KOMPETENSI SUPERVISI KEPALA SEKOLAH MASIH PERLU DITINGKATKAN



Penelitian Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) mengenai kompetensi yg wajib dimiliki kepala sekolah, hasil kerjasama pemerintah Indonesia, Australia, Eropa, serta Asian Development Bank, terhadap 4070 ketua sekolah pada 55 kabupaten/kota menurut tujuh provinsi di Indonesia, membicarakan supervisi adalah kompetensi terminim yg dimiliki kepala sekolah di Indonesia, dibandingkan dengan kompetensi lain.
Nilai tersebut merupakan sebesar tiga.00 dari skala 1.00-4.00, dengan nilai sebanyak 4.00 buat kompetensi lain. Adapun kompetensi ketua sekolah terdiri dari kompetensi kepribadian menjadi ketua sekolah, manajerial, kewirausahaan, mengajar, serta kompetensi memberikan penyuluhan terhadap guru. Ketujuh provinsi tersebut merupakan provinsi Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua.
Akibatnya, evaluasi, dan peningkatan terhadap kualitas belajar mengajar nir bisa akurat dilakukan. Lantaran, kepala sekolah tidak melakukan pengawalan terhadap tugas harian pengajar. Demikian pernyataan tadi disampaikan perwakilan pemerintah Australia John Pettit, waktu membuka komisi pertama Konferensi Internasional Best Practice Bagi Pengembangan Kepemimpinan Kepala Sekolah (The 4th International Conference on Best Practice for School Leadership Development), pada Yogyakarta, Selasa kemarin (11/6).
Masih di ketika yg sama, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusa Pendidikan dan Kebudayaan serta Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BPSDM dan PMP Kemdikbud), Syawal Gultom menyampaikan perlunya diingatkan balik para ketua sekolah untuk menjalankan tugas pengawasan. Sehingga, kompetensi supervisi pun dapat ditingkatkan.
Menurut Syawal, penyebab kelemahan kompetensi pengawasan berada pada perlakuan prioritas yang diberikan ketua sekolah, terhadap urusan bersifat administratif, dibandingkan dengan supervisi terhadap aktivitas belajar mengajar di sekolah. “Kepala sekolah itu ya pengajar dengan tugas tambahan sebagai kepsek, maka kita kembalikan ke posisi awal wajib bisa supervisi pengajar di sekolahnya,”ujar mantan rektor Universitas Negeri Medan itu.

Pada taraf ASEAN, Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan (Pusbangtendik Kemdikbud) menggelar The 4th International Conference on Best Practice for School Leadership Development, pada Hotel Sahid Rich, Yogyakarta, menurut tanggal 10-14 Juni 2013. Sebanyak 11 negara Asia Tenggara menggunakan total 120 orang peserta, yg terdiri berdasarkan 90 orang peserta pada negeri, dan 30 orang peserta luar negeri berpartisipasi pada perhelatan tahunan ini. Harapannya, para kepala sekolah menurut perwakilan masing-masing negara dapat saling mengembangkan pengalaman, pengetahuan. Sehingga, tidak masih ada kesenjangan warta tentang pengawasan antar negara partisipan.
Sumber:
//www.kemdikbud.go.id/kemdikbud/informasi/1430

PENGERTIAN MANAJEMEN BEBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah 
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah pada perihal pengelolaan pendidikan di Indonesia nir terlepas menurut konteks gerakan “restrukturisasi serta reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan pemberian otonomi yg lebih besar kepada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan sang beberapa konsep pengelolaan sekolah, misalnya :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.

Konsep-konsep tersebut mengungkapkan bahwa sekolah ditargetkan buat melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yang berada pada sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for excellence) dan effective schools.

Manajemen berbasis sekolah pada intinya adalah memberikan kewenangan terhadap sekolah buat melakukan pengelolaan dan perbaikan kualitas secara terus menerus. Dapat pula dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya adalah penyerasian asal daya yang dilakukan secara mandiri sang sekolah menggunakan melibatkan semua grup kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah secara eksklusif pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mancapai tujuan pendidikan nasional.

Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari 3 kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen merupakan proses memakai asal daya efektif buat mencapai sasaran. Berbasis memiliki istilah dasar basis yg berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar serta mengajar dan loka buat mendapat dan menaruh pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan menjadi penggunaan sumber daya yg dari dalam sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. 

Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, manajemen berbasis sekolah berpijak dalam Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa bila seseorang atau sekelompok orang mempunyai kepuasan buat merogoh keputusan sendiri, maka orang atau grup orang tadi akan mempunyai tanggung jawab yg besar buat melakukan apa yang telah diputuskan. Berangkat dari teori ini, banyak manajemen berbasis sekolah yang dikemukakan sang para pakar. 

Eman Suparman seperti yang dikutip sang Mulyono mendefinisikan manajemen berbasisi sekolah sebagai penyerasian asal daya yg dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua gerombolan kepentingan yg terkait sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional. Sementara itu Slamet mengartikan manajemen berbasis sekolah menjadi pengkoordinasian pada penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, menggunakan melibatkan gerombolan kepentingan yang terkait menggunakan sekolah secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah harus bersifat terbuka serta inklusif terhadap sumber daya pada luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras dengan tujuan pendidikan nasional. 

Priscilla Wohlster serta Albert Mohrman menyebutkan secara luas bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah pendekatan politis buat mendesain ulang organisasi sekolah menggunakan memberikan kewenangan serta kekuasaan kepada partisipasi sekolah dalam tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yg dimaksudkan merupakan partisipasi kepala sekolah, pengajar dan masyarakat lokal.

Sesuai dengan pelukisan di atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pemberian otonomi penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri dalam membuatkan dan melakukan penemuan dalam berbagai acara buat meningkatkan mutu pendidikan sesuai menggunakan kebutuhan sekolah sendiri yang tidak terlepas menurut kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yg berkepentingan (stakeholder), dan sekolah wajib mampu mempertanggungjawabkan pada masyakat. Artinya manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara pribadi pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional serta Dinas Pendidikan Nasional, terminologi yang populer adalah MPMBS. MPMBS pada intinya merupakan otonomi, akuntabilitas, dan partisipasi warga , dalam penyelenggraan pendidikan. Titik tekan MPMBS perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan mengenai layanan purna lulus. 

Secara generik skema berpikir kebijakan MBS di Indonesia merupakan sebagai berikut:

Gambar  Skema Berpikir Kebijakan MBS pada Indonesia

A. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) ada 3 katakteristik yang wajib dikedepankan menurut yg lain menurut manajemen, antara lain adalah: pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yang herbi peningkatan mutu pendidikan yg didesentralisasikan pada stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yg meliputi keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, meliputi kurikulum, kepegawai, keuangan, wahana-prasarana dan penerimaan murid baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan pada sekolah-sekolah, tetapi diregulasikan yg mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab pemerintah.

Edmon mencoba mengemukakan banyak sekali indikator yg pertanda karakteristik berdasarkan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) diantaranya merupakan: 
1. Lingkungan sekolah yg kondusif serta tertib;
2. Sekolah memiliki visi serta sasaran mutu yang ingin dicapai;
3. Sekolah memilki kepemimpinan yang kuat;
4. Adanya asa yg tinggi menurut personal sekolah (kepala sekolah, pengajar serta staf termasuk siswa) buat berprestasi;
5. Adanya pengembangan staf sekolah yg monoton sinkron tuntutan IPTEK;
6. Adanya aplikasi penilaian yg terus menerus terhadap banyak sekali aspek akademis serta administratif, serta pemanfaan hasilnya buat penyempurnaan/ perbaikan mutu;
7. Adanya komunikasi serta dukungan intensif dari orang tua siswa dan warga .

Adapun Saud menyatakan beberapa ciri dasar diantaranya yaitu, anugerah otonomi yang luas pada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yg tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis serta profesional, dan adanya teamwork yang tinggi serta profesional. Pada tataran ini, bila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. 

Apabila melihat karakteristik yg dideskripsikan pada atas berdasarkan pada aspek geografis Indonesia yang bhineka antara satu menggunakan yang lainnya, maka akan berimplikasi pada kemampuan dan karakteristik spesial bagi sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS). Akan namun ciri spesial tersebut diharapkan bisa menaruh implikasi positif terhadap peningkatan personal sekolah, karena tenaga kependidikan dan siswa umumnya datang berdasarkan bebagai sektor atau latar belakang yang tidak sama, misalnya latar geografis, kesukuan taraf sosial, ekonomi, maupun politik. Atas dasar itulah karakteristik yg menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu mengoptimalisasikan aspek-aspek eksklusif, yaitu menaikkan kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan asal daya insan, serta pengelolaan asal daya administrasi.

Selain itu kerjasama antara masyarakat sekolah yang meliputi guru, pegawai, peserta didik, dan wali anak didik menggunakan warga harus dibangun atas dasar kredibilitas yang tinggi. Sekolah wajib bisa memacu masyarakat buat ikut mempunyai forum yg bersangkutan guna menumbuhkan iklim kerjasama dengan menganut sistem transparansi, baik pada program maupun pada hal pengelolaan finansial (keuangan). Di samping itu program yg tersusun sang komponen sekolah wajib mampu bersifat berkelanjutan (kontinuitas).

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan menaikkan efisiensi mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola asal daya yang terdapat, partisipasi rakyat, serta penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme pengajar, adanya hadiah serta hukuman menjadi kontrol, serta hal lain yg bisa menumbuh kembangkan suasana yg aman. 

Menurut Kustini Hardi, terdapat tiga tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Pertama, mengembangkan kemampuan ketua sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) buat menaikkan mutu sekolah. Kedua, menyebarkan kemampuan kepala sekolah beserta pengajar serta unsur komite sekolah pada pelaksanaan pembelajaran yang aktif serta menyenangkan, baik di lingkungan sekolah juga di lingkungan setempat. Ketiga, menyebarkan kiprah dan rakyat yg lebih aktif dalam masalah generik persekolahan berdasarkan sekolah buat membantu peningkatan mutu sekolah.

Kementerian Pendidikan Nasional menggambarkan bahwa tujuan aplikasi MBS merupakan menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada mengelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia, meningkatkan kepedulian warga sekolah serta warga dalam peyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama, menaikkan tanggung jawab sekolah pada orang tua, warga serta pemerintah mengenai mutu sekolahnya, dan meningkatkan kompetensi yg sehat antarsekolah tetang mutu pendidikan yg akan dicapai. 

Secara umum bisa diinterpretasikan bahwa pada penyelenggaraan MBS setidaknya terdapat empat aspek penting yang wajib dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) serta relevansi, keadilan, efektivitas serta efisiensi, dan akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) dan relevasi pendidikan yang dengan tinggi-tingginya, dengan tolak ukur evaluasi pada hasil (hasil dan outcome) bukan dalam metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu serta relevansi ini sebagai satu kesatuan substansi, artinya menjadi hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan dengan berbagai kebutuhan dan konteksnya. Bagi yg memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk dalam manfaat berdasarkan apa yg diperoleh anak didik melalui pendidikan pada aneka macam lingkup/tuntutan kehidupan (impak), termasuk jumlah ranah pendidikan yang tidak diujikan.

PENGERTIAN MANAJEMEN BEBASIS SEKOLAH

Pengertian Manajemen Bebasis Sekolah 
Kehadiran konsep manajemen berbasis sekolah dalam wacana pengelolaan pendidikan di Indonesia tidak terlepas menurut konteks gerakan “restrukturisasi dan reformasi” sistem pendidikan nasional melalui desentralisasi dan hadiah otonomi yang lebih akbar pada satuan pendidikan atau sekolah. Hal ini diinspirasikan sang beberapa konsep pengelolaan sekolah, seperti :
1. Self managing school atau school based manjement.
2. Self governin shcool.
3. Local mangement of schools.
4. Shcool based budgeting atau quaranty maintained schools.

Konsep-konsep tersebut menyebutkan bahwa sekolah ditargetkan buat melakukan proses pengambilan keputusan (school based decision making) yg berada dalam sistem pengelolaan, kepemimpinan serta peningkatan mutu (administrating for excellence) dan effective schools.

Manajemen berbasis sekolah dalam intinya adalah memberikan wewenang terhadap sekolah untuk melakukan pengelolaan dan pemugaran kualitas secara terus menerus. Dapat pula dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah dalam hakikatnya adalah penyerasian asal daya yg dilakukan secara berdikari sang sekolah menggunakan melibatkan seluruh kelompok kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan sekolah secara eksklusif pada proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mancapai tujuan pendidikan nasional.

Secara bahasa, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal berdasarkan tiga kata yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya efektif buat mencapai sasaran. Berbasis mempunyai kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sedangkan sekolah berarti lembaga buat belajar dan mengajar serta loka buat mendapat serta memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka manajemen berbasis sekolah (MBS) bisa diartikan menjadi penggunaan asal daya yang dari dalam sekolah itu sendiri pada proses pedagogi atau pembelajaran. 

Priscilla Wohlstetter dan Albert Mohrman mengungkapkan bahwa pada hakekatnya, manajemen berbasis sekolah berpijak pada Self Determination Theory. Teori ini menyatakan bahwa bila seorang atau sekelompok orang memiliki kepuasan buat mengambil keputusan sendiri, maka orang atau kelompok orang tadi akan memiliki tanggung jawab yg besar untuk melakukan apa yg telah diputuskan. Berangkat berdasarkan teori ini, banyak manajemen berbasis sekolah yang dikemukakan oleh para ahli. 

Eman Suparman misalnya yang dikutip oleh Mulyono mendefinisikan manajemen berbasisi sekolah sebagai penyerasian sumber daya yg dilakukan secara berdikari sang sekolah menggunakan melibatkan seluruh kelompok kepentingan yang terkait sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau mencapai tujuan mutu sekolah pada pendidikan nasional. Sementara itu Slamet mengartikan manajemen berbasis sekolah menjadi pengkoordinasian dalam penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (berdikari) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen buat mencapai tujuan sekolah pada kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan gerombolan kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Hal ini berarti sekolah wajib bersifat terbuka dan inklusif terhadap sumber daya di luar lingkungan sekolah yang mempunyai kepentingan selaras menggunakan tujuan pendidikan nasional. 

Priscilla Wohlster serta Albert Mohrman menyebutkan secara luas bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan pendekatan politis buat mendesain ulang organisasi sekolah menggunakan menaruh wewenang dan kekuasaan pada partisipasi sekolah pada taraf lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipasi lokal yg dimaksudkan merupakan partisipasi ketua sekolah, guru serta warga lokal.

Sesuai dengan pelukisan pada atas, manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan hadiah swatantra penuh kepada sekolah untuk secara aktif-kreatif serta mendiri pada menyebarkan dan melakukan penemuan pada berbagai program buat menaikkan mutu pendidikan sesuai menggunakan kebutuhan sekolah sendiri yg tidak terlepas berdasarkan kerangka tujuan pendidikan nasional dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), serta sekolah wajib sanggup mempertanggungjawabkan kepada masyakat. Artinya manajemen berbasis sekolah dalam hakikatnya merupakan penyerasian sumberdaya yg dilakukan secara berdikari oleh sekolah dengan melibatkan semua grup kepentingan yang terkait dengan sekolah secara eksklusif dalam proses pengambilan keputusan buat memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau buat mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional serta Dinas Pendidikan Nasional, terminologi yg populer adalah MPMBS. MPMBS pada pada dasarnya merupakan swatantra, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat, dalam penyelenggraan pendidikan. Titik tekan MPMBS perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan tentang layanan purna lulus. 

Secara umum skema berpikir kebijakan MBS di Indonesia merupakan sebagai berikut:

Gambar  Skema Berpikir Kebijakan MBS pada Indonesia

A. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut Levacic pada manajemen berbasis sekolah (MBS) terdapat 3 katakteristik yg harus dikedepankan berdasarkan yang lain berdasarkan manajemen, diantaranya adalah: pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengembilan keputusan yg berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan yg didesentralisasikan pada stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang meliputi keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, meliputi kurikulum, kepegawai, keuangan, wahana-prasarana serta penerimaan murid baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada sekolah-sekolah, tetapi diregulasikan yg mengatur fungsi kontrol sentra terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.

Edmon mencoba mengemukakan berbagai indikator yang menandakan karakteristik dari konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) antara lain merupakan: 
1. Lingkungan sekolah yg kondusif serta tertib;
2. Sekolah memiliki visi serta target mutu yg ingin dicapai;
3. Sekolah memilki kepemimpinan yang bertenaga;
4. Adanya asa yang tinggi dari personal sekolah (kepala sekolah, guru dan staf termasuk siswa) untuk berprestasi;
5. Adanya pengembangan staf sekolah yang monoton sinkron tuntutan IPTEK;
6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap aneka macam aspek akademis dan administratif, serta pemanfaan hasilnya untuk penyempurnaan/ perbaikan mutu;
7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif menurut orang tua anak didik serta rakyat.

Adapun Saud menyatakan beberapa karakteristik dasar diantaranya yaitu, hadiah otonomi yang luas pada sekolah, partisipasi rakyat serta orang tua siswa yg tinggi, kepemimpinan sekolah yg demokratis serta profesional, serta adanya teamwork yg tinggi dan profesional. Pada tataran ini, bila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan dalam taraf sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yg komprehensif serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. 

Apabila melihat karakteristik yg dideskripsikan pada atas menurut dalam aspek geografis Indonesia yg bhineka antara satu dengan yg lainnya, maka akan berimplikasi dalam kemampuan dan karakteristik spesial bagi sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS). Akan tetapi karakteristik khas tadi dibutuhkan dapat memberikan akibat positif terhadap peningkatan personal sekolah, lantaran energi kependidikan serta peserta didik umumnya tiba berdasarkan bebagai sektor atau latar belakang yg tidak selaras, misalnya latar geografis, kesukuan tingkat sosial, ekonomi, juga politik. Atas dasar itulah ciri yang menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) perlu mengoptimalisasikan aspek-aspek tertentu, yaitu mempertinggi kinerja organisasi sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan sumber daya insan, dan pengelolaan asal daya administrasi.

Selain itu kerjasama antara masyarakat sekolah yg mencakup guru, pegawai, peserta didik, serta wali anak didik dengan masyarakat wajib dibangun atas dasar kredibilitas yang tinggi. Sekolah harus bisa memacu rakyat buat ikut memiliki forum yg bersangkutan guna menumbuhkan iklim kerjasama menggunakan menganut sistem transparansi, baik dalam acara juga dalam hal pengelolaan finansial (keuangan). Di samping itu program yang tersusun sang komponen sekolah wajib sanggup bersifat berkelanjutan (kontinuitas).

B. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah(MBS)
Tujuan utama manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan menaikkan efisiensi mutu serta pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi dicapai melalui keleluasaan mengelola asal daya yang terdapat, partisipasi masyarakat, serta penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningakatan profesionalisme pengajar, adanya hibah serta sanksi menjadi kontrol, serta hal lain yang bisa menumbuh kembangkan suasana yang aman. 

Menurut Kustini Hardi, terdapat 3 tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS). Pertama, membuatkan kemampuan kepala sekolah bersama guru serta unsur komite sekolah pada aspek manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk menaikkan mutu sekolah. Kedua, berbagi kemampuan kepala sekolah bersama guru dan unsur komite sekolah pada aplikasi pembelajaran yg aktif dan menyenangkan, baik di lingkungan sekolah juga di lingkungan setempat. Ketiga, membuatkan peran serta rakyat yg lebih aktif pada perkara generik persekolahan dari sekolah buat membantu peningkatan mutu sekolah.

Kementerian Pendidikan Nasional menggambarkan bahwa tujuan aplikasi MBS adalah menaikkan mutu pendidikan melalui kemandirian serta inisiatif sekolah pada mengelola dan memberdayakan asal daya yg tersedia, meningkatkan kepedulian rakyat sekolah serta rakyat dalam peyelenggaran pendidikan melalui pengambilan keputusan beserta, menaikkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga serta pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan mempertinggi kompetensi yg sehat antarsekolah tetang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Secara umum dapat diinterpretasikan bahwa dalam penyelenggaraan MBS setidaknya terdapat empat aspek penting yg harus dijadikan pertimbangan, yaitu kualitas (mutu) serta relevansi, keadilan, efektivitas serta efisiensi, serta akuntabilitas. Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan mencapai mutu (quality) serta relevasi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolak ukur penilaian pada output (hasil dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Ada yang memandang mutu dan relevansi ini menjadi satu kesatuan substansi, ialah sebagai hasil pendidikan yang bermutu sekaligus relevan menggunakan banyak sekali kebutuhan dan konteksnya. Bagi yang memisahkan keduanya, maka mutu lebih merujuk pada manfaat berdasarkan apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan pada berbagai lingkup/tuntutan kehidupan (pengaruh), termasuk jumlah ranah pendidikan yg tidak diujikan.

DOWNLOAD STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI

Standar Kompetensi Guru Kelas Sekolah Dasar/MI

Makna Kompetensi
  1. Pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yg diwujudkan dalam kebiasaan berpikir serta bertindak (Kurikulum 2004) 
  2. Seperangkat tindakan cerdas serta penuh tanggung jawab yg dimiliki seorang menjadi kondisi buat dipercaya mampu sang rakyat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu (Keputusan Mendiknas No 045 Tahun 2002)

Terdapat empat kompetensi pendidik menjadi agen pembelajaran, yaitu:
  1. Kompetensi Pedagogik;
  2. Kompetensi Kepribadian;
  3. Kompetensi Profesional, dan 
  4. Kompetensi Sosial.

Baca dulu: Kumpulan Surat Keterangan Dari Kepala Sekolah
Keempat kompetensi tadi secara keseluruhan dan integratif tercermin pada kinerja guru dapat kami jabarkan ini dia.


No.


Kompetensi Inti Guru
Kompetensi Pengajar Kelas SD/MI

I.Kompetensi Pedagodik
1.
Menguasai karakteristik siswa dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, serta intelektual.
1.1
Memahami ciri peserta didik usia sekolah dasar yg berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, sosial-emosional, moral, spiritual, serta latar belakang sosial-budaya.
1.2
Mengidentifikasi potensi peserta didik usia sekolah dasar dalam 5 mata pelajaran SD/MI.
1.3
Mengidentifikasi kemampuan awal siswa usia sekolah dasar pada lima mata pelajaran Sekolah Dasar/MI.
1.4
Mengidentifikasi kesulitan peserta belajar usia sekolah dasar dalam 5 mata pelajaran SD/MI.
2.
Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yg mendidik.


Memahami banyak sekali teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik terkait dengan 5 mata pelajaran SD/MI.

Menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yg mendidik secara kreatif pada 5 mata pelajaran Sekolah Dasar/MI.

Menerapkan pendekatan pembelajaran tematis, khususnya pada kelas-kelas awal SD/MI.
3.
Mengembangkan kurikulum yg terkait menggunakan mata pelajaran/bidang pengembangan yg diampu.

3.1
Memahami prinsip-prinsip pengembangan kurikulum.
3.2
Menentukan tujuan lima mata pelajaran SD/MI.
3,3
Menentukan pengalaman belajar yang sesuai buat mencapai tujuan lima mata pelajaran SD/MI
3.4
Memilih materi 5 mata pelajaran SD/MI yang terkait dengan pengalaman belajar serta tujuan pembelajaran.
3.5
Menata materi pembelajaran secara sahih sinkron dengan pendekatan yang dipilih serta karakteristik siswa usia SD/MI.
3.6
Mengembangkan indikator serta instrumen evaluasi.
4.
Menyelenggarakan pembelajaran yg mendidik.

4.1
Memahami prinsip-prinsip perancangan pembelajaran yang mendidik.
4.2
Mengembangkan komponen-komponen rancangan pembelajaran.
4.3
Menyusun rancangan pembelajaran yg lengkap, baik buat aktivitas pada pada kelas, laboratorium, maupun lapangan.
4.4
Melaksanakan pembelajaran yang mendidik di kelas, di laboratorium, dan pada lapangan.
4.5
Menggunakan media pembelajaran sinkron menggunakan karakteristik siswa dan lima mata pelajaran SD/MI buat mencapai tujuan pembelajaran secara utuh.
4.6
Mengambil keputusan transaksional pada 5 mata pelajaran SD/MI sesuai menggunakan situasi yg berkembang.
5.
Memanfaatkan teknologi keterangan dan komunikasi buat kepentingan pembelajaran.

5.1
Memanfaatkan teknologi liputan serta komunikasi dalam pembelajaran.

6.
Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik buat mengaktualisasikan banyak sekali potensi yang dimiliki.

6.1
Menyediakan berbagai aktivitas pembelajaran buat mendorong peserta didik mencapai prestasi belajar secara optimal.
6.2
Menyediakan aneka macam aktivitas pembelajaran buat mengaktualisasikan potensi peserta didik, termasuk kreativitasnya.
7.
Berkomunikasi secara efektif, empatik, serta santun menggunakan siswa.

7.1
Memahami berbagai strategi berkomunikasi yg efektif, empatik dan santun, baik secara lisan maupun goresan pena.
7.2
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun menggunakan siswa dengan bahasa yang khas dalam interaksi pembelajaran yg terbangun secara siklikal dari (a) penyiapan syarat psikologis siswa, (b) memberikan pertanyaan atau tugas sebagai undangan pada siswa buat merespons, (c) respons peserta didik, (d) reaksi pengajar terhadap respons siswa, serta seterusnya.
8.
Menyelenggarakan evaluasi dan penilaian proses dan output belajar.

8.1
Memahami prinsip-prinsip penilaian serta evaluasi proses dan hasil belajar sinkron dengan karakteristik 5 mata pelajaran SD/MI.
8.2
Menentukan aspek-aspek proses serta output belajar yg penting buat dievaluasi dan dinilai sesuai dengan karakteristik lima mata pelajaran SD/MI.
8.3
Menentukan mekanisme penilaian serta penilaian proses serta output belajar.
8.4
Mengembangkan instrumen evaluasi serta evaluasi proses dan output belajar.
8.5
Mengadministrasikan penilaian proses serta hasil belajar secara berkesinambungan menggunakan mengunakan aneka macam instrumen.
8.6
Menganalisis hasil evaluasi proses serta hasil belajar buat berbagai tujuan.
8.7
Melakukan penilaian proses dan output belajar.
9.
Memanfaatkan output evaluasi serta penilaian buat kepentingan pembelajaran.

9.1
Menggunakan warta output penilaian serta evaluasi buat menentukan ketuntasan belajar.
9.2
Menggunakan warta hasil penilaian serta evaluasi buat merancang acara remedial dan pengayaan.
9.3
Mengkomunikasikan hasil evaluasi serta penilaian pada pemangku kepentingan.
9.4
Memanfaatkan berita hasil evaluasi serta penilaian pembelajaran buat menaikkan kualitas pembelajaran.
10.
Melakukan tindakan reflektif buat peningkatan kualitas pembelajaran.

10.1

Melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.
10.2
Memanfaatkan output refleksi buat pemugaran dan pengembangan lima mata pelajaran Sekolah Dasar/MI.
10.3
Melakukan penelitian tindakan kelas buat mempertinggi kualitas pembelajaran lima mata pelajaran SD/MI.
II.Kompetensi Kepribadian
11.
Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, serta kebudayaan nasional Indonesia.

11.1
Menghargai peserta didik tanpa membedakan keyakinan yang dianut, suku, istiadat-adat, daerah dari, dan gender.
11.2
Bersikap sesuai dengan kebiasaan kepercayaan yang dianut, aturan dan kebiasaan sosial yang berlaku dalam masyarakat, serta kebudayaan nasional Indonesia yang majemuk.
12
Menampilkan diri menjadi pribadi yang amanah, berakhlak mulia, serta teladan bagi peserta didik dan warga .
12.1
Berperilaku jujur, tegas, serta manusiawi.
12.2

Berperilaku yg mencerminkan ketakwaan serta akhlak mulia.
12.3
Berperilaku yang bisa diteladani oleh siswa serta anggota rakyat di sekitarnya.
13
Menampilkan diri menjadi eksklusif yg mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
13.3

Menampilkan diri menjadi pribadi yang mantap dan stabil.

13.2
Menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan berwibawa.
14
Menunjukkan pandangan hidup kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi pengajar, dan rasa percaya diri.
14.1
14.2
Menunjukkan etos kerja serta tanggung jawab yg tinggi.
Bangga menjadi pengajar serta percaya dalam diri sendiri.
14.3
Bekerja mandiri secara profesional.
15
Menjunjung tinggi kode etik profesi pengajar.
15.1
Memahami kode etik profesi guru.
15.2
Menerapkan kode etik profesi guru.
15.3
Berperilaku sinkron menggunakan kode etik pengajar.
III.Kompetensi Sosial
16
Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, syarat fisik, latar belakang famili, dan status sosial ekonomi.
16.1

Bersikap inklusif dan objektif terhadap siswa, teman sejawat dan lingkungan kurang lebih pada melaksanakan pembelajaran.
16.2
Tidak bersikap diskriminatif terhadap peserta didik, teman sejawat, orang tua siswa serta lingkungan sekolah lantaran perbedaan kepercayaan , suku, jenis kelamin, latar belakang keluarga, serta status sosial-ekonomi.
17
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, energi kependidikan, orang tua, dan rakyat.
17.1

Berkomunikasi dengan sahabat sejawat dan komunitas ilmiah lainnya secara santun, empatik dan efektif.
17.2
Berkomunikasi menggunakan orang tua siswa dan warga secara santun, empatik, serta efektif mengenai acara pembelajaran dan kemajuan siswa.
17.3
Mengikutsertakan orang tua peserta didik dan masyarakat pada acara pembelajaran dan dalam mengatasi kesulitan belajar peserta didik.
18
Beradaptasi pada tempat bertugas pada seluruh wilayah Republik Indonesia yg memiliki keragaman sosial budaya.
18.1
Beradaptasi dengan lingkungan loka bekerja pada rangka menaikkan efektivitas menjadi pendidik, termasuk tahu bahasa daerah setempat.
18.2
Melaksanakan banyak sekali acara pada lingkungan kerja untuk menyebarkan serta menaikkan kualitas pendidikan di daerah yg bersangkutan.
19
Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri serta profesi lain secara mulut serta tulisan atau bentuk lain.
19.1
Berkomunikasi menggunakan sahabat sejawat, profesi ilmiah, serta komunitas ilmiah lainnya melalui aneka macam media dalam rangka menaikkan kualitas pendidikan.
19.2
Mengkomunikasikan hasil-output inovasi pembelajaran pada komunitas profesi sendiri secara lisan dan goresan pena atau bentuk lain.
IV.Kompetensi Profesional
20
Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yg mendukung mata pelajaran yang diampu.
20.1

Bahasa Indonesia
Memahami hakikat bahasa serta pemerolehan bahasa.
20.2
Memahami kedudukan, fungsi, serta ragam bahasa Indonesia.

20.3
Menguasai dasar-dasar serta kaidah bahasa Indonesia menjadi acum penggunaan bahasa Indonesia yang baik serta benar.

20.4
Memiliki keterampilan berbahasa Indonesia (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis)
20.5
Memahami teori serta aliran sastra Indonesia.
20.6
Mampu mengapresiasi karya sastra Indonesia, secara reseptif dan produktif.
20.7
Matematika
Menguasai pengetahuan konseptual serta prosedural dan keterkaitan keduanya dalam konteks materi aritmatika, aljabar, geometri, trigonometri, pengukuran, statistika, dan akal matematika.
20.8
Mampu memakai matematisasi horizontal serta vertikal buat menyelesaikan kasus matematika dan masalah pada dunia nyata.
20.9
Mampu memakai pengetahuan konseptual, prosedural, serta keterkaitan keduanya pada pemecahan masalah matematika, dan. Penerapannya pada kehidupan sehari-hari.
20.10
Mampu memakai alat peraga, indera ukur, alat hitung, serta piranti lunak personal komputer .
20.11
IPA
Mampu melakukan observasi tanda-tanda alam baik secara langsung juga nir eksklusif.
20.12
Memanfaatkan konsep-konsep serta hukum-hukum ilmu pengetahuan alam pada aneka macam situasi kehidupan sehari-hari.
20.13
Memahami struktur ilmu pengetahuan alam, termasuk interaksi fungsional antarkonsep, yang herbi mata pelajaran IPA.
20.14
IPS
Menguasai materi keilmuan yang mencakup dimensi pengetahuan, nilai, serta keterampilan IPS.
20.15
Mengembangkan materi, struktur, serta konsep keilmuan IPS.
20.16
Memahami asa, nilai, konsep, serta prinsip-prinsip pokok ilmu-ilmu sosial dalam konteks kebhinnekaan rakyat Indonesia dan dinamika kehidupan dunia.
20.17
Memahami kenyataan interaksi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, kehidupan kepercayaan , serta perkembangan warga serta saling ketergantungan dunia.
20.18
PKn

Menguasai materi keilmuan yang meliputi dimensi pengetahuan, perilaku, nilai, dan konduite yang mendukung kegiatan pembelajaran PKn.
20.19
Menguasai konsep serta prinsip kepribadian nasional dan demokrasi konstitusional Indonesia, semangat kebangsaan serta cinta tanah air dan bela negara.
20.20
Menguasai konsep dan prinsip proteksi, pemajuan HAM, serta penegakan aturan secara adil serta benar.
20.21
Menguasai konsep, prinsip, nilai, moral, dan norma kewarganegaraan Indonesia yg demokratis dalam konteks kewargaan negara serta dunia.
21
Menguasai standar kompetensi serta kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yg diampu.
21.1

Memahami standar kompetensi 5 mata pelajaran SD/MI.
21.2
Memahami kompetensi dasar 5 mata pelajaran SD/MI.
21.3
Memahami tujuan pembelajaran lima mata pelajaran SD/MI.
22
Mengembangkan materi pembelajaran yg diampu secara kreatif.
22.1
Memilih materi 5 mata pelajaran SD/MI yg sinkron menggunakan tingkat perkembangan peserta didik.
22.2
Mengolah materi 5 mata pelajaran SD/MI secara integratif dan kreatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.
23
Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan menggunakan melakukan tindakan reflektif.
23.1

Melakukan refleksi terhadap kinerja sendiri secaraterus menerus.
23.2
Memanfaatkan hasil refleksi dalam rangka peningkatan keprofesionalan.
23.3
Melakukan penelitian tindakan kelas untuk peningkatan keprofesionalan.
23.4
Mengikuti kemajuan zaman menggunakan belajar dari aneka macam asal.
24
Memanfaatkan teknologi liputan serta komunikasi buat berkomunikasi serta berbagi diri.
24.1

Memanfaatkan teknologi fakta serta komunikasi pada berkomunikasi.

24.2
Memanfaatkan teknologi liputan serta komunikasi buat pengembangan diri.

Materi selengkapnya silahkan download di bawah ini:
STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD.docx 
STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS Sekolah Dasar.pdf
Semoga materi Standar Kompetensi Guru Kelad SD/MI dapat berguna, mohon maaf apabila terdapat kesalahan.

KONSEP MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Konsep Manajemen Mutu Terpadu Dalam Sistem Pendidikan 
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah dalam sistem manajemen yg diklaim TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini adalah supervisi menyeluruh dari seluruh anggota organisasi (masyarakat sekolah) terhadap aktivitas sekolah. Penerapan TQM berarti seluruh rakyat sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan. 

Sebelum hal itu tercapai, maka semua pihak yg terlibat dalam proses akademis, mulai menurut komite sekolah, ketua sekolah, ketua tata usaha, guru, murid sampai dengan karyawan harus benar – benar mengerti hakekat dan tujuan pendidikan ini. Dengan kata lain, setiap individu yg terlibat wajib memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yg menyeluruh menurut individu yg terlibat, nir mungkin akan diterapkan TQM. 

Dalam ajaran TQM, forum pendidikan (sekolah) harus menempatkan anak didik sebagai “klien” atau pada istilah perusahaan menjadi “ stakeholders” yg terbesar, maka bunyi siswa wajib disertakan pada setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yang demokratis manajemen tidak mampu menerapkan TQM, yg terjadi merupakan kualitas pendidikan didominasi oleh pihak-pihak tertentu yang acapkali memiliki kepentingan yang bersimpangan dengan hakekat pendidikan (Adnan Sandy Setiawan : 2000),

Penerapan TQM berarti juga adanya kebebasan buat berpendapat. Kebebasan beropini akan membangun iklim yang dialogis antara anak didik dengan guru, antara murid menggunakan kepala sekolah, antara pengajar serta ketua sekolah, singkatnya adalah kebebasan beropini dan keterbukaan antara semua rakyat sekolah. Pentransferan ilmu nir lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan menggunakan budaya akademis. 

Selain kebebasan beropini juga sine qua non kebebasan kabar. Harus ada berita yang kentara mengenai arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi maupun secara nasional. Secara internal, manajemen harus menyediakan berita seluas- luasnya bagi masyarakat sekolah. Termasuk dalam hal arah organisasi merupakan progran – acara, serta syarat finansial.

Singkatnya, TQM merupakan sistem menajemen yang menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan Mengganggu potensi perkembangan sekolah itu sendiri.

Dalam era kemandirian sekolah dan era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas dan tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah adalah menciptakan sekolah yang mereka pimpin sebagai semakin efektif, pada arti sebagai semakin berguna bagi sekolah itu sendiri dan bagi warga luas penggunanya. (Thomas B. Santoso : 2001). Agar tugas dan tanggung jawab para pemimpin sekolah tersebut sebagai konkret, kiranya kepala sekolah perlu tahu, mendalami dan menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yg dewasa ini sudah dikembang-mekarkan oleh pemikir-pemikir dalam global bisnis. Salah satu ilmu manajemen yg dewasa ini poly diadopsi merupakan TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu.

A. Manajemen Mutu Terpadu (TQM) 
Manajemen Mutu Terpadu sangat terkenal pada lingkungan organisasi profit, khususnya pada lingkungan menyebarkan badan usaha/perusahaan serta industri, yg telah terbukti keberhasilannya pada mempertahankan serta mengembangkan eksistensinya masing-masing pada kondisi bisnis yg kompetitif. Kondisi seperti ini sudah mendorong berbagai pihak buat mempraktekannya pada lingkungan organisasi non profit termasuk pada lingkungan lembaga pendidikan. 

Menurut Hadari Nawari (2005:46) Manajemen Mutu Terpadu merupakan manejemen fungsional dengan pendekatan yg secara terus menerus difokuskan dalam peningkatan kualitas, agar produknya sinkron menggunakan standar kualitas berdasarkan warga yang dilayani pada aplikasi tugas pelayanan umum (public service) dan pembangunan rakyat (community development). Konsepnya bertolak menurut manajemen sebagai proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan sumber daya yang dimiliki, yg harus diintegrasi jua menggunakan pentahapan aplikasi fungsi-fungsi manajemen, agar terwujud kerja menjadi kegiatan memproduksi sesuai yg berkualitas. Setiap pekerjaan pada manajemen mutu terpadu wajib dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan serta alat), pelaksanaan teknis menggunakan metode kerja/cara kerja yang efektif dan efisien, buat membentuk produk berupa barang atau jasa yang berguna bagi masyarakat.

Menurut Cassio misalnya yang dikutip sang Hadari Nawawi (2005 : 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components :
1. A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2. Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3. Quality concept (e.G. Statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4. A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5. A focus on employee involvement, teamwork, and pembinaan at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6. An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7. Recognition of supliers as full partners in quality management process.

Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) yg mengungkapkan bahwa “ TQM merupakan sistem manajemen yg mengangkat kualitas menjadi taktik usaha serta berorentasi dalam kepuasan pelanggan menggunakan melibatkan seluruh anggota organisasi”. Di samping itu Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) menyatakan juga bahwa “ Total Quality Management merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan bisnis yang mencoba buat memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses dan lingkungannya. 

Berdasarkan beberapa pengertian pada atas, Hadari Nawawi (2005 : 127) mengemukakan mengenai karakteristik TQM menjadi berikut :
1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal juga eksternal
2. Memiliki opsesi yang tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah pada pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4. Memiliki komitmen jangka panjang.
5. Membutuhkan kerjasama tim
6. Memperbaiki proses secara kesinambungan
7. Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan yang terkendali
10. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.

B. Manajemen Mutu Terpadu pada Bidang Pendidikan
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk serta kualitas proses buat mewujudkannya, merupakan bagian yg nir mudah dalam pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini ditimbulkan oleh lantaran ukuran produktivitasnya nir sekedar bersifat kuantitatif, contohnya hanya dari jumlah lokal dan gedung sekolah atau laboratorium yg berhasil dibangun, tetapi pula berkenaan menggunakan aspek kualitas yg menyangkut manfaat serta kemampuan memanfaatkannya. 

Demikian juga jumlah lulusan yg dapat diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit buat ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan menggunakan itu pada lingkungan organisasi bidang pendidikan yg bersifat non profit, menurut Hadari Nawari (2005 : 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan dapat dibedakan menjadi berikut :
1. Produktivitas Internal, berupa output yang dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung serta lokal yg dibangun sesuai dengan persyaratan yang sudah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa output yang tidak bisa diukur secara kuantitatif, lantaran bersifat kualitatif yang hanya bisa diketahui sehabis melewati tenggang waktu tertentu yang relatif lama . 

Masih berdasarkan Hadari Nawawi (2005 : 47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu bisa dikatakan sukses, apabila menerangkan gejala-tanda-tanda sebagai berikut :
1. Tingkat konsistensi produk pada menaruh pelayanan generik serta pelaksanaan pembangunan buat kepentingan peningkatan kualitas SDM terus meningkat.
2. Kekeliruan pada bekerja yg berdampak menyebabkan ketidakpuasan dan komplain rakyat yang dilayani semakin berkurang.
3. Disiplin ketika serta disiplin kerja semakin meningkat
4. Inventarisasi aset organisasi semakin sempurna, terkendali serta tidak berkurang/hilang tanpa diketahui karena-sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama dari atasan langsung melalui supervisi melekat, sehingga bisa berhemat pembiayaan, mencegah penyimpangan pada anugerah pelayanan generik serta pembangunan sesuai dengan kebutuhan warga .
6. Pemborosan dana dan saat dalam bekerja dapat dicegah.
7. Peningkatan ketrampilan serta keahlian bekerja terus dilaksanakan sebagai akibatnya metode atau cara bekerja selalu bisa mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi cara bekerja yg paling efektif, efisien serta produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus semakin tinggi.

Berkenaan dengan kualitas pada pengimplementasian TQM, Wayne F. Cassio pada bukunya Hadari Nawawi menyampaikan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio juga mengutip pengertian kualitas dari The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada menggunakan itu Goetsh dan Davis seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono serta Anastasia Diana (1996) yg berkata : “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berafiliasi produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yg memenuhi atau melebihi harapan”. 

Dilihat menurut pengertian kualitas yang terakhir misalnya tersebut pada atas, berarti kualitas di lingkungan organisasi profit ditentukan sang pihak luar di luar organisasi yg dianggap konsumen, yang selain tidak sama – beda, pula selalu berubah dan berkembang secara bergerak maju. 

Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan tidak mungkin diwujudkan bila nir didukung dengan tersedianya asal-sumber buat mewujudkan kualitas proses serta output yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yg kondisinyan sehat, masih ada aneka macam sumber kualitas yg dapat mendukung pengimplementasian TQM secara maksimal . Menurut Hadari Nawawi (2005 : 138 – 141), beberapa pada antara sumber-asal kualitas tersebut merupakan sebagai berikut :
1. Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas.
Komitmen ini sangat penting karena berpengaruh eksklusif dalam setiap pembuatan keputusan dan kebijakan, pemilihan dan aplikasi program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan aplikasi kontrol. Tanpa komitmen ini nir mungkin diciptakan serta dikembangkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang berorentasi dalam kualitas produk serta pelayanan generik.

2. Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat krusial lantaran bisnis mengimplementasikan semua fungsi manajemen yg berkualitas, sangat tergantung dalam ketersediaan liputan dan data yg seksama, relatif/lengkap serta terjamin kekiniannya sinkron menggunakan kebutuhan pada melaksanakan tugas pokok organiasi.

3. Sumberdaya manusia yg potensial
SDM di lingkungan sekolah menjadi aset bersifat kuantitatif dalam arti bisa dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM jua merupakan potensi yg berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) buat mewujudkan eksistensinya. Kualitas pelaksanaan tugas utama sangat ditentukan oleh potensi yg dimiliki sang SDM, baik yang telah diwujudkan dalam prestasi kerja maupun yg masih bersifat potensial dan bisa dikembangkan.

4. Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi dalam organisasi menjadi asal kualitas, sama pentingnya satu menggunakan yg lainnnya, yg sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi wajib dilibatkan secara maksimal , sebagai akibatnya saling menunjang satu menggunakan yg lainnya. 

5. Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber-sumber kualitas yg ada bersifat sangat mendasar, lantaran tergantung dalam syarat pucuk pimpinan (ketua sekolah), yg selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau bisa memohon buat dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM tidak boleh digantungkan dalam individu kepala sekolah menjadi asal kualitas, karena sikap serta konduite individu terhadap kualitas dapat tidak sinkron. Dengan kata lain asal kualitas ini wajib ditransformasikan dalam filsafat kualitas yg berkesinambungan pada merealisasikan TQM.

Semua asal kualitas di lingkungan organisasi pendidikan dapat ditinjau manifestasinya melalui dimensi – dimensi kualitas yang wajib direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama menggunakan warga sekolah yg terdapat pada lingkungan tadi. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 141), dimensi kualitas yg dimaksud adalah : 

1. Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja pada arti unjuk perilaku dalam bekerja yang positif, merupakan citra konkrit dari kemampuan mendayagunakan asal-sumber kualitas, yg berdampak dalam keberhasilan mewujudkan, mempertahankan serta berbagi eksistensi organisasi (sekolah).

2. Iklim Kerja
Penggunaan sumber-asal kualitas secara intensif akan membentuk iklim kerja yang kondusif di lingkungan organisasi. Di dalam iklim kerja yg diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yang efektif melalui kerja di pada tim kerja, yg saling menghargai serta menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif dan penemuan buat selalu mempertinggi kualitas.

3. Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif serta efisien akan menaruh nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap pada melaksanakan tugas pokok serta hasil yg dicapai sang organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat pada rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yg dilayani (anak didik).

4. Kesesuaian dengan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi dalam kemampuan personil buat menyesuaikan proses aplikasi pekerjaan serta hasilnya menggunakan karakteristik operasional dan baku hasilnya dari ukuran kualitas yang disepakati.

5. Kualitas Pelayanan dan Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yg bisa diamati dari eksploitasi asal-sumber kualitas yg efektif dan efisien terlihat pada peningkatan kualitas pada melaksanakan tugas pelayanan pada murid.

6. Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan asal-sumber kualitas yg sukses pada lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui dari persepsi warga (merk image) pada bentuk citra dan reputasi yg positip mengenai kualitas lulusan baik yg terserap sang lembaga pendidikan yang lebih tinggi ataupun oleh dunia kerja.

Secara singkat dapat digambarkan diagram komitmen kualitas dalam Manajemen Mutu Terpadu adalah sebagai berikut :

Diagram : Komitmen Kualitas pada TQM

C. Tanggapan Penulis
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu dalam bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah menaikkan kualitas, daya saing bagi hasil (lulusan) menggunakan indikator adanya kompetensi baik intelektual juga skill serta kompetensi sosial anak didik/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di pada organisasi pendidikan (sekolah) perlu dilakukan menggunakan sebenarnya tidak menggunakan setengah hati. Dengan memanfaatkan seluruh entitas kualitas yang terdapat pada organisasi maka pendidikan kita nir akan jalan di tempat seperti saat ini. Kualitas pendidikan kita berada dalam urutan 101 dan masih berada pada bawah vietnam yg notabene negara tersebut dapat dikatakan baru saja merdeka dibandingkan dengan kemerdekaan bangsa kita Indonesia.

Implementasi TQM pada organisasi Pendidikan khususnya negeri memang tidak mudah. Adanya kendala dalam budaya kerja, unjuk kerja berdasarkan pengajar serta karyawan sangat mempengaruhi. Tidak perlu dipungkiri bahwa budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin pegawai negeri sipil pada negara kita ini sangat rendah. Ini sangat menghipnotis efektifitas implementasi TQM.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sudah mengadopsi prinsip – prinsip TQM ternyata nir serta merta mendongkrak peningkatan kinerja pelaksana sekolah yang implikasinya dapat mempertinggi kompetensi anak didik kita.

Menurut penulis, yg paling pertama diperbaiki merupakan budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin menurut pelaksana sekolah (pengajar, karyawan dan kepala sekolah). Semuanya harus bisa memandang anak didik menjadi “pelanggan”, yg wajib dilayani dengan sebaik – baiknya demi kepuasan mereka. Pelaksana sekolah selalu bersemangat buat maju, bersemangat terus buat menambah kemampuan dan ketrampilannya yg pada akhirnya akan meningkatkan unjuk kerja mereka pada hadapan murid. Jika seluruh pelaksana sekolah sudah memiliki budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin yang tinggi, maka implementasi TQM bisa secara nyata berjalan serta akan berakibat organisasi pendidikan (sekolah) akan semakin maju, eksis, memiliki merk image yg meningkat dan dalam akhirnya bisa menciptakan kader – kader bangsa yg berkualitas serta dapat disejajarkan menggunakan bangsa lain.

Rendahnya budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin kerja pelaksana seokolah (PNS) memang sangat ditentukan sang sistem penghargaan negara (honor ) yang rendah terhadap PNS. Ini mengakibatkan tidak sedikit kewajiban di organisasi pendidikan khususnya menjadi “sambilan” bagi PNS serta justru yg primer berada di aktivitas luar organisasi karena adanya tuntutan ekonomi yang semakin berat. 

Angin segar telah berhembus bagi pengajar khususnya, dengan telah adanya UU Pengajar dan Dosen yang sebagai payung aturan dan menjamin peningkatan kesejahteraan Guru serta Dosen. Tetapi masih menjadi pertanyaan akbar “kapan itu dilaksanakan?”, atau “ hanya meninabobokkan guru saja supaya nir berdemo?”. 

Apabila UU tersebut benar dilaksanakan, apakah akan benar – benar bisa menaikkan kinerja pengajar? 

Pada intinya, implementasi TQM di organisasi pendidikan khususnya sekolah masih akan terasa berat. Diperlukan adanya kesungguhan berdasarkan masyarakat sekolah secara bersama, sadar, dan berkeinginan yang bertenaga buat maju.

KONSEP MANAJEMEN MUTU TERPADU DALAM SISTEM PENDIDIKAN

Konsep Manajemen Mutu Terpadu Dalam Sistem Pendidikan 
Dewasa ini perkembangan pemikiran manajemen sekolah mengarah pada sistem manajemen yg diklaim TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu. Pada prinsipnya sistem manajemen ini merupakan supervisi menyeluruh dari semua anggota organisasi (masyarakat sekolah) terhadap aktivitas sekolah. Penerapan TQM berarti semua rakyat sekolah bertanggung jawab atas kualitas pendidikan. 

Sebelum hal itu tercapai, maka seluruh pihak yang terlibat dalam proses akademis, mulai menurut komite sekolah, ketua sekolah, ketua rapikan usaha, guru, anak didik sampai dengan karyawan wajib benar – sahih mengerti hakekat serta tujuan pendidikan ini. Dengan istilah lain, setiap individu yg terlibat wajib memahami apa tujuan penyelenggaraan pendidikan. Tanpa pemahaman yang menyeluruh dari individu yang terlibat, tidak mungkin akan diterapkan TQM. 

Dalam ajaran TQM, forum pendidikan (sekolah) wajib menempatkan siswa sebagai “klien” atau dalam kata perusahaan menjadi “ stakeholders” yg terbesar, maka suara murid harus disertakan pada setiap pengambilan keputusan strategis langkah organisasi sekolah. Tanpa suasana yg demokratis manajemen tidak bisa menerapkan TQM, yang terjadi adalah kualitas pendidikan didominasi sang pihak-pihak tertentu yg sering mempunyai kepentingan yang bersimpangan menggunakan hakekat pendidikan (Adnan Sandy Setiawan : 2000),

Penerapan TQM berarti jua adanya kebebasan buat beropini. Kebebasan beropini akan membangun iklim yang dialogis antara murid menggunakan guru, antara anak didik dengan ketua sekolah, antara guru serta ketua sekolah, singkatnya adalah kebebasan berpendapat dan keterbukaan antara seluruh rakyat sekolah. Pentransferan ilmu nir lagi bersifat one way communication, melainkan two way communication. Ini berkaitan dengan budaya akademis. 

Selain kebebasan beropini jua harus ada kebebasan berita. Harus ada fakta yang jelas tentang arah organisasi sekolah, baik secara internal organisasi juga secara nasional. Secara internal, manajemen wajib menyediakan berita seluas- luasnya bagi masyarakat sekolah. Termasuk pada hal arah organisasi adalah progran – acara, serta kondisi finansial.

Singkatnya, TQM adalah sistem menajemen yg menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem sekolah yang birokratis akan merusak potensi perkembangan sekolah itu sendiri.

Dalam era kemandirian sekolah serta era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tugas serta tanggung jawab yang pertama dan yang utama dari pimpinan skolah merupakan membangun sekolah yg mereka pimpin sebagai semakin efektif, pada arti menjadi semakin berguna bagi sekolah itu sendiri serta bagi rakyat luas penggunanya. (Thomas B. Santoso : 2001). Agar tugas serta tanggung jawab para pemimpin sekolah tadi sebagai nyata, kiranya kepala sekolah perlu tahu, mendalami serta menerapkan beberapa konsep ilmu manajemen yang dewasa ini sudah dikembang-mekarkan sang pemikir-pemikir dalam dunia bisnis. Salah satu ilmu manajemen yang dewasa ini banyak diadopsi merupakan TQM (Total Quality Management) atau Manajemen Mutu Terpadu.

A. Manajemen Mutu Terpadu (TQM) 
Manajemen Mutu Terpadu sangat populer di lingkungan organisasi profit, khususnya di lingkungan berbagi badan bisnis/perusahaan serta industri, yg telah terbukti keberhasilannya pada mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya masing-masing pada kondisi usaha yang kompetitif. Kondisi seperti ini sudah mendorong banyak sekali pihak untuk mempraktekannya pada lingkungan organisasi non profit termasuk di lingkungan forum pendidikan. 

Menurut Hadari Nawari (2005:46) Manajemen Mutu Terpadu adalah manejemen fungsional menggunakan pendekatan yang secara terus menerus difokuskan dalam peningkatan kualitas, agar produknya sesuai menggunakan baku kualitas dari rakyat yang dilayani pada pelaksanaan tugas pelayanan generik (public service) dan pembangunan warga (community development). Konsepnya bertolak dari manajemen menjadi proses atau rangkaian kegiatan mengintegrasikan asal daya yang dimiliki, yg harus diintegrasi pula dengan pentahapan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, agar terwujud kerja menjadi kegiatan memproduksi sesuai yg berkualitas. Setiap pekerjaan pada manajemen mutu terpadu wajib dilakukan melalui tahapan perencanaan, persiapan (termasuk bahan serta alat), aplikasi teknis dengan metode kerja/cara kerja yg efektif dan efisien, buat membuat produk berupa barang atau jasa yg bermanfaat bagi masyarakat.

Menurut Cassio misalnya yang dikutip oleh Hadari Nawawi (2005 : 127), ia memberi pengertian bahwa “TQM, a philosophy and set of guiding principles that represent the foundation of a continuosly improving organization, include seven broad components :
1. A focus on the customer or user of a product or service, ensuring the customer’s need an expectations are satisfied consistenly.
2. Active leadership from executives to establish quality as a fundamental value to be incorporated into a company’s managemen philosophy.
3. Quality concept (e.G. Statistical process control or computer assisted design, engineering, and manufacturing) that are thoroughly integrated throughout all activities of or a company.
4. A corporate culture, established and reinforced by top executives, that involves all employees in contributing to quality improvement.
5. A focus on employee involvement, teamwork, and pembinaan at all levels in order to strengthen employee commitment to continous quality improvement.
6. An approach to problem solving that is base on continously gathering, evaluating, and acting on facts and data is a systematic manner.
7. Recognition of supliers as full partners in quality management process.

Pengertian lain dikemukakan oleh Santoso yg dikutip sang Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1998) yang menyampaikan bahwa “ TQM adalah sistem manajemen yg mengangkat kualitas sebagai taktik bisnis dan berorentasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan semua anggota organisasi”. Di samping itu Fandy Tjiptono serta Anastasia Diana (1998) menyatakan juga bahwa “ Total Quality Management adalah suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba buat memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses serta lingkungannya. 

Berdasarkan beberapa pengertian pada atas, Hadari Nawawi (2005 : 127) mengemukakan tentang ciri TQM menjadi berikut :
1. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal juga eksternal
2. Memiliki opsesi yg tinggi terhadap kualitas
3. Menggunakan pendekatan ilmiah pada pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
4. Memiliki komitmen jangka panjang.
5. Membutuhkan kerjasama tim
6. Memperbaiki proses secara kesinambungan
7. Menyelenggarakan pendidikan serta pelatihan
8. Memberikan kebebasan yang terkendali
9. Memiliki kesatuan yg terkendali
10. Adanya keterlibatan serta pemberdayaan karyawan.

B. Manajemen Mutu Terpadu pada Bidang Pendidikan
Di lingkungan organisasi non profit, khususnya pendidikan, penetapan kualitas produk dan kualitas proses buat mewujudkannya, adalah bagian yg tidak gampang pada pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini ditimbulkan sang karena berukuran produktivitasnya tidak sekedar bersifat kuantitatif, misalnya hanya berdasarkan jumlah lokal serta gedung sekolah atau laboratorium yg berhasil dibangun, tetapi pula berkenaan menggunakan aspek kualitas yang menyangkut manfaat dan kemampuan memanfaatkannya. 

Demikian jua jumlah lulusan yg bisa diukur secara kuantitatif, sedang kualitasnya sulit buat ditetapkan kualifikasinya. Sehubungan dengan itu di lingkungan organisasi bidang pendidikan yg bersifat non profit, menurut Hadari Nawari (2005 : 47) ukuran produktivitas organisasi bidang pendidikan bisa dibedakan sebagai berikut :
1. Produktivitas Internal, berupa output yg dapat diukur secara kuantitatif, seperti jumlah atau prosentase lulusan sekolah, atau jumlah gedung dan lokal yang dibangun sinkron dengan persyaratan yang sudah ditetapkan.
2. Produktivitas Eksternal, berupa hasil yang tidak bisa diukur secara kuantitatif, lantaran bersifat kualitatif yang hanya bisa diketahui sehabis melewati tenggang ketika tertentu yg relatif usang. 

Masih berdasarkan Hadari Nawawi (2005 : 47), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu bisa dikatakan sukses, apabila menampakan gejala-gejala sebagai berikut :
1. Tingkat konsistensi produk dalam menaruh pelayanan generik dan pelaksanaan pembangunan buat kepentingan peningkatan kualitas SDM terus semakin tinggi.
2. Kekeliruan pada bekerja yg berdampak menyebabkan ketidakpuasan serta komplain rakyat yg dilayani semakin berkurang.
3. Disiplin saat serta disiplin kerja semakin meningkat
4. Inventarisasi aset organisasi semakin paripurna, terkendali serta nir berkurang/hilang tanpa diketahui sebab-sebabnya.
5. Kontrol berlangsung efektif terutama menurut atasan eksklusif melalui pengawasan melekat, sehingga sanggup berhemat pembiayaan, mencegah penyimpangan pada anugerah pelayanan generik dan pembangunan sinkron dengan kebutuhan masyarakat.
6. Pemborosan dana dan ketika dalam bekerja bisa dicegah.
7. Peningkatan ketrampilan serta keahlian bekerja terus dilaksanakan sebagai akibatnya metode atau cara bekerja selalu sanggup mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi cara bekerja yg paling efektif, efisien dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus semakin tinggi.

Berkenaan menggunakan kualitas dalam pengimplementasian TQM, Wayne F. Cassio dalam bukunya Hadari Nawawi menyampaikan : “Quality is the extent to which product and service conform to customer requirement”. Di samping itu Cassio pula mengutip pengertian kualitas berdasarkan The Federal Quality Institute yang menyatakan “quality as meeting the customer’s requiremet the first time and every time, where costumers can be internal as wellas external to the organization”. Senada dengan itu Goetsh dan Davis seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (1996) yang menyampaikan : “kualitas adalah suatu kondisi dinamis yg bekerjasama produk, jasa, insan, proses serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi asa”. 

Dilihat berdasarkan pengertian kualitas yg terakhir seperti tadi di atas, berarti kualitas pada lingkungan organisasi profit dipengaruhi oleh pihak luar pada luar organisasi yg disebut konsumen, yang selain berbeda – beda, jua selalu berubah dan berkembang secara dinamis. 

Manajemen Mutu Terpadu di lingkungan suatu organisasi non profit termasuk pendidikan nir mungkin diwujudkan bila tidak didukung menggunakan tersedianya sumber-asal buat mewujudkan kualitas proses serta output yang akan dicapai. Di lingkungan organisasi yang kondisinyan sehat, terdapat banyak sekali asal kualitas yang bisa mendukung pengimplementasian TQM secara aporisma. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 138 – 141), beberapa pada antara sumber-sumber kualitas tersebut adalah menjadi berikut :
1. Komitmen Pucuk Pimpinan (Kepala Sekolah) terhadap kualitas.
Komitmen ini sangat penting lantaran berpengaruh langsung pada setiap pembuatan keputusan serta kebijakan, pemilihan serta pelaksanaan program dan proyek, pemberdayaan SDM, dan pelaksanaan kontrol. Tanpa komitmen ini nir mungkin diciptakan serta dikembangkan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yg berorentasi dalam kualitas produk dan pelayanan umum.

2. Sistem Informasi Manajemen
Sumber ini sangat krusial karena usaha mengimplementasikan semua fungsi manajemen yang berkualitas, sangat tergantung dalam ketersediaan keterangan dan data yg seksama, relatif/lengkap serta terjamin kekiniannya sesuai menggunakan kebutuhan dalam melaksanakan tugas utama organiasi.

3. Sumberdaya insan yang potensial
SDM pada lingkungan sekolah sebagai aset bersifat kuantitatif pada arti bisa dihitung jumlahnya. Disamping itu SDM jua adalah potensi yang berkewajiban melaksanakan tugas pokok organisasi (sekolah) buat mewujudkan eksistensinya. Kualitas aplikasi tugas pokok sangat dipengaruhi oleh potensi yg dimiliki sang SDM, baik yang telah diwujudkan pada prestasi kerja maupun yg masih bersifat potensial serta bisa dikembangkan.

4. Keterlibatan semua Fungsi
Semua fungsi pada organisasi sebagai asal kualitas, sama pentingnya satu dengan yg lainnnya, yang sebagai satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan. Untuk itu semua fungsi wajib dilibatkan secara maksimal , sehingga saling menunjang satu dengan yang lainnya. 

5. Filsafat Perbaikan Kualitas secara Berkesinambungan
Sumber-asal kualitas yang ada bersifat sangat fundamental, karena tergantung pada syarat pucuk pimpinan (kepala sekolah), yang selalu menghadapi kemungkinan dipindahkan, atau dapat memohon buat dipindahkan. Sehubungan dengan itu, realiasi TQM nir boleh digantungkan dalam individu kepala sekolah menjadi asal kualitas, karena sikap serta konduite individu terhadap kualitas dapat berbeda. Dengan istilah lain asal kualitas ini harus ditransformasikan pada filsafat kualitas yg berkesinambungan pada merealisasikan TQM.

Semua asal kualitas pada lingkungan organisasi pendidikan dapat dilihat manifestasinya melalui dimensi – dimensi kualitas yg harus direalisasikan oleh pucuk pimpinan bekerja sama menggunakan rakyat sekolah yg ada dalam lingkungan tadi. Menurut Hadari Nawawi (2005 : 141), dimensi kualitas yg dimaksud merupakan : 

1. Dimensi Kerja Organisasi
Kinerja dalam arti unjuk konduite pada bekerja yg positif, adalah gambaran konkrit berdasarkan kemampuan mendayagunakan sumber-asal kualitas, yg berdampak pada keberhasilan mewujudkan, mempertahankan serta membuatkan eksistensi organisasi (sekolah).

2. Iklim Kerja
Penggunaan sumber-asal kualitas secara intensif akan menghasilkan iklim kerja yg aman di lingkungan organisasi. Di pada iklim kerja yg diwarnai kebersamaan akan terwujud kerjasama yg efektif melalui kerja pada dalam tim kerja, yang saling menghargai serta menghormati pendapat, kreativitas, inisiatif serta penemuan buat selalu meningkatkan kualitas.

3. Nilai Tambah
Pendayagunaan sumber-asal kualitas secara efektif dan efisien akan memberikan nilai tambah atau keistimewaan tambahan sebagai pelengkap pada melaksanakan tugas utama serta hasil yang dicapai sang organisasi. Nilai tambah ini secara kongkrit terlihat dalam rasa puas dan berkurang atau hilangnya keluhan pihak yg dilayani (siswa).

4. Kesesuaian menggunakan Spesifikasi
Pendayagunaan sumber-sumber kualitas secara efektif dan efisien bermanifestasi pada kemampuan personil buat menyesuaikan proses aplikasi pekerjaan serta hasilnya dengan ciri operasional serta baku hasilnya berdasarkan berukuran kualitas yg disepakati.

5. Kualitas Pelayanan serta Daya Tahan Hasil Pembangunan
Dampak lain yg dapat diamati dari eksploitasi sumber-sumber kualitas yg efektif serta efisien terlihat pada peningkatan kualitas pada melaksanakan tugas pelayanan kepada siswa.

6. Persepsi Masyarakat
Pendayagunaan asal-asal kualitas yg sukses pada lingkungan organisasi pendidikan dapat diketahui berdasarkan persepsi warga (merk image) dalam bentuk citra serta reputasi yang positip tentang kualitas lulusan baik yang terserap sang lembaga pendidikan yg lebih tinggi ataupun oleh global kerja.

Secara singkat bisa digambarkan diagram komitmen kualitas dalam Manajemen Mutu Terpadu merupakan sebagai berikut :

Diagram : Komitmen Kualitas dalam TQM

C. Tanggapan Penulis
Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu pada bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah menaikkan kualitas, daya saing bagi output (lulusan) dengan indikator adanya kompetensi baik intelektual maupun skill serta kompetensi sosial murid/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di dalam organisasi pendidikan (sekolah) perlu dilakukan menggunakan sebenarnya nir menggunakan 1/2 hati. Dengan memanfaatkan semua entitas kualitas yang ada dalam organisasi maka pendidikan kita tidak akan jalan di loka misalnya saat ini. Kualitas pendidikan kita berada pada urutan 101 dan masih berada di bawah vietnam yang notabene negara tersebut bisa dikatakan baru saja merdeka dibandingkan menggunakan kemerdekaan bangsa kita Indonesia.

Implementasi TQM pada organisasi Pendidikan khususnya negeri memang tidak gampang. Adanya kendala dalam budaya kerja, unjuk kerja dari pengajar dan karyawan sangat menghipnotis. Tidak perlu dipungkiri bahwa budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin pegawai negeri sipil pada negara kita ini sangat rendah. Ini sangat mensugesti efektifitas implementasi TQM.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah mengadopsi prinsip – prinsip TQM ternyata tidak serta merta mendongkrak peningkatan kinerja pelaksana sekolah yang implikasinya bisa menaikkan kompetensi murid kita.

Menurut penulis, yg paling pertama diperbaiki merupakan budaya kerja, unjuk kerja dan disiplin berdasarkan pelaksana sekolah (pengajar, karyawan serta ketua sekolah). Semuanya harus dapat memandang siswa menjadi “pelanggan”, yang wajib dilayani menggunakan sebaik – baiknya demi kepuasan mereka. Pelaksana sekolah selalu bersemangat untuk maju, bersemangat terus buat menambah kemampuan dan ketrampilannya yang dalam akhirnya akan mempertinggi unjuk kerja mereka di hadapan murid. Apabila seluruh pelaksana sekolah sudah mempunyai budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin yang tinggi, maka implementasi TQM bisa secara nyata berjalan dan akan berakibat organisasi pendidikan (sekolah) akan semakin maju, eksis, mempunyai merk image yg meningkat dan dalam akhirnya dapat membentuk kader – kader bangsa yang berkualitas serta dapat disejajarkan dengan bangsa lain.

Rendahnya budaya kerja, unjuk kerja serta disiplin kerja pelaksana seokolah (PNS) memang sangat dipengaruhi sang sistem penghargaan negara (honor ) yang rendah terhadap PNS. Ini mengakibatkan nir sedikit kewajiban pada organisasi pendidikan khususnya menjadi “sambilan” bagi PNS dan justru yang primer berada pada kegiatan luar organisasi lantaran adanya tuntutan ekonomi yang semakin berat. 

Angin segar telah berhembus bagi pengajar khususnya, menggunakan sudah adanya UU Guru dan Dosen yang sebagai payung aturan dan mengklaim peningkatan kesejahteraan Pengajar serta Dosen. Namun masih sebagai pertanyaan akbar “kapan itu dilaksanakan?”, atau “ hanya meninabobokkan guru saja agar nir berdemo?”. 

Apabila UU tadi sahih dilaksanakan, apakah akan benar – benar bisa menaikkan kinerja guru? 

Pada intinya, implementasi TQM di organisasi pendidikan khususnya sekolah masih akan terasa berat. Diperlukan adanya kesungguhan berdasarkan rakyat sekolah secara beserta, sadar, dan berkeinginan yg kuat buat maju.