MANAJEMEN PEMBANGUNAN UNTUK NEGARA BERKEMBANG

Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang 
Di tengah-tengah semakin berat dan kompleks tantangan bangsa Indonesia menghadapi era global waktu ini, mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran yang inovatif serta produktif dalam forum pemerintah baik pusat serta wilayah merupakan langkah dan sikap yg tepat dan patut menerima dukungan menurut semua komponen rakyat. Dengan istilah lain “Reformasi Administrasi” pada Indonesia harus sesegera mungkin menjadi pilihan para penyelenggara pemerintahan baik pusat juga wilayah guna mewujudkan good governance, pemerintahan yang higienis, sehat, serta berwibawa.

Pemerintahan Daerah Provinsi, pada hal ini gubernur sebagai ketua pemerintah wilayah sangatlah dekat menggunakan politik serta administrasi publik. Terlebih lagi dalam sistem pemilihan kepala daerah secara pribadi misalnya kini , kedekatan kepala wilayah dalam aspek politik semakin bertenaga, selain posisinya menjadi penanggung jawab administrasi dan manajemen pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemikiran teoretis serta mudah sebagai gubernur pada menerapkan pendekatan-pendekatan baru pada administrasi publik.

Gubernur dituntut bisa memadukan secara serasi demokrasi administrasi publik. Hal ini merupakan tantangan yang akbar, lantaran misalnya yang dikatakan oleh Kenneth J. Meier serta Laurence O’Toole Jr (2006), bahwa one of the most important and persisting challenges of terbaru government is how to reconcile the demans of democracy with the imperatives of bureaucracy.

Pada tahun 1980-an aneka macam pemikiran ada untuk memperbarui birokrasi dan menyesuaikannya dengan perkembangan teknologi –khususnya teknologi keterangan- dan ekonomi –khususnya globalisasi- yang sangat mengurangi kiprah negara dan makin menonjolkan peran global bisnis, serta menempatkan persaingan sebagai credo yg utama. Lahirlah istilah-istilah “hollowing out of the state” dan sebagainya. Maka berkembanglah pemikiran-pemikiran yg berpengaruh dalam perkembangan konsep administrasi public selanjutnya, yaitu Reinventing Government (Osborn dan Gaebler 1992) dan New Public Management (Hood 1989).

Gagasan NPM pada dasarnya ingin “membebaskan” para manajer publik berdasarkan kekangan anggaran-aturan birokratik serta kontrol administrasi sehingga dapat menjalankan tugas dengan leluasa. Seperti halnya manajer pada sektor swasta para manajer publik mendapat imbalan apabila sukses dan hukuman apabila gagal. Dengan cara demikian maka manajer publik bisa memanfaatkan seluruh potensi serta kompetensi yang dimiliki guna membuat secara maksimal produk, baik barang juga jasa buat layanan publik. Perspektif utama menurut pandangan NPM ini merupakan warga negara atau warga dilihat atau diperlakukan sebagai konsumen yg mempunyai akal, pikiran, kehendak, dan pilihan atau rational-choice, nir tidak sinkron dengan pendekatan public-choice pada disiplin ilmu ekonomi. Dan nir lagi menjadi entitas yang pasif (lapang dada saja) Maka pada sistem ini terkandung pula nilai demokrasi dalam administrasi publik.

Di dalam doktrin NPM, pemerintah dianjurkan buat meninggalkan kerangka berpikir administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan prosedur, dan menggantikannya menggunakan orientasi dalam kinerja atau hasil kerja. Pemerintah juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik menggunakan mendorong organisasi serta pegawai supaya lebih fleksibel, dan tetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih jelas sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Di samping itu, pemerintah pula diperlukan menerapkan sistem desentralisasi, memberi perhatian pada pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Dalam perkembangannya, NPM dianggap menjadi liberation –yaitu upaya pembebasan manajemen publik menurut kungkungan konservativisme administrasi klasik dengan memasukkan prinsip-prinsip sektor privat ke pada sektor publik (Golembiewski, 2003). Lebih menarik lagi, bahwa NPM dipandang menjadi kumpulan ide-pandangan baru serta praktik yg berupaya menggunakan pendekatan sektor partikelir serta bisnis ke dalam sektor publik (Denhardt & Denhardt, 2003).

David Osborn dan Ted Gaebler (1993) menekankan sine qua non upaya buat mentransformasikan entrepreuneurial spirit, karena saat asal daya semakin langka, pemerintah harus berubah berdasarkan bureaucratic contoh ke entrepreuneurial model. Oleh karenanya, pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi dalam jiwa serta semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru pada tubuh pemerintah dapat disebut menjadi manajemen kewirausahaan.

Dampak dari pelaksanaan model NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju, namun juga di negara-negara sedang berkembang seperti penerapan 5 (lima) prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi, (2) privatisasi, (3) downsizing, (4) debirokratisasi, dan (lima) manajerialisme (Vigoda, 2003).

A. Reformasi Administrasi Publik dan Perkembangannya
Sejak 2 dekade terakhir, pelaksanaan reformasi administrasi publik makin konkret pada berbagai negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diperlukan karena tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat (Caiden, 1991; Lenvine, Peters & Thompson, 1990). Doktrin Administrasi Publik Klasik (the Old Public Administration-OPA) yang semenjak awal dimotori sang Wilson dalam tahun 1987 terus dikritik oleh para pakar, serta mulai ditinggalakan (Cooper, 1998; Hughes, 1994) lantaran nir bisa mengakomodasi perubahan situasi dan syarat masyarakat.

Keberhasilan NPM pada negara-negara maju, menyebabkan terjadinya kenaikan pangkat secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM pada negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yg selama ini ditangani sang pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen partikelir. Alasannya, lebih berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, serta pertumbuhan kesempatan kerja, mempertinggi efisiensi pelayanan karena lebih fleksibel beradaptasi menggunakan pasar, menaikkan efisiensi di departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, dan pembiayaan terhadap pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan lantaran lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan menggunakan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings dan Haist (2002), yg ditekankan dalam NPM merupakan pengukuran terhadap output bukan proses, serta konduite sebagai akibatnya tak jarang diklaim sebagai results-oriented government. 

Promosi doktrin NPM pada Indonesia dapat diamati dari kehadiran tentang NPM, contohnya karya-karya tentang administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yang ditulis antara lain sang Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo (2002), Dwiyanto (2003), serta lain-lain.

Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yg paling konkret adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah yg kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 

Otoritas terhadap banyak sekali urusan pemerintahan yg didesentralisasikan pada pemerintah wilayah lebih banyak jumlahnya daripada yg diatur sang pemerintah pusat. Alasan utama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah buat menjalankan prinsip demokrasi, menaikkan peran serta warga , pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah melalui hadiah kewenangan yang luas, konkret, serta bertanggung jawab pada wilayah secara proporsional. 

Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan hadiah kewenangan seluas-luasnya supaya wilayah memiliki kewenangan menciptakan kebijakan buat pelayanan, peningkatan kiprah dan, prakarsa dan pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan warga di daerah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis ini pemerintah daerah diserahi otoritas buat menjalankan berbagai urusan. Pemerintah daerah bisa melakukan perencanaan serta pengendalian pembangunan, pemanfaatan serta supervisi tata ruang, penyelenggaraan ketertiban generik. Pemerintah wilayah juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan perkara sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, bisnis mini dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan serta catatan sipil, pelayanan administrasi generik pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman kapital, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, dan urusan harus lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Smentara pemerintah pusat hanya menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter serta fiskal nasional, dan agama.

Implementasi NPM bisa ditinjau jua menurut kewajiban melakukan evaluasi kinerja pemerintah wilayah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 mengenai Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105 Tahun 2000 mengenai Pengelolaan serta Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan lalu dilanjutkan menggunakan PP Nomor 56 Tahun 2002 tentang Laporan Kinerja Penyelenggara Pemda serta PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.

Selain itu, implementasi NPM dapat ditinjau menggunakan diberlakukannya peraturan perundangan mengenai privatisasi seperti Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya buat menaikkan kinerja BUMN yang mencakup perbaikan struktur permodalan, menaikkan profesionalisme dan efisiensi bisnis, perubahan budaya perusahaan, memperluas partisipasi warga dalam kepemilikan saham BUMN dan penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate governance yang berdasarkan dalam transparansi , akuntabilitas, serta kemandirian.

B. Pendekatan Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah) pada Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
1. Pendekatan Demokratisasi
Demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan akan terealisasi apabila dalam pemerintahan telah terjadi paradigma ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi penyelenggara negara yang telah meningkat tinggi akan membentuk terjadinya proses demokratis, sebagai akibatnya memungkinkan terjadinya good governance. 

Bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis itu digambarkan sebagai bentuk yang terdiri atas posisi jabatan yang akan ditempati oleh gerombolan jabatan yg bersifat politis yang dari dari kekuatan partai politik, dan jabatan yg berasal dari pegawai karier pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka nir akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan yang begitu cepat, walaupun pejabat pada organisasi tersebut berubah. Walaupun para pejabat yg menduduki jabatan tertentu sudah berakhir masa jabatannya, maka penyelenggaraan pemerintahan akan tetap stabil, berjalan, serta profesional.

Dalam demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan diharapkan akan terjadi proses pada mana pejabat yg bersifat politis yang sekaligus sebagai wakil warga akan ikut memilih kebijakan departemen pemerintah yang akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut menentukan proses pembuatan kebijakan departemen sekaligus juga ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yg dibentuk itu dilaksakan sang penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap pejabat politik itu mampu eksklusif dikontrol oleh masyarakat pemilihnya. Jabatan politis ini juga ikut bertanggung jawab terhadap masyarakat atas keberhasilan kebijakan yg dibuatnya.

Proses pertanggungjawaban itu nir hanya dilakukan oleh pejabat yang melaksanakan kebijakan politik dan melayani warga , akan namun pejabat politik harus jua bertanggung jawab kepada warga yg mempercayainya pada departemen. Rakyat harus memiliki akses aktif terhadap kontrol, baik pada jabatan politik yg mewakilinya juga pada jabatan sebagai pelayanan masyarakat.

Kontrol kepada penyelenggara pemerintahan dilakukan berdasarkan pelbagai jurusan nir hanya membatasi menurut jalur birokrasi sendiri, akan namun sanggup melalui jalur politik. Akses rakyat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka dengan seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan sang warga , itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk mencapai tujuan yg ideal dalam pelaksanaannya. Hal tersebut akan diperlihatkan dengan tergambarnya struktur organisasi serta pembagian kerja/tugas yg sesuai dengan tugasnya masing-masing.

2. Pendekatan Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Seringkali kasus pendekatan penyelenggaraan pemerintahan dari prinsip-prinsip sentralisasi serta desentralisasi herbi tingkat perkembangan bangsa serta negara-negara baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, training bangsa pada arti membina kesatuan bangsa dari afinitas-afinitas kedaerahan, kesukuan, penggolongan politik dan lain-lain, terasa lebih krusial, sehingga tercermin dalam kebijaksanaan serta tata cara penyelenggaraan pemerintahan yg sentralistis. Dalam taraf lebih lanjut dimana perkembangan pelatihan bangsa sudah lebih matang, maka keperluan ekspansi aktivitas pembangunan tak jarang menumbuhkan kebutuhan akan desentralisasi.

Konsep desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan pada tengah-tengah pembangunan bangsa pada negara-negara berkembang. Hal ini bersamaan dengan terlihatnya banyak sekali kelemahan yg tampak menggunakan jelas pada kontrol sentral. Namun demikian dalam umumnya bentuk desentralisasi yang diinginkan tetap hendaknya dijaga dalam rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, dan bahkan administratif suatu negara. Hal ini sejalan menggunakan pendapat Maryanov (pada LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan antara lain: (1) mengurangi beban pemerintah pusat, serta campur tangan tentang masalah-kasus mini dalam taraf lokal. Demikian jua memberi peluang buat koordinasi pelaksanaan dalam tingkat lokal, (2) menaikkan pengertian warga dan dukungan mereka pada kegiatan bisnis pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada taraf lokal, bisa mencicipi keuntungan dari donasi aktivitas yg mereka lakukan, (tiga) penyusunan program-acara buat perbaikan sosial ekonomi pada taraf lokal sebagai akibatnya bisa lebih realistis, (4) melatih masyarakat buat mampu mengatur urusannya sendiri (self government), dan (lima) pembinaan kesatuan nasional.

Ada 2 bentuk desentralisasi (Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yang bersifat administratif serta desentralisasi yang bersifat politik. Desentralisasi administratif umumnya disebut dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang aplikasi pada taraf-tingkat lokal. Para pejabat tingkat lokal bekerja dalam batas rencana dan asal-asal aturan, namun mereka mempunyai elemen kebijaksanaan serta kekuasaan (diskresi) dan tanggung jawab eksklusif pada hal sifat-hakikat jasa serta pelayanan dalam tingkat lokal. Diskresi mereka dapat bervariasi mulai berdasarkan peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan yang lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol eksklusif terhadap asal-sumber daya diberikan pada pejabat-pejabat regional serta lokal.

Dewasa ini masalah desentralisasi dihubungkan dengan usaha perencanaan pembangunan wilayah. Dengan ini diusahakan supaya perencanaan nasional memberi perhatian dalam pertimbangan regional. Dan penyelenggaraan suatu kegiatan bisnis diadaptasi dengan lokasinya yg paling baik. Dengan demikian diusahakan supaya potensi-potensi regional bisa dimanfaatkan, sehingga perkembangan antar daerah berjalan lebih masuk akal. Kegiatan-aktivitas bisnis yg lebih menyangkut kepentingan masyarakat daerah bisa seluruhnya atau sampai tingkat eksklusif, dipengaruhi serta diselenggarakan sang pemerintah wilayah sendiri. Namun hal ini dalam rangka suatu perencanaan pembangunan daerah perlu diusahakan secara konsisten serta komplementer dengan bisnis-bisnis nasional di wilayah tadi.

C. Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance
Saat ini, good governance merupakan berita yg mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yg baik antara governance di sektor publik (pemerintahan) menggunakan governance pada sektor masyarakat, terutama partikelir, sehingga bisa dihasilkan transaksional hasil melalui mekanisme pasar yang paling ekonomis dari aktivitas masyarakat. Oleh karena itu, pada good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien dan efektif, melainkan pula private sector governance yg efisien dan kompetitif.

Carl J. Bellone (1980: 285) mengungkapkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan ciri struktur organisasi (pemerintahan) yang mempunyai urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tersebut di dalamnya masih ada posisi-posisi atau jabatan yg memiliki kewajiban dan tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan pada nilai-nilai aturan dan peraturan yang berlaku. Dalam birokrasi juga mengatur mengenai pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Pada sisi lain, birokrasi pemerintah acapkali diartikan menjadi “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) di dalamnya memiliki yuridiksi yg jelas dan niscaya. Dalam yuridiksi tersebut, seorang memiliki tugas serta tanggung jawab resmi (official duties) yg memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja pada tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. 

Dalam aplikasinya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya menjadi kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yang berperilaku menyimpang. Indonesia contohnya, semakin sulit buat mewujudkan good governance, yg terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance pada sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yg diklaim “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi, Kronisme, serta Nepotisme). 

Administrasi negara di Indonesia dalam waktu ini lebih tepat dikatakan sebagai indera buat menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan rakyat. Itulah sebabnya realitas administrasi negara saat ini lebih poly menjadi gambaran atau lukisan dari dalam realitanya. Sehingga dibutuhkan pemikiran-pemikiran baru yang dapat meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yang ideal menuju good governance. 

Birokrasi pemerintah yg dipandang perlu untuk dibangun kembali guna menuju pemerintahan yg adil, bersih, berwibawa, serta demokratis (good governance). Sehingga permasalahan-permasalahan yang perlu dikaji pulang menjadi jalan pemecahannya antara lain:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia waktu ini.
2. Adanya perubahan kerangka berpikir birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yg mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai, sebagai akibatnya terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Peranan pemerintah dan rakyat pada membentuk birokrasi.

Diharapkan menggunakan adanya perubahan paradigma pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yg menjunjung tinggi nilai-nilai serta berperilaku positif, adanya komunikasi yg baik antara pemerintah dengan masyarakat, dan ikut berperan di dalamnya, maka good governance bisa diwujudkan.

1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini
Kehidupan serta tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah pada Indonesia sangat ditentukan oleh percaturan politik terlebih lagi saat setelah dilaksanakan pemilihan generik. Oleh karenanya birokrasi pemerintah sangat dipengaruhi oleh kehidupan politik serta pemilunya. Sejalan menggunakan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk berdasarkan administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih menurut sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan modern telah mendorong birokrasi menjadi indera yang unggul dalam mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis sudah menjadikan lembaga pemerintahan mempunyai kapasitas yang luar biasa serta menjadi sentral buat mengarahkan energi politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih menurut partai politik.

Partai politik didirikan nir mempunyai harapan lain, kecuali buat bisa memerintah negara. Upaya buat memerintah itu berdasarkan paham demokrasi dibatasi oleh waktu eksklusif serta harus dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, amanah, adil, bebas, rahasia, serta konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yg eksistensinya nir memalui pemilihan generik, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya menggunakan cara-cara merit. Agar agar profesionalisme birokrasi nir terganggu dengan silih bergantinya partai politik, para birokratnya tidak dibenarkan untuk memihak.

Selain itu administrasi negara digambarkan jua menjadi upaya yg lebih concern terhadap “aplikasi suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini mengungkapkan bahwa administrasi negara lebih terkenal diklaim mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain menurut daerah politik. Di wilayah ini partai politik berkecimpung menentukan visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni pada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tadi merupakan wilayah dan domain administrasi negara.

Birokrasi pemerintah saat ini mencerminkan birokrasi besar yg menekankan dalam wewenang yang nir didukung menggunakan aparatur yg profesional menggunakan kompetensi yg sesuai dengan bidang fungsi yg dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung dengan sistem kepegawaian yg didasarkan pada sistem merit, dalam syarat partikelir belum bisa membangun lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yang relatif poly. Sehingga aparatur yg profesional dan memahami paradigma sesuai dengan konsep birokrasi ideal sebagai kebutuhan yang mendesak. 

2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian berfokus di negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih merasakan kekurangpuasan peran birokrasi pemerintah, sebagai akibatnya terus berupaya buat mencari identitas baru bagi birokrasinya. 

Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang menggunakan seperangkat teori yang melahirkan paradigma baru pada global ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi menjadi organisasi pemerintahan tidak lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), tetapi pula melakukan dorongan serta motivator bagi tumbuh kembangnya peran serta rakyat.

Pertumbuhan karakteristik birokrasi tradisional ke arah birokrasi terkini menjadi suatu fenomena yang bersifat implikatif. Seiring menggunakan aneka macam kemajuan dan munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, mengakibatkan kebutuhan akan pelayanan pula semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada pada tengah-tengah masyarakat tadi nir dapat tinggal membisu, namun harus lebih bisa menaruh aneka macam pelayanan sesuai menggunakan kebutuhan warga .

Carl J. Bellone (1980: 35) mengungkapkan bahwa semenjak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial bergerak cepat buat menemukan paradigma baru dalam bidang administrasi pemerintahan terkini. Ada lima model teori administrasi pemerintahan yang diambil buat menuju perubahan yg lebih baik berdasarkan pengalaman realitas, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yg memiliki 2 komponen basis dasar. Yang pertama merupakan struktur atau perancangan suatu organisasi, dan yang ke 2 adalah pembagian tugas serta pekerjaan yang dibuat secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, merupakan suatu produk menurut era prilaku. Nilai-nilai buat dicapai umumnya serupa dengan contoh birokratis klasik, karenanya dalam contoh neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, dan prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis pada umumnya kelompok kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai buat dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam model neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yg umum, serta proses pengambilan keputusan sebagai fokusnya; 3) Model kelembagaan, pada contoh kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam contoh birokrasi kelembagaan nir hanya mengutamakan rasionalitas, namun pula menggantungkan dalam nilai-nilai. Keputusan yg diambil birokrasi merupakan tawaran dan kompromi grup yang berminat dan menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah target output. Model ini sungguh-sungguh menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar manusia, model ini adalah reaksi terhadap model birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya dalam kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, serta pergerakan hubungan antar insan. Dalam pergerakan hubungan antar insan mencerminkan nilai-nilai yang mendasarinya. Nilai-nilai ini meliputi pekerja serta keikutsertaan klien dalam pengambilan keputusan yang dapat mengurangi disparitas status dan kompetisi interaksi antar eksklusif, serta menekankan dalam proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, dan kepuasan warga , dan 5) Model administrasi pemerintahan baru, dalam contoh ini birokrat wajib mulai bersikap bahwa nilai-nilai yang berbeda perlu mendominasi. Dengan disparitas tersebut akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yg mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yg sinkron. Sasaran output dari administrasi pemerintahan baru merupakan untuk mengorganisasi, menguraikan, atau membuat organisasi mata-mata yang berfungsi memberi penilaian.

Pendapat pada atas sejalan dengan pendapat Weber menjadi tokoh yang memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal menjadi unsur utama pada rasionalisasi global terbaru, yg baginya jauh lebih krusial menurut semua proses sosial. Diantara yang lain-lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber pada (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan menggunakan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi sang jabatannya manakala dia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya buat keperluan serta kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada pejabat atasan serta bawahan dan ada pula yg menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; Ketiga, tugas serta fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik tidak selaras satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat memiliki kontrak jabatan yg harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang sebagai wewenang dan tanggung jawab yg wajib dijalankan sinkron menggunakan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yg idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak buat menerima pensioun sesuai dengan strata hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat mampu tetapkan untuk keluar berdasarkan pekerjaannya dan jabatannya sinkron menggunakan keinginannya serta kontraknya dapat diakhiri pada keadaan eksklusif; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas menggunakan promosi berdasarkan senioritas serta merit sesuao menggunakan pertimbangan yg objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya serta resources intansinya buat kepentingan pribadi serta keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada pada bawah pengendalian serta pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.

Sejalan menggunakan konsep birokrasi ideal pada atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia wajib terjadi perubahan kerangka berpikir menuju good governance, antara lain:
a. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti kerangka berpikir yg lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya mampu dipengaruhi oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama pada mengatasi segala macam problem yg timbul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan pada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi lebih krusial artinya buat menjadi bahan pertimbangan pemerintah.

b. Perubahan kerangka berpikir dan orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian sebagai berorientasi kepada egalitarian dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara mampu melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang terkonsentrasi dalam satu orang cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat poly. Paradigma semacam ini sudah poly ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yg mengutamakan peranan dan kedaulatan rakyat. Kedaulatan masyarakat menjadi pertimbangan pertama serta primer jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.

c. Perubahan kerangka berpikir menurut sentralisasi kekuasaan sebagai desentralisasi wewenang. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, misalnya yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai menurut perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat pemerintah sentra.

d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yg berlaku buat satu negara tertentu, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa kini ini adalah jamannya tata manajemen pemerintahan yg cenderung ditentukan oleh rapikan aturan dunia. Keadaan misalnya ini akan membawa akibat bahwa rapikan aturan yg hanya menekankan pada aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan dunia. 

e. Perubahan dari paradigma menurut tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork sebagai tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan misalnya ini membutuhkan kompetensi asal daya aparatur yg tahu serta mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yg seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan dan pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.

f. Perubahan kerangka berpikir dari a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di dalam rakyat yg rendah tingkat kepercayaannya nir bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yg hidup pada warga seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yg tidak demokratis, membatasi ruang mobilitas, menjauhkan birokrasi berdasarkan hubungan menggunakan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian aturan-aturan birokrasi. Sebaliknya paradigma baru yg menekankan terhadap kepercayaan sebagai akibatnya melahirkan suatu warga yg tinggi taraf kepercayaannya akan mampu menciptakan birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan membentuk suasana kerja yang lebih fleksibel dan berbasiskan dalam orientasi gerombolan kerja dengan lebih menaruh tanggung jawab yg akbar dalam tataran organisasi yang paling bawah. Birokrasi pemerintah seperti ini akan memperlakukan para pegawainya menjadi orang dewasa yg bisa dianggap untuk menaruh konstribusi pelayanan pada masyarakat.

MANAJEMEN PEMBANGUNAN UNTUK NEGARA BERKEMBANG

Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang 
Di tengah-tengah semakin berat serta kompleks tantangan bangsa Indonesia menghadapi era global ketika ini, mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran yang inovatif dan produktif dalam forum pemerintah baik pusat serta wilayah adalah langkah dan perilaku yg sempurna dan patut mendapatkan dukungan menurut semua komponen warga . Dengan kata lain “Reformasi Administrasi” di Indonesia harus sesegera mungkin menjadi pilihan para penyelenggara pemerintahan baik pusat maupun wilayah guna mewujudkan good governance, pemerintahan yg higienis, sehat, serta berwibawa.

Pemerintahan Daerah Provinsi, pada hal ini gubernur sebagai ketua pemerintah daerah sangatlah dekat menggunakan politik dan administrasi publik. Terlebih lagi dalam sistem pemilihan kepala daerah secara langsung misalnya sekarang, kedekatan kepala daerah dalam aspek politik semakin bertenaga, selain posisinya menjadi penanggung jawab administrasi serta manajemen pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemikiran teoretis serta mudah menjadi gubernur dalam menerapkan pendekatan-pendekatan baru pada administrasi publik.

Gubernur dituntut bisa memadukan secara serasi demokrasi administrasi publik. Hal ini adalah tantangan yang akbar, lantaran seperti yg dikatakan oleh Kenneth J. Meier dan Laurence O’Toole Jr (2006), bahwa one of the most important and persisting challenges of terkini government is how to reconcile the demans of democracy with the imperatives of bureaucracy.

Pada tahun 1980-an banyak sekali pemikiran ada buat memperbarui birokrasi dan menyesuaikannya menggunakan perkembangan teknologi –khususnya teknologi kabar- dan ekonomi –khususnya globalisasi- yang sangat mengurangi kiprah negara dan makin menonjolkan peran global usaha, dan menempatkan persaingan sebagai credo yg primer. Lahirlah kata-istilah “hollowing out of the state” dan sebagainya. Maka berkembanglah pemikiran-pemikiran yg berpengaruh dalam perkembangan konsep administrasi public selanjutnya, yaitu Reinventing Government (Osborn serta Gaebler 1992) dan New Public Management (Hood 1989).

Gagasan NPM pada dasarnya ingin “membebaskan” para manajer publik berdasarkan kekangan anggaran-aturan birokratik serta kontrol administrasi sebagai akibatnya dapat menjalankan tugas menggunakan leluasa. Seperti halnya manajer pada sektor swasta para manajer publik menerima imbalan bila sukses dan sanksi bila gagal. Dengan cara demikian maka manajer publik dapat memanfaatkan semua potensi dan kompetensi yang dimiliki guna membuat secara maksimal produk, baik barang maupun jasa buat layanan publik. Perspektif utama dari pandangan NPM ini merupakan rakyat negara atau masyarakat dilihat atau diperlakukan sebagai konsumen yg mempunyai akal, pikiran, kehendak, serta pilihan atau rational-choice, nir tidak sama menggunakan pendekatan public-choice pada disiplin ilmu ekonomi. Dan nir lagi menjadi entitas yang pasif (tulus saja) Maka dalam sistem ini terkandung pula nilai demokrasi dalam administrasi publik.

Di dalam doktrin NPM, pemerintah dianjurkan buat meninggalkan paradigma administrasi tradisional yg cenderung mengutamakan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi pada kinerja atau output kerja. Pemerintah jua dianjurkan buat melepaskan diri dari birokrasi klasik menggunakan mendorong organisasi dan pegawai supaya lebih fleksibel, serta memutuskan tujuan serta target organisasi secara lebih kentara sehingga memungkinkan pengukuran output. Di samping itu, pemerintah jua diperlukan menerapkan sistem desentralisasi, memberi perhatian dalam pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Dalam perkembangannya, NPM dianggap menjadi liberation –yaitu upaya pembebasan manajemen publik menurut kungkungan konservativisme administrasi klasik menggunakan memasukkan prinsip-prinsip sektor privat ke pada sektor publik (Golembiewski, 2003). Lebih menarik lagi, bahwa NPM dipandang sebagai deretan pandangan baru-ide dan praktik yg berupaya menggunakan pendekatan sektor partikelir dan bisnis ke dalam sektor publik (Denhardt & Denhardt, 2003).

David Osborn serta Ted Gaebler (1993) menekankan sine qua non upaya buat mentransformasikan entrepreuneurial spirit, karena saat asal daya semakin langka, pemerintah harus berubah berdasarkan bureaucratic model ke entrepreuneurial model. Oleh karenanya, pemerintahan yg mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi dalam jiwa serta semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru pada tubuh pemerintah dapat diklaim menjadi manajemen kewirausahaan.

Dampak menurut pelaksanaan model NPM ini mulai terasa tidak saja pada negara maju, tetapi jua pada negara-negara sedang berkembang misalnya penerapan 5 (5) prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi, (2) privatisasi, (3) downsizing, (4) debirokratisasi, dan (5) manajerialisme (Vigoda, 2003).

A. Reformasi Administrasi Publik dan Perkembangannya
Sejak 2 dekade terakhir, pelaksanaan reformasi administrasi publik makin nyata pada aneka macam negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diperlukan karena tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat (Caiden, 1991; Lenvine, Peters & Thompson, 1990). Doktrin Administrasi Publik Klasik (the Old Public Administration-OPA) yg semenjak awal dimotori oleh Wilson dalam tahun 1987 terus dikritik oleh para ahli, dan mulai ditinggalakan (Cooper, 1998; Hughes, 1994) lantaran tidak bisa mengakomodasi perubahan situasi dan kondisi masyarakat.

Keberhasilan NPM pada negara-negara maju, mengakibatkan terjadinya kenaikan pangkat secara monoton doktrin-doktrin NPM pada negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yg selama ini ditangani oleh pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen swasta. Alasannya, lebih berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, dan pertumbuhan kesempatan kerja, menaikkan efisiensi pelayanan karena lebih fleksibel beradaptasi dengan pasar, menaikkan efisiensi di departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, serta pembiayaan terhadap pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini mempunyai keunggulan lantaran lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan dengan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings dan Haist (2002), yg ditekankan pada NPM adalah pengukuran terhadap output bukan proses, serta perilaku sehingga sering disebut sebagai results-oriented government. 

Promosi doktrin NPM pada Indonesia bisa diamati dari kehadiran mengenai NPM, misalnya karya-karya tentang administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yang ditulis diantaranya oleh Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo (2002), Dwiyanto (2003), serta lain-lain.

Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yang paling konkret adalah pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yg lalu diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 

Otoritas terhadap aneka macam urusan pemerintahan yg didesentralisasikan kepada pemerintah wilayah lebih banyak jumlahnya daripada yg diatur sang pemerintah sentra. Alasan primer pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah untuk menjalankan prinsip demokrasi, menaikkan kiprah serta rakyat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman wilayah melalui hadiah kewenangan yang luas, konkret, serta bertanggung jawab pada daerah secara proporsional. 

Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan anugerah wewenang seluas-luasnya supaya daerah memiliki wewenang menciptakan kebijakan buat pelayanan, peningkatan peran dan, prakarsa dan pemberdayaan, menggunakan mengutamakan kesejahteraan rakyat di wilayah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yg desentralistis ini pemerintah daerah diserahi otoritas buat menjalankan banyak sekali urusan. Pemerintah wilayah dapat melakukan perencanaan dan pengendalian pembangunan, pemanfaatan serta supervisi rapikan ruang, penyelenggaraan ketertiban umum. Pemerintah wilayah jua menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan kasus sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, bisnis mini serta menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman modal, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, dan urusan harus lainnya yang diamanatkan sang peraturan perundangan. Smentara pemerintah sentra hanya menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter serta fiskal nasional, dan kepercayaan .

Implementasi NPM bisa dipandang pula dari kewajiban melakukan evaluasi kinerja pemerintah daerah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan serta Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, serta kemudian dilanjutkan menggunakan PP Nomor 56 Tahun 2002 tentang Laporan Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah dan PP Nomor 20 Tahun 2004 mengenai Rencana Kerja Pemerintah.

Selain itu, implementasi NPM bisa ditinjau menggunakan diberlakukannya peraturan perundangan mengenai privatisasi seperti Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya buat menaikkan kinerja BUMN yg mencakup perbaikan struktur permodalan, menaikkan profesionalisme dan efisiensi bisnis, perubahan budaya perusahaan, memperluas partisipasi rakyat pada kepemilikan saham BUMN serta penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate governance yang didasarkan pada transparansi , akuntabilitas, dan kemandirian.

B. Pendekatan Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah) dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
1. Pendekatan Demokratisasi
Demokratisasi pada penyelenggaraan pemerintahan akan terealisasi jika dalam pemerintahan telah terjadi kerangka berpikir ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara yang sudah semakin tinggi tinggi akan membentuk terjadinya proses demokratis, sebagai akibatnya memungkinkan terjadinya good governance. 

Bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis itu digambarkan sebagai bentuk yang terdiri atas posisi jabatan yang akan ditempati oleh grup jabatan yang bersifat politis yg dari menurut kekuatan partai politik, dan jabatan yang dari berdasarkan pegawai karier pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka nir akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan yang begitu cepat, walaupun pejabat pada organisasi tersebut berubah. Walaupun para pejabat yg menduduki jabatan eksklusif telah berakhir masa jabatannya, maka penyelenggaraan pemerintahan akan tetap stabil, berjalan, dan profesional.

Dalam demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan dibutuhkan akan terjadi proses pada mana pejabat yang bersifat politis yg sekaligus sebagai wakil rakyat akan ikut menentukan kebijakan departemen pemerintah yg akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut memilih proses pembuatan kebijakan departemen sekaligus pula ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yang dibentuk itu dilaksakan sang penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap pejabat politik itu mampu pribadi dikontrol sang rakyat pemilihnya. Jabatan politis ini juga ikut bertanggung jawab terhadap rakyat atas keberhasilan kebijakan yg dibuatnya.

Proses pertanggungjawaban itu nir hanya dilakukan sang pejabat yg melaksanakan kebijakan politik serta melayani warga , akan namun pejabat politik wajib jua bertanggung jawab kepada masyarakat yang mempercayainya pada departemen. Rakyat harus memiliki akses aktif terhadap kontrol, baik pada jabatan politik yang mewakilinya maupun pada jabatan sebagai pelayanan warga .

Kontrol pada penyelenggara pemerintahan dilakukan dari pelbagai jurusan tidak hanya membatasi menurut jalur birokrasi sendiri, akan namun sanggup melalui jalur politik. Akses masyarakat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka dengan seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan sang warga , itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan buat mencapai tujuan yg ideal dalam pelaksanaannya. Hal tadi akan diperlihatkan menggunakan tergambarnya struktur organisasi serta pembagian kerja/tugas yang sinkron dengan tugasnya masing-masing.

2. Pendekatan Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Seringkali perkara pendekatan penyelenggaraan pemerintahan dari prinsip-prinsip sentralisasi serta desentralisasi berhubungan dengan tingkat perkembangan bangsa serta negara-negara baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, training bangsa dalam arti membina kesatuan bangsa menurut afinitas-afinitas kedaerahan, kesukuan, penggolongan politik serta lain-lain, terasa lebih penting, sebagai akibatnya tercermin pada kebijaksanaan dan rapikan cara penyelenggaraan pemerintahan yg sentralistis. Dalam tingkat lebih lanjut dimana perkembangan pembinaan bangsa sudah lebih matang, maka keperluan perluasan kegiatan pembangunan sering menumbuhkan kebutuhan akan desentralisasi.

Konsep desentralisasi pada penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan pada tengah-tengah pembangunan bangsa di negara-negara berkembang. Hal ini bersamaan dengan terlihatnya berbagai kelemahan yg tampak dengan jelas pada kontrol sentral. Namun demikian pada biasanya bentuk desentralisasi yg diinginkan tetap hendaknya dijaga dalam rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, serta bahkan administratif suatu negara. Hal ini sejalan dengan pendapat Maryanov (pada LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan diantaranya: (1) mengurangi beban pemerintah sentra, serta campur tangan mengenai perkara-masalah kecil dalam taraf lokal. Demikian pula memberi peluang buat koordinasi pelaksanaan dalam tingkat lokal, (2) menaikkan pengertian warga serta dukungan mereka dalam kegiatan bisnis pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula dalam taraf lokal, bisa mencicipi laba menurut donasi aktivitas yg mereka lakukan, (tiga) penyusunan program-program buat pemugaran sosial ekonomi dalam tingkat lokal sebagai akibatnya bisa lebih realistis, (4) melatih warga buat mampu mengatur urusannya sendiri (self government), serta (5) pelatihan kesatuan nasional.

Ada dua bentuk desentralisasi (Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yg bersifat administratif serta desentralisasi yg bersifat politik. Desentralisasi administratif umumnya diklaim dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang aplikasi kepada tingkat-taraf lokal. Para pejabat tingkat lokal bekerja dalam batas rencana dan sumber-sumber aturan, namun mereka memiliki elemen kebijaksanaan dan kekuasaan (diskresi) serta tanggung jawab eksklusif dalam hal sifat-hakikat jasa serta pelayanan dalam tingkat lokal. Diskresi mereka dapat bervariasi mulai dari peraturan-peraturan proforma hingga keputusan-keputusan yang lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan serta kontrol eksklusif terhadap asal-asal daya diberikan pada pejabat-pejabat regional serta lokal.

Dewasa ini perkara desentralisasi dihubungkan menggunakan bisnis perencanaan pembangunan wilayah. Dengan ini diusahakan supaya perencanaan nasional memberi perhatian pada pertimbangan regional. Dan penyelenggaraan suatu aktivitas bisnis diadaptasi menggunakan lokasinya yg paling baik. Dengan demikian diusahakan supaya potensi-potensi regional bisa dimanfaatkan, sehingga perkembangan antar wilayah berjalan lebih masuk akal. Kegiatan-aktivitas usaha yang lebih menyangkut kepentingan warga wilayah dapat seluruhnya atau hingga taraf tertentu, dipengaruhi dan diselenggarakan sang pemerintah daerah sendiri. Tetapi hal ini pada rangka suatu perencanaan pembangunan daerah perlu diusahakan secara konsisten serta komplementer dengan usaha-bisnis nasional pada daerah tadi.

C. Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance
Saat ini, good governance merupakan info yang mengemuka pada pengelolaan administrasi publik. Good Governance merupakan koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara governance pada sektor publik (pemerintahan) menggunakan governance pada sektor rakyat, terutama partikelir, sebagai akibatnya bisa didapatkan transaksional output melalui prosedur pasar yg paling ekonomis dari aktivitas warga . Oleh karena itu, pada good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yg efisien serta efektif, melainkan pula private sector governance yg efisien serta kompetitif.

Carl J. Bellone (1980: 285) menjelaskan bahwa birokrasi merupakan: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan ciri struktur organisasi (pemerintahan) yang mempunyai urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tadi di dalamnya masih ada posisi-posisi atau jabatan yg memiliki kewajiban serta tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan dalam nilai-nilai aturan serta peraturan yg berlaku. Dalam birokrasi pula mengatur tentang pembagian kekuasaan (otoritas) dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Pada sisi lain, birokrasi pemerintah acapkali diartikan menjadi “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) pada dalamnya mempunyai yuridiksi yang jelas serta pasti. Dalam yuridiksi tersebut, seorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yg memperjelas batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja pada tatanan pola hierarki sebagai perwujudan berdasarkan tingkatan otoritas serta kekuasaannya. 

Dalam aplikasinya penerapan birokrasi tidak berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya masih ada banyak rintangan-rintangan, sehingga birokrasi hanya sebagai kedok buat menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yg berperilaku menyimpang. Indonesia contohnya, semakin sulit buat mewujudkan good governance, yang terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance pada sektor swasta. Sejak pertengahan tahun 80-an, dengan apa yang disebut “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi, Kronisme, dan Nepotisme). 

Administrasi negara pada Indonesia pada saat ini lebih sempurna dikatakan menjadi alat buat menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan masyarakat. Itulah sebabnya realitas administrasi negara ketika ini lebih poly sebagai gambaran atau lukisan berdasarkan dalam realitanya. Sehingga dibutuhkan pemikiran-pemikiran baru yg bisa meluruskan balik ke arah aplikasi administrasi negara yg ideal menuju good governance. 

Birokrasi pemerintah yang dilihat perlu untuk dibangun balik guna menuju pemerintahan yg adil, bersih, berwibawa, dan demokratis (good governance). Sehingga perseteruan-konflik yang perlu dikaji balik menjadi jalan pemecahannya diantaranya:
1. Evaluasi diri terhadap syarat birokrasi pemerintah Indonesia ketika ini.
2. Adanya perubahan kerangka berpikir birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yang mempunyai komitmen terhadap nilai-nilai, sehingga terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Peranan pemerintah serta rakyat dalam membentuk birokrasi.

Diharapkan menggunakan adanya perubahan kerangka berpikir pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yg menjunjung tinggi nilai-nilai serta berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan rakyat, dan ikut berperan pada dalamnya, maka good governance bisa diwujudkan.

1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini
Kehidupan dan tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah pada Indonesia sangat dipengaruhi oleh percaturan politik terlebih lagi ketika sesudah dilaksanakan pemilihan generik. Oleh karenanya birokrasi pemerintah sangat dipengaruhi oleh kehidupan politik dan pemilunya. Sejalan dengan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis merupakan induk berdasarkan administrasi pemerintahan. Bahkan di kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih berdasarkan sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan modern telah mendorong birokrasi sebagai indera yg unggul pada mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis telah membuahkan lembaga pemerintahan mempunyai kapasitas yg luar biasa dan menjadi sentral buat mengarahkan tenaga politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih menurut partai politik.

Partai politik didirikan nir memiliki keinginan lain, kecuali buat bisa memerintah negara. Upaya buat memerintah itu menurut paham demokrasi dibatasi sang saat eksklusif dan harus dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, amanah, adil, bebas, misteri, dan konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yang eksistensinya tidak memalui pemilihan generik, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya menggunakan cara-cara merit. Agar agar profesionalisme birokrasi nir terganggu dengan silih bergantinya partai politik, para birokratnya nir dibenarkan buat memihak.

Selain itu administrasi negara digambarkan pula menjadi upaya yg lebih concern terhadap “aplikasi suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini menjelaskan bahwa administrasi negara lebih terkenal diklaim mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain dari daerah politik. Di wilayah ini partai politik berkecimpung memilih visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan pada ahlinya yakni kepada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tersebut merupakan wilayah serta domain administrasi negara.

Birokrasi pemerintah ketika ini mencerminkan birokrasi besar yg menekankan pada wewenang yg tidak didukung dengan aparatur yg profesional menggunakan kompetensi yg sinkron dengan bidang fungsi yg dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung dengan sistem kepegawaian yg berdasarkan dalam sistem merit, dalam kondisi swasta belum dapat menciptakan lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yg cukup poly. Sehingga aparatur yg profesional serta memahami kerangka berpikir sesuai menggunakan konsep birokrasi ideal sebagai kebutuhan yang mendesak. 

2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi telah menjadi perhatian berfokus di negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih mencicipi kekurangpuasan kiprah birokrasi pemerintah, sehingga terus berupaya untuk mencari identitas baru bagi birokrasinya. 

Para ahli administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yg ditunjang menggunakan seperangkat teori yg melahirkan paradigma baru dalam dunia ilmu administrasi negara. Paradigma baru yang memandang birokrasi menjadi organisasi pemerintahan nir lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), namun jua melakukan dorongan dan motivator bagi tumbuh kembangnya peran dan masyarakat.

Pertumbuhan ciri birokrasi tradisional ke arah birokrasi terkini sebagai suatu fenomena yang bersifat implikatif. Seiring menggunakan banyak sekali kemajuan serta keluarnya kebutuhan aparatur birokrasi yg profesional, menyebabkan kebutuhan akan pelayanan jua semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yang semakin baik. Birokrasi yang berada pada tengah-tengah masyarakat tadi nir bisa tinggal diam, tetapi harus lebih sanggup menaruh banyak sekali pelayanan sinkron menggunakan kebutuhan masyarakat.

Carl J. Bellone (1980: 35) mengungkapkan bahwa sejak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial berkiprah cepat buat menemukan kerangka berpikir baru pada bidang administrasi pemerintahan terkini. Ada lima contoh teori administrasi pemerintahan yg diambil buat menuju perubahan yg lebih baik menurut pengalaman empiris, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yang memiliki 2 komponen basis dasar. Yang pertama adalah struktur atau perancangan suatu organisasi, dan yg kedua adalah pembagian tugas dan pekerjaan yang dirancang secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, adalah suatu produk berdasarkan era prilaku. Nilai-nilai buat dicapai umumnya serupa dengan model birokratis klasik, karenanya dalam contoh neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, serta prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis dalam umumnya grup kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai buat dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam contoh neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yang umum, serta proses pengambilan keputusan sebagai fokusnya; 3) Model kelembagaan, pada contoh kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam model birokrasi kelembagaan nir hanya mengutamakan rasionalitas, namun pula menggantungkan dalam nilai-nilai. Keputusan yang diambil birokrasi adalah tawaran serta kompromi kelompok yg berminat serta menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah sasaran output. Model ini benar-benar-benar-benar menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar insan, contoh ini adalah reaksi terhadap model birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya dalam kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, dan pergerakan hubungan antar manusia. Dalam pergerakan interaksi antar insan mencerminkan nilai-nilai yg mendasarinya. Nilai-nilai ini mencakup pekerja serta keikutsertaan klien dalam pengambilan keputusan yg bisa mengurangi perbedaan status dan kompetisi hubungan antar langsung, serta menekankan dalam proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, serta kepuasan masyarakat, serta 5) Model administrasi pemerintahan baru, pada contoh ini birokrat harus mulai bersikap bahwa nilai-nilai yg berbeda perlu mendominasi. Dengan perbedaan tersebut akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yang mendistribusikan jabatan pada pemerintahan yg sinkron. Sasaran hasil menurut administrasi pemerintahan baru merupakan buat mengorganisasi, menguraikan, atau menciptakan organisasi mata-mata yg berfungsi memberi penilaian.

Pendapat pada atas sejalan menggunakan pendapat Weber menjadi tokoh yang memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur utama pada rasionalisasi global modern, yang baginya jauh lebih krusial dari semua proses sosial. Diantara yang lain-lain, proses ini meliputi ketepatan dan kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber dalam (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan menggunakan cara-cara menjadi berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan namun dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual pada jabatannya buat keperluan serta kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun pada tingkatan hierarki menurut atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada pejabat atasan serta bawahan serta terdapat pula yang menyandang kekuasaan lebih besar serta ada yang lebih mini ; Ketiga, tugas serta fungsi masing-masing jabatan pada hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat memiliki kontrak jabatan yang wajib dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat adalah domain yg menjadi kewenangan dan tanggung jawab yang wajib dijalankan sesuai menggunakan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yg idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat memiliki honor termasuk hak buat mendapat pensioun sinkron menggunakan strata hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat mampu memutuskan buat keluar berdasarkan pekerjaannya serta jabatannya sesuai menggunakan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan eksklusif; Ketujuh, masih ada struktur pengembangan karier yang jelas menggunakan promosi menurut senioritas dan merit sesuao dengan pertimbangan yg objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali nir dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources intansinya buat kepentingan langsung serta keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada pada bawah pengendalian dan supervisi suatu sistem yg dijalankan secara disiplin.

Sejalan menggunakan konsep birokrasi ideal di atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia harus terjadi perubahan kerangka berpikir menuju good governance, diantaranya:
a. Perubahan kerangka berpikir berdasarkan orientasi manajemen pemerintahan yg sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti kerangka berpikir yg lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya sanggup dipengaruhi sang negara. Kepentingan negara sebagai pertimbangan pertama serta utama pada mengatasi segala macam dilema yg timbul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan pada pasar. Aspirasi masyarakat menjadi lebih krusial merupakan buat sebagai bahan pertimbangan pemerintah.

b. Perubahan kerangka berpikir dan orientasi manajemen pemerintahan yg otoritarian menjadi berorientasi pada egalitarian serta demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara sanggup melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yg terkonsentrasi dalam satu orang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Paradigma semacam ini sudah poly ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yg mengutamakan peranan dan kedaulatan warga . Kedaulatan masyarakat menjadi pertimbangan pertama dan primer bila menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.

c. Perubahan kerangka berpikir berdasarkan sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, seperti yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai berdasarkan perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan sang aparat pemerintah sentra.

d. Perubahan manajemen pemerintahan yg hanya menekankan pada batas-batas serta anggaran yang berlaku untuk satu negara eksklusif, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa sekarang ini merupakan jamannya rapikan manajemen pemerintahan yang cenderung ditentukan sang tata anggaran global. Keadaan seperti ini akan membawa dampak bahwa tata aturan yg hanya menekankan dalam anggaran nasional saja kurang menguntungkan pada percaturan dunia. 

e. Perubahan berdasarkan kerangka berpikir berdasarkan tatanan administrasi negara yang berorientasi dalam paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan misalnya ini membutuhkan kompetensi sumber daya aparatur yg memahami serta mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yg seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan serta pembinaan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.

f. Perubahan paradigma dari a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di pada rakyat yang rendah taraf kepercayaannya tidak bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yg hayati pada masyarakat seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yg nir demokratis, membatasi ruang mobilitas, menjauhkan birokrasi dari interaksi dengan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian anggaran-anggaran birokrasi. Sebaliknya kerangka berpikir baru yang menekankan terhadap agama sehingga melahirkan suatu rakyat yang tinggi tingkat kepercayaannya akan sanggup menciptakan birokrasi lebih demokratis. Birokrasi misalnya ini akan menciptakan suasana kerja yg lebih fleksibel serta berbasiskan dalam orientasi kelompok kerja dengan lebih menaruh tanggung jawab yg besar pada tataran organisasi yg paling bawah. Birokrasi pemerintah misalnya ini akan memperlakukan para pegawainya sebagai orang dewasa yang sanggup dianggap buat menaruh konstribusi pelayanan pada masyarakat.

EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

Ekonomi merupakan ilmu yang mengelola segala sumberdaya baik insan maupun alam dengan kategori langka buat tujuan efisiensi dan efektivitas (Samuelson, 2005). Rakyat merupakan perpaduan kebanyakan individu dengan ragam ekonomi yg nisbi sama (Fredrik Benu, 2002). Sedangkan kerakyatan merupakan segala sesuatu hal yang melibatkan warga /publik/orang poly (Prof. Mubyarto, 2000).

Ekonomi masyarakat merupakan suatu bisnis yg mendominasi ragaan perekonomian masyarakat. Menurut ahli ekonomi kerakyatan pada Indonesia, yaitu Prof. Mubyarto berdasarkan UGM dan Bapak Adi Sasono, mantan Mentri UMKM jaman Habibie, disepakati bahwa kata ekonomi kerakyatan berarti upaya memberdayakan (kelompok/satuan) ekonomi yang mendominasi struktur global bisnis yg dikelola sang dan untuk sekelompok warga poly (warga ). Terjemahan bebas tentang ekonomi kerakyatan di Indonesia ini adalah kesatuan akbar individu aktor ekonomi menggunakan jenis aktivitas usaha yang sederhana, manajemen usaha yang belum bersistem dan bentuk kepemilikan usaha secara eksklusif. Landasan hukum untuk ekonomi kerakyatan ini ada pada Program Pembangunan Nasional (Propenas) UU No. 25 Tahun 2000.

Implementasi Ekonomi Kerakyatan 
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural lantaran adanya sejumlah potensi ekonomi pada sekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun atau menggunakan kata lain hanya mengandalkan naluri bisnis serta kelimpahan asal daya alam, sumberdaya manusia, dan peluang pasar. Tetapi pada waktu perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter mulai pada pertengahan tahun 1997 kemudian, terbukti ekonomi masyarakat yg tidak mengandalkan sistem moneter terutama terhadap US $, sebagian besar bisnis masyarakat tadi mampu bertahan dan melanjutkan usahanya hingga ketika ini.

Bung Hatta pada Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat pada Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi masyarakat menjadi berikut:

Ekonomi Rakyat sang sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)

Jika kita mengacu dalam Pancasila dasar negara atau dalam ketentuan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka memang terdapat istilah kerakyatan namun wajib nir dijadikan sekedar adjektiva yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana suara sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yg dipimpin sang hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yg artinya tidak lain merupakan demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan merupakan (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap pada penerangan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi: 

“Produksi dikerjakan oleh seluruh buat seluruh dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota warga . Kemakmuran masyarakatlah yg diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun menjadi bisnis bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai menggunakan itu artinya koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yg krusial bagi negara dan yg menguasai hidup orang banyak harus dikuasai sang negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yg berkuasa dan warga yg banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yg nir menguasai hajat hidup orang banyak boleh terdapat di tangan orang-seseorang.
Bumi dan air serta kekayaan alam yg terkandung di dalam bumi merupakan pokok-pokok kemakmuran masyarakat. Sebab itu harus dikuasai sang negara dan dipergunakan untuk sebesar-akbar kemakmuran masyarakat.

Hasil penelitian Laica Marzuki (Unhas, 1999), menjelaskan bahwa ekonomi kerakyatan waktu ini merupakan sistem ekonomi yang berbasis dalam kekuatan ekonomi rakyat, dimana ekonomi warga sendiri adalah aktivitas ekonomi yang dilakukan sang rakyat kebanyakan yang secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yg dapat diusahakan yang selanjutnya dianggap usaha mikro, kecil serta menengah (UMKM). 

Menurut Mardi Yatmo Hutomo (2003), ada 4 (empat) alasan mengapa ekonomi 

kerakyatan perlu dijadikan kerangka berpikir baru serta taktik batu pembangunan ekonomi Indonesia. Keempat alasan, dimaksud adalah: 

1. Karakteristik Indonesia
Pengalaman keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Brazil, meniru konsep pembangunan ekonomi yg dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat serta Amerika, ternyata bagi negara-negara berkembang lainnya, yg menerapkan konsep yg menaruh output yang tidak sama. Dengan mengandalkan dana pinjaman luar negeri buat membiayai pembangunan, mengandalkan investasi berdasarkan luar negeri, memperkuat industri substitusi ekspor, selama dua hingga tiga dasawarsa memang berhasil mendorong pertumbuhan output nasional yg relatif tinggi dan menaruh lapangan kerja relatif luas bagi warga . Walaupun Indonesia pernah dijuluki menjadi galat satu berdasarkan delapan negara di Asia sebagai Asian Miracle atau negara Asia yang ajaib, lantaran taraf pertumbuhan ekonominya yg cukup mantap selama tiga dasa warsa, namun ternyata sangat rentan menggunakan terjadinya supply shock. Krisis mata uang Bath pada Thailand, ternyata menggunakan cepat membawa Indonesia pada krisis ekonomi yang serius dan pada waktu yg amat singkat, ekonomi Indonesia runtuh.

Fakta ini menunjukkan pada pada kita, bahwa konsep serta taktik pembangunan ekonomi yg berhasil diterapkan pada suatu negara, belum tentu akan berhasil jika diterapkan di negara lain. Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori pertumbuhan Rostow, teori pertumbuhan David Romer, teori pertumbuhan Solow, dibangun berdasarkan struktur warga pelaku ekonomi yang berbeda dengan struktur ekonomi warga Indonesia. Setiap teori selalu dibangun menggunakan asumsi-perkiraan eksklusif, yang nir seluruh negara memiliki syarat-syarat yang diasumsikan. Itulah sebabnya, buat membangun ekonomi Indonesia yang bertenaga, stabil serta berkeadilan, tidak dapat memakai teori umum yang ada. Kita wajib merumuskan konsep pembangunan ekonomi sendiri yang cocok dengan tuntutan politik warga , tuntutan konstitusi kita, serta cocok menggunakan kondisi obyektif dan situasi subyektif kita.

2. Tuntutan Konstitusi
Walaupun rumusan konstitusi kita yg menyangkut rapikan ekonomi yg seharusnya dibangun, belum cukup jelas sebagai akibatnya nir mudah buat dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan beragam (semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi pengusanya); tetapi berdasarkan analisis historis sebenarnya makna atau ruhnya relatif jelas. Ruh rapikan ekonomi bisnis beserta uang berasas kekeluargaan adalah tata ekonomi yang menaruh kesempatan pada semua rakyat buat berpartisipasi sebagai pelaku ekonomi. Tata ekonomi yg seharusnya dibangun adalah bukan tata ekonomi yg monopoli atau monopsoni atau oligopoli. Tata ekonomi yg dituntut konstitusi adalah tata ekonomi yg memberi peluang kepada semua warga atau warga negara untuk memiliki aset pada ekonomi nasional. Tata ekonomi nasional adalah rapikan ekonomi yang membedakan secara tegas barang serta jasa mana yang harus diproduksi oleh pemerintah serta barang dan jasa mana yang harus diproduksi sang sektor private atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk kelembagaan ekonomi, walaupun pada penjelasan pasal 33 dinterpretasikan menjadi bentuk koperasi, tetapi tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan warga serta lingkungan. 

3. Fakta Empirik
Dari krisis moneter yang berlanjut ke krisis ekonomi serta kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata nir sampai melumpuhkan perekonomian nasional. Bahwa dampak krisis ekonomi, harga kebutuhan utama melonjak, inflasi hampir nir bisa dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk manufaktur), impor barang modal menurun, produksi barang manufaktur menurun, pengangguran meningkat, merupakan sahih. Namun itu semua ternyata nir berdampak serius terhadap perekonomian rakyat yg sumber penghasilannya bukan dari menjual energi kerja. 

Usaha-bisnis yg digeluti atau dimiliki sang warga poly yg produknya nir menggunakan bahan impor, hampir nir mengalami goncangan yang berarti. Fakta yang lain, waktu investasi nol persen, bahkan ternjadi penyusutan kapital, ternyata ekonomi Indonesia mampu tumbuh 3,4 persen dalam tahun 1999. Ini semua menunjukan bahwa ekonomi Indonesia akan kokoh bila pelaku ekonomi dilakukan oleh sebanyak-banyaknya masyarakat negara.

4. Kegagalan Pembangunan Ekonomi 
Pembangunan ekonomi yang sudah kita laksanakan selama 32 tahun lebih, dipandang dari satu aspek memang menerangkan hasil-hasil yang relatif baik. Walaupun dalam periode tadi, kita menghadapi dua kali krisis ekonomi (yaitu krisis hutang Pertamina dan krisis karena anjloknya harga minyak), namun rata-homogen pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas 7 % pertahun. Pendapatan perkapitan atau GDP perkapita jua meningkat tajam menurut 60 US dolar dalam tahun 1970 menjadi 1400 US dolar dalam tahun 1995. Volume serta nilai eksport minyak dan non migas jua meningkat tajam. Tetapi dalam aspek lain, kita jua harus mengakui, bahwa jumlah penduduk miskin makin semakin tinggi, kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk serta atar daerah makin lebar, jumlah serta ratio hutang menggunakan GDP juga meningkat tajam, serta pemindahan pemilikan aset ekonomi menurut rakyat ke sekelompok kecil masyarakat negara jua meningkat.

Walaupun aneka macam program penanggulangan kemiskinan sudah kita dilaksanakan, acara 8 jalur pemerataan sudah kita canangkan, namun ternyata semuanya nir bisa memecahkan kasus-kasus dimaksud. Oleh sebab itu, yang kita butuhkan ketika ini sebenarnya bukan acara penanggulangan kemiskinan, tetapi merumuskan kembali taktik pembangunan yg cocok buat Indonesia. Kalau strategi pembangunan ekonomi yg kita tempuh benar, maka sebenarnya semua acara pembangunan merupakan sekaligus sebagai program penanggulangan kemiskinan. 

Tujuan yg ingin dicapai pada pengembangan ekonomi kerakyatan ini merupakan :
1. Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yg berkebudayaan
2. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
3. Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
4. Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional

Untuk syarat Provinsi Jawa Barat, Gubernur Terpilih Periode 2008 – 2013, memiliki misi buat menaikkan perekonomian masyarakat yang tertuang dalam misi Gubernur ke dua,4 dan 5 dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat, yaitu :
  • Memfokuskan pada pembangunan nyata perekonomian warga berbasis agroindustri dan bahari yg berwawasan lingkungan,
  • Menumbuhakan investasi dalam negeri yang mampu secara eksklusif mengangkat perekonomian dan kesejahteraan rakyat,
  • Memperkuat pemberdayaan wanita dalam pembangunan ekonomi, sosial, politik serta proteksi terhadap anak.
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Ekonomi kerakyatan yg dianggap paling sinkron buat kondisi serta karakteristik negara Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Barat merupakan Koperasi dan UMKM. Koperasi merupakan bentuk pelaksanaan secara nyata buat ekonomi kerakyatan. Menurut Suryadarma Ali (Menteri Koperasi Sekarang), koperasi adalah instrumen pemberdayaan ekonomi rakyat. Sedangkan menurut Agung Bharata (Bupati Gianyar, Bali), koperasi merupakan usaha yg diyakini bisa menjawab hambatan pembangunan, yaitu kemiskinan. 

Menurut Prof. Yuyun Wirasasmita, MSc., dalam buku “Analisis Ekonomi Jawa Barat”, Penerbit UNPAD Press, Bandung, 2003.

“Kewirausahaan serta wirausaha merupakan faktor produksi aktif yg dapat menggerakkan dan memanfaatkan sumberdaya lainnya misalnya sumberdaya alam, modal dan teknologi, sehingga bisa membangun kekayaan serta kemakmuran, yaitu melalui penciptaan lapangan kerja,penghasilan dan produk yg diperlukan rakyat, karenanya pengembangan kewirausahaan merupakan suatu keharusan di pada pembangunan.”

Menurut Dr.nunuy Nur Afiah,dkk.,dalam buku “Analisis Ekonomi Jawa Barat”, Penerbit UNPAD Press, Bandung, 2003.

”Definisi UKM berdasarkan UU No. 1 Tahun 1995, usaha kecil menengah memiliki kriteria sebagai berikut :
• Kekayaan higienis paling banyak Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
• Memiliki output penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 milyar
• Milik Warga Negara Indonesia (WNI)
• Berdiri sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusaan yg dimiliki atau dikuasai sang perusahaan besar
• Bentuk bisnis orang per orang, badan bisnis berbadan hokum atau nir, termasuk koperasi.
• Untuk sektor industri, memiliki total asset maksimal Rp. Lima milyar
• Untuk sektor non industri memiliki kekayaan bersih paling poly Rp. 600 juta (nir termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) atau mempunyai output penjualan tahunan maksimal Rp. 3 milyar dalam bisnis yg didanai.

Kelebihan UMKM adalah UMKM pada kenyataannya bisa bertahan dan mengantisipasi kelesuan perekonomian yang disebabkan inflasi atau berbagai faktor penyebab lainnya. Tanpa subsidi maupun perlindungan, UMKM bisa menambah devisa negara khususnya industri mini pada sektor non-formal dan mampu berperan sebagai penyangga pada perekonomian rakyat kecil lapisan bawah. Sedangkan Kelemahan UMKM dan hambatannya terutama dalam pengelolaan usaha mini umumnya berkaitan menggunakan faktor internal misalnya, manajemen perusahaan, keterbatasan kapital, pembagian kerja yang nir proporsional serta taktik pemasaran yg kurang sanggup bersaing. UMKM pula acapkali wajib menghadapi prosedur pasar yg tidak seimbang serta struktur pasar yg berlapis.

Namun, dengan penangan yg terpadu dan terarah buat membuatkan potensi usaha bagi Koperasi serta UMKM ini, diperkirakan sebagai asset ekonomi bangsa yang sangat akbar dan memicu laju pertumbuhan ekonomi di masa depan serta bisa mnegurangi kesenjangan distribusi pendapatan.

Perempuan, Koperasi dan UMKM
Di era globalisasi ini, perempuan Indonesia memiliki peluang dan kesempatan yg sangat besar buat berkembang. Peluang serta kesempatan itu ditunjang pula sang kondisi perubahan pandangan mengenai gambaran wanita serta pengakuan oleh lingkungan sosial terhadap eksistensi wanita pada berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal tersebut pada atas sejalan serta atau disertai juga menggunakan tuntutan pembangunan nasional yg memerlukan peran serta semua masyarakat Negara Indonesia pada aneka macam bidang kegiatan pembangunan. Sebagai bagian integral menurut masyarakat Negara Indonesia, kaum wanita jua dituntut buat ikut berpartisipasi pada proses pembangunan nasional. 

Menurut APCTT (APCTT = ASIAN AND PACIFIC CENTRE FOR TRANSFER OF TECHNOLOGY (WED, 2007), dalam Abad ke-21 ini merupakan abad dimana “Lingkungan global sangat ramah terhadap Pengusaha Perempuan” atau diistilahkan menjadi “Womenomics Century”. Hal itu disebabkan karena :
1. Proses globalisasi secara progresif mengurangi kendala pada kewirausahaan perempuan ,
2. Dengan berkembangnya ICT memungkinkan wanita bekerja berdasarkan tempat tinggal tanpa meninggalkan famili,
3. Perempuan memiliki kesempatan yang lebih akbar dalam ruang pasar dunia buat berkembang menjadi entrepreneur, manager and investor. 

Pemberdayaan perempuan pada ekonomi sebagaimana misi Gubernur Jawa Barat waktu ini bisa dilakan menggunakan Transformasi Ekonomi dalam kewirausahaan Perempuan. Perempuan dari semua latar belakang sosial-ekonomi banyak yg berkecimpung dalam kewirausahaan. Pada lebih banyak didominasi sektor industri jasa, perempuan perlu didukung buat berkecimpung di usaha ventura. Saat ini terjadi pergeseran menurut sektor tradisional ke sektor modern termasuk untuk pengembangan manajemen serta teknis, perempuan mempunyai kesempatan besar buat berkiprah pada perubahan teknologi yang digunakan. Pada era glabalisasi waktu ini, penggunaan ICT buat perdagangan internasional sangat menguntungkan kewirausahaan perempuan .

Koperasi serta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yg dimulai dari sektor tempat tinggal tangga telah mampu menggali berbagai potensi ekonomi wilayah yang sebelumnya tidak terungkap, melalui kreativitas serta penemuan. Ibu tempat tinggal tangga atau wanita dalam umumnya berperan akbar dalam keberhasilan Koperasi serta terutama untuk UMKM. Keuntungan Kperasi serta UMKM ini merupakan antara lain, dapat dilakukan menggunakan lebih bebas dan pada tempat yg mungkin saja disekitar tempat tinggal, sehingga tidak terlalu lama meninggalkan keluarga atau sewaktu-saat dapat saja kembali menengok anak-anaknya/ famili. Pada beberapa kasus UMKM, upaya ini pun sebagai perekat famili karena suami ikut beserta-sama membentuk bisnis usaha keluarga.

Kekuatan ekonomi perempuan yaitu :
• Perempuan sama dengan pria dalam hal tanggung-jawab dalam menjalankan bisnis/usaha, namun wanita lebih disiplin dalam mencicil utang/pinjaman modal (model perkara : Grameen Bank di Pakistan, 90% nasabahnya merupakan perempuan )
• Perempuan pula dalam saat memiliki kewirausahaan harus tetap mengerjakan pekerjaan rumah serta mengawasi anak-anak. 
• Perempuan sebagai manajer lebih komprehensif dalam mengelola kewirausahaan
• Perempuan juga lebih cermat pada melihat potensi pasar dan mengelola keuangan 
• Perempuan lebih tabah dalam menghadapi tantangan pada bisnis
• Mengembangkan kewirausahaan wanita sangat berarti bagi pengembangan asal daya insan yg potensial

Kelemahan/hambatan dalam kewirausahaan perempuan
1. Kendala secara umum :
• Keterbatasan akses terhadap pemodalan 
• Kekurangan SDM (Perempuan) yg terampil
• Keterbatasan infrastruktur dasar, seperti :jalan, komunikasi, listrik, dan air
• Keterbatasan kemampuan manajerial dan kecakapan teknis produksi buat menaikkan daya saing pada pasaran
• Keterbatasan fasilitas terhadap liputan dan teknis pemasaran 
• Keterbatasan kemampuan buat menangkap peluang pasar
• Keterbatasan biaya untuk penelitian terhadap pengembangan teknologi buat bahan output bumi
• Kelangkaan bahan baku
• Ketergantungan terhadap jasa perantara

2. Kendala secara eksklusif :
• Mobilitas rendah 
• Kurang Percaya Diri
• Rendahnya pendidikan Formal serta Informal yang mendukung kewirausahaan
• Pengaruh kultur lingkungan sosial dan keluarga
• Kemampuan mengorganisasi yg rendah

Jika kekuatan kewirausahaan pada perempuan ini bisa dikembangkan serta kelemahannya bisa dieliminasi, maka potensi ekonomi pada wanita pada masa depan sanggup sebagai aset ekonomi potensial terbesar bagi negara Indonesia.

KONSEPSI DAN AKTUALISASI KEBIJAKAN EKONOMI KERAKYATAN BAGI PEREMPUAN INDONESIA

Konsepsi Dan Aktualisasi Kebijakan Ekonomi Kerakyatan Bagi Perempuan Indonesia
Ekonomi adalah ilmu yang mengelola segala sumberdaya baik insan juga alam dengan kategori langka buat tujuan efisiensi serta efektivitas (Samuelson, 2005). Rakyat merupakan gugusan kebanyakan individu menggunakan ragam ekonomi yang relatif sama (Fredrik Benu, 2002). Sedangkan kerakyatan merupakan segala sesuatu hal yg melibatkan warga /publik/orang banyak (Prof. Mubyarto, 2000).

Ekonomi masyarakat adalah suatu bisnis yang mendominasi ragaan perekonomian masyarakat. Menurut pakar ekonomi kerakyatan pada Indonesia, yaitu Prof. Mubyarto berdasarkan UGM serta Bapak Adi Sasono, mantan Mentri UMKM jaman Habibie, disepakati bahwa istilah ekonomi kerakyatan berarti upaya memberdayakan (grup/satuan) ekonomi yg mendominasi struktur global usaha yang dikelola oleh dan buat sekelompok warga poly (rakyat). Terjemahan bebas mengenai ekonomi kerakyatan di Indonesia ini adalah kesatuan akbar individu aktor ekonomi menggunakan jenis kegiatan bisnis yg sederhana, manajemen bisnis yg belum bersistem dan bentuk kepemilikan bisnis secara langsung. Landasan hukum buat ekonomi kerakyatan ini ada pada Program Pembangunan Nasional (Propenas) UU No. 25 Tahun 2000.

I. Implementasi Ekonomi Kerakyatan 
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi di sekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun atau menggunakan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha serta kelimpahan sumber daya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Tetapi dalam saat perekonomian Indonesia dilanda krisis moneter mulai pada pertengahan tahun 1997 kemudian, terbukti ekonomi masyarakat yg tidak mengandalkan sistem moneter terutama terhadap US $, sebagian besar bisnis masyarakat tadi bisa bertahan dan melanjutkan usahanya sampai saat ini.

Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno tiga tahun sebelumnya (Agustus 1930) pada pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:

Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)

Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi wajib tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana suara sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yg ialah nir lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yg demokratis termuat lengkap pada penjelasan pasal 33 UUD 1945 yg berbunyi: 

“Produksi dikerjakan sang seluruh buat semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai bisnis beserta berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu artinya koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi seluruh orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yg penting bagi negara serta yg menguasai hayati orang banyak wajib dikuasai sang negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa serta masyarakat yang banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yg nir menguasai hajat hayati orang poly boleh ada di tangan orang-seseorang.
Bumi serta air serta kekayaan alam yang terkandung pada dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai sang negara dan digunakan untuk sebanyak-akbar kemakmuran warga .

Hasil penelitian Laica Marzuki (Unhas, 1999), mengungkapkan bahwa ekonomi kerakyatan waktu ini merupakan sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi masyarakat, dimana ekonomi warga sendiri merupakan kegiatan ekonomi yg dilakukan sang rakyat kebanyakan yang secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yg bisa diusahakan yang selanjutnya disebut bisnis mikro, kecil serta menengah (UMKM). 

Menurut Mardi Yatmo Hutomo (2003), terdapat 4 (empat) alasan mengapa ekonomi 
kerakyatan perlu dijadikan paradigma baru dan taktik batu pembangunan ekonomi Indonesia. Keempat alasan, dimaksud merupakan: 

1. Karakteristik Indonesia
Pengalaman keberhasilan Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Brazil, meniru konsep pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika, ternyata bagi negara-negara berkembang lainnya, yg menerapkan konsep yg memberikan output yang tidak selaras. Dengan mengandalkan dana pinjaman luar negeri buat membiayai pembangunan, mengandalkan investasi dari luar negeri, memperkuat industri substitusi ekspor, selama dua sampai tiga dasawarsa memang berhasil mendorong pertumbuhan output nasional yang cukup tinggi dan menaruh lapangan kerja cukup luas bagi rakyat. Walaupun Indonesia pernah dijuluki sebagai galat satu dari delapan negara pada Asia sebagai Asian Miracle atau negara Asia yg ajaib, karena tingkat pertumbuhan ekonominya yg relatif mantap selama tiga dekade, tetapi ternyata sangat rentan menggunakan terjadinya supply shock. Krisis mata uang Bath di Thailand, ternyata dengan cepat membawa Indonesia dalam krisis ekonomi yg berfokus dan pada ketika yang amat singkat, ekonomi Indonesia runtuh.

Fakta ini menerangkan pada pada kita, bahwa konsep serta taktik pembangunan ekonomi yang berhasil diterapkan di suatu negara, belum tentu akan berhasil apabila diterapkan pada negara lain. Teori pertumbuhan Harrod-Domar, teori pertumbuhan Rostow, teori pertumbuhan David Romer, teori pertumbuhan Solow, dibangun dari struktur masyarakat pelaku ekonomi yang tidak selaras menggunakan struktur ekonomi masyarakat Indonesia. Setiap teori selalu dibangun dengan perkiraan-asumsi tertentu, yang nir seluruh negara memiliki kondisi-kondisi yg diasumsikan. Itulah sebabnya, untuk menciptakan ekonomi Indonesia yang bertenaga, stabil serta berkeadilan, nir dapat memakai teori generik yang terdapat. Kita harus merumuskan konsep pembangunan ekonomi sendiri yg cocok dengan tuntutan politik masyarakat, tuntutan konstitusi kita, dan cocok menggunakan syarat obyektif dan situasi subyektif kita.

2. Tuntutan Konstitusi
Walaupun rumusan konstitusi kita yg menyangkut rapikan ekonomi yg seharusnya dibangun, belum relatif jelas sebagai akibatnya tidak gampang buat dijabarkan bahkan dapat diinterpretasikan bermacam-macam (semacam ekonomi bandul jam, tergantung siapa keyakinan ideologi pengusanya); tetapi berdasarkan analisis historis sebenarnya makna atau ruhnya relatif jelas. Ruh tata ekonomi bisnis bersama uang berasas kekeluargaan adalah rapikan ekonomi yang memberikan kesempatan kepada semua rakyat buat berpartisipasi sebagai pelaku ekonomi. Tata ekonomi yang seharusnya dibangun adalah bukan rapikan ekonomi yg monopoli atau monopsoni atau oligopoli. Tata ekonomi yg dituntut konstitusi merupakan tata ekonomi yang memberi peluang kepada semua rakyat atau warga negara buat mempunyai aset dalam ekonomi nasional. Tata ekonomi nasional merupakan tata ekonomi yg membedakan secara tegas barang dan jasa mana yang harus diproduksi sang pemerintah dan barang dan jasa mana yang harus diproduksi sang sektor private atau sektor non pemerintah. Mengenai bentuk kelembagaan ekonomi, walaupun dalam penerangan pasal 33 dinterpretasikan sebagai bentuk koperasi, namun tentu harus menyesuaikan dengan perkembangan warga dan lingkungan. 

3. Fakta Empirik
Dari krisis moneter yg berlanjut ke krisis ekonomi dan kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar, ternyata tidak hingga melumpuhkan perekonomian nasional. Bahwa akibat krisis ekonomi, harga kebutuhan pokok melonjak, inflasi hampir nir dapat dikendalikan, ekspor menurun (khususnya ekspor produk manufaktur), impor barang kapital menurun, produksi barang manufaktur menurun, pengangguran meningkat, merupakan sahih. Tetapi itu semua ternyata nir berdampak berfokus terhadap perekonomian masyarakat yg asal penghasilannya bukan menurut menjual energi kerja. 

Usaha-usaha yang digeluti atau dimiliki oleh masyarakat poly yg produknya tidak menggunakan bahan impor, hampir nir mengalami goncangan yang berarti. Fakta yg lain, saat investasi nol persen, bahkan ternjadi penyusutan modal, ternyata ekonomi Indonesia mampu tumbuh tiga,4 persen dalam tahun 1999. Ini semua menandakan bahwa ekonomi Indonesia akan kokoh jikalau pelaku ekonomi dilakukan oleh sebanyak-banyaknya rakyat negara.

4. Kegagalan Pembangunan Ekonomi 
Pembangunan ekonomi yang telah kita laksanakan selama 32 tahun lebih, dicermati berdasarkan satu aspek memang menampakan output-output yg relatif baik. Walaupun dalam periode tersebut, kita menghadapi dua kali krisis ekonomi (yaitu krisis hutang Pertamina dan krisis karena anjloknya harga minyak), namun homogen-homogen pertumbuhan ekonomi nasional masih di atas 7 % pertahun. Pendapatan perkapitan atau GDP perkapita pula meningkat tajam dari 60 US dolar pada tahun 1970 sebagai 1400 US dolar pada tahun 1995. Volume serta nilai eksport minyak dan non migas pula meningkat tajam. Namun dalam aspek lain, kita pula wajib mengakui, bahwa jumlah penduduk miskin makin meningkat, kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk serta atar wilayah makin lebar, jumlah dan ratio hutang menggunakan GDP juga meningkat tajam, dan pemindahan pemilikan aset ekonomi dari rakyat ke sekelompok kecil rakyat negara juga meningkat.

Walaupun berbagai acara penanggulangan kemiskinan telah kita dilaksanakan, program 8 jalur pemerataan telah kita canangkan, tetapi ternyata semuanya tidak bisa memecahkan masalah-masalah dimaksud. Oleh karena itu, yg kita butuhkan ketika ini sebenarnya bukan program penanggulangan kemiskinan, namun merumuskan balik strategi pembangunan yang cocok buat Indonesia. Kalau strategi pembangunan ekonomi yang kita tempuh sahih, maka sebenarnya seluruh program pembangunan merupakan sekaligus sebagai acara penanggulangan kemiskinan. 

Tujuan yang ingin dicapai pada pengembangan ekonomi kerakyatan ini merupakan :
1. Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
2. Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
3. Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
4. Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional

Untuk kondisi Provinsi Jawa Barat, Gubernur Terpilih Periode 2008 – 2013, memiliki misi buat menaikkan perekonomian masyarakat yg tertuang pada misi Gubernur ke dua,4 serta lima pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat, yaitu :
  • Memfokuskan dalam pembangunan konkret perekonomian rakyat berbasis agroindustri dan laut yang berwawasan lingkungan,
  • Menumbuhakan investasi pada negeri yg bisa secara langsung mengangkat perekonomian serta kesejahteraan masyarakat,
  • Memperkuat pemberdayaan wanita pada pembangunan ekonomi, sosial, politik dan proteksi terhadap anak.
II. Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
Ekonomi kerakyatan yang dianggap paling sinkron untuk kondisi serta karakteristik negara Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Barat merupakan Koperasi serta UMKM. Koperasi merupakan bentuk pelaksanaan secara nyata buat ekonomi kerakyatan. Menurut Suryadarma Ali (Menteri Koperasi Sekarang), koperasi merupakan instrumen pemberdayaan ekonomi warga . Sedangkan menurut Agung Bharata (Bupati Gianyar, Bali), koperasi merupakan usaha yg diyakini sanggup menjawab hambatan pembangunan, yaitu kemiskinan. 

Menurut Prof. Yuyun Wirasasmita, MSc., pada buku “Analisis Ekonomi Jawa Barat”, Penerbit UNPAD Press, Bandung, 2003.

“Kewirausahaan dan wirausaha merupakan faktor produksi aktif yg dapat menggerakkan dan memanfaatkan sumberdaya lainnya seperti sumberdaya alam, modal serta teknologi, sebagai akibatnya bisa membentuk kekayaan serta kemakmuran, yaitu melalui penciptaan lapangan kerja,penghasilan serta produk yang diperlukan warga , karenanya pengembangan kewirausahaan merupakan suatu keharusan pada pada pembangunan.”

Menurut Dr.nunuy Nur Afiah,dkk.,pada kitab “Analisis Ekonomi Jawa Barat”, Penerbit UNPAD Press, Bandung, 2003.

”Definisi UKM menurut UU No. 1 Tahun 1995, usaha kecil menengah mempunyai kriteria menjadi berikut :
• Kekayaan bersih paling poly Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
• Memiliki hasil penjualan tahunan paling poly Rp. 1 milyar
• Milik Warga Negara Indonesia (WNI)
• Berdiri sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusaan yg dimiliki atau dikuasai sang perusahaan besar
• Bentuk bisnis orang per orang, badan bisnis berbadan hokum atau tidak, termasuk koperasi.
• Untuk sektor industri, memiliki total asset aporisma Rp. Lima milyar
• Untuk sektor non industri memiliki kekayaan higienis paling banyak Rp. 600 juta (nir termasuk tanah dan bangunan loka usaha) atau mempunyai output penjualan tahunan maksimal Rp. Tiga milyar dalam bisnis yang dibiayai.

Kelebihan UMKM merupakan UMKM dalam kenyataannya bisa bertahan dan mengantisipasi kelesuan perekonomian yang disebabkan inflasi atau berbagai faktor penyebab lainnya. Tanpa subsidi juga proteksi, UMKM bisa menambah devisa negara khususnya industri kecil di sektor non-formal dan bisa berperan menjadi penyangga dalam perekonomian warga mini lapisan bawah. Sedangkan Kelemahan UMKM dan hambatannya terutama pada pengelolaan usaha mini biasanya berkaitan menggunakan faktor internal seperti, manajemen perusahaan, keterbatasan modal, pembagian kerja yang nir proporsional dan strategi pemasaran yang kurang bisa bersaing. UMKM pula seringkali wajib menghadapi mekanisme pasar yang tidak seimbang serta struktur pasar yg berlapis.

Namun, dengan penangan yg terpadu serta terarah buat mengembangkan potensi bisnis bagi Koperasi serta UMKM ini, diperkirakan menjadi asset ekonomi bangsa yang sangat akbar dan memicu laju pertumbuhan ekonomi di masa depan dan mampu mnegurangi kesenjangan distribusi pendapatan.

III. Perempuan, Koperasi serta UMKM
Di era globalisasi ini, wanita Indonesia memiliki peluang dan kesempatan yang sangat besar buat berkembang. Peluang dan kesempatan itu ditunjang juga sang syarat perubahan pandangan tentang gambaran wanita dan pengakuan sang lingkungan sosial terhadap eksistensi perempuan pada banyak sekali bidang kehidupan warga . Hal tadi pada atas sejalan serta atau disertai juga menggunakan tuntutan pembangunan nasional yang memerlukan peran serta semua warga Negara Indonesia pada banyak sekali bidang kegiatan pembangunan. Sebagai bagian integral berdasarkan masyarakat Negara Indonesia, kaum perempuan pula dituntut buat ikut berpartisipasi pada proses pembangunan nasional. 

Menurut APCTT (APCTT = ASIAN AND PACIFIC CENTRE FOR TRANSFER OF TECHNOLOGY (WED, 2007), dalam Abad ke-21 ini adalah abad dimana “Lingkungan global sangat ramah terhadap Pengusaha Perempuan” atau diistilahkan menjadi “Womenomics Century”. Hal itu ditimbulkan karena :
1. Proses globalisasi secara progresif mengurangi kendala dalam kewirausahaan wanita,
2. Dengan berkembangnya ICT memungkinkan wanita bekerja berdasarkan rumah tanpa meninggalkan famili,
3. Perempuan memiliki kesempatan yang lebih akbar pada ruang pasar dunia buat berkembang menjadi entrepreneur, manager and investor. 

Pemberdayaan perempuan dalam ekonomi sebagaimana misi Gubernur Jawa Barat saat ini mampu dilakan dengan Transformasi Ekonomi pada kewirausahaan Perempuan. Perempuan berdasarkan semua latar belakang sosial-ekonomi poly yang berkecimpung pada kewirausahaan. Pada mayoritas sektor industri jasa, perempuan perlu didukung buat berkiprah di bisnis ventura. Saat ini terjadi pergeseran dari sektor tradisional ke sektor terbaru termasuk buat pengembangan manajemen dan teknis, perempuan memiliki kesempatan besar buat bergerak pada perubahan teknologi yg digunakan. Pada era glabalisasi saat ini, penggunaan ICT buat perdagangan internasional sangat menguntungkan kewirausahaan wanita.

Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang dimulai dari sektor rumah tangga telah mampu menggali aneka macam potensi ekonomi daerah yang sebelumnya nir terungkap, melalui kreativitas serta penemuan. Ibu tempat tinggal tangga atau perempuan pada biasanya berperan besar dalam keberhasilan Koperasi serta terutama untuk UMKM. Keuntungan Kperasi serta UMKM ini adalah antara lain, dapat dilakukan dengan lebih bebas serta pada loka yang mungkin saja disekitar loka tinggal, sebagai akibatnya tidak terlalu lama meninggalkan famili atau sewaktu-saat dapat saja pulang menengok anak-anaknya/ keluarga. Pada beberapa masalah UMKM, upaya ini pun menjadi perekat famili lantaran suami ikut bersama-sama membentuk bisnis usaha keluarga.