qur’an yg dikontekstualisasikan pada bahasa politik terkini, buat dijadikan menjadi landasan moral-etik politik Islam. Misalnya, istilah musya warah adalah tipikal awal terhadap gagasan demokrasi. Keduanya tidak menolak terhadap gagasan demokrasi lantaran dengan asumsi dasar bahwa Islam sangat sesuai menggunakan prinsip-prinsip dasar demokrasi tersebut sebagaimana perintah musya warah pada bahasa al-Qur’an. Dalam konteks ini, kedua pemikir tersebut tidak selaras menggunakan pemikir politik Islam pada masa ini semacam Husein Haikal serta Ali Abd Razik. Bagi Husein Haikal, dia nir mau memakai terminologi al-Qur’an pada rangka merumuskan suatu sistem politik maupun pemerintahan. Dalam pandangannya, terminologi syura misalnya, yang masih ada dalam al-Qur’an menurutnya bukan diturunkan buat atau dalam kaitan sistem pemerintahan eksklusif, semisal jua demokrasi. Walaupun sebenarnya secara ide Husein Haikal jua tidak menolak istilah demokrasi tadi. Begitu halnya dengan terminologi amar ma’ruf nahi munkar, yang dalam pandangan dunia politik akan selalu memiliki maknanya yang ganda. Yaitu dalam satu sisi bahasa politik Islam akan menuntut adanya afirmasi dalam kebaikan yang bersumber dari legalias teologis-normatif dari ajaran suatu kepercayaan . Dan pada sisi yang lain akan menuntut buat mempunyai keberanian pada menegasikan segala bentuk kemunkaran perilaku politik yang tidak sesuai menggunakan moral-etis warga beragama, yang berarti mendapatkan legalitas sosiologis. 

Ketiga, dalam strategi pembaruan pemikiran Islam Amien Rais serta Nurcholish Madjid memulainya berdasarkan titik pandang yg tidak selaras. Dan lantaran titik pandang ini jua yang menciptakan track record pemikiran Amien Rais serta Nurcholish Madjid dalam konteks pembaruan pemikiran Islam pada Indonesia mengalami perbedaan. Menurut Nurcholish Madjid, buat melakukan pembaruan pemikiran Islam khususnya berkait erat dengan problem sistem politik, maka menuntut keharusan sekularisasi, serta bukan sekularisme. Sekularisasi bagi Nurcholish adalah desakralisasi dan rasionalisasi paham keagamaan. Karena menggunakan sekularisasi, diharapkan umat Islam bisa membedakan antara urusan global yg temporal dan urusan akhirat yang transendental. Dengan demikian, sekularisasi merupakan afiksasi eksklusif dari pandangan hidup tauhid, yang mendesakralisasikan kehidupan etos selain kepada Allah. Dalam analogi Ahmad Wahib, Nurcholish mengartikan bahwa sekularisasi itu adalah respon kepercayaan terhadap modernitas atau perkembangan kebudayaan. Seperti halnya Muhammadiyah dalam masa awal pergerakannya mendirikan sekolah terbaru, mendirikan tempat tinggal sakit, memakai dasi serta celana serta lain-lain. Sekularisasi ini tidak sama menggunakan sekularisme sebagaimana yang dimaksud sebagian kebanyakan orang di Indonesia.

Muhammad Amien Rais serta Nurcholish Madjid sama-sama sepakat dengan istilan tidak terdapat Negara Islam, pada literatur al-Qur’an juga Sunnah. Dalam pandangan Amien Rais, Islamic State atau negara Islam adalah istilah yg tidak terdapat pada al-Qur’an juga Sunnah. Oleh karena itu, menurutnya tidak ada perintah dalam Islam buat mendirikan negara Islam. Yang lebih krusial adalah selama suatu negara menajalankan pandangan hidup Islam, lalu menegakkan keadilan sosial serta menciptakan suatu warga yang egalitarian, yg jauh daripada eksploitasi manusia atas insan juga pendayagunaan golongan atas golongan, berarti berdasarkan Islam sudah dipandang negara yang baik. Bagi Amien Rais, apalah ialah suatu negara mengguakan Islam menjadi dasar negara, jika ternyata hanya formalitas kosong. Amien mencontohkan negara Arab Saudi yg nir mempunyai konstitusi, dan baginya adalah aneh pada zaman terkini.

Adapun Nurcholish Madjid melihat bahwa kecenderungan umat Islam buat mendirikan Negara Islam tersebut adalah tindakan dan tentang yang apologetis serta utopis. Menurut Nurcholish Madjid, hal ini dapat dipandang berdasarkan dua sudut pandang, yaitu pertama, kemunculannya adalah apologi terhadap ideologi-ideologi Barat misalnya demokrasi, sosialisme, komunisme dan lain sebagainya. Invasi kultural berupa ideologi-ideologi tersebut direspon dalam apresiasi yang bersifat ideologi politis, yang melahirkan pandangan dan berujung dalam perjuangan Islam politik yang mencita-citakan terbentuknya “negara Islam”, sebagaimana terdapat negara demokrasi, negara sosialis, negara komunis, serta lain sebagainya.

Kedua, pandangan legalisme sebagai kelanjutan fikihisme yang begitu dominan di kalangan umat Islam, yang dibuat buat memenuhi kebutuhan sistem aturan yang mengatur pemerintahan dan negara pada masa kemudian. Pemahaman yamg demikian masih bertenaga mengiringi ihwal politik Islam terbaru, yang mengasumsikan bahwa buat menegakkan sebuah syari’at maka haruslah dimulai menurut negara sebagai elemen kekuasaan yg akan mampu mengatur serta menegakkannya. Padahal, menurut Nurcholish, Fikih itu sudah kehilangan relevansinya menggunakan pola kehidupan zaman kini . Sedangkan perombakan secara total, sebagai akibatnya sesuai menggunakan pola kehidupan terkini menurut segala aspeknya telah nir lagi sebagai kompetensi serta kepentingan umat Islam saja, melainkan jua orang-orang lain. Dengan demikian, pada pandangan Nurcholish, hasilnya nir perlu hanya adalah aturan Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang, buat mengatur kehidupan bersama (Nurcholish, 1995 : 255). Dalam konteks ini, nampaknya Nurcholish sangat berobsesi buat menyebutkan bahwa Islam yang hakiki bukan semata adalah struktur atau susunan dan kumpulan hukum, yang tegak berdiri di atas formalisme negara serta pemerintahan. Namun Islam menjadi pengejawantahan tauhid, yang adalah kekuatan spiritual yg bisa melahirkan jiwa yg hanif, inklusif, demokratis dan menghargai pluralisme rakyat. Lebih jauh Nurcholish beranggapan bahwa upaya penegakan negara Islam adalah tindakan distorsi terhadap ajaran Islam sendiri. Sebab, menurutnya Islam nir mengajarkan negara menurut kepercayaan sebagaimana yg ada pada Kristen. Namun Islam hanya mengajarkan moral-etis buat masyarakat dalam bernegara dan politik. Pandapat ini senada menggunakan apa yg dikatakan oleh Muhammad ‘Abduh, yaitu Islam tidak mengenal negara yg berlandaskan kepercayaan .