TELAAH TENTANG DUALISME PENDIDIKAN AGAMA VERSUS PENDIDIKAN UMUM

Telaah Tentang Dualisme Pendidikan Agama Versus Pendidikan Umum
Maurice Bucaille dalam bukunya Bibel, Qur’an serta Sains Modern menyatakan: Alquran diwahyukan menggunakan muceduven serta meyakinkan pada orang yang mempelajarinya secara obyektif dengan mereduksi petunjuk berdasarkan sains terkini, suatu sifat yg spesifik, yakni persesuaian yg sempurna dengan output sains terbaru. Bahkan semenjak zaman Nabi Muhammad saw, hingga dewasa ini, pertanda bahwa Alquran mengandung pernyataan ilmiah yg sangat terbaru serta nir wajar apabila dikatakan bahwa orang yang hayati pada saat –waktu- Alquran diwahyukan itu sebagai pencetus-pencetusnya. Karenanya, ilmu pengetahuan modern memungkinkan kita buat tahu ayat-ayat tertentu dalam Alquran, sampai dewasa ini belum sanggup ditafsirkan,[1] secara kontekstual pada menyikapi perkembangan zaman.

Keterpaduan, persesuaian, bahkan ketergantungan ilmu pengetahuan terkini kepada ilmu pengetahuan Islam (Alquran) nir hanya terdiri atas penemuan-inovasi teori-teori revolusioner yg mengejutkan, namun pula berutang pada memperkenalkan metode-metode serta semangat memerolehnya.[2] Pada termin berikutnya, khazanah keilmuan pada Islam mengalami kemunduran yang drastis. Kemunduran itu terjadi karena umat Islam terlalu bangga atas produk-produk pendahulunya. Mereka cenderung mempertahankan serta melegitimasi ilmu yang pernah diterimanya, sehingga daya ijtihad menyusut dan stagnasi pemikiran menjamur, ta’assub fī al-mażhab berkepanjangan. Tidak hanya itu saja, tekanan ekstrem lebih parah lagi setelah kekalahan umat Islam dalam perang salib, yang menghilangkan semangat keilmuan dan terbakarnya perpustakan-perpustakaan Islam. Maka, waktu itulah bangsa Barat merogoh alih khazanah keilmuan tersebut hingga mampu mendominasi seluruh aspek ilmu pengetahuan.[3]

Sejatinya, diakui sang dunia kesarjanaan modern bahwa sekiranya tidak pernah terdapat Islam serta kaum Muslimin, tentulah ilmu pengetahuan sahih-sahih sudah usang meninggal oleh “Cyril serta Justinian”,[4] tanpa terdapat kemungkinan bangkit lagi, serta Eropa tentunya akan permanen berada dalam kegelapan (the dark age) yang penuh mitologi serta kepercayaan palsu. Zaman terbaru tidak akan pernah ada, maka syukurlah Islam pernah tampil, kemudian berhasil mewariskan ilmu pengetahuan kepada umat manusia melalui Eropa.[5] Namun, efek dari dominasi peradaban Barat, yang terlanjur memodernisasi kemajuan terbaru, menyebabkan format pendidikannya pun sebagai kiblat bagi negara-negara berkembang yang notabene adalah secara umum dikuasai kaum Muslimin (termasuk Indonesia). Realitas pendidikan sepeti ini, tentu akan menunjuk pada westernisasi yg mengacu pada pendidikan sekuler, yaitu pendidikan yang memisahkan antara pendidikan agama menggunakan pendidikan generik. 

Menyikapi empiris pendidikan tersebut, sebagian pakar pendidikan kita selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan segala perkara pendidikan, baik makro juga mikro yang ada pada lingkungan rakyat bisa diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat. Filsafat Barat dalam umumnya bersifat sekuler, yg kurang relevan dengan kehidupan warga Indonesia atau Timur, yg cenderung serta atau lebih bersifat religius. Konsekuaensi berdasarkan kekeliruan memahami serta menyikapi filsafat pendidikan Barat ini, menyebabkan adanya dualisme ilmu di global Islam, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya dualisme pendidikan bagi umat Islam, terutama di Indonesia. Fakta tadi menarik dikaji menggunakan melihat 3 masalah, yaitu: pertama, apa yg dimaksud dibagi dua ilmu dan dualisme pendidikan?. Kedua, mungkin krusial diperhatikan bagaimana efek dualisme sistem pendidikan Islam itu? Dan Ketiga, bagaimana upaya umat Islam buat menghilangkan (mereduksi) dualisme sistem pendidikan Islam tadi?

Defenisi Dikotomi Ilmu serta Faktor Munculnya Dualisme Pendidikan
Dikotomi merupakan pembagian dua grup yg saling bertentangan.[6] Dengan menggunakan demikian, dibagi dua ilmu yg dimaksud di sini adalah pembagian 2 gerombolan ilmu pengetahuan, yang secara lahiriyah kelihatan bertentangan, contohnya ilmu agama serta ilmu umum. Ilmu agama diklaim asal menurut Islam, ad interim ilmu umum dianggap dari menurut Barat. Dalam pandangan penulis bahwa, suatu kesalahan besar yg telah dilakukan sebagian pakar pendidikan selama ini yang telah mendikotomikan ilmu pengetahuan, sehingga lahirnya klaim dari kalangan mereka ilmu Islam dan ilmu kafir. Padahal, pada syariat Islam nir terdapat ajaran tentang dikotomi ilmu tersebut. Justru ada adagium yg dilontarkan sang pakar pesan yang tersirat, yakni ; [7] أطلوا العلم ولو بالصين  (tuntutlah ilmu walau pada negeri Cina). Maksudnya, ilmu itu wajib dituntut pada manapun saja, walau pada negerinya orang kafir. Berkaitan dengan ini, maka menurut penulis bahwa ilmu apapun namanya, jika beliau diletakkan dalam nilai-nilai Islam, maka ilmu tersebut diklaim Islam. Atau dengan istilah lain, ilmu yg bersumber berdasarkan Barat jika dia sinkron menggunakan ajaran Islam, maka ilmu tadi wajib diterima secara bijak. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa nir selamanya ilmu Barat (ilmu yang dipahami oleh orang-orang Barat selama ini), secara lahiriyah -bahkan- bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu Islam.

Oleh lantaran sudah terlanjur adanya pendikotomian ilmu yang dilakukan oleh sebagian ahli pendidikan, maka pada gilirannya jua melahirkan kata lain yg dianggap menggunakan “dualisme pendidikan”, yakni pendidikan agama serta pendidikan umum. Istilah dualisme diartikan menjadi 2 paham atau pemahaman yang berkembang serta dianut pada suatu komunitas. Pemahaman itu mungkin tampak sejalan serta mungkin pertentangan. Jika kemungkinan yang terakhir disebut (kontradisksi) yang ada lalu ditarik benang merah, maka dia semakna menggunakan dikotomi secara lahiriyah. Kembali pada istilah dualisme, secara semantik terma ini berarti dua macam pengetahuan, atau 2 macam pandangan, yaitu: Pertama, Pengetahuan (ilmu) yang rasional – pemerolehannya (epistemologi-nya) melalui logika. Kedua, Pengetahuan (ilmu) non rasional – pemerolehannya melalui wahyu. Kaitannya menggunakan pendidikan, ilmu rasional itu dianggap ilmu generik yg kemudian melahirkan sekolah umum. Ilmu non rasional disebut ilmu kepercayaan yg lalu melahirkan bidang-bidang studi kepercayaan pemisahana di antara keduanya.

Berdasarkan uraian pada atas dapat dinyatakan bahwa dualisme pendidikan bukan terpisah-pisahnya ilmu dalam beberapa disiplin, melainkan fungsi ilmu sendiri yang seharusnya masih ada hubungan fungsional kemudian hubungan itu dipisahkan, sehingga muncullah istilah pendidikan kepercayaan serta pendidikan generik. Adapun faktor-faktor penyebab munculnya dualisme sistem pendidikan, pendidikan agama dan umum adalah menjadi berikut:

a. Stagnasi Pemikiran Umat Islam
Stagnasi yang melanda keserjanaan Muslim terjadi semenjak abad XVI hingga abad XVII M. Kondisi tadi secara umum adalah efek dari kelesuan bidang politik serta budaya rakyat Islam saat itu cenderung melihat ke atas, melihat gemerlapannya kejayaan abad pertengahan, sebagai akibatnya lupa fenomena yg tengah terjadi pada lapangan. Maka para sarjana Barat menyatakan, rasa kebanggaan serta keunggulan budaya masa lampau sudah membuat para sarjana Muslim nir menanggapi tantangan-tantangan yang dilemparkan sang sarjana Barat. Padahal bila tantangan tersebut ditangani secara positif dan lebih arif, dunia Muslim bisa mengasimilasikan ilmu pengetahuan baru itu, lalu memberi arah baru.[8]

b. Penjajahan Barat atas Dunia Islam
Penjajahan Barat terhadap global Muslim sudah dicatat para sejarawan berlangsung sejak abad CVIII sampai abad XIX M. Pada saat itu global Muslim sahih-benar nir berdaya pada bawah kekuasaan imprialisme Barat. Dalam kondisi misalnya itu, tentu tidaklah gampang dunia Muslim menolak upaya-upaya yg dilakukan Barat, terutama injeksi budaya serta peradaban modern Barat. Karenanya pendidikan budaya Barat mendominasi budaya tradisional setempat yang dibangun semenjak usang, bahkan bisa dikatakan, pendidikan ilmu-ilmu Barat telah mendominasi kurikulum pendidikan pada sekolah-sekolah di dunia Muslim.

Dengan demikian, integrasi ilmu pengetahuan nir diupayakan apalagi dipertahankan. Ini menjadi efek mengalirnya gaya pemikiran serjana Barat yang memang berusaha memisahkan antara urusan ilmu menggunakan urusan agama. Bagi mereka, kajian keilmuan wajib dipisahkan menurut kajian keagamaan. Sehingga pada global Muslim pula berkembang hal yang sama, yakni kajian ilmu serta teknologi wajib terpisah menurut kajian kepercayaan . Pendekatan keilmuan seperti ini, tepatnya menjelang akhir abad XIX M mulai menghipnotis cabang ilmu lain terutama ilmu yg menyangkut rakyat, misalnya ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi serta politik.[9]

c. Modernisasi atas Dunia Muslim
Faktor lain yang dianggap telah menyebabkan munculnya dikotomi sistem pendidikan pada dunia Muslim merupakan modernisasi. Yang wajib disadari, modernisasi itu muncul menjadi suatu gugusan antara dua ideologi Barat, teknekisme dan nasionalisme.[10] Teknikisme ada sebagai reaksi terhadap dogma, sedangkan nasionalisme ditemukan pada Eropa dan diinjeksikan secara paksa kepada masyarakat Muslim. Perpaduan kedua paham modernisme inilah, menurut Zianuddin,[11] yang sangat membahayakan dibandingkan menggunakan tradisionalisme yang sempit. Selain itu, penyebab dibagi dua sistem pendidikan adalah diterimanya budaya Barat secara total beserta adopsi ilmu pengetahuan dan teknologinya.[12]

Sementera itu, Amrullah Ahmad[13] menilai bahwa penyebab utama terjadinya dibagi dua adalah peradaban umat Islam yg nir mampu menyajikan Islam secara kaffah. Sebagai akibat dari dibagi dua itu, lahirnya pendidikan umat Islam yg sekularistik, rasionalistik, dan materialistik.

Dampak menurut Dikotomi serta Dualisme Sistem Pendidikan
Ketergantungan bangsa Muslim pada bidang pendidikan, disadari sebagai faktor terpenting pada membina umat, hampir nir dapat dihindarkan dari imbas Barat. Ujungnya, krisis identitas pun tidak sanggup dihindarkan melanda umat Islam. Dari istilah AM. Saefuddin, ketidakberdayaan umat Islam itu membuatnya bersifat taqiyyah.[14] Artinya, kaum Muslimin lebih menyembunyikan identitas islamnya, lantaran rasa takut dan membuat malu. Ternyata perilaku misalnya itu yg poly melanda umat Islam pada segala tingkatan dimanapun berada, baik di infrastruktur, juga suprastruktur. Melemahnya orientasi sosial umat Islam ini secara nir sadar sudah memilah-milah pengertian Islam yang kaffah ke dalam pengertiam parsial pada hakikat hidup bermasyarakat. Islam hanya dipandang dari arti ritual saja. Sementara urusan lain poly didominasi serta dikendalikan oleh konsep-konsep Barat. Akibatnya, umat Islam lebih kenal budaya Barat ketimbang budaya sendiri/Islam.

Di samping pengaruh generik yang dirasakan pada atas, berikut akan dipaparkan efek negatif lain sebagai dampak munculnya pendidikan tersebut.

a. Munculnya Ambivalensi Orientasi Pendidikan Islam
Salah satu impak negatif adanya dikotomi sistem pendidikan, terutama pada Indonesia merupakan munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam.[15] Sementara ini, menggunakan pendidikan pesantren, masih dirasakan adanya kekurangan pada program yang diterapkan. Misanya dalam bidang mu’amalah (ibadah pada arti luas) yg meliputi dominasi berbagai disiplin ilmu serta keterampilan, masih ada anggapan, bahwa seolah seluruh itu bukan merupakan bidang garapan Islam, melainkan bidang garapan spesifik sistem pendidikan sekuler. Sistem madrasah apalagi sekolah dan perguruan tinggi Islam, telah membagi forsi materi pendidikan Islam dan materi pendidikan generik pada prosentase tertentu. Hal itu tentu memperlihatkan bahwa pendidikan Islam tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan pendidikan Islam. Tetapi ironisnya, juga tidak sanggup mencapai tujuan pendidikan Barat. Pada akhirnya, pendidikan Islam pada sekolah dan perguruan tinggi (terutama umum) diketahui menjadi materi pelengkap yang melekat sebagai pencapain orientasi pendidikan sekuler.

b. Kesenjangan antara Sisem Pendidikan Islam dan Ajaran Islam
Pandangan dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu umum bertentangan menggunakan konsep ajaran Islam yang memiliki ajaran integralistik. Islam mengajarkan bahwa urusan dunia nir terpisah dengan urusan akhirat. Implikasinya, jika merujuk dalam ajaran Islam ilmu-ilmu umum seharusnya difahami sebgai bagian tak terpisahkan menurut ilmu-ilmu kepercayaan . Karenanya, apabila paham dibagi dua dan ambivalen dipertahankan, output pendidikannya itu tentu jauh menurut keinginan pendidikan Islam itu sendiri.

c. Disintegrasi Sistem Pendidikan Islam
Hingga ketika ini, boleh dikatakan, bahwa dalam sistem pendidikan kurang terjadinya gugusan (bisnis integralisasi). Kenyataan ini diperburuk sang ketidakpastian interaksi antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Bahkan hal itu ditunjang juga oleh kesenjangan antara wawasan guru agama dan kebutuhan anak didik, terutama pada sekolah umum.[16] Dualisme dan dibagi dua pendidikan menurut sstem pendidikan warizan zaman kolonial yg membedakan antara pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan kepercayaan pada pihak lain, adalah penyebab utama dari kerancuan serta kesenjangan pendidikan khususnya di Indonesia menggunakan segala akibat yang pada-timbulkannya. Hal tadi, dari Marwan Saridjo,[17] bahwa akibat serta dampak negatif menurut sistem pendidikan dualistic terdapat dua, yaitu; pertama, arti agama sudah dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan dengan aspek teologi Islam seprti yang diajarkan pada sekolah-sekolah kepercayaan selama ini; Kedua, sekolah-sekolah agama serta perguruan tinggi kepercayaan Islam rata-rata ber I.Q rendah serta dari gerombolan residual.

Pengaruh-efek negatif yang diakibatkan oleh sistem dualisme pendidikan tersebut sangat merugikan global pendidikan Islam. Ke-cenderungan untuk terpukau pada sistem pendidikan Barat, menjadi tolok ukur kemajuan pendidikan nasional, diakui itu nir telah menghipnotis sistem pendidikan Islam. Sebagai akibatnya sistem pendidikan kepercayaan Islam sebagai terpecah dalam tiga bentuk, yakni; sistem pesantren; madrasah; dan sistem perguruan tinggi Islam,[18] yang masing-masing mempunyai orientasi yg tidak terpadu.. Sistem pesantren berorientasi pada tujuan insttitusionalnya, diantaranya terciptanya pakar ilmu agama. Sistem madrasah bergeser orientasi ke penguasaan ilmu generik sebagai tujuan sekunder. Akhirnya berkembang sebagai sekolah Islam atau sekolah tinggi Islam yg tujuan institusional perimernya merupakan penguasaan ilmu-ilmu generik, sedangkan ilmu-ilmu agama menjadi tujuan skunder.

Upaya Mereduksi Dualisme Sistem Pendidikan di Dunia Islam
Disadari atau nir, masalah dualisme sistem pendidikan Islam itu masih aktual dibicarakan. Hal itu bisa dipandang, di kalangan ahli pendidikan Islam masalah tersebut sering menjadi bahan diskusi cukup berfokus. Mengapa, karena dualisme sistem pendidikan yg seharusnya nir boleh terdapat, malah seolah telah sebagai demam isu pendidikan bagi warga kita. Ditolaknya sistem pendidikan dualisme tersebut, tidak lain lantaran sejarah sudah pertanda sistem pendidikan Barat seringkali tidak tahu prinsip-prinsip Islam, atau setidaknya sistem pendidikan Barat menjadi penghalang dalam melanding-kan Islam secara kaffah pada kehidupan umat Islam.[19] Karenanya, para sarjana Muslim seharusnya melahirkan suatu pemikiran dan atau penafsiran yg searah dan bersatu membentuk ajaran-ajaran mereka sendiri guna membuatkan ilmu pengetahuan alam, sosial dan ilmu humanisme lainnya. Di samping itu, para pemikir Muslim harus berani menantang ilmuan Barat pikiran-pikirannya dipenuhi hipotesis-hipotesis materialistik, yang menolak berlakunya kehnedak Allah di alam ini.[20] Dengan demikian dibutuhkan umat Islam akan dapat kembali menemukan sistem pendidikan Islam dalam bentuk utuhnya.

Sementara, Zianuddin Sardar[21] menaruh solusi buat menghilangkan dikotomi itu menggunakan cara meletakkan epistimologinya serta teosri sistem pendidikan yg bersifat mendasar. Menurutnya, untuk menghilangkan sistem pendidikan dikotomis di global Islam perlu dilakukan bisnis-bisnis menjadi berikut: Pertama, Dari segi epistimologi, umat Islam wajib berani menyebarkan kerangka pengatahuan masa sekarang yang teraktikulasi sepenuhnya. Ini berarti kerangka pengetahuan yang dibuat harus aplikatif. Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya bisa menggambarkan metode-metode serta pendekatan yang sempurna yg nantinya dapat membantu para ahli Musllim pada mengatasi masalah-perkara moral serta etika yg sangat secara umum dikuasai pada masa sekarang.

Kedua, Perlu terdapat suatu kerangka teoritis ilmu serta teknologi yg menggambarkan gaya-gaya serta metode-metode kegiatan ilmiah dan teknologi yang sinkron tinjauan dunia dan mencerminkan nilai serta norma budaya Muslim. Dan Ketiga, Perlu diciptakan teori-teori pendidikan yg memadukan karakteristik-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem terkini. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu dalam konsep ajaran Islam, misalnya tazkiah al-nafsu, tauhid dan sebagianya. Di samping itu sistem tadi pula wajib sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan warga Muslim secara multidemensional masa depan. Dan yang terpenting langi, pemaknaan pendidikan, mencari ilmu sebagai pengalaman belajar sepanjang hidup.

Menurut Syed Ali Asyraf,[22] terdapat dua sistem pendidikan yg di negara-negara Muslim yg bisa dilebur kedalam satu sistem. Namun syarat utama yakni fondasi filosofisnya pada konteks Islam. Bersamaan menggunakan itu, kandungan materi (subyek kurikulum) religius wajib permanen eksis menjadi suatu spesialisasi. Setiap pelajar wajib memiliki semua pengetahuan dasar yg diperlukan menjadi seseorang Muslim, dan agar memenuhi tuntunan sebagai sistem pendidikan modern, semua pengetahuan yang termuat didalamnya wajib diatur dan disusun atas prinsip transedental, urutan dan integrasi. Walaupun gagasan para ahli pendidikan Muslim telah banyak dilontarkan, namun disadari benar bahwa soal dualisme sistem pendidikan ini nir mudah diselesaikan. Oleh karena itu, perilaku optimisme dan berani menjadi modal penting. Dengan kapital tadi lambat laun usaha-bisnis para pakar dan sambutan positif warga Islam akan sebagai fenomena.

[1]Maurice Bucaille, La Bible Le Qoran Et La Science, diterjemahkan sang H.M. Rsyidi dengan judul Bibel, Qur’an dan Sains Modern (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 373 

[2]Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta: P3M, 1986), hal. 19 

[3]Muhaiman, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Trigenda, 1993), hal. 39 

[4]Nurchalish Madjid, Islam Doktrin serta Peradaban (Cet. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hal. Xli

[5]Ibid. 

[6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 220. 

[7]Ishāq Ahmad Farhān, al-Tarbiyah al-Islāmiyah bayn al-Asālah wa al-Ma’āsirah (Cet. II; t.tp: Dār al-Furqān, 1983), hal. 30 

[8]Abdul Hamid Abu Sulaiman, Krisis Pemikiran (Jakarta: Media Da’wah, 1994), hal. 50 

[9]Syed Ali Ashaf, New Hoizons in Muslim Education, diterjemahkan sang Soni Siregar menggunakan judul Baru Dunia Islam (Jakarta: Logos: Pustaka Firdaus, 1991), hal. 33 

[10]Zianuddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim (Bandung: Mizan, 1986), hal. 75 

[11]Ibid. 

[12]Ibid., hal. 77 

[13]Amrullah Ahmad (ed), Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam, pada Muslih Musa, Pendidikan Islam pada Indonesia; antara cita serta liputan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 52

[14]A. Saifuddin, Desekularisasi Pemikiran (Bandung: Mizan, 1991), hal. 97 

[15]Ibid., hal. 103 

[16]AM. Saefuddin, op. Cit., hal. 105 

[17]Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam (Cet.I; Jakarta: Amisco, 1996), hal. 21.


[18]Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Buaya serta Politik (Yogyakarta: SI Press, 1994), hal. 167 

[19]Ibid. 

[20]Ada disparitas utama antara ahli Muslilm dan ahli Barat dalam memandang hukum alam. Menurut Barat, aturan alam adalah aturan sebab akibat yang pasti terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Sementara dari Islam, hukum alam itu terdapat karena kehendak Tuhan. Jadi sekalipun hukum alam itu berisi sebab dampak, tetapi aturan sebab akibat itu nir berlaku apabila Tuhan tidak menghendakinya. Ismail SM. Dkk., Paradigma Pendidikan Islam (Semarang: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 91

[21]Zianuddin Sardar, op. Cit., hal. 280-281 

[22]Ali Asyraf, op. Cit., hal. 43

Comments