PENGERTIAN TRILOGI PEMBANGUNAN

Pengertian Trilogi Pembangunan
Trilogi pembangunan yaitu menciptakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang dinamis dan strategis yang lalu juga dijadikan sebagai misi yg melekat dalam masing-masing pelaku ekonomi, baik negara, swasta, maupun koperasi pada pada sistem ekonomi nasional yang kita bangun.

Rumusan kedudukan, peranan, dan interaksi antara pelaku ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut:
1) BUMN, koperasi, serta partikelir hendaknya ditempatkan pada posisi serta kedudukan yg setara. Hal ini berarti, setiap pelaku ekonomi baik secara normatif maupun operasional memiliki hak hidup yang sama, sinkron dengan misi yg diembannya.
2) BUMN, koperasi, serta partikelir hendaknya melakukan peranan masing-masing dengan memanfaatkan keunggulan komparatif (Comparative advantage) yg dimilikinya.keunggulan koperasi yg dimaksud di sini merupakan bahwa masing-masing pelaku ekonomi memiliki suatu kelebihan pada satu bidang apabila dibandingkan menggunakan pelaku ekonomi lainnya. 

Keunggulan komparatif tersebut dapat dilihat berdasarkan hasrat organisasi masing-masing pelaku ekonomi tadi. BUMN dimiliki dan dikelola sang pemerintah. BUMN bukan merupakan suatu perusahaan yang mengejar laba menjadi prioritas primer, akan tetapi merupakan alat pemerintah yg efektif pada melaksanakan pembangunan nasional. Dengan demikian, BUMN mengemban tugas melayani kepentingan umum buat memenuhi hajat orang banyak.

Berbeda dengan sektor partikelir yg dimiliki serta dikelola secara perseorangan, keluarga, serta atau sekelompok kecil orang yang memiliki kapital untuk mencapai tujuan memberi laba yg semaksimal mungkin.

Lain halnya sektor koperasi yang adalah wadah ekonomi masyarakat yg berwatak sosial, beranggotakan orang-orang, dimiliki serta dikelola sang anggota buat kepentingan anggota dan rakyat secara kekeluargaan.

Bertitik tolak dari ciri-ciri pelaku ekonomi tadi diatas, maka keunggulan komparatif yang khas yg berkaitan menggunakan trilogi pembangunan nasional adaah sebagai berikut:
1) BUMN cenderung untuk melakukan peran primer menjadi stabilisator serta pioner perekonomian nasional
2) Swasta cenderung mengarah buat melakukan peran primer pada bidang pertumbuhan ekonomi nasional.
3) Koperasi mengemban peran utama pada bidang pemerataan pembangunan serta output- hasilnya. 

Keunggulan Komparatif Pelaku Ekonomi

Dari bagan diatas, dapat disimpulkan bahwa keunggulan pelaku ekonomi BUMN lebih terfokus pada bidang stabilitas, sedangkan BUMS lebih diarahkan buat mencapi pertumbuhan ekonomi. Badan bisnis koperasi, dipandang menurut aspek prinsip-prinsip organisasinya, lebih menitikberatkan pada asas pemerataan. Seiring menggunakan perubahan ruang, saat, dan nilai pada perjalanannya, koperasi juga berperan dalam pencapaian pertumbuhan serta stabilitas ekonomi nasional.

Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian Indonesia

Tujuan pembangunan ekonomi adalah buat mencapai kemakmuran masyarakat. Ketentuan dasar dalam melaksanakan aktivitas ini diatur oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi, ”Perekonomian disusun sebagai usaha beserta berdasar atas asas kekeluargaan.”

Dalam penjelasan pasal 33 Uud 1945 ini dikatakan bahwa ”produksi di kerjakan sang seluruh, buat seluruh, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota rakyat. Kemakmuran rakyat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seseorang. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai bisnis bersama menurut atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yg sinkron dengan itu artinya koperasi.”

Penjelasan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ini menempatkan kedudukan koperasi (1) menjadi sokoguru perekonomian nasional, dan (2) sebagai bagian integral tata perekonomian nasional. Menurut Kamus Umum Lengkap karangan wojowasito (1982), arti berdasarkan sokoguru merupakan pilar atau tiang. Jadi, makna berdasarkan istilah koperasi sebagai sokoguru perekonomian dapat diartikan koperasi menjadi pilar atau ”penyangga utama” atau ”tulang punggung” perekonomian. Dengan demikian koperasi diperankan dan difungsikan menjadi pilar utama dalam sistem perekonomian nasional.

Ditinjau menurut sisi badan yusaha atau pelaku usaha, terdapat tiga grup pelaku usaha pada sistem perekonomian nasional yaitu:
1) Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2) Badan Usaha Koperasi (BUK) 
3) Badan Usaha Milik Swasta (BUMS)

Posisi Koperasi Dalam Uud 1945

Dari bagan tersebut, dapat dilihat bahwa seluruh pelaku ekonomi nasional (BUMN, BUK, BUMS) dari amanat konstitusional (pasal 33 UUD 1945) harus berasaskan (1) bisnis beserta, (dua) kekeluargaan. Artinya, operasionalisasi fungsi berdasarkan pelaku ekonomi swasta, negara, serta koperasi wajib menurut atas asas usaha bersama serta kekeluargaan.

Kedua asas tadi telah inheren pada organisasi koperasi sejak didirikan oleh anggota-angotanya. Dengan kedudukan koperasi seperti itu, maka peranan koperasi pada mengembangkan potensi ekonomi rakyat serta pada mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi adalah sangat strategis. Sedangkan aplikasi pembangunan ekonomi harus didasarkan pada demokrasi ekonomi.

Mengapa koperasi sebagai sokoguru?
UUD 1945 pasal 33 memandang koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional, yg lalu semakin dipertegas dalam pasal 4 UU No. 25 tahun 1992 mengenai perkoperasian. Menurut M. Hatta menjadi pelopor pasal 33 UUD 1945 tersebut, koperasi dijadikan menjadi sokoguru perekonomian nasional karena:
1) Koperasi mendidik perilaku self-helping.
2) Koperasi memiliki sifat kemasyarakatan, pada mana kepentingan warga wajib lebih diutamakan daripada kepentingan dri atau golongan sendiri.
3) Koperasi digali dan dikembangkan menurut budaya asli bangsa Indonesia.
4) Koperasi menentang segala paham yg berbau individualisme dan kapitalisme.

Ada 9 asas pembangunan nasional yg harus diperhatikan dalam setiap pelaksanaan pembangunan (GBHN, 1988) yaitu:
1) Asas Keimanan serta Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bahwa segala usaha dan aktivitas pembangunan nasional dijiwai, digerakkan serta dikendalikan oleh keimanan serta ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi nilai luhur yang sebagai landasan spiritual, moral dan etika pada rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
2) Asas Manfaat, bahwa segala usaha dan aktivitas pembangunan nasional menaruh manfaat yang sebanyak-besarnya bagi kemanusiaan, bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pengembangan pribadi rakyat negara serta mengutamakan kelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa dan elestarian fungsi lingkungan hidup dalam rangka pembangunan yg berkesinambungan serta berkelanjutan.
3) Asas Demokrasi Pancasila, bahwa upaya mencapai tujuan pembangunan nasional yang meliputi semua kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara dilakukan dengan semangat kekeluargaan yang bercirikan kebersamaan, gotong-royong, persatuan dan kesatuan melalui musyawarah buat mencapai mufakat.
4) Asas Adil serta Merata, bahwa pembangunan nasional yang diselenggarakan menjadi usaha bersama harus merata di semua lapisan warga serta di seluruh wilayah tanah air.
5) Asas Keseimbangan, Keserasian, serta Keselarasan pada Perikehidupan, bahwa dalam pembangunan nasional sine qua non keseimbangan antara banyak sekali kepentingan, yaitu ekuilibrium, keserasian, keselarasan antara kepentingan dunia dan akhirat, jiwa serta raga, individu, warga dana negara, dan lain- lain.
6) Asas Kesadaran Hukum, bahwa dalam pembangunan nasional setiap rakyat negara dan penyelenggara negara wajib taat dalam aturan yg berintikan keadilan serta kebenaran, serta negara diwajibkan buat menegakkan dan menjamin kepastian aturan.
7) Asas Kemandirian, bahwa dalam pembangunan nasional wajib berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepada kepribadian bangsa.
8) Asas Kejuangan, bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, penyelenggaraan negara dan masyarakat harus mempunyai mental, tekad, jiwa dan semangat darma serta ketaatan dan disiplin yang tinggi menggunakan lebih mengutamakan kepentingan bangsa pada atas kepentingan eksklusif/golongan.
9) Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pada pembangunan nasional bisa memberikan kesejahteraan lahir batin yang dengan tinggi-tingginya, penyelenggaraannya perlu menerapakan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan tekonologi secara seksam serta bertanggung jawab dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.

PENGERTIAN TRILOGI PEMBANGUNAN

Pengertian Trilogi Pembangunan
Trilogi pembangunan yaitu membentuk pemerataan pembangunan dan output-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yg cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang bergerak maju dan strategis yg kemudian juga dijadikan sebagai misi yg melekat dalam masing-masing pelaku ekonomi, baik negara, swasta, maupun koperasi di pada sistem ekonomi nasional yang kita bangun.

Rumusan kedudukan, peranan, dan hubungan antara pelaku ekonomi dapat digambarkan menjadi berikut:
1) BUMN, koperasi, serta swasta hendaknya ditempatkan dalam posisi serta kedudukan yg setara. Hal ini berarti, setiap pelaku ekonomi baik secara normatif juga operasional mempunyai hak hidup yg sama, sesuai menggunakan misi yang diembannya.
2) BUMN, koperasi, dan partikelir hendaknya melakukan peranan masing-masing dengan memanfaatkan keunggulan komparatif (Comparative advantage) yang dimilikinya.keunggulan koperasi yg dimaksud di sini adalah bahwa masing-masing pelaku ekonomi memiliki suatu kelebihan di satu bidang bila dibandingkan menggunakan pelaku ekonomi lainnya. 

Keunggulan komparatif tadi bisa dilihat berdasarkan impian organisasi masing-masing pelaku ekonomi tadi. BUMN dimiliki dan dikelola sang pemerintah. BUMN bukan adalah suatu perusahaan yang mengejar laba sebagai prioritas primer, akan tetapi adalah indera pemerintah yg efektif pada melaksanakan pembangunan nasional. Dengan demikian, BUMN mengemban tugas melayani kepentingan generik buat memenuhi hajat orang banyak.

Berbeda dengan sektor swasta yg dimiliki serta dikelola secara perseorangan, famili, dan atau sekelompok kecil orang yang memiliki kapital buat mencapai tujuan memberi laba yang semaksimal mungkin.

Lain halnya sektor koperasi yang adalah wadah ekonomi rakyat yg berwatak sosial, beranggotakan orang-orang, dimiliki dan dikelola oleh anggota buat kepentingan anggota serta rakyat secara kekeluargaan.

Bertitik tolak dari ciri-karakteristik pelaku ekonomi tadi diatas, maka keunggulan komparatif yang khas yg berkaitan dengan trilogi pembangunan nasional adaah sebagai berikut:
1) BUMN cenderung buat melakukan kiprah primer menjadi stabilisator serta perintis perekonomian nasional
2) Swasta cenderung mengarah buat melakukan kiprah primer di bidang pertumbuhan ekonomi nasional.
3) Koperasi mengemban peran utama pada bidang pemerataan pembangunan dan output- hasilnya. 

Keunggulan Komparatif Pelaku Ekonomi

Dari bagan diatas, dapat disimpulkan bahwa keunggulan pelaku ekonomi BUMN lebih terfokus dalam bidang stabilitas, sedangkan BUMS lebih diarahkan buat mencapi pertumbuhan ekonomi. Badan usaha koperasi, dilihat menurut aspek prinsip-prinsip organisasinya, lebih menitikberatkan dalam asas pemerataan. Seiring menggunakan perubahan ruang, ketika, dan nilai dalam perjalanannya, koperasi jua berperan dalam pencapaian pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional.

Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian Indonesia

Tujuan pembangunan ekonomi adalah buat mencapai kemakmuran rakyat. Ketentuan dasar pada melaksanakan kegiatan ini diatur oleh UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yg berbunyi, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”

Dalam penjelasan pasal 33 Uud 1945 ini dikatakan bahwa ”produksi di kerjakan sang semua, buat semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai bisnis beserta dari atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yg sesuai dengan itu merupakan koperasi.”

Penjelasan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ini menempatkan kedudukan koperasi (1) sebagai sokoguru perekonomian nasional, dan (dua) menjadi bagian integral tata perekonomian nasional. Menurut Kamus Umum Lengkap karangan wojowasito (1982), arti dari sokoguru merupakan pilar atau tiang. Jadi, makna berdasarkan istilah koperasi sebagai sokoguru perekonomian dapat diartikan koperasi menjadi pilar atau ”penyangga utama” atau ”tulang punggung” perekonomian. Dengan demikian koperasi diperankan serta difungsikan sebagai pilar primer pada sistem perekonomian nasional.

Ditinjau menurut sisi badan yusaha atau pelaku bisnis, terdapat tiga gerombolan pelaku bisnis dalam sistem perekonomian nasional yaitu:
1) Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2) Badan Usaha Koperasi (BUK) 
3) Badan Usaha Milik Swasta (BUMS)

Posisi Koperasi Dalam Uud 1945

Dari bagan tadi, bisa dicermati bahwa seluruh pelaku ekonomi nasional (BUMN, BUK, BUMS) dari amanat konstitusional (pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945) wajib berasaskan (1) bisnis bersama, (dua) kekeluargaan. Artinya, operasionalisasi fungsi dari pelaku ekonomi partikelir, negara, dan koperasi harus berdasarkan atas asas bisnis beserta dan kekeluargaan.

Kedua asas tadi sudah inheren dalam organisasi koperasi semenjak didirikan sang anggota-angotanya. Dengan kedudukan koperasi misalnya itu, maka peranan koperasi dalam menyebarkan potensi ekonomi masyarakat serta dalam mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi merupakan sangat strategis. Sedangkan pelaksanaan pembangunan ekonomi wajib berdasarkan kepada demokrasi ekonomi.

Mengapa koperasi menjadi sokoguru?
UUD 1945 pasal 33 memandang koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional, yang kemudian semakin dipertegas pada pasal 4 UU No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian. Menurut M. Hatta menjadi pelopor pasal 33 UUD 1945 tersebut, koperasi dijadikan sebagai sokoguru perekonomian nasional karena:
1) Koperasi mendidik perilaku self-helping.
2) Koperasi mempunyai sifat kemasyarakatan, di mana kepentingan masyarakat wajib lebih diutamakan daripada kepentingan dri atau golongan sendiri.
3) Koperasi digali serta dikembangkan menurut budaya orisinil bangsa Indonesia.
4) Koperasi menentang segala paham yg berbau individualisme dan kapitalisme.

Ada 9 asas pembangunan nasional yg wajib diperhatikan pada setiap aplikasi pembangunan (GBHN, 1988) yaitu:
1) Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bahwa segala bisnis dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan serta ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral serta etika dalam rangka pembangunan nasional menjadi pengamalan pancasila.
2) Asas Manfaat, bahwa segala bisnis serta aktivitas pembangunan nasional memberikan manfaat yg sebesar-besarnya bagi humanisme, bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan pribadi rakyat negara serta mengutamakan kelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa dan elestarian fungsi lingkungan hidup dalam rangka pembangunan yang berkesinambungan serta berkelanjutan.
3) Asas Demokrasi Pancasila, bahwa upaya mencapai tujuan pembangunan nasional yg mencakup semua kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dilakukan menggunakan semangat kekeluargaan yang bercirikan kebersamaan, gotong-royong, persatuan dan kesatuan melalui musyawarah buat mencapai mufakat.
4) Asas Adil dan Merata, bahwa pembangunan nasional yg diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata pada semua lapisan masyarakat dan pada semua daerah tanah air.
5) Asas Keseimbangan, Keserasian, serta Keselarasan pada Perikehidupan, bahwa pada pembangunan nasional sine qua non ekuilibrium antara aneka macam kepentingan, yaitu ekuilibrium, keserasian, keselarasan antara kepentingan global serta akhirat, jiwa dan raga, individu, rakyat dana negara, dan lain- lain.
6) Asas Kesadaran Hukum, bahwa pada pembangunan nasional setiap warga negara serta penyelenggara negara wajib taat pada hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta negara diwajibkan buat menegakkan serta mengklaim kepastian aturan.
7) Asas Kemandirian, bahwa pada pembangunan nasional wajib berlandaskan dalam kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri dan bersendikan kepada kepribadian bangsa.
8) Asas Kejuangan, bahwa pada penyelenggaraan pembangunan nasional, penyelenggaraan negara serta warga wajib memiliki mental, tekad, jiwa dan semangat darma dan ketaatan dan disiplin yang tinggi menggunakan lebih mengutamakan kepentingan bangsa pada atas kepentingan langsung/golongan.
9) Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dalam pembangunan nasional dapat memberikan kesejahteraan lahir batin yg dengan tinggi-tingginya, penyelenggaraannya perlu menerapakan nilai-nilai ilmu pengetahuan serta tekonologi secara seksam dan bertanggung jawab dengan memperhatikan nilai-nilai agama serta nilai-nilai luhur budaya bangsa.

PENERAPAN ASASASAS PERADILAN DALAM KASUS KEPAILITAN

Penerapan Asas-Asas Peradilan Dalam Kasus Kepailitan 
Pada hakekatnya kepailitan merupakan sita generik yg bersifat konvensatoir terhadap semua harta kekayaan debitur untuk kepentingan para krediturnya. Debitur yg dinyatakan pailit kehilangan hak penguasaan terhadap harta benda yg dia miliki. Penyelesaian boedel pailit tadi diserahkan pada kurator yang pada menjalankan tugasnya diawasi oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk sang hakim Pengadilan Niaga.

Salah satu badan bisnis yang bisa digugat pailit adalah bisnis perbankan, menggunakan keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan (selanjutnya dianggap menggunakan Undang Undang Perbankan), bank mempunyai peranan yang sangat strategis buat menunjang pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan warga adil dan makmur dari Undang Undang Dasar 1945, aplikasi perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan serta ekuilibrium yg bertumpu pada Trilogi Pembangunan.

Bank merupakan suatu badan usaha yg berkiprah dibidang jasa keuangan yang oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan dalam Pasal 1 ayat (2) didefinisikan sebagai berikut : “Badan usaha yg menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada rakyat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka menaikkan tingkat hayati rakyat banyak”.

Bank mempunyai kegiatan bisnis khusus misalnya diatur dalam Pasal 6 serta Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan yaitu diantaranya menghimpun dana menurut masyarakat pada bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, tabungan serta atau bentuk lainnya yang dipersamakan menggunakan itu, menaruh kredit, melakukan kegiatan pada valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan sang Bank Indonesia.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dari jenisnya Bank dapat dibedakan sebagai dua (dua), yaitu : Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Umum adalah bank yang bisa memberikan jasanya pada kemudian lintas pembayaran, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang menerima simpanan hanya pada bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Bank adalah suatu badan aturan, badan hukum diakui oleh aturan sebagai subjek aturan. Ia dapat melakukan perbuatan aturan, mengikat perjanjian, berkedudukan sebagai debitur dan kreditur, menyandang hak dan kewajiban misalnya halnya manusia, juga bisa dikenai kepailitan, yg kesemuanya dengan mediator organ atau indera perlengkapannya. Alat perlengkapan ini nir bertindak untuk dirinya sendiri, melainkan buat dan atas pertanggunggugatan badan aturan.

Hubungan hukum antara bank menggunakan nasabah kreditur merupakan suatu bentuk perjanjian pinjam meminjam uang menggunakan bunga. Sedangkan interaksi aturan antara bank menggunakan nasabah debitur yang berarti bank bertindak menjadi kreditur serta nasabah sebagai debitur. Semua interaksi aturan secara yuridis dituangkan dalam suatu perjanjian. Dari perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah akan menyebabkan akibat aturan yang berarti menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Jika keliru satu pihak ternyata nir bisa memenuhi kewajiban hukumnya menggunakan baik, maka pihak yang dirugikan bisa menuntut hak tersebut melalui aturan aturan. Sebaliknya bank bisa pula dalam keadaan berhenti membayar, yang adalah alasan bagi bank buat dapat dimohonkan pailit ataupun tuntutan lainnya.

Dalam Pasal 1 ayat (tiga) UU No. 4 Tahun 1998 juncto Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan serta Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya dianggap UUK) disebutkan bahwa bila debiturnya adalah suatu bank, maka permohonan pernyataan pailitnya hanya bisa diajukan sang Bank Indonesia. Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit suatu debitur, oleh undang undang disyaratkan bahwa debitur tadi wajib mempunyai dua atau lebih kreditur serta nir membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo serta bisa ditagih.

Gugatan pailit diajukan sang kreditur kepada pengadilan yang berwenang menangani perkara kepailitan. Pengadilan yg berwenang mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga, Pengadilan Niaga dibuat melalui (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Kepailitan yang ditetapkan dalam tanggal 22 April 1998. Pada bulan Agustus 1998, Pengadilan Niaga dibentuk pertama kalinya dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Usaha buat mempailitkan suatu bank pernah terjadi, dalam putusan Pengadilan Niaga Nomor : 21/Pailit/2001/PN. Niaga.jak.pst masalah PT. Bank IFI (International Finance and Invesment, selanjutnya disebut Bank IFI) yg menggugat pailit PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk (selanjutnya disebut Bank Danamon) Dalam masalah ini, Bank IFI mengajukan permohonan kepailitan atas Bank Danamon ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada lepas 9 Mei 2001.

Adapun alasan pengajuan kepailitan tersebut merupakan bahwa Bank Danamon nir membayar hutangnya yang telah jatuh tempo dan bisa ditagih pada Bank IFI. Meskipun Pasal 2 ayat (3) UUK secara tegas menjelaskan bahwa hanya Bank Indonesia (BI) yang dapat mengajukan permohonan pailit atas suatu bank, tetapi majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tetap menyidangkan masalah tersebut. Setelah menjalani beberapa kali persidangan, akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tetapkan buat menolak permohonan pailit yg diajukan oleh Bank IFI atas Bank Danamon.

Gugatan ini sebagai kontroversi lantaran dari UUK Pasal 2 ayat (tiga), hanya Bank Indonesia yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap perbankan. Walaupun demikian, kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan permanen mendapat registrasi gugatan sehingga pengadilan permanen menyidangkan somasi tadi lantaran nir mampu menolak kasus yg sudah didaftarkan.

Bank IFI selaku pengugat ingin menciptakan sebuah terobosan aturan yg merupakan wewenang hakim buat memutuskannya sebagai penegak aturan dan keadilan yang wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hayati dalam warga . Namun kewenangan hakim tadi baru diperlukan jika suatu ketentuan pada undang-undang nir kentara, sebagai akibatnya alasan pembenar yang diajukan sang pihak bank IFI hanyalah dibuat-buat. Seharusnya bank IFI untuk memperoleh pelunasan utangnya menempuh upaya aturan dengan menggugat ke Pengadilan Negeri bukan menggugat pailit.

Perkara ini berawal menurut proses hening antara Bank IFI menggunakan Bank Danamon serta melibatkan Bank Indonesia yg tidak tercapai. Bank Danamon dipercaya mewarisi kewajiban Bank Nusa International kepada Bank IFI sebanyak US$ 5 juta. Bank IFI melalui kuasa hukumnya mengirimkan surat pada Bank Indonesia meminta agar Bank Danamon dipailitkan. Jawaban Bank Indonesia yg didasarkan Undang-Undang Perbankan nir memuaskan pihak Bank IFI, bukan dari Undang-Undang Kepailitan misalnya yg diinginkan oleh Bank IFI. Alasan Direktur Hukum Bank Indonesia waktu itu, bahwa Bank Indonesia tidak mengenal prosedur pailit, begitupun dari saksi ahli menurut BI yaitu Frederick BG. Tumbuan berkata bahwa memalitkan bank terlalu mahal bagi Bank Indonesia.

Sidang perdana permohonan pailit PT. Bank IFI atas PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk digelar pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sidang tadi mendengarkan permohonan pailit pemohon (PT. Bank IFI), sekaligus tanggapan termohon (PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk). Dalam permohonannya, kuasa aturan PT. Bank IFI menyatakan bahwa unsur formal perkara buat memailitkan Bank Danamon telah terpenuhi, meski Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan memilih, debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit hanya bisa diajukan sang Bank Indonesia.

Permohonan pailit yang terdaftar dengan angka: 021/Pailit/2001/PN.niaga.jkt.pst tersebut berawal menurut pinjaman PT. Bank Nusa Nasional (BNN) yg awalnya bernama PT. Bank Nusa International ke Bank IFI sebanyak US$ lima juta. Fasilitas kredit tadi dimanfaatkan buat membiayai PT. Riau Prima Energi sebesar US$ 16 juta lebih. Dikemudian hari Bank BNN melakukan merger menjadi PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk, sebagai akibatnya segala kewajiban dialihkan. Pinjaman ini diberikan dengan cara sub partisipasi dengan jangka waktu selama 2 tahun, terhitung sejak lepas 18 Desember 1996 serta berakhir tanggal 18 Desember 1998.

Kerangka Teori
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim merupakan suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan buat itu, diucapkan dipersidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau merampungkan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Ada beberapa teori yang relevan tentang kekuatan mengikat suatu putusan, yaitu :

1. Teori Hukum Materiil
Menurut teori ini, kekuatan mengikat dari suatu putusan yg lazim disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil, oleh karena mengadakan perbuatan terhadap kewenangan serta kewajiban keperdataan, contohnya menetapkan, menghapuskan atau membarui. Menurut teori ini, putusan itu bisa menimbulkan atau meniadakan interaksi aturan. Disebut sebagai ajaran aturan materiil karena menaruh akibat yg bersifat aturan materiil pada putusan, mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga. Menurut Profesor Sudikno Mertokusumo, teori ini nir tepat karena ajaran ini nir memberikan kewenangan buat mempertahankan hak sesorang terhadap pihak ketiga.

2. Teori Hukum Acara
Menurut teori ini, putusan bukanlah asal aturan materiil, melainkan sumber menurut pada wewenang prosesuil, siapa yg pada suatu putusan diakui menjadi pemilik maka dia menggunakan wahana prosesuil terhadap lawannya bisa bertindak sebagai pemilik. Teori ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah semata-mata hanya sumber kewenangan prosesuil, melainkan juga menuju pada penetapan yg pasti tentang interaksi aturan yg merupakan utama konkurensi.

3. Teori Hukum Pembuktian
Menurut teori ini, putusan merupakan bukti mengenai apa yang ditetapkan didalamnya sebagai akibatnya memiliki kekuatan yang mengikat oleh karena dari teori ini verifikasi lawan terhadap suatu putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti nir diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah nir banyak pengikutnya.

4. Teori Terikatnya Para Pihak Pada Putusan
Terikatnya para pihak pada putusan dapat mempunyai arti positif serta arti negatif. Arti positif menurut pada kekuatan mengikat suatu putusan artinya bahwa apa yg telah diputus sang para pihak berlaku sebagai positif sahih, apa yang telah diputus oleh hakim wajib dipercaya sahih : “res judicata pro veritate habetur”, verifikasi versus tidak dimungkinkan. Terikatnya para pihak ini berdasarkan dalam Pasal 1917 serta 1920 KUH Perdata. Sedangkan arti negatif menurut dalam kekuatan mengikat suatu putusan adalah bahwa hakim tidak boleh tetapkan kasus yg pernah diputuskan sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai utama perkara yg sama (nebis in idem, Pasal 134 Rv). Ulangan menurut tindakan ini nir akan mempunyai dampak aturan.

5. Teori Kekuatan Hukum Yang Pasti
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang niscaya atau permanen (inkracht van gewijsde) bila nir ada lagi upaya hukum biasa tersedia, termasuk upaya hukum biasa yaitu perlawanan, banding serta kasasi. Dengan memperoleh kekuatan aturan yg niscaya serta permanen, maka putusan itu nir lagi bisa diubah, sekalipun oleh pengadilan yag lebih tinggi, kecuali menggunakan upaya hukum yang spesifik, yaitu reguest civil dan perlawanan pihak ketiga.

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua (dua) golongan putusan, yaitu Putusan Sela dan Putusan Akhir, dalam HIR putusan sela terdiri berdasarkan Putusan Praparatoir, Putusan Provisionil dan Putusan Insidentil. Putusan Insidentil digunakan apabila ada peristiwa ada, misalnya pada hal penggabungan, intervensi dan adanya pemanggilan pihak ketiga menjadi penjamin. Sedangkan menurut sifatnya dikenal tiga (tiga) macam putusan , yaitu Putusan Declaratoir, Putusan Constitutif dan Putusan Condemnatoir.

Pengertian bank menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yg selanjutnya diklaim dengan Undang-Undang Perbankan dalam Pasal 1 ayat (2) adalah badan usaha yg menghimpun dana menurut masyarakat dalam bentuk simpanan serta menyalurkannya pulang pada masyarakat pada bentuk kredit serta/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka menaikkan taraf hidup warga banyak.

Dari pengertian diatas, maka peranan serta fungsi bank adalah pada rakyat diantaranya :
  1. sebagai forum yang menghimpun dana rakyat;
  2. sebagai forum yang menyalurkan dana berdasarkan warga dalam bentuk kredit atau forum forum pemberi kredit;
  3. sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan serta pembayaran uang;
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor tiga Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, tugas Bank Indonesia adalah menjadi berikut :
  1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
  2. Mengatur serta menjaga kelancaran sistem perbankan;
  3. Mengatur dan mengawasi bank;
Dalam rangka melaksanakan tugas pengaturan serta pengawasan bank, pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 mengenai Bank Indonesia, Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan peraturan, memberikan serta mencabut biar atas kelembagaan serta aktivitas usaha eksklusif berdasarkan bank, melaksanakan pengawasan bank serta mengenakan sanksi terhadap bank sinkron menggunakan perundang-undangan. Dengan demikian kentara terlihat bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan, tanggung jawab dan kewajiban secara utuh buat melakukan pembinaan serta supervisi terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif juga represif.

Pembinaan serta supervisi yang bersifat preventif berupa supervisi tidak pribadi, yaitu suatu bentuk supervisi dini melalui penelitian, analisis serta evaluasi laporan bank. Sedangkan yang bersifat refresif berupa pengawasan pribadi, yaitu berbentuk inspeksi yang disusul menggunakan tindakan-tindakan pemugaran. Pembinaan serta supervisi selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia jua diatur pada Pasal 29 sampai menggunakan Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dalam hukum perjanjian, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada orang lain, atau 2 orang saling berjanji buat melaksanakan sesuatu.. Melaksanakan sesuatu hal yg diperjanjikan inilah dianggap prestasi. Kewajiban buat memenuhi prestasi pada kata aturan dikenal dengan schuld yg pada bahasa Indonesia diterjemahkan menggunakan dengan istilah ”hutang” bukan utang, sedangkan pemenuhan prestasi tadi dalam bahasan Indonesia disebut dengan pembayaran. Sehingga pada kehidupan sehari-hari pemenuhan prestasi tersebut seringkali diterjemahkan dengan pembayaran ”hutang”. Sri Soedewi Mashcoen Sofyan menyatakan bahwa perutangan itu adalah hubungan hukum yg atas dasar itu seorang bisa mengharapkan suatu prestasi seorang lain, apabila perlu menggunakan perantaraan hakim.

Prestasi atau hutang dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata yaitu :
  1. untuk melakukan sesuatu;
  2. untuk berbuat sesuatu;
  3. untuk tidak berbuat sesuatu;
Untuk menaruh sesuatu maksudnya adalah penyerahan sesuatu benda pada kekuasaan atau pada kenikmatannya, misal jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa. Untuk berbuat sesuatu contohnya perjanjian perburuhan, perjanjian membikin sebuah garasi serta lain-lain. Sedangkan buat tidak berbuat sesuatu contohnya perjanjian buat tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk nir mendirikan suatu perusahaan yg sejenis dengan kepunyaan orang lain dan lain sebagainya.

Melihat dari contoh-model prestasi tadi, apakah bisa seseorang debitur yg tidak melakukan prestasi atau telah wanprestasi dapat dinyatakan pailit, contoh jika beliau seseorang pelukis yg tidak berbuat sesuai dengan yang diperjanjikan. Apabila debitur nir melakukan apa yang diperjanjikan maka dia melakukan wanprestasi. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu :
a. Salah satu pihak pada perjanjian yang bersangkutan nir melaksanakan apa yg telah diperjanjikan;
b. Melaksanakan apa yg diperjanjikannya, namun nir sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang diperjanjikan namun terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang dari perjanjian tidak boleh dilakukannya;

Akibat aturan bilamana debitur sudah wanprestasi serta sesudah diberi gugatan atau teguran maka terbuka bagi kreditur berhak untuk menuntut :
  • Pembatalan perikatan;
  • Pembatalan perikatan dan ganti rugi;
  • Pembayaran ganti rugi saja;
  • Menghukum buat melaksanakan perikatan;
  • Menghukum buat melaksanakan perikatan dengan ganti rugi;
  • Pernyataan batal saja;
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, tujuan dari kepailitan adalah:
  1. Untuk mengklaim pembagian yang sama terhadap harta kekyaan debitor di antara para kreditor;
  2. Mencegah supaya debitor nir melakukan perbuatan-perbuatan yg merugikan kepentingan para kreditor;
  3. Memberikan perlindungan pada debitor yg beritikad baik dari para kreditornya, menggunakan cara memperoleh pembebasan utang;
Sedangkan syarat-kondisi debitor mampu digugat pailit pada kepailitan adalah :
1. Paling sedikit sine qua non 2 (2) kreditor (concursus creditorium);
Ini berarti jikalau debitor hanya memiliki seorang kreditor saja, maka nir bisa menggunakan ketentuan pailit lantaran nir ada keperluan membagi aset debitor diantara para kreditor. Mengenai adanya minimal dua kreditor ini lebih dikenal menggunakan asas concursus creditorium.

2. Debitor nir membayar sedikitnya satu utang yg sudah jatuh tempo serta bisa ditagih;
Utang yg telah jatuh saat adalah utang yg menggunakan lampaunya ketika penjadwalan yang dipengaruhi dalam perjanjian, menjadi jatuh waktu serta karenanya jua kreditor berhak menagihnya.

Selain teori-teori putusan, perbankan dan kepailitan, penulis pula memakai teori tujuan aturan karena proteksi hukum yg akan diberikan kepada bank kreditur yg somasi kepailitannya ditolak dalam akhirnya akan bermuara pada tujuan berdasarkan pada aturan itu sendiri. Adapun teori-teori itu adalah sebagai berikut :

Wiryono Prodjodikoro pada bukunya ”Perbuatan Melanggar Hukum” mengemukakan bahwa tujuan aturan merupakan mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat. Subekti pada bukunya ”Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan” mengemukakan bahwa aturan itu mengabdi dalam tujuan negara yg pada dasarnya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya, dengan cara menyelanggarakan keadilan serta ketertiban. Van Apeldoorn pada bukunya ”Inleiden tot de studie van het Nederlandse recht” menyatakan bahwa tujuan aturan adalah menjaga tata tertib dalam masyarakat secara tenang serta adil. Aristoteles dalam bukunya ”Rethorica” mencetuskan teorinya bahwa tujuan hukum menghendaki semata-mata serta isi berdasarkan dalam hukum dipengaruhi oleh pencerahan etis mengenai apa yang dikatakan adil serta apa yang tidak adil. Sedangkan Jeremy Bentham pada bukunya ”Introduction to the morals and legislation” menyatakan bahwa aturan semata-mata apa yg berfaedah bagi orang. Sedangkan Van Kan beropini bahwa hukum itu bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap insan supaya kepentingan-kepentingan tersebut tidak bisa diganggu. 

Sedangkan menurut Rusli Effendy, tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 sudut pandang, yaitu :
  1. Dari sudut pandang ilmu aturan normatif, tujuan hukum dititik beratkan pada segi kepastian hukum;
  2. Dari sudut pandang filsafat hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan dalam segi keadilan;
  3. Dari sudut pandang sosiologi hukum, maka tujuan hukum ditititkberatkan pada segi kemanfaatan;
Adapun tujuan hukum dalam umumnya atau tujuan hukum secara universal, bisa dipandang dari 3 aliran konvensional, yaitu :
  1. Aliran Etis, genre ini menganggap bahwa dalam asasnya tujuan aturan merupakan semata-mata buat mencapai keadilan. Hukum ditentukan sang keyakinan yang etis mengenai adil dan yang nir adil, menggunakan perkataan lain hukum berdasarkan genre ini bertujuan buat merealisir atau mewujudkan keadilan. Pendukung genre ini antara lain Aristoteles, Gerry Mil, Ehrliek, Wartle.
  2. Aliran Utilitis, aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum merupakan semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yg sebanyak-besarnya insan dalam jumlah yg sebanyak-banyaknya. Jadi pada hakekatnya menurut genre ini, tujuan hukum adalah manfaat pada membentuk kesenangan atau kebahagiaan yg terbesar bagi jumlah orang yg poly.
  3. Aliran Yuridis Dogmatik, aliran ini menduga bahwa pada dasarnya tujuan hukum merupakan semata-mata buat kepastian hukum, karena dengan kepastian aturan, fungsi aturan dapat berjalan dan bisa mepertahankan ketertiban;
Definisi Operasional
Untuk menyamakan persepsi mengenai konsep-konsep yg digunakan pada penelitian ini, maka disusun terminologi konsepsional yang digunakan :
  1. Bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya pada warga dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan tingkat hayati rakyat poly.
  2. Bank Indonesia atau bank sentral dari Undang-Undang Nomor tiga Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia merupakan forum negara yg berwenang buat mengeluarkan alat pembayaran yang absah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur serta mengawasi bank.
  3. Kepailitan merupakan sitaan generik atas seluruh harta kekayaan debitur pailit yg pengurusan dan pemberesannya dilakukan sang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur undang-undang ini.
  4. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan yang spesifik dibentuk buat menangani masalah kepailitan.
  5. Kreditur adalah orang yang memiliki piutang karena perjanjian atau undang-undang yg dapat ditagih dimuka pengadilan 
  6. Debitur merupakan orang yg memiliki utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya bisa ditagih dimuka pengadilan.

PENERAPAN ASASASAS PERADILAN DALAM KASUS KEPAILITAN

Penerapan Asas-Asas Peradilan Dalam Kasus Kepailitan 
Pada hakekatnya kepailitan merupakan sita generik yang bersifat konvensatoir terhadap seluruh harta kekayaan debitur buat kepentingan para krediturnya. Debitur yang dinyatakan pailit kehilangan hak penguasaan terhadap mal yg dia miliki. Penyelesaian boedel pailit tadi diserahkan pada kurator yg pada menjalankan tugasnya diawasi oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh hakim Pengadilan Niaga.

Salah satu badan bisnis yang bisa digugat pailit merupakan usaha perbankan, menggunakan munculnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang sudah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan (selanjutnya disebut menggunakan Undang Undang Perbankan), bank memiliki peranan yang sangat strategis buat menunjang aplikasi pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur dari Undang Undang Dasar 1945, pelaksanaan perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan dan keseimbangan yang bertumpu dalam Trilogi Pembangunan.

Bank adalah suatu badan usaha yang beranjak dibidang jasa keuangan yg oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada Pasal 1 ayat (dua) didefinisikan sebagai berikut : “Badan bisnis yang menghimpun dana berdasarkan warga dalam bentuk simpanan serta menyalurkannya pada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya pada rangka menaikkan tingkat hidup masyarakat poly”.

Bank mempunyai aktivitas bisnis khusus seperti diatur dalam Pasal 6 serta Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yaitu antara lain menghimpun dana berdasarkan warga dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, tabungan serta atau bentuk lainnya yang dipersamakan menggunakan itu, memberikan kredit, melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yg ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan, menurut jenisnya Bank dapat dibedakan menjadi dua (dua), yaitu : Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Umum adalah bank yg bisa memberikan jasanya pada lalu lintas pembayaran, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan bank yang menerima simpanan hanya pada bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yg dipersamakan menggunakan itu.

Bank merupakan suatu badan hukum, badan hukum diakui oleh aturan menjadi subjek hukum. Ia dapat melakukan perbuatan hukum, mengikat perjanjian, berkedudukan sebagai debitur dan kreditur, menyandang hak serta kewajiban seperti halnya manusia, jua dapat dikenai kepailitan, yg kesemuanya menggunakan perantara organ atau indera perlengkapannya. Alat perlengkapan ini nir bertindak buat dirinya sendiri, melainkan buat serta atas pertanggunggugatan badan aturan.

Hubungan aturan antara bank menggunakan nasabah kreditur adalah suatu bentuk perjanjian pinjam meminjam uang menggunakan bunga. Sedangkan interaksi hukum antara bank menggunakan nasabah debitur yg berarti bank bertindak sebagai kreditur serta nasabah menjadi debitur. Semua interaksi aturan secara yuridis dituangkan dalam suatu perjanjian. Dari perjanjian yg dibentuk antara bank dengan nasabah akan menyebabkan akibat hukum yg berarti menyebabkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Jika salah satu pihak ternyata tidak dapat memenuhi kewajiban hukumnya menggunakan baik, maka pihak yang dirugikan bisa menuntut hak tadi melalui anggaran hukum. Sebaliknya bank bisa juga pada keadaan berhenti membayar, yg adalah alasan bagi bank buat dapat dimohonkan pailit ataupun tuntutan lainnya.

Dalam Pasal 1 ayat (tiga) UU No. 4 Tahun 1998 juncto Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK) disebutkan bahwa jika debiturnya adalah suatu bank, maka permohonan pernyataan pailitnya hanya bisa diajukan sang Bank Indonesia. Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit suatu debitur, oleh undang undang disyaratkan bahwa debitur tadi wajib memiliki 2 atau lebih kreditur serta nir membayar sedikitnya satu utang yg telah jatuh tempo serta bisa ditagih.

Gugatan pailit diajukan oleh kreditur pada pengadilan yang berwenang menangani perkara kepailitan. Pengadilan yang berwenang mengadili perkara kepailitan merupakan Pengadilan Niaga, Pengadilan Niaga dibentuk melalui (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 mengenai Perubahan terhadap Undang-undang Kepailitan yang ditetapkan dalam tanggal 22 April 1998. Pada bulan Agustus 1998, Pengadilan Niaga dibuat pertama kalinya dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Usaha buat mempailitkan suatu bank pernah terjadi, dalam putusan Pengadilan Niaga Nomor : 21/Pailit/2001/PN. Niaga.jak.pst perkara PT. Bank IFI (International Finance and Invesment, selanjutnya disebut Bank IFI) yg menggugat pailit PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk (selanjutnya diklaim Bank Danamon) Dalam kasus ini, Bank IFI mengajukan permohonan kepailitan atas Bank Danamon ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam lepas 9 Mei 2001.

Adapun alasan pengajuan kepailitan tadi adalah bahwa Bank Danamon nir membayar hutangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih pada Bank IFI. Meskipun Pasal dua ayat (tiga) UUK secara tegas menjelaskan bahwa hanya Bank Indonesia (BI) yg dapat mengajukan permohonan pailit atas suatu bank, tetapi majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat permanen menyidangkan kasus tadi. Setelah menjalani beberapa kali persidangan, akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menetapkan buat menolak permohonan pailit yang diajukan oleh Bank IFI atas Bank Danamon.

Gugatan ini menjadi kontroversi lantaran menurut UUK Pasal 2 ayat (tiga), hanya Bank Indonesia yg berhak mengajukan permohonan pailit terhadap perbankan. Walaupun demikian, kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan permanen mendapat registrasi somasi sehingga pengadilan permanen menyidangkan somasi tersebut lantaran nir mampu menolak masalah yang telah didaftarkan.

Bank IFI selaku pengugat ingin menciptakan sebuah terobosan hukum yg merupakan kewenangan hakim buat memutuskannya menjadi penegak aturan serta keadilan yang harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yg hayati pada rakyat. Namun kewenangan hakim tadi baru diharapkan apabila suatu ketentuan pada undang-undang tidak kentara, sehingga alasan pembenar yg diajukan oleh pihak bank IFI hanyalah dibuat-buat. Seharusnya bank IFI buat memperoleh pelunasan utangnya menempuh upaya hukum menggunakan menggugat ke Pengadilan Negeri bukan menggugat pailit.

Perkara ini berawal menurut proses tenang antara Bank IFI menggunakan Bank Danamon serta melibatkan Bank Indonesia yg tidak tercapai. Bank Danamon dianggap mewarisi kewajiban Bank Nusa International kepada Bank IFI sebanyak US$ lima juta. Bank IFI melalui kuasa hukumnya mengirimkan surat kepada Bank Indonesia meminta agar Bank Danamon dipailitkan. Jawaban Bank Indonesia yang didasarkan Undang-Undang Perbankan nir memuaskan pihak Bank IFI, bukan menurut Undang-Undang Kepailitan misalnya yg diinginkan sang Bank IFI. Alasan Direktur Hukum Bank Indonesia saat itu, bahwa Bank Indonesia tidak mengenal mekanisme pailit, begitupun menurut saksi pakar menurut BI yaitu Frederick BG. Tumbuan mengatakan bahwa memalitkan bank terlalu mahal bagi Bank Indonesia.

Sidang perdana permohonan pailit PT. Bank IFI atas PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk digelar pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sidang tadi mendengarkan permohonan pailit pemohon (PT. Bank IFI), sekaligus tanggapan termohon (PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk). Dalam permohonannya, kuasa aturan PT. Bank IFI menyatakan bahwa unsur formal masalah untuk memailitkan Bank Danamon telah terpenuhi, meski Pasal dua ayat (tiga) UU Kepailitan memilih, debitur yg merupakan bank, permohonan pernyataan pailit hanya bisa diajukan oleh Bank Indonesia.

Permohonan pailit yg terdaftar dengan angka: 021/Pailit/2001/PN.niaga.jkt.pst tersebut berawal berdasarkan pinjaman PT. Bank Nusa Nasional (BNN) yg awalnya bernama PT. Bank Nusa International ke Bank IFI sebanyak US$ lima juta. Fasilitas kredit tersebut dimanfaatkan buat membiayai PT. Riau Prima Energi sebanyak US$ 16 juta lebih. Dikemudian hari Bank BNN melakukan merger sebagai PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk, sebagai akibatnya segala kewajiban dialihkan. Pinjaman ini diberikan menggunakan cara sub partisipasi menggunakan jangka ketika selama 2 tahun, terhitung semenjak lepas 18 Desember 1996 dan berakhir lepas 18 Desember 1998.

Kerangka Teori
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yg oleh hakim menjadi pejabat negara yang diberi wewenang buat itu, diucapkan dipersidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau menuntaskan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Ada beberapa teori yg relevan mengenai kekuatan mengikat suatu putusan, yaitu :

1. Teori Hukum Materiil
Menurut teori ini, kekuatan mengikat menurut suatu putusan yg lazim dianggap “gezag van gewijsde” memiliki sifat hukum materiil, oleh karena mengadakan perbuatan terhadap kewenangan serta kewajiban keperdataan, misalnya tetapkan, menghapuskan atau mengubah. Menurut teori ini, putusan itu dapat menimbulkan atau meniadakan interaksi hukum. Disebut sebagai ajaran aturan materiil karena memberikan dampak yg bersifat aturan materiil pada putusan, mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak serta nir mengikat pihak ketiga. Menurut Profesor Sudikno Mertokusumo, teori ini tidak tepat karena ajaran ini tidak menaruh wewenang buat mempertahankan hak sesorang terhadap pihak ketiga.

2. Teori Hukum Acara
Menurut teori ini, putusan bukanlah asal hukum materiil, melainkan asal menurut dalam wewenang prosesuil, siapa yg pada suatu putusan diakui menjadi pemilik maka beliau dengan wahana prosesuil terhadap lawannya dapat bertindak menjadi pemilik. Teori ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah semata-mata hanya sumber wewenang prosesuil, melainkan juga menuju kepada penetapan yang niscaya tentang interaksi hukum yang adalah utama sengketa.

3. Teori Hukum Pembuktian
Menurut teori ini, putusan merupakan bukti mengenai apa yg ditetapkan didalamnya sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat oleh karena menurut teori ini verifikasi lawan terhadap suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan aturan yg niscaya tidak diperkenankan. Teori ini termasuk teori antik yang sudah nir banyak pengikutnya.

4. Teori Terikatnya Para Pihak Pada Putusan
Terikatnya para pihak dalam putusan dapat mempunyai arti positif dan arti negatif. Arti positif berdasarkan dalam kekuatan mengikat suatu putusan adalah bahwa apa yang telah diputus oleh para pihak berlaku sebagai positif benar, apa yang sudah diputus oleh hakim wajib dipercaya sahih : “res judicata pro veritate habetur”, verifikasi lawan nir dimungkinkan. Terikatnya para pihak ini didasarkan pada Pasal 1917 dan 1920 KUH Perdata. Sedangkan arti negatif berdasarkan dalam kekuatan mengikat suatu putusan artinya bahwa hakim nir boleh tetapkan kasus yg pernah diputuskan sebelumnya antara para pihak yang sama dan mengenai pokok masalah yang sama (nebis in idem, Pasal 134 Rv). Ulangan dari tindakan ini nir akan memiliki dampak hukum.

5. Teori Kekuatan Hukum Yang Pasti
Suatu putusan memperoleh kekuatan aturan yang niscaya atau permanen (inkracht van gewijsde) bila nir terdapat lagi upaya hukum biasa tersedia, termasuk upaya aturan biasa yaitu perlawanan, banding serta kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yg pasti serta permanen, maka putusan itu tidak lagi bisa diubah, sekalipun oleh pengadilan yag lebih tinggi, kecuali menggunakan upaya hukum yang spesifik, yaitu reguest civil dan perlawanan pihak ketiga.

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal 2 (2) golongan putusan, yaitu Putusan Sela serta Putusan Akhir, dalam HIR putusan sela terdiri dari Putusan Praparatoir, Putusan Provisionil dan Putusan Insidentil. Putusan Insidentil dipakai apabila ada insiden ada, misalnya dalam hal penggabungan, hegemoni serta adanya pemanggilan pihak ketiga sebagai penjamin. Sedangkan menurut sifatnya dikenal 3 (tiga) macam putusan , yaitu Putusan Declaratoir, Putusan Constitutif dan Putusan Condemnatoir.

Pengertian bank berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagimana sudah diubah menggunakan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yg selanjutnya dianggap menggunakan Undang-Undang Perbankan pada Pasal 1 ayat (2) merupakan badan usaha yg menghimpun dana menurut rakyat pada bentuk simpanan dan menyalurkannya balik pada rakyat dalam bentuk kredit serta/atau bentuk-bentuk lainnya pada rangka mempertinggi tingkat hidup masyarakat banyak.

Dari pengertian diatas, maka peranan serta fungsi bank adalah dalam warga antara lain :
  1. sebagai lembaga yg menghimpun dana masyarakat;
  2. sebagai forum yang menyalurkan dana menurut warga pada bentuk kredit atau lembaga forum pemberi kredit;
  3. sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran uang;
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, tugas Bank Indonesia merupakan sebagai berikut :
  1. Menetapkan serta melaksanakan kebijakan moneter;
  2. Mengatur serta menjaga kelancaran sistem perbankan;
  3. Mengatur serta mengawasi bank;
Dalam rangka melaksanakan tugas pengaturan dan supervisi bank, pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor tiga Tahun 2004 mengenai Bank Indonesia, Bank Indonesia berwenang buat memutuskan peraturan, memberikan serta mencabut biar atas kelembagaan serta aktivitas usaha eksklusif berdasarkan bank, melaksanakan supervisi bank serta mengenakan hukuman terhadap bank sesuai menggunakan perundang-undangan. Dengan demikian jelas terlihat bahwa Bank Indonesia memiliki wewenang, tanggung jawab dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pelatihan dan supervisi terhadap bank menggunakan menempuh upaya-upaya, baik yg bersifat preventif juga represif.

Pembinaan dan pengawasan yg bersifat preventif berupa supervisi tidak pribadi, yaitu suatu bentuk supervisi dini melalui penelitian, analisis dan evaluasi laporan bank. Sedangkan yg bersifat refresif berupa supervisi eksklusif, yaitu berbentuk pemeriksaan yg disusul dengan tindakan-tindakan pemugaran. Pembinaan serta supervisi selain diatur dalam Undang-Undang Nomor tiga Tahun 2004 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia pula diatur dalam Pasal 29 sampai menggunakan Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan.

Dalam hukum perjanjian, suatu perjanjian adalah suatu insiden dimana seorang berjanji pada orang lain, atau dua orang saling berjanji buat melaksanakan sesuatu.. Melaksanakan sesuatu hal yang diperjanjikan inilah disebut prestasi. Kewajiban buat memenuhi prestasi pada istilah aturan dikenal menggunakan schuld yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menggunakan istilah ”hutang” bukan utang, sedangkan pemenuhan prestasi tersebut pada bahasan Indonesia diklaim dengan pembayaran. Sehingga pada kehidupan sehari-hari pemenuhan prestasi tersebut sering diterjemahkan dengan pembayaran ”hutang”. Sri Soedewi Mashcoen Sofyan menyatakan bahwa perutangan itu merupakan interaksi hukum yang atas dasar itu seorang dapat mengharapkan suatu prestasi seorang lain, bila perlu menggunakan perantaraan hakim.

Prestasi atau hutang dapat dibagi menjadi tiga (3) macam yang diatur pada Pasal 1234 KUH Perdata yaitu :
  1. untuk melakukan sesuatu;
  2. untuk berbuat sesuatu;
  3. untuk nir berbuat sesuatu;
Untuk memberikan sesuatu maksudnya adalah penyerahan sesuatu benda dalam kekuasaan atau dalam kenikmatannya, misal jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa. Untuk berbuat sesuatu misalnya perjanjian perburuhan, perjanjian membikin sebuah garasi dan lain-lain. Sedangkan buat tidak berbuat sesuatu contohnya perjanjian buat nir mendirikan tembok, perjanjian buat tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain serta lain sebagainya.

Melihat dari contoh-model prestasi tadi, apakah mampu seorang debitur yg tidak melakukan prestasi atau telah wanprestasi bisa dinyatakan pailit, contoh apabila beliau seorang pelukis yg tidak berbuat sinkron dengan yg diperjanjikan. Jika debitur nir melakukan apa yang diperjanjikan maka beliau melakukan wanprestasi. Wanprestasi seseorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu :
a. Keliru satu pihak dalam perjanjian yang bersangkutan tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan;
b. Melaksanakan apa yang diperjanjikannya, namun nir sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yg diperjanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yg berdasarkan perjanjian tidak boleh dilakukannya;

Akibat hukum bilamana debitur telah wanprestasi dan setelah diberi gugatan atau teguran maka terbuka bagi kreditur berhak buat menuntut :
  • Pembatalan perikatan;
  • Pembatalan perikatan dan ganti rugi;
  • Pembayaran ganti rugi saja;
  • Menghukum buat melaksanakan perikatan;
  • Menghukum buat melaksanakan perikatan menggunakan ganti rugi;
  • Pernyataan batal saja;
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, tujuan dari kepailitan merupakan:
  1. Untuk mengklaim pembagian yang sama terhadap harta kekyaan debitor di antara para kreditor;
  2. Mencegah supaya debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yg merugikan kepentingan para kreditor;
  3. Memberikan perlindungan pada debitor yang beritikad baik berdasarkan para kreditornya, menggunakan cara memperoleh pembebasan utang;
Sedangkan kondisi-kondisi debitor mampu digugat pailit dalam kepailitan adalah :
1. Paling sedikit harus ada dua (dua) kreditor (concursus creditorium);
Ini berarti jika debitor hanya mempunyai seorang kreditor saja, maka nir dapat memakai ketentuan pailit lantaran tidak ada keperluan membagi aset debitor diantara para kreditor. Mengenai adanya minimal dua kreditor ini lebih dikenal dengan asas concursus creditorium.

2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang sudah jatuh tempo serta bisa ditagih;
Utang yang telah jatuh saat merupakan utang yang dengan lampaunya ketika penjadwalan yg dipengaruhi dalam perjanjian, sebagai jatuh ketika serta karenanya juga kreditor berhak menagihnya.

Selain teori-teori putusan, perbankan serta kepailitan, penulis jua memakai teori tujuan aturan lantaran perlindungan hukum yg akan diberikan kepada bank kreditur yang gugatan kepailitannya ditolak pada akhirnya akan bermuara pada tujuan menurut dalam aturan itu sendiri. Adapun teori-teori itu merupakan menjadi berikut :

Wiryono Prodjodikoro dalam bukunya ”Perbuatan Melanggar Hukum” mengemukakan bahwa tujuan hukum merupakan mengadakan keselamatan, kebahagiaan serta rapikan tertib dalam masyarakat. Subekti dalam bukunya ”Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan” mengemukakan bahwa aturan itu mengabdi pada tujuan negara yang intinya artinya mendatangkan kemakmuran serta kebahagiaan rakyatnya, dengan cara menyelanggarakan keadilan serta ketertiban. Van Apeldoorn pada bukunya ”Inleiden tot de studie van het Nederlandse recht” menyatakan bahwa tujuan hukum adalah menjaga tata tertib dalam rakyat secara hening dan adil. Aristoteles dalam bukunya ”Rethorica” mencetuskan teorinya bahwa tujuan hukum menghendaki semata-mata serta isi menurut pada hukum ditentukan sang kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang nir adil. Sedangkan Jeremy Bentham dalam bukunya ”Introduction to the morals and legislation” menyatakan bahwa hukum semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Sedangkan Van Kan beropini bahwa aturan itu bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap insan supaya kepentingan-kepentingan tersebut nir bisa diganggu. 

Sedangkan dari Rusli Effendy, tujuan hukum bisa dikaji melalui 3 sudut pandang, yaitu :
  1. Dari sudut pandang ilmu aturan normatif, tujuan hukum dititik beratkan dalam segi kepastian hukum;
  2. Dari sudut pandang filsafat hukum, maka tujuan aturan dititikberatkan dalam segi keadilan;
  3. Dari sudut pandang sosiologi aturan, maka tujuan hukum ditititkberatkan dalam segi kemanfaatan;
Adapun tujuan hukum dalam biasanya atau tujuan aturan secara universal, bisa dicermati menurut 3 genre konvensional, yaitu :
  1. Aliran Etis, aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan aturan adalah semata-mata buat mencapai keadilan. Hukum dipengaruhi sang keyakinan yg etis tentang adil dan yg tidak adil, dengan perkataan lain hukum menurut aliran ini bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan. Pendukung aliran ini diantaranya Aristoteles, Gerry Mil, Ehrliek, Wartle.
  2. Aliran Utilitis, genre ini menganggap bahwa dalam asasnya tujuan hukum merupakan semata-mata buat membangun kemanfaatan atau kebahagiaan yg sebanyak-besarnya manusia dalam jumlah yg sebanyak-banyaknya. Jadi dalam hakekatnya dari genre ini, tujuan hukum adalah manfaat pada menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yg terbesar bagi jumlah orang yg poly.
  3. Aliran Yuridis Dogmatik, aliran ini menduga bahwa dalam dasarnya tujuan aturan adalah semata-mata buat kepastian aturan, lantaran dengan kepastian aturan, fungsi aturan bisa berjalan dan mampu mepertahankan ketertiban;
Definisi Operasional
Untuk menyamakan persepsi tentang konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka disusun terminologi konsepsional yg dipakai :
  1. Bank berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah badan usaha yg menghimpun dana menurut warga pada bentuk simpanan dan menyalurkannya pada masyarakat pada bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka menaikkan taraf hayati rakyat poly.
  2. Bank Indonesia atau bank sentral berdasarkan Undang-Undang Nomor tiga Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang berwenang untuk mengeluarkan indera pembayaran yang absah dari suatu negara, merumuskan serta melaksanakan kebijakan moneter, mengatur serta menjaga kelancaran sistem pembayaran dan mengatur serta mengawasi bank.
  3. Kepailitan adalah sitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitur pailit yg pengurusan serta pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah supervisi hakim pengawas sebagaimana diatur undang-undang ini.
  4. Pengadilan Niaga adalah pengadilan yang khusus dibuat buat menangani masalah kepailitan.
  5. Kreditur merupakan orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yg bisa ditagih dimuka pengadilan 
  6. Debitur merupakan orang yang mempunyai utang lantaran perjanjian atau undang-undang yg pelunasannya bisa ditagih dimuka pengadilan.