PENGERTIAN STRATEGIS BUDAYA ORGANISASI MENURUT AHLI

Pengertian, Strategis Budaya Organisasi Menurut Ahli 
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya nir tanggal dari konsep dasar mengenai budaya itu sendiri, yg merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan pada bidang antropologi. Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata sudah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan sang C.A. Van Peursen (1984) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi menurut kehidupan insan yang berbudi luhur serta yg bersifat rohani, seperti : kepercayaan , kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Namun pendapat tadi sudah semenjak lama disingkirkan. Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang serta setiap grup orang-orang. Kini budaya dilihat sebagai sesuatu yang lebih bergerak maju, bukan sesuatu yg kaku dan statis. Budaya tidak nir diartikan menjadi sebuah istilah benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yg dihubungkan dengan aktivitas insan. Dari sini muncul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ? Marvin Bower seperti disampaikain sang Alan Cowling dan Philip James (1996), secara ringkas menaruh pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”. 

Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip sang Taliziduhu Ndraha (1997)_budaya adalah : “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”.

Secara generik namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya mengenai Organizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai:

“ A pattern of shared basic assumptions that the class learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems.

Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci menurut pengertian budaya yaitu shared basic assumptions atau menduga pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa perkiraan meliputi beliefs (keyakinan) serta value (nilai). Beliefs merupakan perkiraan dasar mengenai dunia serta bagaimana global berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar serta Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) merupakan state of mind (lukisan fikiran) yg terlepas menurut aktualisasi diri material yg diperoleh suatu komunitas. 

Value (nilai) merupakan suatu berukuran normatif yg mensugesti manusia buat melaksanakan tindakan yg dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (1997) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (1995) menaruh citra mengenai nilai sebagai berikut : 

“ …setiap orang memiliki berbagai pengalaman yang memungkinkan beliau berkembang serta belajar. Dari pengalaman itu, individu menerima patokan-patokan umum buat bertingkah laku . Misalnya, bagaimana cara berhadapan menggunakan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih tindakan yg tepat pada satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam saat serta loka tertentu.” 

Pada bagian lain dikemukakan jua bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai menjadi standar; (2) nilai menjadi dasar penyelesaian permasalahan serta pembuatan keputusan; (tiga) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (lima) nilai menjadi dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.” 

Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau menyebarkan nilai dan keyakinan yg sama menggunakan semua anggota organisasi. Misalnya mengembangkan nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun mendapat dan menggunakan seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membangun gambaran organisasi. Dengan demikian, nilai pakaian seragam tertanam sebagai basic. Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (1997) bahwa shared basic assumptions mencakup : (1) shared things; (dua) shared saying, (tiga) shared doing; dan (4) shared feelings.

Pada bagian lain, Edgar Schein (2002) mengungkapkan bahwa basic assumption didapatkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (tiga) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking. 

Dengan memahami konsep dasar budaya secara generik di atas, selanjutnya kita akan berusaha tahu budaya pada konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan pada pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi serta misi, sumber daya, dasar hukum struktur, serta anatomi yg kentara pada rangka mencapai tujuan tertentu. 

Sejak lebih menurut 1/4 abad yg kemudian, kajian tentang budaya organisasi sebagai daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli juga praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami serta mempraktekkan konduite organisasi. 

Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
(1) Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat 5 hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
(2) Dimensi internal integration yang pada dalamnya masih ada enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion.

Pada bagian lain, Edgar Schein mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup : (1) observe behavior: language, customs, traditions; (dua) groups norms: standards and values; (tiga) espoused values: published, publicly announced values; (4) formal philosophy: mission; (lima) rules of the game: rules to all in organization; (6) climate: climate of class in interaction; (7) embedded skills; (8) habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; (9) shared meanings of the group; dan (10) metaphors or symbols.

Sementara itu, Fred Luthan (1995) mengetengahkan enam karakteristik krusial berdasarkan budaya organisasi, yaitu : (1) obeserved behavioral regularities; yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yg tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa generik, kata, atau ritual tertentu; (dua) norms; yakni berbagai baku konduite yg ada, termasuk pada dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan wajib dilakukan; (3) dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yg dianut beserta sang semua anggota organisasi, misalnya mengenai kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; (4) philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yg berkenaan menggunakan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan serta karyawan (lima) rules; yaitu adanya pedoman yg ketat, dikaitkan menggunakan kemajuan organisasi (6) organization climate; adalah perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan serta disampaikan melalui syarat tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain 

Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya disparitas pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama ditinjau menurut segi jumlah ciri budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya nir menerangkan perbedaan yang prinsipil.

Budaya organisasi dapat ditinjau menjadi sebuah sistem. Mc Namara (2002) mengemukakan bahwa dipandang menurut sisi in put, budaya organisasi meliputi umpan pulang (feed back) menurut warga , profesi, aturan, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dipandang berdasarkan proses, budaya organisasi mengacu kepada perkiraan, nilai serta norma, contohnya nilai mengenai : uang, ketika, manusia, fasilitas serta ruang. Sementara ditinjau menurut out put, herbi impak budaya organisasi terhadap konduite organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya. 

Dilihat menurut sisi kejelasan serta ketahanannya terhadap perubahan, John P. Kotter serta James L. Heskett (1998) memilah budaya organisasi sebagai ke dalam 2 tingkatan yg berbeda. Dikemukakannya, bahwa dalam strata yg lebih dalam serta kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam grup dan cenderung bertahan sepanjang saat bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yg krusial dalam kehidupan, serta bisa sangat bervariasi pada perusahaan yg tidak sama : pada beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, pada hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok seringkali tidak sadar akan banyaknya nilai yg mengikat mereka bersama. Pada taraf yg terlihat, budaya mendeskripsikan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong buat mengikuti konduite sejawatnya. Sebagai model, katakanlah bahwa orang dalam satu grup telah bertahun-tahun menjadi “pekerja keras”, yang lainnya “sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat ortodok. Budaya pada pengertian ini, masih kaku untuk berubah, namun tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. 

Pada bagian lain, John P. Kotter serta James L. Heskett (1998) memaparkan jua tentang 3 konsep budaya organisasi yaitu : (1) budaya yg kuat; (dua) budaya yg secara strategis cocok; dan (tiga) budaya adaptif. Organisasi yg memiliki budaya yang kuat ditandai menggunakan adanya kecenderungan hampir seluruh manajer menganut beserta seperangkat nilai serta metode menjalankan usaha organisasi. Karyawan baru mengadopsi nilai-nilai ini menggunakan sangat cepat. Seorang eksekutif baru bisa saja dikoreksi sang bawahannya, selain jua oleh bossnya, bila dia melanggar norma-kebiasaan organisasi.

Gaya dan nilai dari suatu budaya yg cenderung nir poly berubah dan akar-akarnya telah mendalam, walaupun terjadi penggantian manajer. Dalam organisasi menggunakan budaya yang bertenaga, karyawan cenderung berbaris mengikuti penabuh genderang yang sama. Nilai-nilai dan perilaku yang dianut beserta menciptakan orang merasa nyaman pada bekerja, rasa komitmen dan loyalitas menciptakan orang berusaha lebih keras lagi. Dalam budaya yg kuat memberikan struktur dan kontrol yg diperlukan, tanpa harus bersandar pada birokrasi formal yg mencekik yg bisa menekan tumbuhnya motivasi serta penemuan. 

Budaya yg strategis cocok secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, bila ingin menaikkan kinerja organisasi. Konsep utama yg dipakai di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik jika cocok dengan konteksnya. Adapun yg dimaksud menggunakan konteks bisa berupa kondisi obyektif berdasarkan organisasinya atau taktik usahanya. 

Budaya yang adaptif berangkat menurut nalar bahwa hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan mengikuti keadaan dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yg superiror sepanjang ketika. Ralph Klimann menggambarkan budaya adaptif ini adalah sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan agresif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung bisnis satu sama lain buat mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki beserta. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka bisa menata olah secara efektif masalah baru serta peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yg menyebar luas, satu semangat buat melakukan apa saja yang dia hadapi buat mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan penemuan. Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan, yg bisa membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah, dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru. Contoh perusahaan yg berbagi budaya adaptif ini adalah Digital Equipment Corporation dengan budaya yg mempromosikan inovasi, pengambilan resiko, pembahasan yg amanah, kewiraswastaan, serta kepemimpinan dalam poly taraf pada hierarki.

A. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yg kemudian tertanam dalam suatu budaya pada organisasi mampu bermula menurut mana pun, menurut perorangan atau kelompok, berdasarkan taraf bawah atau zenit. Taliziduhu Ndraha (1997) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : (1) pendiri organisasi; (2) pemilik organisasi; (3) Sumber daya manusia asing; (4) luar organisasi; (4) orang yg berkepentingan menggunakan organisasi (stake holder); serta (6) masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya bisa terjadi menggunakan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (tiga) penggalian budaya. Pembentukan budaya nir bisa dilakukan dalam saat yang sekejap, namun memerlukan ketika dan bahkan porto yg nir sedikit buat dapat menerima nilai-nilai baru pada organisasi. Lebih jelasnya, proses pembentukan budaya ini bisa diragakan pada bagan  berikut ini

Bagan  Pola Umum Munculnya Budaya Organisasi
sumber : John P. Kotter. & James L. Heskett, 1998. Corporate Culture and Performance. 

Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring dari kesesuaian nilai dan perilakunya menggunakan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya grup secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis mampu diceritakan terus menerus buat mengingatkan setiap orang mengenai nilai-nilai grup dan apa yg dimaksudkan dengannya.

Para manajer sanggup secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan model budaya serta gagasan budaya tadi. Begitu juga, anggota senior mampu mengkomunikasikan nilai-nilai utama mereka secara terus menerus dalam dialog sehari-hari atau melalui ritual dan seremoni-perayaan spesifik.

Orang-orang yg berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat populer dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri bisa mendorong anggota belia buat merogoh alih nilai serta gaya mentor mereka. Barangkali yg paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat hukuman (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi eksklusif sedangkan buat hukuman (punishment) nir hanya diberikan berdasar dalam aturan organisasi yang ada semata, namun jua bisa berbentuk hukuman sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya. 

Dalam suatu organisasi sesungguhnya nir terdapat budaya yg “baik” atau “tidak baik”, yg ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “nir cocok” . Jika pada suatu organisasi memiliki budaya yg cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan. Namun apabila terjadi kesalahan pada menaruh asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diharapkan.

Karena budaya ini sudah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yg sudah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis pada bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip sang Bambang Tri Cahyono mengemukakan empat cara lain pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan buat mengganti unsur-unsur kultur supaya cocok menggunakan taktik; serta (4) ubah strategi. Selanjutnya Bambang Tri Cahyono (1996) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy pada bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan buat membenarkan perubahan budaya secara besar -besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang bertenaga tetapi nir cocok dengan lingkungan yg berubah; (2) apabila organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) apabila organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih tidak baik lagi; (4) apabila organisasi mulai memasuki peringkat yg sangat akbar; serta (lima) apabila organisasi kecil tetapi berkembang pesat.

Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa apabila nir ada satu pun alasan yg cocok menggunakan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh perkara usaha membarui budaya memperlihatkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 hingga 10 % dari yg sudah dihabiskan buat mengubah konduite orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan dihasilkan 1/2 perbaikan menurut yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan porto lebih banyak lagi. Pada bentuk saat, bisnis dan uang. 

B. Penerapan Budaya Organisasi pada Sekolah
Dengan memahami konsep mengenai budaya organisasi sebagaimana sudah diutarakan di atas, selanjutnya pada bawah ini akan diuraikan tentang penerapan budaya organisasi dalam konteks persekolahan. Secara umum, penerapan konsep budaya organisasi di sekolah sebenarnya tidak jauh berbeda menggunakan penerapan konsep budaya organisasi lainnya. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya terletak pada jenis nilai lebih banyak didominasi yang dikembangkannya serta karakateristik dari para pendukungnya. Berkenaan menggunakan pendukung budaya organisasi pada sekolah Paul E. Heckman sebagaimana dikutip sang Stephen Stolp (1994) mengemukakan bahwa "the commonly held beliefs of teachers, students, and principals." 

Nilai-nilai yg dikembangkan di sekolah, tentunya tidak bisa dilepaskan berdasarkan eksistensi sekolah itu sendiri menjadi organisasi pendidikan, yang memiliki kiprah dan fungsi buat berusaha menyebarkan, melestarikan serta mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya. Dalam hal ini, Larry Lashway (1996) menyebutkan bahwa “schools are moral institutions, designed to promote social norms,…” . 

Nilai-nilai yang mungkin dikembangkan pada sekolah tentunya sangat beragam. Jika merujuk dalam pemikiran Spranger sebagaimana disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1990), maka setidaknya masih ada enam jenis nilai yg seyogyanya dikembangkan pada sekolah. Dalam tabel 1 berikut adalah dikemukakan keenam jenis nilai menurut Spranger bersama konduite dasarnya.

Tabel  Jenis Nilai serta Perilaku Dasarnya menurut Spranger
No

Nilai

Perilaku Dasar

1
Ilmu Pengetahuan
Berfikir
2
Ekonomi
Bekerja
3
Kesenian
Menikmati keindahan
4
Keagamaan
Memuja
5
Kemasyarakatan
Berbakti/berkorban
6
Politik/kenegaraan
Berkuasa/memerintah
Sumber : Modifikasi berdasarkan Sumadi Suryabrata. 1990. Psikologi Kepribadian. 

Dengan merujuk pada pemikiran Fred Luthan, dan Edgar Schein, pada bawah ini akan diuraikan mengenai karakteristik budaya organisasi pada sekolah, yaitu tentang (1) obeserved behavioral regularities; (2) norms; (3) dominant value. (4) philosophy; (5) rules dan (6) organization climate.

(1) Obeserved behavioral regularities; budaya organisasi di sekolah ditandai menggunakan adanya keberaturan cara bertindak dari semua anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat berbentuk program-acara ritual eksklusif, bahasa generik yg digunakan atau simbol-simbol eksklusif, yg mencerminkan nilai-nilai yg dianut oleh anggota sekolah. 

(dua) Norms; budaya organisasi pada sekolah ditandai pula oleh adanya kebiasaan-kebiasaan yang berisi tentang baku konduite menurut anggota sekolah, baik bagi siswa juga guru. Standar konduite ini bisa dari dalam kebijakan intern sekolah itu sendiri juga dalam kebijakan pemerintah wilayah dan pemerintah sentra. Standar perilaku murid terutama herbi pencapaian hasil belajar anak didik, yg akan memilih apakah seorang murid dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau nir. Standar perilaku murid nir hanya berkenaan dengan aspek kognitif atau akademik semata tetapi menyangkut seluruh aspek kepribadian.

Jika kita berpegang dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, secara umum baku konduite yg diharapkan menurut tamatan SMA, diantaranya meliputi :
(a) Memiliki keyakinan serta ketaqwaan sesuai dengan ajaran agama yg dianutnya.
(b) Memiliki nilai dasar humaniora buat menerapkan kebersamaan pada kehidupan.
(c) Menguasai pengetahuan serta keterampilan akademik dan beretos belajar buat melanjutkan pendidikan.
(d) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan hidup dimasyarakat local dan dunia.
(e) Berekspresi dan menghargai seni.
(f) Menjaga kebersihan, kesehatan serta kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. 

Sedangkan berkenaan menggunakan baku perilaku guru, tentunya erat kaitannya menggunakan baku kompetensi yg harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah sudah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum pada Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan, yaitu : 
(a) Kompetensi pedagogik yaitu adalah kemampuan pada pengelolaan siswa yg meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap siswa; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yg mendidik serta dialogis; (f) penilaian hasil belajar; serta (g) pengembangan siswa buat mengaktualisasikan banyak sekali potensi yg dimilikinya.

(b) Kompetensi kepribadian yaitu adalah kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif serta bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) sebagai teladan bagi peserta didik dan rakyat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; serta (i) berbagi diri secara berkelanjutan.

(c) Kompetensi sosial yaitu adalah kemampuan pendidik sebagai bagian berdasarkan warga buat : (a) berkomunikasi mulut serta goresan pena; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan berita secara fungsional; (c) berteman secara efektif menggunakan siswa, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali siswa; serta (d) berteman secara santun dengan masyarakat sekitar.

(d) Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas serta mendalam yang mencakup: (a) konsep, struktur, serta metoda keilmuan/teknologi/seni yg menaungi/koheren dengan bahan ajar; (b) bahan ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) interaksi konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; serta (e) kompetisi secara profesional pada konteks global menggunakan permanen melestarikan nilai serta budaya nasional.

(3) Dominant values; apabila dihubungkan menggunakan tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di sekolah seyogyanya diletakkan pada kerangka pencapaian mutu pendidikan pada sekolah. Nilai serta keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah hendaknya menjadi hal yg utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun mengenai makna berdasarkan mutu pendidikan itu sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan sang Sudarwan Danim (2002) mengartikannya menjadi gambaran keberhasilan pendidikan pada mengubah tingkah laris anak didik yang dikaitkan menggunakan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu pendidikan meliputi aspek input, proses serta output pendidikan. Pada aspek input, mutu pendidikan ditunjukkan melalui taraf kesiapan dan ketersediaan asal daya, perangkat lunak, dan harapan-asa. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi jua mutu input tersebut. Sedangkan dalam aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan melalui pengkoordinasian serta penyerasian dan pemanduan input sekolah dilakukan secara serasi, sehingga bisa membangun situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), bisa mendorong motivasi dan minat belajar, serta sahih-sahih mampu memberdayakan peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan bisa dicermati dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. 

Berbicara tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita kepada suatu konsep manajemen dengan apa yg dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang adalah suatu pendekatan pada menjalankan suatu unit bisnis buat mengoptimalkan daya saing organisasi melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, insan, proses kerja, serta lingkungannya. Berkaitan menggunakan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch serta Davis sebagaimana dikutip sang Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa aplikasi TQM berdasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus dalam pelanggan; (2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka panjang; (lima) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan; (7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; serta (10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal.

Dengan mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan juga empat prinsip primer dalam mengaplikasikan TQM, yaitu: (1) kepuasan pelanggan, (2) respek terhadap setiap orang; (tiga) pengelolaan berdasarkan keterangan, dan (4) perbaikan secara terus menerus.

Selanjutnya, pada konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci mengenai elemen-elemen yang terkandung dalam budaya mutu di sekolah, yakni : (a) warta kualitas wajib digunakan buat pemugaran; bukan buat mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil wajib diikuti penghargaan (reward) atau hukuman (punishment); (d) kolaborasi serta sinergi, bukan kompetisi, wajib merupakan basis kolaborasi; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) wajib ditanamkan; (g) imbal jasa wajib sepadan menggunakan nilai pekerjaannya; dan (h) masyarakat sekolah merasa memiliki sekolah.

Di lain pihak, Jann E. Freed et. Al. (1997) dalam tulisannya mengenai A Culture for Academic Excellence: Implementing the Quality Principles in Higher Education. Pada ERIC Digest memaparkan mengenai upaya membangun budaya keunggulan akademik dalam pendidikan tinggi, menggunakan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang meliputi : (1) vision, mission, and outcomes driven; (2) systems dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4) decisions based on fact; (lima) delegation of decision making; (6) collaboration; (7) rencana for change; dan (8) leadership: supporting a quality culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are implemented holistically, a culture for academic excellence is created.. Dari pemikiran Jan E.freed et. Al. Pada atas, kita bisa menarik benang merah bahwa buat dapat membangun budaya keunggulan akademik atau budaya mutu pendidikan betapa pentingnya kita buat dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, serta menjadikannya sebagai nilai serta keyakinan beserta berdasarkan setiap anggota sekolah.

(4) Philosophy; budaya organisasi ditandai dengan adanya keyakinan menurut seluruh anggota organisasi dalam memandang mengenai sesuatu secara hakiki, contohnya tentang ketika, insan, serta sebagainya, yang dijadikan sebagai kebijakan organisasi. Apabila kita mengadopsi filosofi pada global bisnis yg memang sudah terbukti memberikan keunggulan dalam perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan dalam upaya menaruh kepuasan pada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa :

“ pelanggan, terutama murid wajib merupakan penekanan dari seluruh kegiatan pada sekolah. Artinya, seluruh in put - proses yg dikerahkan di sekolah tertuju utamanya buat mempertinggi mutu serta kepuasan siswa . Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus benar-sahih mewujudkan sosok utuh mutu serta kepuasan yg dibutuhkan siswa.”

(lima) Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan serta aturan main yg mengikat semua anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber berdasarkan kebijakan sekolah setempat, juga dari pemerintah, yg mengikat semua warga sekolah dalam berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan generik di sekolah ini dikemas pada bentuk tata- tertib sekolah (school discipline), di dalamnya berisikan mengenai apa yang boleh serta tidak boleh dilakukan oleh masyarakat sekolah, sekaligus dilengkapi jua menggunakan ketentuan hukuman, apabila melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) pada tulisannya mengenai School Discipline yang dipublikasikan pada ERIC Digest 78 menyampaikan bahwa : “ School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (dua) create an environment conducive to learning.

(6) Organization climate; budaya organisasi ditandai menggunakan adanya iklim organisasi. Hay Resources Direct (2003) mengemukakan bahwa “organizational climate is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of "the way we do things here.” 

Di sekolah terjadi interaksi yang saling menghipnotis antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik juga sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi serta dirasakan sang individu tersebut sehingga menyebabkan kesan dan perasaan eksklusif. Dalam hal ini, sekolah harus bisa menciptakan suasana lingkungan kerja yg kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik juga sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:

“ Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial juga psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif buat bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, rapikan letak, fasilitas serta sebagainya. Demikian jua, lingkungan sosial-psikologis, misalnya hubungan antar eksklusif, kehidupan gerombolan , kepemimpinan, pengawasan, kenaikan pangkat , bimbingan, kesempatan buat maju, kekeluargaan dan sebagainya. “

Dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS, Depdiknas (2001) mengemukakan bahwa salah satu karakterististik MPMBS merupakan adanya lingkungan yg aman dan tertib, dan nyaman sebagai akibatnya proses belajar mengajar dapat berlangsung menggunakan nyaman (enjoyable learning). 

C. Arti Penting Membangun Budaya Organisasi pada Sekolah
Pentingnya membentuk budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan dengan upaya pencapaian tujuan pendidikan sekolah dan peningkatan kinerja sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Stephen Stolp (1994) tentang School Culture yg dipublikasikan dalam ERIC Digest, berdasarkan beberapa hasil studi memberitahuakn bahwa budaya organisasi pada sekolah berkorelasi menggunakan peningkatan motivasi serta prestasi belajar murid serta kepuasan kerja dan produktivitas guru. Begitu pula, studi yang dilakukan Leslie J. Fyans, Jr. Dan Martin L. Maehr tentang impak berdasarkan lima dimensi budaya organisasi di sekolah yaitu : tantangan akademik, prestasi komparatif, penghargaan terhadap prestasi, komunitas sekolah, dan persepsi tentang tujuan sekolah menerangkan survey terhadap 16310 siswa tingkat empat, enam, delapan dan sepuluh dari 820 sekolah umum pada Illinois, mereka lebih termotivasi pada belajarnya menggunakan melalui budaya organisasi pada sekolah yang kuat. Sementara itu, studi yang dilakukan, Jerry L. Thacker and William D. McInerney terhadap skor tes murid sekolah dasar menerangkan adanya pengaruh budaya organisasi di sekolah terhadap prestasi siswa. Studi yang dilakukannya memfokuskan mengenai new mission statement, goals based on outcomes for students, curriculum alignment corresponding with those goals, staff development, and building level decision-making. Budaya organisasi di sekolah pula mempunyai korelasi dengan sikap guru dalam bekerja. Studi yang dilakukan Yin Cheong Cheng menerangkan bahwa “ stronger school cultures had better motivated teachers. In an environment with strong organizational ideology, shared participation, charismatic leadership, and intimacy, teachers experienced higher job satisfaction and increased productivity”.

Upaya buat mengembangkan budaya organisasi di sekolah terutama berkenaan tugas kepala sekolah selaku leader dan manajer pada sekolah. Dalam hal ini, ketua sekolah hendaknya mampu melihat lingkungan sekolahnya secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yg kompleks di sekolahnya. Melalui pendalaman pemahamannya tentang budaya organisasi pada sekolah, maka ia akan lebih baik lagi pada menaruh penajaman mengenai nilai, keyakinan serta perilaku yang krusial guna mempertinggi stabilitas dan pemeliharaan lingkungan belajarnya.

Comments