KEADILAN DALAM EKONOMI

Keadilan Dalam Ekonomi
Salah satu berdasarkan tiga pilar kekuatan yang mempengaruhi keadaban publik adalah sektor ekonomi atau kominitas usaha, dan fairness atau keadilan menjadi kunci pada aktivitas poros ke 2 ini karena menyangkut kasus pembagian barang dan jasa yang terbatas pada semua orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan keuntungan atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya dari barang dan jasa yg terbatas. Penekanan dalam paradigma ini merupakan “maksimalisasi” dan “terbatas”. Bagi seseorang konsumen atau pengguna barang dan jasa, taraf kegunaan diukur dengan tingkat kepuasan, kesehatan, ketenangan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, menggunakan aturan yang terbatas, seseorang berusaha menerima tempat tinggal baru yg memberinya ketenangan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang serta jasa atau penghasil, taraf kegunaan diukur dengan tingkat profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yang dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikannya pendapatan paling tinggi, atau dengan modal dan energi kerja yang ada, seseorang pembuat berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan laba paling tinggi baginya. 

Karena kelangkahan selalu ada  pada ekonomi (atau pada kehidupan insan secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang serta jasa tidak pernah sanggup dilepaskan menurut keadilan. Keadilan atau ketidakadilan nir akan menjadi suatu masalah jika barang dan jasa atau asal daya yg ada berlimpah sampai tidak terdapat harganya, seperti air bahari, angin dan mata hari, atau apabila di suatu daerah yg sangat luas serta sangat kaya akan asal daya alam hanya terdapat segelintir manusia. Semakin langka barang serta jasa atau sumber daya (sementara, jumlah penduduk bertambah terus), semakin akbar perkara distribusi, yg berarti semakin akbar kasus keadilan di pada ekonomi. 

Keadilan pula merupakan suatu topik penting dalam etika. Seperti yang dapat dikutip dari Bertens (2000) 
sebagai berikut: sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tidak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi merupakan menyangkut etika usaha, lantaran usaha merupakan kegiatan ekonomi. 

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yg kentara bahwa keadaban publik dilihat menurut aspek 
ekonominya merupakan menyangkut pendistribusian secara adil barang serta jasa ke semua orang sinkron proporsinya masing-masing. Ketidakadilan pada ekonomi terjadi pada aneka macam aspek, mulai berdasarkan ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan menerima pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat kaitannya menggunakan perkara kemiskinan serta kesenjangan. Adalah tidak mungkin buat mengungkapkan bahwa suatu bangsa sangat mudun jika pada negara tadi sebagian akbar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian besar petaninya adalah petani gurem, serta poly industri mengerjakan buruh anak-anak yg dibayar sangat murah (pendayagunaan anak-anak). 

Etika Bisnis serta Keadilan. 
Bisnis merupakan kegiatan ekonomi, atau ekonomi merupakan kegiatan usaha. Dari sudut pandang ekonomi, usaha 
yang baik adalah yg selalu menghasilkan keuntungan besar . Di pada teori pembuat (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin menggunakan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi keuntungan adalah tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini adalah impian, atau dasar menurut perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat semenjak era merkantilisme dalam abad ke 18 kemudian. Ini jua yg mendorong negara-negara pada Eropa Barat melakukan perluasan ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yg diawali menggunakan misi dagang dari V.O.C. Yang akhirnya menjajah Indonesia. 

Kalau memaksimalkan laba menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka menggunakan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi menggunakan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; jikalau sanggup nir mengeluarkan satu senpun porto yg berakti buru-burunya nir digaji. Hingga saat ini poly sekali perkara yang bisa dilihat yg merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh bisa disebut di sini. Pertama, galat satu atau bahkan dapat dikatakan menjadi motivasi utama menurut perusahaan-perusahaan pada negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari energi kerja murah. Kedua, poly perusahaan di Indonesia lebih senang menggunakan buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai permanen demi keuntungan perusahaan. Ketiga, banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala mini , bukan karena ingin berbagi keuntungan menggunakan mereka melainkan buat mengurangi porto produksi dan sekaligus menggeser resiko usaha dampak perubahan pasar secara datang-tiba ke para pemasok-pemasok tadi. Sedangkan menurut sudut pandang moral, bisnis yg selalu membuat keuntungan besar nir selalu dipercaya sebaga bisnis yang mengagumkan, jika keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan misalnya misalnya membayar upah yg sangat murah atau menggunakan cara penipuan, misalnya menggunakan bahan baku yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, misalnya pada perkara memahami menggunakan menggunakan bahan pengawet formalin. 

Kasus formalin ini merupakan satu model konkrit berdasarkan suatu perilaku pengusaha/pelaku bisnis yg telah melanggar etika pada usaha atau yang generik dianggap etika bisnis. Namun apakah etika bisnis itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yg baik, baik dalam diri seseorang maupun 
pada suatu masyarakat atau gerombolan masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hayati yg baik, serta segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan menurut satu orang ke orang lain atau menurut satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf berkata bahwa etika bisa dirumuskan menjadi refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai serta norma yg menyangkut bagaimana insan harus hayati baik menjadi insan; serta mengenai (b) perkara-masalah kehidupan insan dengan mendasarkan diri dalam nilai dan kebiasaan-kebiasaan moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yg manusiawi dalam melakukan bisnis, atau melakukan bisnis sinkron kebiasaan-kebiasaan moral yg generik diterima. 

Masalah etika bisnis nir hanya pada taraf pengusaha/perusahaan secara individu, tetapi pula pada tingkat nasional, baik yg dilakukan sang masyarakat secara generik atau pemerintah. Yang dilakukan oleh warga , contohnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yg terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yg dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak pada stadion F. Kennedy pada Philadelphia, Amerika Serikat, serta di stadion Wembley pada London, Inggris, dalam 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan buat mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu lalu ada kaset-kaset rekaman konser tersebut pada sejumlah negara di Timur Tengah dan pula pada Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tersebut mencantumkan made in Indonesia, serta bahkan terdapat yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut warta menurut Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman pada Indonesia yg terlibat pada dalam pembajakan kaset tadi. 

Sedangkan pelanggaran etika bisnis yg dilakukan pemerintah Indonesia selama ini mampu dilihat misalnya adalah pada kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menekankan keadilan pada ekonomi, semenjak pemerintahan Orde Baru sampai waktu ini nir ada bisnis mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani sang masyarakat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (paling akhir), jumlah famili tani tanpa huma atau dengan huma kurang dari 0,lima hektar (diklaim petani gurem) meningkat terus. 

Jadi, dari uraian diatas bisa dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan usaha yang nir merugikan galat satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), terdapat tiga sasaran dan lingkup utama etika bisnis. Pertama, etika usaha sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, serta perkara yang terkait dengan praktek bisnis yang baik serta etis. Sasaran ke 2 menurut etika usaha merupakan untuk menyadarkan warga , khususnya konsumen, buruh atau karyawan, serta warga luas sebagai pemilik aset generik seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek usaha siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara tentang sistem ekonomi yang sangat memilih etis tidaknya suatu praktek usaha. Secara konktrit, etika bisnis ini atau diklaim jua etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, serta semacamnya yg snagat menghipnotis tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi namun jua baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara. 

Dari uraian pada atas, sangat kentara bahwa etika bisnis sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, serta pada hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), dari keadilan ini negara atau pemerintah wajib membagi segalanya dengan cara yg sama pada para anggota masyarakat. Konkritnya pada aspek sosial ekonomi merupakan memberikan kesempatan yang sama bagi semua masyarakat buat mendapatkan pendidikan yg baik, pekerjaan dengan pendapatan yg baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan timbul apabila contohnya pemerintah mengistimewakan orang-orang eksklusif yang nir mempunyai hak spesifik, misalnya contohnya pada menerima proyek-proyek pembangunan atau izin impor misalnya poly terjadi dalam masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme adalah galat satu cara buat melanggar keadilan distributif.

Sedangkan berdasarkan Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif merupakan distribusi ekonomi yg merata tau yg dianggap adil bagi semua rakyat negara. Dengan istilah lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-output pembangunan. (hal. 142). Tetapi kini pertanyaannya merupakan:  apa yg sebagai dasar pembagian yg adil itu, apakah sama rata atau sesuai kiprah serta sumbangan masing-masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yg berkata bahwa pembagian sanggup dikatakan adil apabila seluruh orang menerima bagian yg sama. Jadi, dasar pemikiran menurut teori ini adalah bahwa membagi menggunakan adil berarti membagi homogen. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini jua merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki mutlak dan feodalisme pada abad ke 18 serta revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yg menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini jua yg melandasi sistem pemilihan umum dibanyak negara-negara maju menggunakan sistem ”one person one vote”. 

Kedua, teori sosialistis yg memilih prinsip kebutuhan setiap orang menjadi dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan rakyat adil, jika kebutuhan seluruh warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, serta papan. Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh pada konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal 2 prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yg berat harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan menurut seluruh masyarakat masyarakat, serta bagaimana hal-hal yg lezat buat diperoleh wajib diberikan sinkron kebutuhan. Contoh berdasarkan prinsip pertama tersebut contohnya adalah setiap rakyat punya hak yang sama buat mendapatkan pekerjaan yg layak, termasuk orang-orang stigma, namun orang-orang yg menyandang stigma badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, nir seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja menggunakan syarat tubuh yg prima. Sedangkan model berdasarkan prinsip kedua itu adalah contohnya gaji atau upah dikatakan adil apabila sinkron dengan kebutuhan pekerja. 

Ketiga, teori liberalistis yang menduga pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang nir adil. Menurut teori ini, pembagian harus berdasarkan dalam bisnis-bisnis bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang nir berusaha tidak memiliki hak pula buat memperoleh sesuatu. Jadi yg bekerja keras mendapat lebih poly dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, fokus berdasarkan teori ini adalah prestasi yg ditinjau menjadi perwujudan pilihan bebas seseorang. Tentu ada kasus serius menggunakan teori ini, dalam ketika seseorang tidak sanggup berprestasi karena stigma atau orang yg menganggur diluar kemauannya sendiri, serta sebagainya. Dua teori pertama tadi dalam prakteknya memiliki kasus, terutama pada ekonomi. Dalam teori pertama, ini ialah upah yang diterima seseorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan. Walaupun seorang berprestasi jauh lebih mengagumkan dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, serta ini tentu sesuatu yg nir adil. Demikian pula perkara menggunakan teori ke 2. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana seluruh orang dijamin kebutuhan ekonominya secara nisbi sama terlepas menurut sumbangan dan kiprah atau prestasinya bagi kehidupan beserta atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang nir adil, lantaran setiap masyarakat akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama homogen malahan menyebabkan ketidakadilan.
Keadilan distributif tak jarang jua dianggap sebagai istilah lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang nir 
sependapat menggunakan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial harus dibedakan menggunakan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yg paling baik buat menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya menggunakan keadilan individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya tidak sama. Bertens (2000) mengungkapkan menjadi berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam aplikasi keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja nir berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung menurut struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, serta sebagainya. Keadilan sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur warga nir memungkinkan. Lantaran itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural serta kemiskinan struktural. (hal.92). 
Menurut Bertens (1997, 2000), bila keadilan merupakan merupakan menaruh pada setiap orang yang sebagai 
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan serta hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) menyebutkan Keadilan individual sering kali bisa dilaksanakan menggunakan sempurna. Lantaran kompleksitas rakyat terkini, keadilan sosial nir pernah bisa dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan pada rakyat, seperti contohnya dinaikkannya pajak, bisa menyebabkan ketidakadilan struktural buat golongan tertentu. Keadilan sosial merupakan asa yang sanggup dihampiri semakin dekat, akan tetapi nir pernah bisa direalisasikan dengan paripurna. (hal.93-94). Jadi yang dimaksud di sini merupakan bahwa di satu rakyat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada pada masyarakat lain, misalnya contohnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yg pelayanan sosialnya sangat baik. Namun mudah tidak terdapat satu rakyat atau negara pun di mana nir ada kasus keadilan sosial. 

Ekonomi Berazas Pancasila 
Keadilan pada ekonomi pula dalam dasarnya adalah peradaban ekonomi Indonesia yang dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi semua warga Indonesia, sila kemanusian yg adil serta mudun, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan tiga sila yg sifatnya paling asasi. Dari sini timbul 
ungkapan yang telah sebagai standar “warga yang adil serta makmur”. Dua pengertian ini tidak mampu dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain serta beserta-sama mensyaraktan kehidupan masyarakat Indonesia yg baik Keadilan nir akan tercapai apabila nir tersedia barang yang relatif untuk memenuhi kebutuhan hayati semua rakyat, sedangkan di sisi lain, kemakmuran tidak akan mengklaim tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia nir dibagikan secara merata keseluruh warga warga (Bertens, 2000). 

Keadilan dalam ekonomi seringkali dikaitkan dengan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, buat mencapai rakyat adil sejahtera diharapkan selain demokrasi politik pula demokrasi ekonomi yg berdasarkan perikemanusiaan serta keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yg cocok menggunakan kehidupan asli rakyat Indonesia yg biasa bermusyawarah buat mufakat (Karman, 2006). 

Keadilan dalam perekonomian Indonesia jua ditegaskan pada pada pidato Supomo pada penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip berdasarkan Suwarno (1993), Dalam negara yang dari integralistik, yg berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus sang negara sendiri, akan namun pada hakekatnya negara yang akan menentukan dimana serta dimasa apa serta perusahaan apa yg akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau sang pemerintah wilayah atau yg akan diserahkan lepada sesuatu badan hukum prive atau pada seorang, itu seluruh tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan warga seluruhnya Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yg menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yg penting buat negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai rakyat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hayati menurut kaum tani serta negara wajib menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga sang karena kekeluargaan itu sifatnya masyarakat Timur, yg harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai galat satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). 

Di pada UUD 1945, kehidupan masyarakat pada bidang sosial-ekonomi diatur oleh pasal-pasal 27 ayat dua, pasal 33, serta pasal 34. Dinyatakan pada pada pasal-pasal tadi bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan serta kehidupan yang layak bagi humanisme. Ini ialah setiap warganegara Indonesia wajib mendapatkan pekerjaan supaya beliau dapat memperoleh penghidupan yg layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun terdapat warganegara Indonesia yang nir menerima pekerjaan (menganggur), beliau tetap mempunyai hak untuk menerima kehidupan layak. Ini berarti, jika ia bekerja, beliau berhak menerima upah yang manusiawi, pada arti dengan upah tersebut dia bisa hayati layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh dalam menaruh kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan di pada pasal 34 yg mengungkapkan bahwa orang miskin serta anak-anak yang terlantar dipelihara sang negara. 

Di dalam ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai bisnis bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yg menguasai hajat hayati orang poly dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipakai sebesar-besarnya buat kemakmuran warga . Walaupun pada pada ayat ini diklaim secara eksplisit koperasi, namun di dalam empiris, asas kekeluargaan bisa jua dipraktekkan dalam bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yang dijelaskan sang Suwarno (1993) sebagai berikut, bisa jua menggunakan usaha-bisnis moderen dengan pengaturan sedemikian rupa, sehingga bisnis-bisnis yg bisa diurus sang kelompok-gerombolan masyarakat yg kurang kuat pada permodalan hendaknya diserahkan pada mereka itu tidak semuanya diusahakan sang yg bertenaga permodalannya, sebagai akibatnya menjadi konglomerat yg menguasai cabang-cabang produksi berdasarkan hulu sampai hilar tanpa residu sedikit pun buat loka usaha kelompok yang lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan bisa juga diterapkan pada pengelolaan perusahaan akbar, yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sebagai akibatnya para buruh sanggup membeli saham perusahaan relatif berarti.(hal.135). 

Tetapi, memang pada kenyataannya, keadilan ekonomi seperti yang diamanatkan sang Pasal 33 tadi, sulit sekali direalisasikan. Seperti yg dapat dikutip menurut Karman (2006), ongkos bernegara terlalu besar merampas kemakmuran yang seharusnya milik masyarakat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri pada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan kiprah penting dalam mengelola sendiri kekayaan alam Perekonomian bangsa berjalan pada luar amanat konstitusi Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan seperti pelaku industri manufaktur yg harus berjuang pada sistem mekanisme pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar hasil produksi petani tak sebanding ongkos produksi dan porto hayati sehari-hari (hal.6) 

Praktek-praktek ketidakadilan dalam ekonomi, baik yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh penghasil kebijakan, yang nir sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini sudah mengakibatkan poly pertarungan dalam perekonomian nasional, mulai dari taraf makro sampai mikro yang menghasilkan antara lain kemiskinan dan kesenjangan. 

KEADILAN DALAM EKONOMI

Keadilan Dalam Ekonomi
Salah satu dari tiga pilar kekuatan yg mensugesti keadaban publik merupakan sektor ekonomi atau kominitas usaha, serta fairness atau keadilan menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini karena menyangkut kasus pembagian barang dan jasa yg terbatas kepada seluruh orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan laba atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya menurut barang serta jasa yang terbatas. Penekanan pada paradigma ini adalah “maksimalisasi” serta “terbatas”. Bagi seseorang konsumen atau pengguna barang serta jasa, tingkat kegunaan diukur menggunakan tingkat kepuasan, kesehatan, kenyamanan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, menggunakan aturan yg terbatas, seseorang berusaha menerima tempat tinggal baru yang memberinya kenyamanan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang dan jasa atau penghasil, taraf kegunaan diukur dengan taraf profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yg dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yg memberikannya pendapatan paling tinggi, atau menggunakan modal serta energi kerja yg terdapat, seorang pembuat berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan laba paling tinggi baginya. 

Karena kelangkahan selalu muncul  pada ekonomi (atau pada kehidupan manusia secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang serta jasa tidak pernah sanggup dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak akan menjadi suatu masalah jika barang serta jasa atau sumber daya yang terdapat berlimpah hingga nir ada harganya, seperti air laut, angin dan mata hari, atau bila pada suatu daerah yang sangat luas serta sangat kaya akan sumber daya alam hanya terdapat segelintir manusia. Semakin langka barang serta jasa atau asal daya (ad interim, jumlah penduduk bertambah terus), semakin akbar masalah distribusi, yg berarti semakin akbar perkara keadilan pada pada ekonomi. 

Keadilan juga merupakan suatu topik krusial pada etika. Seperti yang bisa dikutip berdasarkan Bertens (2000) 
sebagai berikut: sulit sekali buat dibayangkan orang atau instansi yg berlaku etis namun tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi adalah menyangkut etika usaha, karena bisnis merupakan aktivitas ekonomi. 

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yang kentara bahwa keadaban publik dipandang berdasarkan aspek 
ekonominya merupakan menyangkut pendistribusian secara adil barang serta jasa ke semua orang sinkron proporsinya masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi pada berbagai aspek, mulai dari ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian sampai kesempatan menerima pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan pada ekonomi erat kaitannya menggunakan kasus kemiskinan dan kesenjangan. Adalah tidak mungkin untuk menyampaikan bahwa suatu bangsa sangat beradab apabila pada negara tersebut sebagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian akbar petaninya merupakan petani gurem, dan banyak industri mengerjakan buruh anak-anak yang dibayar sangat murah (eksploitasi anak-anak). 

Etika Bisnis serta Keadilan. 
Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah aktivitas bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, usaha 
yang baik merupakan yg selalu membuat keuntungan akbar. Di pada teori pembuat (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari laba sebesar mungkin menggunakan porto seminimum mungkin. Maksimalisasi laba adalah tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini adalah keinginan, atau dasar berdasarkan perkembangan kapitalisme liberal yg tumbuh pesat sejak era merkantilisme pada abad ke 18 kemudian. Ini pula yang mendorong negara-negara pada Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah serta Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang berdasarkan V.O.C. Yang akhirnya menjajah Indonesia. 

Kalau memaksimalkan keuntungan sebagai satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan ada keadaan yg nir etis. Lantaran, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi menggunakan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; jika sanggup nir mengeluarkan satu senpun porto yg berakti buru-burunya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali perkara yg dapat ditinjau yg merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut pada sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai motivasi primer berdasarkan perusahaan-perusahaan pada negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari energi kerja murah. Kedua, poly perusahaan pada Indonesia lebih senang memakai buruh tanggal atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga, poly perusahaan-perusahaan pada sektor industri manufaktur di Indonesia serta dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin mengembangkan laba dengan mereka melainkan buat mengurangi porto produksi serta sekaligus menggeser resiko usaha akibat perubahan pasar secara datang-datang ke para pemasok-pemasok tersebut. Sedangkan berdasarkan sudut pandang moral, usaha yg selalu menciptakan laba akbar tidak selalu dianggap sebaga usaha yg rupawan, apabila laba tersebut didapat menggunakan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai bahan standar yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, misalnya pada masalah tahu dengan menggunakan bahan pengawet formalin. 

Kasus formalin ini adalah satu model konkrit berdasarkan suatu perilaku pengusaha/pelaku bisnis yang telah melanggar etika dalam bisnis atau yang umum dianggap etika bisnis. Namun apakah etika usaha itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan menggunakan norma hidup yang baik, baik pada diri seseorang juga 
pada suatu warga atau grup rakyat. Ini berarti etika berkaitan menggunakan nilai-nilai, rapikan cara hayati yang baik, anggaran hayati yg baik, dan segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan berdasarkan satu orang ke orang lain atau menurut satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yg luas, Keraf menyampaikan bahwa etika bisa dirumuskan menjadi refleksi krisis dan rasional tentang: (a) nilai serta kebiasaan yang menyangkut bagaimana manusia wajib hayati baik sebagai manusia; dan mengenai (b) perkara-perkara kehidupan manusia menggunakan mendasarkan diri dalam nilai serta kebiasaan-norma moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika usaha bisa dirumuskan sebagai cara-cara yg baik, yang manusiawi pada melakukan usaha, atau melakukan usaha sinkron kebiasaan-norma moral yg umum diterima. 

Masalah etika usaha nir hanya pada taraf pengusaha/perusahaan secara individu, namun juga pada tingkat nasional, baik yg dilakukan sang masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan sang warga , misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan misalnya yg terjadi dalam perkara kaset musik hasil Live Aid yg dipimpin sang Bob Geldof serta diselenggarkan serentak pada stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, serta pada stadion Wembley di London, Inggris, dalam 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan buat mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan pada Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu lalu muncul kaset-kaset rekaman konser tadi di sejumlah negara di Timur Tengah serta juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tadi mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan terdapat yg menggunakan pita cukai Indonesia. Menurut kabar menurut Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yg terlibat pada pada pembajakan kaset tersebut. 

Sedangkan pelanggaran etika bisnis yg dilakukan pemerintah Indonesia selama ini sanggup dilihat contohnya adalah dalam perkara pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Agraria dan UUD 1945 Pasal 33 menekankan keadilan pada ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru sampai waktu ini nir ada bisnis mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani oleh rakyat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 serta 2003 (paling akhir), jumlah famili tani tanpa lahan atau menggunakan lahan kurang menurut 0,5 hektar (disebut petani gurem) meningkat terus. 

Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak merugikan keliru satu pihak atau menguntungkan ke 2 belah pihak. Menurut Keraf (1998), terdapat tiga sasaran serta lingkup utama etika usaha. Pertama, etika usaha sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, syarat, serta perkara yang terkait dengan praktek usaha yang baik serta etis. Sasaran kedua berdasarkan etika usaha adalah buat menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset generik misalnya lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yg nir boleh dilanggar sang praktek bisnis siapa pun jua. Ketiga, etika usaha dalam tingkat makro, yakni berbicara tentang sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika usaha ini atau diklaim pula etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, serta semacamnya yg snagat mempengaruhi nir saja sehat-tidaknya suatu ekonomi namun juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis pada suatu negara. 

Dari uraian pada atas, sangat kentara bahwa etika usaha sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, dan dalam hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah wajib membagi segalanya menggunakan cara yg sama pada para anggota warga . Konkritnya dalam aspek sosial ekonomi merupakan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat buat mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan menggunakan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan ada bila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang eksklusif yg tidak memiliki hak khusus, misalnya contohnya pada menerima proyek-proyek pembangunan atau biar impor seperti banyak terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme merupakan salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif.

Sedangkan menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yg merata tau yg dianggap adil bagi semua rakyat negara. Dengan istilah lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau output-hasil pembangunan. (hal. 142). Namun kini pertanyaannya merupakan:  apa yg menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai kiprah serta sumbangan masing-masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian sanggup dikatakan adil apabila semua orang menerima bagian yang sama. Jadi, dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil berarti membagi rata. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini jua merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis pada revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme dalam abad ke 18 serta revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence dalam tahun 1776 yg menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini jua yg melandasi sistem pemilihan generik dibanyak negara-negara maju dengan sistem ”one person one vote”. 

Kedua, teori sosialistis yang menentukan prinsip kebutuhan setiap orang menjadi dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan masyarakat adil, bila kebutuhan seluruh warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan pakaian, pangan, serta papan. Secara nyata, sosialisme terutama memikirkan masalah-perkara pekerjaan bagi kaum buruh pada konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal 2 prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yg berat wajib dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan menurut semua warga rakyat, serta bagaimana hal-hal yg enak buat diperoleh wajib diberikan sesuai kebutuhan. Contoh berdasarkan prinsip pertama tersebut contohnya merupakan setiap warga punya hak yg sama buat mendapatkan pekerjaan yg layak, termasuk orang-orang cacat, tetapi orang-orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yg diberikan pada pekerja-pekerja dengan syarat tubuh yg prima. Sedangkan contoh dari prinsip kedua itu merupakan misalnya honor atau upah dikatakan adil apabila sinkron dengan kebutuhan pekerja. 

Ketiga, teori liberalistis yg menduga pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yg tidak adil. Menurut teori ini, pembagian wajib berdasarkan pada usaha-bisnis bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak memiliki hak pula buat memperoleh sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih banyak dibandingkan yg malas bekerja. Jadi, fokus dari teori ini merupakan prestasi yang dipandang sebagai perwujudan pilihan bebas seorang. Tentu terdapat kasus berfokus dengan teori ini, pada saat seseorang tidak bisa berprestasi karena stigma atau orang yg menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya. Dua teori pertama tadi pada prakteknya mempunyai masalah, terutama pada ekonomi. Dalam teori pertama, ini adalah upah yg diterima seseorang buruh pabrik sama dengan pendapatan menurut pimpinan perusahaan. Walaupun seorang berprestasi jauh lebih mengagumkan dibandingkan orang lain, gaji mereka permanen sama, dan ini tentu sesuatu yang tidak adil. Demikian pula masalah dengan teori kedua. Keadilan distributif yg dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana seluruh orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas berdasarkan sumbangan serta peran atau prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang tidak adil, karena setiap masyarakat akan diberi jatah sinkron menggunakan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama homogen malahan menyebabkan ketidakadilan.
Keadilan distributif tak jarang jua dianggap menjadi kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak 
sependapat menggunakan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial wajib dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yang paling baik buat menguraikan keadilan sosial merupakan membedakannya menggunakan keadilan individual. Dua macam keadilan ini tidak selaras, karena pelaksanaannya tidak sama. Bertens (2000) menjelaskan menjadi berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung dalam kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam aplikasi keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung berdasarkan struktur-struktur warga di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, serta sebagainya. Keadilan sosial tidak terealisasi, jika struktur-struktur masyarakat nir memungkinkan. Karena itu pada sini orang berbicara jua mengenai ketidakadilan struktural dan kemiskinan struktural. (hal.92). 
Menurut Bertens (1997, 2000), jika keadilan merupakan merupakan memberikan pada setiap orang yg sebagai 
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, apabila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terealisasi, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) mengungkapkan Keadilan individual acapkali kali bisa dilaksanakan dengan paripurna. Karena kompleksitas rakyat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan pada warga , seperti misalnya dinaikkannya pajak, sanggup mengakibatkan ketidakadilan struktural buat golongan tertentu. Keadilan sosial adalah harapan yang mampu dihampiri semakin dekat, akan tetapi nir pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. (hal.93-94). Jadi yg dimaksud pada sini merupakan bahwa di satu warga atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik berdasarkan dalam di warga lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis nir terdapat satu rakyat atau negara pun pada mana tidak ada masalah keadilan sosial. 

Ekonomi Berazas Pancasila 
Keadilan pada ekonomi pula dalam dasarnya merupakan peradaban ekonomi Indonesia yg dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, sila kemanusian yang adil serta mudun, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tiga sila yang sifatnya paling asasi. Dari sini timbul 
ungkapan yg telah menjadi standar “masyarakat yang adil dan makmur”. Dua pengertian ini nir mampu dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain serta bersama-sama mensyaraktan kehidupan warga Indonesia yang baik Keadilan nir akan tercapai jika nir tersedia barang yg cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh masyarakat, sedangkan pada sisi lain, kemakmuran nir akan menjamin tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia tidak dibagikan secara merata keseluruh masyarakat masyarakat (Bertens, 2000). 

Keadilan pada ekonomi sering dikaitkan menggunakan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, buat mencapai rakyat adil sejahtera diperlukan selain demokrasi politik jua demokrasi ekonomi yg menurut perikemanusiaan serta keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yg cocok dengan kehidupan orisinil warga Indonesia yg biasa bermusyawarah buat mufakat (Karman, 2006). 

Keadilan pada perekonomian Indonesia juga ditegaskan di pada pidato Supomo pada penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip dari Suwarno (1993), Dalam negara yg menurut integralistik, yg berdasar persatuan, maka pada lapangan ekonomi akan digunakan sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan namun dalam hakekatnya negara yg akan memilih dimana serta dimasa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan sang pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan lepada sesuatu badan aturan prive atau kepada seorang, itu semua tergantung berdasarkan dalam kepentingan negara, kepentingan warga seluruhnya Begitupun mengenai hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yg penting buat negara akan diurus sang negara sendiri. Melihat sifat rakyat Indonesia menjadi rakyat pertanian, maka menggunakan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup berdasarkan kaum tani dan negara wajib menjaga supaya tanah pertanian itu permanen dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga sang lantaran kekeluargaan itu sifatnya warga Timur, yg wajib kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya digunakan menjadi galat satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). 

Di pada UUD 1945, kehidupan masyarakat pada bidang sosial-ekonomi diatur sang pasal-pasal 27 ayat 2, pasal 33, serta pasal 34. Dinyatakan di pada pasal-pasal tadi bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini merupakan setiap warganegara Indonesia harus menerima pekerjaan supaya beliau dapat memperoleh penghidupan yg layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun terdapat warganegara Indonesia yg tidak mendapatkan pekerjaan (menganggur), dia tetap mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan layak. Ini berarti, jika beliau bekerja, dia berhak menerima upah yang manusiawi, dalam arti dengan upah tersebut dia bisa hayati layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah memiliki tanggung jawab penuh pada memberikan kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan pada dalam pasal 34 yg berkata bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. 

Di pada ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai bisnis beserta menurut atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yg menguasai hajat hidup orang banyak dan kekayaan alam dikuasai negara serta digunakan sebanyak-besarnya buat kemakmuran masyarakat. Walaupun di pada ayat ini disebut secara eksplisit koperasi, tetapi di pada empiris, asas kekeluargaan mampu jua dipraktekkan pada bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yg dijelaskan oleh Suwarno (1993) sebagai berikut, dapat jua menggunakan usaha-bisnis moderen menggunakan pengaturan sedemikian rupa, sehingga bisnis-usaha yg bisa diurus sang grup-gerombolan rakyat yg kurang kuat dalam permodalan hendaknya diserahkan kepada mereka itu nir semuanya diusahakan sang yang bertenaga permodalannya, sehingga menjadi konglomerat yang menguasai cabang-cabang produksi dari hulu hingga hilar tanpa sisa sedikit pun buat loka usaha grup yg lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan dapat juga diterapkan dalam pengelolaan perusahaan besar , yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sehingga para buruh bisa membeli saham perusahaan relatif berarti.(hal.135). 

Tetapi, memang dalam kenyataannya, keadilan ekonomi misalnya yang diamanatkan oleh Pasal 33 tersebut, sulit sekali direalisasikan. Seperti yang bisa dikutip dari Karman (2006), ongkos bernegara terlalu akbar merampas kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri kepada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan peran vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam Perekonomian bangsa berjalan pada luar amanat konstitusi Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan misalnya pelaku industri manufaktur yang harus berjuang pada sistem prosedur pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar output produksi petani tak sebanding ongkos produksi serta porto hidup sehari-hari (hal.6) 

Praktek-praktek ketidakadilan pada ekonomi, baik yg dilakukan sang pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh penghasil kebijakan, yg nir sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini telah menimbulkan poly pertarungan dalam perekonomian nasional, mulai menurut tingkat makro hingga mikro yg membentuk diantaranya kemiskinan dan kesenjangan. 

MEMPOSISIKAN EKONOMI ISLAM

Ekonomi Islam bukan pertengahan akomodasi kapitalisme serta sososialisme. Ekonomi Islam memiliki karakteristiknya sendiri, hatta jikapun masih ada poin kesamaan eksklusif pada mekanismenya menggunakan ekonomi konvensional. Membicarakan ekonomi Islam bukan hanya soalan bank syari'ah dan ZISWAF sahaja, tetapi mencakup ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pembiayaan publik sampai konsep pembangunan. 

Subjek dalam studi ekonomi Islam sangat dekat menggunakan ekonomi konvensional yaitu alokasi serta distribusi sumberdaya yg terbatas buat memenuhi kebutuhan yg nir terbatas, tetapi kurang tepat asumsi yg menyatakan ekonomi Islam merupakan ekonomi konvensional minus riba plus ZIS. Lantaran visi serta tujuan yang mendasari subjek ekonomi Islam tidak ekivalen menggunakan ekonomi konvensional. Demikian juga pendefinisan well-being atau kesejahteraan pada subjek ekonomi Islam tidak ekivalen menggunakan ekonomi konvensional. 

Dalam literatur ekonomi konvensional, kesejahteraan didefinisikan sebagai 'happines and life satisfaction'. Selanjutnya dalam ekonomi konvensional happiness diasosiasikan dalam terminologi material dan hedonistis, perolehan pendapatan dan profit yang tinggi buat memenuhi kebutuhan jasmani (biological needs). Sehingga sangat rasional bagi aktifitas ekonominya buat melayani kesamaan pribadi, kekayaan, kesenangan jasmani dan kepuasan sensual. Karena kesenangan dan kepuasan sensual bergantung pada kesukaan serta preferensi individu masing-masing, maka 'value judgement' akan disingkirkan sebagai akibatnya individu memiliki kebebasan memutuskan apa yang mereka inginkan (freedom to pursue self interest). Ini juga yg mengakibatkan peran pemerintah diupayakan minimum kecuali dalam tingkat yg diperlukan buat mengefektifkan performansi individu serta pasar.

Dalam ekonomi Islam, Ibnu Khaldun berpendapat kesejahteraan nir saja pemenuhan kebutuhan dasar jasmani, melainkan jua kebutuhan non-material. Salah satu kebutuhan non material yang paling krusial adalah keadilan. Syarat kesejahteraan lainnya adalah ketenangan mental, keharmonisan keluarga serta rakyat, persaudaraan umat manusia, kebebasan, keamanan harta benda, keamanan hayati, minimisasi kejahatan dan penekanan. 

Kesejahteraan merupakan produk akhir menurut interaksi faktor-faktor ekonomi (misalnya pendapatan) menggunakan faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis dan historis yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga masing-masing faktor tersebut tidak akan bisa berkontribusi optimum dengan menghilangkan salah satunya. Kesejahteraan yang sebenarnya nir akan pernah terealisasi tanpa keadilan. Al-Qur'an menyatakan penegakan keadilan sebagai tujuan diutusnya para rosul (QS.57:25): "Sungguh, Kami sudah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang konkret dan Kami turunkan beserta mereka buku serta neraca (keadilan) supaya manusia bisa berlaku adil" Rosululloh saw pula menyatakan ketidakadilan menjadi kegelapan yg sesungguhnya (injustice equivalent to absolute darkness). Lantaran ketidakadilan meruntuhkan solidaritas, menyulut perseteruan, membunuh kepercayaan dan menciptakan kerusakan dalam kehidupan manusia. 

Abu Yusuf (wafat 789) menegaskan pada Khalifah Harun Al Rasyid bahwa penegakan keadilan dan pembasmian ketidakadilan akan meningkatkan kecepatan pembangunan. Al-Mawardi (wafat 1058) menyatakan keadilan akan menaikkan solidaritas, penegakan hukum, pembangunan negara, peningkatan kekayaan, pertumbuhan penduduk serta keamaan negara. Dinyatakan pula "tidak terdapat yg dapat merusak dunia serta humanisme manusia lebih cepat menurut ketidakadilan." Ibnu Taimiyyah (wafat 1328) menyatakan keadilan merupakan produk inti berdasarkan ketauhidan. Ibnu Khaldun jua menyatakan tidak mungkin menciptakan tanpa keadilan, ketidakadilan membawa kehancuran pembangunan, penurunan kesejahteraan adalah hasil menurut pelanggaran keadilan. Dari definisi kesejahteraan yang diadopsi suatu warga , akan membawa disparitas konfigurasi serta mekanisme alokasi serta distribusi sumberdaya yg terbatas tersebut. 

Pemikiran ekonomi Islam oleh sarjana muslim berlangsung gemilang serta redup seiring merosotnya kekhilafahan dan penghancuran dokumentasi kebudayaan dan ilmu pengetahuan sang bangsa Mongol. Ibnu Khaldun (wafat 1406) menjadi muslim yg sadar akan fenomena kemerosotan umat, menciptakan analisa komprehensif pada Muqadimah, yg bahkan konsep pembangunannya sangat maju mencakup multidisiplin, yg sekarang --antara lain-- digagas sang Amartya Sen pada Freedom as Development.sesudahnya nir terdengar kajian-kajian komprehensif lagi, kecuali oleh beberapa sarjana muslim (yang terisolasi) seperti Al-Maqrizi (wafat 1442), Al-Dawwani (wafat 1501) dan terakhir Shah Waliyullah (wafat 1762). 

Mengkonstruksi kompleksitas mekanisasi ekonomi Islam buat bisa 'keluar' menurut arus primer sistem ekonomi ketika ini bukan pekerjaan yang bisa dibutuhkan selesai pada ketika singkat. Apalagi bila kita perhatikan bahwa kebangkitan pemikiran ekonomi Islam baru berlangsung lebih kurang 40 tahun terakhir, dimulai berdasarkan beberapa ketika sebelum pendirian IDB dalam 1975. Dapatlah kita bayangkan kekosongan pemikiran ekonomi Islam berlangsung berdasarkan 1762 sampai 1970-an (berarti hampir 250 tahun) atau bahkan hampir 600 tahun bila ditarik dari masa pemikiran Ibnu Khaldun. Jumlah orang, universitas, pemerintahan dan forum riset yg berpartisipasi pada pengembangan ekonomi Islam masih sangat sedikit, bahkan pada negri-negri muslim sekalipun. Bandingkan menggunakan kapitalisme yang telah berjalan lebih menurut satu abad, pengembangannya berakselerasi nyaris tanpa interupsi. Tergambar kentara menurut jurnal-jurnalnya yang nir terhitung lagi, buku, laporan dan riset pada seluruh dunia yang melimpah. Atau socialism yang 'divonis' bangkrut serta hancur, jurnalnya melimpah, pemikirnya terus aktif dalam forum defensif Marxist. Bagaimana dengan kita? 

Sekarang, jika ekonomi konvesional diasumsikan telah sedemikian kokoh terbangun, bagaimana posisi ekonomi Islam? Masih cukup relevan atau esensiilkah pada tahapan globalisasi ekonomi waktu ini? Sedikit romantisme sejarah, saat peradaban madani telah terbangun, pada sisi lain berlangsung perang berkepanjangan Persia-Romawi. Terjadi pungutan pajak dan tarif yang luar biasa berat buat pembiayaan perang, sebagai akibatnya menghambat perdagangan dan pembangunan. Sementara daerah dibawah pengaturan Islam menjadi pangsa pasar yg luas dan terbuka menggunakan pajak minimum, perputaran uang yg pesat, tempat penyimpanan barang-barang, kapital, dan interaksi antar manusia yang bebas dan kondusif. Mengapa sanggup demikian? Lantaran keadilan dan kepatutan dalam interaksi umat insan adalah komponen melekat dalam ekonomi Islam. 

Iklim tadi mendorong perdagangan yang membentang menurut Maroko dan Spanyol pada barat, ke India serta China pada timur, Asia Tengah pada utara, hingga Afrika pada selatan. Ekspansi perdagangan ini dibuktikan nir hanya menurut dokumen sejarah, melainkan pula melalui koin atau mata uang Islam berdasarkan abad 7 serta 8 yg ditemukan pada Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, British serta Scotland. Negeri-negeri yg notabene bukan negeri Muslim. Kegairahan perdagangan mendorong pembangunan pada seluruh dunia, nir hanya trading produk pertanian, namun pula kerajinan, serta barang-barang 'industri'. Sehingga terjadi peningkatan pendapatan yg signifikan. Tidak saja pada negeri-negeri Muslim melainkan terdistribusi secara adil kepada pelaku ekonomi meskipun bukan negri muslim. Jadi gagasan kemakmuran beserta bukan sesuatu yang baru pada peradaban Islam. 

Keberhasilan ekonomi Islam bukanlah fantasi dan bisa kita bangun balik , lantaran pernah berjaya dari abad 7 hingga abad 12 atau selama 600 tahun, lalu gejala kemerosotan umat berlangsung 200 tahun hingga sejak abad 14 umat sahih-benar jadi bulan-bulanan hingga kini . Peradaban yang –pernah-- kalah menyisakan keperihan terputusnya dokumentasi keilmuan serta terpasungnya pemikir-pemikir peradaban. Tetapi menggunakan kerja keras dan kerja umat yg beserta-sama menciptakan konsepsi ekonomi Islam, serta menjalankan instrumen ekonomi Islam secara riil, insya Allah akan sebagai gelombang perbaikan kemajuan peradaban Islam. Rutnya, kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yg mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --buat kepentingan kelangsungan hayati jangka panjang-- menjamin well-being bagi rakyat (N) menggunakan menyediakan lingkungan yang sesuai buat aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), serta pembangunan dan distribusi kekayaan (W) yang setara.

Relasi sebab akibat yang normal mungkin tidak wajib reversibel, tetapi pada rakyat manusia yang ditekankan Ibnu Khaldun, hubungan sirkular dan saling kebergantungan umumnya cenderung reversibel. Implikasinya, mekanisme triger dalam kemunduran suatu warga (yang pada analisis Ibnu Khaldun merupakan kegagalan G) mampu nir sama buat setiap warga . Bisa dipicu oleh variabel manapun. Contohnya, disintegrasi keluarga, yg merupakan bagian integral berdasarkan N pada model diatas. Disintegrasi famili membawa pendidikan yang nir sempurna kepada anak-anak selanjutnya membawa penurunan dalam kualitas asal daya insan (N) yg adalah dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga mampu disebabkan kelemahan ekonomi (W) output berdasarkan kesalahan sistem ekonomi (S) misalnya contoh kasus ekonomi totalitarian, atau institusi serta value yg jelek (S) seperti yg dihadapi poly negara berkembang saat ini

MEMPOSISIKAN EKONOMI ISLAM

Ekonomi Islam bukan pertengahan akomodasi kapitalisme dan sososialisme. Ekonomi Islam mempunyai karakteristiknya sendiri, hatta jikapun terdapat poin kesamaan tertentu pada mekanismenya dengan ekonomi konvensional. Membicarakan ekonomi Islam bukan hanya soalan bank syari'ah serta ZISWAF sahaja, tetapi meliputi ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pembiayaan publik sampai konsep pembangunan. 

Subjek pada studi ekonomi Islam sangat dekat dengan ekonomi konvensional yaitu alokasi dan distribusi sumberdaya yg terbatas buat memenuhi kebutuhan yang nir terbatas, namun kurang sempurna anggapan yg menyatakan ekonomi Islam merupakan ekonomi konvensional minus riba plus ZIS. Lantaran visi serta tujuan yang mendasari subjek ekonomi Islam tidak ekivalen menggunakan ekonomi konvensional. Demikian pula pendefinisan well-being atau kesejahteraan pada subjek ekonomi Islam nir ekivalen menggunakan ekonomi konvensional. 

Dalam literatur ekonomi konvensional, kesejahteraan didefinisikan menjadi 'happines and life satisfaction'. Selanjutnya dalam ekonomi konvensional happiness diasosiasikan pada terminologi material serta hedonistis, perolehan pendapatan dan profit yang tinggi buat memenuhi kebutuhan jasmani (biological needs). Sehingga sangat rasional bagi aktifitas ekonominya buat melayani kesamaan eksklusif, kekayaan, kesenangan jasmani dan kepuasan sensual. Karena kesenangan serta kepuasan sensual bergantung dalam selera dan preferensi individu masing-masing, maka 'value judgement' akan disingkirkan sebagai akibatnya individu mempunyai kebebasan tetapkan apa yg mereka inginkan (freedom to pursue self interest). Ini jua yang menyebabkan peran pemerintah diupayakan minimum kecuali pada tingkat yg diperlukan buat mengefektifkan performansi individu dan pasar.

Dalam ekonomi Islam, Ibnu Khaldun beropini kesejahteraan tidak saja pemenuhan kebutuhan dasar jasmani, melainkan jua kebutuhan non-material. Salah satu kebutuhan non material yang paling penting merupakan keadilan. Syarat kesejahteraan lainnya merupakan kenyamanan mental, keharmonisan keluarga dan warga , persaudaraan umat insan, kebebasan, keamanan mal, keamanan hayati, minimisasi kejahatan dan fokus. 

Kesejahteraan merupakan produk akhir dari hubungan faktor-faktor ekonomi (misalnya pendapatan) menggunakan faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis serta historis yg terintegrasi sedemikian rupa sehingga masing-masing faktor tersebut nir akan bisa berkontribusi optimum menggunakan menghilangkan galat satunya. Kesejahteraan yang sebenarnya nir akan pernah terealisasi tanpa keadilan. Al-Qur'an menyatakan penegakan keadilan menjadi tujuan diutusnya para rosul (QS.57:25): "Sungguh, Kami sudah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yg nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia bisa berlaku adil" Rosululloh saw jua menyatakan ketidakadilan menjadi kegelapan yg sesungguhnya (injustice equivalent to absolute darkness). Lantaran ketidakadilan meruntuhkan solidaritas, menyulut permasalahan, membunuh kepercayaan serta membuat kerusakan pada kehidupan manusia. 

Abu Yusuf (wafat 789) menegaskan pada Khalifah Harun Al Rasyid bahwa penegakan keadilan serta pembasmian ketidakadilan akan mempercepat pembangunan. Al-Mawardi (wafat 1058) menyatakan keadilan akan menaikkan solidaritas, penegakan aturan, pembangunan negara, peningkatan kekayaan, pertumbuhan penduduk serta keamaan negara. Dinyatakan jua "nir ada yg dapat merusak dunia dan humanisme insan lebih cepat menurut ketidakadilan." Ibnu Taimiyyah (wafat 1328) menyatakan keadilan adalah produk inti menurut ketauhidan. Ibnu Khaldun juga menyatakan nir mungkin membentuk tanpa keadilan, ketidakadilan membawa kehancuran pembangunan, penurunan kesejahteraan merupakan hasil berdasarkan pelanggaran keadilan. Dari definisi kesejahteraan yang diadopsi suatu masyarakat, akan membawa disparitas konfigurasi serta mekanisme alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas tersebut. 

Pemikiran ekonomi Islam sang sarjana muslim berlangsung gemilang serta redup seiring merosotnya kekhilafahan dan penghancuran dokumentasi kebudayaan serta ilmu pengetahuan sang bangsa Mongol. Ibnu Khaldun (wafat 1406) menjadi muslim yang sadar akan fenomena kemerosotan umat, menciptakan analisa komprehensif dalam Muqadimah, yang bahkan konsep pembangunannya sangat maju meliputi multidisiplin, yang sekarang --antara lain-- digagas sang Amartya Sen pada Freedom as Development.sesudahnya nir terdengar kajian-kajian komprehensif lagi, kecuali sang beberapa sarjana muslim (yang terisolasi) misalnya Al-Maqrizi (wafat 1442), Al-Dawwani (wafat 1501) dan terakhir Shah Waliyullah (wafat 1762). 

Mengkonstruksi kompleksitas mekanisasi ekonomi Islam buat sanggup 'keluar' menurut arus primer sistem ekonomi ketika ini bukan pekerjaan yang sanggup diharapkan terselesaikan pada saat singkat. Apalagi apabila kita perhatikan bahwa kebangkitan pemikiran ekonomi Islam baru berlangsung sekitar 40 tahun terakhir, dimulai dari beberapa saat sebelum pendirian IDB pada 1975. Dapatlah kita bayangkan kekosongan pemikiran ekonomi Islam berlangsung dari 1762 hingga 1970-an (berarti hampir 250 tahun) atau bahkan hampir 600 tahun bila ditarik berdasarkan masa pemikiran Ibnu Khaldun. Jumlah orang, universitas, pemerintahan dan lembaga riset yang berpartisipasi pada pengembangan ekonomi Islam masih sangat sedikit, bahkan di negri-negri muslim sekalipun. Bandingkan menggunakan kapitalisme yang telah berjalan lebih dari satu abad, pengembangannya berakselerasi nyaris tanpa interupsi. Tergambar kentara dari jurnal-jurnalnya yang nir terhitung lagi, buku, laporan serta riset pada semua global yang melimpah. Atau socialism yg 'divonis' bangkrut dan hancur, jurnalnya melimpah, pemikirnya terus aktif pada forum defensif Marxist. Bagaimana dengan kita? 

Sekarang, apabila ekonomi konvesional diasumsikan telah sedemikian kokoh terbangun, bagaimana posisi ekonomi Islam? Masih relatif relevan atau esensiilkah pada tahapan globalisasi ekonomi ketika ini? Sedikit romantisme sejarah, saat peradaban madani telah terbangun, di sisi lain berlangsung perang berkepanjangan Persia-Romawi. Terjadi pungutan pajak dan tarif yang luar biasa berat buat pembiayaan perang, sebagai akibatnya menghambat perdagangan serta pembangunan. Sementara wilayah dibawah pengaturan Islam sebagai pangsa pasar yang luas dan terbuka menggunakan pajak minimum, perputaran uang yang pesat, loka penyimpanan barang-barang, modal, serta hubungan antar insan yg bebas dan aman. Mengapa sanggup demikian? Lantaran keadilan serta kepatutan dalam hubungan umat insan adalah komponen inheren dalam ekonomi Islam. 

Iklim tersebut mendorong perdagangan yg membentang menurut Maroko dan Spanyol di barat, ke India serta China pada timur, Asia Tengah pada utara, sampai Afrika pada selatan. Ekspansi perdagangan ini dibuktikan nir hanya berdasarkan dokumen sejarah, melainkan pula melalui koin atau mata uang Islam dari abad 7 serta 8 yg ditemukan pada Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, British dan Scotland. Negeri-negeri yang notabene bukan negeri Muslim. Kegairahan perdagangan mendorong pembangunan di semua dunia, tidak hanya trading produk pertanian, tetapi jua kerajinan, dan barang-barang 'industri'. Sehingga terjadi peningkatan pendapatan yg signifikan. Tidak saja di negeri-negeri Muslim melainkan terdistribusi secara adil pada pelaku ekonomi meskipun bukan negri muslim. Jadi gagasan kemakmuran bersama bukan sesuatu yg baru dalam peradaban Islam. 

Keberhasilan ekonomi Islam bukanlah fantasi dan sanggup kita bangun balik , lantaran pernah berjaya menurut abad 7 hingga abad 12 atau selama 600 tahun, kemudian tanda-tanda kemerosotan umat berlangsung 200 tahun hingga semenjak abad 14 umat sahih-benar jadi bulan-bulanan hingga kini . Peradaban yg –pernah-- kalah menyisakan keperihan terputusnya dokumentasi keilmuan dan terpasungnya pemikir-pemikir peradaban. Namun dengan kerja keras serta kerja umat yang bersama-sama membangun konsepsi ekonomi Islam, dan menjalankan instrumen ekonomi Islam secara riil, insya Allah akan menjadi gelombang perbaikan kemajuan peradaban Islam. Rutnya, kelemahan dinasti bergantung dalam kekuatan atau kelemahan otoritas politik yang mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --buat kepentingan kelangsungan hayati jangka panjang-- menjamin well-being bagi rakyat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), dan pembangunan serta distribusi kekayaan (W) yg setara.

Relasi karena akibat yg normal mungkin tidak wajib reversibel, namun pada warga manusia yg ditekankan Ibnu Khaldun, interaksi sirkular serta saling kebergantungan umumnya cenderung reversibel. Implikasinya, mekanisme triger pada kemunduran suatu masyarakat (yang pada analisis Ibnu Khaldun merupakan kegagalan G) mampu nir sama buat setiap warga . Bisa dipicu oleh variabel manapun. Contohnya, disintegrasi keluarga, yg merupakan bagian integral berdasarkan N dalam contoh diatas. Disintegrasi famili membawa pendidikan yg tidak tepat pada anak-anak selanjutnya membawa penurunan pada kualitas asal daya manusia (N) yang adalah dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga mampu ditimbulkan kelemahan ekonomi (W) hasil dari kesalahan sistem ekonomi (S) seperti model masalah ekonomi totalitarian, atau institusi dan value yang jelek (S) misalnya yg dihadapi poly negara berkembang saat ini

KONTRIBUSI PENGEMBANGAN WAKAF TUNAI DI INDONESIA

Kontribusi Pengembangan Wakaf (Tunai) Di Indonesia 
Krisis ekonomi yang terjadi beberapa saat yang lalu, sampai kini masih menyisakan pengaruh di Indonesia. Masalah kemiskinan serta kesenjangan ekonomi masih sebagai rencana yang belum dapat diselesaikan. Goyangnya keberadaan moralitas para fakir miskin dari kehidupan yg kondusif, rukun, dan tenang, lalu cenderung pada perampokan, kerusakan dan kezaliman, bahkan hingga terjadi perbuatan yang mengancam jiwa seseorang yakni pembunuhan, yang itu seluruh disebabkan oleh rasa kecemburuan serta desakan kebutuhan hidup berupa pakaian, pangan, dan papan sebagaimana layaknya orang-orang yang memiliki ekonomi mapan.

Kenyataan di atas mendorong para pemikir serta pengambil kebijakan di Indonesia buat mencari solusi dari kenyataan sosial tersebut. Maka dimulailah meskipun belum sepenuhnya, implementasi berdasarkan Sistem Ekonomi Islam. Sebuah sistem ekonomi cara lain yg sebelumnya hanya berkembang dalam tataran tentang.

Diawali dari zakat. Potensi zakat di Indonesia sangat akbar. Dilihat dari perolehan dana ZIS seluruh Indonesia dalam awal tahun 1990-an, dana ZIS yang diperoleh tercatat sekitar Rp 11 miliar, tetapi pada tahun 2000 tercatat lebih menurut Rp 250 miliar (Budiman, 2002). Sebuah angka yang relatif signifikan buat menekan jumlah penduduk miskin pada Indonesia. Zakat idealnya dapat dijadikan asal pendapatan yang dapat mengangkat harkat dan prestise penduduk miskin Indonesia yg sebagian besar merupakan muslim. Dukungan dari pemerintah pun telah dibuktikan dengan disahkannya produk aturan berupa Undang-Undang yaitu UU No. 38 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Zakat. Dengan demikian, zakat jika didukung sang perangkat perundang-undangan yg memadai dan pengelolaan yang bukan saja profesional (melalui pendekatan sosio-ekonomi) tetapi jua amanah, maka zakat dapat dijadikan sumber pendapatan sang negara.

Satu potensi besar lain yang tampaknya sampai saat ini belum ada kemauan politik yg bertenaga dari pemerintah buat mengimplementasikannya adalah wakaf, meskipun secara simbolik disahkannya UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menandai kemauan negara buat memperhatikan konflik sosial umat Islam. Hal ini sangatlah disayangkan, lantaran misalnya halnya zakat, wakaf juga mempunyai potensi akbar buat digali sehingga pada akhirnya akan bisa mengurangi jumlah penduduk miskin yg ada di Indonesia.

Perbincangan tentang wakaf kerapkali diarahkan kepada wakaf benda tidak berkecimpung seperti tanah, bangunan, pohon buat diambil buahnya serta sumur buat diambil airnya. Wakaf dalam bentuk benda berkiprah yang meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual), hak sewa dan benda beranjak lain yang sesuai menggunakan syariah, baru mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda berkecimpung yang saat ini cukup ramai diperbincangkan adalah wakaf uang atau lebih sering diklaim sebagai wakaf tunai. Wakaf tunai dikatakan dapat sebagai cara lain yang baik pada rangka memberdayakan ekonomi warga yang bisa membantu buat mengurangi kemiskinan. Artikel ini mencoba menjelaskan Konsep Wakaf Tunai secara luas dengan penekanan pada bagaimana potensi wakaf tersebut bisa sebagai solusi alternatif pada rangka memberdayakan ekonomi rakyat.

Pengertian Wakaf
Wakaf diambil dari kata waqafa yg menurut bahasa berarti menunda atau berhenti. Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yg tahan lama (zatnya) pada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola menggunakan ketentuan bahwa output atau manfaatnya digunakan buat hal-hal yg sesuai menggunakan syariat Islam (Sudarsono, 2004).

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum wakif buat memisahkan serta atau menyerahkan sebagian mal miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau buat jangka ketika eksklusif sesuai menggunakan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Dalam wakaf masih ada 4 rukun, yaitu:
  1. Waqif, orang yg melakukan perbuatan wakaf, hendaklah pada keadaan sehat rohaninya dan tidak pada keadaan terpaksa atau pada keadaan tertekan jiwanya.
  2. Mauquf, mal yang akan diwakafkan, wajib kentara wujudnya atau zatnya dan bersifat kekal. Artinya, bahwa harta itu nir habis sekali gunakan dan dapat diambil keuntungannya buat jangka ketika yang lama .
  3. Mauquf’Alaih, target yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf, dapat dibagi sebagai dua macam, yaitu wakaf khairy dan wakaf dzurry. Wakaf khairy merupakan wakaf dimana wakifnya nir membatasi target wakafnya buat pihak tertentu tetapi buat kepentingan generik. Sedangkan wakaf dzurry merupakan wakaf dimana wakifnya membatasi target wakafnya untuk pihak tertentu yaitu famili keturunannya.
  4. Shigot, pernyataan hadiah wakaf. Ulama setuju bahwa akad wakaf hanya membutuhkan ijab saja bila buat wakaf yang ditujukan bagi pihak yg nir eksklusif (ghoiru mu’ayyan). Adapun wakaf yg ditujukan bagi pihak eksklusif (mu’ayyan) ulama tidak sinkron pendapat. Menurut Mahzab Hanafi dalam keadaan seperti itu wakaf hanya membutuhkan ijab saja. Sedangkan menurut Mahzab Syafi’i dan Mahzab Maliki masih mensyaratkan adanya ijab serta qobul.
Konsep Wakaf Tunai
Wakaf tunai merupakan wakaf yg dilakukan seorang, kelompok orang, serta lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai (Tim Departemen Agama RI, 2004). Hukum mewakafkan uang tunai adalah pertarungan yg diperdebatkan di kalangan ulama fiqih. Hal ini ditimbulkan karena cara yang lazim digunakan oleh rakyat dalam berbagi harta wakaf berkisar dalam penyewaan harta wakaf, misalnya tanah, gedung, tempat tinggal , dan semacamnya (wakaf pada bentuk benda nir berkecimpung). Oleh karena itu, seperti dinyatakan Sudarsono (2004) sebagian ulama kurang menerima saat ada pada antara ulama yg berpendapat bahwa hukumnya mewakafkan uang merupakan boleh. Adapun alasan ulama yg tidak membolehkan berwakaf dengan uang adalah:
  1. Dengan uang sebagai aset wakaf, maka penggunaannya akan berhubungan dengan praktek riba.
  2. Bahwa uang mampu habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dengan membelanjakan sehingga bendanya lenyap, sedangkan inti ajaran wakaf merupakan dalam transedental hasil berdasarkan modal dasar yang tetap lagi abadi. Oleh karena itu, ada persyaratan supaya benda yg akan diwakafkan itu merupakan benda yang tahan lama , tidak habis dipakai.
  3. Uang seperti dirham dan dinar diciptakan sebagai alat tukar yg gampang dalam transaksi jual beli, bukan buat ditarik keuntungannya menggunakan mempersewakan zatnya.
Di Indonesia, dalam hal wakaf tunai pada lepas 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah memutuskan fatwa menjadi berikut:
  1. Wakaf uang (Cash Waqaf/Waqf al-Nuqud) merupakan wakaf yg dilakukan seseorang, gerombolan orang, lembaga atau badan aturan dalam bentuk uang tunai.
  2. Termasuk ke pada pengertian uang merupakan surat-surat berharga.
  3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh)
  4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan buat hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
  5. Nilai pokok wakaf uang wajib dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, serta atau diwariskan.
Sumber hukum wakaf tunai:
1. Firman Allah SWT

“Kamu sekali-kali tidak hingga pada kebajikan (yg sempurna), sebelum engkau menafkahkan sebahagian harta yang engkau cintai. Dan apa saja yg kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
(QS. Ali Imran (3): 92)


“Perumpamaan (nafkah yg dimuntahkan sang) orang yg menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa menggunakan sebutir benih yg menumbuhkan tujuh buah, dalam tiap-tiap butir, seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yg Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Orang yg menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya serta dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka serta nir (pula) mereka bersedih hati”
(QS. Al-Baqarah (2): 261-262)

2. Hadits Nabi saw
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Umar bi al-Khaththab ra memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, kemudian beliau datang kepada Nabi saw buat meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia mengungkapkan, “Wahai Rasulullah! Saya memperoleh tanah di Khaibar, yg belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tadi, apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi saw menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya serta kamu sedekahkan (output)-nya.”

Ibnu Umar mengungkapkan, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (menggunakan mensyaratkan) bahwa tanah itu nir dijual, tidak dihibahkan, serta tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (output)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, serta tamu. Tidak berdosa atas orang yg mengelolanya buat memakan menurut (hasil) tanah itu secara ma’ruf (masuk akal) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.”

Rawi mengungkapkan, “Saya menceritakan hadits tersebut pada Ibnu Sirin, kemudian beliau menyampaikan ‘ghaira muta’tstsilin malan (tanpa menyimpannya menjadi harta hak milik)’.”
(HR. Al-Bukhari)

3. Pendapat Ulama
Pendapat Imam al-Zuhri
Mewakafkan dinar hukumnya boleh, menggunakan cara menjadikan dinar tadi menjadi kapital bisnis lalu keuntungannya disalurkan dalam mauquf’alaih.

Mutaqaddimin dari ulama Mazhab Hanafi
Membolehkan wakaf uang dinar dan dirham menjadi dispensasi, atas dasar Istihsan bi al-Urfi dari atsar Abdullah bin Mas’ud ra:

“Apa yang ditinjau baik sang kaum muslimin maka pada pandangan Allah merupakan baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka pada pandangan Allah pun buruk.”

Pendapat sebagian ulama Mazhab al-Syafi’i
“Abu Tsaur meriwayatkan berdasarkan Imam al-Syafi’i mengenai kebolehan wakaf dinar serta dirham (uang).”

Praktik Wakaf Tunai di Indonesia
Dari hasil penelitian Tim Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (Najib dan al-Makassary, 2006), wakaf dalam bentuk uang terbagi ke dalam dua kategori yaitu wakaf uang sebagai pengganti barang dan wakaf uang buat dijadikan modal dimana nilai uangnya sendiri dijamin kelestariannya (cash waqf). Wakaf uang buat pengganti barang lazim dipraktikkan di Indonesia misalnya dalam kegiatan pembangunan masjid, madrasah, serta pesantren. Artinya, pembangunan masjid, madrasah, atau pesantren, umumnya output berdasarkan gotong royong masyarakat baik dalam bentuk materiil misalnya menggunakan memberi wakaf barang bangunan atau uang yang kemudian dibelikan barang, ataupun pada bentuk tenaga.

Berkaitan menggunakan wakaf uang buat dijadikan kapital dan nilai utama uang tadi permanen dijamin kelestariannya, meskipun baru dibolehkan beberapa tahun belakangan (pasca fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2002), pada praktiknya telah ada 18% nazhir yang pernah mempraktikkannya. Selain itu, relatif banyak juga nazhir (33%) yg menyatakan bersedia mempraktikkan wakaf uang tadi.

Data di atas memperlihatkan bahwa wakaf uang memiliki peluang buat dikembangkan sebagai akibatnya wakaf tidak hanya terbatas pada benda tidak berkecimpung seperti tanah serta bangunan. Dengan wakaf uang, seorang yang ingin berwakaf tidak wajib mengeluarkan uang banyak. Sebagai model, seorang bisa mewakafkan satu pohon jati dengan memberikan uang senilai Rp 25,000,- seperti yg sudah dilakukan Pesantren Al-Zaitun. Selain itu, wakaf uang juga bisa berwujud harta lancar yg penggunaannya sangat fleksibel sehingga sanggup berbentuk modal finansial yg sanggup disimpan pada bank-bank dan sanggup jua berbentuk saham perusahaan.

Keadilan Sosial serta Pengentasan Kemiskinan: Perspektif Islam
Ajaran Islam dalam dasarnya adalah ajaran tauhid, yakni ajaran yg senantiasa meng-Esakan Allah SWT, dan senantiasa mengakui bahwa Nabi Muhammad saw merupakan utusan-Nya. Ajaran tauhid yang meng-Esakan Allah SWT melahirkan satu pengertian bahwa insan seluruhnya merupakan satu keluarga. Al-Qur’an menjelaskan bahwa umat Islam seluruhnya diciptakan berdasarkan satu orang, keanekaragaman insan dari segala aspeknya merupakan tanda-pertanda kebesaran Allah SWT.
Firman Allah SWT:

“Dan pada antara indikasi-tanda kekuasaan-Nya merupakan membentuk langit serta bumi serta berlain-lainan bahasamu serta warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu sahih-benar terdapat pertanda-indikasi bagi orang-orang yg mengetahui.”

Ajaran Islam menekankan agar kemiskinan itu dikurangi bahkan wajib dihilangkan. Setiap manusia bisa hidup sebagaimana insan layaknya, baik itu secara individu juga grup masyarakat. Rasulullah saw bersabda:

“Orang mukmin yg satu menggunakan orang mukmin yang lain ibarat satu bangunan, antara yg satu dengan yg lain saling memperkokoh.”

“Persaudaraan dan afeksi pada antara semua orang beriman ibarat satu tubuh. Bila galat satu anggota badannya mencicipi sakit, maka semua badan yg lain turut mencicipi sakit lantaran demam serta tidak bisa tidur.”
(HR. Al-Bukhari)

Islam jua mendorong umat insan agar selalu berkasih sayang serta mengeluarkan sebagian berdasarkan harta kekayaannya untuk orang lain yang membutuhkan. Islam menganjurkan pada umatnya agar memanfaatkan setiap kesempatan menggunakan sebaik-baiknya pada mencari serta mendapatkan rezeki, sama sekali nir terbatas dalam bisnis buat mencukupi perut sendiri saja, akan namun juga turut dan dalam usaha-usaha mencukupi kebutuhan hidup insan yang lain.

Islam pula menekankan agar insan mengenal kehormatan serta harga diri, memberi kesempatan untuk dapat menaikkan martabatnya dengan menempuh jalan hayati yg berdikari serta terhormat. Oleh karena itu, Islam menetapkan berbagai kewajiban khusus, baik yg bersifat individu juga sosial. Di samping itu, Islam jua mempersamakan segenap umatnya pada hak dan kewajiban dan saling bantu-membantu pada memikul tanggungjawab bersama menggunakan usaha menegakkan keadilan tanpa adanya diskriminasi apapun, tanpa memandang asal keturunan, perbedaan kedudukan sosial, jenis kebangsaan serta warna kulit.

Persoalan yang perlu dikritisi dalam wacana keadilan sosial dari Islam adalah kurangnya pembahasan tentang taktik pencapaian keadilan sosial. Meskipun filantropi Islam dievaluasi menjadi instrumen keadilan sosial, namun tidak kentara bagaimana taktik supaya instrumen ini bekerja secara efektif. Hal ini mengingat tradisi filantropi Islam yang berkembang pada rakyat muslim, khususnya pada Indonesia, masih belum bergeser berdasarkan fungsi keagamaan serta santunan semata. Padahal sebuah perubahan sosial ke arah yang lebih adil tidak relatif diselesaikan menggunakan santunan ataupun jargon semata. Oleh sebab itu strategi keadilan sosial yang dikemukakan sang para pemikir filantropi dewasa ini bisa dipertimbangkan buat membuahkan wakaf serta filantropi Islam lainnya sahih-benar tunggangan bagi keadilan sosial.

Sejarah telah mencatat bahwa usaha Rasulullah saw, lebih berpihak kepada golongan yg lemah, baik dalam memenuhi tuntutan kemerdekaan pribadinya menurut perbudakan juga pada tuntutan kebutuhan ekonomi sosial buat hidup secara lumrah. Dalam memperjuangkan ketertindasan ekonomi umat Islam, Rasulullah saw memfungsikan wakaf menjadi galat satu wahana buat memerangi kemiskinan. Hadis Nabi dan praktik para teman menampakan bahwa wakaf sesungguhnya bagian berdasarkan ajaran Islam yang absah. Wakaf dalam bentuknya yg masih sederhana sudah dipraktikkan oleh para sahabat dari petunjuk Nabi.

“Salah satu hadis yang dikaitkan menggunakan wakaf merupakan hadis Shahih Muslim yang berbunyi: Rasulullah saw bersabda: “apabila Anak Adam mangkat dunia, maka terputuslah amal baiknya kecuali 3 perkara: sedekah yang mengalir (sadaqa jariya), ilmu yang berguna dan anak saleh yang mendoakannya.”

Riwayat Jabir menyebutkan bahwa semua teman Nabi yang bisa sudah mempraktikkan wakaf.

Sekalipun kemiskinan adalah sunnatullah pada kehidupan insan pada alam dunia, tetapi paling tidak harus ada upaya buat mendominasi kehidupan gerombolan orang-orang yang ekonominya mapan sesuai dengan kebutuhannya. Untuk membawa manusia ke jalan Tuhan, satu faktor yg sangat krusial adalah memberantas kemiskinan. Orang-orang yang hidupnya mengalami tekanan-tekanan sosial ekonomi, sangat gampang menimbulkan wangsit tentang kejahatan. Di suatu negara yang rakyatnya lebih poly hidup dalam keadaan melarat, maka negara itu akan gampang dijangkiti penyakit krisis akhlak serta sebagai tanah yg fertile bagi perbuatan nir bermoral.

Dalam rangka pengentasan kemiskinan, menghilangkan jurang pemisah antara si kaya serta si miskin, ada 3 hal utama yg wajib ditempuh:

1. Kewajiban setiap individu
Kewajiban setiap individu tercermin pada kewajiban bekerja dan berusaha. Kewajiban ini merupakan cara pertama serta utama yg ditekankan dalam Al-Qur’an, lantaran dengan begitu, kehidupan serba kekurangan dapat berubah menjadi kehidupan yang lebih baik. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa konsep ke depan setiap grup atau individu terletak dalam sistem kerja kerasnya, sebagaimana tertuang dalam surat ar-Ra’d ayat 11 ini dia:

“Bagi insan terdapat malaikat-malaikat yg selalu mengikutinya bergiliran, di muka serta di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah nir membarui keadaan sesuatu kaum sebagai akibatnya mereka mengubah keadaan yg terdapat pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak terdapat pelindung bagi mereka selain Dia.”

2. Kewajiban orang lain
Al-Qur’an mewajibkan kepada setiap muslim buat berpartisipasi menanggulangi kemiskinan sinkron dengan kemampuannya. Bagi yg nir memiliki kemampuan material, minimal beliau bisa mencicipi, memikirkan serta mendorong pihak lain buat berpartisipasi. Namun yang krusial buat diperhatikan merupakan menggantungkan penanggulangan duduk perkara kemiskinan semata-mata pada orang lain menggunakan mengharapkan sumbangan sukarela tanpa adanya upaya buat menaikkan kehidupan diri, akan menyebabkan nir akan tercapainya suatu kehidupan yg berpindah dari pola mengharapkan uluran tangan orang lain.

3. Kewajiban pemerintah
Pemerintah pula berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga negara, melalui sumber-sumber dana yang absah.

Wakaf Tunai: Solusi Alternatif Dalam Rangka Memberdayakan Ekonomi Rakyat
Menurut Miriam Hoexter dalam Najib (2006), menurut aneka macam bentuk filantropi Islam, yaitu zakat, sedekah, dan wakaf, hanya wakaf yg menjadi institusi aturan yang berkembang secara penuh. Dalam Islam dalam awalnya seluruh bentuk kedermawanan berada pada payung sedekah (sadaqat). Pada kurang lebih abad ke-8 dan 9, ada pemaknaan yang membedakan banyak sekali macam bentuk derma, misalnya hiba (hadiah) atau waqf (wakaf). Zakat dipandang sebagai kewajiban keagamaan dan merupakan galat satu pilar Islam. Sedekah pada perkembangannya mengacu pada sedekah-sedekah sukarela dan pada jumlah kecil, umumnya diserahkan kepada para kaum papa. Sedangkan wakaf diinstitusionalisasi dan diatur secara aturan. Karenanya, wakaf merupakan keliru satu lembaga filantropi yg dapat tumbuh sebagai bentuk filantropi Islam yg paling terkenal. Ini dimungkinkan karena, berdasarkan Hoexter, popularitas dan regulasi wakaf bisa menggunakan mudah dikaji menjadi konsep karitas yg terpadu pada institusi, cara beroperasi, serta bentuk-bentuk spesifiknya, dibandingkan dengan banyak sekali organisasi filantropi dalam budaya lain.

Di Indonesia, praktik wakaf disinyalir telah terdapat semenjak masuknya Islam ke nusantara, terutama sehabis berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Tetapi, kegiatan wakaf baru terlihat konkret pada sekitar akhir abad ke 15 M serta awal abad ke 16 M. Dewasa ini aneka macam peninggalan wakaf tersebar luas di banyak sekali kota pada penjuru tanah air. Selain wakaf pendidikan yang cukup sukses, secara generik wakaf lebih banyak didedikasikan menjadi cerminan penghambaan seorang Muslim kepada Tuhannya; ini didorong oleh motif mendambakan rumah pada surga -misalnya diisyaratkan pada hadis, “barang siapa membentuk masjid di dunia, maka Tuhan akan mengembangkan istana untuknya pada surga ”. Akibatnya, wakaf yg terdapat lebih berwujud tanah dan masjid dan yang dipatrikan buat kepentingan keagamaan.

Pemberian wakaf dalam bentuk benda berkiprah misalnya wakaf uang dan surat berharga masih nisbi baru di rakyat. Memang, waktu ini wakaf benda beranjak sudah diakomodir dalam UU Wakaf No. 41 tahun 2004 misalnya diklaim dalam Pasal 16 ayat tiga. Meski begitu, dalam literatur fikih sendiri poly silang pendapat dalam wakaf benda berkecimpung terutama wakaf tunai lantaran dievaluasi tidak memenuhi unsur kekekalan.

Di Indonesia, kerangka fikih yg dianut warga lebih dekat menggunakan bangunan fikih Mazhab Syafi’i yg lebih kaku dalam memahami aneka macam problem wakaf. Dalam hal wakaf uang, misalnya, mazhab ini cenderung berkeberatan karena uang dianggap tidak lestari serta cepat habis. Walaupun lebih berlandaskan Mazhab Syafi’i, rakyat terutama pengelola wakaf, dalam taraf eksklusif, lebih terbuka buat membentuk perspektif fikih yang lebih adaptif menggunakan perubahan. Mereka umumnya memandang positif pembaruan fikih wakaf. Mereka termasuk Majelis Ulama Indonesia sepakat dengan pandangan fikih pada masa ini yang membolehkan wakaf uang (cash waqf).

Indonesia mempunyai penduduk Muslim paling akbar pada global. Namun sayang, upaya pengentasan kemiskinan melalui pengembangan usaha mikro belum dilakukan menggunakan sepenuh hati sang semua stakeholders secara bersamaan.

Beberapa program yg pernah dicanangkan, acapkali kandas pada tengah jalan. Sebagai contoh, acara Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PBHK) yg digagas Bank Indonesia. Sejak dirintis dalam tahun 1989 hingga tahun 2001, program tadi berjalan baik. Kegiatan ini terealisasi pada 23 provinsi dan mampu membantu 1.026.810 kepala keluarga. Total kredit yang disalurkan Rp. 331 miliar serta memobilisasi tabungan beku (akumulasi) Rp. 29,5 miliar. Tingkat pengembalian kredit program ini 97,tiga %.

Sayangnya, UU Bank Sentral No. 23/1999 memasung kegiatan ini. Program tersendat karena merujuk UU tadi Bank Indonesia nir diperkenankan lagi menjalankan kredit program. Padahal menelisik kondisi negara tetangga, acara ini juga menuai sukses. India contohnya sukses melayani 20 juta warga mikro (Gamal, 2007).

Islam, sebagai agama yang paling banyak penganutnya pada Indonesia, pada ibadah ritual sholat, mengajarkan bahwa sholat berjamaah jauh lebih mulia daripada sholat yang dilakukan secara individu bernilai ibadah satu, namun jika berjamaah nilainya menjadi 27 untuk seseorang individu. Tak hanya itu, sholat berjamaah melahirkan sinergi.

Ritual sholat melambangkan bahwa sesuatu yg dilakukan beserta membuat nilai lebih bukan hanya kepada masing-masing individu, tapi juga pada seluruh jamaah sebagai sebuah komunitas. Demikian pula pada menaikkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kerja sama ekonomi, nilai kejamaahan diwujudkan dalam bentuk kemitraan sejajar antar-stakeholders.

Untuk itu kemitraan menjadi wahana absolut buat mewujudkan kesejahteraan warga . Kemitraan diartikan menjadi kolaborasi antara pemilik kapital dan orang yang memiliki keahlian atau peluang bisnis dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, serta saling menguntungkan.

Penggunaan sistem kemitraan menggunakan nilai-nilai kejamaahan diharapkan bisa menanggulangi permasalahan modal serta peluang usaha yang terjadi selama ini. Kejamaahan menyuburkan kemampuan wirausaha rakyat miskin. Sehingga, bisnis mini serta mikro bisa menyumbang kepada output, lapangan kerja, serta distribusi pendapatan.

Pentingnya mewujudkan rakyat yang sejahtera, adil dan selaras menjadi kepedulian para pengelola forum wakaf pada Indonesia. Lembaga wakaf, utamanya yg berbasis organisasi serta badan hukum, sanggup sebagai keliru satu lembaga masyarakat sipil alternatif yg bergandengan tangan dengan organisasi warga sipil lainnya pada menuntaskan duduk perkara bangsa. Harapan ini amat lumrah dialamatkan kepada forum wakaf, mengingat ia adalah lembaga endownment masyarakat Muslim yang telah mengakar pada kehidupan rakyat berdasarkan generasi ke generasi.

Harus disadari bahwa wakaf, nir terkecuali wakaf tunai merupakan dana publik. Karena dana wakaf dihimpun menurut warga luas yg menggunakan senang rela menyisihkan hartanya buat diwakafkan. Wakaf seyogyanya pada manfaatkan buat kepentingan rakyat luas jua. Karena itu, agar pemanfaatan wakaf buat kepentingan luas maksimal , pengelolaannya harus dilakukan secara profesional, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan.

Karena itu, forum pengelola wakaf tunai seyogyanya memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Memiliki akses yang baik pada calon wakif
  2. Memiliki kemampuan untuk menginvestasikan dana wakaf
  3. Mampu untuk mendistribusikan hasil/keuntungan menurut investasi dana wakaf
  4. Memiliki kemampuan buat mencatat segala hal yg berkaitan menggunakan beneficiary, contohnya rekening dan peruntukannya
  5. Lembaga pengelola wakaf tunai hendaknya dianggap sang masyarakat serta kinerjanya dikontrol sesuai dengan peraturan perundang-undangan yg berlaku terhadap forum pengelola dana publik.
Lembaga yg dapat dipercaya serta memenuhi kriteria untuk mengelola wakaf tunai adalah perbankan syariah berhubungan menggunakan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) serta institusi lainnya misalnya digambarkan pada skema ini dia:


Keterangan:
Program Kemitraan Syariah dilakukan bersama-sama antara:
  1. Pemerintah 
  2. Kelompok Usaha Besar dan Menengah 
  3. Lembaga Keuangan Syariah 
  4. Ulama 
  5. Tim Pendampingan (pengembangan manajemen, bisnis, serta pasar)