POKOKPOKOK PIKIRAN PENGELOLAAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Pokok-Pokok Pikiran Pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional 
Pembahasan mengenai potensi kekuatan, kelemahan, proyeksi dan tantangan yg dihadapi oleh suatu sistem pendidikan menggunakan mendasarkan pembahasan dalam sistem “satu pintu” (one door polecy), dan upaya memformulasikan esensi-misi, visi, dan sasaran akhir yang hendak dicapai merupakan suatu langkah antisipatif pada kaitannya menggunakan aplikasi otonomi pendidikan. Hal ini penting dalam rangka menyusun rencana strategis pengelolaan sistem pendidikan nasional, baik dalam level departemen, institusi, juga birokrasi. Konsekuensi logis yg layak diketengahkan pada kaitannya menggunakan analisis posisi serta pengembangan rencana strategis pengelolaan pendidikan adalah arah dan bentuk usaha apa yg mesti dilakukan, serta bagaimana hal itu bisa dilakukan. Konsepsi ini krusial dipahami, mengingat selama ini, nir jarang sebuah kebijakan yg diimplementasikan menggunakan maksud melakukan inovasi serta mengeliminir banyak sekali kasus yg terjadi dalam dunia pendidikan kita, justru melahirkan perkara baru yg jauh lebih kompleks. Kondisi tersebut poly dikontribusi sang kurangnya sense of responsibility serta common sense menurut para perancang dan pengambil keputusan terhadap nilai-nilai tertentu yg tumbuh dan berkembang di warga , di mana kebijakan tadi akan diimplementasikan. 

Mengacu dalam perihal di atas, maka hidangan singkat ini difokuskan pada pertarungan seputar pengelolaan sistem pendidikan nasional berdasarkan perspektif posisi serta kejernihan ide awal tentang bentuk dan sasaran akhir yg mesti dilahirkan menjadi sebuah produk harapan (the dreams product) dari global pendidikan dalam era swatantra pendidikan. 

Berdasarkan analisis empirikal serta konseptual, sepertinya banyak kebijakan pendidikan selama ini yg salah target atau terlalu dipaksakan demi kepentingan-kepentingan politis eksklusif. Kondisi ini mengakibatkan dunia pendidikan semakin jauh menurut esensi serta visi-misi yg sebenarnya, yaitu menjadi media transformasi values and cultural heritages serta institusi pembaharu bagi kehidupan masyarakatnya. Apabila kondisi ini terus berlangsung, niscaya kita akan menghadapi kasus yg sangat pelik berkait dengan esensi serta substansi menurut pendidikan itu sendiri. Hal ini semakin diperkuat menggunakan ihwal otonomisasi pendidikan yang segera akan dilaksanakan secara serentak pada semua wilayah Indonesia. Sejumlah analis dan kalangan praktisi beropini bahwa pengelolaan sistem pendidikan nasional selama ini hanya bersifat monolitis, sebagai akibatnya cenderung mengabaikan sistem disekitarnya termasuk akar budaya dimana pendidikan itu diselenggarakan. Jika pandangan ini benar, maka yg patut disesalkan merupakan mengapa hal itu hingga terjadi, lebih-lebih ditengah multikultural warga Indonesia yang bergerak maju. Tidakkah hal ini yang menjadi sumbu pemicu tanda-tanda disintegrasi bangsa yg waktu ini terjadi ?. 

Rasionalnya, sistem pendidikan semestinya sanggup menjadi instrumen pemersatu dan pembuat manusia-manusia teknokrat yang bermoral nasionalis bagi kejayaan bangsa di tengah-tengah dinamika rakyat dunia. Hal ini penting dijadikan dasar pengambilan kebijakan berkait menggunakan perkara-kasus pendidikan serta piranti yg mengiringinya. Pengelolaan sebuah sistem pendidikan pada dasarnya lebih berkaitan menggunakan bagaimana, mengapa, apa, serta siapa yang dilibatkan pada mengatur serta memposisikan planning, proses, target, serta tindak lanjut menurut produk pendidikan itu sendiri. Manusia yang bagaimana yg akan dikembangkan dalam pendidikan, serta kualifikasi apa yg sine qua non serta inheren pada diri insan itu (menjadi produk). Konsepsi ini hendaknya dipahami sang kalangan pengambil kebijakan, mengingat kasus kualitas manusia dalam kerangka berpikir masyarakat Indonesia ketika ini sangat rentan. 

Model pengelolaan sistem pendidikan pada Indonesia cendrung mengadopsi atau paling tidak mengambil beberapa konsep pendidikan negara lain yg telah maju (seperti Amerika serta Inggris), sehingga sulit pada pengelolaannya. Di samping itu, terdapat sejumlah indikator serta satuan gugus kendali yg terabaikan pada pengelolaannya, yg akhirnya bermuara pada rendahnya kinerja dari praktisi, dan kualitas produk pendidikan yg jauh menurut harapan. Salah satu kunci buat mengeliminir hal tersebut adalah merancang sebuah strategi pengelolaan yang bersifat terpadu serta sinergis dengan sentral “stake holder”, yaitu kalangan berkepentingan baik yg berada dalam juga di luar sistem pendidikan. 

Otonomisasi Pengelolaan Pendidikan
Wacana otonomi dalam bidang pendidikan yang waktu ini sedang ramai dibicarakan sang banyak sekali kalangan, telah menghadirkan sejumlah kekhawatiran di sebagian golongan warga Indonesia, khususnya bagi mereka yang bernaung pada bawah kebesaran panji-panji pendidikan. Apabila secara nasional dengan sistim pengelolaan satu pintu serta national standard, kualitas pendidikan masih seperti kini , bagaimana menggunakan pengelolaan pendidikan secara otonom sang daerah, yg secara riil sumber daya yang dimilikinya belum teruji dan tidak merata di semua wilayah. Tidakkah otonomisasi pendidikan justru melahirkan perkara baru yang cenderung menjerumuskan pendidikan ke arah yg lebih tidak baik serta tidak terkendali secara kualitatif. Kekhawatiran tadi, oleh sejumlah kalangan khususnya mereka yg asal menurut wilayah yg kualitas asal daya manusia dan asal daya alamnya memadai sudah dijawab, melalui adagium bahwa hal itu hanyalah galat satu bentuk ketidakrelaan pemerintah sentra pada menyerahkan pengelolaan pendidikan pada daerah. Namun, secara akademis bisa dilakukan refleksi terhadap realitas rakyat Indonesia yang terdapat serta akan terus terdapat dalam balutan multicultur dan rentan konflik, bahwa sesungguhnya otonomisasi pendidikan perlu dipersiapkan secara matang dengan memperhatikan seluruh dimensi yang terlibat pada dalamnya, khususnya tentang sistim pengelolaan dan standar mutu pendidikan itu sendiri. 

Sistim pengelolaan serta standar mutu pendidikan merupakan dua aspek terpenting dari poly aspek krusial lainnya dalam konstelasi pembangunan pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka aplikasi swatantra pendidikan harus didukung sang analisis dan kebijakan yang komprehensif dan seksama mengenai kedua aspek tadi. Rasionalnya, bahwa kualitas pendidikan suatu negara sangat ditentukan oleh sistim pengelolaan serta baku mutu yg ditetapkan buat diterjadikan. Jika swatantra pendidikan sahih-benar diterapkan di semua wilayah Indonesia, maka semestinya ada standar nasional yg diberlakukan dan digunakan sebagai dasar pengujian aneka macam komponen pendidikan yang dikembangkan sang daerah, selain baku yang telah ditetapkan sang daerah itu sendiri menurut potensi yg dimilikinya.

Eksistensi Pengelolaan Sistem Pendidikan 
Eksistensi latar sebuah sistem sangat krusial dalam menjalankan suatu manajemen, lantaran produk dari analisis tadi akan menyajikan seperangkat pelukisan tentang kondisi sistem itu sendiri secara komprehensif. Kondisi yang dimaksud adalah potensi kekuatan dan potensi kelemahan syarat internal dari sistem, peluang dan tantangan yg tiba baik dari lingkungan internal juga eksternal. Deskripsi yg komprehensif tentang sebuah sistem sangat berguna pada menciptakan perbandingan antara sistem yg telah ada dengan sistem yg sedang dirancang. Bahan utama penyusunan serta perancangan dan esensi-misi serta sasaran yg mesti diterjadikan, dan landasan operasional buat merancang serta memformulasikan taktik yang kompetitif menggunakan sistem-sistem lainnya merupakan instrumen pokok pada perancangan sistem bersangkutan. 

Secara umum menejemen operasional menempatkan analisis posisi serta potensi kekuatan dan kelemahan menjadi dasar dalam merumuskan sebuah keputusan (Tilaar, 1993). Artinya, bagaimana potensi kekuatan tersebut dioptimalkan dan dijadikan sebagai acuan mengelola sebuah sistem, serta kebalikannya bagaimana mengeliminir serta apabila mungkin menghilangkan potensi kelemahan dalam sebuah manajemen. Konsepsi di atas (analisis kekuatan serta kelemahan) adalah langkah krusial pada sebuah manajemen sistem. 

Dalam manajemen sistem (system management), analisis terhadap kekuatan serta kelemahan adalah kunci utama pada melakukan langkah selanjutnya, yaitu perancangan keputusan (Hellen, 2002). Jika konsep pada atas kita hubungkan dengan pengelolaan sistem pendidikan yg bersifat desentrralistik, tampak menggunakan jelas bahwa pendidikan harus dikelola secara profesional serta menggunakan sistem yg laik, baik secara kualitas juga birokratis. 

Pendidikan merupakan investasi (Devidson, 1989), sehingga pengelolaan pendidikan secara desentralitik minimal sanggup mengadopsi serta menterjadikan 4 (empat) tujuan melalui program pendidikan, yaitu: (1) peningkatan potensi diri, yang meliputi; pengetahuan, sikap, nilai-moral, dan keterampilan, (dua) akses terhadap dunia kerja, (3) pembinaan bermasyarakat (business community), dan (4) pengembangan ilmu dan pengetahuan. Untuk itu, sistem pengelolaan pendidikan pada dasarnya sanggup pula menerapkan prinsip-prinsip pendekatan sistem pada operasionalnya, walaupun secara heuristik wajib melewatkan beberapa komponen fundamental menurut pendekatan itu sendiri, yaitu unsur propit (laba finansial). 

Dilihat berdasarkan aspek pengorganisasiannya, desentralisasi pengelolaan sistem pendidikan dalam dasarnya sangat kompleks (Bhutankar, 2001). Jika hal itu kita buat pengkatagorian, minimal ada 3 katagori yg mampu dijadikan menjadi unit analisisnya, yaitu: (1) tingakat departemen, yg meliputi; badan-badan serta biro, termasuk dinas Provinsi serta Kabupaten, (dua) taraf institusi, yang mencakup; perguruan tinggi, sekolah menengah generik dan kejuruan, sekolah lanjutan generik dan kejuruan, serta sekolah dasar, dan (tiga) taraf operasional, yg meliputi; bidang studi, mata pelajaran, jurusan, serta fakultas. Disamping ketiga level tersebut, hal lain yang perlu dipertimbangkan jua esensi serta eksistensi menurut LSM serta badan swasta yang mengkonsentrasikan kajiannya pada bidang pendidikan. Implikasi konseptual serta operasional berdasarkan sistim di atas merupakan bagaimana kita mampu meredefinisikan dan mereposisikan secara jelas pada setiap levelnya serta memasukkan analisis posisi serta pendekatan sistem pendidikan itu sebagai bagian yang utuh dari sistem itu sendiri. 

Analisis dan Pendekatan Sistem Pendidikan
Substansi berdasarkan analisis posisi desentrralisasi pengelolaan sistem pendidikan dalam dasarnya difokuskan dalam upaya mengakses serta mengidentifikasi latar alamiah yg komprehensif dan objektif tentang posisi berdasarkan sistem pendidikan itu sendiri, dicermati berdasarkan perspektif: (1) kelayakan sistem, sub sistem, dan perangkat pengiringnya, (dua) prestasi serta performa sistemnya dilihat berdasarkan perspektif kelayakan dan baku mutunya pada kurun waktu tertentu. Untuk memperoleh pemahaman yg memadai mengenai ketercapaian menurut sistem itu sendiri, secara mendasar bisa dipandang berdasarkan: (1) potensi kekuatan dan kelemahan internal serta personal, (dua) tujuan, tantangan, serta proyeksi eksternal (Tilaar, 1993; Hellen, 2000). 

Perumusan hasil analisis posisi serta pendekatan sistem, juga dimaksudkan untuk mengidentifikasi info strategis serta alternatif proyektif pada rangka; eksistensi sistem, reposisi sistem, mergerisasi, serta follow up dalam bentuk rekomendasi dan desiminasi pada fihak-fihak yg terkait, baik secara eksklusif juga tidak eksklusif. Sasaran dan sasaran dari analisis posisi dan pendekatan sistem pendidikan, secara umum mencakup: (1) buat memperoleh citra yang komprehensif mengenai sistem dan pirantinya, termasuk potensi kekuatan serta kelemahan dari sistem itu sendiri, (dua) buat memperoleh deskripsi yg komprehensif mengenai diagnosa serta prognosa sistem pendidikan, termasuk instrumen substantif yang mendukung dan merusak sistem, serta (tiga) buat memperoleh warta yg representatif tentang gosip, kendala, serta peluang pengembangan desentrralisasi pengelolaan sistem pendidikan, termasuk cara lain strategis pengembangan sistem pendidikan kedepan (future oriented) secara nasional. 

Langkah-langkah analisis posisi dan pendekatan sistem pendidikan pada umumnya dapat dijabarkan dalam struktur kerja yg piramidak (Devidson, 1989), yaitu: identifikasi dan redefinisi masalah/berita, akselerasi data dan keterangan, reduksional data dan pengolahannya, interpretasi dan triangulasi data, justifikasi simpulan serta follow up, seminari serta desiminasi, serrta rekomendasi. Untuk melakukan analisis posisi serta pendekatan sistem, kita nir mesti memulainya berdasarkan hipotesis, lantaran menggunakan pengenalan dan memposisikan ulang aneka macam perkara sesuai menggunakan jenis dan gradasinya, secara otomatis akan terformulasikan hipotesa menurut perkara itu sendiri. Upaya mengakses data serta berita mampu dimulai dari aneka macam lini, seperti: (1) unit-unit sistem dan istrumen di bawahnya, (2) laporan kemajuan (progress report) tentang sistem, (tiga) output riset bebagai fihak termasuk LSM serta badan swasta lainnya, (4) produk yg telah didapatkan (rate product), dan (5) standar mutu sistem pendidikan ideal (standard of quality). 

Produk menurut analisa terhadap kelaikan/kelayakan sistem tadi nantinya dapat dijadikan menjadi parameter indikator kelayakan komponen-komponen sistem itu sendiri. Semua temuan tersebut, termasuk baku mutu yang disepakati (ditetapkan) dapat dinterpretasikan serta diaktualisasikan kedalam prinsip dasar sebuah sistem, yaitu: kekuatan, kelemahan, proyeksi, serta tantangan serta mutu ideal berdasarkan sistem yang dirancang.

Ada sejumlah kondisi yang diprasyaratkan dengan mengacu dalam ihwal teoritik pada atas, yaitu: (1) kualifikasi asal daya (SDM), (2) kualitas serta kuantitas instrumen, (3) pola dan pendekatan yang regular dan bergerak maju, (4) standar mutu yg dianut (disepakati), dan (5) iklim yg kondusif serta proyektif (Abraham, 1999). Kondisi awal ini, juga adalah keliru satu unit analisis pada pengelolaan sistem pendidikan nasional. Lantaran dalam pos/unit analisis pendidikan, pra-kondisi taktik awal dari sebuah planning analisis strategis. Sebagaimana sudah disampaikan pada bagian awal, bahwa tujuan berdasarkan analisis posisi sistem pendidikan merupakan buat memperoleh pelukisan yg komprehensif tentang posisi sistem pendidikan dalam waktu tertentu, baik menyangkut kelayakan sub sistemnya (piranti) maupun kelayakan kinerja menurut semua komponennya. Oleh karena itu, maka langkah berikutnya adalah memilih unit (satuan) dan jenjang analis berdasarkan sistem itu sendiri. Artinya, apa yg akan dijadikan menjadi satuan analisis dan dalam jenjang berapa hal tersebut akan dilakukan, seperti: (1) unit kerja/institusi, (2) taraf lokal atau regional, serta (3) sektoral atau lintas sektoral. Dalam konteks ini, mungkin azas serta prinsip manajemen generik yg seringkali diistilahkan menggunakan 4 W+H (what, where, when, who, dan how) akan teraplikasikan, walaupun substansi serta visinya sudah difokuskan pada masing-masing unit analisis posisi dari sistem pendidikan itu sendiri. Dalam pengelolaan sistem pendidikan, dari yg paling operasional (sekolah) hingga taraf manajerial, unsur dan variabelnya sangatlah kompleks, sehingga perlu dilakukan choosing proccess, supaya diperoleh gambaran/pilihan, mana yg paling strategis dan proyektif buat diikut sertakan pada jajak substansial analisisnya (produk analisis). Ada sejumlah pendekatan yang bisa dipakai buat melakukan pilihan tadi, seperti: (1) pendekatan birokratik, (dua) pendekatan humanistis, serta (tiga) pendekatan phenomenologis (Abraham, 1999). 

Terdapat berbagai model pendekatan yang mungkin dapat dipakai sinkron menggunakan jenis serta karakteristik kasus dan baku mutu yg diharapkan, namun pada analisis posisi desentrralisasi pengelolaan sistem pendidikan, poly ditentukan sang peranan kebijakan serta kemauan politik dari aneka macam fihak, khususnya para perancang dan pengambil keputusan pada taraf makro juga mikro. Desentralisasi pengelolaan sistem pendidikan juga wajib memperhatikan beberapa gugus perangkat komponen sistem dan gugus perangkat indikator kinerja sistem tersebut. Secara umum, gugus kendali mutu di atas, mencakup beberapa software dan perangkat keras (perangkat lunak and hardware). Sementara gugus kendali dalam level indikator kinerja, termasuk parameternya mencakup beberapa unit serta satuan analisis situs (analisis lintas sektoral), yaitu: (1) prinsip efesiensi dan efektivitas, (dua) prinsip produktivitas, (3) prinsip relevansi, (4) prinsip akseptibilitas, dan (lima) prinsip inovatif dan adaptif. Berdasarkan kedua sistem gugus analisis tersebut, kalangan perencanaan serta kalangan analis dapat mendeskripsikan serta melakukan aneka macam kombinasi yang akan diaplikasikan sang para pengambil keputusan buat dijadikan sebagai instrumen produk dalam melakukan analisis posisi sistem pendidikan dalam level daerah (tempat), regional, dan nasional.

Sistem pendidikan juga nir lepas menurut efek lingkungan ekstrenal. Hal ini didukung oleh beberapa rasional, yaitu: (1) sistem pendidikan mendapat masukan berdasarkan sistem-sistem lainnya, dan menaruh keluarannya kepada sistem tersebut sebagai masukan (warga menjadi konsumen). Lingkungan luar tadi, termasuk lingkungan kultural, geografis, serta demografis, dan (2) dinamika keberadaan serta posisi sistem pendidikan nir terlepas dari dinamika proses yang terjadi dalam lingkungannya, serta sebaliknya bila sistem pendidikan sanggup menaruh dampak atau menunjukkan jati dirinya sebagai sebuah kekuatan, maka sistem pendidikan akan sanggup mengendalikan semua sistem lain yang terdapat di rakyat (sebagai gugusan sistem lain diluar sistem pendidikan). Berangkat menurut analisis posisi eksternal desentralisasi pengelolaan sistem pendidikan, maka tampak ke 2 hal di atas sangat menentukan keberadaan dan substansi dari sistem pendidikan baik untuk waktu kini juga buat masa mendatang. Satu dimensi lain yg merupakan akumulasi menurut berbagai sistem diluar sistem pendidikan yang poly memilih kualitas dan produktivitas sistem pendidikan merupakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini penting dipahami sang para perencana dan analis, supaya sistem pendidikan sanggup memfasilitasi inovasi dalam rakyat, dan secara otomatis memanfaatkan penemuan tadi bagi peningkatan degree serta substansi dari sistem pendidikan itu sendiri.untuk itu diharapkan pendekatan yang kontekstual sebagai akibatnya kita tidak terjebak dalam posisi rentan serta sensitif, yg pada akhirnya dapat mengancam keberadaan sistem yg lebih akbar, misalnya disintegrasi bangsa dan nasionalisme. 

Berangkat menurut analisis konseptual serta empiris tentang desentrralisasi sistem pendidikan nasional dan cara pengelolaannya, sepertinya kita wajib meredifinisi konsep serta beberapa piranti substansial terkait menggunakan standar mutu yg kita sepakati. Hal ini merupakan konsekuensi logis menurut sebuah sistem yg kompleks misalnya halnya sistem pendidikan kita. Langkah ini penting dilakukan sesegera mungkin, mengingat tantangan pendidikan di masa mendatang sangat kompleks serta bergerak maju. Dengan demikian, produk institusionalnya dapat diperlukan sanggup bersaing dalam tataran warga dunia yg semakin membumi ketika ini.

Pentingnya analisis sistem dalam konteks internal serta eksternal pada desentralisasi pendidikan, sangat bergantung pada kelayakan serta baku mutu dari berbagai piranti serta sub unit-unit kerja yang terdapat (Abraham, 1999), termasuk kualifikasi sumber daya manusianya. Telah dijelaskan di atas, bahwa acuan dasar pengembangan pola analisis sistem dengan pendekatan terpadu poly dikontribusi oleh lingkungan internal serta eksternal serta akselerasi nilai-nilai budaya dimana sistim itu diaplikasikan.

Standarisasi Mutu Sistem Pendidikan
Berbicara mengenai mutu pendidikan, banyak faktor serta kondisi yang harus dipertimbangkan. Kompleksitas mutu pendidikan, poly terkait menggunakan asal daya serta parameter sistem yang ditetapkan serta dicita-citakan. Artinya, mutu pendidikan banyak ditentukan oleh kualitas personal perancang serta pengambil keputusan, termasuk impian politis penguasa (pemerintah). Hal ini secara eksklusif berkaitan menggunakan posisi pendidikan sebagai salah satu lokomotif politik pemerintah. Masalahnya sekarang, bagaimana mengakibatkan pendidikan terlepas dari tendensi serta pesan-pesan politis penguasa yg secara langsung dapat menodai misi serta visi pendidikan itu sendiri (Kartasasmita, 1993). Untuk itu, perlu ditetapkan standar mutu pendidikan, baik dalam tingkat nasional juga wilayah. Pada tingkat nasional, perkara mutu pendidikan herbi trends warga serta pangsa pasar sebagai pengguna keluaran. Ada 3 faktor krusial yang wajib dipertimbangkan secara makro pada melakukan penyusunan strategi sistem pendidikan, yaitu: (1) ketersediaan perangkat dan asal daya, (2) kecendrungan rakyat secara generik, dan (tiga) kualifikasi out put menurut sistem itu sendiri. Konsepsi ini, krusial dipahami oleh kalangan pengambil kebijakan, mengingat begitu kompleksnya permasalahan seputar mutu pendidikan. Di samping itu, dinamika warga dunia, dan gosip-gosip internasional pula harus dijadikan menjadi dasar pijakan pengambilan keputusan. Hal ini dimaksudkan buat menghindari miss-concention and miss-orientation pengelolaan sistem pendidikan. Pada tingkatan wilayah, ada sejumlah faktor serta dimensi sosiologis yg harus dijadikan dasar pijakan, yaitu: (1) unit analisis sistem yang tersedia, (dua) kelayakan rencana yg disusun, (3) kesiapan sumber daya, (4) alokasi dana yang tersedia, (5) dukungan rakyat, (6) syarat sosial budaya rakyat setempat, serta (7) faktor-faktor non teknis, seperti: stratifikasi warga , kebutuhan pasar, dan stabilititasi pasar (pengguna out put). Kelayakan dari masing-masing unit atau faktor baik secara makro juga mikro sangat memilih arah dan kelayakan analisis sistem yg dirumuskan atau direkomendasikan (Devidson, 1989). 

Sistem pengelolaan pendidikan nasional Indonesia selama ini, memang telah memakai pendekatan terpadu, namun operasionalnya belum sinkron menggunakan ilham serta konsep awal sebagaimana yang telah disepakati. Ada beberapa instrumental ekstern yang terabaikan, sebagai akibatnya implementasi menurut sistem itu tidak berjalan menggunakan baik. Hal ini diperburuk dengan kekurangsiapan dari sumber daya manusia yg dimiliki oleh departemen pendidikan nasional, sebagai akibatnya inovasi yang dilakukan pada penyelenggaraan sistem itu nir terantisipasi dengan baik oleh para pejabat birokratis di wilayah. 

Jakarta sebagai sentral perancangan serta lahirnya aneka macam kebijakan, dalam dasarnya sudah menerapkan sistem analisis posisi serta lingkungan yang memenuhi standar kelayakan, tetapi azas dekonsentrasi yg diberlakukan pada departemen pendidikan nasional, belum sanggup berjalan menggunakan baik. Artinya, masih banyak kalangan birokrasi di wilayah yg berjiwa “birokratis mutlak”, sehingga nir mampu menerapkan transparansi serta demokratisasi pada pengelolaan pendidikan. Hal ini merupakan fakta yg nir terbantahkan dalam aplikasi desentralisasi pengelolaan pendidikan yang sudah diujicobakan pada beberapa wilayah. Kondisi ini membawa dampak pada kemandegan sistem, yang dalam akhirnya bermuara dalam nir tercapaiannya standar mutu yg sudah ditetapkan. 

Kurikulum, sebagai galat satu bentuk operasional kebijakan, dalam dasarnya sudah memuat sejumlah rumusan serta perihal yg sangat demokratis bagi kalangan pelaku di daerah (Lasmawan, 2000), namun sayang mereka tidak bisa menterjemahkan makna serta jiwa menurut kurikulum itu menggunakan baik. Akhirnya, terjadilah apa yg acapkali diklaim dengan “chaos” pada sistem pendidikan kita. Untuk itu diharapkan pendekatan sistem yg demokratis serta transparan dari kalangan pengambil kebijakan baik pada tingkat daerah maupun sentra. Salah satu cara lain yg di duga dapat membawa sistem pendidikan Indonesia kearah itu, merupakan dengan sistem desentralisasi pengelolaan pendidikan (swatantra pengelolaan pendidikan). Dengan demikian, benang kusut yg selama ini menghantui sistem pendidikan kita, secara perlahan serta pasti akan gampang terurai dan dirajut sebagai sebuah kain bermutu serta mempunyai kelaikan daya saing yg tinggi. 

Berbicara tentang standar mutu, berarti harus mendiskusikan balik , insan indonesia yang seperti apa yg kita harapkan lahir berdasarkan global pendidikan. Apakah insan yg menguasai teknologi tinggi sebagai akibatnya global pendidikan wajib mencetak para teknokrat ulung, ataukah kita ingin membangun manusia yg dipenuhi menggunakan iman dan ketaqwaan yang tinggi sinkron dengan filosophis pembangunan bangsa, atau mungkin keduanya secara bersama-sama pada satu wujud insan yang komprehensif (pada berukuran sosial budaya). Menyadari posisi serta ciri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multi etnis dan sedang berkembang, maka insan Indonesia yg kita harapkan lahir menjadi produk pendidikan merupakan insan yang berteknologi tinggi dan sekaligus bermoral. Inilah pada dasarnya parameter mutu pendidikan nasional. Penetapan standar mutu ini wajib mempertimbangkan banyak sekali potensi serta kecendrungan rakyat, sebagai akibatnya kualitas insan Indonesia yg lahir melalui global pendidikan sahih-benar tangguh baik dominasi teknologinya maupun moral humanisnya. 

Comments