PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. MBS adalah paradigma baru pendidikan, yang menaruh otonomi luas pada taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yg dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan pada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis menyampaikan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk cara lain sekolah menjadi hasil menurut desentralisasi pendidikan. 

Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan sebagai contoh manajemen yang memberikan otonomi lebih akbar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara eksklusif seluruh rakyat sekolah (pengajar, anak didik, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, dan warga ) buat meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah sering disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat 3 pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas berdasarkan pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari dalam administrasi (administrasi merupakan inti berdasarkan manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan asal-asal, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu serta seni mengatur proses pemanfaatan asal daya insan serta asal-sumber lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tadi mengungkapkan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir beranjak sendiri, namun membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi memiliki fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kolaborasi yg sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yg sehat antar sekolah mengenai mutu pendidikan yg akan dicapai. 

Kewenangan yang bertumpu dalam sekolah adalah inti menurut MBS yg ditinjau mempunyai taraf efektivitas tinggi dan menaruh beberapa laba berikut:
a. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa dampak eksklusif kepada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif dalam melakukan pembinaan siswa misalnya kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, taraf putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat mengambil keputusan, memberdayakan pengajar, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat antara lain 
a. Dengan kondisi setempat, sekolah dapat menaikkan kesejahteraan pengajar sebagai akibatnya bisa lebih berkonsentrasi dalam tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan warga buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, pada peranannya menjadi manajer juga pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat semakin tinggi dan mengklaim layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan dalam level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat dapat mengelola sekolah secara berdikari. Umumnya dicermati bahwa para kepala sekolah merasa tidak berdaya lantaran terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran primer mereka menjadi pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan menggunakan rutinitas urusan birokrasi yg menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan menggunakan aplikasi otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di taraf pemerintah pusat atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah merupakan urusan pusat, kepala sekolah serta pengajar wajib melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan sentra ke daerah menelusuri saluran birokrasi menggunakan begitu poly simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional sudah menyusut lebih berdasarkan separuhnya.

Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya digunakan buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yg rumit, yg memunculkan aneka macam informasi kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan pada pengambilan keputusan dan tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yg diambil. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami sahih pengertian MBS, manfaat, kasus-kasus pada penerapannya, serta yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar anak didik.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yg sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah buat menciptakan keputusan atas kasus signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yg ditetapkan sang sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah berdasarkan setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh saat perubahan yg signifikan, sistematik, serta berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar murid yg semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu taktik buat mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah sudah dilembagakan pada loka-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah sudah mempraktikkannya lebih berdasarkan satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau pada beberapa sistem sekolah yang akbar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah di loka-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu tanda skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC pada Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi global. Tema berdasarkan rendezvous adalah “mutu pada pendidikan” dan rapikan kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian spesifik diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yg berbeda serta untuk tujuan tidak selaras dan dalam laju yang tidak sama di loka yang tidak selaras. Bahkan konsep yang lebih fundamental dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, misalnya berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan serta praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama pada semua loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas serta tanggung jawab di taraf sekolah, tetapi masih pada kerangka kerja yg ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus mempunyai kapasitas menciptakan keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui serta mengambil unsur-unsur yg ditetapkan pada kerangka kerja pusat yg berlaku di seluruh sekolah.

Sejak awal, pemerintah (sentra serta wilayah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai ketua sekolah dan dewan sekolah buat memilih cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting merupakan memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci kiprah dan tanggung jawab dewan pendidikan wilayah, dinas pendidikan wilayah, ketua sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus menggunakan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah pada upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah memakai sumber dayanya, serta apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan training dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan kasus serta pengambilan keputusan, penanganan perseteruan, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi pada kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yg terlibat pada sekolah dan anggota rakyat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan pembinaan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yg berikut : 
1. MBS wajib menerima dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara bertahap.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas harus memperoleh pembinaan penerapannya, dalam saat yg sama jua harus belajar mengikuti keadaan dengan kiprah serta saluran komunikasi yg baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat training dan penyediaan waktu bagi staf buat bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta wilayah wajib mendelegasikan wewenang pada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya membuatkan kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua siswa.

Beberapa kendala yg mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang nir menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka tidak berminat buat ikut dan dalam aktivitas yang berdasarkan mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah wajib lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan dan aturan. Akibatnya kepala sekolah serta guru nir memiliki banyak waktu lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak seluruh pengajar akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain di luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya lantaran tidak merasa lezat berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada ketika inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yg diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali nir atau belum berpengalaman menerapkan model yg rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan akbar tidak memiliki pengetahuan serta keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya serta bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran serta Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan akbar sudah sangat terkondisi menggunakan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti kiprah serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan akbar akan menyebabkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan contoh yg rumit dan mencakup aktivitas yg beragam mengharuskan adanya koordinasi yg efektif serta efisien. Tanpa itu, kegiatan yg majemuk akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan akbar sama sekali menjauh berdasarkan tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan semenjak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur krusial merupakan training yang relatif mengenai MBS serta penjelasan peran dan tanggung jawab serta hasil yang dibutuhkan pada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat wajib memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yg bisa dibagi, sang siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

Anggota warga sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya pada loka lain menampakan bahwa daerah yg paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan asa mereka pada 2 maslahat: meningkatkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS adalah kebijakan baru yg sejalan dengan kerangka berpikir desentraliasi pada pemerintahan. Strategi apa yg dibutuhkan agar penerapan MBS dapat sahih-benar menaikkan mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah membangun prakondisi yang kondusif buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas serta komitmen seluruh masyarakat sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua murid. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah wajib menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yg demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk menciptakan laporan pertanggungjawaban pada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) adalah tahap awal yg sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang planning kegiatan sekolah. Alangkah serasinya bila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah pusat lebih memainkan kiprah monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah pusat serta pemerintah wilayah perlu melakukan aktivitas bersama dalam rangka monitoring serta evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.

4. Mengembangkan contoh acara pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan training MBS, yg lebih poly dipenuhi dengan pemberian fakta kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dievaluasi lebih memberikan output yang lebih nyata dibandingkan menggunakan pola-pola lama berupa penataran MBS.

Kepemimpinan ketua sekolah yang efektif dalam MBS bisa ditinjau menurut kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan pengajar-pengajar untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, serta produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron dengan saat yg sudah ditetapkan.
3. Mampu menjalin interaksi yg harmonis menggunakan warga sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif pada rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan pengajar dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja menggunakan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yg telah ditetapkan. 

PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah adalah terjemahan menurut “school-based management”. MBS adalah kerangka berpikir baru pendidikan, yang menaruh swatantra luas dalam taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru pada pengelolaan pendidikan yg lebih menekankan kepada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai output berdasarkan desentralisasi pendidikan. 

Secara generik, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan menjadi contoh manajemen yg memberikan swatantra lebih akbar kepada sekolah serta mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara pribadi semua masyarakat sekolah (guru, murid, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, serta rakyat) buat menaikkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah tak jarang disandingkan dengan kata administrasi sekolah. Berkaitan menggunakan itu, masih ada tiga pandangan tidak sinkron; pertama, mengartikan administrasi lebih luas menurut pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas menurut pada administrasi (administrasi adalah inti menurut manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan kata administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan sumber-asal, baik personal juga material, secara efektif serta efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan pada sekolah secara optimal. Pengertian manajemen berdasarkan Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan asal daya manusia dan sumber-asal lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), serta mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada megelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian rakyat sekolah dan rakyat pada penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga , serta pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Kewenangan yg bertumpu pada sekolah merupakan inti berdasarkan MBS yg dilihat memiliki taraf efektivitas tinggi dan memberikan beberapa keuntungan berikut:
a. Kebijaksanaan dan wewenang sekolah membawa dampak pribadi pada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif pada melakukan training peserta didik seperti kehadiran, output belajar, taraf pengulangan, taraf putus sekolah, moral pengajar, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat merogoh keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, serta perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya 
a. Dengan syarat setempat, sekolah bisa menaikkan kesejahteraan guru sehingga bisa lebih berkonsentrasi pada tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan masyarakat buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat serta menjamin layanan pendidikan sesuai menggunakan tuntutan warga sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa saat terakhir, kita dikenalkan menggunakan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yg diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya sudah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat bisa mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dicermati bahwa para ketua sekolah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, kiprah primer mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini ada belakangan sejalan menggunakan pelaksanaan swatantra wilayah menjadi kerangka berpikir baru pada pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah sentra buat menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan mengenai penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan pada taraf pemerintah sentra atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan pada sekolah adalah urusan pusat, ketua sekolah dan pengajar wajib melaksanakannya sinkron menggunakan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yg masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran bila nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional telah menyusut lebih menurut separuhnya.

Kita risi, jangan-jangan selama ini lebih menurut separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yang rumit, yang memunculkan aneka macam gosip kebijakan serta melibatkan poly lini wewenang pada pengambilan keputusan serta tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh karena itu, semua pihak yg terlibat perlu tahu sahih pengertian MBS, manfaat, perkara-kasus pada penerapannya, dan yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas serta tanggung jawab taraf sekolah buat membuat keputusan atas perkara signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yang ditetapkan oleh sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah menurut setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yg signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar anak didik yang semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih menurut satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar ) pada Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah pada loka-tempat ini tampaknya nir dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan menurut Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung 1/3 menurut populasi dunia. Tema dari rendezvous adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik pada reformasi pendidikan, tatapi pula menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yg merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki poly bayangan makna. Ia telah diimplementasikan menggunakan cara yg tidak selaras serta buat tujuan tidak sinkron serta pada laju yang berbeda pada tempat yang tidak sinkron. Bahkan konsep yg lebih fundamental dari “sekolah” serta “manajemen” adalah tidak sinkron, seperti berbedanya budaya serta nilai yg melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama di seluruh loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab pada taraf sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting merupakan bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan merogoh unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di semua sekolah.

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah buat menentukan cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting adalah mempunyai konvensi tertulis yg memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan wilayah, kepala sekolah, serta dewan sekolah. Kesepakatan itu wajib menggunakan kentara menyatakan standar yg akan digunakan menjadi dasar evaluasi akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan target, bagaimana sekolah menggunakan asal dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan pembinaan dalam bidang-bidang misalnya dinamika grup, pemecahan perkara dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi dalam gerombolan . Pelatihan ini ditujukan bagi seluruh pihak yg terlibat pada sekolah serta anggota masyarakat, khususnya dalam termin awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, ketua sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan training kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut : 
1. MBS wajib mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara sedikit demi sedikit.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas wajib memperoleh training penerapannya, dalam saat yang sama pula wajib belajar beradaptasi dengan kiprah serta saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat pembinaan serta penyediaan saat bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta daerah wajib mendelegasikan wewenang kepada ketua sekolah, serta kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua murid.

Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka nir berminat buat ikut serta dalam kegiatan yg dari mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak memakai waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan serta aturan. Akibatnya kepala sekolah dan pengajar nir memiliki banyak saat lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua pengajar akan berminat dalam proses penyusunan aturan atau nir ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya mengakibatkan frustrasi dan acapkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus bisa bekerja sama serta memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain pada luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa ketika beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada waktu inilah dewan sekolah mulai terserang “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar nir lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yg berkepentingan kemungkinan akbar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan contoh yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar sudah sangat terkondisi dengan iklim kerja yg selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti peran serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yg rumit serta mencakup aktivitas yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif serta efisien. Tanpa itu, aktivitas yg beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh menurut tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan sudah dilibatkan semenjak awal, mereka bisa memastikan bahwa setiap kendala telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pembinaan yg cukup mengenai MBS dan klarifikasi kiprah serta tanggung jawab dan hasil yg diharapkan pada semua pihak yg berkepentingan. Selain itu, seluruh yang terlibat harus tahu apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang bisa dibagi, sang siapa, serta pada level mana pada organisasi.

Anggota masyarakat sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya asa yg dibebankan pada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain memberitahuakn bahwa wilayah yang paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan harapan mereka dalam 2 maslahat: menaikkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan membentuk keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yg sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yg diperlukan supaya penerapan MBS bisa benar-sahih menaikkan mutu pendidikan. Salah satu taktik merupakan membentuk prakondisi yg aman buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh rakyat sekolah, termasuk masyarakat serta orangtua siswa. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah harus menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, serta akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah buat membuat laporan pertanggungjawaban kepada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan sang Managing Basic Education (MBE) merupakan termin awal yg sangat positif. Juga menciptakan laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster mengenai rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya apabila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah sentra lebih memainkan peran monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah sentra dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk aplikasi block grant yg diterima sekolah.

4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih poly dipenuhi dengan anugerah kabar pada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yg lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola usang berupa penataran MBS.

Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif pada MBS dapat ditinjau berdasarkan kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-pengajar buat melaksanakan proses pembelajaran menggunakan baik, lancar, dan produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron menggunakan waktu yang telah ditetapkan.
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis menggunakan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah serta pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yang sudah ditetapkan. 

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASISI SEKOLAH MPMBS

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasisi Sekolah (MPMBS) 
Kehidupan dalam abad ke-21 ini menuntut asal daya insan yang unggul yang dapat bertahan di dalam kehidupan yang penuh menggunakan persaingan. Upaya peningkatan SDM harus dilakukan melalui peningkatan kompetensi manusia Indonesia yang siap hayati di peradaban global. Dalam global pendidikan dibutuhkan sekolah yg tidak hanya menyebarkan keunggulan lokal melalui energi-tenaga terdidik, namun juga perlu tersedianya satuan pendidikan yg sanggup membuat lulusan berstandar internasional.

Penurunan kualitas pendidikan yg melanda ketika ini, sebagai bahan pemikiran lebih awal pada mempelajari arah pendidikan yang terus berjalan, serta tidak kalah pentingnya bagaimana mengkaji problem tenaga kependidikan (guru) yg hingga waktu ini masih terpinggirkan.

Berbagai usaha sudah dilakukan buat meningkatkan mutu pendidikan nasional, contohnya pengembangan kurikulum nasional serta lokal, peningkatan kompetensi guru melalui training, pengadaan buku dan indera pelajaran, pengadaan dan pemugaran sarana serta prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namum demikian, aneka macam indikator mutu pendidikan belum memperlihatkan peningkatan yg berarti. Sebagian sekolah, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yg cukup menggembirakan tetapi sebagian lainnya masih memprihatinkan.

Pada mulanya merupakan adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah menjadi jawaban atas banyak sekali pertanyaan serta persoalan lebih kurang terpuruknya mutu pendidikan pada negeri kita. Dari MBS kemudian berkembang dan semakin dimantapkan menjadi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) menjadi wujud konsern serta komitmen kita terhadap mutu pendidikan.

Dengan bermunculannya sekolah unggulan dan sekolah bertaraf internasional, pemerintah harus semakin mencermati mutu serta kualitas sekolah tadi. Sebab apabila nir ada regulasi yang ketat, konsep pendidikan nasional seperti diamanahkan dalam konstitusi tentu akan pudar.

Untuk mendukung peningkatan MPMBS, utamanya dalam sekolah RSBI Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan Kementerian Pendidikan Nasional mendorong sekolah yg berstatus RSBI dan SBI buat memiliki sertifikasi ISO 9001:2000 sebagai wujud standardisasi manajemen sekolah. Dengan adanya tunjangan profesi ISO 9001:2000 ini, dibutuhkan sekolah dapat mempertanggungjawabkan mutu melalui banyak sekali prestasi yang terukur serta bisa ditunjukan.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Depdiknas (2002:3) merumuskan MPMBS sebagai contoh manajemen pendidikan yang otonomi lebih akbar pada sekolah, memberikan fleksibilitas (keluwesan) pada sekolah, serta mendorong partisipasi secara pribadi stake holder buat menaikkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yg berlaku. Menurut David pada Nurkolis (2003:33) MPMBS adalah swatantra sekolah yg dibarengi menggunakan pembuatan keputusan secara partisipatori. Sedangkan dari Caldwell pada Mulyasa (2002:82), mendefinisikan MPMBS menjadi wewenang pengalokasian asal daya yang didesentralisasikan.

Dengan otonomi yang lebih akbar, maka sekolah memiliki kewenangan yg lebih akbar pada mengelola sekolahnya, sebagai akibatnya sekolah lebih berdikari. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya pada membuatkan acara-acara yg tentu saja lebih sinkron menggunakan kebutuhan serta potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola serta memanfaatkan asal daya sekolah secara optimal. Demikian jua, dengan partisipasi/pelibatan masyarakat sekolah serta masyarakat secara pribadi pada penyelenggaraan sekolah, maka rasa mempunyai mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa mempunyai ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi rakyat sekolah dan rakyat terhadap sekolah.

MPMBS merupakan bagian berdasarkan manajemen berbasis sekolah (MBS). Apabila MBS bertujuan buat menaikkan seluruh kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, serta pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari sang kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita waktu ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian yg lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan menurut dalam MBS buat saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.

MPMBS bertujuan buat memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (swatantra) kepada sekolah, hadiah fleksibilitas yang lebih akbar pada sekolah untuk mengelola asal daya sekolah, serta mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat buat menaikkan mutu pendidikan.

MPMBS memiliki ciri yang perlu dipahami sang sekolah yg akan menerapkannya. Dengan kata lain, bila sekolah ingin sukses pada menerapkan MPMBS, maka jumlah ciri MPMBS perlu dimiliki. Berbicara ciri MPMBS nir dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MPMBS adalah wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya.

Pendidikan yang selama ini dikelola secara terpusat (sentralisasi) kurang menaruh kebebasan pada sekolah dalam membuatkan lembaganya. Untuk itu pemerintah, pada hal ini Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan baru pada bidang pendidikan yaitu desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ke taraf sekolah. Adanya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) mengakibatkan adanya perbaikan mutu pada sekolah.

Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah menggunakan Standar Mutu Internasional atau SBI merupakan Sekolah Nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional pendidikan (SNP) Indonesia serta tarafnya Internasional sehingga diperlukan lulusannya mempunyai Kemampuan Daya Saing Internasional.

Pernencanaan program rintisan Sekolah Menengah Atas BI dituangkan ke pada Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) atau School Development and Investment Plan (SDIP). Langkah penyusunan RSP/SDIP terdiri menurut penilaian diri serta penyusunan serta ratifikasi RSP/SDIP.

Pelaksanaan SBI didasari sang Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat tiga: “Pemerintan dan/atau Pemda menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan buat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yg bertaraf Internasional”.

Untuk mendukung acara pemerintah pada merealisasikan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat tiga, PP No. 19 Pasal 61 Ayat 1, serta RENSTRA Depdiknas periode 2010-2014 mengenai kebijakan pada peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, keliru satunya yaitu dengan menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Seiring dengan hal tadi, maka sekolah menjadi lembaga yang melaksanakan RSBI harus dapat menaikkan komponen pada manajemen sekolah yg berupa manajemen kurikulum, wahana prasarana, keuangan, kesiswaan, ketenagaan, humas dan layanan khusus menggunakan memakai standar internasional.

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASISI SEKOLAH MPMBS

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasisi Sekolah (MPMBS) 
Kehidupan dalam abad ke-21 ini menuntut sumber daya manusia yang unggul yang dapat bertahan pada dalam kehidupan yg penuh dengan persaingan. Upaya peningkatan SDM wajib dilakukan melalui peningkatan kompetensi insan Indonesia yg siap hidup pada peradaban dunia. Dalam global pendidikan dibutuhkan sekolah yg tidak hanya mengembangkan keunggulan lokal melalui energi-tenaga terdidik, namun jua perlu tersedianya satuan pendidikan yang bisa menghasilkan lulusan berstandar internasional.

Penurunan kualitas pendidikan yang melanda ketika ini, menjadi bahan pemikiran lebih awal pada menelaah arah pendidikan yang terus berjalan, dan tidak kalah pentingnya bagaimana menyelidiki dilema energi kependidikan (guru) yang hingga saat ini masih terpinggirkan.

Berbagai usaha telah dilakukan buat mempertinggi mutu pendidikan nasional, contohnya pengembangan kurikulum nasional serta lokal, peningkatan kompetensi pengajar melalui training, pengadaan buku dan indera pelajaran, pengadaan serta perbaikan wahana serta prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namum demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yg berarti. Sebagian sekolah, menampakan peningkatan mutu pendidikan yang relatif menggembirakan tetapi sebagian lainnya masih memprihatinkan.

Pada mulanya adalah adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah sebagai jawaban atas banyak sekali pertanyaan serta duduk perkara kurang lebih terpuruknya mutu pendidikan pada negeri kita. Dari MBS kemudian berkembang serta semakin dimantapkan menjadi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai wujud konsern dan komitmen kita terhadap mutu pendidikan.

Dengan bermunculannya sekolah unggulan dan sekolah bertaraf internasional, pemerintah wajib semakin mencermati mutu serta kualitas sekolah tadi. Sebab jika tidak ada regulasi yg ketat, konsep pendidikan nasional misalnya diamanahkan pada konstitusi tentu akan pudar.

Untuk mendukung peningkatan MPMBS, utamanya dalam sekolah RSBI SMA/SMK Kementerian Pendidikan Nasional mendorong sekolah yang berstatus RSBI serta SBI buat memiliki sertifikasi ISO 9001:2000 sebagai wujud standardisasi manajemen sekolah. Dengan adanya tunjangan profesi ISO 9001:2000 ini, diharapkan sekolah dapat mempertanggungjawabkan mutu melalui aneka macam prestasi yg terukur dan dapat ditunjukan.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Depdiknas (2002:3) merumuskan MPMBS sebagai model manajemen pendidikan yang swatantra lebih besar kepada sekolah, menaruh fleksibilitas (keluwesan) pada sekolah, dan mendorong partisipasi secara eksklusif stake holder buat mempertinggi mutu sekolah dari kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut David pada Nurkolis (2003:33) MPMBS merupakan otonomi sekolah yang dibarengi dengan pembuatan keputusan secara partisipatori. Sedangkan dari Caldwell pada Mulyasa (2002:82), mendefinisikan MPMBS sebagai kewenangan pengalokasian asal daya yg didesentralisasikan.

Dengan otonomi yg lebih akbar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sebagai akibatnya sekolah lebih berdikari. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam berbagi acara-acara yg tentu saja lebih sinkron dengan kebutuhan serta potensi yg dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan asal daya sekolah secara optimal. Demikian pula, menggunakan partisipasi/pelibatan rakyat sekolah dan rakyat secara pribadi pada penyelenggaraan sekolah, maka rasa mempunyai mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa mempunyai ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan mempertinggi pengabdian warga sekolah serta masyarakat terhadap sekolah.

MPMBS adalah bagian menurut manajemen berbasis sekolah (MBS). Apabila MBS bertujuan buat menaikkan seluruh kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, penemuan, relevansi, dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan dalam peningkatan mutu. Hal ini didasari sang fenomena bahwa mutu pendidikan nasional kita waktu ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian yg lebih berfokus. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan berdasarkan dalam MBS buat saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.

MPMBS bertujuan buat memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui hadiah kewenangan (otonomi) pada sekolah, pemberian fleksibilitas yg lebih akbar kepada sekolah buat mengelola sumber daya sekolah, serta mendorong partisipasi rakyat sekolah serta warga buat menaikkan mutu pendidikan.

MPMBS memiliki ciri yang perlu dipahami sang sekolah yg akan menerapkannya. Dengan istilah lain, apabila sekolah ingin sukses pada menerapkan MPMBS, maka jumlah ciri MPMBS perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS nir bisa dipisahkan menggunakan ciri sekolah efektif. Jika MPMBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya.

Pendidikan yg selama ini dikelola secara terpusat (sentralisasi) kurang memberikan kebebasan pada sekolah dalam berbagi lembaganya. Untuk itu pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan baru di bidang pendidikan yaitu desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ke taraf sekolah. Adanya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) menyebabkan adanya perbaikan mutu di sekolah.

Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah dengan Standar Mutu Internasional atau SBI merupakan Sekolah Nasional yg menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional pendidikan (SNP) Indonesia serta tarafnya Internasional sebagai akibatnya diperlukan lulusannya mempunyai Kemampuan Daya Saing Internasional.

Pernencanaan program rintisan Sekolah Menengah Atas BI dituangkan ke pada Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) atau School Development and Investment Plan (SDIP). Langkah penyusunan RSP/SDIP terdiri berdasarkan penilaian diri serta penyusunan serta ratifikasi RSP/SDIP.

Pelaksanaan SBI didasari oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat tiga: “Pemerintan dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan buat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yg bertaraf Internasional”.

Untuk mendukung acara pemerintah pada merealisasikan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3, PP No. 19 Pasal 61 Ayat 1, serta RENSTRA Depdiknas periode 2010-2014 tentang kebijakan dalam peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, keliru satunya yaitu dengan menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Seiring menggunakan hal tersebut, maka sekolah menjadi forum yg melaksanakan RSBI wajib bisa menaikkan komponen pada manajemen sekolah yang berupa manajemen kurikulum, wahana prasarana, keuangan, kesiswaan, ketenagaan, humas serta layanan khusus menggunakan memakai baku internasional.

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA MELALUI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

Pengembangan Sumber Daya Manusia : Melalui SMK 
Perkembangan dunia pendidikan saat ini sedang memasuki era yg ditandai menggunakan gencarnya inovasi teknologi, sehingga menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan global kerja. Pendidikan harus mencerminkan proses memanusiakan manusia pada arti mengaktualisasikan semua potensi yg dimilikinya menjadi kemampuan yg dapat dimanfaatkan pada kehidupan sehari-hari pada warga luas. Hari Sudrajat (2003) mengemukakan bahwa : “Muara menurut suatu proses pendidikan, apakah itu pendidikan yg bersifat akademik ataupun pendidikan kejuruan adalah dunia kerja, baik sektor formal juga sektor non formal”.

Tingkat keberhasilan pembangunan nasional Indonesia di segala bidang akan sangat bergantung pada sumber daya insan sebagai aset bangsa pada mengoptimalkan serta memaksimalkan perkembangan semua asal daya insan yg dimiliki. Upaya tersebut bisa dilakukan dan ditempuh melalui pendidikan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non formal. Salah satu lembaga dalam jalur pendidikan formal yg menyiapkan lulusannya buat memiliki keunggulan di dunia kerja, antara lain melalui jalur pendidikan kejuruan. 

Pendidikan kejuruan yg dikembangkan pada Indonesia antara lain merupakan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dibuat buat menyiapkan siswa atau lulusan yg siap memasuki dunia kerja serta sanggup mengembangkan perilaku profesional pada bidang kejuruan. Lulusan pendidikan kejuruan, dibutuhkan menjadi individu yg produktif yang sanggup bekerja menjadi energi kerja menengah serta memiliki kesiapan buat menghadapi persaingan kerja. Kehadiran Sekolah Menengah Kejuruan sekarang ini semakin didambakan masyarakat; khususnya rakyat yg beranjak eksklusif dalam dunia kerja. Dengan catatan, bahwa lulusan pendidikan kejuruan memang mempunyai kualifikasi sebagai (calon) tenaga kerja yang mempunyai keterampilan vokasional eksklusif sinkron menggunakan bidang keahliannya.

Gambaran mengenai kualitas lulusan pendidikan kejuruan yg disarikan berdasarkan Finch serta Crunkilton (1979), bahwa : “Kualitas pendidikan kejuruan menerapkan berukuran ganda, yaitu kualitas menurut berukuran sekolah atau in-school success standards serta kualitas dari ukuran masyarakat atau out-of school success standards”. Kriteria pertama meliputi aspek keberhasilan siswa pada memenuhi tuntutan kurikuler yg sudah diorientasikan pada tuntutan dunia kerja, sedangkan kriteria ke 2, mencakup keberhasilan peserta didik yang tertampilkan pada kemampuan unjuk kerja sesuai dengan standar kompetensi nasional ataupun internasional sesudah mereka berada pada lapangan kerja yg sebenarnya.

Upaya buat mencapai kualitas lulusan pendidikan kejuruan yang sesuai menggunakan tuntutan global kerja tadi, perlu didasari menggunakan kurikulum yang dibuat serta dikembangkan menggunakan prinsip kesesuaian menggunakan kebutuhan stakeholders. Kurikulum pendidikan kejuruan secara spesifik memiliki karakter yang mengarah pada pembentukan kecakapan lulusan yg berkaitan menggunakan aplikasi tugas pekerjaan eksklusif. Kecakapan tadi sudah diakomodasi pada kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan yg mencakup gerombolan Normatif, Adaptif serta gerombolan Produktif. 

Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang dimulai dari berpikir tentang ilham kurikulum hingga bagaimana pelaksanaannya pada sekolah. Hasan (1988) mengungkapkan bahwa, aspek-aspek pada mekanisme pengembangan kurikulum merupakan aspek-aspek aktivitas kurikulum yg terdiri atas empat dimensi yg saling bekerjasama satu terhadap yg lain, yaitu : (1) Kurikulum menjadi suatu inspirasi atau konsepsi, (dua) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, (3) Kurikulum menjadi suatu kegiatan (proses) serta (4) Kurikulum menjadi suatu output belajar.

Kurikulum yang diimplementasikan pada SMK ketika ini, khusus buat kelompok produktif masih memakai kurikulum tahun 2004, sedangkan buat kelompok normatif serta adaptif sudah memakai model pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006. Pada tataran implementasi kurikulum ini mauntut kreativitas guru pada dalam menaruh pengalaman belajar yg bisa menaikkan kompetensi peserta didik, lantaran betapapun baiknya kurikulum yang telah direncanakan pada akhirnya berhasil atau tidaknya sangat tergantung dalam sentuhan aktivitas dan kreativitas guru sebagai ujung tombak implementasi suatu kurikulum. 

Pendidikan serta pembinaan pada Sekolah Menengah Kejuruan; khusnya pada program produktif yang sinkron menggunakan bidang keahlian, secara ideal dituntut buat menerapkan pendekatan pembelajaran yang bisa memberikan pengalaman belajar pada peserta didik pada pada penguasaan kompetensi atau kemampuan kerja sesuai menggunakan tuntutan global bisnis serta industri. Pendekatan pembelajaran tadi terdiri menurut : Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency Based Training), Pelatihan Berbasis Produksi (Production Based Training) dan Pelatihan Berbasis Industri. Dengan menerapkan pendekatan pembelajaran ini dibutuhkan sanggup menaruh pengalaman belajar pada siswa di pada penguasaan semua kompetensi yg wajib dikuasai sesuai Standar Kompetensi Nasional, sehingga mereka mampu mengikuti uji level pada setiap akhir semester buat Kelas X serta XI dan uji kompetensi buat kelas XII yg dilaksanakan sang pihak industri menjadi inatitusi pasangan.

Karakteristik Dan Tuntutan Perkembangan Pendidikan Kejuruan
A. Karakteristik Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan mempunyai karakteristik yg tidak selaras menggunakan satuan pendidikan lainnya. Perbedaan tadi bisa dikaji berdasarkan tujuan pendidikan, substansi pelajaran, tuntutan pendidikan dan lulusannya. 

1. Tujuan pendidikan kejuruan
Pendidikan kejuruan bertujuan buat meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, dan keterampilan siswa buat hidup berdikari serta mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai menggunakan acara kejuruannya. Dari tujuan pendidikan kejuruan tadi mengandung makna bahwa pendidikan kejuruan pada samping menyiapkan tenaga kerja yang profesional jua mempersiapkan siswa buat bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai dengan program kejuruan atau bidang keahlian.

Berdasarkan pada tujuan pendidikan kejuruan pada atas, maka buat tahu filosofi pendidikan kejuruan perlu dikaji dari landasan penyelenggaraan pendidikan kejuruan menjadi berikut :

a. Asumsi mengenai anak didik
Pendidikan kejuruan wajib memandang murid menjadi individu yg selalu pada proses buat mengembangkan langsung serta segenap potensi yang dimilikinya. Pengembangan ini menyangkut proses yang terjadi pada diri siswa, seperti proses menjadi lebih dewasa, sebagai lebih pandai , menjadi lebih matang, yg menyangkut proses perubahan dampak efek eksternal, antara lain berubahnya karir atau pekerjaan dampak perkembangan sosial ekonomi warga .

Pendidikan kejuruan adalah upaya menyediakan stimulus berupa pengalaman belajar buat membantu mereka pada berbagi diri serta potensinya. Oleh karena itu, keunikan tiap individu pada berinteraksi dengan global luar melalui pengalaman belajar merupakan upaya terintegrasi guna menunjang proses perkembangan diri anak didik secara optimal. Kondisi ini tertampilkan dalam prinsip pendidikan kejuruan “learning by doing”, dengan kurikulum yang berorientasi pada dunia kerja.

b. Konteks sosial pendidikan kejuruan
Tujuan dan isi pendidikan kejuruan senantiasa dibuat sang kebutuhan rakyat yang berubah begitu pesat, sekaligus jua wajib berperan aktif dalam ikut dan memilih tingkat serta arah perubahan rakyat dalam bidang kejuruannya tadi.

Pendidikan kejuruan berkembang sinkron dengan perkembangan tuntutan warga , melalui dua institusi sosial. Pertama, institusi sosial yang berupa struktur pekerjaan dengan organisasi, pembagian kiprah atau tugas, dan konduite yg berkaitan menggunakan pemilihan, perolehan dan pemantapan karir. Institusi sosial yg kedua, berupa pendidikan dengan fungsi gandanya sebagai media pelestarian budaya sekaligus sebagai media terjadinya perubahan sosial.

c. Dimensi ekonomi pendidikan kejuruan
Hubungan dimensi ekonomi menggunakan pendidikan kejuruan secara konseptual dapat dijelaskan dari kerangka investasi dan nilai balikan (value of return) dari hasil pendidikan kejuruan. Dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan, baik partikelir maupun pemerintah semestinya pendidikan kejuruan mempunyai konsekuensi investasi lebih besar daripada pendidikan umum. Di samping itu, hasil pendidikan kejuruan seharusnya mempunyai peluang taraf balikan (rate of return) lebih cepat dibandingkan menggunakan pendidikan umum. Kondisi tersebut dimungkinkan karena tujuan serta isi pendidikan kejuruan dibuat sejalan menggunakan perkembangan masyarakat, baik menyangkut tugas-tugas pekerjaan juga pengembangan karir siswa. 

Pendidikan kejuruan merupakan upaya mewujudkan siswa sebagai manusia produktif, buat mengisi kebutuhan terhadap kiprah-peran yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah ekonomi rakyat. Dalam kerangka ini, bisa dikatakan bahwa lulusan pendidikan kejuruan seharusnya mempunyai nilai ekonomi lebih cepat dibandingkan pendidikan umum.

d. Konteks Ketenagakerjaan Pendidikan Kejuruan 
Pendidikan kejuruan harus lebih memfokuskan usahanya dalam komponen pendidikan serta pelatihan yang bisa berbagi potensi manusia secara optimal. Meskipun pada dasarnya hubungan antara pendidikan kejuruan serta kebijakan ketenagakerjaan merupakan hubungan yang didasari oleh kepentingan irit, tetapi wajib selalu diingat bahwa interaksi penyelenggraan pendidikan kejuruan nir semata-mata ditentukan sang kepentingan ekonomi. 

Dalam konteks ini diartikan bahwa pendidikan kejuruan, dengan dalih kepentingan ekonomi, nir seharusnya hanya mendidik siswa dengan seperangkat skill atau kemampuan spesifik buat pekerjaan tertentu saja, karena keadaan ini nir memperhatikan anak didik menjadi suatu totalitas. Mengembangkan kemampuan spesifik secara terpisah dari totalitas langsung siswa, berarti memberikan bekal yang sangat terbatas bagi masa depannya sebagai tenaga kerja.

2. Peserta didik
Peserta didik dalam SMK (SMK) lebih dikhususkan bagi anak yang berkeinginan mempunyai kemampuan vokatif. Harapan mereka setelah lulus bisa pribadi bekerja atau melanjutkan ke perguruan tinggi menggunakan mengambil bidang profesional atau bidang akademik. Usia siswa secara umum dalam rentang 15/16 – 18/19 tahun, atau siswa berada pada masa remaja.

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dengan dewasa. Pada masa ini umumnya terjadi gejolak atau kemelut yang berkenaan dengan segi afektif, sosial, intelektual dan moral. Kondisi ini terjadi lantaran adanya perubahan-perubahan baik fisik juga psikis yg sangat cepat yg mengganggu kestabilan kepribadian anak. Oleh karena itu, di pada merancang pembelajaran bagi anak yg berusia remaja ini seyogianya memperhatikan tugas-tugas perkembangan yang wajib diselesaikan para remaja. Beberapa tugas perkembangan remaja yang disarikan menurut Sukmadinata (2001), yaitu : 
a. Mampu menjalin interaksi yg lebih matang dengan sebaya dan jenis kelamin lain. Belajar bekerja menggunakan orang lain buat mencapai tujuan eksklusif, mampu melepaskan perasaan langsung dan sanggup memimpin tanpa mendominasi.

b. Mampu melakukan kiprah-kiprah sosial menjadi pria serta wanita. Mampu menghargai, menerima serta melakukan peran-peran sosial sebagai pria serta wanita dewasa.

c. Menerima syarat jasmaninya serta dapat menggunakannya secara efektif. Remaja dituntut buat menyenangi dan menerima dengan masuk akal kondisi badannya, bisa menghargai atau menghormati syarat badan orang lain, dapat memelihara dan menjaga syarat badannya.

d. Memiliki keberdirisendirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Remaja diharapkan sudah tanggal menurut ketergantungan sebagai kanak-kanak menurut orang tuanya, dapat menyayangi orang tua, menghargai orang tua atau orang dewasa lainnya tanpa tergantung pada mereka.

e. Memiliki perasaan bisa berdiri sendiri pada bidang ekonomi. Terutama pada anak laki-laki , kemudian berangsur-angsur juga tumbuh pada anak perempuan , perasaan mampu buat mencari nafkah sendiri.

f. Mampu menentukan dan mempersiapkan diri buat suatu pekerjaan. Anak telah mampu membuat perencanaan karir, memilih pekerjaan yang cocok dan bisa beliau kerjakan, membuat persiapan-persiapan yang sesuai.

g. Belajar mempersiapkan diri buat perkawinan serta hayati berkeluarga. Memiliki perilaku yang positif terhadap hidup berkeluarga dan punya anak. 

h. Mengembangkan konsep-konsep dan keterampilan intelektual untuk hayati bermasyarakat. Mengembangkan konsep-konsep tentang hukum, pemerintahan, ekonomi, politik, institusi sosial yang cocok bagi kehidupan modern, mengembangkan keterampilan berpikir serta berbahasa untuk bisa memecahkan problema-problema masyarakat terbaru.

i. Memiliki perilaku sosial seperti yang dibutuhkan warga . Dapat berpartisipasi dengan rasa tanggung jawab bagi kemajuan serta kesejahteraan rakyat.

j. Memiliki seperangkat nilai yg sebagai pedoman bagi perbuatannya. Telah memiliki seperangkat nilai yg sanggup diterapkan dalam kehidupan, terdapat kemauan dan usaha buat merealisasikannya. 

3. Substansi pendidikan kejuruan
Substansi berdasarkan pendidikan kejuruan harus menampilkan ciri pendidikan kejuruan yang tercermin dalam aspek-aspek yang erat dengan perencanaan kurikulum, yaitu :

a. Orientasi (Orientation) 
Kurikulum pendidikan kejuruan telah berorientasi dalam proses serta output atau lulusan. Keberhasilan utama kurikulum pendidikan kejuruan tidak hanya diukur menggunakan keberhasilan pendidikan siswa di sekolah saja, namun juga menggunakan output prestasi kerja dalam global kerja. Finch serta Crunkilton (1984 : 12) mengemukakan bahwa : Kurikulum pendidikan kejuruan berorientasi terhadap proses (pengalaman dan aktivitas pada lingkungan sekolah) dan output (dampak pengalaman serta kegiatan tersebut pada siswa).

b. Dasar kebenaran/Justifikasi (Justification)
Pengembangan program pendidikan kejuruan perlu adanya alasan atau justifikasi yg jelas. Justifikasi buat acara pendidikan kejuruan merupakan adanya kebutuhan nyata tenaga kerja pada lapangan kerja atau di global bisnis serta industri. Dasar kebenaran/justifikasi pendidikan kejuruan menurut Finch serta Crunkilton (1984 : 12), meluas hingga lingkungan sekolah serta warga . Ketika kurikulum berorientasi pada siswa, maka dukungan bagi kurikulum tersebut dari menurut peluang kerja yg tersedia bagi para lulusan.

c. Fokus (Focus)
Fokus kurikulum dalam pendidikan kejuruan nir terlepas pada pengembangan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu, namun harus secara simultan mempersiapkan siswa yg produktif. Finch serta Crunkilton (1984 : 13) mengemukakan bahwa : Kurikulum pendidikan kejuruan berhubungan langsung dengan membantu siswa buat membuatkan suatu taraf pengetahuan, keahlian, perilaku dan nilai yang luas. Setiap aspek tadi akhirnya bertambah pada beberapa kemampuan kerja lulusan. Lingkungan belajar pendidikan kejuruan mengupayakan pada dalam mengembangkan pengetahuan siswa, keahlian meniru, perilaku dan nilai serta penggabungan aspek-aspek tersebut dan aplikasinya bagi lingkkungan kerja yang sebenarnya.

Seluruh kemampuan tadi di atas, bisa dikuasai oleh siswa melalui pengalaman belajar yang diberikan, yaitu berupa rangsangan yg diaplikasikan baik dalam situasi kerja yg tersimulasi lewat proses belajar mengajar pada sekolah maupun situasi kerja yg sebenarnya dalam dunia usaha atau industri (pembelajaran di global kerja). Dari hasil belajar atau kemampuan yg telah dikuasai diperlukan dapat menaruh kontribusi pada pengembangan diri siswa, sebagai akibatnya mereka mampu bekerja sinkron menggunakan tuntutan dunia usaha dan industri.

d. Standar keberhasilan di sekolah (In-school success standards)
Kriteria buat memilih keberhasilan suatu lembaga pendidikan kejuruan diukur dari keberhasilan siswa di sekolah, mengenai beberapa aspek yg akan dia masuki. Penilaian keberhasilan dalam siswa di sekolah wajib dalam evaluasi sebenarnya atau kemampuan melakukan suatu pekerjaan. Dengan kata lain bahwa dalam baku keberhasilan sekolah harus bekerjasama erat menggunakan keberhasilan yang diharapkan pada pekerjaan, menggunakan kriteria yg dipakai sang guru dengan mengacu dalam standar atau prosedur kerja yang telah ditentukan sang dunia kerja (dunia usaha dan global industri).

e. Standar keberhasilan pada luar sekolah (Out-of school success standards) 
Penentu keberhasilan tidak terbatas pada apa yg terjadi di lingkungan sekolah. Standar keberhasilan pada luar sekolah berkaitan menggunakan pekerjaan atau kemampuan kerja yang umumnya dilakukan oleh dunia bisnis atau global industri. Menurut Starr (1975), bahwa : Walaupun standar keberhasilan majemuk antar sekolah dan antar Negara, namun keberhasilan tadi tak jarang merogoh bentuk kepuasan pegawai menggunakan keahlian lulusan, suatu persentase tinggi lulusan yg mendapatkan pekerjaan di bidang persiapan atau dalam bidang yg bekerjasama, kepuasan kerja lulusan, kemajuan yg dialami lulusan. 

Sebagai model, buat memilih keberhasilan pada luar sekolah yang sudah dilakukan dalam SMK merupakan menggunakan dilaksanakannya uji level buat kelas X serta XI, dan uji kompetensi buat kelas XII yang dilakukan sang global bisnis atau industri menurut baku kompetensi nasional sesuai bidang keahlian.

Standar kelulusan di luar sekolah (out-of school success standards) dilakukan oleh global bisnis dan industri yang mengacu pada baku kompetensi sesuai bidang keahlian atau produk yang didapatkan sang masing-masing industri.

f. Hubungan kerja sama menggunakan masyarakat (School-community relationships)
Suatu bisnis pendidikan harus herbi masyarakat, demikian juga menggunakan pendidikan kejuruan memiliki tanggung jawab pada dalam mempertahankan interaksi yg bertenaga dengan banyak sekali bidang keahlian yg berkembang pada rakyat.

Pengertian msyarakat yang dimakasud adalah dunia usaha serta global industri. Penyelenggaraan pendidikan kejuruan wajib relevan menggunakan tuntutan kerja dalam global usaha atau industri, maka perkara hubungan antara forum pendidikan dengan dunia usaha atau industri merupakan suatu karakteristik ciri yg penting bagi pendidikan kejuruan.

Perwujudan hubungan timbal kembali berupa kesediaan global bisnis atau industri, menampung peserta didik buat mendapat kesempatan pengalaman belajar pada lapangan kerja atau industri, merpakan bentuk kerjasama yg saling menguntungkan.

g. Keterlibatan pemerintah sentra (Federal involvement) 
Keterlibatan pemerintah pusat ini berkaitan menggunakan dana pendidikan yang akan dialokasikan, lantaran hal ini akan mensugesti kurikulum. Misalnya : Ketentuan jam pengajaran kejuruan tertentu dan jenis perlengkapan eksklusif yang dipakai pada bengkel atau laboratorium dapat membantu perkembangan suatu tingkat kualitas yang lebih tinggi.

h. Kepekaan (Responsivenenss)
Komitmen yg tinggi untuk selalu berorientasi ke dunia kerja, pendidikan kejuruan harus memiliki ciri berupa kepekaan atau daya suai terhadap perkembangan warga dalam biasanya, dan global kerja dalam khususnya. Perkembangan ilmu dan teknologi, penemuan dan inovasi-inovasi baru di bidang produksi dan jasa, besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan kejuruan. Untuk itulah pendidikan kejuruan wajib bersifat responsif agresif terhadap perkembangan ilmu serta teknologi, menggunakan upaya lebih menekankan pada sifat adaptabilitas dan fleksibilitas buat menghadapi prospek karir peserta didik pada jangka panjang.

i. Logistik
Kurikulum pendidikan kejuruan pada implementasi aktivitas pembelajaran perlu didukung sang fasilitas beajar yang memadai, karena untuk mewujudkan situasi belajar yang dapat mencerminkan situasi global kerja secara realistis serta edukatif, diharapkan poly perlengkapan, sarana dan perbekalan logistik. Bengkel kerja serta laboratorium adalah kelengkapan utama dalam sekolah kejuruan yg harus ada sebagai fasilitas bagi siswa pada pada membuatkan kemampuan kerja sinkron dengan tuntutan global usaha dan industri.

Kebutuhan buat koordinasi program kejuruan yg bekerja sama menggunakan industri pada warga , berafiliasi erat buat menjalin dan mempertahankan sentra kerja bagi peserta didik memberitahuakn suatu susunan unit permasalahan logistik.

j. Pengeluaran (Expense)
Pengeluaran rutin sebagai porto pendidikan pada pendidikan kejuruan yang menunjang aktivitas pembelajaran, mencakup biaya listrik, air, pemeliharaan serta penggantian peralatan, biaya transportasi ke lokasi/industri (tempat praktek kerja/magang) yang jauh berdasarkan sekolah. Di samping itu, alat-alat harus diperbaharui secara periodik jua guru berharap buat menaruh pengalaman belajar yg sebenarnya bagi peserta didik sebagaimana layaknya di industri, maka ini bisa sebagai mahal. Yang terakhir yang juga wajib menjadi perhatian adalah pembelian bahan habis menjadi bahan praktikum yang dipakai secara rutin sinkron dengan acara keahlian yg dikembangkan dalam Sekolah Menengah Kejuruan masing-masing.

Dari uraian mengenai karakteristik pendidikan kejuruan yang disarikan berdasarkan Finch serta Crunkilton (1984) di atas, bisa dijadikan acuan pada dalam pengembangan kurikulum pendidikan kejuruan pada Indonesia. Kurikulum pendidikan kejuruan yg dikembangkan di Indoneisa seyogianya mengacu pada ciri sebagai berikut :
1) Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja 
2) Pendidikan kejuruan berdasarkan atas kebutuhan dunia kerja
3) Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan dalam penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap serta nilai-nilai yg dibutuhkan sang dunia kerja.
4) Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa wajib pada “hands-on” atau performance dalam dunia kerja 
5) Hubungan yg erat dengan global kerja merupakan kunci keberhasilan pendidikan kejuruan
6) Pendidikan kejuruan yang baik merupakan responsif dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi
7) Pendidikan kejuruan lebih ditekankan dalam “learning by doing” 
8) Pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang mutakhir buat praktek sinkron dengan tuntutan dunia bisnis serta industri

B. Tuntutan Perkembangan Pendidikan Kejuruan
Perkembangan teknologi menuntut adanya perkembangan juga pada pendidikan kejuruan, lantaran waktu ini tatanan kehidupan dalam umumnya serta tatanan perekonomian pada khususnya sedang mengalami pergeseran paradigma ke arah global. Pergeseran ini akan membuka peluang kolaborasi antar Negara semakin terbuka dan pada sisi lain, persaingan antar Negara semakin ketat. Untuk mempertinggi kemampuan persaingan dalam perdagangan bebas, diperlukan serangkaian kekuatan daya saing yang andal, antara lain kemampuan manajemen, teknologi serta asal daya insan. Sumber daya manusia merupakan sumber daya aktif yg bisa menentukan kelangsungan hayati serta kemenangan dalam persaingan suatu bangsa.

Pendidikan mempunyai peran yg sangat strategis dalam mewujudkan sumber daya manusia yg tangguh buat menghadapi persaingan bebas. Termasuk pendidikan kejuruan yang menyiapkan peserta didik atau asal daya manusia yg mempunyai kemampuan kerja sebagai energi kerja menengah sesuai dengan tuntutan dunia usaha serta global industri. Oleh karenanya sinkron dengan tuntutan perkembangan pendidikan kejuruan, maka perlu adanya pembaharuan pendidikan dan training kejuruan pada Sekolah Menengah Kejuruan buat masa depan.

1. Tuntutan peserta didik 
Pendidikan kejuruan memiliki peran untuk menyiapkan peserta didik supaya siap bekerja, baik bekerja secara berdikari (wiraswasta) maupun mengisi lowongan pekerjaan yang terdapat. SMK menjadi keliru satu institusi yg menyiapkan energi kerja, dituntut bisa membentuk lulusan sebagaimana yg diharapkan global kerja. Tenaga kerja yang diharapkan adalah sumber daya insan yg memiliki kompetensi sinkron dengan bidang pekerjaannya, mempunyai daya adaptasi serta daya saing yg tinggi. Atas dasar itu, pengembangan kurikulum pada rangka penyempurnaan pendidikan menengah kejuruan harus disesuaikan menggunakan syarat serta kebutuhan global kerja. 

Tuntutan siswa serta lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja perlu dijadikan asal pijakan pada pada merumuskan tujuan pendidikan kejuruan. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi bentuk satuan pendidikan kejuruan sebagaimana ditegaskan pada penerangan Pasal 15 UU SISDIKNAS, merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama buat bekerja pada bidang tertentu, yang dirumuskan dalam tujuan umum serta tujuan khusus menjadi berikut. 

Tujuan Umum :
a. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik pada Tuhan Yang Maha Esa
b. Mengembangkan potensi peserta didik agar sebagai warga Negara yg berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis serta bertanggung jawab.
c. Mengembangkan potensi peserta didik supaya memiliki wawasan kebangsaan, memahami serta menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia
d. Mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kepedulian terhadap lingkungan hayati, dengan secara aktif turut memelihara dan melestarikan lingkungan hidup, dan memanfaatkan sumber daya alam menggunakan efektif dan efisien.

Tujuan Khusus :
a. Menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, juga bekerja berdikari, mengisi lowongan pekerjaan yang terdapat di global usaha dan industri menjadi energi tingkat kerja menengah, sinkron dengan kompetensi dalam program keahlian yg dipilihnya.
b. Menyiapkan peserta didik agar bisa menentukan karir, ulet serta gigih dalam berkompetisi, menyesuaikan diri di lingkungan kerja, dan menyebarkan perilaku profesional pada bidang keahlian yg diminatinya.
c. Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi serta seni, agar sanggup berbagi diri di lalu hari baik secara berdikari maupun melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi
d. Membekali siswa dengan kompetensi-kompetensi sinkron dengan acara keahlian yang dipilih.
(Disarikan dari Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Program Keahlian Tata Busana, 2004).

2. Tuntutan menjawab kebutuhan masyarakat
Ditinjau berdasarkan perspektif perkembangan kebutuhan pembelajaran serta aksesibilitas duia usaha/industri, sekurang-kurangnya tiga dimensi pokok yg sebagai tantangan bagi Sekolah Menengah Kejuruan, baik pada konteks regional juga nasional, antara lain : 
a. Implementasi acara pendidikan dan training wajib serius pada pendayagunaan potensi sumber daya lokal, sambil mengoptimalkan kerjasama secara intensif dengan institusi pasangan
b. Pelaksanaan kurikulum harus dari pendekatan yang lebih fleksibel sinkron dengan musim perkembangan serta kemajuan teknologi supaya kompetensi yg diperoleh siswa selama serta setelah mengikuti program diklat, memiliki daya adaptasi yang tinggi
c. Program pendidikan dan training sepenuhnya wajib berorientasi mastery learning (belajar tuntas) dengan melibatkan kiprah aktif – partisipatif para stakeholders pendidikan, termasuk optimalisasi kiprah Pemerintah Daerah untuk merumuskan pemetaan kompetensi ketenagakerjaan pada wilayahnya sebagai input bagi SMK dalam penyelenggaraan diklat berkelanjutan. 

Untuk mencari solusi menurut tantangan tersebut pada atas, Sekolah Menengah Kejuruan sebagai galat satu lembaga penyelenggara pendidikan serta pembinaan kejuruan wajib mampu memberikan layanan pendidikan terbaik kepada siswa walaupun syarat fasilitasnya sangat majemuk. Seperti diketahui, bahwa investasi dan pembiayaan operasional terbesar yang dilakukan oleh pemerintah pada pendidikan kejuruan merupakan pada sistem Sekolah Menengah Kejuruan. Dengan kenyataan ini, apakah Sekolah Menengah Kejuruan masih dibutuhkan ? 

Pembukaan serta penutupan suatu SMK dalam dasarnya sangat tergantung dalam tuntutan kebutuhan pengembangan asal daya manusia di daerah atau daerah setempat. Pembukaan institusi SMK baru sangat dimungkinkan jika terdapat tuntutan kebutuhan asal daya insan yang terkait menggunakan peran dan fungsi SMK. Sebagaimana yang dikemukakan Djojonegoro (1998), bahwa : “Secara teoritik pendidikan kejuruan sangat dipentingkan lantaran lebih menurut 80 % tenaga kerja pada lapangan kerja adalah tenaga kerja tingkat menengah ke bawah dan sisanya kurang dari 20 % bekerja dalam lapisan atas. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan kentara adalah hal penting”. 

Penutupan suatu institusi SMK hanya dimungkinkan bila secara hukum nir dapat dipertahankan atau karena adanya tuntutan rakyat yang sama sekali tidak dapat dipertahankan atau dihindari. Namun pada dasarnya, tidak ada alasan buat menutup Sekolah Menengah Kejuruan selama institusi tadi masih bisa menjalankan kiprah dan fungsi serta tidak bertentangan menggunakan aturan yg berlaku.

Upaya buat mempertahan Sekolah Menengah Kejuruan yg bisa menjawab tuntutan kebutuhan warga , pada hal ini Sekolah Menengah Kejuruan wajib mampu menjalankan kiprah dan fungsinya dengan baik. Dalam menjalankan peran serta fungsinya tersebut, maka pendidikan serta pelatihan di SMK perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan kejuruan yg dikemukakan Prosser (Djojonegoro, 1998); menjadi berikut :
a. Pendidikan kejuruan akan efisien apabila lingkungan dimana siswa dilatih merupakan replika lingkungan dimana nanti beliau akan bekerja.
b. Pendidikan kejuruan yg efektif hanya bisa diberikan dimana tugas-tugas latihan dilakukan menggunakan cara, indera dan mesin yg sama misalnya yang ditetapkan pada tempat kerja.
c. Pendidikan kejuruan akan efektif apabila dia melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir serta bekerja misalnya yg dibutuhkan dalam pekerjaan itu sendri
d. Pendidikan kejuruan akan efektif jika beliau bisa memampukan setiap individu memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya dalam taraf yg paling tinggi
e. Pendidikan kejuruan yg efektif buat setiap profesi, jabatan atau pekerjaan hanya bisa diberikan kepada seorang yang memerlukannya, yg menginginkannya serta yang bisa untung darinya
f. Pendidikan kejuruan akan efektif bila pengalaman latihan buat menciptakan norma kerja serta kebiasaan berfkir yg sahih diulangkan sebagai akibatnya pas misalnya yg diharapkan dalam pekerjaan nantinya
g. Pendidikan kejuruan akan efektif apabila gurunya sudah mempunyai pengalaman yg sukses pada penerapan keterampilan serta pengetahuan pada operasi serta proses kerja yg akan dilakukan
h. Pada setiap jabatan terdapat kemampuan minimum yg harus dipunyai oleh seseorang supaya dia permanen bisa bekerja dalam jabatan tersebut
i. Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar (memperhatikan pertanda-pertanda pasar kerja)
j. Proses pembinaan kebiasaan yg efektif pada murid akan tercapai jika training diberikan dalam pekerjaan yang nyata
k. Sumber yg bonafide buat mengetahui isi pelatihan pada suatu okupasi tersebut
l. Setiap okupasi mempunyai karakteristik-ciri isi (body of content) yang bhineka satu menggunakan yg lainnya
m. Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yg efisien jika sesuai menggunakan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan serta memang paling efektif bila dilakukan lewat pengajaran kejuruan
n. Pendidikan kejuruan akan efisien apabila metode pengajaran yg digunakan dan interaksi eksklusif dengan siswa mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik tersebut
o. Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika beliau luwes dan mengalir daripada kaku dan terstandar
p. Pendidikan kejuruan memerlukan porto tertentu serta bila tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan nir boleh dipaksakan beroperasi.

3. Tuntutan pengelolaan pendidikan kejuruan
Tuntutan pengelolaan dalam pendidikan kejuruan harus sinkron menggunakan kebijakan link and match, yaitu perubahan dari pola usang yang cenderung berbentuk pendidikan demi pendidikan ke suatu yang lebih terperinci, jelas dan konkrit sebagai pendidikan kejuruan menjadi program pengembangan sumber daya insan. Dimensi pembaharuan yang diturunkan menurut kebijakan link and match, yaitu :

a. Perubahan dari pendekatan Supply Driven ke Demand Driven
Dengan deman driven ini mengharapkan global bisnis serta global industri atau dunia kerja lebih berperan di pada memilih, mendorong dan menggerakkan pendidikan kejuruan, karena mereka adalah pihak yg lebih berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja. Dalam pelaksanaannya, global kerja ikut berperan dan karena proses pendidikan itu sendiri lebih lebih banyak didominasi dalam menentukan kualitas tamatannya, serta pada penilaian hasil pendidikan itupun global kerja ikut menentukan supaya hasil pendidikan kejuruan itu terjamin serta terukur menggunakan ukuran global kerja.

Sebagai salah satu bentuk penerapan prinsip demand driven, maka dalam pengembangan kurikulum SMK wajib melakukan sinkronisasi kurikulum yng direalisasikan pada program Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Dengan melakukan sinkronisasi kurikulum, penyelengaraan pembelajaran di SMK diupayakan sedekat mungkin menggunakan kebutuhan serta kondisi global kerja/industri, serta mempunyai relevansi dan fleksibilitas tinggi dengan tuntutan lapangan. Melalui sinkronisasi kurikulum ini, diharapkan sekolah bisa membaca keahlian dan performansi apa yg diperlukan dunia bisnis atau industri buat dapat dimasuki oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan. 

b. Perubahan berdasarkan pendidikan berbasis sekolah (School Based Program) ke sistem berbasis ganda (Dual Based Program) 
Perubahan berdasarkan pendidikan berbasis sekolah, ke pendidikan berbasis ganda sesuai dengan kebijakan link and match, mengharapkan supaya acara pendidikan kejuruan itu dilaksanakan pada 2 tempat. Sebagian program pendidikan dilaksanakan di sekolah, yaitu teori dan praktek dasar kejuruan, dan sebagian lainnya dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keterampilan produktif yang diperoleh melalui prinsip learning by doing. Pendidikan yg dilakukan melalui proses bekerja di dunia kerja akan memberikan pengetahuan keterampilan serta nilai-nilai dunia kerja yang nir mungkin atau sulit didapat di sekolah, antara lain pembentukan wawasan mutu, wawasan keunggulan, wawasan pasar, wawasan nilai tambah, dan pembentukan pandangan hidup kerja.

c. Perubahan berdasarkan model pedagogi yang mengajarkan mata-mata pelajaran ke contoh pengajaran berbasis kompetensi
Perubahan ke model pedagogi ke berbasis kompetensi, bermaksud menuntun proses pedagogi secara eksklusif berorientasi pada kompetensi atau satuan-satuan kemampuan. Pengajaran berbasis kompetensi ini sekaligus memerlukan perubahan kemasan kurikulum kejuruan ke pada kemasan berbentuk paket-paket kompetensi.

d. Perubahan dari program dasar yang sempit (Narrow Based) ke acara dasar yang mendasar, bertenaga serta luas (Broad Based)
Kebijakan link and match menuntut adanya pembaharuan, menunjuk kepada pembentukan dasar yang mendasar, kuat serta lebih luas. Sistem baru yg berwawasan sumberdaya manusia, berwawasan mutu dan keunggulan menganut prinsip, bahwa : tidak mungkin membangun sumberdaya manusia yang berkualitas serta yang memiliki keunggulan, bila nir diawali menggunakan pembentukan dasar yg kuat. Dalam rangka penguatan dasar ini, maka peserta didik perlu diberi bekal dasar yang berfungsi buat membangun keunggulan, sekaligus menyesuaikan diri terhadap perkembangan IPTEK, dengan memperkuat penguasaan matematika, IPA, Bahasa Inggris serta Komputer. Sistem baru ini wajib memberi dasar yg lebih luas namun kuat serta mendasar, yg memungkinkan seorang tamatan SMK mempunyai kemampuan menyesuaikan diri terhadap kemungkinan perubahan pekerjaan.

e. Perubahan menurut sistem pendidikan formal yg kaku, ke sistem yang luwes serta menganut prinsip multy entry, multy exit
Dengan adanya perubahan menurut supply driven ke demand driven, dari schools based acara ke dual based acara, dari contoh pedagogi mata pelajaran ke acara berbasis kompetensi; diperlukan adanya keluwesan yg memungkinkan pelaksanaan praktek kerja industri serta pelaksanaan prinsip multy entry multy exit. Prinsip ini memungkinkan peserta didik SMK yg telah mempunyai sejumlah satuan kemampuan tertentu (lantaran program pengajarannya berbasis kompetensi), menerima kesempatan kerja pada dunia kerja, maka siswa tadi dimungkinkan meninggalkan sekolah. Dan jikalau siswa tadi ingin masuk sekolah kembali menyelesaikan acara SMK nya, maka sekolah harus membuka diri menerimanya, serta bahkan menghargai dan mengakui keahlian yg diperoleh peserta didik yang bersangkutan menurut pengalaman kerjanya. Di samping itu, sistem program berbasis ganda jua memerlukan pengaturan praktek kerja pada industri sesuai menggunakan anggaran kerja yg berlaku di industri yang tidak sama menggunakan anggaran kalender belajar di sekolah.

f. Perubahan menurut sistem yg tidak mengakui keahlian yang telah diperoleh sebelumnya, ke sistem yang mengakui keahlian yang diperoleh menurut mana dan dengan cara apapun kompetensi itu diperoleh (Recognition of prior learning)
Sistem baru pendidikan kejuruan harus sanggup memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki sang seorang. Sistem ini akan memotivasi banyak orang yg sudah mempunyai kompetensi tertentu, misalnya dari pengalaman kerja, berusaha mendapatkan pengakuan sebagai bekal buat pendidikan dan pembinaan berkelanjutan. Untuk ini Sekolah Menengah Kejuruan perlu menyiapkan diri sebagai akibatnya memiliki instrument dan kemampuan menguji kompetensi seorang darimana serta dengan cara apapun kompetensi itu dihasilkan.

g. Perubahan dari pemisahan antara pendidikan dengan pelatihan kejuruan, ke sistem baru yg mengintegrasikan pendidikan dan training kejuruan secara terpadu
Program baru pendidikan yg mengemas pendidikannya pada bentuk paket-paket kompetensi kejuruan, akan memudahkan pengakuan dan penghargaan terhadap program pembinaan kejuruan dan program pendidikan kejuruan. Sistem baru ini memerlukan standarisasi kompetensi, serta kompetensi yang terstandar itu mampu dicapai melalui program pendidikan, acara pelatihan atau bahkan dengan pengalaman kerja yang ditunjang dengan inisiatif belajar sendiri.

h. Perubahan dari sistem terminal ke sistem berkelanjutan
Sistem baru permanen mengharapkan serta mengutamakan tamatan Sekolah Menengah Kejuruan langsung bekerja, agar segera sebagai energi produktif, bisa memberi return atas investasi SMK. Sistem baru juga mengakui banyak tamatan SMK yg potensial, dan potensi keahlian kejuruannya akan lebih berkembang lagi sesudah bekerja. Terhadap mereka ini diberi peluang buat melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yg lebih tinggi (misalnya acara Diploma), melalui suatu proses artikulasi yg mengakui dan menghargai kompetensi yang diperoleh berdasarkan Sekolah Menengah Kejuruan dan dari pengalaman kerja sebelumnya.

Untuk menerima sistem artikulasi yg efisien diharapkan “acara antara” (bridging acara) guna memantapkan kemampuan dasar tamatan Sekolah Menengah Kejuruan yang telah berpengalaman kerja, supaya siap melanjutkan ke program pendidikan yg lebih tinggi. 

i. Perubahan berdasarkan manajemen terpusat ke pola manajemen mandiri (prinsip desentralisasi)
Pola baru manajemen berdikari dimaksudkan memberi peluang pada propinsi serta bahkan sekolah buat menentukan kebijakan operasional, dari permanen mengacu kepada kebijakan nasional. Kebijakan nasioanl dibatasi dalam hal-hal yang bersifat strategis, supaya memberi peluang bagi para pelaksana di lapangan berimprovisasi dan melakukan penemuan. Proses pendewasaan Sekolah Menengah Kejuruan perlu ditekankan, buat menumbuhkan rasa percaya diri sekolah melakukan apa yg baik dari sekolah, menggunakan prinsip akuntabilitas (accountability) yg secara taat azas menaruh penghargaan pada mereka yg pantas dihargai, serta menindak mereka yang pantas ditindak.

j. Perubahan dari ketergantungan sepenuhnya dari pembiayaan pemerintah sentra, ke swadana dengan subsidi pemerintah pusat
Sejalan menggunakan prinsip demand driven, dual based acara, pendewasaan manajemen sekolah, dan pengembangan unit produksi sekolah, sistem baru diharapkan bisa mendorong pertumbuhan swadana dalam Sekolah Menengah Kejuruan, dan posisi lokasi dana menurut pemerintah sentra bersifat membantu atau subsidi. Sistem ini pula dibutuhkan sanggup mendorong SMK berpikir dan berperilaku ekonomis.