PENERAPAN ASASASAS PERADILAN DALAM KASUS KEPAILITAN

Penerapan Asas-Asas Peradilan Dalam Kasus Kepailitan 
Pada hakekatnya kepailitan merupakan sita generik yg bersifat konvensatoir terhadap semua harta kekayaan debitur untuk kepentingan para krediturnya. Debitur yg dinyatakan pailit kehilangan hak penguasaan terhadap harta benda yg dia miliki. Penyelesaian boedel pailit tadi diserahkan pada kurator yang pada menjalankan tugasnya diawasi oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk sang hakim Pengadilan Niaga.

Salah satu badan bisnis yang bisa digugat pailit adalah bisnis perbankan, menggunakan keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan (selanjutnya dianggap menggunakan Undang Undang Perbankan), bank mempunyai peranan yang sangat strategis buat menunjang pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan warga adil dan makmur dari Undang Undang Dasar 1945, aplikasi perbankan Indonesia harus banyak memperhatikan keserasian, keselarasan serta ekuilibrium yg bertumpu pada Trilogi Pembangunan.

Bank merupakan suatu badan usaha yg berkiprah dibidang jasa keuangan yang oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan dalam Pasal 1 ayat (2) didefinisikan sebagai berikut : “Badan usaha yg menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada rakyat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka menaikkan tingkat hayati rakyat banyak”.

Bank mempunyai kegiatan bisnis khusus misalnya diatur dalam Pasal 6 serta Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan yaitu diantaranya menghimpun dana menurut masyarakat pada bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, tabungan serta atau bentuk lainnya yang dipersamakan menggunakan itu, menaruh kredit, melakukan kegiatan pada valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan sang Bank Indonesia.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dari jenisnya Bank dapat dibedakan sebagai dua (dua), yaitu : Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Umum adalah bank yang bisa memberikan jasanya pada kemudian lintas pembayaran, sedangkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang menerima simpanan hanya pada bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Bank adalah suatu badan aturan, badan hukum diakui oleh aturan sebagai subjek aturan. Ia dapat melakukan perbuatan aturan, mengikat perjanjian, berkedudukan sebagai debitur dan kreditur, menyandang hak dan kewajiban misalnya halnya manusia, juga bisa dikenai kepailitan, yg kesemuanya dengan mediator organ atau indera perlengkapannya. Alat perlengkapan ini nir bertindak untuk dirinya sendiri, melainkan buat dan atas pertanggunggugatan badan aturan.

Hubungan hukum antara bank menggunakan nasabah kreditur merupakan suatu bentuk perjanjian pinjam meminjam uang menggunakan bunga. Sedangkan interaksi aturan antara bank menggunakan nasabah debitur yang berarti bank bertindak menjadi kreditur serta nasabah sebagai debitur. Semua interaksi aturan secara yuridis dituangkan dalam suatu perjanjian. Dari perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah akan menyebabkan akibat aturan yang berarti menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Jika keliru satu pihak ternyata nir bisa memenuhi kewajiban hukumnya menggunakan baik, maka pihak yang dirugikan bisa menuntut hak tersebut melalui aturan aturan. Sebaliknya bank bisa pula dalam keadaan berhenti membayar, yang adalah alasan bagi bank buat dapat dimohonkan pailit ataupun tuntutan lainnya.

Dalam Pasal 1 ayat (tiga) UU No. 4 Tahun 1998 juncto Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan serta Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya dianggap UUK) disebutkan bahwa bila debiturnya adalah suatu bank, maka permohonan pernyataan pailitnya hanya bisa diajukan sang Bank Indonesia. Untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit suatu debitur, oleh undang undang disyaratkan bahwa debitur tadi wajib mempunyai dua atau lebih kreditur serta nir membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo serta bisa ditagih.

Gugatan pailit diajukan sang kreditur kepada pengadilan yang berwenang menangani perkara kepailitan. Pengadilan yg berwenang mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga, Pengadilan Niaga dibuat melalui (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Kepailitan yang ditetapkan dalam tanggal 22 April 1998. Pada bulan Agustus 1998, Pengadilan Niaga dibentuk pertama kalinya dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Usaha buat mempailitkan suatu bank pernah terjadi, dalam putusan Pengadilan Niaga Nomor : 21/Pailit/2001/PN. Niaga.jak.pst masalah PT. Bank IFI (International Finance and Invesment, selanjutnya disebut Bank IFI) yg menggugat pailit PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk (selanjutnya disebut Bank Danamon) Dalam masalah ini, Bank IFI mengajukan permohonan kepailitan atas Bank Danamon ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada lepas 9 Mei 2001.

Adapun alasan pengajuan kepailitan tersebut merupakan bahwa Bank Danamon nir membayar hutangnya yang telah jatuh tempo dan bisa ditagih pada Bank IFI. Meskipun Pasal 2 ayat (3) UUK secara tegas menjelaskan bahwa hanya Bank Indonesia (BI) yang dapat mengajukan permohonan pailit atas suatu bank, tetapi majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tetap menyidangkan masalah tersebut. Setelah menjalani beberapa kali persidangan, akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tetapkan buat menolak permohonan pailit yg diajukan oleh Bank IFI atas Bank Danamon.

Gugatan ini sebagai kontroversi lantaran dari UUK Pasal 2 ayat (tiga), hanya Bank Indonesia yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap perbankan. Walaupun demikian, kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan permanen mendapat registrasi gugatan sehingga pengadilan permanen menyidangkan somasi tadi lantaran nir mampu menolak kasus yg sudah didaftarkan.

Bank IFI selaku pengugat ingin menciptakan sebuah terobosan aturan yg merupakan wewenang hakim buat memutuskannya sebagai penegak aturan dan keadilan yang wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hayati dalam warga . Namun kewenangan hakim tadi baru diperlukan jika suatu ketentuan pada undang-undang nir kentara, sebagai akibatnya alasan pembenar yang diajukan sang pihak bank IFI hanyalah dibuat-buat. Seharusnya bank IFI untuk memperoleh pelunasan utangnya menempuh upaya aturan dengan menggugat ke Pengadilan Negeri bukan menggugat pailit.

Perkara ini berawal menurut proses hening antara Bank IFI menggunakan Bank Danamon serta melibatkan Bank Indonesia yg tidak tercapai. Bank Danamon dipercaya mewarisi kewajiban Bank Nusa International kepada Bank IFI sebanyak US$ 5 juta. Bank IFI melalui kuasa hukumnya mengirimkan surat pada Bank Indonesia meminta agar Bank Danamon dipailitkan. Jawaban Bank Indonesia yg didasarkan Undang-Undang Perbankan nir memuaskan pihak Bank IFI, bukan dari Undang-Undang Kepailitan misalnya yg diinginkan oleh Bank IFI. Alasan Direktur Hukum Bank Indonesia waktu itu, bahwa Bank Indonesia tidak mengenal prosedur pailit, begitupun dari saksi ahli menurut BI yaitu Frederick BG. Tumbuan berkata bahwa memalitkan bank terlalu mahal bagi Bank Indonesia.

Sidang perdana permohonan pailit PT. Bank IFI atas PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk digelar pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Sidang tadi mendengarkan permohonan pailit pemohon (PT. Bank IFI), sekaligus tanggapan termohon (PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk). Dalam permohonannya, kuasa aturan PT. Bank IFI menyatakan bahwa unsur formal perkara buat memailitkan Bank Danamon telah terpenuhi, meski Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan memilih, debitur yang merupakan bank, permohonan pernyataan pailit hanya bisa diajukan sang Bank Indonesia.

Permohonan pailit yang terdaftar dengan angka: 021/Pailit/2001/PN.niaga.jkt.pst tersebut berawal menurut pinjaman PT. Bank Nusa Nasional (BNN) yg awalnya bernama PT. Bank Nusa International ke Bank IFI sebanyak US$ lima juta. Fasilitas kredit tadi dimanfaatkan buat membiayai PT. Riau Prima Energi sebesar US$ 16 juta lebih. Dikemudian hari Bank BNN melakukan merger menjadi PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk, sebagai akibatnya segala kewajiban dialihkan. Pinjaman ini diberikan dengan cara sub partisipasi dengan jangka waktu selama 2 tahun, terhitung sejak lepas 18 Desember 1996 serta berakhir tanggal 18 Desember 1998.

Kerangka Teori
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim merupakan suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi kewenangan buat itu, diucapkan dipersidangan serta bertujuan untuk mengakhiri atau merampungkan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Ada beberapa teori yang relevan tentang kekuatan mengikat suatu putusan, yaitu :

1. Teori Hukum Materiil
Menurut teori ini, kekuatan mengikat dari suatu putusan yg lazim disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil, oleh karena mengadakan perbuatan terhadap kewenangan serta kewajiban keperdataan, contohnya menetapkan, menghapuskan atau membarui. Menurut teori ini, putusan itu bisa menimbulkan atau meniadakan interaksi aturan. Disebut sebagai ajaran aturan materiil karena menaruh akibat yg bersifat aturan materiil pada putusan, mengingat bahwa putusan itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga. Menurut Profesor Sudikno Mertokusumo, teori ini nir tepat karena ajaran ini nir memberikan kewenangan buat mempertahankan hak sesorang terhadap pihak ketiga.

2. Teori Hukum Acara
Menurut teori ini, putusan bukanlah asal aturan materiil, melainkan sumber menurut pada wewenang prosesuil, siapa yg pada suatu putusan diakui menjadi pemilik maka dia menggunakan wahana prosesuil terhadap lawannya bisa bertindak sebagai pemilik. Teori ini sangat sempit, sebab suatu putusan bukanlah semata-mata hanya sumber kewenangan prosesuil, melainkan juga menuju pada penetapan yg pasti tentang interaksi aturan yg merupakan utama konkurensi.

3. Teori Hukum Pembuktian
Menurut teori ini, putusan merupakan bukti mengenai apa yang ditetapkan didalamnya sebagai akibatnya memiliki kekuatan yang mengikat oleh karena dari teori ini verifikasi lawan terhadap suatu putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti nir diperkenankan. Teori ini termasuk teori kuno yang sudah nir banyak pengikutnya.

4. Teori Terikatnya Para Pihak Pada Putusan
Terikatnya para pihak pada putusan dapat mempunyai arti positif serta arti negatif. Arti positif menurut pada kekuatan mengikat suatu putusan artinya bahwa apa yg telah diputus sang para pihak berlaku sebagai positif sahih, apa yang telah diputus oleh hakim wajib dipercaya sahih : “res judicata pro veritate habetur”, verifikasi versus tidak dimungkinkan. Terikatnya para pihak ini berdasarkan dalam Pasal 1917 serta 1920 KUH Perdata. Sedangkan arti negatif menurut dalam kekuatan mengikat suatu putusan adalah bahwa hakim tidak boleh tetapkan kasus yg pernah diputuskan sebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai utama perkara yg sama (nebis in idem, Pasal 134 Rv). Ulangan menurut tindakan ini nir akan mempunyai dampak aturan.

5. Teori Kekuatan Hukum Yang Pasti
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang niscaya atau permanen (inkracht van gewijsde) bila nir ada lagi upaya hukum biasa tersedia, termasuk upaya hukum biasa yaitu perlawanan, banding serta kasasi. Dengan memperoleh kekuatan aturan yg niscaya serta permanen, maka putusan itu nir lagi bisa diubah, sekalipun oleh pengadilan yag lebih tinggi, kecuali menggunakan upaya hukum yang spesifik, yaitu reguest civil dan perlawanan pihak ketiga.

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua (dua) golongan putusan, yaitu Putusan Sela dan Putusan Akhir, dalam HIR putusan sela terdiri berdasarkan Putusan Praparatoir, Putusan Provisionil dan Putusan Insidentil. Putusan Insidentil digunakan apabila ada peristiwa ada, misalnya pada hal penggabungan, intervensi dan adanya pemanggilan pihak ketiga menjadi penjamin. Sedangkan menurut sifatnya dikenal tiga (tiga) macam putusan , yaitu Putusan Declaratoir, Putusan Constitutif dan Putusan Condemnatoir.

Pengertian bank menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yg selanjutnya diklaim dengan Undang-Undang Perbankan dalam Pasal 1 ayat (2) adalah badan usaha yg menghimpun dana menurut masyarakat dalam bentuk simpanan serta menyalurkannya pulang pada masyarakat pada bentuk kredit serta/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka menaikkan taraf hidup warga banyak.

Dari pengertian diatas, maka peranan serta fungsi bank adalah pada rakyat diantaranya :
  1. sebagai forum yang menghimpun dana rakyat;
  2. sebagai forum yang menyalurkan dana berdasarkan warga dalam bentuk kredit atau forum forum pemberi kredit;
  3. sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan serta pembayaran uang;
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor tiga Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, tugas Bank Indonesia adalah menjadi berikut :
  1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
  2. Mengatur serta menjaga kelancaran sistem perbankan;
  3. Mengatur dan mengawasi bank;
Dalam rangka melaksanakan tugas pengaturan serta pengawasan bank, pada Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 mengenai Bank Indonesia, Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan peraturan, memberikan serta mencabut biar atas kelembagaan serta aktivitas usaha eksklusif berdasarkan bank, melaksanakan pengawasan bank serta mengenakan sanksi terhadap bank sinkron menggunakan perundang-undangan. Dengan demikian kentara terlihat bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan, tanggung jawab dan kewajiban secara utuh buat melakukan pembinaan serta supervisi terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif juga represif.

Pembinaan serta supervisi yang bersifat preventif berupa supervisi tidak pribadi, yaitu suatu bentuk supervisi dini melalui penelitian, analisis serta evaluasi laporan bank. Sedangkan yang bersifat refresif berupa pengawasan pribadi, yaitu berbentuk inspeksi yang disusul menggunakan tindakan-tindakan pemugaran. Pembinaan serta supervisi selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia jua diatur pada Pasal 29 sampai menggunakan Pasal 37B Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dalam hukum perjanjian, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada orang lain, atau 2 orang saling berjanji buat melaksanakan sesuatu.. Melaksanakan sesuatu hal yg diperjanjikan inilah dianggap prestasi. Kewajiban buat memenuhi prestasi pada kata aturan dikenal dengan schuld yg pada bahasa Indonesia diterjemahkan menggunakan dengan istilah ”hutang” bukan utang, sedangkan pemenuhan prestasi tadi dalam bahasan Indonesia disebut dengan pembayaran. Sehingga pada kehidupan sehari-hari pemenuhan prestasi tersebut seringkali diterjemahkan dengan pembayaran ”hutang”. Sri Soedewi Mashcoen Sofyan menyatakan bahwa perutangan itu adalah hubungan hukum yg atas dasar itu seorang bisa mengharapkan suatu prestasi seorang lain, apabila perlu menggunakan perantaraan hakim.

Prestasi atau hutang dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata yaitu :
  1. untuk melakukan sesuatu;
  2. untuk berbuat sesuatu;
  3. untuk tidak berbuat sesuatu;
Untuk menaruh sesuatu maksudnya adalah penyerahan sesuatu benda pada kekuasaan atau pada kenikmatannya, misal jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa. Untuk berbuat sesuatu contohnya perjanjian perburuhan, perjanjian membikin sebuah garasi serta lain-lain. Sedangkan buat tidak berbuat sesuatu contohnya perjanjian buat tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk nir mendirikan suatu perusahaan yg sejenis dengan kepunyaan orang lain dan lain sebagainya.

Melihat dari contoh-model prestasi tadi, apakah bisa seseorang debitur yg tidak melakukan prestasi atau telah wanprestasi dapat dinyatakan pailit, contoh jika beliau seseorang pelukis yg tidak berbuat sesuai dengan yang diperjanjikan. Apabila debitur nir melakukan apa yang diperjanjikan maka dia melakukan wanprestasi. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam, yaitu :
a. Salah satu pihak pada perjanjian yang bersangkutan nir melaksanakan apa yg telah diperjanjikan;
b. Melaksanakan apa yg diperjanjikannya, namun nir sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang diperjanjikan namun terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang dari perjanjian tidak boleh dilakukannya;

Akibat aturan bilamana debitur sudah wanprestasi serta sesudah diberi gugatan atau teguran maka terbuka bagi kreditur berhak untuk menuntut :
  • Pembatalan perikatan;
  • Pembatalan perikatan dan ganti rugi;
  • Pembayaran ganti rugi saja;
  • Menghukum buat melaksanakan perikatan;
  • Menghukum buat melaksanakan perikatan dengan ganti rugi;
  • Pernyataan batal saja;
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, tujuan dari kepailitan adalah:
  1. Untuk mengklaim pembagian yang sama terhadap harta kekyaan debitor di antara para kreditor;
  2. Mencegah supaya debitor nir melakukan perbuatan-perbuatan yg merugikan kepentingan para kreditor;
  3. Memberikan perlindungan pada debitor yg beritikad baik dari para kreditornya, menggunakan cara memperoleh pembebasan utang;
Sedangkan syarat-kondisi debitor mampu digugat pailit pada kepailitan adalah :
1. Paling sedikit sine qua non 2 (2) kreditor (concursus creditorium);
Ini berarti jikalau debitor hanya memiliki seorang kreditor saja, maka nir bisa menggunakan ketentuan pailit lantaran nir ada keperluan membagi aset debitor diantara para kreditor. Mengenai adanya minimal dua kreditor ini lebih dikenal menggunakan asas concursus creditorium.

2. Debitor nir membayar sedikitnya satu utang yg sudah jatuh tempo serta bisa ditagih;
Utang yg telah jatuh saat adalah utang yg menggunakan lampaunya ketika penjadwalan yang dipengaruhi dalam perjanjian, menjadi jatuh waktu serta karenanya jua kreditor berhak menagihnya.

Selain teori-teori putusan, perbankan dan kepailitan, penulis pula memakai teori tujuan aturan karena proteksi hukum yg akan diberikan kepada bank kreditur yg somasi kepailitannya ditolak dalam akhirnya akan bermuara pada tujuan berdasarkan pada aturan itu sendiri. Adapun teori-teori itu adalah sebagai berikut :

Wiryono Prodjodikoro pada bukunya ”Perbuatan Melanggar Hukum” mengemukakan bahwa tujuan aturan merupakan mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat. Subekti pada bukunya ”Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan” mengemukakan bahwa aturan itu mengabdi dalam tujuan negara yg pada dasarnya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya, dengan cara menyelanggarakan keadilan serta ketertiban. Van Apeldoorn pada bukunya ”Inleiden tot de studie van het Nederlandse recht” menyatakan bahwa tujuan aturan adalah menjaga tata tertib dalam masyarakat secara tenang serta adil. Aristoteles dalam bukunya ”Rethorica” mencetuskan teorinya bahwa tujuan hukum menghendaki semata-mata serta isi berdasarkan dalam hukum dipengaruhi oleh pencerahan etis mengenai apa yang dikatakan adil serta apa yang tidak adil. Sedangkan Jeremy Bentham pada bukunya ”Introduction to the morals and legislation” menyatakan bahwa aturan semata-mata apa yg berfaedah bagi orang. Sedangkan Van Kan beropini bahwa hukum itu bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap insan supaya kepentingan-kepentingan tersebut tidak bisa diganggu. 

Sedangkan menurut Rusli Effendy, tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 sudut pandang, yaitu :
  1. Dari sudut pandang ilmu aturan normatif, tujuan hukum dititik beratkan pada segi kepastian hukum;
  2. Dari sudut pandang filsafat hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan dalam segi keadilan;
  3. Dari sudut pandang sosiologi hukum, maka tujuan hukum ditititkberatkan pada segi kemanfaatan;
Adapun tujuan hukum dalam umumnya atau tujuan hukum secara universal, bisa dipandang dari 3 aliran konvensional, yaitu :
  1. Aliran Etis, genre ini menganggap bahwa dalam asasnya tujuan aturan merupakan semata-mata buat mencapai keadilan. Hukum ditentukan sang keyakinan yang etis mengenai adil dan yang nir adil, menggunakan perkataan lain hukum berdasarkan genre ini bertujuan buat merealisir atau mewujudkan keadilan. Pendukung genre ini antara lain Aristoteles, Gerry Mil, Ehrliek, Wartle.
  2. Aliran Utilitis, aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum merupakan semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yg sebanyak-besarnya insan dalam jumlah yg sebanyak-banyaknya. Jadi pada hakekatnya menurut genre ini, tujuan hukum adalah manfaat pada membentuk kesenangan atau kebahagiaan yg terbesar bagi jumlah orang yg poly.
  3. Aliran Yuridis Dogmatik, aliran ini menduga bahwa pada dasarnya tujuan hukum merupakan semata-mata buat kepastian hukum, karena dengan kepastian aturan, fungsi aturan dapat berjalan dan bisa mepertahankan ketertiban;
Definisi Operasional
Untuk menyamakan persepsi mengenai konsep-konsep yg digunakan pada penelitian ini, maka disusun terminologi konsepsional yang digunakan :
  1. Bank menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya pada warga dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan tingkat hayati rakyat poly.
  2. Bank Indonesia atau bank sentral dari Undang-Undang Nomor tiga Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 mengenai Bank Indonesia merupakan forum negara yg berwenang buat mengeluarkan alat pembayaran yang absah dari suatu negara, merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur serta mengawasi bank.
  3. Kepailitan merupakan sitaan generik atas seluruh harta kekayaan debitur pailit yg pengurusan dan pemberesannya dilakukan sang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur undang-undang ini.
  4. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan yang spesifik dibentuk buat menangani masalah kepailitan.
  5. Kreditur adalah orang yang memiliki piutang karena perjanjian atau undang-undang yg dapat ditagih dimuka pengadilan 
  6. Debitur merupakan orang yg memiliki utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya bisa ditagih dimuka pengadilan.

Comments