PENGERTIAN PEMIMPIN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Pemimpin Menurut Para Ahli
Seiring perkembangan zaman, kepemimpinan secara ilmiah mulai berkembang bersamaan dengan pertumbuhan manajemen ilmiah yg lebih dikenal menggunakan ilmu tentang memimpin. Hal ini terlihat menurut banyaknya literatur yg mengkaji tentang kepemimpinan dengan aneka macam sudut pandang atau perspektifnya. Kepemimpinan tidak hanya dicermati menurut bak saja, akan namun dapat dilihat menurut penyiapan sesuatu secara berencana serta dapat melatih calon-calon pemimpin.

Sejarah timbulnya kepemimpinan, sejak nenek moyang dahulu kala, kerjasama dan saling melindungi telah muncul beserta-sama menggunakan peradapan insan. Kerjasama tadi timbul pada tata kehidupan sosial rakyat atau gerombolan -grup insan dalam rangka buat mempertahankan hidupnya menentang kebuasan binatang serta menghadapi alam sekitarnya. Berangkat dari kebutuhan bersama tadi, terjadi kerjasama antar insan serta mulai unsur-unsur kepemimpinan. Orang yang ditunjuk sebagai pemimpin menurut kelompok tersebut adalah orang-orang yg paling kuat dan bagak, sehingga terdapat anggaran yg disepakati secara beserta-sama contohnya seseorang pemimpin harus lahir menurut keturunan bangsawan, sehat, kuat, berani, ulet , pandai , memiliki imbas serta lain-lain. Hingga hingga kini seorang pemimpin wajib memiliki kondisi-syarat yang nir ringan, karena pemimpin menjadi ujung tombak kelompok.

Kepemimpinan atau leadership adalah ilmu terapan menurut ilmu-ilmu social, sebab prinsip-prinsip serta rumusannya dibutuhkan bisa mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan insan (Moejiono, 2002). Ada poly definisi kepemimpinan yg dikemukakan sang para pakar dari sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tadi menunjukkan adanya beberapa kesamaan.

Definisi Kepemimpinan berdasarkan Tead; Terry; Hoyt (pada Kartono, 2003) merupakan kegiatan atau seni menghipnotis orang lain agar mau berhubungan yang didasarkan dalam kemampuan orang tersebut buat membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yg diinginkan grup. Kepemimpinan dari Young (dalam Kartono, 2003) lebih terarah serta jelas dari definisi sebelumnya. Menurutnya kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang mampu mendorong atau mengajak orang lain buat berbuat sesuatu yg dari penerimaan oleh kelompoknya, serta memiliki keahlian khusus yg tepat bagi situasi yg khusus.

Dalam teori kepribadian menurut Moejiono (2002) memandang bahwa kepemimpinan tadi sebenarnya menjadi akibat efek satu arah, lantaran pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas eksklusif yang membedakan dirinya menggunakan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung memandang kepemimpinan menjadi pemaksaan atau pendesakan imbas secara nir langsung serta menjadi wahana buat membentuk grup sinkron menggunakan hasrat pemimpin (Moejiono, 2002).

PENGERTIAN PEMIMPIN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Pemimpin Menurut Para Ahli
Seiring perkembangan zaman, kepemimpinan secara ilmiah mulai berkembang bersamaan menggunakan pertumbuhan manajemen ilmiah yg lebih dikenal dengan ilmu mengenai memimpin. Hal ini terlihat berdasarkan banyaknya literatur yang mengkaji mengenai kepemimpinan dengan berbagai sudut pandang atau perspektifnya. Kepemimpinan nir hanya dicermati berdasarkan bak saja, akan tetapi dapat dipandang menurut penyiapan sesuatu secara berencana serta dapat melatih calon-calon pemimpin.

Sejarah timbulnya kepemimpinan, semenjak nenek moyang dahulu kala, kerjasama dan saling melindungi sudah ada bersama-sama dengan peradapan manusia. Kerjasama tersebut muncul pada tata kehidupan sosial rakyat atau kelompok-grup manusia dalam rangka untuk mempertahankan hidupnya menentang kebuasan hewan serta menghadapi alam sekitarnya. Berangkat menurut kebutuhan bersama tadi, terjadi kerjasama antar insan serta mulai unsur-unsur kepemimpinan. Orang yg ditunjuk sebagai pemimpin berdasarkan kelompok tadi ialah orang-orang yang paling bertenaga serta bagak, sehingga terdapat aturan yang disepakati secara bersama-sama contohnya seseorang pemimpin harus lahir berdasarkan keturunan bangsawan, sehat, kuat, berani, ulet , pandai , mempunyai dampak serta lain-lain. Hingga sampai kini seseorang pemimpin harus memiliki syarat-kondisi yang tidak ringan, lantaran pemimpin menjadi ujung tombak kelompok.

Kepemimpinan atau leadership adalah ilmu terapan menurut ilmu-ilmu social, sebab prinsip-prinsip serta rumusannya diharapkan bisa mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan insan (Moejiono, 2002). Ada poly definisi kepemimpinan yg dikemukakan sang para pakar berdasarkan sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut memberitahuakn adanya beberapa kecenderungan.

Definisi Kepemimpinan dari Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) merupakan aktivitas atau seni menghipnotis orang lain agar mau berhubungan yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut buat membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yg diinginkan kelompok. Kepemimpinan menurut Young (pada Kartono, 2003) lebih terarah dan terperinci menurut definisi sebelumnya. Menurutnya kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yg sanggup mendorong atau mengajak orang lain buat berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan sang kelompoknya, serta mempunyai keahlian spesifik yang sempurna bagi situasi yang khusus.

Dalam teori kepribadian dari Moejiono (2002) memandang bahwa kepemimpinan tersebut sebenarnya sebagai dampak impak satu arah, karena pemimpin mungkin mempunyai kualitas-kualitas eksklusif yang membedakan dirinya menggunakan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung memandang kepemimpinan menjadi pemaksaan atau pendesakan dampak secara tidak pribadi dan menjadi sarana buat membentuk grup sesuai dengan cita-cita pemimpin (Moejiono, 2002).

BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL KUNCI KESUKSESAN KINERJA MANAJERIAL DAN KEUANGAN

Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan
Tulisan pada artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar 3 konstruk krusial pada teori organisasi. Ketiga konstruk tadi terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional serta kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan penjelasan terperinci setiap konstruk dalam banyak sekali perspektif. Langkah berikutnya adalah melakukan simulasi dan konstruksi hubungan antar konstruk sebagai akibatnya tersusun peta awal menurut hubungan antar variabel tersebut.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas pada aneka macam setting sehingga istilah budaya pada suatu perusahaan atau organisasi pernah sebagai suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan jua di kalangan akademisi. Namun demikian dalam perkembangannya, budaya organisasional mendapat “tempat” krusial pada khasanah akademis, khususnya teori organisasi seperti halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” adalah suatu konstruk, yg adalah abstraksi berdasarkan fenomena yg bisa diamati berdasarkan poly dimensi. Sehingga poly pakar ilmu-ilmu sosial dan manajemen belum memiliki “communal opinio” tentang definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tadi dari beragam perspektif serta dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan pola keyakinan serta nilai-nilai (values) organisasi yang difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tadi menaruh arti tersendiri dan menjadi dasar anggaran berperilaku dalam organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional sebagai suatu pola menurut asumsi-perkiraan dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu grup tertentu menggunakan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi kasus-masalah yg muncul dampak adaptasi eksternal serta integrasi internal yang telah berjalan dengan cukup baik, sebagai akibatnya perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat tahu, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan kasus-perkara tadi. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada dalam 3 tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada taraf artifacts, budaya organisasional memiliki karakteristik bahwa struktur dan proses organisasional bisa terlihat. Pada tingkat berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar  Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada taraf ini organisasi serta anggotanya membutuhkan tuntunan taktik (strategies), tujuan (goals) dan filosofi menurut pemimpin organisasi buat bertindak serta berperilaku. Sedangkan pada tingkat basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara sahih serta cara yang tepat.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi dan Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat perkiraan-asumsi keyakinan-keyakinan, nilai-nilai serta persepsi-persepsi yg dimiliki para anggota grup dalam suatu organisasi yg membentuk dan menghipnotis perilaku serta perilaku kelompok tersebut. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu cognitive framework yang meliputi perilaku, nilai-nilai, norma perilaku dan asa-harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan menjadi perekat sosial (social glue) yg mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional adalah norma-kebiasaan dan nilai-nilai yg mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara mendasar dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi saat yang panjang (holistic), dua) ditentukan atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), tiga) herbi sesuatu yang bersifat ritual dan simbolik, 4) didapatkan dan dipertahankan sang grup-kelompok yang secara beserta-sama menciptakan organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) sukar berubah (hard to change)


Smircich (1983) memberitahuakn empat fungsi krusial budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional pada para anggota organisasi., 2) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) menaikkan stabilitas sistem sosial, dan 4) membangun konduite menggunakan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan juga sebagai “ruh” organisasi lantaran di sana bersemayam filosofi, misi dan visi organisasi yang akan sebagai kekuatan krusial buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan misalnya pula konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg majemuk yg berimplikasi dalam kesulitan pada pemahaman konsep dan metoda. Hal tersebut disebabkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi menurut konsep keefektifan, kriteria yang dipakai pada pengukuran, taraf analisis yg appropriate dan grup kegiatan organisasional mana yang mencerminkan sentra perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tersebut tidak menciptakan konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron dan Whetten (1983), terdapat tiga alasan mencakup teoritis, empiris serta mudah. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak dalam sentra seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi menjadi variabel penting pada aktivitas riset serta konsep penting dalam penafsiran fenomena organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat membuat judgements mengenai kinerja (performance) berbagai organisasi. Tetapi demikian, paling tidak terdapat dua pandangan yg paling poly digunakan dalam mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya dengan konsekuensi-konsekuensi menurut tindakan-tindakan pemimpin tadi bagi para pengikutnya serta para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya dengan melihat aneka macam jenis output yg telah digunakan, termasuk pada dalamnya kinerja serta pertumbuhan kelompok atau organisasi berdasarkan pemimpin tersebut, kesediaannya buat menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut dengan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap sasaran-sasaran kelompok, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut serta kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi di pada organisasi. Beberapa contoh keefektifan organisasional yang berkembang dalam khasanah akademik dapat dipandang pada Tabel 1.

Tabel  Model-contoh Keefektifan Organisasional
Model

Definisi

Kapan Bermanfaat?

Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka ketika serta terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan
Ada kaitan kentara antara input dan kinerja
Model Proses Internal
Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan jelas antara berbagai proses organisasional serta kinerja
Multiple Constituency Model

Semua pihak terkait terpuaskan
Pihak-pihak terkait mempunyai imbas kuat terhadap organisasi
Competing Values Model

Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait pada hal empat kuadran yg berbeda
Organisasi nir kentara kriterianya atau tak jarang berubah kriteria
Model Legitimasi
Kelangsungan hayati terjamin menjadi hasil aplikasi aktivitas legitimate
Kelangsungan hidup organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak memiliki kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan nir kentara atau berbagai taktik pemugaran diharapkan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yg mengakibatkan kurangnya pengembangan konsepsual mengenai keefektifan adalah kesulitan pada mengintegrasikan berbagai konsepsualisasi organisasi yg tidak sinkron. Oleh karenanya setiap upaya pengembangan konsep keefektifan wajib dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yg sebagai dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional dengan Keefektifan Organisasional
Tujuan seseorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian banyak persoalan organisasional dan ketidakpastian (uncertainty) baik internal maupun eksternal yg seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian menampakan kegagalan organisasi lebih acapkali ditimbulkan sang pertarungan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Konflik tersebut mendorong Peters serta Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional buat menaikkan keefektifan serta kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut dapat sebagai kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian dan kajian manajemen organisasi banyak para pakar sudah meyakini keeratan interaksi antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sebagai akibatnya hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) menerangkan dukungan penting bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan memiliki pengaruh terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama dalam perusahaan yang memiliki budaya yang sinkron dengan strategi serta dapat mempertinggi komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) berkata bahwa peningkatan kinerja organisasional jua ditentukan oleh aktiva tidak berwujud, diantaranya: budaya organisasional, hubungan menggunakan pelanggan (customer elationship) dan citra perusahaan (brand equity).

Pandangan tersebut sejalan dengan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter dan Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini sebagai galat satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yg disampaikan pada output studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan menurut 22 jenis industri pada Amerika Serikat, Kotter dan Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai impak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan buat jangka panjang. Secara lengkap empat kiprah primer budaya organisasional berhasil dieksplorasi berdasarkan penelitian tersebut, mencakup: 1) mempunyai imbas yg signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) sebagai faktor yg lebih memilih sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, tiga) bisa mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang bila pada pada perussahaan terdiri menurut orang-orang yg layak serta cerdas, dan 4) dibuat buat menaikkan kinerja perusahaan.

Demikian juga output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yg melakukan merger dalam dekade 1980-an yang menunjukkan bahwa merger sering mengalami kegagalan karena nir kompatibel menggunakan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, cita-cita berhenti serta turn over misalnya yg diperoleh menurut sejumlah hasil riset realitas Kreitner serta Knicky (1995).

Pandangan pada atas didukung pula oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody serta Noe (1996), Sobirin (1997), dan Luthans (1998).

Dalam perkara pada Indonesia, studi tentang dampak budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial serta kinerja ekonomi organisasi sudah poly dilakukan. Misalnya studi yg dilakukan oleh Supomo serta Indriantoro (1998) yg meneliti 79 manajer berdasarkan berbagai departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yang menemukan bukti empiris adanya imbas positif budaya organisasional yang berorientasi pada orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif dalam peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) mengungkapkan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh serta berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian pada atas menerangkan bahwa budaya organisasional mempunyai kiprah yang sangat strategis buat mendorong serta meningkatkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk pada dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek juga jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan penting buat menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan serta mengelola asal daya menjadi kekuatan internal pada memanfaatkan peluang (opportunity) dan mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan pula sebagai subyek yg senantiasa menarik serta diperbincangkan bagi banyak kalangan yang lalu berakibat jua pada pendefinisian yang beragam serta kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yg dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis pada perspektif-perspektif individu serta aspek berdasarkan fenomena perhatian mereka yang paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite berdasarkan seorang individu yang memimpin kegiatan-kegiatan suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai beserta (shared goal). Tannenbaum, Weschler, dan Massarik (1961) beropini bahwa kepemimpinan adalah efek antar langsung yg dijalankan dalam suatu situasi eksklusif serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Pandangan lain berkata bahwa kepemimpinan adalah pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan serta hubungan (Stogdill, 1974). Rauch serta Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan sebagai proses menghipnotis kegiatan-aktivitas sebuah grup yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) beropini bahwa para pemimpin merupakan mereka yg secara konsisten memberi donasi yg efektif terhadap orde sosial serta yg dibutuhkan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap usaha kolektif dan yang menyebabkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan buat mencapai target. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman tentang kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi mengenai kepemimpinan sebesar jumlah orang yg sudah mencoba mendefinisikannya. Secara garis akbar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses impak sosial (pengaruh yang sengaja dijalankan sang seorang terhadap orang lain buat menstruktur kegiatan-kegiatan dan hubungan-interaksi pada dalam sebuah gerombolan atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung pada preferensi metoda berdasarkan peneliti dan konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mempelajari perspektif-perspektif pada studi kepemimpinan.
1. Pendekatan dari ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan dalam atribut-atribut pribadi para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yang nir dipunyai orang lain.
2. Pendekatan berdasarkan konduite, terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah penelitian mengenai sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan waktu mereka, dan mencoba menjelaskan isi aktivitas-kegiatan manajer dengan memakai kategori mengenai isi misalnya kiprah, fungsi dan tanggung jawab manajerial. Berikutnya adalah penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan perilaku pemimpin yang efektif dan tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-imbas (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menyebutkan keefektifan kepemimpinan pada kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki dan cara kekuasaan digunakan. Kekuasaan tersebut dilihat sebagai hal penting bukan saja buat menghipnotis bawahan, tetapi pula mitra sejawat, atasan juga orang yang berada pada luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mempengaruhi studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, menaruh penekanan kepada pembagian kekuasaan (power sharing) serta pemberian kewenangan pada para pengikut. Studi ini pula berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik dan transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin eksklusif bersedia melakukan bisnis yg luar biasa dan pengorbanan eksklusif buat mencapai tujuan serta misi organisasi/ gerombolan .
7. Kepemimpinan pada grup pengambil keputusan, menyebutkan bagaimana kontribusi kepemimpinan di pada gerombolan pengambil keputusan.

Hubungan Kepemimpinan Dengan Budaya Dan Kinerja Organisasional 
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya 
Hubungan kepemimpinan menghipnotis budaya dan kinerja organisasional telah relatif poly ditelaah oleh para pakar organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformasional dipercaya paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan poly jajak tentang bagaimana para pemimpin membarui budaya serta struktur organisasi agar lebih konsisten dengan taktik-taktik manajemen buat mencapai target organisasional. Hal tersebut meliputi proses menciptakan komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi agama kepada para pengikut buat mencapai sasaran tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional menjadi sebuah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling mempertinggi diri ke tingkat moralitas serta motivasi yg lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) bisa diperlihatkan sang siapa saja pada organisasi pada jenis posisi apa saja. 

Pada sisi lain Burns membedakan menggunakan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yg merupakan bentuk kepemimpinan terhadap bawahan dengan memilih dalam kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai dalam konsep ini bersandar dalam nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi tiga dimensi yang memformulasikan teori kepemimpinan transformasional meliputi: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) serta perhatian yang diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi para pengikut dengan menyebabkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi dengan pemimpin tadi. Stimulasi intelektual adalah sebuah proses yang padanya para pemimpin menaikkan kesadaran terhadap kasus-perkara serta mensugesti para pengikut buat memandang masalah-masalah berdasarkan sebuah perspektif yg baru. Perhatian yg diindividualisasi meliputi aktivitas: memberi dukungan, membesarkan hati, serta memberi pengalaman-pengalaman mengenai pengembangan pada para pengikut. Satu hal baru yang dikemukakan Bass serta Avioli (1990) dengan menambahkan konduite transformasional lainnya yang diklaim ilham (atau “motivasi inspirasional”), yang didefinisikan menjadi sejauh mana seseorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yg menarik, memakai simbol-simbol buat buat memfokuskan bisnis-usaha bawahan, serta memodelkan konduite-perilaku yg sinkron. Perilaku-konduite kepemimpinan transformasional saling bekerjasama buat menghipnotis perubahan-perubahan dalam para pengikut, dan pengaruh-impak yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) juga memandang kepemimpinan transaksional menjadi sebuah pertukaran imbalan-imbalan buat menerima kepatuhan. Beberapa komponen penting di dalamnya meliputi konduite transaksional (diklaim konduite “contingent reward”) mencakup kejelasan mengenai pekerjaan yg diminta buat memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan bonus dan contingent rewards buat menghipnotis motivasi. Komponen selanjutnya merupakan “active management by exception” termasuk pemantauan berdasarkan para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga dibubuhi oleh Bass, et. Al (1990) merupakan “passive management by exception” yg meliputi penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya menjadi tanggapan terhadap defleksi yg konkret dari standar-baku kinerja yg dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional menjadi proses yang berbeda, namun tidak saling tertentu, serta dari Bass pemimpin yang sama dapat menggunakan ke 2 jenis kepemimpinan tadi pada saat-saat dan situasi yg tidak sinkron.

Bagaimana interaksi kepemimpinan transformasional dengan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua contoh kepemimpinan ini menjadi kenyataan yg sering dibahas pada organisasi. Tetapi demikian poly pakar mengungkapkan karisma hanya bagian berdasarkan kepemimpinan transformasional, sebagai akibatnya karisma nir cukup pada proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yang membedakan kepemimpinan karismatik menggunakan kepemimpinan transformasional merupakan bahwa kepemimpinan karismatik mencoba buat membuat para pengikutnya permanen lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan dalam upaya menanamkan kesetiaan eksklusif berdasarkan pada komitmen terhadap asa.

Dalam interaksi dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas hubungan pemimpin serta budaya. Menurutnya para pemimpin memiliki potensi paling akbar dalam menanamkan serta memperkuat aspek-aspek budaya melalui 5 prosedur, mencakup: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, 3) pemodelan peran, 4) alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice serta Beyer (1991, 1993) sejalan menggunakan pandangan tadi dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan penemuan kultural yg padanya seorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yg drastis dalam budaya yg ada atau memulai sebuah organisasi baru menggunakan budaya yang berbeda.

Berdasarkan uraian pada atas, model berdasarkan penelitian digambarkan sebagai berikut:

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional

Sejarah telah memberitahuakn pada kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi sudah meletakkan dasar dan visi dalam komunitas umatnya yang selanjutnya membentuk suatu budaya yg sedemikian bertenaga pada mereka yang dipimpin. Mungkin saja mereka memiliki karakteristik perilaku transformasional yg luar biasa sebagai akibatnya bisa mensugesti budaya warga mencapai hasrat atau tujuan perjuangannya. 

Fenomena pada atas merupakan ilustrasi konduite kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan mempengaruhi budaya, bahkan secara lebih jauh menciptakan budaya. Tetapi demikian poly kenyataan pemimpin negara dan organisasi tidak relatif mensugesti secara pribadi sistem serta budaya organisasi pada keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian acapkali ditimbulkan tatanan budaya sudah sedemikian kuat melekat dalam organisasi tersebut. 

Trice dan Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah contoh yg membandingkan perubahan budaya serta kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yg mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.

Sejumlah studi mengenai suksesi sudah digunakan buat menilai jumlah perubahan yg terjadi terkait dengan kinerja organisasional menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak menghipnotis secara penting terhadap tatanan budaya usang dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) serta Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menerangkan bahwa hubungan eksekutif zenit terhadap kinerja menunjukkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan tidak mempunyai poly dampak terhadap kinerja kecuali mereka mempunyai keterampilan yg lebih baik. Secara generik penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sebagai akibatnya kemungkinan buat melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat diperlukan. 

Dalam konteks tadi juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan nir mempengaruhi budaya secara langsung, namun mempertegas hubungan antara budaya organisasi dan keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai karakteristik pemimpin (traits) lebih menekankan pada aspek-aspek yg sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga dalam pendekatan ini tidak menekankan pada upaya merubah kepemimpinan buat memprediksi kinerja. Hal tersebut memungkinkan jenis ciri fisik, intelegensia dan psikologi menjadi variabel situasional dalam kaitannya dengan hubungan antara budaya organisasional dan keefektifan organisasional. 

PENGERTIAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH MBS

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah adalah terjemahan menurut “school-based management”. MBS adalah kerangka berpikir baru pendidikan, yang menaruh swatantra luas dalam taraf sekolah ( pelibatan rakyat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.

Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto adalah cara lain baru pada pengelolaan pendidikan yg lebih menekankan kepada kemandirian serta kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai output berdasarkan desentralisasi pendidikan. 

Secara generik, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) bisa diartikan menjadi contoh manajemen yg memberikan swatantra lebih akbar kepada sekolah serta mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara pribadi semua masyarakat sekolah (guru, murid, ketua sekolah, karyawan, orang tua murid, serta rakyat) buat menaikkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.

Lebih lanjut kata manajemen sekolah tak jarang disandingkan dengan kata administrasi sekolah. Berkaitan menggunakan itu, masih ada tiga pandangan tidak sinkron; pertama, mengartikan administrasi lebih luas menurut pada manajemen (manajemen merupakan inti menurut administrasi); kedua, melihat manajemen lebih luas menurut pada administrasi (administrasi adalah inti menurut manajemen); dan ketiga yang menduga bahwa manajemen identik menggunakan administrasi.

Dalam hal ini, kata manajemen diartikan sama menggunakan kata administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama buat mendayagunakan sumber-asal, baik personal juga material, secara efektif serta efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan pada sekolah secara optimal. Pengertian manajemen berdasarkan Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan asal daya manusia dan sumber-asal lainnya secara efektif serta efisien buat mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan dalam kita bahwa buat mencapai tujuan eksklusif, maka kita nir bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain buat bekerja sama menggunakan baik.

Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yg sama, yaitu: merencanakan (rencana), mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi (controlling), serta mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti menjadi suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif pada rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah pada megelola serta memberdayakan sumber daya yang tersedia; 
b. Meningkatkan kepedulian rakyat sekolah dan rakyat pada penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; 
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, warga , serta pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Kewenangan yg bertumpu pada sekolah merupakan inti berdasarkan MBS yg dilihat memiliki taraf efektivitas tinggi dan memberikan beberapa keuntungan berikut:
a. Kebijaksanaan dan wewenang sekolah membawa dampak pribadi pada peserta didik, orang tua, serta guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
c. Efektif pada melakukan training peserta didik seperti kehadiran, output belajar, taraf pengulangan, taraf putus sekolah, moral pengajar, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama buat merogoh keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang sekolah, serta perubahan perencanaan. 

3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya 
a. Dengan syarat setempat, sekolah bisa menaikkan kesejahteraan guru sehingga bisa lebih berkonsentrasi pada tugasnya; 
b. Keleluasaan pada mengelola sumberdaya dan pada menyertakan masyarakat buat berpartisipasi, mendorong profesionalisme ketua sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun pemimpin sekolah; 
c. Guru didorong buat berinovasi; 
d. Rasa tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat serta menjamin layanan pendidikan sesuai menggunakan tuntutan warga sekolah dan siswa. 

A. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa saat terakhir, kita dikenalkan menggunakan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yg diacu menjadi manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya sudah berkembang cukup usang. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki buat bisa mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dicermati bahwa para ketua sekolah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, kiprah primer mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.

Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini ada belakangan sejalan menggunakan pelaksanaan swatantra wilayah menjadi kerangka berpikir baru pada pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah sentra buat menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali nir memiliki banyak kelonggaran buat mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan mengenai penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan pada taraf pemerintah sentra atau sebagian pada instansi vertikal dan sekolah hanya mendapat apa adanya.

Apa saja muatan kurikulum pendidikan pada sekolah adalah urusan pusat, ketua sekolah dan pengajar wajib melaksanakannya sinkron menggunakan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir berdasarkan pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yg masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran bila nilai akhir yg diterima di taraf paling operasional telah menyusut lebih menurut separuhnya.

Kita risi, jangan-jangan selama ini lebih menurut separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai buat hal-hal yg sama sekali nir atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.

MBS adalah upaya berfokus yang rumit, yang memunculkan aneka macam gosip kebijakan serta melibatkan poly lini wewenang pada pengambilan keputusan serta tanggung jawab serta akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh karena itu, semua pihak yg terlibat perlu tahu sahih pengertian MBS, manfaat, perkara-kasus pada penerapannya, dan yang terpenting merupakan pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.

Manajemen berbasis sekolah bisa bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas serta tanggung jawab taraf sekolah buat membuat keputusan atas perkara signifikan terkait penyelenggaraan sekolah pada kerangka kerja yang ditetapkan oleh sentra terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah menurut setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yg signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, menyebabkan hasil belajar anak didik yang semakin tinggi pada segala keadaan (setting), dengan demikian menaruh kontribusi dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.

Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di tempat-loka misalnya Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih menurut satu dasa warsa. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar ) pada Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dasa warsa. Praktik manajemen berbasis sekolah pada loka-tempat ini tampaknya nir dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan menurut Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung 1/3 menurut populasi dunia. Tema dari rendezvous adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan dalam desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu taktik pada reformasi pendidikan, tatapi pula menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi pada masing-masing negara, yg merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.

Manajemen berbasis sekolah memiliki poly bayangan makna. Ia telah diimplementasikan menggunakan cara yg tidak selaras serta buat tujuan tidak sinkron serta pada laju yang berbeda pada tempat yang tidak sinkron. Bahkan konsep yg lebih fundamental dari “sekolah” serta “manajemen” adalah tidak sinkron, seperti berbedanya budaya serta nilai yg melandasi upaya-upaya penghasil kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yg sama di seluruh loka dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan merupakan bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab pada taraf sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat buat memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi penting merupakan bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan merogoh unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di semua sekolah.

Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah buat menentukan cara mencapai target pendidikan pada masing-masing sekolah. Penting adalah mempunyai konvensi tertulis yg memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan wilayah, kepala sekolah, serta dewan sekolah. Kesepakatan itu wajib menggunakan kentara menyatakan standar yg akan digunakan menjadi dasar evaluasi akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan target, bagaimana sekolah menggunakan asal dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”

Perlu diadakan pembinaan dalam bidang-bidang misalnya dinamika grup, pemecahan perkara dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen tertekan, serta komunikasi antarpribadi dalam gerombolan . Pelatihan ini ditujukan bagi seluruh pihak yg terlibat pada sekolah serta anggota masyarakat, khususnya dalam termin awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, ketua sekolah kemungkinan akbar memerlukan tambahan training kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut : 
1. MBS wajib mendapat dukungan staf sekolah.
2. MBS lebih mungkin berhasil apabila diterapkan secara sedikit demi sedikit.
3. Staf sekolah serta tempat kerja dinas wajib memperoleh training penerapannya, dalam saat yang sama pula wajib belajar beradaptasi dengan kiprah serta saluran komunikasi yang baru.
4. Harus disediakan dukungan aturan buat pembinaan serta penyediaan saat bagi staf untuk bertemu secara teratur.
5. Pemerintah sentra serta daerah wajib mendelegasikan wewenang kepada ketua sekolah, serta kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini menggunakan para pengajar dan orang tua murid.

Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan pada penerapan MBS adalah sebagai berikut :

1. Tidak Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang kini mereka lakukan. Mereka nir berminat buat ikut serta dalam kegiatan yg dari mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak memakai waktunya dalam hal-hal yg menyangkut perencanaan serta aturan. Akibatnya kepala sekolah dan pengajar nir memiliki banyak saat lagi yang tersisa buat memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua pengajar akan berminat dalam proses penyusunan aturan atau nir ingin menyediakan waktunya buat urusan itu.

2. Tidak Efisien
Pengambilan keputusan yg dilakukan secara partisipatif adakalanya mengakibatkan frustrasi dan acapkali lebih lamban dibandingkan menggunakan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus bisa bekerja sama serta memusatkan perhatian dalam tugas, bukan dalam hal-hal lain pada luar itu.

3. Pikiran Kelompok
Setelah beberapa ketika beserta, para anggota dewan sekolah kemungkinan akbar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada waktu inilah dewan sekolah mulai terserang “pikiran gerombolan .” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar nir lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan
Pihak-pihak yg berkepentingan kemungkinan akbar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan contoh yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar sudah sangat terkondisi dengan iklim kerja yg selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengganti peran serta tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yg mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sebagai akibatnya mereka ragu buat memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

6. Kesulitan Koordinasi
Setiap penerapan model yg rumit serta mencakup aktivitas yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif serta efisien. Tanpa itu, aktivitas yg beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh menurut tujuan sekolah.

Apabila pihak-pihak yang berkepentingan sudah dilibatkan semenjak awal, mereka bisa memastikan bahwa setiap kendala telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pembinaan yg cukup mengenai MBS dan klarifikasi kiprah serta tanggung jawab dan hasil yg diharapkan pada semua pihak yg berkepentingan. Selain itu, seluruh yang terlibat harus tahu apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang bisa dibagi, sang siapa, serta pada level mana pada organisasi.

Anggota masyarakat sekolah wajib menyadari bahwa adakalanya asa yg dibebankan pada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain memberitahuakn bahwa wilayah yang paling berhasil menerapkan MBS sudah memfokuskan harapan mereka dalam 2 maslahat: menaikkan keterlibatan pada pengambilan keputusan dan membentuk keputusan lebih baik.

B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yg sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yg diperlukan supaya penerapan MBS bisa benar-sahih menaikkan mutu pendidikan. Salah satu taktik merupakan membentuk prakondisi yg aman buat bisa menerapkan MBS, yakni : 
1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh rakyat sekolah, termasuk masyarakat serta orangtua siswa. Upaya buat memperkuat peran ketua sekolah harus menjadi kebijakan yg mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe menegaskan.

2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, serta akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah buat membuat laporan pertanggungjawaban kepada rakyat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yg dilakukan sang Managing Basic Education (MBE) merupakan termin awal yg sangat positif. Juga menciptakan laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster mengenai rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya apabila kepala sekolah serta ketua Komite Sekolah bisa tampil beserta dalam media tersebut.

3. Pemerintah sentra lebih memainkan peran monitoring serta evaluasi. Dengan istilah lain, pemerintah sentra dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi aplikasi MBS pada sekolah, termasuk aplikasi block grant yg diterima sekolah.

4. Mengembangkan model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih poly dipenuhi dengan anugerah kabar pada sekolah. Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yg lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola usang berupa penataran MBS.

Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif pada MBS dapat ditinjau berdasarkan kriteria berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-pengajar buat melaksanakan proses pembelajaran menggunakan baik, lancar, dan produktif.
2. Dapat menuntaskan tugas serta pekerjaan sinkron menggunakan waktu yang telah ditetapkan.
3. Mampu menjalin hubungan yang harmonis menggunakan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah serta pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sinkron menggunakan taraf kedewasaan guru dan pegawai lain disekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sinkron menggunakan ketentuan yang sudah ditetapkan. 

BUDAYA ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL KUNCI KESUKSESAN KINERJA MANAJERIAL DAN KEUANGAN

Budaya Organisasi Sebagai Variabel Kunci Kesuksesan Kinerja Manajerial Dan Keuangan
Tulisan dalam artikel ini bertujuan menyusun konstruksi interaksi antar 3 konstruk krusial pada teori organisasi. Ketiga konstruk tadi terdiri atas budaya organisasional, keefektifan organisasional dan kepemimpinan. Langkah pertama dimulai menggunakan elaborasi setiap konstruk dalam berbagai perspektif. Langkah berikutnya merupakan melakukan simulasi serta konstruksi hubungan antar konstruk sehingga tersusun peta awal dari hubungan antar variabel tadi.

1. Konstruk “Budaya organisasional”
Pemaknaan budaya organisasional demikian luas dalam berbagai setting sebagai akibatnya kata budaya dalam suatu perusahaan atau organisasi pernah menjadi suatu “fashion” baik pada kalangan manajer, konsultan dan bahkan jua pada kalangan akademisi. Tetapi demikian pada perkembangannya, budaya organisasional mendapat “loka” penting dalam khasanah akademis, khususnya teori organisasi misalnya halnya struktur, strategi dan pengendalian (Hofstede, 1990).

Dalam terminologi akademis, “Budaya organisasional” merupakan suatu konstruk, yg adalah abstraksi dari kenyataan yang dapat diamati menurut banyak dimensi. Sehingga banyak pakar ilmu-ilmu sosial serta manajemen belum mempunyai “communal opinio” tentang definisi budaya organisasional. Mereka mendefiniskan terminologi tadi berdasarkan majemuk perspektif dan dimensi.

Dalam pandangan Davis (1984) menyatakan bahwa budaya organisasional merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai (values) organisasi yg difahami, dijiwai serta dipraktikkan oleh organisasi sebagai akibatnya pola tadi menaruh arti tersendiri dan menjadi dasar anggaran berperilaku pada organisasi. Schein (1992) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu pola berdasarkan perkiraan-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok eksklusif menggunakan maksud supaya organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi perkara-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang telah berjalan menggunakan cukup baik, sebagai akibatnya perlu diajarkan pada anggota-anggota baru sebagai cara yg benar buat memahami, memikirkan dan merasakan berkenaan dengan masalah-kasus tersebut. 

Dalam pandangan Schein (1992), budaya organisasional berada pada 3 tingkat, yaitu artifacts, espoused values dan basic underlying assumptions (lihat Gambar 1). Pada taraf artifacts, budaya organisasional memiliki ciri bahwa struktur dan proses organisasional bisa terlihat. Pada taraf berikutnya, espoused values, para anggota organisasi mempertanyakan “Apa yang seharusnya dapat mereka berikan kepada organisasi”.

Gambar  Tingkatan Budaya Organisasional
Sumber: Schein (1992). Organization Culture and Leadership 2nd Edition

Pada tingkat ini organisasi serta anggotanya membutuhkan tuntunan strategi (strategies), tujuan (goals) dan filosofi dari pemimpin organisasi buat bertindak serta berperilaku. Sedangkan dalam taraf basic underlying assumptions berisi sejumlah keyakinan (beliefs) bahwa para anggota organisasi mendapat jaminan (take for granted) bahwa mereka diterima baik buat melakukan sesuatu secara benar dan cara yang sempurna.

Kotter serta Hesket (1992), Sackmann (1992), Hofstede (1994) dan Maschi serta Roger (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan seperangkat asumsi-perkiraan keyakinan-keyakinan, nilai-nilai serta persepsi-persepsi yang dimiliki para anggota gerombolan dalam suatu organisasi yang menciptakan dan mempengaruhi sikap dan perilaku kelompok tadi. 

Stoner et. Al (1995) mendefiniskan budaya organisasional menjadi suatu cognitive framework yang mencakup perilaku, nilai-nilai, norma konduite dan asa-harapan yang disumbangkan anggota organisasi. Kreitner serta Knicky (1995) menambahkan bahwa budaya organisasi berperan sebagai perekat sosial (social glue) yg mengikat semua anggota organisasi secara bersama-sama. Pendapat Luthans (1998) hampir senada dengan pendapat sebelumnya, bahwa budaya organisasional merupakan kebiasaan-norma serta nilai-nilai yang mengarahkan konduite anggota organisasi. 

Sedangkan sifat-sifat yang dimiliki budaya organisasional secara fundamental dikemukakan Hofstede (1991) meliputi: 1) menyeluruh serta menjangkau dimensi saat yang panjang (holistic), 2) dipengaruhi atau mencerminkan catatan historis perusahaan (historically determined), 3) herbi sesuatu yg bersifat ritual dan simbolik, 4) dihasilkan dan dipertahankan oleh gerombolan -grup yang secara bersama-sama membentuk organisasi (social constructed), 5) halus (soft) dan 6) sukar berubah (hard to change)


Smircich (1983) memperlihatkan empat fungsi penting budaya organisasional, yaitu: 1) menaruh suatu identitas organisasional kepada para anggota organisasi., dua) memfasilitasi atau memudahkan komitmen kolektif, 3) meningkatkan stabilitas sistem sosial, serta 4) membangun perilaku menggunakan membantu anggota organisasi menentukan sense terhadap sekitarnya. Di ssamping itu budaya organisasional disimpulkan jua sebagai “ruh” organisasi karena di sana bersemayam filosofi, misi serta visi organisasi yang akan menjadi kekuatan penting buat berkompetisi.

2. Keefektifan dan Kinerja Organisional
Konsep keefektifan misalnya juga konsep budaya organisasinal, juga mempunyai pemaknaan yg beragam yang berimplikasi pada kesulitan pada pemahaman konsep serta metoda. Hal tersebut ditimbulkan belum adanya konvensi mengenai dimensi-dimensi berdasarkan konsep keefektifan, kriteria yg digunakan pada pengukuran, tingkat analisis yang appropriate dan grup aktivitas organisasional mana yg mencerminkan pusat perhatian buat studi keefektifan (Scott, 1977). Kondisi “chaos” tentang konsep tadi nir membuat konsep keefektifan “hengkang” dari topik organisasi. 

Dalam pandangan Cameron serta Whetten (1983), ada 3 alasan meliputi teoritis, realitas dan mudah. Pertama secara teoritis konsep keefektifan organisasional secara teoritis terletak pada pusat seluruh contoh organisasional. Kedua, keefektifan secara empiris berfungsi sebagai variabel krusial dalam kegiatan riset dan konsep penting dalam penafsiran kenyataan organisasional. Dan ketiga, adanya kebutuhan buat menciptakan judgements tentang kinerja (performance) banyak sekali organisasi. Namun demikian, paling tidak terdapat 2 pandangan yang paling poly digunakan pada mengevaluasi keefektifan kepemimpinan, yaitu dalam kaitannya menggunakan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan pemimpin tersebut bagi para pengikutnya serta para stakeholder organisasi lainnya. 

Pandangan lainnya menggunakan melihat banyak sekali jenis hasil yg sudah digunakan, termasuk di dalamnya kinerja dan pertumbuhan grup atau organisasi berdasarkan pemimpin tersebut, kesediaannya buat menanggapi tantangan-tantangan atau krisis-krisis, kepuasan pengikut menggunakan pemimpinnya, komitmen pengikut terhadap target-sasaran grup, kesejahteraan psikologis dan pengembangan para pengikut dan kemajuan pemimpin ke posisi kekuasaan yang lebih tinggi pada dalam organisasi. Beberapa model keefektifan organisasional yg berkembang pada khasanah akademik bisa dipandang pada Tabel 1.

Tabel  Model-contoh Keefektifan Organisasional
Model

Definisi

Kapan Bermanfaat?

Model Tujuan (Goal Model)
Mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
Tujuan-tujuan jelas, konsesual, berjangka waktu dan terukur
Model Sumber Daya Sistem (System resource Model)
Mampu memperoleh asal daya-asal daya yg dibutuhkan
Ada kaitan jelas antara input dan kinerja
Model Proses Internal
Fungsi-fungsi internal berjalan lancar
Ada kaitan kentara antara aneka macam proses organisasional serta kinerja
Multiple Constituency Model

Semua pihak terkait terpuaskan
Pihak-pihak terkait memiliki efek bertenaga terhadap organisasi
Competing Values Model

Memenuhi preferensi pihak-pihak terkait pada hal empat kuadran yg berbeda
Organisasi nir jelas kriterianya atau seringkali berubah kriteria
Model Legitimasi
Kelangsungan hidup terjamin sebagai hasil aplikasi aktivitas legitimate
Kelangsungan hayati organisasi penting
Model Ketidakefektifan
Tidak memiliki kelemahan-kelemahan atau sifat-sifat sumber ketidakefektifan
Kriteria keefektifan tidak jelas atau aneka macam strategi pemugaran diharapkan.
Sumber: K.S. Cameron (1984)

Salah satu hal yg menyebabkan kurangnya pengembangan konsepsual mengenai keefektifan adalah kesulitan dalam mengintegrasikan aneka macam konsepsualisasi organisasi yg berbeda. Oleh karena itu setiap upaya pengembangan konsep keefektifan harus dimulai menggunakan suatu analisis teori organisasi yang sebagai dasarnya (Goodman dan Penning, 1980).

3. Hubungan Budaya Organisasional menggunakan Keefektifan Organisasional
Tujuan seseorang manajer dalam setiap organisasi secara logis menghendaki peningkatan kinerja organisasional organisasi. Tetapi demikian poly problem organisasional serta ketidakpastian (uncertainty) baik internal juga eksternal yg seringkali mengganggu pencapaian kinerja organisasional. Bahkan poly penelitian memberitahuakn kegagalan organisasi lebih seringkali ditimbulkan oleh permasalahan manajerial organisasi secara internal (Koontz, 1991). Permasalahan tadi mendorong Peters dan Waterman (1982) menggagas pentingnya kebudayaan organisasional untuk meningkatkan keefektifan dan kinerja organisasional. Menurut Peters serta Waterman, setiap organisasi memiliki kebudayaannya masing-masing. Tiap kebudayaan tersebut bisa menjadi kekuatan positif dan negatif dalam mencapai kinerja organisasionalonal. Dalam berbagai penelitian serta kajian manajemen organisasi banyak para pakar sudah meyakini keeratan hubungan antara budaya organisasional (organizational culture) dan keefektifan organisasional, sebagai akibatnya hubungan keduanya hampir tidak diperdebatkan lagi. 

Penelitian O’Reilly (1989) memperlihatkan dukungan krusial bagi proposisi di atas bahwa budaya perusahaan memiliki imbas terhadap keefektifan suatu perusahaan terutama pada perusahaan yg memiliki budaya yang sesuai dengan taktik serta dapat menaikkan komitmen karyawan terhadap perusahaan. Kemudian Lusch dan Harvey (1994) mengatakan bahwa peningkatan kinerja organisasional juga dipengaruhi sang aktiva tidak berwujud, antara lain: budaya organisasional, interaksi menggunakan pelanggan (customer elationship) serta gambaran perusahaan (merk equity).

Pandangan tadi sejalan menggunakan kajian sebelumnya yang dilakukan Kotter serta Heskett (1992) bahwa budaya organisasional diyakini menjadi salah satu faktor kunci penentu (key variable factors) kesuksesan kinerja organisasional seperti yang disampaikan pada hasil studi mereka:

Berdasarkan penelitian terhadap 207 perusahaan menurut 22 jenis industri di Amerika Serikat, Kotter serta Heskett menemukan bahwa budaya organisasional mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan buat jangka panjang. Secara lengkap empat peran primer budaya organisasional berhasil dieksplorasi menurut penelitian tersebut, meliputi: 1) memiliki impak yg signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan, 2) menjadi faktor yang lebih memilih sukses atau gagalnya perusahaan pada masa mendatang, 3) dapat mendorong peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang bila pada dalam perussahaan terdiri berdasarkan orang-orang yg layak serta cerdas, dan 4) dibuat untuk menaikkan kinerja perusahaan.

Demikian jua output penelitian sejumlah perusahaan di Amerika Serikat yang melakukan merger dalam dekade 1980-an yang memberitahuakn bahwa merger seringkali mengalami kegagalan karena tidak kompatibel dengan budaya organisasional (Marren, 1993). Sehingga keselarasan antara nilai-nilai individu (individual values) menggunakan nilai-nilai organisasi (organizational values) secara signifikan herbi komitmen organisasional, kepuasan kerja, keinginan berhenti dan turn over misalnya yg diperoleh berdasarkan sejumlah output riset empiris Kreitner dan Knicky (1995).

Pandangan pada atas didukung jua oleh pandangan beberapa ahli ilmu-ilmu sosial serta manajemen organisasi, seperti: Hofstede (1991), Sharplin (1992), Wilhelm (1992), Martin (1992), Mody serta Noe (1996), Sobirin (1997), serta Luthans (1998).

Dalam perkara pada Indonesia, studi mengenai efek budaya organisasional terhadap keefektifan kinerja manajerial dan kinerja ekonomi organisasi sudah banyak dilakukan. Misalnya studi yang dilakukan oleh Supomo dan Indriantoro (1998) yang meneliti 79 manajer dari banyak sekali departemen dalam perusahaan-perusahaan manufaktur yg menemukan bukti empiris adanya dampak positif budaya organisasional yg berorientasi dalam orang terhadap keefektifan aanggaran partisipatif pada peningkatan kinerja manajerial. Bahkan penelitian yang dilakukan Lako serta Irmawati (1997) menjelaskan keberhasilan organisasi mengimplementasikan nilai-nilai (values) budaya organisasional dapat mendorong organisasi tumbuh serta berkembang secara berkelanjutan.

Sejumlah penelitian pada atas menerangkan bahwa budaya organisasional memiliki kiprah yg sangat strategis untuk mendorong dan menaikkan keefektifan kinerja organisasional, termasuk pada dalamnya kinerja manajerial, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Di sini, budaya organisasional berperan krusial untuk menentukan arah organisasi, bagaimana mengalokasikan dan mengelola sumber daya menjadi kekuatan internal pada memanfaatkan peluang (opportunity) serta mengantisipasi ancaman (threat).

Konstruk “Kepemimpinan” (Leadership)
Seperti halnya konstruk budaya organisasional, konstruk kepemimpinan pula sebagai subyek yang senantiasa menarik dan diperbincangkan bagi poly kalangan yg kemudian berakibat pula pada pendefinisian yg beragam dan kadang kurang tepat secara ilmiah. Telaah yang dilakukan para peneliti dalam mendefinisikan konstruk berbasis dalam perspektif-perspektif individu dan aspek dari kenyataan perhatian mereka yang paling menarik. 

Menurut Hemhill & Coons (1957) kepemimpinan merupakan konduite menurut seorang individu yg memimpin aktivitas-aktivitas suatu grup ke suatu tujuan yg ingin dicapai beserta (shared goal). Tannenbaum, Weschler, serta Massarik (1961) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan pengaruh antar pribadi yang dijalankan dalam suatu situasi eksklusif serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan eksklusif. Pandangan lain mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan pembentukan awal dan pemeliharaan struktur dalam asa serta hubungan (Stogdill, 1974). Rauch dan Behling (1984) menggagas pengertian kepemimpinan menjadi proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sebuah gerombolan yang diorganisasikan ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan Hosking (1988) beropini bahwa para pemimpin adalah mereka yg secara konsisten memberi donasi yg efektif terhadap orde sosial dan yg diharapkan serta dipersepsikan melakukannya. Jacob serta Jacques (1990) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses memberi arti terhadap bisnis kolektif dan yg menyebabkan kesediaan buat melakukan bisnis yang diinginkan untuk mencapai sasaran. 

Melihat demikian banyaknya pemahaman mengenai kepemimpinan, Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa masih ada banyak definisi mengenai kepemimpinan sebanyak jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikannya. Secara garis besar menjelaskan bahwa kepemimpinan menyangkut proses efek sosial (imbas yg sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain buat menstruktur aktivitas-aktivitas dan interaksi-hubungan pada dalam sebuah kelompok atau organisasi (Yukl, 1989).

Di atas tampak bahwa studi kepemimpinan sangat tergantung dalam preferensi metoda dari peneliti serta konsep kepemimpinan. Di bawah ini Yukl (1989) mencoba mengkaji perspektif-perspektif pada studi kepemimpinan.
1. Pendekatan berdasarkan ciri (trait approach), pendekatan ini menekankan pada atribut-atribut langsung para pemimpin. Asumsi pada pendekatan ini bahwa beberapa orang pemimpin alamiah dianugerahi beberapa karakteristik yg tidak dipunyai orang lain.
2. Pendekatan dari perilaku, terbagi ke dalam 2 kategori. Kategori pertama adalah penelitian tentang sifat menurut pekerjaan manajerial. Penelitian ini menguji bagaimana para manajer memanfaatkan saat mereka, dan mencoba mengungkapkan isi aktivitas-kegiatan manajer dengan memakai kategori mengenai isi seperti kiprah, fungsi serta tanggung jawab manajerial. Berikutnya merupakan penelitian terhadap pekerjaan manajerial, membandingkan konduite pemimpin yang efektif serta tidak efektif.
3. Pendekatan kekuasaan-pengaruh (power-influence approach), pendekatan ini mencoba menjelaskan keefektifan kepemimpinan dalam kaitannya menggunakan jumlah dan jenis kekuasaan yang dimiliki serta cara kekuasaan dipakai. Kekuasaan tadi ditinjau menjadi hal krusial bukan saja untuk mensugesti bawahan, namun pula kawan sejawat, atasan juga orang yang berada pada luar organisasi.
4. Pendekatan situasional, menekankan pentingnya faktor-faktor kontekstual mensugesti studi kepemimpinan.
5. Kepemimpinan partisipatif, menaruh fokus kepada pembagian kekuasaan (power sharing) serta anugerah wewenang kepada para pengikut. Studi ini jua berakar dari tradisi pendekatan keperilakuan.
6. Kepemimpinan karismatik serta transformasional, menjelaskan mengapa para pengikut dari pemimpin-pemimpin tertentu bersedia melakukan bisnis yang luar biasa dan pengorbanan pribadi buat mencapai tujuan dan misi organisasi/ kelompok.
7. Kepemimpinan dalam grup pengambil keputusan, menyebutkan bagaimana donasi kepemimpinan pada pada gerombolan pengambil keputusan.

Hubungan Kepemimpinan Dengan Budaya Dan Kinerja Organisasional 
Kepemimpinan Mempengaruhi Budaya 
Hubungan kepemimpinan mensugesti budaya dan kinerja organisasional telah cukup banyak ditelaah oleh para pakar organisasi. Dalam konteks tersebut perspektif kepemimpinan transformasional dianggap paling relevan terhadap pembentukan budaya. Pada perspektif transformasional dijelaskan poly jajak tentang bagaimana para pemimpin mengubah budaya serta struktur organisasi supaya lebih konsisten dengan strategi-taktik manajemen buat mencapai sasaran organisasional. Hal tadi meliputi proses membentuk komitmen terhadap sasaran organisasi serta memberi agama pada para pengikut buat mencapai target tersebut.

Burns (1978) berpandangan bahwa kepemimpinan transformasional menjadi sebuah proses yang padanya “para pemimpin serta pengikut saling meningkatkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yg lebih tinggi”. Menurut Burns, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) dapat diperlihatkan oleh siapa saja pada organisasi dalam jenis posisi apa saja. 

Pada sisi lain Burns membedakan dengan kepemimpinan transaksional (transactional leadership) yang adalah bentuk kepemimpinan terhadap bawahan menggunakan memilih dalam kepentingan diri mereka sendiri. Nilai-nilai dalam konsep ini bersandar dalam nilai-nilai yg relevan bagi proses pertukaran. Bass (1986) mengidentifikasi 3 dimensi yg memformulasikan teori kepemimpinan transformasional mencakup: karisma, stimulasi intelektual (intellectual stimulation) serta perhatian yg diindividualisasi (individualized consideration). Karisma adalah sebagai proses yg padanya seorang pemimpin menghipnotis para pengikut dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat serta identifikasi dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual merupakan sebuah proses yang padanya para pemimpin menaikkan kesadaran terhadap masalah-kasus dan mensugesti para pengikut buat memandang kasus-kasus menurut sebuah perspektif yang baru. Perhatian yg diindividualisasi meliputi aktivitas: memberi dukungan, membesarkan hati, serta memberi pengalaman-pengalaman tentang pengembangan kepada para pengikut. Satu hal baru yg dikemukakan Bass dan Avioli (1990) menggunakan menambahkan konduite transformasional lainnya yang diklaim inspirasi (atau “motivasi inspirasional”), yg didefinisikan menjadi sejauh mana seorang pemimpin mengkomunikasikan sebuah visi yg menarik, menggunakan simbol-simbol buat buat memfokuskan usaha-bisnis bawahan, dan memodelkan perilaku-konduite yang sinkron. Perilaku-konduite kepemimpinan transformasional saling bekerjasama buat menghipnotis perubahan-perubahan pada para pengikut, dan pengaruh-impak yang dikombinasikan membedakan antara kepemimpinan transformasional dan karismatik.

Bass (1978) jua memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah pertukaran imbalan-imbalan buat menerima kepatuhan. Beberapa komponen penting pada dalamnya meliputi konduite transaksional (diklaim konduite “contingent reward”) mencakup kejelasan tentang pekerjaan yang diminta buat memperoleh imbalan-imbalan, penggunaan bonus serta contingent rewards buat mempengaruhi motivasi. Komponen selanjutnya adalah “active management by exception” termasuk pemantauan berdasarkan para bawahan dan tindakan-tindakan memperbaiki buat memastikan bahwa pekerjaan tersebut telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga ditambahkan oleh Bass, et. Al (1990) merupakan “passive management by exception” yang mencakup penggunaan contingent punishment dan tindakan-tindakan memperbaiki lainnya menjadi tanggapan terhadap penyimpangan yg konkret menurut standar-baku kinerja yg dapat diterima. Dalam pandangan Bass, kepemimpinan transaksional serta kepemimpinan transformasional sebagai proses yg berbeda, tetapi nir saling tertentu, dan dari Bass pemimpin yang sama bisa menggunakan kedua jenis kepemimpinan tadi pada waktu-saat serta situasi yg tidak sinkron.

Bagaimana hubungan kepemimpinan transformasional menggunakan kepemimpinan karismatik? Dalam pembentukan budaya, kedua contoh kepemimpinan ini sebagai kenyataan yg tak jarang dibahas dalam organisasi. Namun demikian banyak ahli mengungkapkan karisma hanya bagian berdasarkan kepemimpinan transformasional, sehingga karisma nir relatif pada proses transformasional (Yukl, 1989). Hal negatif yg membedakan kepemimpinan karismatik dengan kepemimpinan transformasional adalah bahwa kepemimpinan karismatik mencoba buat membuat para pengikutnya tetap lemah dan tergantung. Pendekatan ini menekankan pada upaya menanamkan kesetiaan eksklusif menurut dalam komitmen terhadap impian.

Dalam hubungan dengan budaya, Schein (1992) lebih memperjelas interaksi pemimpin dan budaya. Menurutnya para pemimpin mempunyai potensi paling akbar dalam menanamkan serta memperkuat aspek-aspek budaya melalui 5 mekanisme, mencakup: 1) perhatian (attention), 2) reaksi terhadap krisis, tiga) pemodelan kiprah, 4) alokasi imbalan-imbalan, 5) kriteria menseleksi dan memberhentikan.

Trice dan Beyer (1991, 1993) sejalan menggunakan pandangan tadi dengan mengenalkan konsep kepemimpinan kultural (cultural leadership) dengan menekankan inovasi kultural yg padanya seseorang pemimpin mungkin melakukan perubahan-perubahan yang drastis dalam budaya yg ada atau memulai sebuah organisasi baru dengan budaya yg tidak sama.

Berdasarkan uraian di atas, contoh berdasarkan penelitian digambarkan menjadi berikut:

Kepemimpinan Sebagai Variabel Pemoderasi Hubungan Budaya & Kinerja Organisasional

Sejarah telah menunjukkan dalam kita bagaimana Nabi Muhammad S.A.W, Mao Tse-tung dan Indira Gandhi sudah meletakkan dasar dan visi pada komunitas umatnya yg selanjutnya membentuk suatu budaya yang sedemikian bertenaga dalam mereka yg dipimpin. Mungkin saja mereka memiliki karakteristik konduite transformasional yg luar biasa sehingga dapat mempengaruhi budaya masyarakat mencapai impian atau tujuan perjuangannya. 

Fenomena pada atas merupakan gambaran konduite kepemimpinan transformasional di mana variabel kepemimpinan menghipnotis budaya, bahkan secara lebih jauh menciptakan budaya. Namun demikian poly fenomena pemimpin negara dan organisasi tidak relatif mensugesti secara pribadi sistem dan budaya organisasi dalam keefektifan pencapaian tujuan organisasi/ negara. Kondisi demikian tak jarang disebabkan tatanan budaya telah sedemikian bertenaga melekat dalam organisasi tadi. 

Trice serta Beyer (1991,1993) memformulasikan sebuah contoh yg membandingkan perubahan budaya dan kepemimpinan mempertahankan (maintenance leadership). Pemimpin-pemimpin yg mempertahankan budaya menegaskan nilai-nilai dan tradisi, tradisi yang berlaku cocok bagi keefektifan organisasi.

Sejumlah studi tentang suksesi sudah digunakan buat menilai jumlah perubahan yang terjadi terkait dengan kinerja organisasional memperlihatkan bahwa kepemimpinan tidak mempengaruhi secara penting terhadap tatanan budaya lama dengan kinerja Pfeffer, (1977), Brown (1982) serta Meindl et al. (1985). Bukti tambahan menampakan bahwa interaksi eksekutif puncak terhadap kinerja memperlihatkan bahwa para pemimpin baru kemungkinan nir mempunyai banyak dampak terhadap kinerja kecuali mereka memiliki keterampilan yang lebih baik. Secara umum penelitian tentang suksesei masih sangat terbatas sehingga kemungkinan buat melakukan kajian lebih dalam (in depth) masih sangat diharapkan. 

Dalam konteks tadi juga dimungkinkan bahwa kepemimpinan nir menghipnotis budaya secara eksklusif, tetapi mempertegas hubungan antara budaya organisasi serta keefektifan organisasional. Pendekatan mengenai ciri pemimpin (traits) lebih menekankan dalam aspek-aspek yang sifatnya (take for granted) atau kehadirannya secara alamiah. Sehingga pada pendekatan ini nir menekankan pada upaya merubah kepemimpinan buat memprediksi kinerja. Hal tadi memungkinkan jenis karakteristik fisik, intelegensia dan psikologi sebagai variabel situasional pada kaitannya menggunakan interaksi antara budaya organisasional serta keefektifan organisasional.