PRINSIPPRINSIP EKONOMI ISLAM WAWASAN ISLAM DAN EKONOMI

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Wawasan Islam Dan Ekonomi 
Kenyataan yang dihadapi ekonomi syariah waktu ini merupakan bahwa beliau harus berdampingan menggunakan sistem perekonomian dunia Barat yg hingga ketika ini masih mendominasi perekonomian dunia. Dalam situasi yg demikian ini sistem prekonomian yang nir berdasarkan pada falsafah Islam bisa bertindak menggunakan cara apapun yang menguntungkan pihak mereka. Inilah suatu tantangan yang dihadapi pada pengembangan ekonomi syariah, buat itu kebiasaan-kebiasaan tindakan juga kebijakan yg menyangkut menggunakan pengembangan ekonomi syariah sangat perlu diaplikasikan pada lapangan ekonomi dan dalam hal ini kiprah Negara sangat memilih. 

Negara adalah institusi yang sangat penting pada pengembangan aktifitas perekonomian, namun peranan negara tadi dalam aktifitas ekonomi suatu warga masih sebagai perdebatan hangat. Konsep negara pada Islam acapkali disepadankan dengan rakyat yang dibangun oleh Nabi Muhammad pada Madinah dimana pada masa mulai berkembangnya Islam. Praktek kenegaraan yg terjadi pada saat itu merupakan citra sebuah warga yg sangat ideal lantaran adalah perpaduan antara otoritas wahyu menggunakan kemampuan intelektual insan. 

Pada masa itu tema-tema ekonomi terfokus pada masalah keadilan, pemerataan pendapatan maupun pemberantasan kemiskinan melalui berbagai institusi. Dalam mengahadapi pembiayaan negara Nabi Muhammad mendirikan Bait-al Mall yg berfungsi menjadi forum keuangan negara yang memiliki otoritas untuk menerima zakat, shodaqoh atau anugerah lain yg diperoleh secara absah serta mendistribusikannya pada yg memerlukan, termasuk buat membiayai pegawai pemerintahan.

Arti krusial negara pada perekonomian syariah sudah dikemukakan oleh para ekonom klasik dalam sejarah Islam seperti Ibnu Sina, Imam Al Ghazali maupun Ibnu Khaldum. Dalam konsep mereka tugas yg paling utama menurut negara adalah melindungi masyarakat negaranya buat melakukan kebebasan dan hak-hak dasar insan. Penekanan yg sangat krusial sebagaimana tema besar yang dikemukakan Rasul merupakan negara berkewajiban buat mendistribusikan kekayaan negara secara adil serta merata yg dapat mengklaim kehidupan layak bagi setiap individu.

Dalam pandangan yang demikian ini peran negara dianggap menjadi perencana, sebagai pengawas serta menjadi penghasil yg sekaligus berperan sebagai konsumen. Negara bertanggungjawab memerangi praktek monopoli, penimbunan barang yang bermotif ekonomi, memberantas pasar gelap dan semua praktek jahat pada global usaha. Akan namun kiprah negara yang terpenting pada ekonomi merupakan merealisasikan ajaran agama pada suatu tindakan yang riil yg dituangkan dalam acara kerja serta kebijakan ekonomi. Tugas ini merupakan mengubah pemikiran sebagai suatu tindakan konkret, mengubah nilai sebagai Undang-undang yg diterapkan secara adil serta membarui moral menjadi realitas yang aflikatif. Tugas tersebut ditunjang menggunakan mendirikan forum dan institusi yang bertugas menjaga, mengawasi dan mengembangkan sektor ekonomi dengan menerapkan kedisiplinan dan menghukum para pelanggar aturan.

Dalam prakteknya konsep ini diwujudkan pada suatu institusi yg dikenal dengan perbankan nasional yg berfungsi sebagai wahana pemberdayaan ekonomi warga , pada global perbankan nasional guna menyebarkan ekonomi syariah masih ada perkembangan baru dengan hadirnya Bank Syariah yang memakai sistem bagi output yang sebelumnya nir dikenal di Indonesia (Anonim:2002).

Perbankan syariah yang secara resmi mulai beroperasi di Indonesia pada tahun 1992 sudah menambah semarak sistim perbankan mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, sehingga kehadiran bank berdasarkan syariah Islam sangat diperlukan sekali. Apalagi ketika ini sistem perbankan konvensional masih menggunakan perhitungan bunga, yg sang sebagian masyarakat islam fanatis dianggap riba pada pengertian diharamkan atau dilarang sang kepercayaan Islam. 

Dalam sistim perbankan syariah pada Indonesia nir dikenal kata bunga, yang terdapat merupakan sistem "bagi hasil". Istilah ini mulai dikenal pada Undang - Undang Nomor. 7 Tahun 1992 yang disahkan lepas 25 Maret 1992 Pasal 6 Ayat 6 m, yaitu" menyediakan pembiayaan bagi nasabah menurut prinsip bagi hasil sinkron dengan ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah". Berdasarkan peraturan tersebut mulai beroperasinya Bank Syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia pada lepas 1 Mei 1992. 

Undang Undang Perbankan No.10 tahun 1998 mempertegas keberadaan bank-bank yang beroperasi menggunakan prinsip syariah . Perubahan Pasal 6 alfabet m disebutkan pada UU ini yaitu, "menyediakan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yg ditetapkan oleh Bank Indonesia". Demikian penerangan pasal tersebut mengalami perubahan dimana Bank Umum yang melakukan aktivitas bisnis konvensional bisa jua melakukan aktivitas bisnis secara syariah melalui pendirian kantor cabang syariah atau perubahan kantor cabang konvensional menjadi cabang syariah. 

Dikeluarkannya UU Perbankan No 10 / 1998 memberitahuakn sikap yg sangat positif terhadap eksistensi dan pengembangan perbankan syariah, bahkan lalu dimuntahkan peraturan pelaksananya yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/341KEP/DIR/1999 mengenai Bank Umum dari prinsip syariah serta Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/KEP/DIR/1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan syariah. Disinilah tampak kehadiran bank syariah di Indonesia sangat urgen serta sangat menjanjikan.

Berbeda menggunakan sistem perkreditan yang dikenal pada bank konvesional menggunakan adanya kata bunga, maka system perbankan syariah memakai istilah pembiayaan buat penyaluran dananya yang menerima keuntungan melalui cara bagi output atau jual beli, tergantung berdasarkan bentuk atau cara penyaluran/pemberian dana. Penyaluran dana bank melalui pembiayaan ini wajib tepat sesuai dengan peruntukannya sebagai akibatnya meminimalkan resiko yang mungkin ada pada lalu hari. Beberapa produk pembiayaan tersebut antara lain untuk transaksi jual beli, buat transaksi bagi hasil serta buat jasa.

Dalam perkembangannya waktu ini telah hadir beberapa bank yg beroperasi dengan prinsip syariah baik yang beroperasi secara penuh maupun dalam bentuk tempat kerja cabang. Bank yang beroperasi menggunakan system syariah secara penuh, selain Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Syariah Mandiri serta yang membuka tempat kerja cabang syariah antara lain Bank BNI, Bank BRI, Bank IFI, Bank Bukopin, Bank Danamon, BPD Jabar, Bank Riau serta sebagainya, sedangkan bank asing yang sudah membuka cabang syariah merupakan Bank HSBC. Disamping bank-bank tersebut, beberapa bank sedang mempersiapkan pembukaan kantor cabang syariah, antara lain Bank DKI, Bank Niaga, Bank Bumi Putera dan pula Standart Chartered Bank. Bahkan Bank Indonesia sudah mengeluarkan biar buat pendirian satu Bank syariah baru yaitu Bank Islam Indonesia. Demikian juga banyaknya pendirian Bank Perkreditan Syariah ( BPRS ) yg baru, menambah jumlah bank yang beroperasi dengan sistim syariah.

Melihat kenyataan begitu pesatnya perkembangan perbankan syariah di Indonesia menjadi lembaga yg bergerak dibidang ekonimi syariah, paling nir ada tiga problem primer yang menjadi problematik atau pertarungan dalam operasonalisasi perbankan yg bernuansa religius Islam tadi: 
  1. menyangkut dengan upaya yg dilakukan untuk memberdayakan masyarakat memajukan perekonomian nasional melalui sistem ekonomi syariah. 
  2. menyangkut kemampuan buat mensosialisasikan pradigma baru bagi masyarakat terutama pelaku ekonomi pada pengembangan ekonomi syariah.
  3. menyangkut menggunakan kemampuan institusi atau forum termasuk intelektualitas serta profesionalisme aparat dalam penyelesaian konkurensi yg ada di bidang ekonomi syariah.
Ketiga permasalahan ini akan mendapat sorotan serta analisis secara yuridis konsepsional dalam pembahasan, sebagai akibatnya dibutuhkan dapat memberikan sumbangan pemikiran teoritik dalam pembangunan ekonomi nasional melalui pengembangan ekonomi syariah. 

1. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Pengembangan Ekonomi Syariah
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yg merangkum nilai-nilai sosial. Konsep pemberdayaan rakyat ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat people centred, partisipatory, empowering and substainable. Konsep ini lebih luas maknanya dibanding menggunakan konsep ekonomi pada pengertian sesungguhnya, dalam arti konsep pemberdayaan rakyat bukan hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar atau menyediakan prosedur buat mencegah proses pemiskinan lebih lanjut. Konsep pemikiran pemberdayaan rakyat belakangan ini, poly dikembangkan menjadi upaya mencari cara lain terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang kemudian. Konsep ini berkembang berdasarkan upaya poly pakar serta praktisi untuk mencari apa yang antara lain diklaim menjadi alternatif development.

Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan menggunakan pemerataan, karena keduanya nir wajib diasumsikan sebagai incompatible or antithetical. Hasil pengkajian yg dilakukan oleh International Fund for Agriculture Develonment (IFAD) terhadap banyak sekali proyek yang ada pada aneka macam negara, menampakan bahwa dukungan bagi produksi yang didapatkan masyarakat di lapisan bawah, ternayata sudah memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi yang lebih akbar, dibandingkan menggunakan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih akbar. Pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya menggunakan biaya yg dimuntahkan lebih mini , tetapi pula dengan devisa yg lebih kecil pula. Hal terakhir ini besar merupakan bagi negara-negara berkembang yg mengalami kelangkaan devisa serta lemah posisi neraca pembayarannya.(Kwik Kian Gie:2002:4)

Untuk mengetahui seberapa jauh pemberdayaan masyarakat telah berhasil, perlu ada pemantauan dan penetapan sasaran, sejauh mungkin yg dapat diukur untuk bisa dibandingkan. Pemberdayaan warga menggunakan sendirinya berpusat dalam bidang ekonomi, lantaran target utamanya merupakan memandirikan warga , dimana kiprah ekonomi teramat krusial. Cara mengukurnya sudah poly berkembang, misalnya memakai pembagian terstruktur mengenai indeks gini dengan memilih jumlah orang yang hidup pada bawah garis kemiskinan, jumlah desa miskin, peranan industri kecil, nilai tukar pertanian, upah minimum serta sebagainya. 

Memberdayakan rakyat merupakan upaya buat menaikkan harkat serta martabat lapisan warga yg dalam syarat sekarang tidak bisa buat melepaskan diri menurut perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Meskipun pemberdayaaan masyarakat bukan semata-mata konsep ekonomi, namun berdasarkan sudut pandang ekonomi pemberdayaan rakyat secara tersirat mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi.

Demokrasi ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dimana aktivitas ekonomi yang berlangsung merupakan dari warga , oleh masyarakat serta buat rakyat. Konsep ini menyangkut masalah dominasi teknologi, pemilikan modal, akses pasar, penguasaan asal fakta serta keterampilan managemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan maka aspirasi rakyat yang tertampung wajib diterjemahkan sebagai rumusan-rumusan aktivitas yg konkret. Dalam kerangka pemikiran yg demikian itu, upaya buat memberdayakan warga melalui ekonomi syariah dapat ditinjau menurut 3 sisi.
Pertama: Menciptakan suasana atau iklim yg memungkinkan potensi rakyat berkembang. Disini titik tolaknya merupakan pengenalan bahwa insan memiliki potensi yang bisa dikembangkan. Artinya tidak ada rakyat yang sama sekali tanpa daya. Jadi pemberdayaan adalah upaya buat menciptakan daya itu dengan mendorong dan memotivasi atau membangkitkan pencerahan potensi yg dimilikinya dan berupaya buat mengembangkannya.
Kedua; Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh warga . Dalam rangka ini dibutuhkan langkah-langkah konkret serta menyangkut penyediaan banyak sekali masukan, yang akan membuat warga semakin berdaya.
Ketiga; Memberdayakan rakyat mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan ini harus dicegah pihak yg lemah semakin lemah oleh lantaran kekurangberdayaan menghadapi yg kuat.

Strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam interaksi sosial, ekonomi, budaya dan politik rakyat. Perubahan struktural yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah yaitu warga yg menghasilkan harus menikmati, bagitu pula kebalikannya rakyat yang menikmati haruslah menghasilkan pula, jadi terdapat manfaat yang secara timbal balik pada pengembangan ekonomi syariah.

Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi dalam pengembangan ekonomi syariah sudah banyak diterima serta bahkan sudah berkembang sedemikian rupa. Sayangnya banyak pemikir dan praktisi yg belum tahu serta mungkin nir meyakini bahwa konsep pemberdayaan, adalah alternatif pemecahan terhadap persoalan-duduk perkara pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang dalam teori-teori pembangunan model usang juga tidak gampang menyesuaikan diri menggunakan pandangan-pandangan dan tuntutan keadilan.

2. Paradigma Baru Dalam Pembiayaan Ekonomi Syariah
Dalam ekonomi Islam pembiayaan merupakan galat satu kegiatan primer bank syariah, pembiayaan ini dapat menghasilkan keuntungan atau keuntungan yg akbar tetapi juga mengandung resiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan serta kelangsungan usaha perbankan apabila pembiayaan tadi nir berjalan menggunakan lancar atau macet. Oleh karenanya diatur jua pembiayaan mana yg harus dihindari yaitu pembiayaan buat spekulasi, pembiayaan pada bidang yg tidak dikuasai, pembiayaan tanpa warta keuangan yang memadai, pembiayaan kepada nasabah bermasalah dan buat bank syariah harus menghindari atau menolak suatu pembiayaan yang bertentangan dengan atau tidak sesuai syariah misalnya pembiayaan perdagangan minuman memabukan, loka-loka hiburan yg bias mengundang maksiat, monopoli dan persaingan curang meskipun keuntungan yg diperoleh relatif tinggi.

Setiap pembiayaan yg sudah diproses sesuai menggunakan ketentuan yang berlaku serta disetujui sang bank, maka persetujuan tersebut wajib disepakati oleh nasabah pemehon pembiayaan, baru kemudian dibuat akad pembiayaan secara tertulis menggunakan menggunakan bentuk dan format akad atau perjanjian yg berlaku dalam bank.(Afdawaiza:2002)

Kerangka aturan yg dijadikan sendi-sendi perjanjian pembiayaan syariah adalah hukum syariah serta aturan positif. Jika pada perjanjian kredit atau pembiayaan konvensional cukup mengacu dalam hukum positif saja, maka terhadap perjanjian pembiyaan syariah sebelum produk pembiayaan syariah diterbitkan atau dipergunakan secara mendalam, Bank Syariah yg bersangkutan akan melakukan penelitian serta pemeriksaan buat menghindari terjadinya benturan atau deviasi aturan syariahnya.

AI-Qur'an sebagai pedoman yg utama mengatur menggunakan jelas, jika seseorang muslim mengadakan perjanjian dengan yg lainnya, maka ia berkewajiban buat memenuhi kewajiban yang diperjanjikannya sinkron dengan ketentuan pada Surat AI Maidah ayat 1 yang terjemahannya sebagai berikut : “Hai orang-orang yg beriman, penuhilah akad-akad itu”.(Anonim:1990)

Pada dasarnya struktur penyusunan perjanjian pembiayaan Bank Syariah menyerupai perjanjian kredit bank konvensional, hanya saja isi atau muatan pasal-pasalnya mengacu atau nir bertentangan menggunakan sistem syariah Islam, hal-hal yg membedakan pembiayaan Bank Syariah menggunakan perjanjian kredit Bank Konvensional sebagai berikut :
  1. Dalam perjanjian bank syariah kata "Perjanjian Kredit" diganti dengan "Perjanjian Pembiayaan" dan juga ditambahkan ayat-ayat yang herbi perjanjian sebagaimana dimuat dalam Surat Al Maaidah ayat (1) yaitu: "Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad perjanjian itu".
  2. Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah juga memuat pasal-pasal yang krusial dari aturan positif dan tidak bertentangan menggunakan syariah Islam, klausula-klausula yg terdapat meliputi: Definisi yg dipakai termasuk kata syariah. Keterangan mengenai fasilitas pembiayaan yang diberikan misalnya besarnya jumlah pembiayaan, jangka saat yg dipengaruhi serta juga jenis pembiayaannya dan penggunaan fasilitas pembiayaan
  3. Barang jaminan secara syariah diatur dalam surat AI-Baqarah : 283. "apabila kamu dalam perjalanan serta bermua'malah tidak secara tunai, sedang engkau nir memperoleh seseorang penulis, maka hendaknya ada barang tanggungan yg dipegang oleh yang berpiutang."
  4. Pengutamaan Pembayaran. Pada Bank Syariah nir dikenakan denda terhadap setiap kewajiban pembayaran yang terlambat sebagaimana yang tidak ditetapkan pada jadwal pembayaran. 
  5. Hukum yang mengatur. Perjanjian pembiayaan tetap diatur sang hukum sinkron dengan ketentuan hukum Indonesia. Suatu sengketa yg timbul atau menggunakan cara apapun yg terdapat hubungannya dengan perjanjian pembiayaan ini yang tidak bisa diselesaikan secara damai akan diselesaikan melalui dan berdasarkan ketentuan yg berlaku pada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) kini diganti sebagai BASYAR ( Badan Arbitrase Syariah ).
Apabila ditinjau dalam masa-masa awal berjalannya ekonomi syariah pada Indonesia, terutama lima tahun pertama semenjak berdirinya bank Muamalat Indonesia yang diiringi dengan krisis moneter yg melanda daerah asia terutama Indonesia, poly orang memperiksi bahwa ekonomi syariah akan kolap dan Bank Muamalat Indonesia akan bernasib sama dengan poly Bank Konvensional yang dilikwidasi. Faktor kondisi makro ekonomi yg terpuruk pada masa krisis moneter itu tetap memberi imbas kepada bisnis pada sektor riel, sehingga banyak pembiayaan yg mengalami kesulitan pada membayar kewajibannya ke pihak Bank termasuk pada pihak Bank Muamalat. Namun dengan kerangka berpikir ekonomi syariah yg dijalankan Bank Muamalat Indonesia yang beroperasi dengan prinsip syariah menggunakan sistim bagi output, laba yg diperoleh oleh penyimpanan dana pada bank baik tabungan juga deposito sangat tergantung dari pendapatan yang diperoleh berdasarkan pembiayaan yg disalurkan, sehingga Bank Muamalat nir mengalami kondisi negatif. Semakin besar pendapatan maka semakin akbar jua bagi output yang diterima sang penyimpan dana baik deposito juga tabungan, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian Bank Muamalat bisa mengatasi likuiditas keuangannya serta bisa bertahan dalam masa krisis ekonomi.

3. Keidealan Suatu Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa
Mengamati aktivitas ekonomi syariah yang jumlah transaksinya demikian banyak, nir mungkin dihindari terjadinya konkurensi antara pihak yg terlibat, setiap sengketa menghendaki penyelesaian yg cepat, sang karena itu Arbitrase yang diartikan dengan cara penyelesaian konkurensi pada luar forum litigasi atau peradilan yang diadakan sang para pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian, sangat cocok buat merampungkan masalah yang muncul pada usaha. Penyelesaian sengketa melalui Arbitrse telah banyak dilakukan terutama menggunakan dikeluarkannya Undang-Undang No.30 tahun 1999 mengenai Arbitrase serta Altematif Penyelesaian Sengketa. Pasal 3 UU tadi menjelaskan "Pengadilan Negeri nir berwenang buat mengadili konkurensi para pihak yg telah terikat pada perjanjian arbitrase".

Beberapa pertimbangan yg digunakan untuk memilih penyelesaian konkurensi melalui arbitrase, lantaran penyelesaian konkurensi melalui pengadilan biasanya mahal serta sangat menyita ketika serta bisa membangkitkan pertikaian yg mendalam, sedangkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase nisbi masih dipercaya lebih murah dan cepat. Dengan demikian saat ini penggunaan cara penyelesaian di luar pengadilan lebih disenangi dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan, terutama oleh kalangan usahawan. Ada beberapa kebaikan mekanisme Arbitrasi apabila dibandingkan dengan penyelesaian konkurensi melalui forum pengadilan yaitu:
  1. Prosedur yang cepat.
  2. Prosedur misteri.
  3. Hemat waktu.
  4. Hemat porto.
  5. Fleksibilitas yang besar pada merancang syarat-syarat penyelesaian
  6. Kemungkinan untuk melaksanakan konvensi cukup tinggi
  7. Keputusan yang bertahan sepanjang saat.
Proses Arbitrase yg digunakan menjadi pilihan hukum apabila terjadi sengketa dalam perjanjian atau akad perbankan syariah adalah penyelesaian yg mengacu pada kaedah-kaedah hukum islam dan ketentuan hukum positif, penyelesaiannya dilakukan sang Badan Arbitrase Syariah (BASYAR). Pada dasarnya poly hal yang menyebabkan timbulnya pembiayaan yang bermasalah serta mengakibatkan timbulnya masalah aturan di bank muamalat yang akan diselesaikan melalui arbitrase, perkara tersebut antara lain:
  1. Penarikan dana oleh debitur sebelum dokumentasi pembiayaan diselesaikan.
  2. Pembiayaan diberikan pada pengusaha baru yang belum berpengalaman.
  3. Penambahan pembiayaan tanpa penambahan agunan yang kentara.
  4. Tidak ada bisnis bank buat mengawasi penggunaan pembiayaan tersebut sebagai akibatnya timbul kemungkinan debitur menggunakannya nir sinkron dengan ketentuan perjanjian kredit.
  5. Bank nir memperhatikan laporan menurut pihak ketiga yg bernada kurang menguntungkan debitur.
Dalam bepergian Bank Muamalat Indonesia sampai sekarang sudah cukup poly perkara yang diajukan serta diselesaika melalui arbitrase syariah, sebagian akbar telah selesai menggunakan baik dalam arti lebih cepat dan murah dibandingkan melalui pengadilan. Sedikitnya kasus yang diajukan disebabkan kebijaksanaan bank buat menuntaskan permasalahannya secara intern lebih dahulu, baru lalu jika tidak ada penyelesaian antara pihak bank dengan nasabah diseleaikan melalui arbitrase. Syarat-syarat serta mengikatnya perjanjian arbitrase didasarkan pada:
  1. Perjanjian arbitrase pada pada dasarnya atau ujudnya merupakan klausula arbitrase sebagaimana yg dimaksud dalam Pasal 1 nomor tiga UU 30/1999.
  2. Berisi pernyataan yg tegas bahwa semua konkurensi atau beda pendapat yang ada atau yang mungkin ada menurut hubungan aturan antara para pihak yg menciptakan perjanjian arbitrase tadi akan diselesaikan menggunakan cara arbitrase sebagaimana dipengaruhi pada Pasal dua UU 30/1999.
  3. Perjanjian penyelesaian konkurensi dengan cara arbitrase dibentuk secara tertulis dan bisa dibentuk atau dipengaruhi baik sebelum juga sesudah timbulnya konkurensi serta ditandatangani sang para pihak.
  4. Dalam hal perjanjian arbitrase dibuat setelah konkurensi terjadi dan para pihak nir bisa menandatangani perjanjian tertulis, perjanjian tertulis tadi wajib dibuat dalam bentuk akta notaries.
  5. Dalam hal perjanjian arbitrase dibentuk sebelum sengketa terjadi dan para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut, maka analog dengan ketentuan Pasal 9 ayat (dua) UU 30/1999, perjanjian tadi wajib dibuat dalam bentuk akta notaris.
  6. Dalam hal kesepakatannya dibentuk pada bentuk pertukaran surat, teleks, telegram, faksimili, e-mail atau pada bentuk sarana telekomunikasi lainnnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan sang para pihak atau sang pihak lainnya sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasa14 ayat (3) UU UU No. 30/1999).
  7. Perjanjian arbitrase tidak menjadi batal (atau mengikat terus) sekalipun terjadi hal-hal menjadi berikut (Pasal 0 UU 30/1999):
  • Meninggalnya salah satu pihak; atau
  • Bangkrutnya salah satu pihak; atau 
  • Novasi; atau
  • Insolvensi galat satu pihak; atau
  • Pewarisan; atau
  • Berlakunya kondisi-kondisi hapusnya perikatan utama; atau
  • Bilamana aplikasi perjanjian tersebut dialih tugaskan dalam pihak ketiga menggunakan persetujuan pihak yg melakukan perjanjian arbitrase tersebut; 
  • Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh pada penyelesaian sengketa melalui Arbitrase antara lain adalah:
1. Para pihak berhak menentukan lembaga arbitrase yang dipakai;
a. Para pihak bebas memilih arbitrase yg diinginkan, baik arbitrase institusional juga arbitrase ad-hoc.
b. Lantaran penyelesaian konkurensi melalui arbitrase bisa dilakukan menggunakan menggunakan lembaga arbitrase internasional atau internasional berdasarkan konvensi para pihak (Pasal 34 ayat (I) UU 30/1999), maka para pihak boleh memilih apakah memakai lembaga arbitrase nasional atau internasional.
c. Ada beberapa forum arbitrase nasional yg dapat dipilih, yaitu:
- Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basanas)
- Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
- Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).

2. Para pihak bebas buat menyepakati governing law yg akan digunakan menjadi dasar hukum buat menuntaskan konkurensi di antara mereka;
a. Para pihak berhak menentukan pilihan aturan yg akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau sudah muncul antara para pihak (Pasal 56 ayat (dua) UU 309/1999).
b. Dengan demikian hukum luar negeri bisa dipilih dan diterapkan pada proses arbitrase.

3. Para pihak berhak memilih program arbitrase yang digunakan:
a. Para pihak bebas memilih sendiri acara arbitrase yg digunakan pada inspeksi konkurensi dalam perjanjian yang tegas serta tertulis, sepanjang nir bertentangan menggunakan UU 30/1999 (Pasa131 ayat (1) UU 30/1999).
b. Jika para pihak nir memilih acaranya, maka konkurensi tadi diperiksa dan diputuskan menurut UU 30/1999 (Pasa131 ayat (dua UU 30/1999).
c. Penyelesaian konkurensi melalui forum arbitrase, dilakukan berdasarkan peraturan serta acara dari forum yg dipilih (Pasal 34 ayat (dua) UU 30/1999).

4. Para pihak berhak menentukan arbiternya sendiri;
a. Arbiter yang mempelajari perkara diangkat menurut pilihan para pihak.
b. Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai konvensi mengenai pemilihan arbiter, pengadilan negeri memilih arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 13 ayat (1) UU 30/99). Dengan demikian para pihak bisa memilih arbiter yang berdasarkan pendapatnya mempunyai keahlian tentang materi yang disengketakan, dan mempunyai integritas serta bersikap profesional.

5. Sekali seorang arbiter sudah mendapat pengangkatannya, arbiter yg bersangkutan nir dapat mengundurkan diri; Arbiter yg telah menyatakan mendapat penunjukan atau pengangkatan sebagai arbiter nir dapat menarik diri kecuali:
a. Atas persetujuan para pihak (Pasal 19 ayat (1)) atau
b. Ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 19 ayat (4) UU 30/1999);

6. Para pihak memiliki hak ingkar terhadap arbiter termasuk arbiter yang dipilihnya sendiri maupun yang diangkat dengan penetapan pengadilan. Hak ingkar bisa diajukan apabila:
a. Terdapat cukup bukti otentik yg menyebabkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan berpihak pada mengambil keputusan (Pasal 22 ayat (1) UU 30/1999).
b. Apabila terbukti adanya interaksi kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan galat satu pihak atau kuasanya (Pasal 22 ayat (dua) UU 30/1999).

7. Arbiter lebih bertanggung jawab berdasarkan pada hakim Pengadilan Negeri; Arbiter atau majelis arbitrase dapat dikenakan tanggung jawab hukum atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung buat menjalankan kegunaannya bila bisa dibuktikan adanya itikad jelek berdasarkan tindakan tersebut (Pasal 21 UU 30/1999). Dengan kata lain, arbiter yg menerima suap bukan saja bisa dipidanakan tetapi dapat jua digugat secara perdata.bahkan tuntutan bisa pula diajukan jika bersikap berat sebelah terhadap salah satu pihak yg berperkara, misalnya bersedia .buat bertemu menggunakan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak yang lain atau menolak buat menerima keliru satu pihak sedangkan pihak yang ditolak itu dapat mengambarkan bahwa pihak lawannya pernah diterima buat bertemu tanpa kehadirannya.

8. Para pihak memilih sendiri jangka waktu inspeksi, sehingga bisa jauh lebih cepat menurut pada memperoleh putusan melalui pengadilan;
a. Penyelesaian kasus melewati pengadilan pada kenyataannya sangat lama , yaitu hingga bertahun-tahun.
b. Undang-undang No. 30/1999 memilih:
(a) Waktu penyelesaian inspeksi arbitrase dipengaruhi sendiri oleh para pihak (Pasal 31 ayat (3) UU 30/1999).
(b) Dalam hal arbiter melampaui jangka waktu yg dipengaruhi tanpa alasan yg sah, arbiter yg bersangkutan dapat dieksekusi buat membarui biaya dan kerugian kepada para pihak (Pasal 20 UU 30/1999).

9. Para pihak berhak menentukan loka diselenggarakannya arbitrase;
Undang-undang No. 30/1999 memilih:
a. Tempat diselenggarakannya arbitrase ditentukan sendiri sang para pihak.
b. Dalam hal tidak dipengaruhi sang para pihak, loka diselenggarakannya arbitrase dipengaruhi sang arbiter atau majelis arbitrase.
c. Apabila loka arbitrase tidak ditentukan sang para pihak, loka tadi dipengaruhi oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 37 ayat (1; UU 30/1999).

10. Biaya pemeriksaan arbitrase lebih leluasa berdasarkan inspeksi melalui pengadilan.
a. Biaya pemeriksaan melalui pengadilan merupakan atas beban negara yang sangat terbatas, sedangkan porto inspeksi melalui arbitrase adalah atas beban pihak yang kalah (Pasal 77 ayat (1) UU 30.1999), atau pada hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang (Pasal 77 ayat (dua) UU 30/1999).
b. Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi pakar dibebankan kepada pihak yang meminta (Pasa149 ayat (dua) UU 30/1999).

11. Arbiter atau majelis arbitrase memiliki wewenang judisial sama dengan hakim Pengadilan Negeri, antara lain:
a. Arbiter bisa merogoh putusan provisionil (putusan sela).
b. Arbiter bisa menetapkan serta melakukan sita jaminan atau memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak (pasal 32 ayat (1) UU / 30/1999).
c. Arbiter dapat melakukan pemeriksaan saksi dan saksi pakar, baik atas inisiatifnya sendiri juga atas memerintah para pihak (Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) dan (4) UU 30/1999).
d. Arbiter dapat melakukan pemeriksaan setempat atas barang yg disengketakan atau hal lain yg berhubungan dengan konkurensi yg diperiksa (Pasal 37 ayat (4) UU 30/1999)

12. Pemeriksaan arbitrase bersifat rahasia.
Pemeriksaan konkurensi melalui arbitrase dilakukan secara tertutup (Pasa127 UU 30/1999).

13. Putusan arbitrase bersifat final serta mengikat.
Putusan arbitrae bersifat serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60; lihat juga Pasal 17 ayat (2) UU 30/1999). Dengan demikian tidak dapat diajukan Banding, Kasasi atau Peninjauan Kembali (Penjelasan Pasal 60 UU 30/1999).

14. Putusan arbitrase hanya dapat dibatalkan bila didasarkan adanya kecurangan
Putusan pengadilan yg sudah berkekuatan hukum permanen tidak dapat diupayakan menggunakan cara apapun buat dibatalkan, sekalipun pengambilan putusan itu menurut kecurangan atau melanggar aturan. Putusan arbitrase dapat dibatalkan, yaitu dengan mengajukan permohonan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 72 ayat (1) UU 30/1999), jika mengandung unsur-unsur sebagaimana dimaksud pada Pasal 70 UU 30/1999. Unsur­-unsur tadi adalah:
(a) Surat atau dokumen yg diajukan dalam pemeriksaan palsu atau dinyatakan palsu.
(b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yg bersifat memilih yg disembunyikan oleh pihak versus.
(c) Putusan diambil dari hasil tipu makar galat satu pihak.

15. Pembatalan putusan arbitrase hanya bisa diajukan banding sang pihak yang berkepentingan kepada Mahkamah Agung. 
Terhadap putusan pembatalan sang Pengadilan Negeri, hanya bisa diajukan permohonan banding pada Mahkamah Agung yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 72 ayat (4)'UU 30/1999). Dengan kata lain, nir dapat diajukan banding melalui Pengadilan Tinggi atau diajukan Peninjauan Kembali. Ketentuan yg demikian ini juga adalah faktor nir berlarut-larutnya penyelesaian konkurensi melalui arbitrase.

16. Eksekusi putusan arbitrase bisa dipaksakan sang negara.
Dalam hal para pihak nir melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan menurut perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan galat satu pihak yg bersengketa (Pasal 61 UU 30/1999). Perintah Ketua Pengadilan Negeri dilaksanakan sesuai pelaksanaan putusan pada perkara perdata yg putusannya telah mempunyai kekuatan aturan tetap sehingga dengan demikian badan arbitrase adalah badan peradilan swasta yg mempunyai daya memaksa yg bersifat publik.

Comments