REGULASI BANK INDONESIA TERKAIT DENGAN PEMBERIAN KREDIT BANK

Regulasi Bank Indonesia Terkait Dengan Pemberian Kredit Bank
Pemberian kredit adalah aktivitas utama bank yg mengandung 
risiko yang bisa berpengaruh pada kesehatan serta kelangsungan usaha bank. 
Namun mengingat menjadi lembaga intermediasi, sebagian besar dana bank 
berasal menurut dana warga , maka anugerah kredit perbankan banyak dibatasi 
oleh ketentuan undang-undang serta ketentuan Bank Indonesia. 

UU Perbankan telah mengamanatkan supaya bank senantiasa berpegang 
pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan aktivitas usahanya, termasuk 
dalam memberikan kredit. Selain itu, Bank Indonesia sebagai otoritas 
perbankan juga memutuskan peraturan-peraturan dalam pemberian kredit sang 
perbankan. Beberapa regulasi dimaksud diantaranya merupakan regulasi tentang 
Kewajiban Penyusunan serta Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi 
Bank Umum, Batas Maksimal Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas Aktiva, 
Sistem Informasi Debitur, dan pembatasan lainnya dalam pemberian kredit. 
A. Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan Bank bagi Bank Umum 
Sebagaimana sudah dikemukakan, bank dalam melakukan kegiatan 
usaha terutama dengan memakai dana warga yang dipercayakan 
kepada bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang 
mengandung risiko yang dapat berpengaruh dalam kesehatan serta 
kelangsungan usaha bank, sebagai akibatnya pada pelaksanaannya bank wajib  
berpegang dalam azas-azas perkreditan yg sehat guna melindungi dan 
memelihara kepentingan dan agama rakyat. 

Agar pemberian kredit bisa dilaksanakan secara konsisten serta 
berdasarkan azas-azas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu 
kebijakan perkreditan yg tertulis. Berkenaan dengan hal tadi, Bank 
Indonesia sudah menetapkan ketentuan tentang kewajiban bank umum 
untuk memiliki serta melaksanakan kebijakan perkreditan bank menurut 
pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank pada SK Dir BI No. 
27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995. 

Berdasarkan SK Dir BI tadi, Bank Umum harus memiliki 
kebijakan perkreditan bank secara tertulis yang disetujui sang dewan 
komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat serta mengatur hal-hal 
pokok sebagai berikut : 
1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan; 
2. Organisasi serta manajemen perkreditan; 
3. Kebijakan persetujuan kredit; 
4. Dokumentasi serta administrasi kredit; 
5. Pengawasan kredit; 
6. Penyelesaian kredit bermasalah. 

Kebijakan perkreditan bank dimaksud harus disampaikan pada 
Bank Indonesia. Dalam pelaksanaan anugerah kredit dan pengelolaan 
perkreditan bank harus mematuhi kebijakan perkreditan bank yang sudah 
disusun secara konsekuen dan konsisten. 

B. Batas Maksimum Pemberian Kredit 
Salah satu penyebab berdasarkan kegagalan bisnis bank adalah penyediaan 
dana yang nir didukung menggunakan kemampuan bank mengelola konsentrasi 
penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi kegagalan 
usaha bank maka bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian pada 
pemberian kredit, diantaranya dengan melakukan penyebaran (diversifikasi) 
portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan dana, baik 
kepada pihak terkait juga kepada pihak bukan terkait. Pembatasan 
penyediaan dana adalah persentase eksklusif dari modal bank yang dikenal 
dengan batas maksimum hadiah kredit (BMPK). BMPK mendapatkan 
dasar pengaturan dalam UU Perbankan. 

Pengaturan tadi selanjutnya dijabarkan oleh Bank Indonesia 
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/tiga/PBI/2005 tentang Batas 
Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Berdasarkan PBI tadi, 
BMPK merupakan persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan 
terhadap kapital bank.

Tujuan ketentuan BMPK merupakan untuk melindungi kepentingan serta 
kepercayaan warga serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank, 
dimana pada penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko 
dengan cara berbagi penyediaan dana sesuai menggunakan ketentuan BMPK 
yang telah ditetapkan sedemikian rupa sebagai akibatnya tidak terpusat pada 
peminjam dan/atau grup peminjam eksklusif. 

Penyediaan dana pada kerangka BMPK nir hanya berupa kredit, 
tetapi mencakup semua portofolio penyediaan dana yaitu penanaman dana 
bank pada bentuk : 
a. Kredit; 
b. Surat berharga; 
c. Penempatan; 
d. Surat berharga yang dibeli menggunakan janji dijual kembali; 
e. Tagihan akseptasi; 
f. Darivatif kredit (credit derivative); 
g. Transaksi rekening administratif (misalnya guarantee, letter of credit, standby letter of credit); 
h. Tagihan derivatif; 
i. Potential future credit exposure;
j. Penyertaan modal; 
k. Penyertaan modal ad interim; 
l. Bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan menggunakan alfabet  
a hingga menggunakan huruf k. 

Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait menggunakan 
bank dapat dilakukan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan 
dana pada seorang peminjam yg bukan merupakan pihak terkait dengan 
bank dapat dilakukan paling tinggi 20 % berdasarkan kapital bank. Sementara, 
penyediaan dana pada satu gerombolan peminjam yang bukan adalah 
pihak terkait dapat dilakukan paling tinggi 25 % menurut kapital bank. 

Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu gerombolan peminjam 
apabila peminjam mempunyai interaksi pengendalian menggunakan peminjam 
lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan serta/atau keuangan. 
Sementara, pihak terkait adalah peminjam serta/atau kelompok peminjam 
yang memiliki keterkaitan menggunakan bank sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 8 PBI No. 7/3/PBI/2005. Bank harus memiliki dan menatausahakan 
daftar rincian pihak terkait dengan bank serta dilaporkan pada Bank 
Indonesia. 

Pengecualian diberlakukan terhadap perusahaan-perusahaan Badan 
Usaha Milik Negara (BUMN) serta/atau Badan Usaha Milik Daerah 
(BUMD) yang tidak diperlakukan menjadi kelompok peminjam sepanjang 
hubungan tadi semata-mata ditimbulkan karena kepemilikan langsung
pemerintah Indonesia. Selain itu penyediaan dana bank pada BUMN 
untuk tujuan pembangunan serta menghipnotis hajat hidup orang poly 
dapat dilakukan paling tinggi sebesar 30 % dari modal bank. 

Kemudian bisa ditambahkan bahwa pengambilalihan (perundingan ) 
wesel ekspor berjangka dikecualikan berdasarkan peritungan BMPK sepanjang wesel 
ekspor berjangka diterbitkan atas dasar letter of credit berjangka yg sesuai 
dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang 
berlaku, serta telah diaksep oleh Prime Bank.

Bank yg melakukan pelanggaran BMPK serta atau pelampauan 
BMPK dikenakan sanksi penilaian taraf kesehatan bank sebagaimana 
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.

Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase BMPK 
yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap modal 
bank pada saat pemberian penyediaan dana. 

Sementara, pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase 
BMPK yang diperkenankan dengan persentase penyediaan dana terhadap 
modal bank pada saat lepas laporan dan tidak termasuk pelanggaran 
BMPK sebagaimana dimaksud pada atas. Penyediaan dana sang Bank 
dikategorikan sebagai pelampauan BMPK apabila disebabkan oleh : 
a. Penurunan kapital bank; 
b. Perubahan nilai tukar; 
c. Perubahan nilai lumrah; 
d. Penggabungan usaha serta atau perubahan struktur kepengurusan yang 
menyebabkan perubahan pihak terkait serta atau gerombolan peminjam; 
e. Perubahan ketentuan. 

Dalam hal terjadi pelanggaran BMPK serta atau pelampauan BMPK, 
bank wajib menyusun serta menyampaikan rencana tindakan (action plan) 
untuk solusinya yg setidaknya memuat langkah-langkah buat 
penyelesaian pelanggaran BMPK dan atau pelampauan BMPK serta target 
waktu penyelesaian sinkron dengan ketentuan dalam PBI No. 7/tiga/PBI/2005. 
Bank yang menyampaikan action plan buat pelanggaran BMPK 
setelah batas akhir waktu hingga dengan 14 (empat belas) hari kerja sehabis 
batas akhir waktu tersebut, dikenai hukuman berupa kewajiban membayar 
sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. 
Sementara, bank yang mengungkapkan action plan buat pelampauan 
BMPK sesudah batas akhir waktu sampai menggunakan 14 (empat belas) hari kerja 
setelah batas akhir ketika tadi, dikenai hukuman berupa kewajiban 
membayar sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja 
keterlambatan. 

Selanjutnya bank pula diwajibkan buat mengungkapkan laporan 
pelaksanaan action plan masing-masing buat pelanggaran BMPK serta 
pelampauan BMPK kepada Bank Indonesia paling lambat 14 (empat belas) 
hari kerja sehabis realisasi action plan. 

Bank yang mengungkapkan laporan aplikasi action plan sesudah 
batas akhir waktu sampai menggunakan 14 (empat belas) hari kerja sehabis batas 
waktu tersebut, dikenai hukuman berupa kewajiban membayar sebesar 
Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan. 

Bank yg tidak merampungkan pelanggaran BMPK dan atau 
pelampauan BMPK sinkron menggunakan action plan setelah diberi peringatan 2 
(2) kali sang Bank Indonesia menggunakan tenggang saat 1 (satu) minggu 
untuk setiap teguran, dikenai hukuman administratif sebagaimana diatur dalam 
Pasal 52 ayat (dua) UU Perbankan4
, diantaranya berupa : 
a. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham 
dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus evaluasi 
kemampuan serta kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank 
Indonesia yang berlaku; 
b. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, antara lain nir diperkenankan 
untuk perluasan penyediaan dana; dan atau 
c. Embargo buat turut dan pada rangka kegiatan kliring. 
Selain itu, terhadap Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank, 
pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya bisa dikenai hukuman 
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (dua) huruf b, Pasal 50 dan 
Pasal 50 A UU Perbankan.

C. Penilaian Kualitas Aktiva 
Kondisi dan karakteristik dari aset perbankan nasional pada saat ini 
maupun pada ketika yang akan datang masih permanen dipengaruhi sang risiko 
kredit, yg apabila tidak dikelola secara efektif akan berpotensi 
mengganggu kelangsungan bisnis bank. Pengelolaan risiko kredit yang tidak 
efektif antara lain ditimbulkan kelemahan dalam penerapan kebijakan serta 
prosedur penyediaan dana, termasuk penetapan kualitasnya, kelemahan 
dalam mengelola portofolio aset bank, dan kelemahan pada 
mengantisipasi perubahan faktor eksternal yg mensugesti kualitas 
penyediaan dana. 

Hal pada atas diatur dalam PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian 
Kualitas Aktiva Bank Umum. PBI tersebut mewajibkan bank (dalam hal ini 
Direksi) buat menilai, memantau dan mangambil langkah-langkah yg 
diperlukan supaya kualitas Aktiva (meliputi Aktiva Produktif serta Aktiva Non 
Produktif) senantiasa baik. 

Aktiva Produktif merupakan penyediaan dana Bank untuk memperoleh 
penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar 
bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji 
dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, 
transaksi rekening administratif dan bentuk penyediaan dana lainnya yang 
dapat dipersamakan menggunakan itu.

Sementara, Aktiva Non Produktif adalah aset bank selain Aktiva 
Produktif yg memiliki potensi kerugian, antara lain pada bentuk jaminan 
yang diambil alih. 

Dalam Pasal 5 PBI No. 7/2/PBI/2005 diatur bahwa bank wajib  
menetapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening Aktiva 
Produktif yang digunakan buat membiayai 1 (satu) debitur, hal ini jua 
berlaku untuk Aktiva Produktif yg diberikan oleh lebih menurut 1 (satu) bank 
(termasuk penyediaan dana yang diberikan secara sindikasi). Dalam hal 
terdapat perbedaan penetapan kualitas Aktiva Produktif, maka kualitas 
masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif yg 
paling rendah. 

Ketentuan buat memutuskan kualitas yg sama tersebut pada atas jua 
berlaku terhadap Aktiva Produktif yang dipakai buat membiayai proyek 
yang sama (vide Pasal 6 PBI No. 7/dua/PBI/2005). Termasuk pada 
pengertian ‘proyek yang sama’ diantaranya jika :
a. Masih ada keterkaitan rantai bisnis secara signifikan pada proses 
produksi yang dilakukan oleh beberapa debitur. Keterkaitan dipercaya 
signifikan diantaranya bila proses produksi pada suatu entitas 
tergantung pada proses produksi entitas lain, contohnya adanya 
ketergantungan bahan baku pada proses produksi. 
b. Kelangsungan cash flow suatu entitas akan terganggu secara signifikan 
apabila cash flow entitas lain mengalami gangguan. 
Penetapan kualitas kredit dilakukan menggunakan melakukan analisis 
terhadap faktor penilaian yang meliputi prospek bisnis, kinerja debitur serta 
kemampuan membayar. 

Penilaian terhadap prospek bisnis mencakup penilaian terhadap 
komponen-komponen sebagai berikut : 
a. Potensi pertumbuhan bisnis; 
b. Kondisi pasar serta posisi debitur pada persaingan; 
c. Kualitas manajemen dan permasalahan
e. Upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan 
hidup. 
Sementara, evaluasi terhadap kinerja debitur meliputi penilaian 
terhadap komponen-komponen sebagai berikut : 
a. Perolehan laba; 
b. Struktur permodalan; 
c. Arus kas; serta 
d. Sensitivitas terhadap risiko pasar. 

Kemudian evaluasi terhadap kemampuan membayar meliputi 
penilaian terhadap komponen-komponen menjadi berikut : 
a. Ketepatan pembayaran utama serta bunga; 
b. Ketersediaan serta keakuratan fakta keuangan debitur; 
c. Kelengkapan dokumentasi kredit; 
d. Kepatuhan terhadap perjanjian kredit; 
e. Kesesuaian penggunaan dana; serta 
f. Kewajaran sumber pembayaran kewajiban. 

Penetapan kualitas kredit dilakukan menggunakan melakukan analisis 
terhadap faktor penilaian (prospek bisnis, kinerja debitur, dan kemampuan 
membayar) menggunakan mempertimbangkan komponen-komponen pada atas. 
Penetapan kualitas kredit dilakukan dengan mempertimbangkan signifikansi 
dan materialitas dari setiap faktor penilaian serta komponen serta relevansi 
dari faktor evaluasi serta komponen terhadap debitur yang bersangkutan. 
Berdasarkan penilaian itu, kualitas kredit ditetapkan sebagai : Lancar, 
Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet. 

Untuk mengantisipasi potensi kerugian, bank harus membangun 
Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) terhadap Aktiva Produktif dan 
Aktiva Non Produktif. PPA meliputi cadangan umum dan cadangan khusus 
untuk Aktiva Produktif, dan cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. 
Cadangan generik sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan paling 
kurang sebesar 1 % (satu perseratus) dari Aktiva Produktif yang memiliki 
kualitas Lancar. Semantara, cadangan khusus ditetapkan paling kurang 
sebesar : 
a. 5 % (lima perseratus) dari Aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian 
Khusus setelah dikurangi nilai jaminan; 
b. 15 % (5 belas peseratus) dari Aktiva dengan kualitas Kurang 
Lancar sesudah dikurangi nilai jaminan; 
c. 50 % (lima puluh peseratus) berdasarkan Aktiva menggunakan kualitas Diragukan 
setelah dikurangi nilai jaminan; 
d. 100 % (seratus peseratus) dari Aktiva menggunakan kualitas Macet sesudah 
dikurangi nilai agunan; 

Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan 
PPA hanya bisa dilakukan buat Aktiva Produktif. Agunan yang dapat 
diperhitungkan menjadi pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan 
sebagai berikut : 
a. Surat Berharga dan saham yg aktif diperdagangkan di bursa impak 
di Indonesia atau memiliki peringkat investasi dan diikat secara 
gadai; 
b. Tanah, tempat tinggal tinggal dan gedung yg diikat dengan hak 
tanggungan; 
c. Pesawat udara atau kapal laut menggunakan berukuran di atas 20 (2 puluh) 
meter kubik yg diikat menggunakan hipotek; serta atau 
d. Kendaraan bermotor serta persediaan yg diikat secara fidusia. 

Untuk kredit bermasalah, keliru satu upaya buat meminimalkan 
potensi kerugian dalam kredit bermasalah tersebut adalah bahwa bank pula 
dapat melakukan restrukturisasi kredit buat debitur yg mengalami 
kesulitan pembayaran utama serta atau bunga kredit tetapi masih mempunyai 
prospek usaha yang baik serta bisa memenuhi kewajiban setelah 
dilakukan restruktuirisasi. Bank tidak boleh melakukan restrukturisasi kredit 
dengan tujuan hanya buat menghindari penurunan penggolongan kualitas 
kredit, peningkatan pembentukan PPA, atau penghentian pengakuan 
pendapatan bunga secara akrual. Untuk itu bank harus mempunyai kebijakan 
dan prosedur tertulis mengenai restrukturisasi kredit yang adalah bagian 
yang tidak terpisahkan menurut kebijakan manajemen risiko bank. 

Untuk eksposur penyediaan dana yang telah nir mempunyai prospek 
usaha serta kemampuan membayar atau sudah dikatagorikan Macet serta bank 
telah melakukan aneka macam upaya buat memperoleh pulang penyediaan 
dana tadi, bank bisa melakukan hapus buku atau hapus tagih. 

Hapus buku adalah tindakan administratif bank buat menghapus 
buku penyediaan dana yang memiliki kualitas Macet berdasarkan neraca sebesar
kewajiban debitur tanpa menghapus hak tagih bank kepada debitur. 

Sedangkan hapus tagih adalah tindakan bank menghapus kewajiban debitur 
(tagihan pada debitur) yg tidak mungkin lagi diselesaikan sang debitur. 

D. Sistem Informasi Debitur 
Kelancaran proses kredit dan penerapan manajemen risiko kredit yg 
efektif serta ketersediaan berita kualitas debitur yg diandalkan dapat 
dicapai bila didukung sang sistem liputan yang utuh dan komprehensif 
mengenai profil dan kondisi debitur, terutama debitur yg sebelumnya 
telah memperoleh penyediaan dana. Dalam proses kredit, sistem informasi 
mengenai profil serta kondisi debitur bisa mendukung percepatan proses 
analisa dan pengambilan keputusan hadiah kredit. Untuk kepentingan 
manajemen risiko, sistem warta mengenai profil serta syarat debitur 
dibutuhkan buat menentukan profil risiko kredit debitur. Selain itu 
tersedianya kabar kualitas debitur, dibutuhkan jua buat melakukan 
sinkronisasi evaluasi kualitas debitur di antara bank pelapor. 

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bank 
Indonesia berperan buat mengatur serta menyebarkan penyelenggaraan 
sistem warta antar bank yg bisa diperluas menggunakan menyertakan 
lembaga lain pada bidang keuangan. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia 
mengembangkan sistem berita debitur yang berdasarkan saat ke saat selalu 
disempurnakan buat diadaptasi menggunakan perkembangan ekonomi dan 
teknologi. 

Ketentuan tentang sistem informasi debitur tadi diatur pada 
PBI No. 7/8/PBI/2005 tentang Sistem Informasi Debitur. Berdasarkan 
ketentuan PBI tersebut, bank generik, penyelenggara kartu kredit selain bank 
dan BPR yg memiliki total aset Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar 
rupiah) atau lebih harus mengungkapkan laporan debitur kepada Bank 
Indonesia setiap bulan meliputi fakta mengenai debitur, pengurus dan 
pemilik, fasilitas penyediaan dana, agunan, penjamin dan laporan keuangan 
debitur (bagi debitur yang merupakan nasabah perusahaan atau badan yang 
menerima penyediaan dana Rp lima.000.000.000,00 atau lebih). 

Sementara, Lembaga Keuangan Bukan Bank (antara lain meliputi 
asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan) serta BPR yang mempunyai 
total aset kurang dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bisa 
menjadi pelapor pada Sistem Informasi Debitur dengan menandatangani 
surat pernyataan keikutsertaan anggota. 

Pelapor yg telah memenuhi kewajiban pelaporan dapat meminta 
informasi debitur pada Bank Indonesia meliputi antara lain bukti diri 
debitur, pemilik serta pengurus, fasilitas penyediaan dana yg diterima 
debitur, jaminan, penjamin serta atau kolektibilitas. Informasi yg diperoleh 
pelapor tersebut hanya dapat dipakai buat keperluan pelapor dalam 
rangka penerapan manajemen risiko, kelancaran proses penyediaan dana, 
dan atau identifikasi kualitas debitur buat pemenuhan ketentuan yg 
berlaku. 

E. Kredit pada Pihak Asing 
Penerapan sistem devisa bebas di Indonesia telah mempercepat 
perkembangan serta integrasi pasar keuangan Indonesia dengan pasar dunia. 
Integrasi pasar keuangan antara lain terlihat pada penggunaan mata uang 
domestik, baik pada dalam negeri maupun luar negeri. Pada awalnya mata uang 
domestik digunakan oleh masyarakat negara asing dan badan asing di pada 
negeri, tetapi selanjutnya penggunaan tersebut meluas ke luar negeri baik 
oleh masyarakat negara Indonesia dan badan hukum Indonesia maupun oleh 
warga negara asing serta badan asing. 

Sebagai akibat berdasarkan perkembangan dan integrasi pasar keuangan pada atas, 
peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan warga neara asing dan 
badan asing dalam perkembangannya sudah menimbulkan ketidakstabilan 
kondisi moneter pada dalam negeri, khususnya pada bentuk tekanan terhadap 
nilai tukar rupiah. Sehubungan dengan hal tadi, sudah diambil langkah 
kebijakan menggunakan menetapkan restriksi-pembatasan yang dibutuhkan 
sebagaimana tertuang pada peraturan Bank Indonesia Nomor 
3/tiga/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001 mengenai Pembatasan Transaksi 
Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing. 

Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun PBI No tiga/3/PBI/2001 
telah menyediakan kemungkinan bagi aneka macam transaksi untuk kepentingan 
pembiayaan yang berguna bagi perekonomian domestik, tetapi masih 
dirasakan perlu dilakukan berbagai penyempurnaan. Langkah 
penyempurnaan perlu diambil supaya ketentuan yg berlaku nir 
menghambat kegiatan produktif dan dapat sejalan dengan beberapa 
perkembangan terakhir baik pada pasar keuangan maupun dalam 
perekonomian domestik secara keseluruhan dan dipihak lain dapat permanen 
menunjang tercapainya stabilitas sistem keuangan serta moneter pada dalam 
negeri. 

Sehubungan dengan hal tersebut, maka Bank Indonesia mencabut PBI 
No 3/3/PBI/2001 serta mengeluarkan PBI No. 7/14/PBI/2005 tentang 
Pembatasan Transaksi Rupiah serta Pemberian Kredit Valuta Asing sang 
Bank. Berdasarkan peraturan tersebut, bank tidak boleh memberikan kredit 
baik pada rupiah maupun dalam valuta asing kepada pihak asing. Pihak 
asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tadi mencakup : 
a. Rakyat negara asing; 
b. Badan aturan asing atau lembaga asing lainnya; 
c. Rakyat negara Indonesia yang memiliki status pnduduk permanen (permanent 
resident) negara lain dan nir berdomisili di Indonesia; 
d. Kantor Bank di luar negeri dari bank yg bermarkas pusat di 
Indonesia; 
e. Kantor perusahaan di luar negeri menurut perusahaan yang berbadan 
hukum Indonesia. 

Pengecualian atas embargo terhadap pemberian kredit tersebut pada atas 
meliputi: 
a. Kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan 
1) mengikutsertakan Prime Bank menjadi lead bank; 
2) diberikan buat pembiayaan proyek pada sektor riil untuk usaha 
produktif yang berada pada daerah Indonesia; dan
3) kontribusi bank asing menjadi anggota sindikasi lebih besar  
dibandingkan menggunakan donasi bank dalam negeri;
b. Kartu kredit; 
c. Kredit konsumsi yg digunakan pada pada negeri; 
d. Cerukan intrahari rupiah serta valuta asing yg didukung sang 
dokumen yg bersifat authenticated yang menunjukkan konfirmasi 
akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan dalam hari yg 
sama dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran 
Bank Indonesia; 
e. Cerukan dalam rupiah serta valuta asing karena pembebanan biaya  
administrasi; 
f. Pengambilalihan tagihan berdasarkan badan yang ditunjuk pemerintah buat 
mngelola aset-aset bank pada rangka restrukturisasi perbankan 
Indonesia oleh Pihak Asing yg pembayarannya dijamin oleh Prime 
Bank.

F. Kredit pada Perusahaan Sekuritas 
Berdasarkan SK Direksi BI No. 24/32/KEP/DIR dan SE BI No. 
24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 mengenai Kredit pada 
Perusahaan Sekuritas dan Kredit menggunakan Agunan Saham, bank tidak boleh 
memberikan kredit buat jual beli saham pada perorangan atau 
perusahaan yg bukan perusahaan sekuritas. Pemberian kredit kepada 
perusahaan sekuritas dilakukan oleh bank dengan ketentuan : 
a. Setiap bank hanya boleh memberikan kredit pada suatu perusahaan 
sekuritas masing-masing dengan maksimum sebanyak jumlah yg terkecil 
antara 25% dari kapital perusahaan sekuritas yang bersangkutan atau 
15% berdasarkan modal bank. 
b. Seluruh kredit yg bisa diberikan sang suatu bank pada seluruh 
perusahaan sekuritas maksimum sebanyak 30% berdasarkan modal bank. 
Disamping itu, bank tidak boleh memberikan kredit dengan agunan 
berupa saham perusahaan lain. Dalam perkembangannya, ketentuan ini 
dicabut dengan dikeluarkannya SK Direksi BI No. 26/68/KEP/DIR dan 
SE BI No. 26/1/UKU mengenai Saham menjadi Agunan Tambahan Kredit 
masing-masing tanggal 7 September 1993. Berdasarkan ketentuan ini saham 
boleh dijadikan jaminan tambahan menggunakan kondisi selama 3 bulan terakhir 
aktif diperdagangkan, harga saham tadi di atas nilai nominal serta nilai 
saham yang diagunkan merupakan 50% berdasarkan harga pasar tadi. 

G. Kredit buat Keperluan Transaksi Derivatif 
Pengertian transaksi derivatif menurut SE BI No. 28/15/UD 
tanggal 18 Februari 1996 adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran 
yang nilainya merupakan turunan menurut nilai instrumen yg mendasari 
seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti serta indeks, baik yang diikuti 
dengan konvoi atau tanpa konvoi dana. Pihak bank hanya boleh 
ikut dalam transaksi derivatif menggunakan dibatasi pada transaksi derivatif yang 
berkaitan menggunakan valuta asing (nilai tukar) dan suku bunga. Adapun 
transaksi derivatif yang berkaitan dengan saham hanya dapat dilakukan atas 
izin BI secara masalah per perkara. 

Transaksi derivatif yang dihentikan dalam kaitannya dengan nasabah bank 
adalah : 
a. Bank dihentikan memelihara posisi atas transaksi derivatif yang dilakukan 
oleh nasabah grup berdasarkan bank, direksi, komisaris, pegawai atau pemilik 
bank yg bersangkutan. 
b. Bank dilarang memberikan fasilitas kredit dan cerukan (overdraft) dalam 
rangka kewajiban pemenuhan margin deposit nasabah buat keperluan 
transaksi derivatif kepada nasabah (vide Pasal 6 ayat (dua) SK Direksi BI 
No. 28/119/KEP/DIR lepas 29 Desember 1995 mengenai Transaksi 
Derivatif). 

Transaksi derivatif buat kepentingan nasabah wajib berdasarkan 
kontrak yg sekurang-kurangnya mencakup : 
a. Pagu transaksi derivatif 
b. Base currency yg dipakai 
c. Jenis valuta/instrumen yg dipertukarkan 
d. Penyelesaian transaksi derivatif (settlement) 
e. Pembukuan laba/rugi transaksi derivatif yg dilakukan 
f. Pencatatan atas posisi keuntungan/rugi yg potensial (unrealised) 
g. Metode atau cara transaksi derivatif 
h. Besarnya komisi 
i. Penggunaan kurs konversi 
j. Advis dan konfirmasi transaksi derivatif 
k. Kerahasiaan, serta 
l. Domisili serta hukum yang berlaku. 

Transaksi derivatif yg dilakukan tanpa diikuti penyerahan 
dana/instrumen, kontraknya wajib pula meliputi : 
a. Jumlah margin deposit 
b. Maintenance margin yang ditentukan, dan 
c. Hak dan kewajiban nasabah yg harus dicetak dalam huruf yang akbar 
sehingga gampang dibaca. 

H. Kredit buat Pembiayaan Pengadaan serta atau Pengolahan Tanah 
Laju pertumbuhan pinjaman perbankan yang berlebihan kepada sektor 
properti merupakan salah satu faktor yang bisa mempengaruhi kestabilan 
moneter dan kesehatan perbankan terutama anugerah kredit buat 
pembiayaan pengadaan dan pengolahan tanah menjadi unsur yang poly 
mendorong pertumbuhan yg berlebihan pada kredit sektor properti. 

Oleh karena itu, BI sudah mengeluarkan SK Direksi BI No. 
30/46/KEP/DIR serta SE BI No. 30/dua/UK masing-masing tanggal 7 Juli 
1997 mengenai Pembatasan Pemberian Kredit sang Bank Umum buat 
Pembiayaan Pengadaan serta atau Pengolahan Tanah. Pokok-pokok
ketentuan yg diatur dalam kaitannya dengan pembiayaan pengadaan serta 
atau pengolahan tanah adalah sebagai berikut : 
a. Bank tidak boleh memberikan kredit pada pengembang, baik secara 
langsung juga nir eksklusif serta atau membeli/menjamin surat 
berharga menurut pengembang untuk pembiayaan pengadaan dan atau 
pengolahan tanah. Pemberian kredit secara pribadi merupakan anugerah 
kredit oleh bank pribadi kepada pengembang, sedangkan anugerah 
kredit secara nir pribadi adalah anugerah kredit sang bank pada 
pihak lain yg secara efektif dapat dimanfaatkan oleh pengembang 
untuk pembiayaan pengadaan serta atau pengolahan tanah. 
b. Bank tidak boleh jua membeli dan atau mengklaim surat berharga (surat 
pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap 
derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban 
dari penerbit yang lazim diperdagangkan pada pasar modal dan pasar 
uang, termasuk pula commercial paper) yang diterbitkan oleh 
pengembang buat pembiayaan pengadaan serta atau pengolahan tanah, 
kecuali surat berharga yang diterbitkan sang pengembang yg 
mengkhususkan usahanya di bidang pembangunan rumah sederhana 
atau jalan tol. 

c. Beberapa hal yg dikecualikan : 
1) Pemberian kredit buat pengadaan serta atau pengolahan tanah 
yang akad kreditnya dibuat sebelum lepas 14 Juli 1997. 
2) Pengalihan kredit berdasarkan pengembang pada suatu pengembang lain 
dalam rangka penyelamatan sepanjang tidak menambah saldo 
kredit. 
3) Perpanjangan jangka waktu kredit pada rangka penyelamatan 
tanpa menambah saldo kredit. 
4) Pemberian kredit dan atau pembelian/penjaminan surat berharga 
dari pengembang buat pengadaan serta atau pengolahan tanah 
guna pembangunan rumah sederhana. 

Ketentuan ini nir berlaku bagi anugerah kredit kepada pengembang 
untuk tujuan pembangunan tempat tinggal sederhana. Kategori rumah sederhana 
adalah tempat tinggal tidak bersusun dengan luas lantai nir lebih menurut 70 m2 yang 
dibangun di atas tanah menggunakan luas kaveling 54 m2 sampai dengan 200 m2 
dengan porto pembangunan per m2 tertinggi buat pembangunan tempat tinggal  
dinas tipe C yg berlaku sebagaimana diatur dalam SK Direktur Jenderal, 
serta rumah susun dengan luas lantai nir lebih dari 36 m2 dan kaveling 
siap bangun menggunakan luas maksimum 72 m2. 

I. Pemberian Garansi oleh Bank 
Pemberian garansi sang Bank diatur dalam SK Dir BI No. 
23/88/KEP/DIR jo. SE BI No. 23/7/UKU masing-masing lepas 18 
Maret 1991 mengenai Pemberian Garansi sang Bank. Berdasarkan ketentuan 
tersebut garansi yg diberikan oleh bank meliputi 7
1. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan sang bank yg 
mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yg mendapat 
garansi jika pihak yg dijamin wanprestasi. Dalam hal ini 
pemberian garansi dapat berupa Garansi Bank atau Standby Letter of 
Credit.
2. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua serta seterusnya atas 
surat-surat berharga misalnya aval serta endosemen menggunakan hak regres 
yang bisa menyebabkan kewajiban membayar bagi bank bila 
pihak yang dijamin wanprestasi, sebagaimana telah diatur pada Kitab 
Undang-undang Hukum Dagang. 

3. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sebagai akibatnya bisa 
menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Pemberian garansi 
tersebut adalah berupa surat yg bisa menyebabkan kewajiban 
membayar suatu jumlah tertentu apabila pihak yang dijamin 
wanprestasi dan Letter of Credit. Dengan demikian hadiah garansi 
oleh bank dalam bentuk tadi wajib dihitung sebagai contingent 
liabilities yang tunduk pada ketentuan Bank Indonesia mengenai 
Pemberian Garansi sang Bank. Agar bank memperoleh kepastian 
kapan berakhirnya contingent liabilities yg muncul sebagai dampak 
pemberian garansi dalam bentuk ini, maka bank pada menaruh 
garansi tersebut hendaknya tetapkan suatu batas saat. 
Selanjutnya, bank dapat menaruh garansi baik dalam mata uang 
rupiah maupun mata uang asing, namun demikian perlu diperhatikan bahwa 
pemberian garansi buat penerimaan kredit berdasarkan luar negeri hanya bisa 
dilakukan dengan junlah seluruhnya setingi-tingginya 20 % menurut modal. 
Dalam pengertian jumlah holistik tersebut termasuk jua garansi yang 
dikeluarkan oleh tempat kerja-tempat kerja bank pada luar negeri.
Karena anugerah garansi bisa menimbulkan kewajiban membayar 
bagi bank, yg mempengaruhi likuiditas dan solvabilitasnya, maka 
pemberian garansi dikenakan ketentuan tentang BMPK dan Kewajiban 
Pemenuhan Modal Minimum. 

Sebelum garansi diberikan, bank diminta buat terlebih dahulu 
melakukan penelitian dan penelaahan yg dalam hakekatnya sama menggunakan 
penelaahan yang dilakukan dalam anugerah kredit, antara lain mengenai : 
1. Bonafiditas serta reputasi pihak yang dijamin. 
2. Sifat serta nilai transaksi yg akan dijamin. 
3. Jumlah garansi yg akan diberikan dari kemampuan bank. 
4. Kemampuan pihak yg akan dijamin buat memberikan kontra 
garansi sinkron dengan kemungkinan terjadinya risiko. Kontra garansi 
ini bisa berupa : 
a. Kontra garansi dari bank di luar negeri yang dapat dipercaya. 
b. Setoran sebanyak 100 % menurut nilai garansi yg diberikan. 
c. Kontra garansi lainnya yang diperoleh berdasarkan pihak yang dijamin 
dengan nilai yg memadai buat menanggung kerugian yang 
mungkin diderita oleh bank. Kontra garansi ini dapat berupa
garansi material dan atau immaterial tergantung dalam evaluasi 
bank atas kemungkinan terjadinya risiko. Jika dipercaya perlu 
bank bisa meminta sejumlah uang setoran kepada nasabah yang 
dijamin buat diblokir dalam bank yg bersangkutan sebelum 
garansi diberikan. 

Pemberian garansi atas permintaan bukan penduduk hanya 
diperkenankan bila disertai menggunakan kontra garansi yang relatif menurut bank 
di luar negeri yg bonafide (tidak termasuk cabang bank yg bersangkutan 
di luar negeri), atau setoran sebanyak 100 % menurut nilai garansi yang diberikan. 

KREDIT MENURUT UNDANGUNDANG PERBANKAN

Kredit Menurut Undang-Undang Perbankan
UU No. 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan sebagaimana telah diubah 
dengan UU No. 10 Tahun 1998 (UU Perbankan) mendefinisikan kredit sebagai 
penyediaan uang atau tagihan yg bisa dipersamakan menggunakan itu, berdasarkan 
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank menggunakan pihak lain 
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka 
waktu eksklusif dengan hadiah bunga. Berdasarkan pasal tersebut masih ada 
beberapa unsur perjanjian kredit yaitu : 
a. Penyediaan uang atau tagihan yg dapat dipersamakan menggunakan itu; 
b. Berdasarkan persetujuan atau konvensi pinjam meminjam antara 
bank dengan pihak lain 
c. Terdapat kewajiban pihak peminjam untuk melunasi utangnya pada 
jangka waktru tertentu; 
d. Pelunasan utang yang disertai menggunakan bunga. 

Unsur pertama menurut Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang 
dapat dipersamakan menggunakan itu; uang di sini seiogianya ditafsirkan sebagai 
sejumlah dana (tunai dan saldo rekening giro) baik dalam mata uang rupiah 
maupun valuta asing. Dalam pengertian “penyediaan tagihan yang bisa 
dipersamakan dengan itu” merupakan cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif dalam 
rekening giro nasabah yang nir dapat dibayar lunas dalam akhir hari, 
pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang (factoring) dan 
pengambilalihan (pembelian) kredit atau piutang menurut pihak lain seperti 
negosiasi hasil ekspor. 

Unsur kedua berdasarkan kredit merupakan persetujuan atau kesepakatan antara bank 
dan debitur. Sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, supaya suatu perjanjian 
menjadi absah dibutuhkan empat syarat, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan 
untuk membuat perjanjian, terdapat obyek eksklusif dan terdapat suatu kausa (cause) 
yang halal. Selain kesepakatan antara debitur serta kreditur jua diharapkan ketiga 
syarat lain tadi pada atas sebagai dasar untuk menyatakan sahnya suatu 
perjanjian. 

Unsur ketiga dari kredit merupakan adanya kewajiban debitur buat 
mengembalikan jumlah keseluruhan kredit yang dipinjam kepada kreditur dalam
jangka saat tertentu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya 
hubungan pinjam meminjam antara debitur dan kreditur. 

Unsur yg terakhir adalah adanya pengenaan bunga terhadap kredit 
yang dipinjamkan. Bunga merupakan nilai tambah yg diterima kreditur berdasarkan 
debitur atas sejumlah uang yg dipinjamkan kepada debitur dimaksud. 
Selain pengertian tentang Kredit sebagaimana dimaksud pada atas, dalam 
UU Perbankan pula dikenal adanya Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah 
yang adalah bentuk penyediaan dana yg dilakukan sang Bank yg 
melaksanakan aktivitas bisnis berdasarkan prinsip syariah. Pembiayaan 
berdasarkan Prinsip Syariah merupakan penyediaan uang atau tagihan yang dapat 
dipersamakan dengan itu, dari persetujuan atau konvensi antara 
bank dengan pihak lain yg mewajibkan pihak yg dibiayai untuk 
mengembalikan uang atau tagihan tadi sehabis jangka waktu tertentu 
dengan imbalan atau bagi output.

Namun, pada tulisan ini hanya akan dibahas mengenai beberapa 
regulasi Bank Indonesia tentang kredit menurut prinsip konvensional 
yang berlaku bagi Bank Umum. 

PERSPEKTIF PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN DALAM ERA PASAR BEBAS

Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dalam Era Pasar Bebas
Permodalan adalah galat satu faktor produksi penting dalam bisnis pertanian. Sayangnya, aksesibilitas petani terhadap asal-sumber permodalan yang disediakan masih sangat terbatas, terutama bagi petani-petani yg menguasai huma sempit dan petani tanpa huma yang adalah komunitas terbesar menurut masyarakat pedesaan. Dengan demikian, nir jarang ditemui bahwa kekurangan biaya adalah hambatan bagi petani pada mengelola dan mengembangkan usahatani. 

Kelembagaan ekonomi pedesaan tidak berkembang akibat terlalu banyaknya campur tangan yang cenderung berlebihan dari sistem birokrasi pemerintah. Tindakan ini, sudah menciptakan kondisi liputan yg nir simetris antara sebagian akbar masyarakat (petani) menggunakan kelompok warga lainnya. Pada kenyataannya kondisi seperti ini melumpuhkan sebagian kelembagaan lokal yang selama ini berkembang dan berperanan di masyarakat pada pemerataan pendapatan, termasuk kelembagaan pembiayaan pertanian (Sudaryanto serta Syukur, 2000). Lemahnya peranan kelembagaan pembiayaan pertanian tadi membawa konsekuensi semakin terbatasnya akses petani terhadap sumber-asal pembiayaan (Syukur et al, 2003). Selanjutnya terbukti bahwa campur tangan pemerintah yg hiperbola membawa implikasi yg luas berupa rendahnya aksesibilitas pelaku agribisnis terhadap sumberdaya kapital, teknologi, peningkatan kemampuan, warta pasar dan lain sebagainya (Syukur serta Windarti, 2001). 

Fakta pada lapangan memang menampakan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat pedesaan yg akses terhadap asal-sumber permodalan (Braverman serta Guasch, 1989). Padahal, akses terhadap kredit permodalan merupakan hak dasar insan yang mendasar pada meningkatkan usahanya, pendapatannya serta kebutuhan dasarnya (Yunus, 1981). Dengan perkataan lain bahwa seseorang yg akses terhadap asal-sumber permodalan akan dapat mengoptimalkan usahanya buat mencapai tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Memang diketahui bahwa sudah banyak dilakukan upaya-upaya yang mengimplementasikan skim pembiayaan yang dibutuhkan bisa menjangkau sebagian besar rakyat yg berkiprah pada sektor pertanian di pedesaan. 

Di wilayah pedesaan, terdapat 2 jenis pasar kredit atau pasar pembiayaan (Syukur et al, 2003), yaitu pasar pembiayaan formal serta pasar pembiayaan informal. Pembiayaan formal dipilah lagi ke dalam pembiayaan acara serta pembiayaan non program. Pembiayaan non program beroperasi pada pedesaan yg dalam mekanisme pengajuan dan penyalurannya mengikuti prosedur pasar. Artinya, kaidah-kaidah kelayakan diberlakukan secara formal, misalnya tingkat bunga yang dibebankan merupakan tingkat bunga komersial serta dilayani sang forum formal. Sementara pembiayaan acara merupakan skim pembiayaan yang pada implementasinya dikaitkan menggunakan suatu acara pemerintah yg umumnya program sektoral. Biasanya acara tersebut merupakan upaya sektoral buat mencapai sasaran tertentu, misalnya KKP (Kredit Ketahanan Pangan) buat mempertinggi produksi pangan, Kredit Koperasi Primer buat Anggota (KKPA), Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UUPKA) serta lain-lain. Selain itu, masih poly lagi program-program serupa yg sudah diimplementasikan, termasuk program pembiayaan yang mendukung pengembangan usaha pertanian pada pedesaan. Dalam pelaksanaannya, program tersebut diakui bahwa masih banyak hambatan yg dihadapi. 

Aturan main dalam skim pembiayaan bagi bisnis pertanian bersifat rigid yang mengakibatkan petani serta masyarakat pedesaan tidak mudah mengakses sumber-asal pembiayaan yang terdapat ketika ini. Kebijakan pembiayaan yang diperlukan buat mendukung pengembangan usaha pertanian dirasakan sangat lemah dan cenderung mengabaikan sektor ini. Selama kurun ketika satu dasa warsa terakhir alokasi kredit yg disalurkan buat sektor pertanian sangat rendah dibandingkan dengan buat sektor-sektor lain. Sistem perbankan konvensional yang berlaku waktu ini seakan-akan nir tertarik terhadap sektor pertanian. Timpangnya alokasi kredit tadi bukanlah semata-mata ditimbulkan rendahnya kemampuan sektor ini pada hal mengembalikan kredit, akan tetapi lebih disebabkan lantaran keberfihakan yang sangat rendah dan aturan main (kelembagaan) yang kaku.

Berbagai jenis pembiayaan di sektor pertanian, baik yang formal (program serta non acara) juga informal sudah diaplikasikan pada warga . Akan namun, dalam aplikasi pembiayaan tadi diakui masih menghadapi aneka macam hambatan dan hambatan, nir hanya di pihak penyedia dana tapi jua pada pihak penerima dana menjadi pelaku bisnis. 

Di sisi lain, walaupun pemerintah secara nasional telah poly mengintroduksi berbagai skim pembiayaan buat sektor pertanian, tetapi efektivitas dan keberlanjutannya serta peranannya pada mendorong pengembangan pertanian, masih jauh dari yang diperlukan. Pada kenyataannya, secara mikro sebagian pelaku bisnis pertanian masih mempunyai tingkat aksesibilitas yang rendah terhadap asal-asal permodalan. Hal ini terkait dengan aneka macam faktor antara lain nir bisa menyediakan agunan fisik ataupun pihak-pihak lain yang dapat mengklaim di samping biaya transaksi pinjaman yg dinilai sangat tinggi.

Dari pengalaman beberapa acara pembiayaan yg dilaksanakan, intermediary system sangat penting buat menerima perhatian karena dievaluasi merupakan galat satu kunci keberhasilan, misalnya Bimas. Pemerintah berperanan sebagai jembatan dalam penyaluran permodalan. Artinya, pemerintah bisa berperanan serta memiliki kekuatan fungsi intermediasi. 

Penelitian terhadap sistem pembiayaan mikro pada sektor pertanian sebagai sangat krusial jika pengembangan bisnis pertanian pada pedesaan merupakan galat satu sumbangan pada mencapai peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Pengelolaan sumberdaya secara optimal, perlu didukung ketersediaan modal usaha yang relatif. Walaupun modal bukanlah satu-satunya faktor produksi bisnis pertanian, dalam batas-batas eksklusif modal merupakan faktor kritikal. Kecukupan kapital melalui bantuan pembiayaan berfungsi efektif buat mencapai taraf optimal dalam hal skala usaha dan adopsi teknologi baik teknologi produksi juga pasca panen. Dari upaya ini dibutuhkan para pelaku usaha pertanian bisa menaikkan produktivitas dan efisiensi bisnis, yang selanjutnya menaikkan pendapatan serta kesejahteraan.

Dari kondisi misalnya tersebut diatas, penelitian khusus dan mendalam yg mencakup berbagai aspek kemudian dibutuhkan. Review mengenai kebijakan pembiayaan mikro sektor pertanian di pedesaan merupakan informasi yang penting. Disamping itu, output identifikasi mengenai lembaga-forum keuangan mikro yang melayani pembiayaan bisnis pertanian menggunakan aturan dan representasi yg diberlakukan jua sangat dibutuhkan. Sementara, identifikasi mengenai kendala-hambatan dalam realisasi pembiayaan usaha pertanian jua berguna. Selanjutnya identifikasi tentang persepsi petani terhadap kegiatan pembiayaan mikro juga sangat bermanfaat yang mencakup manfaat serta kerugian sebagai partisipan, kelemahan, serta saran-saran penyempurnaan pada waktu mendatang. 

Cakupan Penelitian
Penelitian ini dibatasi dalam beberapa hal, yaitu jenis pembiayaan serta komoditas usaha pertanian. Jenis pembiayaan mencakup pembiayaan formal serta informal; dan pembiayaan formal meliputi pembiayaan program dan non program. Sedangkan komoditas yg dianalisis dibatasi dalam usahatani tanaman pangan serta hortikultura, spesifik sayuran. 

Analisis yang dilakukan terhadap aspek-aspek dasar yang terkait erat menggunakan operasionalisasi pembiayaan juga mendapat perhatian, yg mencakup receiving system, delivery system serta intermediary system. Artinya, lingkup penelitian mencangkup mulai dari realisasi/penerimaan dana, penggunaan dan pengembaliannya serta keterkaitan diantaranya juga mendapat porsi dalam analisis penelitian ini. Untuk itu, merupakan hal yg krusial adalah pendekatan dan diskusi mendalam nir hanya pada aspek ekonomi, tapi aspek kelembagaanpun juga merupakan bagian pada analisis. 

Tujuan
Dari konflik yg dikemukakan menurut latar belakang serta cakupan, di rinci tujuan penelitian misalnya ini dia. Diharapkan menurut jawaban tujuan-tujuan tersebut bisa dibangun saran-saran yg adalah masukan bagi penghasil kebijakan baru tentang pembiayaan mikro juga penyempurnaan acara-acara yg sudah terdapat.
  1. Mereview tentang kebijakan pembiayaan mikro bisnis pertanian yg sudah diaplikasikan dalam masyarkat. 
  2. Mengidentifikasi mengenai forum-lembaga pembiayaan mikro yg melayani bisnis pertanian, termasuk anggaran main serta representasi yang diterapkan.
  3. Mengidentifikasi tentang hambatan-hambatan yg dihadapi dalam mengoperasikan pembiayaan mikro usaha pertanian di pedesaan.
  4. Mengidentifikasi tentang persepsi nasabah terhadap kegiatan pembiayaan mikro yang berkaitan dengan kemudahan serta kesesuaian, kelancaran serta taraf bunga pinjaman pembiayaan mikro pedesaan. 
  5. Merumuskan alternatif kebijakan yg sinkron baik dari sisi petani menjadi pelaku usaha maupun dari sisi forum pembiayaan menjadi penyedia dana.

Keluaran
Dari penelitian ini diperlukan bisa diperoleh keluaran-keluaran yang berguna sesuai dengan tujuan yg ditawarkan.
  1. Review mengenai kebijakan pembiayaan mikro bisnis pertanian pada pedesaan yg sudah diaplikasikan. 
  2. Data serta berita tentang forum-forum keuangan mikro yg melayani usaha pertanian, termasuk aturan main dan representasi yg diterapkan.
  3. Data dan warta mengenai hambatan-kendala yg dihadapi dalam mengoperasikan pembiayaan mikro usaha pertanian pada pedesaan.
  4. Data serta informasi tentang persepsi nasabah terhadap kegiatan pembiayaan mikro yang berkaitan menggunakan kemudahan dan kesesuaian, kelancaran serta taraf bunga pinjaman pembiayaan mikro pedesaan. 
  5. Alternatif kebijakan yang sesuai, baik dari sisi petani menjadi peminjam juga menurut sisi lembaga pembiayaan menjadi penyedia dana.

Kerangka Pemikiran
Hingga saat ini sudah banyak diintroduksikan banyak sekali skim pembiayaan bisnis pertanian. Jenis pembiayaan yg dikenal luas di masyarakat antara lain Kredit Ketahanan Pangan (KKP) bersama skim-skim lainnya yg ditujukan buat pengembangan sektor pertanian serta pedesaan. Sumber-asal pembiayaan yg berasal berdasarkan acara pemerintah, disediakan melalui dana pada negeri maupun pinjaman lunak dari luar negeri. Sumber-asal pembiayaan lain, yaitu asal-asal pembiayaan formal seperti perbankan serta non perbankan disamping sumber-sumber pembiayaan non formal, misalnya pedagang, pelepas uang serta kelompok.

Masing-masing skim tersebut mempunyai anggaran main serta prosedur dan persyaratan administrasi yg bhineka. Skim kredit program misalnya, ditujukan buat menaikkan akses pelaku usaha pertanian terhadap asal permodalan. Demikian pula menurut segi target, masing-masing skim juga bhineka. KKP dimaksudkan buat membantu permodalan petani yg berusaha pada tumbuhan pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar), pengembangan budidaya tebu, peternak, petani ikan serta pengadaan pangan (padi, jagung serta kedelai). Sementara target Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) bersifat umum yg ditujukan buat seluruh kegiatan ekonomi termasuk usaha pertanian dalam arti luas, menggunakan penyaluran kredit melalui koperasi.

Setiap skim mempunyai kebijakan dasar serta anggaran main pada mekanisme realisasinya, walaupun pada operasionalnya tidak lepas menurut permasalahan. Bagi pengelola lembaga pembiayaan, kasus yang dihadapi bervariasi, mulai berdasarkan pemilihan calon peminjam hingga pada implementasinya pada lapangan. Sedang bagi para pelaku bisnis, permasalahan yang dihadapi tidak hanya dalam aktifitas usaha, tapi jua pertarungan yang berkaitan menggunakan aksesibilitas terhadap skim-skim pembiayaan yg ada (Syukur et al, 2003).

Antara pelaku bisnis serta forum pembiayaan terjalin hubungan yg bervariasi, diantaranya bersifat independen, kooperatif atau hubungan pada ikatan pemasaran. Bagi pelaku usaha proses transaksi memerlukan porto (Syukur et al, 2003) yang mencakup porto mencari fakta, biaya negosiasi serta porto administrasi. Besarnya porto-porto tadi sangat tergantung dalam mekanisme serta mekanisme yang diberlakukan oleh masing-masing skim pembiayaan. Disamping itu, para pelaku bisnis mempunyai evaluasi terhadap lembaga pembiayaan yg dijadikan asal permodalan. Dengan demikian mereka memiliki aspirasi serta pertimbangan tertentu pada mengakses lembaga-lembaga pembiayaan yang terdapat. 

Lembaga asal pembiayaan, umumnya memiliki indera-alat dan persyaratan standar buat melakukan seleksi terhadap calon peminjam. Cara ini ditempuh menggunakan maksud buat melindungi forum mengingat lembaga pembiayaan adalah bisnis yang terkait menggunakan resiko dan menghindari kemungkinan melayani pengguna yg nir perspektif. Sebaliknya, forum pembiayaan memberikan semacam insentif bagi peminjam yang memenuhi kewajiban-kewajiban tepat saat serta sinkron ketentuan yang diberlakukan. 

Dengan pemahaman secara baik serta komprehensif baik mengenai perilaku pihak pengguna (pelaku usaha pertanian) dan perilaku pihak lembaga pembiayaan adalah keterangan krusial yg dapat dipergunakan menjadi masukan serta bahan pertimbangan pada merumuskan skim pembiayaan yang sinkron. Artinya, skim pembiayaan tadi dapat diterima oleh kedua fihak dari karakteristik masing-masing, baik menurut pihak pengguna juga menurut pihak forum pembiayaan.

Lokasi Kajian serta Responden
Penelitian dilaksanakan di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat serta Sulawesi Selatan. Ketiga provinsi tersebut adalah sebagian menurut provinsi-provinsi yg sudah dilaksanakan acara skim pembiayaan mikro bisnis pertanian. Di masing-masing provinsi dipilih 2 lokasi (desa) dengan dasar adanya program skim pembiayaan mikro usaha pertanian komoditas pangan serta hortikultura sayuran. Dengan demikian, jumlah lokasi penelitian merupakan 3 provinsi menggunakan masing-masing 2 lokasi. 

Responden yang diwawancara terdiri dari tempat tinggal tangga petani partisipan forum pembiayaan mikro formal serta partisipan forum pembiayaan mikro informal. Jumlah responden sebanyak 30 rumah tangga petani partisipan pada lembaga pembiayaan, 2 lembaga pembiayaan formal dan 2 lembaga pembiayaan informal buat masing-masing kabupaten.

Jenis Data dan Analisis Data
Jenis Data
Data yang dikumpulkan terdiri berdasarkan 2 jenis data, yaitu data utama serta data sekunder. Data primer tempat tinggal tangga digali menggunakan wawancara individual menggunakan Daftar Pertanyaan yg terstruktur. Disamping itu data primer yang bersifat umum dan agregat digali dengan wawancara grup. Data utama jua digali berdasarkan lembaga pembiayaan formal serta lembaga pembiayaan informal. Sedangkan data sekunder dihimpun menurut administrasi tempat kerja-kantor dinas terkait, forum keuangan formal, laporan-laporan serta aneka macam publikasi resmi. 

Analisis Data
Analisis dilakukan dengan membangun indikator-indikator spesifik. Indikator tadi digunakan buat melihat dan mendiskusikan masing-masing tujuan serta keterkaitannya satu menggunakan lainnya. Disamping itu, memperbandingkannya dengan hasil-hasil penelitian serupa sebelumnya juga merupakan bagian menurut analisis. Secara umum naratif-analitik adalah indera primer analisis dalam penelitian ini, yang didominasi sang penggunaan metoda hitungan sederhana sinkron keperluan pembahasan dan diskusi. 

Review tentang kebijakan pembiayaan mikro usaha pertanian pada tujuan pertama dianalisis secara naratif berupa uraian serta diskusi yg didasarkan pada berita sekunder dari publikasi-publikasi formal. Sedangkan identifikasi tentang lembaga-forum keuangan mikro yg melayani pembiayaan bisnis pertanian pada tujuan ke 2 dianalisis secara naratif berupa keberadaan banyak sekali lembaga pembiayaan yg terdapat, berdasarkan asal warta berupa laporan-laporan dinas terkait dan publikasi formal yang dikumpulkan. Sementara identifikasi mengenai hambatan-hambatan pada realisasi pembiayaan dalam tujuan ketiga dianalisis secara naratif berupa persentase, nilai rata-homogen dan lain-lain yang sebagian akbar didasarkan pada data primer taraf tempat tinggal tangga petani sebagai partisipan forum pembiayaan. Demikian jua halnya dengan identifikasi mengenai persepsi terhadap kegiatan pembiayaan mikro termasuk kemudahan dan kesesuaian, kelancaran serta tingkat bunga sekaligus alasan-alasan membuat keputusan tentang keikutsertaan menjadi partisipan dalam tujuan keempat dianalisis secara deskriptif (nilai rata-homogen, tabulasi silang, frekuensi distribusi serta lain-lain) berdasarkan data serta kabar utama yang dihimpun menurut wawancara kuesioner tempat tinggal tangga petani yg diperbandingkan antar jenis pembiayaan. Selanjutnya, analisis naratif pula dilakukan dalam mermuskan cara lain kebijakan dalam tujuan kelima berupa uraian dan diskusi secara komprehensif menurut temuan-temuan dalam tujuan pertama hingga keempat.

Materi yg dibahas serta didiskusikan dalam bab ini berdasarkan dalam aneka macam analisis dari data serta kabar yang dikumpulkan. Dari holistik data dan fakta tersebut dibangun indikator-indikator yang dijadikan dasar interpretasi dalam pelaporan. Pada bagian berikut didiskusikan aspek-aspek yg meliputi: (i) tinjauan kebijakan tentang pembiayaan mikro, (ii) keragaan forum pembiayaan mikro, (iii) kendala-hambatan dalam realisasi pembiayaan (iv) persepsi petani terhadap forum pembiayaan mikro, dan (v) diakhiri menggunakan konklusi, saran-saran serta akibat kebijakan. Masing-masing aspek dibahas secara terpisah dengan permanen memperhatikan keterkaitan satu dengan lainnya.

Tinjauan Kebijakan Tentang Pembiayaan Mikro Pertanian
Perubahan Sistem Pembiayaan Pertanian serta Kebijakan.
Sejak sistem pembiayaan buat pertanian yang difasilitasi pemerintah menggunakan acara kredit (dengan karakteristik taraf bunga rendah, bersifat masal dan lain-lain) mengakibatkan petani nir “mengenal” sistem kredit komersial. Di sisi lain, berdasarkan peraturan tahun 1999, Bank Sentral (BI) tidak lagi menyediakan paket program kredit serta acara kredit bersubsidi yang telah diakhiri secara bertahap pada tahun 2003. Adanya peraturan Bank Indonesia yg menghentikan likuiditas perkreditan, pemerintah mereduksi skim kredit bersubsidi dan satu-satunya jasa kredit keuangan buat pertanian adalah Lembaga Pembiayaan Mikro (LPM) atau Micro-Finance Institution (MFI).

Berbagai penelitian mengindikasikan bahwa pola pembiayaan yg menggunakan sistem subsidi (“supply leading approach”) membentuk kemacetan pengembalian kredit yang mengakibatkan tunggakan yang sangat besar . Pendekatan lain adalah menggunakan melibatkan institusi pembiayaan pedesaan menjadi forum intermediary yg terkait menggunakan penyerapan dana dari pedesaan dan didistribusikan kembali pada bentuk kredit (“demand following approach”). Skim ini tidak menjanjikan selama tingkat aliran dana di pedesaan terbatas dan dalam jumlah yg relatif sedikit.

Gambaran serupa diperoleh menurut pengalaman beberapa negara pada Asia, bahwa lemahnya infrastruktur pedesaan menyebabkan kerugian bagi posisi warga miskin di pedesaan. Survey Bank Dunia tentang kemiskinan di Indonesia menyimpulkan bahwa penduduk miskin memiliki sedikit peluang pada memperoleh pendapatan dengan posisi ekonomi yg kurang menguntungkan.

Program Pembiayaan Pertanian dari waktu ke waktu
a. Program BIMAS
Kredit Bimas yg pada kelola oleh BRI mulai diimplementasikan tahun 1967/1970. Memotivasi BRI buat menciptakan BRI Unit Desa pada poly loka. Dana kredit disediakan menurut subsidi pemerintah (BI) dalam taraf bunga 3 % pertahun sementara tingkat bunga BRI sebesar 12%. Total Kredit Bimas yg disalurkan semenjak dari mulai program dilaksanakan (1967/70) sampai demam isu tanam 1984/85 mencapai Rp 636,7 miliar menggunakan total nasabah 28.847 petani. Selama periode 1970-75 jumlah pinjaman yang dilunasi tepat ketika sebanyak 80%, sementara sejak 1976 dan selanjutnya hanya 57%. Faktor yang turut berkontribusi terhadap tingginya tunggakan diduga karena adanya kebijakan “pengampunan hutang” yang membangun ekspektasi diantara petani nasabah bahwa pinjaman tersebut suatu hari nir harus dibayar. Memang dengan acara Bimas skala nasional, pemerintah mempunyai cerita sukses berupa swasembada produksi padi dalam tahun 1984, walaupun tahun 1983 program Bimas diakhiri. 

b. Kredit Usaha Tani (KUT)
Program KUT diintroduksikan 1985 yang ditangani secara administrasi sang Koperasi Unit Desa (KUD). Program ini adalah keliru satu menurut acara-acara yang seakan-akan melanjutkan program yg pernah terdapat sebelumnya menggunakan berbagai modifikasi. KUT disediakan buat petani yang belum memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan yg diperlukan buat usahatani dari asal pembiayaan sendiri. KUT disalurkan melalui tempat kerja cabang BRI ke KUD yg didistribusikan pada para petani anggota KUD. Kredit disediakan untuk Kelompok Tani pada tingkat bunga 12%.

Fakta menerangkan bahwa banyak kredit yang tidak hingga dalam petani yang ditargetkan, terutama petani miskin yang menjadikan sangat rendahnya tingkat pengembalian. Kredit melalui KUT sangat besar yang meningkat dari Rp 300 miliar pertahun (sebelum krisis ekonomi mencapai Rp 8 triliun dalam demam isu tanam 1998/99). Sejak program ini diaplikasikan, besarnya pembayaran balik hanya kurang lebih 25%, walaupun taraf bunga diturunkan menurut 14% pada tahun 1985-1995 serta sebagai 10,5% dalam tahun 1995-1998/99).

c. Kredit Ketahanan Pangan (KKP)
Pemerintah mengubah KUT menggunakan kredit acara yang diperbaharui, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Aturan pada KKP kembali dalam keikut sertaan bank yg berhadapan dengan peluang resiko (executing) mengakibatkan mereka sangat berhati-hati. Tingkat bunga masih disubsidi, dan pemerintah mengurangi subsidi tersebut secara bertahap hingga 2004.

Pada tahun 2000, pemerintah mengaplikasikan KKP menggunakan flafon Rp 2,082 triliun buat paket flora padi, palawija, perkebunan tebu, peternakan. Subsidi tingkat bunga dibayar pemerintah yg secara bertahap dikurangi. Sumber pendanaan tergantung dalam bank yg bersangkutan, dengan bunga sebesar 12% buat flora pangan serta 16% buat peternakan, perkebunan dan perikanan. 

Sampai Desember 2001, jumlah peminjam menggunakan aturan KKP yang baru sangat rendah (20%), jauh dibawah yg diprediksikan semula. Padahal, jika rintangan berupa tunggakan bisa ditangani dengan baik, kredit KKP diyakini dapat berkembang. Akan namun yg diragukan adalah kesulitan pada menghadapi lebih banyak didominasi petani berlahan sempit. Kelompok warga tersebut sangat terbatas pengetahuan mengenai perkreditan dan mengakibatkan mereka kesulitan menjangkau bank formal yang menyediakan kredit pembiayaan mikro.

Sisitem Pembiayaan Pertanian
Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, pemerintah Indonesia sudah mengaplikasikan mekanisme kredit subsidi berupa acara Kredit UsahaTani (KUT). Program ini bertujuan buat menggerakkan dengan cepat likuiditas dalam penghasil serta konsumen melalui prosedur sistem delivery . Selanjutnya pemerintah mengubah KUT menggunakan acara kredit yang baru, yaitu Kredit Ketahanan Pangan (KKP). Aturan main KKP pulang pada partisipasi bank menggunakan pertimbangan resiko (executing). Pada Januari 2002, jumlah peminjam melalui KKP menggunakan aturan yang baru merupakan sangat sedikit, jauh dibawah perkiraan awal. 

Dana pedesaan merupakan artikulasi strategi pembiayaan pedesaan yang lebih penekanan dalam perluasan jangkauan ketimbang kelengkapan kredit bersubsidi. KKP adalah satu dari skim bersubsidi yang didukung pemerintah sudah dikurangi secara sedikit demi sedikit serta diakhiri dalam tahun 2004. Untuk mengatasi masalah petani sehabis krisis pada pedesaan, Departemen Pertanian meluncurkan program penguatan modal secara tetap menggunakan pembentukan Lembaga Pembiayaan Mikro yang adalah upaya buat pemberdayaan petani.

Keragaan Lembaga Pembiayaan Mikro di Pedesaan
Pembiayaan mikro pertanian pada pedesaan sudah diaplikasikan dan disalurkan tidak hanya melalui lembaga-lembaga formal tapi pula melalui lembaga informal. Lembaga formal yang ditugasi menyalurkan antara lain bank-bank pemerintah serta bank swsata. Sedangkan lembaga-forum informal yg turut berperan meliputi pedagang input pertanian, pedagang hasil-output pertanian dan jua para pedagang yg berfungsi kedua-duanya, yaitu pedagang input dan pedagang hasil. Sementara, berdasarkan norma atau berdasarkan segi konduite dan pola sikap rakyat petani, memiliki hutang bukanlah merupakan sesuatu yang membuat malu. Bahkan berhutang untuk memenuhi keperluan pembiayaan usahatani telah merupakan hal yg biasa dilakukan. Penerapan sistem bunga umumnya bisa diterima rakyat lantaran dievaluasi menjadi pembayaran jasa pinjaman. Lembaga pembiayaan sistem syariah belum dapat diterapkan dalam warga di pedesaan. Sumber pembiayaan yang beraqsal dari petani sendiri seringkali disisihkan berdasarkan hasil pertanian serta disimpan/ditabung dalam bentuk hewan ternak atau perhiasan emas, menggunakan pertimbangan bahwa jenis barang ini gampang untuk pada uangkan (dengan cara serupa pula ditemukan beberapa perkara buat persiapan dan pelaksanaan menunaikan ibadah haji). Alternatif sumber pembiayaan lain yaitu menggunakan cara meminjam pada lembaga pembiayaan formal atau informal sesuai dengan aksesibilitas masing-masing.

Sumber pembiayaan forum formal yang sebagai pilihan serta dekat menggunakan masyarakat di pedesaan merupakan bank pemerintah khususnya Bank BRI namun bank-bank lain seperti Bank Mandiri, Bank BNI, BPD melalui BPR serta BKK dan lain-lain jua dapat diakses warga . Meskipun di Bank BRI tingkat wilayah penyaluran kredit buat sektor pertanian relatif kecil, akan tetapi di taraf Unit Desa porsi kredit mikro pertanian menduduki urutan pertama. Sementara, kredit mikro informal disalurkan melalui fihak swasta sebagai pelepas uang, misalnya bank Plecit/Kangkung (NTB) serta bank Tuyul (Jateng). Lembaga-forum informal ini umumnya gampang diakses oleh siapa saja yg memerlukan, secara cepat, jarak dekat, saat dan akbar pinjaman sinkron kebutuhan, menggunakan prosedur sederhana dan tanpa agunan, tapi menggunakan tingkat bunga yg lebih tinggi. Hubungan pinjaman demikian lebih berdasarkan pada agama ketimbang jamianan seperti halnya institusi pembiayaan komersial.

Pada kenyataannya, lembaga formal pembiayaan mikro pada lokasi penelitian lebih diakses oleh golongan petani yg menguasai huma luas dan/atau pedagang secara individual. Sedangkan para petani yang menguasai lahan sempit mengalami kesulitan mengakses lembaga formal tadi yg diantaranya disebabkan belum memiliki aset yg bisa dijadikan jaminan (seperti sertfikat pemilikan tanah, BPKB tunggangan bermotor dsb.). Bahkan sebagian akbar diantara mereka, kalaupun memiliki masih takut serta enggan menjadikannya penjamin pinjaman. Sedangkan penyaluran kredit melalui kelompok dievaluasi nir mudah, selain agama atas kemampuan serta kejujuran pengurus gerombolan tidak sepenuhnya bisa diandalkan.

Kasus pada Sulawesi Selatan, adanya satu forum mediator IFC-Pensa (International Funancing Corporate – Pengembangan Usaha) yg berhasil sebagai penghubung antara pihak perbankan dan petani. Lembaga ini adalah keliru satu LSM berdasarkan World Bank Group yang mengkhususkan diri dalam upaya peningkatan tingkat hidup warga melalui penciptaan peluang usaha pada usaha kecil dan menengah (UKM). Di kabupaten Bantaeng Sulsel, IFC-Pensa berperan menjadi lembaga mediator antara pihak perbankan (BSM Makassar) dengan kelompok petani (usahatani jagung). Lembaga ini nir hanya berfungsi sebagai mediator penyaluran kredit, akan tetapi pula bertindak sebagai technical assistance yg membantu petani pada pengembangan SDM dan kelembagaannya.

Berbagai program pembiayaan mikro sudah direalisasikan baik sang lembaga perbankan maupun lembaga-forum pemerintah misalnya Pemerintah Daerah/Bappeda dan Departemen Pertanian. Tetapi, kredit tadi acapkali kali tidak terserap lantaran banyak sekali faktor, diantaranya tidak tepat saat. Selain itu adanya pandangan pihak-pihak eksklusif yg beranggapan bahwa kredit program adalah hibah berdasarkan pemerintah yang tidak perlu dikembalikan serta menjadikan terjadinya tunggakan. Di beberapa lokasi masih ada program donasi yang dikelola secara otonom serta disalurkan melalui kelembagaan Kelompok Tani, Lembaga Keuangan Mikro yg adalah transformasi berdasarkan P4K atau koperasi. Akan tetapi kiranya masih diperlukan training forum-lembaga tadi agar dapat berperan lebih efektif. Disamping itu, diperlukan revitalisasi tenaga penyuluh dan aktivitas penyuluhan supaya adopsi teknologi dapat lebih efektif sekaligus pemanfaatan dana pembiayaan mikro yg disediakan.

Hambatan-Hambatan Realisasi Kredit Pembiayaan Mikro
Permodalan buat pembiayaan bisnis pertanian, secara umum dari dari 2 sumber, yaitu dari modal sendiri dan dari pinjaman atau kredit menurut pihak lain. Dari pinjaman bisa dibagi dalam 3 jenis kredit, yakni (i) kredit acara pemerintah, (ii) kredit berdasarkan forum formal, seperti perbankan/BPR, serta (iii) kredit dari forum informal, misalnya pedagang, pelepas uang, gerombolan dan sebagainya. Kasus pada lokasi penelitian di pedesaan NTB dan Jawa Tengah, secara umum dikuasai petani lebih akses terhadap lembaga informal. Sangat sedikit petani yg memanfaatkan forum pembiayaan formal pada mendukung permodalan usahataninya. Tapi di Sulawesi Selatan, jumlah petani yg sudah mengakses asal-asal pembiayaan mikro formal terdapat pada porsi yg lebih besar , terutama dalam BRI Unit Desa. Selain itu, jua dijumpai beberapa petani yang memakai jasa pegadaian menjadi forum formal penyedia dana buat modal usahataninya.

Dana Kelompok Tani yg selama ini banyak membantu petani pada pembiayaan usahatani adalah berdasarkan donasi pemerintah berupa acara BPLM yang adalah bagian berdasarkan Proyek Peningkatan Ketahanan Pangan (P2KP). Khusus di di Sulawesi Selatan acara serupa sebagian berasal menurut Dana Tanggap Darurat. Pengembalian pinjaman ke kelompok dilakukan sesudah panen dan jasa bunga pinjaman bervariasai tapi dalam kisaran antara 1 hingga 1,5 persen. Secara generik pengembalian kredit pada tingkat petani relatif tertib dan lancar.

Berbagai hambatan dalam mengakses kredit pada lembaga-forum yg terdapat dirinci dari jenis masing-masing kredit yaitu kredit acara, kredit formal dan kredit informal, seperti berikut ini.

(i). Kredit Program
Kendala utama buat menerima kredit acara pemerintah (sistim bergulir) merupakan terbatasnya dana karena sangat tergantung dari alokasi anggaran pemerintah. Lokasi yang dipercaya layak buat menerima dana program telah dipengaruhi menurut pertimbangan menggunakan prioritas serta sasaran eksklusif. Walaupun direncanakan menggunakan sistem bergulir dalam kelompok berikutnya, akan tetapi pada pelaksanaannya dana yang digulirkan, beberapa perkara, sebagai tidak utuh jumlahnya seperti pada awal acara. Hal ini terjadi dampak tidak ada ketegasan sejak awal, pengawasan dan hukuman yg nir jelas. Akibatnya dana yang diterima grup berikutnya tidak memadai lagi buat suatu tujuan yang direncanakan. Sementara kredit program yg bersifat komersial (seperti KKP), dengan kondisi-kondisi yang sulit diakses petani. Kelompok Tani nasabah KKP wajib menyediakan agunan dan kelompok yg bersangkutan nir memiliki gambaran buruk dan wajib lunas KUT.

(ii). Kredit Formal
Lembaga kredit formal (perbankan juga BPR) mempunyai potensi yg akbar karena lembaga ini secara legal formal mempunyai kewenangan buat menghimpun dana simpanan rakyat. Akan namun masih sedikit rakyat yg mengakses lembaga ini. Hambatan realisasi kredit formal bisa dari menurut ke 2 pihak, perbankan sebagai penyedia dana serta petani menjadi pengguna. Pihak perbankan masih menduga sektor prtanian sangat beresiko dan menerapkan prinsip kehati-hatian. Seleksi nasabah yang ketat diberlakukan dan dengan persyaratan wajib memiliki agunan dirasakan memberatkan. Apalagi jika agunan dalam bentuk sertifikat tanah yg dianggap sebagai hal yg sulit dipenuhi petani. Sementara berdasarkan sisi petani, selain persyaratan ketat pula mekanisme administrasi dinilai rumit serta memerlukan saat lebih lama . Akibatnya, waktu petani membutuhkan dana yang bersifat segera (misalnya buat membeli obat-obatan), dana tadi belum tersedia. Selain itu, sebagian besar petani beranggapan bahwa mekanisme pembayaran wajib dilakukan bulanan. Padahal di lembaga perbankan formal disediakan skim musiman (terutama BRI) misalnya per 3 bulan, 6 bulan atau 1 tahun. Informasi yang nir lengkap tadi kiranya masih diharapkan sosialisasi yang lebih intensif pada masa mendatang.

(iii). Kredit Informal
Diantara jenis forum pembiayaan yg banyak membantu petani adalah lembaga kredit informal. Kredit pada lembaga ini umumnya mudah diakses karena persyaratan dan prosedur administrasi sederhana. Kemudahan akses tersebut didasari dalam prinsip agama karena telah saling mengenal antara debetur serta kreditur, misalnya saudara, tetangga, mitra kerja dan interaksi kekerabatan yg lain. Kasus peminjam baru yg belum begitu dikenal, prinsip kehati-hatian tetap jadi pertimbangan para kreditur dengan cara memerlukan surat keterangan dari orang-orang yang dikenalnya, disamping jumlah pinjaman dibatasi dan dikenakan jasa pinjaman sedikit lebih tinggi. Walaupun prosedur pinjaman dalam lembaga informal tadi sederhana dan gampang, ketersediaan dana relatif terbatas serta tingkat bunga lebih tinggi menurut pada lembaga pembiayaan formal. Seorang peminjam yg lebih memilih forum informal dibandingkan menggunakan lembaga formal menyampaikan pendapatannya. Dengan mekanisme yang rigid dan administrasi yg rumit dan ketika yg usang, porto yang diperlukan buat pencairan dana pinjaman pada forum formal menjadi lebih tinggi dibandingkan wajib membayar kelebihan taraf bunga pada lembaga informal.

Persepsi Petani Terhadap Pembiayaan Mikro Pedesaan
Dari banyak sekali asal pembiayaan pertanian, banyak ditawarkan skim-skim kredit buat sub sektor flora pangan dan hortikultura sesuai kondisi masing-masing lokasi. Bagi para petani yang memiliki poly keterbatasan, baik pendidikan maupun pengetahuan, kadang kala mengalami kesulitan dalam menilai berbagai skim kredit yang ditawarkan. Tingkat pengetahuan petani suatu daerah terhadap eksistensi forum pembiayaan biasanya masih rendah yang terkait menggunakan aksesibilitas daerah yang bersangkutan. Di kabupaten Lombok Timur NTB menggunakan padi sebagai tanaman secara umum dikuasai, dengan aksesibilitas yang nisbi baik, lebih mengenal aneka macam forum pembiayaan yang ada di daerahnya dibandingkan dengan di daerah-daerah lain (wilayah yg secara umum dikuasai bawang merah, di kabupaten yg sama; lebih banyak didominasi jagung serta kentang pada Sulawesi Selatan serta secara umum dikuasai kedele dan cabe merah pada Jawa Tengah). 

Mayoritas petani secara generik mengetahui bahwa taraf bunga asal pembiayaan formal memang lebih rendah, akan tetapi prosedur administrasi dievaluasi sulit, waktu penyaluran usang/lambat, serta jumlah kadangkala nir sinkron misalnya yg diperlukan. Sebaliknya, asal pembiayaan informal misalnya pedagang, pelepas uang dan grup, mekanisme administrasi sederhana, ketika pencairan pinjaman cepat/sempurna waktu sesuai kebutuhan tapi dengan tingkat bunga lebih tinggi. Tetapi demikian, penilaian petani terhadap taraf bunga sangat nisbi. Beberapa petani beranggapan bahwa dengan kesediaan menaruh pinjaman lebih diartikan sebagai “donasi” atau “pertolongan” terhadap mereka pada mengatasi masalah pembiayaan usahatani. Sehingga taraf bunga yang wajib dibayar lebih tinggi dipercaya sebagai balas jasa serta adalah hal yang lumrah serta nir memberatkan.

Terhadap pembiayaan dengan kredit program, sebagian petani beranggapan bahwa prosedur administrasi dinilai mudah, tapi sayangnya realisasi penyalurannya dinilai sangat lambat. Hal ini terkait dengan aturan serta mekanisme dan sasaran acara yang harus kentara. Dalam pelaksanaannya selalu melibatkan kelompok-kelompok tani yg berperan aktif sebagai penanggung jawab. Para petani di NTB beranggapan bahwa menjadi anggota kelompok merasa sangat gampang mengikuti kredit acara lantaran segala sesuatunya diurus dan diselesaikan sang ketua serta pengurus grup. Hal serupa jua dialami sang petani pada Sulawesi Selatan yang tidak mengalami kesulitan dalam menerima BPLM.