MEMPOSISIKAN EKONOMI ISLAM
Ekonomi Islam bukan pertengahan akomodasi kapitalisme serta sososialisme. Ekonomi Islam memiliki karakteristiknya sendiri, hatta jikapun masih ada poin kesamaan eksklusif pada mekanismenya menggunakan ekonomi konvensional. Membicarakan ekonomi Islam bukan hanya soalan bank syari'ah dan ZISWAF sahaja, tetapi mencakup ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pembiayaan publik sampai konsep pembangunan.
Subjek dalam studi ekonomi Islam sangat dekat menggunakan ekonomi konvensional yaitu alokasi serta distribusi sumberdaya yg terbatas buat memenuhi kebutuhan yg nir terbatas, tetapi kurang tepat asumsi yg menyatakan ekonomi Islam merupakan ekonomi konvensional minus riba plus ZIS. Lantaran visi serta tujuan yang mendasari subjek ekonomi Islam tidak ekivalen menggunakan ekonomi konvensional. Demikian juga pendefinisan well-being atau kesejahteraan pada subjek ekonomi Islam tidak ekivalen menggunakan ekonomi konvensional.
Dalam literatur ekonomi konvensional, kesejahteraan didefinisikan sebagai 'happines and life satisfaction'. Selanjutnya dalam ekonomi konvensional happiness diasosiasikan dalam terminologi material dan hedonistis, perolehan pendapatan dan profit yang tinggi buat memenuhi kebutuhan jasmani (biological needs). Sehingga sangat rasional bagi aktifitas ekonominya buat melayani kesamaan pribadi, kekayaan, kesenangan jasmani dan kepuasan sensual. Karena kesenangan dan kepuasan sensual bergantung pada kesukaan serta preferensi individu masing-masing, maka 'value judgement' akan disingkirkan sebagai akibatnya individu memiliki kebebasan memutuskan apa yang mereka inginkan (freedom to pursue self interest). Ini juga yg mengakibatkan peran pemerintah diupayakan minimum kecuali dalam tingkat yg diperlukan buat mengefektifkan performansi individu serta pasar.
Dalam ekonomi Islam, Ibnu Khaldun berpendapat kesejahteraan nir saja pemenuhan kebutuhan dasar jasmani, melainkan jua kebutuhan non-material. Salah satu kebutuhan non material yang paling krusial adalah keadilan. Syarat kesejahteraan lainnya adalah ketenangan mental, keharmonisan keluarga serta rakyat, persaudaraan umat manusia, kebebasan, keamanan harta benda, keamanan hayati, minimisasi kejahatan dan penekanan.
Kesejahteraan merupakan produk akhir menurut interaksi faktor-faktor ekonomi (misalnya pendapatan) menggunakan faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis dan historis yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga masing-masing faktor tersebut tidak akan bisa berkontribusi optimum dengan menghilangkan salah satunya. Kesejahteraan yang sebenarnya nir akan pernah terealisasi tanpa keadilan. Al-Qur'an menyatakan penegakan keadilan sebagai tujuan diutusnya para rosul (QS.57:25): "Sungguh, Kami sudah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang konkret dan Kami turunkan beserta mereka buku serta neraca (keadilan) supaya manusia bisa berlaku adil" Rosululloh saw pula menyatakan ketidakadilan menjadi kegelapan yg sesungguhnya (injustice equivalent to absolute darkness). Lantaran ketidakadilan meruntuhkan solidaritas, menyulut perseteruan, membunuh kepercayaan dan menciptakan kerusakan dalam kehidupan manusia.
Abu Yusuf (wafat 789) menegaskan pada Khalifah Harun Al Rasyid bahwa penegakan keadilan dan pembasmian ketidakadilan akan meningkatkan kecepatan pembangunan. Al-Mawardi (wafat 1058) menyatakan keadilan akan menaikkan solidaritas, penegakan hukum, pembangunan negara, peningkatan kekayaan, pertumbuhan penduduk serta keamaan negara. Dinyatakan pula "tidak terdapat yg dapat merusak dunia serta humanisme manusia lebih cepat menurut ketidakadilan." Ibnu Taimiyyah (wafat 1328) menyatakan keadilan merupakan produk inti berdasarkan ketauhidan. Ibnu Khaldun jua menyatakan tidak mungkin menciptakan tanpa keadilan, ketidakadilan membawa kehancuran pembangunan, penurunan kesejahteraan adalah hasil menurut pelanggaran keadilan. Dari definisi kesejahteraan yang diadopsi suatu warga , akan membawa disparitas konfigurasi serta mekanisme alokasi serta distribusi sumberdaya yg terbatas tersebut.
Pemikiran ekonomi Islam oleh sarjana muslim berlangsung gemilang serta redup seiring merosotnya kekhilafahan dan penghancuran dokumentasi kebudayaan dan ilmu pengetahuan sang bangsa Mongol. Ibnu Khaldun (wafat 1406) menjadi muslim yg sadar akan fenomena kemerosotan umat, menciptakan analisa komprehensif pada Muqadimah, yg bahkan konsep pembangunannya sangat maju mencakup multidisiplin, yg sekarang --antara lain-- digagas sang Amartya Sen pada Freedom as Development.sesudahnya nir terdengar kajian-kajian komprehensif lagi, kecuali oleh beberapa sarjana muslim (yang terisolasi) seperti Al-Maqrizi (wafat 1442), Al-Dawwani (wafat 1501) dan terakhir Shah Waliyullah (wafat 1762).
Mengkonstruksi kompleksitas mekanisasi ekonomi Islam buat bisa 'keluar' menurut arus primer sistem ekonomi ketika ini bukan pekerjaan yang bisa dibutuhkan selesai pada ketika singkat. Apalagi bila kita perhatikan bahwa kebangkitan pemikiran ekonomi Islam baru berlangsung lebih kurang 40 tahun terakhir, dimulai berdasarkan beberapa ketika sebelum pendirian IDB dalam 1975. Dapatlah kita bayangkan kekosongan pemikiran ekonomi Islam berlangsung berdasarkan 1762 sampai 1970-an (berarti hampir 250 tahun) atau bahkan hampir 600 tahun bila ditarik dari masa pemikiran Ibnu Khaldun. Jumlah orang, universitas, pemerintahan dan forum riset yg berpartisipasi pada pengembangan ekonomi Islam masih sangat sedikit, bahkan pada negri-negri muslim sekalipun. Bandingkan menggunakan kapitalisme yang telah berjalan lebih menurut satu abad, pengembangannya berakselerasi nyaris tanpa interupsi. Tergambar kentara menurut jurnal-jurnalnya yang nir terhitung lagi, buku, laporan dan riset pada seluruh dunia yang melimpah. Atau socialism yang 'divonis' bangkrut serta hancur, jurnalnya melimpah, pemikirnya terus aktif dalam forum defensif Marxist. Bagaimana dengan kita?
Sekarang, jika ekonomi konvesional diasumsikan telah sedemikian kokoh terbangun, bagaimana posisi ekonomi Islam? Masih cukup relevan atau esensiilkah pada tahapan globalisasi ekonomi waktu ini? Sedikit romantisme sejarah, saat peradaban madani telah terbangun, pada sisi lain berlangsung perang berkepanjangan Persia-Romawi. Terjadi pungutan pajak dan tarif yang luar biasa berat buat pembiayaan perang, sebagai akibatnya menghambat perdagangan dan pembangunan. Sementara daerah dibawah pengaturan Islam menjadi pangsa pasar yg luas dan terbuka menggunakan pajak minimum, perputaran uang yg pesat, tempat penyimpanan barang-barang, kapital, dan interaksi antar manusia yang bebas dan kondusif. Mengapa sanggup demikian? Lantaran keadilan dan kepatutan dalam interaksi umat insan adalah komponen melekat dalam ekonomi Islam.
Iklim tadi mendorong perdagangan yang membentang menurut Maroko dan Spanyol pada barat, ke India serta China pada timur, Asia Tengah pada utara, hingga Afrika pada selatan. Ekspansi perdagangan ini dibuktikan nir hanya menurut dokumen sejarah, melainkan pula melalui koin atau mata uang Islam berdasarkan abad 7 serta 8 yg ditemukan pada Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, British serta Scotland. Negeri-negeri yg notabene bukan negeri Muslim. Kegairahan perdagangan mendorong pembangunan pada seluruh dunia, nir hanya trading produk pertanian, namun pula kerajinan, serta barang-barang 'industri'. Sehingga terjadi peningkatan pendapatan yg signifikan. Tidak saja pada negeri-negeri Muslim melainkan terdistribusi secara adil kepada pelaku ekonomi meskipun bukan negri muslim. Jadi gagasan kemakmuran beserta bukan sesuatu yang baru pada peradaban Islam.
Keberhasilan ekonomi Islam bukanlah fantasi dan bisa kita bangun balik , lantaran pernah berjaya dari abad 7 hingga abad 12 atau selama 600 tahun, lalu gejala kemerosotan umat berlangsung 200 tahun hingga sejak abad 14 umat sahih-benar jadi bulan-bulanan hingga kini . Peradaban yang –pernah-- kalah menyisakan keperihan terputusnya dokumentasi keilmuan serta terpasungnya pemikir-pemikir peradaban. Tetapi menggunakan kerja keras dan kerja umat yg beserta-sama menciptakan konsepsi ekonomi Islam, serta menjalankan instrumen ekonomi Islam secara riil, insya Allah akan sebagai gelombang perbaikan kemajuan peradaban Islam. Rutnya, kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yg mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --buat kepentingan kelangsungan hayati jangka panjang-- menjamin well-being bagi rakyat (N) menggunakan menyediakan lingkungan yang sesuai buat aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), serta pembangunan dan distribusi kekayaan (W) yang setara.
Relasi sebab akibat yang normal mungkin tidak wajib reversibel, tetapi pada rakyat manusia yang ditekankan Ibnu Khaldun, hubungan sirkular dan saling kebergantungan umumnya cenderung reversibel. Implikasinya, mekanisme triger dalam kemunduran suatu warga (yang pada analisis Ibnu Khaldun merupakan kegagalan G) mampu nir sama buat setiap warga . Bisa dipicu oleh variabel manapun. Contohnya, disintegrasi keluarga, yg merupakan bagian integral berdasarkan N pada model diatas. Disintegrasi famili membawa pendidikan yang nir sempurna kepada anak-anak selanjutnya membawa penurunan dalam kualitas asal daya insan (N) yg adalah dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga mampu disebabkan kelemahan ekonomi (W) output berdasarkan kesalahan sistem ekonomi (S) misalnya contoh kasus ekonomi totalitarian, atau institusi serta value yg jelek (S) seperti yg dihadapi poly negara berkembang saat ini
Comments
Post a Comment