ILMU ADMINISTRASI PEMBANGUNAN INOVASI DAN PEMBANGUNAN

Ilmu Administrasi Pembangunan, Inovasi, Dan Pembangunan 
Sejak awal teori pembangunan selalu terkait erat menggunakan “strategi pembangunan”, yaitu perubahan struktural ekonomi serta pranata sosial, yg diusahakan guna menemukan suatu solusi yang konsisten dan langgeng untuk setiap persoalan yg dihadapai sang para pembuat keputusan pada suatu masyarakat. Hal itu berarti, bahwa teori pembangunan mengandaikan seseorang aktor, yg biasa diklaim “Negara. Kedekatan antara “Teori” dengan “Strategi” itu, lebih ditimbulkan sang usaha pendefinisian “Masalah Pembangunan” menjadi masalah “Nasional”. Akibatnya, para “Teoritikus Pembangunan” terlebih para pelopornya cenderung memusatkan perhatian mereka dalam pemerintah menjadi “Subjek Negara”. Walaupun pada awalnya teori pembangunan tumbuh menurut keprihatinan terhadap negara-negara ndeso, menggunakan perkiraan dasar yang tersirat, bahwa keadaan pada warga itu tidak memuaskan dan wajib diubah. Namun secara eksplisit teori pembangunan lebih bersifat “Normatif” berdasarkan dalam ilmu sosial umumnya.

Tetapi dalam perspektif teori normatif, disparitas antara “Teori” dengan “Strategi” gampang sekali kabur. Sebaliknya pada teori positif dimungkinkan menciptakan perbedaan yang lebih kentara serta bisa mengajukan pertanyaan mengenai “implikasi strategi apakah yg akan dimiliki oleh berbagai teori dan kiprah apa yang bisa dimainkan oleh para aktor yang berbeda-beda”. Dengan melihat keadaan sekarang ini, yg selama satu dekade lebih telah ditandai sang aneka macam krisis, baik pada teori pembangunan juga pada “Tiga Dunia Pembangunan”, yaitu; “kapitalisme industri”, “Sosialisme Riil”, serta “Kawasan Terbelakang”, yang pada gilirannya menghadapi perkara pembangunan yang relatif tidak sinkron. Satu aspek penting berdasarkan adanya krisis ini, berkait menggunakan peran negara, apakah negara adalah bagian menurut kasus atau bagian berdasarkan solusi, atau bahkan keduanya. Jadi galat satu cara buat mencari jalan keluar berdasarkan kebingungan itu, adalah menggunakan menoleh ke belakang dan dengan kritis mengamati konsepsi interaksi terdahulu dan perubahannya. 

Sekarang ini orang memandang dunia menjadi suatu sistem yang ditandai sang derajat ketergantungan satu sama lain yang semakin meningkat. Dalam hal ini globalisasi teori pembangunan terkait erat menggunakan nasib taktik pembangunan nasional. Bagi dunia ke-3 (Kawasan Tertinggal) semakin bertenaga dirasakan, bahwa pembangunan tiruan wajib segera diakhiri, tetapi transformasi menurut model pembangunan yg orsinil itu sendiri menghadapi masalah yang sangat berbeda. Sejauh ini pembahasan mengenai teori pembangunan sudah membentuk beberapa sumbangan yg bersifat normatif (otopis) serta berusaha menilai arti pentingnya. Tetapi persoalannya, apakah pengalaman berinteraksi dengan perkara keterbelakangan selama 3 dekade sudah mengakibatkan teori pembangunan juga relevan bagi dunia maju. Apakah usaha yg terkini guna menerapkan teori pembangunan pada problem pembangunan pada Eropa adalah suatu termin pada perkembangan teori pembangunan yg kesahihannya lebih universal. Apakah global industri yang selama kurun ketika panjang sudah menjadi contoh bagi negara-negara “ndeso”, sudah mencapai batas contoh aliran terbesar. Bagaimana contoh ini sanggup diatasi serta apa alternatifnya?

Berdasarkan beberapa alasan yg tergambar pada latar belakang di atas, maka perumusan perkara pada makalah ini bisa diformulasikan sebagai berikut: “Bagaimana efek globalisasi teori pembangunan global terhadap taktik pembangunan nasional di Indonesia”.

Globalisasi Teori Pembangunan Dunia
Di dunia ini, tidak ada negara yang benar-benar otonom, itu berarti tidak ada negara yang pembangunannya dapat dipahami semata-mata sebagai refleksi dari apa yang terjadi di luar batas-batas nasionalnya, (semua negara saling bergantung satu sama lain). Satu dimensi yang jelas dari saling ketergantungan itu, adalah gagasan yang bersifat fisik, biologis, serta ekologis mengenai keseluruhan dan keterbatasan. 

Munculnya kebutuhan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) serta Laporan Komisi Brandt, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh memuncaknya krisis serta runtuhnya sistem dunia. Strategi reformasi dunia yg termuat pada proposal TEIB dan laporan Komisi Brandt antara tahun (1980 dan 1983) mensyaratkan pendekatan “satu global-satu sistem”. Jadi istilah kunci pada laporan Brandt, merupakan ketergantungan satu sama lain, yg mengandung teori dan strategi. Teorinya merupakan, bahwa dunia yg saling tergantung mengusahakan perdamaian serta pembangunan. Sedangkan strateginya merupakan, bahwa ketergantungan satu sama lain ini kemudian wajib diperkuat dengan lembaga internasional yg mendukung.

Pengaruh Globalisasi Teori Pembangunan Dunia terhadap Pembangunan Nasional Indonesia
Sesungguhnya sistem dunia itu tidak ada, sebab hanya lebih sebagai pendekatan umum terhadap proyek teoritis, serta upaya untuk merekonstruksi ilmu sosial historis yang bebas dari bias yang melumpuhkan sejarah dan ilmu sosial sebagaimana kita memahaminya selama dua dekade terakhir ini, seperti bias evolusionisme, reduksionisme, Eropasentrisme, negarasentrisme, maupun kompartementalisme.

Adapun asal-usul pendekatan sistem dunia itu dapat dilacak kebelakang hingga teori ketergantungan, yang sama-sama bersikap kritis terhadap kerangka “developmentalis”. Sumber kedua, adalah aliran Annales dalam sejarah yang melawan kecenderungan positivism dalam arus utama penulisan sejarah, serta yang mempertahankan perspektif holistik. Sumber ketiga, adalah tradisi realis atau mungkin neorealis dalam hubungan internasional. Jadi pada dasarnya penafsiran sistem dunia mengenai negara-bangsa merupakan penafsiran realis.

Pendekatan Sistem global menyatakan, bahwa perekonomian global kapitalis sudah terdapat semenjak abad ke 16. Sejak itu, sistem ini mengikutsertakan sejumlah warga yang sebelumnya sedikit banyak terisolasi dan mencukupi diri sendiri ke dalam sistem hubungan fungsional yg kompleks (Wallerstein 1974, 1980). Proses ekspansi ini memiliki dua dimensi, yaitu: perluasan geografis dan pendalaman negara pusat dalam membarui arena eksternal yang besar sebagai wilayah “pinggiran”. Di antara negara pusat serta pinggiran ini, para teoritikus sistem global menemukan negara semi-pinggiran yang pula memainkan peranan kunci pada menciptakan sistem tersebut berfungsi.

Polarisasi pusat-pinggiran memunculkan pembagian kerja di global, pada mana negara pusat mengambil peranan sebagai produsen industri, sementara kawasan pinggiran diberi kiprah sebagai produser pertanian. Ini merupakan kriteria yang krusial bagi status semi-pinggiran, apabila dibandingkan menggunakan pinggiran. Selain itu daerah semi-pinggiran merupakan negara-negara yang kuat dan ambisius, dan secara militan bersaing merebut status negara sentra.

Pada termin sistem dunia sekarang ini, tidak gampang buat menghancurkan mata rantai ketergantungan dan memprakarsai proses pembangunan yg mandiri pada taraf nasional. Sebenarnya pengalaman sebagian besar negara global ketiga menaruh nilai tambah bagi tesis yg menyatakan, bahwa mereka senang atau nir, tetap adalah bagian menurut “sistem” serta bahwa benar-benar ada “kemungkinan transformasi yg terbatas pada perekonomian global kapitalis” (Wallerstein, 1979:66). Menurut para teoritikus sistem global, dalam dasarnya pembangunan itu soal mengganti posisi struktural berdasarkan pinggiran ke semi pinggiran, ini suatu kemungkinan yang secara komparatif terbuka bagi sedikit negara. Karena itu perubahan sejati akan meniscayakan transformasi sistem global ke pada suatu pemerintahan dunia yang sosialis, sebuah prospek yang memang sangat jauh.

Ada perbedaan utama antara pendekatan sistem dunia dengan konsepsi Marxis Kontemporer tentang pembangunan dunia, yaitu masalah definisi kapitalisme, relevansi analisis kelas, serta konsep cara produksi. Dalam pengertian kapitalisme, para teoritikus sistem dunia mendefinisikannya sebagai suatu sistem pertukaran yang berlangsung di tingkat global. Sementara marxis memandang kapitalisme sebagai cara produksi yang hanya dapat didefinisikan secara konkret di tingkat nasional. Kontroversi sirkulasionis versus produksionis ini tampaknya merupakan prinsip utama yang membedakan kedua aliran tersebut. Sedangkan dalam hal analisis kelas kaum Marxis melihat, bahwa konsep kelas telah disingkirkan dalam teori sistem dunia. Sedangkan konsep cara produksi juga menjadi kurang penting dalam analisis sistem dunia dibandingkan aliran Marxisme, karena menurut analisis sistem dunia hanya ada satu cara produksi yakni sistem dunia kapitalis.

Posisi marxis kontemporer dalam melihat situasi industrialisasi di dunia ketiga, adalah lebih melihat pada pembangunan dunia masa mendatang yang diyakini, bahwa ketergantungan ekonomi satu sama lain yang sedang tumbuh harus disambut baik karena dalam konteks ini ikatan “ketergantungan” dilepaskan dan kapitalisme pribumi muncul. Sebagian besar marxis mengakui bahwa persoalan keterbelakangan masih tetap ada dan menimbulkan kesulitan teoritis. Namun satu respons terhadap masalah ini, adalah merevisi, memodifikasi, serta memperluas konsep yang digunakan Marx sehingga konsep tersebut dapat diberi pengertian yang lebih luas (Brenner, 1977).

Selanjutnya lahirnya pendekatan neostruktural terbaru meliputi poly kasus dan taraf analisis. Dalam hal eksklusif, pendekatan ini dapat dianggap menjadi dualisme dalam tingkat dunia karena ciri yang paling menonjol dalam sistem tadi adalah perkembangan transnasionalisme yang terpolarisasi di satu pihak dan disintegrasi nasional pada pihak lain.

Pada aspek pertama, sistem kapitalis berubah dari suatu struktur internasional ke struktur transnasional yang sangat konsisten dan dengan perusahaan transnasional sebagai aktor terpentingnya. Dinyatakan, bahwa komunitas transnasional baru sedang muncul, terdiri dari orang-orang menurut aneka macam bangsa tetapi menggunakan nilai dan gagasan, serta pola perilaku yg sama. Di sisi lain dalam struktur dunia ganda ini, warga nasional sebagai penerima konsekuensi proses transnasionalisasi yg kemudian mengalami proses disintegrasi sehingga menyebabkan kekacauan perekonomian rakyat pribumi serta pemusatan kekayaan maupun pendapatan. Proses marginalisasi ini selanjutnya menyebutkan kecenderungan ke arah penindasan dan otoritarianisme yg bisa ditinjau pada negara maju juga pada negara kurang pandai. Tetapi dalam saat yang sama, masyarakat nasional membentuk sejenis proses tandingan yg mengedepankan nilai-nilai nasional serta atau nilai subnasional yg terkadang reaksioner, terkadang progresif.

Bagi Indonesia, pengaruh teori pembangunan dunia merupakan suatu alasan yang strategis dan memaksa bagi pemerintah untuk memilih dan melaksanakan salah satu diantaranya. Nampaknya dari pengalaman sejarah nasional, Indonesia pernah mengalami dan mempraktekkan tiga teori pembangunan yang pada dasarnya berpijak pada teori perubahan sosial dalam ilmu-ilmu sosial. Mulai dari teori Kapitalisme Klasik di zaman penjajahan, kemudian teori Sosialis di zaman pemerintahan Orde Lama, serta sampai pada pelaksanan teori Dependensia (Ketergantungan). Pada masing-masing zaman yang menerapkan teori pembangunan tersebut menunjukkan, bahwa perkembangan teori pembangunan dunia sangat mempengaruhi penerapan pola dan strategi kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Khususnya pada zaman pemerintahan Orde Baru sampai sekarang ini, banyak pengalaman pemerintah yang memberikan gambaran tentang betapa tergantungnya bangsa dan negara ini terhadap sistem dunia.

Strategi Pembangunan Nasional Indonesia
Strategi pembangunan dimaksudkan buat memajukan proses pembangunan, karena itu taktik pembangunan memiliki 2 komponen, yaitu tujuan (pembangunan) dan indera (taktik). Adapun teori pembangunan terbaru semenjak awalnya, adalah normatif dan instrumental, ini berarti, bahwa: (a) para teoritikus mempunyai aneka macam pandangan mengenai bagaimana pembangunan yg seharusnya; (b) terdapat asumsi, bahwa pembangunan adalah suatu proses yg bisa dikendalikan dan dikemudikan sang para pelaku, yaitu negara.

Hal inilah yang sudah mengungkapkan, mengapa pembangunan sebagai konsep yg diperdebatkan dan teori pembangunan merupakan arena pertikaian antar aliran. Interpretasi teoritis tentang pembangunan dunia tergantung pada bagaimana cara orang memandang kenyataan realitas saling ketergantungan antara satu sama lain. Dalam hal ini baik TEIB maupun Komisi Brant, diacu sebagai contoh reformisme dunia karena keduanya memahami dunia menjadi sistem tunggal serta lantaran itulah mereka menekankan suatu keharusan perubahan bagi sistem secara keseluruhan. Persoalan primer strategi reformis ini, artinya agen perubahan apa yg bisa diidentifikasi lantaran keseluruhan konsepsi mengenai intervensi yg terkandung dalam strategi pembangunan, terkait erat dengan negara sebagai aktor secara umum dikuasai.

TEIB meredifinisikan kemandirian sebagai “kemandirian kolektif” sebagai suatu ekspresi solidaritas dunia ketiga. Namun lebih dari kemandirian, penekanannya dititikberatkan pada keadilan bagi Selatan di pasar dunia. Dengan demikian TEIB lebih merupakan strategi politik daripada strategi ekonomi yang bertujuan pada penciptaan rejim perdagangan berdasarkan pada alokasi otoritatif (Menurut pengamat yang tidak simpatik di Wall street Journal, 1975). Tuntutan ekonomi TEIB meliputi: stabilitas harga, perubahan sistem moneter, serta lain-lain. Tapi di pihak lain TEIB tidak menanggapi persoalan keseimbangan ekologis, reformasi sosial internal dan kebutuhan dasar manusia. Walaupun beberapa formulasinya mengesankan suatu pendekatan yang percaya pada diri sendiri, konsisten dengan paradigma ketergantungan, proposal utama yang diusulkan sebenarnya menunjukkan jalan menuju perkembangan lebih melalui perdagangan dengan negara industri dan akses terhadap teknologi mereka, daripada menciptakan kondisi bagi pengembangan kemampuan teknologi yang independen (Villamil, 1977:90).

Di antara negara-negara industri pada dunia, Amerika Serikat, yg terutama enggan memerima tuntutan TEIB. Sedangkan Eropa lebih senang tahu TEIB sebagai upaya meningkatnya perdagangan dan meluasnya pasar yang sanggup mendukung tujuan buat merangsang ekonomi dunia serta membawanya keluar dari depresi. Sementara itu, ada konvensi yg berkembang di antara negara-negara pada global ketiga mengenai perlunya reformasi radikal terhadap tatanan ekonomi internasional. Gagasannya, bahwa reformasi domestik radikal diharapkan pada daerah miskin berkembang karena sama cepatnya di antara agen pembangunan di negara-negara maju. Namun persoalan primer TEIB, seperti halnya dengan semua strategi dunia, bahwa dia adalah taktik tanpa aktor yang jelas buat mewujudkannya.

Sedangkan usulan komisi Brandt, didasarkan dalam konsep ketergantungan satu sama lain. Jadi untuk strategi pembangunan, komisi ini mengusulkan adanya Transfer Sumber Daya Alam Besar-Besaran (Massive Resource Transfer (MRT)). Menurut usulan ini orang miskin dunia berfungsi sebagai pengangguran, karena mereka membelanjakan pendapatannya buat membeli barang yang didapatkan sang negara-negara industri. Dengan demikian masalah ekonomi negara industri jua akan terpecahkan. Oleh karena itu, negara miskin dan negara kaya harus beranjak seiring, bukannya negara miskin saja yg diuntungkan atas pengurbanan global kaya, yang merupakan taktik TEIB serta usulan UNCTAD sebelumnya.

Terhadap usulan ini, beragam tanggapan yg ada sinkron menggunakan ideologi pembangunan yang berbeda-beda. Bagi para pendukung pembangunan yang tidak tergabung pada grup kanan atau kiri menyadari, bahwa laporan komisi Brandt itu nir cukup menyadari impak ekologis kapitalisme global dan kesulitan institusional buat menaikkan produksi global dalam memenuhi kebutuhan pokok. Sehingga pada akhirnya dapat dikatakan, bahwa globalisasi pembangunan menciptakan keraguan mengenai kelangsungan taktik yang menitikberatkan perhatian pada pembangunan nasional.

Dari berbagai kasus pembangunan mandiri di negara-negara dunia ketiga dapat ditarik beberapa pelajaran, bahwa minat baru dalam teori global dapat dianggap sebagai usaha untuk melampaui teori ketergantungan, serta untuk menciptakan sebuah kerangka di mana pusat maupun pinggiran serta hubungan keduanya diperhitungkan. Dalam perdebatan pembangunan akhir-akhir ini, tampaknya ada reaksi berlebihan terhadap kelemahan aliran ketergantungan dan determinisme pesimistik berkaitan dengan strategi kemandirian. Untuk itu strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor, yang dilaksanakan oleh beberapa NIB direkomendasikan.

Oleh sebab itu kegagalan kemandirian haruslah dipahami dalam hubungannya dengan perubahan struktural dan perubahan politik di dunia. Jadi jangan hanya dijelaskan sebagai akibat dari kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan nasional. Perubahan global semakin menyulitkan strategi kemandirian, karena alasan sosial, politik, serta kebudayaan, jadi hanya sedikit negara yang mampu mengikuti strategi NIB. Relevansi kemandirian (lebih sebagai strategi daripada ideologi nasionalis), yang terkandung dalam pendekatan ketergantungan. Hal itu hendaknya jangan dinilai hanya dengan kemunduran strategi baru pada tahun 1970-an, tapi justru harus dipahami sebagai pengalaman belajar.

Salah satu jalan keluar dari kebuntuan teori pembangunan, serta sekaligus sebagai alat untuk melakukan revitalisasi bidang studi pembangunan yang sekarang ini terbengkalai, adalah menitik beratkan perhatian pada studi komparatif strategi pembangunan, berikut hambatan internal dan eksternal pada tingkat implementasinya, untuk itu sangat diperlukan tipologi strategi pembangunan yang baik. Tipologi ini dapat dibuat dengan berbagai cara, misalnya dengan gaya yang kurang lebih sistematis atau dengan suatu pendekatan ad hoc, yang bersumberkan pengalaman pembangunan sekarang ini. 

Dalam interaksi ini, Keith Griffin berhasil mengidentifikasi enam strategi pembangunan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, (Griffin, 1988):
  1. Strategi monetarisme, yang mengasumsikan efisiensi jangka panjang menggunakan pertanda-pertanda pasar dalam alokasi sumber daya alam. Strategi ini diperkenalkan pada periode krisis menggunakan tujuan jangka pendek, yaitu stabilisasi ekonomi. Dalam Strategi ini peranan negara dalam bidang ekonomi diminimalkan,
  2. Strategi perekonomian terbuka, Strategi ini sangat menekankan pada kebijakan buat memajukan perdagangan luar negeri serta hubungan eksternal lainnya menjadi mesin pertumbuhan. Strategi ini sangat cocok dalam negara yg berorientasi suplai aktif,
  3. Strategi industrialisasi, taktik ini menekankan dalam sektor manufaktur menjadi sumber pertumbuhan primer, yg berorientasi pada pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya). Menurut strategi ini hegemoni negara merupakan hal yang normal,
  4. Strategi revolusi hijau, taktik ini menaruh prioritas pada peningkatan produktivitas serta perubahan teknologi (bukan kelembagaan) di sektor pertanian, menjadi alat buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh,
  5. Strategi redistributif, suatu strategi yg dimulai berdasarkan redistribusi pendapatan dan kekayaan, serta tingkat partisipasi tinggi sebagi indera buat memobilisasi rakyat pada proses pembangunan,
  6. Strategi sosialis, strategi ini lebih menekankan pada peran negara dalam pembangunan, seperti perencanaan pertanian milik negara, serta perusahaan manufaktur milik publik. Meskipun demikian peran negara yang sentral bisa beragam, mulai dari statisme sampai pada ekstrem hingga swakelola (self-management).
Namun dalam hal ini jangan terlalu beranggapan, bahwa semua negara mengikuti strategi pembangunan yang jelas. Tetapi menurut Griffin, sebagian besar negara tidak mengikuti strategi apapun yang dapat dikenali, serta jika demikian pasti tidak lama. Kasus semacam ini semakin banyak akibat semakin melemahnya negara dunia ketiga, serta krisis ekonomi dunia. Karena itu peran strategi pembangunan bagi banyak negara sekarang ini cenderung mengarah pada manajemen krisis daripada transformasi sosial-ekonomi, yang tentu saja sangat mengurangi relevansi teori pembangunan.

Bagi Indonesia, mungkin apa yang katakan sang Griffin dapat menjadi bahan rujukan buat memperbaiki situasi-syarat sosial-ekonomi kini ini. Enam strategi yang ditawarkan oleh Griffin dapat sebagai strategi alternatif bagi pemerintah Indonesia yg dalam ketika ini sedang berusaha memulihkan perekonomian Indonesia. Sebab strategi ini telah disusun sedemikian rupa dengan memperhatikan dimensi situasi serta syarat yg melingkupi negara yang akan memakai strategi ini, baik dalam jangka pendek juga pada jangka panjang. Namun kuncinya kembali lagi pada keberanian dan konsistensi kebijaksanaan pemerintah, apakah mau melaksanakan strategi ini. Karena biasanya yg paling rumit serta memilih apakah suatu alternatif cara serta pendekatan pemecahan masalah dipilih dan digunakan terletak pada mekanisme ini. 

Secara sederhana Enam taktik yg ditawarkan sang Griffin dapat dibentuk tabelnya menjadi berikut:
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Monetarisme
Diperkenalkan dalam peride krisis menggunakan memperkecil peranan negara di bidang ekonomi
Dalam jangka pendek buat menstabilkan perekonomian nasional
2.
Perekonomian Terbuka
Sangat menekankan pada kebijakan guna memajukan perdagangan luar negeri serta interaksi eksternal lainnya menjadi mesin pertumbuhan.
Sangat cocok pada negara yang berorientasi suplai aktif.
Untuk meng-akumulasikan kapital dalam bentuk devisa negara.
3.
Industrialisasi
Berorientasi dalam pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya).
Mendongkrak per-flora ekonomi nasional melalui sektor manufaktur menjadi sumber pertumbuhan utama.
4.
Revolusi Hijau
Memberikan prioritas pada peningkatan produktivitas dan perubahan teknologi (bukan kelembagaan).
Sebagai indera buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh.
5.
Redistributif
Dimulai dari redistribusi pendapatan dan kekayaan, dan peningkatan partisipasi.
Sebagai indera buat memobilisasi rakyat pada proses pembangunan.
6.
Sosialis
Dengan lebih menekankan dalam kiprah negara dalam pembangunan, mulai berdasarkan statisme hingga ekstrim hingga swakelola.
Untuk mencapai pembangunan yg merata serta berkeadilan secara menyeluruh.

Namun berdasarkan Wallerstein, pada prinsipnya dalam teori sistem dunia hanya terdapat 3 taktik, yaitu: (a) taktik memanfaatkan kesempatan, ini merupakan taktik klasik, yang melibatkan tindakan agresif negara untuk mentransformasikan struktur keunggulan komparatif menggunakan tujuan menerima pasar eksternal; (b) taktik kenaikan pangkat dengan mengundang didasarkan pada keunggulan komparatif yang ada, seperti taraf upah yang rendah serta keterbukaan umum; (c) taktik kemandirian yang berorientasi ke pada, namun pada konteks sistem global sekarang ini, strategi ini paling mustahil mencapai keberhasilan, menurut pemikiran pembangunan sistem global.

Secara singkat ketiga teori itu dapat dijelaskan pada bentuk tabel menjadi berikut: 
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Memamfaatkan Kesempatan (Klasik)
Dengan melibatkan tindakan agresif negara buat mentransformasikan struktur keunggulan komparatif.
Untuk Mendapat-kan pasar eks-ternal.

2.
Keunggulan Komparatif
Menerapkan kebijakan yang kemudahan para investor buat menanamkan investasi-nya, seperti tingkat upah yang rendah serta lain-lain.
Untuk mem-peroleh  modal guna memacu per-tanaman ekonomi nasional.
3.
Kemandirian yang berorientasi ke dalam
Berorientasi dalam ke-mampuan domestik
Mendongkrak per-flora ekonomi nasional melalui bisnis yang berdikari.

Jika melihat pada strategi yang ditawarkan oleh Wallerstein, bagi negara Indonesia mungkin hanya langkah kedua saja yang bisa dijadikan alternatif dalam usaha memecahkan masalah perekonomian sekarang ini. Itupun dengan catatan, bahwa pemerintah harus dapat memberikan iklim yang kondusif (politik, pertahanan, serta keamanan) untuk iklim berinvestasi.

Pendapat lain berdasarkan Dudley Seers (1983), yang menggabungkan dimensi internal menggunakan eksternal (yg disebutnya nasionalis lawan antinasionalis) dengan dimensi ke 2 yang berdasarkan dalam tingkat egalitarianisme. Dengan menggabungkan 2 dimensi ini, teridentifikasi empat posisi ideologis yg tidak sama, yaitu: 1) internasionalisme jenis sosialis serta liberal, yg mendukung strstegi pembangunan pintu terbuka; serta dua) jenis kemandirian dan pemutusan interaksi yg radikal juga konservatif, misalnya telihat pada gambar pada bawah ini:

Menurut Seers, pada dasarnya kebijakan pembangunan merupakan tindakan menyeimbangkan, yaitu apa yang disebutnya sebagai “ruang untuk manuver” yang secara obyektif berbeda bagi tiap negara dan situasi historis, namun secara subyektif berbeda pula bagi berbagai pengamat. Artinya keberhasil pembangunan sangat dipengaruhi oleh pemamfaatan ruang manuver untuk mengakumulasi, merasionalisasi sistem produksi nasional, serta mengarahkan negara ke tempat yang semestinya dalam pembagian kerja dunia. Hal inilah yang menurut Hettne (2001:269), sebenarnya sedang dilakukan oleh NIB. Tapi umumnya NIB tidak memilih antara industrialisasi substitusi impor atau industrialisasi yang berorientasi ekspor. Mereka cenderung melaksanakan keduanya, serta mengubah penekanan pada saat yang tepat. Ini merupakan ujian yang krusial bagi rejim developmentalis, karena strategi pembangunan apapun, akan mengembangkan kepentingan dirinya sendiri dan melawan setiap perubahan yang membahayakan kepentingan ini. Pendapat Seers secara sederhana dapat dijelaskan melalui tabel, sebagai berikut:
NO.

IDEOLOGI

STRATEGI

KARAKTERISTIK IDIOLOGI

PENERAPAN STRATEGI

1.
Sosialis Marxisme
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme yang tinggi,
b)Tingkat Egali-tarian yg tinggi,
c)Tidak mengenal strata pada rakyat,
a)Tidak menutup diri dari pe-ngaruh dunia luar,
b)Membukakan pasarnya menggunakan dunia interna-sional.
2.
Liberal Neoklasik
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme serta egali-taria yang tinggi,
b)Membuka pasar yg dgn seluas-luasnya,
c)Tidak meng-agungkan per-samaan pada ma-syarakat dlm menerapkan fungsi eko-nominya.
a)Masyarakat pada-kondisikan dlm dunia bisnis,

3.
Konservatif Tradisional
Kapitalisme Negara
a)Anti egalitarian tetapi mau men-dukung nasiona-lisme,
b)- Menginginkan kemandirian tanpa radika-lisme.
a)Pasar dibatasi dari global luar & terbatas dalam menghasilkan barang,
b)Masyarakat pada-sebaiknya berjiwa usaha,
c)- Tidak terdapat mo-nopoli negara.
4.
Dependensia
Kemandirian
a)Mendukung egalitarian dan nasionalisme secara radikal,
b)Mengagungkan persamaan warga pada kehidupan bernegara,
c)Memutuskan ketergantungan dgn negara lain.
a)Negara sbg aktor lebih banyak didominasi yg menjalankan perekonomian,
b)Tdk ada ke-bebasan pasar ekonomi,
c)Menutup diri terhdp per-dagangan luar negeri.

Dari beberapa taktik pembangunan yang telah dikemukakan sang para ahli teori pembangunan itu, bagi Indonesia strategi pembangunan yang telah ditempuh selama ini sudah mencerminkan maksud serta tujuan berdasarkan pembangunan itu. Tetapi pada prakteknya sudah terjadi bias, sehingga esensi yg sebenarnya menurut pembangunan itu sendiri nir terwujudkan. Apabila hakekat pembangunan itu, merupakan perbaikan kehidupan masyarakat yg lebih baik (berdasarkan tradisional ke terbaru), maka intinya bagaimana cara membentuk manusia yang mempunyai kemampuan buat selalu memperbaharui kehidupannya ke arah yg lebih baik. Kebijakan pemerintah Orde Baru yg meletakkan dasar pembangunan materi (Fisik) menjadi batu loncatan buat mencapai hakekat pembangunan yang dimaksud ternyata sudah mengaburkan tujuan yg sebenarnya. 

Hal itulah yang menjadi alasan dasar mengapa orang menyatakan, bahwa pemerintah Orde Baru telah gagal membangun bangsa ini dan mewariskan kebangkrutan pada generasi selanjutnya. Pengalaman sejarah ini seharusnya menjadi pelajaran yang amat berharga bagi para pemimpin dan rakyat Indonesia, bahwa pembangunan sumber daya manusia harus mendapat tempat yang sangat strategis dan domain pertama dalam setiap kebijakan pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan suatu usaha yang berkesungguhan, berkesinambungan, serta terkonsentrat tinggi dengan dukungan materi yang dianggarkan cukup besar pada APBN dan political will dari pemerintah dalam pelaksanaannya saat ini di difocuskan pada perbaikan ekonomi nasional yang berbasiskan kemandirian. Untuk itu pembangunan ekonomi yang berdimensi kerakyatan menjadi sebuah alternatif yang cukup memberikan harapan. Namun untuk lebih mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi itu, pemerintah tidak bisa lepas dari bantuan luar. Dilematis yang pemerintah hadapi sekarang ini, adalah keadaan perekonomian nasional yang semakin memburuk, serta pada pihak lain pemerintah semakin dituntut untuk segera memperbaiki keadaan perekonomian nasional tersebut. 

ILMU ADMINISTRASI PEMBANGUNAN INOVASI DAN PEMBANGUNAN

Ilmu Administrasi Pembangunan, Inovasi, Dan Pembangunan 
Sejak awal teori pembangunan selalu terkait erat dengan “strategi pembangunan”, yaitu perubahan struktural ekonomi dan pranata sosial, yg diusahakan guna menemukan suatu solusi yg konsisten dan langgeng buat setiap dilema yang dihadapai sang para pembuat keputusan pada suatu warga . Hal itu berarti, bahwa teori pembangunan mengandaikan seorang aktor, yang biasa disebut “Negara. Kedekatan antara “Teori” menggunakan “Strategi” itu, lebih disebabkan sang usaha pendefinisian “Masalah Pembangunan” sebagai masalah “Nasional”. Akibatnya, para “Teoritikus Pembangunan” terlebih para pelopornya cenderung memusatkan perhatian mereka dalam pemerintah menjadi “Subjek Negara”. Walaupun pada awalnya teori pembangunan tumbuh berdasarkan keprihatinan terhadap negara-negara udik, dengan perkiraan dasar yang tersirat, bahwa keadaan pada masyarakat itu tidak memuaskan dan wajib diubah. Tetapi secara eksplisit teori pembangunan lebih bersifat “Normatif” dari pada ilmu sosial umumnya.

Tetapi pada perspektif teori normatif, disparitas antara “Teori” menggunakan “Strategi” gampang sekali kabur. Sebaliknya pada teori positif dimungkinkan membuat disparitas yang lebih kentara dan bisa mengajukan pertanyaan mengenai “implikasi strategi apakah yang akan dimiliki sang banyak sekali teori dan kiprah apa yg dapat dimainkan sang para aktor yang berbeda-beda”. Dengan melihat keadaan kini ini, yang selama satu dasa warsa lebih telah ditandai sang aneka macam krisis, baik dalam teori pembangunan maupun pada “Tiga Dunia Pembangunan”, yaitu; “kapitalisme industri”, “Sosialisme Riil”, serta “Kawasan Terbelakang”, yang pada gilirannya menghadapi masalah pembangunan yang relatif tidak sama. Satu aspek krusial menurut adanya krisis ini, berkait menggunakan kiprah negara, apakah negara merupakan bagian menurut kasus atau bagian menurut solusi, atau bahkan keduanya. Jadi keliru satu cara buat mencari jalan keluar berdasarkan kebingungan itu, merupakan menggunakan menoleh ke belakang dan dengan kritis mengamati konsepsi interaksi terdahulu dan perubahannya. 

Sekarang ini orang memandang dunia menjadi suatu sistem yang ditandai oleh derajat ketergantungan satu sama lain yang semakin meningkat. Dalam hal ini globalisasi teori pembangunan terkait erat dengan nasib strategi pembangunan nasional. Bagi dunia ke-tiga (Kawasan Tertinggal) semakin bertenaga dirasakan, bahwa pembangunan tiruan wajib segera diakhiri, namun transformasi dari contoh pembangunan yg orsinil itu sendiri menghadapi persoalan yg sangat berbeda. Sejauh ini pembahasan tentang teori pembangunan sudah menghasilkan beberapa sumbangan yang bersifat normatif (otopis) serta berusaha menilai arti pentingnya. Namun persoalannya, apakah pengalaman berinteraksi dengan kasus keterbelakangan selama tiga dasa warsa sudah berakibat teori pembangunan pula relevan bagi global maju. Apakah bisnis yang terkini guna menerapkan teori pembangunan dalam persoalan pembangunan pada Eropa adalah suatu termin pada perkembangan teori pembangunan yg kesahihannya lebih universal. Apakah global industri yg selama kurun saat panjang telah sebagai contoh bagi negara-negara “bodoh”, telah mencapai batas contoh genre terbesar. Bagaimana model ini sanggup diatasi serta apa alternatifnya?

Berdasarkan beberapa alasan yang tergambar dalam latar belakang di atas, maka perumusan kasus pada makalah ini dapat diformulasikan sebagai berikut: “Bagaimana pengaruh globalisasi teori pembangunan dunia terhadap taktik pembangunan nasional pada Indonesia”.

Globalisasi Teori Pembangunan Dunia
Di dunia ini, tidak ada negara yang benar-benar otonom, itu berarti tidak ada negara yang pembangunannya dapat dipahami semata-mata sebagai refleksi dari apa yang terjadi di luar batas-batas nasionalnya, (semua negara saling bergantung satu sama lain). Satu dimensi yang jelas dari saling ketergantungan itu, adalah gagasan yang bersifat fisik, biologis, serta ekologis mengenai keseluruhan dan keterbatasan. 

Munculnya kebutuhan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) serta Laporan Komisi Brandt, dalam dasarnya dilatarbelakangi sang memuncaknya krisis dan runtuhnya sistem dunia. Strategi reformasi dunia yang termuat dalam proposal TEIB serta laporan Komisi Brandt antara tahun (1980 serta 1983) mensyaratkan pendekatan “satu dunia-satu sistem”. Jadi istilah kunci dalam laporan Brandt, adalah ketergantungan satu sama lain, yang mengandung teori serta taktik. Teorinya merupakan, bahwa global yg saling tergantung mengusahakan perdamaian dan pembangunan. Sedangkan strateginya merupakan, bahwa ketergantungan satu sama lain ini kemudian wajib diperkuat dengan forum internasional yg mendukung.

Pengaruh Globalisasi Teori Pembangunan Dunia terhadap Pembangunan Nasional Indonesia
Sesungguhnya sistem dunia itu tidak ada, sebab hanya lebih sebagai pendekatan umum terhadap proyek teoritis, serta upaya untuk merekonstruksi ilmu sosial historis yang bebas dari bias yang melumpuhkan sejarah dan ilmu sosial sebagaimana kita memahaminya selama dua dekade terakhir ini, seperti bias evolusionisme, reduksionisme, Eropasentrisme, negarasentrisme, maupun kompartementalisme.

Adapun asal-usul pendekatan sistem dunia itu dapat dilacak kebelakang hingga teori ketergantungan, yang sama-sama bersikap kritis terhadap kerangka “developmentalis”. Sumber kedua, adalah aliran Annales dalam sejarah yang melawan kecenderungan positivism dalam arus utama penulisan sejarah, serta yang mempertahankan perspektif holistik. Sumber ketiga, adalah tradisi realis atau mungkin neorealis dalam hubungan internasional. Jadi pada dasarnya penafsiran sistem dunia mengenai negara-bangsa merupakan penafsiran realis.

Pendekatan Sistem global menyatakan, bahwa perekonomian global kapitalis sudah ada sejak abad ke 16. Sejak itu, sistem ini mengikutsertakan sejumlah rakyat yang sebelumnya sedikit banyak terisolasi serta mencukupi diri sendiri ke pada sistem hubungan fungsional yg kompleks (Wallerstein 1974, 1980). Proses perluasan ini mempunyai dua dimensi, yaitu: perluasan geografis serta pendalaman negara pusat dalam mengganti arena eksternal yg besar menjadi daerah “pinggiran”. Di antara negara pusat serta pinggiran ini, para teoritikus sistem global menemukan negara semi-pinggiran yang pula memainkan peranan kunci dalam menciptakan sistem tersebut berfungsi.

Polarisasi pusat-pinggiran memunculkan pembagian kerja di dunia, pada mana negara pusat merogoh peranan menjadi penghasil industri, sementara daerah pinggiran diberi peran menjadi produser pertanian. Ini merupakan kriteria yg penting bagi status semi-pinggiran, bila dibandingkan dengan pinggiran. Selain itu daerah semi-pinggiran merupakan negara-negara yg kuat serta ambisius, dan secara militan bersaing merebut status negara sentra.

Pada termin sistem global sekarang ini, tidak gampang buat menghancurkan mata rantai ketergantungan serta memprakarsai proses pembangunan yg berdikari pada taraf nasional. Sebenarnya pengalaman sebagian besar negara global ketiga memberikan nilai tambah bagi tesis yg menyatakan, bahwa mereka suka atau nir, tetap merupakan bagian berdasarkan “sistem” dan bahwa sungguh ada “kemungkinan transformasi yang terbatas dalam perekonomian dunia kapitalis” (Wallerstein, 1979:66). Menurut para teoritikus sistem dunia, dalam dasarnya pembangunan itu soal mengubah posisi struktural menurut pinggiran ke semi pinggiran, ini suatu kemungkinan yg secara komparatif terbuka bagi sedikit negara. Lantaran itu perubahan sejati akan meniscayakan transformasi sistem global ke pada suatu pemerintahan global yang sosialis, sebuah prospek yg memang sangat jauh.

Ada perbedaan utama antara pendekatan sistem dunia dengan konsepsi Marxis Kontemporer tentang pembangunan dunia, yaitu masalah definisi kapitalisme, relevansi analisis kelas, serta konsep cara produksi. Dalam pengertian kapitalisme, para teoritikus sistem dunia mendefinisikannya sebagai suatu sistem pertukaran yang berlangsung di tingkat global. Sementara marxis memandang kapitalisme sebagai cara produksi yang hanya dapat didefinisikan secara konkret di tingkat nasional. Kontroversi sirkulasionis versus produksionis ini tampaknya merupakan prinsip utama yang membedakan kedua aliran tersebut. Sedangkan dalam hal analisis kelas kaum Marxis melihat, bahwa konsep kelas telah disingkirkan dalam teori sistem dunia. Sedangkan konsep cara produksi juga menjadi kurang penting dalam analisis sistem dunia dibandingkan aliran Marxisme, karena menurut analisis sistem dunia hanya ada satu cara produksi yakni sistem dunia kapitalis.

Posisi marxis kontemporer dalam melihat situasi industrialisasi di dunia ketiga, adalah lebih melihat pada pembangunan dunia masa mendatang yang diyakini, bahwa ketergantungan ekonomi satu sama lain yang sedang tumbuh harus disambut baik karena dalam konteks ini ikatan “ketergantungan” dilepaskan dan kapitalisme pribumi muncul. Sebagian besar marxis mengakui bahwa persoalan keterbelakangan masih tetap ada dan menimbulkan kesulitan teoritis. Namun satu respons terhadap masalah ini, adalah merevisi, memodifikasi, serta memperluas konsep yang digunakan Marx sehingga konsep tersebut dapat diberi pengertian yang lebih luas (Brenner, 1977).

Selanjutnya lahirnya pendekatan neostruktural modern meliputi banyak perkara serta taraf analisis. Dalam hal tertentu, pendekatan ini bisa dipercaya menjadi dualisme pada tingkat dunia karena karakteristik yang paling menonjol pada sistem tadi adalah perkembangan transnasionalisme yang terpolarisasi pada satu pihak dan disintegrasi nasional pada pihak lain.

Pada aspek pertama, sistem kapitalis berubah berdasarkan suatu struktur internasional ke struktur transnasional yg sangat konsisten serta dengan perusahaan transnasional sebagai aktor terpentingnya. Dinyatakan, bahwa komunitas transnasional baru sedang timbul, terdiri berdasarkan orang-orang menurut banyak sekali bangsa namun dengan nilai serta gagasan, dan pola konduite yg sama. Di sisi lain pada struktur global ganda ini, masyarakat nasional menjadi penerima konsekuensi proses transnasionalisasi yang kemudian mengalami proses disintegrasi sehingga menyebabkan kekacauan perekonomian rakyat pribumi dan pemusatan kekayaan maupun pendapatan. Proses marginalisasi ini selanjutnya menyebutkan kecenderungan ke arah penindasan serta otoritarianisme yg dapat dilihat di negara maju maupun pada negara terbelakang. Tetapi pada ketika yg sama, warga nasional membuat sejenis proses tandingan yg mengedepankan nilai-nilai nasional serta atau nilai subnasional yg terkadang reaksioner, terkadang progresif.

Bagi Indonesia, pengaruh teori pembangunan dunia merupakan suatu alasan yang strategis dan memaksa bagi pemerintah untuk memilih dan melaksanakan salah satu diantaranya. Nampaknya dari pengalaman sejarah nasional, Indonesia pernah mengalami dan mempraktekkan tiga teori pembangunan yang pada dasarnya berpijak pada teori perubahan sosial dalam ilmu-ilmu sosial. Mulai dari teori Kapitalisme Klasik di zaman penjajahan, kemudian teori Sosialis di zaman pemerintahan Orde Lama, serta sampai pada pelaksanan teori Dependensia (Ketergantungan). Pada masing-masing zaman yang menerapkan teori pembangunan tersebut menunjukkan, bahwa perkembangan teori pembangunan dunia sangat mempengaruhi penerapan pola dan strategi kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Khususnya pada zaman pemerintahan Orde Baru sampai sekarang ini, banyak pengalaman pemerintah yang memberikan gambaran tentang betapa tergantungnya bangsa dan negara ini terhadap sistem dunia.

Strategi Pembangunan Nasional Indonesia
Strategi pembangunan dimaksudkan buat memajukan proses pembangunan, karena itu strategi pembangunan memiliki dua komponen, yaitu tujuan (pembangunan) serta indera (strategi). Adapun teori pembangunan modern sejak awalnya, adalah normatif dan instrumental, ini berarti, bahwa: (a) para teoritikus mempunyai aneka macam pandangan mengenai bagaimana pembangunan yg seharusnya; (b) ada anggapan, bahwa pembangunan adalah suatu proses yang dapat dikendalikan serta dikemudikan sang para pelaku, yaitu negara.

Hal inilah yang telah mengungkapkan, mengapa pembangunan menjadi konsep yg diperdebatkan dan teori pembangunan merupakan arena pertikaian antar genre. Interpretasi teoritis mengenai pembangunan global tergantung dalam bagaimana cara orang memandang fenomena realitas saling ketergantungan antara satu sama lain. Dalam hal ini baik TEIB juga Komisi Brant, diacu sebagai contoh reformisme dunia karena keduanya tahu global menjadi sistem tunggal serta karena itulah mereka menekankan suatu keharusan perubahan bagi sistem secara keseluruhan. Persoalan primer strategi reformis ini, ialah agen perubahan apa yg bisa diidentifikasi lantaran keseluruhan konsepsi mengenai intervensi yg terkandung pada taktik pembangunan, terkait erat dengan negara menjadi aktor dominan.

TEIB meredifinisikan kemandirian sebagai “kemandirian kolektif” sebagai suatu ekspresi solidaritas dunia ketiga. Namun lebih dari kemandirian, penekanannya dititikberatkan pada keadilan bagi Selatan di pasar dunia. Dengan demikian TEIB lebih merupakan strategi politik daripada strategi ekonomi yang bertujuan pada penciptaan rejim perdagangan berdasarkan pada alokasi otoritatif (Menurut pengamat yang tidak simpatik di Wall street Journal, 1975). Tuntutan ekonomi TEIB meliputi: stabilitas harga, perubahan sistem moneter, serta lain-lain. Tapi di pihak lain TEIB tidak menanggapi persoalan keseimbangan ekologis, reformasi sosial internal dan kebutuhan dasar manusia. Walaupun beberapa formulasinya mengesankan suatu pendekatan yang percaya pada diri sendiri, konsisten dengan paradigma ketergantungan, proposal utama yang diusulkan sebenarnya menunjukkan jalan menuju perkembangan lebih melalui perdagangan dengan negara industri dan akses terhadap teknologi mereka, daripada menciptakan kondisi bagi pengembangan kemampuan teknologi yang independen (Villamil, 1977:90).

Di antara negara-negara industri di global, Amerika Serikat, yg terutama enggan memerima tuntutan TEIB. Sedangkan Eropa lebih senang tahu TEIB sebagai upaya meningkatnya perdagangan dan meluasnya pasar yg mampu mendukung tujuan buat merangsang ekonomi dunia serta membawanya keluar berdasarkan depresi. Sementara itu, timbul konvensi yg berkembang pada antara negara-negara pada dunia ketiga tentang perlunya reformasi radikal terhadap tatanan ekonomi internasional. Gagasannya, bahwa reformasi domestik radikal dibutuhkan pada daerah miskin berkembang lantaran sama cepatnya di antara agen pembangunan pada negara-negara maju. Tetapi masalah utama TEIB, seperti halnya dengan seluruh taktik global, bahwa beliau adalah taktik tanpa aktor yg jelas buat mewujudkannya.

Sedangkan usulan komisi Brandt, didasarkan dalam konsep ketergantungan satu sama lain. Jadi buat taktik pembangunan, komisi ini mengusulkan adanya Transfer Sumber Daya Alam Besar-Besaran (Massive Resource Transfer (MRT)). Menurut usulan ini orang miskin global berfungsi menjadi pengangguran, sebab mereka membelanjakan pendapatannya buat membeli barang yg dihasilkan sang negara-negara industri. Dengan demikian kasus ekonomi negara industri pula akan terpecahkan. Oleh karena itu, negara miskin dan negara kaya wajib bergerak seiring, bukannya negara miskin saja yg diuntungkan atas pengurbanan dunia kaya, yang adalah taktik TEIB dan usulan UNCTAD sebelumnya.

Terhadap usulan ini, majemuk tanggapan yg ada sinkron dengan ideologi pembangunan yg bhineka. Bagi para pendukung pembangunan yg nir tergabung pada gerombolan kanan atau kiri menyadari, bahwa laporan komisi Brandt itu nir cukup menyadari imbas ekologis kapitalisme dunia serta kesulitan institusional buat menaikkan produksi global pada memenuhi kebutuhan pokok. Sehingga dalam akhirnya dapat dikatakan, bahwa globalisasi pembangunan membentuk keraguan mengenai kelangsungan taktik yg menitikberatkan perhatian pada pembangunan nasional.

Dari berbagai kasus pembangunan mandiri di negara-negara dunia ketiga dapat ditarik beberapa pelajaran, bahwa minat baru dalam teori global dapat dianggap sebagai usaha untuk melampaui teori ketergantungan, serta untuk menciptakan sebuah kerangka di mana pusat maupun pinggiran serta hubungan keduanya diperhitungkan. Dalam perdebatan pembangunan akhir-akhir ini, tampaknya ada reaksi berlebihan terhadap kelemahan aliran ketergantungan dan determinisme pesimistik berkaitan dengan strategi kemandirian. Untuk itu strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor, yang dilaksanakan oleh beberapa NIB direkomendasikan.

Oleh sebab itu kegagalan kemandirian haruslah dipahami dalam hubungannya dengan perubahan struktural dan perubahan politik di dunia. Jadi jangan hanya dijelaskan sebagai akibat dari kelemahan yang melekat pada strategi pembangunan nasional. Perubahan global semakin menyulitkan strategi kemandirian, karena alasan sosial, politik, serta kebudayaan, jadi hanya sedikit negara yang mampu mengikuti strategi NIB. Relevansi kemandirian (lebih sebagai strategi daripada ideologi nasionalis), yang terkandung dalam pendekatan ketergantungan. Hal itu hendaknya jangan dinilai hanya dengan kemunduran strategi baru pada tahun 1970-an, tapi justru harus dipahami sebagai pengalaman belajar.

Salah satu jalan keluar dari kebuntuan teori pembangunan, serta sekaligus sebagai alat untuk melakukan revitalisasi bidang studi pembangunan yang sekarang ini terbengkalai, adalah menitik beratkan perhatian pada studi komparatif strategi pembangunan, berikut hambatan internal dan eksternal pada tingkat implementasinya, untuk itu sangat diperlukan tipologi strategi pembangunan yang baik. Tipologi ini dapat dibuat dengan berbagai cara, misalnya dengan gaya yang kurang lebih sistematis atau dengan suatu pendekatan ad hoc, yang bersumberkan pengalaman pembangunan sekarang ini. 

Dalam interaksi ini, Keith Griffin berhasil mengidentifikasi enam taktik pembangunan dapat dipakai menjadi bahan pertimbangan, (Griffin, 1988):
  1. Strategi monetarisme, yang mengasumsikan efisiensi jangka panjang dengan pertanda-indikasi pasar dalam alokasi sumber daya alam. Strategi ini diperkenalkan dalam periode krisis dengan tujuan jangka pendek, yaitu stabilisasi ekonomi. Dalam Strategi ini peranan negara dalam bidang ekonomi diminimalkan,
  2. Strategi perekonomian terbuka, Strategi ini sangat menekankan pada kebijakan untuk memajukan perdagangan luar negeri serta hubungan eksternal lainnya sebagai mesin pertumbuhan. Strategi ini sangat cocok dalam negara yg berorientasi suplai aktif,
  3. Strategi industrialisasi, strategi ini menekankan dalam sektor manufaktur sebagai sumber pertumbuhan utama, yang berorientasi pada pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya). Menurut taktik ini intervensi negara adalah hal yang normal,
  4. Strategi revolusi hijau, strategi ini menaruh prioritas pada peningkatan produktivitas serta perubahan teknologi (bukan kelembagaan) pada sektor pertanian, menjadi indera buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh,
  5. Strategi redistributif, suatu taktik yg dimulai dari redistribusi pendapatan serta kekayaan, dan taraf partisipasi tinggi sebagi alat untuk memobilisasi rakyat dalam proses pembangunan,
  6. Strategi sosialis, strategi ini lebih menekankan pada peran negara dalam pembangunan, seperti perencanaan pertanian milik negara, serta perusahaan manufaktur milik publik. Meskipun demikian peran negara yang sentral bisa beragam, mulai dari statisme sampai pada ekstrem hingga swakelola (self-management).
Namun dalam hal ini jangan terlalu beranggapan, bahwa semua negara mengikuti strategi pembangunan yang jelas. Tetapi menurut Griffin, sebagian besar negara tidak mengikuti strategi apapun yang dapat dikenali, serta jika demikian pasti tidak lama. Kasus semacam ini semakin banyak akibat semakin melemahnya negara dunia ketiga, serta krisis ekonomi dunia. Karena itu peran strategi pembangunan bagi banyak negara sekarang ini cenderung mengarah pada manajemen krisis daripada transformasi sosial-ekonomi, yang tentu saja sangat mengurangi relevansi teori pembangunan.

Bagi Indonesia, mungkin apa yg katakan oleh Griffin bisa menjadi bahan rujukan buat memperbaiki situasi-syarat sosial-ekonomi kini ini. Enam strategi yg ditawarkan oleh Griffin dapat menjadi strategi cara lain bagi pemerintah Indonesia yang dalam saat ini sedang berusaha memulihkan perekonomian Indonesia. Sebab strategi ini telah disusun sedemikian rupa menggunakan memperhatikan dimensi situasi serta kondisi yg melingkupi negara yang akan memakai taktik ini, baik dalam jangka pendek juga pada jangka panjang. Namun kuncinya pulang lagi dalam keberanian serta konsistensi kebijaksanaan pemerintah, apakah mau melaksanakan taktik ini. Lantaran biasanya yg paling rumit serta menentukan apakah suatu cara lain cara dan pendekatan pemecahan perkara dipilih dan dipakai terletak dalam prosedur ini. 

Secara sederhana Enam taktik yang ditawarkan sang Griffin dapat dibentuk tabelnya sebagai berikut:
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Monetarisme
Diperkenalkan pada peride krisis menggunakan memperkecil peranan negara di bidang ekonomi
Dalam jangka pendek buat menstabilkan perekonomian nasional
2.
Perekonomian Terbuka
Sangat menekankan pada kebijakan guna memajukan perdagangan luar negeri dan hubungan eksternal lainnya menjadi mesin pertumbuhan.
Sangat cocok pada negara yang berorientasi suplai aktif.
Untuk meng-akumulasikan kapital pada bentuk devisa negara.
3.
Industrialisasi
Berorientasi pada pasar domestik atau pasar luar negeri (kombinasi keduanya).
Mendongkrak per-tumbuhan ekonomi nasional melalui sektor manufaktur sebagai asal pertumbuhan primer.
4.
Revolusi Hijau
Memberikan prioritas pada peningkatan produktivitas dan perubahan teknologi (bukan kelembagaan).
Sebagai indera buat mendukung pertumbuhan secara menyeluruh.
5.
Redistributif
Dimulai berdasarkan redistribusi pendapatan serta kekayaan, dan peningkatan partisipasi.
Sebagai alat buat memobilisasi warga pada proses pembangunan.
6.
Sosialis
Dengan lebih menekankan pada peran negara pada pembangunan, mulai berdasarkan statisme sampai ekstrim hingga swakelola.
Untuk mencapai pembangunan yg merata serta berkeadilan secara menyeluruh.

Namun dari Wallerstein, dalam prinsipnya pada teori sistem global hanya ada 3 strategi, yaitu: (a) taktik memanfaatkan kesempatan, ini adalah strategi klasik, yg melibatkan tindakan militan negara buat mentransformasikan struktur keunggulan komparatif dengan tujuan menerima pasar eksternal; (b) taktik promosi menggunakan mengundang berdasarkan dalam keunggulan komparatif yg terdapat, misalnya tingkat upah yang rendah dan keterbukaan umum; (c) strategi kemandirian yg berorientasi ke pada, namun dalam konteks sistem global kini ini, taktik ini paling mustahil mencapai keberhasilan, menurut pemikiran pembangunan sistem global.

Secara singkat ketiga teori itu bisa dijelaskan pada bentuk tabel sebagai berikut: 
NO.

S T R A T E G I

PENERAPAN

TUJUAN

1.
Memamfaatkan Kesempatan (Klasik)
Dengan melibatkan tindakan agresif negara buat mentransformasikan struktur keunggulan komparatif.
Untuk Mendapat-kan pasar eks-ternal.

2.
Keunggulan Komparatif
Menerapkan kebijakan yang kemudahan para investor untuk menanamkan investasi-nya, misalnya tingkat upah yg rendah serta lain-lain.
Untuk mem-peroleh  modal guna memacu per-tanaman ekonomi nasional.
3.
Kemandirian yg berorientasi ke dalam
Berorientasi dalam ke-mampuan domestik
Mendongkrak per-tanaman ekonomi nasional melalui bisnis yang berdikari.

Jika melihat pada strategi yang ditawarkan oleh Wallerstein, bagi negara Indonesia mungkin hanya langkah kedua saja yang bisa dijadikan alternatif dalam usaha memecahkan masalah perekonomian sekarang ini. Itupun dengan catatan, bahwa pemerintah harus dapat memberikan iklim yang kondusif (politik, pertahanan, serta keamanan) untuk iklim berinvestasi.

Pendapat lain berdasarkan Dudley Seers (1983), yang menggabungkan dimensi internal menggunakan eksternal (yg disebutnya nasionalis lawan antinasionalis) dengan dimensi ke 2 yang berdasarkan dalam taraf egalitarianisme. Dengan menggabungkan 2 dimensi ini, teridentifikasi empat posisi ideologis yang tidak sama, yaitu: 1) internasionalisme jenis sosialis dan liberal, yg mendukung strstegi pembangunan pintu terbuka; serta dua) jenis kemandirian dan pemutusan hubungan yg radikal maupun ortodok, seperti telihat pada gambar pada bawah ini:

Menurut Seers, pada dasarnya kebijakan pembangunan merupakan tindakan menyeimbangkan, yaitu apa yang disebutnya sebagai “ruang untuk manuver” yang secara obyektif berbeda bagi tiap negara dan situasi historis, namun secara subyektif berbeda pula bagi berbagai pengamat. Artinya keberhasil pembangunan sangat dipengaruhi oleh pemamfaatan ruang manuver untuk mengakumulasi, merasionalisasi sistem produksi nasional, serta mengarahkan negara ke tempat yang semestinya dalam pembagian kerja dunia. Hal inilah yang menurut Hettne (2001:269), sebenarnya sedang dilakukan oleh NIB. Tapi umumnya NIB tidak memilih antara industrialisasi substitusi impor atau industrialisasi yang berorientasi ekspor. Mereka cenderung melaksanakan keduanya, serta mengubah penekanan pada saat yang tepat. Ini merupakan ujian yang krusial bagi rejim developmentalis, karena strategi pembangunan apapun, akan mengembangkan kepentingan dirinya sendiri dan melawan setiap perubahan yang membahayakan kepentingan ini. Pendapat Seers secara sederhana dapat dijelaskan melalui tabel, sebagai berikut:
NO.

IDEOLOGI

STRATEGI

KARAKTERISTIK IDIOLOGI

PENERAPAN STRATEGI

1.
Sosialis Marxisme
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme yg tinggi,
b)Tingkat Egali-tarian yang tinggi,
c)Tidak mengenal strata dalam rakyat,
a)Tidak menutup diri dari pe-ngaruh global luar,
b)Membukakan pasarnya menggunakan global interna-sional.
2.
Liberal Neoklasik
Pintu Terbuka
a)Anti nasiona-lisme dan egali-taria yang tinggi,
b)Membuka pasar yg dgn seluas-luasnya,
c)Tidak meng-agungkan per-samaan di ma-syarakat dlm menerapkan fungsi eko-nominya.
a)Masyarakat pada-kondisikan dlm dunia usaha,

3.
Konservatif Tradisional
Kapitalisme Negara
a)Anti egalitarian namun mau men-dukung nasiona-lisme,
b)- Menginginkan kemandirian tanpa radika-lisme.
a)Pasar dibatasi dari dunia luar & terbatas dalam memproduksi barang,
b)Masyarakat di-usahakan berjiwa usaha,
c)- Tidak terdapat mo-nopoli negara.
4.
Dependensia
Kemandirian
a)Mendukung egalitarian dan nasionalisme secara radikal,
b)Mengagungkan persamaan rakyat pada kehidupan bernegara,
c)Memutuskan ketergantungan dgn negara lain.
a)Negara sbg aktor secara umum dikuasai yg menjalankan perekonomian,
b)Tdk ada ke-bebasan pasar ekonomi,
c)Menutup diri terhdp per-dagangan luar negeri.

Dari beberapa strategi pembangunan yang sudah dikemukakan sang para pakar teori pembangunan itu, bagi Indonesia taktik pembangunan yg sudah ditempuh selama ini telah mencerminkan maksud serta tujuan dari pembangunan itu. Namun dalam prakteknya telah terjadi bias, sebagai akibatnya esensi yang sebenarnya dari pembangunan itu sendiri tidak terwujudkan. Jika hakekat pembangunan itu, adalah pemugaran kehidupan warga yang lebih baik (menurut tradisional ke terkini), maka pada dasarnya bagaimana cara membangun insan yang mempunyai kemampuan buat selalu memperbaharui kehidupannya ke arah yang lebih baik. Kebijakan pemerintah Orde Baru yg meletakkan dasar pembangunan materi (Fisik) menjadi batu loncatan buat mencapai hakekat pembangunan yg dimaksud ternyata telah mengaburkan tujuan yg sebenarnya. 

Hal itulah yang menjadi alasan dasar mengapa orang menyatakan, bahwa pemerintah Orde Baru telah gagal membangun bangsa ini dan mewariskan kebangkrutan pada generasi selanjutnya. Pengalaman sejarah ini seharusnya menjadi pelajaran yang amat berharga bagi para pemimpin dan rakyat Indonesia, bahwa pembangunan sumber daya manusia harus mendapat tempat yang sangat strategis dan domain pertama dalam setiap kebijakan pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan suatu usaha yang berkesungguhan, berkesinambungan, serta terkonsentrat tinggi dengan dukungan materi yang dianggarkan cukup besar pada APBN dan political will dari pemerintah dalam pelaksanaannya saat ini di difocuskan pada perbaikan ekonomi nasional yang berbasiskan kemandirian. Untuk itu pembangunan ekonomi yang berdimensi kerakyatan menjadi sebuah alternatif yang cukup memberikan harapan. Namun untuk lebih mempercepat akselerasi pertumbuhan ekonomi itu, pemerintah tidak bisa lepas dari bantuan luar. Dilematis yang pemerintah hadapi sekarang ini, adalah keadaan perekonomian nasional yang semakin memburuk, serta pada pihak lain pemerintah semakin dituntut untuk segera memperbaiki keadaan perekonomian nasional tersebut. 

MANAJEMEN PEMBANGUNAN UNTUK NEGARA BERKEMBANG

Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang 
Di tengah-tengah semakin berat dan kompleks tantangan bangsa Indonesia menghadapi era global waktu ini, mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran yang inovatif serta produktif dalam forum pemerintah baik pusat serta wilayah merupakan langkah dan sikap yg tepat dan patut menerima dukungan menurut semua komponen rakyat. Dengan istilah lain “Reformasi Administrasi” pada Indonesia harus sesegera mungkin menjadi pilihan para penyelenggara pemerintahan baik pusat juga wilayah guna mewujudkan good governance, pemerintahan yang higienis, sehat, serta berwibawa.

Pemerintahan Daerah Provinsi, pada hal ini gubernur sebagai ketua pemerintah wilayah sangatlah dekat menggunakan politik serta administrasi publik. Terlebih lagi dalam sistem pemilihan kepala daerah secara pribadi misalnya kini , kedekatan kepala wilayah dalam aspek politik semakin bertenaga, selain posisinya menjadi penanggung jawab administrasi dan manajemen pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemikiran teoretis serta mudah sebagai gubernur pada menerapkan pendekatan-pendekatan baru pada administrasi publik.

Gubernur dituntut bisa memadukan secara serasi demokrasi administrasi publik. Hal ini merupakan tantangan yang akbar, lantaran misalnya yang dikatakan oleh Kenneth J. Meier serta Laurence O’Toole Jr (2006), bahwa one of the most important and persisting challenges of terbaru government is how to reconcile the demans of democracy with the imperatives of bureaucracy.

Pada tahun 1980-an aneka macam pemikiran ada untuk memperbarui birokrasi dan menyesuaikannya dengan perkembangan teknologi –khususnya teknologi keterangan- dan ekonomi –khususnya globalisasi- yang sangat mengurangi kiprah negara dan makin menonjolkan peran global bisnis, serta menempatkan persaingan sebagai credo yg utama. Lahirlah istilah-istilah “hollowing out of the state” dan sebagainya. Maka berkembanglah pemikiran-pemikiran yg berpengaruh dalam perkembangan konsep administrasi public selanjutnya, yaitu Reinventing Government (Osborn dan Gaebler 1992) dan New Public Management (Hood 1989).

Gagasan NPM pada dasarnya ingin “membebaskan” para manajer publik berdasarkan kekangan anggaran-aturan birokratik serta kontrol administrasi sehingga dapat menjalankan tugas dengan leluasa. Seperti halnya manajer pada sektor swasta para manajer publik mendapat imbalan apabila sukses dan hukuman apabila gagal. Dengan cara demikian maka manajer publik bisa memanfaatkan seluruh potensi serta kompetensi yang dimiliki guna membuat secara maksimal produk, baik barang juga jasa buat layanan publik. Perspektif utama menurut pandangan NPM ini merupakan warga negara atau warga dilihat atau diperlakukan sebagai konsumen yg mempunyai akal, pikiran, kehendak, dan pilihan atau rational-choice, nir tidak sinkron dengan pendekatan public-choice pada disiplin ilmu ekonomi. Dan nir lagi menjadi entitas yang pasif (lapang dada saja) Maka pada sistem ini terkandung pula nilai demokrasi dalam administrasi publik.

Di dalam doktrin NPM, pemerintah dianjurkan buat meninggalkan kerangka berpikir administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan prosedur, dan menggantikannya menggunakan orientasi dalam kinerja atau hasil kerja. Pemerintah juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik menggunakan mendorong organisasi serta pegawai supaya lebih fleksibel, dan tetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih jelas sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Di samping itu, pemerintah pula diperlukan menerapkan sistem desentralisasi, memberi perhatian pada pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Dalam perkembangannya, NPM dianggap menjadi liberation –yaitu upaya pembebasan manajemen publik menurut kungkungan konservativisme administrasi klasik dengan memasukkan prinsip-prinsip sektor privat ke pada sektor publik (Golembiewski, 2003). Lebih menarik lagi, bahwa NPM dipandang menjadi kumpulan ide-pandangan baru serta praktik yg berupaya menggunakan pendekatan sektor partikelir serta bisnis ke dalam sektor publik (Denhardt & Denhardt, 2003).

David Osborn dan Ted Gaebler (1993) menekankan sine qua non upaya buat mentransformasikan entrepreuneurial spirit, karena saat asal daya semakin langka, pemerintah harus berubah berdasarkan bureaucratic contoh ke entrepreuneurial model. Oleh karenanya, pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi dalam jiwa serta semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru pada tubuh pemerintah dapat disebut menjadi manajemen kewirausahaan.

Dampak dari pelaksanaan model NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju, namun juga di negara-negara sedang berkembang seperti penerapan 5 (lima) prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi, (2) privatisasi, (3) downsizing, (4) debirokratisasi, dan (lima) manajerialisme (Vigoda, 2003).

A. Reformasi Administrasi Publik dan Perkembangannya
Sejak 2 dekade terakhir, pelaksanaan reformasi administrasi publik makin konkret pada berbagai negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diperlukan karena tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat (Caiden, 1991; Lenvine, Peters & Thompson, 1990). Doktrin Administrasi Publik Klasik (the Old Public Administration-OPA) yang semenjak awal dimotori sang Wilson dalam tahun 1987 terus dikritik oleh para pakar, serta mulai ditinggalakan (Cooper, 1998; Hughes, 1994) lantaran nir bisa mengakomodasi perubahan situasi dan syarat masyarakat.

Keberhasilan NPM pada negara-negara maju, menyebabkan terjadinya kenaikan pangkat secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM pada negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yg selama ini ditangani sang pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen partikelir. Alasannya, lebih berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, serta pertumbuhan kesempatan kerja, mempertinggi efisiensi pelayanan karena lebih fleksibel beradaptasi menggunakan pasar, menaikkan efisiensi di departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, dan pembiayaan terhadap pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan lantaran lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan menggunakan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings dan Haist (2002), yg ditekankan dalam NPM merupakan pengukuran terhadap output bukan proses, serta konduite sebagai akibatnya tak jarang diklaim sebagai results-oriented government. 

Promosi doktrin NPM pada Indonesia dapat diamati dari kehadiran tentang NPM, contohnya karya-karya tentang administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yang ditulis antara lain sang Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo (2002), Dwiyanto (2003), serta lain-lain.

Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yg paling konkret adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah yg kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 

Otoritas terhadap banyak sekali urusan pemerintahan yg didesentralisasikan pada pemerintah wilayah lebih banyak jumlahnya daripada yg diatur sang pemerintah pusat. Alasan utama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah buat menjalankan prinsip demokrasi, menaikkan peran serta warga , pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah melalui hadiah kewenangan yang luas, konkret, serta bertanggung jawab pada wilayah secara proporsional. 

Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan hadiah kewenangan seluas-luasnya supaya wilayah memiliki kewenangan menciptakan kebijakan buat pelayanan, peningkatan kiprah dan, prakarsa dan pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan warga di daerah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis ini pemerintah daerah diserahi otoritas buat menjalankan berbagai urusan. Pemerintah daerah bisa melakukan perencanaan serta pengendalian pembangunan, pemanfaatan serta supervisi tata ruang, penyelenggaraan ketertiban generik. Pemerintah wilayah juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan perkara sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, bisnis mini dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan serta catatan sipil, pelayanan administrasi generik pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman kapital, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, dan urusan harus lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Smentara pemerintah pusat hanya menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter serta fiskal nasional, dan agama.

Implementasi NPM bisa ditinjau jua menurut kewajiban melakukan evaluasi kinerja pemerintah wilayah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 mengenai Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105 Tahun 2000 mengenai Pengelolaan serta Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan lalu dilanjutkan menggunakan PP Nomor 56 Tahun 2002 tentang Laporan Kinerja Penyelenggara Pemda serta PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.

Selain itu, implementasi NPM dapat ditinjau menggunakan diberlakukannya peraturan perundangan mengenai privatisasi seperti Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya buat menaikkan kinerja BUMN yang mencakup perbaikan struktur permodalan, menaikkan profesionalisme dan efisiensi bisnis, perubahan budaya perusahaan, memperluas partisipasi warga dalam kepemilikan saham BUMN dan penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate governance yang berdasarkan dalam transparansi , akuntabilitas, serta kemandirian.

B. Pendekatan Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah) pada Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
1. Pendekatan Demokratisasi
Demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan terealisasi apabila dalam pemerintahan telah terjadi paradigma ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi penyelenggara negara yang telah meningkat tinggi akan membentuk terjadinya proses demokratis, sebagai akibatnya memungkinkan terjadinya good governance. 

Bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis itu digambarkan sebagai bentuk yang terdiri atas posisi jabatan yang akan ditempati oleh gerombolan jabatan yg bersifat politis yang dari dari kekuatan partai politik, dan jabatan yg berasal dari pegawai karier pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka nir akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan yang begitu cepat, walaupun pejabat pada organisasi tersebut berubah. Walaupun para pejabat yg menduduki jabatan tertentu sudah berakhir masa jabatannya, maka penyelenggaraan pemerintahan akan tetap stabil, berjalan, serta profesional.

Dalam demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan diharapkan akan terjadi proses pada mana pejabat yg bersifat politis yang sekaligus sebagai wakil warga akan ikut memilih kebijakan departemen pemerintah yang akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut menentukan proses pembuatan kebijakan departemen sekaligus juga ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yg dibentuk itu dilaksakan sang penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap pejabat politik itu mampu eksklusif dikontrol oleh masyarakat pemilihnya. Jabatan politis ini juga ikut bertanggung jawab terhadap masyarakat atas keberhasilan kebijakan yg dibuatnya.

Proses pertanggungjawaban itu nir hanya dilakukan oleh pejabat yang melaksanakan kebijakan politik dan melayani warga , akan namun pejabat politik harus jua bertanggung jawab kepada warga yg mempercayainya pada departemen. Rakyat harus memiliki akses aktif terhadap kontrol, baik pada jabatan politik yg mewakilinya juga pada jabatan sebagai pelayanan masyarakat.

Kontrol kepada penyelenggara pemerintahan dilakukan berdasarkan pelbagai jurusan nir hanya membatasi menurut jalur birokrasi sendiri, akan namun sanggup melalui jalur politik. Akses rakyat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka dengan seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan sang warga , itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk mencapai tujuan yg ideal dalam pelaksanaannya. Hal tersebut akan diperlihatkan dengan tergambarnya struktur organisasi serta pembagian kerja/tugas yg sesuai dengan tugasnya masing-masing.

2. Pendekatan Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Seringkali kasus pendekatan penyelenggaraan pemerintahan dari prinsip-prinsip sentralisasi serta desentralisasi herbi tingkat perkembangan bangsa serta negara-negara baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, training bangsa pada arti membina kesatuan bangsa dari afinitas-afinitas kedaerahan, kesukuan, penggolongan politik dan lain-lain, terasa lebih krusial, sehingga tercermin dalam kebijaksanaan serta tata cara penyelenggaraan pemerintahan yg sentralistis. Dalam taraf lebih lanjut dimana perkembangan pelatihan bangsa sudah lebih matang, maka keperluan ekspansi aktivitas pembangunan tak jarang menumbuhkan kebutuhan akan desentralisasi.

Konsep desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan pada tengah-tengah pembangunan bangsa pada negara-negara berkembang. Hal ini bersamaan dengan terlihatnya banyak sekali kelemahan yg tampak menggunakan jelas pada kontrol sentral. Namun demikian dalam umumnya bentuk desentralisasi yang diinginkan tetap hendaknya dijaga dalam rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, dan bahkan administratif suatu negara. Hal ini sejalan menggunakan pendapat Maryanov (pada LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan antara lain: (1) mengurangi beban pemerintah pusat, serta campur tangan tentang masalah-kasus mini dalam taraf lokal. Demikian jua memberi peluang buat koordinasi pelaksanaan dalam tingkat lokal, (2) menaikkan pengertian warga dan dukungan mereka pada kegiatan bisnis pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada taraf lokal, bisa mencicipi keuntungan dari donasi aktivitas yg mereka lakukan, (tiga) penyusunan program-acara buat perbaikan sosial ekonomi pada taraf lokal sebagai akibatnya bisa lebih realistis, (4) melatih masyarakat buat mampu mengatur urusannya sendiri (self government), dan (lima) pembinaan kesatuan nasional.

Ada 2 bentuk desentralisasi (Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yang bersifat administratif serta desentralisasi yang bersifat politik. Desentralisasi administratif umumnya disebut dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang aplikasi pada taraf-tingkat lokal. Para pejabat tingkat lokal bekerja dalam batas rencana dan asal-asal aturan, namun mereka mempunyai elemen kebijaksanaan serta kekuasaan (diskresi) dan tanggung jawab eksklusif pada hal sifat-hakikat jasa serta pelayanan dalam tingkat lokal. Diskresi mereka dapat bervariasi mulai berdasarkan peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan yang lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol eksklusif terhadap asal-sumber daya diberikan pada pejabat-pejabat regional serta lokal.

Dewasa ini masalah desentralisasi dihubungkan dengan usaha perencanaan pembangunan wilayah. Dengan ini diusahakan supaya perencanaan nasional memberi perhatian dalam pertimbangan regional. Dan penyelenggaraan suatu kegiatan bisnis diadaptasi dengan lokasinya yg paling baik. Dengan demikian diusahakan supaya potensi-potensi regional bisa dimanfaatkan, sehingga perkembangan antar daerah berjalan lebih masuk akal. Kegiatan-aktivitas bisnis yg lebih menyangkut kepentingan masyarakat daerah bisa seluruhnya atau sampai tingkat eksklusif, dipengaruhi serta diselenggarakan sang pemerintah wilayah sendiri. Namun hal ini dalam rangka suatu perencanaan pembangunan daerah perlu diusahakan secara konsisten serta komplementer dengan bisnis-bisnis nasional di wilayah tadi.

C. Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance
Saat ini, good governance merupakan berita yg mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yg baik antara governance di sektor publik (pemerintahan) menggunakan governance pada sektor masyarakat, terutama partikelir, sehingga bisa dihasilkan transaksional hasil melalui mekanisme pasar yang paling ekonomis dari aktivitas masyarakat. Oleh karena itu, pada good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan efektif, melainkan pula private sector governance yg efisien dan kompetitif.

Carl J. Bellone (1980: 285) mengungkapkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan ciri struktur organisasi (pemerintahan) yang mempunyai urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tersebut di dalamnya masih ada posisi-posisi atau jabatan yg memiliki kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai aturan dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur mengenai pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Pada sisi lain, birokrasi pemerintah acapkali diartikan menjadi “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya memiliki yuridiksi yg jelas dan niscaya. Dalam yuridiksi tersebut, seorang memiliki tugas serta tanggung jawab resmi (official duties) yg memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja pada tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. 

Dalam aplikasinya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya menjadi kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang. Indonesia contohnya, semakin sulit buat mewujudkan good governance, yg terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance pada sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yg diklaim “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi, Kronisme, serta Nepotisme). 

Administrasi negara di Indonesia dalam waktu ini lebih tepat dikatakan sebagai indera buat menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas administrasi negara saat ini lebih poly menjadi gambaran atau lukisan dari dalam realitanya. Sehingga dibutuhkan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yang ideal menuju good governance. 

Birokrasi pemerintah yg dipandang perlu untuk dibangun kembali guna menuju pemerintahan yg adil, bersih, berwibawa, serta demokratis (good governance). Sehingga permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji pulang menjadi jalan pemecahannya antara lain:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia waktu ini.
2. Adanya perubahan kerangka berpikir birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yg mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai, sebagai akibatnya terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Peranan pemerintah dan rakyat pada membentuk birokrasi.

Diharapkan menggunakan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yg menjunjung tinggi nilai-nilai serta berperilaku positif, adanya komunikasi yg baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance bisa diwujudkan.

1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini
Kehidupan serta tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah pada Indonesia sangat ditentukan oleh percaturan politik terlebih lagi saat setelah dilaksanakan pemilihan generik. Oleh karenanya birokrasi pemerintah sangat dipengaruhi oleh kehidupan politik serta pemilunya. Sejalan menggunakan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk berdasarkan administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih menurut sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan modern telah mendorong birokrasi menjadi indera yang unggul dalam mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis sudah menjadikan lembaga pemerintahan mempunyai kapasitas yang luar biasa serta menjadi sentral buat mengarahkan energi politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih menurut partai politik.

Partai politik didirikan nir mempunyai harapan lain, kecuali buat bisa memerintah negara. Upaya buat memerintah itu berdasarkan paham demokrasi dibatasi oleh waktu eksklusif serta harus dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, amanah, adil, bebas, rahasia, serta konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yg eksistensinya nir memalui pemilihan generik, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya menggunakan cara-cara merit. Agar agar profesionalisme birokrasi nir terganggu dengan silih bergantinya partai politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak.

Selain itu administrasi negara digambarkan jua menjadi upaya yg lebih concern terhadap “aplikasi suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini mengungkapkan bahwa administrasi negara lebih terkenal diklaim mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain menurut daerah politik. Di wilayah ini partai politik berkecimpung menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni pada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tadi merupakan wilayah dan domain administrasi negara.

Birokrasi pemerintah saat ini mencerminkan birokrasi besar yg menekankan dalam wewenang yang nir didukung menggunakan aparatur yg profesional menggunakan kompetensi yg sesuai dengan bidang fungsi yg dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung dengan sistem kepegawaian yg didasarkan pada sistem merit, dalam syarat partikelir belum bisa membangun lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yang relatif poly. Sehingga aparatur yg profesional dan memahami paradigma sesuai dengan konsep birokrasi ideal sebagai kebutuhan yang mendesak. 

2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian berfokus di negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih merasakan kekurangpuasan peran birokrasi pemerintah, sebagai akibatnya terus berupaya buat mencari identitas baru bagi birokrasinya. 

Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang menggunakan seperangkat teori yang melahirkan paradigma baru pada global ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi menjadi organisasi pemerintahan tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), tetapi pula melakukan dorongan serta motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta rakyat.

Pertumbuhan karakteristik birokrasi tradisional ke arah birokrasi terkini menjadi suatu fenomena yang bersifat implikatif. Seiring menggunakan aneka macam kemajuan dan munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, mengakibatkan kebutuhan akan pelayanan pula semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada pada tengah-tengah masyarakat tadi nir dapat tinggal membisu, namun harus lebih bisa menaruh aneka macam pelayanan sesuai menggunakan kebutuhan warga .

Carl J. Bellone (1980: 35) mengungkapkan bahwa semenjak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial bergerak cepat buat menemukan paradigma baru dalam bidang administrasi pemerintahan terkini. Ada lima model teori administrasi pemerintahan yang diambil buat menuju perubahan yg lebih baik berdasarkan pengalaman realitas, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yg memiliki 2 komponen basis dasar. Yang pertama merupakan struktur atau perancangan suatu organisasi, dan yang ke 2 adalah pembagian tugas serta pekerjaan yang dibuat secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, merupakan suatu produk menurut era prilaku. Nilai-nilai buat dicapai umumnya serupa dengan contoh birokratis klasik, karenanya dalam contoh neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, dan prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis pada umumnya kelompok kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai buat dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam model neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yg umum, serta proses pengambilan keputusan sebagai fokusnya; 3) Model kelembagaan, pada contoh kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam contoh birokrasi kelembagaan nir hanya mengutamakan rasionalitas, namun pula menggantungkan dalam nilai-nilai. Keputusan yg diambil birokrasi merupakan tawaran dan kompromi grup yang berminat dan menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah target output. Model ini sungguh-sungguh menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar manusia, model ini adalah reaksi terhadap model birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya dalam kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, serta pergerakan hubungan antar insan. Dalam pergerakan hubungan antar insan mencerminkan nilai-nilai yang mendasarinya. Nilai-nilai ini meliputi pekerja serta keikutsertaan klien dalam pengambilan keputusan yang dapat mengurangi disparitas status dan kompetisi interaksi antar eksklusif, serta menekankan dalam proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, dan kepuasan warga , dan 5) Model administrasi pemerintahan baru, dalam contoh ini birokrat wajib mulai bersikap bahwa nilai-nilai yang berbeda perlu mendominasi. Dengan disparitas tersebut akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yg mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yg sinkron. Sasaran output dari administrasi pemerintahan baru merupakan untuk mengorganisasi, menguraikan, atau membuat organisasi mata-mata yang berfungsi memberi penilaian.

Pendapat pada atas sejalan dengan pendapat Weber menjadi tokoh yang memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal menjadi unsur utama pada rasionalisasi global terbaru, yg baginya jauh lebih krusial menurut semua proses sosial. Diantara yang lain-lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber pada (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan menggunakan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi sang jabatannya manakala dia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya buat keperluan serta kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada pejabat atasan serta bawahan dan ada pula yg menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; Ketiga, tugas serta fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik tidak selaras satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat memiliki kontrak jabatan yg harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang sebagai wewenang dan tanggung jawab yg wajib dijalankan sinkron menggunakan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yg idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak buat menerima pensioun sesuai dengan strata hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat mampu tetapkan untuk keluar berdasarkan pekerjaannya dan jabatannya sinkron menggunakan keinginannya serta kontraknya dapat diakhiri pada keadaan eksklusif; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas menggunakan promosi berdasarkan senioritas serta merit sesuao menggunakan pertimbangan yg objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya serta resources intansinya buat kepentingan pribadi serta keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada pada bawah pengendalian serta pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.

Sejalan menggunakan konsep birokrasi ideal pada atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia wajib terjadi perubahan kerangka berpikir menuju good governance, antara lain:
a. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti kerangka berpikir yg lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya mampu dipengaruhi oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama pada mengatasi segala macam problem yg timbul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan pada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi lebih krusial artinya buat menjadi bahan pertimbangan pemerintah.

b. Perubahan kerangka berpikir dan orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian sebagai berorientasi kepada egalitarian dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara mampu melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang terkonsentrasi dalam satu orang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat poly. Paradigma semacam ini sudah poly ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yg mengutamakan peranan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan masyarakat menjadi pertimbangan pertama serta primer jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.

c. Perubahan kerangka berpikir menurut sentralisasi kekuasaan sebagai desentralisasi wewenang. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, misalnya yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai menurut perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat pemerintah sentra.

d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yg berlaku buat satu negara tertentu, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa kini ini adalah jamannya tata manajemen pemerintahan yg cenderung ditentukan oleh rapikan aturan dunia. Keadaan misalnya ini akan membawa akibat bahwa rapikan aturan yg hanya menekankan pada aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan dunia. 

e. Perubahan dari paradigma menurut tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork sebagai tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan misalnya ini membutuhkan kompetensi asal daya aparatur yg tahu serta mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yg seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan dan pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.

f. Perubahan kerangka berpikir dari a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di dalam rakyat yg rendah tingkat kepercayaannya nir bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yg hidup pada warga seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yg tidak demokratis, membatasi ruang mobilitas, menjauhkan birokrasi berdasarkan hubungan menggunakan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian aturan-aturan birokrasi. Sebaliknya paradigma baru yg menekankan terhadap kepercayaan sebagai akibatnya melahirkan suatu warga yg tinggi taraf kepercayaannya akan mampu menciptakan birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan membentuk suasana kerja yang lebih fleksibel dan berbasiskan dalam orientasi gerombolan kerja dengan lebih menaruh tanggung jawab yg akbar dalam tataran organisasi yang paling bawah. Birokrasi pemerintah seperti ini akan memperlakukan para pegawainya menjadi orang dewasa yg bisa dianggap untuk menaruh konstribusi pelayanan pada masyarakat.