ADMINISTRASI PEMBANGUNAN BATASBATAS STRATEGI PEMBANGUNAN KEBIJAKAN DAN PEMBAHARUAN ADMINISTRASI

Administrasi Pembangunan (Batas-Batas, Strategi Pembangunan Kebijakan Dan Pembaharuan Administrasi)
Di tengah-tengah semakin berat dan kompleks tantangan bangsa Indonesia menghadapi era dunia ketika ini, mengedepankan pembaharuan, pemikiran-pemikiran yang inovatif dan produktif pada lembaga pemerintah baik pusat serta daerah adalah langkah dan perilaku yang sempurna serta patut menerima dukungan dari semua komponen rakyat. Dengan istilah lain “Reformasi Administrasi” di Indonesia wajib sesegera mungkin sebagai pilihan para penyelenggara pemerintahan baik sentra juga daerah guna mewujudkan good governance, pemerintahan yg higienis, sehat, dan berwibawa.

Pemerintahan Daerah Provinsi, pada hal ini gubernur menjadi kepala pemerintah daerah sangatlah dekat menggunakan politik serta administrasi publik. Terlebih lagi pada sistem pemilihan ketua wilayah secara pribadi misalnya sekarang, kedekatan kepala daerah dalam aspek politik semakin kuat, selain posisinya sebagai penanggung jawab administrasi dan manajemen pemerintahan wilayah. Oleh karenanya pemikiran teoretis serta simpel sebagai gubernur pada menerapkan pendekatan-pendekatan baru pada administrasi publik.

Gubernur dituntut dapat memadukan secara harmonis demokrasi administrasi publik. Hal ini adalah tantangan yang besar , lantaran misalnya yg dikatakan sang Kenneth J. Meier serta Laurence O’Toole Jr (2006), bahwa one of the most important and persisting challenges of terkini government is how to reconcile the demans of democracy with the imperatives of bureaucracy.

Pada tahun 1980-an berbagai pemikiran ada buat memperbarui birokrasi dan menyesuaikannya dengan perkembangan teknologi –khususnya teknologi informasi- serta ekonomi –khususnya globalisasi- yang sangat mengurangi kiprah negara dan makin menonjolkan kiprah dunia usaha, serta menempatkan persaingan sebagai credo yang utama. Lahirlah kata-istilah “hollowing out of the state” serta sebagainya. Maka berkembanglah pemikiran-pemikiran yg berpengaruh pada perkembangan konsep administrasi public selanjutnya, yaitu Reinventing Government (Osborn dan Gaebler 1992) serta New Public Management (Hood 1989).

Gagasan NPM pada dasarnya ingin “membebaskan” para manajer publik dari kekangan aturan-anggaran birokratik dan kontrol administrasi sebagai akibatnya dapat menjalankan tugas dengan leluasa. Seperti halnya manajer di sektor swasta para manajer publik mendapat imbalan bila sukses dan hukuman bila gagal. Dengan cara demikian maka manajer publik bisa memanfaatkan semua potensi dan kompetensi yang dimiliki guna menghasilkan secara maksimal produk, baik barang maupun jasa buat layanan publik. Perspektif primer dari pandangan NPM ini merupakan warga negara atau warga dicermati atau diperlakukan sebagai konsumen yang mempunyai nalar, pikiran, kehendak, serta pilihan atau rational-choice, nir tidak sama menggunakan pendekatan public-choice dalam disiplin ilmu ekonomi. Dan tidak lagi menjadi entitas yang pasif (lapang dada saja) Maka dalam sistem ini terkandung juga nilai demokrasi dalam administrasi publik.

Di dalam doktrin NPM, pemerintah dianjurkan buat meninggalkan kerangka berpikir administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi dalam kinerja atau output kerja. Pemerintah jua dianjurkan buat melepaskan diri menurut birokrasi klasik dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan tetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih kentara sebagai akibatnya memungkinkan pengukuran output. Di samping itu, pemerintah juga diharapkan menerapkan sistem desentralisasi, memberi perhatian dalam pasar, melibatkan sektor partikelir serta melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Dalam perkembangannya, NPM dipercaya menjadi liberation –yaitu upaya pembebasan manajemen publik berdasarkan kungkungan konservativisme administrasi klasik menggunakan memasukkan prinsip-prinsip sektor privat ke pada sektor publik (Golembiewski, 2003). Lebih menarik lagi, bahwa NPM dilihat menjadi gugusan pandangan baru-inspirasi serta praktik yg berupaya menggunakan pendekatan sektor partikelir serta bisnis ke pada sektor publik (Denhardt & Denhardt, 2003).

David Osborn dan Ted Gaebler (1993) menekankan sine qua non upaya buat mentransformasikan entrepreuneurial spirit, lantaran waktu sumber daya semakin langka, pemerintah harus berubah berdasarkan bureaucratic model ke entrepreuneurial contoh. Oleh karenanya, pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi dalam jiwa serta semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru di tubuh pemerintah dapat dianggap menjadi manajemen kewirausahaan.

Dampak dari aplikasi model NPM ini mulai terasa tidak saja pada negara maju, tetapi juga di negara-negara sedang berkembang misalnya penerapan lima (5) prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi, (2) privatisasi, (3) downsizing, (4) debirokratisasi, dan (5) manajerialisme (Vigoda, 2003).

A. Reformasi Administrasi Publik dan Perkembangannya
Sejak 2 dasa warsa terakhir, pelaksanaan reformasi administrasi publik makin konkret di aneka macam negara termasuk Indonesia. Reformasi administrasi publik sangat diharapkan lantaran tantangan terhadap prinsip-prinsip administrasi klasik semakin berat (Caiden, 1991; Lenvine, Peters & Thompson, 1990). Doktrin Administrasi Publik Klasik (the Old Public Administration-OPA) yang sejak awal dimotori oleh Wilson dalam tahun 1987 terus dikritik sang para ahli, dan mulai ditinggalakan (Cooper, 1998; Hughes, 1994) karena nir dapat mengakomodasi perubahan situasi serta syarat warga .

Keberhasilan NPM pada negara-negara maju, menyebabkan terjadinya promosi secara terus-menerus doktrin-doktrin NPM pada negara-negara berkembang. Doktrin privatisasi, mengalihkan bentuk pelayanan yg selama ini ditangani sang pemerintah dipindahkan ke tangan agen-agen partikelir. Alasannya, lebih berorientasi pada kepentingan pelanggan, lebih merangsang perekonomian, serta pertumbuhan kesempatan kerja, menaikkan efisiensi pelayanan lantaran lebih fleksibel menyesuaikan diri dengan pasar, menaikkan efisiensi di departemen-departemen, mengurangi beban administrasi, serta pembiayaan terhadap pemerintah. Doktrin debirokratisasi, diyakini memiliki keunggulan karena lebih menjanjikan peningkatan kinerja dibandingkan dengan doktrin administrasi publik klasik. Menurut Jennings serta Haist (2002), yang ditekankan dalam NPM adalah pengukuran terhadap hasil bukan proses, serta perilaku sebagai akibatnya acapkali diklaim menjadi results-oriented government. 

Promosi doktrin NPM di Indonesia bisa diamati menurut kehadiran mengenai NPM, misalnya karya-karya mengenai administrasi pembangunan, reformasi administrasi atau birokrasi, dan good governance yg ditulis diantaranya oleh Kartasasmita (1997), Tjokroamidjojo (1994), Thoha (1999), Mardiasmo (2002), Dwiyanto (2003), dan lain-lain.

Pemerintah Indonesia mulai mengenal Reinventing Government sejak akhir tahun 1990-an. Implementasi yang paling konkret merupakan pemberlakuan sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah yg lalu diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 

Otoritas terhadap aneka macam urusan pemerintahan yg didesentralisasikan pada pemerintah daerah lebih poly jumlahnya daripada yang diatur oleh pemerintah sentra. Alasan primer pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan buat menjalankan prinsip demokrasi, meningkatkan peran serta warga , pemerataan dan keadilan, dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman wilayah melalui anugerah wewenang yang luas, nyata, serta bertanggung jawab kepada wilayah secara proporsional. 

Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan anugerah wewenang seluas-luasnya agar daerah mempunyai wewenang membuat kebijakan untuk pelayanan, peningkatan kiprah serta, prakarsa serta pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis ini pemerintah wilayah diserahi otoritas buat menjalankan banyak sekali urusan. Pemerintah daerah dapat melakukan perencanaan dan pengendalian pembangunan, pemanfaatan serta supervisi rapikan ruang, penyelenggaraan ketertiban generik. Pemerintah daerah juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan perkara sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, bisnis mini dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan dan catatan sipil, pelayanan administrasi generik pemerintahan, pelayanan administrasi penanaman kapital, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, serta urusan harus lainnya yang diamanatkan sang peraturan perundangan. Smentara pemerintah sentra hanya menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.

Implementasi NPM dapat dilihat jua berdasarkan kewajiban melakukan evaluasi kinerja pemerintah wilayah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan lalu dilanjutkan menggunakan PP Nomor 56 Tahun 2002 mengenai Laporan Kinerja Penyelenggara Pemda serta PP Nomor 20 Tahun 2004 mengenai Rencana Kerja Pemerintah.

Selain itu, implementasi NPM dapat dilihat dengan diberlakukannya peraturan perundangan tentang privatisasi misalnya Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya buat mempertinggi kinerja BUMN yg mencakup pemugaran struktur permodalan, mempertinggi profesionalisme serta efisiensi usaha, perubahan budaya perusahaan, memperluas partisipasi masyarakat pada kepemilikan saham BUMN dan penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate governance yg berdasarkan pada transparansi , akuntabilitas, serta kemandirian.

B. Pendekatan Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah) pada Penyelenggaraan Pemerintahan Negara
1. Pendekatan Demokratisasi
Demokratisasi pada penyelenggaraan pemerintahan akan terlaksana bila pada pemerintahan sudah terjadi kerangka berpikir ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Kepercayaan warga terhadap pemerintah menjadi penyelenggara negara yang sudah semakin tinggi tinggi akan menghasilkan terjadinya proses demokratis, sebagai akibatnya memungkinkan terjadinya good governance. 

Bentuk penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis itu digambarkan menjadi bentuk yang terdiri atas posisi jabatan yang akan ditempati sang gerombolan jabatan yg bersifat politis yang berasal berdasarkan kekuatan partai politik, serta jabatan yang berasal dari pegawai karier pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka nir akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan yg begitu cepat, walaupun pejabat pada organisasi tersebut berubah. Walaupun para pejabat yang menduduki jabatan tertentu sudah berakhir masa jabatannya, maka penyelenggaraan pemerintahan akan permanen stabil, berjalan, serta profesional.

Dalam demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan dibutuhkan akan terjadi proses di mana pejabat yg bersifat politis yang sekaligus sebagai wakil masyarakat akan ikut menentukan kebijakan departemen pemerintah yang akan berlangsung selama lima tahun ke depan. Jabatan ini akan ikut menentukan proses pembuatan kebijakan departemen sekaligus jua ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yang dibentuk itu dilaksakan sang penyelenggara pemerintahan. Sebaliknya, setiap pejabat politik itu mampu pribadi dikontrol oleh masyarakat pemilihnya. Jabatan politis ini pula ikut bertanggung jawab terhadap warga atas keberhasilan kebijakan yang dibuatnya.

Proses pertanggungjawaban itu nir hanya dilakukan sang pejabat yang melaksanakan kebijakan politik dan melayani warga , akan tetapi pejabat politik harus pula bertanggung jawab pada warga yang mempercayainya di departemen. Rakyat harus mempunyai akses aktif terhadap kontrol, baik pada jabatan politik yg mewakilinya maupun pada jabatan sebagai pelayanan rakyat.

Kontrol kepada penyelenggara pemerintahan dilakukan berdasarkan pelbagai jurusan tidak hanya membatasi dari jalur birokrasi sendiri, akan tetapi bisa melalui jalur politik. Akses masyarakat kepada kontrol penyelenggara pemerintahan ini dibuka menggunakan seluas-luasnya. Dengan adanya kontrol terhadap penyelenggara pemerintahan sang warga , itu akan menuntut para penyelenggara pemerintahan untuk mencapai tujuan yang ideal dalam pelaksanaannya. Hal tersebut akan diperlihatkan dengan tergambarnya struktur organisasi dan pembagian kerja/tugas yg sesuai menggunakan tugasnya masing-masing.

2. Pendekatan Desentralisasi (Otonomi Daerah)
Seringkali kasus pendekatan penyelenggaraan pemerintahan dari prinsip-prinsip sentralisasi serta desentralisasi herbi tingkat perkembangan bangsa dan negara-negara baru merdeka. Pada permulaan kemerdekaan, training bangsa dalam arti membina kesatuan bangsa menurut afinitas-afinitas kedaerahan, kesukuan, penggolongan politik serta lain-lain, terasa lebih penting, sehingga tercermin pada kebijaksanaan serta tata cara penyelenggaraan pemerintahan yg sentralistis. Dalam taraf lebih lanjut dimana perkembangan pelatihan bangsa telah lebih matang, maka keperluan ekspansi kegiatan pembangunan sering menumbuhkan kebutuhan akan desentralisasi.

Konsep desentralisasi pada penyelenggaraan pemerintahan terasa semakin sangat dipentingkan di tengah-tengah pembangunan bangsa di negara-negara berkembang. Hal ini bersamaan dengan terlihatnya aneka macam kelemahan yang tampak menggunakan kentara pada kontrol sentral. Namun demikian dalam biasanya bentuk desentralisasi yang diinginkan permanen hendaknya dijaga pada rangka kesatuan politik, kulturil, ekonomi, dan bahkan administratif suatu negara. Hal ini sejalan menggunakan pendapat Maryanov (pada LP3ES, 1994: 81-82), bahwa desentralisasi bertujuan antara lain: (1) mengurangi beban pemerintah pusat, serta campur tangan tentang kasus-perkara kecil dalam taraf lokal. Demikian pula memberi peluang buat koordinasi aplikasi dalam taraf lokal, (2) menaikkan pengertian masyarakat serta dukungan mereka pada kegiatan bisnis pembangunan sosial ekonomi. Demikian juga pada tingkat lokal, bisa mencicipi keuntungan berdasarkan donasi kegiatan yg mereka lakukan, (tiga) penyusunan acara-acara buat pemugaran sosial ekonomi dalam tingkat lokal sebagai akibatnya dapat lebih realistis, (4) melatih masyarakat buat sanggup mengatur urusannya sendiri (self government), dan (lima) pelatihan kesatuan nasional.

Ada dua bentuk desentralisasi (Coralie Bryant, 1979: 213-214), yaitu desentralisasi yang bersifat administratif serta desentralisasi yang bersifat politik. Desentralisasi administratif umumnya diklaim dekonsentrasi dan berarti delegasi wewenang pelaksanaan kepada taraf-tingkat lokal. Para pejabat taraf lokal bekerja dalam batas rencana dan sumber-sumber anggaran, tetapi mereka memiliki elemen kebijaksanaan serta kekuasaan (diskresi) dan tanggung jawab eksklusif dalam hal sifat-hakikat jasa serta pelayanan dalam taraf lokal. Diskresi mereka dapat bervariasi mulai berdasarkan peraturan-peraturan proforma sampai keputusan-keputusan yg lebih substansial. Desentralisasi politik atau devolusi berarti bahwa wewenang pembuatan keputusan dan kontrol tertentu terhadap sumber-asal daya diberikan dalam pejabat-pejabat regional dan lokal.

Dewasa ini masalah desentralisasi dihubungkan menggunakan usaha perencanaan pembangunan wilayah. Dengan ini diusahakan agar perencanaan nasional memberi perhatian dalam pertimbangan regional. Dan penyelenggaraan suatu aktivitas bisnis disesuaikan menggunakan lokasinya yg paling baik. Dengan demikian diusahakan supaya potensi-potensi regional bisa dimanfaatkan, sehingga perkembangan antar daerah berjalan lebih masuk akal. Kegiatan-kegiatan bisnis yg lebih menyangkut kepentingan rakyat daerah bisa seluruhnya atau hingga taraf tertentu, ditentukan serta diselenggarakan sang pemerintah daerah sendiri. Tetapi hal ini pada rangka suatu perencanaan pembangunan wilayah perlu diusahakan secara konsisten dan komplementer dengan usaha-bisnis nasional di wilayah tersebut.

C. Membangun Birokrasi Pemerintah Menuju Good Governance
Saat ini, good governance adalah isu yang mengemuka pada pengelolaan administrasi publik. Good Governance adalah koordinasi bahkan sinergi kepengelolaan yang baik antara governance pada sektor publik (pemerintahan) menggunakan governance pada sektor masyarakat, terutama partikelir, sehingga bisa dihasilkan transaksional hasil melalui prosedur pasar yg paling hemat menurut aktivitas rakyat. Oleh karena itu, dalam good governance tidak saja dituntut suatu birokrasi publik yang efisien serta efektif, melainkan pula private sector governance yang efisien dan kompetitif.

Carl J. Bellone (1980: 285) mengungkapkan bahwa birokrasi adalah: an organizational structure characterized by hierarchical arrangement of office, merit-based selection, impartial application of written rules and regulations, and some centralization of authority. Birokrasi merupakan ciri struktur organisasi (pemerintahan) yg mempunyai urutan hierarki. Berdasarkan hierarki tadi di dalamnya masih ada posisi-posisi atau jabatan yang memiliki kewajiban serta tugas pekerjaannya masing-masing dalam mencapai tujuan. Dalam menjalankan tugas pekerjaannya selalu berpatokan dalam nilai-nilai aturan serta peraturan yg berlaku. Dalam birokrasi jua mengatur mengenai pembagian kekuasaan (otoritas) pada menjalankan roda pemerintahan. 

Pada sisi lain, birokrasi pemerintah acapkali diartikan menjadi “officialdom” atau kerajaan pejabat (Thoha, 2003: 68); sebuah kerajaan (raja) pada dalamnya memiliki yuridiksi yang kentara serta niscaya. Dalam yuridiksi tadi, seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang memperjelas batas-batas wewenang pekerjaannya. Mereka bekerja pada tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. 

Dalam aplikasinya penerapan birokrasi nir berjalan mulus sebagaimana teorinya. Di dalamnya terdapat poly rintangan-rintangan, sebagai akibatnya birokrasi hanya menjadi kedok untuk menutupi kepentingan-kepentingan aparatur yg berperilaku menyimpang. Indonesia misalnya, semakin sulit untuk mewujudkan good governance, yg terjadi selama ini governance sektor publik yang intervensinya justru mengeroposkan governance pada sektor partikelir. Sejak pertengahan tahun 80-an, menggunakan apa yg diklaim “crony capitalism” (Miftah Thoha, 1999: 67) atau transaksi ekonomi KKKN (Kolusi, Korupsi, Kronisme, serta Nepotisme). 

Administrasi negara pada Indonesia dalam ketika ini lebih tepat dikatakan sebagai indera buat menegakkan kekuasaan negara bukan kekuasaan warga . Itulah sebabnya realitas administrasi negara ketika ini lebih poly sebagai citra atau lukisan berdasarkan pada realitanya. Sehingga dibutuhkan pemikiran-pemikiran baru yang bisa meluruskan kembali ke arah pelaksanaan administrasi negara yg ideal menuju good governance. 

Birokrasi pemerintah yang ditinjau perlu buat dibangun kembali guna menuju pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa, serta demokratis (good governance). Sehingga konflik-permasalahan yang perlu dikaji balik sebagai jalan pemecahannya diantaranya:
1. Evaluasi diri terhadap kondisi birokrasi pemerintah Indonesia ketika ini.
2. Adanya perubahan kerangka berpikir birokrasi pemerintah ke arah yang lebih ideal.
3. Repositioning birokrasi pemerintah.
4. Memiliki aparatur pemerintah yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai, sehingga terjadinya demokratisasi birokrasi.
5. Peranan pemerintah serta rakyat dalam menciptakan birokrasi.

Diharapkan dengan adanya perubahan kerangka berpikir pemerintah ke arah birokrasi yang ideal, didukung aparatur pemerintah yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan berperilaku positif, adanya komunikasi yang baik antara pemerintah menggunakan warga , serta ikut berperan pada dalamnya, maka good governance bisa diwujudkan.

1. Kondisi Birokrasi Pemerintah Saat Ini
Kehidupan dan tumbuh kembangnya birokrasi pemerintah pada Indonesia sangat dipengaruhi oleh percaturan politik terlebih lagi ketika selesainya dilaksanakan pemilihan generik. Oleh karenanya birokrasi pemerintah sangat ditentukan sang kehidupan politik serta pemilunya. Sejalan dengan pendapat Carl J. Bellone (1946: 34-35) bahwa ilmu pengetahuan politis adalah induk menurut administrasi pemerintahan. Bahkan pada kalangan akademisi beranggapan bahwa administrasi pemerintahan lebih menurut sekedar ilmu pengetahuan politis. Kehidupan terbaru sudah mendorong birokrasi menjadi alat yg unggul pada mengatur proses pemerintahan. Kekuasaan birokratis telah berakibat forum pemerintahan memiliki kapasitas yang luar biasa dan sebagai sentral buat mengarahkan energi politis. Sebagai akibatnya, pemerintahan birokratis lebih berdasarkan partai politik.

Partai politik didirikan nir memiliki hasrat lain, kecuali untuk bisa memerintah negara. Upaya untuk memerintah itu dari paham demokrasi dibatasi sang waktu tertentu serta wajib dilakukan melalui cara pemilihan umum yang dijalankan secara demokratis, amanah, adil, bebas, misteri, serta konstitusional. Pemerintah partai politik ini akan membawahi dan memerintah birokrasi pemerintah yg eksistensinya nir memalui pemilihan umum, melainkan melalui jalur karier yang dibinanya dengan cara-cara merit. Agar supaya profesionalisme birokrasi tidak terganggu menggunakan silih bergantinya partai politik, para birokratnya nir dibenarkan untuk memihak.

Selain itu administrasi negara digambarkan jua sebagai upaya yang lebih concern terhadap “aplikasi suatu konstitusi ketimbang membuatnya” (Miftah Thoha, 1999: 46). Ungkapan ini mengungkapkan bahwa administrasi negara lebih terkenal disebut mengutamakan melaksanakan kebijakan ketimbang membuatnya. Proses pembuatan kebijakan publik domain berdasarkan daerah politik. Di wilayah ini partai politik beranjak memilih visi politik ke arah mana pemerintahan negara ini dikendalikan. Sedangkan visi politik itu bagaimana mewujudkan diserahkan kepada ahlinya yakni pada birokrasi pemerintah. Upaya birokrasi melaksanakan kebijakan publik tersebut merupakan daerah serta domain administrasi negara.

Birokrasi pemerintah waktu ini mencerminkan birokrasi besar yg menekankan dalam wewenang yg nir didukung dengan aparatur yg profesional menggunakan kompetensi yang sesuai dengan bidang fungsi yg dilaksanakan. Disamping itu Asep Kartiwa (2004: 7) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan kita belum didukung menggunakan sistem kepegawaian yg berdasarkan dalam sistem merit, dalam kondisi partikelir belum dapat menciptakan lapangan kerja. Pada masa krisis ini birokrasi pemerintah menanggung beban yang cukup poly. Sehingga aparatur yang profesional dan memahami paradigma sinkron menggunakan konsep birokrasi ideal sebagai kebutuhan yang mendesak. 

2. Perubahan Paradigma Birokrasi Pemerintah
Pembaharuan dan penyempurnaan birokrasi sudah menjadi perhatian serius pada negara-negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, masih mencicipi kekurangpuasan kiprah birokrasi pemerintah, sebagai akibatnya terus berupaya buat mencari identitas baru bagi birokrasinya. 

Para pakar administrasi selalu mengamati adanya alur pikir baru yang ditunjang menggunakan seperangkat teori yang melahirkan kerangka berpikir baru pada dunia ilmu administrasi negara. Paradigma baru yg memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintahan nir lagi semata-mata hanya melakukan tugas-tugas pemerintahan akan barang-barang publik (public goods), namun juga melakukan dorongan serta motivator bagi tumbuh kembangnya peran dan rakyat.

Pertumbuhan karakteristik birokrasi tradisional ke arah birokrasi terbaru menjadi suatu kenyataan yg bersifat implikatif. Seiring dengan aneka macam kemajuan serta munculnya kebutuhan aparatur birokrasi yang profesional, menyebabkan kebutuhan akan pelayanan pula semakin kompleks, serta menuntut kualitas pelayanan yg semakin baik. Birokrasi yang berada pada tengah-tengah rakyat tersebut nir bisa tinggal diam, tetapi harus lebih bisa menaruh banyak sekali pelayanan sinkron menggunakan kebutuhan masyarakat.

Carl J. Bellone (1980: 35) mengungkapkan bahwa semenjak Thomas Kuhn menerbitkan Struktur Ilmiah, sarjana-sarjana ilmu sosial beranjak cepat buat menemukan paradigma baru pada bidang administrasi pemerintahan modern. Ada 5 model teori administrasi pemerintahan yg diambil buat menuju perubahan yg lebih baik dari pengalaman realitas, yaitu: 1) Model birokratis klasik, yang memiliki 2 komponen basis dasar. Yang pertama adalah struktur atau perancangan suatu organisasi, serta yg kedua adalah pembagian tugas serta pekerjaan yang dibuat secara organisatoris; 2) Model neo-birokratis, merupakan suatu produk berdasarkan era prilaku. Nilai-nilai buat dicapai umumnya serupa dengan model birokratis klasik, karenanya pada contoh neo-birokratis adanya “tujuan”. Model birokratis ini menekankan struktur, kendali, serta prinsip-prinsip administrasi. Unit analisis dalam umumnya gerombolan kerja, agen, departemen, atau keseluruhan pemerintah. Nilai-nilai buat dicapai adalah efektivitas, efisiensi, atau ekonomi. Dalam contoh neo-birokratis, keputusan adalah unit analisa yg umum, dan proses pengambilan keputusan sebagai fokusnya; tiga) Model kelembagaan, dalam model kelembagaan ini lebih ditekankan pada bagaimana cara mendisain efisien, efektif, atau organisasi produktif. Dalam contoh birokrasi kelembagaan nir hanya mengutamakan rasionalitas, namun jua menggantungkan dalam nilai-nilai. Keputusan yg diambil birokrasi merupakan tawaran serta kompromi grup yg berminat serta menggerakkan pemerintahan secara berangsur-angsur ke arah target hasil. Model ini benar-benar-benar-benar menjalankan pemerintahan secara demokratis; 4) Model Hubungan antar manusia, model ini merupakan reaksi terhadap contoh birokratis klasik dan neo-birokratis. Penekanannya dalam kendali, struktur, efisiensi, ekonomi, rasionalitas, dan konvoi interaksi antar insan. Dalam konvoi hubungan antar manusia mencerminkan nilai-nilai yg mendasarinya. Nilai-nilai ini meliputi pekerja dan keikutsertaan klien pada pengambilan keputusan yg bisa mengurangi perbedaan status dan kompetisi hubungan antar eksklusif, serta menekankan dalam proses keterbukaan, kejujuran, perwujudan diri, dan kepuasan rakyat, dan lima) Model administrasi pemerintahan baru, dalam model ini birokrat wajib mulai bersikap bahwa nilai-nilai yg tidak sama perlu mendominasi. Dengan disparitas tadi akan membantu perkembangan organisasi demokratis didesentralisasi yg mendistribusikan jabatan dalam pemerintahan yang sesuai. Sasaran output menurut administrasi pemerintahan baru merupakan buat mengorganisasi, menguraikan, atau membuat organisasi mata-mata yang berfungsi memberi evaluasi.

Pendapat pada atas sejalan menggunakan pendapat Weber menjadi tokoh yg memperkenalkan birokrasi. Weber memandang birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur utama pada rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih krusial menurut semua proses sosial. Diantara yg lain-lain, proses ini mencakup ketepatan dan kejelasan yg dikembangkan dalam prinsip memimpin organisasi sosial. Menurut Weber dalam (Miftah Thoha, 2002: 16-17) menyatakan birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan menggunakan cara-cara sebagai berikut: Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi sang jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya buat keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun pada tingkatan hierarki menurut atas ke bawah serta kesamping. Konsekuensinya terdapat pejabat atasan serta bawahan dan ada jua yang menyandang kekuasaan lebih akbar serta terdapat yg lebih kecil; Ketiga, tugas serta fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik tidak selaras satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yg wajib dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat adalah domain yang sebagai wewenang dan tanggung jawab yg harus dijalankan sesuai menggunakan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak buat mendapat pensioun sinkron dengan tingkatan hierarki jabatan yg disandangnya. Setiap pejabat bisa tetapkan buat keluar menurut pekerjaannya serta jabatannya sesuai menggunakan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri pada keadaan eksklusif; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yg kentara menggunakan promosi berdasarkan senioritas serta merit sesuao menggunakan pertimbangan yang objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya serta resources intansinya buat kepentingan eksklusif dan keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada pada bawah pengendalian serta supervisi suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.

Sejalan dengan konsep birokrasi ideal di atas, penyelenggaraan birokasi pemerintah Indonesia wajib terjadi perubahan paradigma menuju good governance, diantaranya:

a. Perubahan kerangka berpikir berdasarkan orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa negara sebagai berorientasi ke pasar (market). Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti kerangka berpikir yg lebih mengutamakan kepentingan negara. Semuanya sanggup dipengaruhi oleh negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama serta utama dalam mengatasi segala macam persoalan yg muncul. Orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Aspirasi warga menjadi lebih penting adalah buat menjadi bahan pertimbangan pemerintah.

b. Perubahan kerangka berpikir serta orientasi manajemen pemerintahan yg otoritarian menjadi berorientasi pada egalitarian dan demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi negara mampu melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yg terkonsentrasi pada satu orang cenderung mengabaikan kepentingan warga poly. Paradigma semacam ini telah poly ditinggalkan dan diganti dengan paradigma yang mengutamakan peranan dan kedaulatan warga . Kedaulatan warga sebagai pertimbangan pertama dan utama jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.

c. Perubahan kerangka berpikir menurut sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi wewenang. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara sentral, seperti yang diuraikan dimuka. Kegiatan mulai dari perumusan kebijaksanaan dilakukan secara terpusat serta dilakukan sang aparat pemerintah pusat.

d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas serta anggaran yg berlaku buat satu negara eksklusif, mengalami perubahan ke arah boundaryless organization (Ashkenas et al, 1995). Seringkali dikemukakan bahwa kini ini merupakan jamannya rapikan manajemen pemerintahan yang cenderung ditentukan oleh tata aturan global. Keadaan seperti ini akan membawa akibat bahwa rapikan aturan yang hanya menekankan pada aturan nasional saja kurang menguntungkan dalam percaturan dunia. 

e. Perubahan dari paradigma berdasarkan tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork sebagai tatanan administrasi negara yang paperless (Osborn, 1992). Tata birokrasi pemerintahan seperti ini membutuhkan kompetensi sumber daya aparatur yang memahami serta mengetrapkan information technology (Lucas, 1996). Kompetensi inilah yg seharusnya banyak diwujudkan dalam pendidikan serta pelatihan profesional bagi pegawai-pegawai pemerintah.

f. Perubahan kerangka berpikir menurut a low trust society ke arah high trust society (Fukuyama, 1995). Di pada rakyat yang rendah tingkat kepercayaannya nir bakal terjadi suasana demokrasi. Birokrasi pemerintah yg hayati pada warga seperti ini, akan melahirkan cara-cara kerja yang tidak demokratis, membatasi ruang mobilitas, menjauhkan birokrasi menurut interaksi dengan masyarakat, dan membelenggu organisasi dengan serangkaian anggaran-anggaran birokrasi. Sebaliknya kerangka berpikir baru yang menekankan terhadap kepercayaan sehingga melahirkan suatu rakyat yang tinggi taraf kepercayaannya akan sanggup menciptakan birokrasi lebih demokratis. Birokrasi seperti ini akan menciptakan suasana kerja yang lebih fleksibel serta berbasiskan dalam orientasi kelompok kerja menggunakan lebih memberikan tanggung jawab yg akbar pada tataran organisasi yg paling bawah. Birokrasi pemerintah misalnya ini akan memperlakukan para pegawainya sebagai orang dewasa yg bisa dianggap buat menaruh konstribusi pelayanan kepada warga .

Comments