PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah adalah terjemahan menurut “school-based management”. MBS adalah kerangka berpikir baru pendidikan, yang menaruh swatantra luas dalam taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru pada pengelolaan pendidikan yg lebih menekankan kepada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai output berdasarkan desentralisasi pendidikan. 

Secara generik, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan menjadi contoh manajemen yg memberikan swatantra lebih akbar kepada sekolah serta mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara pribadi semua masyarakat sekolah (guru, murid, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, serta rakyat) buat menaikkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah tak jarang disandingkan dengan kata administrasi sekolah. Berkaitan menggunakan itu, masih ada tiga pandangan tidak sinkron; pertama, mengartikan administrasi lebih luas menurut pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas menurut pada administrasi (administrasi adalah inti menurut manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan kata administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan sumber-asal, baik personal juga material, secara efektif serta efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan pada sekolah secara optimal. Pengertian manajemen berdasarkan Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan asal daya manusia dan sumber-asal lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), serta mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada megelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian rakyat sekolah dan rakyat pada penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga , serta pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Kewenangan yg bertumpu pada sekolah merupakan inti berdasarkan MBS yg dilihat memiliki taraf efektivitas tinggi dan memberikan beberapa keuntungan berikut:
a. Kebijaksanaan dan wewenang sekolah membawa dampak pribadi pada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif pada melakukan training peserta didik seperti kehadiran, output belajar, taraf pengulangan, taraf putus sekolah, moral pengajar, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat merogoh keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, serta perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya 
a. Dengan syarat setempat, sekolah bisa menaikkan kesejahteraan guru sehingga bisa lebih berkonsentrasi pada tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan masyarakat buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat serta menjamin layanan pendidikan sesuai menggunakan tuntutan warga sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa saat terakhir, kita dikenalkan menggunakan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yg diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya sudah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat bisa mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dicermati bahwa para ketua sekolah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, kiprah primer mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini ada belakangan sejalan menggunakan pelaksanaan swatantra wilayah menjadi kerangka berpikir baru pada pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah sentra buat menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan mengenai penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan pada taraf pemerintah sentra atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan pada sekolah adalah urusan pusat, ketua sekolah dan pengajar wajib melaksanakannya sinkron menggunakan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yg masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran bila nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional telah menyusut lebih menurut separuhnya.

Kita risi, jangan-jangan selama ini lebih menurut separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yang rumit, yang memunculkan aneka macam gosip kebijakan serta melibatkan poly lini wewenang pada pengambilan keputusan serta tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh karena itu, semua pihak yg terlibat perlu tahu sahih pengertian MBS, manfaat, perkara-kasus pada penerapannya, dan yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas serta tanggung jawab taraf sekolah buat membuat keputusan atas perkara signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yang ditetapkan oleh sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah menurut setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yg signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar anak didik yang semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih menurut satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar ) pada Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah pada loka-tempat ini tampaknya nir dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan menurut Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung 1/3 menurut populasi dunia. Tema dari rendezvous adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik pada reformasi pendidikan, tatapi pula menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yg merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki poly bayangan makna. Ia telah diimplementasikan menggunakan cara yg tidak selaras serta buat tujuan tidak sinkron serta pada laju yang berbeda pada tempat yang tidak sinkron. Bahkan konsep yg lebih fundamental dari “sekolah” serta “manajemen” adalah tidak sinkron, seperti berbedanya budaya serta nilai yg melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama di seluruh loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab pada taraf sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting merupakan bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan merogoh unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di semua sekolah.

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah buat menentukan cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting adalah mempunyai konvensi tertulis yg memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan wilayah, kepala sekolah, serta dewan sekolah. Kesepakatan itu wajib menggunakan kentara menyatakan standar yg akan digunakan menjadi dasar evaluasi akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan target, bagaimana sekolah menggunakan asal dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan pembinaan dalam bidang-bidang misalnya dinamika grup, pemecahan perkara dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi dalam gerombolan . Pelatihan ini ditujukan bagi seluruh pihak yg terlibat pada sekolah serta anggota masyarakat, khususnya dalam termin awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, ketua sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan training kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut : 
1. MBS wajib mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara sedikit demi sedikit.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas wajib memperoleh training penerapannya, dalam saat yang sama pula wajib belajar beradaptasi dengan kiprah serta saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat pembinaan serta penyediaan saat bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta daerah wajib mendelegasikan wewenang kepada ketua sekolah, serta kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua murid.

Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka nir berminat buat ikut serta dalam kegiatan yg dari mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak memakai waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan serta aturan. Akibatnya kepala sekolah dan pengajar nir memiliki banyak saat lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua pengajar akan berminat dalam proses penyusunan aturan atau nir ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya mengakibatkan frustrasi dan acapkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus bisa bekerja sama serta memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain pada luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa ketika beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada waktu inilah dewan sekolah mulai terserang “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar nir lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yg berkepentingan kemungkinan akbar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan contoh yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar sudah sangat terkondisi dengan iklim kerja yg selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti peran serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yg rumit serta mencakup aktivitas yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif serta efisien. Tanpa itu, aktivitas yg beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh menurut tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan sudah dilibatkan semenjak awal, mereka bisa memastikan bahwa setiap kendala telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pembinaan yg cukup mengenai MBS dan klarifikasi kiprah serta tanggung jawab dan hasil yg diharapkan pada semua pihak yg berkepentingan. Selain itu, seluruh yang terlibat harus tahu apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang bisa dibagi, sang siapa, serta pada level mana pada organisasi.

Anggota masyarakat sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya asa yg dibebankan pada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain memberitahuakn bahwa wilayah yang paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan harapan mereka dalam 2 maslahat: menaikkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan membentuk keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yg sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yg diperlukan supaya penerapan MBS bisa benar-sahih menaikkan mutu pendidikan. Salah satu taktik merupakan membentuk prakondisi yg aman buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh rakyat sekolah, termasuk masyarakat serta orangtua siswa. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah harus menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, serta akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah buat membuat laporan pertanggungjawaban kepada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan sang Managing Basic Education (MBE) merupakan termin awal yg sangat positif. Juga menciptakan laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster mengenai rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya apabila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah sentra lebih memainkan peran monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah sentra dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk aplikasi block grant yg diterima sekolah.

4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih poly dipenuhi dengan anugerah kabar pada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yg lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola usang berupa penataran MBS.

Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif pada MBS dapat ditinjau berdasarkan kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-pengajar buat melaksanakan proses pembelajaran menggunakan baik, lancar, dan produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron menggunakan waktu yang telah ditetapkan.
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis menggunakan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah serta pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yang sudah ditetapkan. 

Comments