PENGERTIAN BIROKRASI MENURUT BEBERAPA PAKAR

Pengertian Birokrasi Menurut Beberapa Pakar 
1. Max Weber
Pada dasarnya, Max Weber tidak pernah secara definitif menjelaskan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini kemudian menganalisis ciri-karakteristik apa yg seharusnya inheren dalam birokrasi. Gejala birokrasi yg dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di saat hayati Weber, yaitu birokrasi yg dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia. 

Birokrasi tersebut dipercaya oleh Weber sebagai nir rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yg “galat-urus” atau nir mencapai output secara aporisma. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber lalu membuatkan apa yg seharusnya (ideal typhus) inheren di sebuah birokrasi. Weber terkenal dengan konsepsinya tentang tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas sah dapat diselenggarakan, yaitu :
a. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar anggaran yg berkesinambungan;
b. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yg tidak sinkron sesuai dengan fungsi-fungsinya, yg masing-masing dilengkapi menggunakan syarat otoritas serta hukuman-hukuman;
c. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
d. Anggaran-aturan yg sesuai menggunakan pekerjaan diarahkan baik secara teknis juga secara legal. Dalam ke 2 kasus tersebut, manusia yang terlatih sebagai diperlukan;
e. Anggota sebagai sumber daya organisasi tidak sama menggunakan anggota sebagai individu eksklusif;
f. Pemegang jabatan tidaklah sama menggunakan jabatannya; 
g. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis serta hal ini cenderung berakibat tempat kerja (biro) sebagai sentra organisasi terbaru; dan
h. Sistem-sistem otoritas sah dapat merogoh poly bentuk, tetapi dicermati pada bentuk aslinya, sistem tadi permanen berada dalam suatu staf administrasi birokratik.

Bagi Weber, bila ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tadi dapat dikatakan bercorak sah-rasional. 

Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) pada organisasi yang sah-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional merupakan sebagai berikut :
a. Para anggota staf bersifat bebas secara eksklusif, pada arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
b. Terdapat girarki jabatan yang kentara;
c. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
d. Para pejabat diangkat menurut suatu kontrak;
e. Para pejabat dipilih dari kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
f. Para pejabat mempunyai gaji dan umumnya juga dilengkapi hak-hak purna tugas. Gaji bersifat berjenjang berdasarkan kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan pada keadaan-keadaan tertentu, pejabat jua bisa diberhentikan;
g. Pos jabatan adalah lapangan kerja yang utama bagi para pejabat;
h. Suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta dari pertimbangan keunggulan (superior);
i. Pejabat sangat mungkin nir sinkron menggunakan pos jabatannya maupun dengan asal-asal yg tersedia di pos terbut, serta;
j. Pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yg seragam

Weber jua menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, pada mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber jua memasukkan birokrasi menjadi sistem legal-rasional. Legal oleh karena tunduk pada anggaran-aturan tertulis serta dapat disimak oleh siapa pun pula. Rasional merupakan dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan karena-akibatnya.

Khususnya, Weber memperhatikan kenyataan kontrol superordinat atas diskriminasi. Kontrol ini, bila nir dilakukan pembatasan, membuahkan pada akumulasi kekuatan mutlak pada tangan superordinat. Akibatnya, organisasi nir lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka.

Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada pada dalam birokrasi, yg meliputi point-point berikut : 

Kolegialitas. 
Kolegialitas merupakan suatu prinsip pelibatan orang lain pada pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan merogoh satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan. 

Pemisahan Kekuasaan. 
Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, buat menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, dari Weber, tidaklah stabil namun bisa membatasi akumulasi kekuasaan. 

Administrasi Amatir. 
Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah nir bisa membayar orang-orang buat mengerjakan tugas birokrasi, bisa saja direkrut warganegara yang bisa melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, mak -mak rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor . Tentu saja, pejabat KPU terdapat yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tadi. 

Demokrasi Langsung. 
Demokrasi langsung bermanfaat pada menciptakan orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski adalah prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus pada-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada warga secara holistik. 

Representasi. 
Representasi berdasarkan pengertian seorang pejabat yg diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik bisa diandalkan pada mengawasi kinerja pejabat serta staf birokrasi. Ini dampak pengertian tak langsung bahwa anggota DPR berdasarkan partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.

Hingga sekarang, pengertian orang tentang birokrasi sangat ditentukan sang pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi serta penolakan pada sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.

2. Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog menurut Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. 

Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan menjadi pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yg poly dipraktekkan pada era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :

a. Birokrasi menjadi organisasi rasional
Birokrasi menjadi organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan menjadi segalanya terukur secara pasti serta jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti berdasarkan hipotesis yg diangkat. 

Birokrasi bisa dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi pada administrasi. Secara teknis, birokrasi pula mengacu dalam mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas serta efisiensi pada organisasi-organisasi yg akbar serta kompleks. Birokrasi juga mengacu dalam susunan aktivitas yg rasional yang diarahkan buat pencapaian tujuan-tujuan organisasi. 

Perbedaan menggunakan Weber merupakan, apabila Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yg di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

b. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi adalah antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi pula dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas serta depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan pada struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi akbar.

Birokrasi terlalu percaya pada preseden (anggaran yang dibentuk sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu poly formalitas), duplikasi bisnis, serta departementalisme. Birokrasi juga adalah organisasi yg tidak bisa memperbaiki perilakunya menggunakan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-anggaran di dalam birokrasi cenderung digunakan para anggotanya buat kepentingan diri sendiri.

c. Birokrasi sebagai kekuasaan yg dijalankan sang pejabat.
Birokrasi adalah pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi adalah pemerintahan sang para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan buat mengatur serta melakukan sesuatu. Juga, tak jarang dikatakan birokrasi merupakan kekuasaan para elit pejabat. 

d. Birokrasi menjadi administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup seluruh pegawai pemerintah. Birokrasi adalah sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang serta jasa pada suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.

e. Birokrasi menjadi administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap menjadi sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yg menjalankan otoritas keseharian sebagai bagian krusial. Staf-staf itu terdiri menurut orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yg dianggap birokrasai-birokrasi. Fungsi berdasarkan orang-orang itu disebut menjadi administrasi.

f. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi adalah suatu bentuk organisasi berskala besar , formal, serta terbaru. Suatu organisasi dapat diklaim birokrasi atau bukan mengikut dalam ciri-karakteristik yg telah disebut

g. Birokrasi sebagai warga modern
Birokrasi menjadi warga terbaru, mengacu pada suatu kondisi di mana warga tunduk pada aturan-anggaran yg diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama warga tunduk pada aturan-aturan yg terdapat di 2 tipe birokrasi tadi, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan terbaru.

Reformasi Birokrasi
Birokrasi bisa memicu pemberdayaan masyarakat, dan mengutamakan pelayanan kepada warga tanpa subordinat. Birokrasi demikian dapat terwujud jika terbentuk suatu sistem pada mana terjadi prosedur Birokrasi yg efisien serta efektif dengan menjaga sinergi yang konstiruktif pada antara pemerintah, sektor swasta serta rakyat.

Saat ini posisi, wewenang dan peranan Birokrasi masih sangat bertenaga, baik pada mobilisasi asal daya pembangunan, perencanaan, juga aplikasi pemerintahan dan pembangunan yg masih terkesan sentralistik. Di samping itu, kepekaan Birokrasi buat mengantisipasi tuntutan perkembangan masyarakat mengenai perkembangan ekonomi, sosial serta politik sangat kurang sehingga kedudukan birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat cenderung bersifat vertical top down daripada horizontal partisipative.

Birokrasi yang terjadi pada Indonesia saat ini masih belum efisien, yang diantaranya ditandai menggunakan adanya tumpang tindih kegiatan antar instansi, struktur, norma, nilai,serta regulasi yang ada juga masih berorientasi pada kekuasaan, budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, dan jua banyaknya posisi-posisi terpenting dalam forum birokrasi kita yang nir diisi oleh orang-orang yang berkompeten. Padahal, birokrasi dalam suatu negara merupakan suatu forum penting yang merupakan indera negara dalam melayani warga . Oleh karenanya, suatu perubahan pada birokrasi kita wajib dilaksanakan, atau biasa yang dikenal dengan reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi, merupakan salah satu cara buat membentuk kepercayaan warga . Pengertian reformasi birokrasi sendiri merupakan, suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku , dan eksistensi atau norma yang sudah lama . Reformasi birokrasi ruang lingkupnya nir hanya terbatas dalam proses serta mekanisme, namun juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur serta perilaku serta tingkah laris. Hal ini herbi menggunakan perseteruan yg bersinggungan menggunakan authority atau formal power (kekuasaan).

Menurut Prof. Eko Prasojo, guru akbar sekaligus pakar administrasi negara berdasarkan FISIP UI, buat terwujudnya reformasi birokrasi, maka diharapkan taktik-taktik reformasi birokrasi, yaitu :
  • Level kebijakan, wajib diciptakan berbagai kebijakan yg mendorong Birokrasi yang berorientasi dalam pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian aturan, batas ketika, mekanisme, partisipasi, pengaduan, somasi).
  • Level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan serta latihan yang sensitif terhadap kepentingan warga , penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim serta Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
  • Level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality mencakup dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance serta emphaty.
  • Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan 
Selain memerlukan strategi-taktik, dipelukan jua tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu menaikkan pelayanan publik guna mendapatkan balik agama masyarakat, pelayanan publik yg berorientasi dalam pemberdayaan warga , dan perbaikan taraf kesejahteraan pegawai.

Reformasi birokrasi menjadi bisnis mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi rakyat dan negara. Secara konkret, perlu usaha-usaha berfokus agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar serta berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh buat menuju reformasi birokrasi.

PENGERTIAN BIROKRASI MENURUT BEBERAPA PAKAR

Pengertian Birokrasi Menurut Beberapa Pakar 
1. Max Weber
Pada dasarnya, Max Weber tidak pernah secara definitif mengungkapkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis karakteristik-karakteristik apa yg seharusnya melekat dalam birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung pada ketika hayati Weber, yaitu birokrasi yg dikembangkan dalam Dinasti Hohenzollern pada Prussia. 

Birokrasi tadi dipercaya oleh Weber menjadi nir rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya poly pekerjaan negara yg “salah -urus” atau nir mencapai output secara maksimal . Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber lalu mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi. Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :
a. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
b. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yg tidak sama sesuai dengan fungsi-fungsinya, yg masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-hukuman;
c. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yg disertai dengan rincian hak-hak kontrol serta pengaduan (complaint);
d. Anggaran-aturan yg sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua perkara tersebut, insan yang terlatih sebagai diharapkan;
e. Anggota sebagai sumber daya organisasi tidak sinkron menggunakan anggota menjadi individu eksklusif;
f. Pemegang jabatan tidaklah sama menggunakan jabatannya; 
g. Administrasi berdasarkan dalam dokumen-dokumen tertulis serta hal ini cenderung membuahkan tempat kerja (biro) sebagai sentra organisasi terbaru; dan
h. Sistem-sistem otoritas sah bisa merogoh poly bentuk, tetapi ditinjau pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada pada suatu staf administrasi birokratik.

Bagi Weber, jika ke-8 sifat pada atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tadi dapat dikatakan bercorak legal-rasional. 

Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi sah-rasional adalah sebagai berikut :
a. Para anggota staf bersifat bebas secara eksklusif, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai menggunakan jabatan mereka;
b. Masih ada girarki jabatan yg jelas;
c. Fungsi-fungsi jabatan dipengaruhi secara tegas;
d. Para pejabat diangkat menurut suatu kontrak;
e. Para pejabat dipilih dari kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan pada suatu diploma (ijazah) yg diperoleh melalui ujian;
f. Para pejabat mempunyai gaji serta umumnya jua dilengkapi hak-hak purna tugas. Gaji bersifat berjenjang dari kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan eksklusif, pejabat pula bisa diberhentikan;
g. Pos jabatan merupakan lapangan kerja yg utama bagi para pejabat;
h. Suatu struktur karir dn kenaikan pangkat dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta berdasarkan pertimbangan keunggulan (superior);
i. Pejabat sangat mungkin nir sinkron dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yg tersedia pada pos terbut, dan;
j. Pejabat tunduk pada sisstem disiplin serta kontrol yang seragam

Weber jua menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, pada mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan dalam aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi menjadi sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-anggaran tertulis dan bisa disimak sang siapa pun juga. Rasional adalah dapat dipahami, dipelajari, serta jelas penerangan sebab-akibatnya.

Khususnya, Weber memperhatikan kenyataan kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, bila nir dilakukan pembatasan, mengakibatkan pada akumulasi kekuatan absolut pada tangan superordinat. Akibatnya, organisasi nir lagi berjalan secara rasional melainkan sinkron keinginan pemimpin belaka.

Bagi Weber, perlu dilakukan restriksi atas setiap kekuasaan yang ada pada pada birokrasi, yg mencakup point-point berikut : 

Kolegialitas. 
Kolegialitas merupakan suatu prinsip pelibatan orang lain pada pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa pada birokrasi, satu atasan merogoh satu keputusan sendiri. Tetapi, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan. 

Pemisahan Kekuasaan. 
Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara 2 badan atau lebih. Misalnya, buat menyepakati aturan negara, perlu keputusan beserta antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, dari Weber, tidaklah stabil namun dapat membatasi akumulasi kekuasaan. 

Administrasi Amatir. 
Administrasi amatir diperlukan tatkala pemerintah tidak bisa membayar orang-orang buat mengerjakan tugas birokrasi, bisa saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat bunyi bagi tiap TPS, mak -ibu tempat tinggal tangga diberi kesempatan menghitung serta diberi gaji. Tentu saja, pejabat KPU terdapat yang mendampingi selama aplikasi tugas tadi. 

Demokrasi Langsung. 
Demokrasi eksklusif bermanfaat dalam membuat orang bertanggung jawab pada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test sang DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yg diangkat merasa bertanggung jawab pada masyarakat secara holistik. 

Representasi. 
Representasi didasarkan pengertian seseorang pejabat yg diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat serta staf birokrasi. Ini dampak pengertian tidak eksklusif bahwa anggota DPR menurut partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.

Hingga sekarang, pengertian orang mengenai birokrasi sangat ditentukan sang pandangan-pandangan Max Weber pada atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.

2. Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog menurut Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, beliau sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. 

Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini digunakan menjadi pisau analisa guna menganalisis kenyataan birokrasi yg banyak dipraktekkan pada era terkini. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :

a. Birokrasi menjadi organisasi rasional
Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut dalam pemahaman Weber. Tetapi, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan kentara. Kajian sosial tidap pernah membuat sesuatu yg niscaya menurut hipotesis yg diangkat. 

Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi jua mengacu dalam mode pengorganisasian menggunakan tujuan utamanya menjaga stabilitas serta efisiensi pada organisasi-organisasi yang akbar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu dalam susunan aktivitas yg rasional yang diarahkan buat pencapaian tujuan-tujuan organisasi. 

Perbedaan menggunakan Weber merupakan, bila Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi menjadi “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

b. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi adalah antitesis (perlawanan) berdasarkan menurut vitalitas administratif serta kretivitas manajerianl. Birokrasi pula dinyatakan menjadi susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu dalam ketidaksempurnaan pada struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi akbar.

Birokrasi terlalu percaya pada preseden (anggaran yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban pada banyak sekali urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu poly formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi jua adalah organisasi yang nir dapat memperbaiki perilakunya menggunakan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan pada pada birokrasi cenderung digunakan para anggotanya buat kepentingan diri sendiri.

c. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan sang para administrator yang profesional. Atau, birokrasi adalah pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, tak jarang dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat. 

d. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi adalah sistem administrasi, yaitu struktur yg mengalokasikan barang dan jasa pada suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.

e. Birokrasi sebagai administrasi yg dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian sebagai bagian krusial. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yg diangkat. Mereka inilah yang dianggap birokrasai-birokrasi. Fungsi berdasarkan orang-orang itu disebut sebagai administrasi.

f. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi adalah suatu bentuk organisasi berskala akbar, formal, serta terbaru. Suatu organisasi bisa disebut birokrasi atau bukan mengikut dalam karakteristik-ciri yg telah disebut

g. Birokrasi sebagai warga modern
Birokrasi menjadi rakyat modern, mengacu pada suatu kondisi pada mana masyarakat tunduk pada aturan-aturan yg diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, nir dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama rakyat tunduk pada anggaran-anggaran yang terdapat di 2 tipe birokrasi tadi, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan terbaru.

Reformasi Birokrasi
Birokrasi bisa memicu pemberdayaan masyarakat, serta mengutamakan pelayanan pada warga tanpa diskriminasi. Birokrasi demikian dapat terwujud jika terbentuk suatu sistem pada mana terjadi prosedur Birokrasi yg efisien dan efektif dengan menjaga sinergi yang konstiruktif pada antara pemerintah, sektor swasta dan rakyat.

Saat ini posisi, kewenangan serta peranan Birokrasi masih sangat bertenaga, baik dalam mobilisasi sumber daya pembangunan, perencanaan, maupun aplikasi pemerintahan serta pembangunan yg masih terkesan sentralistik. Di samping itu, kepekaan Birokrasi buat mengantisipasi tuntutan perkembangan warga tentang perkembangan ekonomi, sosial dan politik sangat kurang sehingga kedudukan birokrasi yg seharusnya menjadi pelayan rakyat cenderung bersifat vertical top down daripada horizontal partisipative.

Birokrasi yg terjadi di Indonesia waktu ini masih belum efisien, yg diantaranya ditandai menggunakan adanya tumpang tindih aktivitas antar instansi, struktur, kebiasaan, nilai,dan regulasi yang ada pula masih berorientasi dalam kekuasaan, budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, serta juga banyaknya posisi-posisi terpenting dalam forum birokrasi kita yang tidak diisi sang orang-orang yg berkompeten. Padahal, birokrasi dalam suatu negara merupakan suatu forum krusial yg merupakan alat negara pada melayani warga . Oleh karena itu, suatu perubahan dalam birokrasi kita wajib dilaksanakan, atau biasa yang dikenal dengan reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi, adalah keliru satu cara buat menciptakan kepercayaan warga . Pengertian reformasi birokrasi sendiri artinya, suatu bisnis perubahan pokok dalam suatu sistem yg tujuannya mengubah struktur, tingkah laku , serta eksistensi atau kebiasaan yg sudah lama . Reformasi birokrasi ruang lingkupnya nir hanya terbatas dalam proses dan prosedur, namun juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap dan tingkah laku . Hal ini berhubungan dengan menggunakan pertarungan yg bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).

Menurut Prof. Eko Prasojo, guru akbar sekaligus ahli administrasi negara dari FISIP UI, buat terwujudnya reformasi birokrasi, maka diharapkan strategi-taktik reformasi birokrasi, yaitu :
  • Level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yg mendorong Birokrasi yg berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil masyarakat (kepastian aturan, batas waktu, mekanisme, partisipasi, pengaduan, gugatan).
  • Level organisational, dilakukan melalui pemugaran proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yg sensitif terhadap kepentingan warga , penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
  • Level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.
  • Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan pemugaran 
Selain memerlukan taktik-taktik, dipelukan pula tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu menaikkan pelayanan publik guna mendapatkan kembali agama rakyat, pelayanan publik yg berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, dan perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai.

Reformasi birokrasi menjadi bisnis mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat serta negara. Secara nyata, perlu bisnis-bisnis serius supaya pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin ini dia adalah langkah-langkah yg perlu ditempuh buat menuju reformasi birokrasi.

PENGERTIAN MANAJEMEN BEBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah 
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah pada perihal pengelolaan pendidikan di Indonesia nir terlepas menurut konteks gerakan “restrukturisasi serta reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yg lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan sang beberapa konsep pengelolaan sekolah, misalnya :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.

Konsep-konsep tersebut mengungkapkan bahwa sekolah ditargetkan buat melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berada pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for excellence) dan effective schools.

Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah buat melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat pula dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian asal daya yang dilakukan secara mandiri sang sekolah menggunakan melibatkan semua grup kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah secara eksklusif pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mancapai tujuan pendidikan nasional.

Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari 3 kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen merupakan proses memakai asal daya efektif buat mencapai sasaran. Berbasis memiliki istilah dasar basis yg berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar serta mengajar dan loka buat mendapat dan menaruh pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan menjadi penggunaan sumber daya yg dari dalam sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. 

Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, manajemen berbasis sekolah berpijak dalam Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa bila seseorang atau sekelompok orang mempunyai kepuasan buat merogoh keputusan sendiri, maka orang atau grup orang tadi akan mempunyai tanggung jawab yg besar buat melakukan apa yang telah diputuskan. Berangkat dari teori ini, banyak manajemen berbasis sekolah yang dikemukakan sang para pakar. 

Eman Suparman seperti yang dikutip sang Mulyono mendefinisikan manajemen berbasisi sekolah sebagai penyerasian asal daya yg dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua gerombolan kepentingan yg terkait sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sementara itu Slamet mengartikan manajemen berbasis sekolah menjadi pengkoordinasian pada penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, menggunakan melibatkan gerombolan kepentingan yang terkait menggunakan sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah harus bersifat terbuka serta inklusif terhadap sumber daya pada luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras dengan tujuan pendidikan nasional. 

Priscilla Wohlster serta Albert Mohrman menyebutkan secara luas bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah pendekatan politis buat mendesain ulang organisasi sekolah menggunakan memberikan kewenangan serta kekuasaan kepada partisipasi sekolah dalam tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yg dimaksudkan merupakan partisipasi kepala sekolah, pengajar dan masyarakat lokal.

Sesuai dengan pelukisan di atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri dalam membuatkan dan melakukan penemuan dalam berbagai acara buat meningkatkan mutu pendidikan sesuai menggunakan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak terlepas menurut kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yg berkepentingan (stakeholder), dan sekolah wajib mampu mempertanggungjawabkan pada masyakat. Artinya manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara pribadi pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional serta Dinas Pendidikan Nasional, terminologi yang populer adalah MPMBS. MPMBS pada intinya merupakan otonomi, akuntabilitas, dan partisipasi warga , dalam penyelenggraan pendidikan. Titik tekan MPMBS perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan mengenai layanan purna lulus. 

Secara generik skema berpikir kebijakan MBS di Indonesia merupakan sebagai berikut:

Gambar  Skema Berpikir Kebijakan MBS pada Indonesia

A. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) ada 3 katakteristik yang wajib dikedepankan menurut yg lain menurut manajemen, antara lain adalah: pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yang herbi peningkatan mutu pendidikan yg didesentralisasikan pada stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yg meliputi keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, meliputi kurikulum, kepegawai, keuangan, wahana-prasarana dan penerimaan murid baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan pada sekolah-sekolah, tetapi diregulasikan yg mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab pemerintah.

Edmon mencoba mengemukakan banyak sekali indikator yg pertanda karakteristik berdasarkan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) diantaranya merupakan: 
1. Lingkungan sekolah yg kondusif serta tertib;
2. Sekolah memiliki visi serta sasaran mutu yang ingin dicapai;
3. Sekolah memilki kepemimpinan yang kuat;
4. Adanya asa yg tinggi menurut personal sekolah (kepala sekolah, pengajar serta staf termasuk siswa) buat berprestasi;
5. Adanya pengembangan staf sekolah yg monoton sinkron tuntutan IPTEK;
6. Adanya aplikasi penilaian yg terus menerus terhadap banyak sekali aspek akademis serta administratif, serta pemanfaan hasilnya buat penyempurnaan/ perbaikan mutu;
7. Adanya komunikasi serta dukungan intensif dari orang tua siswa dan warga .

Adapun Saud menyatakan beberapa ciri dasar diantaranya yaitu, anugerah otonomi yang luas pada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yg tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis serta profesional, dan adanya teamwork yang tinggi serta profesional. Pada tataran ini, bila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. 

Apabila melihat karakteristik yg dideskripsikan pada atas berdasarkan pada aspek geografis Indonesia yang bhineka antara satu menggunakan yang lainnya, maka akan berimplikasi pada kemampuan dan karakteristik spesial bagi sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS). Akan namun ciri spesial tersebut diharapkan bisa menaruh implikasi positif terhadap peningkatan personal sekolah, karena tenaga kependidikan dan siswa umumnya datang berdasarkan bebagai sektor atau latar belakang yang tidak sama, misalnya latar geografis, kesukuan taraf sosial, ekonomi, maupun politik. Atas dasar itulah karakteristik yg menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu mengoptimalisasikan aspek-aspek eksklusif, yaitu menaikkan kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan asal daya insan, serta pengelolaan asal daya administrasi.

Selain itu kerjasama antara masyarakat sekolah yang meliputi guru, pegawai, peserta didik, dan wali anak didik menggunakan warga harus dibangun atas dasar kredibilitas yang tinggi. Sekolah wajib bisa memacu masyarakat buat ikut mempunyai forum yg bersangkutan guna menumbuhkan iklim kerjasama dengan menganut sistem transparansi, baik pada program maupun pada hal pengelolaan finansial (keuangan). Di samping itu program yg tersusun sang komponen sekolah wajib mampu bersifat berkelanjutan (kontinuitas).

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan menaikkan efisiensi mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola asal daya yang terdapat, partisipasi rakyat, serta penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme pengajar, adanya hadiah serta hukuman menjadi kontrol, serta hal lain yg bisa menumbuh kembangkan suasana yg aman. 

Menurut Kustini Hardi, terdapat tiga tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Pertama, mengembangkan kemampuan ketua sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) buat menaikkan mutu sekolah. Kedua, menyebarkan kemampuan kepala sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada pelaksanaan pembelajaran yang aktif serta menyenangkan, baik di lingkungan sekolah juga di lingkungan setempat. Ketiga, menyebarkan kiprah dan rakyat yg lebih aktif dalam masalah generik persekolahan berdasarkan sekolah buat membantu peningkatan mutu sekolah.

Kementerian Pendidikan Nasional menggambarkan bahwa tujuan aplikasi MBS merupakan menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada mengelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia, meningkatkan kepedulian warga sekolah serta warga dalam peyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama, menaikkan tanggung jawab sekolah pada orang tua, warga serta pemerintah mengenai mutu sekolahnya, dan meningkatkan kompetensi yg sehat antarsekolah tetang mutu pendidikan yg akan dicapai. 

Secara umum bisa diinterpretasikan bahwa pada penyelenggaraan MBS setidaknya terdapat empat aspek penting yang wajib dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) serta relevansi, keadilan, efektivitas serta efisiensi, dan akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevasi pendidikan yang dengan tinggi-tingginya, dengan tolak ukur evaluasi pada hasil (hasil dan outcome) bukan dalam metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu serta relevansi ini sebagai satu kesatuan substansi, artinya menjadi hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Bagi yg memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk dalam manfaat berdasarkan apa yg diperoleh anak didik melalui pendidikan pada aneka macam lingkup/tuntutan kehidupan (impak), termasuk jumlah ranah pendidikan yang tidak diujikan.

MANAJEMEN PEMBANGUNAN UNTUK NEGARA BERKEMBANG

Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang 
Di tengah-tengah semakin berat dan kompleks tantangan bangsa Indonesia menghadapi era global waktu ini, mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran yang inovatif serta produktif dalam forum pemerintah baik pusat serta wilayah merupakan langkah dan sikap yg tepat dan patut menerima dukungan menurut semua komponen rakyat. Dengan istilah lain “Reformasi Administrasi” pada Indonesia harus sesegera mungkin menjadi pilihan para penyelenggara pemerintahan baik pusat juga wilayah guna mewujudkan good governance, pemerintahan yang higienis, sehat, serta berwibawa.

Pemerintahan Daerah Provinsi, pada hal ini gubernur sebagai ketua pemerintah wilayah sangatlah dekat menggunakan politik serta administrasi publik. Terlebih lagi dalam sistem pemilihan kepala daerah secara pribadi misalnya kini , kedekatan kepala wilayah dalam aspek politik semakin bertenaga, selain posisinya menjadi penanggung jawab administrasi dan manajemen pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemikiran teoretis serta mudah sebagai gubernur pada menerapkan pendekatan-pendekatan baru pada administrasi publik.

Gubernur dituntut bisa memadukan secara serasi demokrasi administrasi publik. Hal ini merupakan tantangan yang akbar, lantaran misalnya yang dikatakan oleh Kenneth J. Meier serta Laurence O’Toole Jr (2006), bahwa one of the most important and persisting challenges of terbaru government is how to reconcile the demans of democracy with the imperatives of bureaucracy.

Pada tahun 1980-an aneka macam pemikiran ada untuk memperbarui birokrasi dan menyesuaikannya dengan perkembangan teknologi –khususnya teknologi keterangan- dan ekonomi –khususnya globalisasi- yang sangat mengurangi kiprah negara dan makin menonjolkan peran global bisnis, serta menempatkan persaingan sebagai credo yg utama. Lahirlah istilah-istilah “hollowing out of the state” dan sebagainya. Maka berkembanglah pemikiran-pemikiran yg berpengaruh dalam perkembangan konsep administrasi public selanjutnya, yaitu Reinventing Government (Osborn dan Gaebler 1992) dan New Public Management (Hood 1989).

Gagasan NPM pada dasarnya ingin “membebaskan” para manajer publik berdasarkan kekangan anggaran-aturan birokratik serta kontrol administrasi sehingga dapat menjalankan tugas dengan leluasa. Seperti halnya manajer pada sektor swasta para manajer publik mendapat imbalan apabila sukses dan hukuman apabila gagal. Dengan cara demikian maka manajer publik bisa memanfaatkan seluruh potensi serta kompetensi yang dimiliki guna membuat secara maksimal produk, baik barang juga jasa buat layanan publik. Perspektif utama menurut pandangan NPM ini merupakan warga negara atau warga dilihat atau diperlakukan sebagai konsumen yg mempunyai akal, pikiran, kehendak, dan pilihan atau rational-choice, nir tidak sinkron dengan pendekatan public-choice pada disiplin ilmu ekonomi. Dan nir lagi menjadi entitas yang pasif (lapang dada saja) Maka pada sistem ini terkandung pula nilai demokrasi dalam administrasi publik.

Di dalam doktrin NPM, pemerintah dianjurkan buat meninggalkan kerangka berpikir administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan prosedur, dan menggantikannya menggunakan orientasi dalam kinerja atau hasil kerja. Pemerintah juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik menggunakan mendorong organisasi serta pegawai supaya lebih fleksibel, dan tetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih jelas sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Di samping itu, pemerintah pula diperlukan menerapkan sistem desentralisasi, memberi perhatian pada pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Dalam perkembangannya, NPM dianggap menjadi liberation –yaitu upaya pembebasan manajemen publik menurut kungkungan konservativisme administrasi klasik dengan memasukkan prinsip-prinsip sektor privat ke pada sektor publik (Golembiewski, 2003). Lebih menarik lagi, bahwa NPM dipandang menjadi kumpulan ide-pandangan baru serta praktik yg berupaya menggunakan pendekatan sektor partikelir serta bisnis ke dalam sektor publik (Denhardt & Denhardt, 2003).

David Osborn dan Ted Gaebler (1993) menekankan sine qua non upaya buat mentransformasikan entrepreuneurial spirit, karena saat asal daya semakin langka, pemerintah harus berubah berdasarkan bureaucratic contoh ke entrepreuneurial model. Oleh karenanya, pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi dalam jiwa serta semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru pada tubuh pemerintah dapat disebut menjadi manajemen kewirausahaan.

Dampak dari pelaksanaan model NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju, namun juga di negara-negara sedang berkembang seperti penerapan 5 (lima) prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi, (2) privatisasi, (3) downsizing, (4) debirokratisasi, dan (lima) manajerialisme (Vigoda, 2003).

A. Reformasi Administrasi Publik dan Perkembangannya
Sejak 2 dekade terakhir, pelaksanaan reformasi administrasi publik makin konkret pada berbagai negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diperlukan karena tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat (Caiden, 1991; Lenvine, Peters & Thompson, 1990). Doktrin Administrasi Publik Klasik (the Old Public Administration-OPA) yang semenjak awal dimotori sang Wilson dalam tahun 1987 terus dikritik oleh para pakar, serta mulai ditinggalakan (Cooper, 1998; Hughes, 1994) lantaran nir bisa mengakomodasi perubahan situasi dan syarat masyarakat.

Keberhasilan NPM pada negara-negara maju, menyebabkan terjadinya kenaikan pangkat secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM pada negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yg selama ini ditangani sang pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen partikelir. Alasannya, lebih berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, serta pertumbuhan kesempatan kerja, mempertinggi efisiensi pelayanan karena lebih fleksibel beradaptasi menggunakan pasar, menaikkan efisiensi di departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, dan pembiayaan terhadap pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan lantaran lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan menggunakan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings dan Haist (2002), yg ditekankan dalam NPM merupakan pengukuran terhadap output bukan proses, serta konduite sebagai akibatnya tak jarang diklaim sebagai results-oriented government. 

Promosi doktrin NPM pada Indonesia dapat diamati dari kehadiran tentang NPM, contohnya karya-karya tentang administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yang ditulis antara lain sang Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo (2002), Dwiyanto (2003), serta lain-lain.

Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yg paling konkret adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah yg kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 

Otoritas terhadap banyak sekali urusan pemerintahan yg didesentralisasikan pada pemerintah wilayah lebih banyak jumlahnya daripada yg diatur sang pemerintah pusat. Alasan utama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah buat menjalankan prinsip demokrasi, menaikkan peran serta warga , pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah melalui hadiah kewenangan yang luas, konkret, serta bertanggung jawab pada wilayah secara proporsional. 

Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan hadiah kewenangan seluas-luasnya supaya wilayah memiliki kewenangan menciptakan kebijakan buat pelayanan, peningkatan kiprah dan, prakarsa dan pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan warga di daerah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis ini pemerintah daerah diserahi otoritas buat menjalankan berbagai urusan. Pemerintah daerah bisa melakukan perencanaan serta pengendalian pembangunan, pemanfaatan serta supervisi tata ruang, penyelenggaraan ketertiban generik. Pemerintah wilayah juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan perkara sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, bisnis mini dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan serta catatan sipil, pelayanan administrasi generik pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman kapital, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, dan urusan harus lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Smentara pemerintah pusat hanya menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter serta fiskal nasional, dan agama.

Implementasi NPM bisa ditinjau jua menurut kewajiban melakukan evaluasi kinerja pemerintah wilayah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 mengenai Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105 Tahun 2000 mengenai Pengelolaan serta Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan lalu dilanjutkan menggunakan PP Nomor 56 Tahun 2002 tentang Laporan Kinerja Penyelenggara Pemda serta PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.

Selain itu, implementasi NPM dapat ditinjau menggunakan diberlakukannya peraturan perundangan mengenai privatisasi seperti Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya buat menaikkan kinerja BUMN yang mencakup perbaikan struktur permodalan, menaikkan profesionalisme dan efisiensi bisnis, perubahan budaya perusahaan, memperluas partisipasi warga dalam kepemilikan saham BUMN dan penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate governance yang berdasarkan dalam transparansi , akuntabilitas, serta kemandirian.

B. Pendekatan Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah) pada Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
1. Pendekatan Demokratisasi
Demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan terealisasi apabila dalam pemerintahan telah terjadi paradigma ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi penyelenggara negara yang telah meningkat tinggi akan membentuk terjadinya proses demokratis, sebagai akibatnya memungkinkan terjadinya good governance. 

Bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis itu digambarkan sebagai bentuk yang terdiri atas posisi jabatan yang akan ditempati oleh gerombolan jabatan yg bersifat politis yang dari dari kekuatan partai politik, dan jabatan yg berasal dari pegawai karier pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka nir akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan yang begitu cepat, walaupun pejabat pada organisasi tersebut berubah. Walaupun para pejabat yg menduduki jabatan tertentu sudah berakhir masa jabatannya, maka penyelenggaraan pemerintahan akan tetap stabil, berjalan, serta profesional.

Dalam demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan diharapkan akan terjadi proses pada mana pejabat yg bersifat politis yang sekaligus sebagai wakil warga akan ikut memilih kebijakan departemen pemerintah yang akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut menentukan proses pembuatan kebijakan departemen sekaligus juga ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yg dibentuk itu dilaksakan sang penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap pejabat politik itu mampu eksklusif dikontrol oleh masyarakat pemilihnya. Jabatan politis ini juga ikut bertanggung jawab terhadap masyarakat atas keberhasilan kebijakan yg dibuatnya.

Proses pertanggungjawaban itu nir hanya dilakukan oleh pejabat yang melaksanakan kebijakan politik dan melayani warga , akan namun pejabat politik harus jua bertanggung jawab kepada warga yg mempercayainya pada departemen. Rakyat harus memiliki akses aktif terhadap kontrol, baik pada jabatan politik yg mewakilinya juga pada jabatan sebagai pelayanan masyarakat.

Kontrol kepada penyelenggara pemerintahan dilakukan berdasarkan pelbagai jurusan nir hanya membatasi menurut jalur birokrasi sendiri, akan namun sanggup melalui jalur politik. Akses rakyat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka dengan seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan sang warga , itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk mencapai tujuan yg ideal dalam pelaksanaannya. Hal tersebut akan diperlihatkan dengan tergambarnya struktur organisasi serta pembagian kerja/tugas yg sesuai dengan tugasnya masing-masing.

2. Pendekatan Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Seringkali kasus pendekatan penyelenggaraan pemerintahan dari prinsip-prinsip sentralisasi serta desentralisasi herbi tingkat perkembangan bangsa serta negara-negara baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, training bangsa pada arti membina kesatuan bangsa dari afinitas-afinitas kedaerahan, kesukuan, penggolongan politik dan lain-lain, terasa lebih krusial, sehingga tercermin dalam kebijaksanaan serta tata cara penyelenggaraan pemerintahan yg sentralistis. Dalam taraf lebih lanjut dimana perkembangan pelatihan bangsa sudah lebih matang, maka keperluan ekspansi aktivitas pembangunan tak jarang menumbuhkan kebutuhan akan desentralisasi.

Konsep desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan pada tengah-tengah pembangunan bangsa pada negara-negara berkembang. Hal ini bersamaan dengan terlihatnya banyak sekali kelemahan yg tampak menggunakan jelas pada kontrol sentral. Namun demikian dalam umumnya bentuk desentralisasi yang diinginkan tetap hendaknya dijaga dalam rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, dan bahkan administratif suatu negara. Hal ini sejalan menggunakan pendapat Maryanov (pada LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan antara lain: (1) mengurangi beban pemerintah pusat, serta campur tangan tentang masalah-kasus mini dalam taraf lokal. Demikian jua memberi peluang buat koordinasi pelaksanaan dalam tingkat lokal, (2) menaikkan pengertian warga dan dukungan mereka pada kegiatan bisnis pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada taraf lokal, bisa mencicipi keuntungan dari donasi aktivitas yg mereka lakukan, (tiga) penyusunan program-acara buat perbaikan sosial ekonomi pada taraf lokal sebagai akibatnya bisa lebih realistis, (4) melatih masyarakat buat mampu mengatur urusannya sendiri (self government), dan (lima) pembinaan kesatuan nasional.

Ada 2 bentuk desentralisasi (Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yang bersifat administratif serta desentralisasi yang bersifat politik. Desentralisasi administratif umumnya disebut dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang aplikasi pada taraf-tingkat lokal. Para pejabat tingkat lokal bekerja dalam batas rencana dan asal-asal aturan, namun mereka mempunyai elemen kebijaksanaan serta kekuasaan (diskresi) dan tanggung jawab eksklusif pada hal sifat-hakikat jasa serta pelayanan dalam tingkat lokal. Diskresi mereka dapat bervariasi mulai berdasarkan peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan yang lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol eksklusif terhadap asal-sumber daya diberikan pada pejabat-pejabat regional serta lokal.

Dewasa ini masalah desentralisasi dihubungkan dengan usaha perencanaan pembangunan wilayah. Dengan ini diusahakan supaya perencanaan nasional memberi perhatian dalam pertimbangan regional. Dan penyelenggaraan suatu kegiatan bisnis diadaptasi dengan lokasinya yg paling baik. Dengan demikian diusahakan supaya potensi-potensi regional bisa dimanfaatkan, sehingga perkembangan antar daerah berjalan lebih masuk akal. Kegiatan-aktivitas bisnis yg lebih menyangkut kepentingan masyarakat daerah bisa seluruhnya atau sampai tingkat eksklusif, dipengaruhi serta diselenggarakan sang pemerintah wilayah sendiri. Namun hal ini dalam rangka suatu perencanaan pembangunan daerah perlu diusahakan secara konsisten serta komplementer dengan bisnis-bisnis nasional di wilayah tadi.

C. Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance
Saat ini, good governance merupakan berita yg mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yg baik antara governance di sektor publik (pemerintahan) menggunakan governance pada sektor masyarakat, terutama partikelir, sehingga bisa dihasilkan transaksional hasil melalui mekanisme pasar yang paling ekonomis dari aktivitas masyarakat. Oleh karena itu, pada good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan efektif, melainkan pula private sector governance yg efisien dan kompetitif.

Carl J. Bellone (1980: 285) mengungkapkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan ciri struktur organisasi (pemerintahan) yang mempunyai urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tersebut di dalamnya masih ada posisi-posisi atau jabatan yg memiliki kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai aturan dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur mengenai pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Pada sisi lain, birokrasi pemerintah acapkali diartikan menjadi “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya memiliki yuridiksi yg jelas dan niscaya. Dalam yuridiksi tersebut, seorang memiliki tugas serta tanggung jawab resmi (official duties) yg memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja pada tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. 

Dalam aplikasinya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya menjadi kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang. Indonesia contohnya, semakin sulit buat mewujudkan good governance, yg terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance pada sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yg diklaim “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi, Kronisme, serta Nepotisme). 

Administrasi negara di Indonesia dalam waktu ini lebih tepat dikatakan sebagai indera buat menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas administrasi negara saat ini lebih poly menjadi gambaran atau lukisan dari dalam realitanya. Sehingga dibutuhkan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yang ideal menuju good governance. 

Birokrasi pemerintah yg dipandang perlu untuk dibangun kembali guna menuju pemerintahan yg adil, bersih, berwibawa, serta demokratis (good governance). Sehingga permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji pulang menjadi jalan pemecahannya antara lain:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia waktu ini.
2. Adanya perubahan kerangka berpikir birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yg mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai, sebagai akibatnya terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Peranan pemerintah dan rakyat pada membentuk birokrasi.

Diharapkan menggunakan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yg menjunjung tinggi nilai-nilai serta berperilaku positif, adanya komunikasi yg baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance bisa diwujudkan.

1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini
Kehidupan serta tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah pada Indonesia sangat ditentukan oleh percaturan politik terlebih lagi saat setelah dilaksanakan pemilihan generik. Oleh karenanya birokrasi pemerintah sangat dipengaruhi oleh kehidupan politik serta pemilunya. Sejalan menggunakan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk berdasarkan administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih menurut sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan modern telah mendorong birokrasi menjadi indera yang unggul dalam mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis sudah menjadikan lembaga pemerintahan mempunyai kapasitas yang luar biasa serta menjadi sentral buat mengarahkan energi politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih menurut partai politik.

Partai politik didirikan nir mempunyai harapan lain, kecuali buat bisa memerintah negara. Upaya buat memerintah itu berdasarkan paham demokrasi dibatasi oleh waktu eksklusif serta harus dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, amanah, adil, bebas, rahasia, serta konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yg eksistensinya nir memalui pemilihan generik, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya menggunakan cara-cara merit. Agar agar profesionalisme birokrasi nir terganggu dengan silih bergantinya partai politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak.

Selain itu administrasi negara digambarkan jua menjadi upaya yg lebih concern terhadap “aplikasi suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini mengungkapkan bahwa administrasi negara lebih terkenal diklaim mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain menurut daerah politik. Di wilayah ini partai politik berkecimpung menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni pada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tadi merupakan wilayah dan domain administrasi negara.

Birokrasi pemerintah saat ini mencerminkan birokrasi besar yg menekankan dalam wewenang yang nir didukung menggunakan aparatur yg profesional menggunakan kompetensi yg sesuai dengan bidang fungsi yg dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung dengan sistem kepegawaian yg didasarkan pada sistem merit, dalam syarat partikelir belum bisa membangun lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yang relatif poly. Sehingga aparatur yg profesional dan memahami paradigma sesuai dengan konsep birokrasi ideal sebagai kebutuhan yang mendesak. 

2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian berfokus di negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih merasakan kekurangpuasan peran birokrasi pemerintah, sebagai akibatnya terus berupaya buat mencari identitas baru bagi birokrasinya. 

Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang menggunakan seperangkat teori yang melahirkan paradigma baru pada global ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi menjadi organisasi pemerintahan tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), tetapi pula melakukan dorongan serta motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta rakyat.

Pertumbuhan karakteristik birokrasi tradisional ke arah birokrasi terkini menjadi suatu fenomena yang bersifat implikatif. Seiring menggunakan aneka macam kemajuan dan munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, mengakibatkan kebutuhan akan pelayanan pula semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada pada tengah-tengah masyarakat tadi nir dapat tinggal membisu, namun harus lebih bisa menaruh aneka macam pelayanan sesuai menggunakan kebutuhan warga .

Carl J. Bellone (1980: 35) mengungkapkan bahwa semenjak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial bergerak cepat buat menemukan paradigma baru dalam bidang administrasi pemerintahan terkini. Ada lima model teori administrasi pemerintahan yang diambil buat menuju perubahan yg lebih baik berdasarkan pengalaman realitas, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yg memiliki 2 komponen basis dasar. Yang pertama merupakan struktur atau perancangan suatu organisasi, dan yang ke 2 adalah pembagian tugas serta pekerjaan yang dibuat secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, merupakan suatu produk menurut era prilaku. Nilai-nilai buat dicapai umumnya serupa dengan contoh birokratis klasik, karenanya dalam contoh neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, dan prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis pada umumnya kelompok kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai buat dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam model neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yg umum, serta proses pengambilan keputusan sebagai fokusnya; 3) Model kelembagaan, pada contoh kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam contoh birokrasi kelembagaan nir hanya mengutamakan rasionalitas, namun pula menggantungkan dalam nilai-nilai. Keputusan yg diambil birokrasi merupakan tawaran dan kompromi grup yang berminat dan menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah target output. Model ini sungguh-sungguh menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar manusia, model ini adalah reaksi terhadap model birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya dalam kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, serta pergerakan hubungan antar insan. Dalam pergerakan hubungan antar insan mencerminkan nilai-nilai yang mendasarinya. Nilai-nilai ini meliputi pekerja serta keikutsertaan klien dalam pengambilan keputusan yang dapat mengurangi disparitas status dan kompetisi interaksi antar eksklusif, serta menekankan dalam proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, dan kepuasan warga , dan 5) Model administrasi pemerintahan baru, dalam contoh ini birokrat wajib mulai bersikap bahwa nilai-nilai yang berbeda perlu mendominasi. Dengan disparitas tersebut akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yg mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yg sinkron. Sasaran output dari administrasi pemerintahan baru merupakan untuk mengorganisasi, menguraikan, atau membuat organisasi mata-mata yang berfungsi memberi penilaian.

Pendapat pada atas sejalan dengan pendapat Weber menjadi tokoh yang memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal menjadi unsur utama pada rasionalisasi global terbaru, yg baginya jauh lebih krusial menurut semua proses sosial. Diantara yang lain-lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber pada (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan menggunakan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi sang jabatannya manakala dia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya buat keperluan serta kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada pejabat atasan serta bawahan dan ada pula yg menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; Ketiga, tugas serta fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik tidak selaras satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat memiliki kontrak jabatan yg harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang sebagai wewenang dan tanggung jawab yg wajib dijalankan sinkron menggunakan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yg idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak buat menerima pensioun sesuai dengan strata hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat mampu tetapkan untuk keluar berdasarkan pekerjaannya dan jabatannya sinkron menggunakan keinginannya serta kontraknya dapat diakhiri pada keadaan eksklusif; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas menggunakan promosi berdasarkan senioritas serta merit sesuao menggunakan pertimbangan yg objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya serta resources intansinya buat kepentingan pribadi serta keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada pada bawah pengendalian serta pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.

Sejalan menggunakan konsep birokrasi ideal pada atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia wajib terjadi perubahan kerangka berpikir menuju good governance, antara lain:
a. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti kerangka berpikir yg lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya mampu dipengaruhi oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama pada mengatasi segala macam problem yg timbul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan pada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi lebih krusial artinya buat menjadi bahan pertimbangan pemerintah.

b. Perubahan kerangka berpikir dan orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian sebagai berorientasi kepada egalitarian dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara mampu melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang terkonsentrasi dalam satu orang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat poly. Paradigma semacam ini sudah poly ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yg mengutamakan peranan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan masyarakat menjadi pertimbangan pertama serta primer jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.

c. Perubahan kerangka berpikir menurut sentralisasi kekuasaan sebagai desentralisasi wewenang. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, misalnya yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai menurut perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat pemerintah sentra.

d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yg berlaku buat satu negara tertentu, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa kini ini adalah jamannya tata manajemen pemerintahan yg cenderung ditentukan oleh rapikan aturan dunia. Keadaan misalnya ini akan membawa akibat bahwa rapikan aturan yg hanya menekankan pada aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan dunia. 

e. Perubahan dari paradigma menurut tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork sebagai tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan misalnya ini membutuhkan kompetensi asal daya aparatur yg tahu serta mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yg seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan dan pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.

f. Perubahan kerangka berpikir dari a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di dalam rakyat yg rendah tingkat kepercayaannya nir bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yg hidup pada warga seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yg tidak demokratis, membatasi ruang mobilitas, menjauhkan birokrasi berdasarkan hubungan menggunakan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian aturan-aturan birokrasi. Sebaliknya paradigma baru yg menekankan terhadap kepercayaan sebagai akibatnya melahirkan suatu warga yg tinggi taraf kepercayaannya akan mampu menciptakan birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan membentuk suasana kerja yang lebih fleksibel dan berbasiskan dalam orientasi gerombolan kerja dengan lebih menaruh tanggung jawab yg akbar dalam tataran organisasi yang paling bawah. Birokrasi pemerintah seperti ini akan memperlakukan para pegawainya menjadi orang dewasa yg bisa dianggap untuk menaruh konstribusi pelayanan pada masyarakat.

ADMINISTRASI PEMBANGUNAN BATASBATAS STRATEGI PEMBANGUNAN KEBIJAKAN DAN PEMBAHARUAN ADMINISTRASI

Administrasi Pembangunan (Batas-Batas, Strategi Pembangunan Kebijakan Dan Pembaharuan Administrasi)
Di tengah-tengah semakin berat dan kompleks tantangan bangsa Indonesia menghadapi era dunia ketika ini, mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran yang inovatif dan produktif pada lembaga pemerintah baik pusat serta daerah adalah langkah dan perilaku yang sempurna serta patut menerima dukungan dari semua komponen rakyat. Dengan istilah lain “Reformasi Administrasi” di Indonesia wajib sesegera mungkin sebagai pilihan para penyelenggara pemerintahan baik sentra juga daerah guna mewujudkan good governance, pemerintahan yg higienis, sehat, dan berwibawa.

Pemerintahan Daerah Provinsi, pada hal ini gubernur menjadi kepala pemerintah daerah sangatlah dekat menggunakan politik serta administrasi publik. Terlebih lagi pada sistem pemilihan ketua wilayah secara pribadi misalnya sekarang, kedekatan kepala daerah dalam aspek politik semakin kuat, selain posisinya sebagai penanggung jawab administrasi dan manajemen pemerintahan wilayah. Oleh karenanya pemikiran teoretis serta simpel sebagai gubernur pada menerapkan pendekatan-pendekatan baru pada administrasi publik.

Gubernur dituntut dapat memadukan secara harmonis demokrasi administrasi publik. Hal ini adalah tantangan yang besar , lantaran misalnya yg dikatakan sang Kenneth J. Meier serta Laurence O’Toole Jr (2006), bahwa one of the most important and persisting challenges of terkini government is how to reconcile the demans of democracy with the imperatives of bureaucracy.

Pada tahun 1980-an berbagai pemikiran ada buat memperbarui birokrasi dan menyesuaikannya dengan perkembangan teknologi –khususnya teknologi informasi- serta ekonomi –khususnya globalisasi- yang sangat mengurangi kiprah negara dan makin menonjolkan kiprah dunia usaha, serta menempatkan persaingan sebagai credo yang utama. Lahirlah kata-istilah “hollowing out of the state” serta sebagainya. Maka berkembanglah pemikiran-pemikiran yg berpengaruh pada perkembangan konsep administrasi public selanjutnya, yaitu Reinventing Government (Osborn dan Gaebler 1992) serta New Public Management (Hood 1989).

Gagasan NPM pada dasarnya ingin “membebaskan” para manajer publik dari kekangan aturan-anggaran birokratik dan kontrol administrasi sebagai akibatnya dapat menjalankan tugas dengan leluasa. Seperti halnya manajer di sektor swasta para manajer publik mendapat imbalan bila sukses dan hukuman bila gagal. Dengan cara demikian maka manajer publik bisa memanfaatkan semua potensi dan kompetensi yang dimiliki guna menghasilkan secara maksimal produk, baik barang maupun jasa buat layanan publik. Perspektif primer dari pandangan NPM ini merupakan warga negara atau warga dicermati atau diperlakukan sebagai konsumen yang mempunyai nalar, pikiran, kehendak, serta pilihan atau rational-choice, nir tidak sama menggunakan pendekatan public-choice dalam disiplin ilmu ekonomi. Dan tidak lagi menjadi entitas yang pasif (lapang dada saja) Maka dalam sistem ini terkandung juga nilai demokrasi dalam administrasi publik.

Di dalam doktrin NPM, pemerintah dianjurkan buat meninggalkan kerangka berpikir administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi dalam kinerja atau output kerja. Pemerintah jua dianjurkan buat melepaskan diri menurut birokrasi klasik dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan tetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih kentara sebagai akibatnya memungkinkan pengukuran output. Di samping itu, pemerintah juga diharapkan menerapkan sistem desentralisasi, memberi perhatian dalam pasar, melibatkan sektor partikelir serta melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Dalam perkembangannya, NPM dipercaya menjadi liberation –yaitu upaya pembebasan manajemen publik berdasarkan kungkungan konservativisme administrasi klasik menggunakan memasukkan prinsip-prinsip sektor privat ke pada sektor publik (Golembiewski, 2003). Lebih menarik lagi, bahwa NPM dilihat menjadi gugusan pandangan baru-inspirasi serta praktik yg berupaya menggunakan pendekatan sektor partikelir serta bisnis ke pada sektor publik (Denhardt & Denhardt, 2003).

David Osborn dan Ted Gaebler (1993) menekankan sine qua non upaya buat mentransformasikan entrepreuneurial spirit, lantaran waktu sumber daya semakin langka, pemerintah harus berubah berdasarkan bureaucratic model ke entrepreuneurial contoh. Oleh karenanya, pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi dalam jiwa serta semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru di tubuh pemerintah dapat dianggap menjadi manajemen kewirausahaan.

Dampak dari aplikasi model NPM ini mulai terasa tidak saja pada negara maju, tetapi juga di negara-negara sedang berkembang misalnya penerapan lima (5) prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi, (2) privatisasi, (3) downsizing, (4) debirokratisasi, dan (5) manajerialisme (Vigoda, 2003).

A. Reformasi Administrasi Publik dan Perkembangannya
Sejak 2 dasa warsa terakhir, pelaksanaan reformasi administrasi publik makin konkret di aneka macam negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diharapkan lantaran tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat (Caiden, 1991; Lenvine, Peters & Thompson, 1990). Doktrin Administrasi Publik Klasik (the Old Public Administration-OPA) yang sejak awal dimotori oleh Wilson dalam tahun 1987 terus dikritik sang para ahli, dan mulai ditinggalakan (Cooper, 1998; Hughes, 1994) karena nir dapat mengakomodasi perubahan situasi serta syarat warga .

Keberhasilan NPM pada negara-negara maju, menyebabkan terjadinya promosi secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM pada negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yg selama ini ditangani sang pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen partikelir. Alasannya, lebih berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, serta pertumbuhan kesempatan kerja, menaikkan efisiensi pelayanan lantaran lebih fleksibel menyesuaikan diri dengan pasar, menaikkan efisiensi di departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, serta pembiayaan terhadap pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan dengan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings serta Haist (2002), yang ditekankan dalam NPM adalah pengukuran terhadap hasil bukan proses, serta perilaku sebagai akibatnya acapkali diklaim menjadi results-oriented government. 

Promosi doktrin NPM di Indonesia bisa diamati menurut kehadiran mengenai NPM, misalnya karya-karya mengenai administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yg ditulis diantaranya oleh Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo (2002), Dwiyanto (2003), dan lain-lain.

Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yang paling konkret merupakan pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah yg lalu diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 

Otoritas terhadap aneka macam urusan pemerintahan yg didesentralisasikan pada pemerintah daerah lebih poly jumlahnya daripada yang diatur oleh pemerintah sentra. Alasan primer pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan buat menjalankan prinsip demokrasi, meningkatkan peran serta warga , pemerataan dan keadilan, dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman wilayah melalui anugerah wewenang yang luas, nyata, serta bertanggung jawab kepada wilayah secara proporsional. 

Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan anugerah wewenang seluas-luasnya agar daerah mempunyai wewenang membuat kebijakan untuk pelayanan, peningkatan kiprah serta, prakarsa serta pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis ini pemerintah wilayah diserahi otoritas buat menjalankan banyak sekali urusan. Pemerintah daerah dapat melakukan perencanaan dan pengendalian pembangunan, pemanfaatan serta supervisi rapikan ruang, penyelenggaraan ketertiban generik. Pemerintah daerah juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan perkara sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, bisnis mini dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi generik pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman kapital, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, serta urusan harus lainnya yang diamanatkan sang peraturan perundangan. Smentara pemerintah sentra hanya menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.

Implementasi NPM dapat dilihat jua berdasarkan kewajiban melakukan evaluasi kinerja pemerintah wilayah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan lalu dilanjutkan menggunakan PP Nomor 56 Tahun 2002 mengenai Laporan Kinerja Penyelenggara Pemda serta PP Nomor 20 Tahun 2004 mengenai Rencana Kerja Pemerintah.

Selain itu, implementasi NPM dapat dilihat dengan diberlakukannya peraturan perundangan tentang privatisasi misalnya Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya buat mempertinggi kinerja BUMN yg mencakup pemugaran struktur permodalan, mempertinggi profesionalisme serta efisiensi usaha, perubahan budaya perusahaan, memperluas partisipasi masyarakat pada kepemilikan saham BUMN dan penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate governance yg berdasarkan pada transparansi , akuntabilitas, serta kemandirian.

B. Pendekatan Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah) pada Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
1. Pendekatan Demokratisasi
Demokratisasi pada penyelenggaraan pemerintahan akan terlaksana bila pada pemerintahan sudah terjadi kerangka berpikir ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Kepercayaan warga terhadap pemerintah menjadi penyelenggara negara yang sudah semakin tinggi tinggi akan menghasilkan terjadinya proses demokratis, sebagai akibatnya memungkinkan terjadinya good governance. 

Bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis itu digambarkan menjadi bentuk yang terdiri atas posisi jabatan yang akan ditempati sang gerombolan jabatan yg bersifat politis yang berasal berdasarkan kekuatan partai politik, serta jabatan yang berasal dari pegawai karier pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka nir akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan yg begitu cepat, walaupun pejabat pada organisasi tersebut berubah. Walaupun para pejabat yang menduduki jabatan tertentu sudah berakhir masa jabatannya, maka penyelenggaraan pemerintahan akan permanen stabil, berjalan, serta profesional.

Dalam demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan dibutuhkan akan terjadi proses di mana pejabat yg bersifat politis yang sekaligus sebagai wakil masyarakat akan ikut menentukan kebijakan departemen pemerintah yang akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut menentukan proses pembuatan kebijakan departemen sekaligus jua ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yang dibentuk itu dilaksakan sang penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap pejabat politik itu mampu pribadi dikontrol oleh masyarakat pemilihnya. Jabatan politis ini pula ikut bertanggung jawab terhadap warga atas keberhasilan kebijakan yang dibuatnya.

Proses pertanggungjawaban itu nir hanya dilakukan sang pejabat yang melaksanakan kebijakan politik dan melayani warga , akan tetapi pejabat politik harus pula bertanggung jawab pada warga yang mempercayainya di departemen. Rakyat harus mempunyai akses aktif terhadap kontrol, baik pada jabatan politik yg mewakilinya maupun pada jabatan sebagai pelayanan rakyat.

Kontrol kepada penyelenggara pemerintahan dilakukan berdasarkan pelbagai jurusan tidak hanya membatasi dari jalur birokrasi sendiri, akan tetapi bisa melalui jalur politik. Akses masyarakat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka menggunakan seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan sang warga , itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk mencapai tujuan yang ideal dalam pelaksanaannya. Hal tersebut akan diperlihatkan dengan tergambarnya struktur organisasi dan pembagian kerja/tugas yg sesuai menggunakan tugasnya masing-masing.

2. Pendekatan Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Seringkali kasus pendekatan penyelenggaraan pemerintahan dari prinsip-prinsip sentralisasi serta desentralisasi herbi tingkat perkembangan bangsa dan negara-negara baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, training bangsa dalam arti membina kesatuan bangsa menurut afinitas-afinitas kedaerahan, kesukuan, penggolongan politik serta lain-lain, terasa lebih penting, sehingga tercermin pada kebijaksanaan serta tata cara penyelenggaraan pemerintahan yg sentralistis. Dalam taraf lebih lanjut dimana perkembangan pelatihan bangsa telah lebih matang, maka keperluan ekspansi kegiatan pembangunan sering menumbuhkan kebutuhan akan desentralisasi.

Konsep desentralisasi pada penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan di tengah-tengah pembangunan bangsa di negara-negara berkembang. Hal ini bersamaan dengan terlihatnya aneka macam kelemahan yang tampak menggunakan kentara pada kontrol sentral. Namun demikian dalam biasanya bentuk desentralisasi yang diinginkan permanen hendaknya dijaga pada rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, dan bahkan administratif suatu negara. Hal ini sejalan menggunakan pendapat Maryanov (pada LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan antara lain: (1) mengurangi beban pemerintah pusat, serta campur tangan tentang kasus-perkara kecil dalam taraf lokal. Demikian pula memberi peluang buat koordinasi aplikasi dalam taraf lokal, (2) menaikkan pengertian masyarakat serta dukungan mereka pada kegiatan bisnis pembangunan sosial ekonomi. Demikian juga pada tingkat lokal, bisa mencicipi keuntungan berdasarkan donasi kegiatan yg mereka lakukan, (tiga) penyusunan acara-acara buat pemugaran sosial ekonomi dalam tingkat lokal sebagai akibatnya dapat lebih realistis, (4) melatih masyarakat buat sanggup mengatur urusannya sendiri (self government), dan (lima) pelatihan kesatuan nasional.

Ada dua bentuk desentralisasi (Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yang bersifat administratif serta desentralisasi yang bersifat politik. Desentralisasi administratif umumnya diklaim dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada taraf-tingkat lokal. Para pejabat taraf lokal bekerja dalam batas rencana dan sumber-sumber anggaran, tetapi mereka memiliki elemen kebijaksanaan serta kekuasaan (diskresi) dan tanggung jawab eksklusif dalam hal sifat-hakikat jasa serta pelayanan dalam taraf lokal. Diskresi mereka dapat bervariasi mulai berdasarkan peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan yg lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-asal daya diberikan dalam pejabat-pejabat regional dan lokal.

Dewasa ini masalah desentralisasi dihubungkan menggunakan usaha perencanaan pembangunan wilayah. Dengan ini diusahakan agar perencanaan nasional memberi perhatian dalam pertimbangan regional. Dan penyelenggaraan suatu aktivitas bisnis disesuaikan menggunakan lokasinya yg paling baik. Dengan demikian diusahakan supaya potensi-potensi regional bisa dimanfaatkan, sehingga perkembangan antar daerah berjalan lebih masuk akal. Kegiatan-kegiatan bisnis yg lebih menyangkut kepentingan rakyat daerah bisa seluruhnya atau hingga taraf tertentu, ditentukan serta diselenggarakan sang pemerintah daerah sendiri. Tetapi hal ini pada rangka suatu perencanaan pembangunan wilayah perlu diusahakan secara konsisten dan komplementer dengan usaha-bisnis nasional di wilayah tersebut.

C. Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance
Saat ini, good governance adalah isu yang mengemuka pada pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara governance pada sektor publik (pemerintahan) menggunakan governance pada sektor masyarakat, terutama partikelir, sehingga bisa dihasilkan transaksional hasil melalui prosedur pasar yg paling hemat menurut aktivitas rakyat. Oleh karena itu, dalam good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien serta efektif, melainkan pula private sector governance yang efisien dan kompetitif.

Carl J. Bellone (1980: 285) mengungkapkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan ciri struktur organisasi (pemerintahan) yg mempunyai urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tadi di dalamnya masih ada posisi-posisi atau jabatan yang memiliki kewajiban serta tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan dalam nilai-nilai aturan serta peraturan yg berlaku. Dalam birokrasi jua mengatur mengenai pembagian kekuasaan (otoritas) pada menjalankan roda pemerintahan. 

Pada sisi lain, birokrasi pemerintah acapkali diartikan menjadi “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) pada dalamnya memiliki yuridiksi yang kentara serta niscaya. Dalam yuridiksi tadi, seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas wewenang pekerjaannya. Mereka bekerja pada tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. 

Dalam aplikasinya penerapan birokrasi nir berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat poly rintangan-rintangan, sebagai akibatnya birokrasi hanya menjadi kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yg berperilaku menyimpang. Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good governance, yg terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance pada sektor partikelir. Sejak pertengahan tahun 80-an, menggunakan apa yg diklaim “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi, Kronisme, serta Nepotisme). 

Administrasi negara pada Indonesia dalam ketika ini lebih tepat dikatakan sebagai indera buat menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan warga . Itulah sebabnya realitas administrasi negara ketika ini lebih poly sebagai citra atau lukisan berdasarkan pada realitanya. Sehingga dibutuhkan pemikiran-pemikiran baru yang bisa meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yg ideal menuju good governance. 

Birokrasi pemerintah yang ditinjau perlu buat dibangun kembali guna menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa, serta demokratis (good governance). Sehingga konflik-permasalahan yang perlu dikaji balik sebagai jalan pemecahannya diantaranya:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia ketika ini.
2. Adanya perubahan kerangka berpikir birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai, sehingga terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Peranan pemerintah serta rakyat dalam menciptakan birokrasi.

Diharapkan dengan adanya perubahan kerangka berpikir pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah menggunakan warga , serta ikut berperan pada dalamnya, maka good governance bisa diwujudkan.

1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini
Kehidupan dan tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah pada Indonesia sangat dipengaruhi oleh percaturan politik terlebih lagi ketika selesainya dilaksanakan pemilihan generik. Oleh karenanya birokrasi pemerintah sangat ditentukan sang kehidupan politik serta pemilunya. Sejalan dengan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk menurut administrasi pemerintahan. Bahkan pada kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih menurut sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan terbaru sudah mendorong birokrasi menjadi alat yg unggul pada mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis telah berakibat forum pemerintahan memiliki kapasitas yang luar biasa dan sebagai sentral buat mengarahkan energi politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih berdasarkan partai politik.

Partai politik didirikan nir memiliki hasrat lain, kecuali untuk bisa memerintah negara. Upaya untuk memerintah itu dari paham demokrasi dibatasi sang waktu tertentu serta wajib dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, amanah, adil, bebas, misteri, serta konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yg eksistensinya nir memalui pemilihan umum, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya dengan cara-cara merit. Agar supaya profesionalisme birokrasi tidak terganggu menggunakan silih bergantinya partai politik, para birokratnya nir dibenarkan untuk memihak.

Selain itu administrasi negara digambarkan jua sebagai upaya yang lebih concern terhadap “aplikasi suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini mengungkapkan bahwa administrasi negara lebih terkenal disebut mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain berdasarkan daerah politik. Di wilayah ini partai politik beranjak memilih visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni pada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tersebut merupakan daerah serta domain administrasi negara.

Birokrasi pemerintah waktu ini mencerminkan birokrasi besar yg menekankan dalam wewenang yg nir didukung dengan aparatur yg profesional menggunakan kompetensi yang sesuai dengan bidang fungsi yg dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung menggunakan sistem kepegawaian yg berdasarkan dalam sistem merit, dalam kondisi partikelir belum dapat menciptakan lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yang cukup poly. Sehingga aparatur yang profesional dan memahami paradigma sinkron menggunakan konsep birokrasi ideal sebagai kebutuhan yang mendesak. 

2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi sudah menjadi perhatian serius pada negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih mencicipi kekurangpuasan kiprah birokrasi pemerintah, sebagai akibatnya terus berupaya buat mencari identitas baru bagi birokrasinya. 

Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang menggunakan seperangkat teori yang melahirkan kerangka berpikir baru pada dunia ilmu administrasi negara. Paradigma baru yg memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintahan nir lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), namun juga melakukan dorongan serta motivator bagi tumbuh kembangnya peran dan rakyat.

Pertumbuhan karakteristik birokrasi tradisional ke arah birokrasi terbaru menjadi suatu kenyataan yg bersifat implikatif. Seiring dengan aneka macam kemajuan serta munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, menyebabkan kebutuhan akan pelayanan pula semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yg semakin baik. Birokrasi yang berada pada tengah-tengah rakyat tersebut nir bisa tinggal diam, tetapi harus lebih bisa menaruh banyak sekali pelayanan sinkron menggunakan kebutuhan masyarakat.

Carl J. Bellone (1980: 35) mengungkapkan bahwa semenjak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial beranjak cepat buat menemukan paradigma baru pada bidang administrasi pemerintahan modern. Ada 5 model teori administrasi pemerintahan yg diambil buat menuju perubahan yg lebih baik dari pengalaman realitas, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yang memiliki 2 komponen basis dasar. Yang pertama adalah struktur atau perancangan suatu organisasi, serta yg kedua adalah pembagian tugas serta pekerjaan yang dibuat secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, merupakan suatu produk berdasarkan era prilaku. Nilai-nilai buat dicapai umumnya serupa dengan model birokratis klasik, karenanya pada contoh neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, serta prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis dalam umumnya gerombolan kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai buat dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam contoh neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yg umum, dan proses pengambilan keputusan sebagai fokusnya; tiga) Model kelembagaan, dalam model kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam contoh birokrasi kelembagaan nir hanya mengutamakan rasionalitas, namun jua menggantungkan dalam nilai-nilai. Keputusan yg diambil birokrasi merupakan tawaran serta kompromi grup yg berminat serta menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah target hasil. Model ini benar-benar-benar-benar menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar manusia, model ini merupakan reaksi terhadap contoh birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya dalam kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, dan konvoi interaksi antar insan. Dalam konvoi hubungan antar manusia mencerminkan nilai-nilai yg mendasarinya. Nilai-nilai ini meliputi pekerja dan keikutsertaan klien pada pengambilan keputusan yg bisa mengurangi perbedaan status dan kompetisi hubungan antar eksklusif, serta menekankan dalam proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, dan kepuasan rakyat, dan lima) Model administrasi pemerintahan baru, dalam model ini birokrat wajib mulai bersikap bahwa nilai-nilai yg tidak sama perlu mendominasi. Dengan disparitas tadi akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yg mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yang sesuai. Sasaran output menurut administrasi pemerintahan baru merupakan buat mengorganisasi, menguraikan, atau membuat organisasi mata-mata yang berfungsi memberi evaluasi.

Pendapat pada atas sejalan menggunakan pendapat Weber menjadi tokoh yg memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur utama pada rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih krusial menurut semua proses sosial. Diantara yg lain-lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yg dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber dalam (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan menggunakan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi sang jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya buat keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun pada tingkatan hierarki menurut atas ke bawah serta kesamping. Konsekuensinya terdapat pejabat atasan serta bawahan dan ada jua yang menyandang kekuasaan lebih akbar serta terdapat yg lebih kecil; Ketiga, tugas serta fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik tidak selaras satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yg wajib dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat adalah domain yang sebagai wewenang dan tanggung jawab yg harus dijalankan sesuai menggunakan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak buat mendapat pensioun sinkron dengan tingkatan hierarki jabatan yg disandangnya. Setiap pejabat bisa tetapkan buat keluar menurut pekerjaannya serta jabatannya sesuai menggunakan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri pada keadaan eksklusif; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yg kentara menggunakan promosi berdasarkan senioritas serta merit sesuao menggunakan pertimbangan yang objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya serta resources intansinya buat kepentingan eksklusif dan keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada pada bawah pengendalian serta supervisi suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.

Sejalan dengan konsep birokrasi ideal di atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia wajib terjadi perubahan paradigma menuju good governance, diantaranya:

a. Perubahan kerangka berpikir berdasarkan orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara sebagai berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti kerangka berpikir yg lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya sanggup dipengaruhi oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama serta utama dalam mengatasi segala macam persoalan yg muncul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Aspirasi warga menjadi lebih penting adalah buat menjadi bahan pertimbangan pemerintah.

b. Perubahan kerangka berpikir serta orientasi manajemen pemerintahan yg otoritarian menjadi berorientasi pada egalitarian dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara mampu melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yg terkonsentrasi pada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan warga poly. Paradigma semacam ini telah poly ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yang mengutamakan peranan dan kedaulatan warga . Kedaulatan warga sebagai pertimbangan pertama dan utama jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.

c. Perubahan kerangka berpikir menurut sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi wewenang. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, seperti yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai dari perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat serta dilakukan sang aparat pemerintah pusat.

d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas serta anggaran yg berlaku buat satu negara eksklusif, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa kini ini merupakan jamannya rapikan manajemen pemerintahan yang cenderung ditentukan oleh tata aturan global. Keadaan seperti ini akan membawa akibat bahwa rapikan aturan yang hanya menekankan pada aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan dunia. 

e. Perubahan dari paradigma berdasarkan tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork sebagai tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan seperti ini membutuhkan kompetensi sumber daya aparatur yang memahami serta mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yg seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan serta pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.

f. Perubahan kerangka berpikir menurut a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di pada rakyat yang rendah tingkat kepercayaannya nir bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yg hayati pada warga seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yang tidak demokratis, membatasi ruang mobilitas, menjauhkan birokrasi menurut interaksi dengan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian anggaran-anggaran birokrasi. Sebaliknya kerangka berpikir baru yang menekankan terhadap kepercayaan sehingga melahirkan suatu rakyat yang tinggi taraf kepercayaannya akan sanggup menciptakan birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan menciptakan suasana kerja yang lebih fleksibel serta berbasiskan dalam orientasi kelompok kerja menggunakan lebih memberikan tanggung jawab yg akbar pada tataran organisasi yg paling bawah. Birokrasi pemerintah misalnya ini akan memperlakukan para pegawainya sebagai orang dewasa yg bisa dianggap buat menaruh konstribusi pelayanan kepada warga .