KEADILAN DALAM EKONOMI

Keadilan Dalam Ekonomi
Salah satu berdasarkan tiga pilar kekuatan yang mempengaruhi keadaban publik adalah sektor ekonomi atau kominitas usaha, dan fairness atau keadilan menjadi kunci pada aktivitas poros ke 2 ini karena menyangkut kasus pembagian barang dan jasa yang terbatas pada semua orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan keuntungan atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya dari barang dan jasa yg terbatas. Penekanan dalam paradigma ini merupakan “maksimalisasi” dan “terbatas”. Bagi seseorang konsumen atau pengguna barang dan jasa, taraf kegunaan diukur dengan tingkat kepuasan, kesehatan, ketenangan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, menggunakan aturan yang terbatas, seseorang berusaha menerima tempat tinggal baru yg memberinya ketenangan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang serta jasa atau penghasil, taraf kegunaan diukur dengan tingkat profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yang dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikannya pendapatan paling tinggi, atau dengan modal dan energi kerja yang ada, seseorang pembuat berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan laba paling tinggi baginya. 

Karena kelangkahan selalu ada  pada ekonomi (atau pada kehidupan insan secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang serta jasa tidak pernah sanggup dilepaskan menurut keadilan. Keadilan atau ketidakadilan nir akan menjadi suatu masalah jika barang dan jasa atau asal daya yg ada berlimpah sampai tidak terdapat harganya, seperti air bahari, angin dan mata hari, atau apabila di suatu daerah yg sangat luas serta sangat kaya akan asal daya alam hanya terdapat segelintir manusia. Semakin langka barang serta jasa atau sumber daya (sementara, jumlah penduduk bertambah terus), semakin akbar perkara distribusi, yg berarti semakin akbar kasus keadilan di pada ekonomi. 

Keadilan pula merupakan suatu topik penting dalam etika. Seperti yang dapat dikutip dari Bertens (2000) 
sebagai berikut: sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tidak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi merupakan menyangkut etika usaha, lantaran usaha merupakan kegiatan ekonomi. 

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yg kentara bahwa keadaban publik dilihat menurut aspek 
ekonominya merupakan menyangkut pendistribusian secara adil barang serta jasa ke semua orang sinkron proporsinya masing-masing. Ketidakadilan pada ekonomi terjadi pada aneka macam aspek, mulai berdasarkan ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan menerima pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat kaitannya menggunakan perkara kemiskinan serta kesenjangan. Adalah tidak mungkin buat mengungkapkan bahwa suatu bangsa sangat mudun jika pada negara tadi sebagian akbar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian besar petaninya adalah petani gurem, serta poly industri mengerjakan buruh anak-anak yg dibayar sangat murah (pendayagunaan anak-anak). 

Etika Bisnis serta Keadilan. 
Bisnis merupakan kegiatan ekonomi, atau ekonomi merupakan kegiatan usaha. Dari sudut pandang ekonomi, usaha 
yang baik adalah yg selalu menghasilkan keuntungan besar . Di pada teori pembuat (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin menggunakan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi keuntungan adalah tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini adalah impian, atau dasar menurut perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat semenjak era merkantilisme dalam abad ke 18 kemudian. Ini jua yg mendorong negara-negara pada Eropa Barat melakukan perluasan ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yg diawali menggunakan misi dagang dari V.O.C. Yang akhirnya menjajah Indonesia. 

Kalau memaksimalkan laba menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka menggunakan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi menggunakan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; jikalau sanggup nir mengeluarkan satu senpun porto yg berakti buru-burunya nir digaji. Hingga saat ini poly sekali perkara yang bisa dilihat yg merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh bisa disebut di sini. Pertama, galat satu atau bahkan dapat dikatakan menjadi motivasi utama menurut perusahaan-perusahaan pada negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari energi kerja murah. Kedua, poly perusahaan di Indonesia lebih senang menggunakan buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai permanen demi keuntungan perusahaan. Ketiga, banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala mini , bukan karena ingin berbagi keuntungan menggunakan mereka melainkan buat mengurangi porto produksi dan sekaligus menggeser resiko usaha dampak perubahan pasar secara datang-tiba ke para pemasok-pemasok tadi. Sedangkan menurut sudut pandang moral, bisnis yg selalu membuat keuntungan besar nir selalu dipercaya sebaga bisnis yang mengagumkan, jika keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan misalnya misalnya membayar upah yg sangat murah atau menggunakan cara penipuan, misalnya menggunakan bahan baku yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, misalnya pada perkara memahami menggunakan menggunakan bahan pengawet formalin. 

Kasus formalin ini merupakan satu model konkrit berdasarkan suatu perilaku pengusaha/pelaku bisnis yg telah melanggar etika pada usaha atau yang generik dianggap etika bisnis. Namun apakah etika bisnis itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yg baik, baik dalam diri seseorang maupun 
pada suatu masyarakat atau gerombolan masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hayati yg baik, serta segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan menurut satu orang ke orang lain atau menurut satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf berkata bahwa etika bisa dirumuskan menjadi refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai serta norma yg menyangkut bagaimana insan harus hayati baik menjadi insan; serta mengenai (b) perkara-masalah kehidupan insan dengan mendasarkan diri dalam nilai dan kebiasaan-kebiasaan moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yg manusiawi dalam melakukan bisnis, atau melakukan bisnis sinkron kebiasaan-kebiasaan moral yg generik diterima. 

Masalah etika bisnis nir hanya pada taraf pengusaha/perusahaan secara individu, tetapi pula pada tingkat nasional, baik yg dilakukan sang masyarakat secara generik atau pemerintah. Yang dilakukan oleh warga , contohnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yg terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yg dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak pada stadion F. Kennedy pada Philadelphia, Amerika Serikat, serta di stadion Wembley pada London, Inggris, dalam 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan buat mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu lalu ada kaset-kaset rekaman konser tersebut pada sejumlah negara di Timur Tengah dan pula pada Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tersebut mencantumkan made in Indonesia, serta bahkan terdapat yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut warta menurut Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman pada Indonesia yg terlibat pada dalam pembajakan kaset tadi. 

Sedangkan pelanggaran etika bisnis yg dilakukan pemerintah Indonesia selama ini mampu dilihat misalnya adalah pada kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menekankan keadilan pada ekonomi, semenjak pemerintahan Orde Baru sampai waktu ini nir ada bisnis mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani sang masyarakat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (paling akhir), jumlah famili tani tanpa huma atau dengan huma kurang dari 0,lima hektar (diklaim petani gurem) meningkat terus. 

Jadi, dari uraian diatas bisa dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan usaha yang nir merugikan galat satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), terdapat tiga sasaran dan lingkup utama etika bisnis. Pertama, etika usaha sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, serta perkara yang terkait dengan praktek bisnis yang baik serta etis. Sasaran ke 2 menurut etika usaha merupakan untuk menyadarkan warga , khususnya konsumen, buruh atau karyawan, serta warga luas sebagai pemilik aset generik seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek usaha siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara tentang sistem ekonomi yang sangat memilih etis tidaknya suatu praktek usaha. Secara konktrit, etika bisnis ini atau diklaim jua etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, serta semacamnya yg snagat menghipnotis tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi namun jua baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara. 

Dari uraian pada atas, sangat kentara bahwa etika bisnis sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, serta pada hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), dari keadilan ini negara atau pemerintah wajib membagi segalanya dengan cara yg sama pada para anggota masyarakat. Konkritnya pada aspek sosial ekonomi merupakan memberikan kesempatan yang sama bagi semua masyarakat buat mendapatkan pendidikan yg baik, pekerjaan dengan pendapatan yg baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan timbul apabila contohnya pemerintah mengistimewakan orang-orang eksklusif yang nir mempunyai hak spesifik, misalnya contohnya pada menerima proyek-proyek pembangunan atau izin impor misalnya poly terjadi dalam masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme adalah galat satu cara buat melanggar keadilan distributif.

Sedangkan berdasarkan Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif merupakan distribusi ekonomi yg merata tau yg dianggap adil bagi semua rakyat negara. Dengan istilah lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-output pembangunan. (hal. 142). Tetapi kini pertanyaannya merupakan:  apa yg sebagai dasar pembagian yg adil itu, apakah sama rata atau sesuai kiprah serta sumbangan masing-masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yg berkata bahwa pembagian sanggup dikatakan adil apabila seluruh orang menerima bagian yg sama. Jadi, dasar pemikiran menurut teori ini adalah bahwa membagi menggunakan adil berarti membagi homogen. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini jua merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki mutlak dan feodalisme pada abad ke 18 serta revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yg menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini jua yg melandasi sistem pemilihan umum dibanyak negara-negara maju menggunakan sistem ”one person one vote”. 

Kedua, teori sosialistis yg memilih prinsip kebutuhan setiap orang menjadi dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan rakyat adil, jika kebutuhan seluruh warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, serta papan. Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh pada konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal 2 prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yg berat harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan menurut seluruh masyarakat masyarakat, serta bagaimana hal-hal yg lezat buat diperoleh wajib diberikan sinkron kebutuhan. Contoh berdasarkan prinsip pertama tersebut contohnya adalah setiap rakyat punya hak yang sama buat mendapatkan pekerjaan yg layak, termasuk orang-orang stigma, namun orang-orang yg menyandang stigma badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, nir seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja menggunakan syarat tubuh yg prima. Sedangkan model berdasarkan prinsip kedua itu adalah contohnya gaji atau upah dikatakan adil apabila sinkron dengan kebutuhan pekerja. 

Ketiga, teori liberalistis yang menduga pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang nir adil. Menurut teori ini, pembagian harus berdasarkan dalam bisnis-bisnis bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang nir berusaha tidak memiliki hak pula buat memperoleh sesuatu. Jadi yg bekerja keras mendapat lebih poly dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, fokus berdasarkan teori ini adalah prestasi yg ditinjau menjadi perwujudan pilihan bebas seseorang. Tentu ada kasus serius menggunakan teori ini, dalam ketika seseorang tidak sanggup berprestasi karena stigma atau orang yg menganggur diluar kemauannya sendiri, serta sebagainya. Dua teori pertama tadi dalam prakteknya memiliki kasus, terutama pada ekonomi. Dalam teori pertama, ini ialah upah yang diterima seseorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan. Walaupun seorang berprestasi jauh lebih mengagumkan dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, serta ini tentu sesuatu yg nir adil. Demikian pula perkara menggunakan teori ke 2. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana seluruh orang dijamin kebutuhan ekonominya secara nisbi sama terlepas menurut sumbangan dan kiprah atau prestasinya bagi kehidupan beserta atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang nir adil, lantaran setiap masyarakat akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama homogen malahan menyebabkan ketidakadilan.
Keadilan distributif tak jarang jua dianggap sebagai istilah lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang nir 
sependapat menggunakan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial harus dibedakan menggunakan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yg paling baik buat menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya menggunakan keadilan individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya tidak sama. Bertens (2000) mengungkapkan menjadi berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam aplikasi keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja nir berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung menurut struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, serta sebagainya. Keadilan sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur warga nir memungkinkan. Lantaran itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural serta kemiskinan struktural. (hal.92). 
Menurut Bertens (1997, 2000), bila keadilan merupakan merupakan menaruh pada setiap orang yang sebagai 
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan serta hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) menyebutkan Keadilan individual sering kali bisa dilaksanakan menggunakan sempurna. Lantaran kompleksitas rakyat terkini, keadilan sosial nir pernah bisa dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan pada rakyat, seperti contohnya dinaikkannya pajak, bisa menyebabkan ketidakadilan struktural buat golongan tertentu. Keadilan sosial merupakan asa yang sanggup dihampiri semakin dekat, akan tetapi nir pernah bisa direalisasikan dengan paripurna. (hal.93-94). Jadi yang dimaksud di sini merupakan bahwa di satu rakyat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada pada masyarakat lain, misalnya contohnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yg pelayanan sosialnya sangat baik. Namun mudah tidak terdapat satu rakyat atau negara pun di mana nir ada kasus keadilan sosial. 

Ekonomi Berazas Pancasila 
Keadilan pada ekonomi pula dalam dasarnya adalah peradaban ekonomi Indonesia yang dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi semua warga Indonesia, sila kemanusian yg adil serta mudun, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan tiga sila yg sifatnya paling asasi. Dari sini timbul 
ungkapan yang telah sebagai standar “warga yang adil serta makmur”. Dua pengertian ini tidak mampu dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain serta beserta-sama mensyaraktan kehidupan masyarakat Indonesia yg baik Keadilan nir akan tercapai apabila nir tersedia barang yang relatif untuk memenuhi kebutuhan hayati semua rakyat, sedangkan di sisi lain, kemakmuran tidak akan mengklaim tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia nir dibagikan secara merata keseluruh warga warga (Bertens, 2000). 

Keadilan dalam ekonomi seringkali dikaitkan dengan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, buat mencapai rakyat adil sejahtera diharapkan selain demokrasi politik pula demokrasi ekonomi yg berdasarkan perikemanusiaan serta keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yg cocok menggunakan kehidupan asli rakyat Indonesia yg biasa bermusyawarah buat mufakat (Karman, 2006). 

Keadilan dalam perekonomian Indonesia jua ditegaskan pada pada pidato Supomo pada penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip berdasarkan Suwarno (1993), Dalam negara yang dari integralistik, yg berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus sang negara sendiri, akan namun pada hakekatnya negara yang akan menentukan dimana serta dimasa apa serta perusahaan apa yg akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau sang pemerintah wilayah atau yg akan diserahkan lepada sesuatu badan hukum prive atau pada seorang, itu seluruh tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan warga seluruhnya Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yg menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yg penting buat negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai rakyat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hayati menurut kaum tani serta negara wajib menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga sang karena kekeluargaan itu sifatnya masyarakat Timur, yg harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai galat satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). 

Di pada UUD 1945, kehidupan masyarakat pada bidang sosial-ekonomi diatur oleh pasal-pasal 27 ayat dua, pasal 33, serta pasal 34. Dinyatakan pada pada pasal-pasal tadi bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan serta kehidupan yang layak bagi humanisme. Ini ialah setiap warganegara Indonesia wajib mendapatkan pekerjaan supaya beliau dapat memperoleh penghidupan yg layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun terdapat warganegara Indonesia yang nir menerima pekerjaan (menganggur), beliau tetap mempunyai hak untuk menerima kehidupan layak. Ini berarti, jika ia bekerja, beliau berhak menerima upah yang manusiawi, pada arti dengan upah tersebut dia bisa hayati layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh dalam menaruh kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan di pada pasal 34 yg mengungkapkan bahwa orang miskin serta anak-anak yang terlantar dipelihara sang negara. 

Di dalam ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai bisnis bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yg menguasai hajat hayati orang poly dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipakai sebesar-besarnya buat kemakmuran warga . Walaupun pada pada ayat ini diklaim secara eksplisit koperasi, namun di dalam empiris, asas kekeluargaan bisa jua dipraktekkan dalam bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yang dijelaskan sang Suwarno (1993) sebagai berikut, bisa jua menggunakan usaha-bisnis moderen dengan pengaturan sedemikian rupa, sehingga bisnis-bisnis yg bisa diurus sang kelompok-gerombolan masyarakat yg kurang kuat pada permodalan hendaknya diserahkan pada mereka itu tidak semuanya diusahakan sang yg bertenaga permodalannya, sebagai akibatnya menjadi konglomerat yg menguasai cabang-cabang produksi berdasarkan hulu sampai hilar tanpa residu sedikit pun buat loka usaha kelompok yang lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan bisa juga diterapkan pada pengelolaan perusahaan akbar, yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sebagai akibatnya para buruh sanggup membeli saham perusahaan relatif berarti.(hal.135). 

Tetapi, memang pada kenyataannya, keadilan ekonomi seperti yang diamanatkan sang Pasal 33 tadi, sulit sekali direalisasikan. Seperti yg dapat dikutip menurut Karman (2006), ongkos bernegara terlalu besar merampas kemakmuran yang seharusnya milik masyarakat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri pada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan kiprah penting dalam mengelola sendiri kekayaan alam Perekonomian bangsa berjalan pada luar amanat konstitusi Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan seperti pelaku industri manufaktur yg harus berjuang pada sistem mekanisme pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar hasil produksi petani tak sebanding ongkos produksi dan porto hayati sehari-hari (hal.6) 

Praktek-praktek ketidakadilan dalam ekonomi, baik yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh penghasil kebijakan, yang nir sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini sudah mengakibatkan poly pertarungan dalam perekonomian nasional, mulai dari taraf makro sampai mikro yang menghasilkan antara lain kemiskinan dan kesenjangan. 

KEADILAN DALAM EKONOMI

Keadilan Dalam Ekonomi
Salah satu dari tiga pilar kekuatan yg mensugesti keadaban publik merupakan sektor ekonomi atau kominitas usaha, serta fairness atau keadilan menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini karena menyangkut kasus pembagian barang dan jasa yg terbatas kepada seluruh orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan laba atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya menurut barang serta jasa yang terbatas. Penekanan pada paradigma ini adalah “maksimalisasi” serta “terbatas”. Bagi seseorang konsumen atau pengguna barang serta jasa, tingkat kegunaan diukur menggunakan tingkat kepuasan, kesehatan, kenyamanan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, menggunakan aturan yg terbatas, seseorang berusaha menerima tempat tinggal baru yang memberinya kenyamanan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang dan jasa atau penghasil, taraf kegunaan diukur dengan taraf profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yg dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yg memberikannya pendapatan paling tinggi, atau menggunakan modal serta energi kerja yg terdapat, seorang pembuat berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan laba paling tinggi baginya. 

Karena kelangkahan selalu muncul  pada ekonomi (atau pada kehidupan manusia secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang serta jasa tidak pernah sanggup dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak akan menjadi suatu masalah jika barang serta jasa atau sumber daya yang terdapat berlimpah hingga nir ada harganya, seperti air laut, angin dan mata hari, atau bila pada suatu daerah yang sangat luas serta sangat kaya akan sumber daya alam hanya terdapat segelintir manusia. Semakin langka barang serta jasa atau asal daya (ad interim, jumlah penduduk bertambah terus), semakin akbar masalah distribusi, yg berarti semakin akbar perkara keadilan pada pada ekonomi. 

Keadilan juga merupakan suatu topik krusial pada etika. Seperti yang bisa dikutip berdasarkan Bertens (2000) 
sebagai berikut: sulit sekali buat dibayangkan orang atau instansi yg berlaku etis namun tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi adalah menyangkut etika usaha, karena bisnis merupakan aktivitas ekonomi. 

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yang kentara bahwa keadaban publik dipandang berdasarkan aspek 
ekonominya merupakan menyangkut pendistribusian secara adil barang serta jasa ke semua orang sinkron proporsinya masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi pada berbagai aspek, mulai dari ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian sampai kesempatan menerima pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan pada ekonomi erat kaitannya menggunakan kasus kemiskinan dan kesenjangan. Adalah tidak mungkin untuk menyampaikan bahwa suatu bangsa sangat beradab apabila pada negara tersebut sebagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian akbar petaninya merupakan petani gurem, dan banyak industri mengerjakan buruh anak-anak yang dibayar sangat murah (eksploitasi anak-anak). 

Etika Bisnis serta Keadilan. 
Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah aktivitas bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, usaha 
yang baik merupakan yg selalu membuat keuntungan akbar. Di pada teori pembuat (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari laba sebesar mungkin menggunakan porto seminimum mungkin. Maksimalisasi laba adalah tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini adalah keinginan, atau dasar berdasarkan perkembangan kapitalisme liberal yg tumbuh pesat sejak era merkantilisme pada abad ke 18 kemudian. Ini pula yang mendorong negara-negara pada Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah serta Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang berdasarkan V.O.C. Yang akhirnya menjajah Indonesia. 

Kalau memaksimalkan keuntungan sebagai satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan ada keadaan yg nir etis. Lantaran, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi menggunakan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; jika sanggup nir mengeluarkan satu senpun porto yg berakti buru-burunya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali perkara yg dapat ditinjau yg merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut pada sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai motivasi primer berdasarkan perusahaan-perusahaan pada negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari energi kerja murah. Kedua, poly perusahaan pada Indonesia lebih senang memakai buruh tanggal atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga, poly perusahaan-perusahaan pada sektor industri manufaktur di Indonesia serta dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin mengembangkan laba dengan mereka melainkan buat mengurangi porto produksi serta sekaligus menggeser resiko usaha akibat perubahan pasar secara datang-datang ke para pemasok-pemasok tersebut. Sedangkan berdasarkan sudut pandang moral, usaha yg selalu menciptakan laba akbar tidak selalu dianggap sebaga usaha yg rupawan, apabila laba tersebut didapat menggunakan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai bahan standar yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, misalnya pada masalah tahu dengan menggunakan bahan pengawet formalin. 

Kasus formalin ini adalah satu model konkrit berdasarkan suatu perilaku pengusaha/pelaku bisnis yang telah melanggar etika dalam bisnis atau yang umum dianggap etika bisnis. Namun apakah etika usaha itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan menggunakan norma hidup yang baik, baik pada diri seseorang juga 
pada suatu warga atau grup rakyat. Ini berarti etika berkaitan menggunakan nilai-nilai, rapikan cara hayati yang baik, anggaran hayati yg baik, dan segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan berdasarkan satu orang ke orang lain atau menurut satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yg luas, Keraf menyampaikan bahwa etika bisa dirumuskan menjadi refleksi krisis dan rasional tentang: (a) nilai serta kebiasaan yang menyangkut bagaimana manusia wajib hayati baik sebagai manusia; dan mengenai (b) perkara-perkara kehidupan manusia menggunakan mendasarkan diri dalam nilai serta kebiasaan-norma moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika usaha bisa dirumuskan sebagai cara-cara yg baik, yang manusiawi pada melakukan usaha, atau melakukan usaha sinkron kebiasaan-norma moral yg umum diterima. 

Masalah etika usaha nir hanya pada taraf pengusaha/perusahaan secara individu, namun juga pada tingkat nasional, baik yg dilakukan sang masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan sang warga , misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan misalnya yg terjadi dalam perkara kaset musik hasil Live Aid yg dipimpin sang Bob Geldof serta diselenggarkan serentak pada stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, serta pada stadion Wembley di London, Inggris, dalam 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan buat mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan pada Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu lalu muncul kaset-kaset rekaman konser tadi di sejumlah negara di Timur Tengah serta juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tadi mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan terdapat yg menggunakan pita cukai Indonesia. Menurut kabar menurut Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yg terlibat pada pada pembajakan kaset tersebut. 

Sedangkan pelanggaran etika bisnis yg dilakukan pemerintah Indonesia selama ini sanggup dilihat contohnya adalah dalam perkara pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Agraria dan UUD 1945 Pasal 33 menekankan keadilan pada ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru sampai waktu ini nir ada bisnis mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani oleh rakyat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 serta 2003 (paling akhir), jumlah famili tani tanpa lahan atau menggunakan lahan kurang menurut 0,5 hektar (disebut petani gurem) meningkat terus. 

Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak merugikan keliru satu pihak atau menguntungkan ke 2 belah pihak. Menurut Keraf (1998), terdapat tiga sasaran serta lingkup utama etika usaha. Pertama, etika usaha sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, syarat, serta perkara yang terkait dengan praktek usaha yang baik serta etis. Sasaran kedua berdasarkan etika usaha adalah buat menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset generik misalnya lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yg nir boleh dilanggar sang praktek bisnis siapa pun jua. Ketiga, etika usaha dalam tingkat makro, yakni berbicara tentang sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika usaha ini atau diklaim pula etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, serta semacamnya yg snagat mempengaruhi nir saja sehat-tidaknya suatu ekonomi namun juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis pada suatu negara. 

Dari uraian pada atas, sangat kentara bahwa etika usaha sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, dan dalam hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah wajib membagi segalanya menggunakan cara yg sama pada para anggota warga . Konkritnya dalam aspek sosial ekonomi merupakan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat buat mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan menggunakan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan ada bila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang eksklusif yg tidak memiliki hak khusus, misalnya contohnya pada menerima proyek-proyek pembangunan atau biar impor seperti banyak terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme merupakan salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif.

Sedangkan menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yg merata tau yg dianggap adil bagi semua rakyat negara. Dengan istilah lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau output-hasil pembangunan. (hal. 142). Namun kini pertanyaannya merupakan:  apa yg menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai kiprah serta sumbangan masing-masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian sanggup dikatakan adil apabila semua orang menerima bagian yang sama. Jadi, dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil berarti membagi rata. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini jua merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis pada revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme dalam abad ke 18 serta revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence dalam tahun 1776 yg menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini jua yg melandasi sistem pemilihan generik dibanyak negara-negara maju dengan sistem ”one person one vote”. 

Kedua, teori sosialistis yang menentukan prinsip kebutuhan setiap orang menjadi dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan masyarakat adil, bila kebutuhan seluruh warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan pakaian, pangan, serta papan. Secara nyata, sosialisme terutama memikirkan masalah-perkara pekerjaan bagi kaum buruh pada konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal 2 prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yg berat wajib dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan menurut semua warga rakyat, serta bagaimana hal-hal yg enak buat diperoleh wajib diberikan sesuai kebutuhan. Contoh berdasarkan prinsip pertama tersebut contohnya merupakan setiap warga punya hak yg sama buat mendapatkan pekerjaan yg layak, termasuk orang-orang cacat, tetapi orang-orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yg diberikan pada pekerja-pekerja dengan syarat tubuh yg prima. Sedangkan contoh dari prinsip kedua itu merupakan misalnya honor atau upah dikatakan adil apabila sinkron dengan kebutuhan pekerja. 

Ketiga, teori liberalistis yg menduga pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yg tidak adil. Menurut teori ini, pembagian wajib berdasarkan pada usaha-bisnis bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak memiliki hak pula buat memperoleh sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih banyak dibandingkan yg malas bekerja. Jadi, fokus dari teori ini merupakan prestasi yang dipandang sebagai perwujudan pilihan bebas seorang. Tentu terdapat kasus berfokus dengan teori ini, pada saat seseorang tidak bisa berprestasi karena stigma atau orang yg menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya. Dua teori pertama tadi pada prakteknya mempunyai masalah, terutama pada ekonomi. Dalam teori pertama, ini adalah upah yg diterima seseorang buruh pabrik sama dengan pendapatan menurut pimpinan perusahaan. Walaupun seorang berprestasi jauh lebih mengagumkan dibandingkan orang lain, gaji mereka permanen sama, dan ini tentu sesuatu yang tidak adil. Demikian pula masalah dengan teori kedua. Keadilan distributif yg dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana seluruh orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas berdasarkan sumbangan serta peran atau prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang tidak adil, karena setiap masyarakat akan diberi jatah sinkron menggunakan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama homogen malahan menyebabkan ketidakadilan.
Keadilan distributif tak jarang jua dianggap menjadi kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak 
sependapat menggunakan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial wajib dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yang paling baik buat menguraikan keadilan sosial merupakan membedakannya menggunakan keadilan individual. Dua macam keadilan ini tidak selaras, karena pelaksanaannya tidak sama. Bertens (2000) menjelaskan menjadi berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung dalam kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam aplikasi keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung berdasarkan struktur-struktur warga di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, serta sebagainya. Keadilan sosial tidak terealisasi, jika struktur-struktur masyarakat nir memungkinkan. Karena itu pada sini orang berbicara jua mengenai ketidakadilan struktural dan kemiskinan struktural. (hal.92). 
Menurut Bertens (1997, 2000), jika keadilan merupakan merupakan memberikan pada setiap orang yg sebagai 
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, apabila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terealisasi, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) mengungkapkan Keadilan individual acapkali kali bisa dilaksanakan dengan paripurna. Karena kompleksitas rakyat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan pada warga , seperti misalnya dinaikkannya pajak, sanggup mengakibatkan ketidakadilan struktural buat golongan tertentu. Keadilan sosial adalah harapan yang mampu dihampiri semakin dekat, akan tetapi nir pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. (hal.93-94). Jadi yg dimaksud pada sini merupakan bahwa di satu warga atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik berdasarkan dalam di warga lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis nir terdapat satu rakyat atau negara pun pada mana tidak ada masalah keadilan sosial. 

Ekonomi Berazas Pancasila 
Keadilan pada ekonomi pula dalam dasarnya merupakan peradaban ekonomi Indonesia yg dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, sila kemanusian yang adil serta mudun, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tiga sila yang sifatnya paling asasi. Dari sini timbul 
ungkapan yg telah menjadi standar “masyarakat yang adil dan makmur”. Dua pengertian ini nir mampu dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain serta bersama-sama mensyaraktan kehidupan warga Indonesia yang baik Keadilan nir akan tercapai jika nir tersedia barang yg cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh masyarakat, sedangkan pada sisi lain, kemakmuran nir akan menjamin tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia tidak dibagikan secara merata keseluruh masyarakat masyarakat (Bertens, 2000). 

Keadilan pada ekonomi sering dikaitkan menggunakan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, buat mencapai rakyat adil sejahtera diperlukan selain demokrasi politik jua demokrasi ekonomi yg menurut perikemanusiaan serta keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yg cocok dengan kehidupan orisinil warga Indonesia yg biasa bermusyawarah buat mufakat (Karman, 2006). 

Keadilan pada perekonomian Indonesia juga ditegaskan di pada pidato Supomo pada penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip dari Suwarno (1993), Dalam negara yg menurut integralistik, yg berdasar persatuan, maka pada lapangan ekonomi akan digunakan sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan namun dalam hakekatnya negara yg akan memilih dimana serta dimasa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan sang pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan lepada sesuatu badan aturan prive atau kepada seorang, itu semua tergantung berdasarkan dalam kepentingan negara, kepentingan warga seluruhnya Begitupun mengenai hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yg penting buat negara akan diurus sang negara sendiri. Melihat sifat rakyat Indonesia menjadi rakyat pertanian, maka menggunakan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup berdasarkan kaum tani dan negara wajib menjaga supaya tanah pertanian itu permanen dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga sang lantaran kekeluargaan itu sifatnya warga Timur, yg wajib kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya digunakan menjadi galat satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). 

Di pada UUD 1945, kehidupan masyarakat pada bidang sosial-ekonomi diatur sang pasal-pasal 27 ayat 2, pasal 33, serta pasal 34. Dinyatakan di pada pasal-pasal tadi bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini merupakan setiap warganegara Indonesia harus menerima pekerjaan supaya beliau dapat memperoleh penghidupan yg layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun terdapat warganegara Indonesia yg tidak mendapatkan pekerjaan (menganggur), dia tetap mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan layak. Ini berarti, jika beliau bekerja, dia berhak menerima upah yang manusiawi, dalam arti dengan upah tersebut dia bisa hayati layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah memiliki tanggung jawab penuh pada memberikan kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan pada dalam pasal 34 yg berkata bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. 

Di pada ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai bisnis beserta menurut atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yg menguasai hajat hidup orang banyak dan kekayaan alam dikuasai negara serta digunakan sebanyak-besarnya buat kemakmuran masyarakat. Walaupun di pada ayat ini disebut secara eksplisit koperasi, tetapi di pada empiris, asas kekeluargaan mampu jua dipraktekkan pada bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yg dijelaskan oleh Suwarno (1993) sebagai berikut, dapat jua menggunakan usaha-bisnis moderen menggunakan pengaturan sedemikian rupa, sehingga bisnis-usaha yg bisa diurus sang grup-gerombolan rakyat yg kurang kuat dalam permodalan hendaknya diserahkan kepada mereka itu nir semuanya diusahakan sang yang bertenaga permodalannya, sehingga menjadi konglomerat yang menguasai cabang-cabang produksi dari hulu hingga hilar tanpa sisa sedikit pun buat loka usaha grup yg lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan dapat juga diterapkan dalam pengelolaan perusahaan besar , yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sehingga para buruh bisa membeli saham perusahaan relatif berarti.(hal.135). 

Tetapi, memang dalam kenyataannya, keadilan ekonomi misalnya yang diamanatkan oleh Pasal 33 tersebut, sulit sekali direalisasikan. Seperti yang bisa dikutip dari Karman (2006), ongkos bernegara terlalu akbar merampas kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri kepada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan peran vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam Perekonomian bangsa berjalan pada luar amanat konstitusi Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan misalnya pelaku industri manufaktur yang harus berjuang pada sistem prosedur pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar output produksi petani tak sebanding ongkos produksi serta porto hidup sehari-hari (hal.6) 

Praktek-praktek ketidakadilan pada ekonomi, baik yg dilakukan sang pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh penghasil kebijakan, yg nir sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini telah menimbulkan poly pertarungan dalam perekonomian nasional, mulai menurut tingkat makro hingga mikro yg membentuk diantaranya kemiskinan dan kesenjangan. 

MEMPOSISIKAN EKONOMI ISLAM

Ekonomi Islam bukan pertengahan akomodasi kapitalisme serta sososialisme. Ekonomi Islam memiliki karakteristiknya sendiri, hatta jikapun masih ada poin kesamaan eksklusif pada mekanismenya menggunakan ekonomi konvensional. Membicarakan ekonomi Islam bukan hanya soalan bank syari'ah dan ZISWAF sahaja, tetapi mencakup ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pembiayaan publik sampai konsep pembangunan. 

Subjek dalam studi ekonomi Islam sangat dekat menggunakan ekonomi konvensional yaitu alokasi serta distribusi sumberdaya yg terbatas buat memenuhi kebutuhan yg nir terbatas, tetapi kurang tepat asumsi yg menyatakan ekonomi Islam merupakan ekonomi konvensional minus riba plus ZIS. Lantaran visi serta tujuan yang mendasari subjek ekonomi Islam tidak ekivalen menggunakan ekonomi konvensional. Demikian juga pendefinisan well-being atau kesejahteraan pada subjek ekonomi Islam tidak ekivalen menggunakan ekonomi konvensional. 

Dalam literatur ekonomi konvensional, kesejahteraan didefinisikan sebagai 'happines and life satisfaction'. Selanjutnya dalam ekonomi konvensional happiness diasosiasikan dalam terminologi material dan hedonistis, perolehan pendapatan dan profit yang tinggi buat memenuhi kebutuhan jasmani (biological needs). Sehingga sangat rasional bagi aktifitas ekonominya buat melayani kesamaan pribadi, kekayaan, kesenangan jasmani dan kepuasan sensual. Karena kesenangan dan kepuasan sensual bergantung pada kesukaan serta preferensi individu masing-masing, maka 'value judgement' akan disingkirkan sebagai akibatnya individu memiliki kebebasan memutuskan apa yang mereka inginkan (freedom to pursue self interest). Ini juga yg mengakibatkan peran pemerintah diupayakan minimum kecuali dalam tingkat yg diperlukan buat mengefektifkan performansi individu serta pasar.

Dalam ekonomi Islam, Ibnu Khaldun berpendapat kesejahteraan nir saja pemenuhan kebutuhan dasar jasmani, melainkan jua kebutuhan non-material. Salah satu kebutuhan non material yang paling krusial adalah keadilan. Syarat kesejahteraan lainnya adalah ketenangan mental, keharmonisan keluarga serta rakyat, persaudaraan umat manusia, kebebasan, keamanan harta benda, keamanan hayati, minimisasi kejahatan dan penekanan. 

Kesejahteraan merupakan produk akhir menurut interaksi faktor-faktor ekonomi (misalnya pendapatan) menggunakan faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis dan historis yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga masing-masing faktor tersebut tidak akan bisa berkontribusi optimum dengan menghilangkan salah satunya. Kesejahteraan yang sebenarnya nir akan pernah terealisasi tanpa keadilan. Al-Qur'an menyatakan penegakan keadilan sebagai tujuan diutusnya para rosul (QS.57:25): "Sungguh, Kami sudah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang konkret dan Kami turunkan beserta mereka buku serta neraca (keadilan) supaya manusia bisa berlaku adil" Rosululloh saw pula menyatakan ketidakadilan menjadi kegelapan yg sesungguhnya (injustice equivalent to absolute darkness). Lantaran ketidakadilan meruntuhkan solidaritas, menyulut perseteruan, membunuh kepercayaan dan menciptakan kerusakan dalam kehidupan manusia. 

Abu Yusuf (wafat 789) menegaskan pada Khalifah Harun Al Rasyid bahwa penegakan keadilan dan pembasmian ketidakadilan akan meningkatkan kecepatan pembangunan. Al-Mawardi (wafat 1058) menyatakan keadilan akan menaikkan solidaritas, penegakan hukum, pembangunan negara, peningkatan kekayaan, pertumbuhan penduduk serta keamaan negara. Dinyatakan pula "tidak terdapat yg dapat merusak dunia serta humanisme manusia lebih cepat menurut ketidakadilan." Ibnu Taimiyyah (wafat 1328) menyatakan keadilan merupakan produk inti berdasarkan ketauhidan. Ibnu Khaldun jua menyatakan tidak mungkin menciptakan tanpa keadilan, ketidakadilan membawa kehancuran pembangunan, penurunan kesejahteraan adalah hasil menurut pelanggaran keadilan. Dari definisi kesejahteraan yang diadopsi suatu warga , akan membawa disparitas konfigurasi serta mekanisme alokasi serta distribusi sumberdaya yg terbatas tersebut. 

Pemikiran ekonomi Islam oleh sarjana muslim berlangsung gemilang serta redup seiring merosotnya kekhilafahan dan penghancuran dokumentasi kebudayaan dan ilmu pengetahuan sang bangsa Mongol. Ibnu Khaldun (wafat 1406) menjadi muslim yg sadar akan fenomena kemerosotan umat, menciptakan analisa komprehensif pada Muqadimah, yg bahkan konsep pembangunannya sangat maju mencakup multidisiplin, yg sekarang --antara lain-- digagas sang Amartya Sen pada Freedom as Development.sesudahnya nir terdengar kajian-kajian komprehensif lagi, kecuali oleh beberapa sarjana muslim (yang terisolasi) seperti Al-Maqrizi (wafat 1442), Al-Dawwani (wafat 1501) dan terakhir Shah Waliyullah (wafat 1762). 

Mengkonstruksi kompleksitas mekanisasi ekonomi Islam buat bisa 'keluar' menurut arus primer sistem ekonomi ketika ini bukan pekerjaan yang bisa dibutuhkan selesai pada ketika singkat. Apalagi bila kita perhatikan bahwa kebangkitan pemikiran ekonomi Islam baru berlangsung lebih kurang 40 tahun terakhir, dimulai berdasarkan beberapa ketika sebelum pendirian IDB dalam 1975. Dapatlah kita bayangkan kekosongan pemikiran ekonomi Islam berlangsung berdasarkan 1762 sampai 1970-an (berarti hampir 250 tahun) atau bahkan hampir 600 tahun bila ditarik dari masa pemikiran Ibnu Khaldun. Jumlah orang, universitas, pemerintahan dan forum riset yg berpartisipasi pada pengembangan ekonomi Islam masih sangat sedikit, bahkan pada negri-negri muslim sekalipun. Bandingkan menggunakan kapitalisme yang telah berjalan lebih menurut satu abad, pengembangannya berakselerasi nyaris tanpa interupsi. Tergambar kentara menurut jurnal-jurnalnya yang nir terhitung lagi, buku, laporan dan riset pada seluruh dunia yang melimpah. Atau socialism yang 'divonis' bangkrut serta hancur, jurnalnya melimpah, pemikirnya terus aktif dalam forum defensif Marxist. Bagaimana dengan kita? 

Sekarang, jika ekonomi konvesional diasumsikan telah sedemikian kokoh terbangun, bagaimana posisi ekonomi Islam? Masih cukup relevan atau esensiilkah pada tahapan globalisasi ekonomi waktu ini? Sedikit romantisme sejarah, saat peradaban madani telah terbangun, pada sisi lain berlangsung perang berkepanjangan Persia-Romawi. Terjadi pungutan pajak dan tarif yang luar biasa berat buat pembiayaan perang, sebagai akibatnya menghambat perdagangan dan pembangunan. Sementara daerah dibawah pengaturan Islam menjadi pangsa pasar yg luas dan terbuka menggunakan pajak minimum, perputaran uang yg pesat, tempat penyimpanan barang-barang, kapital, dan interaksi antar manusia yang bebas dan kondusif. Mengapa sanggup demikian? Lantaran keadilan dan kepatutan dalam interaksi umat insan adalah komponen melekat dalam ekonomi Islam. 

Iklim tadi mendorong perdagangan yang membentang menurut Maroko dan Spanyol pada barat, ke India serta China pada timur, Asia Tengah pada utara, hingga Afrika pada selatan. Ekspansi perdagangan ini dibuktikan nir hanya menurut dokumen sejarah, melainkan pula melalui koin atau mata uang Islam berdasarkan abad 7 serta 8 yg ditemukan pada Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, British serta Scotland. Negeri-negeri yg notabene bukan negeri Muslim. Kegairahan perdagangan mendorong pembangunan pada seluruh dunia, nir hanya trading produk pertanian, namun pula kerajinan, serta barang-barang 'industri'. Sehingga terjadi peningkatan pendapatan yg signifikan. Tidak saja pada negeri-negeri Muslim melainkan terdistribusi secara adil kepada pelaku ekonomi meskipun bukan negri muslim. Jadi gagasan kemakmuran beserta bukan sesuatu yang baru pada peradaban Islam. 

Keberhasilan ekonomi Islam bukanlah fantasi dan bisa kita bangun balik , lantaran pernah berjaya dari abad 7 hingga abad 12 atau selama 600 tahun, lalu gejala kemerosotan umat berlangsung 200 tahun hingga sejak abad 14 umat sahih-benar jadi bulan-bulanan hingga kini . Peradaban yang –pernah-- kalah menyisakan keperihan terputusnya dokumentasi keilmuan serta terpasungnya pemikir-pemikir peradaban. Tetapi menggunakan kerja keras dan kerja umat yg beserta-sama menciptakan konsepsi ekonomi Islam, serta menjalankan instrumen ekonomi Islam secara riil, insya Allah akan sebagai gelombang perbaikan kemajuan peradaban Islam. Rutnya, kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yg mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --buat kepentingan kelangsungan hayati jangka panjang-- menjamin well-being bagi rakyat (N) menggunakan menyediakan lingkungan yang sesuai buat aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), serta pembangunan dan distribusi kekayaan (W) yang setara.

Relasi sebab akibat yang normal mungkin tidak wajib reversibel, tetapi pada rakyat manusia yang ditekankan Ibnu Khaldun, hubungan sirkular dan saling kebergantungan umumnya cenderung reversibel. Implikasinya, mekanisme triger dalam kemunduran suatu warga (yang pada analisis Ibnu Khaldun merupakan kegagalan G) mampu nir sama buat setiap warga . Bisa dipicu oleh variabel manapun. Contohnya, disintegrasi keluarga, yg merupakan bagian integral berdasarkan N pada model diatas. Disintegrasi famili membawa pendidikan yang nir sempurna kepada anak-anak selanjutnya membawa penurunan dalam kualitas asal daya insan (N) yg adalah dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga mampu disebabkan kelemahan ekonomi (W) output berdasarkan kesalahan sistem ekonomi (S) misalnya contoh kasus ekonomi totalitarian, atau institusi serta value yg jelek (S) seperti yg dihadapi poly negara berkembang saat ini

MEMPOSISIKAN EKONOMI ISLAM

Ekonomi Islam bukan pertengahan akomodasi kapitalisme dan sososialisme. Ekonomi Islam mempunyai karakteristiknya sendiri, hatta jikapun terdapat poin kesamaan tertentu pada mekanismenya dengan ekonomi konvensional. Membicarakan ekonomi Islam bukan hanya soalan bank syari'ah serta ZISWAF sahaja, tetapi meliputi ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pembiayaan publik sampai konsep pembangunan. 

Subjek pada studi ekonomi Islam sangat dekat dengan ekonomi konvensional yaitu alokasi dan distribusi sumberdaya yg terbatas buat memenuhi kebutuhan yang nir terbatas, namun kurang sempurna anggapan yg menyatakan ekonomi Islam merupakan ekonomi konvensional minus riba plus ZIS. Lantaran visi serta tujuan yang mendasari subjek ekonomi Islam tidak ekivalen menggunakan ekonomi konvensional. Demikian pula pendefinisan well-being atau kesejahteraan pada subjek ekonomi Islam nir ekivalen menggunakan ekonomi konvensional. 

Dalam literatur ekonomi konvensional, kesejahteraan didefinisikan menjadi 'happines and life satisfaction'. Selanjutnya dalam ekonomi konvensional happiness diasosiasikan pada terminologi material serta hedonistis, perolehan pendapatan dan profit yang tinggi buat memenuhi kebutuhan jasmani (biological needs). Sehingga sangat rasional bagi aktifitas ekonominya buat melayani kesamaan eksklusif, kekayaan, kesenangan jasmani dan kepuasan sensual. Karena kesenangan serta kepuasan sensual bergantung dalam selera dan preferensi individu masing-masing, maka 'value judgement' akan disingkirkan sebagai akibatnya individu mempunyai kebebasan tetapkan apa yg mereka inginkan (freedom to pursue self interest). Ini jua yang menyebabkan peran pemerintah diupayakan minimum kecuali pada tingkat yg diperlukan buat mengefektifkan performansi individu dan pasar.

Dalam ekonomi Islam, Ibnu Khaldun beropini kesejahteraan tidak saja pemenuhan kebutuhan dasar jasmani, melainkan jua kebutuhan non-material. Salah satu kebutuhan non material yang paling penting merupakan keadilan. Syarat kesejahteraan lainnya merupakan kenyamanan mental, keharmonisan keluarga dan warga , persaudaraan umat insan, kebebasan, keamanan mal, keamanan hayati, minimisasi kejahatan dan fokus. 

Kesejahteraan merupakan produk akhir dari hubungan faktor-faktor ekonomi (misalnya pendapatan) menggunakan faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis serta historis yg terintegrasi sedemikian rupa sehingga masing-masing faktor tersebut nir akan bisa berkontribusi optimum menggunakan menghilangkan galat satunya. Kesejahteraan yang sebenarnya nir akan pernah terealisasi tanpa keadilan. Al-Qur'an menyatakan penegakan keadilan menjadi tujuan diutusnya para rosul (QS.57:25): "Sungguh, Kami sudah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yg nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia bisa berlaku adil" Rosululloh saw jua menyatakan ketidakadilan menjadi kegelapan yg sesungguhnya (injustice equivalent to absolute darkness). Lantaran ketidakadilan meruntuhkan solidaritas, menyulut permasalahan, membunuh kepercayaan serta membuat kerusakan pada kehidupan manusia. 

Abu Yusuf (wafat 789) menegaskan pada Khalifah Harun Al Rasyid bahwa penegakan keadilan serta pembasmian ketidakadilan akan mempercepat pembangunan. Al-Mawardi (wafat 1058) menyatakan keadilan akan menaikkan solidaritas, penegakan aturan, pembangunan negara, peningkatan kekayaan, pertumbuhan penduduk serta keamaan negara. Dinyatakan jua "nir ada yg dapat merusak dunia dan humanisme insan lebih cepat menurut ketidakadilan." Ibnu Taimiyyah (wafat 1328) menyatakan keadilan adalah produk inti menurut ketauhidan. Ibnu Khaldun juga menyatakan nir mungkin membentuk tanpa keadilan, ketidakadilan membawa kehancuran pembangunan, penurunan kesejahteraan merupakan hasil berdasarkan pelanggaran keadilan. Dari definisi kesejahteraan yang diadopsi suatu masyarakat, akan membawa disparitas konfigurasi serta mekanisme alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas tersebut. 

Pemikiran ekonomi Islam sang sarjana muslim berlangsung gemilang serta redup seiring merosotnya kekhilafahan dan penghancuran dokumentasi kebudayaan serta ilmu pengetahuan sang bangsa Mongol. Ibnu Khaldun (wafat 1406) menjadi muslim yang sadar akan fenomena kemerosotan umat, menciptakan analisa komprehensif dalam Muqadimah, yang bahkan konsep pembangunannya sangat maju meliputi multidisiplin, yang sekarang --antara lain-- digagas sang Amartya Sen pada Freedom as Development.sesudahnya nir terdengar kajian-kajian komprehensif lagi, kecuali sang beberapa sarjana muslim (yang terisolasi) misalnya Al-Maqrizi (wafat 1442), Al-Dawwani (wafat 1501) dan terakhir Shah Waliyullah (wafat 1762). 

Mengkonstruksi kompleksitas mekanisasi ekonomi Islam buat sanggup 'keluar' menurut arus primer sistem ekonomi ketika ini bukan pekerjaan yang sanggup diharapkan terselesaikan pada saat singkat. Apalagi apabila kita perhatikan bahwa kebangkitan pemikiran ekonomi Islam baru berlangsung sekitar 40 tahun terakhir, dimulai dari beberapa saat sebelum pendirian IDB pada 1975. Dapatlah kita bayangkan kekosongan pemikiran ekonomi Islam berlangsung dari 1762 hingga 1970-an (berarti hampir 250 tahun) atau bahkan hampir 600 tahun bila ditarik berdasarkan masa pemikiran Ibnu Khaldun. Jumlah orang, universitas, pemerintahan dan lembaga riset yang berpartisipasi pada pengembangan ekonomi Islam masih sangat sedikit, bahkan di negri-negri muslim sekalipun. Bandingkan menggunakan kapitalisme yang telah berjalan lebih dari satu abad, pengembangannya berakselerasi nyaris tanpa interupsi. Tergambar kentara dari jurnal-jurnalnya yang nir terhitung lagi, buku, laporan serta riset pada semua global yang melimpah. Atau socialism yg 'divonis' bangkrut dan hancur, jurnalnya melimpah, pemikirnya terus aktif pada forum defensif Marxist. Bagaimana dengan kita? 

Sekarang, apabila ekonomi konvesional diasumsikan telah sedemikian kokoh terbangun, bagaimana posisi ekonomi Islam? Masih relatif relevan atau esensiilkah pada tahapan globalisasi ekonomi ketika ini? Sedikit romantisme sejarah, saat peradaban madani telah terbangun, di sisi lain berlangsung perang berkepanjangan Persia-Romawi. Terjadi pungutan pajak dan tarif yang luar biasa berat buat pembiayaan perang, sebagai akibatnya menghambat perdagangan serta pembangunan. Sementara wilayah dibawah pengaturan Islam sebagai pangsa pasar yang luas dan terbuka menggunakan pajak minimum, perputaran uang yang pesat, loka penyimpanan barang-barang, modal, serta hubungan antar insan yg bebas dan aman. Mengapa sanggup demikian? Lantaran keadilan serta kepatutan dalam hubungan umat insan adalah komponen inheren dalam ekonomi Islam. 

Iklim tersebut mendorong perdagangan yg membentang menurut Maroko dan Spanyol di barat, ke India serta China pada timur, Asia Tengah pada utara, sampai Afrika pada selatan. Ekspansi perdagangan ini dibuktikan nir hanya berdasarkan dokumen sejarah, melainkan pula melalui koin atau mata uang Islam dari abad 7 serta 8 yg ditemukan pada Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, British dan Scotland. Negeri-negeri yang notabene bukan negeri Muslim. Kegairahan perdagangan mendorong pembangunan di semua dunia, tidak hanya trading produk pertanian, tetapi jua kerajinan, dan barang-barang 'industri'. Sehingga terjadi peningkatan pendapatan yg signifikan. Tidak saja di negeri-negeri Muslim melainkan terdistribusi secara adil pada pelaku ekonomi meskipun bukan negri muslim. Jadi gagasan kemakmuran bersama bukan sesuatu yg baru dalam peradaban Islam. 

Keberhasilan ekonomi Islam bukanlah fantasi dan sanggup kita bangun balik , lantaran pernah berjaya menurut abad 7 hingga abad 12 atau selama 600 tahun, kemudian tanda-tanda kemerosotan umat berlangsung 200 tahun hingga semenjak abad 14 umat sahih-benar jadi bulan-bulanan hingga kini . Peradaban yg –pernah-- kalah menyisakan keperihan terputusnya dokumentasi keilmuan dan terpasungnya pemikir-pemikir peradaban. Namun dengan kerja keras serta kerja umat yang bersama-sama membangun konsepsi ekonomi Islam, dan menjalankan instrumen ekonomi Islam secara riil, insya Allah akan menjadi gelombang perbaikan kemajuan peradaban Islam. Rutnya, kelemahan dinasti bergantung dalam kekuatan atau kelemahan otoritas politik yang mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --buat kepentingan kelangsungan hayati jangka panjang-- menjamin well-being bagi rakyat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), dan pembangunan serta distribusi kekayaan (W) yg setara.

Relasi karena akibat yg normal mungkin tidak wajib reversibel, namun pada warga manusia yg ditekankan Ibnu Khaldun, interaksi sirkular serta saling kebergantungan umumnya cenderung reversibel. Implikasinya, mekanisme triger pada kemunduran suatu masyarakat (yang pada analisis Ibnu Khaldun merupakan kegagalan G) mampu nir sama buat setiap warga . Bisa dipicu oleh variabel manapun. Contohnya, disintegrasi keluarga, yg merupakan bagian integral berdasarkan N dalam contoh diatas. Disintegrasi famili membawa pendidikan yg tidak tepat pada anak-anak selanjutnya membawa penurunan pada kualitas asal daya manusia (N) yang adalah dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga mampu ditimbulkan kelemahan ekonomi (W) hasil dari kesalahan sistem ekonomi (S) seperti model masalah ekonomi totalitarian, atau institusi dan value yang jelek (S) misalnya yg dihadapi poly negara berkembang saat ini

MEMBUMIKAN KEADILAN MENEGUHKAN PEMIHAKAN

Membumikan Keadilan Meneguhkan Pemihakan 
Ketidakadilan ekonomi adalah problem umiversal yang dihadapi sang seluruh sistem pada masa ini. Dalam hampir seluruh bagian global, serta pada semua wilayah sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan dalam ketamakan sudah mengalami kebuntuan pada melahirkan keadilan. Sistem-sistem semacam itu umumnya berakar pada ekstrem-ekstrem ideologis yg kurang berhasil mengantarkan syarat ekonomi yang lebih baik bagi semua partisipan. Pada skala dunia, poly orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, dan Neoliberalisme yang telah berjasa melahirkan kemiskinan serta pemiskinan struktural pada jumlah masif. 

Kapitalisme pada bentuk klasiknya laissez faire telah runtuh, yg masih bertahan adalah Kapitalisme yg telah dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya masih ada suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata serta fair dalam perekonomian. Dengan tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan cita-cita secara serampangan, pendapatan tidak didistribusikan secara merata, sebab ketidakmerataan pada pewarisan kekayaan berkaitan menggunakan akses yang nir adil terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan talenta, stamina fisik, latar belakang famili, serta ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan gerombolan berpendapatan tinggi memperoleh bagian pendapatan yang jauh lebih akbar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara ini konfigurasi barang-barang serta jasa yg diproduksi oleh sistem pasar tidak selaras dengan impian lebih banyak didominasi konsumen. Kesenjangan pendapatan yang akbar diterima sebagai masuk akal dan tak terhindarkan. Ini merupakan ketidakadilan yg konkret, namun dirasionalisasi menggunakan argumen bahwa seorang yg memikirkan diri sendiri yang telah melahirkan situasi ini merupakan "kekuatan sosial yg perlu serta berguna".

Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai antitesis dari Kapitalisme juga tidak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan mengalami kemunduran lebih cepat dari yang diprediksikan. Ini ditimbulkan kelemahan-kelemahan primer yg inheren di dalamnya. Pertama, ideologi ini mengimplikasikan ketidakpercayaan dalam kemampuan insan buat mengelola kepemilikan langsung dalam batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara dijalankan sang sekelompok orang yg kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yg terjadi sebaliknya, sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan serta pendapatan negara buat kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi generik yang besar hanya menguntungkan si kaya serta orang-orang istimewa dibanding si miskin yg daya belinya terbatas.

Tujuan utama Sosialisme merupakan menegakkan keadilan, tetapi dalam praktiknya Sosialisme hanya mengurangi sedikit ketidakmerataan atau menyebabkan ketidakadilan yg lain. Kaum buruh yg nir mempunyai hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja pada majikan yg lebih bekuasa. Mereka jua tidak memiliki hak buat memilih, semua tergantung dalam pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung pada penjara atau kematian. Dengan demikian, negara Sosialis jauh lebih mematikan daripada Kapitalisme. Alienasi para pekerja berdasarkan sarana-wahana produksi masih permanen, lantaran sentra kendali dipisahkan menurut pekerja. Praktik semacam ini bertentangan menggunakan ajaran Marx sendiri tentang bagaimana alienasi terjadi: yakni saat pekerjaan terpisah dari pekerjanya pada arti pekerjaan bukan milik si pekerja sebagai akibatnya dalam pekerjaannya ia nir mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya sendiri; serta pekerja terasing dari pekerjaannya timbul ketika pekerjaan itu bukan miliknya tetapi milik orang lain. Dengan cara demikian, kemungkinan pendayagunaan sebagaimana masih ada pada Kapitalisme, yang sebagai sasaran kritik sang Sosialisme itu sendiri, masih hayati. 

Sistem keadilan Negara Sejahtera adalah langkah maju dari Kapitalisme. Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses Kapitalisme yg berlebihan dan menggunakan cara ini bisa mengurangi daya tarik Sosialisme. Sistem ini cukup menarik seluruh lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat krusial yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan serta ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti menurut kegagalannya. Karena itu, sistem ini mengakui full employment (sebagaimana juga dipercaya Kapitalisme) dan distribusi pendapatan serta kekayaan yg adil menjadi bagian menurut tujuan pokok kebijakan negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yg tinggi dan full employment subsidi generik sudah melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya serta si miskin. 

Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yg berakibat jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi akbar buat pulang ke sistem liberalisme. Melalui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut menjadi paham Neoliberalisme. Sejak 1970-an Keynesianisme yg menjadi fondasi Welfare State sudah masuk dalam catatan kaki sejarah. Panggung sekarang sebagai milik 2 bapak ekonom Neoliberalisme Friederich August von Hayek dan Milton Friedman. Mulai dasa warsa 1980-an, aliran kanan baru yg diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan memperjuangkan pasar bebas serta menolak dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya dalam 1990-an, Kapitalisme Neoliberal pasar bebas dari dua tokoh tersebut sudah menjadi ideologi dunia yang secara umum dikuasai.

Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme menggarisbawahi bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan aturan negara dengan memangkas semua subsidi buat pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan serta agunan sosial, dan dalam saat yg sama subsidi besar -besaran diberikan pada perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai deregulasi ekonomi; privatisasi merupakan jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus menggunakan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi modal pada tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham mengenai public goods serta solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.

Gambaran di muka menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang bermain pada bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Negara Sejahtera, serta Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah kasus dalam hubungannya menggunakan keadilan ekonomi – baik pada soal produksi, konsumsi, dan distribusi – dan ini perlu diatasi secara langsung dan menangani asal masalahnya bukan hanya dari tanda-tanda lahiriah. Perlu terdapat reformasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yang membimbingnya.

Keterbatasan Teori-teori Keadilan Kontemporer
Sistem-sistem ekonomi yg sudah dianggap pada muka Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme pada hakikatnya bersandar pada paham tertentu tentang keadilan. Perdebatan tentang keadilan itu telah melahirkan sejumlah teori dan prinsip-prinsip keadilan. Meskipun para penganjurnya mempunyai hasrat dan pandangan yg sama mengenai keinginan untuk menegakkan keadilan dalam warga , mereka mempunyai disparitas relatif mendasar dalam menentukan makna serta definisi yg sempurna tentang keadilan. 

Memerhatikan prinsip-prinsip berdasarkan enam teori keadilan sebagaimana dalam tabel di atas, terlihat jelas bahwa teori-teori tersebut mengandung keterbatasan dan kurang memuaskan buat menjawab problem-duduk perkara ketidakadilan secara komprehensif. Beberapa keterbatasan dapat disebutkan pada sini diantaranya: Pertama, pada hal kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal serta Prinsip Libertarian berada pada posisi saling bertentangan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang terakhir mengedepankan kepemilikan eksklusif serta self-interest. Keduanya mengalami kebuntuan dalam memecahkan perkara keadilan dalam kepemilikan. Kedua, pada perkara sumber daya, Prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa dunia ini dalam asalnya nir terdapat yg mempunyai. Jika demikian, bagaimana dunia ini mesti diperlakukan bukan adalah masalah penting keadilan. 

Ketiga, terdapat beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan dalam satu aspek semata berdasarkan berita dan persoalan keadilan ekonomi sehingga kurang dapat memberikan jawaban secara sempurna atas kasus keadilan itu sendiri: Prinsip Berbasis Sumber Daya secara nyata nir memberikan tempat bagi tanggung jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung, dan tidak ada subsidi bagi mereka yg kurang pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), menggunakan berpedoman dalam the great happiness for the great number, mengorbankan sekelompok mini orang atas nama kepentingan atau kesejahteraan mayoritas; dan Prinsip Berbasis Balasan jua tidak bisa menaruh jawaban atas pertanyaan bila setiap orang wajib mendapat balasan atau upah sinkron menggunakan usaha serta donasi aktualnya bagi masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas kondisi mereka yang kurang beruntung dalam warga ? 

Keempat, pada Prinsip Egalitarianisme Radikal, jika setiap orang wajib memiliki tingkat yang sama pada kebutuhan barang serta jasa, di manakah penghargaan atas fenomena adanya disparitas antar orang perorang serta atas mereka yang secara ekonomi lebih produktif? Kelima, menurut kompetisi, pasar bebas secara moral dikehendaki menjadi indera yang dipercaya buat mengalokasikan dan mendistribusikan asal daya secara adil. Fakta menampakan kekuatan pasar tidak sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi serta distribusi secara adil. Dalam syarat demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yg kurang beruntung? 

Keenam, apa yang sejati menurut prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan menggunakan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut menjadi Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya bisa menjawab dilema bagaimana ketidaksamaan diatasi. Sementara disparitas serta konsekuensinya tidak dipandang sebagai suatu fenomena yg tak bisa ditolak, disparitas nir dicermati menjadi potensi buat saling merogoh manfaat dan titik tolak buat mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan nir terlihat kentara apa yg memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung buat berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Terakhir, hampir seluruh teori keadilan di atas cenderung fokus dalam keadilan distributif, sebagai akibatnya aspek-aspek lain menurut aktivitas ekonomi seperti konsumsi dan soal perlakuan atas asal daya alam serta lingkungan luput berdasarkan perhatian.

MEMBUMIKAN KEADILAN MENEGUHKAN PEMIHAKAN

Membumikan Keadilan Meneguhkan Pemihakan 
Ketidakadilan ekonomi merupakan problem umiversal yang dihadapi oleh seluruh sistem kontemporer. Dalam hampir seluruh bagian dunia, dan dalam seluruh wilayah sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan dalam ketamakan sudah mengalami kebuntuan pada melahirkan keadilan. Sistem-sistem semacam itu umumnya berakar pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang berhasil mengantarkan syarat ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan. Pada skala global, poly orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yg sudah berjasa melahirkan kemiskinan serta pemiskinan struktural dalam jumlah masif. 

Kapitalisme pada bentuk klasiknya laissez faire sudah runtuh, yg masih bertahan adalah Kapitalisme yg sudah dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yg merata serta fair dalam perekonomian. Dengan tidak adanya prosedur filter serta pemuasan hasrat secara serampangan, pendapatan tidak didistribusikan secara merata, sebab ketidakmerataan pada pewarisan kekayaan berkaitan menggunakan akses yang nir adil terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan talenta, stamina fisik, latar belakang keluarga, serta ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan grup berpendapatan tinggi memperoleh bagian pendapatan yang jauh lebih akbar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara ini konfigurasi barang-barang serta jasa yang diproduksi sang sistem pasar disharmoni menggunakan cita-cita secara umum dikuasai konsumen. Kesenjangan pendapatan yg akbar diterima sebagai masuk akal dan tidak terhindarkan. Ini adalah ketidakadilan yg nyata, namun dirasionalisasi dengan argumen bahwa seseorang yang memikirkan diri sendiri yang telah melahirkan situasi ini adalah "kekuatan sosial yang perlu dan bermanfaat".

Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai antitesis berdasarkan Kapitalisme jua tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan mengalami kemunduran lebih cepat dari yg diprediksikan. Ini disebabkan kelemahan-kelemahan utama yg inheren pada dalamnya. Pertama, ideologi ini mengimplikasikan ketidakpercayaan dalam kemampuan manusia buat mengelola kepemilikan eksklusif pada batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara dijalankan oleh sekelompok orang yg kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya, sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan serta pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi generik yg akbar hanya menguntungkan si kaya serta orang-orang istimewa dibanding si miskin yg daya belinya terbatas.

Tujuan primer Sosialisme adalah menegakkan keadilan, tetapi pada praktiknya Sosialisme hanya mengurangi sedikit ketidakmerataan atau mengakibatkan ketidakadilan yang lain. Kaum buruh yang nir memiliki hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja dalam majikan yg lebih bekuasa. Mereka pula tidak memiliki hak buat menentukan, semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung pada penjara atau kematian. Dengan demikian, negara Sosialis jauh lebih mematikan daripada Kapitalisme. Alienasi para pekerja menurut wahana-sarana produksi masih permanen, karena sentra kendali dipisahkan menurut pekerja. Praktik semacam ini bertentangan dengan ajaran Marx sendiri tentang bagaimana alienasi terjadi: yakni saat pekerjaan terpisah menurut pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sebagai akibatnya dalam pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya sendiri; dan pekerja terasing berdasarkan pekerjaannya ada saat pekerjaan itu bukan miliknya namun milik orang lain. Dengan cara demikian, kemungkinan pendayagunaan sebagaimana masih ada dalam Kapitalisme, yang menjadi target kritik sang Sosialisme itu sendiri, masih hayati. 

Sistem keadilan Negara Sejahtera merupakan langkah maju dari Kapitalisme. Tujuan sistem ini merupakan melunakkan ekses Kapitalisme yang berlebihan dan menggunakan cara ini dapat mengurangi daya tarik Sosialisme. Sistem ini relatif menarik seluruh lapisan warga , baik pekerja juga kapitalis. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu adalah tujuan yang sangat krusial yg nir mungkin tergantung hanya dalam operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan serta ketidakmampuan seseorang tidak mesti adalah bukti menurut kegagalannya. Lantaran itu, sistem ini mengakui full employment (sebagaimana pula dipercaya Kapitalisme) serta distribusi pendapatan serta kekayaan yg adil sebagai bagian dari tujuan utama kebijakan negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara regulasi, nasionalisasi industri utama, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yg tinggi dan full employment subsidi umum telah melahirkan kepincangan yg nir adil antara si kaya serta si miskin. 

Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya taraf profit yg mengakibatkan jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar buat pulang ke sistem liberalisme. Melalui corporate globalization mereka merebut balik ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut menjadi paham Neoliberalisme. Sejak 1970-an Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State sudah masuk dalam catatan kaki sejarah. Panggung sekarang menjadi milik 2 bapak ekonom Neoliberalisme Friederich August von Hayek serta Milton Friedman. Mulai dekade 1980-an, genre kanan baru yang diwakili sang Margaret Thatcher dan Ronald Reagan memperjuangkan pasar bebas dan menolak menggunakan tegas paham negara intervensionis. Satu dasa warsa lalu, tepatnya pada 1990-an, Kapitalisme Neoliberal pasar bebas dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yg secara umum dikuasai.

Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme menggarisbawahi bahwa: pasar wajib bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah serta melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan aturan negara dengan memangkas semua subsidi buat pelayanan sosial misalnya pendidikan, kesehatan serta agunan sosial, serta dalam saat yg sama subsidi besar -besaran diberikan pada perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai deregulasi ekonomi; privatisasi merupakan jalan menuju persaingan bebas yg dibungkus menggunakan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital pada tangan sedikit orang dan memaksa warga mini membayar lebih mahal kebutuhan dasar mereka; serta mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas sosial dan merubahnya menggunakan tanggung jawab individual.

Gambaran di muka menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang bermain di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Negara Sejahtera, serta Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi – baik pada soal produksi, konsumsi, dan distribusi – serta ini perlu diatasi secara pribadi dan menangani asal masalahnya bukan hanya menurut tanda-tanda lahiriah. Perlu ada reformasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yg membimbingnya.

Keterbatasan Teori-teori Keadilan Kontemporer
Sistem-sistem ekonomi yg sudah dianggap pada muka Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Negara Sejahtera, serta Neoliberalisme pada hakikatnya bersandar kepada paham eksklusif mengenai keadilan. Perdebatan mengenai keadilan itu sudah melahirkan sejumlah teori serta prinsip-prinsip keadilan. Meskipun para penganjurnya memiliki keinginan dan pandangan yg sama tentang asa buat menegakkan keadilan pada warga , mereka memiliki disparitas relatif fundamental dalam memilih makna dan definisi yang sempurna mengenai keadilan. 

Memerhatikan prinsip-prinsip menurut enam teori keadilan sebagaimana dalam tabel di atas, terlihat jelas bahwa teori-teori tersebut mengandung keterbatasan serta kurang memuaskan buat menjawab duduk perkara-masalah ketidakadilan secara komprehensif. Beberapa keterbatasan bisa disebutkan di sini antara lain: Pertama, dalam hal kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal serta Prinsip Libertarian berada pada posisi saling bertentangan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang terakhir mengedepankan kepemilikan eksklusif serta self-interest. Keduanya mengalami kebuntuan dalam memecahkan kasus keadilan dalam kepemilikan. Kedua, pada kasus sumber daya, Prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa dunia ini pada asalnya tidak ada yg memiliki. Apabila demikian, bagaimana global ini mesti diperlakukan bukan adalah dilema krusial keadilan. 

Ketiga, terdapat beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada satu aspek semata berdasarkan liputan dan duduk perkara keadilan ekonomi sebagai akibatnya kurang bisa menaruh jawaban secara sempurna atas kasus keadilan itu sendiri: Prinsip Berbasis Sumber Daya secara konkret nir memberikan tempat bagi tanggung jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung, dan tidak ada subsidi bagi mereka yang kurang pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great number, mengorbankan sekelompok mini orang atas nama kepentingan atau kesejahteraan secara umum dikuasai; dan Prinsip Berbasis Balasan juga nir dapat memberikan jawaban atas pertanyaan bila setiap orang wajib menerima balasan atau upah sesuai menggunakan bisnis dan kontribusi aktualnya bagi warga , lalu siapakah yang bertanggung jawab atas syarat mereka yg kurang beruntung pada masyarakat? 

Keempat, pada Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus mempunyai taraf yg sama pada kebutuhan barang dan jasa, di manakah penghargaan atas fenomena adanya disparitas antar orang perorang dan atas mereka yg secara ekonomi lebih produktif? Kelima, berdasarkan kompetisi, pasar bebas secara moral dikehendaki sebagai alat yg dipercaya buat mengalokasikan dan mendistribusikan asal daya secara adil. Fakta menerangkan kekuatan pasar nir sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi serta distribusi secara adil. Dalam kondisi demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yang kurang beruntung? 

Keenam, apa yg sejati dari prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa dianggap sebagai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya bisa menjawab dilema bagaimana ketidaksamaan diatasi. Sementara disparitas serta konsekuensinya nir dilihat sebagai suatu fenomena yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak ditinjau menjadi potensi buat saling merogoh manfaat serta titik tolak untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan nir terlihat kentara apa yg memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung buat berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Terakhir, hampir seluruh teori keadilan di atas cenderung penekanan pada keadilan distributif, sehingga aspek-aspek lain berdasarkan aktivitas ekonomi misalnya konsumsi dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput menurut perhatian.

KEADILAN DAN HAK MASYARAKAT DALAM ADMINISTRASI PUBLIK

Keadilan Dan Hak Masyarakat Dalam Administrasi Publik 
Dua puluh lima tahun yang lalu, keadilan masyarakat diperkenalkan menjadi variabel yg dapat dipakai bagi penelitian ilmiah, serta menjadi konsep filosofi menurut administrasi publik, dan panduan bagi tindakan etis bagi pelayanan publik. Bab ini akan dimulai dengan nilai-nilai filosofi serta pengembangan teori, dan menjadi pertimbangan buat diaplikasikan pada aspek-aspek keadilan rakyat.

Nilai-Nilai Filosofi dan Pengembangannya Secara Teoritis
Dwight Waldo [1949] mengemukakan bahwa administrasi publik adalah adonan antara seni dan ilmu-ilmu pemerintahan yang akhirnya berkembang menjadi seni dan ilmu-ilmu manajemen. Efisiensi serta ekonomi sebagai hal yang utama dalam teori manajemen, dan hak masyarakat menjadi hal yg pokok dalam teori pemerintahan. Di awal tahun perkembangan administrasi publik di Amerika yg terbaru, Woodrow Wilson [1887, 1941] menjadi tokoh utamanya. Teori efisiensi usaha dapat digabungkan dengan teori pemerintahan yg demokratis – yg mengemukakan bahwa pemerintah bisa menggabungkan antara efisiensi dengan keadilan. Di pertengahan tahun 1960an, teori manajemen mempertanyakan tentang hak dan keadilan. Meskipun demikian, pendapat generik beranggapan bahwa administrasi publik merupakan bagian menurut proses politik.

Di awal-awal tahun, diyatakan jua bahwa administrasi publik harus netral dan tidak ditentukan sang kebijakan politik, serta mengabaikan keadilan sosial. Administrasi adalah bagian dari politik, yang tak jarang terjadi, pemimpin terlibat pada proses kebijakan, dan diharapkan netralitasnya. Keadilan sosial menjadi panduan bagi tindakan administrasi menggunakan ekuilibrium nilai-nilai ekonomi dan efisiensi. 

Willbern [1973] beropini bahwa hak masyarakat “tidak tepat untuk mendefinisikan tujuan atau nilai-nilai administrasi” [hal 376]. Ia menyatakan bahwa “hak rakyat bisa ditolak menggunakan mengunakan bukti-bukti”. Tetapi kesalahan besar ini bisa dihilangkan oleh kaum intelektual yg menyatakan bahwa terdapat sesuatu yang bernilai dan mempunyai konsekuensi konkret pada pemahaman mengenai konduite insan dalam situasi administratif [378].

Hak rakyat membutuhkan kesempurnaan, sebelum menambahkan efisiensi dan ekonomi pada tiga pilar yang mendasari administrasi publik. Proses ini dimulai dengan Symposium on Social Equity and Public Administration yang dimunculkan pada Public Administration Review [Frederickson, 1974]. Peranan krusial dalam simposium ini mengilustrasikan mengenai teori – proses pengembangan pada administrasi publik.

Pertama, hak rakyat dipahami sebagai [1] dasar dari demokrasi warga , [2] berpengaruh dalam konduite insan pada berorganisasi, [3] menjadi dasar aturan untuk distribusi pelayanan publik, [4] menjadi dasar buat menerapkan pelayanan publik, [5] menjadi dasar menurut pembentukan kelompok, serta [6] menjadi tantangan bagi penelitian serta analisis [Frederickson; 1974].

Kedua, sehabis membicarakan mengenai bagian berdasarkan subyek, bangunan teori bila dikumpulkan secara beserta akan sebagai lebih baik walaupun kita tetap saja tidak dapat menggabungkannya.

Ketiga, kita dapat memulainya dari definisi yang terdapat. Di sini diprioritaskan dalam teori distribusi keadilan. Douglas Rae dan sahabat-temannya [1981] berkata “keadilan merupakan satu hal yg paling sederhana serta tak berbentuk, termasuk didalamnya membentuk global yg konkrit serta kompleks. Dapatkah kita membayangkan deretan pemerintahan sebelumnya? (hal.tiga ) Hak rakyat sebagai pilar ketiga dari administrasi publik.

Kita kembali pada teori deskriptif, yg definisinya dapat digunakan buat teori serta praktek pada administrasi publik. Mengikuti pendapat Ray dan kawan-mitra, kita menyatukan dalam bahasa yg belum paripurna tentang keadilan menggunakan definisi dan model. Kita bisa memperkirakan contoh untuk mengkonstruksikan sebagai adonan teori tentang hak-hak masyarakat. Dalam bab ini, akan disajikan dasar-dasar berdasarkan pertimbangan hukum dan perspektif penelitian mengenai hak masyarakat.

Penggabungan Teori-Teori Hak Sosial
Gabungan tentang teori hak masyarakat menaruh tipe-tipe keadilan dan penerapannya misalnya yang dijelaskan ini dia;

Persamaan Individu
Persamaan individu, model terbaiknya adalah prinsip “satu orang satu bunyi “. The Golden Role serta Emanuel Kant’s mengkategorikannya ke dalam persamaan individu. Pada prakteknya administrasi publik memberi model persamaan individu.

Persamaan Bagian
Masyarakat yang kompleks membutuhkan persamaan bagian yang sama. Petani memiliki sistem yg tidak selaras dalam membayar pajak daripada pemilik perusahaan. Hirarki yang dipakai pada konsep ini adalah: Jenderal bintang 5 yg senior sama dengan masyarakat negara yang lain, serta tidak diperlakukan menjadi masyarakat yang diutamakan. Persamaan ini sangat penting buat kebijakan publik serta administrasi karena pelayanan publik membutuhkan hirarki. Dalam hal ini setiap orang adalah sama.

Perbedaan
Perbedaan mengkategorikan dalam kelompok serta sub kelas. Pada tahun 1896, Plessiy vs Ferguson menetapkan bahwa grup kulit gelap dan kulit tanpa cacat tidak sanggup dipisahkan, karena mereka pada dasarnya sama. Brown ves Topeka Board of Education menyimpulkan bahwa dalam tahun 1954, pemisahan rasial adalah tindakan yg tidak menyamakan kedudukan insan. 

Persamaan Dalam Bidang Hukum
Bagaimana cara tetapkan apa yg dianggap persamaan? Persamaan dalam bidang aturan ditandai sang kebaikan, pelayanan, atau keuntungan. Jika sekolah serta proteksi pemadam kebakaran bisa disediakan pemerintah, kemudian kenapa kursus golf serta fasilitas rekreasi nir? Persamaan pada bidang hukum membutuhkan pemisahan yg kentara termasuk antara lain pekerjaan, investasi, serta honor . Seringkali pemerintah menguasai persamaan ini buat mengoreksi kegagalan yg didapatkan oleh pasar dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. 

Persamaan Kesempatan
Persamaan kesempatan dibagi menjadi prospek mendapatkan kesempatan dan arti kesempatan itu sendiri. Prospek mendapatkan kesempatan berarti, dua individu memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja atau mencari pekerjaan. Kesempatan itu sendiri berarti 2 orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan jika mereka memiliki bakat yg sama atau kualifikasi yang sama. Tujuan serta imbas menurut persamaan ini tidak sama menggunakan persamaan untuk mencari sukses namun legitimasi menjadi prospek buat sukses (Ray and Associate; 1981, hal.66) Pendapat Aristoteles mengenai persamaan seharusnya diangkat pada konstitusi sebagai model buat mendasari persamaan kesempatan.

Dalam masyarakat yg berbeda, tidak semua bakat dikembangkan secara sama. Menurut John Scharr, “setiap rakyat memiliki kesatuan nilai-nilai, serta mereka rata-rata tidak memperhatikan hirarki yang terdapat, persamaan kesempatan seharusnya direvisi: persamaan kesempatan seharusnya dibangun dari hal yang dimiliki oleh orang-orang.”(1967;231 serta Scharr,1964).

Nilai-nilai Persamaan
Nilai-nilai persamaan diawali menggunakan konsep persamaan. Persamaan berarti individu mendapatkan keadilan. Permasalahannya, persamaan merupakan hal yang sensitif. Ray serta kawan-mitra menganggap persamaan individu didasarkan pada pembagian keadilan tentang apa yang masing-masing individu butuhkan. Misalnya: anak-anak dengan kekurangan (stigma) dapat dibandingkan dengan anak-anak yg sehat atau keterbelakangan mental dibandingkan menggunakan anak pandai . Persamaan akan dihargai sang seorang apabila dipraktekkan pada administrasi publik buat menciptakan peraturan yang lebih humanis.

Hal ini sangat universal. Lebih sederhana daripada sekedar retorika dan slogan, The Compound Theory of Social Equity sangat kompleks buat dikonstruksikan dalam definisi dan konsep persamaan berubah menurut satu konsep ke poly konsep yaitu kebersamaan (Ray serta kawan-kawan 1981). 

Apakah persamaan individu sebagai bagian atau pemisah? Apa hak rakyat dapat dipakai untuk mempertahankan demokrasi pemerintah dan ekonomi pasar ? The Compound Theory of Social Equity akan melayani kerangka-kerangka batasan ini pada teori dan prakteknya buat menjawab pertanyaan dibawah ini.

Beberapa Penerapan Mengenai Penggabungan Teori Hak Sosial
Berdasarkan perkembangan sejarah mengenai administrasi publik dinyatakan: “administrasi publik adalah tindakan aturan.” Oleh karena itu, bukan sesuatu yg baru apabila perkembangan hak rakyat jua herbi hukum [McDowell; 1982]. Menurut Haar dan Fessler [1986], “anggota dewan perwakilan baik di wilayah juga pada pusat – seringkali kali menghindar dari tanggungjawabnya. Hasilnya, nir ada alasan apabila pengadilan yang akan menetapkan supaya mereka bertanggungjawab [hal. 18]. Pengadilan akan menyatakan bahwa keadilan akan diterapkan menjadi perlindungan hukum bagi pelayanan ketetapan. Pegawai – baik forum legislatif juga eksekutif - yg secara alamiah akan mengutamakan kepentingan lebih banyak didominasi. Pilihan pegawai – publik serta administrator – hanya akan berkonsentrasi dalam efisiensi dan ekonomi.

Pegawai
Peraturan berpengaruh dalam pemerintahan buat mempekerjakan pegawai, baik swasta maupun negeri. Yang patut dipertanyakan pada peraturan disini merupakan, siapa yg akan menaruh pekerjaan? Apa kriterianya dan bagaimana cara mengaplikasikannya?

The Civil Rights Act of 1964 serta The Equal Employment Act of 1974 merancang cara untuk menerapkan persamaan antara pegawai partikelir serta pemerintah. Hal ini bisa diselesaikan dengan cara menyatukan perbedaan. Penerapan yg adil bisa diukur dengan bakat, keahlian, dan kemampuan buat mendapat suatu pekerjaan. Tahun 1971, Griggs vs Duke Power, kualifikasi yg ditetapkan buat memperoleh pekerjaan tidak sinkron dengan pekerjaan yang diberikan – khususnya bagi masyarakat kulit hitam – yang menjadi korban kekerasan dalam hukum. Masalah rasial menjadi bentuk dari aksi suatu golongan yang membedakan antara kulit hitam dan kulit bening.

John Nalbandian [1989], menyusun laporan yg didukung oleh Griggs untuk membatasi secara sistematis bahwa “gerombolan akan beraksi jika perseteruan pada kelompok nir bisa diselesaikan” [hal.39]. Tahun 1978, masalah dari University of California Regent vs Bakke yg merayakan kemenangan atas dukungan keadilan yang lebih mengutamakan golongan kulit tanpa cacat, dalam saat yang sama melindungi kaum lebih banyak didominasi yg menyukai persamaan hak dalam masyarakat yg lebih terlindungi.

Kelompok penegak hukum dan dewan tetapkan efek dari persamaan pada kesempatan pegawai antara minoritas serta dominan dalam gerombolan rasial dan etnis tertentu – lebih diakibatkan karena jender [Ingraham dan Rosenbloom, 1989]. Nalbandian memprediksikan bahwa nilai-nilai berdasarkan hak warga akan diputuskan menggunakan ekuilibrium baru pada praktek-praktek pekerja yang ditekankan buat efisiensi [1989, hal. 44]. Pertengahan tahun 1990an, Nalbadian memprediksikan bahwa dewan dan kongres akan menghilangkan kebijakan mengenai “rona kulit”. Dengan kata lain definisi mengenai persamaan ini berdasarkan pada perbedaan yg berdasarkan pada nilai-nilai rasial serta etnis.

Kontrak
Tahun 1977, Public Works Employment Act, pemerintahan federal mendirikan gerombolan bisnis yg diutamakan buat kaum minoritas. 10 % berdasarkan rakyat pekerja dari anggota kelompok minoritas. 10 % ini sudah dibuktikan oleh Fullilove lawan Klutznik (1980). Justice Thurgood Marshall, berdasarkan gerombolan mayoritas menulis; dewan bersama-sama kongres memiliki otoritas buat menggerakkan rakyat di dalam suatu negara yg berarti persamaan kesempatan, bukan subordinat pada masa kemudian yang selamanya akan membeku pada dalam hubungan masyarakat

Suara minoritas dari Justice Voter Steward menyampaikan, dalam pandangan aku , pemilik usaha minoritas tidak perlu menghilangkan perlindungan persamaan di mata hukum. The Fourteen Amendment menyatakan bahwa hukum menurut kepada silsilah. (Fullilove lawan Klutznik).

Hakim Marshall serta Steward menggunakan pengertian yg tidak selaras, serta mereka yang menyimpang dari pertarungan apa yg dimaksud menggunakan persamaan. Bagi Marshall perbedaan adalah hal yang utama. Sedangkan berdasarkan Steward persamaan individu adalah hal yang primer. Akhirnya Marshall wajib beranggapan bahwa kesempatan buat dikontrak berdasarkan pada persamaan prospek dapat disetujui oleh Steward.

Dari 10 % ditahun 1977, Works Employments Act, the Supreme Court semakin tinggi menjadi 30 % bagi kaum minoritas buat bekerja di City of Richmond, Virginia. Program ini disetujui oleh 33 negara bagian dan lebih dari 200 kotamadya (City Richmond vs J.A. Croson Company,1989). The Richmond memutuskan bahwa kekerasan pada Fourteen Amendment lantaran warga kulit bening mengingkari persamaan proteksi dalam aturan (New York Times, Jan.24,1989;hal.1,12). Tidak diragukan lagi bahwa ketetapan ini disetujui sebagai hak warga . Lebih jelasnya hukum digunakan buat menerapkan persamaan hak yang sama di mata warga .

Layanan Pemerintah
Tahun 1968, Andrew Hawkins, seorang blasteran Afrika-Amerika tinggal Promised Land, di lingkungan masyarakat kulit gelap, di Shaw, Mississipi menaruh data yang signifikan mengenai pelayanan di kotamadya bahwa pekerja kasar diperlakukan tidak adil. Lantaran pelayanan di Caucasian dipercaya jelek oleh Hawkins, maka beliau serta kelompoknya mencabut Fourteen Amendment. Fourteen Amendment menjadi perlindungan persamaan di mata aturan namun dewan di daerah tersebut nir putusan bulat dengan Hawkins serta mengatakan bahwa permasalahan tentang administrasi kotamadya akan diselesaikan melalui kotak suara. (Hawkin lawan Town of Shaw,1969).

Bukti adanya subordinat secara kualitatif serta kuantitatif sebagai alasan bahwa pemerintah menjadi pelanan rakyat melanggar prinsip-prinsip dasar. Dewan nir diijinkan oleh pemerintah lokal buat menemukan bukti-bukti statistik yang substansial tentang diskriminasi pembedaan rasial. Tidak ada yang bisa diterima pada sini lantaran bukti-bukti statistik nir membedakan tingkatan dan pelanggaran masyarakat dalam rakyat Negara berdasarkan rona kulit [Haare dan Fessler, 1986; 14].

Pendapat Hawkin ini sebagai dasar buat mengkonstruksikan pertarungan bagi sempitnya pemahaman tentang persamaan tetapi secara signifikan dewan dapat mempengaruhi alokasi pengambilan keputusan mengenai pelayanan secara mendalam bahwa subordinat nir bisa mengakibatkan demokrasi yang lebih baik.

Brwon vs Board of Education menyimpulkan mengenai persamaan. Pembedaan batas antara kulit mulus dan kulit gelap [atau bahkan hispanik – orang spanyol] menjadi area pada mempertahankan lingkungan pada kesatuan integritas. Konflik akbar yang ada bisa diselesaikan dengan cara penggunaan bahasa yg sama.

Di Kansas City, Missouri, sesudah Brown vs Baord Education tetapkan buat memisahkan persamaan ke pada gerombolan sebagai suatu hal yg membedakan serta melanggar konstitusi. Pertanyaan yang muncul, apakah mereka akan relatif dengan memberhentikan pemisahan tadi ke dalam gerombolan -kelompok? Ataukah mereka membutuhkan buat memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan karena pembedaan sistem termasuk yang terjadi pada sekolah-sekolah?

United States vs Jefferson City Board of Education, mendefinisikan sekolah yang mendukung Fourteenth Amendment buat membawa pada persatuan di sekolah antara anak-anak negro menggunakan anak-anak kulit putih di sekolah. Anak-anak kulit hitam memiliki kesempatan yg sama pada sekolah formal, termasuk beraktifitas yang sama menggunakan anak-anak kulit bening.

Swan vs Charlotte Mecklnburg Board of Education [1971], anggota dewan, memulai “obyektifitas buat membatasi sekolah umum adalah sisa-sisa jatuhnya pemisahan antara kulit gelap dan kulit tanpa cacat. Dua syarat ini terjadi pula pada Kansas City, Missouri. Pertama perkembangan interaksi antara warga umum dengan partai-partai yg ada pada pemerintah yg membentuk lingkungan yg kebih baik bagi warga kulit gelap [menghilangkan rasisme]. Sekolah bagi warga kulit hitam dalam waktu ini dihadiri sang anak didik dan pengajar yang dari dari campuran African American. 

Berdasarkan pandangan persamaan, beberapa contoh yg dapat digunakan buat melengkapi definisi keadilan ini. Pertama, individu mempunyai persamaan, satu suara, suara yang sama untuk membentuk demokrasi. Kaum dominan nir lagi bisa menyatakan hak konstitusi yang tidak sinkron menggunakan kaum minorotas. Kedua, seiring menggunakan perjalanan saat, timbul persamaan antargenerasi. Perbedaan yg diterima anak-anak kulit hitam di sekolah semakin usang semakin berkurang. Ketiga, sekolah didirikan buat kepentingan generik, menjadi tanggungjawab pemerintah negara bagian.

Sebenarnya poly model yg menerangkan perkembangan persamaan hak, termasuk pada dalamnya persamaan hak antara laki-laki dan wanita di sekolah serta di masyarakat. Lima tahun sebelum U.S Constution ditulis, berdasarkan Haar dan Fesser [1986], Henry III menyusun Fundamental Level of Social Organization, seluruh orang mempunyai kedudukan yang sama. Doktrin ini menjadi dasar peraturan bagi pemerintah buat dipertanggungjawabkan. Di pada hukum, semua monopoli ditiadakan, diganti dengan persamaan hak.

Untuk menerapkan persamaan pada administrasi publik, pertama, menempatkan hak masyarakat menjadi satu-satunya tujuan utama. Kedua, banyak sekali teori tentang hak rakyat harus dijalankan, lantaran sebagai dasar pada persamaan hak. Pada kenyataannya, prinsip lain yang pula harus dipakai adalah efisiensi, lantaran permasalahan jua sangat kompleks. Ketiga, pelayanan yang sama pada administrasi publik, efisinsi dan ekonomi yang terbuka buat persamaan hak masyarakat.

Hak Masyarakat, Analisis, dan Temuan Ilmiah
Konsekuensi berdasarkan pengembangan teori bagi distribusi keadilan dan persamaan hukum menjadi hal yg sangat penting dalam analisis kebijakan. Dua puluh 5 tahun yg lalu, poly dari universitas besar yang mendirikan jurusan kebijakan publik yg khususnya membahas studi interdisipliner dan permasalahan kebijakan. Pada kenyataanya, jurusan dan departemen administrasi publik menaruh fokus dalam perspektif analisis kebijakan. Kebijakan selalu berhubungan dengan – kesehatan, transportasi, penegakan aturan, perlindungan menurut bahaya kebakaran, perumahan, pendidikan, asal daya alam, lingkungan, serta perkara kebangsaan – dalam waktu ini sebagai subyek yg perlu dianalisis. 

Secara ideologi dan prespektif metodologi dalam analisis politik, didominasi sang perkembangan ekonomi. Meskipun pemerintah nir menghipnotis pasar, contoh aplikasi pasar inilah yang banyak digunakan pada analisis kebijakan. Logikanya sederhana. Dalam teori ekonomi, bila individu dan perusahaan memaksimalkan kapasitasnya, maka rakyat negara serta pemerintah akan melakukan hal yg sama. Pandangan ini sangat terkenal menggunakan adanya gagasan pemerintah mengenai deregulasi, privatisasi, beasisiswa sekolah, hubungan antar individu, manajemen, serta minimnya biaya supervisi dalam pemerintahan Amerika.

Model ekonomi ini sangat kuat pengaruhnya dalam analisis kebijakan. Pemerintahan yang bertenaga mempunyai konsep yg kentara mengenai keadilan, aturan, hak-hak individu, serta persamaan yang dipakai sebagai ukuran bagi indikator warga buat mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Variasi pengukuran ini merupakan distribusi pelayanan publik menggunakan umur, ras, jender, pendapatan serta faktor-faktor lain yang rutin terjadi. Kita dapat memakai hak rakyat sebagai konsep buat memakai teori serta peraturan yg standar dalam variabel penelitian. Permasalahan analisis hak rakyat – dapat dipakai sebagai teori hak warga yg sama dalam hukum – merupakan adonan berdasarkan banyak sekali persamaan karakter.

Dalam strata individu, menurut data serta penelitian ditemukan pemetaan yg belum paripurna. Jennifer Hochschield [1981] menduga bahwa individu memiliki pandangan yang tidak sinkron dalam memandang persamaan hak di rakyat. Individu memiliki opini tentang persamaan yg tergantung dari kehidupan masing-masing dan bagaimana persamaan didefinisikan. Hochschied mendasarkan penemuannya mengenai tiga hal; yaitu sosial – termasuk tempat tinggal , famili, sekolah serta warga ; ekonomi – termasuk pekerjaan, gaji, pajak, dan kekayaan; serta politik – termasuk voting, kehadiran, serta hukum, dan menggunakan 2 konsep mengenai persamaan yaitu [1] persamaan nilai dan prosedur yg sama, serta [2] perbedaan sebagai kombinasi berdasarkan persamaan dan berdasar dalam kesempatan bersama.

Dalam pandangan sosial, individu memiliki prosedur dan norma-norma persamaan. Persamaan untuk merawat anak-anak, suami dan istri, persamaan pengorbanan pada famili, serta persamaan dengan tetangga baik yang kaya maupun miskin, kelas menengah serta kaya. Di sekolah, prosedur persamaan yg adil sangat krusial buat diterapkan dikelas. Di sekolah, anak-anak yg mempunyai keterbatasan pula mempunyai hak yang sama. Ada beberapa bukti bahwa anak-anak berbakat merupakan anak yang potensial. Walaupun demikian anak berbakat serta anak yg memiliki keterbatasan memiliki hak yg sama. Perbedaan persamaan nir bisa diterapkan dalam nilai-nilai ekonomi. Dengan istilah lain, individu yang menginginkan persamaan kesempatan menjadi nir sama. Produkifitas lebih dihargai; warga miskin percaya bahwa apa yang mereka lakukan akan menghasilkan distribusi pendapatan yang sama, warga yg mampu percaya bahwa output yang didapat nir akan sama.

Politikus serta masyarakat adalah orang-orang yg sederajat. Politikus dan rakyat kecil mempunyai hak yg sama, mereka wajib membayar pajak dan menginginkan kesejahteraan, sistem subsidi menggunakan cara orang kaya memberi orang miskin. Visinya merupakan permanen pada persamaan hak pada warga . (Hoschschield; 1981, hal.181). 

Dari seluruh pendapat yg ada, apa yang ditemukan Hoschschield sebagai ambivalen. Masyarakat mengenali bahwa kadang-kadang pendapat tersebut tidak konsisten. Masyarakat dapat merasakan saling membantu, saling marah, atau saling menyalahkan dalam perbedaan, serta mereka tidak tahu caranya bagaimana menjadi lebih baik lagi. Penelitian tentang pelayanan pemerintah daerah memiliki impak dalam hak masyarakat dalam administrasi publik. Perbedaan tidak berkorelasi menggunakan kekuasaan, kekayaan, ataupun rasial.

Reformasi di taraf kotamadya, termasuk didalamnya mengangkat manajer kota, memperhitungkan birokrasi, dan pemilihan non partisan, kekuatan pelayanan publik ditingkat lokal. Pelayanan publik seharusnya dilakukan secara rutin, terencana, serta bisa diprediksikan, bisa dipahami, atau memberi pelayanan yang baik atau peranan pengambilan keputusan. Pelayanan publik sudah seharusnya merespon permintaan masyarakat ( Lineberry;1977, Jones, Greenberg, Kaufman, and Drew; 1978).

Birokrasi menjadi lembaga administrasi publik yang profesional, dapat mendistribusikan pelayanan publik menjadi persamaan generik atau kebutuhan spesifik. Administrator publik tahu serta mempraktekkan hak masyarakat misalnya efisiensi serta ekonomi yang dipahami secara umum pada praktek administrasi publik. Hak masyarakat diterapkan setiap hari tidak hanya saat hari pelayanan.