KEADILAN DALAM EKONOMI

Keadilan Dalam Ekonomi
Salah satu berdasarkan tiga pilar kekuatan yang mempengaruhi keadaban publik adalah sektor ekonomi atau kominitas usaha, dan fairness atau keadilan menjadi kunci pada aktivitas poros ke 2 ini karena menyangkut kasus pembagian barang dan jasa yang terbatas pada semua orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan keuntungan atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya dari barang dan jasa yg terbatas. Penekanan dalam paradigma ini merupakan “maksimalisasi” dan “terbatas”. Bagi seseorang konsumen atau pengguna barang dan jasa, taraf kegunaan diukur dengan tingkat kepuasan, kesehatan, ketenangan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, menggunakan aturan yang terbatas, seseorang berusaha menerima tempat tinggal baru yg memberinya ketenangan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang serta jasa atau penghasil, taraf kegunaan diukur dengan tingkat profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yang dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikannya pendapatan paling tinggi, atau dengan modal dan energi kerja yang ada, seseorang pembuat berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan laba paling tinggi baginya. 

Karena kelangkahan selalu ada  pada ekonomi (atau pada kehidupan insan secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang serta jasa tidak pernah sanggup dilepaskan menurut keadilan. Keadilan atau ketidakadilan nir akan menjadi suatu masalah jika barang dan jasa atau asal daya yg ada berlimpah sampai tidak terdapat harganya, seperti air bahari, angin dan mata hari, atau apabila di suatu daerah yg sangat luas serta sangat kaya akan asal daya alam hanya terdapat segelintir manusia. Semakin langka barang serta jasa atau sumber daya (sementara, jumlah penduduk bertambah terus), semakin akbar perkara distribusi, yg berarti semakin akbar kasus keadilan di pada ekonomi. 

Keadilan pula merupakan suatu topik penting dalam etika. Seperti yang dapat dikutip dari Bertens (2000) 
sebagai berikut: sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tidak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi merupakan menyangkut etika usaha, lantaran usaha merupakan kegiatan ekonomi. 

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yg kentara bahwa keadaban publik dilihat menurut aspek 
ekonominya merupakan menyangkut pendistribusian secara adil barang serta jasa ke semua orang sinkron proporsinya masing-masing. Ketidakadilan pada ekonomi terjadi pada aneka macam aspek, mulai berdasarkan ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan menerima pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat kaitannya menggunakan perkara kemiskinan serta kesenjangan. Adalah tidak mungkin buat mengungkapkan bahwa suatu bangsa sangat mudun jika pada negara tadi sebagian akbar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian besar petaninya adalah petani gurem, serta poly industri mengerjakan buruh anak-anak yg dibayar sangat murah (pendayagunaan anak-anak). 

Etika Bisnis serta Keadilan. 
Bisnis merupakan kegiatan ekonomi, atau ekonomi merupakan kegiatan usaha. Dari sudut pandang ekonomi, usaha 
yang baik adalah yg selalu menghasilkan keuntungan besar . Di pada teori pembuat (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin menggunakan biaya seminimum mungkin. Maksimalisasi keuntungan adalah tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini adalah impian, atau dasar menurut perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat semenjak era merkantilisme dalam abad ke 18 kemudian. Ini jua yg mendorong negara-negara pada Eropa Barat melakukan perluasan ke Afrika, Timur Tengah dan Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yg diawali menggunakan misi dagang dari V.O.C. Yang akhirnya menjajah Indonesia. 

Kalau memaksimalkan laba menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka menggunakan sendirinya akan timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi menggunakan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; jikalau sanggup nir mengeluarkan satu senpun porto yg berakti buru-burunya nir digaji. Hingga saat ini poly sekali perkara yang bisa dilihat yg merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh bisa disebut di sini. Pertama, galat satu atau bahkan dapat dikatakan menjadi motivasi utama menurut perusahaan-perusahaan pada negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari energi kerja murah. Kedua, poly perusahaan di Indonesia lebih senang menggunakan buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai permanen demi keuntungan perusahaan. Ketiga, banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala mini , bukan karena ingin berbagi keuntungan menggunakan mereka melainkan buat mengurangi porto produksi dan sekaligus menggeser resiko usaha dampak perubahan pasar secara datang-tiba ke para pemasok-pemasok tadi. Sedangkan menurut sudut pandang moral, bisnis yg selalu membuat keuntungan besar nir selalu dipercaya sebaga bisnis yang mengagumkan, jika keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan misalnya misalnya membayar upah yg sangat murah atau menggunakan cara penipuan, misalnya menggunakan bahan baku yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, misalnya pada perkara memahami menggunakan menggunakan bahan pengawet formalin. 

Kasus formalin ini merupakan satu model konkrit berdasarkan suatu perilaku pengusaha/pelaku bisnis yg telah melanggar etika pada usaha atau yang generik dianggap etika bisnis. Namun apakah etika bisnis itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yg baik, baik dalam diri seseorang maupun 
pada suatu masyarakat atau gerombolan masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hayati yg baik, serta segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan menurut satu orang ke orang lain atau menurut satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf berkata bahwa etika bisa dirumuskan menjadi refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai serta norma yg menyangkut bagaimana insan harus hayati baik menjadi insan; serta mengenai (b) perkara-masalah kehidupan insan dengan mendasarkan diri dalam nilai dan kebiasaan-kebiasaan moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yg manusiawi dalam melakukan bisnis, atau melakukan bisnis sinkron kebiasaan-kebiasaan moral yg generik diterima. 

Masalah etika bisnis nir hanya pada taraf pengusaha/perusahaan secara individu, tetapi pula pada tingkat nasional, baik yg dilakukan sang masyarakat secara generik atau pemerintah. Yang dilakukan oleh warga , contohnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yg terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yg dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak pada stadion F. Kennedy pada Philadelphia, Amerika Serikat, serta di stadion Wembley pada London, Inggris, dalam 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan buat mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu lalu ada kaset-kaset rekaman konser tersebut pada sejumlah negara di Timur Tengah dan pula pada Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tersebut mencantumkan made in Indonesia, serta bahkan terdapat yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut warta menurut Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman pada Indonesia yg terlibat pada dalam pembajakan kaset tadi. 

Sedangkan pelanggaran etika bisnis yg dilakukan pemerintah Indonesia selama ini mampu dilihat misalnya adalah pada kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menekankan keadilan pada ekonomi, semenjak pemerintahan Orde Baru sampai waktu ini nir ada bisnis mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani sang masyarakat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (paling akhir), jumlah famili tani tanpa huma atau dengan huma kurang dari 0,lima hektar (diklaim petani gurem) meningkat terus. 

Jadi, dari uraian diatas bisa dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan usaha yang nir merugikan galat satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), terdapat tiga sasaran dan lingkup utama etika bisnis. Pertama, etika usaha sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, serta perkara yang terkait dengan praktek bisnis yang baik serta etis. Sasaran ke 2 menurut etika usaha merupakan untuk menyadarkan warga , khususnya konsumen, buruh atau karyawan, serta warga luas sebagai pemilik aset generik seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek usaha siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara tentang sistem ekonomi yang sangat memilih etis tidaknya suatu praktek usaha. Secara konktrit, etika bisnis ini atau diklaim jua etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, serta semacamnya yg snagat menghipnotis tidak saja sehat-tidaknya suatu ekonomi namun jua baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara. 

Dari uraian pada atas, sangat kentara bahwa etika bisnis sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, serta pada hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), dari keadilan ini negara atau pemerintah wajib membagi segalanya dengan cara yg sama pada para anggota masyarakat. Konkritnya pada aspek sosial ekonomi merupakan memberikan kesempatan yang sama bagi semua masyarakat buat mendapatkan pendidikan yg baik, pekerjaan dengan pendapatan yg baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan timbul apabila contohnya pemerintah mengistimewakan orang-orang eksklusif yang nir mempunyai hak spesifik, misalnya contohnya pada menerima proyek-proyek pembangunan atau izin impor misalnya poly terjadi dalam masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme adalah galat satu cara buat melanggar keadilan distributif.

Sedangkan berdasarkan Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif merupakan distribusi ekonomi yg merata tau yg dianggap adil bagi semua rakyat negara. Dengan istilah lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-output pembangunan. (hal. 142). Tetapi kini pertanyaannya merupakan:  apa yg sebagai dasar pembagian yg adil itu, apakah sama rata atau sesuai kiprah serta sumbangan masing-masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yg berkata bahwa pembagian sanggup dikatakan adil apabila seluruh orang menerima bagian yg sama. Jadi, dasar pemikiran menurut teori ini adalah bahwa membagi menggunakan adil berarti membagi homogen. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini jua merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki mutlak dan feodalisme pada abad ke 18 serta revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yg menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini jua yg melandasi sistem pemilihan umum dibanyak negara-negara maju menggunakan sistem ”one person one vote”. 

Kedua, teori sosialistis yg memilih prinsip kebutuhan setiap orang menjadi dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan rakyat adil, jika kebutuhan seluruh warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang, pangan, serta papan. Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh pada konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal 2 prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yg berat harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan menurut seluruh masyarakat masyarakat, serta bagaimana hal-hal yg lezat buat diperoleh wajib diberikan sinkron kebutuhan. Contoh berdasarkan prinsip pertama tersebut contohnya adalah setiap rakyat punya hak yang sama buat mendapatkan pekerjaan yg layak, termasuk orang-orang stigma, namun orang-orang yg menyandang stigma badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, nir seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja menggunakan syarat tubuh yg prima. Sedangkan model berdasarkan prinsip kedua itu adalah contohnya gaji atau upah dikatakan adil apabila sinkron dengan kebutuhan pekerja. 

Ketiga, teori liberalistis yang menduga pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang nir adil. Menurut teori ini, pembagian harus berdasarkan dalam bisnis-bisnis bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang nir berusaha tidak memiliki hak pula buat memperoleh sesuatu. Jadi yg bekerja keras mendapat lebih poly dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, fokus berdasarkan teori ini adalah prestasi yg ditinjau menjadi perwujudan pilihan bebas seseorang. Tentu ada kasus serius menggunakan teori ini, dalam ketika seseorang tidak sanggup berprestasi karena stigma atau orang yg menganggur diluar kemauannya sendiri, serta sebagainya. Dua teori pertama tadi dalam prakteknya memiliki kasus, terutama pada ekonomi. Dalam teori pertama, ini ialah upah yang diterima seseorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan. Walaupun seorang berprestasi jauh lebih mengagumkan dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, serta ini tentu sesuatu yg nir adil. Demikian pula perkara menggunakan teori ke 2. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana seluruh orang dijamin kebutuhan ekonominya secara nisbi sama terlepas menurut sumbangan dan kiprah atau prestasinya bagi kehidupan beserta atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang nir adil, lantaran setiap masyarakat akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama homogen malahan menyebabkan ketidakadilan.
Keadilan distributif tak jarang jua dianggap sebagai istilah lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang nir 
sependapat menggunakan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial harus dibedakan menggunakan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yg paling baik buat menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya menggunakan keadilan individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya tidak sama. Bertens (2000) mengungkapkan menjadi berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam aplikasi keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja nir berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung menurut struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, serta sebagainya. Keadilan sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur warga nir memungkinkan. Lantaran itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural serta kemiskinan struktural. (hal.92). 
Menurut Bertens (1997, 2000), bila keadilan merupakan merupakan menaruh pada setiap orang yang sebagai 
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan serta hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) menyebutkan Keadilan individual sering kali bisa dilaksanakan menggunakan sempurna. Lantaran kompleksitas rakyat terkini, keadilan sosial nir pernah bisa dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan pada rakyat, seperti contohnya dinaikkannya pajak, bisa menyebabkan ketidakadilan struktural buat golongan tertentu. Keadilan sosial merupakan asa yang sanggup dihampiri semakin dekat, akan tetapi nir pernah bisa direalisasikan dengan paripurna. (hal.93-94). Jadi yang dimaksud di sini merupakan bahwa di satu rakyat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari pada pada masyarakat lain, misalnya contohnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yg pelayanan sosialnya sangat baik. Namun mudah tidak terdapat satu rakyat atau negara pun di mana nir ada kasus keadilan sosial. 

Ekonomi Berazas Pancasila 
Keadilan pada ekonomi pula dalam dasarnya adalah peradaban ekonomi Indonesia yang dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi semua warga Indonesia, sila kemanusian yg adil serta mudun, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan tiga sila yg sifatnya paling asasi. Dari sini timbul 
ungkapan yang telah sebagai standar “warga yang adil serta makmur”. Dua pengertian ini tidak mampu dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain serta beserta-sama mensyaraktan kehidupan masyarakat Indonesia yg baik Keadilan nir akan tercapai apabila nir tersedia barang yang relatif untuk memenuhi kebutuhan hayati semua rakyat, sedangkan di sisi lain, kemakmuran tidak akan mengklaim tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia nir dibagikan secara merata keseluruh warga warga (Bertens, 2000). 

Keadilan dalam ekonomi seringkali dikaitkan dengan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, buat mencapai rakyat adil sejahtera diharapkan selain demokrasi politik pula demokrasi ekonomi yg berdasarkan perikemanusiaan serta keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yg cocok menggunakan kehidupan asli rakyat Indonesia yg biasa bermusyawarah buat mufakat (Karman, 2006). 

Keadilan dalam perekonomian Indonesia jua ditegaskan pada pada pidato Supomo pada penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip berdasarkan Suwarno (1993), Dalam negara yang dari integralistik, yg berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus sang negara sendiri, akan namun pada hakekatnya negara yang akan menentukan dimana serta dimasa apa serta perusahaan apa yg akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau sang pemerintah wilayah atau yg akan diserahkan lepada sesuatu badan hukum prive atau pada seorang, itu seluruh tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan warga seluruhnya Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yg menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yg penting buat negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai rakyat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hayati menurut kaum tani serta negara wajib menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga sang karena kekeluargaan itu sifatnya masyarakat Timur, yg harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai galat satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). 

Di pada UUD 1945, kehidupan masyarakat pada bidang sosial-ekonomi diatur oleh pasal-pasal 27 ayat dua, pasal 33, serta pasal 34. Dinyatakan pada pada pasal-pasal tadi bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan serta kehidupan yang layak bagi humanisme. Ini ialah setiap warganegara Indonesia wajib mendapatkan pekerjaan supaya beliau dapat memperoleh penghidupan yg layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun terdapat warganegara Indonesia yang nir menerima pekerjaan (menganggur), beliau tetap mempunyai hak untuk menerima kehidupan layak. Ini berarti, jika ia bekerja, beliau berhak menerima upah yang manusiawi, pada arti dengan upah tersebut dia bisa hayati layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah mempunyai tanggung jawab penuh dalam menaruh kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan di pada pasal 34 yg mengungkapkan bahwa orang miskin serta anak-anak yang terlantar dipelihara sang negara. 

Di dalam ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai bisnis bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yg menguasai hajat hayati orang poly dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipakai sebesar-besarnya buat kemakmuran warga . Walaupun pada pada ayat ini diklaim secara eksplisit koperasi, namun di dalam empiris, asas kekeluargaan bisa jua dipraktekkan dalam bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yang dijelaskan sang Suwarno (1993) sebagai berikut, bisa jua menggunakan usaha-bisnis moderen dengan pengaturan sedemikian rupa, sehingga bisnis-bisnis yg bisa diurus sang kelompok-gerombolan masyarakat yg kurang kuat pada permodalan hendaknya diserahkan pada mereka itu tidak semuanya diusahakan sang yg bertenaga permodalannya, sebagai akibatnya menjadi konglomerat yg menguasai cabang-cabang produksi berdasarkan hulu sampai hilar tanpa residu sedikit pun buat loka usaha kelompok yang lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan bisa juga diterapkan pada pengelolaan perusahaan akbar, yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sebagai akibatnya para buruh sanggup membeli saham perusahaan relatif berarti.(hal.135). 

Tetapi, memang pada kenyataannya, keadilan ekonomi seperti yang diamanatkan sang Pasal 33 tadi, sulit sekali direalisasikan. Seperti yg dapat dikutip menurut Karman (2006), ongkos bernegara terlalu besar merampas kemakmuran yang seharusnya milik masyarakat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri pada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan kiprah penting dalam mengelola sendiri kekayaan alam Perekonomian bangsa berjalan pada luar amanat konstitusi Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan seperti pelaku industri manufaktur yg harus berjuang pada sistem mekanisme pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar hasil produksi petani tak sebanding ongkos produksi dan porto hayati sehari-hari (hal.6) 

Praktek-praktek ketidakadilan dalam ekonomi, baik yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh penghasil kebijakan, yang nir sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini sudah mengakibatkan poly pertarungan dalam perekonomian nasional, mulai dari taraf makro sampai mikro yang menghasilkan antara lain kemiskinan dan kesenjangan. 

KEADILAN DALAM EKONOMI

Keadilan Dalam Ekonomi
Salah satu dari tiga pilar kekuatan yg mensugesti keadaban publik merupakan sektor ekonomi atau kominitas usaha, serta fairness atau keadilan menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini karena menyangkut kasus pembagian barang dan jasa yg terbatas kepada seluruh orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang memaksimalkan laba atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya menurut barang serta jasa yang terbatas. Penekanan pada paradigma ini adalah “maksimalisasi” serta “terbatas”. Bagi seseorang konsumen atau pengguna barang serta jasa, tingkat kegunaan diukur menggunakan tingkat kepuasan, kesehatan, kenyamanan, keamanan, atau kesejahteraan. Misalnya, menggunakan aturan yg terbatas, seseorang berusaha menerima tempat tinggal baru yang memberinya kenyamanan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang dan jasa atau penghasil, taraf kegunaan diukur dengan taraf profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yg dimilikinya, setiap orang akan mencari pekerjaan yg memberikannya pendapatan paling tinggi, atau menggunakan modal serta energi kerja yg terdapat, seorang pembuat berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan laba paling tinggi baginya. 

Karena kelangkahan selalu muncul  pada ekonomi (atau pada kehidupan manusia secara umum), kekayaan atau kepemilikan barang serta jasa tidak pernah sanggup dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak akan menjadi suatu masalah jika barang serta jasa atau sumber daya yang terdapat berlimpah hingga nir ada harganya, seperti air laut, angin dan mata hari, atau bila pada suatu daerah yang sangat luas serta sangat kaya akan sumber daya alam hanya terdapat segelintir manusia. Semakin langka barang serta jasa atau asal daya (ad interim, jumlah penduduk bertambah terus), semakin akbar masalah distribusi, yg berarti semakin akbar perkara keadilan pada pada ekonomi. 

Keadilan juga merupakan suatu topik krusial pada etika. Seperti yang bisa dikutip berdasarkan Bertens (2000) 
sebagai berikut: sulit sekali buat dibayangkan orang atau instansi yg berlaku etis namun tidak mempraktekkan keadilan atau bersikap tak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi adalah menyangkut etika usaha, karena bisnis merupakan aktivitas ekonomi. 

Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yang kentara bahwa keadaban publik dipandang berdasarkan aspek 
ekonominya merupakan menyangkut pendistribusian secara adil barang serta jasa ke semua orang sinkron proporsinya masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi pada berbagai aspek, mulai dari ketimpangan dalam pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian sampai kesempatan menerima pendidikan. Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan pada ekonomi erat kaitannya menggunakan kasus kemiskinan dan kesenjangan. Adalah tidak mungkin untuk menyampaikan bahwa suatu bangsa sangat beradab apabila pada negara tersebut sebagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian akbar petaninya merupakan petani gurem, dan banyak industri mengerjakan buruh anak-anak yang dibayar sangat murah (eksploitasi anak-anak). 

Etika Bisnis serta Keadilan. 
Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah aktivitas bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, usaha 
yang baik merupakan yg selalu membuat keuntungan akbar. Di pada teori pembuat (teori ekonomi mikro), dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari laba sebesar mungkin menggunakan porto seminimum mungkin. Maksimalisasi laba adalah tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini adalah keinginan, atau dasar berdasarkan perkembangan kapitalisme liberal yg tumbuh pesat sejak era merkantilisme pada abad ke 18 kemudian. Ini pula yang mendorong negara-negara pada Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah serta Asia, seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang berdasarkan V.O.C. Yang akhirnya menjajah Indonesia. 

Kalau memaksimalkan keuntungan sebagai satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan ada keadaan yg nir etis. Lantaran, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi menggunakan cara mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; jika sanggup nir mengeluarkan satu senpun porto yg berakti buru-burunya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali perkara yg dapat ditinjau yg merefleksikan dasar pemikiran bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut pada sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai motivasi primer berdasarkan perusahaan-perusahaan pada negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke negara-negara sedang berkembang adalah mencari energi kerja murah. Kedua, poly perusahaan pada Indonesia lebih senang memakai buruh tanggal atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga, poly perusahaan-perusahaan pada sektor industri manufaktur di Indonesia serta dibanyak negara lainnya melakukan subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin mengembangkan laba dengan mereka melainkan buat mengurangi porto produksi serta sekaligus menggeser resiko usaha akibat perubahan pasar secara datang-datang ke para pemasok-pemasok tersebut. Sedangkan berdasarkan sudut pandang moral, usaha yg selalu menciptakan laba akbar tidak selalu dianggap sebaga usaha yg rupawan, apabila laba tersebut didapat menggunakan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai bahan standar yang rendah kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, misalnya pada masalah tahu dengan menggunakan bahan pengawet formalin. 

Kasus formalin ini adalah satu model konkrit berdasarkan suatu perilaku pengusaha/pelaku bisnis yang telah melanggar etika dalam bisnis atau yang umum dianggap etika bisnis. Namun apakah etika usaha itu sendiri? Menurut Keraf (1998) etika berkaitan menggunakan norma hidup yang baik, baik pada diri seseorang juga 
pada suatu warga atau grup rakyat. Ini berarti etika berkaitan menggunakan nilai-nilai, rapikan cara hayati yang baik, anggaran hayati yg baik, dan segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan berdasarkan satu orang ke orang lain atau menurut satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yg luas, Keraf menyampaikan bahwa etika bisa dirumuskan menjadi refleksi krisis dan rasional tentang: (a) nilai serta kebiasaan yang menyangkut bagaimana manusia wajib hayati baik sebagai manusia; dan mengenai (b) perkara-perkara kehidupan manusia menggunakan mendasarkan diri dalam nilai serta kebiasaan-norma moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara sederhana etika usaha bisa dirumuskan sebagai cara-cara yg baik, yang manusiawi pada melakukan usaha, atau melakukan usaha sinkron kebiasaan-norma moral yg umum diterima. 

Masalah etika usaha nir hanya pada taraf pengusaha/perusahaan secara individu, namun juga pada tingkat nasional, baik yg dilakukan sang masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan sang warga , misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan misalnya yg terjadi dalam perkara kaset musik hasil Live Aid yg dipimpin sang Bob Geldof serta diselenggarkan serentak pada stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat, serta pada stadion Wembley di London, Inggris, dalam 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan buat mengumpulkan dana untuk membantu korban kelaparan pada Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu lalu muncul kaset-kaset rekaman konser tadi di sejumlah negara di Timur Tengah serta juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset tadi mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan terdapat yg menggunakan pita cukai Indonesia. Menurut kabar menurut Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yg terlibat pada pada pembajakan kaset tersebut. 

Sedangkan pelanggaran etika bisnis yg dilakukan pemerintah Indonesia selama ini sanggup dilihat contohnya adalah dalam perkara pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia mempunyai Undang-Undang Agraria dan UUD 1945 Pasal 33 menekankan keadilan pada ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru sampai waktu ini nir ada bisnis mencegahan terhadap “perampasan” tanah milik petani oleh rakyat kaya. Akibatnya, seperti yang akan dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 serta 2003 (paling akhir), jumlah famili tani tanpa lahan atau menggunakan lahan kurang menurut 0,5 hektar (disebut petani gurem) meningkat terus. 

Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak merugikan keliru satu pihak atau menguntungkan ke 2 belah pihak. Menurut Keraf (1998), terdapat tiga sasaran serta lingkup utama etika usaha. Pertama, etika usaha sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, syarat, serta perkara yang terkait dengan praktek usaha yang baik serta etis. Sasaran kedua berdasarkan etika usaha adalah buat menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset generik misalnya lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yg nir boleh dilanggar sang praktek bisnis siapa pun jua. Ketiga, etika usaha dalam tingkat makro, yakni berbicara tentang sistem ekonomi yang sangat menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika usaha ini atau diklaim pula etika ekonomi berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, serta semacamnya yg snagat mempengaruhi nir saja sehat-tidaknya suatu ekonomi namun juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis pada suatu negara. 

Dari uraian pada atas, sangat kentara bahwa etika usaha sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, dan dalam hal ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah wajib membagi segalanya menggunakan cara yg sama pada para anggota warga . Konkritnya dalam aspek sosial ekonomi merupakan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat buat mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan menggunakan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”. Ketidakadilan ada bila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang eksklusif yg tidak memiliki hak khusus, misalnya contohnya pada menerima proyek-proyek pembangunan atau biar impor seperti banyak terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme merupakan salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif.

Sedangkan menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yg merata tau yg dianggap adil bagi semua rakyat negara. Dengan istilah lain, keadilan distributive menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau output-hasil pembangunan. (hal. 142). Namun kini pertanyaannya merupakan:  apa yg menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai kiprah serta sumbangan masing-masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif. Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian sanggup dikatakan adil apabila semua orang menerima bagian yang sama. Jadi, dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil berarti membagi rata. Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini jua merupakan keyakinan umum masyarakat Perancis pada revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme dalam abad ke 18 serta revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence dalam tahun 1776 yg menegaskan ”All men are created equal”. Pemikiran ini jua yg melandasi sistem pemilihan generik dibanyak negara-negara maju dengan sistem ”one person one vote”. 

Kedua, teori sosialistis yang menentukan prinsip kebutuhan setiap orang menjadi dasar pemikirannya. Menurut teori ini, kehidupan masyarakat adil, bila kebutuhan seluruh warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan pakaian, pangan, serta papan. Secara nyata, sosialisme terutama memikirkan masalah-perkara pekerjaan bagi kaum buruh pada konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal 2 prinsip, yakni bagaimana beban atau hal-hal yg berat wajib dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan menurut semua warga rakyat, serta bagaimana hal-hal yg enak buat diperoleh wajib diberikan sesuai kebutuhan. Contoh berdasarkan prinsip pertama tersebut contohnya merupakan setiap warga punya hak yg sama buat mendapatkan pekerjaan yg layak, termasuk orang-orang cacat, tetapi orang-orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yg diberikan pada pekerja-pekerja dengan syarat tubuh yg prima. Sedangkan contoh dari prinsip kedua itu merupakan misalnya honor atau upah dikatakan adil apabila sinkron dengan kebutuhan pekerja. 

Ketiga, teori liberalistis yg menduga pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yg tidak adil. Menurut teori ini, pembagian wajib berdasarkan pada usaha-bisnis bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang tidak berusaha tidak memiliki hak pula buat memperoleh sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih banyak dibandingkan yg malas bekerja. Jadi, fokus dari teori ini merupakan prestasi yang dipandang sebagai perwujudan pilihan bebas seorang. Tentu terdapat kasus berfokus dengan teori ini, pada saat seseorang tidak bisa berprestasi karena stigma atau orang yg menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya. Dua teori pertama tadi pada prakteknya mempunyai masalah, terutama pada ekonomi. Dalam teori pertama, ini adalah upah yg diterima seseorang buruh pabrik sama dengan pendapatan menurut pimpinan perusahaan. Walaupun seorang berprestasi jauh lebih mengagumkan dibandingkan orang lain, gaji mereka permanen sama, dan ini tentu sesuatu yang tidak adil. Demikian pula masalah dengan teori kedua. Keadilan distributif yg dianut oleh ekonomi sosialis adalah di mana seluruh orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas berdasarkan sumbangan serta peran atau prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang tidak adil, karena setiap masyarakat akan diberi jatah sinkron menggunakan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah. Jadi, sistem pembagian sama homogen malahan menyebabkan ketidakadilan.
Keadilan distributif tak jarang jua dianggap menjadi kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak 
sependapat menggunakan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah “keadilan sosial”. Menurutnya, keadilan sosial wajib dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens (1997, 2000), cara yang paling baik buat menguraikan keadilan sosial merupakan membedakannya menggunakan keadilan individual. Dua macam keadilan ini tidak selaras, karena pelaksanaannya tidak sama. Bertens (2000) menjelaskan menjadi berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung dalam kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam aplikasi keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung berdasarkan struktur-struktur warga di bidang sosial-ekonomi, politik, budaya, serta sebagainya. Keadilan sosial tidak terealisasi, jika struktur-struktur masyarakat nir memungkinkan. Karena itu pada sini orang berbicara jua mengenai ketidakadilan struktural dan kemiskinan struktural. (hal.92). 
Menurut Bertens (1997, 2000), jika keadilan merupakan merupakan memberikan pada setiap orang yg sebagai 
haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial lainnya, maka keadilan sosial terwujud, apabila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terealisasi, bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) mengungkapkan Keadilan individual acapkali kali bisa dilaksanakan dengan paripurna. Karena kompleksitas rakyat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan pada warga , seperti misalnya dinaikkannya pajak, sanggup mengakibatkan ketidakadilan struktural buat golongan tertentu. Keadilan sosial adalah harapan yang mampu dihampiri semakin dekat, akan tetapi nir pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. (hal.93-94). Jadi yg dimaksud pada sini merupakan bahwa di satu warga atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik berdasarkan dalam di warga lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis nir terdapat satu rakyat atau negara pun pada mana tidak ada masalah keadilan sosial. 

Ekonomi Berazas Pancasila 
Keadilan pada ekonomi pula dalam dasarnya merupakan peradaban ekonomi Indonesia yg dibangun atas asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia, sila kemanusian yang adil serta mudun, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tiga sila yang sifatnya paling asasi. Dari sini timbul 
ungkapan yg telah menjadi standar “masyarakat yang adil dan makmur”. Dua pengertian ini nir mampu dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain serta bersama-sama mensyaraktan kehidupan warga Indonesia yang baik Keadilan nir akan tercapai jika nir tersedia barang yg cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh masyarakat, sedangkan pada sisi lain, kemakmuran nir akan menjamin tercapainya keadilan jiga barang yang tersedia tidak dibagikan secara merata keseluruh masyarakat masyarakat (Bertens, 2000). 

Keadilan pada ekonomi sering dikaitkan menggunakan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, buat mencapai rakyat adil sejahtera diperlukan selain demokrasi politik jua demokrasi ekonomi yg menurut perikemanusiaan serta keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yg cocok dengan kehidupan orisinil warga Indonesia yg biasa bermusyawarah buat mufakat (Karman, 2006). 

Keadilan pada perekonomian Indonesia juga ditegaskan di pada pidato Supomo pada penyusunan naskah persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip dari Suwarno (1993), Dalam negara yg menurut integralistik, yg berdasar persatuan, maka pada lapangan ekonomi akan digunakan sistem “sosialisme negara” (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan namun dalam hakekatnya negara yg akan memilih dimana serta dimasa apa dan perusahaan apa yang akan diselenggarakan sang pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan lepada sesuatu badan aturan prive atau kepada seorang, itu semua tergantung berdasarkan dalam kepentingan negara, kepentingan warga seluruhnya Begitupun mengenai hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yg penting buat negara akan diurus sang negara sendiri. Melihat sifat rakyat Indonesia menjadi rakyat pertanian, maka menggunakan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup berdasarkan kaum tani dan negara wajib menjaga supaya tanah pertanian itu permanen dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga sang lantaran kekeluargaan itu sifatnya warga Timur, yg wajib kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya digunakan menjadi galat satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106). 

Di pada UUD 1945, kehidupan masyarakat pada bidang sosial-ekonomi diatur sang pasal-pasal 27 ayat 2, pasal 33, serta pasal 34. Dinyatakan di pada pasal-pasal tadi bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini merupakan setiap warganegara Indonesia harus menerima pekerjaan supaya beliau dapat memperoleh penghidupan yg layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini, kalaupun terdapat warganegara Indonesia yg tidak mendapatkan pekerjaan (menganggur), dia tetap mempunyai hak untuk mendapatkan kehidupan layak. Ini berarti, jika beliau bekerja, dia berhak menerima upah yang manusiawi, dalam arti dengan upah tersebut dia bisa hayati layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah memiliki tanggung jawab penuh pada memberikan kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan pada dalam pasal 34 yg berkata bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. 

Di pada ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai bisnis beserta menurut atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yg menguasai hajat hidup orang banyak dan kekayaan alam dikuasai negara serta digunakan sebanyak-besarnya buat kemakmuran masyarakat. Walaupun di pada ayat ini disebut secara eksplisit koperasi, tetapi di pada empiris, asas kekeluargaan mampu jua dipraktekkan pada bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yg dijelaskan oleh Suwarno (1993) sebagai berikut, dapat jua menggunakan usaha-bisnis moderen menggunakan pengaturan sedemikian rupa, sehingga bisnis-usaha yg bisa diurus sang grup-gerombolan rakyat yg kurang kuat dalam permodalan hendaknya diserahkan kepada mereka itu nir semuanya diusahakan sang yang bertenaga permodalannya, sehingga menjadi konglomerat yang menguasai cabang-cabang produksi dari hulu hingga hilar tanpa sisa sedikit pun buat loka usaha grup yg lemah permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan dapat juga diterapkan dalam pengelolaan perusahaan besar , yaitu dengan memberi upah sedemikian rupa, sehingga para buruh bisa membeli saham perusahaan relatif berarti.(hal.135). 

Tetapi, memang dalam kenyataannya, keadilan ekonomi misalnya yang diamanatkan oleh Pasal 33 tersebut, sulit sekali direalisasikan. Seperti yang bisa dikutip dari Karman (2006), ongkos bernegara terlalu akbar merampas kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri kepada para kapitalistik. Pemerintah kehilangan peran vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam Perekonomian bangsa berjalan pada luar amanat konstitusi Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan misalnya pelaku industri manufaktur yang harus berjuang pada sistem prosedur pasar. Meski kita negara agraris, petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar output produksi petani tak sebanding ongkos produksi serta porto hidup sehari-hari (hal.6) 

Praktek-praktek ketidakadilan pada ekonomi, baik yg dilakukan sang pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh penghasil kebijakan, yg nir sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini telah menimbulkan poly pertarungan dalam perekonomian nasional, mulai menurut tingkat makro hingga mikro yg membentuk diantaranya kemiskinan dan kesenjangan. 

PRINSIPPRINSIP EKONOMI ISLAM WAWASAN ISLAM DAN EKONOMI

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Wawasan Islam Dan Ekonomi 
Kenyataan yang dihadapi ekonomi syariah saat ini adalah bahwa dia wajib berdampingan menggunakan sistem perekonomian dunia Barat yg sampai saat ini masih mendominasi perekonomian global. Dalam situasi yg demikian ini sistem prekonomian yang nir berdasarkan pada falsafah Islam bisa bertindak menggunakan cara apapun yang menguntungkan pihak mereka. Inilah suatu tantangan yang dihadapi pada pengembangan ekonomi syariah, buat itu norma-norma tindakan maupun kebijakan yg menyangkut dengan pengembangan ekonomi syariah sangat perlu diaplikasikan dalam lapangan ekonomi dan dalam hal ini kiprah Negara sangat menentukan. 

Negara merupakan institusi yang sangat krusial pada pengembangan aktifitas perekonomian, namun peranan negara tersebut pada aktifitas ekonomi suatu rakyat masih sebagai perdebatan hangat. Konsep negara pada Islam tak jarang disepadankan menggunakan rakyat yg dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah dimana dalam masa mulai berkembangnya Islam. Praktek kenegaraan yang terjadi dalam ketika itu adalah gambaran sebuah warga yg sangat ideal karena adalah gugusan antara otoritas wahyu menggunakan kemampuan intelektual insan. 

Pada masa itu tema-tema ekonomi terfokus pada masalah keadilan, pemerataan pendapatan juga pemberantasan kemiskinan melalui banyak sekali institusi. Dalam mengahadapi pembiayaan negara Nabi Muhammad mendirikan Bait-al Mall yang berfungsi menjadi lembaga keuangan negara yang mempunyai otoritas untuk mendapat zakat, shodaqoh atau pemberian lain yg diperoleh secara absah serta mendistribusikannya kepada yg memerlukan, termasuk buat membiayai pegawai pemerintahan.

Arti krusial negara pada perekonomian syariah sudah dikemukakan sang para ekonom klasik pada sejarah Islam seperti Ibnu Sina, Imam Al Ghazali juga Ibnu Khaldum. Dalam konsep mereka tugas yg paling primer menurut negara adalah melindungi rakyat negaranya buat melakukan kebebasan dan hak-hak dasar insan. Penekanan yang sangat krusial sebagaimana tema besar yg dikemukakan Rasul merupakan negara berkewajiban buat mendistribusikan kekayaan negara secara adil dan merata yg bisa menjamin kehidupan layak bagi setiap individu.

Dalam pandangan yg demikian ini peran negara dipercaya menjadi perencana, menjadi pengawas dan menjadi produsen yang sekaligus berperan sebagai konsumen. Negara bertanggungjawab memerangi praktek monopoli, penimbunan barang yg bermotif ekonomi, memberantas pasar gelap serta seluruh praktek jahat pada global usaha. Akan tetapi kiprah negara yang terpenting dalam ekonomi adalah merealisasikan ajaran agama pada suatu tindakan yang riil yg dituangkan dalam acara kerja dan kebijakan ekonomi. Tugas ini merupakan membarui pemikiran menjadi suatu tindakan konkret, mengganti nilai sebagai Undang-undang yang diterapkan secara adil serta mengubah moral sebagai empiris yang aflikatif. Tugas tadi ditunjang menggunakan mendirikan lembaga serta institusi yang bertugas menjaga, mengawasi serta berbagi sektor ekonomi menggunakan menerapkan kedisiplinan serta menghukum para pelanggar aturan.

Dalam prakteknya konsep ini diwujudkan pada suatu institusi yang dikenal dengan perbankan nasional yang berfungsi menjadi wahana pemberdayaan ekonomi rakyat, pada dunia perbankan nasional guna berbagi ekonomi syariah masih ada perkembangan baru menggunakan hadirnya Bank Syariah yg memakai sistem bagi hasil yg sebelumnya nir dikenal pada Indonesia (Anonim:2002).

Perbankan syariah yg secara resmi mulai beroperasi pada Indonesia pada tahun 1992 sudah menambah semarak sistim perbankan mengingat sebagian akbar penduduk Indonesia beragama Islam, sebagai akibatnya kehadiran bank berdasarkan syariah Islam sangat dibutuhkan sekali. Apalagi ketika ini sistem perbankan konvensional masih memakai perhitungan bunga, yg sang sebagian rakyat islam fanatis dianggap riba pada pengertian diharamkan atau dihentikan oleh kepercayaan Islam. 

Dalam sistim perbankan syariah pada Indonesia tidak dikenal istilah bunga, yg terdapat adalah sistem "bagi hasil". Istilah ini mulai dikenal dalam Undang - Undang Nomor. 7 Tahun 1992 yg disahkan lepas 25 Maret 1992 Pasal 6 Ayat 6 m, yaitu" menyediakan pembiayaan bagi nasabah dari prinsip bagi output sinkron menggunakan ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah". Berdasarkan peraturan tersebut mulai beroperasinya Bank Syariah pertama pada Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada lepas 1 Mei 1992. 

Undang Undang Perbankan No.10 tahun 1998 mempertegas keberadaan bank-bank yg beroperasi dengan prinsip syariah . Perubahan Pasal 6 alfabet m disebutkan dalam UU ini yaitu, "menyediakan dan atau melakukan kegiatan lain dari prinsip syariah sesuai menggunakan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia". Demikian penerangan pasal tadi mengalami perubahan dimana Bank Umum yang melakukan aktivitas bisnis konvensional dapat pula melakukan aktivitas usaha secara syariah melalui pendirian kantor cabang syariah atau perubahan kantor cabang konvensional sebagai cabang syariah. 

Dikeluarkannya UU Perbankan No 10 / 1998 memperlihatkan perilaku yang sangat positif terhadap keberadaan serta pengembangan perbankan syariah, bahkan lalu dikeluarkan peraturan pelaksananya yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/341KEP/DIR/1999 tentang Bank Umum menurut prinsip syariah serta Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/KEP/DIR/1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat dari syariah. Disinilah tampak kehadiran bank syariah pada Indonesia sangat urgen dan sangat menjanjikan.

Berbeda dengan sistem perkreditan yang dikenal pada bank konvesional menggunakan adanya kata bunga, maka system perbankan syariah menggunakan istilah pembiayaan buat penyaluran dananya yang mendapatkan laba melalui cara bagi hasil atau jual beli, tergantung berdasarkan bentuk atau cara penyaluran/hadiah dana. Penyaluran dana bank melalui pembiayaan ini harus tepat sinkron dengan peruntukannya sebagai akibatnya meminimalkan resiko yang mungkin muncul pada kemudian hari. Beberapa produk pembiayaan tersebut antara lain buat transaksi jual beli, buat transaksi bagi hasil dan untuk jasa.

Dalam perkembangannya saat ini sudah hadir beberapa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah baik yg beroperasi secara penuh juga pada bentuk tempat kerja cabang. Bank yg beroperasi dengan system syariah secara penuh, selain Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Syariah Mandiri dan yang membuka tempat kerja cabang syariah antara lain Bank BNI, Bank BRI, Bank IFI, Bank Bukopin, Bank Danamon, BPD Jabar, Bank Riau dan sebagainya, sedangkan bank asing yg telah membuka cabang syariah adalah Bank HSBC. Disamping bank-bank tersebut, beberapa bank sedang mempersiapkan pembukaan kantor cabang syariah, antara lain Bank DKI, Bank Niaga, Bank Bumi Putera dan pula Standart Chartered Bank. Bahkan Bank Indonesia sudah mengeluarkan izin buat pendirian satu Bank syariah baru yaitu Bank Islam Indonesia. Demikian pula banyaknya pendirian Bank Perkreditan Syariah ( BPRS ) yg baru, menambah jumlah bank yg beroperasi menggunakan sistim syariah.

Melihat fenomena begitu pesatnya perkembangan perbankan syariah di Indonesia sebagai forum yang berkecimpung dibidang ekonimi syariah, paling nir ada 3 persoalan primer yg sebagai problematik atau perseteruan dalam operasonalisasi perbankan yg bernuansa religius Islam tadi: 
  1. menyangkut menggunakan upaya yang dilakukan buat memberdayakan warga memajukan perekonomian nasional melalui sistem ekonomi syariah. 
  2. menyangkut kemampuan buat mensosialisasikan pradigma baru bagi masyarakat terutama pelaku ekonomi dalam pengembangan ekonomi syariah.
  3. menyangkut dengan kemampuan institusi atau forum termasuk intelektualitas serta profesionalisme aparat pada penyelesaian konkurensi yang timbul pada bidang ekonomi syariah.
Ketiga perseteruan ini akan mendapat sorotan serta analisis secara yuridis konsepsional dalam pembahasan, sehingga diperlukan bisa memberikan sumbangan pemikiran teoritik pada pembangunan ekonomi nasional melalui pengembangan ekonomi syariah. 

1. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Pengembangan Ekonomi Syariah
Pemberdayaan rakyat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yg merangkum nilai-nilai sosial. Konsep pemberdayaan rakyat ini mencerminkan kerangka berpikir baru pembangunan, yakni yang bersifat people centred, partisipatory, empowering and substainable. Konsep ini lebih luas maknanya dibanding menggunakan konsep ekonomi dalam pengertian sesungguhnya, pada arti konsep pemberdayaan warga bukan hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut. Konsep pemikiran pemberdayaan warga belakangan ini, poly dikembangkan menjadi upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan pada masa yg lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak pakar serta praktisi untuk mencari apa yang antara lain disebut sebagai cara lain development.

Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan menggunakan pemerataan, lantaran keduanya tidak wajib diasumsikan menjadi incompatible or antithetical. Hasil pengkajian yg dilakukan oleh International Fund for Agriculture Develonment (IFAD) terhadap aneka macam proyek yg terdapat pada aneka macam negara, memberitahuakn bahwa dukungan bagi produksi yang didapatkan warga pada lapisan bawah, ternayata sudah memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi yang lebih akbar, dibandingkan menggunakan investasi yang sama dalam sektor-sektor yg skalanya lebih akbar. Pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya menggunakan porto yang dikeluarkan lebih kecil, namun pula menggunakan devisa yang lebih mini pula. Hal terakhir ini akbar ialah bagi negara-negara berkembang yang mengalami kelangkaan devisa dan lemah posisi neraca pembayarannya.(Kwik Kian Gie:2002:4)

Untuk mengetahui seberapa jauh pemberdayaan rakyat telah berhasil, perlu ada pemantauan dan penetapan sasaran, sejauh mungkin yang bisa diukur buat dapat dibandingkan. Pemberdayaan rakyat dengan sendirinya berpusat pada bidang ekonomi, lantaran sasaran utamanya adalah memandirikan warga , dimana peran ekonomi teramat penting. Cara mengukurnya sudah poly berkembang, seperti memakai penjabaran indeks gini dengan memilih jumlah orang yg hidup pada bawah garis kemiskinan, jumlah desa miskin, peranan industri mini , nilai tukar pertanian, upah minimum serta sebagainya. 

Memberdayakan warga merupakan upaya buat menaikkan harkat dan martabat lapisan warga yang dalam syarat sekarang nir bisa buat melepaskan diri berdasarkan perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Meskipun pemberdayaaan masyarakat bukan semata-mata konsep ekonomi, namun berdasarkan sudut pandang ekonomi pemberdayaan rakyat secara tersirat mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi.

Demokrasi ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan warga di bidang ekonomi dimana kegiatan ekonomi yg berlangsung merupakan dari warga , oleh rakyat dan untuk warga . Konsep ini menyangkut masalah dominasi teknologi, pemilikan kapital, akses pasar, dominasi sumber warta serta keterampilan managemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan maka aspirasi warga yg tertampung wajib diterjemahkan sebagai rumusan-rumusan aktivitas yang konkret. Dalam kerangka pemikiran yg demikian itu, upaya buat memberdayakan warga melalui ekonomi syariah dapat ditinjau menurut tiga sisi.
Pertama: Menciptakan suasana atau iklim yg memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Disini titik tolaknya merupakan sosialisasi bahwa manusia mempunyai potensi yang bisa dikembangkan. Artinya nir ada warga yang sama sekali tanpa daya. Jadi pemberdayaan merupakan upaya untuk membentuk daya itu menggunakan mendorong serta memotivasi atau membangkitkan pencerahan potensi yang dimilikinya dan berupaya buat mengembangkannya.
Kedua; Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh warga . Dalam rangka ini diharapkan langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan banyak sekali masukan, yang akan membuat warga semakin berdaya.
Ketiga; Memberdayakan warga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan ini wajib dicegah pihak yang lemah semakin lemah oleh lantaran kekurangberdayaan menghadapi yang bertenaga.

Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan serta pemberdayaaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam interaksi sosial, ekonomi, budaya dan politik warga . Perubahan struktural yang diperlukan merupakan proses yg berlangsung secara alamiah yaitu rakyat yg menghasilkan wajib menikmati, bagitu pula kebalikannya masyarakat yang menikmati haruslah membuat jua, jadi masih ada manfaat yang secara timbal balik pada pengembangan ekonomi syariah.

Pemberdayaan warga menjadi sebuah strategi pada pengembangan ekonomi syariah sudah banyak diterima serta bahkan sudah berkembang sedemikian rupa. Sayangnya poly pemikir dan praktisi yg belum memahami serta mungkin tidak meyakini bahwa konsep pemberdayaan, adalah cara lain pemecahan terhadap persoalan-dilema pembangunan yg dihadapi. Mereka yg berpegang dalam teori-teori pembangunan contoh lama jua nir mudah mengikuti keadaan menggunakan pandangan-pandangan serta tuntutan keadilan.

2. Paradigma Baru Dalam Pembiayaan Ekonomi Syariah
Dalam ekonomi Islam pembiayaan adalah galat satu kegiatan utama bank syariah, pembiayaan ini bisa menghasilkan keuntungan atau laba yg akbar namun juga mengandung resiko yg dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan bisnis perbankan jika pembiayaan tersebut nir berjalan dengan lancar atau macet. Oleh karena itu diatur pula pembiayaan mana yg wajib dihindari yaitu pembiayaan buat spekulasi, pembiayaan pada bidang yg tidak dikuasai, pembiayaan tanpa warta keuangan yang memadai, pembiayaan pada nasabah bermasalah dan buat bank syariah wajib menghindari atau menolak suatu pembiayaan yang bertentangan menggunakan atau tidak sesuai syariah misalnya pembiayaan perdagangan minuman memabukan, tempat-tempat hiburan yg bias mengundang maksiat, monopoli serta persaingan curang meskipun laba yg diperoleh cukup tinggi.

Setiap pembiayaan yang telah diproses sesuai menggunakan ketentuan yang berlaku serta disetujui sang bank, maka persetujuan tadi wajib disepakati sang nasabah pemehon pembiayaan, baru kemudian dibentuk akad pembiayaan secara tertulis dengan memakai bentuk serta format akad atau perjanjian yg berlaku pada bank.(Afdawaiza:2002)

Kerangka aturan yang dijadikan sendi-sendi perjanjian pembiayaan syariah merupakan hukum syariah dan aturan positif. Jika pada perjanjian kredit atau pembiayaan konvensional relatif mengacu dalam aturan positif saja, maka terhadap perjanjian pembiyaan syariah sebelum produk pembiayaan syariah diterbitkan atau digunakan secara mendalam, Bank Syariah yg bersangkutan akan melakukan penelitian dan pemeriksaan buat menghindari terjadinya benturan atau deviasi aturan syariahnya.

AI-Qur'an sebagai pedoman yg utama mengatur dengan kentara, bila seseorang muslim mengadakan perjanjian menggunakan yang lainnya, maka dia berkewajiban buat memenuhi kewajiban yang diperjanjikannya sinkron menggunakan ketentuan pada Surat AI Maidah ayat 1 yg terjemahannya menjadi berikut : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”.(Anonim:1990)

Pada dasarnya struktur penyusunan perjanjian pembiayaan Bank Syariah menyerupai perjanjian kredit bank konvensional, hanya saja isi atau muatan pasal-pasalnya mengacu atau nir bertentangan menggunakan sistem syariah Islam, hal-hal yang membedakan pembiayaan Bank Syariah dengan perjanjian kredit Bank Konvensional menjadi berikut :
  1. Dalam perjanjian bank syariah kata "Perjanjian Kredit" diganti menggunakan "Perjanjian Pembiayaan" serta jua ditambahkan ayat-ayat yg berhubungan dengan perjanjian sebagaimana dimuat pada Surat Al Maaidah ayat (1) yaitu: "Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad perjanjian itu".
  2. Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah jua memuat pasal-pasal yang penting berdasarkan aturan positif serta tidak bertentangan menggunakan syariah Islam, klausula-klausula yang ada mencakup: Definisi yang dipakai termasuk istilah syariah. Keterangan mengenai fasilitas pembiayaan yg diberikan seperti besarnya jumlah pembiayaan, jangka waktu yg ditentukan serta jua jenis pembiayaannya serta penggunaan fasilitas pembiayaan
  3. Barang agunan secara syariah diatur dalam surat AI-Baqarah : 283. "apabila engkau pada perjalanan dan bermua'malah nir secara tunai, sedang kamu nir memperoleh seseorang penulis, maka hendaknya terdapat barang tanggungan yang dipegang sang yang berpiutang."
  4. Pengutamaan Pembayaran. Pada Bank Syariah tidak dikenakan hukuman terhadap setiap kewajiban pembayaran yang terlambat sebagaimana yg tidak ditetapkan pada jadwal pembayaran. 
  5. Hukum yg mengatur. Perjanjian pembiayaan permanen diatur oleh aturan sinkron menggunakan ketentuan aturan Indonesia. Suatu konkurensi yg ada atau menggunakan cara apapun yg terdapat hubungannya menggunakan perjanjian pembiayaan ini yg nir bisa diselesaikan secara tenang akan diselesaikan melalui dan berdasarkan ketentuan yg berlaku pada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sekarang diganti menjadi BASYAR ( Badan Arbitrase Syariah ).
Apabila dicermati pada masa-masa awal berjalannya ekonomi syariah pada Indonesia, terutama lima tahun pertama sejak berdirinya bank Muamalat Indonesia yg diiringi dengan krisis moneter yang melanda daerah asia terutama Indonesia, poly orang memperiksi bahwa ekonomi syariah akan kolap dan Bank Muamalat Indonesia akan bernasib sama menggunakan poly Bank Konvensional yg dilikwidasi. Faktor syarat makro ekonomi yang terpuruk dalam masa krisis moneter itu tetap memberi dampak pada bisnis di sektor riel, sebagai akibatnya poly pembiayaan yg mengalami kesulitan pada membayar kewajibannya ke pihak Bank termasuk dalam pihak Bank Muamalat. Tetapi menggunakan paradigma ekonomi syariah yg dijalankan Bank Muamalat Indonesia yg beroperasi menggunakan prinsip syariah menggunakan sistim bagi hasil, laba yg diperoleh sang penyimpanan dana pada bank baik tabungan maupun deposito sangat tergantung dari pendapatan yg diperoleh menurut pembiayaan yg disalurkan, sehingga Bank Muamalat nir mengalami syarat negatif. Semakin akbar pendapatan maka semakin akbar pula bagi output yg diterima oleh penyimpan dana baik deposito maupun tabungan, demikian juga kebalikannya. Dengan demikian Bank Muamalat bisa mengatasi likuiditas keuangannya dan bisa bertahan dalam masa krisis ekonomi.

3. Keidealan Suatu Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mengamati kegiatan ekonomi syariah yang jumlah transaksinya demikian poly, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antara pihak yg terlibat, setiap sengketa menghendaki penyelesaian yg cepat, oleh karenanya Arbitrase yg diartikan menggunakan cara penyelesaian konkurensi di luar forum litigasi atau peradilan yang diadakan sang para pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian, sangat cocok buat merampungkan perkara yg ada dalam usaha. Penyelesaian konkurensi melalui Arbitrse sudah poly dilakukan terutama dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.30 tahun 1999 mengenai Arbitrase serta Altematif Penyelesaian Sengketa. Pasal tiga UU tadi menyebutkan "Pengadilan Negeri tidak berwenang buat mengadili konkurensi para pihak yang telah terikat pada perjanjian arbitrase".

Beberapa pertimbangan yang dipakai buat memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase, lantaran penyelesaian konkurensi melalui pengadilan umumnya mahal serta sangat menyita saat dan bisa membangkitkan konfrontasi yg mendalam, sedangkan penyelesaian konkurensi melalui arbitrase nisbi masih dipercaya lebih murah serta cepat. Dengan demikian saat ini penggunaan cara penyelesaian pada luar pengadilan lebih disenangi dibandingkan menggunakan penyelesaian melalui pengadilan, terutama oleh kalangan usahawan. Ada beberapa kebaikan mekanisme Arbitrasi bila dibandingkan menggunakan penyelesaian sengketa melalui forum pengadilan yaitu:
  1. Prosedur yang cepat.
  2. Prosedur rahasia.
  3. Hemat saat.
  4. Hemat porto.
  5. Fleksibilitas yg akbar dalam merancang syarat-kondisi penyelesaian
  6. Kemungkinan buat melaksanakan kesepakatan cukup tinggi
  7. Keputusan yang bertahan sepanjang ketika.
Proses Arbitrase yg digunakan sebagai pilihan aturan jika terjadi konkurensi pada perjanjian atau akad perbankan syariah adalah penyelesaian yang mengacu kepada kaedah-kaedah hukum islam serta ketentuan aturan positif, solusinya dilakukan oleh Badan Arbitrase Syariah (BASYAR). Pada dasarnya poly hal yg menyebabkan timbulnya pembiayaan yang bermasalah dan menjadikan timbulnya kasus aturan pada bank muamalat yg akan diselesaikan melalui arbitrase, masalah tersebut antara lain:
  1. Penarikan dana sang debitur sebelum dokumentasi pembiayaan diselesaikan.
  2. Pembiayaan diberikan kepada pengusaha baru yang belum berpengalaman.
  3. Penambahan pembiayaan tanpa penambahan agunan yang kentara.
  4. Tidak terdapat bisnis bank buat mengawasi penggunaan pembiayaan tadi sebagai akibatnya timbul kemungkinan debitur menggunakannya tidak sesuai menggunakan ketentuan perjanjian kredit.
  5. Bank nir memperhatikan laporan dari pihak ketiga yg bernada kurang menguntungkan debitur.
Dalam bepergian Bank Muamalat Indonesia sampai kini telah relatif banyak perkara yg diajukan serta diselesaika melalui arbitrase syariah, sebagian akbar telah selesai dengan baik pada arti lebih cepat serta murah dibandingkan melalui pengadilan. Sedikitnya masalah yg diajukan ditimbulkan kebijaksanaan bank buat menuntaskan permasalahannya secara intern lebih dahulu, baru kemudian jika tidak terdapat penyelesaian antara pihak bank dengan nasabah diseleaikan melalui arbitrase. Syarat-kondisi dan mengikatnya perjanjian arbitrase berdasarkan pada:
  1. Perjanjian arbitrase pada intinya atau ujudnya adalah klausula arbitrase sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 angka tiga UU 30/1999.
  2. Berisi pernyataan yang tegas bahwa semua sengketa atau beda pendapat yg muncul atau yg mungkin muncul menurut hubungan hukum antara para pihak yang menciptakan perjanjian arbitrase tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase sebagaimana ditentukan dalam Pasal dua UU 30/1999.
  3. Perjanjian penyelesaian konkurensi dengan cara arbitrase dibuat secara tertulis serta bisa dibuat atau dipengaruhi baik sebelum maupun sesudah timbulnya sengketa dan ditandatangani sang para pihak.
  4. Dalam hal perjanjian arbitrase dibuat sehabis konkurensi terjadi dan para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis, perjanjian tertulis tersebut harus dibentuk dalam bentuk akta notaries.
  5. Dalam hal perjanjian arbitrase dibentuk sebelum konkurensi terjadi dan para pihak nir dapat menandatangani perjanjian tersebut, maka analog menggunakan ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU 30/1999, perjanjian tersebut harus dibentuk pada bentuk akta notaris.
  6. Dalam hal kesepakatannya dibentuk pada bentuk pertukaran surat, teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana telekomunikasi lainnnya, wajib disertai menggunakan suatu catatan penerimaan oleh para pihak atau sang pihak lainnya sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasa14 ayat (tiga) UU UU No. 30/1999).
  7. Perjanjian arbitrase tidak sebagai batal (atau mengikat terus) sekalipun terjadi hal-hal sebagai berikut (Pasal 0 UU 30/1999):
  • Meninggalnya salah satu pihak; atau
  • Bangkrutnya keliru satu pihak; atau 
  • Novasi; atau
  • Insolvensi salah satu pihak; atau
  • Pewarisan; atau
  • Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan utama; atau
  • Bilamana aplikasi perjanjian tadi dialih tugaskan dalam pihak ketiga menggunakan persetujuan pihak yg melakukan perjanjian arbitrase tersebut; 
  • Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Berbagai keuntungan yang bisa diperoleh dalam penyelesaian sengketa melalui Arbitrase antara lain merupakan:
1. Para pihak berhak menentukan lembaga arbitrase yang digunakan;
a. Para pihak bebas menentukan arbitrase yg diinginkan, baik arbitrase institusional maupun arbitrase ad-hoc.
b. Lantaran penyelesaian konkurensi melalui arbitrase dapat dilakukan dengan memakai lembaga arbitrase internasional atau internasional dari konvensi para pihak (Pasal 34 ayat (I) UU 30/1999), maka para pihak boleh memilih apakah menggunakan forum arbitrase nasional atau internasional.
c. Ada beberapa lembaga arbitrase nasional yg dapat dipilih, yaitu:
- Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basanas)
- Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
- Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).

2. Para pihak bebas untuk menyepakati governing law yg akan digunakan menjadi dasar hukum untuk merampungkan sengketa pada antara mereka;
a. Para pihak berhak memilih pilihan hukum yg akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau sudah ada antara para pihak (Pasal 56 ayat (2) UU 309/1999).
b. Dengan demikian aturan luar negeri bisa dipilih dan diterapkan dalam proses arbitrase.

3. Para pihak berhak menentukan program arbitrase yang dipakai:
a. Para pihak bebas menentukan sendiri acara arbitrase yg digunakan pada inspeksi sengketa pada perjanjian yang tegas serta tertulis, sepanjang tidak bertentangan menggunakan UU 30/1999 (Pasa131 ayat (1) UU 30/1999).
b. Apabila para pihak nir memilih acaranya, maka konkurensi tersebut diperiksa dan diputuskan menurut UU 30/1999 (Pasa131 ayat (dua UU 30/1999).
c. Penyelesaian konkurensi melalui forum arbitrase, dilakukan menurut peraturan dan program berdasarkan forum yg dipilih (Pasal 34 ayat (2) UU 30/1999).

4. Para pihak berhak memilih arbiternya sendiri;
a. Arbiter yg menilik masalah diangkat berdasarkan pilihan para pihak.
b. Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan tentang pemilihan arbiter, pengadilan negeri memilih arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 13 ayat (1) UU 30/99). Dengan demikian para pihak dapat menentukan arbiter yang dari pendapatnya mempunyai keahlian mengenai materi yang disengketakan, dan memiliki integritas serta bersikap profesional.

5. Sekali seorang arbiter sudah menerima pengangkatannya, arbiter yg bersangkutan nir dapat mengundurkan diri; Arbiter yg telah menyatakan mendapat penunjukan atau pengangkatan sebagai arbiter nir bisa menarik diri kecuali:
a. Atas persetujuan para pihak (Pasal 19 ayat (1)) atau
b. Ditetapkan sang Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 19 ayat (4) UU 30/1999);

6. Para pihak memiliki hak ingkar terhadap arbiter termasuk arbiter yang dipilihnya sendiri maupun yang diangkat menggunakan penetapan pengadilan. Hak ingkar bisa diajukan jika:
a. Terdapat cukup bukti otentik yg menyebabkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak pada mengambil keputusan (Pasal 22 ayat (1) UU 30/1999).
b. Apabila terbukti adanya interaksi kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya (Pasal 22 ayat (2) UU 30/1999).

7. Arbiter lebih bertanggung jawab menurut pada hakim Pengadilan Negeri; Arbiter atau majelis arbitrase dapat dikenakan tanggung jawab aturan atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung buat menjalankan kegunaannya apabila dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tadi (Pasal 21 UU 30/1999). Dengan istilah lain, arbiter yang mendapat suap bukan saja dapat dipidanakan tetapi bisa pula digugat secara perdata.bahkan tuntutan bisa pula diajukan apabila bersikap berat sebelah terhadap keliru satu pihak yg berperkara, misalnya bersedia .buat bertemu menggunakan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak yang lain atau menolak buat menerima keliru satu pihak sedangkan pihak yang ditolak itu bisa menerangkan bahwa pihak lawannya pernah diterima buat bertemu tanpa kehadirannya.

8. Para pihak memilih sendiri jangka ketika inspeksi, sehingga bisa jauh lebih cepat dari dalam memperoleh putusan melalui pengadilan;
a. Penyelesaian masalah melewati pengadilan pada kenyataannya sangat lama , yaitu sampai bertahun-tahun.
b. Undang-undang No. 30/1999 memilih:
(a) Waktu penyelesaian pemeriksaan arbitrase ditentukan sendiri sang para pihak (Pasal 31 ayat (tiga) UU 30/1999).
(b) Dalam hal arbiter melampaui jangka ketika yang dipengaruhi tanpa alasan yg sah, arbiter yang bersangkutan dapat dieksekusi buat membarui biaya serta kerugian pada para pihak (Pasal 20 UU 30/1999).

9. Para pihak berhak memilih loka diselenggarakannya arbitrase;
Undang-undang No. 30/1999 memilih:
a. Tempat diselenggarakannya arbitrase dipengaruhi sendiri oleh para pihak.
b. Dalam hal nir ditentukan oleh para pihak, loka diselenggarakannya arbitrase dipengaruhi sang arbiter atau majelis arbitrase.
c. Apabila tempat arbitrase tidak dipengaruhi oleh para pihak, loka tadi dipengaruhi oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 37 ayat (1; UU 30/1999).

10. Biaya pemeriksaan arbitrase lebih leluasa dari pemeriksaan melalui pengadilan.
a. Biaya inspeksi melalui pengadilan merupakan atas beban negara yg sangat terbatas, sedangkan porto inspeksi melalui arbitrase merupakan atas beban pihak yang kalah (Pasal 77 ayat (1) UU 30.1999), atau dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian biaya arbitrase dibebankan pada para pihak secara seimbang (Pasal 77 ayat (dua) UU 30/1999).
b. Biaya pemanggilan serta bepergian saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta (Pasa149 ayat (2) UU 30/1999).

11. Arbiter atau majelis arbitrase memiliki wewenang judisial sama menggunakan hakim Pengadilan Negeri, diantaranya:
a. Arbiter bisa merogoh putusan provisionil (putusan sela).
b. Arbiter bisa menetapkan dan melakukan sita agunan atau memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak (pasal 32 ayat (1) UU / 30/1999).
c. Arbiter dapat melakukan inspeksi saksi dan saksi pakar, baik atas inisiatifnya sendiri maupun atas memerintah para pihak (Pasal 49 ayat (1) serta Pasal 50 ayat (1) serta (4) UU 30/1999).
d. Arbiter bisa melakukan pemeriksaan setempat atas barang yang disengketakan atau hal lain yg berhubungan dengan konkurensi yg diperiksa (Pasal 37 ayat (4) UU 30/1999)

12. Pemeriksaan arbitrase bersifat misteri.
Pemeriksaan konkurensi melalui arbitrase dilakukan secara tertutup (Pasa127 UU 30/1999).

13. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat.
Putusan arbitrae bersifat serta memiliki kekuatan aturan permanen serta mengikat para pihak (Pasal 60; lihat jua Pasal 17 ayat (dua) UU 30/1999). Dengan demikian nir bisa diajukan Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali (Penjelasan Pasal 60 UU 30/1999).

14. Putusan arbitrase hanya bisa dibatalkan jika didasarkan adanya kecurangan
Putusan pengadilan yg sudah berkekuatan aturan permanen tidak dapat diupayakan menggunakan cara apapun buat dibatalkan, sekalipun pengambilan putusan itu berdasarkan kecurangan atau melanggar hukum. Putusan arbitrase bisa dibatalkan, yaitu menggunakan mengajukan permohonan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 72 ayat (1) UU 30/1999), bila mengandung unsur-unsur sebagaimana dimaksud pada Pasal 70 UU 30/1999. Unsur­-unsur tersebut merupakan:
(a) Surat atau dokumen yg diajukan pada inspeksi palsu atau dinyatakan palsu.
(b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat memilih yg disembunyikan sang pihak lawan.
(c) Putusan diambil dari output tipu makar keliru satu pihak.

15. Pembatalan putusan arbitrase hanya dapat diajukan banding oleh pihak yg berkepentingan pada Mahkamah Agung. 
Terhadap putusan pembatalan oleh Pengadilan Negeri, hanya bisa diajukan permohonan banding kepada Mahkamah Agung yang memutus dalam taraf pertama dan terakhir (Pasal 72 ayat (4)'UU 30/1999). Dengan istilah lain, nir bisa diajukan banding melalui Pengadilan Tinggi atau diajukan Peninjauan Kembali. Ketentuan yang demikian ini pula adalah faktor nir berlarut-larutnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

16. Eksekusi putusan arbitrase dapat dipaksakan sang negara.
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan dari perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan galat satu pihak yg bersengketa (Pasal 61 UU 30/1999). Perintah Ketua Pengadilan Negeri dilaksanakan sinkron aplikasi putusan pada perkara perdata yang putusannya sudah mempunyai kekuatan hukum permanen sebagai akibatnya menggunakan demikian badan arbitrase adalah badan peradilan swasta yang memiliki daya memaksa yang bersifat publik.

PRINSIPPRINSIP EKONOMI ISLAM WAWASAN ISLAM DAN EKONOMI

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Wawasan Islam Dan Ekonomi 
Kenyataan yang dihadapi ekonomi syariah waktu ini merupakan bahwa beliau harus berdampingan menggunakan sistem perekonomian dunia Barat yg hingga ketika ini masih mendominasi perekonomian dunia. Dalam situasi yg demikian ini sistem prekonomian yang nir berdasarkan pada falsafah Islam bisa bertindak menggunakan cara apapun yang menguntungkan pihak mereka. Inilah suatu tantangan yang dihadapi pada pengembangan ekonomi syariah, buat itu kebiasaan-kebiasaan tindakan juga kebijakan yg menyangkut menggunakan pengembangan ekonomi syariah sangat perlu diaplikasikan pada lapangan ekonomi dan dalam hal ini kiprah Negara sangat memilih. 

Negara adalah institusi yang sangat penting pada pengembangan aktifitas perekonomian, namun peranan negara tadi dalam aktifitas ekonomi suatu warga masih sebagai perdebatan hangat. Konsep negara pada Islam acapkali disepadankan dengan rakyat yang dibangun oleh Nabi Muhammad pada Madinah dimana pada masa mulai berkembangnya Islam. Praktek kenegaraan yg terjadi pada saat itu merupakan citra sebuah warga yg sangat ideal lantaran adalah perpaduan antara otoritas wahyu menggunakan kemampuan intelektual insan. 

Pada masa itu tema-tema ekonomi terfokus pada masalah keadilan, pemerataan pendapatan maupun pemberantasan kemiskinan melalui berbagai institusi. Dalam mengahadapi pembiayaan negara Nabi Muhammad mendirikan Bait-al Mall yg berfungsi menjadi forum keuangan negara yang memiliki otoritas untuk menerima zakat, shodaqoh atau anugerah lain yg diperoleh secara absah serta mendistribusikannya pada yg memerlukan, termasuk buat membiayai pegawai pemerintahan.

Arti krusial negara pada perekonomian syariah sudah dikemukakan oleh para ekonom klasik dalam sejarah Islam seperti Ibnu Sina, Imam Al Ghazali maupun Ibnu Khaldum. Dalam konsep mereka tugas yg paling utama menurut negara adalah melindungi masyarakat negaranya buat melakukan kebebasan dan hak-hak dasar insan. Penekanan yg sangat krusial sebagaimana tema besar yang dikemukakan Rasul merupakan negara berkewajiban buat mendistribusikan kekayaan negara secara adil serta merata yg dapat mengklaim kehidupan layak bagi setiap individu.

Dalam pandangan yang demikian ini peran negara dianggap menjadi perencana, sebagai pengawas serta menjadi penghasil yg sekaligus berperan sebagai konsumen. Negara bertanggungjawab memerangi praktek monopoli, penimbunan barang yang bermotif ekonomi, memberantas pasar gelap dan semua praktek jahat pada global usaha. Akan namun kiprah negara yang terpenting pada ekonomi merupakan merealisasikan ajaran agama pada suatu tindakan yang riil yg dituangkan dalam acara kerja serta kebijakan ekonomi. Tugas ini merupakan mengubah pemikiran sebagai suatu tindakan konkret, mengubah nilai sebagai Undang-undang yg diterapkan secara adil serta membarui moral menjadi realitas yang aflikatif. Tugas tersebut ditunjang menggunakan mendirikan forum dan institusi yang bertugas menjaga, mengawasi dan mengembangkan sektor ekonomi dengan menerapkan kedisiplinan dan menghukum para pelanggar aturan.

Dalam prakteknya konsep ini diwujudkan pada suatu institusi yg dikenal dengan perbankan nasional yg berfungsi sebagai wahana pemberdayaan ekonomi warga , pada global perbankan nasional guna menyebarkan ekonomi syariah masih ada perkembangan baru dengan hadirnya Bank Syariah yang memakai sistem bagi output yang sebelumnya nir dikenal di Indonesia (Anonim:2002).

Perbankan syariah yang secara resmi mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1992 sudah menambah semarak sistim perbankan mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga kehadiran bank berdasarkan syariah Islam sangat diperlukan sekali. Apalagi ketika ini sistem perbankan konvensional masih menggunakan perhitungan bunga, yg sang sebagian masyarakat islam fanatis dianggap riba pada pengertian diharamkan atau dilarang sang kepercayaan Islam. 

Dalam sistim perbankan syariah pada Indonesia nir dikenal kata bunga, yang terdapat merupakan sistem "bagi hasil". Istilah ini mulai dikenal pada Undang - Undang Nomor. 7 Tahun 1992 yang disahkan lepas 25 Maret 1992 Pasal 6 Ayat 6 m, yaitu" menyediakan pembiayaan bagi nasabah menurut prinsip bagi hasil sinkron dengan ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah". Berdasarkan peraturan tersebut mulai beroperasinya Bank Syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada lepas 1 Mei 1992. 

Undang Undang Perbankan No.10 tahun 1998 mempertegas keberadaan bank-bank yang beroperasi menggunakan prinsip syariah . Perubahan Pasal 6 alfabet m disebutkan pada UU ini yaitu, "menyediakan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yg ditetapkan oleh Bank Indonesia". Demikian penerangan pasal tersebut mengalami perubahan dimana Bank Umum yang melakukan aktivitas bisnis konvensional bisa jua melakukan aktivitas bisnis secara syariah melalui pendirian kantor cabang syariah atau perubahan kantor cabang konvensional menjadi cabang syariah. 

Dikeluarkannya UU Perbankan No 10 / 1998 memberitahuakn sikap yg sangat positif terhadap eksistensi dan pengembangan perbankan syariah, bahkan lalu dimuntahkan peraturan pelaksananya yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/341KEP/DIR/1999 mengenai Bank Umum dari prinsip syariah serta Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/KEP/DIR/1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan syariah. Disinilah tampak kehadiran bank syariah di Indonesia sangat urgen serta sangat menjanjikan.

Berbeda menggunakan sistem perkreditan yang dikenal pada bank konvesional menggunakan adanya kata bunga, maka system perbankan syariah memakai istilah pembiayaan buat penyaluran dananya yang menerima keuntungan melalui cara bagi output atau jual beli, tergantung berdasarkan bentuk atau cara penyaluran/pemberian dana. Penyaluran dana bank melalui pembiayaan ini wajib tepat sesuai dengan peruntukannya sebagai akibatnya meminimalkan resiko yang mungkin ada pada lalu hari. Beberapa produk pembiayaan tersebut antara lain untuk transaksi jual beli, buat transaksi bagi hasil serta buat jasa.

Dalam perkembangannya waktu ini telah hadir beberapa bank yg beroperasi dengan prinsip syariah baik yang beroperasi secara penuh maupun dalam bentuk tempat kerja cabang. Bank yang beroperasi menggunakan system syariah secara penuh, selain Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Syariah Mandiri serta yang membuka tempat kerja cabang syariah antara lain Bank BNI, Bank BRI, Bank IFI, Bank Bukopin, Bank Danamon, BPD Jabar, Bank Riau serta sebagainya, sedangkan bank asing yang sudah membuka cabang syariah merupakan Bank HSBC. Disamping bank-bank tersebut, beberapa bank sedang mempersiapkan pembukaan kantor cabang syariah, antara lain Bank DKI, Bank Niaga, Bank Bumi Putera dan pula Standart Chartered Bank. Bahkan Bank Indonesia sudah mengeluarkan biar buat pendirian satu Bank syariah baru yaitu Bank Islam Indonesia. Demikian juga banyaknya pendirian Bank Perkreditan Syariah ( BPRS ) yg baru, menambah jumlah bank yang beroperasi dengan sistim syariah.

Melihat kenyataan begitu pesatnya perkembangan perbankan syariah di Indonesia menjadi lembaga yg bergerak dibidang ekonimi syariah, paling nir ada tiga problem primer yang menjadi problematik atau pertarungan dalam operasonalisasi perbankan yg bernuansa religius Islam tadi: 
  1. menyangkut dengan upaya yg dilakukan untuk memberdayakan masyarakat memajukan perekonomian nasional melalui sistem ekonomi syariah. 
  2. menyangkut kemampuan buat mensosialisasikan pradigma baru bagi masyarakat terutama pelaku ekonomi pada pengembangan ekonomi syariah.
  3. menyangkut menggunakan kemampuan institusi atau forum termasuk intelektualitas serta profesionalisme aparat dalam penyelesaian konkurensi yg ada di bidang ekonomi syariah.
Ketiga permasalahan ini akan mendapat sorotan serta analisis secara yuridis konsepsional dalam pembahasan, sebagai akibatnya dibutuhkan dapat memberikan sumbangan pemikiran teoritik dalam pembangunan ekonomi nasional melalui pengembangan ekonomi syariah. 

1. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Pengembangan Ekonomi Syariah
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yg merangkum nilai-nilai sosial. Konsep pemberdayaan rakyat ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat people centred, partisipatory, empowering and substainable. Konsep ini lebih luas maknanya dibanding menggunakan konsep ekonomi pada pengertian sesungguhnya, dalam arti konsep pemberdayaan rakyat bukan hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar atau menyediakan prosedur buat mencegah proses pemiskinan lebih lanjut. Konsep pemikiran pemberdayaan rakyat belakangan ini, poly dikembangkan menjadi upaya mencari cara lain terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang kemudian. Konsep ini berkembang berdasarkan upaya poly pakar serta praktisi untuk mencari apa yang antara lain diklaim menjadi alternatif development.

Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan menggunakan pemerataan, karena keduanya nir wajib diasumsikan sebagai incompatible or antithetical. Hasil pengkajian yg dilakukan oleh International Fund for Agriculture Develonment (IFAD) terhadap banyak sekali proyek yang ada pada aneka macam negara, menampakan bahwa dukungan bagi produksi yang didapatkan masyarakat di lapisan bawah, ternayata sudah memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi yang lebih akbar, dibandingkan menggunakan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih akbar. Pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya menggunakan biaya yg dimuntahkan lebih mini , tetapi pula dengan devisa yg lebih kecil pula. Hal terakhir ini besar merupakan bagi negara-negara berkembang yg mengalami kelangkaan devisa serta lemah posisi neraca pembayarannya.(Kwik Kian Gie:2002:4)

Untuk mengetahui seberapa jauh pemberdayaan masyarakat telah berhasil, perlu ada pemantauan dan penetapan sasaran, sejauh mungkin yg dapat diukur untuk bisa dibandingkan. Pemberdayaan warga menggunakan sendirinya berpusat dalam bidang ekonomi, lantaran target utamanya merupakan memandirikan warga , dimana kiprah ekonomi teramat krusial. Cara mengukurnya sudah poly berkembang, misalnya memakai pembagian terstruktur mengenai indeks gini dengan memilih jumlah orang yang hidup pada bawah garis kemiskinan, jumlah desa miskin, peranan industri kecil, nilai tukar pertanian, upah minimum serta sebagainya. 

Memberdayakan rakyat merupakan upaya buat menaikkan harkat serta martabat lapisan warga yg dalam syarat sekarang tidak bisa buat melepaskan diri menurut perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Meskipun pemberdayaaan masyarakat bukan semata-mata konsep ekonomi, namun berdasarkan sudut pandang ekonomi pemberdayaan rakyat secara tersirat mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi.

Demokrasi ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dimana aktivitas ekonomi yang berlangsung merupakan dari warga , oleh masyarakat serta buat rakyat. Konsep ini menyangkut masalah dominasi teknologi, pemilikan modal, akses pasar, penguasaan asal fakta serta keterampilan managemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan maka aspirasi rakyat yang tertampung wajib diterjemahkan sebagai rumusan-rumusan aktivitas yg konkret. Dalam kerangka pemikiran yg demikian itu, upaya buat memberdayakan warga melalui ekonomi syariah dapat ditinjau menurut 3 sisi.
Pertama: Menciptakan suasana atau iklim yg memungkinkan potensi rakyat berkembang. Disini titik tolaknya merupakan pengenalan bahwa insan memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Artinya tidak ada rakyat yang sama sekali tanpa daya. Jadi pemberdayaan adalah upaya buat menciptakan daya itu dengan mendorong dan memotivasi atau membangkitkan pencerahan potensi yg dimilikinya dan berupaya buat mengembangkannya.
Kedua; Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh warga . Dalam rangka ini dibutuhkan langkah-langkah konkret serta menyangkut penyediaan banyak sekali masukan, yang akan membuat warga semakin berdaya.
Ketiga; Memberdayakan rakyat mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan ini harus dicegah pihak yg lemah semakin lemah oleh lantaran kekurangberdayaan menghadapi yg kuat.

Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam interaksi sosial, ekonomi, budaya dan politik rakyat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah yaitu warga yg menghasilkan harus menikmati, bagitu pula kebalikannya rakyat yang menikmati haruslah menghasilkan pula, jadi terdapat manfaat yang secara timbal balik pada pengembangan ekonomi syariah.

Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi dalam pengembangan ekonomi syariah sudah banyak diterima serta bahkan sudah berkembang sedemikian rupa. Sayangnya banyak pemikir dan praktisi yg belum tahu serta mungkin nir meyakini bahwa konsep pemberdayaan, adalah alternatif pemecahan terhadap persoalan-duduk perkara pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang dalam teori-teori pembangunan model usang juga tidak gampang menyesuaikan diri menggunakan pandangan-pandangan dan tuntutan keadilan.

2. Paradigma Baru Dalam Pembiayaan Ekonomi Syariah
Dalam ekonomi Islam pembiayaan merupakan galat satu kegiatan primer bank syariah, pembiayaan ini dapat menghasilkan keuntungan atau keuntungan yg akbar tetapi juga mengandung resiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan serta kelangsungan usaha perbankan apabila pembiayaan tadi nir berjalan menggunakan lancar atau macet. Oleh karenanya diatur jua pembiayaan mana yg harus dihindari yaitu pembiayaan buat spekulasi, pembiayaan pada bidang yg tidak dikuasai, pembiayaan tanpa warta keuangan yang memadai, pembiayaan kepada nasabah bermasalah dan buat bank syariah harus menghindari atau menolak suatu pembiayaan yang bertentangan dengan atau tidak sesuai syariah misalnya pembiayaan perdagangan minuman memabukan, loka-loka hiburan yg bias mengundang maksiat, monopoli dan persaingan curang meskipun keuntungan yg diperoleh relatif tinggi.

Setiap pembiayaan yg sudah diproses sesuai menggunakan ketentuan yang berlaku serta disetujui sang bank, maka persetujuan tersebut wajib disepakati oleh nasabah pemehon pembiayaan, baru kemudian dibuat akad pembiayaan secara tertulis menggunakan menggunakan bentuk dan format akad atau perjanjian yg berlaku dalam bank.(Afdawaiza:2002)

Kerangka aturan yg dijadikan sendi-sendi perjanjian pembiayaan syariah adalah hukum syariah serta aturan positif. Jika pada perjanjian kredit atau pembiayaan konvensional cukup mengacu dalam hukum positif saja, maka terhadap perjanjian pembiyaan syariah sebelum produk pembiayaan syariah diterbitkan atau dipergunakan secara mendalam, Bank Syariah yg bersangkutan akan melakukan penelitian serta pemeriksaan buat menghindari terjadinya benturan atau deviasi aturan syariahnya.

AI-Qur'an sebagai pedoman yg utama mengatur menggunakan jelas, jika seseorang muslim mengadakan perjanjian dengan yg lainnya, maka ia berkewajiban buat memenuhi kewajiban yang diperjanjikannya sinkron dengan ketentuan pada Surat AI Maidah ayat 1 yang terjemahannya sebagai berikut : “Hai orang-orang yg beriman, penuhilah akad-akad itu”.(Anonim:1990)

Pada dasarnya struktur penyusunan perjanjian pembiayaan Bank Syariah menyerupai perjanjian kredit bank konvensional, hanya saja isi atau muatan pasal-pasalnya mengacu atau nir bertentangan menggunakan sistem syariah Islam, hal-hal yg membedakan pembiayaan Bank Syariah menggunakan perjanjian kredit Bank Konvensional sebagai berikut :
  1. Dalam perjanjian bank syariah kata "Perjanjian Kredit" diganti dengan "Perjanjian Pembiayaan" dan juga ditambahkan ayat-ayat yang herbi perjanjian sebagaimana dimuat dalam Surat Al Maaidah ayat (1) yaitu: "Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad perjanjian itu".
  2. Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah juga memuat pasal-pasal yang krusial dari aturan positif dan tidak bertentangan menggunakan syariah Islam, klausula-klausula yg terdapat meliputi: Definisi yg dipakai termasuk kata syariah. Keterangan mengenai fasilitas pembiayaan yang diberikan misalnya besarnya jumlah pembiayaan, jangka saat yg dipengaruhi serta juga jenis pembiayaannya dan penggunaan fasilitas pembiayaan
  3. Barang jaminan secara syariah diatur dalam surat AI-Baqarah : 283. "apabila kamu dalam perjalanan serta bermua'malah tidak secara tunai, sedang engkau nir memperoleh seseorang penulis, maka hendaknya ada barang tanggungan yg dipegang oleh yang berpiutang."
  4. Pengutamaan Pembayaran. Pada Bank Syariah nir dikenakan denda terhadap setiap kewajiban pembayaran yang terlambat sebagaimana yang tidak ditetapkan pada jadwal pembayaran. 
  5. Hukum yang mengatur. Perjanjian pembiayaan tetap diatur sang hukum sinkron dengan ketentuan hukum Indonesia. Suatu sengketa yg timbul atau menggunakan cara apapun yg terdapat hubungannya dengan perjanjian pembiayaan ini yang tidak bisa diselesaikan secara damai akan diselesaikan melalui dan berdasarkan ketentuan yg berlaku pada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) kini diganti sebagai BASYAR ( Badan Arbitrase Syariah ).
Apabila ditinjau dalam masa-masa awal berjalannya ekonomi syariah pada Indonesia, terutama lima tahun pertama semenjak berdirinya bank Muamalat Indonesia yang diiringi dengan krisis moneter yg melanda daerah asia terutama Indonesia, poly orang memperiksi bahwa ekonomi syariah akan kolap dan Bank Muamalat Indonesia akan bernasib sama dengan poly Bank Konvensional yang dilikwidasi. Faktor kondisi makro ekonomi yg terpuruk pada masa krisis moneter itu tetap memberi imbas kepada bisnis pada sektor riel, sehingga banyak pembiayaan yg mengalami kesulitan pada membayar kewajibannya ke pihak Bank termasuk pada pihak Bank Muamalat. Namun dengan kerangka berpikir ekonomi syariah yg dijalankan Bank Muamalat Indonesia yang beroperasi dengan prinsip syariah menggunakan sistim bagi output, laba yg diperoleh oleh penyimpanan dana pada bank baik tabungan juga deposito sangat tergantung dari pendapatan yang diperoleh berdasarkan pembiayaan yg disalurkan, sehingga Bank Muamalat nir mengalami kondisi negatif. Semakin besar pendapatan maka semakin akbar jua bagi output yang diterima sang penyimpan dana baik deposito juga tabungan, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian Bank Muamalat bisa mengatasi likuiditas keuangannya serta bisa bertahan dalam masa krisis ekonomi.

3. Keidealan Suatu Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mengamati aktivitas ekonomi syariah yang jumlah transaksinya demikian banyak, nir mungkin dihindari terjadinya konkurensi antara pihak yg terlibat, setiap sengketa menghendaki penyelesaian yg cepat, sang karena itu Arbitrase yang diartikan dengan cara penyelesaian konkurensi pada luar forum litigasi atau peradilan yang diadakan sang para pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian, sangat cocok buat merampungkan masalah yang muncul pada usaha. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrse telah banyak dilakukan terutama menggunakan dikeluarkannya Undang-Undang No.30 tahun 1999 mengenai Arbitrase serta Altematif Penyelesaian Sengketa. Pasal 3 UU tadi menjelaskan "Pengadilan Negeri nir berwenang buat mengadili konkurensi para pihak yg telah terikat pada perjanjian arbitrase".

Beberapa pertimbangan yg digunakan untuk memilih penyelesaian konkurensi melalui arbitrase, lantaran penyelesaian konkurensi melalui pengadilan biasanya mahal serta sangat menyita ketika serta bisa membangkitkan pertikaian yg mendalam, sedangkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase nisbi masih dipercaya lebih murah dan cepat. Dengan demikian saat ini penggunaan cara penyelesaian di luar pengadilan lebih disenangi dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan, terutama oleh kalangan usahawan. Ada beberapa kebaikan mekanisme Arbitrasi apabila dibandingkan dengan penyelesaian konkurensi melalui forum pengadilan yaitu:
  1. Prosedur yang cepat.
  2. Prosedur misteri.
  3. Hemat waktu.
  4. Hemat porto.
  5. Fleksibilitas yang besar pada merancang syarat-syarat penyelesaian
  6. Kemungkinan untuk melaksanakan konvensi cukup tinggi
  7. Keputusan yang bertahan sepanjang saat.
Proses Arbitrase yg digunakan menjadi pilihan hukum apabila terjadi sengketa dalam perjanjian atau akad perbankan syariah adalah penyelesaian yg mengacu pada kaedah-kaedah hukum islam dan ketentuan hukum positif, penyelesaiannya dilakukan sang Badan Arbitrase Syariah (BASYAR). Pada dasarnya poly hal yang menyebabkan timbulnya pembiayaan yang bermasalah serta mengakibatkan timbulnya masalah aturan di bank muamalat yang akan diselesaikan melalui arbitrase, perkara tersebut antara lain:
  1. Penarikan dana oleh debitur sebelum dokumentasi pembiayaan diselesaikan.
  2. Pembiayaan diberikan pada pengusaha baru yang belum berpengalaman.
  3. Penambahan pembiayaan tanpa penambahan agunan yang kentara.
  4. Tidak ada bisnis bank buat mengawasi penggunaan pembiayaan tersebut sebagai akibatnya timbul kemungkinan debitur menggunakannya nir sinkron dengan ketentuan perjanjian kredit.
  5. Bank nir memperhatikan laporan menurut pihak ketiga yg bernada kurang menguntungkan debitur.
Dalam bepergian Bank Muamalat Indonesia sampai sekarang sudah cukup poly perkara yang diajukan serta diselesaika melalui arbitrase syariah, sebagian akbar telah selesai menggunakan baik dalam arti lebih cepat dan murah dibandingkan melalui pengadilan. Sedikitnya kasus yang diajukan disebabkan kebijaksanaan bank buat menuntaskan permasalahannya secara intern lebih dahulu, baru lalu jika tidak ada penyelesaian antara pihak bank dengan nasabah diseleaikan melalui arbitrase. Syarat-syarat serta mengikatnya perjanjian arbitrase didasarkan pada:
  1. Perjanjian arbitrase pada pada dasarnya atau ujudnya merupakan klausula arbitrase sebagaimana yg dimaksud dalam Pasal 1 nomor tiga UU 30/1999.
  2. Berisi pernyataan yg tegas bahwa semua konkurensi atau beda pendapat yang ada atau yang mungkin ada menurut hubungan aturan antara para pihak yg menciptakan perjanjian arbitrase tadi akan diselesaikan menggunakan cara arbitrase sebagaimana dipengaruhi pada Pasal dua UU 30/1999.
  3. Perjanjian penyelesaian konkurensi dengan cara arbitrase dibentuk secara tertulis dan bisa dibentuk atau dipengaruhi baik sebelum juga sesudah timbulnya konkurensi serta ditandatangani sang para pihak.
  4. Dalam hal perjanjian arbitrase dibuat setelah konkurensi terjadi dan para pihak nir bisa menandatangani perjanjian tertulis, perjanjian tertulis tadi wajib dibuat dalam bentuk akta notaries.
  5. Dalam hal perjanjian arbitrase dibentuk sebelum sengketa terjadi dan para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut, maka analog dengan ketentuan Pasal 9 ayat (dua) UU 30/1999, perjanjian tadi wajib dibuat dalam bentuk akta notaris.
  6. Dalam hal kesepakatannya dibentuk pada bentuk pertukaran surat, teleks, telegram, faksimili, e-mail atau pada bentuk sarana telekomunikasi lainnnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan sang para pihak atau sang pihak lainnya sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasa14 ayat (3) UU UU No. 30/1999).
  7. Perjanjian arbitrase tidak menjadi batal (atau mengikat terus) sekalipun terjadi hal-hal menjadi berikut (Pasal 0 UU 30/1999):
  • Meninggalnya salah satu pihak; atau
  • Bangkrutnya salah satu pihak; atau 
  • Novasi; atau
  • Insolvensi galat satu pihak; atau
  • Pewarisan; atau
  • Berlakunya kondisi-kondisi hapusnya perikatan utama; atau
  • Bilamana aplikasi perjanjian tersebut dialih tugaskan dalam pihak ketiga menggunakan persetujuan pihak yg melakukan perjanjian arbitrase tersebut; 
  • Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh pada penyelesaian sengketa melalui Arbitrase antara lain adalah:
1. Para pihak berhak menentukan lembaga arbitrase yang dipakai;
a. Para pihak bebas memilih arbitrase yg diinginkan, baik arbitrase institusional juga arbitrase ad-hoc.
b. Lantaran penyelesaian konkurensi melalui arbitrase bisa dilakukan menggunakan menggunakan lembaga arbitrase internasional atau internasional berdasarkan konvensi para pihak (Pasal 34 ayat (I) UU 30/1999), maka para pihak boleh memilih apakah memakai lembaga arbitrase nasional atau internasional.
c. Ada beberapa forum arbitrase nasional yg dapat dipilih, yaitu:
- Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basanas)
- Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
- Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).

2. Para pihak bebas buat menyepakati governing law yg akan digunakan menjadi dasar hukum buat menuntaskan konkurensi di antara mereka;
a. Para pihak berhak menentukan pilihan aturan yg akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau sudah muncul antara para pihak (Pasal 56 ayat (dua) UU 309/1999).
b. Dengan demikian hukum luar negeri bisa dipilih dan diterapkan pada proses arbitrase.

3. Para pihak berhak memilih program arbitrase yang digunakan:
a. Para pihak bebas memilih sendiri acara arbitrase yg digunakan pada inspeksi konkurensi dalam perjanjian yang tegas serta tertulis, sepanjang nir bertentangan menggunakan UU 30/1999 (Pasa131 ayat (1) UU 30/1999).
b. Jika para pihak nir memilih acaranya, maka konkurensi tadi diperiksa dan diputuskan menurut UU 30/1999 (Pasa131 ayat (dua UU 30/1999).
c. Penyelesaian konkurensi melalui forum arbitrase, dilakukan berdasarkan peraturan serta acara dari forum yg dipilih (Pasal 34 ayat (dua) UU 30/1999).

4. Para pihak berhak menentukan arbiternya sendiri;
a. Arbiter yang mempelajari perkara diangkat menurut pilihan para pihak.
b. Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai konvensi mengenai pemilihan arbiter, pengadilan negeri memilih arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 13 ayat (1) UU 30/99). Dengan demikian para pihak bisa memilih arbiter yang berdasarkan pendapatnya mempunyai keahlian tentang materi yang disengketakan, dan mempunyai integritas serta bersikap profesional.

5. Sekali seorang arbiter sudah mendapat pengangkatannya, arbiter yg bersangkutan nir dapat mengundurkan diri; Arbiter yg telah menyatakan mendapat penunjukan atau pengangkatan sebagai arbiter nir dapat menarik diri kecuali:
a. Atas persetujuan para pihak (Pasal 19 ayat (1)) atau
b. Ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 19 ayat (4) UU 30/1999);

6. Para pihak memiliki hak ingkar terhadap arbiter termasuk arbiter yang dipilihnya sendiri maupun yang diangkat dengan penetapan pengadilan. Hak ingkar bisa diajukan apabila:
a. Terdapat cukup bukti otentik yg menyebabkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak pada mengambil keputusan (Pasal 22 ayat (1) UU 30/1999).
b. Apabila terbukti adanya interaksi kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan galat satu pihak atau kuasanya (Pasal 22 ayat (dua) UU 30/1999).

7. Arbiter lebih bertanggung jawab berdasarkan pada hakim Pengadilan Negeri; Arbiter atau majelis arbitrase dapat dikenakan tanggung jawab hukum atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung buat menjalankan kegunaannya bila bisa dibuktikan adanya itikad jelek berdasarkan tindakan tersebut (Pasal 21 UU 30/1999). Dengan kata lain, arbiter yg menerima suap bukan saja bisa dipidanakan tetapi dapat jua digugat secara perdata.bahkan tuntutan bisa pula diajukan jika bersikap berat sebelah terhadap salah satu pihak yg berperkara, misalnya bersedia .buat bertemu menggunakan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak yang lain atau menolak buat menerima keliru satu pihak sedangkan pihak yang ditolak itu dapat mengambarkan bahwa pihak lawannya pernah diterima buat bertemu tanpa kehadirannya.

8. Para pihak memilih sendiri jangka waktu inspeksi, sehingga bisa jauh lebih cepat menurut pada memperoleh putusan melalui pengadilan;
a. Penyelesaian kasus melewati pengadilan pada kenyataannya sangat lama , yaitu hingga bertahun-tahun.
b. Undang-undang No. 30/1999 memilih:
(a) Waktu penyelesaian inspeksi arbitrase dipengaruhi sendiri oleh para pihak (Pasal 31 ayat (3) UU 30/1999).
(b) Dalam hal arbiter melampaui jangka waktu yg dipengaruhi tanpa alasan yg sah, arbiter yg bersangkutan dapat dieksekusi buat membarui biaya dan kerugian kepada para pihak (Pasal 20 UU 30/1999).

9. Para pihak berhak menentukan loka diselenggarakannya arbitrase;
Undang-undang No. 30/1999 memilih:
a. Tempat diselenggarakannya arbitrase ditentukan sendiri sang para pihak.
b. Dalam hal tidak dipengaruhi sang para pihak, loka diselenggarakannya arbitrase dipengaruhi sang arbiter atau majelis arbitrase.
c. Apabila loka arbitrase tidak ditentukan sang para pihak, loka tadi dipengaruhi oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 37 ayat (1; UU 30/1999).

10. Biaya pemeriksaan arbitrase lebih leluasa berdasarkan inspeksi melalui pengadilan.
a. Biaya pemeriksaan melalui pengadilan merupakan atas beban negara yang sangat terbatas, sedangkan porto inspeksi melalui arbitrase adalah atas beban pihak yang kalah (Pasal 77 ayat (1) UU 30.1999), atau pada hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang (Pasal 77 ayat (dua) UU 30/1999).
b. Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi pakar dibebankan kepada pihak yang meminta (Pasa149 ayat (dua) UU 30/1999).

11. Arbiter atau majelis arbitrase memiliki wewenang judisial sama dengan hakim Pengadilan Negeri, antara lain:
a. Arbiter bisa merogoh putusan provisionil (putusan sela).
b. Arbiter bisa menetapkan serta melakukan sita jaminan atau memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak (pasal 32 ayat (1) UU / 30/1999).
c. Arbiter dapat melakukan pemeriksaan saksi dan saksi pakar, baik atas inisiatifnya sendiri juga atas memerintah para pihak (Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) dan (4) UU 30/1999).
d. Arbiter dapat melakukan pemeriksaan setempat atas barang yg disengketakan atau hal lain yg berhubungan dengan konkurensi yg diperiksa (Pasal 37 ayat (4) UU 30/1999)

12. Pemeriksaan arbitrase bersifat rahasia.
Pemeriksaan konkurensi melalui arbitrase dilakukan secara tertutup (Pasa127 UU 30/1999).

13. Putusan arbitrase bersifat final serta mengikat.
Putusan arbitrae bersifat serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60; lihat juga Pasal 17 ayat (2) UU 30/1999). Dengan demikian tidak dapat diajukan Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali (Penjelasan Pasal 60 UU 30/1999).

14. Putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan bila didasarkan adanya kecurangan
Putusan pengadilan yg sudah berkekuatan hukum permanen tidak dapat diupayakan menggunakan cara apapun buat dibatalkan, sekalipun pengambilan putusan itu menurut kecurangan atau melanggar aturan. Putusan arbitrase dapat dibatalkan, yaitu dengan mengajukan permohonan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 72 ayat (1) UU 30/1999), jika mengandung unsur-unsur sebagaimana dimaksud pada Pasal 70 UU 30/1999. Unsur­-unsur tadi adalah:
(a) Surat atau dokumen yg diajukan dalam pemeriksaan palsu atau dinyatakan palsu.
(b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yg bersifat memilih yg disembunyikan oleh pihak versus.
(c) Putusan diambil dari hasil tipu makar galat satu pihak.

15. Pembatalan putusan arbitrase hanya bisa diajukan banding sang pihak yang berkepentingan kepada Mahkamah Agung. 
Terhadap putusan pembatalan sang Pengadilan Negeri, hanya bisa diajukan permohonan banding pada Mahkamah Agung yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 72 ayat (4)'UU 30/1999). Dengan kata lain, nir dapat diajukan banding melalui Pengadilan Tinggi atau diajukan Peninjauan Kembali. Ketentuan yg demikian ini juga adalah faktor nir berlarut-larutnya penyelesaian konkurensi melalui arbitrase.

16. Eksekusi putusan arbitrase bisa dipaksakan sang negara.
Dalam hal para pihak nir melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan menurut perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan galat satu pihak yg bersengketa (Pasal 61 UU 30/1999). Perintah Ketua Pengadilan Negeri dilaksanakan sesuai pelaksanaan putusan pada perkara perdata yg putusannya telah mempunyai kekuatan aturan tetap sehingga dengan demikian badan arbitrase adalah badan peradilan swasta yg mempunyai daya memaksa yg bersifat publik.