PENGERTIAN MANAJEMEN BEBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah 
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah dalam wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak terlepas menurut konteks gerakan “restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan hadiah otonomi yang lebih akbar pada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan sang beberapa konsep pengelolaan sekolah, seperti :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.

Konsep-konsep tersebut menyebutkan bahwa sekolah ditargetkan buat melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yg berada dalam sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for excellence) dan effective schools.

Manajemen berbasis sekolah dalam intinya adalah memberikan wewenang terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan pemugaran kualitas secara terus menerus. Dapat pula dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah dalam hakikatnya adalah penyerasian asal daya yg dilakukan secara berdikari sang sekolah menggunakan melibatkan seluruh kelompok kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah secara eksklusif pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mancapai tujuan pendidikan nasional.

Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal berdasarkan tiga kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya efektif buat mencapai sasaran. Berbasis mempunyai kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga buat belajar dan mengajar serta loka buat mendapat serta memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diartikan menjadi penggunaan asal daya yang dari dalam sekolah itu sendiri pada proses pedagogi atau pembelajaran. 

Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, manajemen berbasis sekolah berpijak pada Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa bila seorang atau sekelompok orang memiliki kepuasan buat mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok orang tadi akan memiliki tanggung jawab yg besar untuk melakukan apa yg telah diputuskan. Berangkat berdasarkan teori ini, banyak manajemen berbasis sekolah yang dikemukakan oleh para ahli. 

Eman Suparman misalnya yang dikutip oleh Mulyono mendefinisikan manajemen berbasisi sekolah sebagai penyerasian sumber daya yg dilakukan secara berdikari sang sekolah menggunakan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah pada pendidikan nasional. Sementara itu Slamet mengartikan manajemen berbasis sekolah menjadi pengkoordinasian dalam penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (berdikari) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen buat mencapai tujuan sekolah pada kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan gerombolan kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah wajib bersifat terbuka dan inklusif terhadap sumber daya di luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras menggunakan tujuan pendidikan nasional. 

Priscilla Wohlster serta Albert Mohrman menyebutkan secara luas bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pendekatan politis buat mendesain ulang organisasi sekolah menggunakan menaruh wewenang dan kekuasaan pada partisipasi sekolah pada taraf lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yg dimaksudkan merupakan partisipasi ketua sekolah, guru serta warga lokal.

Sesuai dengan pelukisan pada atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan hadiah swatantra penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri pada menyebarkan dan melakukan penemuan pada berbagai program buat menaikkan mutu pendidikan sesuai menggunakan kebutuhan sekolah sendiri yg tidak terlepas berdasarkan kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), serta sekolah wajib sanggup mempertanggungjawabkan kepada masyakat. Artinya manajemen berbasis sekolah dalam hakikatnya merupakan penyerasian sumberdaya yg dilakukan secara berdikari oleh sekolah dengan melibatkan semua grup kepentingan yang terkait dengan sekolah secara eksklusif dalam proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional serta Dinas Pendidikan Nasional, terminologi yg populer adalah MPMBS. MPMBS pada pada dasarnya merupakan swatantra, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat, dalam penyelenggraan pendidikan. Titik tekan MPMBS perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan tentang layanan purna lulus. 

Secara umum skema berpikir kebijakan MBS di Indonesia merupakan sebagai berikut:

Gambar  Skema Berpikir Kebijakan MBS pada Indonesia

A. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic pada manajemen berbasis sekolah (MBS) terdapat 3 katakteristik yg harus dikedepankan berdasarkan yang lain berdasarkan manajemen, diantaranya adalah: pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yg berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan yg didesentralisasikan pada stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang meliputi keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, meliputi kurikulum, kepegawai, keuangan, wahana-prasarana serta penerimaan murid baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada sekolah-sekolah, tetapi diregulasikan yg mengatur fungsi kontrol sentra terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.

Edmon mencoba mengemukakan berbagai indikator yang menandakan karakteristik dari konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) antara lain merupakan: 
1. Lingkungan sekolah yg kondusif serta tertib;
2. Sekolah memiliki visi serta target mutu yg ingin dicapai;
3. Sekolah memilki kepemimpinan yang bertenaga;
4. Adanya asa yang tinggi dari personal sekolah (kepala sekolah, guru dan staf termasuk siswa) untuk berprestasi;
5. Adanya pengembangan staf sekolah yang monoton sinkron tuntutan IPTEK;
6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap aneka macam aspek akademis dan administratif, serta pemanfaan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu;
7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif menurut orang tua anak didik serta rakyat.

Adapun Saud menyatakan beberapa karakteristik dasar diantaranya yaitu, hadiah otonomi yang luas pada sekolah, partisipasi rakyat serta orang tua siswa yg tinggi, kepemimpinan sekolah yg demokratis serta profesional, serta adanya teamwork yg tinggi dan profesional. Pada tataran ini, bila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan dalam taraf sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yg komprehensif serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. 

Apabila melihat karakteristik yg dideskripsikan pada atas menurut dalam aspek geografis Indonesia yg bhineka antara satu dengan yg lainnya, maka akan berimplikasi dalam kemampuan dan karakteristik spesial bagi sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS). Akan tetapi karakteristik khas tadi dibutuhkan dapat memberikan akibat positif terhadap peningkatan personal sekolah, lantaran energi kependidikan serta peserta didik umumnya tiba berdasarkan bebagai sektor atau latar belakang yg tidak selaras, misalnya latar geografis, kesukuan tingkat sosial, ekonomi, juga politik. Atas dasar itulah ciri yang menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu mengoptimalisasikan aspek-aspek tertentu, yaitu mempertinggi kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan sumber daya insan, dan pengelolaan asal daya administrasi.

Selain itu kerjasama antara masyarakat sekolah yg mencakup guru, pegawai, peserta didik, serta wali anak didik dengan masyarakat wajib dibangun atas dasar kredibilitas yang tinggi. Sekolah harus bisa memacu rakyat buat ikut memiliki forum yg bersangkutan guna menumbuhkan iklim kerjasama menggunakan menganut sistem transparansi, baik dalam acara juga dalam hal pengelolaan finansial (keuangan). Di samping itu program yang tersusun sang komponen sekolah wajib sanggup bersifat berkelanjutan (kontinuitas).

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan menaikkan efisiensi mutu serta pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola asal daya yang terdapat, partisipasi masyarakat, serta penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme pengajar, adanya hibah serta sanksi menjadi kontrol, serta hal lain yang bisa menumbuh kembangkan suasana yang aman. 

Menurut Kustini Hardi, terdapat 3 tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Pertama, membuatkan kemampuan kepala sekolah bersama guru serta unsur komite sekolah pada aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk menaikkan mutu sekolah. Kedua, berbagi kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah pada aplikasi pembelajaran yg aktif dan menyenangkan, baik di lingkungan sekolah juga di lingkungan setempat. Ketiga, membuatkan peran serta rakyat yg lebih aktif pada perkara generik persekolahan dari sekolah buat membantu peningkatan mutu sekolah.

Kementerian Pendidikan Nasional menggambarkan bahwa tujuan aplikasi MBS adalah menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian serta inisiatif sekolah pada mengelola dan memberdayakan asal daya yg tersedia, meningkatkan kepedulian rakyat sekolah serta rakyat dalam peyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan beserta, menaikkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga serta pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan mempertinggi kompetensi yg sehat antarsekolah tetang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Secara umum dapat diinterpretasikan bahwa dalam penyelenggaraan MBS setidaknya terdapat empat aspek penting yg harus dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) serta relevansi, keadilan, efektivitas serta efisiensi, serta akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) serta relevasi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada output (hasil dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu dan relevansi ini menjadi satu kesatuan substansi, ialah sebagai hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan menggunakan banyak sekali kebutuhan dan konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada manfaat berdasarkan apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan pada berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (pengaruh), termasuk jumlah ranah pendidikan yg tidak diujikan.

PENGERTIAN MANAJEMEN BEBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah 
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah pada perihal pengelolaan pendidikan di Indonesia nir terlepas menurut konteks gerakan “restrukturisasi serta reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yg lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan sang beberapa konsep pengelolaan sekolah, misalnya :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.

Konsep-konsep tersebut mengungkapkan bahwa sekolah ditargetkan buat melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berada pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for excellence) dan effective schools.

Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah buat melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat pula dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian asal daya yang dilakukan secara mandiri sang sekolah menggunakan melibatkan semua grup kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah secara eksklusif pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mancapai tujuan pendidikan nasional.

Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari 3 kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen merupakan proses memakai asal daya efektif buat mencapai sasaran. Berbasis memiliki istilah dasar basis yg berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar serta mengajar dan loka buat mendapat dan menaruh pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan menjadi penggunaan sumber daya yg dari dalam sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. 

Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, manajemen berbasis sekolah berpijak dalam Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa bila seseorang atau sekelompok orang mempunyai kepuasan buat merogoh keputusan sendiri, maka orang atau grup orang tadi akan mempunyai tanggung jawab yg besar buat melakukan apa yang telah diputuskan. Berangkat dari teori ini, banyak manajemen berbasis sekolah yang dikemukakan sang para pakar. 

Eman Suparman seperti yang dikutip sang Mulyono mendefinisikan manajemen berbasisi sekolah sebagai penyerasian asal daya yg dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua gerombolan kepentingan yg terkait sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sementara itu Slamet mengartikan manajemen berbasis sekolah menjadi pengkoordinasian pada penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, menggunakan melibatkan gerombolan kepentingan yang terkait menggunakan sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah harus bersifat terbuka serta inklusif terhadap sumber daya pada luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras dengan tujuan pendidikan nasional. 

Priscilla Wohlster serta Albert Mohrman menyebutkan secara luas bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah pendekatan politis buat mendesain ulang organisasi sekolah menggunakan memberikan kewenangan serta kekuasaan kepada partisipasi sekolah dalam tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yg dimaksudkan merupakan partisipasi kepala sekolah, pengajar dan masyarakat lokal.

Sesuai dengan pelukisan di atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri dalam membuatkan dan melakukan penemuan dalam berbagai acara buat meningkatkan mutu pendidikan sesuai menggunakan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak terlepas menurut kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yg berkepentingan (stakeholder), dan sekolah wajib mampu mempertanggungjawabkan pada masyakat. Artinya manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara pribadi pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional serta Dinas Pendidikan Nasional, terminologi yang populer adalah MPMBS. MPMBS pada intinya merupakan otonomi, akuntabilitas, dan partisipasi warga , dalam penyelenggraan pendidikan. Titik tekan MPMBS perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan mengenai layanan purna lulus. 

Secara generik skema berpikir kebijakan MBS di Indonesia merupakan sebagai berikut:

Gambar  Skema Berpikir Kebijakan MBS pada Indonesia

A. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) ada 3 katakteristik yang wajib dikedepankan menurut yg lain menurut manajemen, antara lain adalah: pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yang herbi peningkatan mutu pendidikan yg didesentralisasikan pada stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yg meliputi keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, meliputi kurikulum, kepegawai, keuangan, wahana-prasarana dan penerimaan murid baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan pada sekolah-sekolah, tetapi diregulasikan yg mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab pemerintah.

Edmon mencoba mengemukakan banyak sekali indikator yg pertanda karakteristik berdasarkan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) diantaranya merupakan: 
1. Lingkungan sekolah yg kondusif serta tertib;
2. Sekolah memiliki visi serta sasaran mutu yang ingin dicapai;
3. Sekolah memilki kepemimpinan yang kuat;
4. Adanya asa yg tinggi menurut personal sekolah (kepala sekolah, pengajar serta staf termasuk siswa) buat berprestasi;
5. Adanya pengembangan staf sekolah yg monoton sinkron tuntutan IPTEK;
6. Adanya aplikasi penilaian yg terus menerus terhadap banyak sekali aspek akademis serta administratif, serta pemanfaan hasilnya buat penyempurnaan/ perbaikan mutu;
7. Adanya komunikasi serta dukungan intensif dari orang tua siswa dan warga .

Adapun Saud menyatakan beberapa ciri dasar diantaranya yaitu, anugerah otonomi yang luas pada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yg tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis serta profesional, dan adanya teamwork yang tinggi serta profesional. Pada tataran ini, bila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. 

Apabila melihat karakteristik yg dideskripsikan pada atas berdasarkan pada aspek geografis Indonesia yang bhineka antara satu menggunakan yang lainnya, maka akan berimplikasi pada kemampuan dan karakteristik spesial bagi sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS). Akan namun ciri spesial tersebut diharapkan bisa menaruh implikasi positif terhadap peningkatan personal sekolah, karena tenaga kependidikan dan siswa umumnya datang berdasarkan bebagai sektor atau latar belakang yang tidak sama, misalnya latar geografis, kesukuan taraf sosial, ekonomi, maupun politik. Atas dasar itulah karakteristik yg menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu mengoptimalisasikan aspek-aspek eksklusif, yaitu menaikkan kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan asal daya insan, serta pengelolaan asal daya administrasi.

Selain itu kerjasama antara masyarakat sekolah yang meliputi guru, pegawai, peserta didik, dan wali anak didik menggunakan warga harus dibangun atas dasar kredibilitas yang tinggi. Sekolah wajib bisa memacu masyarakat buat ikut mempunyai forum yg bersangkutan guna menumbuhkan iklim kerjasama dengan menganut sistem transparansi, baik pada program maupun pada hal pengelolaan finansial (keuangan). Di samping itu program yg tersusun sang komponen sekolah wajib mampu bersifat berkelanjutan (kontinuitas).

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan menaikkan efisiensi mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola asal daya yang terdapat, partisipasi rakyat, serta penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme pengajar, adanya hadiah serta hukuman menjadi kontrol, serta hal lain yg bisa menumbuh kembangkan suasana yg aman. 

Menurut Kustini Hardi, terdapat tiga tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Pertama, mengembangkan kemampuan ketua sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) buat menaikkan mutu sekolah. Kedua, menyebarkan kemampuan kepala sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada pelaksanaan pembelajaran yang aktif serta menyenangkan, baik di lingkungan sekolah juga di lingkungan setempat. Ketiga, menyebarkan kiprah dan rakyat yg lebih aktif dalam masalah generik persekolahan berdasarkan sekolah buat membantu peningkatan mutu sekolah.

Kementerian Pendidikan Nasional menggambarkan bahwa tujuan aplikasi MBS merupakan menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada mengelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia, meningkatkan kepedulian warga sekolah serta warga dalam peyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama, menaikkan tanggung jawab sekolah pada orang tua, warga serta pemerintah mengenai mutu sekolahnya, dan meningkatkan kompetensi yg sehat antarsekolah tetang mutu pendidikan yg akan dicapai. 

Secara umum bisa diinterpretasikan bahwa pada penyelenggaraan MBS setidaknya terdapat empat aspek penting yang wajib dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) serta relevansi, keadilan, efektivitas serta efisiensi, dan akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevasi pendidikan yang dengan tinggi-tingginya, dengan tolak ukur evaluasi pada hasil (hasil dan outcome) bukan dalam metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu serta relevansi ini sebagai satu kesatuan substansi, artinya menjadi hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Bagi yg memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk dalam manfaat berdasarkan apa yg diperoleh anak didik melalui pendidikan pada aneka macam lingkup/tuntutan kehidupan (impak), termasuk jumlah ranah pendidikan yang tidak diujikan.

PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah adalah terjemahan menurut “school-based management”. MBS adalah kerangka berpikir baru pendidikan, yang menaruh swatantra luas dalam taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru pada pengelolaan pendidikan yg lebih menekankan kepada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai output berdasarkan desentralisasi pendidikan. 

Secara generik, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan menjadi contoh manajemen yg memberikan swatantra lebih akbar kepada sekolah serta mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara pribadi semua masyarakat sekolah (guru, murid, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, serta rakyat) buat menaikkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah tak jarang disandingkan dengan kata administrasi sekolah. Berkaitan menggunakan itu, masih ada tiga pandangan tidak sinkron; pertama, mengartikan administrasi lebih luas menurut pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas menurut pada administrasi (administrasi adalah inti menurut manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan kata administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan sumber-asal, baik personal juga material, secara efektif serta efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan pada sekolah secara optimal. Pengertian manajemen berdasarkan Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan asal daya manusia dan sumber-asal lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), serta mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada megelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian rakyat sekolah dan rakyat pada penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga , serta pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Kewenangan yg bertumpu pada sekolah merupakan inti berdasarkan MBS yg dilihat memiliki taraf efektivitas tinggi dan memberikan beberapa keuntungan berikut:
a. Kebijaksanaan dan wewenang sekolah membawa dampak pribadi pada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif pada melakukan training peserta didik seperti kehadiran, output belajar, taraf pengulangan, taraf putus sekolah, moral pengajar, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat merogoh keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, serta perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya 
a. Dengan syarat setempat, sekolah bisa menaikkan kesejahteraan guru sehingga bisa lebih berkonsentrasi pada tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan masyarakat buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat serta menjamin layanan pendidikan sesuai menggunakan tuntutan warga sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa saat terakhir, kita dikenalkan menggunakan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yg diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya sudah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat bisa mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dicermati bahwa para ketua sekolah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, kiprah primer mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini ada belakangan sejalan menggunakan pelaksanaan swatantra wilayah menjadi kerangka berpikir baru pada pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah sentra buat menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan mengenai penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan pada taraf pemerintah sentra atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan pada sekolah adalah urusan pusat, ketua sekolah dan pengajar wajib melaksanakannya sinkron menggunakan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yg masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran bila nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional telah menyusut lebih menurut separuhnya.

Kita risi, jangan-jangan selama ini lebih menurut separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yang rumit, yang memunculkan aneka macam gosip kebijakan serta melibatkan poly lini wewenang pada pengambilan keputusan serta tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh karena itu, semua pihak yg terlibat perlu tahu sahih pengertian MBS, manfaat, perkara-kasus pada penerapannya, dan yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas serta tanggung jawab taraf sekolah buat membuat keputusan atas perkara signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yang ditetapkan oleh sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah menurut setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yg signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar anak didik yang semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih menurut satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar ) pada Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah pada loka-tempat ini tampaknya nir dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan menurut Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung 1/3 menurut populasi dunia. Tema dari rendezvous adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik pada reformasi pendidikan, tatapi pula menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yg merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki poly bayangan makna. Ia telah diimplementasikan menggunakan cara yg tidak selaras serta buat tujuan tidak sinkron serta pada laju yang berbeda pada tempat yang tidak sinkron. Bahkan konsep yg lebih fundamental dari “sekolah” serta “manajemen” adalah tidak sinkron, seperti berbedanya budaya serta nilai yg melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama di seluruh loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab pada taraf sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting merupakan bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan merogoh unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di semua sekolah.

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah buat menentukan cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting adalah mempunyai konvensi tertulis yg memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan wilayah, kepala sekolah, serta dewan sekolah. Kesepakatan itu wajib menggunakan kentara menyatakan standar yg akan digunakan menjadi dasar evaluasi akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan target, bagaimana sekolah menggunakan asal dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan pembinaan dalam bidang-bidang misalnya dinamika grup, pemecahan perkara dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi dalam gerombolan . Pelatihan ini ditujukan bagi seluruh pihak yg terlibat pada sekolah serta anggota masyarakat, khususnya dalam termin awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, ketua sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan training kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut : 
1. MBS wajib mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara sedikit demi sedikit.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas wajib memperoleh training penerapannya, dalam saat yang sama pula wajib belajar beradaptasi dengan kiprah serta saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat pembinaan serta penyediaan saat bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta daerah wajib mendelegasikan wewenang kepada ketua sekolah, serta kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua murid.

Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka nir berminat buat ikut serta dalam kegiatan yg dari mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak memakai waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan serta aturan. Akibatnya kepala sekolah dan pengajar nir memiliki banyak saat lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua pengajar akan berminat dalam proses penyusunan aturan atau nir ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya mengakibatkan frustrasi dan acapkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus bisa bekerja sama serta memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain pada luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa ketika beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada waktu inilah dewan sekolah mulai terserang “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar nir lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yg berkepentingan kemungkinan akbar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan contoh yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar sudah sangat terkondisi dengan iklim kerja yg selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti peran serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yg rumit serta mencakup aktivitas yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif serta efisien. Tanpa itu, aktivitas yg beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh menurut tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan sudah dilibatkan semenjak awal, mereka bisa memastikan bahwa setiap kendala telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pembinaan yg cukup mengenai MBS dan klarifikasi kiprah serta tanggung jawab dan hasil yg diharapkan pada semua pihak yg berkepentingan. Selain itu, seluruh yang terlibat harus tahu apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang bisa dibagi, sang siapa, serta pada level mana pada organisasi.

Anggota masyarakat sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya asa yg dibebankan pada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain memberitahuakn bahwa wilayah yang paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan harapan mereka dalam 2 maslahat: menaikkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan membentuk keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yg sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yg diperlukan supaya penerapan MBS bisa benar-sahih menaikkan mutu pendidikan. Salah satu taktik merupakan membentuk prakondisi yg aman buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh rakyat sekolah, termasuk masyarakat serta orangtua siswa. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah harus menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, serta akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah buat membuat laporan pertanggungjawaban kepada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan sang Managing Basic Education (MBE) merupakan termin awal yg sangat positif. Juga menciptakan laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster mengenai rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya apabila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah sentra lebih memainkan peran monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah sentra dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk aplikasi block grant yg diterima sekolah.

4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih poly dipenuhi dengan anugerah kabar pada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yg lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola usang berupa penataran MBS.

Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif pada MBS dapat ditinjau berdasarkan kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-pengajar buat melaksanakan proses pembelajaran menggunakan baik, lancar, dan produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron menggunakan waktu yang telah ditetapkan.
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis menggunakan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah serta pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yang sudah ditetapkan. 

PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. MBS adalah paradigma baru pendidikan, yang menaruh otonomi luas pada taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yg dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan pada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis menyampaikan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk cara lain sekolah menjadi hasil menurut desentralisasi pendidikan. 

Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan sebagai contoh manajemen yang memberikan otonomi lebih akbar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara eksklusif seluruh rakyat sekolah (pengajar, anak didik, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, dan warga ) buat meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah sering disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat 3 pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas berdasarkan pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari dalam administrasi (administrasi merupakan inti berdasarkan manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan asal-asal, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu serta seni mengatur proses pemanfaatan asal daya insan serta asal-sumber lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tadi mengungkapkan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir beranjak sendiri, namun membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi memiliki fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kolaborasi yg sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yg sehat antar sekolah mengenai mutu pendidikan yg akan dicapai. 

Kewenangan yang bertumpu dalam sekolah adalah inti menurut MBS yg ditinjau mempunyai taraf efektivitas tinggi dan menaruh beberapa laba berikut:
a. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa dampak eksklusif kepada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif dalam melakukan pembinaan siswa misalnya kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, taraf putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat mengambil keputusan, memberdayakan pengajar, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat antara lain 
a. Dengan kondisi setempat, sekolah dapat menaikkan kesejahteraan pengajar sebagai akibatnya bisa lebih berkonsentrasi dalam tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan warga buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, pada peranannya menjadi manajer juga pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat semakin tinggi dan mengklaim layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan dalam level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat dapat mengelola sekolah secara berdikari. Umumnya dicermati bahwa para kepala sekolah merasa tidak berdaya lantaran terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran primer mereka menjadi pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan menggunakan rutinitas urusan birokrasi yg menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan menggunakan aplikasi otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di taraf pemerintah pusat atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah merupakan urusan pusat, kepala sekolah serta pengajar wajib melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan sentra ke daerah menelusuri saluran birokrasi menggunakan begitu poly simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional sudah menyusut lebih berdasarkan separuhnya.

Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya digunakan buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yg rumit, yg memunculkan aneka macam informasi kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan pada pengambilan keputusan dan tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yg diambil. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami sahih pengertian MBS, manfaat, kasus-kasus pada penerapannya, serta yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar anak didik.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yg sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah buat menciptakan keputusan atas kasus signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yg ditetapkan sang sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah berdasarkan setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh saat perubahan yg signifikan, sistematik, serta berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar murid yg semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu taktik buat mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah sudah dilembagakan pada loka-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah sudah mempraktikkannya lebih berdasarkan satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau pada beberapa sistem sekolah yang akbar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah di loka-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu tanda skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC pada Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi global. Tema berdasarkan rendezvous adalah “mutu pada pendidikan” dan rapikan kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian spesifik diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yg berbeda serta untuk tujuan tidak selaras dan dalam laju yang tidak sama di loka yang tidak selaras. Bahkan konsep yang lebih fundamental dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, misalnya berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan serta praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama pada semua loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas serta tanggung jawab di taraf sekolah, tetapi masih pada kerangka kerja yg ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus mempunyai kapasitas menciptakan keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui serta mengambil unsur-unsur yg ditetapkan pada kerangka kerja pusat yg berlaku di seluruh sekolah.

Sejak awal, pemerintah (sentra serta wilayah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai ketua sekolah dan dewan sekolah buat memilih cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting merupakan memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci kiprah dan tanggung jawab dewan pendidikan wilayah, dinas pendidikan wilayah, ketua sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus menggunakan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah pada upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah memakai sumber dayanya, serta apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan training dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan kasus serta pengambilan keputusan, penanganan perseteruan, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi pada kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yg terlibat pada sekolah dan anggota rakyat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan pembinaan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yg berikut : 
1. MBS wajib menerima dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara bertahap.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas harus memperoleh pembinaan penerapannya, dalam saat yg sama jua harus belajar mengikuti keadaan dengan kiprah serta saluran komunikasi yg baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat training dan penyediaan waktu bagi staf buat bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta wilayah wajib mendelegasikan wewenang pada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya membuatkan kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua siswa.

Beberapa kendala yg mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang nir menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka tidak berminat buat ikut dan dalam aktivitas yang berdasarkan mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah wajib lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan dan aturan. Akibatnya kepala sekolah serta guru nir memiliki banyak waktu lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak seluruh pengajar akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain di luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya lantaran tidak merasa lezat berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada ketika inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yg diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali nir atau belum berpengalaman menerapkan model yg rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan akbar tidak memiliki pengetahuan serta keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya serta bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran serta Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan akbar sudah sangat terkondisi menggunakan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti kiprah serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan akbar akan menyebabkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan contoh yg rumit dan mencakup aktivitas yg beragam mengharuskan adanya koordinasi yg efektif serta efisien. Tanpa itu, kegiatan yg majemuk akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan akbar sama sekali menjauh berdasarkan tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan semenjak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur krusial merupakan training yang relatif mengenai MBS serta penjelasan peran dan tanggung jawab serta hasil yang dibutuhkan pada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat wajib memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yg bisa dibagi, sang siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

Anggota warga sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya pada loka lain menampakan bahwa daerah yg paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan asa mereka pada 2 maslahat: meningkatkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS adalah kebijakan baru yg sejalan dengan kerangka berpikir desentraliasi pada pemerintahan. Strategi apa yg dibutuhkan agar penerapan MBS dapat sahih-benar menaikkan mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah membangun prakondisi yang kondusif buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas serta komitmen seluruh masyarakat sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua murid. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah wajib menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yg demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk menciptakan laporan pertanggungjawaban pada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) adalah tahap awal yg sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang planning kegiatan sekolah. Alangkah serasinya bila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah pusat lebih memainkan kiprah monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah pusat serta pemerintah wilayah perlu melakukan aktivitas bersama dalam rangka monitoring serta evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.

4. Mengembangkan contoh acara pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan training MBS, yg lebih poly dipenuhi dengan pemberian fakta kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dievaluasi lebih memberikan output yang lebih nyata dibandingkan menggunakan pola-pola lama berupa penataran MBS.

Kepemimpinan ketua sekolah yang efektif dalam MBS bisa ditinjau menurut kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan pengajar-pengajar untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, serta produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron dengan saat yg sudah ditetapkan.
3. Mampu menjalin interaksi yg harmonis menggunakan warga sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif pada rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan pengajar dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja menggunakan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yg telah ditetapkan. 

PENGERTIAN EVALUASI KURIKULUM MENURUT PARA AHLI

Pengertian Evaluasi Kurikulum Menurut Para Ahli
Pemahaman tentang pengertian penilaian kurikulum bisa berbeda-beda sesuai menggunakan pengertian kurikulum yang bervariasi dari para pakar kurikulum. Pengertian evaluasi menurut joint committee, 1981 adalah penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto serta Atwi Suparman, 1999 mendefinisikan evaluasi merupakan proses penerapan mekanisme ilmiah buat mengumpulkan data yg valid dan reliabel buat menciptakan keputusan mengenai suatu acara. Rutman and Mowbray 1983 mendefinisikan evaluasi adalah penggunaan metode ilmiah buat menilai implementasi serta outcomes suatu program yg berguna buat proses menciptakan keputusan. Chelimsky 1989 mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yg sistematis buat menilai rancangan, implementasi serta efektifitas suatu program. Dari definisi evaluasi pada atas dapat ditarik konklusi bahwa penilaian adalah penerapan prosedur ilmiah yg sistematis buat menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program. Sedangkan pengertian kurikulum adalah :
a. Kurikulum merupakan seperangkat planning dan pengaturan mengenai tujuan, isi, serta bahan pelajaran dan cara yang dipakai menjadi pedoman penyelenggaraan aktivitas pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan eksklusif (Pasal 1 Butir 19 UU No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional).
b. Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pembelajaran dan metode yg digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan aktivitas pembelajaran (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 725/Menkes/SK/V/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan di bidang Kesehatan.). 
c. Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat planning serta pengaturan tentang isi juga bahan kajian serta pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang dipakai menjadi panduan penyelenggaraan aktivitas belajar-mengajar di perguruan tinggi (Pasal 1 Butir 6 Kepmendiknas No. 232/U/2000 mengenai Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa);
d. Menurut Grayson (1978), kurikulum merupakan suatu perencanaan buat menerima keluaran (out- comes) yg dibutuhkan menurut suatu pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga menaruh pedoman dan instruksi buat menyebarkan taktik pembelajaran (Materi pada dalam kurikulum harus diorganisasikan menggunakan baik agar target (goals) serta tujuan (objectives) pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Sedangkan berdasarkan Harsono (2005), kurikulum adalah gagasan pendidikan yg diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track atau jalur pacu. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum nir hanya gagasan pendidikan tetapi jua termasuk semua acara pembelajaran yang bersiklus dari suatu institusi pendidikan. 

Dari pengertian evaluasi serta kurikulum di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pengertian evaluasi kurikulum merupakan penelitian yg sistematik mengenai manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi menurut kurikulum yang diterapkan. Atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid serta reliable untuk menciptakan keputusan mengenai kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan. 

Evaluasi kurikulum ini dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing komponen kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yg ada pada kurikulum tersebut.secara sederhana evaluasi kurikulum dapat disamakan menggunakan penelitian lantaran penilaian kurikulum memakai penelitian yg sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Perbedaan antara penilaian serta penelitian terletak pada tujuannya. Evaluasi bertujuan buat menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data buat bahan penentuan keputusan tentang kurikulum apakah akan direvisi atau diganti. Sedangkan penelitian mempunyai tujuan yg lebih luas berdasarkan penilaian yaitu menggumpulkan, menganalisis serta menyajikan data untuk menguji teori atau membuat teori baru.

Fokus penilaian kurikulum bisa dilakukan dalam outcome menurut kurikulum tadi (outcomes based evaluation) serta pula bisa pada komponen kurikulum tersebut (intrinsic evaluation). Outcomes based evaluation merupakan penekanan evaluasi kurikulum yang paling tak jarang dilakukan. Pertanyaan yg timbul dalam jenis evaluasi ini adalah “apakah kurikulum telah mencapai tujuan yg harus dicapainya?” dan “bagaimanakah pengaruh kurikulum terhadap suatu pencapaian yang diinginkan?”. Sedangkan fokus evaluasi intrinsic evaluation seperti penilaian sarana prasarana penunjang kurikulum, penilaian sumber daya insan untuk menunjang kurikulum serta karakteristik mahasiswa yg menjalankan kurikulum tadi.lima 

Pentingnya Evaluasi Kurikulum
Penulis setuju menggunakan pentingnya dilakukan penilaian kurikulum. Evaluasi kurikulum bisa menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas serta efisiensi kurikulum tersebut terhadap tujuan yg ingin dicapai serta penggunaan sumber daya, yg mana berita ini sangat berguna sebagai bahan penghasil keputusan apakah kurikulum tadi masih dijalankan namun perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yg baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka penyesuaian menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yg berubah. 

Evaluasi kurikulum dapat menyajikan bahan informasi mengenai area – area kelemahan kurikulum sebagai akibatnya menurut output evaluasi bisa dilakukan proses pemugaran menuju yg lebih baik. Evaluasi ini dikenal dengan penilaian formatif. Evaluasi ini umumnya dilakukan saat proses berjalan. Evaluasi kurikulum pula bisa menilai kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut masih tetap dilaksanakan atau tidak, yg dikenal penilaian sumatif. 

Konsep Evaluasi Kurikulum
Dalam memahami pelaksanaan evaluasi kurikulum, maka sebelumnya penulis ingin mengetengahkan konsep menurut evaluasi itu sendiri. Menurut Guba dan Lincoln bahwa Evaluasi dinyatakan menjadi suatu proses menaruh pertimbangan mengenai nilai- serta arti sesuatu yang dipertimbangkan. Sesuatu yang dipertimbangkan itu sanggup berupa orang, benda, aktivitas, keadaaan atau sesuatu kesatuan tertentu. Evaluasi kurikulum merupakan proses penerapan prosedur ilmiah buat memilih nilai atau efektivitas suatu kegiatan pada membuat keputusan tentang program kurikulum. Evaluasi sistem kurikulum berkaitan dengan manajemen kurikulum yg dimulai berdasarkan termin input evaluation, process evaluation, output evaluation serta outcomes evaluation. Bertujuan buat mengukur tercapainya tujuan serta mengetahui kendala-kendala dalam pencapaian tujuan kurikulum, mengukur serta membandingkan keberhasilan kurikulum dan mengetahui potensi keberhasilannya, memonitor serta mengawasi pelaksanaan acara, mengidentifikasi masalah yang muncul, memilih kegunaan kurikulum, keuntungan, dan kemungkinan pengembangan lebih lanjut, mengukur pengaruh kurikulum bagi kinerja TKPD (Bushnell dalam Harris dan Desimone: 1994). Evaluasi adalah kebutuhan serta mutlak diperlukan dalam suatu sistem kurikulum, karena berkaitan pribadi menggunakan setiap komponen pada sistem instruksional, dalam seluruh tahapan disain, serta pengembangan kurikulum. Asumsi dasar yang dipakai pada penilaian kurikulum bisa berupa khusus yang ditujukan kepada pengukuran potensi serta kinerja insan pada hal ini tenaga kependidikan.

Dari pendapat pada atas, maka da dua utama yg sebagai karakteristik penilaian, yaitu:
1. Penilaian adalah suatu proses atau tindakan. Tindakan tersebut dilakukan untuk memberi makna atau nilai sesuatu. Dengan demikian penilaian bukanlah output atau produk;
2. Penilaian berhubungan dengan pemberian nilai atau arti. Artinya dari hasil pertimbangan evbaluasi apakah sesuatu itu mempunyai niai atau tidak. Dengan kata lain evaluasi bisa menunjukkan kualitas yang dinilai.

Konsep nilai serta arti dalam suatu penilaian kurikulum memiliki makna yg tidak sinkron. Pertimbangan nilai merupakan pertimbangan yang terdapat pada kurikulum itu sendiri. Dalam arti apakah acara pada kurikulum itu bisa dimengerti sang pengajar atau nir. Sedangkan konsep Arti herbi kebermaknaan suatu kurkulum. Misalnya apakah kurikulum yg dinilai menaruh arti buat menaikkan kepandaian murid, apakah kurikulum itu dapat merubah cara belajar siswa kepada yg lebih baik.

Dari hasil penilaian kurikulum serta hubungannya menggunakan konsep nilai dan arti ini sanggup terjadi evaluator menyimpulkan bahwa kurikulum yg dievaluasi itu cukup sederhana dan dimengerti pengajar akan namun tidak mempunyai arti buat menaikkan kualitas pembelajaran murid. Sebaliknya, kurikulum yang dinilai itu memang seikit rumit buat dioterpkan oleh pengajar akan tetapi memiliki nilai yang berarti untuk menaikkan kualitas pembelajaran. 

Menurut pakar kurikulum diantaranya Oliva (1988), mengungkapkan bahwa pengembangan kurikulum merupakan proses yang nir pernah berakhir, meliputi perencanaan, implementasi serta evaluasi. Maka evaluasi itu sendiri merupakan bagian yg terintegrasi dalam suatu proses pengembangan kurikulum. Rumusan tentang tujuan evaluasi dikemukakan sang Purwanto an Atwi (1999: 75) yaitu: (1) Mengukur tercapainya tujuan dan mengetahuai hambatan-kendala dalam pencapaian tujuan kurikulum, (dua) Mengukur dan membandingkan keberhasilan kurikulum dan mengetahui potensi keberhasilannya, (3) Memonitor dan mengawasi pelaksanaan program, mengidentifikasi permasalahan yg timbul, (4) Menentukan kegunaan kurikulum, laba, dan kemungkinan pengembangannya lebih lanjut, (5) Mengukur dampak kurikulum bagi peningkatan kinerja SDM.

Kurikulum dapat dicermati dari dua sisi, pertama, kurikulum menjadi suatu program pendidikan atau kurikulum menjadi suatu dokumen; ke 2, kurikulum menjadi suatu proses atau aktivitas. Dalam proses pendidikan kedua sisi ini sama pentingnya, misalnya dua sisi berdasarkan satu mata uang logam. Evaluasi kurikulum haruslah mencakup kedua sisi tersebut, baik evaluasi terhadap kurikulum yg ditempatkan sebagai suatu dokumen yg dijadikan pedoman jua kurikulum menjadi suatu proses, yakni implementasi dokumen secara sistematis. 

Jika melihat KBK, maka sudah memiliki beberapa komponen utama yaitu kompetensi, pengalaman, taktik pembelajaran serta media, planning penilaian keberhasilan. Berikut merupakan keatan evaluasi terhadap kurikulum:

A. Evaluasi tujuan serta kompetensi yang diperlukan dicapai sang setiap anak yang sinkron dengan visi dan misi lembaga.

Dalam evaluasi kurikulum misalnya ini maka utama yang akan dinilai adalah aspek tujuan atau kompetensi yg diharapkan pada dokumen kurikulum, yaitu mencakup :
a. Apakah kompetensi yang harus dicapai sang setiap siswa sinkron menggunakan misi serta visi sekolah.
b. Apakah tujuan dan kompetensi itu gampang dipahami oleh setiap guru. Sebagai suatu dokumen, kuriulum tidak akan mempunyai makna apa-apa tanpa diimplementasikan sang pengajar. Maka pengajar perlu tahu mengenai kompetensi yg diharapkan oleh lembaga pendidikan.
c. Apakah tujuan dan kompetensi dirumuskan dalam kurikulum sinkron dengan taraf perkembangan murid.

B. Evaluasi terhadap pengalaman belajar yang direncanakan.
Kriteria yg dijadikan patokan dalam tahap ini yaitu menguji pengalaman belajar diantaranya :
a. Apakah pengalaman belajar yang terdapat dalam kurikulum sesuai atau dapat mendukung pencapaian visi serta misi forum pendidikan?
b. Apakah pengalaman belajar yang direncanakan itu sinkron dengan minat murid.
c. Apakah pengalaman belajar yang direncanakan sinkron menggunakan karakteristik lingkungan pada mana anak tinggal.
d. Apakah pengalaman belajar yg ditetapkan dalam kurikulum sinkron menggunakan jumlah waktu yang tersedia.

C. Evaluasi terhadap taktik belajar mengajar.
Sebagai suatu pedoman bagi pengajar, kurikulum pula seharusnya memuat petunjuk sehingga bagamana cara aplikasi atau cara mengimplementasikan kurikulum pada pada kelas. Sejumlah kriteria yang dapat diajukan buat menilai pedoman strategi belajar mengajar, antara lain:
a. Apakah strategi pembelajaran dirumuskan sinkron serta bisa ,mendukung buat keberhasilan pencapaian kompetensi pendidikan. 
b. Apakah strategi pembelajaran yg diusulkan dapat mendorong kegiatan dan minat murid buat belajar?
c. Bagaimanakah keterbacaan guru terhadap panduan pelaksanaan taktik pembelajaran yg disusulkan?
d. Apakah strategi pembeljaran sinkron menggunakan tingkat perkembangan anak didik?
e. Apakah strategi pembelajaran yang dirumuskan sesuai dengan alokasi saat.

D. Evaluasi terhadap program penilaian
Kompoenen berikutnya merupakan komponen yg wajib dijadikan sasaran penilai terhadap kurikulum menjadi suatu program adalah evaluasi terhadap acara evaluasi. Beberapa kriteria yg dapat dijadikan acuan yaitu :
a. Apakah acara penilaian relevan menggunakan tujuan atau kompetensi yang ingin dicapai.
b. Apakah evaluasi diprogramkan buat mencapai fungsi penilaian baik menjadi formatif juga sumatif.
c. Apakah program evaluasi kurikulum yg direncanakan dapat gampang dibaca serta dipahami sang guru.
d. Apakah program penilaian bersifat realistios, dalam arti mungkin bisa dilaksanakan sang guru.

E. Evaluasi terhadap implementasi kurikulum
Sisi kedua dari kurikulum merupakan aplikasi atau implementasi kurikulum menjadi program. Beberapa kriteria yg bisa dijadikan pedoman menjadi berikut :
1. Apakah implementasi kurikulum yang dilaksanakan sang guru sesuai dengan program yang direncanakan?
2. Apakah setiap acara yg direncanakan bisa dilaksanakan oleh pengajar?
3. Sejauhmana anak didik dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai?
4. Apakah secara holistik implementasi kurikulum dianggap efektif serta efesien?

D. Implementasi dan Evaluasi Kurikulum
Di pada pelaksanaan KBK diversifikasi kurikulum sangat dimungkinkan, adalah kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan diadaptasi dengan keragaman syarat dan kebutuhan baik yang menyangkut kemampuan atau potensi siswa serta lingkungannya. Diversifikasi kurikulum diterapkan dalam upaya buat menampung tingkat kecerdasan dan kecepatan siswa yang nir sama. Oleh sebab itu percepatan belajar dimungkinkan buat diterapkan, begitu juga remidial serta pengayaan.

Implementasi KBK menuntut kemampuan sekolah buat menyebarkan silabus sinkron dengan kondisi serta kebutuhannya, serta penyusunannya dapat melibatkan instansi yang relevan di daerah setempat, misalnya instansi pemerintah, partikelir, perusahaan serta perguruan tingggi.

Pengelolaan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Rekonseptualisasi kurikulum nasional yang diwujudkan dalam Kurikulum Berbasis Kompentensi memiliki empat fokus primer, yaitu: 1). Kejelasan kompetensi serta hasil belajar, 2) Penilian berbasis kelas, tiga) Kegiatan belajar Mengajar, 4) Pengelolaan Kurikulum berbasis sekolah.

Pada prinsipnya pengelolaan kurikulum yang berbasis Sekolah membagi peran serta tanggung jawab masing-masing pelaksana pendidikan di lapangan yg terkait menggunakan pelaksanaan kurikulum, pembiayaan serta pengembangan silabus. Sekolah menjadi ujung tombak aplikasi kurikulum dituntut dapat menjalin interaksi dengan lembaga lain yg terkait baik lembaga pemerintah juga partikelir. Misalnya buat pembekalan kecakapan vokasional sekolah perlu kerja sama dengan perusahaan atau lembaga diklat.

Reorientasi Proses Pembelajaran
Belajar merupakan kegiatan aktif siswa pada membentuk makna atau pemahaman terhadap suatu konsep, sebagai akibatnya dalam proses pembelajaran anak didik merupakan sentral kegiatan, pelaku utama serta pengajar hanya menciptakan suasana yg dapat mendorong timbulnya motivasi belajar pada anak didik.

Implementasi KBK dalam proses pembelajaran menuntut adanya reorientasi pembelajaran yg konvensional. Reorientasi nir hanya sebatas kata “teaching” menjadi “learning” namun harus hingga dalam operasional pelaksanaan pembelajaran. Untuk itu proses pembelajaran harus mengacu pada beberapa prinsip, yaitu: berpusat dalam anak didik, belajar menggunakan melakukan, mengembangakan kemampuan sosial, membuatkan keingintahuan, imajinasi serta fitrah ber-Tuhan, membuatkan ketrampilan pemecahan masalah, menyebarkan kreativitas anak didik, mengembangkan kemampuan memakai ilmu serta teknologi, menumbuhkah pencerahan menjadi warga negara yang baik, belajar sepanjang hayat, dan deretan kompetisi, kerjasama serta solidaritas.

Peranan Evaluasi Kurikulum
Peranan evaluasi kebijaksanan dalam kurikulum pendidikan miimal berkenaan menggunakan tiga hal, sebagai berikut.

1. Evaluasi menjadi moral judgement
Konsep utama dalam evaluasi merupakan kasus niali. Hasil dari evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya. Hal ini mengandung dua pengertian, pertama evaluasi berisi suatu skala nilai moral, berdasarkan skala tadi suatu objek penilaian bisa dievaluasi. Kedua, Evaluasi berisi suatu perangkat criteria mudah, dari criteria-krateria tersebut suatu hasil dapat dinilai.

2. Evaluasi serta penentuan keputusan
Pengambil keputusan pada pelaksanaan pendidikan atau kurikulum poly, yaitu pengajar, anak didik, kepala sekolah, orang tua, para inspektur, pengembang kurikulum, serta sebagainya. Pada prinsipnya tiap individu pada atas menciptakan keputusan sinkron dengan posisinya. Besar atau kecilnya peranan keputusan yg diambil oleh seseorang sesuai dengan lingkup tanggung jawabnya serta perkara yang dihadapinya dalam suatu ketika.

3. Evaluasi dan consensus nilai
Dalam aneka macam situasi pendidikan dan aktivitas pelaksanaan evaluasi kurikulum sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yg terlibat dalam aktivitas penilaian dan penilaian. Para partisipan dalam evaluasi pendidikan bisa terdiri atas orang tua, siswa, pengajar, pengembang kurikulum, administrator, ahli politik, ahli ekonomi, penerbit, arsitek, dan sebagainya.