MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASISI SEKOLAH MPMBS

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasisi Sekolah (MPMBS) 
Kehidupan dalam abad ke-21 ini menuntut asal daya insan yang unggul yang dapat bertahan di dalam kehidupan yang penuh menggunakan persaingan. Upaya peningkatan SDM harus dilakukan melalui peningkatan kompetensi manusia Indonesia yang siap hayati di peradaban global. Dalam global pendidikan dibutuhkan sekolah yg tidak hanya menyebarkan keunggulan lokal melalui energi-tenaga terdidik, namun juga perlu tersedianya satuan pendidikan yg sanggup membuat lulusan berstandar internasional.

Penurunan kualitas pendidikan yg melanda ketika ini, sebagai bahan pemikiran lebih awal pada mempelajari arah pendidikan yang terus berjalan, serta tidak kalah pentingnya bagaimana mengkaji problem tenaga kependidikan (guru) yg hingga waktu ini masih terpinggirkan.

Berbagai usaha sudah dilakukan buat meningkatkan mutu pendidikan nasional, contohnya pengembangan kurikulum nasional serta lokal, peningkatan kompetensi guru melalui training, pengadaan buku dan indera pelajaran, pengadaan dan pemugaran sarana serta prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namum demikian, aneka macam indikator mutu pendidikan belum memperlihatkan peningkatan yg berarti. Sebagian sekolah, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yg cukup menggembirakan tetapi sebagian lainnya masih memprihatinkan.

Pada mulanya merupakan adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah menjadi jawaban atas banyak sekali pertanyaan serta persoalan lebih kurang terpuruknya mutu pendidikan pada negeri kita. Dari MBS kemudian berkembang dan semakin dimantapkan menjadi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) menjadi wujud konsern serta komitmen kita terhadap mutu pendidikan.

Dengan bermunculannya sekolah unggulan dan sekolah bertaraf internasional, pemerintah harus semakin mencermati mutu serta kualitas sekolah tadi. Sebab apabila nir ada regulasi yang ketat, konsep pendidikan nasional seperti diamanahkan dalam konstitusi tentu akan pudar.

Untuk mendukung peningkatan MPMBS, utamanya dalam sekolah RSBI Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan Kementerian Pendidikan Nasional mendorong sekolah yg berstatus RSBI dan SBI buat memiliki sertifikasi ISO 9001:2000 sebagai wujud standardisasi manajemen sekolah. Dengan adanya tunjangan profesi ISO 9001:2000 ini, dibutuhkan sekolah dapat mempertanggungjawabkan mutu melalui banyak sekali prestasi yang terukur serta bisa ditunjukan.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Depdiknas (2002:3) merumuskan MPMBS sebagai contoh manajemen pendidikan yang otonomi lebih akbar pada sekolah, memberikan fleksibilitas (keluwesan) pada sekolah, serta mendorong partisipasi secara pribadi stake holder buat menaikkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yg berlaku. Menurut David pada Nurkolis (2003:33) MPMBS adalah swatantra sekolah yg dibarengi menggunakan pembuatan keputusan secara partisipatori. Sedangkan dari Caldwell pada Mulyasa (2002:82), mendefinisikan MPMBS menjadi wewenang pengalokasian asal daya yang didesentralisasikan.

Dengan otonomi yang lebih akbar, maka sekolah memiliki kewenangan yg lebih akbar pada mengelola sekolahnya, sebagai akibatnya sekolah lebih berdikari. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya pada membuatkan acara-acara yg tentu saja lebih sinkron menggunakan kebutuhan serta potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola serta memanfaatkan asal daya sekolah secara optimal. Demikian jua, dengan partisipasi/pelibatan masyarakat sekolah serta masyarakat secara pribadi pada penyelenggaraan sekolah, maka rasa mempunyai mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa mempunyai ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi rakyat sekolah dan rakyat terhadap sekolah.

MPMBS merupakan bagian berdasarkan manajemen berbasis sekolah (MBS). Apabila MBS bertujuan buat menaikkan seluruh kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, serta pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari sang kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita waktu ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian yg lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan menurut dalam MBS buat saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.

MPMBS bertujuan buat memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (swatantra) kepada sekolah, hadiah fleksibilitas yang lebih akbar pada sekolah untuk mengelola asal daya sekolah, serta mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat buat menaikkan mutu pendidikan.

MPMBS memiliki ciri yang perlu dipahami sang sekolah yg akan menerapkannya. Dengan kata lain, bila sekolah ingin sukses pada menerapkan MPMBS, maka jumlah ciri MPMBS perlu dimiliki. Berbicara ciri MPMBS nir dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MPMBS adalah wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya.

Pendidikan yang selama ini dikelola secara terpusat (sentralisasi) kurang menaruh kebebasan pada sekolah dalam membuatkan lembaganya. Untuk itu pemerintah, pada hal ini Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan baru pada bidang pendidikan yaitu desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ke taraf sekolah. Adanya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) mengakibatkan adanya perbaikan mutu pada sekolah.

Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah menggunakan Standar Mutu Internasional atau SBI merupakan Sekolah Nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional pendidikan (SNP) Indonesia serta tarafnya Internasional sehingga diperlukan lulusannya mempunyai Kemampuan Daya Saing Internasional.

Pernencanaan program rintisan Sekolah Menengah Atas BI dituangkan ke pada Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) atau School Development and Investment Plan (SDIP). Langkah penyusunan RSP/SDIP terdiri menurut penilaian diri serta penyusunan serta ratifikasi RSP/SDIP.

Pelaksanaan SBI didasari sang Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat tiga: “Pemerintan dan/atau Pemda menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan buat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yg bertaraf Internasional”.

Untuk mendukung acara pemerintah pada merealisasikan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat tiga, PP No. 19 Pasal 61 Ayat 1, serta RENSTRA Depdiknas periode 2010-2014 mengenai kebijakan pada peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, keliru satunya yaitu dengan menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Seiring dengan hal tadi, maka sekolah menjadi lembaga yang melaksanakan RSBI harus dapat menaikkan komponen pada manajemen sekolah yg berupa manajemen kurikulum, wahana prasarana, keuangan, kesiswaan, ketenagaan, humas dan layanan khusus menggunakan memakai standar internasional.

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASISI SEKOLAH MPMBS

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasisi Sekolah (MPMBS) 
Kehidupan dalam abad ke-21 ini menuntut sumber daya manusia yang unggul yang dapat bertahan pada dalam kehidupan yg penuh dengan persaingan. Upaya peningkatan SDM wajib dilakukan melalui peningkatan kompetensi insan Indonesia yg siap hidup pada peradaban dunia. Dalam global pendidikan dibutuhkan sekolah yg tidak hanya mengembangkan keunggulan lokal melalui energi-tenaga terdidik, namun jua perlu tersedianya satuan pendidikan yang bisa menghasilkan lulusan berstandar internasional.

Penurunan kualitas pendidikan yang melanda ketika ini, menjadi bahan pemikiran lebih awal pada menelaah arah pendidikan yang terus berjalan, dan tidak kalah pentingnya bagaimana menyelidiki dilema energi kependidikan (guru) yang hingga saat ini masih terpinggirkan.

Berbagai usaha telah dilakukan buat mempertinggi mutu pendidikan nasional, contohnya pengembangan kurikulum nasional serta lokal, peningkatan kompetensi pengajar melalui training, pengadaan buku dan indera pelajaran, pengadaan serta perbaikan wahana serta prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namum demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yg berarti. Sebagian sekolah, menampakan peningkatan mutu pendidikan yang relatif menggembirakan tetapi sebagian lainnya masih memprihatinkan.

Pada mulanya adalah adanya konsep Manajemen Berbasis Sekolah sebagai jawaban atas banyak sekali pertanyaan serta duduk perkara kurang lebih terpuruknya mutu pendidikan pada negeri kita. Dari MBS kemudian berkembang serta semakin dimantapkan menjadi Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) sebagai wujud konsern dan komitmen kita terhadap mutu pendidikan.

Dengan bermunculannya sekolah unggulan dan sekolah bertaraf internasional, pemerintah wajib semakin mencermati mutu serta kualitas sekolah tadi. Sebab jika tidak ada regulasi yg ketat, konsep pendidikan nasional misalnya diamanahkan pada konstitusi tentu akan pudar.

Untuk mendukung peningkatan MPMBS, utamanya dalam sekolah RSBI SMA/SMK Kementerian Pendidikan Nasional mendorong sekolah yang berstatus RSBI serta SBI buat memiliki sertifikasi ISO 9001:2000 sebagai wujud standardisasi manajemen sekolah. Dengan adanya tunjangan profesi ISO 9001:2000 ini, diharapkan sekolah dapat mempertanggungjawabkan mutu melalui aneka macam prestasi yg terukur dan dapat ditunjukan.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
Depdiknas (2002:3) merumuskan MPMBS sebagai model manajemen pendidikan yang swatantra lebih besar kepada sekolah, menaruh fleksibilitas (keluwesan) pada sekolah, dan mendorong partisipasi secara eksklusif stake holder buat mempertinggi mutu sekolah dari kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut David pada Nurkolis (2003:33) MPMBS merupakan otonomi sekolah yang dibarengi dengan pembuatan keputusan secara partisipatori. Sedangkan dari Caldwell pada Mulyasa (2002:82), mendefinisikan MPMBS sebagai kewenangan pengalokasian asal daya yg didesentralisasikan.

Dengan otonomi yg lebih akbar, maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sebagai akibatnya sekolah lebih berdikari. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam berbagi acara-acara yg tentu saja lebih sinkron dengan kebutuhan serta potensi yg dimilikinya. Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan asal daya sekolah secara optimal. Demikian pula, menggunakan partisipasi/pelibatan rakyat sekolah dan rakyat secara pribadi pada penyelenggaraan sekolah, maka rasa mempunyai mereka terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa mempunyai ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan mempertinggi pengabdian warga sekolah serta masyarakat terhadap sekolah.

MPMBS adalah bagian menurut manajemen berbasis sekolah (MBS). Apabila MBS bertujuan buat menaikkan seluruh kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efisiensi, penemuan, relevansi, dan pemerataan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan dalam peningkatan mutu. Hal ini didasari sang fenomena bahwa mutu pendidikan nasional kita waktu ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian yg lebih berfokus. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan berdasarkan dalam MBS buat saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.

MPMBS bertujuan buat memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui hadiah kewenangan (otonomi) pada sekolah, pemberian fleksibilitas yg lebih akbar kepada sekolah buat mengelola sumber daya sekolah, serta mendorong partisipasi rakyat sekolah serta warga buat menaikkan mutu pendidikan.

MPMBS memiliki ciri yang perlu dipahami sang sekolah yg akan menerapkannya. Dengan istilah lain, apabila sekolah ingin sukses pada menerapkan MPMBS, maka jumlah ciri MPMBS perlu dimiliki. Berbicara karakteristik MPMBS nir bisa dipisahkan menggunakan ciri sekolah efektif. Jika MPMBS merupakan wadah/kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya.

Pendidikan yg selama ini dikelola secara terpusat (sentralisasi) kurang memberikan kebebasan pada sekolah dalam berbagi lembaganya. Untuk itu pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan mengeluarkan kebijakan baru di bidang pendidikan yaitu desentralisasi penyelenggaraan pendidikan ke taraf sekolah. Adanya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) menyebabkan adanya perbaikan mutu di sekolah.

Sekolah Bertaraf Internasional
Sekolah dengan Standar Mutu Internasional atau SBI merupakan Sekolah Nasional yg menyiapkan peserta didiknya berdasarkan Standar Nasional pendidikan (SNP) Indonesia serta tarafnya Internasional sebagai akibatnya diperlukan lulusannya mempunyai Kemampuan Daya Saing Internasional.

Pernencanaan program rintisan Sekolah Menengah Atas BI dituangkan ke pada Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) atau School Development and Investment Plan (SDIP). Langkah penyusunan RSP/SDIP terdiri berdasarkan penilaian diri serta penyusunan serta ratifikasi RSP/SDIP.

Pelaksanaan SBI didasari oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat tiga: “Pemerintan dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan buat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yg bertaraf Internasional”.

Untuk mendukung acara pemerintah pada merealisasikan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 50 Ayat 3, PP No. 19 Pasal 61 Ayat 1, serta RENSTRA Depdiknas periode 2010-2014 tentang kebijakan dalam peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, keliru satunya yaitu dengan menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Seiring menggunakan hal tersebut, maka sekolah menjadi forum yg melaksanakan RSBI wajib bisa menaikkan komponen pada manajemen sekolah yang berupa manajemen kurikulum, wahana prasarana, keuangan, kesiswaan, ketenagaan, humas serta layanan khusus menggunakan memakai baku internasional.

MANFAAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
Manajemen berbasis sekolah (MBS) memberikan kebebasan serta wewenang yg luas ketua sekolah disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sesuai dengan syarat setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan pengajar sebagai akibatnya pengajar bisa berkonsentrasi pada tugas utamanya, yaitu mengajar.

Sejalan menggunakan pemikiran diatas, B Suryosubroto mengutarakan bahwa otonomi diberikan agar sekolah bisa leluasa mengelola sumber daya menggunakan mengalokasikannya sesuai menggunakan prioritas kebutuhan serta supaya sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkungan setempat. Maka dengan adanya otomoni tersebut, sekolah akan lebih leluasa pada mengimprovisasi dirinya sesuai menggunakan kemapuan.

Dengan MBS, pemecahan kasus internal sekolah, baik yg menyangkut proses pembelajaran juga sumber daya pendukungnya relatif dibicarakan di pada sekolah menggunakan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke taraf pemerintah wilayah apalagi ke tingkat sentra yg “jauh panggang berdasarkan api”. 

Dengan keleluasaan mengelola sumber daya serta juga adanya partisipasi masyarakat, mendorong profesionalisme kepemimpinan sekolah yaitu ketua sekolah baik dalam peran menjadi manajer juga menjadi sebagai pemimpin sekolah. Dan menggunakan diberikan kesempatan kepada sekolah pada mengembangkan kurikulum, pengajar didorong buat mengimprovisasi dan berinovasi dalam melakukan banyak sekali eksperimentasi pada lingkungan sekolah menggunakan tujuan menemukan kesesuaian antara teori dengan kenyataan.

Perubahan yg paling mendasar dalam aspek manajemen kurikulum, bahwa pendidikan wajib bisa mengoptimalisasikan semua potensi kelembagaan yg ada pada rakyat, baik pada lembaga-forum pendidikan yang dikelola pemerintah, warga ataupun swasta. Persyaratan dasar penetapan jenis kurikulum antara lain:
1. Kurikulum dikembangkan dari minat dan talenta peserta didik;
2. Kurikulum berkaitan menggunakan ciri potensi daerah setempat, misalnya: asal daya alam ekonomi, pariwisata, sosial-budaya;
3. Dapat dikembangkan secara konkret menjadi dasar penguat sektor usaha pemberdayaan ekonomi warga ;
4. Pembelajaran berorientasi dalam peningkatan kompetensi keterampilan untuk belajar dan bekerja, lebih bersifat aplikatif serta operasional;
5. Jenis pengelola acara beserta-sama menggunakan siswa, orang tua, tokoh masyarakat, dan kawan kerja.

Dengan demikian manajemen berbasis sekolah (MBS) mendorong profesionlisme guru dan terutama ketua sekolah sebagai pemimpin pendidikan yang terdapat pada garda depan. Melalui pengembangan kurikulum yang efektif serta fleksibel, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan warga setempat akan semakin tinggi serta layanan pendidikan akan sesuai dengan tuntutan peserta didik dan rakyat seiring perkembangan zaman yg terus berubah.

A. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dari saat ke ketika kesadaran masyarakat terhadap urgensi pendidikan semakin semakin tinggi dan mulai tampak dipermukaan. Hal ini bisa diindikasikan dengan musim warga yg banyak menyekolahkan anak-anak mereka ke forum yg andal. Mereka sadar bahwa buat menghadapi tantangan yang semakin berat yang disebabkan oleh perubahan serta tantangan zaman adalah kesiapan pada penguasaan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya forum pendidikan yg maju dan sanggup memberikan layanan yg maksimal sinkron dengan kebutuhan warga akan menjadi sekolah favorit.

Dalam hal ini bukan hanya instansi yg bersifat komersial yg dituntut buat berkompetisi, akan tetapi forum pendidikan jua dituntut buat bersaing dengan forum pendidikan yang lain guna memperlihatkan jasa yang memiliki kesesuaian serta keserasian menggunakan kebutuhan masyarakat menjadi unsur edukasi. Oleh sebab itu lembaga pendidikan wajib mempunyai sistem manajemen pendidikan yang baik serta mampu menyongsong era kompetisi. Apabila pendidikan ingin dilaksanakan secara terjadwal serta teratur maka aneka macam eleman yang terlibat dalam aktivitas perlu dikenali. Untik itu, diharapkan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu sistem.

Sejalan menggunakan tuntutan tadi, pendidikan telah mulai berbenah diri dan mengalami reformasi sebagai bentuk konsekuensi menurut tuntutan itu. Pemerintah dalam hal ini sudah menyiapkan konsep pengelolaan pendidikan, yaitu konsep manajemen berbasis sekolah buat diterapkan dilembaga-lembaga pendidikan sebagai jawaban atas tuntutan zaman.

Implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS), pada hakekatnya merupakan hadiah otonomi yang lebih luas kepada sekolah menggunakan tujuan akhir menaikkan mutu hasil penyelenggaraan pendidikan, sehingga mampu membentuk prestasi yang sebenarnya melalui penyelenggaraan manajerial yang mapan. Melalui peningkatan kinerja dan partisipasi semua stakeholder-nya maka sekolah pada seluruh jenjang dan jenis pendidikan dalam otonominya akan sebagai suatu instansi pendidikan yg organik, demokratis, kreatif, inovatif dan unik menggunakan karakteristik khas sendiri buat melakukan pembaruan sendiri (self reform).

Dalam kontek ini sekolah mempunyai wewenang buat merogoh keputusan. Menurut Syahril Sagala, kekuasaan yg dimiliki sekolah antara lain merogoh keputusan dengan rekruitmen dan pengelolaan pengajar dan pegawai administrasi dan keputusan berkaitan menggunakan pengelolaan sekolah. Adapun komponen yg didesentralisasikan merupakan manajemen kurikulum, manajemen tenaga kependidikan, manajemen kesiswaan, manajemen pendanaan dan manajemen interaksi sekolah dengan warga . Secara visualistis, implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) yang dimaksud dapat dicermati pada skema dibawah ini.

Gambar Bagan Implentasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

B. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Kajian yang dirumuskan sang BPPN dan Bank Dunia merumuskan beberapa faktor yg berkaitan menggunakan manajemen berbasis sekolah (MBS) dintaranya merupakan:

1. Kewajiban Sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar pada menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sisitem pendidikan profesional. Oleh karena itu pelaksanaannya harus disertai seperangkat kebijakan, dan monitoring serta tuntutan pertangungjawaban (akuntabel) yg relatif tinggi, buat mengklaim bahwa sekolah selain memiliki swatantra jua memiliki kebijakan melaksanakan kebijakan pemerintah serta memenuhi harapan masyarkat sekolah. Dengan demikian, sekolah dituntut sanggup menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli dan tanggung jawab baik terhadap warga juga pemerintah, dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.

2. Kebijakan serta Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yg menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan menggunakan program peningkatan melek alfabet dan nomor (literacy and numeracy), efisiensi, mutu, serta pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal tadi, sekolah nir diperbolehkan buat otodidak dengan mengabaikan kebijakan serta standar yg ditetapkan sang pemerintah yg dipilih secara demokratis.

Agar prioritas-prioritas pemerintah dilakukan oleh sekolah dan semua aktivitas ditujukan buat menaruh pelayanan pada peserta didik sehingga bisa belajar menggunakan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman mengenai aplikasi MBS. Pedoman-panduan tadi, terutama ditujukan buat menjamin bahwa output pendidikan (student outcomes) terevalusi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan pada rangka yg disetujui pemerintah, dan anggaran dibelanjakan sinkron dengan tujuan.

3. Peranan Orang Tua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan energi kerja yg terampil dan berkualitas buat membangkitkan motivasi kerja yg lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan sistem serta menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyaraka dan hal ini adalah galat satu aspek krusial pada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Melalui dewan sekolah (school council), orang tua serta rakyat dapat berpartisipasi pada pembuatan berbagai keputusan. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih tahu, dan mengawasi dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk aktivitas belajar-mengajar. Besarnya partisipasi warga pada pengeloaan sekolah tersebut mungkin bisa mengakibatkan rancunya kepentingan antar sekolah, orang tua, dan rakyat. Dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara kentara serta tegas.

4. Peranan Profesionalisme serta Manajerial
Manajemen berbasis sekolah (MBS) menuntut perubahan-perubahan tingkah laris ketua sekolah, pengajar, serta tenaga administrasi pada mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi mempertinggi ukiran pranata yg bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi persayaratan pelaksanaan MBS, ketua sekolah, guru, tenaga administrasi wajib memiliki ke 2 sifat tersebut yaitu profesional dan manjerial. Mereka harus memiliki pengetahuan yg mendalam mengenai peserta didik serta prinsip-prinsip pendidikan buat menjamin bahwa keputusan krusial yang dibentuk sang sekolah, berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah khususnya, perlu memeriksa menggunakan teliti, baik kebijakan serta prioritas pemerintah juga prioritas sekolah sendiri. Untuk kepentingan tersebut, ketua sekolah harus:
a. Memiliki kemampuan buat berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah;
b. Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran;
c. Memiliki kemampuan serta keterampilan buat menganalisis situasi kini menurut apa yang seharusnya serta bisa memperkirakan insiden di masa depan dari situasi sekarang;
d. Memiliki kemauan serta kemampuan buat mengidentifikasi kasus dan kebutuhan yang berkaitan dengan efektivitas pendidikan di sekolah;
e. Mampu memanfaatkan banyak sekali peluang, membuahkan tantangan sebagai peluang, serta mengkonseptualkan arah baru buat perubahan.

Pemahaman terhadap sifat profesional dan manjerial tersebut sangat penting supaya peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan dan supervisi serta monitoring yg direnacanakan sekolah betul-betul buat mencapai tujuan pendidikan sinkron dengan kerangka kebijakan pemerintah dan tujuan sekolah.

5. Pengembangan Profesi
Dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) pemerintah wajib manjamin bahwa semua unsur krusial tentang kependidikan (sumber insan) menerima pengembangan profesi yg dibutuhkan untuk mengelola sekolah secara efektif. Agar sekolah bisa merogoh manfaat yang ditawarkan MBS, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yg berfungsi sebagai penyedia jasa pelatihan bagi energi kependidikan buat MBS. Selain itu, krusial buat dicatat sebaik-baiknya sekolah serta rakyat perlu dilibatkan dalam proses MBS sedini mungkin. Mereka nir perlu hanya menunggu, tetapi melibatkan diri dalam diskusi-diskusi mengenai MBS dan berinisiatif buat menyelenggarakan tentang aspek-aspek yang terkait.

C. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Pada dasarnya, mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah bukanlah merupakan one-shot and quick-fix, akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus serta melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Oleh karena itu, taktik utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah merupakan menjadi berikut: 
1. Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah ke seluruh rakyat sekolah, yaitu pengajar, siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua siswa, pengawas, dan instansi terkait) melalui seminar, diskusi, lembaga ilmiah, dan media masa. Dalam sosialisasi ini hendaknya pula dibaca dan dipahami sistem, budaya, serta asal daya sekolah yg ada secermat-cermatnya dan direfleksikan kecocokannya menggunakan sistem, budaya, serta asal daya yang dibutuhkan buat penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah. 

2. Melakukan analisis situasi sekolah serta luar sekolah yg hasilnya berupa tantangan nyata yg wajib dihadapi sang sekolah pada rangka mengganti manajemen berbasis sentra menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan kini (manajemen berbasis pusat) serta keadaan yg dibutuhkan (manajemen berbasis sekolah). Lantaran itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (fenomena) dan keadaan yang diperlukan (idealnya) memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan). 

3. Merumuskan tujuan situasional yg akan dicapai berdasarkan aplikasi manajemen berbasis sekolah menurut tantangan konkret yang dihadapi. Segera sesudah tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi serta faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yg akan dipakai menjadi baku atau kriteria buat mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi serta faktor-faktornya. 

4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan buat mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yg sudah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan buat mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti taraf kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum, pengembangan energi kependidikan serta nonkependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan interaksi sekolah-warga , pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain. 

5. Menentukan taraf kesiapan setiap fungsi serta faktor-faktornya melalui analisis SWOT, yang dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yg diharapkan buat mencapai tujuan situasional yg sudah ditetapkan. Analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. Yang dinyatakan sebagai: kekuatan, bagi faktor yg tergolong internal; peluang, bagi faktor yg tergolong faktor eksternal. Sedang taraf kesiapan yang kurang memadai, merupakan tidak memenuhi berukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. 

6. Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yg dibutuhkan buat membarui fungsi yang nir siap menjadi fungsi yang siap. Selama terdapat dilema, yg sama artinya dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan nir akan tercapai. Oleh karenanya, agar tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yg mengganti ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi. Tindakan yg dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan masalah, yg hakekatnya adalah tindakan mengatasi makna kelemahan serta/atau ancaman, supaya menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni menggunakan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yang bermakna kekuatan serta/atau peluang. 

7. Berdasarkan langkah-langkah pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan seluruh unsur-unsurnya menciptakan rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, bersama program-programnya untuk merealisasikan planning tersebut. Sekolah tidak selalu mempunyai asal daya yg relatif untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah idealnya, sebagai akibatnya perlu dibuat sekala prioritas jangka pendek, menengah, dan panjang. 

8. Melaksanakan acara-acara buat merealisasikan planning jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yang diharapkan buat berlangsungnya proses (aplikasi) manajemen berbasis sekolah wajib siap. Apabila input nir siap/nir memadai, maka tujuan situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan pada pelaksanaan merupakan pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, serta pengelolaan proses belajar mengajar. 

Pemantauan terhadap proses dan penilaian terhadap output manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses bisa dipakai menjadi umpan balik bagi pemugaran penyelenggaraan dan hasil penilaian bisa dipakai buat mengukur taraf ketercapaian tujuan situasional yg sudah dirumuskan. Demikian aktivitas ini dilakukan secara terus-menerus, sehingga proses serta output manajemen berbasis sekolah bisa dioptimalkan.

MANFAAT MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
Manajemen berbasis sekolah (MBS) memberikan kebebasan serta wewenang yang luas ketua sekolah disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang menaruh tanggung jawab pengelolaan asal daya serta pengembangan taktik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sinkron dengan kondisi setempat, sekolah bisa meningkatkan kesejahteraan pengajar sebagai akibatnya guru bisa berkonsentrasi dalam tugas utamanya, yaitu mengajar.

Sejalan menggunakan pemikiran diatas, B Suryosubroto mengutarakan bahwa swatantra diberikan supaya sekolah dapat leluasa mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai menggunakan prioritas kebutuhan dan supaya sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkungan setempat. Maka dengan adanya otomoni tadi, sekolah akan lebih leluasa pada mengimprovisasi dirinya sinkron dengan kemapuan.

Dengan MBS, pemecahan kasus internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran juga asal daya pendukungnya relatif dibicarakan di pada sekolah menggunakan masyarakatnya, sehingga nir perlu diangkat ke taraf pemerintah daerah apalagi ke taraf pusat yang “jauh oven berdasarkan barah”. 

Dengan keleluasaan mengelola sumber daya serta jua adanya partisipasi warga , mendorong profesionalisme kepemimpinan sekolah yaitu ketua sekolah baik dalam peran menjadi manajer juga menjadi sebagai pemimpin sekolah. Dan dengan diberikan kesempatan pada sekolah dalam mengembangkan kurikulum, pengajar didorong buat mengimprovisasi serta berinovasi pada melakukan aneka macam eksperimentasi di lingkungan sekolah menggunakan tujuan menemukan kesesuaian antara teori menggunakan kenyataan.

Perubahan yang paling fundamental dalam aspek manajemen kurikulum, bahwa pendidikan wajib sanggup mengoptimalisasikan semua potensi kelembagaan yg ada pada masyarakat, baik pada lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah, warga ataupun swasta. Persyaratan dasar penetapan jenis kurikulum antara lain:
1. Kurikulum dikembangkan dari minat serta bakat peserta didik;
2. Kurikulum berkaitan dengan ciri potensi daerah setempat, misalnya: asal daya alam ekonomi, pariwisata, sosial-budaya;
3. Dapat dikembangkan secara nyata menjadi dasar penguat sektor bisnis pemberdayaan ekonomi warga ;
4. Pembelajaran berorientasi pada peningkatan kompetensi keterampilan untuk belajar dan bekerja, lebih bersifat aplikatif dan operasional;
5. Jenis pengelola acara beserta-sama menggunakan siswa, orang tua, tokoh warga , dan mitra kerja.

Dengan demikian manajemen berbasis sekolah (MBS) mendorong profesionlisme guru dan terutama kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yang terdapat pada garda depan. Melalui pengembangan kurikulum yang efektif dan fleksibel, rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan warga setempat akan meningkat serta layanan pendidikan akan sinkron menggunakan tuntutan peserta didik dan warga seiring perkembangan zaman yang terus berubah.

A. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dari ketika ke ketika pencerahan rakyat terhadap urgensi pendidikan semakin semakin tinggi serta mulai tampak dipermukaan. Hal ini bisa diindikasikan menggunakan ekspresi dominan masyarakat yang poly menyekolahkan anak-anak mereka ke forum yg kredibel. Mereka sadar bahwa buat menghadapi tantangan yg semakin berat yg ditimbulkan sang perubahan serta tantangan zaman merupakan kesiapan dalam dominasi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu lembaga pendidikan yg maju dan mampu menaruh layanan yg maksimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan sebagai sekolah favorit.

Dalam hal ini bukan hanya instansi yg bersifat komersial yg dituntut untuk berkompetisi, akan tetapi lembaga pendidikan pula dituntut untuk bersaing dengan forum pendidikan yg lain guna menawarkan jasa yg memiliki kesesuaian dan keserasian menggunakan kebutuhan masyarakat sebagai unsur edukasi. Oleh sebab itu forum pendidikan harus mempunyai sistem manajemen pendidikan yang baik serta mampu menyongsong era kompetisi. Apabila pendidikan ingin dilaksanakan secara terjadwal serta teratur maka berbagai eleman yg terlibat pada kegiatan perlu dikenali. Untik itu, diharapkan pengkajian bisnis pendidikan sebagai suatu sistem.

Sejalan menggunakan tuntutan tersebut, pendidikan telah mulai berbenah diri serta mengalami reformasi menjadi bentuk konsekuensi dari tuntutan itu. Pemerintah dalam hal ini sudah menyiapkan konsep pengelolaan pendidikan, yaitu konsep manajemen berbasis sekolah untuk diterapkan dilembaga-forum pendidikan sebagai jawaban atas tuntutan zaman.

Implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS), pada hakekatnya adalah anugerah swatantra yang lebih luas kepada sekolah menggunakan tujuan akhir menaikkan mutu hasil penyelenggaraan pendidikan, sehingga mampu membuat prestasi yg sebenarnya melalui penyelenggaraan manajerial yang mapan. Melalui peningkatan kinerja serta partisipasi semua stakeholder-nya maka sekolah dalam semua jenjang serta jenis pendidikan pada otonominya akan sebagai suatu instansi pendidikan yang organik, demokratis, kreatif, inovatif serta unik menggunakan ciri spesial sendiri buat melakukan pembaruan sendiri (self reform).

Dalam kontek ini sekolah mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Menurut Syahril Sagala, kekuasaan yg dimiliki sekolah antara lain merogoh keputusan dengan rekruitmen serta pengelolaan guru serta pegawai administrasi dan keputusan berkaitan menggunakan pengelolaan sekolah. Adapun komponen yg didesentralisasikan merupakan manajemen kurikulum, manajemen tenaga kependidikan, manajemen kesiswaan, manajemen pendanaan serta manajemen hubungan sekolah menggunakan masyarakat. Secara visualistis, implementasi manajemen berbasis sekolah (MBS) yang dimaksud bisa dicermati pada skema dibawah ini.

Gambar Bagan Implentasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

B. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Kajian yg dirumuskan sang BPPN dan Bank Dunia merumuskan beberapa faktor yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) dintaranya merupakan:

1. Kewajiban Sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang menunjukkan keleluasaan pengelolaan sekolah memiliki potensi yg akbar dalam menciptakan ketua sekolah, pengajar, serta pengelola sisitem pendidikan profesional. Oleh karenanya pelaksanaannya harus disertai seperangkat kebijakan, dan monitoring dan tuntutan pertangungjawaban (akuntabel) yang relatif tinggi, buat menjamin bahwa sekolah selain mempunyai swatantra jua mempunyai kebijakan melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarkat sekolah. Dengan demikian, sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan asal daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli dan tanggung jawab baik terhadap warga juga pemerintah, dalam rangka menaikkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.

2. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yg menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan menggunakan program peningkatan melek huruf serta angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal tadi, sekolah tidak diperbolehkan untuk belajar sendiri dengan mengabaikan kebijakan serta standar yang ditetapkan sang pemerintah yg dipilih secara demokratis.

Agar prioritas-prioritas pemerintah dilakukan oleh sekolah dan seluruh aktivitas ditujukan buat menaruh pelayanan kepada peserta didik sehingga bisa belajar dengan baik, pemerintah perlu merumuskan seperangkat pedoman tentang aplikasi MBS. Pedoman-pedoman tadi, terutama ditujukan buat mengklaim bahwa hasil pendidikan (student outcomes) terevalusi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan secara efektif, sekolah dioperasikan dalam rangka yg disetujui pemerintah, dan aturan dibelanjakan sesuai menggunakan tujuan.

3. Peranan Orang Tua serta Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja yg terampil dan berkualitas buat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas wilayah setempat, serta mengefisienkan sistem serta menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Untuk kepentingan tersebut, diperlukan partisipasi masyaraka serta hal ini merupakan galat satu aspek krusial dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Melalui dewan sekolah (school council), orang tua serta masyarakat bisa berpartisipasi pada pembuatan aneka macam keputusan. Dengan demikian, warga bisa lebih memahami, dan mengawasi serta membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan belajar-mengajar. Besarnya partisipasi warga pada pengeloaan sekolah tadi mungkin bisa mengakibatkan rancunya kepentingan antar sekolah, orang tua, serta warga . Dalam hal ini pemerintah perlu merumuskan bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara kentara serta tegas.

4. Peranan Profesionalisme serta Manajerial
Manajemen berbasis sekolah (MBS) menuntut perubahan-perubahan tingkah laku ketua sekolah, pengajar, serta energi administrasi pada mengoperasikan sekolah. Pelaksanaan MBS berpotensi menaikkan gesekan pranata yg bersifat profesional dan manajerial. Untuk memenuhi persayaratan pelaksanaan MBS, kepala sekolah, guru, energi administrasi harus mempunyai ke 2 sifat tersebut yaitu profesional dan manjerial. Mereka wajib mempunyai pengetahuan yg mendalam mengenai peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan buat menjamin bahwa keputusan krusial yg dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Kepala sekolah khususnya, perlu memeriksa dengan teliti, baik kebijakan dan prioritas pemerintah juga prioritas sekolah sendiri. Untuk kepentingan tersebut, ketua sekolah harus:
a. Memiliki kemampuan buat berkolaborasi dengan pengajar serta masyarakat kurang lebih sekolah;
b. Memiliki pemahaman serta wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajaran;
c. Memiliki kemampuan serta keterampilan buat menganalisis situasi kini menurut apa yang seharusnya dan sanggup memperkirakan peristiwa pada masa depan dari situasi kini ;
d. Memiliki kemauan dan kemampuan buat mengidentifikasi perkara serta kebutuhan yang berkaitan dengan efektivitas pendidikan di sekolah;
e. Mampu memanfaatkan aneka macam peluang, membuahkan tantangan sebagai peluang, dan mengkonseptualkan arah baru buat perubahan.

Pemahaman terhadap sifat profesional dan manjerial tadi sangat penting supaya peningkatan efisiensi, mutu, serta pemerataan serta pengawasan dan monitoring yang direnacanakan sekolah betul-betul buat mencapai tujuan pendidikan sinkron menggunakan kerangka kebijakan pemerintah dan tujuan sekolah.

5. Pengembangan Profesi
Dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) pemerintah harus manjamin bahwa semua unsur penting mengenai kependidikan (asal insan) mendapat pengembangan profesi yg diperlukan buat mengelola sekolah secara efektif. Agar sekolah bisa merogoh manfaat yg ditawarkan MBS, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yg berfungsi menjadi penyedia jasa pembinaan bagi energi kependidikan buat MBS. Selain itu, penting buat dicatat sebaik-baiknya sekolah dan rakyat perlu dilibatkan dalam proses MBS sedini mungkin. Mereka tidak perlu hanya menunggu, tetapi melibatkan diri dalam diskusi-diskusi mengenai MBS dan berinisiatif untuk menyelenggarakan mengenai aspek-aspek yang terkait.

C. Strategi Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Pada dasarnya, mengubah pendekatan manajemen berbasis sentra sebagai manajemen berbasis sekolah bukanlah adalah one-shot and quick-fix, akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan seluruh unsur yg bertanggung jawab pada penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Oleh karenanya, taktik primer yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut: 
1. Mensosialiasikan konsep manajemen berbasis sekolah ke seluruh masyarakat sekolah, yaitu guru, siswa, wakil-wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua siswa, pengawas, serta instansi terkait) melalui seminar, diskusi, lembaga ilmiah, dan media masa. Dalam sosialisasi ini hendaknya juga dibaca serta dipahami sistem, budaya, dan asal daya sekolah yg terdapat secermat-cermatnya serta direfleksikan kecocokannya dengan sistem, budaya, dan asal daya yg dibutuhkan buat penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah. 

2. Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan konkret yang harus dihadapi sang sekolah pada rangka membarui manajemen berbasis sentra menjadi manajemen berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan sekarang (manajemen berbasis sentra) dan keadaan yg dibutuhkan (manajemen berbasis sekolah). Lantaran itu, akbar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan sekarang (fenomena) dan keadaan yg dibutuhkan (idealnya) memberitahukan akbar kecilnya tantangan (loncatan). 

3. Merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai menurut pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata yg dihadapi. Segera sehabis tujuan situasional ditetapkan, kriteria kesiapan setiap fungsi serta faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang akan digunakan menjadi standar atau kriteria buat mengukur tingkat kesiapan setiap fungsi serta faktor-faktornya. 

4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan buat mencapai tujuan situasional serta yg masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan buat mencapai tujuan situasional serta yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yg dimaksud meliputi diantaranya: pengembangan kurikulum, pengembangan energi kependidikan serta nonkependidikan, pengembangan anak didik, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-warga , pengembangan fasilitas, dan fungsi-fungsi lain. 

5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT, yg dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang dibutuhkan buat mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan. Analisis SWOT dilakukan terhadap holistik faktor dalam setiap fungsi, baik faktor yg tergolong internal juga eksternal. Yg dinyatakan menjadi: kekuatan, bagi faktor yg tergolong internal; peluang, bagi faktor yg tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, ialah tidak memenuhi berukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor eksternal. 

6. Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang dibutuhkan buat mengubah fungsi yg tidak siap sebagai fungsi yang siap. Selama masih ada dilema, yang sama ialah dengan ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, supaya tujuan situasional tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yg mengganti ketidaksiapan sebagai kesiapan fungsi. Tindakan yg dimaksud lazimnya diklaim langkah-langkah pemecahan problem, yang hakekatnya adalah tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar sebagai kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih faktor yg bermakna kekuatan dan/atau peluang. 

7. Berdasarkan langkah-langkah pemecahan dilema tersebut, sekolah bersama-sama menggunakan semua unsur-unsurnya menciptakan rencana buat jangka pendek, menengah, serta panjang, bersama acara-programnya untuk merealisasikan planning tersebut. Sekolah nir selalu memiliki asal daya yang relatif buat melaksanakan manajemen berbasis sekolah idealnya, sebagai akibatnya perlu dibentuk sekala prioritas jangka pendek, menengah, serta panjang. 

8. Melaksanakan acara-acara buat merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan, semua input yg diharapkan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen berbasis sekolah harus siap. Jika input nir siap/nir memadai, maka tujuan situasional nir akan tercapai. Yang perlu diperhatikan pada aplikasi adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan acara, dan pengelolaan proses belajar mengajar. 

Pemantauan terhadap proses serta evaluasi terhadap output manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan proses dapat digunakan sebagai umpan kembali bagi perbaikan penyelenggaraan serta output evaluasi bisa dipakai buat mengukur taraf ketercapaian tujuan situasional yg telah dirumuskan. Demikian aktivitas ini dilakukan secara terus-menerus, sebagai akibatnya proses dan hasil manajemen berbasis sekolah bisa dioptimalkan.

KONSEP MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Konsep Manajemen Mutu Terpadu Dalam Sistem Pendidikan 
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah pada sistem manajemen yg diklaim TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini merupakan supervisi menyeluruh dari semua anggota organisasi (masyarakat sekolah) terhadap aktivitas sekolah. Penerapan TQM berarti semua rakyat sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan. 

Sebelum hal itu tercapai, maka seluruh pihak yang terlibat dalam proses akademis, mulai menurut komite sekolah, ketua sekolah, ketua rapikan usaha, guru, anak didik sampai dengan karyawan wajib benar – sahih mengerti hakekat serta tujuan pendidikan ini. Dengan istilah lain, setiap individu yg terlibat wajib memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yang menyeluruh dari individu yang terlibat, tidak mungkin akan diterapkan TQM. 

Dalam ajaran TQM, forum pendidikan (sekolah) wajib menempatkan siswa sebagai “klien” atau dalam kata perusahaan menjadi “ stakeholders” yg terbesar, maka suara murid harus disertakan pada setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yg demokratis manajemen tidak bisa menerapkan TQM, yang terjadi adalah kualitas pendidikan didominasi sang pihak-pihak tertentu yg sering mempunyai kepentingan yang bersimpangan menggunakan hakekat pendidikan (Adnan Sandy Setiawan : 2000),

Penerapan TQM berarti jua adanya kebebasan buat beropini. Kebebasan beropini akan membangun iklim yang dialogis antara murid menggunakan guru, antara anak didik dengan ketua sekolah, antara guru serta ketua sekolah, singkatnya adalah kebebasan berpendapat dan keterbukaan antara seluruh rakyat sekolah. Pentransferan ilmu nir lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan dengan budaya akademis. 

Selain kebebasan beropini jua harus ada kebebasan berita. Harus ada fakta yang jelas tentang arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi juga secara nasional. Secara internal, manajemen wajib menyediakan berita seluas- luasnya bagi masyarakat sekolah. Termasuk pada hal arah organisasi adalah progran – acara, serta kondisi finansial.

Singkatnya, TQM adalah sistem menajemen yg menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan merusak potensi perkembangan sekolah itu sendiri.

Dalam era kemandirian sekolah serta era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas serta tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah merupakan membangun sekolah yg mereka pimpin sebagai semakin efektif, pada arti menjadi semakin berguna bagi sekolah itu sendiri serta bagi rakyat luas penggunanya. (Thomas B. Santoso : 2001). Agar tugas serta tanggung jawab para pemimpin sekolah tadi sebagai nyata, kiranya kepala sekolah perlu tahu, mendalami serta menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yang dewasa ini sudah dikembang-mekarkan sang pemikir-pemikir dalam dunia bisnis. Salah satu ilmu manajemen yang dewasa ini banyak diadopsi merupakan TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu.

A. Manajemen Mutu Terpadu (TQM) 
Manajemen Mutu Terpadu sangat populer di lingkungan organisasi profit, khususnya di lingkungan berbagi badan bisnis/perusahaan serta industri, yg telah terbukti keberhasilannya pada mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya masing-masing pada kondisi usaha yang kompetitif. Kondisi seperti ini sudah mendorong banyak sekali pihak untuk mempraktekannya pada lingkungan organisasi non profit termasuk di lingkungan forum pendidikan. 

Menurut Hadari Nawari (2005:46) Manajemen Mutu Terpadu adalah manejemen fungsional menggunakan pendekatan yang secara terus menerus difokuskan dalam peningkatan kualitas, agar produknya sesuai menggunakan baku kualitas dari rakyat yang dilayani pada pelaksanaan tugas pelayanan generik (public service) dan pembangunan warga (community development). Konsepnya bertolak dari manajemen menjadi proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan asal daya yang dimiliki, yg harus diintegrasi pula dengan pentahapan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, agar terwujud kerja menjadi kegiatan memproduksi sesuai yg berkualitas. Setiap pekerjaan pada manajemen mutu terpadu wajib dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan serta alat), aplikasi teknis dengan metode kerja/cara kerja yg efektif dan efisien, buat membuat produk berupa barang atau jasa yg bermanfaat bagi masyarakat.

Menurut Cassio misalnya yang dikutip oleh Hadari Nawawi (2005 : 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components :
1. A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2. Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3. Quality concept (e.G. Statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4. A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5. A focus on employee involvement, teamwork, and pembinaan at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6. An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7. Recognition of supliers as full partners in quality management process.

Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yg dikutip sang Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) yang menyampaikan bahwa “ TQM adalah sistem manajemen yg mengangkat kualitas sebagai taktik bisnis dan berorentasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan semua anggota organisasi”. Di samping itu Fandy Tjiptono serta Anastasia Diana (1998) menyatakan juga bahwa “ Total Quality Management adalah suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba buat memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses serta lingkungannya. 

Berdasarkan beberapa pengertian pada atas, Hadari Nawawi (2005 : 127) mengemukakan tentang ciri TQM menjadi berikut :
1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal juga eksternal
2. Memiliki opsesi yg tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah pada pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4. Memiliki komitmen jangka panjang.
5. Membutuhkan kerjasama tim
6. Memperbaiki proses secara kesinambungan
7. Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan yg terkendali
10. Adanya keterlibatan serta pemberdayaan karyawan.

B. Manajemen Mutu Terpadu pada Bidang Pendidikan
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk dan kualitas proses buat mewujudkannya, adalah bagian yg tidak gampang pada pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini ditimbulkan sang karena berukuran produktivitasnya tidak sekedar bersifat kuantitatif, misalnya hanya berdasarkan jumlah lokal serta gedung sekolah atau laboratorium yg berhasil dibangun, tetapi pula berkenaan menggunakan aspek kualitas yang menyangkut manfaat dan kemampuan memanfaatkannya. 

Demikian jua jumlah lulusan yg bisa diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit buat ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan dengan itu di lingkungan organisasi bidang pendidikan yg bersifat non profit, menurut Hadari Nawari (2005 : 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan bisa dibedakan sebagai berikut :
1. Produktivitas Internal, berupa output yg dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung dan lokal yang dibangun sinkron dengan persyaratan yang sudah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa hasil yang tidak bisa diukur secara kuantitatif, lantaran bersifat kualitatif yang hanya bisa diketahui sehabis melewati tenggang ketika tertentu yg relatif usang. 

Masih berdasarkan Hadari Nawawi (2005 : 47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu bisa dikatakan sukses, apabila menampakan gejala-gejala sebagai berikut :
1. Tingkat konsistensi produk dalam menaruh pelayanan generik dan pelaksanaan pembangunan buat kepentingan peningkatan kualitas SDM terus semakin tinggi.
2. Kekeliruan pada bekerja yg berdampak menyebabkan ketidakpuasan serta komplain rakyat yg dilayani semakin berkurang.
3. Disiplin saat serta disiplin kerja semakin meningkat
4. Inventarisasi aset organisasi semakin paripurna, terkendali serta nir berkurang/hilang tanpa diketahui sebab-sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama menurut atasan eksklusif melalui pengawasan melekat, sehingga sanggup berhemat pembiayaan, mencegah penyimpangan pada anugerah pelayanan generik dan pembangunan sinkron dengan kebutuhan masyarakat.
6. Pemborosan dana dan ketika dalam bekerja bisa dicegah.
7. Peningkatan ketrampilan serta keahlian bekerja terus dilaksanakan sebagai akibatnya metode atau cara bekerja selalu sanggup mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi cara bekerja yg paling efektif, efisien dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus semakin tinggi.

Berkenaan menggunakan kualitas dalam pengimplementasian TQM, Wayne F. Cassio dalam bukunya Hadari Nawawi menyampaikan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio pula mengutip pengertian kualitas berdasarkan The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada dengan itu Goetsh dan Davis seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1996) yang menyampaikan : “kualitas adalah suatu kondisi dinamis yg bekerjasama produk, jasa, insan, proses serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi asa”. 

Dilihat berdasarkan pengertian kualitas yg terakhir seperti tadi di atas, berarti kualitas pada lingkungan organisasi profit dipengaruhi oleh pihak luar pada luar organisasi yg disebut konsumen, yang selain berbeda – beda, jua selalu berubah dan berkembang secara dinamis. 

Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan nir mungkin diwujudkan bila tidak didukung menggunakan tersedianya sumber-asal buat mewujudkan kualitas proses serta output yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yang kondisinyan sehat, terdapat banyak sekali asal kualitas yang bisa mendukung pengimplementasian TQM secara aporisma. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 138 – 141), beberapa pada antara sumber-sumber kualitas tersebut adalah menjadi berikut :
1. Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas.
Komitmen ini sangat penting lantaran berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan serta kebijakan, pemilihan serta pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini nir mungkin diciptakan serta dikembangkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yg berorentasi dalam kualitas produk dan pelayanan umum.

2. Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat krusial karena usaha mengimplementasikan semua fungsi manajemen yang berkualitas, sangat tergantung dalam ketersediaan keterangan dan data yg seksama, relatif/lengkap serta terjamin kekiniannya sesuai menggunakan kebutuhan dalam melaksanakan tugas utama organiasi.

3. Sumberdaya insan yang potensial
SDM pada lingkungan sekolah sebagai aset bersifat kuantitatif pada arti bisa dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM jua adalah potensi yang berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) buat mewujudkan eksistensinya. Kualitas aplikasi tugas pokok sangat dipengaruhi oleh potensi yg dimiliki sang SDM, baik yang telah diwujudkan pada prestasi kerja maupun yg masih bersifat potensial serta bisa dikembangkan.

4. Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi pada organisasi sebagai asal kualitas, sama pentingnya satu dengan yg lainnnya, yang sebagai satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi wajib dilibatkan secara maksimal , sehingga saling menunjang satu dengan yang lainnya. 

5. Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber-asal kualitas yang ada bersifat sangat fundamental, karena tergantung pada syarat pucuk pimpinan (kepala sekolah), yang selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau dapat memohon buat dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM nir boleh digantungkan dalam individu kepala sekolah menjadi asal kualitas, karena sikap serta konduite individu terhadap kualitas dapat berbeda. Dengan istilah lain asal kualitas ini harus ditransformasikan pada filsafat kualitas yg berkesinambungan pada merealisasikan TQM.

Semua asal kualitas pada lingkungan organisasi pendidikan dapat dilihat manifestasinya melalui dimensi – dimensi kualitas yg harus direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama menggunakan rakyat sekolah yg ada dalam lingkungan tadi. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 141), dimensi kualitas yg dimaksud merupakan : 

1. Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja dalam arti unjuk konduite pada bekerja yg positif, adalah gambaran konkrit berdasarkan kemampuan mendayagunakan sumber-asal kualitas, yg berdampak pada keberhasilan mewujudkan, mempertahankan serta membuatkan eksistensi organisasi (sekolah).

2. Iklim Kerja
Penggunaan sumber-asal kualitas secara intensif akan menghasilkan iklim kerja yg aman di lingkungan organisasi. Di pada iklim kerja yg diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yg efektif melalui kerja pada dalam tim kerja, yang saling menghargai serta menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif serta penemuan buat selalu meningkatkan kualitas.

3. Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif dan efisien akan memberikan nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap pada melaksanakan tugas utama serta hasil yang dicapai sang organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat dalam rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yg dilayani (siswa).

4. Kesesuaian menggunakan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber-sumber kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi pada kemampuan personil buat menyesuaikan proses aplikasi pekerjaan serta hasilnya dengan ciri operasional serta baku hasilnya berdasarkan berukuran kualitas yg disepakati.

5. Kualitas Pelayanan serta Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yg dapat diamati dari eksploitasi sumber-sumber kualitas yg efektif serta efisien terlihat pada peningkatan kualitas pada melaksanakan tugas pelayanan kepada siswa.

6. Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan asal-asal kualitas yg sukses pada lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui berdasarkan persepsi warga (merk image) dalam bentuk citra serta reputasi yang positip tentang kualitas lulusan baik yang terserap sang lembaga pendidikan yg lebih tinggi ataupun oleh global kerja.

Secara singkat bisa digambarkan diagram komitmen kualitas dalam Manajemen Mutu Terpadu merupakan sebagai berikut :

Diagram : Komitmen Kualitas dalam TQM

C. Tanggapan Penulis
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu pada bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah menaikkan kualitas, daya saing bagi output (lulusan) dengan indikator adanya kompetensi baik intelektual maupun skill serta kompetensi sosial murid/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di dalam organisasi pendidikan (sekolah) perlu dilakukan menggunakan sebenarnya nir menggunakan 1/2 hati. Dengan memanfaatkan semua entitas kualitas yang ada dalam organisasi maka pendidikan kita tidak akan jalan di loka misalnya saat ini. Kualitas pendidikan kita berada pada urutan 101 dan masih berada di bawah vietnam yang notabene negara tersebut bisa dikatakan baru saja merdeka dibandingkan menggunakan kemerdekaan bangsa kita Indonesia.

Implementasi TQM pada organisasi Pendidikan khususnya negeri memang tidak gampang. Adanya kendala dalam budaya kerja, unjuk kerja dari pengajar dan karyawan sangat menghipnotis. Tidak perlu dipungkiri bahwa budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin pegawai negeri sipil pada negara kita ini sangat rendah. Ini sangat mensugesti efektifitas implementasi TQM.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah mengadopsi prinsip – prinsip TQM ternyata tidak serta merta mendongkrak peningkatan kinerja pelaksana sekolah yang implikasinya bisa menaikkan kompetensi murid kita.

Menurut penulis, yg paling pertama diperbaiki merupakan budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin berdasarkan pelaksana sekolah (pengajar, karyawan serta ketua sekolah). Semuanya harus dapat memandang siswa menjadi “pelanggan”, yang wajib dilayani menggunakan sebaik – baiknya demi kepuasan mereka. Pelaksana sekolah selalu bersemangat untuk maju, bersemangat terus buat menambah kemampuan dan ketrampilannya yang dalam akhirnya akan mempertinggi unjuk kerja mereka di hadapan murid. Apabila seluruh pelaksana sekolah sudah mempunyai budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin yang tinggi, maka implementasi TQM bisa secara nyata berjalan dan akan berakibat organisasi pendidikan (sekolah) akan semakin maju, eksis, mempunyai merk image yg meningkat dan dalam akhirnya dapat membentuk kader – kader bangsa yang berkualitas serta dapat disejajarkan dengan bangsa lain.

Rendahnya budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin kerja pelaksana seokolah (PNS) memang sangat dipengaruhi sang sistem penghargaan negara (honor ) yang rendah terhadap PNS. Ini mengakibatkan nir sedikit kewajiban pada organisasi pendidikan khususnya menjadi “sambilan” bagi PNS dan justru yang primer berada pada kegiatan luar organisasi lantaran adanya tuntutan ekonomi yang semakin berat. 

Angin segar telah berhembus bagi pengajar khususnya, menggunakan sudah adanya UU Guru dan Dosen yang sebagai payung aturan dan mengklaim peningkatan kesejahteraan Pengajar serta Dosen. Namun masih sebagai pertanyaan akbar “kapan itu dilaksanakan?”, atau “ hanya meninabobokkan guru saja agar nir berdemo?”. 

Apabila UU tadi sahih dilaksanakan, apakah akan benar – benar bisa menaikkan kinerja guru? 

Pada intinya, implementasi TQM di organisasi pendidikan khususnya sekolah masih akan terasa berat. Diperlukan adanya kesungguhan berdasarkan rakyat sekolah secara beserta, sadar, dan berkeinginan yg kuat buat maju.

KONSEP MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Konsep Manajemen Mutu Terpadu Dalam Sistem Pendidikan 
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah dalam sistem manajemen yg diklaim TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini adalah supervisi menyeluruh dari seluruh anggota organisasi (masyarakat sekolah) terhadap aktivitas sekolah. Penerapan TQM berarti seluruh rakyat sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan. 

Sebelum hal itu tercapai, maka semua pihak yg terlibat dalam proses akademis, mulai menurut komite sekolah, ketua sekolah, ketua tata usaha, guru, murid sampai dengan karyawan harus benar – benar mengerti hakekat dan tujuan pendidikan ini. Dengan kata lain, setiap individu yg terlibat wajib memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yg menyeluruh menurut individu yg terlibat, nir mungkin akan diterapkan TQM. 

Dalam ajaran TQM, forum pendidikan (sekolah) harus menempatkan anak didik sebagai “klien” atau pada istilah perusahaan menjadi “ stakeholders” yg terbesar, maka bunyi siswa wajib disertakan pada setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yang demokratis manajemen tidak mampu menerapkan TQM, yg terjadi merupakan kualitas pendidikan didominasi oleh pihak-pihak tertentu yang acapkali memiliki kepentingan yang bersimpangan dengan hakekat pendidikan (Adnan Sandy Setiawan : 2000),

Penerapan TQM berarti juga adanya kebebasan buat berpendapat. Kebebasan beropini akan membangun iklim yang dialogis antara anak didik dengan guru, antara murid menggunakan kepala sekolah, antara pengajar serta ketua sekolah, singkatnya adalah kebebasan beropini dan keterbukaan antara semua rakyat sekolah. Pentransferan ilmu nir lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan menggunakan budaya akademis. 

Selain kebebasan beropini juga sine qua non kebebasan kabar. Harus ada berita yang kentara mengenai arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi maupun secara nasional. Secara internal, manajemen harus menyediakan berita seluas- luasnya bagi masyarakat sekolah. Termasuk dalam hal arah organisasi merupakan progran – acara, serta syarat finansial.

Singkatnya, TQM merupakan sistem menajemen yang menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan Mengganggu potensi perkembangan sekolah itu sendiri.

Dalam era kemandirian sekolah dan era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas dan tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah adalah menciptakan sekolah yang mereka pimpin sebagai semakin efektif, pada arti sebagai semakin berguna bagi sekolah itu sendiri dan bagi warga luas penggunanya. (Thomas B. Santoso : 2001). Agar tugas dan tanggung jawab para pemimpin sekolah tersebut sebagai konkret, kiranya kepala sekolah perlu tahu, mendalami dan menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yg dewasa ini sudah dikembang-mekarkan oleh pemikir-pemikir dalam global bisnis. Salah satu ilmu manajemen yg dewasa ini poly diadopsi merupakan TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu.

A. Manajemen Mutu Terpadu (TQM) 
Manajemen Mutu Terpadu sangat terkenal pada lingkungan organisasi profit, khususnya pada lingkungan menyebarkan badan usaha/perusahaan serta industri, yg telah terbukti keberhasilannya pada mempertahankan serta mengembangkan eksistensinya masing-masing pada kondisi bisnis yg kompetitif. Kondisi seperti ini sudah mendorong berbagai pihak buat mempraktekannya pada lingkungan organisasi non profit termasuk pada lingkungan lembaga pendidikan. 

Menurut Hadari Nawari (2005:46) Manajemen Mutu Terpadu merupakan manejemen fungsional dengan pendekatan yg secara terus menerus difokuskan dalam peningkatan kualitas, agar produknya sinkron menggunakan standar kualitas berdasarkan warga yang dilayani pada aplikasi tugas pelayanan umum (public service) dan pembangunan rakyat (community development). Konsepnya bertolak menurut manajemen sebagai proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki, yg harus diintegrasi jua menggunakan pentahapan aplikasi fungsi-fungsi manajemen, agar terwujud kerja menjadi kegiatan memproduksi sesuai yg berkualitas. Setiap pekerjaan pada manajemen mutu terpadu wajib dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan serta alat), pelaksanaan teknis menggunakan metode kerja/cara kerja yang efektif dan efisien, buat membentuk produk berupa barang atau jasa yang berguna bagi masyarakat.

Menurut Cassio misalnya yang dikutip sang Hadari Nawawi (2005 : 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components :
1. A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2. Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3. Quality concept (e.G. Statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4. A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5. A focus on employee involvement, teamwork, and pembinaan at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6. An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7. Recognition of supliers as full partners in quality management process.

Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) yg mengungkapkan bahwa “ TQM merupakan sistem manajemen yg mengangkat kualitas menjadi taktik usaha serta berorentasi dalam kepuasan pelanggan menggunakan melibatkan seluruh anggota organisasi”. Di samping itu Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) menyatakan juga bahwa “ Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan bisnis yang mencoba buat memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya. 

Berdasarkan beberapa pengertian pada atas, Hadari Nawawi (2005 : 127) mengemukakan mengenai karakteristik TQM menjadi berikut :
1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal juga eksternal
2. Memiliki opsesi yang tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah pada pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4. Memiliki komitmen jangka panjang.
5. Membutuhkan kerjasama tim
6. Memperbaiki proses secara kesinambungan
7. Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan yang terkendali
10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.

B. Manajemen Mutu Terpadu pada Bidang Pendidikan
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk serta kualitas proses buat mewujudkannya, merupakan bagian yg nir mudah dalam pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini ditimbulkan oleh lantaran ukuran produktivitasnya nir sekedar bersifat kuantitatif, contohnya hanya dari jumlah lokal dan gedung sekolah atau laboratorium yg berhasil dibangun, tetapi pula berkenaan menggunakan aspek kualitas yg menyangkut manfaat serta kemampuan memanfaatkannya. 

Demikian juga jumlah lulusan yg dapat diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit buat ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan menggunakan itu pada lingkungan organisasi bidang pendidikan yg bersifat non profit, menurut Hadari Nawari (2005 : 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan dapat dibedakan menjadi berikut :
1. Produktivitas Internal, berupa output yang dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung serta lokal yg dibangun sesuai dengan persyaratan yang sudah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa output yang tidak bisa diukur secara kuantitatif, lantaran bersifat kualitatif yang hanya bisa diketahui sehabis melewati tenggang waktu tertentu yang relatif lama . 

Masih berdasarkan Hadari Nawawi (2005 : 47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu bisa dikatakan sukses, apabila menerangkan gejala-tanda-tanda sebagai berikut :
1. Tingkat konsistensi produk pada menaruh pelayanan generik serta pelaksanaan pembangunan buat kepentingan peningkatan kualitas SDM terus meningkat.
2. Kekeliruan pada bekerja yg berdampak menyebabkan ketidakpuasan dan komplain rakyat yang dilayani semakin berkurang.
3. Disiplin ketika serta disiplin kerja semakin meningkat
4. Inventarisasi aset organisasi semakin sempurna, terkendali serta tidak berkurang/hilang tanpa diketahui karena-sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama dari atasan langsung melalui supervisi melekat, sehingga bisa berhemat pembiayaan, mencegah penyimpangan pada anugerah pelayanan generik serta pembangunan sesuai dengan kebutuhan warga .
6. Pemborosan dana dan saat dalam bekerja dapat dicegah.
7. Peningkatan ketrampilan serta keahlian bekerja terus dilaksanakan sebagai akibatnya metode atau cara bekerja selalu bisa mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi cara bekerja yg paling efektif, efisien serta produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus semakin tinggi.

Berkenaan dengan kualitas pada pengimplementasian TQM, Wayne F. Cassio pada bukunya Hadari Nawawi menyampaikan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio juga mengutip pengertian kualitas dari The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada menggunakan itu Goetsh dan Davis seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono serta Anastasia Diana (1996) yg berkata : “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berafiliasi produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yg memenuhi atau melebihi harapan”. 

Dilihat menurut pengertian kualitas yang terakhir misalnya tersebut pada atas, berarti kualitas di lingkungan organisasi profit ditentukan sang pihak luar di luar organisasi yg dianggap konsumen, yang selain tidak sama – beda, pula selalu berubah dan berkembang secara bergerak maju. 

Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan tidak mungkin diwujudkan bila nir didukung dengan tersedianya asal-sumber buat mewujudkan kualitas proses serta output yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yg kondisinyan sehat, masih ada aneka macam sumber kualitas yg dapat mendukung pengimplementasian TQM secara maksimal . Menurut Hadari Nawawi (2005 : 138 – 141), beberapa pada antara sumber-asal kualitas tersebut merupakan sebagai berikut :
1. Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas.
Komitmen ini sangat penting karena berpengaruh eksklusif dalam setiap pembuatan keputusan dan kebijakan, pemilihan dan aplikasi program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan aplikasi kontrol. Tanpa komitmen ini nir mungkin diciptakan serta dikembangkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang berorentasi dalam kualitas produk serta pelayanan generik.

2. Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat krusial lantaran bisnis mengimplementasikan semua fungsi manajemen yg berkualitas, sangat tergantung dalam ketersediaan liputan dan data yg seksama, relatif/lengkap serta terjamin kekiniannya sinkron menggunakan kebutuhan pada melaksanakan tugas pokok organiasi.

3. Sumberdaya manusia yg potensial
SDM di lingkungan sekolah menjadi aset bersifat kuantitatif dalam arti bisa dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM jua merupakan potensi yg berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) buat mewujudkan eksistensinya. Kualitas pelaksanaan tugas utama sangat ditentukan oleh potensi yg dimiliki sang SDM, baik yang telah diwujudkan dalam prestasi kerja maupun yg masih bersifat potensial dan bisa dikembangkan.

4. Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi dalam organisasi menjadi asal kualitas, sama pentingnya satu menggunakan yg lainnnya, yg sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi wajib dilibatkan secara maksimal , sebagai akibatnya saling menunjang satu menggunakan yg lainnya. 

5. Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber-sumber kualitas yg ada bersifat sangat mendasar, lantaran tergantung dalam syarat pucuk pimpinan (ketua sekolah), yg selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau bisa memohon buat dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM tidak boleh digantungkan dalam individu kepala sekolah menjadi asal kualitas, karena sikap serta konduite individu terhadap kualitas dapat tidak sinkron. Dengan kata lain asal kualitas ini wajib ditransformasikan dalam filsafat kualitas yg berkesinambungan pada merealisasikan TQM.

Semua asal kualitas di lingkungan organisasi pendidikan dapat ditinjau manifestasinya melalui dimensi – dimensi kualitas yang wajib direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama menggunakan warga sekolah yg terdapat pada lingkungan tadi. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 141), dimensi kualitas yg dimaksud adalah : 

1. Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja pada arti unjuk perilaku dalam bekerja yang positif, merupakan citra konkrit dari kemampuan mendayagunakan asal-sumber kualitas, yg berdampak dalam keberhasilan mewujudkan, mempertahankan serta berbagi eksistensi organisasi (sekolah).

2. Iklim Kerja
Penggunaan sumber-asal kualitas secara intensif akan membentuk iklim kerja yang kondusif di lingkungan organisasi. Di dalam iklim kerja yg diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yang efektif melalui kerja di pada tim kerja, yg saling menghargai serta menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif dan penemuan buat selalu mempertinggi kualitas.

3. Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif serta efisien akan menaruh nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap pada melaksanakan tugas pokok serta hasil yg dicapai sang organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat pada rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yg dilayani (anak didik).

4. Kesesuaian dengan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi dalam kemampuan personil buat menyesuaikan proses aplikasi pekerjaan serta hasilnya menggunakan karakteristik operasional dan baku hasilnya dari ukuran kualitas yang disepakati.

5. Kualitas Pelayanan dan Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yg bisa diamati dari eksploitasi asal-sumber kualitas yg efektif dan efisien terlihat pada peningkatan kualitas pada melaksanakan tugas pelayanan pada murid.

6. Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan asal-sumber kualitas yg sukses pada lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui dari persepsi warga (merk image) pada bentuk citra dan reputasi yg positip mengenai kualitas lulusan baik yg terserap sang lembaga pendidikan yang lebih tinggi ataupun oleh dunia kerja.

Secara singkat dapat digambarkan diagram komitmen kualitas dalam Manajemen Mutu Terpadu adalah sebagai berikut :

Diagram : Komitmen Kualitas pada TQM

C. Tanggapan Penulis
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu dalam bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah menaikkan kualitas, daya saing bagi hasil (lulusan) menggunakan indikator adanya kompetensi baik intelektual juga skill serta kompetensi sosial anak didik/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di pada organisasi pendidikan (sekolah) perlu dilakukan menggunakan sebenarnya tidak menggunakan setengah hati. Dengan memanfaatkan seluruh entitas kualitas yang terdapat pada organisasi maka pendidikan kita nir akan jalan di tempat seperti saat ini. Kualitas pendidikan kita berada dalam urutan 101 dan masih berada pada bawah vietnam yg notabene negara tersebut dapat dikatakan baru saja merdeka dibandingkan dengan kemerdekaan bangsa kita Indonesia.

Implementasi TQM pada organisasi Pendidikan khususnya negeri memang tidak mudah. Adanya kendala dalam budaya kerja, unjuk kerja berdasarkan pengajar serta karyawan sangat mempengaruhi. Tidak perlu dipungkiri bahwa budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin pegawai negeri sipil pada negara kita ini sangat rendah. Ini sangat menghipnotis efektifitas implementasi TQM.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sudah mengadopsi prinsip – prinsip TQM ternyata nir serta merta mendongkrak peningkatan kinerja pelaksana sekolah yang implikasinya dapat mempertinggi kompetensi anak didik kita.

Menurut penulis, yg paling pertama diperbaiki merupakan budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin menurut pelaksana sekolah (pengajar, karyawan dan kepala sekolah). Semuanya harus bisa memandang anak didik menjadi “pelanggan”, yg wajib dilayani dengan sebaik – baiknya demi kepuasan mereka. Pelaksana sekolah selalu bersemangat buat maju, bersemangat terus buat menambah kemampuan dan ketrampilannya yg pada akhirnya akan meningkatkan unjuk kerja mereka pada hadapan murid. Jika seluruh pelaksana sekolah sudah memiliki budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin yang tinggi, maka implementasi TQM bisa secara nyata berjalan serta akan berakibat organisasi pendidikan (sekolah) akan semakin maju, eksis, memiliki merk image yg meningkat dan dalam akhirnya bisa menciptakan kader – kader bangsa yg berkualitas serta dapat disejajarkan menggunakan bangsa lain.

Rendahnya budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin kerja pelaksana seokolah (PNS) memang sangat ditentukan sang sistem penghargaan negara (honor ) yang rendah terhadap PNS. Ini mengakibatkan tidak sedikit kewajiban di organisasi pendidikan khususnya menjadi “sambilan” bagi PNS serta justru yg primer berada di aktivitas luar organisasi karena adanya tuntutan ekonomi yang semakin berat. 

Angin segar telah berhembus bagi pengajar khususnya, dengan telah adanya UU Pengajar dan Dosen yang sebagai payung aturan dan menjamin peningkatan kesejahteraan Guru serta Dosen. Tetapi masih menjadi pertanyaan akbar “kapan itu dilaksanakan?”, atau “ hanya meninabobokkan guru saja supaya nir berdemo?”. 

Apabila UU tersebut benar dilaksanakan, apakah akan benar – benar bisa menaikkan kinerja pengajar? 

Pada intinya, implementasi TQM di organisasi pendidikan khususnya sekolah masih akan terasa berat. Diperlukan adanya kesungguhan berdasarkan masyarakat sekolah secara bersama, sadar, dan berkeinginan yang bertenaga buat maju.