PENGERTIAN BIROKRASI MENURUT BEBERAPA PAKAR

Pengertian Birokrasi Menurut Beberapa Pakar 
1. Max Weber
Pada dasarnya, Max Weber tidak pernah secara definitif mengungkapkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis karakteristik-karakteristik apa yg seharusnya melekat dalam birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung pada ketika hayati Weber, yaitu birokrasi yg dikembangkan dalam Dinasti Hohenzollern pada Prussia. 

Birokrasi tadi dipercaya oleh Weber menjadi nir rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya poly pekerjaan negara yg “salah -urus” atau nir mencapai output secara maksimal . Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber lalu mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi. Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :
a. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
b. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yg tidak sama sesuai dengan fungsi-fungsinya, yg masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-hukuman;
c. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yg disertai dengan rincian hak-hak kontrol serta pengaduan (complaint);
d. Anggaran-aturan yg sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua perkara tersebut, insan yang terlatih sebagai diharapkan;
e. Anggota sebagai sumber daya organisasi tidak sinkron menggunakan anggota menjadi individu eksklusif;
f. Pemegang jabatan tidaklah sama menggunakan jabatannya; 
g. Administrasi berdasarkan dalam dokumen-dokumen tertulis serta hal ini cenderung membuahkan tempat kerja (biro) sebagai sentra organisasi terbaru; dan
h. Sistem-sistem otoritas sah bisa merogoh poly bentuk, tetapi ditinjau pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada pada suatu staf administrasi birokratik.

Bagi Weber, jika ke-8 sifat pada atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tadi dapat dikatakan bercorak legal-rasional. 

Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi sah-rasional adalah sebagai berikut :
a. Para anggota staf bersifat bebas secara eksklusif, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai menggunakan jabatan mereka;
b. Masih ada girarki jabatan yg jelas;
c. Fungsi-fungsi jabatan dipengaruhi secara tegas;
d. Para pejabat diangkat menurut suatu kontrak;
e. Para pejabat dipilih dari kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan pada suatu diploma (ijazah) yg diperoleh melalui ujian;
f. Para pejabat mempunyai gaji serta umumnya jua dilengkapi hak-hak purna tugas. Gaji bersifat berjenjang dari kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan eksklusif, pejabat pula bisa diberhentikan;
g. Pos jabatan merupakan lapangan kerja yg utama bagi para pejabat;
h. Suatu struktur karir dn kenaikan pangkat dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta berdasarkan pertimbangan keunggulan (superior);
i. Pejabat sangat mungkin nir sinkron dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yg tersedia pada pos terbut, dan;
j. Pejabat tunduk pada sisstem disiplin serta kontrol yang seragam

Weber jua menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, pada mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan dalam aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi menjadi sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-anggaran tertulis dan bisa disimak sang siapa pun juga. Rasional adalah dapat dipahami, dipelajari, serta jelas penerangan sebab-akibatnya.

Khususnya, Weber memperhatikan kenyataan kontrol superordinat atas subordinat. Kontrol ini, bila nir dilakukan pembatasan, mengakibatkan pada akumulasi kekuatan absolut pada tangan superordinat. Akibatnya, organisasi nir lagi berjalan secara rasional melainkan sinkron keinginan pemimpin belaka.

Bagi Weber, perlu dilakukan restriksi atas setiap kekuasaan yang ada pada pada birokrasi, yg mencakup point-point berikut : 

Kolegialitas. 
Kolegialitas merupakan suatu prinsip pelibatan orang lain pada pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa pada birokrasi, satu atasan merogoh satu keputusan sendiri. Tetapi, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan. 

Pemisahan Kekuasaan. 
Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara 2 badan atau lebih. Misalnya, buat menyepakati aturan negara, perlu keputusan beserta antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, dari Weber, tidaklah stabil namun dapat membatasi akumulasi kekuasaan. 

Administrasi Amatir. 
Administrasi amatir diperlukan tatkala pemerintah tidak bisa membayar orang-orang buat mengerjakan tugas birokrasi, bisa saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat bunyi bagi tiap TPS, mak -ibu tempat tinggal tangga diberi kesempatan menghitung serta diberi gaji. Tentu saja, pejabat KPU terdapat yang mendampingi selama aplikasi tugas tadi. 

Demokrasi Langsung. 
Demokrasi eksklusif bermanfaat dalam membuat orang bertanggung jawab pada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test sang DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yg diangkat merasa bertanggung jawab pada masyarakat secara holistik. 

Representasi. 
Representasi didasarkan pengertian seseorang pejabat yg diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat serta staf birokrasi. Ini dampak pengertian tidak eksklusif bahwa anggota DPR menurut partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.

Hingga sekarang, pengertian orang mengenai birokrasi sangat ditentukan sang pandangan-pandangan Max Weber pada atas. Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.

2. Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog menurut Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, beliau sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. 

Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini digunakan menjadi pisau analisa guna menganalisis kenyataan birokrasi yg banyak dipraktekkan pada era terkini. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :

a. Birokrasi menjadi organisasi rasional
Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut dalam pemahaman Weber. Tetapi, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan kentara. Kajian sosial tidap pernah membuat sesuatu yg niscaya menurut hipotesis yg diangkat. 

Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi jua mengacu dalam mode pengorganisasian menggunakan tujuan utamanya menjaga stabilitas serta efisiensi pada organisasi-organisasi yang akbar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu dalam susunan aktivitas yg rasional yang diarahkan buat pencapaian tujuan-tujuan organisasi. 

Perbedaan menggunakan Weber merupakan, bila Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi menjadi “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

b. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi adalah antitesis (perlawanan) berdasarkan menurut vitalitas administratif serta kretivitas manajerianl. Birokrasi pula dinyatakan menjadi susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu dalam ketidaksempurnaan pada struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi akbar.

Birokrasi terlalu percaya pada preseden (anggaran yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban pada banyak sekali urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu poly formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi jua adalah organisasi yang nir dapat memperbaiki perilakunya menggunakan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan pada pada birokrasi cenderung digunakan para anggotanya buat kepentingan diri sendiri.

c. Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan sang para administrator yang profesional. Atau, birokrasi adalah pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, tak jarang dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat. 

d. Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi adalah sistem administrasi, yaitu struktur yg mengalokasikan barang dan jasa pada suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.

e. Birokrasi sebagai administrasi yg dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian sebagai bagian krusial. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yg diangkat. Mereka inilah yang dianggap birokrasai-birokrasi. Fungsi berdasarkan orang-orang itu disebut sebagai administrasi.

f. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi adalah suatu bentuk organisasi berskala akbar, formal, serta terbaru. Suatu organisasi bisa disebut birokrasi atau bukan mengikut dalam karakteristik-ciri yg telah disebut

g. Birokrasi sebagai warga modern
Birokrasi menjadi rakyat modern, mengacu pada suatu kondisi pada mana masyarakat tunduk pada aturan-aturan yg diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, nir dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama rakyat tunduk pada anggaran-anggaran yang terdapat di 2 tipe birokrasi tadi, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan terbaru.

Reformasi Birokrasi
Birokrasi bisa memicu pemberdayaan masyarakat, serta mengutamakan pelayanan pada warga tanpa diskriminasi. Birokrasi demikian dapat terwujud jika terbentuk suatu sistem pada mana terjadi prosedur Birokrasi yg efisien dan efektif dengan menjaga sinergi yang konstiruktif pada antara pemerintah, sektor swasta dan rakyat.

Saat ini posisi, kewenangan serta peranan Birokrasi masih sangat bertenaga, baik dalam mobilisasi sumber daya pembangunan, perencanaan, maupun aplikasi pemerintahan serta pembangunan yg masih terkesan sentralistik. Di samping itu, kepekaan Birokrasi buat mengantisipasi tuntutan perkembangan warga tentang perkembangan ekonomi, sosial dan politik sangat kurang sehingga kedudukan birokrasi yg seharusnya menjadi pelayan rakyat cenderung bersifat vertical top down daripada horizontal partisipative.

Birokrasi yg terjadi di Indonesia waktu ini masih belum efisien, yg diantaranya ditandai menggunakan adanya tumpang tindih aktivitas antar instansi, struktur, kebiasaan, nilai,dan regulasi yang ada pula masih berorientasi dalam kekuasaan, budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, serta juga banyaknya posisi-posisi terpenting dalam forum birokrasi kita yang tidak diisi sang orang-orang yg berkompeten. Padahal, birokrasi dalam suatu negara merupakan suatu forum krusial yg merupakan alat negara pada melayani warga . Oleh karena itu, suatu perubahan dalam birokrasi kita wajib dilaksanakan, atau biasa yang dikenal dengan reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi, adalah keliru satu cara buat menciptakan kepercayaan warga . Pengertian reformasi birokrasi sendiri artinya, suatu bisnis perubahan pokok dalam suatu sistem yg tujuannya mengubah struktur, tingkah laku , serta eksistensi atau kebiasaan yg sudah lama . Reformasi birokrasi ruang lingkupnya nir hanya terbatas dalam proses dan prosedur, namun juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap dan tingkah laku . Hal ini berhubungan dengan menggunakan pertarungan yg bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).

Menurut Prof. Eko Prasojo, guru akbar sekaligus ahli administrasi negara dari FISIP UI, buat terwujudnya reformasi birokrasi, maka diharapkan strategi-taktik reformasi birokrasi, yaitu :
  • Level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yg mendorong Birokrasi yg berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil masyarakat (kepastian aturan, batas waktu, mekanisme, partisipasi, pengaduan, gugatan).
  • Level organisational, dilakukan melalui pemugaran proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yg sensitif terhadap kepentingan warga , penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
  • Level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.
  • Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan pemugaran 
Selain memerlukan taktik-taktik, dipelukan pula tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu menaikkan pelayanan publik guna mendapatkan kembali agama rakyat, pelayanan publik yg berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, dan perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai.

Reformasi birokrasi menjadi bisnis mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat serta negara. Secara nyata, perlu bisnis-bisnis serius supaya pembaharuan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Beberapa poin ini dia adalah langkah-langkah yg perlu ditempuh buat menuju reformasi birokrasi.

PENGERTIAN BIROKRASI MENURUT BEBERAPA PAKAR

Pengertian Birokrasi Menurut Beberapa Pakar 
1. Max Weber
Pada dasarnya, Max Weber tidak pernah secara definitif menjelaskan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini kemudian menganalisis ciri-karakteristik apa yg seharusnya inheren dalam birokrasi. Gejala birokrasi yg dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di saat hayati Weber, yaitu birokrasi yg dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia. 

Birokrasi tersebut dipercaya oleh Weber sebagai nir rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yg “galat-urus” atau nir mencapai output secara aporisma. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber lalu membuatkan apa yg seharusnya (ideal typhus) inheren di sebuah birokrasi. Weber terkenal dengan konsepsinya tentang tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas sah dapat diselenggarakan, yaitu :
a. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar anggaran yg berkesinambungan;
b. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yg tidak sinkron sesuai dengan fungsi-fungsinya, yg masing-masing dilengkapi menggunakan syarat otoritas serta hukuman-hukuman;
c. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
d. Anggaran-aturan yg sesuai menggunakan pekerjaan diarahkan baik secara teknis juga secara legal. Dalam ke 2 kasus tersebut, manusia yang terlatih sebagai diperlukan;
e. Anggota sebagai sumber daya organisasi tidak sama menggunakan anggota sebagai individu eksklusif;
f. Pemegang jabatan tidaklah sama menggunakan jabatannya; 
g. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis serta hal ini cenderung berakibat tempat kerja (biro) sebagai sentra organisasi terbaru; dan
h. Sistem-sistem otoritas sah dapat merogoh poly bentuk, tetapi dicermati pada bentuk aslinya, sistem tadi permanen berada dalam suatu staf administrasi birokratik.

Bagi Weber, bila ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tadi dapat dikatakan bercorak sah-rasional. 

Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) pada organisasi yang sah-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional merupakan sebagai berikut :
a. Para anggota staf bersifat bebas secara eksklusif, pada arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
b. Terdapat girarki jabatan yang kentara;
c. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
d. Para pejabat diangkat menurut suatu kontrak;
e. Para pejabat dipilih dari kualifikasi profesional, idealnya berdasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
f. Para pejabat mempunyai gaji dan umumnya juga dilengkapi hak-hak purna tugas. Gaji bersifat berjenjang berdasarkan kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan pada keadaan-keadaan tertentu, pejabat jua bisa diberhentikan;
g. Pos jabatan adalah lapangan kerja yang utama bagi para pejabat;
h. Suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta dari pertimbangan keunggulan (superior);
i. Pejabat sangat mungkin nir sinkron menggunakan pos jabatannya maupun dengan asal-asal yg tersedia di pos terbut, serta;
j. Pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yg seragam

Weber jua menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, pada mana pemimpin (superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber jua memasukkan birokrasi menjadi sistem legal-rasional. Legal oleh karena tunduk pada anggaran-aturan tertulis serta dapat disimak oleh siapa pun pula. Rasional merupakan dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan karena-akibatnya.

Khususnya, Weber memperhatikan kenyataan kontrol superordinat atas diskriminasi. Kontrol ini, bila nir dilakukan pembatasan, membuahkan pada akumulasi kekuatan mutlak pada tangan superordinat. Akibatnya, organisasi nir lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka.

Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada pada dalam birokrasi, yg meliputi point-point berikut : 

Kolegialitas. 
Kolegialitas merupakan suatu prinsip pelibatan orang lain pada pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan merogoh satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan. 

Pemisahan Kekuasaan. 
Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, buat menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, dari Weber, tidaklah stabil namun bisa membatasi akumulasi kekuasaan. 

Administrasi Amatir. 
Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah nir bisa membayar orang-orang buat mengerjakan tugas birokrasi, bisa saja direkrut warganegara yang bisa melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, mak -mak rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor . Tentu saja, pejabat KPU terdapat yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tadi. 

Demokrasi Langsung. 
Demokrasi langsung bermanfaat pada menciptakan orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski adalah prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus pada-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada warga secara holistik. 

Representasi. 
Representasi berdasarkan pengertian seorang pejabat yg diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik bisa diandalkan pada mengawasi kinerja pejabat serta staf birokrasi. Ini dampak pengertian tak langsung bahwa anggota DPR berdasarkan partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.

Hingga sekarang, pengertian orang tentang birokrasi sangat ditentukan sang pandangan-pandangan Max Weber di atas. Dengan modifikasi serta penolakan pada sana-sini atas pandangan Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.

2. Martin Albrow
Martin Albrow adalah sosiolog menurut Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. 

Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan menjadi pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yg poly dipraktekkan pada era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :

a. Birokrasi menjadi organisasi rasional
Birokrasi menjadi organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan menjadi segalanya terukur secara pasti serta jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti berdasarkan hipotesis yg diangkat. 

Birokrasi bisa dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi pada administrasi. Secara teknis, birokrasi pula mengacu dalam mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas serta efisiensi pada organisasi-organisasi yg akbar serta kompleks. Birokrasi juga mengacu dalam susunan aktivitas yg rasional yang diarahkan buat pencapaian tujuan-tujuan organisasi. 

Perbedaan menggunakan Weber merupakan, apabila Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yg di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”

b. Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi adalah antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi pula dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas serta depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan pada struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi akbar.

Birokrasi terlalu percaya pada preseden (anggaran yang dibentuk sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu poly formalitas), duplikasi bisnis, serta departementalisme. Birokrasi juga adalah organisasi yg tidak bisa memperbaiki perilakunya menggunakan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-anggaran di dalam birokrasi cenderung digunakan para anggotanya buat kepentingan diri sendiri.

c. Birokrasi sebagai kekuasaan yg dijalankan sang pejabat.
Birokrasi adalah pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi adalah pemerintahan sang para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan buat mengatur serta melakukan sesuatu. Juga, tak jarang dikatakan birokrasi merupakan kekuasaan para elit pejabat. 

d. Birokrasi menjadi administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup seluruh pegawai pemerintah. Birokrasi adalah sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang serta jasa pada suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.

e. Birokrasi menjadi administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap menjadi sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yg menjalankan otoritas keseharian sebagai bagian krusial. Staf-staf itu terdiri menurut orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yg dianggap birokrasai-birokrasi. Fungsi berdasarkan orang-orang itu disebut menjadi administrasi.

f. Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi adalah suatu bentuk organisasi berskala besar , formal, serta terbaru. Suatu organisasi dapat diklaim birokrasi atau bukan mengikut dalam ciri-karakteristik yg telah disebut

g. Birokrasi sebagai warga modern
Birokrasi menjadi warga terbaru, mengacu pada suatu kondisi di mana warga tunduk pada aturan-anggaran yg diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama warga tunduk pada aturan-aturan yg terdapat di 2 tipe birokrasi tadi, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan terbaru.

Reformasi Birokrasi
Birokrasi bisa memicu pemberdayaan masyarakat, dan mengutamakan pelayanan kepada warga tanpa subordinat. Birokrasi demikian dapat terwujud jika terbentuk suatu sistem pada mana terjadi prosedur Birokrasi yg efisien serta efektif dengan menjaga sinergi yang konstiruktif pada antara pemerintah, sektor swasta serta rakyat.

Saat ini posisi, wewenang dan peranan Birokrasi masih sangat bertenaga, baik pada mobilisasi asal daya pembangunan, perencanaan, juga aplikasi pemerintahan dan pembangunan yg masih terkesan sentralistik. Di samping itu, kepekaan Birokrasi buat mengantisipasi tuntutan perkembangan masyarakat mengenai perkembangan ekonomi, sosial serta politik sangat kurang sehingga kedudukan birokrasi yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat cenderung bersifat vertical top down daripada horizontal partisipative.

Birokrasi yang terjadi pada Indonesia saat ini masih belum efisien, yang diantaranya ditandai menggunakan adanya tumpang tindih kegiatan antar instansi, struktur, norma, nilai,serta regulasi yang ada juga masih berorientasi pada kekuasaan, budaya birokrasi yang masih bersifat “dilayani” daripada “melayani”, dan jua banyaknya posisi-posisi terpenting dalam forum birokrasi kita yang nir diisi oleh orang-orang yang berkompeten. Padahal, birokrasi dalam suatu negara merupakan suatu forum penting yang merupakan indera negara dalam melayani warga . Oleh karenanya, suatu perubahan pada birokrasi kita wajib dilaksanakan, atau biasa yang dikenal dengan reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi, merupakan salah satu cara buat membentuk kepercayaan warga . Pengertian reformasi birokrasi sendiri merupakan, suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku , dan eksistensi atau norma yang sudah lama . Reformasi birokrasi ruang lingkupnya nir hanya terbatas dalam proses serta mekanisme, namun juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur serta perilaku serta tingkah laris. Hal ini herbi menggunakan perseteruan yg bersinggungan menggunakan authority atau formal power (kekuasaan).

Menurut Prof. Eko Prasojo, guru akbar sekaligus pakar administrasi negara berdasarkan FISIP UI, buat terwujudnya reformasi birokrasi, maka diharapkan taktik-taktik reformasi birokrasi, yaitu :
  • Level kebijakan, wajib diciptakan berbagai kebijakan yg mendorong Birokrasi yang berorientasi dalam pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian aturan, batas ketika, mekanisme, partisipasi, pengaduan, somasi).
  • Level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan serta latihan yang sensitif terhadap kepentingan warga , penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim serta Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
  • Level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality mencakup dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance serta emphaty.
  • Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan 
Selain memerlukan strategi-taktik, dipelukan jua tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu menaikkan pelayanan publik guna mendapatkan balik agama masyarakat, pelayanan publik yg berorientasi dalam pemberdayaan warga , dan perbaikan taraf kesejahteraan pegawai.

Reformasi birokrasi menjadi bisnis mendesak mengingat implikasinya yang begitu luas bagi rakyat dan negara. Secara konkret, perlu usaha-usaha berfokus agar pembaharuan birokrasi menjadi lancar serta berkelanjutan. Beberapa poin berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu ditempuh buat menuju reformasi birokrasi.

PENGERTIAN TENAGA KEPENDIDIKAN PROFESIONAL

Pengertian Tenaga Kependidikan Profesional 
Tenaga kependidikan pada beberapa kepustakaan diklaim dengan nama atau istilah yang bhineka. Sutisna (1983) menyebut menggunakan istilah personil, Engkoswara (1987) menyebut dengan kata sumber daya insani, Wijono (1989) menyebut dengan kata ketenagaan sekolah, Harris, dkk (1979) menyebut dengan kata personel, kemudian Makmun (1996) menyebut dengan kata tenaga kependidikan, sedangkan bila melihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1992 yang mengatur tentang tenaga kependidikan pada Indonesia, dan Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutnya menggunakan kata tenaga kependidikan. 

Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan energi kependidikan tersebut secara konseptual serta teoritik semuanya memang benar dalam arti bisa diterima, lebih-lebih istilah energi kependidikan yg memiliki landasan hukum, yaitu Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 sepertinya akan lebih sempurna. Tetapi perlu diketahui bahwa dalam manajemen juga dikenal serta dipakai istilah secara lebih umum, yaitu istilah asal daya manusia. Kemudian pada kaitannya menggunakan goresan pena di buku ini, maka istilah yg dipakai barangkali serta sanggup jadi kata-istilah tadi akan digunakan secara silih berganti, karena pada dasarnya adalah sama saja.

Persoalannya yang timbul serta perlu dibahas adalah siapakah yg dimaksud menggunakan tenaga kependidikan. Menurut ketentuan generik Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 (lima) tenaga kependidikan yang dimaksud adalah anggota masyarakat yg mengabdikan diri serta diangkat untuk menunjang penyelengaraan pendidikan. Dalam pasal 1 (6) tersebut pula dijelaskan pendidik merupakan energi kependidikan yg berkualifikasi sebagai pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan yang lainnya yg sinkron menggunakan kekhususannya, dan partisipasi pada menyelenggarakan pendidikan.

Berdasarkan dalam bunyi pasal 1 (5) serta (6) Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tersebut dapatlah diketahui bahwa tenaga kependidikan tadi merupakan memiliki makna serta cakupan yg jauh lebih luas menurut pendidik. Bisa jadi yang dimaksud termasuk menggunakan energi kependidikan tadi di samping pendidik, seperti guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, serta fasilitator, merupakan jua termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, penguji serta yang lainnya.

Semua jenis sumberdaya insan atau tenaga kependidikan tersebut krusial buat dibahas pada kajian ini karena sangat berguna tidak saja buat kepentingan pada pengembangan keilmuan atau pada bidang teoritik akademik, tetapi yg lebih penting merupakan buat kepentingan mudah pada rangka dapat mengkontribusi aplikasi pengembangan tenaga kependidikan khususnya ketua sekolah yang dipercaya ideal. Memang demikianlah kenyataannya sumber daya manusia tadi dalam segala fungsi serta perannya sangat krusial bagi pencapaian tujuan suatu organisasi termasuk pada bidang pendidikan. Sebab kebijakan dalam pengelolaan sumbedaya insan yg dilandasi sang suatu persepsi, kajian teori yg galat, serta keliru, yg dijadikan dasar pada mengelola seluruh faktor sistem pendidikan lainnya yang berupa uang, material yang melimpah ruah, dan fasilitas yang lengkap tadi tidak akan menjadi signifikan serta determinan pada mencapai tujuan pendidikan (Weber.1954., Harris, dkk. 1979). Sumberdaya manusia akan sangat menentukan keberhasilanya, dan memang agak tidak sinkron dengan mengelola material yg berupa mesin-mesin atau teknologi yg canggih dimana mesin-mesin tadi walaupun jua memilih keberhasilan suatu organisasi, namun mesin-mesin tadi tidak akan bisa mengeluh, nir sanggup melawan perintah, nir akan mangkir dalam melaksanakan tugas, tidak akan melaksanakan pemogokan, nir akan terlibat pada permasalahan-pertarungan seperti manusia, nir akan bisa mengajukan tuntutan perbaikan nasib, dan perbuatan-perbuatan negatif yg lainnya (Siagian.1999). Menyadari begitu pentingnya sumberdaya manusia tersebut, maka dalam penerangan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1992 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan merupakan komponen yg determinan serta menempati posisi kunci dalam sistem pendidikan nasional. Pengembangan sumberdaya insan atau tenaga kependidikan yg mempunyai kualitas kemampuan yg profesional dan kinerja yang baik, tidak saja akan mengkontribusi terhadap kualitas lulusan yg dihasilkan, melainkan juga berlanjut pada kualitas kinerja serta jasa para lulusan pada pembangunan, yang dalam gilirannya lalu akan berpengaruh dalam kualitas peradaban serta martabat hayati warga , bangsa, dan umat insan dalam umumnya. Demikian juga buat lebih dapat tahu kajian mengenai profesi kependidikan ini secara konseptual serta teoritik, lebih empirik dan simpel, maka kajiannya akan difokuskan pada energi kependidikan tetentu saja, khususnya kepala sekolah saja, lantaran jabatan kepala sekolah tersebut adalah adalah pengembangan jabatan dari guru. Kepala sekolah menjadi jabatan atau tugas tambahan berdasarkan guru cukup menarik buat dibahas lantaran di dalam diri ketua sekolah tersebut di samping berfungsi menjadi pendidik jua disebutkan berfungsi menjadi manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator dan mativator, sebagai akibatnya jabatan ketua sekolah tersebut seringkali diakronimkan sebagai Emaslim. Dengan mengkhu-suskan penekanan kajiannya pada kepala sekolah pula akan lebih mudah dalam memberikan berbagai ilustrasi, model-contoh, pendalaman maupun dalam pengayaannya. 

Jenis-jenis serta Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Dalam uraian dan penjelasan tentang pengertian energi kependidikan sudah bisa dimengerti secara jelas yg dimaksud dengan energi kependidikan tadi merupakan anggota warga yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan misalnya guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, dan fasilitator, termasuk kepala sekolah, direktur, kepala, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, serta yang lainnya. Bahkan bisa jadi pula termasuk semua pengelola yayasan dalam forum-forum pendidikan swasta, serta semua pengambil kebijakan di birokrasi serta stafnya di taraf pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, tingkat keca-matan, serta pada taraf desa.

Kalau masalah jenis-jenis tenaga kependidikan serta tenaga pendidikan sudah tampak pada pembahasan teruraikan menggunakan sedikit lebih kentara, yang menjadi duduk perkara lebih lanjut merupakan masalah bagaimana kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya kualifikasi jabatan kepala sekolah tersebut. Secara teoritik serta mengacu sebagaimana lazimnya pada negara-negara maju, maka kualifikasi energi kependidikan tersebut dapat dibedakan sebagai tenaga pendidik, tenaga manajemen kependidikan, tenaga penunjang teknis kependidikan, tenaga penunjang administratif kependidikan, tenaga peneliti, pengembang dan konsultan kependidikan (Makmun. 1996., Sanusi. 1990). Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas secara ringkas berdasarkan masing-masing kualifikasi tenaga kependidikan tersebut, menggunakan penjelasannya yg lebih difokuskan pada kualifikasi energi kependidikan khususnya ketua sekolah. 

Kualifikasi tenaga pendidik merupakan energi kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya secara langsung menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada peserta didik. Sesungguhnya pada interaksi ini alam sudah melibatkan seluruh orang yang melaksanakan tugas pelayanan tadi termasuk para orang tua di rumah, para guru/dosen, pembimbing dan pelatih di sekolah atau satuan-satuan pendidikan yang lainnya, para instruktur atau fasilitator, pamong belajar pada sentra-pusat atau balai pembinaan serta kursus-kursus, para pembina dan pembimbing pada aneka macam perkumpulan atau sanggar atau pedepokan serta organisasi yg melatih dan membimbing keterampilan seni dan budaya, para ustadz serta pembina di pondok pesantren dan majelis-majelis taklim atau pengajian pada surau serta langgar, para penyiar TV dan Radio yang mengasuh acara serta mimbar kependidikan, para penulis artikel dimedia cetak seperti majalah, koran, jurnal, buku bacaan, kitab pelajaran yang mengandung muatan atau nuansa kependidikan, para penyuluh lapangan pada bidang kesehatan/KB, hukum, pertanian dan sebagainya yg diselengarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Pelaksanaan tugas pelayanan kependidikan tadi bisa secara tatap muka secara langsung pada kelas atau melalui TV, sistem belajar jeda jauh, secara korespondensi, dan aneka macam bentuk komunikasi lainnya. Namun demikian perlu disadari bahwa masalah kualifikasi akademik energi pendidik tadi adalah diatur sang undang-undang atau peraturan-peraturan. Oleh karena itu, bila diperhatikan pasal 9 undang-undang pengajar bisa diketahui bahwa kualifikasi akademik seseorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana, atau diploma empat (D4). Sementara itu jikalau diperhatikan pasal 42 (dua) undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan formal pada jenjang usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, kualifikasi akademik seseorang guru haruslah berlatar belakang pendidikan tinggi dan dihasilkan sang perguruan tinggi. Demikian jua dalam PP No. 19 tahun 2005 pada pasal 29 (dua) disebutkan bahwa pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB harus berpendidikan S1 atau D4 bidang PGSD, psikologi, atau pendidikan lainnya. Kemudian pada pasal yg sama ayat tiganya disebutkan bahwa pengajar Sekolah Menengah pertama/MTs/ SMPLB wajib berpendidikan S1 atau D4 dengan progam studi yg sinkron dengan mata pelajaran yang diajarkan. Dari suara ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang serta peraturan pemerintah tersebut, tampaknya kualifikasi pengajar misalnya menuntut suatu persyaratan kualifikasi pendidikan seorang guru tersebut adalah sama, yaitu lulusan pendidikan tinggi S1 atau D4. Tetapi demikian jika makna bunyi pasal-pasal yang diatur dan masih ada pada undang-undang sistem pendidikan nasional, undang-undang guru, dan PP No. 19 tahun 2005 dirunut serta disenergikan bisa disimpulkan bahwa buat sebagai pengajar pada Indonesia haruslah minimum berpendidikan S1 atau D4 berdasarkan program studi yang relevan, misalnya buat menjadi guru taman kanak-kanak dipersyaratkan harus lulusan pergruan tinggi S1 atau D4 PAUD/ PGTK/Psikologi/kependidikan lainnya. Seseorang buat bisa diangkat sebagai pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB dipersyaratkan harus lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 PGSD/ Psikologi/Kependidikan lainnya. Untuk menjadi guru Matematika Sekolah Menengah pertama/MTS/ SMPLB atau SMA/MA/Sekolah Menengah Kejuruan/SMALB dipersyaratkan lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 Matematika atau Pendidikan Matematika. Persyaratan kualifikasi pendidikan minimum bagi guru ini merupakan suatu lompatan yang cukup signifikan dalam upaya mempertinggi kualitas pendidikan di negara kita (Samani, dkk. 2006). 

Kualifikasi energi manajemen kependidikan, merupakan energi kependidikan yang secara fungsional melakukan layanan secara nir pribadi pada tenaga teknis kepen-didikan, tetapi melakukan merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan mem-berikan pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam seluruh jenjang tataran sistem pendidikan mulai taraf struktural sentra, regional atau wilayah, hingga dalam taraf operasional. Sehubungan fungsi energi manajemen tersebut, maka yang sanggup dimasukkan menjadi tenaga manajemen kependidikan adalah: para perencana pendidikan, para pimpinan struktural berdasarkan taraf sentra sampai taraf operasional kependidikan, para pimpinan atau pengelola, para ketua sekolah, penilik serta pengawas, penilai serta penguji pendidikan, para penghasil kebijakan atau keputusan. 

Kualifikasi energi penunjang teknis kependidikan, adalah energi kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya menyiapkan kelengkapan wahana dan fasilitas teknis kependidikan berikut menaruh pelayanan teknis pemanfaatannya pada menjamin kelangsungan serta kelancaran proses pendidikan. Sehubungan dengan fungsi energi penunjang teknis yg dimaksudkan merupakan meliputi misalnya teknisi asal belajar di bengkel atau workshop, laboran di laboratorium, pustakawan di perpustakaan, instalator di instalasi, teknisi asal belajar pada studio, teknisi sumber belajar di PSB, dan sebagainya.

Kualifikasi tenaga penunjang administrasi kependidikan, tenaga kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya mengadakan dan menyiapkan wahana serta prasarana kependidikan serta memberikan layanan jasa administratif kepada pihak energi manajemen, atau kepemimpinan pendidikan, dan tenaga teknis fungsional, serta penunjang teknis kependidikan sesuai menggunakan kepentingannya. Siapa yg dimaksudkan menggunakan energi penunjang admistratif kependidikan ini, antara lain dapat diklaim misalnya energi admi-nistratif birokrasi, ketatausahaan perkantoran kependidikan.

Kualifikasi energi peneliti, pengembang, dan konsultan kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya nir terlibat secara pribadi pada teknis layanan kependidikan, manajemen kependidikan, layanan penunjang teknis pendidikan, serta kepada energi penunjang administratif kependidikan, tetapi hanya menyiapkan berbagai perangkat liputan serta data yang relevan dan bisa dipertanggung jawabkan dan memberikan jasa pelayanan informal serta konsultansi kepada semua pihak yg berkepentingan menggunakan kependidikan, khususnya mereka yg bertugas serta bertang-gunjawab serta terlibat menggunakan penyelengaraan, pengelolaan serta pembuatan keputusan tentang kependidikan. Keberadaan jenis ketenagaan kependidikan ini idealnya tersedia pada seluruh jenjang tataran sistem kependidikan khususnya di perguruan tinggi. Dengan demikian selayaknya pada suatu perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yg menangani bidang kependidikan mempunyai aneka macam pusat penelitian, banyak sekali pusat pengembangan, juga banyak sekali pusat atau unit konsultansi.

Berdasarkan dalam uraian tentang banyak sekali jenis kualifikasi energi kependidikan tersebut kentara kepala sekolah merupakan termasuk tenaga kependidikan yg memiliki kualifikasi menjadi tenaga manajemen pendidik, lantaran secara fungsional melakukan layanan secara tidak eksklusif kepada tenaga teknis kependidikan, merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi serta menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan program kegiatan kependidikan pada tingkat persekolahan. Sehingga di pada Peraturan Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah diatur sebagai berikut, buat bisa seseorang pengajar diberikan tugas tambahan menjadi ketua sekolah merupakan seseorang pengajar apabila telah memenuhi persyaratan kualifikasi secara umum, dan kualifikasi spesifik kepala sekolah. Persyaratan kualifikasi umum yg dimaksudkan adalah sebagai berikut: (a) mempunyai kualifikasi akdemik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kepen-didikan atau nonkependidikan pada perguruan tinggi yang terakreditasi, (b) dalam saat diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun, (c) memiliki penga-page mengajar sekuarang-kurangnya lima tahun dari jenjang sekolah masing-masing, kecuali di Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal (Taman Kanak-kanak/RA) memiliki pengalaman mengajar sekuang-kurangnya 3 tahun pada TK/RA, dan (d) memiliki pangkat serendah-rendahnya III/C bagi pegawai negeri sipil bagi non-pegwai negeri sipil disetarakan dengan kepangkatan yg dimuntahkan oleh yayasan atau lembaga yang berwewenang. Kemudian persyaratan kualifikasi khusus yang wajib dipenuhi sang seseorang pengajar buat dapat diangkat menjadi kepala sekolah tadi sangan tergantung dalam jenis dan jenjang persekolahan tadi, maka barangkali menjadi model bisa dikutifkan persyaratan kualifikasi spesifik Kepala SMA/Madrsah Aliyah (SMA/MA) merupakan menjadi berikut: (1) bersetatus menjadi guru Sekolah Menengah Atas/MA, (2) mempunyai sertifikat pendidik menjadi pengajar SMA/MA, serta (tiga) memiliki sertifikat kepla sekolah SMA/MA yg diterbitkan sang lembaga yg ditetapkan pemerintah. Dengan adanya jabatan ketua sekolah adalah tugas tambahan menurut pengajar, maka secara fungsional tugas ketua sekolah masih tetap sebagai energi kependidikan kualifikasi pendidik, dalam arti secara eksklusif juga menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada siswa, serta sebagai energi manajemen pendidikan melakukan layanan secara tidak eksklusif kepada energi teknis kependidikan, merancang serta merencanakan, mengorganisasikan serta menaruh pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam tingkat persekolahan. Jadi dalam jabatan ketua sekolah tersebut termasuk 2 kualifikasi yaitu menjadi kualifikasi energi manajemen pendidikan serta energi pendidik. Untuk kepala sekolah sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendi-dikan dalam tugas tambahan ketua sekolah akan dibahas secara lebih teoritikal, lebih dalam, serta lebih luas dalam pembahasan bab-bab berikutnya. Sedangkan kepala sekolah menjadi kualifikasi tenaga pendidik akan dibahas pada uraian selanjutnya.

Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Di pada uraian tentang jenis serta kualifikasi tenaga kependidikan telah dijelaskan bahwa kepala sekolah adalah jabatan tugas tambahan, dan di sisi lain secara teoritik juga fungsional ketua sekolah pula disebutkan termasuk energi pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur mengenai Sistem pendidikan Nasional pada pasal 39 (2) berbunyi pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai output pembelajaran, melakukan pembim-bingan serta pembinaan, serta melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, terutama bagi pendidik dalam perguruan tinggi. Kemudian pada Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Pengajar dan Dosen pada pasal 1 (1) berbunyi guru merupakan pendidik professional dengan tugas primer mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai serta mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah. Dengan demikian melihat posisi kualifikasi kepala sekolah menjadi tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik, maka kepala sekolah pula melaksanakan tugas menjadi pendidik, yaitu mendidik. Mendidik berdasarkan Wahjosumidjo (2008) diartikan memberikan latihan tentang akhlak dan kecer-dasan pikiran sebagai akibatnya pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap serta tata laku seorang atau sekelompok orang pada usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Demikian pula pada perkembangan selanjutnya kata pendidikan dipersamakan dengan istilah-kata pedagogi. 

Berdasarkan pada pengertian pendidikan tersebut menaruh tanda bahwa proses pendidikan pada samping secara khusus dilaksanakan melalui sekolah, bisa pula diselenggarakan pada luar sekolah, yaitu famili serta masyarakat. Lebih jauh bisa pula dipahami bahwa seseorang pendidik tersebut harus benar-benar mengetahui teori-teori serta metode pada pendidikan tersebut. Kepala sekolah sebagai seseorang pendidik harus sanggup menanamkan, memajukan dan menaikkan paling tidak empat macam nilai, yaitu: (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin dan watak manusia, (dua) nilai moral yang berkaitan dengan hal-hal ajaran baik dan buruk tentang perbuatan, perilaku serta kewajiban atu moral yg diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan insan terhadap seni dan keindahan. 

Kepala sekolah sebagai pendidik juga wajib memperhatikan dua perseteruan utama, yaitu pertama adalah sasarannya, serta yg ke 2 adalah cara dalam melaksanakan kiprahnya menjadi pendidik. 

Ada tiga grup yg menjadi sasaran dari kepala sekolah pada melaksanakan tugas mendidiknya, yaitu pertama adalah siswa atau murid, yang kedua merupakan pegawai administrasi, serta yang ketiga merupakan pengajar-pengajar. Ketiga grup ini sebagai sasaran dalam pendidikan yg dilakukan sang kepala sekolah. Ketiga kelompok tersebut antara kelompok yang satu menggunakan kelompok yg lainnya mempunyai perbedaan-perbedaan yg sangat prinsip, yg secara generik dapat ditinjau dalam aneka macam tanda-tanda serta konduite yang ditunjukannya misalnya misalnya pada taraf kematangannya, latar belakang sosial yang berbeda, motivasi yang berbeda, tingkat pencerahan pada bertanggungjawab, serta lain sebagainya. Konsekwensi menggunakan adanya perbedaan-perbedaan tersebut merupakan ketua sekolah pada dalam melaksanakan tugas mendidikanya dalam rangka menanamkan (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin dan watak insan, (2) nilai moral yg brkaitan menggunakan hal-hal ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atu moral yg diartikan menjadi ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (tiga) nilai fisik hal-hal yg berkaitan menggunakan syarat jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yg berkaitan menggunakan kepekaan insan terhadap seni dan keindahan, juga seharusnya menggunakan memakai cara atau pendekatan yang bhineka terhadap setiap sasaran didiknya, tidak mampu dilakukan menggunakan pendekatan dan strategi yang sama.

Berbagai pendekatan yang sanggup dipakai sang ketua sekolah terhadap grup target pada melaksanakan pendidikan atau mendidik muridnya, staf pegawai adminis-trasi, serta pengajar-gurunya. Pertama dengan menggunakan pendekatan atau taktik persuasi. Persuasi yg dimaksudkan di sini adalah bisa meyakinkan secara halus sebagai akibatnya para siswa, staf pegawai administrasi dan guru-pengajar yakin akan kebenaran, merasa perlu dan menduga krusial nilai-nilai yg terkandung dalam nilai-nilai aspek mental, moral, fisik, serta keindahan ke dalam kehidupan mereka. Persuasi dapat dilakukan secara individu maupun secara gerombolan .

Kedua menggunakan pendekatan dan setrategi keteladanan, merupakan hal yg patut, baik serta perlu untuk dicontoh yg disampaikan oleh kepala sekolah melalui sikap, perbuatan, konduite termasuk penampilan kerja serta penampilan fisik. 

Sudah tentunya kepala sekolah dalam menggunakan pendekatan serta strategi persuasi dan keteladanan terhadap muridnya, staf pegawai, serta pengajar-pengajar tersebut harus permanen berpijak serta menghormati norma-kebiasaan dan etika-etika yang berlaku dimasyarakat khususnya di global pendidikan. Secara lebih spesifik bagaimana ketua sekolah seharusnya memperlakukan muridnya atau anak didiknya. Kepala sekolah sebaiknya wajib tahu bahwa pengertian pendidikan tadi tidak hanya semata-mata diberikan pengertian sebagai proses mengajar saja, tetapi pula adalah menjadi bimbingan, dan yang lebih krusial jua adalah bagaimana dalam mengaplikasikannya proses bimbingan tersebut. Tampaknya dalam interaksi dengan pemaknaan terhadap bimbingan tersebut tidak bisa dilepaskan menurut pengertian pembimbingan yang dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara pada sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang populer pada sistem among tadi adalah ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, serta tut wuri handayani. Ketiga kalimat tadi memiliki arti bahwa pendidikan harus bisa memberi model, harus bisa menaruh dampak, serta harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya (Soetjipto dan Raplis Kosasi, 1999). Sebagai ketua sekolah harus mampu membentuk serta menum-buhkan kodisi yg aman yg bisa memberi serta membiarkan anak didiknya menuruti talenta serta kondratnya ad interim ketua sekolah memperhatikannya, serta mem-pengaruhinya pada arti mendidiknya dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti dalam bersikap menentukan ke arah pembentukan kemana anak didik mau dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.

Kepala sekolah menjadi seorang pemimpin di sekolah harus bersikap positif terha-dap guru-guru dan pegawai administrasi lainnya dalam melaksanakan tugasnya buat pencapai tujuan sekolahnya. Kepala sekolah dituntut mampu buat bisa kerjasama, mam-pu buat memberi arahan, dan memberi petunjuk, ketua sekolah diperlukan juga bisa menerima aneka macam tambahkan, serta kritik berdasarkan pengajar-guru. Kepala sekolah pula bisa membina, mendidik, melatih seluruh pengajar serta pesonil sinkron dengan bidang tugasnya masing-masing pada bisnis tambahan pengetahuan keterampilan serta pengalaman juga perubahan sikap yg lebih positif terhadap pelakasanaan tugas.

PENGERTIAN TENAGA KEPENDIDIKAN PROFESIONAL

Pengertian Tenaga Kependidikan Profesional 
Tenaga kependidikan dalam beberapa kepustakaan diklaim dengan nama atau kata yg berbeda-beda. Sutisna (1983) menyebut dengan kata personil, Engkoswara (1987) menyebut dengan istilah sumber daya insani, Wijono (1989) menyebut menggunakan kata ketenagaan sekolah, Harris, dkk (1979) menyebut menggunakan kata personel, lalu Makmun (1996) menyebut dengan istilah energi kependidikan, sedangkan kalau melihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1992 yg mengatur mengenai energi kependidikan di Indonesia, serta Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional menyebutnya dengan kata tenaga kependidikan. 

Dari banyak sekali kata yg berkaitan menggunakan tenaga kependidikan tersebut secara konseptual dan teoritik semuanya memang benar pada arti bisa diterima, lebih-lebih istilah energi kependidikan yang memiliki landasan hukum, yaitu Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 sepertinya akan lebih sempurna. Namun perlu diketahui bahwa pada manajemen pula dikenal serta digunakan istilah secara lebih generik, yaitu kata sumber daya manusia. Kemudian dalam kaitannya dengan goresan pena di kitab ini, maka kata yang digunakan barangkali serta bisa jadi istilah-kata tadi akan digunakan secara silih berganti, karena pada dasarnya merupakan sama saja.

Persoalannya yg timbul serta perlu dibahas merupakan siapakah yang dimaksud menggunakan tenaga kependidikan. Menurut ketentuan generik Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 (lima) tenaga kependidikan yang dimaksud merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat buat menunjang penyelengaraan pendidikan. Dalam pasal 1 (6) tadi jua dijelaskan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi menjadi pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, fasilitator, dan sebutan yang lainnya yg sinkron dengan kekhususannya, serta partisipasi pada menyelenggarakan pendidikan.

Berdasarkan pada bunyi pasal 1 (lima) dan (6) Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tadi dapatlah diketahui bahwa energi kependidikan tersebut adalah memiliki makna dan cakupan yg jauh lebih luas berdasarkan pendidik. Bisa jadi yg dimaksud termasuk dengan tenaga kependidikan tersebut pada samping pendidik, misalnya pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator, adalah pula termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, penguji serta yang lainnya.

Semua jenis sumberdaya insan atau energi kependidikan tersebut krusial buat dibahas pada kajian ini lantaran sangat bermanfaat tidak saja buat kepentingan pada pengembangan keilmuan atau dalam bidang teoritik akademik, tetapi yg lebih penting merupakan untuk kepentingan mudah pada rangka dapat mengkontribusi aplikasi pengembangan energi kependidikan khususnya kepala sekolah yang dipercaya ideal. Memang demikianlah kenyataannya sumber daya insan tersebut dalam segala fungsi serta kiprahnya sangat penting bagi pencapaian tujuan suatu organisasi termasuk dalam bidang pendidikan. Sebab kebijakan dalam pengelolaan sumbedaya insan yang dilandasi sang suatu persepsi, kajian teori yang galat, dan galat, yg dijadikan dasar pada mengelola seluruh faktor sistem pendidikan lainnya yang berupa uang, material yang melimpah ruah, serta fasilitas yang lengkap tersebut tidak akan sebagai signifikan dan determinan pada mencapai tujuan pendidikan (Weber.1954., Harris, dkk. 1979). Sumberdaya insan akan sangat menentukan keberhasilanya, serta memang agak tidak selaras menggunakan mengelola material yang berupa mesin-mesin atau teknologi yang sophisticated dimana mesin-mesin tersebut walaupun pula menentukan keberhasilan suatu organisasi, tetapi mesin-mesin tadi tidak akan bisa mengeluh, nir mampu melawan perintah, nir akan mangkir pada melaksanakan tugas, nir akan melaksanakan pemogokan, tidak akan terlibat dalam permasalahan-pertarungan seperti insan, nir akan bisa mengajukan tuntutan pemugaran nasib, serta perbuatan-perbuatan negatif yg lainnya (Siagian.1999). Menyadari begitu pentingnya sumberdaya manusia tadi, maka pada penjelasan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1992 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan merupakan komponen yang determinan serta menempati posisi kunci pada sistem pendidikan nasional. Pengembangan sumberdaya manusia atau tenaga kependidikan yg memiliki kualitas kemampuan yang profesional serta kinerja yg baik, tidak saja akan mengkontribusi terhadap kualitas lulusan yg dihasilkan, melainkan jua berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan pada pembangunan, yang dalam gilirannya lalu akan berpengaruh pada kualitas peradaban serta martabat hidup masyarakat, bangsa, serta umat manusia pada umumnya. Demikian pula buat lebih bisa memahami kajian mengenai profesi kependidikan ini secara konseptual serta teoritik, lebih empirik serta simpel, maka kajiannya akan difokuskan dalam energi kependidikan tetentu saja, khususnya ketua sekolah saja, lantaran jabatan ketua sekolah tersebut adalah adalah pengembangan jabatan menurut guru. Kepala sekolah menjadi jabatan atau tugas tambahan dari guru cukup menarik buat dibahas karena pada dalam diri ketua sekolah tadi pada samping berfungsi sebagai pendidik pula disebutkan berfungsi menjadi manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator serta mativator, sehingga jabatan ketua sekolah tersebut acapkali diakronimkan sebagai Emaslim. Dengan mengkhu-suskan penekanan kajiannya dalam kepala sekolah pula akan lebih gampang pada menaruh berbagai gambaran, model-model, pendalaman juga pada pengayaannya. 

Jenis-jenis dan Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Dalam uraian serta penjelasan tentang pengertian tenaga kependidikan telah bisa dimengerti secara jelas yang dimaksud menggunakan energi kependidikan tadi adalah anggota rakyat yg mengabdikan diri dan diangkat buat menunjang penyelenggaraan pendidikan misalnya guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, serta fasilitator, termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, serta yang lainnya. Bahkan bisa jadi pula termasuk semua pengelola yayasan pada forum-forum pendidikan partikelir, serta seluruh pengambil kebijakan pada birokrasi dan stafnya pada tingkat sentra, wilayah provinsi, kabupaten/kota, taraf keca-matan, serta di tingkat desa.

Kalau dilema jenis-jenis energi kependidikan dan energi pendidikan telah tampak dalam pembahasan teruraikan menggunakan sedikit lebih jelas, yang sebagai dilema lebih lanjut adalah kasus bagaimana kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya kualifikasi jabatan ketua sekolah tersebut. Secara teoritik dan mengacu sebagaimana lazimnya pada negara-negara maju, maka kualifikasi tenaga kependidikan tadi dapat dibedakan sebagai energi pendidik, energi manajemen kependidikan, energi penunjang teknis kependidikan, energi penunjang administratif kependidikan, tenaga peneliti, pengembang dan konsultan kependidikan (Makmun. 1996., Sanusi. 1990). Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas secara ringkas berdasarkan masing-masing kualifikasi energi kependidikan tadi, menggunakan penjelasannya yg lebih difokuskan pada kualifikasi tenaga kependidikan khususnya kepala sekolah. 

Kualifikasi tenaga pendidik merupakan energi kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya secara eksklusif memberikan pelayanan teknis kependidikan pada peserta didik. Sesungguhnya pada hubungan ini alam sudah melibatkan semua orang yang melaksanakan tugas pelayanan tersebut termasuk para orang tua pada tempat tinggal , para guru/dosen, pembimbing dan instruktur pada sekolah atau satuan-satuan pendidikan yang lainnya, para pelatih atau fasilitator, pamong belajar dalam pusat-pusat atau balai pembinaan serta kursus-kursus, para pembina dan pembimbing pada banyak sekali serikat atau sanggar atau pedepokan dan organisasi yang melatih serta membimbing keterampilan seni dan budaya, para ustadz serta pembina di pondok pesantren serta majelis-majelis taklim atau pengajian pada surau serta langgar, para penyiar TV serta Radio yg mengasuh acara dan mimbar kependidikan, para penulis artikel dimedia cetak seperti majalah, koran, jurnal, kitab bacaan, kitab pelajaran yang mengandung muatan atau nuansa kependidikan, para penyuluh lapangan di bidang kesehatan/KB, hukum, pertanian dan sebagainya yang diselengarakan oleh pemerintah juga oleh masyarakat. Pelaksanaan tugas pelayanan kependidikan tersebut bisa secara tatap muka secara langsung di kelas atau melalui TV, sistem belajar jarak jauh, secara korespondensi, serta aneka macam bentuk komunikasi lainnya. Namun demikian perlu disadari bahwa perkara kualifikasi akademik energi pendidik tadi adalah diatur oleh undang-undang atau peraturan-peraturan. Oleh karena itu, kalau diperhatikan pasal 9 undang-undang guru bisa diketahui bahwa kualifikasi akademik seorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi acara sarjana, atau diploma empat (D4). Sementara itu kalau diperhatikan pasal 42 (dua) undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan formal pada jenjang usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, kualifikasi akademik seseorang guru haruslah berlatar belakang pendidikan tinggi dan didapatkan sang perguruan tinggi. Demikian pula pada PP No. 19 tahun 2005 dalam pasal 29 (2) disebutkan bahwa pengajar SD/MI/SDLB wajib berpendidikan S1 atau D4 bidang PGSD, psikologi, atau pendidikan lainnya. Kemudian dalam pasal yang sama ayat tiganya disebutkan bahwa guru Sekolah Menengah pertama/MTs/ SMPLB wajib berpendidikan S1 atau D4 dengan progam studi yang sinkron menggunakan mata pelajaran yang diajarkan. Dari bunyi ketentuan-ketentuan yg diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tadi, sepertinya kualifikasi pengajar misalnya menuntut suatu persyaratan kualifikasi pendidikan seseorang guru tersebut merupakan sama, yaitu lulusan pendidikan tinggi S1 atau D4. Namun demikian bila makna suara pasal-pasal yang diatur serta terdapat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, undang-undang pengajar, serta PP No. 19 tahun 2005 dirunut dan disenergikan dapat disimpulkan bahwa buat sebagai guru pada Indonesia haruslah minimum berpendidikan S1 atau D4 berdasarkan program studi yang relevan, misalnya untuk sebagai guru taman kanak-kanak dipersyaratkan harus lulusan pergruan tinggi S1 atau D4 PAUD/ PGTK/Psikologi/kependidikan lainnya. Seseorang buat dapat diangkat menjadi pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB dipersyaratkan wajib lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 PGSD/ Psikologi/Kependidikan lainnya. Untuk menjadi guru Matematika Sekolah Menengah pertama/MTS/ SMPLB atau Sekolah Menengah Atas/MA/SMK/SMALB dipersyaratkan lulusan perguruan tinggi program S1 atau D4 Matematika atau Pendidikan Matematika. Persyaratan kualifikasi pendidikan minimum bagi pengajar ini adalah suatu lompatan yg cukup signifikan dalam upaya menaikkan kualitas pendidikan di negara kita (Samani, dkk. 2006). 

Kualifikasi tenaga manajemen kependidikan, adalah tenaga kependidikan yang secara fungsional melakukan layanan secara nir pribadi kepada energi teknis kepen-didikan, tetapi melakukan merancang serta merencanakan, mengorganisasikan dan mem-berikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua kegiatan penyelenggaraan pengelolaan acara aktivitas kependidikan pada semua jenjang tataran sistem pendidikan mulai tingkat struktural pusat, regional atau daerah, hingga pada tingkat operasional. Sehubungan fungsi energi manajemen tersebut, maka yg sanggup dimasukkan sebagai tenaga manajemen kependidikan merupakan: para perencana pendidikan, para pimpinan struktural dari tingkat sentra hingga taraf operasional kependidikan, para pimpinan atau pengelola, para ketua sekolah, penilik dan pengawas, penilai dan penguji pendidikan, para penghasil kebijakan atau keputusan. 

Kualifikasi energi penunjang teknis kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya menyiapkan kelengkapan wahana dan fasilitas teknis kependidikan berikut menaruh pelayanan teknis pemanfaatannya dalam menjamin kelangsungan dan kelancaran proses pendidikan. Sehubungan menggunakan fungsi tenaga penunjang teknis yg dimaksudkan adalah mencakup seperti teknisi sumber belajar di bengkel atau workshop, laboran pada laboratorium, pustakawan di perpustakaan, instalator di instalasi, teknisi sumber belajar pada studio, teknisi sumber belajar pada PSB, dan sebagainya.

Kualifikasi energi penunjang administrasi kependidikan, energi kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya mengadakan serta menyiapkan sarana serta prasarana kependidikan dan menaruh layanan jasa administratif pada pihak tenaga manajemen, atau kepemimpinan pendidikan, serta tenaga teknis fungsional, dan penunjang teknis kependidikan sesuai dengan kepentingannya. Siapa yang dimaksudkan menggunakan tenaga penunjang admistratif kependidikan ini, diantaranya bisa disebut seperti tenaga admi-nistratif birokrasi, ketatausahaan perkantoran kependidikan.

Kualifikasi energi peneliti, pengembang, serta konsultan kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya nir terlibat secara eksklusif pada teknis layanan kependidikan, manajemen kependidikan, layanan penunjang teknis pendidikan, dan kepada energi penunjang administratif kependidikan, namun hanya menyiapkan banyak sekali perangkat informasi dan data yang relevan dan dapat dipertanggung jawabkan serta memberikan jasa pelayanan informal serta konsultansi pada seluruh pihak yang berkepentingan dengan kependidikan, khususnya mereka yang bertugas dan bertang-gunjawab serta terlibat dengan penyelengaraan, pengelolaan serta pembuatan keputusan mengenai kependidikan. Keberadaan jenis ketenagaan kependidikan ini idealnya tersedia pada semua jenjang tataran sistem kependidikan khususnya pada perguruan tinggi. Dengan demikian selayaknya dalam suatu perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang menangani bidang kependidikan memiliki aneka macam sentra penelitian, banyak sekali sentra pengembangan, maupun banyak sekali pusat atau unit konsultansi.

Berdasarkan pada uraian mengenai aneka macam jenis kualifikasi tenaga kependidikan tersebut kentara kepala sekolah merupakan termasuk energi kependidikan yg memiliki kualifikasi menjadi tenaga manajemen pendidik, lantaran secara fungsional melakukan layanan secara tidak langsung kepada energi teknis kependidikan, merancang serta merencanakan, mengorganisasikan dan menaruh pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan pada taraf persekolahan. Sehingga pada pada Peraturan Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah diatur sebagai berikut, buat dapat seseorang guru diberikan tugas tambahan sebagai ketua sekolah merupakan seseorang guru apabila sudah memenuhi persyaratan kualifikasi secara umum, dan kualifikasi khusus ketua sekolah. Persyaratan kualifikasi generik yang dimaksudkan adalah menjadi berikut: (a) memiliki kualifikasi akdemik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kepen-didikan atau nonkependidikan dalam perguruan tinggi yang terakreditasi, (b) dalam ketika diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun, (c) mempunyai penga-halaman mengajar sekuarang-kurangnya 5 tahun menurut jenjang sekolah masing-masing, kecuali di TK/Raudhatul Athfal (Taman Kanak-kanak/RA) memiliki pengalaman mengajar sekuang-kurangnya tiga tahun pada Taman Kanak-kanak/RA, dan (d) mempunyai pangkat serendah-rendahnya III/C bagi pegawai negeri sipil bagi non-pegwai negeri sipil disetarakan menggunakan kepangkatan yg dimuntahkan oleh yayasan atau forum yang berwewenang. Kemudian persyaratan kualifikasi khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang guru untuk dapat diangkat menjadi kepala sekolah tersebut sangan tergantung dalam jenis dan jenjang persekolahan tadi, maka barangkali sebagai contoh dapat dikutifkan persyaratan kualifikasi khusus Kepala SMA/Madrsah Aliyah (SMA/MA) adalah sebagai berikut: (1) bersetatus menjadi pengajar SMA/MA, (2) memiliki sertifikat pendidik menjadi guru SMA/MA, dan (3) memiliki sertifikat kepla sekolah Sekolah Menengah Atas/MA yg diterbitkan oleh forum yg ditetapkan pemerintah. Dengan adanya jabatan ketua sekolah merupakan tugas tambahan dari guru, maka secara fungsional tugas kepala sekolah masih permanen menjadi energi kependidikan kualifikasi pendidik, dalam arti secara langsung jua menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada siswa, dan sebagai tenaga manajemen pendidikan melakukan layanan secara nir eksklusif pada energi teknis kependidikan, merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam tingkat persekolahan. Jadi pada jabatan kepala sekolah tadi termasuk dua kualifikasi yaitu sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendidikan dan energi pendidik. Untuk ketua sekolah sebagai kualifikasi energi manajemen pendi-dikan dalam tugas tambahan kepala sekolah akan dibahas secara lebih teoritikal, lebih pada, dan lebih luas pada pembahasan bab-bab berikutnya. Sedangkan kepala sekolah sebagai kualifikasi energi pendidik akan dibahas pada uraian selanjutnya.

Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Di dalam uraian tentang jenis serta kualifikasi energi kependidikan telah dijelaskan bahwa kepala sekolah merupakan jabatan tugas tambahan, dan di sisi lain secara teoritik juga fungsional kepala sekolah jua disebutkan termasuk tenaga pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur mengenai Sistem pendidikan Nasional pada pasal 39 (dua) berbunyi pendidik merupakan tenaga profesional yg bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembim-bingan serta pembinaan, dan melakukan penelitian dan darma pada rakyat, terutama bagi pendidik dalam perguruan tinggi. Kemudian pada Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam pasal 1 (1) berbunyi pengajar merupakan pendidik professional dengan tugas primer mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai serta mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah. Dengan demikian melihat posisi kualifikasi ketua sekolah sebagai tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik, maka ketua sekolah jua melaksanakan tugas menjadi pendidik, yaitu mendidik. Mendidik berdasarkan Wahjosumidjo (2008) diartikan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecer-dasan pikiran sehingga pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan perilaku dan tata laku seseorang atau sekelompok orang pada usaha mendewasakan manusia melalui upaya pedagogi dan latihan. Demikian jua dalam perkembangan selanjutnya istilah pendidikan dipersamakan dengan istilah-kata pengajaran. 

Berdasarkan pada pengertian pendidikan tersebut memberikan indikasi bahwa proses pendidikan di samping secara khusus dilaksanakan melalui sekolah, dapat juga diselenggarakan pada luar sekolah, yaitu keluarga serta rakyat. Lebih jauh bisa pula dipahami bahwa seseorang pendidik tersebut harus sahih-benar mengetahui teori-teori dan metode pada pendidikan tersebut. Kepala sekolah menjadi seorang pendidik harus mampu menanamkan, memajukan serta menaikkan paling nir empat macam nilai, yaitu: (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin serta tabiat insan, (2) nilai moral yang berkaitan menggunakan hal-hal ajaran baik dan buruk tentang perbuatan, perilaku serta kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, serta kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal yang berkaitan menggunakan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan insan terhadap seni serta estetika. 

Kepala sekolah sebagai pendidik juga harus memperhatikan 2 konflik utama, yaitu pertama merupakan sasarannya, serta yang ke 2 adalah cara dalam melaksanakan perannya menjadi pendidik. 

Ada tiga gerombolan yang menjadi target berdasarkan ketua sekolah dalam melaksanakan tugas mendidiknya, yaitu pertama merupakan peserta didik atau anak didik, yang ke 2 adalah pegawai administrasi, serta yg ketiga adalah guru-pengajar. Ketiga kelompok ini menjadi sasaran pada pendidikan yg dilakukan sang ketua sekolah. Ketiga kelompok tersebut antara grup yang satu menggunakan gerombolan yang lainnya mempunyai perbedaan-disparitas yg sangat prinsip, yang secara generik dapat ditinjau pada banyak sekali gejala serta konduite yg ditunjukannya misalnya misalnya dalam tingkat kematangannya, latar belakang sosial yang tidak sinkron, motivasi yang berbeda, taraf kesadaran pada bertanggungjawab, dan lain sebagainya. Konsekwensi menggunakan adanya disparitas-disparitas tersebut adalah kepala sekolah di pada melaksanakan tugas mendidikanya dalam rangka menanamkan (1) nilai mental, nilai yang berkaitan menggunakan perilaku bathin serta tabiat insan, (dua) nilai moral yang brkaitan dengan hal-hal ajaran baik serta jelek mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (tiga) nilai fisik hal-hal yg berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan insan secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan menggunakan kepekaan insan terhadap seni serta estetika, pula seharusnya dengan menggunakan cara atau pendekatan yang berbeda-beda terhadap setiap target didiknya, tidak mampu dilakukan dengan pendekatan dan strategi yang sama.

Berbagai pendekatan yang sanggup dipakai oleh ketua sekolah terhadap kelompok sasaran dalam melaksanakan pendidikan atau mendidik muridnya, staf pegawai adminis-trasi, dan pengajar-gurunya. Pertama dengan memakai pendekatan atau taktik persuasi. Persuasi yg dimaksudkan pada sini adalah mampu meyakinkan secara halus sehingga para siswa, staf pegawai administrasi dan pengajar-guru konfiden akan kebenaran, merasa perlu serta menduga krusial nilai-nilai yang terkandung pada nilai-nilai aspek mental, moral, fisik, serta estetika ke pada kehidupan mereka. Persuasi bisa dilakukan secara individu juga secara grup.

Kedua dengan pendekatan dan setrategi keteladanan, adalah hal yg patut, baik dan perlu untuk dicontoh yg disampaikan oleh kepala sekolah melalui perilaku, perbuatan, perilaku termasuk penampilan kerja serta penampilan fisik. 

Sudah tentunya ketua sekolah pada memakai pendekatan dan strategi persuasi serta keteladanan terhadap muridnya, staf pegawai, dan pengajar-pengajar tadi harus tetap berpijak dan menghormati kebiasaan-kebiasaan dan etika-etika yg berlaku dimasyarakat khususnya di global pendidikan. Secara lebih khusus bagaimana ketua sekolah seharusnya memperlakukan muridnya atau anak didiknya. Kepala sekolah sebaiknya harus memahami bahwa pengertian pendidikan tadi tidak hanya semata-mata diberikan pengertian sebagai proses mengajar saja, tetapi jua adalah menjadi bimbingan, serta yang lebih penting juga merupakan bagaimana pada mengaplikasikannya proses bimbingan tadi. Tampaknya pada interaksi dengan pemaknaan terhadap bimbingan tadi tidak bisa dilepaskan berdasarkan pengertian pembimbingan yg dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang terkenal dalam sistem among tersebut merupakan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ketiga kalimat tersebut memiliki arti bahwa pendidikan wajib bisa memberi model, wajib bisa memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya (Soetjipto dan Raplis Kosasi, 1999). Sebagai ketua sekolah wajib bisa membentuk dan menum-buhkan kodisi yg aman yang dapat memberi dan membiarkan anak didiknya menuruti talenta dan kondratnya ad interim ketua sekolah memperhatikannya, dan mem-pengaruhinya pada arti mendidiknya dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti pada bersikap memilih ke arah pembentukan kemana murid mau dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.

Kepala sekolah menjadi seorang pemimpin pada sekolah harus bersikap positif terha-dap guru-pengajar dan pegawai administrasi lainnya pada melaksanakan tugasnya untuk pencapai tujuan sekolahnya. Kepala sekolah dituntut mampu buat bisa kerjasama, mam-pu buat memberi arahan, serta memberi petunjuk, kepala sekolah diperlukan jua bisa mendapat banyak sekali tambahkan, serta kritik dari guru-pengajar. Kepala sekolah jua bisa membina, mendidik, melatih seluruh pengajar dan pesonil sinkron dengan bidang tugasnya masing-masing dalam bisnis tambahan pengetahuan keterampilan dan pengalaman juga perubahan sikap yang lebih positif terhadap pelakasanaan tugas.

PENGERTIAN FUNGSI PEMBINAAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian, Fungsi Pembinaan Menurut Para Ahli 
Pembinaan adalah totalitas aktivitas yang meliputi perencanaan, pengaturan serta penggunaan pegawai sehingga sebagai pegawai yang mampu mengemban tugas berdasarkan bidangnya masing-masing, agar bisa mencapai prestasi kerja yg efektif dan efisien. Pembinaan pula bisa diartikan menjadi suatu tindakan, proses, output atau pernyataan lebih baik. Dalam Buku Pembinaan Militer Departemen HANKAM disebutkan, bahwa training adalah:

“Pembinaan merupakan suatu proses penggunaan insan, alat peralatan, uang, waktu, metode serta sistem yg berdasarkan dalam prinsip eksklusif buat pencapaian tujuan yang telah ditentukan menggunakan daya dan output yg sebesar-besarnya”. (Musanef,1991:11). 

Dalam hal suatu pembinaan memberitahuakn adanya suatu kemajuan peningkatan, atas berbagai kemungkiinan peningkatan, unsur menurut pengertian pelatihan ini merupakan suatu tindakan, proses atau pernyataan menurut suatu tujuan dan pembinaan menerangkan pada “pemugaran” atas sesuatu kata pembinaan hanya diperankan pada unsur insan, sang karenanya pelatihan haruslah sanggup menekan serta pada hal-hal masalah manusia. Hal ini sejalan menggunakan pendapat Miftah Thoha dalam bukunya yang berjudul “Pembinaan Organisasi” mendefinisikan, pengertian training bahwa :
  1. Pembinaan merupakan suatu tindakan, proses, atau pernyataan sebagai lebih baik.
  2. Pembinaan adalah suatu taktik yg unik dari suatu sistem pambaharuan serta perubahan (change).
  3. Pembinaan adalah suatu pernyataan yg normatif, yakni menyebutkan bagaimana perubahan serta pembaharuan yang berencana serta pelaksanaannya.
  4. Pembinaan berusaha untuk mencapai efektivitas, efisiensi pada suatu perubahan serta pembaharuan yang dilakukan tanpa mengenal berhenti. (Miftah,1997:16-17). 
Dalam kitab Tri Ubaya Sakti yg dikutip sang Musanef pada bukunya yang berjudul Manajemen Kepegawaian di Indonesia disebutkan bahwa, yang dimaksud menggunakan pengertian training merupakan :

“Segala suatu tindakan yg berafiliasi eksklusif dengan perencanaan, penyusunan, pembangunan, pengembangan, pengarahan, penggunaan dan pengendalian segala sesuatu secara berdaya guna dan berhasil guna”. (Musanef,1991:11).

Pembinaan adalah tugas yg terus menerus pada dalam pengambilan keputusan yg berwujud suatu perintah spesifik/umum dan instruksi-intruksi, dan bertindak menjadi pemimpin dalam suatu organisasi atau forum. Usaha-bisnis training adalah problem yang normatif yakni mengungkapkan tentang bagaimana perubahan serta pembaharuan dalam pelatihan.

Fungsi Pembinaan 
Untuk mendapatkan hasil kerja yg baik, maka diperlukan adanya pegawai-pegawai yg setia, taat, amanah, penuh dedikasi, disiplin serta sadar akan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya sesuai menggunakan peraturan perundang-undangan kepegawaian yang berlaku, fungsi training diarahkan buat : 
  • Memupuk kesetiaan serta ketaatan. 
  • Meningkatkan adanya rasa darma rasa tanggung jawab, kesungguhan serta kegairahan bekerja dalam melaksanakan tugasnya. 
  • Meningkatkan gairah dan produktivitas kerja secara optimal. 
  • Mewujudkan suatu layanan organisasi serta pegawai yang higienis dan berwibawa. 
  • Memperbesar kemampuan serta kehidupan pegawai melalui proses pendidikan dan latihan yg sinkron menggunakan kebutuhan serta perkembangan organisasi (wadah yg ditentukan). 
Karakteristik Pembinaan
Menurut French serta Bell yg dikutip sang Miftah Thoha dalam bukunya Pembinaan Organisasi mengidentifikasikan ciri pelatihan, yaitu : 
  • Lebih menaruh fokus walaupun nir tertentu dalam proses organisasi dibandingkan dengan isi yg subtantif. 
  • Memberikan fokus pada kerja tim menjadi suatu kunci buat memeriksa lebih efektif mengenai berbagai perilaku. 
  • Memberikan penekanan pada manajemen yang kolaboratif menurut budaya kerja tim. 
  • Memberikan penekanan pada manajemen yg berbudaya sistem holistik. 
  • Mempergunakan contoh “action research”. 
  • Mempergunakan ahli-pakar konduite menjadi agen pembaharuan atau katalisator. 
  • Suatu pemikiran berdasarkan usaha-usaha perubahan yang ditujukan bagi proses-proses yang sedang berlangsung. 
  • Memberikan penekanan kepada interaksi-hubungan kemanusiaan dan sosial. 
Dengan memahami karakteristik diatas, membedakan setiap perubahan, pengembngan atau pembinaan yang bisa dijadikan suatu ukuran yang bisa membedakan antara pelatihan dengan bisnis-bisnis pembaharuan dan training lainnya. 

Proses Pembinaan
1. Teknik Pembinaan
Teknik training adalah suatu pekerjaan yang sangat kompleks, yg ditujukan buat melaksanakan setiap kegiatan. Teknik yang dimaksud adalah bagaimana setiap pegawai pada melaksanakan pekerjaannya memiliki hasil yg sempurna dengan mencapi efisiensi. Penggunaan daripada teknik ini nir hanya buat mencapi efisiensi, namun jua terhadap kualitas pekerjaannya dan keseragaman daripada hasil yang diperlukan. Teknik adalah berhubungan dengan cara atau jalan bagaimana suatu kebijakan itu dilakukan. 

Teknik pelatihan bertujuan buat mengetahui secara pasti arus daripada kabar yang dibutuhkan, yang diperoleh menurut suatu kegiatan training yg berwujud data-data, dimana setiap orang terlibat lebih mendetail dan telah dipraktekkan secara luas pada dalam kegiatan pelatihan. Teknik-teknik pada suatu pembinaan yg fokusnya luas dan dalam umumnya berjangka panjang, seperti pendapat Mintzberg yang dikutip sang Alfonsus Sirait pada bukunya Manajemen mendeskripsikan empat cara mengenai teknik-teknik dalam suatu training, yaitu :

1. Teknik Adaptif (teknik yg berliku-liku).
Teknik yang sifatnya relatif serta terfragmentasi serta fleksibilitas, yakni suatu teknik yang sanggup berjalan berliku-liku dalam menghadapi suatu kendala.

2. Teknik Perencanaan (planning strategy).
Teknik ini memberikan kerangka pedoman serta petunjuk arah yang jelas. Menurut teknik ini perencana taraf puncak mengikuti suatu prosedur sistematik yg mengharuskan menganalisis lingkungan serta forum/organisasi, sehingga dapat membuatkan suatu planning buat bergerak ke masa depan.

3. Teknik Sistematik serta Terstruktur.
Teknik yg dari pilihan yg rasional tentang peluang serta ancaman yg masih ada pada dalam lingkungan serta yg disusun begitu rupa, supaya sesuai menggunakan misi dan kemampuan lembaga/organisasi. 

4. Teknik Inkrementalisme Logis.
Merupakan suatu teknik perencanaan yang memiliki gagasan yang jells tentang tujuan lembaga/organisasi dan secara informal menggerakan forum/organisasi ke arah yang diinginkan. Dengan teknik ini paling sesuai dengan situasi tertentu buat mendorong forum/organisasi secara tahap demi tahap menuju sasarannya.

Atas dasar itu, maka galat satu cara lain harus dipilih atau telah memilih pilihannya daripada beberapa alternatif itu.

Strategi Pembinaan
Strategi dapat didefinisikan paling sedikit menurut dua perspektif yg tidak sama berdasarkan perspektif apa yang akan dilakukan oleh sebuah organisasi, serta juga menurut perspektif apa yang pada akhirnya dilakukan oleh sebuah organisasi. Dari perspektif yg pertama taktik adalah program yg luas buat mendefinisikan serta mencapai tujuan organisasi serta melaksanakan manfaatnya. Kata “acara” menyiratkan adanya peran yg aktif, yang disadari serta yg rasional pada merumuskan strategi. Dari perspektif yg ke dua, taktik merupakan pola tanggapan organisasi yang dilakukan terhadap lingkungannya sepanjang waktu.

Menurut Robert H. Hayes yg dikutip oleh Alfonsus Sirait pada bukunya Manajemen mengidentifikasikan lima karakteristik primer dari taktik training (directing strategy), yaitu :

1. Wawasan ketika (time horizon).
Strategi digunakan buat mendeskripsikan aktivitas yg meliputi waktu yg jauh ke depan, yaitu ketika yg dibutuhkan buat melaksanakan kegiatan tadi dan juga saat yang dibutuhkan buat mengamati dampaknya. 

2. Dampak (impact).
Dengan mengikuti suatu taktik eksklusif, pengaruh akhirnya akan sangat berarti.

3. Pemusatan Upaya (concentration of effort).
Sebuah stategi yg yang efektif mengharuskan sentra kegiatan, upaya atau perhatian terhadap rentang sasaran yang sempit.

4. Pola Keputusan (pattern decision).
Keputusan-keputusan wajib saling menunjang, adalah mengikuti suatu pola yg konsisten.

5. Peresapan.
Suatu taktik meliputi spektrum kegiatan yang luas mulai dari proses alokasi sumber daya sampai menggunakan kegiatan dalam pelaksanaannya.

Strategi training adalah upaya membangun kesatuan arah bagi suatu organisasi dari segi tujuannya yang aneka macam macam itu, dalam memberikan pengarahan serta mengarahkan sumber daya buat mendorong organisasi menuju tujun tadi. Menurut Mintberg dalam bukunya Strategy Making in Three Model yg dikutip oleh Alfonsus Sirait pada bukunya Manajemen mendefinisikan mengenai taktik pelatihan merupakan, bahwa :

“Strategi pelatihan adalah proses pemilihan tujuan, penentuan kebijakan dan program yang perlu buat mencapai sasaran tertentu pada rangka mencapai tujuan serta penetapan metode yang perlu buat mengklaim supaya kebijakan dan program tersebut terlaksana”. (Sirait,1991:143). 

Materi Pembinaan
Materi pembinaan meliputi tentang pengaturan asal-sumberyang diharapkan, antara lain : pegawai, biaya (money), alat-alat (equipment), bahan-bahan/perlengkapan (material), waktu yang diharapkan (time will be needs), hal tersebut wajib telah tersedia apabila diperlukan.

Materi pelatihan yg meliputi bagaimana mengalokasikan dalam aplikasi suatu aktivitas yang berhubungan dengan prosedur pengambilan keputusan serta cara-cara mengorganisasikannya, sebagai akibatnya bahan-bahan training tersebut dapat diinformasikan pada pelaksanaannya. Materi pelatihan sangat diharapkan dalam persiapannya baik dalam bentuk baku atau formulir yg dapat digunakan buat mendeskripsikan hal-hal yg krusial daripada aktivitas tersebut.

Menurut pendapat Soewarno Handayaningrat pada bukunya yang berjudul Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen menyebutkan pengertian Materi, bahwa:

“Materi adalah merupakan bentuk baku atau formulir lisan yg digunakan buat menggambarkan hal-hal penting yg dipraktekkan harus dengan kentara dan teliti, yg merupakan catatan berita pada bentuk standar yang penyampaiannya diatur secara rapi sebagai dokumen liputan”. (Soewarno,1994:133).

Materi merupakan suatu asal nilai dan adalah asal data sehabis diolah menjadi sumber keterangan yg kemudian diatur, dievaluasi, sebagai akibatnya mudah buat dijadikan bahan pada suatu aktivitas. Selanjutnya diharapkan adanya system pencatatan warta serta penyimpanan (filling and record system) yg sewaktu-ketika bisa digunakan dalam suatu aktivitas berikutnya.

Hasil Pembinaan
Pembinaan adalah suatu proses yg berkesinambungan dan nir ada rencana pembinaan bersifat final, tetapi selalu adalah bahan buat diadakan perbaikan. Oleh karena itu training bukan adalah hasil daripada proses perencanaan, namun hanya menjadi laporan sementara (interiwn report). Hasil pembinaan adalah spesifikasi menurut tujuan-tujuan/target-target sasaran berdasarkan perencanaan yg ditentukan dengan apa yg ingin dicapai, dan bagaimana mencapainya. Pada suatu formasi, informasi-fakta serta pandangan untuk ketika yg akan tiba, maka harus menyimpulkan apa yg akan menghipnotis tujuan menurut kegiatan tersebut “output yang akan dicapai”

Jelasnya, hasil pembinaan dengan maksud/tujuan untuk mencapai tujuan organisasi itu adalah merupakan suatu pertimbangan yg utama pada halnya pengambilan keputusan, maka efisiensi sangat diperlukan, karena efisiensi adalah perbandingan yg terbaik antar input dan output (output pelaksanaan dengan asal-sumber yang dipergunakan) jadi tujuan output pembinaan adalah buat mencapai efektif (berhasil guna) dan efisien (berdaya guna). 

Menurut pendapat H. Emerson yg dikutip sang Soewarno Handayaningrat dalam bukunya yang berjudul Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen menjelaskan pengertian efisiensi, yaitu :

“The ratio of input to hasil, benefit to cost (performance to be use of resources), as that which maximizes result with limited resources. In other words, it was the relation between what is accomplished and what might be accomplished”. (perbaidingan yg terbaik antara input serta output, antara keuntungan dengan biaya (antar output aplikasi dengan sumber-asal yg dipergunakan), seperti halnya pula output maximum yg dicapai menggunakan penggunaan sumber uang terbatas. Dengan kata lain hubungan antara apa yg telah diselesaikan dengan apa yg harus diselesaikan. (Soewarno,1994:15).

Pengertian Disiplin
Disiplin merupkan faktor pengikat dalam suatu pekerjaan yg memksa pegawai buat mentaati peraturan serta prosedurnya yang berlaku. Kata disiplin dari menurut istilah “Disciple”, Discipulus (latin) yang berarti mengikuti menggunakan taat. Secara konsep hal disiplin sudah merujuk pada perilaku yang selalu taat kepada anggaran, kebiasaan dan prinsip-prinsip eksklusif. Disiplin pula kemampuan buat mengendalikan diri dengan damai serta tetap taat walaupun pada situasi yang sangat menekan sekalipun, disiplin mengikuti tata tertib peraturan yang harus ditaati (ketaatan).

Menurut Webter’s “Third New Internasional Dictionary” yang dikutip sang Gering Supriadi pada bukunya Etika Birokrasi menyebutkan, bahwa: 

“Disiplin merupakan merupakan perilaku yg mendeskripsikan kepatuhan dalam suatu peraturan (aturan) atau ketentuan yang berlaku dan adalah suatu tuntutan bagi berlangsungnya kehidupan beserta yang teratur, tertib yang merupakan syarat absolut bagi berlangsungnya suatu kemajuan dan perkembangan”. (Supriyadi,2000:44).

Hal yg sama jua dikemukakan sang Henry Fayol “Theory Organization Classic” yang dikutip sang Alfonsus Sirait dalam bukunya Manajemen mendefinisikan, bahwa:

“Disiplin (discipline) adalah output kepemimpinan yang baik disemua tingkatan pada organisasi, konduite yg adil (misalnya diadakannya aturan buat menaruh penghargaan bagi prestasi yg baik) dan sanksi yang setimpal bagi para pelanggar aturan”. (Sirait,1991:45).

Disiplin pada arti ketika, kuantitas, kualitas dan finansial adalah suatu hal yang sangat diharapkan karena : 
  • Disiplin adalah jujur dari rencana kerja yang sangat kentara, ritme dan metode kerja yg permanen dan efisien. 
  • Disiplin sinkron menggunakan prinsip-prinsip manajemen, ketentuan dan mekanisme berlaku. 
Pengertian Disiplin Kerja
Keith Davis pada bukunya Human Behavior at Work yang dikutip oleh Anwar Prabu Mangkunegara mengemukakan definisi dari disiplin kerja, bahwa :

“Dicipline is Management action to enforce organization standars”. (disiplin kerja adalah aplikasi manajemen buat memperteguh panduan-panduan organisasi). (Mangkunegara,2001:129).

Dalam disiplin kerja terbagi dalam dua bentuk disiplin kerja, yaitu :

1. Disiplin Preventif
Disiplin preventif adalah suatu upaya untuk menggerakkan pegawai mengikuti serta mematuhi pedoman kerja, aturan-aturan yg telah digariskan oleh instansi/pemerintah. Tujuan dasar dari disiplin ini merupakan buat menggerakan pegawai berdisiplin diri. Dengan cara preventif, pegawai bisa memelihara dirinya terhadap peraturan-peraturan yang sudah ditentukan.

Disiplin preventif merupakan suatu sistem yang herbi kebutuhan kerja buat seluruh bagian sistem yg terdapat dalam organisasi (wadah yang sudah dipengaruhi).

2. Disiplin Korektif
Disiplin korektif adalah suatu upaya menggerakkan pegawai pada menyatukan suatu peraturan dan menyarankan buat mematuhi peraturan sesuai dengan panduan yang berlaku pada instansi/forum serta adalah bentuk disiplin yang menunjuk pada motivasi untuk berdisiplin.

Peningkatan Disiplin
Dalam peningkatan disiplin terdapat beberapa teknik pada melaksanakannya diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Pengelolaan manajemen sumber daya manusia dilingkungan lembaga pemerintah.
Dengan pengaturan pengelolaan manajemen asal daya manusia secara profesional, diharapkan pegawai bekerja secara produktif. Hal ini dimaksudkan supaya terwujudnya ekuilibrium antara kebutuhan pegawai dengan tuntutan dan kemampuan organisasi/ forum pemerintah. 

2. Penetapan sistem mekanisme yang efisien dan efektif menggunakan menciptakan format penilaian yang sistematik, sehingga pegawai akan disiplin lantaran penilaian yg jelas.

Dalam evaluasi sistem kerja pegawai ruang lingkup pengukuran merupakan 5W + 1H, yaitu Who, What, Whay, When, Where, and How, seperti halnya yang dikemukakan sang Andrew F. Sikula yang dikutip sang Anwar Prabu Mangkunegara dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan mendefinisikan 5W + 1H yaitu :

1. Who (siapa)
Pertanyaan ini meliputi :
a. Siapa yg wajib dinilai? Yaitu semua pegawai yg terdapat dalam organisasi dari jabatan yg tertinggi sampai menggunakan pegawai jabatan terendah.
b. Siapa yang harus menilai? Penilaian kinerja dapat dilakukan oleh pejabat (aparatur) yg berwenang.

2. What (apa)
Apa yang wajib dievaluasi, yaitu :
a. Objek/materi yang dievaluasi diantaranya, kemampuan perilaku, kepemimpinan kerja, serta motivasi kerja.
b. Dimensi waktu, yaitu kinerja yang dicapai dalam ketika ini (current performance) serta profesi yg dapat dikembangkan pada waktu yg akan tiba (future potential).

3. Why (mengapa)
Mengapa penilaian kinerja itu wajib dilakukan :
a. Untuk memelihara potensi kerja.
b. Untuk menentukan kebutuhan training kerja.
c. Untuk tugas pengembangan karier.
d. Untuk tugas promosi jabatan.

4. When (kapan)
Waktu pelaksanaan evaluasi kinerja bisa dilakukan secara formal dan informal
a. Penilaian kinerja secara formal dilakukan secara periodik, misalnya setiap bulan, kwartal, semester, atau setiap tahun.
b. Penilaian kinerja secara informal dilakukan dengan secara terus menerus serta setiap ketika atau setiap hari kerja.

5. Where (dimana)
Terdapat dua cara lain evaluasi pegawai yaitu :
a. On the job appraisal (ditempat kerja lingkungan organisasinya).
b. Off the job appraisal (diluar tempat kerja dengan cara meminta bantuan konsultan).

6. How (bagaimana)
Penilaian kinerja dilakukan dengan menggunakan metode tradisional (rating slake, employee comparison), dan metode modern (management by objective (MBO), Assessment Centre).

3. Pemberian apresiasi terhadap pegawai yang benar-benar-benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik/disiplin.

Dengan demikian jelaslah bahwa suatu kedisiplinan merupakan kunci terwujudnya tujuan suatu organisasai, lantaran dengan terwujudnya kedisiplinan yang baik berarti pegawai sadar serta menjalankan tugas serta kegunaannya menggunakan baik. Menurut Malayu SP. Hasibuan dalam bukunya yg berjudul Manajemen Sumber Daya Manusia mengungkapkan indikator-indikator yang menghipnotis terhadap disiplin, yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan serta Kemampuan. 
2. Teladan serta Pimpinan.
3. Balas jasa.
4. Keadilan.
5. Pengawasan melekat.
6. Sanksi (hukuman).
7. Ketegasan.
8. Hubungan humanisme. 
(Hasibuan,1991:214).

Dengan ditegakannya disiplin pada kerja segala sesuatunya akan berjalan secara teratur, tertib dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yg digariskan dan sebagai dampak lebih lanjut pada monitoring dan pengawasan kerja akan lebih mudah buat dilaksanakan baik dalam jangka panjang maupun kebalikannya serta peningkatan pada kerja meningkat.

Pengertian Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri Sipil adalah aparatur negara, abdi negara serta abdi rakyat yg dengan kesetiaan serta ketaatannya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rumusan Pegawai Negeri Sipil bertitik tolak berdasarkan utama pikiran bahwa pemerintah tidak hanya menyelenggarakan fungsi umum pemerintahan saja, namun jua wajib sanggup melaksanakan fungsi pembangunan. Dengan istilah lain, maka pemerintah harus berfungsi menjadi administrator pemerintahan, pembangunan maupun training kemasyarakatan.

Dilihat menurut segi birokrasi Pegawai Negeri Sipil merupakan merupakan birokrat yg bertujuan menyelenggarakan serta melaksanakan hasil keputusan politik pemerintah sepenuhnya, serta loyalitas yang tunggal melayani kepentingan umum, yaitu kepentingan rakyat negara Indonesia serta warga Indonesia seutuhnya. Pengertian Pegawai Negeri Sipil dari pasal 1 Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang No 43 Tahun 1999 dinyatakan Pegawai Negeri Sipil adalah :

“Mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yg sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diserahi tugas dari peraturan perundang-undangan yang berlaku” 

Menurut Nondi Supardi dan Romli Arsyad dalam bukunya yang berjudul Etika Pemerintah mendefinisikan pengertian Pegawai Negeri Sipil menjadi berikut 

“Pegawai Negeri Sipil merupakan aparatur pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan umum bagi masyarakat (public service)”. (Supardi serta Arsyad, 2003:55).

Dalam halnya tentang pengertian Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Negeri Sipil jua terdiri berdasarkan :
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat.
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan
3. Pegawai Negeri Sipil lain yg ditetapkan menggunakan Peraturan Pemerintah.

Disamping Pegawai Negeri Sipil berfungsi buat melayani kepentingan umum, pula menjadi pelaksana kebijakan pemerintah dalam menjalankan manfaatnya yakni mensejahterakan baik moril maupun materil.

Pengertian Pelayanan Umum
Pelayanan umum adalah segala macam kegiatan yg berhubungan dengan kepentingan serta kebutuhan masyarakat Negara yang diselenggarakan sang pemerintah, yang adalah hajat hayati orang poly dalam mencapai kesejahteraan masyarakat lahir maupun batin. Dalam hal pelayanan umum didasari oleh hak-hak dasar warga negara maupun hak asasi insan pada umumnya. 

Hal ini sejalan menggunakan pendapat Tjahya Supriatna pada bukunya “Etika Kepegawaian dan Pemerintahan” bahwa hak pelayanan berfokus pada :

“Fungsi kesejahteraan, fungsi keadilan, fungsi pendayagunaan (rowing), pengendalian, pemberdayaan (empowerment), supervisi dan keterbukaan (guiding and democratic) dalam gerak serta aktivitas melalui “public service” atau pelayanan warga ” . (Supriatna,1990:56).

Dalam hal tersebut mengingatkan bahwa pelayanan pada rakyat tidaklah didasari dan mengacu kepada hakekat kebutuhan warga , hakekat insan serta hak-hak dasar, tetapi dalam pelayanan publik bertumpu pada kepentingan warga selaku sumber daya insan pada berbagai aktivitas pemerintahan serta pembangunan.

Penyelenggaraan Pelayanan Umum
Pelayanan generik mencakup 2 bidang utama yaitu pelayanan yg non komersil (social oriented) serta pelayanan komersial (profit oriented). Pada 2 jenis pelayanan ini membedakan adanya lembaga-lembaga yang menangani unsur pemerintahan. Lembaga seperti perum, perhutani dandan sebagainya, sedangkan lembaga yg non profit oriented berbentuk Departemen, Non Departemen, instansi atau lembaga lainnya.

Faktor-faktor Pendukung Pelayanan Umum
Dalam melaksanakan pelayanan umum (public service) terkait 3 variabel yaitu :

1. Aparatur Pemerintah 
Aparatur pemerintah dituntut buat menaruh pelayanan yang maksimal pada warga , dengan mengabdikan diri sebagai abdi negara serta abdi rakyat yang penuh dedikasi serta pengabdian. Supaya aparatur pemerintah sanggup melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, maka perlu dukungan wahana serta prasarana baik bersifat materi maupun non materi misalnya : 
Materi 
a. Dukungan dana.
b. Dukungan gedung/tempat kerja.
c. Dukungan alat-alat. 

Non materi 
a. Kewenangan (Dasar hukum).
b. Keterampilan manajerial.
c. Keterampilan teknis (profesional).
d. Tertib kepegawaian (terjamin hak-hak pegawai negeri).
e. Administrasi kantor yg baik.
f. Suasana kerja yang aman serta nyaman.

2. Masyarakat (consument).
Dari warga dituntut adanya partisipasi yg kongkrit serta positif pada mendapat jasa pelayanan. Hal ini diharapkan agar rencana yg diperlukan berjalan dengan lancar. Faktor-faktor yg dibutuhkan adalah : 
  • Kepatuhan oleh peraturan. 
  • Rasa mempunyai. 
  • Kejujuran serta keterbukaan. 

3. Objek Pelayanan Umum.
Supaya manfaat atas jasa yang diterima rakyat dirasakan menjadi suatu hal yg menyenangkan serta memuaskan, maka persyaratan eksklusif perlu dipenuhi, misalnya :
  • Menyangkut hajat orang banyak. 
  • Mutu/kualitas yang baik terjaga. 
  • Memadai dan terjangkau oleh rakyat serta cepat serta sempurna saat.