HUBUNGAN PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM DENGAN 8 STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Cara flexi----Kehadiran  Peraturan Pemerintah No. 19  tahun 2005  mengenai Standar Nasional Pendidikan  dapat dilihat menjadi  tonggak krusial buat menuju pendidikan nasional  yang terstandarkan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dikatakan bahwa Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan pada seluruh daerah aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menggunakan lingkup terdiri 8 baku, yaitu:  (1)  standar isi;  (2) standar proses; (tiga) baku kompetensi lulusan; (4) baku pendidik serta energi kependidikan; (5) baku wahana dan prasarana; (6) baku pengelolaan; (7) baku pembiayaan; serta  (8) baku evaluasi pendidikan.


Dilihat dari fungsi serta tujuannya,  Standar Nasional Pendidikan memiliki fungsi sebagai dasar pada perencanaan, aplikasi, dan pengawasan pendidikan pada rangka mewujudkan pendidikan nasional yg bermutu, dan bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk tabiat dan peradaban bangsa yg bermartabat.

Dalam Peraturan Pemerintah  ini terdapat pasal-pasal yg mengamanatkan perlunya dibuat Peraturan Menteri sebagai pembagian terstruktur mengenai lebih lanjut  dari delapan standar pendidikan dimaksud. Hingga akhir tahun 2009 pemerintah melalui Mendiknas (era kepemimpinan Bambang Sudibyo) telah berhasil menerbitkan sejumlah PERMENDIKNAS yg dijadikan sebagai payung aturan bagi penyelenggaraan pendidikan. 

Pendidikan menjadi Sistem

Pendidikan merupakan suatu bisnis buat mencapai tujuan pendidikan. Suatu bisnis pendidikan menyangkut 3 unusur utama, yaitu unsur masukan, unsur proses serta unsur output luaran. Hubungan ketiga unsur itu dapat digambarkan menjadi berikut: 

Proses Pendidikan Sebagai Suatu Sistem

Masukan pendidikan merupakan siswa dengan berbagai ciri-ciri yang terdapat pada diri peserta didik itu (diantaranya bakat, minat, kemampuan, keadaan jasmani,). Dalam proses pendidikan terkait banyak sekali hal, misalnya pendidik, kurikulum, gedung sekolah, kitab , metode mengajar, dan lain-lain, sedangkan hasil pendidikan bisa mencakup output belajar (yang berupa pengetahuan, perilaku, dan keterampilan) sehabis sesudah suatu proses belajar mengajar eksklusif. Dalam rangka yang lebih akbar, output proses pendidikan bisa berupa lulusan menurut forum pendidikan (sekolah) tertentu. Departemen Pendidikan serta Kebudayaan (1979) mengungkapkan juga bahwa, “Pendidikan adalah suatu sistem yg memiliki unsur-unsur tujuan/sasaran pendidikan, peserta didik, pengelola pendidikan, struktur/jenjang.

Pendidikan sebagai suatu sistem dapat jua digambarkan dalam bentuk contoh dasar input-output ini dia. Segala sesuatu yang masuk pada sistem serta berperan pada proses pendidikan dianggap masukan pendidikan. Lingkungan hayati menjadi sumber masukan pendidikan. Faktor-faktor yg berpengaruh pada pendidikan diantaranya: filsafat negara, agama, sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, serta demografi. Ketujuh faktor ini adalah supra sistem pendidikan. Jadi, pendidikan sebagai suatu sistem berada beserta, terikat, dan tertenun pada dalam supra sistemnya yg terdiri dari tujuh sistem tersebut. Berarti membentuk suatu forum pendidikan baru atau memperbaiki forum pendidikan lama , tidak bisa memisahkan diri berdasarkan supra sistem tadi.


Standar Nasional Pendidikan

SNP merupakan kriteria minimal tentang aneka macam aspek yg relevan dalam aplikasi sistem pendidikan nasional dan harus dipenuhi oleh penyelenggara serta/atau satuan pendidikan pada seluruh daerah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar pada perencanaan, pelaksanaan, serta supervisi pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Standar Nasional Pendidikan bertujuan mengklaim mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yg bermartabat. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terpola, terarah, dan berkelanjutan sinkron dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, serta dunia.


1. Standar Kompetensi Kelulusan

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) buat satuan pendidikan dasar dan menengah dipakai menjadi panduan evaluasi pada menentukan kelulusan peserta didik. Standar Kompetensi Lulusan mencakup standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, baku kompetensi lulusan minimal grup mata pelajaran, dan baku kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.


2. Standar Isi

Standar Isi mencakup lingkup materi minimal dan taraf kompetensi minimal buat mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang serta jenis pendidikan eksklusif. Standar isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum yg berlaku disekolah, serta kalender pendidikan atau akademik.


3. Standar Pendidik serta Tenaga Kependidikan

Pendidik harus mempunyai kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani serta rohani, serta memiliki kemampuan buat mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yg dimaksudkan adalah tingkat pendidikan minimal yg wajib dipenuhi oleh seorang pendidik yg dibuktikan menggunakan ijazah serta/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi menjadi agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar serta menengah serta pendidikan anak usia dini mencakup:
  • Kompetensi pedagogik;
  • Kompetensi kepribadian;
  • Kompetensi profesional; dan
  • Kompetensi sosial.


4. Standar Proses

Proses pembelajaran dalam satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik buat berpartisipasi aktif, dan memberikan ruang yg relatif bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, serta perkembangan fisik dan psikologis siswa. Selain itu, dalam proses pembelajaran pendidik menaruh keteladanan. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, aplikasi proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, serta supervisi proses pembelajaran buat terlaksananya proses pembelajaran yg efektif serta efisien.


5. Standar Sarana dan Prasarana

Setiap satuan pendidikan harus mempunyai sarana yang meliputi perabot, alat-alat pendidikan, media pendidikan, kitab serta sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang dibutuhkan buat menunjang proses pembelajaran yg teratur serta berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi huma, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang rapikan bisnis, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya serta jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, loka berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan buat menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.


6. Standar Pembiayaan

Pembiayaan pendidikan terdiri atas:

Biaya investasi satuan pendidikan mencakup biaya penyediaan sarana serta prasarana, pengembangan sumberdaya insan, serta kapital kerja permanen.
Biaya personal sebagaimana dimaksud dalam di atas meliputi porto pendidikan yang harus dimuntahkan oleh peserta didik buat sanggup mengikuti proses pembelajaran secara teratur serta berkelanjutan.
Biaya operasi satuan pendidikan mencakup: Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yg melekat dalam gaji, Bahan atau peralatan pendidikan habis gunakan, dan Biaya operasi pendidikan tak pribadi berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan wahana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, iuran pertanggungan, serta lain sebagainya.


7. Standar Pengelolaan

Standar Pengelolaan adalah kriteria tentang perencanaan, aplikasi, serta pengawasan kegiatan pendidikan dalam tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional supaya tercapai efisiensi serta efektivitas penyelenggaraan pendidikan. 

Standar Pengelolaan terdiri atas:
  • Standar pengelolaan sang satuan pendidikan.
  • Standar pengelolaan sang Pemda.
  • Standar pengelolaan sang Pemerintah


8. Standar Penilaian Pendidikan

Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar terdiri atas: Penilaian hasil belajar sang pendidik, Penilaian output belajar sang satuan pendidikan, dan Penilaian output belajar sang Pemerintah. Penilaian pendidikan dalam jenjang pendidikan tinggi terdiri atas: Penilaian output belajar oleh pendidik, serta Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi diatur sang masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kaitannya:
Dalam rangka mewujudkan visi serta menjalankan misi pendidikan nasional, diperlukan suatu acuan dasar oleh setiap penyelenggara serta satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria dan kriteria minimal aneka macam aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan yg kaitannya menggunakan baku nasional pendidikan. Dalam kaitan ini, kriteria serta kriteria penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman buat mewujudkan:
  • Pendidikan yg berisi muatan yang seimbang serta holistik
  • Proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis
  • Hasil pendidikan yg bermutu dan terukur
  • Perkembangnya profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan
  • Tersedianya wahana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal
  • Berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan
  • Terlaksananya penilaian, akreditasi serta tunjangan profesi yg berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

      Acuan dasar tadi pada atas merupakan standar nasional pendidikan yg dimaksudkan buat memacu pengelola, penyelenggara, serta satuan pendidikan agar dapat mempertinggi kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yg bermutu. Selain itu, baku nasional pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat buat mendorong terwujudnya transparansi serta akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal mengenai komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang serta jalur pendidikan buat menyebarkan pendidikan secara optimal sinkron dengan ciri serta kekhasan programnya. Standar nasional pendidikan tinggi diatur seminimal mungkin buat menaruh keleluasaan pada masing-masing satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi pada membuatkan mutu layanan pendidikannya sinkron dengan acara studi serta keahlian pada kerangka swatantra perguruan tinggi. Jadi pendidikan sebagai sistem atau sistem pendidikan itu sangat berkaitan erat menggunakan 8 baku nasional pendidikan. Pendidikan nasional bertujuan buat bertujuan buat berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yg beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, dan sebagai rakyat negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pemerintah mengadakan sistem pendidikan nasional menggunakan menetapkan beberapa baku nasional pendidikan yang meliputi baku isi, baku proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik serta tenaga kependidikan, baku wahana serta prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar evaluasi pendidikan.


Sumber:

PEMANFAATAN MULTIMEDIA SEBAGAI ALAT PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF

Pemanfaatan Multimedia Sebagai Alat Pembelajaran Yang Efektif 
Era berikutnya yg akan dilalui oleh bepergian sejarah peradaban manusia di muka bumi ini merupakan era informasi, setelah berlalunya era pertanian dan era industri pada masa-masa sebelumnya. Berbagai karakteristik era baru ini sudah dikemukakan sang para pakar; diantaranya misalnya oleh Rogers [1986], yg memberikan pertanda berupa terwujudnya suatu “masyarakat informasi” yaitu masyarakat yang sebagian akbar anggotanya berfungsi sebagai pekerja informasi. Lebih lanjut Rogers mendefinisikan pekerja liputan menjadi: “ .........individuals whose main activity is producing, processing, or distributing information, and producing information technology. Typical information worker occupations are teachers, scientists, newspaper reporters, computer programmers, consultants, secretaries, and managers. These individuals write, teach, sell advice, give orders, and otherwise deal in information.” Penulis ingin menggaris-bawahi, bahwa menurut Rogers sebagaimana diuraikan di atas, keliru satu jenis profesi penting dalam era fakta adalah profesi pengajar, yg pekerjaan utamanya adalah mengajar. Pada bagian lain menurut bukunya, Rogers mengungkapkan bahwa lembaga sosial kunci dalam rakyat keterangan adalah research university, yang punya peranan sentral pada rakyat sebagaimana pabrik baja dalam masyarakat industri serta sawah-ladang dalam rakyat pertanian. Dengan ini penulis ingin menampakan betapa pentingnya peranan sistem pendidikan (universitas, guru, aktivitas mengajar, seluruh ini adalah bagian-bagian penting sistem pendidikan) dalam era berita mendatang. 

Satuan dasar informasi adalah bit. Data yg dikirim dan diterima melalui saluran-saluran komunikasi pada sistem komunikasi data tersusun menurut bit-bit digital. Dalam era liputan, sistem komunikasi data merupakan wahana penunjang primer buat sistem distribusi liputan, sebagaimana sistem transportasi adalah sarana penunjang utama dalam sistem distribusi produk industri dalam era industri dan era pertanian sebelumnya. 

SISTEM PENDIDIKAN
Titik sentral semua sistem pendidikan, baik pendidikan formal, informal mau pun non-formal, adalah hubungan manusiawi yg terbentuk antara pendidik dan peserta-didik. Hubungan ini secara teknis sanggup saja direduksi sebagai “proses belajar-mengajar”, tapi jelas proses belajar-mengajar saja nir bisa mencerminkan holistik sistem pendidikan. Proses yang terjadi pada sistem pendidikan jua tidak dapat direduksi menjadi sekedar suatu proses transfer pengetahuan atau ketrampilan saja. Lebih-lebih lagi, sistem pendidikan kentara tidak mungkin dicermati secara sederhana sebagai sekedar proses distribusi liputan belaka. Tapi proses belajar mengajar, transfer pengetahuan serta ketrampilan dan proses distribusi warta adalah beberapa elemen kunci pada sistem pendidikan. Tujuan bersama (common goal) semua proses pada sistem pendidikan adalah perkembangan peradaban manusia di muka bumi menurut satu generasi ke generasi selanjutnya. Perkembangan peradaban pun, tidak dapat disempitkan menjadi sekedar “pewarisan nilai-nilai”, melainkan lebih dari itu, merupakan segenap upaya serta budidaya insan supaya bisa mempertahankan fungsi primer keberadaannya pada muka bumi, yaitu membentuk pengabdian yang menyeluruh kepada Sang Maha Pencipta sebagaimana sudah ditetapkanNya. 

Dengan begitu kualitas sistem pendidikan sangat tergantung dalam “empati” yg terbentuk dalam interaksi antara para pendidik menggunakan peserta-didiknya masing-masing. Tanpa terbentuknya “empati” ini, proses apa pun dalam sistem pendidikan sebagaimana yang diantaranya disebutkan di atas, akan kering berdasarkan makna sesungguhnya, tinggal sebagai kerangka-kerangka teknis belaka. Tidak heran bila kualitas produk sistem pendidikan yg terbaik justru diperoleh melalui proses-proses “tradisional” pada sistem pendidikan, seperti metode belajar-mengajar "talk and chalk" pada perguruan-perguruan tinggi terkemuka di global serta hubungan kiyai-santri di pesantren-pesantren tradisional di tanah-air. Universitas Islam Antar-Bangsa (Islamic International University) pada Malaysia yang sangat terbaru, justru menerapkan sistem “usrah” (dengan profesor duduk melingkar bersama menggunakan para asisten dan mahasiswa-nya) dalam kuliah-kuliah pada Fakultas Teknik sekali pun. 

Para ahli pendidikan boleh bersepakat bahwa penggunaan teknologi non-konvensional buat menjalankan proses-proses dalam sistem pendidikan nir akan menaikkan kualitas pendidikan. Namun – tentu saja – bukan berarti introduksi teknologi non-konvensional itu tidak terdapat gunanya sama-sekali. Walau pun tidak mempertinggi kualitas secara signifikan, penggunaan teknologi kependidikan jelas bisa mempertinggi kuantitas sistem pendidikan (yang berarti meluasnya peluang serta kesempatan bagi peserta-didik) tanpa terlalu poly mengurangi kualitasnya.

Tanpa campur-tangan teknologi non-konvensional, peningkatan kuantitatif menurut proses-proses dalam sistem pendidikan - yang berarti terbukanya kesempatan serta peluang bagi lebih poly peserta-didik serta lebih meluasnya materi pendidikan - menggunakan sendirinya mengandung konsekuensi logis menurunnya kualitas (degradasi) sistem pendidikan secara drastis. Harapan dalam pelaksanaan teknologi non-konvensional pada banyak sekali proses pendidikan hanya terletak pada minimisasi terjadinya degradasi ini saja. Dengan perkataan lain, teknologi non-konvensional diberdayakan dan dimanfaatkan buat pengembangan sistem pendidikan, hanya buat menolong supaya kualitas sistem pendidikan nir menurun sedrastis dibandingkan saat dilakukan upaya peningkatan kuantitatif tanpa introduksi teknologi non-konvensional.

SISTEM KOMUNIKASI DATA
Kendala utama berdasarkan ekspansi kuantitatif sistem pendidikan merupakan terbatasnya ruang dan saat. Pendidik yang memenuhi standar serta sesuai menggunakan kebutuhan nir selalu berada pada satu dimensi ruang dan saat menggunakan peserta-didik yang memerlukan kehadirannya. Dengan demikian, kesempatan peserta-didik buat memperoleh pendidikan yg berkualitas tinggi secara langsung melalui proses-proses pendidikan yg konvensional (“talk and chalk”, santri-kiyai, usrah) dari pendidik yg sesuai pun terbatas dan langka sekali. Inovasi teknologi komunikasi data dapat diberdayakan untuk menembus hambatan ruang dan ketika ini. Materi pendidikan yang dipilah-pilah sebagai paket-paket warta bisa dikirim serta ditansfer kesana-kemari melintasi ruang melalui sistem komunikasi data bit demi bit tanpa kesulitan. Dengan sistem pemberkasan (filing-systems) data elektronika, materi-materi pendidikan yang bermutu bisa juga disimpan dan diakses sewaktu-saat dibutuhkan, melintasi dimensi waktu. 

Teknologi Internet yg berintikan sistem komunikasi data paket, telah membuka kemungkinan yang hampir tak terbayangkan sebelumnya mengenai “globalisasi” sistem fakta. Dunia sebagai satu tanpa batas, rentang saat menjadi tak berarti, kemarin serta esok, hari ini, sama saja. Ratusan juta terminal data sudah terhubung satu sama lain – baik secara permanen mau pun temporer - pada semua penjuru global dengan kapasitas total trilyunan bit liputan yang sewaktu-waktu dapat di-transfer dan pada-akses ke sana ke ayo. Pada kurun ketika pada masa depan yg tidak akan terlalu usang lagi, kita akan menyaksikan konvergensi media, semua berbasis komunikasi data. TV, Radio, suratkabar, telepon, telegraf, facsimile, semua akan menyatu menggunakan sistem perbankan, travel-bureau, pasar swalayan, penerbitan, pusat-pusat perbelanjaan, seluruhnya sebagai “on-line” menggunakan sistem komunikasi data. Lantas bagaimana menggunakan sistem pendidikan? Universitas, perpustakaan, kursus-kursus ketrampilan, sekolah, sekarang ini pun sudah bisa “on-line”, berkat sistem komunikasi data. Secara teoritis berarti hambatan ruang serta ketika telah teratasi, kapasitas sistem pendidikan menjadi tak terbatas, kuantitas dapat ditingkatkan semaksimum mungkin. Peningkatan kuantitas yang maksimum ini jelas tidak akan dan-merta diikuti sang peningkatan kualitas, bahkan buat mempertahankannya saja sudah akan sulit sekali.

Haruslah disadari sepenuhnya bahwa pemberdayaan sistem komunikasi data buat pengembangan sistem pendidikan hanya akan mempertinggi kuantitas dan kapasitas sistem pendidikan menggunakan seminimal mungkin mencegah degradasi mutunya, tetapi sekali-sekali nir akan pernah bisa menaikkan kualitas sistem pendidikan itu sendiri. Sebuah universitas “on-line” bisa saja dibangun dengan menerapkan secara intensif sistem komunikasi data yang sophisticated, akan tetapi yang akan dihasilkan hanyalah suatu “virtual university” atau universitas semu pada global maya, sama sekali bukan universitas yg sesungguhnya. Tapi di lain fihak, menanggapi eksistensi universitas semu ini dengan sikap negatif saja pula tidak akan menuntaskan perkara. Bagaimana pun, pemanfaatan sistem komunikasi data buat mengembangkan suatu sistem pendidikan kentara akan menaikkan kapasitas dan memperluas peluang anak-didik buat memperoleh materi yg lebih poly serta mendapatkan akses ke pusat-sentra liputan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya akan terakses lantaran keterbatasan ruang serta waktu, walau pun semua ini tetap tidak akan pernah sebagai alternatif pengganti dari sistem pendidikan konvensional. Analogi-nya, walau pun menggunakan sistem komunikasi data dimungkinkan buat membaca suratkabar secara “on-line” dengan personal komputer melalui Internet, tidaklah serta-merta orang akan berhenti berlangganan suratkabar serta ganti berlangganan ISP (Internet Service Provider) saja, sebab membaca suratkabar “on-line” permanen saja berbeda menggunakan membaca suratkabar yg “real” sembari minum kopi menunggu terhidangnya sarapan pagi di meja makan.

Dengan sistem komunikasi data melalui Internet kita bisa meng-akses perguruan-perguruan tinggi kelas global kemudian menikmati hidangan materi-materi kuliah menurut profesor-profesor terkemuka pada bidangnya. Harus difahami dengan kentara bahwa menikmati hidangan para profesor ini melalui sistem komunikasi data permanen saja tidak sama menggunakan duduk sendiri “in person” di kelas oleh profesor serta memperhatikannya bermain menggunakan “talk and chalk”-nya. Sambil ber-“chit-chat” mengenai materi kuliah yang dibawakannya. “Real education” permanen memerlukan hubungan langsung antara pendidik serta peserta-didik dalam ruang serta saat yang sama. Tapi masalahnya, berapa poly peserta-didik menerima peluang buat suatu kemewahan ber-“chit-chat” eksklusif menggunakan pendidiknya, serta berapa banyakkah materi yg dapat dibahas dalam pertemuan yg begitu singkat? Sistem komunikasi data memungkinkan berkembang lebih luasnya kesempatan serta peluang bagi peserta-didik yang lebih poly untuk sekedar ikut mencicipi banyak sekali “kemewahan” sistem pendidikan, walau pun permanen tidak pernah akan memberi kesempatan pada peserta-didik ini buat merasakan “the real education”-nya. Ibaratnya, bisa saja dibuat daging kepiting tiruan (artificial crab) yang murah-meriah sehingga bisa lebih poly orang yg dapat merasakan enaknya daging kepiting, tapi merasakan daging kepiting yg aslinya tentu hanya menjadi kehormatan bagi sebagian kecil orang saja. 

Pemberdayaan penggunaan sistem komunikasi data buat sistem pendidikan sama sekali tidak bisa dimaksudkan sebagai cara lain pengganti berdasarkan sistem pendidikan yang ada, melainkan hanya bersifat suplementer (tambahan) serta komplementer pelengkap) pada sistem pendidikan yg terdapat, yg sudah dibangun selama berabad-abad dengan akar tradisi dan metode yg sudah standar, sesuai dengan harkat, martabat dan fithrah insan sendiri.

Singkatnya, sistem komunikasi data berpotensi besar buat dikembangkan sebagai sarana penunjang sistem pendidikan, khususnya buat menaikkan kapasitas pelayanan pendidikan, buat memperbesar peluang akses ke aneka macam pusat liputan pendidikan serta memperbesar peluang anak-didik untuk mengatasi kendala keterbatasan ruang serta ketika pada berinteraksi dengan para pendidik, akan tetapi ini seluruh hanyalah mempertinggi kuantitas sistem pendidikan, dan sama sekali nir mempertinggi kualitasnya.

PEMANFAATAN MULTIMEDIA SEBAGAI ALAT PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF

Pemanfaatan Multimedia Sebagai Alat Pembelajaran Yang Efektif 
Era berikutnya yg akan dilewati oleh bepergian sejarah peradaban manusia pada muka bumi ini adalah era informasi, setelah berlalunya era pertanian serta era industri dalam masa-masa sebelumnya. Berbagai ciri era baru ini sudah dikemukakan sang para ahli; diantaranya contohnya sang Rogers [1986], yg menaruh tanda berupa terwujudnya suatu “masyarakat berita” yaitu masyarakat yg sebagian besar anggotanya berfungsi menjadi pekerja warta. Lebih lanjut Rogers mendefinisikan pekerja keterangan menjadi: “ .........individuals whose main activity is producing, processing, or distributing information, and producing information technology. Typical information worker occupations are teachers, scientists, newspaper reporters, computer programmers, consultants, secretaries, and managers. These individuals write, teach, sell advice, give orders, and otherwise deal in information.” Penulis ingin menggaris-bawahi, bahwa dari Rogers sebagaimana diuraikan pada atas, galat satu jenis profesi krusial pada era warta merupakan profesi pengajar, yang pekerjaan utamanya merupakan mengajar. Pada bagian lain berdasarkan bukunya, Rogers mengungkapkan bahwa forum sosial kunci dalam masyarakat kabar merupakan research university, yang punya peranan sentral pada rakyat sebagaimana pabrik baja dalam warga industri serta sawah-ladang dalam masyarakat pertanian. Dengan ini penulis ingin memperlihatkan betapa pentingnya peranan sistem pendidikan (universitas, pengajar, kegiatan mengajar, seluruh ini merupakan bagian-bagian krusial sistem pendidikan) dalam era liputan mendatang. 

Satuan dasar kabar merupakan bit. Data yg dikirim dan diterima melalui saluran-saluran komunikasi pada sistem komunikasi data tersusun menurut bit-bit digital. Dalam era informasi, sistem komunikasi data adalah wahana penunjang utama buat sistem distribusi berita, sebagaimana sistem transportasi adalah wahana penunjang primer pada sistem distribusi produk industri dalam era industri dan era pertanian sebelumnya. 

SISTEM PENDIDIKAN
Titik sentral seluruh sistem pendidikan, baik pendidikan formal, informal mau pun non-formal, adalah hubungan manusiawi yang terbentuk antara pendidik serta peserta-didik. Hubungan ini secara teknis mampu saja direduksi sebagai “proses belajar-mengajar”, tapi jelas proses belajar-mengajar saja nir bisa mencerminkan keseluruhan sistem pendidikan. Proses yg terjadi dalam sistem pendidikan jua tidak dapat direduksi sebagai sekedar suatu proses transfer pengetahuan atau ketrampilan saja. Lebih-lebih lagi, sistem pendidikan kentara tidak mungkin ditinjau secara sederhana sebagai sekedar proses distribusi kabar belaka. Tapi proses belajar mengajar, transfer pengetahuan serta ketrampilan dan proses distribusi informasi merupakan beberapa elemen kunci dalam sistem pendidikan. Tujuan beserta (common goal) seluruh proses dalam sistem pendidikan merupakan perkembangan peradaban insan pada muka bumi dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Perkembangan peradaban pun, nir dapat disempitkan sebagai sekedar “pewarisan nilai-nilai”, melainkan lebih dari itu, adalah segenap upaya dan budidaya insan agar dapat mempertahankan fungsi utama keberadaannya pada muka bumi, yaitu membentuk pengabdian yang menyeluruh kepada Sang Maha Pencipta sebagaimana sudah ditetapkanNya. 

Dengan begitu kualitas sistem pendidikan sangat tergantung dalam “empati” yang terbentuk dalam interaksi antara para pendidik dengan peserta-didiknya masing-masing. Tanpa terbentuknya “ikut merasakan” ini, proses apa pun pada sistem pendidikan sebagaimana yg antara lain disebutkan pada atas, akan kemarau berdasarkan makna sesungguhnya, tinggal menjadi kerangka-kerangka teknis belaka. Tidak heran bila kualitas produk sistem pendidikan yang terbaik justru diperoleh melalui proses-proses “tradisional” pada sistem pendidikan, misalnya metode belajar-mengajar "talk and chalk" pada perguruan-perguruan tinggi terkemuka di global serta hubungan kiyai-santri di pesantren-pesantren tradisional di tanah-air. Universitas Islam Antar-Bangsa (Islamic International University) di Malaysia yang sangat terbaru, justru menerapkan sistem “usrah” (dengan profesor duduk melingkar bersama menggunakan para asisten serta mahasiswa-nya) dalam kuliah-kuliah di Fakultas Teknik sekali pun. 

Para ahli pendidikan boleh bersepakat bahwa penggunaan teknologi non-konvensional buat menjalankan proses-proses pada sistem pendidikan nir akan meningkatkan kualitas pendidikan. Namun – tentu saja – bukan berarti introduksi teknologi non-konvensional itu nir terdapat gunanya sama-sekali. Walau pun nir menaikkan kualitas secara signifikan, penggunaan teknologi kependidikan jelas bisa menaikkan kuantitas sistem pendidikan (yang berarti meluasnya peluang dan kesempatan bagi peserta-didik) tanpa terlalu poly mengurangi kualitasnya.

Tanpa campur-tangan teknologi non-konvensional, peningkatan kuantitatif dari proses-proses dalam sistem pendidikan - yg berarti terbukanya kesempatan dan peluang bagi lebih poly peserta-didik dan lebih meluasnya materi pendidikan - menggunakan sendirinya mengandung konsekuensi logis menurunnya kualitas (degradasi) sistem pendidikan secara drastis. Harapan dalam pelaksanaan teknologi non-konvensional pada berbagai proses pendidikan hanya terletak pada minimisasi terjadinya degradasi ini saja. Dengan perkataan lain, teknologi non-konvensional diberdayakan dan dimanfaatkan buat pengembangan sistem pendidikan, hanya buat menolong agar kualitas sistem pendidikan tidak menurun sedrastis dibandingkan ketika dilakukan upaya peningkatan kuantitatif tanpa introduksi teknologi non-konvensional.

SISTEM KOMUNIKASI DATA
Kendala primer dari perluasan kuantitatif sistem pendidikan merupakan terbatasnya ruang serta saat. Pendidik yg memenuhi baku serta sinkron dengan kebutuhan nir selalu berada pada satu dimensi ruang serta saat menggunakan peserta-didik yang memerlukan kehadirannya. Dengan demikian, kesempatan peserta-didik buat memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi secara langsung melalui proses-proses pendidikan yg konvensional (“talk and chalk”, santri-kiyai, usrah) dari pendidik yang sinkron pun terbatas serta langka sekali. Inovasi teknologi komunikasi data dapat diberdayakan buat menembus kendala ruang serta saat ini. Materi pendidikan yang dipilah-pilah menjadi paket-paket liputan bisa dikirim serta ditansfer kesana-kemari melintasi ruang melalui sistem komunikasi data bit demi bit tanpa kesulitan. Dengan sistem pemberkasan (filing-systems) data elektro, materi-materi pendidikan yang bermutu bisa jua disimpan dan diakses sewaktu-saat dibutuhkan, melintasi dimensi ketika. 

Teknologi Internet yang berintikan sistem komunikasi data paket, sudah membuka kemungkinan yg hampir tak terbayangkan sebelumnya tentang “globalisasi” sistem keterangan. Dunia menjadi satu tanpa batas, rentang waktu menjadi tidak berarti, kemarin dan esok, hari ini, sama saja. Ratusan juta terminal data sudah terhubung satu sama lain – baik secara permanen mau pun temporer - di semua penjuru dunia menggunakan kapasitas total trilyunan bit kabar yg sewaktu-ketika bisa pada-transfer serta di-akses ke sana ke yuk. Pada kurun waktu pada masa depan yang tidak akan terlalu lama lagi, kita akan menyaksikan konvergensi media, seluruh berbasis komunikasi data. TV, Radio, suratkabar, telepon, telegraf, facsimile, seluruh akan menyatu dengan sistem perbankan, travel-bureau, supermarket, penerbitan, pusat-sentra perbelanjaan, seluruhnya menjadi “on-line” dengan sistem komunikasi data. Lantas bagaimana dengan sistem pendidikan? Universitas, perpustakaan, kursus-kursus ketrampilan, sekolah, kini ini pun sudah sanggup “on-line”, berkat sistem komunikasi data. Secara teoritis berarti hambatan ruang serta waktu sudah teratasi, kapasitas sistem pendidikan sebagai tidak terbatas, kuantitas dapat ditingkatkan semaksimum mungkin. Peningkatan kuantitas yang maksimum ini jelas nir akan dan-merta diikuti oleh peningkatan kualitas, bahkan buat mempertahankannya saja telah akan sulit sekali.

Haruslah disadari sepenuhnya bahwa pemberdayaan sistem komunikasi data buat pengembangan sistem pendidikan hanya akan meningkatkan kuantitas dan kapasitas sistem pendidikan dengan seminimal mungkin mencegah degradasi mutunya, tetapi sekali-sekali tidak akan pernah bisa menaikkan kualitas sistem pendidikan itu sendiri. Sebuah universitas “on-line” bisa saja dibangun menggunakan menerapkan secara intensif sistem komunikasi data yang canggih, akan tetapi yang akan dihasilkan hanyalah suatu “impian university” atau universitas semu di dunia maya, sama sekali bukan universitas yg sesungguhnya. Tapi pada lain fihak, menanggapi eksistensi universitas semu ini dengan sikap negatif saja jua nir akan menuntaskan kasus. Bagaimana pun, pemanfaatan sistem komunikasi data buat menyebarkan suatu sistem pendidikan jelas akan menaikkan kapasitas dan memperluas peluang anak-didik buat memperoleh materi yg lebih poly dan mendapatkan akses ke pusat-pusat berita yang nir pernah dibayangkan sebelumnya akan terakses lantaran keterbatasan ruang dan saat, walau pun semua ini permanen nir akan pernah sebagai cara lain pengganti berdasarkan sistem pendidikan konvensional. Analogi-nya, walau pun menggunakan sistem komunikasi data dimungkinkan buat membaca suratkabar secara “on-line” menggunakan komputer melalui Internet, tidaklah serta-merta orang akan berhenti berlangganan suratkabar dan ganti berlangganan ISP (Internet Service Provider) saja, karena membaca suratkabar “on-line” tetap saja berbeda menggunakan membaca suratkabar yang “real” sambil minum kopi menunggu terhidangnya sarapan pagi pada meja makan.

Dengan sistem komunikasi data melalui Internet kita dapat meng-akses perguruan-perguruan tinggi kelas global kemudian menikmati hidangan materi-materi kuliah dari profesor-profesor terkemuka di bidangnya. Harus difahami menggunakan jelas bahwa menikmati hidangan para profesor ini melalui sistem komunikasi data permanen saja berbeda menggunakan duduk sendiri “in person” pada kelas oleh profesor dan memperhatikannya bermain dengan “talk and chalk”-nya. Sambil ber-“chit-chat” mengenai materi kuliah yg dibawakannya. “Real education” permanen memerlukan hubungan eksklusif antara pendidik serta peserta-didik pada ruang dan waktu yg sama. Tapi masalahnya, berapa banyak peserta-didik mendapatkan peluang buat suatu kemewahan ber-“chit-chat” langsung dengan pendidiknya, serta berapa banyakkah materi yg dapat dibahas pada pertemuan yang begitu singkat? Sistem komunikasi data memungkinkan berkembang lebih luasnya kesempatan serta peluang bagi peserta-didik yg lebih poly buat sekedar ikut mencicipi aneka macam “kemewahan” sistem pendidikan, walau pun tetap tidak pernah akan memberi kesempatan dalam peserta-didik ini buat merasakan “the real education”-nya. Ibaratnya, bisa saja dibentuk daging kepiting tiruan (artificial crab) yang murah-meriah sehingga mampu lebih poly orang yang dapat mencicipi enaknya daging kepiting, akan tetapi merasakan daging kepiting yang aslinya tentu hanya sebagai kehormatan bagi sebagian kecil orang saja. 

Pemberdayaan penggunaan sistem komunikasi data buat sistem pendidikan sama sekali nir dapat dimaksudkan menjadi cara lain pengganti berdasarkan sistem pendidikan yg ada, melainkan hanya bersifat suplementer (tambahan) serta komplementer pelengkap) pada sistem pendidikan yang ada, yang sudah dibangun selama berabad-abad menggunakan akar tradisi serta metode yg sudah baku, sesuai dengan harkat, prestise serta fithrah manusia sendiri.

Singkatnya, sistem komunikasi data berpotensi akbar buat dikembangkan menjadi sarana penunjang sistem pendidikan, khususnya buat menaikkan kapasitas pelayanan pendidikan, buat memperbesar peluang akses ke aneka macam sentra berita pendidikan serta memperbesar peluang anak-didik untuk mengatasi hambatan keterbatasan ruang dan saat pada berinteraksi menggunakan para pendidik, akan tetapi ini seluruh hanyalah meningkatkan kuantitas sistem pendidikan, dan sama sekali nir menaikkan kualitasnya.

TELAAH TENTANG DUALISME PENDIDIKAN AGAMA VERSUS PENDIDIKAN UMUM

Telaah Tentang Dualisme Pendidikan Agama Versus Pendidikan Umum
Maurice Bucaille pada bukunya Bibel, Qur’an dan Sains Modern menyatakan: Alquran diwahyukan dengan muceduven serta meyakinkan pada orang yg mempelajarinya secara obyektif dengan mereduksi petunjuk menurut sains terkini, suatu sifat yg spesifik, yakni persesuaian yang paripurna dengan hasil sains modern. Bahkan semenjak zaman Nabi Muhammad saw, sampai dewasa ini, menandakan bahwa Alquran mengandung pernyataan ilmiah yang sangat terbaru serta nir masuk akal apabila dikatakan bahwa orang yang hidup pada waktu –ketika- Alquran diwahyukan itu sebagai pencetus-pencetusnya. Karenanya, ilmu pengetahuan modern memungkinkan kita buat memahami ayat-ayat tertentu pada Alquran, hingga dewasa ini belum bisa ditafsirkan,[1] secara kontekstual dalam menyikapi perkembangan zaman.

Keterpaduan, persesuaian, bahkan ketergantungan ilmu pengetahuan modern kepada ilmu pengetahuan Islam (Alquran) tidak hanya terdiri atas penemuan-penemuan teori-teori revolusioner yang mengejutkan, namun pula berutang pada memperkenalkan metode-metode dan semangat memerolehnya.[2] Pada termin berikutnya, khazanah keilmuan pada Islam mengalami kemunduran yg drastis. Kemunduran itu terjadi lantaran umat Islam terlalu bangga atas produk-produk pendahulunya. Mereka cenderung mempertahankan serta melegitimasi ilmu yang pernah diterimanya, sebagai akibatnya daya ijtihad menyusut dan stagnasi pemikiran menjamur, ta’assub fī al-mażhab berkepanjangan. Tidak hanya itu saja, tekanan ekstrem lebih parah lagi setelah kekalahan umat Islam pada perang salib, yang menghilangkan semangat keilmuan dan terbakarnya perpustakan-perpustakaan Islam. Maka, saat itulah bangsa Barat mengambil alih khazanah keilmuan tadi hingga mampu mendominasi seluruh aspek ilmu pengetahuan.[3]

Sejatinya, diakui sang dunia kesarjanaan terbaru bahwa sekiranya nir pernah terdapat Islam dan kaum Muslimin, tentulah ilmu pengetahuan sahih-sahih telah usang meninggal sang “Cyril serta Justinian”,[4] tanpa terdapat kemungkinan bangkit lagi, dan Eropa tentunya akan permanen berada pada kegelapan (the dark age) yang penuh mitologi serta agama palsu. Zaman modern tidak akan pernah ada, maka syukurlah Islam pernah tampil, lalu berhasil mewariskan ilmu pengetahuan pada umat manusia melalui Eropa.[5] Namun, dampak berdasarkan dominasi peradaban Barat, yg terlanjur memodernisasi kemajuan terbaru, mengakibatkan format pendidikannya pun sebagai kiblat bagi negara-negara berkembang yg notabene adalah lebih banyak didominasi kaum Muslimin (termasuk Indonesia). Realitas pendidikan sepeti ini, tentu akan mengarah dalam westernisasi yg mengacu dalam pendidikan sekuler, yaitu pendidikan yg memisahkan antara pendidikan kepercayaan dengan pendidikan umum. 

Menyikapi empiris pendidikan tadi, sebagian pakar pendidikan kita selama ini cenderung merogoh perilaku seakan-akan segala kasus pendidikan, baik makro maupun mikro yg terdapat pada lingkungan rakyat bisa diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat. Filsafat Barat pada umumnya bersifat sekuler, yg kurang relevan dengan kehidupan rakyat Indonesia atau Timur, yg cenderung dan atau lebih bersifat religius. Konsekuaensi berdasarkan kekeliruan tahu serta menyikapi filsafat pendidikan Barat ini, mengakibatkan adanya dualisme ilmu pada dunia Islam, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya dualisme pendidikan bagi umat Islam, terutama pada Indonesia. Fakta tersebut menarik dikaji menggunakan melihat 3 persoalan, yaitu: pertama, apa yg dimaksud dibagi dua ilmu serta dualisme pendidikan?. Kedua, mungkin krusial diperhatikan bagaimana efek dualisme sistem pendidikan Islam itu? Dan Ketiga, bagaimana upaya umat Islam buat menghilangkan (mereduksi) dualisme sistem pendidikan Islam tersebut?

Defenisi Dikotomi Ilmu serta Faktor Munculnya Dualisme Pendidikan
Dikotomi merupakan pembagian dua gerombolan yang saling bertentangan.[6] Dengan dengan demikian, dibagi dua ilmu yang dimaksud di sini adalah pembagian dua gerombolan ilmu pengetahuan, yang secara lahiriyah kelihatan bertentangan, contohnya ilmu kepercayaan serta ilmu umum. Ilmu kepercayaan disebut asal menurut Islam, ad interim ilmu generik disebut berasal menurut Barat. Dalam pandangan penulis bahwa, suatu kesalahan besar yg sudah dilakukan sebagian pakar pendidikan selama ini yg sudah mendikotomikan ilmu pengetahuan, sehingga lahirnya klaim berdasarkan kalangan mereka ilmu Islam dan ilmu kafir. Padahal, pada syariat Islam nir terdapat ajaran tentang dibagi dua ilmu tadi. Justru ada adagium yg dilontarkan sang ahli pesan tersirat, yakni ; [7] أطلوا العلم ولو بالصين  (tuntutlah ilmu walau pada negeri Cina). Maksudnya, ilmu itu wajib dituntut di manapun saja, walau pada negerinya orang kafir. Berkaitan dengan ini, maka berdasarkan penulis bahwa ilmu apapun namanya, jika dia diletakkan dalam nilai-nilai Islam, maka ilmu tadi disebut Islam. Atau dengan kata lain, ilmu yg bersumber berdasarkan Barat bila dia sesuai menggunakan ajaran Islam, maka ilmu tadi wajib diterima secara bijak. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa tidak selamanya ilmu Barat (ilmu yang dipahami oleh orang-orang Barat selama ini), secara lahiriyah -bahkan- bertentangan menggunakan prinsip-prinsip ilmu Islam.

Oleh lantaran telah terlanjur adanya pendikotomian ilmu yang dilakukan sang sebagian pakar pendidikan, maka dalam gilirannya pula melahirkan istilah lain yang diklaim menggunakan “dualisme pendidikan”, yakni pendidikan agama dan pendidikan generik. Istilah dualisme diartikan menjadi 2 paham atau pemahaman yg berkembang serta dianut pada suatu komunitas. Pemahaman itu mungkin tampak sejalan serta mungkin pertentangan. Jika kemungkinan yg terakhir dianggap (kontradisksi) yang muncul kemudian ditarik benang merah, maka ia semakna dengan dibagi dua secara lahiriyah. Kembali pada kata dualisme, secara semantik terma ini berarti dua macam pengetahuan, atau 2 macam pandangan, yaitu: Pertama, Pengetahuan (ilmu) yang rasional – pemerolehannya (epistemologi-nya) melalui akal. Kedua, Pengetahuan (ilmu) non rasional – pemerolehannya melalui wahyu. Kaitannya dengan pendidikan, ilmu rasional itu diklaim ilmu generik yang kemudian melahirkan sekolah generik. Ilmu non rasional diklaim ilmu kepercayaan yg kemudian melahirkan bidang-bidang studi kepercayaan pemisahana pada antara keduanya.

Berdasarkan uraian di atas bisa dinyatakan bahwa dualisme pendidikan bukan terpisah-pisahnya ilmu pada beberapa disiplin, melainkan fungsi ilmu sendiri yg seharusnya masih ada interaksi fungsional kemudian hubungan itu dipisahkan, sehingga muncullah istilah pendidikan agama dan pendidikan generik. Adapun faktor-faktor penyebab keluarnya dualisme sistem pendidikan, pendidikan kepercayaan dan umum merupakan sebagai berikut:

a. Stagnasi Pemikiran Umat Islam
Stagnasi yg melanda keserjanaan Muslim terjadi sejak abad XVI sampai abad XVII M. Kondisi tersebut secara umum adalah dampak dari kelesuan bidang politik dan budaya warga Islam ketika itu cenderung melihat ke atas, melihat gemerlapannya kejayaan abad pertengahan, sebagai akibatnya lupa fenomena yg tengah terjadi pada lapangan. Maka para sarjana Barat menyatakan, rasa pujian serta keunggulan budaya masa lampau sudah menciptakan para sarjana Muslim tidak menanggapi tantangan-tantangan yang dilemparkan oleh sarjana Barat. Padahal bila tantangan tadi ditangani secara positif dan lebih arif, dunia Muslim bisa mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru itu, kemudian memberi arah baru.[8]

b. Penjajahan Barat atas Dunia Islam
Penjajahan Barat terhadap dunia Muslim telah dicatat para sejarawan berlangsung semenjak abad CVIII sampai abad XIX M. Dalam saat itu global Muslim benar-benar nir berdaya di bawah kekuasaan imprialisme Barat. Dalam kondisi misalnya itu, tentu tidaklah mudah dunia Muslim menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama suntik budaya dan peradaban modern Barat. Karenanya pendidikan budaya Barat mendominasi budaya tradisional setempat yang dibangun sejak usang, bahkan dapat dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat telah mendominasi kurikulum pendidikan pada sekolah-sekolah di global Muslim.

Dengan demikian, integrasi ilmu pengetahuan nir diupayakan apalagi dipertahankan. Ini sebagai impak mengalirnya gaya pemikiran serjana Barat yang memang berusaha memisahkan antara urusan ilmu menggunakan urusan agama. Bagi mereka, kajian keilmuan wajib dipisahkan berdasarkan kajian keagamaan. Sehingga pada dunia Muslim jua berkembang hal yg sama, yakni kajian ilmu serta teknologi harus terpisah dari kajian kepercayaan . Pendekatan keilmuan misalnya ini, tepatnya menjelang akhir abad XIX M mulai menghipnotis cabang ilmu lain terutama ilmu yg menyangkut warga , seperti ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi serta politik.[9]

c. Modernisasi atas Dunia Muslim
Faktor lain yg dianggap sudah mengakibatkan munculnya dibagi dua sistem pendidikan di dunia Muslim merupakan modernisasi. Yang harus disadari, modernisasi itu ada sebagai suatu kumpulan antara dua ideologi Barat, teknekisme dan nasionalisme.[10] Teknikisme timbul sebagai reaksi terhadap dogma, sedangkan nasionalisme ditemukan di Eropa dan diinjeksikan secara paksa pada warga Muslim. Perpaduan ke 2 paham modernisme inilah, menurut Zianuddin,[11] yg sangat membahayakan dibandingkan dengan tradisionalisme yg sempit. Selain itu, penyebab dibagi dua sistem pendidikan merupakan diterimanya budaya Barat secara total beserta adopsi ilmu pengetahuan serta teknologinya.[12]

Sementera itu, Amrullah Ahmad[13] menilai bahwa penyebab utama terjadinya dikotomi adalah peradaban umat Islam yang tidak sanggup menyajikan Islam secara kaffah. Sebagai akibat dari dikotomi itu, lahirnya pendidikan umat Islam yg sekularistik, rasionalistik, dan materialistik.

Dampak menurut Dikotomi dan Dualisme Sistem Pendidikan
Ketergantungan bangsa Muslim dalam bidang pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting pada membina umat, hampir nir dapat dihindarkan dari impak Barat. Ujungnya, krisis identitas pun nir bisa dihindarkan melanda umat Islam. Menurut kata AM. Saefuddin, ketidakberdayaan umat Islam itu membuatnya bersifat taqiyyah.[14] Artinya, kaum Muslimin lebih menyembunyikan identitas islamnya, lantaran rasa takut serta membuat malu. Ternyata sikap misalnya itu yang poly melanda umat Islam pada segala tingkatan dimanapun berada, baik di infrastruktur, maupun suprastruktur. Melemahnya orientasi sosial umat Islam ini secara nir sadar sudah memilah-milah pengertian Islam yg kaffah ke pada pengertiam parsial pada hakikat hayati bermasyarakat. Islam hanya dilihat dari arti ritual saja. Sementara urusan lain banyak didominasi serta dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, umat Islam lebih kenal budaya Barat ketimbang budaya sendiri/Islam.

Di samping pengaruh generik yang dirasakan pada atas, berikut akan dipaparkan dampak negatif lain menjadi dampak munculnya pendidikan tersebut.

a. Munculnya Ambivalensi Orientasi Pendidikan Islam
Salah satu imbas negatif adanya dibagi dua sistem pendidikan, terutama di Indonesia merupakan keluarnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam.[15] Sementara ini, dengan pendidikan pesantren, masih dirasakan adanya kekurangan pada acara yang diterapkan. Misanya pada bidang mu’amalah (ibadah dalam arti luas) yang mencakup dominasi berbagai disiplin ilmu serta keterampilan, masih ada anggapan, bahwa seolah seluruh itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan bidang garapan spesifik sistem pendidikan sekuler. Sistem madrasah apalagi sekolah serta perguruan tinggi Islam, sudah membagi forsi materi pendidikan Islam serta materi pendidikan umum pada prosentase tertentu. Hal itu tentu menampakan bahwa pendidikan Islam nir lagi berorientasi sepenuhnya dalam tujuan pendidikan Islam. Tetapi ironisnya, juga nir mampu mencapai tujuan pendidikan Barat. Pada akhirnya, pendidikan Islam pada sekolah dan perguruan tinggi (terutama generik) diketahui sebagai materi pelengkap yg menempel menjadi pencapain orientasi pendidikan sekuler.

b. Kesenjangan antara Sisem Pendidikan Islam serta Ajaran Islam
Pandangan dikotomis yg memisahkan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum bertentangan dengan konsep ajaran Islam yg memiliki ajaran integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan global nir terpisah menggunakan urusan akhirat. Implikasinya, bila merujuk dalam ajaran Islam ilmu-ilmu generik seharusnya difahami sebgai bagian tidak terpisahkan dari ilmu-ilmu kepercayaan . Karenanya, apabila paham dibagi dua dan ambivalen dipertahankan, hasil pendidikannya itu tentu jauh berdasarkan keinginan pendidikan Islam itu sendiri.

c. Disintegrasi Sistem Pendidikan Islam
Hingga saat ini, boleh dikatakan, bahwa pada sistem pendidikan kurang terjadinya kumpulan (bisnis integralisasi). Kenyataan ini diperburuk oleh ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan kepercayaan . Bahkan hal itu ditunjang pula oleh kesenjangan antara wawasan pengajar kepercayaan serta kebutuhan murid, terutama pada sekolah umum.[16] Dualisme serta dibagi dua pendidikan menurut sstem pendidikan warizan zaman kolonial yang membedakan antara pendidikan umum pada satu pihak serta pendidikan agama di pihak lain, adalah penyebab primer dari kerancuan dan kesenjangan pendidikan khususnya pada Indonesia menggunakan segala dampak yang di-timbulkannya. Hal tadi, berdasarkan Marwan Saridjo,[17] bahwa dampak serta imbas negatif menurut sistem pendidikan dualistic terdapat 2, yaitu; pertama, arti agama telah dipersempit yaitu sejauh yg berkaitan menggunakan aspek teologi Islam seprti yang diajarkan di sekolah-sekolah agama selama ini; Kedua, sekolah-sekolah kepercayaan serta perguruan tinggi kepercayaan Islam rata-rata ber I.Q rendah dan dari grup residual.

Pengaruh-pengaruh negatif yang diakibatkan sang sistem dualisme pendidikan tadi sangat merugikan global pendidikan Islam. Ke-cenderungan buat terpukau dalam sistem pendidikan Barat, sebagai tolok ukur kemajuan pendidikan nasional, diakui itu tidak telah mensugesti sistem pendidikan Islam. Sehingga sistem pendidikan agama Islam menjadi terpecah pada 3 bentuk, yakni; sistem pesantren; madrasah; serta sistem perguruan tinggi Islam,[18] yg masing-masing memiliki orientasi yg tidak terpadu.. Sistem pesantren berorientasi pada tujuan insttitusionalnya, diantaranya terciptanya ahli ilmu agama. Sistem madrasah bergeser orientasi ke dominasi ilmu umum sebagai tujuan sekunder. Akhirnya berkembang sebagai sekolah Islam atau sekolah tinggi Islam yang tujuan institusional perimernya adalah dominasi ilmu-ilmu generik, sedangkan ilmu-ilmu agama sebagai tujuan skunder.

Upaya Mereduksi Dualisme Sistem Pendidikan di Dunia Islam
Disadari atau nir, problem dualisme sistem pendidikan Islam itu masih aktual dibicarakan. Hal itu bisa ditinjau, pada kalangan ahli pendidikan Islam problem tersebut tak jarang sebagai bahan diskusi cukup serius. Mengapa, lantaran dualisme sistem pendidikan yg seharusnya tidak boleh terdapat, malah seolah sudah menjadi trend pendidikan bagi rakyat kita. Ditolaknya sistem pendidikan dualisme tersebut, tidak lain karena sejarah sudah mengambarkan sistem pendidikan Barat tak jarang tidak memahami prinsip-prinsip Islam, atau setidaknya sistem pendidikan Barat sebagai penghalang dalam melanding-kan Islam secara kaffah pada kehidupan umat Islam.[19] Karenanya, para sarjana Muslim seharusnya melahirkan suatu pemikiran dan atau penafsiran yg searah serta bersatu menciptakan ajaran-ajaran mereka sendiri guna berbagi ilmu pengetahuan alam, sosial dan ilmu humanisme lainnya. Pada samping itu, para pemikir Muslim harus berani menantang ilmuan Barat pikiran-pikirannya dipenuhi hipotesis-hipotesis materialistik, yg menolak berlakunya kehnedak Allah di alam ini.[20] Dengan demikian diharapkan umat Islam akan bisa pulang menemukan sistem pendidikan Islam dalam bentuk utuhnya.

Sementara, Zianuddin Sardar[21] memberikan solusi untuk menghilangkan dibagi dua itu menggunakan cara meletakkan epistimologinya dan teosri sistem pendidikan yang bersifat fundamental. Menurutnya, buat menghilangkan sistem pendidikan dikotomis di global Islam perlu dilakukan bisnis-usaha sebagai berikut: Pertama, Dari segi epistimologi, umat Islam wajib berani berbagi kerangka pengatahuan masa kini yg teraktikulasi sepenuhnya. Ini berarti kerangka pengetahuan yang didesain harus aplikatif. Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya dapat mendeskripsikan metode-metode dan pendekatan yang tepat yg nantinya bisa membantu para ahli Musllim dalam mengatasi kasus-kasus moral serta etika yg sangat mayoritas pada masa sekarang.

Kedua, Perlu ada suatu kerangka teoritis ilmu dan teknologi yang menggambarkan gaya-gaya dan metode-metode kegiatan ilmiah dan teknologi yang sesuai tinjauan global dan mencerminkan nilai dan norma budaya Muslim. Dan Ketiga, Perlu diciptakan teori-teori pendidikan yang memadukan karakteristik-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem terbaru. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral wajib mengacu pada konsep ajaran Islam, seperti tazkiah al-nafsu, tauhid serta sebagianya. Di samping itu sistem tadi jua harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat Muslim secara multidemensional masa depan. Dan yg terpenting langi, pemaknaan pendidikan, mencari ilmu sebagai pengalaman belajar sepanjang hayati.

Menurut Syed Ali Asyraf,[22] terdapat dua sistem pendidikan yang pada negara-negara Muslim yang bisa dilebur kedalam satu sistem. Tetapi kondisi primer yakni fondasi filosofisnya dalam konteks Islam. Bersamaan menggunakan itu, kandungan materi (subyek kurikulum) religius wajib tetap eksis sebagai suatu spesialisasi. Setiap pelajar harus memiliki semua pengetahuan dasar yang diperlukan sebagai seorang Muslim, dan supaya memenuhi tuntunan sebagai sistem pendidikan modern, semua pengetahuan yg termuat didalamnya harus diatur serta disusun atas prinsip transedental, urutan serta integrasi. Walaupun gagasan para ahli pendidikan Muslim telah poly dilontarkan, tetapi disadari sahih bahwa soal dualisme sistem pendidikan ini nir mudah diselesaikan. Oleh karena itu, sikap optimisme dan berani menjadi kapital krusial. Dengan modal tadi lambat laun bisnis-bisnis para pakar serta sambutan positif rakyat Islam akan menjadi kenyataan.

[1]Maurice Bucaille, La Bible Le Qoran Et La Science, diterjemahkan sang H.M. Rsyidi dengan judul Bibel, Qur’an serta Sains Modern (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 373 

[2]Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu serta Peradaban Modern (Jakarta: P3M, 1986), hal. 19 

[3]Muhaiman, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda, 1993), hal. 39 

[4]Nurchalish Madjid, Islam Doktrin serta Peradaban (Cet. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hal. Xli

[5]Ibid. 

[6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 220. 

[7]Ishāq Ahmad Farhān, al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-Asālah wa al-Ma’āsirah (Cet. II; t.tp: Dār al-Furqān, 1983), hal. 30 

[8]Abdul Hamid Abu Sulaiman, Krisis Pemikiran (Jakarta: Media Da’wah, 1994), hal. 50 

[9]Syed Ali Ashaf, New Hoizons in Muslim Education, diterjemahkan oleh Soni Siregar menggunakan judul Baru Dunia Islam (Jakarta: Logos: Pustaka Firdaus, 1991), hal. 33 

[10]Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (Bandung: Mizan, 1986), hal. 75 

[11]Ibid. 

[12]Ibid., hal. 77 

[13]Amrullah Ahmad (ed), Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, pada Muslih Musa, Pendidikan Islam pada Indonesia; antara cita serta fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 52

[14]A. Saifuddin, Desekularisasi Pemikiran (Bandung: Mizan, 1991), hal. 97 

[15]Ibid., hal. 103 

[16]AM. Saefuddin, op. Cit., hal. 105 

[17]Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Cet.I; Jakarta: Amisco, 1996), hal. 21.


[18]Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Buaya dan Politik (Yogyakarta: SI Press, 1994), hal. 167 

[19]Ibid. 

[20]Ada perbedaan utama antara ahli Muslilm dan ahli Barat dalam memandang hukum alam. Menurut Barat, hukum alam adalah hukum sebab dampak yang niscaya terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Sementara berdasarkan Islam, aturan alam itu ada lantaran kehendak Tuhan. Jadi sekalipun aturan alam itu berisi sebab akibat, tetapi hukum karena akibat itu nir berlaku apabila Tuhan tidak menghendakinya. Ismail SM. Dkk., Paradigma Pendidikan Islam (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 91

[21]Zianuddin Sardar, op. Cit., hal. 280-281 

[22]Ali Asyraf, op. Cit., hal. 43

TELAAH TENTANG DUALISME PENDIDIKAN AGAMA VERSUS PENDIDIKAN UMUM

Telaah Tentang Dualisme Pendidikan Agama Versus Pendidikan Umum
Maurice Bucaille dalam bukunya Bibel, Qur’an serta Sains Modern menyatakan: Alquran diwahyukan menggunakan muceduven serta meyakinkan pada orang yang mempelajarinya secara obyektif dengan mereduksi petunjuk berdasarkan sains terkini, suatu sifat yg spesifik, yakni persesuaian yg sempurna dengan output sains terbaru. Bahkan semenjak zaman Nabi Muhammad saw, hingga dewasa ini, pertanda bahwa Alquran mengandung pernyataan ilmiah yg sangat terbaru serta nir wajar apabila dikatakan bahwa orang yang hayati pada saat –waktu- Alquran diwahyukan itu sebagai pencetus-pencetusnya. Karenanya, ilmu pengetahuan modern memungkinkan kita buat tahu ayat-ayat tertentu dalam Alquran, sampai dewasa ini belum sanggup ditafsirkan,[1] secara kontekstual pada menyikapi perkembangan zaman.

Keterpaduan, persesuaian, bahkan ketergantungan ilmu pengetahuan terkini kepada ilmu pengetahuan Islam (Alquran) nir hanya terdiri atas penemuan-inovasi teori-teori revolusioner yg mengejutkan, namun pula berutang pada memperkenalkan metode-metode serta semangat memerolehnya.[2] Pada termin berikutnya, khazanah keilmuan pada Islam mengalami kemunduran yang drastis. Kemunduran itu terjadi karena umat Islam terlalu bangga atas produk-produk pendahulunya. Mereka cenderung mempertahankan serta melegitimasi ilmu yang pernah diterimanya, sehingga daya ijtihad menyusut dan stagnasi pemikiran menjamur, ta’assub fī al-mażhab berkepanjangan. Tidak hanya itu saja, tekanan ekstrem lebih parah lagi setelah kekalahan umat Islam dalam perang salib, yang menghilangkan semangat keilmuan dan terbakarnya perpustakan-perpustakaan Islam. Maka, waktu itulah bangsa Barat merogoh alih khazanah keilmuan tersebut hingga mampu mendominasi seluruh aspek ilmu pengetahuan.[3]

Sejatinya, diakui sang dunia kesarjanaan modern bahwa sekiranya tidak pernah terdapat Islam serta kaum Muslimin, tentulah ilmu pengetahuan sahih-sahih sudah usang meninggal oleh “Cyril serta Justinian”,[4] tanpa terdapat kemungkinan bangkit lagi, serta Eropa tentunya akan permanen berada dalam kegelapan (the dark age) yang penuh mitologi serta kepercayaan palsu. Zaman terbaru tidak akan pernah ada, maka syukurlah Islam pernah tampil, kemudian berhasil mewariskan ilmu pengetahuan kepada umat manusia melalui Eropa.[5] Namun, efek dari dominasi peradaban Barat, yang terlanjur memodernisasi kemajuan terbaru, menyebabkan format pendidikannya pun sebagai kiblat bagi negara-negara berkembang yang notabene adalah secara umum dikuasai kaum Muslimin (termasuk Indonesia). Realitas pendidikan sepeti ini, tentu akan menunjuk pada westernisasi yg mengacu pada pendidikan sekuler, yaitu pendidikan yang memisahkan antara pendidikan agama menggunakan pendidikan generik. 

Menyikapi empiris pendidikan tersebut, sebagian pakar pendidikan kita selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan segala perkara pendidikan, baik makro juga mikro yang ada pada lingkungan rakyat bisa diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat. Filsafat Barat dalam umumnya bersifat sekuler, yg kurang relevan dengan kehidupan warga Indonesia atau Timur, yg cenderung serta atau lebih bersifat religius. Konsekuaensi berdasarkan kekeliruan memahami serta menyikapi filsafat pendidikan Barat ini, menyebabkan adanya dualisme ilmu di global Islam, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya dualisme pendidikan bagi umat Islam, terutama di Indonesia. Fakta tadi menarik dikaji menggunakan melihat 3 masalah, yaitu: pertama, apa yg dimaksud dibagi dua ilmu dan dualisme pendidikan?. Kedua, mungkin krusial diperhatikan bagaimana efek dualisme sistem pendidikan Islam itu? Dan Ketiga, bagaimana upaya umat Islam buat menghilangkan (mereduksi) dualisme sistem pendidikan Islam tadi?

Defenisi Dikotomi Ilmu serta Faktor Munculnya Dualisme Pendidikan
Dikotomi merupakan pembagian dua grup yg saling bertentangan.[6] Dengan menggunakan demikian, dibagi dua ilmu yg dimaksud di sini adalah pembagian 2 gerombolan ilmu pengetahuan, yang secara lahiriyah kelihatan bertentangan, contohnya ilmu agama serta ilmu umum. Ilmu agama diklaim asal menurut Islam, ad interim ilmu umum dianggap dari menurut Barat. Dalam pandangan penulis bahwa, suatu kesalahan besar yg telah dilakukan sebagian pakar pendidikan selama ini yang telah mendikotomikan ilmu pengetahuan, sehingga lahirnya klaim dari kalangan mereka ilmu Islam dan ilmu kafir. Padahal, pada syariat Islam nir terdapat ajaran tentang dikotomi ilmu tersebut. Justru ada adagium yg dilontarkan sang pakar pesan yang tersirat, yakni ; [7] أطلوا العلم ولو بالصين  (tuntutlah ilmu walau pada negeri Cina). Maksudnya, ilmu itu wajib dituntut pada manapun saja, walau pada negerinya orang kafir. Berkaitan dengan ini, maka menurut penulis bahwa ilmu apapun namanya, jika beliau diletakkan dalam nilai-nilai Islam, maka ilmu tersebut diklaim Islam. Atau dengan istilah lain, ilmu yg bersumber berdasarkan Barat jika dia sinkron menggunakan ajaran Islam, maka ilmu tadi wajib diterima secara bijak. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa nir selamanya ilmu Barat (ilmu yang dipahami oleh orang-orang Barat selama ini), secara lahiriyah -bahkan- bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu Islam.

Oleh lantaran sudah terlanjur adanya pendikotomian ilmu yang dilakukan oleh sebagian ahli pendidikan, maka pada gilirannya jua melahirkan kata lain yg dianggap menggunakan “dualisme pendidikan”, yakni pendidikan agama serta pendidikan umum. Istilah dualisme diartikan menjadi 2 paham atau pemahaman yang berkembang serta dianut pada suatu komunitas. Pemahaman itu mungkin tampak sejalan serta mungkin pertentangan. Jika kemungkinan yang terakhir disebut (kontradisksi) yang ada lalu ditarik benang merah, maka dia semakna menggunakan dikotomi secara lahiriyah. Kembali pada istilah dualisme, secara semantik terma ini berarti dua macam pengetahuan, atau 2 macam pandangan, yaitu: Pertama, Pengetahuan (ilmu) yang rasional – pemerolehannya (epistemologi-nya) melalui logika. Kedua, Pengetahuan (ilmu) non rasional – pemerolehannya melalui wahyu. Kaitannya menggunakan pendidikan, ilmu rasional itu dianggap ilmu generik yg kemudian melahirkan sekolah umum. Ilmu non rasional disebut ilmu kepercayaan yg lalu melahirkan bidang-bidang studi kepercayaan pemisahana di antara keduanya.

Berdasarkan uraian pada atas dapat dinyatakan bahwa dualisme pendidikan bukan terpisah-pisahnya ilmu dalam beberapa disiplin, melainkan fungsi ilmu sendiri yang seharusnya masih ada hubungan fungsional kemudian hubungan itu dipisahkan, sehingga muncullah istilah pendidikan kepercayaan serta pendidikan generik. Adapun faktor-faktor penyebab munculnya dualisme sistem pendidikan, pendidikan agama dan umum adalah menjadi berikut:

a. Stagnasi Pemikiran Umat Islam
Stagnasi yang melanda keserjanaan Muslim terjadi semenjak abad XVI hingga abad XVII M. Kondisi tadi secara umum adalah efek dari kelesuan bidang politik serta budaya rakyat Islam saat itu cenderung melihat ke atas, melihat gemerlapannya kejayaan abad pertengahan, sebagai akibatnya lupa fenomena yg tengah terjadi pada lapangan. Maka para sarjana Barat menyatakan, rasa kebanggaan serta keunggulan budaya masa lampau sudah membuat para sarjana Muslim nir menanggapi tantangan-tantangan yang dilemparkan sang sarjana Barat. Padahal bila tantangan tersebut ditangani secara positif dan lebih arif, dunia Muslim bisa mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru itu, lalu memberi arah baru.[8]

b. Penjajahan Barat atas Dunia Islam
Penjajahan Barat terhadap global Muslim sudah dicatat para sejarawan berlangsung sejak abad CVIII sampai abad XIX M. Pada saat itu global Muslim sahih-benar nir berdaya pada bawah kekuasaan imprialisme Barat. Dalam kondisi misalnya itu, tentu tidaklah gampang dunia Muslim menolak upaya-upaya yg dilakukan Barat, terutama injeksi budaya serta peradaban modern Barat. Karenanya pendidikan budaya Barat mendominasi budaya tradisional setempat yang dibangun semenjak usang, bahkan bisa dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat telah mendominasi kurikulum pendidikan pada sekolah-sekolah di dunia Muslim.

Dengan demikian, integrasi ilmu pengetahuan nir diupayakan apalagi dipertahankan. Ini menjadi efek mengalirnya gaya pemikiran serjana Barat yang memang berusaha memisahkan antara urusan ilmu menggunakan urusan agama. Bagi mereka, kajian keilmuan wajib dipisahkan menurut kajian keagamaan. Sehingga pada global Muslim pula berkembang hal yang sama, yakni kajian ilmu serta teknologi wajib terpisah menurut kajian kepercayaan . Pendekatan keilmuan seperti ini, tepatnya menjelang akhir abad XIX M mulai menghipnotis cabang ilmu lain terutama ilmu yg menyangkut rakyat, misalnya ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi serta politik.[9]

c. Modernisasi atas Dunia Muslim
Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculnya dikotomi sistem pendidikan pada dunia Muslim merupakan modernisasi. Yang wajib disadari, modernisasi itu muncul menjadi suatu gugusan antara dua ideologi Barat, teknekisme dan nasionalisme.[10] Teknikisme ada sebagai reaksi terhadap dogma, sedangkan nasionalisme ditemukan pada Eropa dan diinjeksikan secara paksa kepada masyarakat Muslim. Perpaduan kedua paham modernisme inilah, menurut Zianuddin,[11] yang sangat membahayakan dibandingkan menggunakan tradisionalisme yang sempit. Selain itu, penyebab dibagi dua sistem pendidikan adalah diterimanya budaya Barat secara total beserta adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya.[12]

Sementera itu, Amrullah Ahmad[13] menilai bahwa penyebab utama terjadinya dibagi dua adalah peradaban umat Islam yg nir mampu menyajikan Islam secara kaffah. Sebagai akibat dari dibagi dua itu, lahirnya pendidikan umat Islam yg sekularistik, rasionalistik, dan materialistik.

Dampak menurut Dikotomi serta Dualisme Sistem Pendidikan
Ketergantungan bangsa Muslim pada bidang pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting pada membina umat, hampir nir dapat dihindarkan dari imbas Barat. Ujungnya, krisis identitas pun tidak sanggup dihindarkan melanda umat Islam. Dari istilah AM. Saefuddin, ketidakberdayaan umat Islam itu membuatnya bersifat taqiyyah.[14] Artinya, kaum Muslimin lebih menyembunyikan identitas islamnya, lantaran rasa takut dan membuat malu. Ternyata perilaku misalnya itu yg poly melanda umat Islam pada segala tingkatan dimanapun berada, baik di infrastruktur, juga suprastruktur. Melemahnya orientasi sosial umat Islam ini secara nir sadar sudah memilah-milah pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertiam parsial pada hakikat hidup bermasyarakat. Islam hanya dipandang dari arti ritual saja. Sementara urusan lain poly didominasi serta dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, umat Islam lebih kenal budaya Barat ketimbang budaya sendiri/Islam.

Di samping pengaruh generik yang dirasakan pada atas, berikut akan dipaparkan efek negatif lain sebagai dampak munculnya pendidikan tersebut.

a. Munculnya Ambivalensi Orientasi Pendidikan Islam
Salah satu impak negatif adanya dikotomi sistem pendidikan, terutama pada Indonesia merupakan munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam.[15] Sementara ini, menggunakan pendidikan pesantren, masih dirasakan adanya kekurangan pada program yang diterapkan. Misanya dalam bidang mu’amalah (ibadah pada arti luas) yg meliputi dominasi berbagai disiplin ilmu serta keterampilan, masih ada anggapan, bahwa seolah seluruh itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan bidang garapan spesifik sistem pendidikan sekuler. Sistem madrasah apalagi sekolah dan perguruan tinggi Islam, telah membagi forsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan generik pada prosentase tertentu. Hal itu tentu memperlihatkan bahwa pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan pendidikan Islam. Tetapi ironisnya, juga tidak sanggup mencapai tujuan pendidikan Barat. Pada akhirnya, pendidikan Islam pada sekolah dan perguruan tinggi (terutama umum) diketahui menjadi materi pelengkap yang melekat sebagai pencapain orientasi pendidikan sekuler.

b. Kesenjangan antara Sisem Pendidikan Islam dan Ajaran Islam
Pandangan dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu umum bertentangan menggunakan konsep ajaran Islam yang memiliki ajaran integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia nir terpisah dengan urusan akhirat. Implikasinya, jika merujuk dalam ajaran Islam ilmu-ilmu umum seharusnya difahami sebgai bagian tak terpisahkan menurut ilmu-ilmu kepercayaan . Karenanya, apabila paham dibagi dua dan ambivalen dipertahankan, output pendidikannya itu tentu jauh menurut keinginan pendidikan Islam itu sendiri.

c. Disintegrasi Sistem Pendidikan Islam
Hingga ketika ini, boleh dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan kurang terjadinya gugusan (bisnis integralisasi). Kenyataan ini diperburuk sang ketidakpastian interaksi antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru agama dan kebutuhan anak didik, terutama pada sekolah umum.[16] Dualisme dan dibagi dua pendidikan menurut sstem pendidikan warizan zaman kolonial yg membedakan antara pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan kepercayaan pada pihak lain, adalah penyebab utama dari kerancuan serta kesenjangan pendidikan khususnya di Indonesia menggunakan segala akibat yang pada-timbulkannya. Hal tadi, dari Marwan Saridjo,[17] bahwa akibat serta dampak negatif menurut sistem pendidikan dualistic terdapat dua, yaitu; pertama, arti agama sudah dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan dengan aspek teologi Islam seprti yang diajarkan pada sekolah-sekolah kepercayaan selama ini; Kedua, sekolah-sekolah agama serta perguruan tinggi kepercayaan Islam rata-rata ber I.Q rendah serta dari gerombolan residual.

Pengaruh-efek negatif yang diakibatkan oleh sistem dualisme pendidikan tersebut sangat merugikan global pendidikan Islam. Ke-cenderungan untuk terpukau pada sistem pendidikan Barat, menjadi tolok ukur kemajuan pendidikan nasional, diakui itu nir telah menghipnotis sistem pendidikan Islam. Sebagai akibatnya sistem pendidikan kepercayaan Islam sebagai terpecah dalam tiga bentuk, yakni; sistem pesantren; madrasah; dan sistem perguruan tinggi Islam,[18] yang masing-masing mempunyai orientasi yg tidak terpadu.. Sistem pesantren berorientasi pada tujuan insttitusionalnya, diantaranya terciptanya pakar ilmu agama. Sistem madrasah bergeser orientasi ke penguasaan ilmu generik sebagai tujuan sekunder. Akhirnya berkembang sebagai sekolah Islam atau sekolah tinggi Islam yg tujuan institusional perimernya merupakan penguasaan ilmu-ilmu generik, sedangkan ilmu-ilmu agama menjadi tujuan skunder.

Upaya Mereduksi Dualisme Sistem Pendidikan di Dunia Islam
Disadari atau nir, masalah dualisme sistem pendidikan Islam itu masih aktual dibicarakan. Hal itu bisa dipandang, di kalangan ahli pendidikan Islam masalah tersebut sering menjadi bahan diskusi cukup berfokus. Mengapa, karena dualisme sistem pendidikan yg seharusnya nir boleh terdapat, malah seolah telah sebagai demam isu pendidikan bagi warga kita. Ditolaknya sistem pendidikan dualisme tersebut, tidak lain lantaran sejarah sudah pertanda sistem pendidikan Barat seringkali tidak tahu prinsip-prinsip Islam, atau setidaknya sistem pendidikan Barat menjadi penghalang dalam melanding-kan Islam secara kaffah pada kehidupan umat Islam.[19] Karenanya, para sarjana Muslim seharusnya melahirkan suatu pemikiran dan atau penafsiran yg searah dan bersatu membentuk ajaran-ajaran mereka sendiri guna membuatkan ilmu pengetahuan alam, sosial dan ilmu humanisme lainnya. Di samping itu, para pemikir Muslim harus berani menantang ilmuan Barat pikiran-pikirannya dipenuhi hipotesis-hipotesis materialistik, yang menolak berlakunya kehnedak Allah di alam ini.[20] Dengan demikian dibutuhkan umat Islam akan dapat kembali menemukan sistem pendidikan Islam dalam bentuk utuhnya.

Sementara, Zianuddin Sardar[21] menaruh solusi buat menghilangkan dikotomi itu menggunakan cara meletakkan epistimologinya serta teosri sistem pendidikan yg bersifat mendasar. Menurutnya, untuk menghilangkan sistem pendidikan dikotomis di global Islam perlu dilakukan bisnis-bisnis menjadi berikut: Pertama, Dari segi epistimologi, umat Islam wajib berani menyebarkan kerangka pengatahuan masa sekarang yang teraktikulasi sepenuhnya. Ini berarti kerangka pengetahuan yang dibuat harus aplikatif. Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya bisa menggambarkan metode-metode serta pendekatan yang sempurna yg nantinya dapat membantu para ahli Musllim pada mengatasi masalah-perkara moral serta etika yg sangat secara umum dikuasai pada masa sekarang.

Kedua, Perlu terdapat suatu kerangka teoritis ilmu serta teknologi yg menggambarkan gaya-gaya serta metode-metode kegiatan ilmiah dan teknologi yang sinkron tinjauan dunia dan mencerminkan nilai serta norma budaya Muslim. Dan Ketiga, Perlu diciptakan teori-teori pendidikan yg memadukan karakteristik-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem terkini. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu dalam konsep ajaran Islam, misalnya tazkiah al-nafsu, tauhid dan sebagianya. Di samping itu sistem tadi pula wajib sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga Muslim secara multidemensional masa depan. Dan yang terpenting langi, pemaknaan pendidikan, mencari ilmu sebagai pengalaman belajar sepanjang hidup.

Menurut Syed Ali Asyraf,[22] terdapat dua sistem pendidikan yg di negara-negara Muslim yg bisa dilebur kedalam satu sistem. Namun syarat utama yakni fondasi filosofisnya pada konteks Islam. Bersamaan menggunakan itu, kandungan materi (subyek kurikulum) religius wajib permanen eksis menjadi suatu spesialisasi. Setiap pelajar wajib memiliki semua pengetahuan dasar yg diperlukan menjadi seseorang Muslim, dan agar memenuhi tuntunan sebagai sistem pendidikan modern, semua pengetahuan yang termuat didalamnya wajib diatur dan disusun atas prinsip transedental, urutan dan integrasi. Walaupun gagasan para ahli pendidikan Muslim telah banyak dilontarkan, namun disadari benar bahwa soal dualisme sistem pendidikan ini nir mudah diselesaikan. Oleh karena itu, perilaku optimisme dan berani menjadi modal penting. Dengan kapital tadi lambat laun usaha-bisnis para pakar dan sambutan positif warga Islam akan sebagai fenomena.

[1]Maurice Bucaille, La Bible Le Qoran Et La Science, diterjemahkan sang H.M. Rsyidi dengan judul Bibel, Qur’an dan Sains Modern (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 373 

[2]Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta: P3M, 1986), hal. 19 

[3]Muhaiman, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda, 1993), hal. 39 

[4]Nurchalish Madjid, Islam Doktrin serta Peradaban (Cet. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hal. Xli

[5]Ibid. 

[6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 220. 

[7]Ishāq Ahmad Farhān, al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-Asālah wa al-Ma’āsirah (Cet. II; t.tp: Dār al-Furqān, 1983), hal. 30 

[8]Abdul Hamid Abu Sulaiman, Krisis Pemikiran (Jakarta: Media Da’wah, 1994), hal. 50 

[9]Syed Ali Ashaf, New Hoizons in Muslim Education, diterjemahkan sang Soni Siregar menggunakan judul Baru Dunia Islam (Jakarta: Logos: Pustaka Firdaus, 1991), hal. 33 

[10]Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (Bandung: Mizan, 1986), hal. 75 

[11]Ibid. 

[12]Ibid., hal. 77 

[13]Amrullah Ahmad (ed), Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, pada Muslih Musa, Pendidikan Islam pada Indonesia; antara cita serta liputan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 52

[14]A. Saifuddin, Desekularisasi Pemikiran (Bandung: Mizan, 1991), hal. 97 

[15]Ibid., hal. 103 

[16]AM. Saefuddin, op. Cit., hal. 105 

[17]Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Cet.I; Jakarta: Amisco, 1996), hal. 21.


[18]Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Buaya serta Politik (Yogyakarta: SI Press, 1994), hal. 167 

[19]Ibid. 

[20]Ada disparitas utama antara ahli Muslilm dan ahli Barat dalam memandang hukum alam. Menurut Barat, aturan alam adalah aturan sebab akibat yang pasti terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Sementara dari Islam, hukum alam itu terdapat karena kehendak Tuhan. Jadi sekalipun hukum alam itu berisi sebab dampak, tetapi aturan sebab akibat itu nir berlaku apabila Tuhan tidak menghendakinya. Ismail SM. Dkk., Paradigma Pendidikan Islam (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 91

[21]Zianuddin Sardar, op. Cit., hal. 280-281 

[22]Ali Asyraf, op. Cit., hal. 43

SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan mengenai masyarakat, menjadi ilmu realitas yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir lantaran terlepas berdasarkan dampak filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) dalam tahun 1839, sosiologi adalah ilmu pengetahuan positif yang memepelajari rakyat. Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yg berubah menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya empiris social, maka lahirlah aneka macam cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak menurut tampilnya sejumlah ilmuwan akbar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal dari Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menyelidiki masyarakat yg amat bermanfaat buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial menjadi pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yg tahu masyarakat misalnya tubuh insan, menjadi suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menduga pertarungan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yang menjadi penuntun konduite manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association dalam tahun 1883, Lester Frank Ward, yg berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial pada masyarakat Amerika adalah disparitas dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan pada memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar buat maju serta mempunyai kehidupan yg lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang relatif merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-perbedaan tersebut dia mendesak pemerintahnya supaya menyelenggarakan harus belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar pada USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yg baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan konflik social dan sekaligus menaruh rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti menurut adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education menggunakan focus perhatian dalam penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education mampu sebagai sumber data serta liputan ilmiah, serta studi akademis yg bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yg memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology sebagai Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology sebagai Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education semenjak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai kurang lebih tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda ketika itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas serta semakin tinggi ke arah yg makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, serta R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang pula terdapat pada makhluk hayati lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan insan jauh lebih rumit menurut pengelompokan hewan. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan karakteristik-karakteristik hidup berkelompok pada fauna pada kutipan berikut. 

Pada hewan, hayati berkelompok memiliki cirri-karakteristik: Ada pembagian kerja yg permanen dalam anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, ada komunikasi antar anggota, dan ada diskriminasi antar individu yg hidup pada suatu kelompok dengan individu yang hayati dalam kelompok lain. 

Ciri-ciri fauna tadi bisa pula ditemukan dalam manusia. Kehidupan sosial insan tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat rakyat yg sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan sebagai individu dan insan sebagai anggota rakyat. Pandangan aliran-aliran filsafat mengenai realitas sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan beragam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja pada bentuk oleh rakyat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada aktivitas pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau perkiraan dalam penerapan pendidikan yang bertolak dalam hubungan antar individu sebagai mahluk sosial pada kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta siswa) bahkan 2 generasi yg memungkinkan generasi belia berbagi diri. Pengembangan diri tersebut dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karena itu kegiatan pendidikan bisa berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta rakyat. Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan mencakup semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan keluarga sangat krusial, lantaran famili adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai membuatkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai serta sikap yang dapat mensugesti perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yg menggunakan sengaja dibentuk sang warga menggunakan perencanaan serta aplikasi yg mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan pula dipengaruhi oleh aneka macam gerombolan kecil pada rakyat. Seperti gerombolan keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang menjadi penekanan dalam aktivitas ini adalah aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan warga . Dalam pelaksanaan pada banyak sekali negara diupayakan ekuilibrium antara pelestarian serta pengembangan budaya serta rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan masyarakat yg dianut sang suatu bangsa. Untuk tahu kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif dan antar gerombolan dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yang rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya menjadi kebiasaan-norma social yg mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa insan itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja berdasarkan keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menyebabkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam rakyat seperti ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota warga satu dengan yang lain saling berkompetisi sebagai akibatnya mengakibatkan dampak yg kuat. 

Paham kolektivisme menaruh kedudukan yang hiperbola pada masyarakat serta kedudukan anggota rakyat secara perseorangan hanyalah sebagai indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota warga saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya insan adalah eksklusif dan jua adalah relasi. Kepentingan rakyat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber dari kebiasaan kehidupan warga : (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (dua) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, serta (4) selaras harmonis seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan setuju bahwa, sinkron menggunakan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (jua Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, dan pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan diharapkan sanggup memberikan rekomendasi tentang bagaimana harapan serta tuntutan warga mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola hubungan sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yg dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yg memeriksa:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara dan mendorong proses sosial serta perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-grup dalam warga  

2. Hubungan kemanusiaan pada sekolah yang meliputi:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sama dengan kebudayaan pada luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.

3. Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya, yang mengusut:
a. Peranan sosial guru.
b. Sifat kepribadian pengajar.
c. Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku murid.
d. Fungsi sekolah pada pengenalan anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola interaksi antara sekolah dengan grup sosial lain pada pada komunitasnya, yang mencakup:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis mengenai komunitas seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum nir terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah serta komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan dalam kaitannya menggunakan holistik hidup rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Menjadi cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Menyelidiki interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan menggunakan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta efek pendidikan dalam kehidupan siswa”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman mengenai fenomena yg termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk dibutuhkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai menurut yg bercorak generalisasi empirik hingga dalil dan hukum-hukum yg mantap, data serta kabar tentang hasil penelitian lapangan yg actual, baik dari lingkungan sendiri juga berdasarkan lingkungan lain, dan fakta mengenai kasus serta tantangan yg dihadapi. Dengan kabar yg lengkap serta akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan bisa menafsirkan kenyataan-fenomena yg dihadapi secara seksama. Penjelasan-penerangan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan syarat dan perseteruan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan menggunakan itu, tuntutan rakyat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yg masuk ke pada masyarakat melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diharapkan pada perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi syarat serta tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani konflik-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan rakyat misalnya masalah lapangan kerja serta pengangguran, permasalahan sosial, kerusakan lingkungan, serta lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, serta perkara penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara generik sosiologi pendidikan bertujuan buat menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan kenyataan-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari contoh-contoh pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara spesifik, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data serta liputan tentang hubungan sosial pada antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara forum pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta norma yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, dan adakalanya mereka mempunyai interaksi darah atau memiliki kepentingan beserta. Masyarakat dapat adalah suatu kesatuan hidup pada arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat pada arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang pada arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat menjadi kesatuan hayati memiliki ciri primer, antara lain: (1) ada interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laku warganya diatur sang adapt adat, norma-kebiasaan, hukum, dan aturan-anggaran khas, (tiga) terdapat rasa bukti diri bertenaga yg mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja serta La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan wilayah, kesatuan istiadat- adat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal berdasarkan perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, serta kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu hingga kini , ciri yang menonjol berdasarkan warga Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yg berbeda-beda tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik buat mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu warga yg bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai oleh dua karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai sang adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, norma adat, dan kedaerahan, serta (dua) secara vertical ditandai sang adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (dua) mempunyai struktur social yg terbagi-bagi, (3) sering anggota warga atau kelompok tidak berbagi consensus pada antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara gerombolan relative sering mengalami pertarungan, (lima) terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, (6) adanya penguasaan politiuk sang suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, sudah poly mengalami perubahan. Sebagai masyarakat beragam, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih bisa ditemukan, demikian jua halnya menggunakan sifat-sifat dasar berdasarkan zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yg kuat sebagai suatu warga bangsa Indonesia serta kemajuan pada banyak sekali bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan serta kesatuan yang semakin kokoh.

Berbagai upaya sudah dilakukan dengan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan rakyat Indonesia. Hal terakhir tadi sekarang makin menerima perhatian yg semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan menjadi upaya menciptakan “manusia lokal”, akan namun haruslah didesain serta dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan bisa diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara serta berjiwa nasional akan tetapi yg memahami serta menyatu menggunakan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.