PENJELASAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Penjelasan Desentralisasi Pendidikan 
Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dalam hakekatnya memberi wewenang dan keleluasaan kepada pemerintah daerah buat mengatur dan mengurus kepentingan warga setempat menurut prakarsa sendiri dari aspirasi warga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan pada daerah kabupaten dan kota dari azas desentralisasi pada wujud swatantra luas, konkret serta bertanggung jawab.

Berkaitan dengan aspirasi warga , ditegaskan juga bahwa wilayah dibuat menurut kehendak masyarakat setempat menggunakan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah dan berbagai kondisi lain yang memungkinkan wilayah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal lima ayat 1 serta Pasal 7 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004).

Dipertegas juga “Bahwa bidang pendidikan adalah bidang yg termasuk pada garapan kewenangan wilayah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah sentra yang dikenal menggunakan desentralisasi pendidikan”.

Selanjutnya Burhanuddin (1998 : 117) “Sistem Sentralisasi atau desentralisasi pada penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi eksklusif terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional dan manajemen pendidikan. Bidang-bidang yang terkait eksklusif dengan sistem tadi merupakan kebijaksanaan, supervisi, mutu serta asal dana pendidikan”.

Pendelegasian mampu berarti penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, atau berdasarkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau menurut unit ke unit dibawahnya, termasuk pula berdasarkan pemerintah ke rakyat. Salah satu wujud desentralisasi yg dimaksud merupakan terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan merumuskan, tetapkan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yg jangkauannya bersifat nasional. Lantaran itu tidak semua wewenang dapat didesentralisasikan.

Kalster (2000 : 11), mengungkapkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam bentuk School Base community, diyakini dapat menaikkan efisiensi, relevansi. Pemerataan dan mutu pendidikan serta memenuhi azas keadilan serta demokrasi. Hasil studinya menunjukkan bahwa terdapat potensi yg memungkinkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

Pemberdayaan sekolah dengan menaruh otonomi lebih besar , pada samping memperlihatkan sikap tanggap, pemerintah terhadap tuntutan warga jua dapat ditunjukkan menjadi wahana peningkatan efesiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Penekanan tersebut berubah dari ketika ke ketika sesuai menggunakan konflik yang dihadapi oleh pemerintah Misalnya krisis ekonomi yang tidak dapat dihindari dampaknya terhadap pendidikan, terutamanya berkurangnya penyediaan dana yg relatif buat pendidikan serta menurunnya kemampuan menjadi orang tua buat membiayai pendidikan anaknya. Kondisi tersebut secara pribadi menyebabkan menurunnya mutu pendidikan dan terganggunya proses pemerataan. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sekolah, pemerintah akan terbantu dalam control juga pembiayaan sebagai akibatnya bisa lebih berkonsentrasi dalam masyarakat kurang sanggup yg semakin bertambah jumlahnya. Di samping itu, berkurangnya lapisan birokrasi dalam prinsip desentralisasi pula mendukung efesiensi tadi, keterlibatan ketua sekolah, serta guru pada pengambilan keputusan sekolah yang dalam akhirnya mendorong mereka untuk memakai sumber daya yang ada seefesien mungkin buat mencapai output yg optimal.

Pemberian swatantra yg luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap tanda-tanda-tanda-tanda yg timbul di rakyat dan upaya peningkatan mutu pendidikan secara generik. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah supaya dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan aneka macam komponen rakyat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada pada sekolah. Dengan landasan tadi, pemerintah mencoba buat menerapkan desentralisasi pendidikan menjadi solusi. Selain hal tersebut diatas, terdapat beberapa faktor yang mendorong penerapan desentralisasi. Pertama, tuntutan orang tua, grup rakyat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru buat turut dan mengontrol sekolah serta menilai kualitas pendidikan. Kedua, asumsi bahwa struktur pendidikan yang terpusat nir dapat bekerja dengan baik dalam menaikkan partisipasi murid bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yg terdapat buat merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat serta rakyat yang majemuk. Keempat, penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam memperoleh donasi dan pendanaan. (Umiarso serta Imam Gojali,2010:47-48)

Dengan demikian, misi primer desentralisasi pendidikan merupakan menaikkan partisipasi masyarakat pada penyelenggaran pendidikan, menaikkan eksploitasi potensi wilayah, dan terciptanya infrastruktur kedaerahan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yg relevan dengan tuntutan zaman, seperti terserapnya konsep globalisasi, humanisasi dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi pendidikan dilakukan menggunakan mengikut sertakan unsur-unsur pemerintah setempat, rakyat, dan orang tua pada interaksi kemitraan serta menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai kebutuhan lingkungan. Selain itu, pengembangan kurikulum pula wajib sanggup berbagi kebudayaan daerah pada rangka memajukan kebudayaan nasional. Pada tataran ini, desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu manajemen berbasis sekolah, pendelegasian wewenang, serta inovasi pendidikan.

Hal yang menarik adalah desentralisasi pendidikan akan berimplikasi dalam tataran global baru pendidikan yang lebih humanis. Artinya. Ada ruang-ruang dalam pendidikan buat menciptakan peserta didik supaya lebih mengerti dan berbakti buat kepentingan serta kesejahteraan beserta menggunakan landasan kearifan lingkungan. Dengan asas tadi, tercipta juga kearifan ekologi yg merupakan butir berdasarkan inovasi kurikulum berbasis lingkungan atau warga .

Pertanyaan terpenting mengenai arah desentralisasi pendidikan adalah sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi wewenang yg lebih akbar memilih kebijakan-kebijakan mengenai organisasi serta proses belajar mengajar, manajemen guru, struktur serta perencanaan pada taraf sekolah, serta sumber-asal pendanaan sekolah. Desentralisasi pendidikan yg efektif nir hanya melibatkan proses hadiah kewenagan serta pendanaan yang lebih akbar dari pusat ke wilayah, namun jua meliputi pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sebagai akibatnya mereka dapat merencanakan proses belajar megajar dan pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masingt-masing sekolah. Oleh karena itu pada desentralisasi pendidikan ada target primer progaram restrukturisasi sistem serta manajemen pendidikan di indonesia. Restrukturisasi tersebut hendaknya meliputi hal-hal berikut:
(a) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan bergerak maju, serta mencerminkan desentralisasi serta pemberdayaan warga pada penyelenggaraan pendidikan.
(b) Sarana pendidikan serta fasilitas pembelajaran dibakukan menurut prinsif edukatif sehingga forum pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan buat belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga, serta menjalankan syariat agama.
(c) Tenaga pendidikan terutama tenaga pengajar wajib melalui proses seleksi sejak memasuki LPTK disertai sistem tunjangan ikatan dinas serta harus mengajar.
(d) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu dalam penerapan sistem pembelajaran tuntas, nir terikat dalam penyelesaian sasaran kurikulum secara seragam persemester dan tujuan ajaran.
(e) Proses pembelajaran tuntas diterapkan menggunakan aneka macam modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sinkron dengan taraf kesulitan konsep-konsep dasar yg dipelajari.
(f) Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap forum pendidikan sebagi konsekuensi menurut aplikasi pembelajaran tuntas.
(g) Kegiatan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pelatihan administrasi dan akademis dilakukan oleh unsur manajemen taraf sentra serta provinsi bertujuan buat pengendalian mutu, sedangkan akreditasi dilakukan buat menjamin mutu pelayanan kelembagaan.
(h) Pendidikan berbasis masyarakat, seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan serta pemagangan di tempat kerja pada rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional.
i) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost serta subsidi pendidikan wajib berdasarkan dalam bobot penyelenggaraan pendidikan yg memperhatikan jumlah siswa, kesulitan komunikasi, taraf kesejahteraan rakyat, tingkat partisipasi pendidikan, serta kontribusi rakyat terhadap pendidikan pada setiap sekolah. 

Berdasarkan hal tadi pada atas, maka pergeseran sistem penyelenggaraan pendidikan yg menaruh kewenangan lebih poly kepada daerah kabupaten serta kota pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan bisa berjalan lebih efektif serta efisien. Pemangkasan mekanisme sistem birokrasi yang berbelit-belit yg terpusat secara sentralistik telah poly membuang biaya serta saat sampai datang pada tahap target pendidikan yang sesungguhnya misalnya perbaikan kualitas serta personil pendidikan sekolah serta peserta didik di daerah. Maka Di era swatantra wilayah kebijakan strategis yg diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar serta Menengah merupakan : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan dalam sekolah buat merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara holistik; (dua) Pendidikan yg berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) supaya terjadi hubungan yg positif antara sekolah dengan warga , sekolah sebagai community learning centre; serta (tiga) Dengan memakai paradigma belajar atau learning paradigma yg akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner sebagai insan yg diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yg memberi pembekalan kepada pelajar buat siap bekerja menciptakan keluarga sejahtera. 

Dengan pendekatan itu setiap anak didik diperlukan akan menerima pembekalan life skills yg berisi pemahaman yg luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya supaya akrab serta saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya bisa memperoleh masukan baru berdasarkan manusia yg mencintainya, serta lingkungannya dapat menaruh topangan hayati yg mengantarkan insan yg mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat. Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) pada menaruh perhatian serta kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yg keanggotaannya bukan hanya orangtua murid yg belajar di sekolah tadi, namun mengikutsertakan pula guru, anak didik, tokoh warga serta pemerintahan di kurang lebih sekolah, serta bahkan pengusaha.

Tujuan program MBS pada antaranya menuntut sekolah agar bisa menaikkan kualitas penyelenggaraan serta layanan pendidikan (quality insurance) yg disusun secara beserta-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan pada sekolah tadi, melainkan membantu jua mengawasi serta mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu pada antaranya, diharapkan bisa memutuskan Rencana Anggaran Pendapatan serta Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi berdasarkan ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua anak didik buat membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.

Sebetulnya,semenjak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-asal pendanaan pendidikan, baik menjadi dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun buat peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk juga buat peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (Sekolah Dasar/MI serta Sekolah Menengah pertama/MTs) yang telah mulai mengagumkan ini terhapus pulang sang program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai keliru satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sebagai akibatnya bisa membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Tetapi, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian warga terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun pada MBS. Dari hal pada atas, dalam beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menduga misalnya halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran bila poly sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan sang komite sekolah, sembari berharap tiba oleh penyelamat, yaitu pemerintah. 

Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa kasus. Pengelolaan pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi wewenang kepala sekolah. Demikian juga, penyelenggaraan pendidikan pada kelas memang seluruhnya wajib sebagai wewenang pengajar. Berdasarkan wewenang profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, dalam SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan output belajar murid masih menjadi “proyek pemerintah sentra” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian jua pada taraf SD pada kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi wewenang dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah sentra mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau menurut hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian berdasarkan tugas pedagogi seseorang pengajar, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” sang birokrasi pendidikan. 

Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yg masih 1/2 hati diserahkan. Sehubungan menggunakan penilaian kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih muncul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan acara peningkatan mutu pendidikan. Sampai waktu ini hasil menurut kebijakan tadi belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menerangkan rona yg lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang sudah dijalankan pada beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah menjadi pengganti BP3.
(tiga) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan pada sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi pada penerimaan siswa baru
(lima) Pemberian bonus pada pengajar-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta donasi alat-alat praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM menjadi contoh pemberian beasiswa pada pengajar buat mengikuti program Pascasarjana. 

Kebijakan swatantra pendidikan dalam konteks swatantra wilayah menjadi berikut, diantaranya: a) Secara general swatantra pendidikan menuju pada upaya mempertinggi mutu pendidikan menjadi jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih menurut 20 tahun bergelut dengan dilema-dilema kuantitas, b) Pada sisi otonomi wilayah, otonomi pendidikan menunjuk dalam menipisnya wewenang pemerintah pusat dan membengkaknya wewenang wilayah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai menggunakan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi warga , c) Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan pada konteks swatantra wilayah pada menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan wilayah otonom serta institusi pendidikan. D) Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar swatantra pendidikan dapat berjalan pada relny, e) Pada taraf persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management pada taraf pedidikan dasar serta menengah; penataan kelembagaan dalam level serta loka yg sebagai faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan, f) Sudah selayaknya jika swatantra pendidikan wajib bergandengan menggunakan kebijakan akuntabiliti terutama yg berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan, g)Pada level pendidikan tinggi, kebijakan swatantra masih permanen berada dalam kerangka otonomi keilmuan, h) Dalam konteks otonomi wilayah, kebijakan swatantra pendidikan tinggi bisa ditempatkan bukan dalam kepentingan daerah semata-semata melainkan pada fenomena bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional, i) Secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, swatantra pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya. (Yoyon, 2000:6) 

Menurut Fransisca Kemmerer pada Ali Muhdi 2007:149, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
a) Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan taraf yang lebih rendah pada jajaran birokrasi sentra.
b) Pendelegasian, yaitu pengalihan wewenang ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara publik
c) Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
d) Swastanisasi, berupa pendelegasian wewenang ke badan bisnis swasta atau perorangan.

Dalam kasus Indonesia, sejauh yang sudah dilakukan nampaknya cenderung mengambil bentuk yg terakhir, swastanisasi.menguatnya aspirasi swatantra serta desentralisasi khususnya pada bidang pendidikan, nir terlepas menurut fenomena adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa pada antara masalah dan kelemahan yg seringkali diangkat dalam konteks ini merupakan:1) Kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik serta serba seragam, yg dalam gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realita warga Indonesia pada berbagai wilayah.2) Kebijakan serta penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian sasaran kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yg efektif serta mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi murid. Proses pembelajaran sangat berorientasi dalam ranah kognitif dengan pendekatan formalisme serta dalam waktu yang sama, cenderung mengabaikan ranah afektif serta psikomotorik.

Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas.
Kebijakan (policy) secar etimologi (asal kata) diturunkan menurut bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang merupakan kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan menggunakan gagasan pengaturan organisasi serta merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sebagai akibatnya dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75). Abidin (2006:17) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yg bersifat generik serta berlaku buat semua anggota warga .kebijakan adalah aturan tertulis yg adalah keputusan formal organisasi, yg bersifat mengikat, yang mengatur prilaku menggunakan tujuan untuk menciptakan rapikan nilai baru pada rakyat. Kebijakan akan menjadi acum utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat pada berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) serta Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan pula mengatur “apa yg boleh, dan apa yang nir boleh”. Kebijakan pula diharapkan bisa bersifat generik tetapi tanpa menghilangkan karakteristik lokal yg khusus. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sinkron kondisi khusus yang terdapat.masih banyak kesalahan pemahaman juga kesalahan konsepsi mengenai kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang maknanya sangat tidak sama dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yg dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah anggaran tertulis output keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (dua) Peraturan Pemerintah, (tiga) Keppres, (4) Kepmen, (lima) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yg dicontohkan disini merupakan bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan dalam kita bahwa ruang lingkup kebijakan bisa bersifat makro, meso, dan mikro. Ali Imron pada bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan adalah keliru satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) menaruh pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) menjadi suatu pertimbangan yang berdasarkan atas system nilai dan beberapa evaluasi atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tadi dijadikan menjadi dasar buat mengopersikan pendidikan yg bersifat melembaga. Pertimbangan tadi merupakan perencanaan yg dijadikan menjadi panduan buat merogoh keputusan, supaya tujuan yg bersifat melembaga sanggup tercapai. 

Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yg ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia nir mampu berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan mampu berubah. Ketika kebijakan politik pada serta luar negeri, kebijakan pendidikan umumnya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri bisa jua mengganti kebijakan yg sudah mapan dalam jamannya. Bukan hal yg aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih jangan lupa dibenak kita terdapat pelajaran PSPB yg secara prinsipil tidak jauh berbeda menggunakan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun pada pelajari pada PMP (kini PKN/PPKN).

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut menggunakan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras sekeras tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini mengambarkan bahwa kesamaan warga dalam masa sekarang tidak selaras dengan masa kemudian. Fasli Jalal dan Dedi Supariadi (2001) menyatakan: Bila di masa kemudian warga cenderung mendapat apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak menggunakan gampang mendapat apa yg diberikan sang pendidikan.

Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak buat memperoleh pendidikan yg lebih baik bagi dirinya serta anak-anaknya. Bagi lembaga-forum pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan rakyat. Caranya merupakan berbagi contoh manajemen pendidikan yg akuntabel. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan: Upaya buat mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang memperhitungkan kebutuhan rakyat, kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yg kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yg mamadai, serta perangkat aturan yang kentara dan dilaksanakan secara konsisten sang institusi pendidikan yg bersangkutan. Empat hal penting yang dikemukakan pada atas membutuhkan proses dan waktu yg tidak singkat. Sebab nir saja diperlukan kemauan namun pula kemampuan buat melaksanakannya. Dalam teori perubahan, orang bisa berubah, jika beliau memiliki kemauan sekaligus kemampuan. Akuntabilitas pendidikan jua mensyaratkan adanya manajemen yg tinggi. 

Di Indonesia telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yg bertumpu pada sekolah serta warga . Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi menurut stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah timbul manajemen berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya krusial: 1) informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan serta hukuman." Empat asal daya ini jika dikelola secara baik akan menaikkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan hasil yang berkualitas. 

Akuntabilitas yang tinggi hanya bisa dicapai menggunakan pengelolaan sumber daya sekolah secara efektif serta efisien. Akuntabilitas nir datang dengan sendiri setelah forum-forum pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang mempunyai kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi serta akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek yang bisa memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, serta akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dipercaya telah memenuhi seluruh persyaratan dan mempunyai kompetensi yg dituntut berhak menerima sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yg dinilai bisa menjamin produk yang bermutu disebut menjadi forum terakreditasi (accredited). 

Lembaga pendidikan yg terakreditasi serta dievaluasi bisa untuk membentuk lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga serta mengklaim mutuya sebagai akibatnya dihargai sang masyarakat merupakan lembaga pendidikan yg akuntable. Institusi pendidikan yg akuntabel merupakan institusi pendidikan yang bisa menjaga mutu keluarannya sehingga bisa diterima oleh rakyat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu forum pula bergantung kepada kemampuan suatu forum pendidikan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan akuntabiltas yg pertama menjadi akuntabilitas kinerja, sementara yang ke 2 sebagai akuntabilitas keuangan. Manajemen Berbasis Sekolah yg diterapkan di Indonesia pula mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik. 

Menurut Slamet (2005:6): MBS wajib dipahami sebagai model hadiah wewenang yg lebih akbar pada sekolah, yang meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah, merogoh keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah wajib bertanggung jawab terhadap apa yg dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan menjadi konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan wewenang yg diberikan pada publik, tentu sebagai tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal serta Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan pada Indonesia poly instituasi pendidikan yang lemah serta nir sedikit institusi pendidikan yg nir akuntabel.

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya lebih akuntabel kepada rakyat dan kecenderungan umum bahwa berita-berita pendidikan seharusnya terbuka sudah membuka ruang bagi buat menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000). Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, pula masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan fundamental pada sistem pendidikan, berita akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen pendidikan dituntut harus bisa mewujudkan akuntabilitas bagi publik. Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), "Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menaruh pertanggung jawaban atau buat menjawab dan menunjukkan kinerja serta tindakan penyelenggara organisasi pada pihak yg mempunyai hak atau kewajiban buat meminta fakta atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias dikaitkan menggunakan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya bisa terjadi apabila ada partisipasi berdasarkan stakeholders sekolah. Semakin mini partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah juga akuntabilitas sekolah.jadi,kalau disimpulkan akuntabilitas merupakan kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh menjadi hasil partisipasi dari stakeholders. 

Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and financial dimensions and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yg terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut tanggung jawab berdasarkan sekolah buat mewujudkannya, tidak saja bagi publik namun pertama-tama wajib dimulai bagi warga sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (anggaran) pengajar mempunyai tanggung jawab bagi murid juga orang tua murid buat mewujudkan proses pembelajaran yg baik. Pendapat Headington memberi tekanan dalam akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, pula pada Negara-negara yg sudah menerapkan MBS, terjadi kekacauan pada memahami MBS, bahwa acapkali aspek pembelajaran dipahami terpisah menggunakan MBS. Apa yg dikatakan sang David Marsh adalah sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS nir dipahami sebagai sebuah inovasi yg terpisah menurut pembelajaran. Jadi, jika Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yg dimotori oleh pengajar, maka sebenarnya ini merupakan bagian hakiki pada penerapan MBS yang tidak boleh diabaikan sang sekolah. 

Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya agama publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi jua terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dipercaya menjadi agen bahkan asal perubahan rakyat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan primer akuntabilitas adalah buat mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah menjadi galat satu syarat buat terciptanya sekolah yang baik serta terpercaya. Penyelenggara sekolah harus tahu bahwa mereka wajib mempertanggung jawabkan output kerja pada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan sang sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam supervisi pelayanan pendidikan dan buat mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan pada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas pada atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir menurut sistem penyelenggaran manajemen sekolah, namun adalah faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru menjadi titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yg berkinerja tinggi. 

1. Pelaksanaan Akuntabilitas dalam MBS. 
Penerapan prinsip akuntabilitas pada penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan swatantra pendidikan yang ditandai dengan anugerah wewenang pada sekolah buat melaksanakan manajemen sinkron menggunakan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tadi, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang merupakan pemberi mandat pendidikan. Oleh lantaran manajemen sekolah semakin dekat menggunakan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas pada pengelolaan merupakan hal yang nir bisa ditunda-tunda. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi wewenang mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak mempunyai peluang melakukan defleksi untuk melakukan korupsi, kongkalikong , serta nepotisme. 

Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga berperan akbar pada memenuhi aneka macam aspek kepentingan rakyat. Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal serta akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut interaksi antara pengelola sekolah menggunakan warga . Sekolah serta orang tua murid. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut interaksi antara sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah menggunakan komite, dan antara ketua sekolah dengan pengajar. Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan semua komponen pengelolaan MBS kepada masyarakat. Komponen pertama yg wajib melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Mengapa, lantaran inti berdasarkan seluruh aplikasi manajemen sekolah merupakan proses belajar mengajar. Dan pihak pertama pada mana pengajar harus bertanggung jawab merupakan anak didik. Pengajar wajib bisa melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar. 

Akuntabilitas pada pedagogi dicermati dari tanggung jawab guru dalam hal menciptakan persiapan, melaksanakan pedagogi, serta mengevaluasi anak didik. Selain itu pada hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan menggunakan murid sebagai penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning. Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, namun pula menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas hasil. Akuntabilitas keuangan bisa diukur dari semakin kecilnya penyimpangan pada pengelolaan keuangan sekolah. Baik asal-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, juga peruntukkannya bisa dipertanggungjawabkan sang pengelola. 

Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari masyarakat sekolah dan rakyat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dianggap. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem namun juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yg baik dan didukung oleh sistem yg baik akan mengklaim pengelolaan keuangan yg higienis, serta jauh berdasarkan praktek korupsi. 

Fakta menyangkut praktek korupsi pada dunia pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) awal tahun 2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah menjamah, mulai dari Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, sampai di sekolah-sekolah. Kenyataan ini sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya diajarkan forum pendidikan kepada anak bangsa, nir saja dari segi intelektual tetapi pula moral. Informasi ini merupakan "tamparan" keras bagi global pendidikan. Oleh karenanya dalam rangka penerapan MBS ini, pengelolaan keuangan sekolah wajib jauh dari praktik korupsi, kongkalikong serta nepotisme. Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, saat sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang sanggup mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yg memiliki taraf efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki taraf efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiens eksternal. 

2. Faktor-Faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS. 
Codd (1999), seseorang ahli kebijakan pendidikan pada Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas ditentukan oleh kesamaan manusia yang mengutamakan kebebasan. Kebebasan yg timbul secara baru (neoliberalisme) ikut menghipnotis ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas. Menurutnya Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya memiliki ciri yg tidak sinkron, ini disebabkan sang karena titik tolak kedunya tidak sinkron. Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal berdasarkan pada tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh karena pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini tidak sinkron, maka hal-hal yang diperlihatkanpun tidak sinkron. Misalnya, akuntabilitas eksternal mempunyai agama yang rendah, sedangkan pada akuntabilitas internal justru kebalikannya memiliki kepercayaan yang tinggi. Selanjutnya berdasarkan segi tanggung jawab, dalam akuntabilitas eksternal terdapat kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan. 

Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas eksternal terikat dalam kontrak, sedangkan akuntabilitas internal menekankan dalam komitmen, loyalitas, rasa mempunyai, serta kecakapan. Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal pada pelaporan serta perekaman buat manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal akuntabel banyak konstituen. Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal kiprah moral tinggi sehingga pertimbangannya matang serta mempunyai kebebasan untuk bertindak. Kedua jenis akuntabilitas pada atas mempunyai pendasaran yg sangat tidak sinkron. Kalau akuntabilitas eksternal impak faktor luar sangat besar , di sisi lain faktor pada sangat lemah. Sebaliknya dalam akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih bertenaga ketimbang faktor luar. Kekuatannya terletak dalam motivasi dan komitmen individu buat melaksanakan akuntabilitas organisasi. 

Akuntabilitas dan Faktor nilai-budaya Sekolah menjadi tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan menjadi pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang berdasarkan aneka macam latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai serta budaya eksklusif. Nilai-nilai serta budaya tadi potensial buat mendukung penyelenggaraan manajemen sekolah yg akuntabel, tetapi jua sebaliknya sanggup menjadi penghambat. Dalam sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan: Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same time not discriminating. Artinya, keberagaman energi kerja memiliki akibat penting dalam praktik manajemen. 

Para manejer wajib mengganti filosofi mereka menurut memperlakukan setiap orang dengan cara yg sama menjadi mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yg tidak selaras menggunakan cara-cara yang menjamin kesetiaan karyawan serta peningkatan produktifitas sementara, dalam ketika yg sama, tidak melakukan subordinat. Apa yg dikemukakan Robins berangkat berdasarkan asumsi akan perbedaan nilai dan budaya berdasarkan setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai yg bisa mendukung nilai-nilai organisasi, namun terdapat jua yang sebaliknya. Dalam konteks ini, diperlukan kiprah pemimpin buat dapat mengelolanya. 

Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi bisa mendukungnya? Menjadi tantangan, sang karena latar belakang tadi. Jadi, faktor yg mempengaruhi akuntabilitas terletak pada 2 hal, yakni faktor sistem dan faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yg dianutnya mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan adalah produk dari masyarakat dengan budaya eksklusif. 

3.upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas pada MBS. 
Bagaimanapun juga pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yg tinggi, sang karenanya perlu ada upaya konkret sekolah buat mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah buat peningkatan akuntabilitas: Pertama, sekolah harus menyusun anggaran main tentang sistem akuntabilitas termasuk prosedur pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun panduan tingkah laris serta sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah serta sistem pengawasan dengan hukuman yang jelas serta tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah serta mengungkapkan pada publik/stakeholders pada awal setiap tahun aturan. Keempat, menyusun indikator yg kentara mengenai pengukuran kinerja sekolah serta disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan mengungkapkan hasilnya kepada publik/stakeholders diakhir tahun. Keenam, menaruh tanggapan terhadap pertanyaan serta pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan warta kegiatan sekolah kepada publik yg akan memperoleh pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai konvensi komitmen baru. Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan serta kemauan sekolah buat mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sehingga bisa digerakan buat mewujudkan serta menaikkan akuntabilitas. 

Sekolah dapat melibatkan stakeholders buat menyusun serta memperbaharui sistem yg dianggap nir dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua anak didik, grup profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan buat melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders semenjak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang terdapat. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas pada manajemen berbasis sekolah, bisa ditinjau pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas merupakan: 
1. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah. 
2. Tumbuhnya pencerahan publik tentang hak buat menilai terhadap penyelenggaraanpendidikan di sekolah
3. Meningkatnya kesesuaian aktivitas-aktivitas sekolah menggunakan nilai dan kebiasaan yg berkembang pada warga . 

Ketiga indikator di atas bisa dipakai sang sekolah buat mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah sudah mencapai hasil sebagaiamana yg dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, namun sekolah akan mengalami peningkatan pada poly hal sebagai akibatnya agama masyarakat akan kinerja sekolah sebagai lebih tinggi dan dengan sendirinya partsipasi bertambah.

Comments