MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASISI SEKOLAH MPMBS

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasisi Sekolah (MPMBS) 
Kehidupan dalam abad ke-21 ini menuntut asal daya insan yang unggul yang dapat bertahan di dalam kehidupan yang penuh menggunakan persaingan. Upaya peningkatan SDM harus dilakukan melalui peningkatan kompetensi manusia Indonesia yang siap hayati di peradaban global. Dalam global pendidikan dibutuhkan sekolah yg tidak hanya menyebarkan keunggulan lokal melalui energi-tenaga terdidik, namun juga perlu tersedianya satuan pendidikan yg sanggup membuat lulusan berstandar internasional.

Penurunan kualitas pendidikan yg melanda ketika ini, sebagai bahan pemikiran lebih awal pada mempelajari arah pendidikan yang terus berjalan, serta tidak kalah pentingnya bagaimana mengkaji problem tenaga kependidikan (guru) yg hingga waktu ini masih terpinggirkan.

Berbagai usaha sudah dilakukan buat meningkatkan mutu pendidikan nasional, contohnya pengembangan kurikulum nasional serta lokal, peningkatan kompetensi guru melalui training, pengadaan buku dan indera pelajaran, pengadaan dan pemugaran sarana serta prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namum demikian, aneka macam indikator mutu pendidikan belum memperlihatkan peningkatan yg berarti. Sebagian sekolah, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yg cukup menggembirakan tetapi sebagian lainnya masih memprihatinkan.

Pada mulanya merupakan adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah menjadi jawaban atas banyak sekali pertanyaan serta persoalan lebih kurang terpuruknya mutu pendidikan pada negeri kita. Dari MBS kemudian berkembang dan semakin dimantapkan menjadi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) menjadi wujud konsern serta komitmen kita terhadap mutu pendidikan.

Dengan bermunculannya sekolah unggulan dan sekolah bertaraf internasional, pemerintah harus semakin mencermati mutu serta kualitas sekolah tadi. Sebab apabila nir ada regulasi yang ketat, konsep pendidikan nasional seperti diamanahkan dalam konstitusi tentu akan pudar.

Untuk mendukung peningkatan MPMBS, utamanya dalam sekolah RSBI Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan Kementerian Pendidikan Nasional mendorong sekolah yg berstatus RSBI dan SBI buat memiliki sertifikasi ISO 9001:2000 sebagai wujud standardisasi manajemen sekolah. Dengan adanya tunjangan profesi ISO 9001:2000 ini, dibutuhkan sekolah dapat mempertanggungjawabkan mutu melalui banyak sekali prestasi yang terukur serta bisa ditunjukan.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Depdiknas (2002:3) merumuskan MPMBS sebagai contoh manajemen pendidikan yang otonomi lebih akbar pada sekolah, memberikan fleksibilitas (keluwesan) pada sekolah, serta mendorong partisipasi secara pribadi stake holder buat menaikkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yg berlaku. Menurut David pada Nurkolis (2003:33) MPMBS adalah swatantra sekolah yg dibarengi menggunakan pembuatan keputusan secara partisipatori. Sedangkan dari Caldwell pada Mulyasa (2002:82), mendefinisikan MPMBS menjadi wewenang pengalokasian asal daya yang didesentralisasikan.

Dengan otonomi yang lebih akbar, maka sekolah memiliki kewenangan yg lebih akbar pada mengelola sekolahnya, sebagai akibatnya sekolah lebih berdikari. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya pada membuatkan acara-acara yg tentu saja lebih sinkron menggunakan kebutuhan serta potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola serta memanfaatkan asal daya sekolah secara optimal. Demikian jua, dengan partisipasi/pelibatan masyarakat sekolah serta masyarakat secara pribadi pada penyelenggaraan sekolah, maka rasa mempunyai mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa mempunyai ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi rakyat sekolah dan rakyat terhadap sekolah.

MPMBS merupakan bagian berdasarkan manajemen berbasis sekolah (MBS). Apabila MBS bertujuan buat menaikkan seluruh kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, serta pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari sang kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita waktu ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian yg lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan menurut dalam MBS buat saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.

MPMBS bertujuan buat memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (swatantra) kepada sekolah, hadiah fleksibilitas yang lebih akbar pada sekolah untuk mengelola asal daya sekolah, serta mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat buat menaikkan mutu pendidikan.

MPMBS memiliki ciri yang perlu dipahami sang sekolah yg akan menerapkannya. Dengan kata lain, bila sekolah ingin sukses pada menerapkan MPMBS, maka jumlah ciri MPMBS perlu dimiliki. Berbicara ciri MPMBS nir dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MPMBS adalah wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya.

Pendidikan yang selama ini dikelola secara terpusat (sentralisasi) kurang menaruh kebebasan pada sekolah dalam membuatkan lembaganya. Untuk itu pemerintah, pada hal ini Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan baru pada bidang pendidikan yaitu desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ke taraf sekolah. Adanya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) mengakibatkan adanya perbaikan mutu pada sekolah.

Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah menggunakan Standar Mutu Internasional atau SBI merupakan Sekolah Nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional pendidikan (SNP) Indonesia serta tarafnya Internasional sehingga diperlukan lulusannya mempunyai Kemampuan Daya Saing Internasional.

Pernencanaan program rintisan Sekolah Menengah Atas BI dituangkan ke pada Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) atau School Development and Investment Plan (SDIP). Langkah penyusunan RSP/SDIP terdiri menurut penilaian diri serta penyusunan serta ratifikasi RSP/SDIP.

Pelaksanaan SBI didasari sang Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat tiga: “Pemerintan dan/atau Pemda menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan buat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yg bertaraf Internasional”.

Untuk mendukung acara pemerintah pada merealisasikan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat tiga, PP No. 19 Pasal 61 Ayat 1, serta RENSTRA Depdiknas periode 2010-2014 mengenai kebijakan pada peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, keliru satunya yaitu dengan menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Seiring dengan hal tadi, maka sekolah menjadi lembaga yang melaksanakan RSBI harus dapat menaikkan komponen pada manajemen sekolah yg berupa manajemen kurikulum, wahana prasarana, keuangan, kesiswaan, ketenagaan, humas dan layanan khusus menggunakan memakai standar internasional.

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASISI SEKOLAH MPMBS

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasisi Sekolah (MPMBS) 
Kehidupan dalam abad ke-21 ini menuntut sumber daya manusia yang unggul yang dapat bertahan pada dalam kehidupan yg penuh dengan persaingan. Upaya peningkatan SDM wajib dilakukan melalui peningkatan kompetensi insan Indonesia yg siap hidup pada peradaban dunia. Dalam global pendidikan dibutuhkan sekolah yg tidak hanya mengembangkan keunggulan lokal melalui energi-tenaga terdidik, namun jua perlu tersedianya satuan pendidikan yang bisa menghasilkan lulusan berstandar internasional.

Penurunan kualitas pendidikan yang melanda ketika ini, menjadi bahan pemikiran lebih awal pada menelaah arah pendidikan yang terus berjalan, dan tidak kalah pentingnya bagaimana menyelidiki dilema energi kependidikan (guru) yang hingga saat ini masih terpinggirkan.

Berbagai usaha telah dilakukan buat mempertinggi mutu pendidikan nasional, contohnya pengembangan kurikulum nasional serta lokal, peningkatan kompetensi pengajar melalui training, pengadaan buku dan indera pelajaran, pengadaan serta perbaikan wahana serta prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namum demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yg berarti. Sebagian sekolah, menampakan peningkatan mutu pendidikan yang relatif menggembirakan tetapi sebagian lainnya masih memprihatinkan.

Pada mulanya adalah adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah sebagai jawaban atas banyak sekali pertanyaan serta duduk perkara kurang lebih terpuruknya mutu pendidikan pada negeri kita. Dari MBS kemudian berkembang serta semakin dimantapkan menjadi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai wujud konsern dan komitmen kita terhadap mutu pendidikan.

Dengan bermunculannya sekolah unggulan dan sekolah bertaraf internasional, pemerintah wajib semakin mencermati mutu serta kualitas sekolah tadi. Sebab jika tidak ada regulasi yg ketat, konsep pendidikan nasional misalnya diamanahkan pada konstitusi tentu akan pudar.

Untuk mendukung peningkatan MPMBS, utamanya dalam sekolah RSBI SMA/SMK Kementerian Pendidikan Nasional mendorong sekolah yang berstatus RSBI serta SBI buat memiliki sertifikasi ISO 9001:2000 sebagai wujud standardisasi manajemen sekolah. Dengan adanya tunjangan profesi ISO 9001:2000 ini, diharapkan sekolah dapat mempertanggungjawabkan mutu melalui aneka macam prestasi yg terukur dan dapat ditunjukan.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Depdiknas (2002:3) merumuskan MPMBS sebagai model manajemen pendidikan yang swatantra lebih besar kepada sekolah, menaruh fleksibilitas (keluwesan) pada sekolah, dan mendorong partisipasi secara eksklusif stake holder buat mempertinggi mutu sekolah dari kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut David pada Nurkolis (2003:33) MPMBS merupakan otonomi sekolah yang dibarengi dengan pembuatan keputusan secara partisipatori. Sedangkan dari Caldwell pada Mulyasa (2002:82), mendefinisikan MPMBS sebagai kewenangan pengalokasian asal daya yg didesentralisasikan.

Dengan otonomi yg lebih akbar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sebagai akibatnya sekolah lebih berdikari. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam berbagi acara-acara yg tentu saja lebih sinkron dengan kebutuhan serta potensi yg dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan asal daya sekolah secara optimal. Demikian pula, menggunakan partisipasi/pelibatan rakyat sekolah dan rakyat secara pribadi pada penyelenggaraan sekolah, maka rasa mempunyai mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa mempunyai ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan mempertinggi pengabdian warga sekolah serta masyarakat terhadap sekolah.

MPMBS adalah bagian menurut manajemen berbasis sekolah (MBS). Apabila MBS bertujuan buat menaikkan seluruh kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, penemuan, relevansi, dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan dalam peningkatan mutu. Hal ini didasari sang fenomena bahwa mutu pendidikan nasional kita waktu ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian yg lebih berfokus. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan berdasarkan dalam MBS buat saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.

MPMBS bertujuan buat memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui hadiah kewenangan (otonomi) pada sekolah, pemberian fleksibilitas yg lebih akbar kepada sekolah buat mengelola sumber daya sekolah, serta mendorong partisipasi rakyat sekolah serta warga buat menaikkan mutu pendidikan.

MPMBS memiliki ciri yang perlu dipahami sang sekolah yg akan menerapkannya. Dengan istilah lain, apabila sekolah ingin sukses pada menerapkan MPMBS, maka jumlah ciri MPMBS perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS nir bisa dipisahkan menggunakan ciri sekolah efektif. Jika MPMBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya.

Pendidikan yg selama ini dikelola secara terpusat (sentralisasi) kurang memberikan kebebasan pada sekolah dalam berbagi lembaganya. Untuk itu pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan baru di bidang pendidikan yaitu desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ke taraf sekolah. Adanya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) menyebabkan adanya perbaikan mutu di sekolah.

Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah dengan Standar Mutu Internasional atau SBI merupakan Sekolah Nasional yg menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional pendidikan (SNP) Indonesia serta tarafnya Internasional sebagai akibatnya diperlukan lulusannya mempunyai Kemampuan Daya Saing Internasional.

Pernencanaan program rintisan Sekolah Menengah Atas BI dituangkan ke pada Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) atau School Development and Investment Plan (SDIP). Langkah penyusunan RSP/SDIP terdiri berdasarkan penilaian diri serta penyusunan serta ratifikasi RSP/SDIP.

Pelaksanaan SBI didasari oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat tiga: “Pemerintan dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan buat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yg bertaraf Internasional”.

Untuk mendukung acara pemerintah pada merealisasikan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3, PP No. 19 Pasal 61 Ayat 1, serta RENSTRA Depdiknas periode 2010-2014 tentang kebijakan dalam peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, keliru satunya yaitu dengan menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Seiring menggunakan hal tersebut, maka sekolah menjadi forum yg melaksanakan RSBI wajib bisa menaikkan komponen pada manajemen sekolah yang berupa manajemen kurikulum, wahana prasarana, keuangan, kesiswaan, ketenagaan, humas serta layanan khusus menggunakan memakai baku internasional.

PENGERTIAN STRATEGIS BUDAYA ORGANISASI MENURUT AHLI

Pengertian, Strategis Budaya Organisasi Menurut Ahli 
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya nir tanggal dari konsep dasar mengenai budaya itu sendiri, yg merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan pada bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata sudah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan sang C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi menurut kehidupan insan yang berbudi luhur serta yg bersifat rohani, seperti : kepercayaan , kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Namun pendapat tadi sudah semenjak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang serta setiap grup orang-orang. Kini budaya dilihat sebagai sesuatu yang lebih bergerak maju, bukan sesuatu yg kaku dan statis. Budaya tidak nir diartikan menjadi sebuah istilah benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yg dihubungkan dengan aktivitas insan. Dari sini muncul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain sang Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas menaruh pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”. 

Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip sang Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.

Secara generik namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya mengenai Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai:

“ A pattern of shared basic assumptions that the class learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems.

Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci menurut pengertian budaya yaitu shared basic assumptions atau menduga pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa perkiraan meliputi beliefs (keyakinan) serta value (nilai). Beliefs merupakan perkiraan dasar mengenai dunia serta bagaimana global berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar serta Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yg terlepas menurut aktualisasi diri material yg diperoleh suatu komunitas. 

Value (nilai) merupakan suatu berukuran normatif yg mensugesti manusia buat melaksanakan tindakan yg dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995) menaruh citra mengenai nilai sebagai berikut : 

“ …setiap orang memiliki berbagai pengalaman yang memungkinkan beliau berkembang serta belajar. Dari pengalaman itu, individu menerima patokan-patokan umum buat bertingkah laku . Misalnya, bagaimana cara berhadapan menggunakan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih tindakan yg tepat pada satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam saat serta loka tertentu.” 

Pada bagian lain dikemukakan jua bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai menjadi standar; (2) nilai menjadi dasar penyelesaian permasalahan serta pembuatan keputusan; (tiga) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (lima) nilai menjadi dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.” 

Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau menyebarkan nilai dan keyakinan yg sama menggunakan semua anggota organisasi. Misalnya mengembangkan nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun mendapat dan menggunakan seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membangun gambaran organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam sebagai basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions mencakup : (1) shared things; (dua) shared saying, (tiga) shared doing; dan (4) shared feelings.

Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) mengungkapkan bahwa basic assumption didapatkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (tiga) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking. 

Dengan memahami konsep dasar budaya secara generik di atas, selanjutnya kita akan berusaha tahu budaya pada konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan pada pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi serta misi, sumber daya, dasar hukum struktur, serta anatomi yg kentara pada rangka mencapai tujuan tertentu. 

Sejak lebih menurut 1/4 abad yg kemudian, kajian tentang budaya organisasi sebagai daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli juga praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami serta mempraktekkan konduite organisasi. 

Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
(1) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat 5 hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
(2) Dimensi internal integration yang pada dalamnya masih ada enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion.

Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (dua) groups norms: standards and values; (tiga) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (lima) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of class in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.

Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik krusial berdasarkan budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yg tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa generik, kata, atau ritual tertentu; (dua) norms; yakni berbagai baku konduite yg ada, termasuk pada dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan wajib dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yg dianut beserta sang semua anggota organisasi, misalnya mengenai kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yg berkenaan menggunakan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan serta karyawan (lima) rules; yaitu adanya pedoman yg ketat, dikaitkan menggunakan kemajuan organisasi (6) organization climate; adalah perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan serta disampaikan melalui syarat tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain 

Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya disparitas pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama ditinjau menurut segi jumlah ciri budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya nir menerangkan perbedaan yang prinsipil.

Budaya organisasi dapat ditinjau menjadi sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dipandang menurut sisi in put, budaya organisasi meliputi umpan pulang (feed back) menurut warga , profesi, aturan, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dipandang berdasarkan proses, budaya organisasi mengacu kepada perkiraan, nilai serta norma, contohnya nilai mengenai : uang, ketika, manusia, fasilitas serta ruang. Sementara ditinjau menurut out put, herbi impak budaya organisasi terhadap konduite organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya. 

Dilihat menurut sisi kejelasan serta ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter serta James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi sebagai ke dalam 2 tingkatan yg berbeda. Dikemukakannya, bahwa dalam strata yg lebih dalam serta kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam grup dan cenderung bertahan sepanjang saat bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yg krusial dalam kehidupan, serta bisa sangat bervariasi pada perusahaan yg tidak sama : pada beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, pada hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok seringkali tidak sadar akan banyaknya nilai yg mengikat mereka bersama. Pada taraf yg terlihat, budaya mendeskripsikan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong buat mengikuti konduite sejawatnya. Sebagai model, katakanlah bahwa orang dalam satu grup telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat ortodok. Budaya pada pengertian ini, masih kaku untuk berubah, namun tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. 

Pada bagian lain, John P. Kotter serta James L. Heskett (1998) memaparkan jua tentang 3 konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yg kuat; (dua) budaya yg secara strategis cocok; dan (tiga) budaya adaptif. Organisasi yg memiliki budaya yang kuat ditandai menggunakan adanya kecenderungan hampir seluruh manajer menganut beserta seperangkat nilai serta metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini menggunakan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi sang bawahannya, selain jua oleh bossnya, bila dia melanggar norma-kebiasaan organisasi.

Gaya dan nilai dari suatu budaya yg cenderung nir poly berubah dan akar-akarnya telah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi menggunakan budaya yang bertenaga, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut beserta menciptakan orang merasa nyaman pada bekerja, rasa komitmen dan loyalitas menciptakan orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yg kuat memberikan struktur dan kontrol yg diperlukan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yg mencekik yg bisa menekan tumbuhnya motivasi serta penemuan. 

Budaya yg strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, bila ingin menaikkan kinerja organisasi. Konsep utama yg dipakai di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik jika cocok dengan konteksnya. Adapun yg dimaksud menggunakan konteks bisa berupa kondisi obyektif berdasarkan organisasinya atau taktik usahanya. 

Budaya yang adaptif berangkat menurut nalar bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan mengikuti keadaan dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yg superiror sepanjang ketika. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini adalah sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan agresif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung bisnis satu sama lain buat mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki beserta. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka bisa menata olah secara efektif masalah baru serta peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yg menyebar luas, satu semangat buat melakukan apa saja yang dia hadapi buat mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan penemuan. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yg bisa membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yg berbagi budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yg mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yg amanah, kewiraswastaan, serta kepemimpinan dalam poly taraf pada hierarki.

A. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yg kemudian tertanam dalam suatu budaya pada organisasi mampu bermula menurut mana pun, menurut perorangan atau kelompok, berdasarkan taraf bawah atau zenit. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yg berkepentingan menggunakan organisasi (stake holder); serta (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya bisa terjadi menggunakan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (tiga) penggalian budaya. Pembentukan budaya nir bisa dilakukan dalam saat yang sekejap, namun memerlukan ketika dan bahkan porto yg nir sedikit buat dapat menerima nilai-nilai baru pada organisasi. Lebih jelasnya, proses pembentukan budaya ini bisa diragakan pada bagan  berikut ini

Bagan  Pola Umum Munculnya Budaya Organisasi
sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. 

Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring dari kesesuaian nilai dan perilakunya menggunakan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya grup secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis mampu diceritakan terus menerus buat mengingatkan setiap orang mengenai nilai-nilai grup dan apa yg dimaksudkan dengannya.

Para manajer sanggup secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan model budaya serta gagasan budaya tadi. Begitu juga, anggota senior mampu mengkomunikasikan nilai-nilai utama mereka secara terus menerus dalam dialog sehari-hari atau melalui ritual dan seremoni-perayaan spesifik.

Orang-orang yg berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat populer dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri bisa mendorong anggota belia buat merogoh alih nilai serta gaya mentor mereka. Barangkali yg paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat hukuman (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi eksklusif sedangkan buat hukuman (punishment) nir hanya diberikan berdasar dalam aturan organisasi yang ada semata, namun jua bisa berbentuk hukuman sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya. 

Dalam suatu organisasi sesungguhnya nir terdapat budaya yg “baik” atau “tidak baik”, yg ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “nir cocok” . Jika pada suatu organisasi memiliki budaya yg cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun apabila terjadi kesalahan pada menaruh asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diharapkan.

Karena budaya ini sudah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yg sudah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis pada bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip sang Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat cara lain pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan buat mengganti unsur-unsur kultur supaya cocok menggunakan taktik; serta (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy pada bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan buat membenarkan perubahan budaya secara besar -besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang bertenaga tetapi nir cocok dengan lingkungan yg berubah; (2) apabila organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) apabila organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih tidak baik lagi; (4) apabila organisasi mulai memasuki peringkat yg sangat akbar; serta (lima) apabila organisasi kecil tetapi berkembang pesat.

Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa apabila nir ada satu pun alasan yg cocok menggunakan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh perkara usaha membarui budaya memperlihatkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 hingga 10 % dari yg sudah dihabiskan buat mengubah konduite orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan dihasilkan 1/2 perbaikan menurut yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan porto lebih banyak lagi. Pada bentuk saat, bisnis dan uang. 

B. Penerapan Budaya Organisasi pada Sekolah
Dengan memahami konsep mengenai budaya organisasi sebagaimana sudah diutarakan di atas, selanjutnya pada bawah ini akan diuraikan tentang penerapan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda menggunakan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai lebih banyak didominasi yang dikembangkannya serta karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan menggunakan pendukung budaya organisasi pada sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip sang Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa "the commonly held beliefs of teachers, students, and principals." 

Nilai-nilai yg dikembangkan di sekolah, tentunya tidak bisa dilepaskan berdasarkan eksistensi sekolah itu sendiri menjadi organisasi pendidikan, yang memiliki kiprah dan fungsi buat berusaha menyebarkan, melestarikan serta mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” . 

Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan pada sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk dalam pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya masih ada enam jenis nilai yg seyogyanya dikembangkan pada sekolah. Dalam tabel 1 berikut adalah dikemukakan keenam jenis nilai menurut Spranger bersama konduite dasarnya.

Tabel  Jenis Nilai serta Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No

Nilai

Perilaku Dasar

1
Ilmu Pengetahuan
Berfikir
2
Ekonomi
Bekerja
3
Kesenian
Menikmati keindahan
4
Keagamaan
Memuja
5
Kemasyarakatan
Berbakti/berkorban
6
Politik/kenegaraan
Berkuasa/memerintah
Sumber : Modifikasi berdasarkan Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. 

Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, pada bawah ini akan diuraikan mengenai karakteristik budaya organisasi pada sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.

(1) Obeserved behavioral regularities; budaya organisasi di sekolah ditandai menggunakan adanya keberaturan cara bertindak dari semua anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk program-acara ritual eksklusif, bahasa generik yg digunakan atau simbol-simbol eksklusif, yg mencerminkan nilai-nilai yg dianut oleh anggota sekolah. 

(dua) Norms; budaya organisasi pada sekolah ditandai pula oleh adanya kebiasaan-kebiasaan yang berisi tentang baku konduite menurut anggota sekolah, baik bagi siswa juga guru. Standar konduite ini bisa dari dalam kebijakan intern sekolah itu sendiri juga dalam kebijakan pemerintah wilayah dan pemerintah sentra. Standar perilaku murid terutama herbi pencapaian hasil belajar anak didik, yg akan memilih apakah seorang murid dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau nir. Standar perilaku murid nir hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata tetapi menyangkut seluruh aspek kepribadian.

Jika kita berpegang dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum baku konduite yg diharapkan menurut tamatan SMA, diantaranya meliputi :
(a) Memiliki keyakinan serta ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yg dianutnya.
(b) Memiliki nilai dasar humaniora buat menerapkan kebersamaan pada kehidupan.
(c) Menguasai pengetahuan serta keterampilan akademik dan beretos belajar buat melanjutkan pendidikan.
(d) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan dunia.
(e) Berekspresi dan menghargai seni.
(f) Menjaga kebersihan, kesehatan serta kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. 

Sedangkan berkenaan menggunakan baku perilaku guru, tentunya erat kaitannya menggunakan baku kompetensi yg harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah sudah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum pada Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan, yaitu : 
(a) Kompetensi pedagogik yaitu adalah kemampuan pada pengelolaan siswa yg meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap siswa; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yg mendidik serta dialogis; (f) penilaian hasil belajar; serta (g) pengembangan siswa buat mengaktualisasikan banyak sekali potensi yg dimilikinya.

(b) Kompetensi kepribadian yaitu adalah kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif serta bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) sebagai teladan bagi peserta didik dan rakyat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; serta (i) berbagi diri secara berkelanjutan.

(c) Kompetensi sosial yaitu adalah kemampuan pendidik sebagai bagian berdasarkan warga buat : (a) berkomunikasi mulut serta goresan pena; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan berita secara fungsional; (c) berteman secara efektif menggunakan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali siswa; serta (d) berteman secara santun dengan masyarakat sekitar.

(d) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas serta mendalam yang mencakup: (a) konsep, struktur, serta metoda keilmuan/teknologi/seni yg menaungi/koheren dengan bahan ajar; (b) bahan ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) interaksi konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; serta (e) kompetisi secara profesional pada konteks global menggunakan permanen melestarikan nilai serta budaya nasional.

(3) Dominant values; apabila dihubungkan menggunakan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan pada kerangka pencapaian mutu pendidikan pada sekolah. Nilai serta keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yg utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun mengenai makna berdasarkan mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan sang Sudarwan Danim (2002) mengartikannya menjadi gambaran keberhasilan pendidikan pada mengubah tingkah laris anak didik yang dikaitkan menggunakan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses serta output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui taraf kesiapan dan ketersediaan asal daya, perangkat lunak, dan harapan-asa. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi jua mutu input tersebut. Sedangkan dalam aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian serta penyerasian dan pemanduan input sekolah dilakukan secara serasi, sehingga bisa membangun situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), bisa mendorong motivasi dan minat belajar, serta sahih-sahih mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan bisa dicermati dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. 

Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yg dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang adalah suatu pendekatan pada menjalankan suatu unit bisnis buat mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, insan, proses kerja, serta lingkungannya. Berkaitan menggunakan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch serta Davis sebagaimana dikutip sang Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM berdasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus dalam pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (lima) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; serta (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal.

Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan juga empat prinsip primer dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (tiga) pengelolaan berdasarkan keterangan, dan (4) perbaikan secara terus menerus.

Selanjutnya, pada konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci mengenai elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) warta kualitas wajib digunakan buat pemugaran; bukan buat mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil wajib diikuti penghargaan (reward) atau hukuman (punishment); (d) kolaborasi serta sinergi, bukan kompetisi, wajib merupakan basis kolaborasi; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) wajib ditanamkan; (g) imbal jasa wajib sepadan menggunakan nilai pekerjaannya; dan (h) masyarakat sekolah merasa memiliki sekolah.

Di lain pihak, Jann E. Freed et. Al. (1997) dalam tulisannya mengenai A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. Pada ERIC Digest memaparkan mengenai upaya membangun budaya keunggulan akademik dalam pendidikan tinggi, menggunakan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang meliputi : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (lima) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) rencana for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created.. Dari pemikiran Jan E.freed et. Al. Pada atas, kita bisa menarik benang merah bahwa buat dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita buat dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, serta menjadikannya sebagai nilai serta keyakinan beserta berdasarkan setiap anggota sekolah.

(4) Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan menurut seluruh anggota organisasi dalam memandang mengenai sesuatu secara hakiki, contohnya tentang ketika, insan, serta sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Apabila kita mengadopsi filosofi pada global bisnis yg memang sudah terbukti memberikan keunggulan dalam perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan dalam upaya menaruh kepuasan pada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa :

“ pelanggan, terutama murid wajib merupakan penekanan dari seluruh kegiatan pada sekolah. Artinya, seluruh in put - proses yg dikerahkan di sekolah tertuju utamanya buat mempertinggi mutu serta kepuasan siswa . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-sahih mewujudkan sosok utuh mutu serta kepuasan yg dibutuhkan siswa.”

(lima) Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan serta aturan main yg mengikat semua anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber berdasarkan kebijakan sekolah setempat, juga dari pemerintah, yg mengikat semua warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan generik di sekolah ini dikemas pada bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan mengenai apa yang boleh serta tidak boleh dilakukan oleh masyarakat sekolah, sekaligus dilengkapi jua menggunakan ketentuan hukuman, apabila melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) pada tulisannya mengenai School Discipline yang dipublikasikan pada ERIC Digest 78 menyampaikan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (dua) create an environment conducive to learning.

(6) Organization climate; budaya organisasi ditandai menggunakan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of "the way we do things here.” 

Di sekolah terjadi interaksi yang saling menghipnotis antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik juga sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi serta dirasakan sang individu tersebut sehingga menyebabkan kesan dan perasaan eksklusif. Dalam hal ini, sekolah harus bisa menciptakan suasana lingkungan kerja yg kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik juga sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:

“ Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial juga psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif buat bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, rapikan letak, fasilitas serta sebagainya. Demikian jua, lingkungan sosial-psikologis, misalnya hubungan antar eksklusif, kehidupan gerombolan , kepemimpinan, pengawasan, kenaikan pangkat , bimbingan, kesempatan buat maju, kekeluargaan dan sebagainya. “

Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS merupakan adanya lingkungan yg aman dan tertib, dan nyaman sebagai akibatnya proses belajar mengajar dapat berlangsung menggunakan nyaman (enjoyable learning). 

C. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi pada Sekolah
Pentingnya membentuk budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yg dipublikasikan dalam ERIC Digest, berdasarkan beberapa hasil studi memberitahuakn bahwa budaya organisasi pada sekolah berkorelasi menggunakan peningkatan motivasi serta prestasi belajar murid serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu pula, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. Dan Martin L. Maehr tentang impak berdasarkan lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menerangkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum pada Illinois, mereka lebih termotivasi pada belajarnya menggunakan melalui budaya organisasi pada sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes murid sekolah dasar menerangkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan mengenai new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah pula mempunyai korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng menerangkan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.

Upaya buat mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer pada sekolah. Dalam hal ini, ketua sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yg kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi pada sekolah, maka ia akan lebih baik lagi pada menaruh penajaman mengenai nilai, keyakinan serta perilaku yang krusial guna mempertinggi stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

PENGERTIAN STRATEGIS BUDAYA ORGANISASI MENURUT AHLI

Pengertian, Strategis Budaya Organisasi Menurut Ahli 
Pemahaman mengenai budaya organisasi sesungguhnya nir tanggal berdasarkan konsep dasar mengenai budaya itu sendiri, yg adalah salah satu terminologi yg poly dipakai pada bidang antropologi. Dewasa ini, pada pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata sudah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan sang C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya mencakup segala manifestasi menurut kehidupan manusia yg berbudi luhur serta yg bersifat rohani, seperti : kepercayaan , kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tadi sudah semenjak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan menjadi manifestasi kehidupan setiap orang serta setiap kelompok orang-orang. Kini budaya dilihat menjadi sesuatu yg lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku serta statis. Budaya tidak nir diartikan sebagai sebuah istilah benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah istilah kerja yg dihubungkan dengan aktivitas insan. Dari sini ada pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain sang Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas memberikan pengertian budaya menjadi “cara kita melakukan hal-hal pada sini”. 

Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip sang Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.

Secara umum tetapi operasional, Edgar Schein (2002) berdasarkan MIT dalam tulisannya tentang Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai:

“ A pattern of shared basic assumptions that the class learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems.

Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci menurut pengertian budaya yaitu shared basic assumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) serta value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang global dan bagaimana global berjalan. Duverger sebagaimana dikutip sang Idochi Anwar serta Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas menurut aktualisasi diri material yg diperoleh suatu komunitas. 

Value (nilai) adalah suatu berukuran normatif yang mempengaruhi manusia buat melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe pada Taliziduhu (1997) nilai adalah “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995) memberikan gambaran mengenai nilai sebagai berikut : 

“ …setiap orang mempunyai banyak sekali pengalaman yg memungkinkan beliau berkembang serta belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan generik buat bertingkah laku . Misalnya, bagaimana cara berhadapan menggunakan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana menentukan tindakan yang sempurna pada satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan pada saat serta loka tertentu.” 

Pada bagian lain dikemukakan juga bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai baku; (dua) nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai menjadi motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; serta (5) nilai menjadi dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan sang Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.” 

Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau mengembangkan nilai serta keyakinan yg sama dengan semua anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui sandang seragam. Tetapi menerima dan memakai seragam saja tidaklah relatif. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol serta membentuk citra organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam sebagai basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (dua) shared saying, (3) shared doing; serta (4) shared feelings.

Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) menjelaskan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking. 

Dengan memahami konsep dasar budaya secara generik pada atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya pada konteks organisasi atau biasa diklaim budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi pada sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota mempunyai unsur visi dan misi, asal daya, dasar aturan struktur, serta anatomi yang kentara dalam rangka mencapai tujuan tertentu. 

Sejak lebih dari seperempat abad yg lalu, kajian mengenai budaya organisasi sebagai daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami serta mempraktekkan konduite organisasi. 

Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi bisa dibagi ke pada 2 dimensi yaitu :
(1) Dimensi external environments; yg didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; serta (e) correction.
(dua) Dimensi internal integration yang pada dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) class boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion.

Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, meliputi : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (dua) groups norms: standards and values; (tiga) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (5) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of class in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.

Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik penting berdasarkan budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin memakai bahasa umum, kata, atau ritual tertentu; (dua) norms; yakni aneka macam standar konduite yg ada, termasuk pada dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan wajib dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yg dianut beserta oleh seluruh anggota organisasi, contohnya tentang kualitas produk yg tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi pada memperlakukan pelanggan dan karyawan (5) rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan menggunakan kemajuan organisasi (6) organization climate; adalah perasaan holistik (an overall “feeling”) yang tergambarkan serta disampaikan melalui syarat rapikan ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, serta cara anggota organisasi memperlakukan dirinya serta pelanggan atau orang lain 

Dari ketiga pendapat pada atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan mengenai karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat berdasarkan segi jumlah ciri budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya nir menampakan disparitas yg prinsipil.

Budaya organisasi dapat dicermati sebagai sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dipandang dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) menurut rakyat, profesi, aturan, kompetisi serta sebagainya. Sedangkan dilihat menurut proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai serta norma, contohnya nilai tentang : uang, saat, insan, fasilitas serta ruang. Sementara dilihat dari out put, herbi dampak budaya organisasi terhadap konduite organisasi, teknologi, strategi, image, produk serta sebagainya. 

Dilihat berdasarkan sisi kejelasan serta ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi sebagai ke dalam dua strata yg berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih pada dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang pada gerombolan dan cenderung bertahan sepanjang ketika bahkan meskipun anggota kelompok telah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang krusial pada kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda : pada beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, pada hal lain orang sangat mempedulikan penemuan atau kesejahteraan karyawan. Pada strata ini budaya sangat sukar berubah, sebagian lantaran anggota kelompok seringkali tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka beserta. Pada tingkat yang terlihat, budaya mendeskripsikan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong buat mengikuti konduite sejawatnya. Sebagai model, katakanlah bahwa orang dalam satu grup telah bertahun-tahun sebagai “pekerja keras”, yg lainnya “sangat ramah terhadap orang asing serta lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yg sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku buat berubah, namun nir sesulit dalam strata nilai-nilai dasar. 

Pada bagian lain, John P. Kotter dan James L. Heskett (1998) memaparkan juga mengenai tiga konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yang kuat; (dua) budaya yang secara strategis cocok; dan (3) budaya adaptif. Organisasi yang mempunyai budaya yg kuat ditandai menggunakan adanya kecenderungan hampir seluruh manajer menganut bersama seperangkat nilai dan metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini dengan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi sang bawahannya, selain pula oleh bossnya, jika beliau melanggar kebiasaan-norma organisasi.

Gaya serta nilai menurut suatu budaya yang cenderung tidak banyak berubah serta akar-akarnya telah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi dengan budaya yang kuat, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yg sama. Nilai-nilai serta konduite yang dianut bersama menciptakan orang merasa nyaman pada bekerja, rasa komitmen dan loyalitas menciptakan orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yang bertenaga menaruh struktur serta kontrol yg diharapkan, tanpa wajib bersandar dalam birokrasi formal yang mencekik yang bisa menekan tumbuhnya motivasi dan inovasi. 

Budaya yg strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya wajib menyelaraskan serta memotivasi anggota, jika ingin menaikkan kinerja organisasi. Konsep primer yg dipakai pada sini merupakan “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik jika cocok menggunakan konteksnya. Adapun yg dimaksud menggunakan konteks mampu berupa syarat obyektif menurut organisasinya atau taktik usahanya. 

Budaya yang adaptif berangkat berdasarkan logika bahwa hanya budaya yg dapat membantu organisasi mengantisipasi dan mengikuti keadaan dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yg superiror sepanjang waktu. Ralph Klimann mendeskripsikan budaya adaptif ini adalah sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, serta agresif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung bisnis satu sama lain buat mengidentifikasi seluruh kasus serta mengimplementasikan pemecahan yg bisa berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yg dimiliki beserta. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka bisa menata olah secara efektif kasus baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat buat melakukan apa saja yang dia hadapi buat mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan serta penemuan. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yang dapat membantu sebuah organisasi mengikuti keadaan dengan lingkungan yg berubah, menggunakan memungkinkannya mengidentifikasi serta mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yg berbagi budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation menggunakan budaya yang mempromosikan penemuan, pengambilan resiko, pembahasan yg amanah, kewiraswastaan, serta kepemimpinan dalam banyak taraf dalam hierarki.

A. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan mengungkapkan mengenai proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya pada organisasi sanggup bermula berdasarkan mana pun, menurut perorangan atau gerombolan , menurut tingkat bawah atau puncak . Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir asal-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (dua) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yg berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa proses budaya bisa terjadi menggunakan cara: (1) hubungan budaya; (dua) benturan budaya; dan (3) ekskavasi budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan pada ketika yg sekejap, tetapi memerlukan saat serta bahkan biaya yang nir sedikit buat dapat mendapat nilai-nilai baru dalam organisasi. Lebih jelasnya, proses pembentukan budaya ini dapat diragakan pada bagan  berikut ini

Bagan  Pola Umum Munculnya Budaya Organisasi
sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. 

Setelah mapan, budaya organisasi seringkali mengabadikan dirinya pada sejumlah hal. Calon anggota gerombolan mungkin akan disaring menurut kesesuaian nilai dan perilakunya menggunakan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih sanggup diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis sanggup diceritakan terus menerus buat mengingatkan setiap orang mengenai nilai-nilai grup serta apa yg dimaksudkan dengannya.

Para manajer mampu secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan model budaya dan gagasan budaya tadi. Begitu pula, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus pada dialog sehari-hari atau melalui ritual dan seremoni-seremoni spesifik.

Orang-orang yg berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam pada budaya ini bisa populer serta dijadikan pahlawan. Proses alamiah pada identifikasi diri dapat mendorong anggota belia buat merogoh alih nilai serta gaya mentor mereka. Barangkali yg paling fundamental, orang yg mengikuti kebiasaan-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yg nir, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) sanggup berupa materi atau pun kenaikan pangkat jabatan pada organisasi eksklusif sedangkan buat hukuman (punishment) tidak hanya diberikan berdasar dalam anggaran organisasi yang ada semata, namun pula sanggup berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tadi menjadi isolated pada lingkungan organisasinya. 

Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak terdapat budaya yg “baik” atau “jelek”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Apabila dalam suatu organisasi mempunyai budaya yg cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada serta perubahan nir perlu dilakukan. Namun apabila terjadi kesalahan pada memberikan asumsi dasar yg berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin dibutuhkan.

Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit buat diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz serta Stanley Davis pada bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat cara lain pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (dua) kendalikan disekitarnya; (tiga) upayakan buat membarui unsur-unsur kultur supaya cocok menggunakan taktik; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) menggunakan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan buat membenarkan perubahan budaya secara besar -besaran : (1) Jika organisasi mempunyai nilai-nilai yang bertenaga tetapi nir cocok menggunakan lingkungan yang berubah; (dua) Jika organisasi sangat bersaing serta berkiprah dengan kecepatan kilat; (tiga) Jika organisasi ukuran sedang-sedang saja atau lebih jelek lagi; (4) apabila organisasi mulai memasuki peringkat yg sangat besar ; serta (lima) apabila organisasi mini tetapi berkembang pesat.

Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa bila tidak terdapat satu pun alasan yang cocok dengan pada atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus bisnis mengubah budaya memberitahuakn bahwa hal ini akan memakan porto antara 5 sampai 10 persen berdasarkan yg telah dihabiskan buat mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan dihasilkan 1/2 pemugaran menurut yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan porto lebih banyak lagi. Pada bentuk ketika, bisnis dan uang. 

B. Penerapan Budaya Organisasi di Sekolah
Dengan memahami konsep mengenai budaya organisasi sebagaimana sudah diutarakan pada atas, selanjutnya di bawah ini akan diuraikan mengenai penerapan budaya organisasi pada konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya nir jauh berbeda menggunakan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun masih ada disparitas mungkin hanya terletak dalam jenis nilai dominan yang dikembangkannya serta karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan dengan pendukung budaya organisasi di sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip oleh Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa "the commonly held beliefs of teachers, students, and principals." 

Nilai-nilai yang dikembangkan pada sekolah, tentunya nir bisa dilepaskan menurut keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yg memiliki kiprah dan fungsi buat berusaha mengembangkan, melestarikan serta mewariskan nilai-nilai budaya pada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” . 

Nilai-nilai yg mungkin dikembangkan di sekolah tentunya sangat majemuk. Jika merujuk dalam pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan sang Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya terdapat enam jenis nilai yang seyogyanya dikembangkan pada sekolah. Dalam tabel 1 berikut ini dikemukakan keenam jenis nilai berdasarkan Spranger bersama konduite dasarnya.

Tabel  Jenis Nilai serta Perilaku Dasarnya dari Spranger
No

Nilai

Perilaku Dasar

1
Ilmu Pengetahuan
Berfikir
2
Ekonomi
Bekerja
3
Kesenian
Menikmati keindahan
4
Keagamaan
Memuja
5
Kemasyarakatan
Berbakti/berkorban
6
Politik/kenegaraan
Berkuasa/memerintah
Sumber : Modifikasi dari Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. 

Dengan merujuk dalam pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, di bawah ini akan diuraikan mengenai ciri budaya organisasi pada sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (dua) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (lima) rules serta (6) organization climate.

(1) Obeserved behavioral regularities; budaya organisasi pada sekolah ditandai menggunakan adanya keberaturan cara bertindak dari seluruh anggota sekolah yg bisa diamati. Keberaturan berperilaku ini bisa berbentuk acara-program ritual tertentu, bahasa generik yang dipakai atau simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh anggota sekolah. 

(dua) Norms; budaya organisasi pada sekolah ditandai jua sang adanya kebiasaan-kebiasaan yang berisi mengenai baku konduite dari anggota sekolah, baik bagi siswa juga pengajar. Standar konduite ini bisa berdasarkan dalam kebijakan intern sekolah itu sendiri maupun dalam kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah sentra. Standar perilaku murid terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yg akan menentukan apakah seorang anak didik dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau nir. Standar perilaku murid nir hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek kepribadian.

Jika kita berpegang dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara generik baku konduite yang diperlukan menurut tamatan SMA, diantaranya meliputi :
(a) Memiliki keyakinan serta ketaqwaan sesuai dengan ajaran kepercayaan yang dianutnya.
(b) Memiliki nilai dasar humaniora untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
(c) Menguasai pengetahuan serta keterampilan akademik dan beretos belajar buat melanjutkan pendidikan.
(d) Mengalihgunakan kemampuan akademik serta keterampilan hidup dimasyarakat local dan dunia.
(e) Berekspresi dan menghargai seni.
(f) Menjaga kebersihan, kesehatan serta kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. 

Sedangkan berkenaan menggunakan standar konduite guru, tentunya erat kaitannya dengan baku kompetensi yg wajib dimiliki pengajar, yg akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah sudah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum pada Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan, yaitu : 
(a) Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan pada pengelolaan siswa yg meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yg mendidik dan dialogis; (f) penilaian hasil belajar; serta (g) pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan aneka macam potensi yang dimilikinya.

(b) Kompetensi kepribadian yaitu adalah kemampuan kepribadian yg: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi siswa serta masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; serta (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.

(c) Kompetensi sosial yaitu adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari rakyat untuk : (a) berkomunikasi ekspresi serta tulisan; (b) memakai teknologi komunikasi serta berita secara fungsional; (c) berteman secara efektif menggunakan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; serta (d) berteman secara santun dengan warga lebih kurang.

(d) Kompetensi profesional merupakan kemampuan dominasi materi pembelajaran secara luas serta mendalam yang mencakup: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yg menaungi/koheren menggunakan bahan ajar; (b) bahan ajar yg ada pada kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan pada kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional pada konteks dunia dengan tetap melestarikan nilai serta budaya nasional.

(3) Dominant values; apabila dihubungkan menggunakan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan pada sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan pada sekolah hendaknya sebagai hal yang primer bagi seluruh masyarakat sekolah. Adapun mengenai makna menurut mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan sang Sudarwan Danim (2002) mengartikannya menjadi citra keberhasilan pendidikan pada membarui tingkah laris murid yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses dan hasil pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui taraf kesiapan serta ketersediaan asal daya, perangkat lunak, dan asa-asa. Makin tinggi taraf kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan dalam aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian dan penyerasian dan pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga sanggup menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi serta minat belajar, serta sahih-benar sanggup memberdayakan siswa. Sementara, menurut aspek out put, mutu pendidikan bisa dilihat berdasarkan prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. 

Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu pada sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen menggunakan apa yang dikenal menggunakan istilah Total Quality Management (TQM), yang adalah suatu pendekatan pada menjalankan suatu unit bisnis buat mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa pemugaran terus menerus atas produk, jasa, insan, proses kerja, dan lingkungannya. Berkaitan menggunakan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa pelaksanaan TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus dalam pelanggan; (dua) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (lima) kerjasama tim; (6) pemugaran kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat serta pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan (10) keterlibatan serta pemberdayaan karyawan secara optimal.

Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan jua empat prinsip primer pada mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan berita, dan (4) perbaikan secara terus menerus.

Selanjutnya, pada konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci mengenai elemen-elemen yang terkandung pada budaya mutu di sekolah, yakni : (a) kabar kualitas harus dipakai buat perbaikan; bukan buat mengadili/mengontrol orang; (b) wewenang wajib sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, wajib merupakan basis kolaborasi; (e) rakyat sekolah merasa kondusif terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) wajib ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan menggunakan nilai pekerjaannya; dan (h) masyarakat sekolah merasa memiliki sekolah.

Di lain pihak, Jann E. Freed et. Al. (1997) dalam tulisannya mengenai A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. Dalam ERIC Digest memaparkan tentang upaya membentuk budaya keunggulan akademik pada pendidikan tinggi, menggunakan memakai prinsip-prinsip Total Quality Management, yang meliputi : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) rencana for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan juga bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created.. Dari pemikiran Jan E.freed et. Al. Di atas, kita dapat menarik benang merah bahwa buat bisa membentuk budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita buat dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, serta menjadikannya menjadi nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.

(4) Philosophy; budaya organisasi ditandai menggunakan adanya keyakinan menurut semua anggota organisasi dalam memandang mengenai sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, serta sebagainya, yg dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan dalam perusahaan, pada mana filosofi ini diletakkan dalam upaya menaruh kepuasan kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya mempunyai keyakinan akan pentingnya upaya buat memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa :

“ pelanggan, terutama anak didik harus merupakan penekanan berdasarkan seluruh aktivitas di sekolah. Artinya, seluruh in put - proses yg dikerahkan pada sekolah tertuju utamanya buat menaikkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis dari ini seluruh merupakan bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-sahih mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang dibutuhkan anak didik.”

(lima) Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan serta aturan main yg mengikat semua anggota organisasi. Setiap sekolah mempunyai ketentuan serta aturan main tertentu, baik yg bersumber berdasarkan kebijakan sekolah setempat, juga berdasarkan pemerintah, yg mengikat seluruh rakyat sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan generik di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yg boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat sekolah, sekaligus dilengkapi juga dengan ketentuan hukuman, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) pada tulisannya tentang School Discipline yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 berkata bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the paling aman of staff and students, and (dua) create an environment conducive to learning.

(6) Organization climate; budaya organisasi ditandai menggunakan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of "the way we do things here.” 

Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik juga sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi serta dirasakan oleh individu tersebut sebagai akibatnya mengakibatkan kesan dan perasaan eksklusif. Dalam hal ini, sekolah wajib bisa membangun suasana lingkungan kerja yg kondusif serta menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui banyak sekali penataan lingkungan, baik fisik juga sosialnya. Moh. Surya (1997) mengungkapkan bahwa:

“ Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial juga psikologis dapat menumbuhkan serta menyebarkan motif buat bekerja menggunakan baik dan produktif. Untuk itu, bisa diciptakan lingkungan fisik yg sebaik mungkin, contohnya kebersihan ruangan, rapikan letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian jua, lingkungan sosial-psikologis, misalnya interaksi antar eksklusif, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan buat maju, kekeluargaan serta sebagainya. “

Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa galat satu karakterististik MPMBS adalah adanya lingkungan yg aman serta tertib, serta nyaman sebagai akibatnya proses belajar mengajar bisa berlangsung menggunakan nyaman (enjoyable learning). 

C. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi pada Sekolah
Pentingnya menciptakan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan menggunakan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah serta peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan sang Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yg dipublikasikan pada ERIC Digest, dari beberapa hasil studi menunjukkan bahwa budaya organisasi pada sekolah berkorelasi dengan peningkatan motivasi serta prestasi belajar siswa dan kepuasan kerja serta produktivitas guru. Begitu juga, studi yg dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. Dan Martin L. Maehr tentang pengaruh menurut lima dimensi budaya organisasi pada sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah memberitahuakn survey terhadap 16310 anak didik tingkat empat, enam, delapan serta sepuluh menurut 820 sekolah umum di Illinois, mereka lebih termotivasi dalam belajarnya dengan melalui budaya organisasi pada sekolah yg kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes siswa sekolah dasar menunjukkan adanya pengaruh budaya organisasi pada sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan mengenai new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi pada sekolah pula mempunyai hubungan menggunakan perilaku pengajar dalam bekerja. Studi yg dilakukan Yin Cheong Cheng menerangkan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.

Upaya buat membuatkan budaya organisasi pada sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer di sekolah. Dalam hal ini, ketua sekolah hendaknya sanggup melihat lingkungan sekolahnya secara keseluruhan, sebagai akibatnya diperoleh kerangka kerja yg lebih luas guna tahu perkara-masalah yang sulit dan hubungan-interaksi yg kompleks pada sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya mengenai budaya organisasi di sekolah, maka dia akan lebih baik lagi dalam memberikan penajaman tentang nilai, keyakinan serta sikap yg krusial guna menaikkan stabilitas serta pemeliharaan lingkungan belajarnya.