PENGERTIAN MANAJEMEN BEBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah 
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah dalam wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak terlepas menurut konteks gerakan “restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan hadiah otonomi yang lebih akbar pada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan sang beberapa konsep pengelolaan sekolah, seperti :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.

Konsep-konsep tersebut menyebutkan bahwa sekolah ditargetkan buat melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yg berada dalam sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for excellence) dan effective schools.

Manajemen berbasis sekolah dalam intinya adalah memberikan wewenang terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan pemugaran kualitas secara terus menerus. Dapat pula dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah dalam hakikatnya adalah penyerasian asal daya yg dilakukan secara berdikari sang sekolah menggunakan melibatkan seluruh kelompok kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah secara eksklusif pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mancapai tujuan pendidikan nasional.

Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal berdasarkan tiga kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya efektif buat mencapai sasaran. Berbasis mempunyai kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga buat belajar dan mengajar serta loka buat mendapat serta memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diartikan menjadi penggunaan asal daya yang dari dalam sekolah itu sendiri pada proses pedagogi atau pembelajaran. 

Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, manajemen berbasis sekolah berpijak pada Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa bila seorang atau sekelompok orang memiliki kepuasan buat mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok orang tadi akan memiliki tanggung jawab yg besar untuk melakukan apa yg telah diputuskan. Berangkat berdasarkan teori ini, banyak manajemen berbasis sekolah yang dikemukakan oleh para ahli. 

Eman Suparman misalnya yang dikutip oleh Mulyono mendefinisikan manajemen berbasisi sekolah sebagai penyerasian sumber daya yg dilakukan secara berdikari sang sekolah menggunakan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah pada pendidikan nasional. Sementara itu Slamet mengartikan manajemen berbasis sekolah menjadi pengkoordinasian dalam penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (berdikari) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen buat mencapai tujuan sekolah pada kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan gerombolan kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah wajib bersifat terbuka dan inklusif terhadap sumber daya di luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras menggunakan tujuan pendidikan nasional. 

Priscilla Wohlster serta Albert Mohrman menyebutkan secara luas bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pendekatan politis buat mendesain ulang organisasi sekolah menggunakan menaruh wewenang dan kekuasaan pada partisipasi sekolah pada taraf lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yg dimaksudkan merupakan partisipasi ketua sekolah, guru serta warga lokal.

Sesuai dengan pelukisan pada atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan hadiah swatantra penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri pada menyebarkan dan melakukan penemuan pada berbagai program buat menaikkan mutu pendidikan sesuai menggunakan kebutuhan sekolah sendiri yg tidak terlepas berdasarkan kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), serta sekolah wajib sanggup mempertanggungjawabkan kepada masyakat. Artinya manajemen berbasis sekolah dalam hakikatnya merupakan penyerasian sumberdaya yg dilakukan secara berdikari oleh sekolah dengan melibatkan semua grup kepentingan yang terkait dengan sekolah secara eksklusif dalam proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional serta Dinas Pendidikan Nasional, terminologi yg populer adalah MPMBS. MPMBS pada pada dasarnya merupakan swatantra, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat, dalam penyelenggraan pendidikan. Titik tekan MPMBS perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan tentang layanan purna lulus. 

Secara umum skema berpikir kebijakan MBS di Indonesia merupakan sebagai berikut:

Gambar  Skema Berpikir Kebijakan MBS pada Indonesia

A. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic pada manajemen berbasis sekolah (MBS) terdapat 3 katakteristik yg harus dikedepankan berdasarkan yang lain berdasarkan manajemen, diantaranya adalah: pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yg berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan yg didesentralisasikan pada stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang meliputi keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, meliputi kurikulum, kepegawai, keuangan, wahana-prasarana serta penerimaan murid baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada sekolah-sekolah, tetapi diregulasikan yg mengatur fungsi kontrol sentra terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.

Edmon mencoba mengemukakan berbagai indikator yang menandakan karakteristik dari konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) antara lain merupakan: 
1. Lingkungan sekolah yg kondusif serta tertib;
2. Sekolah memiliki visi serta target mutu yg ingin dicapai;
3. Sekolah memilki kepemimpinan yang bertenaga;
4. Adanya asa yang tinggi dari personal sekolah (kepala sekolah, guru dan staf termasuk siswa) untuk berprestasi;
5. Adanya pengembangan staf sekolah yang monoton sinkron tuntutan IPTEK;
6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap aneka macam aspek akademis dan administratif, serta pemanfaan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu;
7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif menurut orang tua anak didik serta rakyat.

Adapun Saud menyatakan beberapa karakteristik dasar diantaranya yaitu, hadiah otonomi yang luas pada sekolah, partisipasi rakyat serta orang tua siswa yg tinggi, kepemimpinan sekolah yg demokratis serta profesional, serta adanya teamwork yg tinggi dan profesional. Pada tataran ini, bila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan dalam taraf sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yg komprehensif serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. 

Apabila melihat karakteristik yg dideskripsikan pada atas menurut dalam aspek geografis Indonesia yg bhineka antara satu dengan yg lainnya, maka akan berimplikasi dalam kemampuan dan karakteristik spesial bagi sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS). Akan tetapi karakteristik khas tadi dibutuhkan dapat memberikan akibat positif terhadap peningkatan personal sekolah, lantaran energi kependidikan serta peserta didik umumnya tiba berdasarkan bebagai sektor atau latar belakang yg tidak selaras, misalnya latar geografis, kesukuan tingkat sosial, ekonomi, juga politik. Atas dasar itulah ciri yang menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu mengoptimalisasikan aspek-aspek tertentu, yaitu mempertinggi kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan sumber daya insan, dan pengelolaan asal daya administrasi.

Selain itu kerjasama antara masyarakat sekolah yg mencakup guru, pegawai, peserta didik, serta wali anak didik dengan masyarakat wajib dibangun atas dasar kredibilitas yang tinggi. Sekolah harus bisa memacu rakyat buat ikut memiliki forum yg bersangkutan guna menumbuhkan iklim kerjasama menggunakan menganut sistem transparansi, baik dalam acara juga dalam hal pengelolaan finansial (keuangan). Di samping itu program yang tersusun sang komponen sekolah wajib sanggup bersifat berkelanjutan (kontinuitas).

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan menaikkan efisiensi mutu serta pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola asal daya yang terdapat, partisipasi masyarakat, serta penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme pengajar, adanya hibah serta sanksi menjadi kontrol, serta hal lain yang bisa menumbuh kembangkan suasana yang aman. 

Menurut Kustini Hardi, terdapat 3 tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Pertama, membuatkan kemampuan kepala sekolah bersama guru serta unsur komite sekolah pada aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk menaikkan mutu sekolah. Kedua, berbagi kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah pada aplikasi pembelajaran yg aktif dan menyenangkan, baik di lingkungan sekolah juga di lingkungan setempat. Ketiga, membuatkan peran serta rakyat yg lebih aktif pada perkara generik persekolahan dari sekolah buat membantu peningkatan mutu sekolah.

Kementerian Pendidikan Nasional menggambarkan bahwa tujuan aplikasi MBS adalah menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian serta inisiatif sekolah pada mengelola dan memberdayakan asal daya yg tersedia, meningkatkan kepedulian rakyat sekolah serta rakyat dalam peyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan beserta, menaikkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga serta pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan mempertinggi kompetensi yg sehat antarsekolah tetang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Secara umum dapat diinterpretasikan bahwa dalam penyelenggaraan MBS setidaknya terdapat empat aspek penting yg harus dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) serta relevansi, keadilan, efektivitas serta efisiensi, serta akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) serta relevasi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada output (hasil dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu dan relevansi ini menjadi satu kesatuan substansi, ialah sebagai hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan menggunakan banyak sekali kebutuhan dan konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada manfaat berdasarkan apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan pada berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (pengaruh), termasuk jumlah ranah pendidikan yg tidak diujikan.

PENGERTIAN MANAJEMEN BEBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah 
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah pada perihal pengelolaan pendidikan di Indonesia nir terlepas menurut konteks gerakan “restrukturisasi serta reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yg lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan sang beberapa konsep pengelolaan sekolah, misalnya :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.

Konsep-konsep tersebut mengungkapkan bahwa sekolah ditargetkan buat melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berada pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for excellence) dan effective schools.

Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah buat melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat pula dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian asal daya yang dilakukan secara mandiri sang sekolah menggunakan melibatkan semua grup kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah secara eksklusif pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mancapai tujuan pendidikan nasional.

Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari 3 kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen merupakan proses memakai asal daya efektif buat mencapai sasaran. Berbasis memiliki istilah dasar basis yg berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar serta mengajar dan loka buat mendapat dan menaruh pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan menjadi penggunaan sumber daya yg dari dalam sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. 

Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, manajemen berbasis sekolah berpijak dalam Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa bila seseorang atau sekelompok orang mempunyai kepuasan buat merogoh keputusan sendiri, maka orang atau grup orang tadi akan mempunyai tanggung jawab yg besar buat melakukan apa yang telah diputuskan. Berangkat dari teori ini, banyak manajemen berbasis sekolah yang dikemukakan sang para pakar. 

Eman Suparman seperti yang dikutip sang Mulyono mendefinisikan manajemen berbasisi sekolah sebagai penyerasian asal daya yg dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua gerombolan kepentingan yg terkait sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sementara itu Slamet mengartikan manajemen berbasis sekolah menjadi pengkoordinasian pada penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, menggunakan melibatkan gerombolan kepentingan yang terkait menggunakan sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah harus bersifat terbuka serta inklusif terhadap sumber daya pada luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras dengan tujuan pendidikan nasional. 

Priscilla Wohlster serta Albert Mohrman menyebutkan secara luas bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah pendekatan politis buat mendesain ulang organisasi sekolah menggunakan memberikan kewenangan serta kekuasaan kepada partisipasi sekolah dalam tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yg dimaksudkan merupakan partisipasi kepala sekolah, pengajar dan masyarakat lokal.

Sesuai dengan pelukisan di atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri dalam membuatkan dan melakukan penemuan dalam berbagai acara buat meningkatkan mutu pendidikan sesuai menggunakan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak terlepas menurut kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yg berkepentingan (stakeholder), dan sekolah wajib mampu mempertanggungjawabkan pada masyakat. Artinya manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara pribadi pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional serta Dinas Pendidikan Nasional, terminologi yang populer adalah MPMBS. MPMBS pada intinya merupakan otonomi, akuntabilitas, dan partisipasi warga , dalam penyelenggraan pendidikan. Titik tekan MPMBS perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan mengenai layanan purna lulus. 

Secara generik skema berpikir kebijakan MBS di Indonesia merupakan sebagai berikut:

Gambar  Skema Berpikir Kebijakan MBS pada Indonesia

A. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) ada 3 katakteristik yang wajib dikedepankan menurut yg lain menurut manajemen, antara lain adalah: pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yang herbi peningkatan mutu pendidikan yg didesentralisasikan pada stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yg meliputi keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, meliputi kurikulum, kepegawai, keuangan, wahana-prasarana dan penerimaan murid baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan pada sekolah-sekolah, tetapi diregulasikan yg mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab pemerintah.

Edmon mencoba mengemukakan banyak sekali indikator yg pertanda karakteristik berdasarkan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) diantaranya merupakan: 
1. Lingkungan sekolah yg kondusif serta tertib;
2. Sekolah memiliki visi serta sasaran mutu yang ingin dicapai;
3. Sekolah memilki kepemimpinan yang kuat;
4. Adanya asa yg tinggi menurut personal sekolah (kepala sekolah, pengajar serta staf termasuk siswa) buat berprestasi;
5. Adanya pengembangan staf sekolah yg monoton sinkron tuntutan IPTEK;
6. Adanya aplikasi penilaian yg terus menerus terhadap banyak sekali aspek akademis serta administratif, serta pemanfaan hasilnya buat penyempurnaan/ perbaikan mutu;
7. Adanya komunikasi serta dukungan intensif dari orang tua siswa dan warga .

Adapun Saud menyatakan beberapa ciri dasar diantaranya yaitu, anugerah otonomi yang luas pada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yg tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis serta profesional, dan adanya teamwork yang tinggi serta profesional. Pada tataran ini, bila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. 

Apabila melihat karakteristik yg dideskripsikan pada atas berdasarkan pada aspek geografis Indonesia yang bhineka antara satu menggunakan yang lainnya, maka akan berimplikasi pada kemampuan dan karakteristik spesial bagi sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS). Akan namun ciri spesial tersebut diharapkan bisa menaruh implikasi positif terhadap peningkatan personal sekolah, karena tenaga kependidikan dan siswa umumnya datang berdasarkan bebagai sektor atau latar belakang yang tidak sama, misalnya latar geografis, kesukuan taraf sosial, ekonomi, maupun politik. Atas dasar itulah karakteristik yg menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu mengoptimalisasikan aspek-aspek eksklusif, yaitu menaikkan kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan asal daya insan, serta pengelolaan asal daya administrasi.

Selain itu kerjasama antara masyarakat sekolah yang meliputi guru, pegawai, peserta didik, dan wali anak didik menggunakan warga harus dibangun atas dasar kredibilitas yang tinggi. Sekolah wajib bisa memacu masyarakat buat ikut mempunyai forum yg bersangkutan guna menumbuhkan iklim kerjasama dengan menganut sistem transparansi, baik pada program maupun pada hal pengelolaan finansial (keuangan). Di samping itu program yg tersusun sang komponen sekolah wajib mampu bersifat berkelanjutan (kontinuitas).

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan menaikkan efisiensi mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola asal daya yang terdapat, partisipasi rakyat, serta penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme pengajar, adanya hadiah serta hukuman menjadi kontrol, serta hal lain yg bisa menumbuh kembangkan suasana yg aman. 

Menurut Kustini Hardi, terdapat tiga tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Pertama, mengembangkan kemampuan ketua sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) buat menaikkan mutu sekolah. Kedua, menyebarkan kemampuan kepala sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada pelaksanaan pembelajaran yang aktif serta menyenangkan, baik di lingkungan sekolah juga di lingkungan setempat. Ketiga, menyebarkan kiprah dan rakyat yg lebih aktif dalam masalah generik persekolahan berdasarkan sekolah buat membantu peningkatan mutu sekolah.

Kementerian Pendidikan Nasional menggambarkan bahwa tujuan aplikasi MBS merupakan menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada mengelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia, meningkatkan kepedulian warga sekolah serta warga dalam peyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama, menaikkan tanggung jawab sekolah pada orang tua, warga serta pemerintah mengenai mutu sekolahnya, dan meningkatkan kompetensi yg sehat antarsekolah tetang mutu pendidikan yg akan dicapai. 

Secara umum bisa diinterpretasikan bahwa pada penyelenggaraan MBS setidaknya terdapat empat aspek penting yang wajib dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) serta relevansi, keadilan, efektivitas serta efisiensi, dan akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevasi pendidikan yang dengan tinggi-tingginya, dengan tolak ukur evaluasi pada hasil (hasil dan outcome) bukan dalam metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu serta relevansi ini sebagai satu kesatuan substansi, artinya menjadi hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Bagi yg memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk dalam manfaat berdasarkan apa yg diperoleh anak didik melalui pendidikan pada aneka macam lingkup/tuntutan kehidupan (impak), termasuk jumlah ranah pendidikan yang tidak diujikan.

PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school-based management”. MBS adalah paradigma baru pendidikan, yang menaruh otonomi luas pada taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yg dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan pada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis menyampaikan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk cara lain sekolah menjadi hasil menurut desentralisasi pendidikan. 

Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan sebagai contoh manajemen yang memberikan otonomi lebih akbar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara eksklusif seluruh rakyat sekolah (pengajar, anak didik, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, dan warga ) buat meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah sering disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat 3 pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas berdasarkan pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas dari dalam administrasi (administrasi merupakan inti berdasarkan manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan asal-asal, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu serta seni mengatur proses pemanfaatan asal daya insan serta asal-sumber lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tadi mengungkapkan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir beranjak sendiri, namun membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi memiliki fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kolaborasi yg sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yg sehat antar sekolah mengenai mutu pendidikan yg akan dicapai. 

Kewenangan yang bertumpu dalam sekolah adalah inti menurut MBS yg ditinjau mempunyai taraf efektivitas tinggi dan menaruh beberapa laba berikut:
a. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah membawa dampak eksklusif kepada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif dalam melakukan pembinaan siswa misalnya kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, taraf putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat mengambil keputusan, memberdayakan pengajar, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat antara lain 
a. Dengan kondisi setempat, sekolah dapat menaikkan kesejahteraan pengajar sebagai akibatnya bisa lebih berkonsentrasi dalam tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan warga buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, pada peranannya menjadi manajer juga pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat semakin tinggi dan mengklaim layanan pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan dalam level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat dapat mengelola sekolah secara berdikari. Umumnya dicermati bahwa para kepala sekolah merasa tidak berdaya lantaran terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran primer mereka menjadi pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan menggunakan rutinitas urusan birokrasi yg menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan menggunakan aplikasi otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di taraf pemerintah pusat atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah merupakan urusan pusat, kepala sekolah serta pengajar wajib melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan sentra ke daerah menelusuri saluran birokrasi menggunakan begitu poly simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional sudah menyusut lebih berdasarkan separuhnya.

Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya digunakan buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yg rumit, yg memunculkan aneka macam informasi kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan pada pengambilan keputusan dan tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yg diambil. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami sahih pengertian MBS, manfaat, kasus-kasus pada penerapannya, serta yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar anak didik.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yg sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah buat menciptakan keputusan atas kasus signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yg ditetapkan sang sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah berdasarkan setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh saat perubahan yg signifikan, sistematik, serta berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar murid yg semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu taktik buat mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah sudah dilembagakan pada loka-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah sudah mempraktikkannya lebih berdasarkan satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau pada beberapa sistem sekolah yang akbar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah di loka-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu tanda skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC pada Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi global. Tema berdasarkan rendezvous adalah “mutu pada pendidikan” dan rapikan kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian spesifik diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yg berbeda serta untuk tujuan tidak selaras dan dalam laju yang tidak sama di loka yang tidak selaras. Bahkan konsep yang lebih fundamental dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, misalnya berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan serta praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama pada semua loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas serta tanggung jawab di taraf sekolah, tetapi masih pada kerangka kerja yg ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus mempunyai kapasitas menciptakan keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui serta mengambil unsur-unsur yg ditetapkan pada kerangka kerja pusat yg berlaku di seluruh sekolah.

Sejak awal, pemerintah (sentra serta wilayah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai ketua sekolah dan dewan sekolah buat memilih cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting merupakan memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci kiprah dan tanggung jawab dewan pendidikan wilayah, dinas pendidikan wilayah, ketua sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus menggunakan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah pada upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah memakai sumber dayanya, serta apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan training dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan kasus serta pengambilan keputusan, penanganan perseteruan, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi pada kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yg terlibat pada sekolah dan anggota rakyat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan pembinaan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yg berikut : 
1. MBS wajib menerima dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara bertahap.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas harus memperoleh pembinaan penerapannya, dalam saat yg sama jua harus belajar mengikuti keadaan dengan kiprah serta saluran komunikasi yg baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat training dan penyediaan waktu bagi staf buat bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta wilayah wajib mendelegasikan wewenang pada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya membuatkan kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua siswa.

Beberapa kendala yg mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang nir menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka tidak berminat buat ikut dan dalam aktivitas yang berdasarkan mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah wajib lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan dan aturan. Akibatnya kepala sekolah serta guru nir memiliki banyak waktu lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak seluruh pengajar akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain di luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa saat beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya lantaran tidak merasa lezat berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada ketika inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yg diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali nir atau belum berpengalaman menerapkan model yg rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan akbar tidak memiliki pengetahuan serta keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya serta bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran serta Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan akbar sudah sangat terkondisi menggunakan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti kiprah serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan akbar akan menyebabkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan contoh yg rumit dan mencakup aktivitas yg beragam mengharuskan adanya koordinasi yg efektif serta efisien. Tanpa itu, kegiatan yg majemuk akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan akbar sama sekali menjauh berdasarkan tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan semenjak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur krusial merupakan training yang relatif mengenai MBS serta penjelasan peran dan tanggung jawab serta hasil yang dibutuhkan pada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat wajib memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yg bisa dibagi, sang siapa, dan pada level mana dalam organisasi.

Anggota warga sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya pada loka lain menampakan bahwa daerah yg paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan asa mereka pada 2 maslahat: meningkatkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS adalah kebijakan baru yg sejalan dengan kerangka berpikir desentraliasi pada pemerintahan. Strategi apa yg dibutuhkan agar penerapan MBS dapat sahih-benar menaikkan mutu pendidikan. Salah satu strategi adalah membangun prakondisi yang kondusif buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas serta komitmen seluruh masyarakat sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua murid. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah wajib menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yg demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk menciptakan laporan pertanggungjawaban pada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE) adalah tahap awal yg sangat positif. Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang planning kegiatan sekolah. Alangkah serasinya bila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah pusat lebih memainkan kiprah monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah pusat serta pemerintah wilayah perlu melakukan aktivitas bersama dalam rangka monitoring serta evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima sekolah.

4. Mengembangkan contoh acara pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan training MBS, yg lebih poly dipenuhi dengan pemberian fakta kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dievaluasi lebih memberikan output yang lebih nyata dibandingkan menggunakan pola-pola lama berupa penataran MBS.

Kepemimpinan ketua sekolah yang efektif dalam MBS bisa ditinjau menurut kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan pengajar-pengajar untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, serta produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron dengan saat yg sudah ditetapkan.
3. Mampu menjalin interaksi yg harmonis menggunakan warga sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif pada rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan pengajar dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja menggunakan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yg telah ditetapkan. 

PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah adalah terjemahan menurut “school-based management”. MBS adalah kerangka berpikir baru pendidikan, yang menaruh swatantra luas dalam taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru pada pengelolaan pendidikan yg lebih menekankan kepada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai output berdasarkan desentralisasi pendidikan. 

Secara generik, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan menjadi contoh manajemen yg memberikan swatantra lebih akbar kepada sekolah serta mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara pribadi semua masyarakat sekolah (guru, murid, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, serta rakyat) buat menaikkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah tak jarang disandingkan dengan kata administrasi sekolah. Berkaitan menggunakan itu, masih ada tiga pandangan tidak sinkron; pertama, mengartikan administrasi lebih luas menurut pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas menurut pada administrasi (administrasi adalah inti menurut manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan kata administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan sumber-asal, baik personal juga material, secara efektif serta efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan pada sekolah secara optimal. Pengertian manajemen berdasarkan Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan asal daya manusia dan sumber-asal lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), serta mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada megelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian rakyat sekolah dan rakyat pada penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga , serta pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Kewenangan yg bertumpu pada sekolah merupakan inti berdasarkan MBS yg dilihat memiliki taraf efektivitas tinggi dan memberikan beberapa keuntungan berikut:
a. Kebijaksanaan dan wewenang sekolah membawa dampak pribadi pada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif pada melakukan training peserta didik seperti kehadiran, output belajar, taraf pengulangan, taraf putus sekolah, moral pengajar, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat merogoh keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, serta perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya 
a. Dengan syarat setempat, sekolah bisa menaikkan kesejahteraan guru sehingga bisa lebih berkonsentrasi pada tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan masyarakat buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat serta menjamin layanan pendidikan sesuai menggunakan tuntutan warga sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa saat terakhir, kita dikenalkan menggunakan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yg diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya sudah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat bisa mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dicermati bahwa para ketua sekolah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, kiprah primer mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini ada belakangan sejalan menggunakan pelaksanaan swatantra wilayah menjadi kerangka berpikir baru pada pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah sentra buat menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan mengenai penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan pada taraf pemerintah sentra atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan pada sekolah adalah urusan pusat, ketua sekolah dan pengajar wajib melaksanakannya sinkron menggunakan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yg masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran bila nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional telah menyusut lebih menurut separuhnya.

Kita risi, jangan-jangan selama ini lebih menurut separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yang rumit, yang memunculkan aneka macam gosip kebijakan serta melibatkan poly lini wewenang pada pengambilan keputusan serta tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh karena itu, semua pihak yg terlibat perlu tahu sahih pengertian MBS, manfaat, perkara-kasus pada penerapannya, dan yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas serta tanggung jawab taraf sekolah buat membuat keputusan atas perkara signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yang ditetapkan oleh sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah menurut setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yg signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar anak didik yang semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih menurut satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar ) pada Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah pada loka-tempat ini tampaknya nir dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan menurut Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung 1/3 menurut populasi dunia. Tema dari rendezvous adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik pada reformasi pendidikan, tatapi pula menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yg merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki poly bayangan makna. Ia telah diimplementasikan menggunakan cara yg tidak selaras serta buat tujuan tidak sinkron serta pada laju yang berbeda pada tempat yang tidak sinkron. Bahkan konsep yg lebih fundamental dari “sekolah” serta “manajemen” adalah tidak sinkron, seperti berbedanya budaya serta nilai yg melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama di seluruh loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab pada taraf sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting merupakan bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan merogoh unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di semua sekolah.

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah buat menentukan cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting adalah mempunyai konvensi tertulis yg memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan wilayah, kepala sekolah, serta dewan sekolah. Kesepakatan itu wajib menggunakan kentara menyatakan standar yg akan digunakan menjadi dasar evaluasi akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan target, bagaimana sekolah menggunakan asal dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan pembinaan dalam bidang-bidang misalnya dinamika grup, pemecahan perkara dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi dalam gerombolan . Pelatihan ini ditujukan bagi seluruh pihak yg terlibat pada sekolah serta anggota masyarakat, khususnya dalam termin awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, ketua sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan training kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut : 
1. MBS wajib mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara sedikit demi sedikit.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas wajib memperoleh training penerapannya, dalam saat yang sama pula wajib belajar beradaptasi dengan kiprah serta saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat pembinaan serta penyediaan saat bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta daerah wajib mendelegasikan wewenang kepada ketua sekolah, serta kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua murid.

Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka nir berminat buat ikut serta dalam kegiatan yg dari mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak memakai waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan serta aturan. Akibatnya kepala sekolah dan pengajar nir memiliki banyak saat lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua pengajar akan berminat dalam proses penyusunan aturan atau nir ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya mengakibatkan frustrasi dan acapkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus bisa bekerja sama serta memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain pada luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa ketika beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada waktu inilah dewan sekolah mulai terserang “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar nir lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yg berkepentingan kemungkinan akbar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan contoh yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar sudah sangat terkondisi dengan iklim kerja yg selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti peran serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yg rumit serta mencakup aktivitas yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif serta efisien. Tanpa itu, aktivitas yg beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh menurut tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan sudah dilibatkan semenjak awal, mereka bisa memastikan bahwa setiap kendala telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pembinaan yg cukup mengenai MBS dan klarifikasi kiprah serta tanggung jawab dan hasil yg diharapkan pada semua pihak yg berkepentingan. Selain itu, seluruh yang terlibat harus tahu apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang bisa dibagi, sang siapa, serta pada level mana pada organisasi.

Anggota masyarakat sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya asa yg dibebankan pada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain memberitahuakn bahwa wilayah yang paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan harapan mereka dalam 2 maslahat: menaikkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan membentuk keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yg sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yg diperlukan supaya penerapan MBS bisa benar-sahih menaikkan mutu pendidikan. Salah satu taktik merupakan membentuk prakondisi yg aman buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh rakyat sekolah, termasuk masyarakat serta orangtua siswa. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah harus menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, serta akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah buat membuat laporan pertanggungjawaban kepada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan sang Managing Basic Education (MBE) merupakan termin awal yg sangat positif. Juga menciptakan laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster mengenai rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya apabila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah sentra lebih memainkan peran monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah sentra dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk aplikasi block grant yg diterima sekolah.

4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih poly dipenuhi dengan anugerah kabar pada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yg lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola usang berupa penataran MBS.

Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif pada MBS dapat ditinjau berdasarkan kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-pengajar buat melaksanakan proses pembelajaran menggunakan baik, lancar, dan produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron menggunakan waktu yang telah ditetapkan.
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis menggunakan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah serta pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yang sudah ditetapkan. 

PENJELASAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Penjelasan Desentralisasi Pendidikan 
Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dalam hakekatnya memberi wewenang dan keleluasaan kepada pemerintah daerah buat mengatur dan mengurus kepentingan warga setempat menurut prakarsa sendiri dari aspirasi warga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan pada daerah kabupaten dan kota dari azas desentralisasi pada wujud swatantra luas, konkret serta bertanggung jawab.

Berkaitan dengan aspirasi warga , ditegaskan juga bahwa wilayah dibuat menurut kehendak masyarakat setempat menggunakan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah dan berbagai kondisi lain yang memungkinkan wilayah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal lima ayat 1 serta Pasal 7 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004).

Dipertegas juga “Bahwa bidang pendidikan adalah bidang yg termasuk pada garapan kewenangan wilayah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah sentra yang dikenal menggunakan desentralisasi pendidikan”.

Selanjutnya Burhanuddin (1998 : 117) “Sistem Sentralisasi atau desentralisasi pada penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi eksklusif terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional dan manajemen pendidikan. Bidang-bidang yang terkait eksklusif dengan sistem tadi merupakan kebijaksanaan, supervisi, mutu serta asal dana pendidikan”.

Pendelegasian mampu berarti penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, atau berdasarkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau menurut unit ke unit dibawahnya, termasuk pula berdasarkan pemerintah ke rakyat. Salah satu wujud desentralisasi yg dimaksud merupakan terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan merumuskan, tetapkan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yg jangkauannya bersifat nasional. Lantaran itu tidak semua wewenang dapat didesentralisasikan.

Kalster (2000 : 11), mengungkapkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam bentuk School Base community, diyakini dapat menaikkan efisiensi, relevansi. Pemerataan dan mutu pendidikan serta memenuhi azas keadilan serta demokrasi. Hasil studinya menunjukkan bahwa terdapat potensi yg memungkinkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

Pemberdayaan sekolah dengan menaruh otonomi lebih besar , pada samping memperlihatkan sikap tanggap, pemerintah terhadap tuntutan warga jua dapat ditunjukkan menjadi wahana peningkatan efesiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Penekanan tersebut berubah dari ketika ke ketika sesuai menggunakan konflik yang dihadapi oleh pemerintah Misalnya krisis ekonomi yang tidak dapat dihindari dampaknya terhadap pendidikan, terutamanya berkurangnya penyediaan dana yg relatif buat pendidikan serta menurunnya kemampuan menjadi orang tua buat membiayai pendidikan anaknya. Kondisi tersebut secara pribadi menyebabkan menurunnya mutu pendidikan dan terganggunya proses pemerataan. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sekolah, pemerintah akan terbantu dalam control juga pembiayaan sebagai akibatnya bisa lebih berkonsentrasi dalam masyarakat kurang sanggup yg semakin bertambah jumlahnya. Di samping itu, berkurangnya lapisan birokrasi dalam prinsip desentralisasi pula mendukung efesiensi tadi, keterlibatan ketua sekolah, serta guru pada pengambilan keputusan sekolah yang dalam akhirnya mendorong mereka untuk memakai sumber daya yang ada seefesien mungkin buat mencapai output yg optimal.

Pemberian swatantra yg luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap tanda-tanda-tanda-tanda yg timbul di rakyat dan upaya peningkatan mutu pendidikan secara generik. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah supaya dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan aneka macam komponen rakyat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada pada sekolah. Dengan landasan tadi, pemerintah mencoba buat menerapkan desentralisasi pendidikan menjadi solusi. Selain hal tersebut diatas, terdapat beberapa faktor yang mendorong penerapan desentralisasi. Pertama, tuntutan orang tua, grup rakyat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru buat turut dan mengontrol sekolah serta menilai kualitas pendidikan. Kedua, asumsi bahwa struktur pendidikan yang terpusat nir dapat bekerja dengan baik dalam menaikkan partisipasi murid bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yg terdapat buat merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat serta rakyat yang majemuk. Keempat, penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam memperoleh donasi dan pendanaan. (Umiarso serta Imam Gojali,2010:47-48)

Dengan demikian, misi primer desentralisasi pendidikan merupakan menaikkan partisipasi masyarakat pada penyelenggaran pendidikan, menaikkan eksploitasi potensi wilayah, dan terciptanya infrastruktur kedaerahan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yg relevan dengan tuntutan zaman, seperti terserapnya konsep globalisasi, humanisasi dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi pendidikan dilakukan menggunakan mengikut sertakan unsur-unsur pemerintah setempat, rakyat, dan orang tua pada interaksi kemitraan serta menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai kebutuhan lingkungan. Selain itu, pengembangan kurikulum pula wajib sanggup berbagi kebudayaan daerah pada rangka memajukan kebudayaan nasional. Pada tataran ini, desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu manajemen berbasis sekolah, pendelegasian wewenang, serta inovasi pendidikan.

Hal yang menarik adalah desentralisasi pendidikan akan berimplikasi dalam tataran global baru pendidikan yang lebih humanis. Artinya. Ada ruang-ruang dalam pendidikan buat menciptakan peserta didik supaya lebih mengerti dan berbakti buat kepentingan serta kesejahteraan beserta menggunakan landasan kearifan lingkungan. Dengan asas tadi, tercipta juga kearifan ekologi yg merupakan butir berdasarkan inovasi kurikulum berbasis lingkungan atau warga .

Pertanyaan terpenting mengenai arah desentralisasi pendidikan adalah sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi wewenang yg lebih akbar memilih kebijakan-kebijakan mengenai organisasi serta proses belajar mengajar, manajemen guru, struktur serta perencanaan pada taraf sekolah, serta sumber-asal pendanaan sekolah. Desentralisasi pendidikan yg efektif nir hanya melibatkan proses hadiah kewenagan serta pendanaan yang lebih akbar dari pusat ke wilayah, namun jua meliputi pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sebagai akibatnya mereka dapat merencanakan proses belajar megajar dan pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masingt-masing sekolah. Oleh karena itu pada desentralisasi pendidikan ada target primer progaram restrukturisasi sistem serta manajemen pendidikan di indonesia. Restrukturisasi tersebut hendaknya meliputi hal-hal berikut:
(a) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan bergerak maju, serta mencerminkan desentralisasi serta pemberdayaan warga pada penyelenggaraan pendidikan.
(b) Sarana pendidikan serta fasilitas pembelajaran dibakukan menurut prinsif edukatif sehingga forum pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan buat belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga, serta menjalankan syariat agama.
(c) Tenaga pendidikan terutama tenaga pengajar wajib melalui proses seleksi sejak memasuki LPTK disertai sistem tunjangan ikatan dinas serta harus mengajar.
(d) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu dalam penerapan sistem pembelajaran tuntas, nir terikat dalam penyelesaian sasaran kurikulum secara seragam persemester dan tujuan ajaran.
(e) Proses pembelajaran tuntas diterapkan menggunakan aneka macam modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sinkron dengan taraf kesulitan konsep-konsep dasar yg dipelajari.
(f) Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap forum pendidikan sebagi konsekuensi menurut aplikasi pembelajaran tuntas.
(g) Kegiatan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pelatihan administrasi dan akademis dilakukan oleh unsur manajemen taraf sentra serta provinsi bertujuan buat pengendalian mutu, sedangkan akreditasi dilakukan buat menjamin mutu pelayanan kelembagaan.
(h) Pendidikan berbasis masyarakat, seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan serta pemagangan di tempat kerja pada rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional.
i) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost serta subsidi pendidikan wajib berdasarkan dalam bobot penyelenggaraan pendidikan yg memperhatikan jumlah siswa, kesulitan komunikasi, taraf kesejahteraan rakyat, tingkat partisipasi pendidikan, serta kontribusi rakyat terhadap pendidikan pada setiap sekolah. 

Berdasarkan hal tadi pada atas, maka pergeseran sistem penyelenggaraan pendidikan yg menaruh kewenangan lebih poly kepada daerah kabupaten serta kota pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan bisa berjalan lebih efektif serta efisien. Pemangkasan mekanisme sistem birokrasi yang berbelit-belit yg terpusat secara sentralistik telah poly membuang biaya serta saat sampai datang pada tahap target pendidikan yang sesungguhnya misalnya perbaikan kualitas serta personil pendidikan sekolah serta peserta didik di daerah. Maka Di era swatantra wilayah kebijakan strategis yg diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar serta Menengah merupakan : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan dalam sekolah buat merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara holistik; (dua) Pendidikan yg berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) supaya terjadi hubungan yg positif antara sekolah dengan warga , sekolah sebagai community learning centre; serta (tiga) Dengan memakai paradigma belajar atau learning paradigma yg akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner sebagai insan yg diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yg memberi pembekalan kepada pelajar buat siap bekerja menciptakan keluarga sejahtera. 

Dengan pendekatan itu setiap anak didik diperlukan akan menerima pembekalan life skills yg berisi pemahaman yg luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya supaya akrab serta saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya bisa memperoleh masukan baru berdasarkan manusia yg mencintainya, serta lingkungannya dapat menaruh topangan hayati yg mengantarkan insan yg mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat. Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) pada menaruh perhatian serta kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yg keanggotaannya bukan hanya orangtua murid yg belajar di sekolah tadi, namun mengikutsertakan pula guru, anak didik, tokoh warga serta pemerintahan di kurang lebih sekolah, serta bahkan pengusaha.

Tujuan program MBS pada antaranya menuntut sekolah agar bisa menaikkan kualitas penyelenggaraan serta layanan pendidikan (quality insurance) yg disusun secara beserta-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan pada sekolah tadi, melainkan membantu jua mengawasi serta mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu pada antaranya, diharapkan bisa memutuskan Rencana Anggaran Pendapatan serta Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi berdasarkan ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua anak didik buat membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.

Sebetulnya,semenjak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-asal pendanaan pendidikan, baik menjadi dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun buat peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk juga buat peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (Sekolah Dasar/MI serta Sekolah Menengah pertama/MTs) yang telah mulai mengagumkan ini terhapus pulang sang program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai keliru satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sebagai akibatnya bisa membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Tetapi, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian warga terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun pada MBS. Dari hal pada atas, dalam beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menduga misalnya halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran bila poly sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan sang komite sekolah, sembari berharap tiba oleh penyelamat, yaitu pemerintah. 

Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa kasus. Pengelolaan pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi wewenang kepala sekolah. Demikian juga, penyelenggaraan pendidikan pada kelas memang seluruhnya wajib sebagai wewenang pengajar. Berdasarkan wewenang profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, dalam SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan output belajar murid masih menjadi “proyek pemerintah sentra” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian jua pada taraf SD pada kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi wewenang dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah sentra mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau menurut hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian berdasarkan tugas pedagogi seseorang pengajar, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” sang birokrasi pendidikan. 

Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yg masih 1/2 hati diserahkan. Sehubungan menggunakan penilaian kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih muncul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan acara peningkatan mutu pendidikan. Sampai waktu ini hasil menurut kebijakan tadi belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menerangkan rona yg lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang sudah dijalankan pada beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah menjadi pengganti BP3.
(tiga) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan pada sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi pada penerimaan siswa baru
(lima) Pemberian bonus pada pengajar-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta donasi alat-alat praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM menjadi contoh pemberian beasiswa pada pengajar buat mengikuti program Pascasarjana. 

Kebijakan swatantra pendidikan dalam konteks swatantra wilayah menjadi berikut, diantaranya: a) Secara general swatantra pendidikan menuju pada upaya mempertinggi mutu pendidikan menjadi jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih menurut 20 tahun bergelut dengan dilema-dilema kuantitas, b) Pada sisi otonomi wilayah, otonomi pendidikan menunjuk dalam menipisnya wewenang pemerintah pusat dan membengkaknya wewenang wilayah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai menggunakan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi warga , c) Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan pada konteks swatantra wilayah pada menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan wilayah otonom serta institusi pendidikan. D) Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar swatantra pendidikan dapat berjalan pada relny, e) Pada taraf persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management pada taraf pedidikan dasar serta menengah; penataan kelembagaan dalam level serta loka yg sebagai faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan, f) Sudah selayaknya jika swatantra pendidikan wajib bergandengan menggunakan kebijakan akuntabiliti terutama yg berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan, g)Pada level pendidikan tinggi, kebijakan swatantra masih permanen berada dalam kerangka otonomi keilmuan, h) Dalam konteks otonomi wilayah, kebijakan swatantra pendidikan tinggi bisa ditempatkan bukan dalam kepentingan daerah semata-semata melainkan pada fenomena bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional, i) Secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, swatantra pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya. (Yoyon, 2000:6) 

Menurut Fransisca Kemmerer pada Ali Muhdi 2007:149, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
a) Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan taraf yang lebih rendah pada jajaran birokrasi sentra.
b) Pendelegasian, yaitu pengalihan wewenang ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara publik
c) Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
d) Swastanisasi, berupa pendelegasian wewenang ke badan bisnis swasta atau perorangan.

Dalam kasus Indonesia, sejauh yang sudah dilakukan nampaknya cenderung mengambil bentuk yg terakhir, swastanisasi.menguatnya aspirasi swatantra serta desentralisasi khususnya pada bidang pendidikan, nir terlepas menurut fenomena adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa pada antara masalah dan kelemahan yg seringkali diangkat dalam konteks ini merupakan:1) Kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik serta serba seragam, yg dalam gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realita warga Indonesia pada berbagai wilayah.2) Kebijakan serta penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian sasaran kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yg efektif serta mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi murid. Proses pembelajaran sangat berorientasi dalam ranah kognitif dengan pendekatan formalisme serta dalam waktu yang sama, cenderung mengabaikan ranah afektif serta psikomotorik.

Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas.
Kebijakan (policy) secar etimologi (asal kata) diturunkan menurut bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang merupakan kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan menggunakan gagasan pengaturan organisasi serta merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sebagai akibatnya dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75). Abidin (2006:17) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yg bersifat generik serta berlaku buat semua anggota warga .kebijakan adalah aturan tertulis yg adalah keputusan formal organisasi, yg bersifat mengikat, yang mengatur prilaku menggunakan tujuan untuk menciptakan rapikan nilai baru pada rakyat. Kebijakan akan menjadi acum utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat pada berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) serta Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan pula mengatur “apa yg boleh, dan apa yang nir boleh”. Kebijakan pula diharapkan bisa bersifat generik tetapi tanpa menghilangkan karakteristik lokal yg khusus. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sinkron kondisi khusus yang terdapat.masih banyak kesalahan pemahaman juga kesalahan konsepsi mengenai kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang maknanya sangat tidak sama dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yg dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah anggaran tertulis output keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (dua) Peraturan Pemerintah, (tiga) Keppres, (4) Kepmen, (lima) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yg dicontohkan disini merupakan bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan dalam kita bahwa ruang lingkup kebijakan bisa bersifat makro, meso, dan mikro. Ali Imron pada bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan adalah keliru satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) menaruh pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) menjadi suatu pertimbangan yang berdasarkan atas system nilai dan beberapa evaluasi atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tadi dijadikan menjadi dasar buat mengopersikan pendidikan yg bersifat melembaga. Pertimbangan tadi merupakan perencanaan yg dijadikan menjadi panduan buat merogoh keputusan, supaya tujuan yg bersifat melembaga sanggup tercapai. 

Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yg ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia nir mampu berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan mampu berubah. Ketika kebijakan politik pada serta luar negeri, kebijakan pendidikan umumnya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri bisa jua mengganti kebijakan yg sudah mapan dalam jamannya. Bukan hal yg aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih jangan lupa dibenak kita terdapat pelajaran PSPB yg secara prinsipil tidak jauh berbeda menggunakan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun pada pelajari pada PMP (kini PKN/PPKN).

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut menggunakan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras sekeras tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini mengambarkan bahwa kesamaan warga dalam masa sekarang tidak selaras dengan masa kemudian. Fasli Jalal dan Dedi Supariadi (2001) menyatakan: Bila di masa kemudian warga cenderung mendapat apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak menggunakan gampang mendapat apa yg diberikan sang pendidikan.

Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak buat memperoleh pendidikan yg lebih baik bagi dirinya serta anak-anaknya. Bagi lembaga-forum pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan rakyat. Caranya merupakan berbagi contoh manajemen pendidikan yg akuntabel. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan: Upaya buat mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang memperhitungkan kebutuhan rakyat, kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yg kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yg mamadai, serta perangkat aturan yang kentara dan dilaksanakan secara konsisten sang institusi pendidikan yg bersangkutan. Empat hal penting yang dikemukakan pada atas membutuhkan proses dan waktu yg tidak singkat. Sebab nir saja diperlukan kemauan namun pula kemampuan buat melaksanakannya. Dalam teori perubahan, orang bisa berubah, jika beliau memiliki kemauan sekaligus kemampuan. Akuntabilitas pendidikan jua mensyaratkan adanya manajemen yg tinggi. 

Di Indonesia telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yg bertumpu pada sekolah serta warga . Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi menurut stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah timbul manajemen berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya krusial: 1) informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan serta hukuman." Empat asal daya ini jika dikelola secara baik akan menaikkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan hasil yang berkualitas. 

Akuntabilitas yang tinggi hanya bisa dicapai menggunakan pengelolaan sumber daya sekolah secara efektif serta efisien. Akuntabilitas nir datang dengan sendiri setelah forum-forum pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang mempunyai kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi serta akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek yang bisa memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, serta akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dipercaya telah memenuhi seluruh persyaratan dan mempunyai kompetensi yg dituntut berhak menerima sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yg dinilai bisa menjamin produk yang bermutu disebut menjadi forum terakreditasi (accredited). 

Lembaga pendidikan yg terakreditasi serta dievaluasi bisa untuk membentuk lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga serta mengklaim mutuya sebagai akibatnya dihargai sang masyarakat merupakan lembaga pendidikan yg akuntable. Institusi pendidikan yg akuntabel merupakan institusi pendidikan yang bisa menjaga mutu keluarannya sehingga bisa diterima oleh rakyat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu forum pula bergantung kepada kemampuan suatu forum pendidikan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan akuntabiltas yg pertama menjadi akuntabilitas kinerja, sementara yang ke 2 sebagai akuntabilitas keuangan. Manajemen Berbasis Sekolah yg diterapkan di Indonesia pula mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik. 

Menurut Slamet (2005:6): MBS wajib dipahami sebagai model hadiah wewenang yg lebih akbar pada sekolah, yang meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah, merogoh keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah wajib bertanggung jawab terhadap apa yg dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan menjadi konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan wewenang yg diberikan pada publik, tentu sebagai tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal serta Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan pada Indonesia poly instituasi pendidikan yang lemah serta nir sedikit institusi pendidikan yg nir akuntabel.

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya lebih akuntabel kepada rakyat dan kecenderungan umum bahwa berita-berita pendidikan seharusnya terbuka sudah membuka ruang bagi buat menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000). Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, pula masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan fundamental pada sistem pendidikan, berita akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen pendidikan dituntut harus bisa mewujudkan akuntabilitas bagi publik. Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), "Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menaruh pertanggung jawaban atau buat menjawab dan menunjukkan kinerja serta tindakan penyelenggara organisasi pada pihak yg mempunyai hak atau kewajiban buat meminta fakta atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias dikaitkan menggunakan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya bisa terjadi apabila ada partisipasi berdasarkan stakeholders sekolah. Semakin mini partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah juga akuntabilitas sekolah.jadi,kalau disimpulkan akuntabilitas merupakan kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh menjadi hasil partisipasi dari stakeholders. 

Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and financial dimensions and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yg terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut tanggung jawab berdasarkan sekolah buat mewujudkannya, tidak saja bagi publik namun pertama-tama wajib dimulai bagi warga sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (anggaran) pengajar mempunyai tanggung jawab bagi murid juga orang tua murid buat mewujudkan proses pembelajaran yg baik. Pendapat Headington memberi tekanan dalam akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, pula pada Negara-negara yg sudah menerapkan MBS, terjadi kekacauan pada memahami MBS, bahwa acapkali aspek pembelajaran dipahami terpisah menggunakan MBS. Apa yg dikatakan sang David Marsh adalah sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS nir dipahami sebagai sebuah inovasi yg terpisah menurut pembelajaran. Jadi, jika Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yg dimotori oleh pengajar, maka sebenarnya ini merupakan bagian hakiki pada penerapan MBS yang tidak boleh diabaikan sang sekolah. 

Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya agama publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi jua terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dipercaya menjadi agen bahkan asal perubahan rakyat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan primer akuntabilitas adalah buat mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah menjadi galat satu syarat buat terciptanya sekolah yang baik serta terpercaya. Penyelenggara sekolah harus tahu bahwa mereka wajib mempertanggung jawabkan output kerja pada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan sang sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam supervisi pelayanan pendidikan dan buat mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan pada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas pada atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir menurut sistem penyelenggaran manajemen sekolah, namun adalah faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru menjadi titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yg berkinerja tinggi. 

1. Pelaksanaan Akuntabilitas dalam MBS. 
Penerapan prinsip akuntabilitas pada penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan swatantra pendidikan yang ditandai dengan anugerah wewenang pada sekolah buat melaksanakan manajemen sinkron menggunakan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tadi, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang merupakan pemberi mandat pendidikan. Oleh lantaran manajemen sekolah semakin dekat menggunakan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas pada pengelolaan merupakan hal yang nir bisa ditunda-tunda. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi wewenang mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak mempunyai peluang melakukan defleksi untuk melakukan korupsi, kongkalikong , serta nepotisme. 

Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga berperan akbar pada memenuhi aneka macam aspek kepentingan rakyat. Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal serta akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut interaksi antara pengelola sekolah menggunakan warga . Sekolah serta orang tua murid. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut interaksi antara sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah menggunakan komite, dan antara ketua sekolah dengan pengajar. Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan semua komponen pengelolaan MBS kepada masyarakat. Komponen pertama yg wajib melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Mengapa, lantaran inti berdasarkan seluruh aplikasi manajemen sekolah merupakan proses belajar mengajar. Dan pihak pertama pada mana pengajar harus bertanggung jawab merupakan anak didik. Pengajar wajib bisa melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar. 

Akuntabilitas pada pedagogi dicermati dari tanggung jawab guru dalam hal menciptakan persiapan, melaksanakan pedagogi, serta mengevaluasi anak didik. Selain itu pada hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan menggunakan murid sebagai penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning. Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, namun pula menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas hasil. Akuntabilitas keuangan bisa diukur dari semakin kecilnya penyimpangan pada pengelolaan keuangan sekolah. Baik asal-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, juga peruntukkannya bisa dipertanggungjawabkan sang pengelola. 

Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari masyarakat sekolah dan rakyat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dianggap. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem namun juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yg baik dan didukung oleh sistem yg baik akan mengklaim pengelolaan keuangan yg higienis, serta jauh berdasarkan praktek korupsi. 

Fakta menyangkut praktek korupsi pada dunia pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) awal tahun 2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah menjamah, mulai dari Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, sampai di sekolah-sekolah. Kenyataan ini sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya diajarkan forum pendidikan kepada anak bangsa, nir saja dari segi intelektual tetapi pula moral. Informasi ini merupakan "tamparan" keras bagi global pendidikan. Oleh karenanya dalam rangka penerapan MBS ini, pengelolaan keuangan sekolah wajib jauh dari praktik korupsi, kongkalikong serta nepotisme. Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, saat sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang sanggup mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yg memiliki taraf efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki taraf efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiens eksternal. 

2. Faktor-Faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS. 
Codd (1999), seseorang ahli kebijakan pendidikan pada Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas ditentukan oleh kesamaan manusia yang mengutamakan kebebasan. Kebebasan yg timbul secara baru (neoliberalisme) ikut menghipnotis ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas. Menurutnya Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya memiliki ciri yg tidak sinkron, ini disebabkan sang karena titik tolak kedunya tidak sinkron. Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal berdasarkan pada tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh karena pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini tidak sinkron, maka hal-hal yang diperlihatkanpun tidak sinkron. Misalnya, akuntabilitas eksternal mempunyai agama yang rendah, sedangkan pada akuntabilitas internal justru kebalikannya memiliki kepercayaan yang tinggi. Selanjutnya berdasarkan segi tanggung jawab, dalam akuntabilitas eksternal terdapat kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan. 

Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas eksternal terikat dalam kontrak, sedangkan akuntabilitas internal menekankan dalam komitmen, loyalitas, rasa mempunyai, serta kecakapan. Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal pada pelaporan serta perekaman buat manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal akuntabel banyak konstituen. Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal kiprah moral tinggi sehingga pertimbangannya matang serta mempunyai kebebasan untuk bertindak. Kedua jenis akuntabilitas pada atas mempunyai pendasaran yg sangat tidak sinkron. Kalau akuntabilitas eksternal impak faktor luar sangat besar , di sisi lain faktor pada sangat lemah. Sebaliknya dalam akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih bertenaga ketimbang faktor luar. Kekuatannya terletak dalam motivasi dan komitmen individu buat melaksanakan akuntabilitas organisasi. 

Akuntabilitas dan Faktor nilai-budaya Sekolah menjadi tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan menjadi pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang berdasarkan aneka macam latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai serta budaya eksklusif. Nilai-nilai serta budaya tadi potensial buat mendukung penyelenggaraan manajemen sekolah yg akuntabel, tetapi jua sebaliknya sanggup menjadi penghambat. Dalam sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan: Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same time not discriminating. Artinya, keberagaman energi kerja memiliki akibat penting dalam praktik manajemen. 

Para manejer wajib mengganti filosofi mereka menurut memperlakukan setiap orang dengan cara yg sama menjadi mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yg tidak selaras menggunakan cara-cara yang menjamin kesetiaan karyawan serta peningkatan produktifitas sementara, dalam ketika yg sama, tidak melakukan subordinat. Apa yg dikemukakan Robins berangkat berdasarkan asumsi akan perbedaan nilai dan budaya berdasarkan setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai yg bisa mendukung nilai-nilai organisasi, namun terdapat jua yang sebaliknya. Dalam konteks ini, diperlukan kiprah pemimpin buat dapat mengelolanya. 

Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi bisa mendukungnya? Menjadi tantangan, sang karena latar belakang tadi. Jadi, faktor yg mempengaruhi akuntabilitas terletak pada 2 hal, yakni faktor sistem dan faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yg dianutnya mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan adalah produk dari masyarakat dengan budaya eksklusif. 

3.upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas pada MBS. 
Bagaimanapun juga pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yg tinggi, sang karenanya perlu ada upaya konkret sekolah buat mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah buat peningkatan akuntabilitas: Pertama, sekolah harus menyusun anggaran main tentang sistem akuntabilitas termasuk prosedur pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun panduan tingkah laris serta sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah serta sistem pengawasan dengan hukuman yang jelas serta tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah serta mengungkapkan pada publik/stakeholders pada awal setiap tahun aturan. Keempat, menyusun indikator yg kentara mengenai pengukuran kinerja sekolah serta disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan mengungkapkan hasilnya kepada publik/stakeholders diakhir tahun. Keenam, menaruh tanggapan terhadap pertanyaan serta pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan warta kegiatan sekolah kepada publik yg akan memperoleh pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai konvensi komitmen baru. Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan serta kemauan sekolah buat mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sehingga bisa digerakan buat mewujudkan serta menaikkan akuntabilitas. 

Sekolah dapat melibatkan stakeholders buat menyusun serta memperbaharui sistem yg dianggap nir dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua anak didik, grup profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan buat melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders semenjak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang terdapat. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas pada manajemen berbasis sekolah, bisa ditinjau pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas merupakan: 
1. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah. 
2. Tumbuhnya pencerahan publik tentang hak buat menilai terhadap penyelenggaraanpendidikan di sekolah
3. Meningkatnya kesesuaian aktivitas-aktivitas sekolah menggunakan nilai dan kebiasaan yg berkembang pada warga . 

Ketiga indikator di atas bisa dipakai sang sekolah buat mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah sudah mencapai hasil sebagaiamana yg dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, namun sekolah akan mengalami peningkatan pada poly hal sebagai akibatnya agama masyarakat akan kinerja sekolah sebagai lebih tinggi dan dengan sendirinya partsipasi bertambah.