KONSEP MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Konsep Manajemen Mutu Terpadu Dalam Sistem Pendidikan 
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah dalam sistem manajemen yg diklaim TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini adalah supervisi menyeluruh dari seluruh anggota organisasi (masyarakat sekolah) terhadap aktivitas sekolah. Penerapan TQM berarti seluruh rakyat sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan. 

Sebelum hal itu tercapai, maka semua pihak yg terlibat dalam proses akademis, mulai menurut komite sekolah, ketua sekolah, ketua tata usaha, guru, murid sampai dengan karyawan harus benar – benar mengerti hakekat dan tujuan pendidikan ini. Dengan kata lain, setiap individu yg terlibat wajib memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yg menyeluruh menurut individu yg terlibat, nir mungkin akan diterapkan TQM. 

Dalam ajaran TQM, forum pendidikan (sekolah) harus menempatkan anak didik sebagai “klien” atau pada istilah perusahaan menjadi “ stakeholders” yg terbesar, maka bunyi siswa wajib disertakan pada setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yang demokratis manajemen tidak mampu menerapkan TQM, yg terjadi merupakan kualitas pendidikan didominasi oleh pihak-pihak tertentu yang acapkali memiliki kepentingan yang bersimpangan dengan hakekat pendidikan (Adnan Sandy Setiawan : 2000),

Penerapan TQM berarti juga adanya kebebasan buat berpendapat. Kebebasan beropini akan membangun iklim yang dialogis antara anak didik dengan guru, antara murid menggunakan kepala sekolah, antara pengajar serta ketua sekolah, singkatnya adalah kebebasan beropini dan keterbukaan antara semua rakyat sekolah. Pentransferan ilmu nir lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan menggunakan budaya akademis. 

Selain kebebasan beropini juga sine qua non kebebasan kabar. Harus ada berita yang kentara mengenai arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi maupun secara nasional. Secara internal, manajemen harus menyediakan berita seluas- luasnya bagi masyarakat sekolah. Termasuk dalam hal arah organisasi merupakan progran – acara, serta syarat finansial.

Singkatnya, TQM merupakan sistem menajemen yang menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan Mengganggu potensi perkembangan sekolah itu sendiri.

Dalam era kemandirian sekolah dan era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas dan tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah adalah menciptakan sekolah yang mereka pimpin sebagai semakin efektif, pada arti sebagai semakin berguna bagi sekolah itu sendiri dan bagi warga luas penggunanya. (Thomas B. Santoso : 2001). Agar tugas dan tanggung jawab para pemimpin sekolah tersebut sebagai konkret, kiranya kepala sekolah perlu tahu, mendalami dan menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yg dewasa ini sudah dikembang-mekarkan oleh pemikir-pemikir dalam global bisnis. Salah satu ilmu manajemen yg dewasa ini poly diadopsi merupakan TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu.

A. Manajemen Mutu Terpadu (TQM) 
Manajemen Mutu Terpadu sangat terkenal pada lingkungan organisasi profit, khususnya pada lingkungan menyebarkan badan usaha/perusahaan serta industri, yg telah terbukti keberhasilannya pada mempertahankan serta mengembangkan eksistensinya masing-masing pada kondisi bisnis yg kompetitif. Kondisi seperti ini sudah mendorong berbagai pihak buat mempraktekannya pada lingkungan organisasi non profit termasuk pada lingkungan lembaga pendidikan. 

Menurut Hadari Nawari (2005:46) Manajemen Mutu Terpadu merupakan manejemen fungsional dengan pendekatan yg secara terus menerus difokuskan dalam peningkatan kualitas, agar produknya sinkron menggunakan standar kualitas berdasarkan warga yang dilayani pada aplikasi tugas pelayanan umum (public service) dan pembangunan rakyat (community development). Konsepnya bertolak menurut manajemen sebagai proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki, yg harus diintegrasi jua menggunakan pentahapan aplikasi fungsi-fungsi manajemen, agar terwujud kerja menjadi kegiatan memproduksi sesuai yg berkualitas. Setiap pekerjaan pada manajemen mutu terpadu wajib dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan serta alat), pelaksanaan teknis menggunakan metode kerja/cara kerja yang efektif dan efisien, buat membentuk produk berupa barang atau jasa yang berguna bagi masyarakat.

Menurut Cassio misalnya yang dikutip sang Hadari Nawawi (2005 : 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components :
1. A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2. Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3. Quality concept (e.G. Statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4. A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5. A focus on employee involvement, teamwork, and pembinaan at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6. An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7. Recognition of supliers as full partners in quality management process.

Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) yg mengungkapkan bahwa “ TQM merupakan sistem manajemen yg mengangkat kualitas menjadi taktik usaha serta berorentasi dalam kepuasan pelanggan menggunakan melibatkan seluruh anggota organisasi”. Di samping itu Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) menyatakan juga bahwa “ Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan bisnis yang mencoba buat memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya. 

Berdasarkan beberapa pengertian pada atas, Hadari Nawawi (2005 : 127) mengemukakan mengenai karakteristik TQM menjadi berikut :
1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal juga eksternal
2. Memiliki opsesi yang tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah pada pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4. Memiliki komitmen jangka panjang.
5. Membutuhkan kerjasama tim
6. Memperbaiki proses secara kesinambungan
7. Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan yang terkendali
10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.

B. Manajemen Mutu Terpadu pada Bidang Pendidikan
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk serta kualitas proses buat mewujudkannya, merupakan bagian yg nir mudah dalam pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini ditimbulkan oleh lantaran ukuran produktivitasnya nir sekedar bersifat kuantitatif, contohnya hanya dari jumlah lokal dan gedung sekolah atau laboratorium yg berhasil dibangun, tetapi pula berkenaan menggunakan aspek kualitas yg menyangkut manfaat serta kemampuan memanfaatkannya. 

Demikian juga jumlah lulusan yg dapat diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit buat ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan menggunakan itu pada lingkungan organisasi bidang pendidikan yg bersifat non profit, menurut Hadari Nawari (2005 : 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan dapat dibedakan menjadi berikut :
1. Produktivitas Internal, berupa output yang dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung serta lokal yg dibangun sesuai dengan persyaratan yang sudah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa output yang tidak bisa diukur secara kuantitatif, lantaran bersifat kualitatif yang hanya bisa diketahui sehabis melewati tenggang waktu tertentu yang relatif lama . 

Masih berdasarkan Hadari Nawawi (2005 : 47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu bisa dikatakan sukses, apabila menerangkan gejala-tanda-tanda sebagai berikut :
1. Tingkat konsistensi produk pada menaruh pelayanan generik serta pelaksanaan pembangunan buat kepentingan peningkatan kualitas SDM terus meningkat.
2. Kekeliruan pada bekerja yg berdampak menyebabkan ketidakpuasan dan komplain rakyat yang dilayani semakin berkurang.
3. Disiplin ketika serta disiplin kerja semakin meningkat
4. Inventarisasi aset organisasi semakin sempurna, terkendali serta tidak berkurang/hilang tanpa diketahui karena-sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama dari atasan langsung melalui supervisi melekat, sehingga bisa berhemat pembiayaan, mencegah penyimpangan pada anugerah pelayanan generik serta pembangunan sesuai dengan kebutuhan warga .
6. Pemborosan dana dan saat dalam bekerja dapat dicegah.
7. Peningkatan ketrampilan serta keahlian bekerja terus dilaksanakan sebagai akibatnya metode atau cara bekerja selalu bisa mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi cara bekerja yg paling efektif, efisien serta produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus semakin tinggi.

Berkenaan dengan kualitas pada pengimplementasian TQM, Wayne F. Cassio pada bukunya Hadari Nawawi menyampaikan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio juga mengutip pengertian kualitas dari The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada menggunakan itu Goetsh dan Davis seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono serta Anastasia Diana (1996) yg berkata : “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berafiliasi produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yg memenuhi atau melebihi harapan”. 

Dilihat menurut pengertian kualitas yang terakhir misalnya tersebut pada atas, berarti kualitas di lingkungan organisasi profit ditentukan sang pihak luar di luar organisasi yg dianggap konsumen, yang selain tidak sama – beda, pula selalu berubah dan berkembang secara bergerak maju. 

Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan tidak mungkin diwujudkan bila nir didukung dengan tersedianya asal-sumber buat mewujudkan kualitas proses serta output yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yg kondisinyan sehat, masih ada aneka macam sumber kualitas yg dapat mendukung pengimplementasian TQM secara maksimal . Menurut Hadari Nawawi (2005 : 138 – 141), beberapa pada antara sumber-asal kualitas tersebut merupakan sebagai berikut :
1. Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas.
Komitmen ini sangat penting karena berpengaruh eksklusif dalam setiap pembuatan keputusan dan kebijakan, pemilihan dan aplikasi program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan aplikasi kontrol. Tanpa komitmen ini nir mungkin diciptakan serta dikembangkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang berorentasi dalam kualitas produk serta pelayanan generik.

2. Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat krusial lantaran bisnis mengimplementasikan semua fungsi manajemen yg berkualitas, sangat tergantung dalam ketersediaan liputan dan data yg seksama, relatif/lengkap serta terjamin kekiniannya sinkron menggunakan kebutuhan pada melaksanakan tugas pokok organiasi.

3. Sumberdaya manusia yg potensial
SDM di lingkungan sekolah menjadi aset bersifat kuantitatif dalam arti bisa dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM jua merupakan potensi yg berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) buat mewujudkan eksistensinya. Kualitas pelaksanaan tugas utama sangat ditentukan oleh potensi yg dimiliki sang SDM, baik yang telah diwujudkan dalam prestasi kerja maupun yg masih bersifat potensial dan bisa dikembangkan.

4. Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi dalam organisasi menjadi asal kualitas, sama pentingnya satu menggunakan yg lainnnya, yg sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi wajib dilibatkan secara maksimal , sebagai akibatnya saling menunjang satu menggunakan yg lainnya. 

5. Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber-sumber kualitas yg ada bersifat sangat mendasar, lantaran tergantung dalam syarat pucuk pimpinan (ketua sekolah), yg selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau bisa memohon buat dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM tidak boleh digantungkan dalam individu kepala sekolah menjadi asal kualitas, karena sikap serta konduite individu terhadap kualitas dapat tidak sinkron. Dengan kata lain asal kualitas ini wajib ditransformasikan dalam filsafat kualitas yg berkesinambungan pada merealisasikan TQM.

Semua asal kualitas di lingkungan organisasi pendidikan dapat ditinjau manifestasinya melalui dimensi – dimensi kualitas yang wajib direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama menggunakan warga sekolah yg terdapat pada lingkungan tadi. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 141), dimensi kualitas yg dimaksud adalah : 

1. Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja pada arti unjuk perilaku dalam bekerja yang positif, merupakan citra konkrit dari kemampuan mendayagunakan asal-sumber kualitas, yg berdampak dalam keberhasilan mewujudkan, mempertahankan serta berbagi eksistensi organisasi (sekolah).

2. Iklim Kerja
Penggunaan sumber-asal kualitas secara intensif akan membentuk iklim kerja yang kondusif di lingkungan organisasi. Di dalam iklim kerja yg diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yang efektif melalui kerja di pada tim kerja, yg saling menghargai serta menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif dan penemuan buat selalu mempertinggi kualitas.

3. Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif serta efisien akan menaruh nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap pada melaksanakan tugas pokok serta hasil yg dicapai sang organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat pada rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yg dilayani (anak didik).

4. Kesesuaian dengan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi dalam kemampuan personil buat menyesuaikan proses aplikasi pekerjaan serta hasilnya menggunakan karakteristik operasional dan baku hasilnya dari ukuran kualitas yang disepakati.

5. Kualitas Pelayanan dan Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yg bisa diamati dari eksploitasi asal-sumber kualitas yg efektif dan efisien terlihat pada peningkatan kualitas pada melaksanakan tugas pelayanan pada murid.

6. Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan asal-sumber kualitas yg sukses pada lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui dari persepsi warga (merk image) pada bentuk citra dan reputasi yg positip mengenai kualitas lulusan baik yg terserap sang lembaga pendidikan yang lebih tinggi ataupun oleh dunia kerja.

Secara singkat dapat digambarkan diagram komitmen kualitas dalam Manajemen Mutu Terpadu adalah sebagai berikut :

Diagram : Komitmen Kualitas pada TQM

C. Tanggapan Penulis
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu dalam bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah menaikkan kualitas, daya saing bagi hasil (lulusan) menggunakan indikator adanya kompetensi baik intelektual juga skill serta kompetensi sosial anak didik/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di pada organisasi pendidikan (sekolah) perlu dilakukan menggunakan sebenarnya tidak menggunakan setengah hati. Dengan memanfaatkan seluruh entitas kualitas yang terdapat pada organisasi maka pendidikan kita nir akan jalan di tempat seperti saat ini. Kualitas pendidikan kita berada dalam urutan 101 dan masih berada pada bawah vietnam yg notabene negara tersebut dapat dikatakan baru saja merdeka dibandingkan dengan kemerdekaan bangsa kita Indonesia.

Implementasi TQM pada organisasi Pendidikan khususnya negeri memang tidak mudah. Adanya kendala dalam budaya kerja, unjuk kerja berdasarkan pengajar serta karyawan sangat mempengaruhi. Tidak perlu dipungkiri bahwa budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin pegawai negeri sipil pada negara kita ini sangat rendah. Ini sangat menghipnotis efektifitas implementasi TQM.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sudah mengadopsi prinsip – prinsip TQM ternyata nir serta merta mendongkrak peningkatan kinerja pelaksana sekolah yang implikasinya dapat mempertinggi kompetensi anak didik kita.

Menurut penulis, yg paling pertama diperbaiki merupakan budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin menurut pelaksana sekolah (pengajar, karyawan dan kepala sekolah). Semuanya harus bisa memandang anak didik menjadi “pelanggan”, yg wajib dilayani dengan sebaik – baiknya demi kepuasan mereka. Pelaksana sekolah selalu bersemangat buat maju, bersemangat terus buat menambah kemampuan dan ketrampilannya yg pada akhirnya akan meningkatkan unjuk kerja mereka pada hadapan murid. Jika seluruh pelaksana sekolah sudah memiliki budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin yang tinggi, maka implementasi TQM bisa secara nyata berjalan serta akan berakibat organisasi pendidikan (sekolah) akan semakin maju, eksis, memiliki merk image yg meningkat dan dalam akhirnya bisa menciptakan kader – kader bangsa yg berkualitas serta dapat disejajarkan menggunakan bangsa lain.

Rendahnya budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin kerja pelaksana seokolah (PNS) memang sangat ditentukan sang sistem penghargaan negara (honor ) yang rendah terhadap PNS. Ini mengakibatkan tidak sedikit kewajiban di organisasi pendidikan khususnya menjadi “sambilan” bagi PNS serta justru yg primer berada di aktivitas luar organisasi karena adanya tuntutan ekonomi yang semakin berat. 

Angin segar telah berhembus bagi pengajar khususnya, dengan telah adanya UU Pengajar dan Dosen yang sebagai payung aturan dan menjamin peningkatan kesejahteraan Guru serta Dosen. Tetapi masih menjadi pertanyaan akbar “kapan itu dilaksanakan?”, atau “ hanya meninabobokkan guru saja supaya nir berdemo?”. 

Apabila UU tersebut benar dilaksanakan, apakah akan benar – benar bisa menaikkan kinerja pengajar? 

Pada intinya, implementasi TQM di organisasi pendidikan khususnya sekolah masih akan terasa berat. Diperlukan adanya kesungguhan berdasarkan masyarakat sekolah secara bersama, sadar, dan berkeinginan yang bertenaga buat maju.

KONSEP MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Konsep Manajemen Mutu Terpadu Dalam Sistem Pendidikan 
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah pada sistem manajemen yg diklaim TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini merupakan supervisi menyeluruh dari semua anggota organisasi (masyarakat sekolah) terhadap aktivitas sekolah. Penerapan TQM berarti semua rakyat sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan. 

Sebelum hal itu tercapai, maka seluruh pihak yang terlibat dalam proses akademis, mulai menurut komite sekolah, ketua sekolah, ketua rapikan usaha, guru, anak didik sampai dengan karyawan wajib benar – sahih mengerti hakekat serta tujuan pendidikan ini. Dengan istilah lain, setiap individu yg terlibat wajib memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yang menyeluruh dari individu yang terlibat, tidak mungkin akan diterapkan TQM. 

Dalam ajaran TQM, forum pendidikan (sekolah) wajib menempatkan siswa sebagai “klien” atau dalam kata perusahaan menjadi “ stakeholders” yg terbesar, maka suara murid harus disertakan pada setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yg demokratis manajemen tidak bisa menerapkan TQM, yang terjadi adalah kualitas pendidikan didominasi sang pihak-pihak tertentu yg sering mempunyai kepentingan yang bersimpangan menggunakan hakekat pendidikan (Adnan Sandy Setiawan : 2000),

Penerapan TQM berarti jua adanya kebebasan buat beropini. Kebebasan beropini akan membangun iklim yang dialogis antara murid menggunakan guru, antara anak didik dengan ketua sekolah, antara guru serta ketua sekolah, singkatnya adalah kebebasan berpendapat dan keterbukaan antara seluruh rakyat sekolah. Pentransferan ilmu nir lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan dengan budaya akademis. 

Selain kebebasan beropini jua harus ada kebebasan berita. Harus ada fakta yang jelas tentang arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi juga secara nasional. Secara internal, manajemen wajib menyediakan berita seluas- luasnya bagi masyarakat sekolah. Termasuk pada hal arah organisasi adalah progran – acara, serta kondisi finansial.

Singkatnya, TQM adalah sistem menajemen yg menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan merusak potensi perkembangan sekolah itu sendiri.

Dalam era kemandirian sekolah serta era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas serta tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah merupakan membangun sekolah yg mereka pimpin sebagai semakin efektif, pada arti menjadi semakin berguna bagi sekolah itu sendiri serta bagi rakyat luas penggunanya. (Thomas B. Santoso : 2001). Agar tugas serta tanggung jawab para pemimpin sekolah tadi sebagai nyata, kiranya kepala sekolah perlu tahu, mendalami serta menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yang dewasa ini sudah dikembang-mekarkan sang pemikir-pemikir dalam dunia bisnis. Salah satu ilmu manajemen yang dewasa ini banyak diadopsi merupakan TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu.

A. Manajemen Mutu Terpadu (TQM) 
Manajemen Mutu Terpadu sangat populer di lingkungan organisasi profit, khususnya di lingkungan berbagi badan bisnis/perusahaan serta industri, yg telah terbukti keberhasilannya pada mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya masing-masing pada kondisi usaha yang kompetitif. Kondisi seperti ini sudah mendorong banyak sekali pihak untuk mempraktekannya pada lingkungan organisasi non profit termasuk di lingkungan forum pendidikan. 

Menurut Hadari Nawari (2005:46) Manajemen Mutu Terpadu adalah manejemen fungsional menggunakan pendekatan yang secara terus menerus difokuskan dalam peningkatan kualitas, agar produknya sesuai menggunakan baku kualitas dari rakyat yang dilayani pada pelaksanaan tugas pelayanan generik (public service) dan pembangunan warga (community development). Konsepnya bertolak dari manajemen menjadi proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan asal daya yang dimiliki, yg harus diintegrasi pula dengan pentahapan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, agar terwujud kerja menjadi kegiatan memproduksi sesuai yg berkualitas. Setiap pekerjaan pada manajemen mutu terpadu wajib dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan serta alat), aplikasi teknis dengan metode kerja/cara kerja yg efektif dan efisien, buat membuat produk berupa barang atau jasa yg bermanfaat bagi masyarakat.

Menurut Cassio misalnya yang dikutip oleh Hadari Nawawi (2005 : 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components :
1. A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2. Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3. Quality concept (e.G. Statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4. A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5. A focus on employee involvement, teamwork, and pembinaan at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6. An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7. Recognition of supliers as full partners in quality management process.

Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yg dikutip sang Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) yang menyampaikan bahwa “ TQM adalah sistem manajemen yg mengangkat kualitas sebagai taktik bisnis dan berorentasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan semua anggota organisasi”. Di samping itu Fandy Tjiptono serta Anastasia Diana (1998) menyatakan juga bahwa “ Total Quality Management adalah suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba buat memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses serta lingkungannya. 

Berdasarkan beberapa pengertian pada atas, Hadari Nawawi (2005 : 127) mengemukakan tentang ciri TQM menjadi berikut :
1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal juga eksternal
2. Memiliki opsesi yg tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah pada pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4. Memiliki komitmen jangka panjang.
5. Membutuhkan kerjasama tim
6. Memperbaiki proses secara kesinambungan
7. Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan yg terkendali
10. Adanya keterlibatan serta pemberdayaan karyawan.

B. Manajemen Mutu Terpadu pada Bidang Pendidikan
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk dan kualitas proses buat mewujudkannya, adalah bagian yg tidak gampang pada pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini ditimbulkan sang karena berukuran produktivitasnya tidak sekedar bersifat kuantitatif, misalnya hanya berdasarkan jumlah lokal serta gedung sekolah atau laboratorium yg berhasil dibangun, tetapi pula berkenaan menggunakan aspek kualitas yang menyangkut manfaat dan kemampuan memanfaatkannya. 

Demikian jua jumlah lulusan yg bisa diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit buat ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan dengan itu di lingkungan organisasi bidang pendidikan yg bersifat non profit, menurut Hadari Nawari (2005 : 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan bisa dibedakan sebagai berikut :
1. Produktivitas Internal, berupa output yg dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung dan lokal yang dibangun sinkron dengan persyaratan yang sudah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa hasil yang tidak bisa diukur secara kuantitatif, lantaran bersifat kualitatif yang hanya bisa diketahui sehabis melewati tenggang ketika tertentu yg relatif usang. 

Masih berdasarkan Hadari Nawawi (2005 : 47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu bisa dikatakan sukses, apabila menampakan gejala-gejala sebagai berikut :
1. Tingkat konsistensi produk dalam menaruh pelayanan generik dan pelaksanaan pembangunan buat kepentingan peningkatan kualitas SDM terus semakin tinggi.
2. Kekeliruan pada bekerja yg berdampak menyebabkan ketidakpuasan serta komplain rakyat yg dilayani semakin berkurang.
3. Disiplin saat serta disiplin kerja semakin meningkat
4. Inventarisasi aset organisasi semakin paripurna, terkendali serta nir berkurang/hilang tanpa diketahui sebab-sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama menurut atasan eksklusif melalui pengawasan melekat, sehingga sanggup berhemat pembiayaan, mencegah penyimpangan pada anugerah pelayanan generik dan pembangunan sinkron dengan kebutuhan masyarakat.
6. Pemborosan dana dan ketika dalam bekerja bisa dicegah.
7. Peningkatan ketrampilan serta keahlian bekerja terus dilaksanakan sebagai akibatnya metode atau cara bekerja selalu sanggup mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi cara bekerja yg paling efektif, efisien dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus semakin tinggi.

Berkenaan menggunakan kualitas dalam pengimplementasian TQM, Wayne F. Cassio dalam bukunya Hadari Nawawi menyampaikan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio pula mengutip pengertian kualitas berdasarkan The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada dengan itu Goetsh dan Davis seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1996) yang menyampaikan : “kualitas adalah suatu kondisi dinamis yg bekerjasama produk, jasa, insan, proses serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi asa”. 

Dilihat berdasarkan pengertian kualitas yg terakhir seperti tadi di atas, berarti kualitas pada lingkungan organisasi profit dipengaruhi oleh pihak luar pada luar organisasi yg disebut konsumen, yang selain berbeda – beda, jua selalu berubah dan berkembang secara dinamis. 

Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan nir mungkin diwujudkan bila tidak didukung menggunakan tersedianya sumber-asal buat mewujudkan kualitas proses serta output yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yang kondisinyan sehat, terdapat banyak sekali asal kualitas yang bisa mendukung pengimplementasian TQM secara aporisma. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 138 – 141), beberapa pada antara sumber-sumber kualitas tersebut adalah menjadi berikut :
1. Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas.
Komitmen ini sangat penting lantaran berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan serta kebijakan, pemilihan serta pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini nir mungkin diciptakan serta dikembangkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yg berorentasi dalam kualitas produk dan pelayanan umum.

2. Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat krusial karena usaha mengimplementasikan semua fungsi manajemen yang berkualitas, sangat tergantung dalam ketersediaan keterangan dan data yg seksama, relatif/lengkap serta terjamin kekiniannya sesuai menggunakan kebutuhan dalam melaksanakan tugas utama organiasi.

3. Sumberdaya insan yang potensial
SDM pada lingkungan sekolah sebagai aset bersifat kuantitatif pada arti bisa dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM jua adalah potensi yang berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) buat mewujudkan eksistensinya. Kualitas aplikasi tugas pokok sangat dipengaruhi oleh potensi yg dimiliki sang SDM, baik yang telah diwujudkan pada prestasi kerja maupun yg masih bersifat potensial serta bisa dikembangkan.

4. Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi pada organisasi sebagai asal kualitas, sama pentingnya satu dengan yg lainnnya, yang sebagai satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi wajib dilibatkan secara maksimal , sehingga saling menunjang satu dengan yang lainnya. 

5. Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber-asal kualitas yang ada bersifat sangat fundamental, karena tergantung pada syarat pucuk pimpinan (kepala sekolah), yang selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau dapat memohon buat dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM nir boleh digantungkan dalam individu kepala sekolah menjadi asal kualitas, karena sikap serta konduite individu terhadap kualitas dapat berbeda. Dengan istilah lain asal kualitas ini harus ditransformasikan pada filsafat kualitas yg berkesinambungan pada merealisasikan TQM.

Semua asal kualitas pada lingkungan organisasi pendidikan dapat dilihat manifestasinya melalui dimensi – dimensi kualitas yg harus direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama menggunakan rakyat sekolah yg ada dalam lingkungan tadi. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 141), dimensi kualitas yg dimaksud merupakan : 

1. Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja dalam arti unjuk konduite pada bekerja yg positif, adalah gambaran konkrit berdasarkan kemampuan mendayagunakan sumber-asal kualitas, yg berdampak pada keberhasilan mewujudkan, mempertahankan serta membuatkan eksistensi organisasi (sekolah).

2. Iklim Kerja
Penggunaan sumber-asal kualitas secara intensif akan menghasilkan iklim kerja yg aman di lingkungan organisasi. Di pada iklim kerja yg diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yg efektif melalui kerja pada dalam tim kerja, yang saling menghargai serta menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif serta penemuan buat selalu meningkatkan kualitas.

3. Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif dan efisien akan memberikan nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap pada melaksanakan tugas utama serta hasil yang dicapai sang organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat dalam rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yg dilayani (siswa).

4. Kesesuaian menggunakan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber-sumber kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi pada kemampuan personil buat menyesuaikan proses aplikasi pekerjaan serta hasilnya dengan ciri operasional serta baku hasilnya berdasarkan berukuran kualitas yg disepakati.

5. Kualitas Pelayanan serta Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yg dapat diamati dari eksploitasi sumber-sumber kualitas yg efektif serta efisien terlihat pada peningkatan kualitas pada melaksanakan tugas pelayanan kepada siswa.

6. Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan asal-asal kualitas yg sukses pada lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui berdasarkan persepsi warga (merk image) dalam bentuk citra serta reputasi yang positip tentang kualitas lulusan baik yang terserap sang lembaga pendidikan yg lebih tinggi ataupun oleh global kerja.

Secara singkat bisa digambarkan diagram komitmen kualitas dalam Manajemen Mutu Terpadu merupakan sebagai berikut :

Diagram : Komitmen Kualitas dalam TQM

C. Tanggapan Penulis
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu pada bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah menaikkan kualitas, daya saing bagi output (lulusan) dengan indikator adanya kompetensi baik intelektual maupun skill serta kompetensi sosial murid/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di dalam organisasi pendidikan (sekolah) perlu dilakukan menggunakan sebenarnya nir menggunakan 1/2 hati. Dengan memanfaatkan semua entitas kualitas yang ada dalam organisasi maka pendidikan kita tidak akan jalan di loka misalnya saat ini. Kualitas pendidikan kita berada pada urutan 101 dan masih berada di bawah vietnam yang notabene negara tersebut bisa dikatakan baru saja merdeka dibandingkan menggunakan kemerdekaan bangsa kita Indonesia.

Implementasi TQM pada organisasi Pendidikan khususnya negeri memang tidak gampang. Adanya kendala dalam budaya kerja, unjuk kerja dari pengajar dan karyawan sangat menghipnotis. Tidak perlu dipungkiri bahwa budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin pegawai negeri sipil pada negara kita ini sangat rendah. Ini sangat mensugesti efektifitas implementasi TQM.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah mengadopsi prinsip – prinsip TQM ternyata tidak serta merta mendongkrak peningkatan kinerja pelaksana sekolah yang implikasinya bisa menaikkan kompetensi murid kita.

Menurut penulis, yg paling pertama diperbaiki merupakan budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin berdasarkan pelaksana sekolah (pengajar, karyawan serta ketua sekolah). Semuanya harus dapat memandang siswa menjadi “pelanggan”, yang wajib dilayani menggunakan sebaik – baiknya demi kepuasan mereka. Pelaksana sekolah selalu bersemangat untuk maju, bersemangat terus buat menambah kemampuan dan ketrampilannya yang dalam akhirnya akan mempertinggi unjuk kerja mereka di hadapan murid. Apabila seluruh pelaksana sekolah sudah mempunyai budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin yang tinggi, maka implementasi TQM bisa secara nyata berjalan dan akan berakibat organisasi pendidikan (sekolah) akan semakin maju, eksis, mempunyai merk image yg meningkat dan dalam akhirnya dapat membentuk kader – kader bangsa yang berkualitas serta dapat disejajarkan dengan bangsa lain.

Rendahnya budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin kerja pelaksana seokolah (PNS) memang sangat dipengaruhi sang sistem penghargaan negara (honor ) yang rendah terhadap PNS. Ini mengakibatkan nir sedikit kewajiban pada organisasi pendidikan khususnya menjadi “sambilan” bagi PNS dan justru yang primer berada pada kegiatan luar organisasi lantaran adanya tuntutan ekonomi yang semakin berat. 

Angin segar telah berhembus bagi pengajar khususnya, menggunakan sudah adanya UU Guru dan Dosen yang sebagai payung aturan dan mengklaim peningkatan kesejahteraan Pengajar serta Dosen. Namun masih sebagai pertanyaan akbar “kapan itu dilaksanakan?”, atau “ hanya meninabobokkan guru saja agar nir berdemo?”. 

Apabila UU tadi sahih dilaksanakan, apakah akan benar – benar bisa menaikkan kinerja guru? 

Pada intinya, implementasi TQM di organisasi pendidikan khususnya sekolah masih akan terasa berat. Diperlukan adanya kesungguhan berdasarkan rakyat sekolah secara beserta, sadar, dan berkeinginan yg kuat buat maju.

MANAJEMEN DASAR PENGERTIAN DAN MASALAH

Manajemen, Dasar, Pengertian Dan Masalah 
Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life dalam arti pendidikan sebagai duduk perkara hayati dan kehidupan maka diskursus seputar pendidikan merupakan salah satu topik yg selalu menarik. Setidaknya terdapat dua alasan yang bisa diidentifikasi sebagai akibatnya pendidikan permanen up to date buat dikaji. Pertama, kebutuhan akan pendidikan memang dalam hakikatnya krusial lantaran bertautan eksklusif dengan ranah hayati dan kehidupan insan. Membincangkan pendidikan berarti berbicara kebutuhan utama manusia. Kedua, pendidikan juga merupakan wahana strategis bagi upaya pemugaran mutu kehidupan insan, yg ditandai menggunakan meningkatnya level kesejahteraan, menurunnya derajat kemiskinan dan terbukanya banyak sekali cara lain opsi serta peluang mengaktualisasikan diri pada masa depan.

Dalam tataran nilai, pendidikan mempunyai peran vital sebagai pendorong individu dan warga rakyat buat meraih progresivitas dalam seluruh lini kehidupan. Di samping itu, pendidikan dapat sebagai determinan penting bagi proses transformasi personal maupun sosial. Dan sesungguhnya inilah idealisme pendidikan yang mensyaratkan adanya pemberdayaan.

Namun dalam tataran ideal, pergeseran paradigma yg awalnya memandang forum pendidikan menjadi lembaga sosial, sekarang ditinjau sebagai suatu lahan bisnis basah yang menandakan perlunya perubahan pengelolaan. Perubahan pengelolaan tersebut harus seirama dengan tuntutan zaman.

Situasi, kondisi serta tuntutan pasca booming-nya era reformasi membawa konsekuensi pada pengelola pendidikan buat melihat kebutuhan kehidupan di masa depan. Maka merupakan hal yg logis ketika pengelola pendidikan merogoh langkah antisipatif buat mempersiapkan diri bertahan pada zamannya. Mempertahankan diri menggunakan tetap mengacu dalam pembenahan total mutu pendidikan berkaitan erat dengan manajemen pendidikan adalah sebuah keniscayaan.

1. Pengertian Manajemen
Perkembangan bergerak maju aplikasi manajemen berangkat menurut keragaman definisi tentang manajemen. Semula, manajemen yang berasal berdasarkan bahasa Inggris: management dengan istilah kerja to manage, diartikan secara generik menjadi mengurusi atau kemampuan menjalankan dan mengontrol suatu urusan atau “act of running and controlling a business” (Oxford, 2005). Selanjutnya definisi manajemen berkembang lebih lengkap. Stoner (1986) mengartikan manajemen sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin serta mengawasi bisnis-usaha berdasarkan anggota organisasi serta dari asal-asal organisasi lainnya buat mencapai organisasi yg telah ditetapkan. G.R. Terry (1986) –sebagaimana dikutip Malayu S.P Hasibuan (1996)- memandang manajemen sebagai suatu proses, sebagai berikut: “Management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating and controlling performed to determine and accomplish stated objectives by the use of human being and other resources”. Sementara, Malayu S.P. Hasibuan (1995) pada bukunya “Manajemen Sumber Daya Manusia” mengemukakan bahwa manajemen adalah ilmu serta seni mengatur proses pemanfaatan asal daya insan serta asal-sumber lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. 

Manajemen kemudian diartikan sebagai suatu rentetan langkah yang terpadu untuk menyebarkan suatu organisasi menjadi suatu system yang bersifat sosio-ekonomi-teknis; dimana system adalah suatu kesatuan bergerak maju yg terdiri menurut bagian-bagian yang berafiliasi secara organik; dinamis berarti bergerak, berkembang ke arah suatu tujuan; sosio (social) berarti yg berkiprah di dalam serta yg menggerakkan sistem itu merupakan insan; ekonomi berarti kegiatan pada sistem bertujuan buat memenuhi kebutuhan insan; dan teknis berarti pada kegiatan digunakan harta, alat-indera serta cara-cara tertentu (Kadarman, 1991).

Dengan demikian, manajemen adalah kebutuhan yang pasti buat memudahkan pencapaian tujuan insan pada organisasi, serta mengelola berbagai sumberdaya organisasi, seperti sarana dan prasarana, saat, SDM, metode serta lainnya secara efektif, inovatif, kreatif, solutif, serta efisien. 

2. Urgensi Manajemen dalam Pengelolaan Pendidikan
Kepekaan melihat kondisi global yg bergulir dan peluang masa depan sebagai modal primer buat mengadakan perubahan kerangka berpikir pada manajemen pendidikan. Modal ini akan bisa menjadi pijakan yg bertenaga buat menyebarkan pendidikan. Pada titik inilah diharapkan aneka macam komitmen untuk pemugaran kualitas. Ketika melihat peluang, dan peluang itu dijadikan kapital, kemudian modal sebagai pijakan buat berbagi pendidikan yg disertai komitmen yg tinggi, maka secara otomatis akan terjadi sebuah dampak domino (positif) pada pengelolaan organisasi, strategi, SDM, pendidikan serta pengajaran, biaya , dan marketing pendidikan.

Untuk menuju point education change (perubahan pendidikan) secara menyeluruh, maka manajemen pendidikan merupakan hal yang harus diprioritaskan buat kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan out-put yang diinginkan. Walaupun masih masih ada institusi pendidikan yang belum mempunyai manajemen yang indah dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang dipakai masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal menurut modernitas. 

Jika manajemen pendidikan telah tertata menggunakan baik dan membumi, niscaya tidak akan lagi terdengar mengenai pelayanan sekolah yang tidak baik, minimnya profesionalisme tenaga guru, wahana-prasarana nir memadai, pungutan liar, hingga kekerasan dalam pendidikan. Manajemen dalam sebuah organisasi dalam dasarnya dimaksudkan menjadi suatu proses (kegiatan) penentuan dan pencapaian tujuan organisasi melalui aplikasi empat fungsi dasar: planning, organizing, actuating, dan controlling dalam penggunaan sumberdaya organisasi. Lantaran itulah, aplikasi manajemen organisasi hakikatnya merupakan juga amal perbuatan SDM organisasi yg bersangkutan.

a. Planning 
Satu-satunya hal yg niscaya di masa depan dari organisasi apapun termasuk forum pendidikan adalah perubahan, dan perencanaan penting buat menjembatani masa sekarang serta masa depan yg menaikkan kemungkinan buat mencapai output yg diinginkan. Mondy serta Premeaux (1995) menyebutkan bahwa perencanaan adalah proses memilih apa yang seharusnya dicapai serta bagaimana mewujudkannya pada kenyataan. Perencanaan amat penting buat implementasi taktik serta evaluasi strategi yg berhasil, terutama lantaran kegiatan pengorganisasian, pemotivasian, penunjukkan staff, serta pengendalian tergantung pada perencanaan yang baik (Fred R. David, 2004). 

Dalam dinamika masyarakat, organisasi menyesuaikan diri kepada tuntunan perubahan melalui perencanaan. Menurut Johnson (1973) bahwa: “The rencana process can be considered as the vehicle for accomplishment of system change”. Tanpa perencanaan sistem tadi tak bisa berubah dan nir dapat beradaptasi dengan kekuatan-kekuatan lingkungan yang berbeda. Dalam sistem terbuka, perubahan dalam sistem terjadi apabila kekuatan lingkungan menghendaki atau menuntut bahwa suatu keseimbangan baru perlu diciptakan dalam organisasi tergantung pada rasionalitas penghasil keputusan. Bagi sistem sosial, satu-satunya sarana buat perubahan penemuan serta kesanggupan menyesuaikan diri artinya pengambilan keputusan manusia serta proses perencanaan. 

Dalam konteks lembaga pendidikan, buat menyusun kegiatan lembaga pendidikan, diperlukan data yg banyak serta valid, pertimbangan dan pemikiran oleh sejumlah orang yg berkaitan menggunakan hal yang direncanakan. Oleh karena itu kegiatan perencanaan sebaiknya melibatkan setiap unsur forum pendidikan tersebut pada rangka peningkatan mutu pendidikan. 

Menurut Rusyan (1992) terdapat beberapa hal yang krusial dilaksanakan terus menerus pada manajemen pendidikan menjadi implementasi perencanaan, diantaranya:
  • Merinci tujuan serta memperlihatkan kepada setiap pegawai/personil lembaga pendidikan.
  • Menerangkan atau mengungkapkan mengapa unit organisasi diadakan.
  • Menentukan tugas dan fungsi, mengadakan pembagian dan pengelompokkan tugas terhadap masing-masing personil.
  • Menetapkan kebijaksanaan generik, metode, mekanisme dan petunjuk aplikasi lainnya.
  • Mempersiapkan uraian jabatan serta merumuskan planning/sekala pengkajian.
  • Memilih para staf (pelaksana), administrator serta melakukan supervisi.
  • Merumuskan jadwal aplikasi, pembakuan output kerja (kinerja), pola pengisian staf serta formulir laporan pengajuan.
  • Menentukan keperluan energi kerja, porto (uang) material serta tempat.
  • Menyiapkan anggaran serta mengamankan dana. 
  • Menghemat ruangan serta indera-alat perlengkapan.
b. Organizing
Tujuan pengorganisasian merupakan mencapai bisnis terkoordinasi menggunakan menerapkan tugas serta interaksi kewenangan. Malayu S.P. Hasbuan (1995) mendifinisikan pengorganisasian sebagai suatu proses penentuan, pengelompokkan serta pengaturan beragam aktivitas yg diperlukan buat mencapai tujuan, menempatkan orang-orang pada setiap kegiatan ini, menyediakan alat-alat yg dibutuhkan, memutuskan wewenang yg secara relative didelegasikan kepada setiap individu yang akan melakukan kegiatan-kegiatan tadi. Pengorganisasian fungsi manajemen dapat dilihat terdiri dari 3 aktivitas berurutan: membagi-bagi tugas sebagai pekerjaan yg lebih sempit (spesialisasi pekerjaan), menggabungkan pekerjaan buat membangun departemen (departementalisasi), serta mendelegasikan wewenang (Fred R. David, 2004). 

Dalam konteks pendidikan, pengorganisasian merupakan keliru satu kegiatan manajerial yg juga memilih berlangsungnya aktivitas kependidikan sebagaimana yang diperlukan. Lembaga pendidikan sebagai suatu organisasi memiliki aneka macam unsur yg terpadu pada suatu sistem yg wajib terorganisir secara rapih serta sempurna, baik tujuan, personil, manajemen, teknologi, murid/member, kurikulum, uang, metode, fasilitas, serta faktor luar seperti warga serta lingkungan sosial budaya.

Sutisna (1985) mengemukakan bahwa organisasi yang baik senantiasa mempunyai serta memakai tujuan, kewenangan, dan pengetahuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan. Dalam organisasi yg baik seluruh bagiannya bekerja dalam keselarasan seakan-akan menjadi sebagian menurut holistik yg tidak terpisahkan. Semua itu baru dapat dicapai oleh organisasi pendidikan, manakala dilakukan upaya: 1) Menyusun struktur kelembagaan, dua) Mengembangkan mekanisme yg berlaku, 3) Menentukan persyaratan bagi instruktur dan karyawan yang diterima, 4) Membagi sumber daya pelatih serta karyawan yang terdapat dalam pekerjaan.

c. Actuating
Dalam pembahasan fungsi pengarahan, aspek kepemimpinan merupakan galat satu aspek yg sangat krusial. Sehingga definisi fungsi pengarahan selalu dimulai dimulai dan dinilai relatif hanya menggunakan mendifinisikan kepemimpinan itu sendiri.

Menurut Kadarman (1996) kepemimpinan dapat diartikan sebagai seni atau proses untuk mensugesti serta mengarahkan orang lain supaya mereka mau berusaha buat mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kelompok. Kepemimpinan jua bisa didefinisikan sebagai suatu kemampuan, proses atau fungsi yang dipakai buat menghipnotis dan mengarahkan orang lain buat berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan eksklusif.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin bertugas buat memotivasi, mendorong dan memberi keyakinan kepada orang yang dipimpinnya dalam suatu entitas atau grup, baik itu individu sebagai entitas terkecil sebuah komunitas ataupun hingga skala negara, buat mencapai tujuan sinkron menggunakan kapasitas kemampuan yg dimiliki. Pemimpin juga wajib dapat memfasilitasi anggotanya dalam mencapai tujuannya. Ketika pemimpin telah berhasil membawa organisasinya mencapai tujuannya, maka waktu itu dapat dianalogikan bahwa beliau sudah berhasil menggerakkan organisasinya pada arah yg sama tanpa paksaan.

Dalam konteks forum pendidikan, kepemimpinan dalam gilirannya bermuara dalam pencapaian visi dan misi organisasi atau lembaga pendidikan yang dilihat dari mutu pembelajaran yang dicapai dengan sungguh-sungguh oleh semua personil lembaga pendidikan. Soetopo dan Soemanto (1982) menjelaskan bahwa kepemimpinan pendidikan adalah kemampuan buat mensugesti serta menggerakkan orang lain buat mencapai tujuan pendidikan secara bebas dan sukarela. Di pada kepemimpinan pendidikan sebagaimana dijalankan pimpinan wajib dilandasi konsep demokratisasi, spesialisasi tugas, pendelegasian wewenang, profesionalitas dan integrasi tugas buat mencapai tujuan bersama yaitu tujuan organisasi, tujuan individu serta tujuan pemimpinnya.

Ada 3 keterampilan utama yg dikemukakan Hersey serta Blanchard (1988) -sebagaimana dikutip sang Syafaruddin (2005) dalam bukunya Manajemen Lembaga Pendidikan Islam- yang berlaku umum bagi setiap pimpinan termasuk pimpinan forum pendidikan, yaitu: 
  • Technical skill-ability to use knowledge, methods, techniques and equipment necessary for the performance of specific tasks acquired from experiences, education and pelatihan. 
  • Human skill-ability and judgment in working with and through people, including in understanding of motivation and an application of effective leadership. 
  • Conceptual skill-ability to understand the complexities of the overall organization and where one’s own operation fits into the organization. This knowledge permits one to act according to the objectives of the total organization rather than only on the basis of the goals and needs of one’s own immediate class. 
d. Controling 
Sebagaimana yg dikutif Muhammad Ismail Yusanto (2003), Mockler (1994) mendifinisikan pengawasan menjadi suatu upaya sistematis untuk tetapkan standar prestasi kerja dengan tujuan perencanaan buat mendesain sistem umpan pulang berita; buat membandingkan prestasi sesungguhnya menggunakan standar yg telah ditetapkan itu; memilih apakah terdapat defleksi serta mengukur signifikansi defleksi tersebut; serta merogoh tindakan perbaikan yg dibutuhkan buat mengklaim bahwa semua sumberdaya perusahaan sudah digunakan menggunakan cara yang paling efekif dan efisien guna tercapainya tujuan perusahaan. 

Dalam konteks pendidikan, Depdiknas (1999) mengistilahkan supervisi sebagai supervisi program pedagogi dan pembelajaran atau supervisi yg harus diterapkan sebagai berikut:
1) Pengawasan yang dilakukan pimpinan menggunakan memfokuskan dalam bisnis mengatasi hambatan yg dihadapi para pelatih atau staf serta nir semata-mata mencari kesalahan.
2) Bantuan serta bimbingan diberikan secara tidak langsung. Para staf diberikan dorongan buat memperbaiki dirinya sendiri, sedangkan pimpinan hanya membantu.
3) Pengawasan dalam bentuk saran yang efektif
4) Pengawasan yang dilakukan secara periodik.

3. Efektifitas Manajemen pada Lembaga Pendidikan
Dalam ranah kegiatan, implementasi manajemen terhadap pengelolaan pendidikan haruslah berorientasi dalam efektivitas terhadap segala aspek pendidikan baik dalam pertumbuhan, perkembangan, juga keberkahan (pada perspektif syariah). Berikut ini adalah urgensi manajemen terhadap bidang manajemen pendidikan:

a. Manajemen Kurikulum
1) Mengupayakan efektifitas perencanaan
2) Mengupayakan efektifitas pengorganisasian serta koordinasi
3) Mengupayakan efektifitas pelaksanaan
4) Mengupayakan efektifitas pengendalian/pengawasan

b. Manajemen Personalia
Manajemen ini berkisar pada staff development (teacher development), mencakup:
1) Training
2) Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
3) Inservice Education (Pendidikan Lanjutan)

c. Manajemen Siswa
1) Penerimaan Siswa (Daya Tampung, Seleksi)
2) Pembinaan Siswa (Pengelompokkan, Kenaikan Kelas, Penentuan Program, Ekskul)
3) Pemberdayaan OSIS 

d. Manajemen Keuangan
Dalam keuangan pengelolaan pendidikan, manajemen wajib berlandaskan pada prinsip: efektivitas, efisiensi serta pemerataan .

e. Manajemen Lingkungan
Urgensi manajemen terhadap lingkungan pendidikan bertujuan dalam merangkul semua pihak terkait yg akan berpengaruh dalam segala kebijakan dan keberlangsungan pendidikan. Manajemen ini berupaya mewujudkan cooperation with Society serta stake holder identification.

MANAJEMEN DASAR PENGERTIAN DAN MASALAH

Manajemen, Dasar, Pengertian Dan Masalah 
Bertolak berdasarkan asumsi bahwa life is education and education is life dalam arti pendidikan menjadi dilema hayati serta kehidupan maka diskursus seputar pendidikan adalah salah satu topik yg selalu menarik. Setidaknya ada 2 alasan yg bisa diidentifikasi sebagai akibatnya pendidikan tetap up to date buat dikaji. Pertama, kebutuhan akan pendidikan memang dalam hakikatnya penting karena bertautan langsung menggunakan ranah hayati serta kehidupan manusia. Membincangkan pendidikan berarti berbicara kebutuhan utama insan. Kedua, pendidikan pula merupakan sarana strategis bagi upaya pemugaran mutu kehidupan insan, yang ditandai menggunakan meningkatnya level kesejahteraan, menurunnya derajat kemiskinan dan terbukanya banyak sekali alternatif opsi dan peluang mengaktualisasikan diri pada masa depan.

Dalam tataran nilai, pendidikan mempunyai peran vital menjadi pendorong individu dan warga masyarakat buat meraih progresivitas pada semua lini kehidupan. Di samping itu, pendidikan dapat sebagai determinan penting bagi proses transformasi personal maupun sosial. Dan sesungguhnya inilah idealisme pendidikan yang mensyaratkan adanya pemberdayaan.

Namun pada tataran ideal, pergeseran paradigma yg awalnya memandang forum pendidikan sebagai forum sosial, kini dipandang sebagai suatu huma usaha basah yang mengindikasikan perlunya perubahan pengelolaan. Perubahan pengelolaan tadi harus seirama dengan tuntutan zaman.

Situasi, kondisi serta tuntutan pasca booming-nya era reformasi membawa konsekuensi kepada pengelola pendidikan buat melihat kebutuhan kehidupan pada masa depan. Maka adalah hal yg logis waktu pengelola pendidikan mengambil langkah antisipatif buat mempersiapkan diri bertahan dalam zamannya. Mempertahankan diri dengan permanen mengacu dalam pembenahan total mutu pendidikan berkaitan erat dengan manajemen pendidikan merupakan sebuah keniscayaan.

1. Pengertian Manajemen
Perkembangan bergerak maju pelaksanaan manajemen berangkat menurut keragaman definisi tentang manajemen. Semula, manajemen yg dari dari bahasa Inggris: management dengan kata kerja to manage, diartikan secara umum sebagai mengurusi atau kemampuan menjalankan serta mengontrol suatu urusan atau “act of running and controlling a business” (Oxford, 2005). Selanjutnya definisi manajemen berkembang lebih lengkap. Stoner (1986) mengartikan manajemen sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengawasi bisnis-bisnis menurut anggota organisasi serta menurut asal-sumber organisasi lainnya buat mencapai organisasi yang sudah ditetapkan. G.R. Terry (1986) –sebagaimana dikutip Malayu S.P Hasibuan (1996)- memandang manajemen sebagai suatu proses, sebagai berikut: “Management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating and controlling performed to determine and accomplish stated objectives by the use of human being and other resources”. Sementara, Malayu S.P. Hasibuan (1995) pada bukunya “Manajemen Sumber Daya Manusia” mengemukakan bahwa manajemen adalah ilmu serta seni mengatur proses pemanfaatan asal daya insan serta asal-sumber lainnya secara efektif dan efisien buat mencapai tujuan tertentu. 

Manajemen kemudian diartikan menjadi suatu rentetan langkah yang terpadu untuk berbagi suatu organisasi sebagai suatu system yg bersifat sosio-ekonomi-teknis; dimana system merupakan suatu kesatuan dinamis yg terdiri menurut bagian-bagian yang berhubungan secara organik; bergerak maju berarti beranjak, berkembang ke arah suatu tujuan; sosio (social) berarti yg bergerak pada pada dan yang menggerakkan sistem itu merupakan manusia; ekonomi berarti kegiatan pada sistem bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia; dan teknis berarti pada aktivitas dipakai harta, alat-indera serta cara-cara tertentu (Kadarman, 1991).

Dengan demikian, manajemen merupakan kebutuhan yang niscaya buat memudahkan pencapaian tujuan manusia dalam organisasi, serta mengelola aneka macam sumberdaya organisasi, seperti wahana dan prasarana, saat, SDM, metode dan lainnya secara efektif, inovatif, kreatif, solutif, serta efisien. 

2. Urgensi Manajemen dalam Pengelolaan Pendidikan
Kepekaan melihat kondisi global yang bergulir dan peluang masa depan menjadi kapital primer untuk mengadakan perubahan paradigma pada manajemen pendidikan. Modal ini akan dapat sebagai pijakan yg kuat buat mengembangkan pendidikan. Pada titik inilah diharapkan aneka macam komitmen buat pemugaran kualitas. Ketika melihat peluang, dan peluang itu dijadikan modal, kemudian modal sebagai pijakan buat mengembangkan pendidikan yg disertai komitmen yang tinggi, maka secara otomatis akan terjadi sebuah imbas domino (positif) pada pengelolaan organisasi, taktik, SDM, pendidikan dan pedagogi, biaya , serta marketing pendidikan.

Untuk menuju point education change (perubahan pendidikan) secara menyeluruh, maka manajemen pendidikan merupakan hal yang wajib diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan sebagai akibatnya menghasilkan out-put yg diinginkan. Walaupun masih terdapat institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang rupawan pada pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang dipakai masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal menurut modernitas. 

Jika manajemen pendidikan sudah tertata menggunakan baik dan membumi, niscaya nir akan lagi terdengar mengenai pelayanan sekolah yg jelek, minimnya profesionalisme tenaga pengajar, wahana-prasarana nir memadai, pungutan liar, hingga kekerasan dalam pendidikan. Manajemen pada sebuah organisasi dalam dasarnya dimaksudkan sebagai suatu proses (kegiatan) penentuan serta pencapaian tujuan organisasi melalui aplikasi empat fungsi dasar: rencana, organizing, actuating, serta controlling dalam penggunaan sumberdaya organisasi. Lantaran itulah, pelaksanaan manajemen organisasi hakikatnya adalah pula amal perbuatan SDM organisasi yg bersangkutan.

a. Planning 
Satu-satunya hal yang niscaya di masa depan dari organisasi apapun termasuk lembaga pendidikan merupakan perubahan, dan perencanaan penting buat menjembatani masa kini dan masa depan yg menaikkan kemungkinan buat mencapai output yang diinginkan. Mondy dan Premeaux (1995) menyebutkan bahwa perencanaan adalah proses memilih apa yg seharusnya dicapai dan bagaimana mewujudkannya pada fenomena. Perencanaan amat krusial untuk implementasi strategi dan penilaian strategi yg berhasil, terutama karena aktivitas pengorganisasian, pemotivasian, penunjukkan staff, serta pengendalian tergantung dalam perencanaan yg baik (Fred R. David, 2004). 

Dalam dinamika warga , organisasi beradaptasi pada tuntunan perubahan melalui perencanaan. Menurut Johnson (1973) bahwa: “The planning process can be considered as the vehicle for accomplishment of system change”. Tanpa perencanaan sistem tersebut tidak dapat berubah dan nir dapat menyesuaikan diri menggunakan kekuatan-kekuatan lingkungan yang berbeda. Dalam sistem terbuka, perubahan pada sistem terjadi jika kekuatan lingkungan menghendaki atau menuntut bahwa suatu ekuilibrium baru perlu diciptakan pada organisasi tergantung pada rasionalitas pembuat keputusan. Bagi sistem sosial, satu-satunya wahana buat perubahan inovasi dan kesanggupan mengikuti keadaan ialah pengambilan keputusan manusia dan proses perencanaan. 

Dalam konteks forum pendidikan, buat menyusun aktivitas lembaga pendidikan, diperlukan data yang poly dan valid, pertimbangan serta pemikiran oleh sejumlah orang yang berkaitan dengan hal yang direncanakan. Oleh karenanya kegiatan perencanaan sebaiknya melibatkan setiap unsur lembaga pendidikan tersebut dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. 

Menurut Rusyan (1992) ada beberapa hal yg penting dilaksanakan terus menerus dalam manajemen pendidikan menjadi implementasi perencanaan, diantaranya:
  • Merinci tujuan serta memberitahuakn kepada setiap pegawai/personil forum pendidikan.
  • Menerangkan atau menyebutkan mengapa unit organisasi diadakan.
  • Menentukan tugas dan fungsi, mengadakan pembagian dan pengelompokkan tugas terhadap masing-masing personil.
  • Menetapkan kebijaksanaan umum, metode, mekanisme dan petunjuk aplikasi lainnya.
  • Mempersiapkan uraian jabatan serta merumuskan rencana/sekala pengkajian.
  • Memilih para staf (pelaksana), administrator dan melakukan supervisi.
  • Merumuskan jadwal pelaksanaan, pembakuan output kerja (kinerja), pola pengisian staf dan formulir laporan pengajuan.
  • Menentukan keperluan tenaga kerja, biaya (uang) material dan loka.
  • Menyiapkan aturan dan mengamankan dana. 
  • Menghemat ruangan serta alat-alat perlengkapan.
b. Organizing
Tujuan pengorganisasian adalah mencapai usaha terkoordinasi dengan menerapkan tugas serta hubungan kewenangan. Malayu S.P. Hasbuan (1995) mendifinisikan pengorganisasian sebagai suatu proses penentuan, pengelompokkan serta pengaturan bermacam-macam aktivitas yg diharapkan buat mencapai tujuan, menempatkan orang-orang dalam setiap aktivitas ini, menyediakan alat-indera yang dibutuhkan, tetapkan kewenangan yg secara relative didelegasikan kepada setiap individu yg akan melakukan kegiatan-kegiatan tadi. Pengorganisasian fungsi manajemen dapat dicermati terdiri berdasarkan 3 aktivitas berurutan: membagi-bagi tugas sebagai pekerjaan yg lebih sempit (spesialisasi pekerjaan), menggabungkan pekerjaan buat menciptakan departemen (departementalisasi), dan mendelegasikan kewenangan (Fred R. David, 2004). 

Dalam konteks pendidikan, pengorganisasian adalah salah satu kegiatan manajerial yg pula menentukan berlangsungnya aktivitas kependidikan sebagaimana yang diharapkan. Lembaga pendidikan sebagai suatu organisasi mempunyai banyak sekali unsur yang terpadu pada suatu sistem yang harus terorganisir secara rapih dan sempurna, baik tujuan, personil, manajemen, teknologi, murid/member, kurikulum, uang, metode, fasilitas, dan faktor luar misalnya rakyat serta lingkungan sosial budaya.

Sutisna (1985) mengemukakan bahwa organisasi yang baik senantiasa memiliki dan menggunakan tujuan, wewenang, serta pengetahuan pada melakukan pekerjaan-pekerjaan. Dalam organisasi yg baik seluruh bagiannya bekerja dalam keselarasan seakan-akan menjadi sebagian berdasarkan holistik yang tak terpisahkan. Semua itu baru bisa dicapai oleh organisasi pendidikan, manakala dilakukan upaya: 1) Menyusun struktur kelembagaan, 2) Mengembangkan mekanisme yang berlaku, tiga) Menentukan persyaratan bagi pelatih dan karyawan yang diterima, 4) Membagi sumber daya instruktur dan karyawan yg ada dalam pekerjaan.

c. Actuating
Dalam pembahasan fungsi pengarahan, aspek kepemimpinan merupakan salah satu aspek yang sangat krusial. Sehingga definisi fungsi pengarahan selalu dimulai dimulai dan dinilai cukup hanya dengan mendifinisikan kepemimpinan itu sendiri.

Menurut Kadarman (1996) kepemimpinan bisa diartikan sebagai seni atau proses buat mempengaruhi serta mengarahkan orang lain agar mereka mau berusaha buat mencapai tujuan yg hendak dicapai sang grup. Kepemimpinan jua dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan, proses atau fungsi yang dipakai buat mensugesti serta mengarahkan orang lain buat berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan eksklusif.

Dari definisi tadi dapat disimpulkan bahwa seseorang pemimpin bertugas buat memotivasi, mendorong dan memberi keyakinan kepada orang yang dipimpinnya dalam suatu entitas atau grup, baik itu individu sebagai entitas terkecil sebuah komunitas ataupun sampai skala negara, buat mencapai tujuan sesuai dengan kapasitas kemampuan yg dimiliki. Pemimpin jua harus bisa memfasilitasi anggotanya dalam mencapai tujuannya. Ketika pemimpin telah berhasil membawa organisasinya mencapai tujuannya, maka saat itu bisa dianalogikan bahwa dia sudah berhasil menggerakkan organisasinya dalam arah yg sama tanpa paksaan.

Dalam konteks lembaga pendidikan, kepemimpinan pada gilirannya bermuara dalam pencapaian visi dan misi organisasi atau lembaga pendidikan yg dicermati menurut mutu pembelajaran yg dicapai menggunakan benar-benar-benar-benar sang semua personil forum pendidikan. Soetopo serta Soemanto (1982) menjelaskan bahwa kepemimpinan pendidikan ialah kemampuan buat menghipnotis dan menggerakkan orang lain buat mencapai tujuan pendidikan secara bebas dan sukarela. Di dalam kepemimpinan pendidikan sebagaimana dijalankan pimpinan harus dilandasi konsep demokratisasi, spesialisasi tugas, pendelegasian kewenangan, profesionalitas dan integrasi tugas buat mencapai tujuan bersama yaitu tujuan organisasi, tujuan individu serta tujuan pemimpinnya.

Ada tiga keterampilan utama yg dikemukakan Hersey dan Blanchard (1988) -sebagaimana dikutip oleh Syafaruddin (2005) dalam bukunya Manajemen Lembaga Pendidikan Islam- yg berlaku generik bagi setiap pimpinan termasuk pimpinan lembaga pendidikan, yaitu: 
  • Technical skill-ability to use knowledge, methods, techniques and equipment necessary for the performance of specific tasks acquired from experiences, education and training. 
  • Human skill-ability and judgment in working with and through people, including in understanding of motivation and an application of effective leadership. 
  • Conceptual skill-ability to understand the complexities of the overall organization and where one’s own operation fits into the organization. This knowledge permits one to act according to the objectives of the total organization rather than only on the basis of the goals and needs of one’s own immediate class. 
d. Controling 
Sebagaimana yang dikutif Muhammad Ismail Yusanto (2003), Mockler (1994) mendifinisikan pengawasan sebagai suatu upaya sistematis buat tetapkan baku prestasi kerja menggunakan tujuan perencanaan buat mendesain sistem umpan kembali berita; buat membandingkan prestasi sesungguhnya dengan standar yg telah ditetapkan itu; menentukan apakah ada defleksi serta mengukur signifikansi defleksi tersebut; serta merogoh tindakan perbaikan yg dibutuhkan buat mengklaim bahwa seluruh sumberdaya perusahaan telah digunakan menggunakan cara yg paling efekif dan efisien guna tercapainya tujuan perusahaan. 

Dalam konteks pendidikan, Depdiknas (1999) mengistilahkan pengawasan sebagai pengawasan acara pengajaran dan pembelajaran atau pengawasan yg wajib diterapkan menjadi berikut:
1) Pengawasan yang dilakukan pimpinan dengan memfokuskan dalam bisnis mengatasi hambatan yang dihadapi para pelatih atau staf dan tidak semata-mata mencari kesalahan.
2) Bantuan serta bimbingan diberikan secara tidak pribadi. Para staf diberikan dorongan buat memperbaiki dirinya sendiri, sedangkan pimpinan hanya membantu.
3) Pengawasan dalam bentuk saran yg efektif
4) Pengawasan yg dilakukan secara periodik.

3. Efektifitas Manajemen pada Lembaga Pendidikan
Dalam ranah kegiatan, implementasi manajemen terhadap pengelolaan pendidikan haruslah berorientasi dalam efektivitas terhadap segala aspek pendidikan baik dalam pertumbuhan, perkembangan, maupun keberkahan (pada perspektif syariah). Berikut ini adalah urgensi manajemen terhadap bidang manajemen pendidikan:

a. Manajemen Kurikulum
1) Mengupayakan efektifitas perencanaan
2) Mengupayakan efektifitas pengorganisasian dan koordinasi
3) Mengupayakan efektifitas pelaksanaan
4) Mengupayakan efektifitas pengendalian/pengawasan

b. Manajemen Personalia
Manajemen ini berkisar dalam staff development (teacher development), meliputi:
1) Training
2) Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
3) Inservice Education (Pendidikan Lanjutan)

c. Manajemen Siswa
1) Penerimaan Siswa (Daya Tampung, Seleksi)
2) Pembinaan Siswa (Pengelompokkan, Kenaikan Kelas, Penentuan Program, Ekskul)
3) Pemberdayaan OSIS 

d. Manajemen Keuangan
Dalam keuangan pengelolaan pendidikan, manajemen wajib berlandaskan pada prinsip: efektivitas, efisiensi serta pemerataan .

e. Manajemen Lingkungan
Urgensi manajemen terhadap lingkungan pendidikan bertujuan pada merangkul semua pihak terkait yang akan berpengaruh pada segala kebijakan dan keberlangsungan pendidikan. Manajemen ini berupaya mewujudkan cooperation with Society dan stake holder identification.

POKOKPOKOK PIKIRAN PENGELOLAAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Pokok-Pokok Pikiran Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional 
Pembahasan mengenai potensi kekuatan, kelemahan, proyeksi dan tantangan yg dihadapi oleh suatu sistem pendidikan menggunakan mendasarkan pembahasan dalam sistem “satu pintu” (one door polecy), dan upaya memformulasikan esensi-misi, visi, dan sasaran akhir yang hendak dicapai merupakan suatu langkah antisipatif pada kaitannya menggunakan aplikasi otonomi pendidikan. Hal ini penting dalam rangka menyusun rencana strategis pengelolaan sistem pendidikan nasional, baik dalam level departemen, institusi, juga birokrasi. Konsekuensi logis yg layak diketengahkan pada kaitannya menggunakan analisis posisi serta pengembangan rencana strategis pengelolaan pendidikan adalah arah dan bentuk usaha apa yg mesti dilakukan, serta bagaimana hal itu bisa dilakukan. Konsepsi ini krusial dipahami, mengingat selama ini, nir jarang sebuah kebijakan yg diimplementasikan menggunakan maksud melakukan inovasi serta mengeliminir banyak sekali kasus yg terjadi dalam dunia pendidikan kita, justru melahirkan perkara baru yg jauh lebih kompleks. Kondisi tersebut poly dikontribusi sang kurangnya sense of responsibility serta common sense menurut para perancang dan pengambil keputusan terhadap nilai-nilai tertentu yg tumbuh dan berkembang di warga , di mana kebijakan tadi akan diimplementasikan. 

Mengacu dalam perihal di atas, maka hidangan singkat ini difokuskan pada pertarungan seputar pengelolaan sistem pendidikan nasional berdasarkan perspektif posisi serta kejernihan ide awal tentang bentuk dan sasaran akhir yg mesti dilahirkan menjadi sebuah produk harapan (the dreams product) dari global pendidikan dalam era swatantra pendidikan. 

Berdasarkan analisis empirikal serta konseptual, sepertinya banyak kebijakan pendidikan selama ini yg salah target atau terlalu dipaksakan demi kepentingan-kepentingan politis eksklusif. Kondisi ini mengakibatkan dunia pendidikan semakin jauh menurut esensi serta visi-misi yg sebenarnya, yaitu menjadi media transformasi values and cultural heritages serta institusi pembaharu bagi kehidupan masyarakatnya. Apabila kondisi ini terus berlangsung, niscaya kita akan menghadapi kasus yg sangat pelik berkait dengan esensi serta substansi menurut pendidikan itu sendiri. Hal ini semakin diperkuat menggunakan ihwal otonomisasi pendidikan yang segera akan dilaksanakan secara serentak pada semua wilayah Indonesia. Sejumlah analis dan kalangan praktisi beropini bahwa pengelolaan sistem pendidikan nasional selama ini hanya bersifat monolitis, sebagai akibatnya cenderung mengabaikan sistem disekitarnya termasuk akar budaya dimana pendidikan itu diselenggarakan. Jika pandangan ini benar, maka yg patut disesalkan merupakan mengapa hal itu hingga terjadi, lebih-lebih ditengah multikultural warga Indonesia yang bergerak maju. Tidakkah hal ini yang menjadi sumbu pemicu tanda-tanda disintegrasi bangsa yg waktu ini terjadi ?. 

Rasionalnya, sistem pendidikan semestinya sanggup menjadi instrumen pemersatu dan pembuat manusia-manusia teknokrat yang bermoral nasionalis bagi kejayaan bangsa di tengah-tengah dinamika rakyat dunia. Hal ini penting dijadikan dasar pengambilan kebijakan berkait menggunakan perkara-kasus pendidikan serta piranti yg mengiringinya. Pengelolaan sebuah sistem pendidikan pada dasarnya lebih berkaitan menggunakan bagaimana, mengapa, apa, serta siapa yang dilibatkan pada mengatur serta memposisikan planning, proses, target, serta tindak lanjut menurut produk pendidikan itu sendiri. Manusia yang bagaimana yg akan dikembangkan dalam pendidikan, serta kualifikasi apa yg sine qua non serta inheren pada diri insan itu (menjadi produk). Konsepsi ini hendaknya dipahami sang kalangan pengambil kebijakan, mengingat kasus kualitas manusia dalam kerangka berpikir masyarakat Indonesia ketika ini sangat rentan. 

Model pengelolaan sistem pendidikan pada Indonesia cendrung mengadopsi atau paling tidak mengambil beberapa konsep pendidikan negara lain yg telah maju (seperti Amerika serta Inggris), sehingga sulit pada pengelolaannya. Di samping itu, terdapat sejumlah indikator serta satuan gugus kendali yg terabaikan pada pengelolaannya, yg akhirnya bermuara pada rendahnya kinerja dari praktisi, dan kualitas produk pendidikan yg jauh menurut harapan. Salah satu kunci buat mengeliminir hal tersebut adalah merancang sebuah strategi pengelolaan yang bersifat terpadu serta sinergis dengan sentral “stake holder”, yaitu kalangan berkepentingan baik yg berada dalam juga di luar sistem pendidikan. 

Otonomisasi Pengelolaan Pendidikan
Wacana otonomi dalam bidang pendidikan yang waktu ini sedang ramai dibicarakan sang banyak sekali kalangan, telah menghadirkan sejumlah kekhawatiran di sebagian golongan warga Indonesia, khususnya bagi mereka yang bernaung pada bawah kebesaran panji-panji pendidikan. Apabila secara nasional dengan sistim pengelolaan satu pintu serta national standard, kualitas pendidikan masih seperti kini , bagaimana menggunakan pengelolaan pendidikan secara otonom sang daerah, yg secara riil sumber daya yang dimilikinya belum teruji dan tidak merata di semua wilayah. Tidakkah otonomisasi pendidikan justru melahirkan perkara baru yang cenderung menjerumuskan pendidikan ke arah yg lebih tidak baik serta tidak terkendali secara kualitatif. Kekhawatiran tadi, oleh sejumlah kalangan khususnya mereka yg asal menurut wilayah yg kualitas asal daya manusia dan asal daya alamnya memadai sudah dijawab, melalui adagium bahwa hal itu hanyalah galat satu bentuk ketidakrelaan pemerintah sentra pada menyerahkan pengelolaan pendidikan pada daerah. Namun, secara akademis bisa dilakukan refleksi terhadap realitas rakyat Indonesia yang terdapat serta akan terus terdapat dalam balutan multicultur dan rentan konflik, bahwa sesungguhnya otonomisasi pendidikan perlu dipersiapkan secara matang dengan memperhatikan seluruh dimensi yang terlibat pada dalamnya, khususnya tentang sistim pengelolaan dan standar mutu pendidikan itu sendiri. 

Sistim pengelolaan serta standar mutu pendidikan merupakan dua aspek terpenting dari poly aspek krusial lainnya dalam konstelasi pembangunan pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka aplikasi swatantra pendidikan harus didukung sang analisis dan kebijakan yang komprehensif dan seksama mengenai kedua aspek tadi. Rasionalnya, bahwa kualitas pendidikan suatu negara sangat ditentukan oleh sistim pengelolaan serta baku mutu yg ditetapkan buat diterjadikan. Jika swatantra pendidikan sahih-benar diterapkan di semua wilayah Indonesia, maka semestinya ada standar nasional yg diberlakukan dan digunakan sebagai dasar pengujian aneka macam komponen pendidikan yang dikembangkan sang daerah, selain baku yang telah ditetapkan sang daerah itu sendiri menurut potensi yg dimilikinya.

Eksistensi Pengelolaan Sistem Pendidikan 
Eksistensi latar sebuah sistem sangat krusial dalam menjalankan suatu manajemen, lantaran produk dari analisis tadi akan menyajikan seperangkat pelukisan tentang kondisi sistem itu sendiri secara komprehensif. Kondisi yang dimaksud adalah potensi kekuatan dan potensi kelemahan syarat internal dari sistem, peluang dan tantangan yg tiba baik dari lingkungan internal juga eksternal. Deskripsi yg komprehensif tentang sebuah sistem sangat berguna pada menciptakan perbandingan antara sistem yg telah ada dengan sistem yg sedang dirancang. Bahan utama penyusunan serta perancangan dan esensi-misi serta sasaran yg mesti diterjadikan, dan landasan operasional buat merancang serta memformulasikan taktik yang kompetitif menggunakan sistem-sistem lainnya merupakan instrumen pokok pada perancangan sistem bersangkutan. 

Secara umum menejemen operasional menempatkan analisis posisi serta potensi kekuatan dan kelemahan menjadi dasar dalam merumuskan sebuah keputusan (Tilaar, 1993). Artinya, bagaimana potensi kekuatan tersebut dioptimalkan dan dijadikan sebagai acuan mengelola sebuah sistem, serta kebalikannya bagaimana mengeliminir serta apabila mungkin menghilangkan potensi kelemahan dalam sebuah manajemen. Konsepsi di atas (analisis kekuatan serta kelemahan) adalah langkah krusial pada sebuah manajemen sistem. 

Dalam manajemen sistem (system management), analisis terhadap kekuatan serta kelemahan adalah kunci utama pada melakukan langkah selanjutnya, yaitu perancangan keputusan (Hellen, 2002). Jika konsep pada atas kita hubungkan dengan pengelolaan sistem pendidikan yg bersifat desentrralistik, tampak menggunakan jelas bahwa pendidikan harus dikelola secara profesional serta menggunakan sistem yg laik, baik secara kualitas juga birokratis. 

Pendidikan merupakan investasi (Devidson, 1989), sehingga pengelolaan pendidikan secara desentralitik minimal sanggup mengadopsi serta menterjadikan 4 (empat) tujuan melalui program pendidikan, yaitu: (1) peningkatan potensi diri, yang meliputi; pengetahuan, sikap, nilai-moral, dan keterampilan, (dua) akses terhadap dunia kerja, (3) pembinaan bermasyarakat (business community), dan (4) pengembangan ilmu dan pengetahuan. Untuk itu, sistem pengelolaan pendidikan pada dasarnya sanggup pula menerapkan prinsip-prinsip pendekatan sistem pada operasionalnya, walaupun secara heuristik wajib melewatkan beberapa komponen fundamental menurut pendekatan itu sendiri, yaitu unsur propit (laba finansial). 

Dilihat berdasarkan aspek pengorganisasiannya, desentralisasi pengelolaan sistem pendidikan dalam dasarnya sangat kompleks (Bhutankar, 2001). Jika hal itu kita buat pengkatagorian, minimal ada 3 katagori yg mampu dijadikan menjadi unit analisisnya, yaitu: (1) tingakat departemen, yg meliputi; badan-badan serta biro, termasuk dinas Provinsi serta Kabupaten, (dua) taraf institusi, yang mencakup; perguruan tinggi, sekolah menengah generik dan kejuruan, sekolah lanjutan generik dan kejuruan, serta sekolah dasar, dan (tiga) taraf operasional, yg meliputi; bidang studi, mata pelajaran, jurusan, serta fakultas. Disamping ketiga level tersebut, hal lain yang perlu dipertimbangkan jua esensi serta eksistensi menurut LSM serta badan swasta yang mengkonsentrasikan kajiannya pada bidang pendidikan. Implikasi konseptual serta operasional berdasarkan sistim di atas merupakan bagaimana kita mampu meredefinisikan dan mereposisikan secara jelas pada setiap levelnya serta memasukkan analisis posisi serta pendekatan sistem pendidikan itu sebagai bagian yang utuh dari sistem itu sendiri. 

Analisis dan Pendekatan Sistem Pendidikan
Substansi berdasarkan analisis posisi desentrralisasi pengelolaan sistem pendidikan dalam dasarnya difokuskan dalam upaya mengakses serta mengidentifikasi latar alamiah yg komprehensif dan objektif tentang posisi berdasarkan sistem pendidikan itu sendiri, dicermati berdasarkan perspektif: (1) kelayakan sistem, sub sistem, dan perangkat pengiringnya, (dua) prestasi serta performa sistemnya dilihat berdasarkan perspektif kelayakan dan baku mutunya pada kurun waktu tertentu. Untuk memperoleh pemahaman yg memadai mengenai ketercapaian menurut sistem itu sendiri, secara mendasar bisa dipandang berdasarkan: (1) potensi kekuatan dan kelemahan internal serta personal, (dua) tujuan, tantangan, serta proyeksi eksternal (Tilaar, 1993; Hellen, 2000). 

Perumusan hasil analisis posisi serta pendekatan sistem, juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi info strategis serta alternatif proyektif pada rangka; eksistensi sistem, reposisi sistem, mergerisasi, serta follow up dalam bentuk rekomendasi dan desiminasi pada fihak-fihak yg terkait, baik secara eksklusif juga tidak eksklusif. Sasaran dan sasaran dari analisis posisi dan pendekatan sistem pendidikan, secara umum mencakup: (1) buat memperoleh citra yang komprehensif mengenai sistem dan pirantinya, termasuk potensi kekuatan serta kelemahan dari sistem itu sendiri, (dua) buat memperoleh deskripsi yg komprehensif mengenai diagnosa serta prognosa sistem pendidikan, termasuk instrumen substantif yang mendukung dan merusak sistem, serta (tiga) buat memperoleh warta yg representatif tentang gosip, kendala, serta peluang pengembangan desentrralisasi pengelolaan sistem pendidikan, termasuk cara lain strategis pengembangan sistem pendidikan kedepan (future oriented) secara nasional. 

Langkah-langkah analisis posisi dan pendekatan sistem pendidikan pada umumnya dapat dijabarkan dalam struktur kerja yg piramidak (Devidson, 1989), yaitu: identifikasi dan redefinisi masalah/berita, akselerasi data dan keterangan, reduksional data dan pengolahannya, interpretasi dan triangulasi data, justifikasi simpulan serta follow up, seminari serta desiminasi, serrta rekomendasi. Untuk melakukan analisis posisi serta pendekatan sistem, kita nir mesti memulainya berdasarkan hipotesis, lantaran menggunakan pengenalan dan memposisikan ulang aneka macam perkara sesuai menggunakan jenis dan gradasinya, secara otomatis akan terformulasikan hipotesa menurut perkara itu sendiri. Upaya mengakses data serta berita mampu dimulai dari aneka macam lini, seperti: (1) unit-unit sistem dan istrumen di bawahnya, (2) laporan kemajuan (progress report) tentang sistem, (tiga) output riset bebagai fihak termasuk LSM serta badan swasta lainnya, (4) produk yg telah didapatkan (rate product), dan (5) standar mutu sistem pendidikan ideal (standard of quality). 

Produk menurut analisa terhadap kelaikan/kelayakan sistem tadi nantinya dapat dijadikan menjadi parameter indikator kelayakan komponen-komponen sistem itu sendiri. Semua temuan tersebut, termasuk baku mutu yang disepakati (ditetapkan) dapat dinterpretasikan serta diaktualisasikan kedalam prinsip dasar sebuah sistem, yaitu: kekuatan, kelemahan, proyeksi, serta tantangan serta mutu ideal berdasarkan sistem yang dirancang.

Ada sejumlah kondisi yang diprasyaratkan dengan mengacu dalam ihwal teoritik pada atas, yaitu: (1) kualifikasi asal daya (SDM), (2) kualitas serta kuantitas instrumen, (3) pola dan pendekatan yang regular dan bergerak maju, (4) standar mutu yg dianut (disepakati), dan (5) iklim yg kondusif serta proyektif (Abraham, 1999). Kondisi awal ini, juga adalah keliru satu unit analisis pada pengelolaan sistem pendidikan nasional. Lantaran dalam pos/unit analisis pendidikan, pra-kondisi taktik awal dari sebuah planning analisis strategis. Sebagaimana sudah disampaikan pada bagian awal, bahwa tujuan berdasarkan analisis posisi sistem pendidikan merupakan buat memperoleh pelukisan yg komprehensif tentang posisi sistem pendidikan dalam waktu tertentu, baik menyangkut kelayakan sub sistemnya (piranti) maupun kelayakan kinerja menurut semua komponennya. Oleh karena itu, maka langkah berikutnya adalah memilih unit (satuan) dan jenjang analis berdasarkan sistem itu sendiri. Artinya, apa yg akan dijadikan menjadi satuan analisis dan dalam jenjang berapa hal tersebut akan dilakukan, seperti: (1) unit kerja/institusi, (2) taraf lokal atau regional, serta (3) sektoral atau lintas sektoral. Dalam konteks ini, mungkin azas serta prinsip manajemen generik yg seringkali diistilahkan menggunakan 4 W+H (what, where, when, who, dan how) akan teraplikasikan, walaupun substansi serta visinya sudah difokuskan pada masing-masing unit analisis posisi dari sistem pendidikan itu sendiri. Dalam pengelolaan sistem pendidikan, dari yg paling operasional (sekolah) hingga taraf manajerial, unsur dan variabelnya sangatlah kompleks, sehingga perlu dilakukan choosing proccess, supaya diperoleh gambaran/pilihan, mana yg paling strategis dan proyektif buat diikut sertakan pada jajak substansial analisisnya (produk analisis). Ada sejumlah pendekatan yang bisa dipakai buat melakukan pilihan tadi, seperti: (1) pendekatan birokratik, (dua) pendekatan humanistis, serta (tiga) pendekatan phenomenologis (Abraham, 1999). 

Terdapat berbagai model pendekatan yang mungkin dapat dipakai sinkron menggunakan jenis serta karakteristik kasus dan baku mutu yg diharapkan, namun pada analisis posisi desentrralisasi pengelolaan sistem pendidikan, poly ditentukan sang peranan kebijakan serta kemauan politik dari aneka macam fihak, khususnya para perancang dan pengambil keputusan pada taraf makro juga mikro. Desentralisasi pengelolaan sistem pendidikan juga wajib memperhatikan beberapa gugus perangkat komponen sistem dan gugus perangkat indikator kinerja sistem tersebut. Secara umum, gugus kendali mutu di atas, mencakup beberapa software dan perangkat keras (perangkat lunak and hardware). Sementara gugus kendali dalam level indikator kinerja, termasuk parameternya mencakup beberapa unit serta satuan analisis situs (analisis lintas sektoral), yaitu: (1) prinsip efesiensi dan efektivitas, (dua) prinsip produktivitas, (3) prinsip relevansi, (4) prinsip akseptibilitas, dan (lima) prinsip inovatif dan adaptif. Berdasarkan kedua sistem gugus analisis tersebut, kalangan perencanaan serta kalangan analis dapat mendeskripsikan serta melakukan aneka macam kombinasi yang akan diaplikasikan sang para pengambil keputusan buat dijadikan sebagai instrumen produk dalam melakukan analisis posisi sistem pendidikan dalam level daerah (tempat), regional, dan nasional.

Sistem pendidikan juga nir lepas menurut efek lingkungan ekstrenal. Hal ini didukung oleh beberapa rasional, yaitu: (1) sistem pendidikan mendapat masukan berdasarkan sistem-sistem lainnya, dan menaruh keluarannya kepada sistem tersebut sebagai masukan (warga menjadi konsumen). Lingkungan luar tadi, termasuk lingkungan kultural, geografis, serta demografis, dan (2) dinamika keberadaan serta posisi sistem pendidikan nir terlepas dari dinamika proses yang terjadi dalam lingkungannya, serta sebaliknya bila sistem pendidikan sanggup menaruh dampak atau menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah kekuatan, maka sistem pendidikan akan sanggup mengendalikan semua sistem lain yang terdapat di rakyat (sebagai gugusan sistem lain diluar sistem pendidikan). Berangkat menurut analisis posisi eksternal desentralisasi pengelolaan sistem pendidikan, maka tampak ke 2 hal di atas sangat menentukan keberadaan dan substansi dari sistem pendidikan baik untuk waktu kini juga buat masa mendatang. Satu dimensi lain yg merupakan akumulasi menurut berbagai sistem diluar sistem pendidikan yang poly memilih kualitas dan produktivitas sistem pendidikan merupakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini penting dipahami sang para perencana dan analis, supaya sistem pendidikan sanggup memfasilitasi inovasi dalam rakyat, dan secara otomatis memanfaatkan penemuan tadi bagi peningkatan degree serta substansi dari sistem pendidikan itu sendiri.untuk itu diharapkan pendekatan yang kontekstual sebagai akibatnya kita tidak terjebak dalam posisi rentan serta sensitif, yg pada akhirnya dapat mengancam keberadaan sistem yg lebih akbar, misalnya disintegrasi bangsa dan nasionalisme. 

Berangkat menurut analisis konseptual serta empiris tentang desentrralisasi sistem pendidikan nasional dan cara pengelolaannya, sepertinya kita wajib meredifinisi konsep serta beberapa piranti substansial terkait menggunakan standar mutu yg kita sepakati. Hal ini merupakan konsekuensi logis menurut sebuah sistem yg kompleks misalnya halnya sistem pendidikan kita. Langkah ini penting dilakukan sesegera mungkin, mengingat tantangan pendidikan di masa mendatang sangat kompleks serta bergerak maju. Dengan demikian, produk institusionalnya dapat diperlukan sanggup bersaing dalam tataran warga dunia yg semakin membumi ketika ini.

Pentingnya analisis sistem dalam konteks internal serta eksternal pada desentralisasi pendidikan, sangat bergantung pada kelayakan serta baku mutu dari berbagai piranti serta sub unit-unit kerja yang terdapat (Abraham, 1999), termasuk kualifikasi sumber daya manusianya. Telah dijelaskan di atas, bahwa acuan dasar pengembangan pola analisis sistem dengan pendekatan terpadu poly dikontribusi oleh lingkungan internal serta eksternal serta akselerasi nilai-nilai budaya dimana sistim itu diaplikasikan.

Standarisasi Mutu Sistem Pendidikan
Berbicara mengenai mutu pendidikan, banyak faktor serta kondisi yang harus dipertimbangkan. Kompleksitas mutu pendidikan, poly terkait menggunakan asal daya serta parameter sistem yang ditetapkan serta dicita-citakan. Artinya, mutu pendidikan banyak ditentukan oleh kualitas personal perancang serta pengambil keputusan, termasuk impian politis penguasa (pemerintah). Hal ini secara eksklusif berkaitan menggunakan posisi pendidikan sebagai salah satu lokomotif politik pemerintah. Masalahnya sekarang, bagaimana mengakibatkan pendidikan terlepas dari tendensi serta pesan-pesan politis penguasa yg secara langsung dapat menodai misi serta visi pendidikan itu sendiri (Kartasasmita, 1993). Untuk itu, perlu ditetapkan standar mutu pendidikan, baik dalam tingkat nasional juga wilayah. Pada tingkat nasional, perkara mutu pendidikan herbi trends warga serta pangsa pasar sebagai pengguna keluaran. Ada 3 faktor krusial yang wajib dipertimbangkan secara makro pada melakukan penyusunan strategi sistem pendidikan, yaitu: (1) ketersediaan perangkat dan asal daya, (2) kecendrungan rakyat secara generik, dan (tiga) kualifikasi out put menurut sistem itu sendiri. Konsepsi ini, krusial dipahami oleh kalangan pengambil kebijakan, mengingat begitu kompleksnya permasalahan seputar mutu pendidikan. Di samping itu, dinamika warga dunia, dan gosip-gosip internasional pula harus dijadikan menjadi dasar pijakan pengambilan keputusan. Hal ini dimaksudkan buat menghindari miss-concention and miss-orientation pengelolaan sistem pendidikan. Pada tingkatan wilayah, ada sejumlah faktor serta dimensi sosiologis yg harus dijadikan dasar pijakan, yaitu: (1) unit analisis sistem yang tersedia, (dua) kelayakan rencana yg disusun, (3) kesiapan sumber daya, (4) alokasi dana yang tersedia, (5) dukungan rakyat, (6) syarat sosial budaya rakyat setempat, serta (7) faktor-faktor non teknis, seperti: stratifikasi warga , kebutuhan pasar, dan stabilititasi pasar (pengguna out put). Kelayakan dari masing-masing unit atau faktor baik secara makro juga mikro sangat memilih arah dan kelayakan analisis sistem yg dirumuskan atau direkomendasikan (Devidson, 1989). 

Sistem pengelolaan pendidikan nasional Indonesia selama ini, memang telah memakai pendekatan terpadu, namun operasionalnya belum sinkron menggunakan ilham serta konsep awal sebagaimana yang telah disepakati. Ada beberapa instrumental ekstern yang terabaikan, sebagai akibatnya implementasi menurut sistem itu tidak berjalan menggunakan baik. Hal ini diperburuk dengan kekurangsiapan dari sumber daya manusia yg dimiliki oleh departemen pendidikan nasional, sebagai akibatnya inovasi yang dilakukan pada penyelenggaraan sistem itu nir terantisipasi dengan baik oleh para pejabat birokratis di wilayah. 

Jakarta sebagai sentral perancangan serta lahirnya aneka macam kebijakan, dalam dasarnya sudah menerapkan sistem analisis posisi serta lingkungan yang memenuhi standar kelayakan, tetapi azas dekonsentrasi yg diberlakukan pada departemen pendidikan nasional, belum sanggup berjalan menggunakan baik. Artinya, masih banyak kalangan birokrasi di wilayah yg berjiwa “birokratis mutlak”, sehingga nir mampu menerapkan transparansi serta demokratisasi pada pengelolaan pendidikan. Hal ini merupakan fakta yg nir terbantahkan dalam aplikasi desentralisasi pengelolaan pendidikan yang sudah diujicobakan pada beberapa wilayah. Kondisi ini membawa dampak pada kemandegan sistem, yang dalam akhirnya bermuara dalam nir tercapaiannya standar mutu yg sudah ditetapkan. 

Kurikulum, sebagai galat satu bentuk operasional kebijakan, dalam dasarnya sudah memuat sejumlah rumusan serta perihal yg sangat demokratis bagi kalangan pelaku di daerah (Lasmawan, 2000), namun sayang mereka tidak bisa menterjemahkan makna serta jiwa menurut kurikulum itu menggunakan baik. Akhirnya, terjadilah apa yg acapkali diklaim dengan “chaos” pada sistem pendidikan kita. Untuk itu diharapkan pendekatan sistem yg demokratis serta transparan dari kalangan pengambil kebijakan baik pada tingkat daerah maupun sentra. Salah satu cara lain yg di duga dapat membawa sistem pendidikan Indonesia kearah itu, merupakan dengan sistem desentralisasi pengelolaan pendidikan (swatantra pengelolaan pendidikan). Dengan demikian, benang kusut yg selama ini menghantui sistem pendidikan kita, secara perlahan serta pasti akan gampang terurai dan dirajut sebagai sebuah kain bermutu serta mempunyai kelaikan daya saing yg tinggi. 

Berbicara tentang standar mutu, berarti harus mendiskusikan balik , insan indonesia yang seperti apa yg kita harapkan lahir berdasarkan global pendidikan. Apakah insan yg menguasai teknologi tinggi sebagai akibatnya global pendidikan wajib mencetak para teknokrat ulung, ataukah kita ingin membangun manusia yg dipenuhi menggunakan iman dan ketaqwaan yang tinggi sinkron dengan filosophis pembangunan bangsa, atau mungkin keduanya secara bersama-sama pada satu wujud insan yang komprehensif (pada berukuran sosial budaya). Menyadari posisi serta ciri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multi etnis dan sedang berkembang, maka insan Indonesia yg kita harapkan lahir menjadi produk pendidikan merupakan insan yang berteknologi tinggi dan sekaligus bermoral. Inilah pada dasarnya parameter mutu pendidikan nasional. Penetapan standar mutu ini wajib mempertimbangkan banyak sekali potensi serta kecendrungan rakyat, sebagai akibatnya kualitas insan Indonesia yg lahir melalui global pendidikan sahih-benar tangguh baik dominasi teknologinya maupun moral humanisnya.