SISTEM INFORMASI STRATEGIK

Sistem Informasi Strategik
Selama berabad-abad organisasi telah mengelola knowledge dan teknologi. Terutama dalam masa revolusi industri, terlihat jelas organisasi usaha mengalami pertumbuhan pesat dampak adopsi teknologi terbaru pada ketika itu. Di abad ini, selama lebih menurut 3 dasa warsa, sejak organisasi bisnis menggunakan personal komputer buat kebutuhan pemrosesan data, penggunaan teknologi liputan (TI) dalam organisasi usaha terus mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal ini didukung menggunakan timbulnya pemahaman generik bahwa penggunaan TI dalam organisasi akan mengurangi aneka macam porto akibat adanya efisiensi dan bahwa keberadaan TI akan menciptakan organisasi yg memilikinya akan mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing.

Sejak saat itu, organisasi bisnis terus melakukan investasi akbar-besaran dalam perangkat TI. Dari tahun 1996 hingga 2000 saja, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat membelanjakan hampir dua trilyun dolar pada hardware dan aplikasi untuk mengejar peningkatan efisiensi, produktifitas yang lebih tinggi dan penguatan laba. (Stiroh, 2001) Besarnya investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut tentunya diikuti jua menggunakan besarnya ekspektasi akan output yang bisa diperoleh atas investasi tersebut. Investasi yang besar , diharapkan akan membawa peningkatan yang besar terhadap kinerja atau produktifitas bagi organisasi usaha tersebut. 

Namun demikian, belakangan disadari bahwa organisasi usaha yg merupakan top performer pada Amerika Serikat merupakan organisasi bisnis yg tergolong hemat dalam melakukan belanja perangkat TI. Studi yg dilakukan sang Forrester Research pada Maholtra (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan performa terbaik yang diukur dengan pendapatan, Return on Assets (ROA) serta pertumbuhan cash flow memiliki belanja TI yg lebih rendah berdasarkan homogen-homogen perusahaan lain. Penelitian Collins pada Maholtra (2005) dalam perusahaan Amerika Serikat menggunakan performa terbaik selama 30 tahun membuat temuan yg serupa. Temuan tadi menjadi bertolak belakang menggunakan sejumlah penelitian, misalnya yg dilakukan oleh Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1991), Brynjolfsson dan Hitt (1994), ataupun Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)yang membuktikan adanya interaksi positif antara investasi perusahaan pada TI dengan kinerja. Tetapi tidak bertolak belakang menggunakan sejumlah penelitian lainnya yg gagal pertanda adanya hubungan antara TI menggunakan kinerja atau produktifitas Hal ini menyisakan pertanyaan apakah teknologi liputan benar-benar dapat menaruh manfaat bagi kinerja perusahaan? 

Sejumlah studi realitas tentang pengaruh TI bagi organisasi bisnis itu sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan sejak pertengahan era 1980’an. Penelitian tentang imbas TI pada organisasi bisnis berakar pada topik penelitian mengenai information technology investment and firm performance yg selama bertahun-tahun telah sebagai perdebatan tentang apakah investasi pada TI memiliki dampak yg positif menggunakan berukuran-ukuran kinerja ataupun produktifitas. Penelitian yg dilakukan semenjak 2 dekade lalu membuat temuan yg mixed mengenai manfaat TI tersebut. Ketika TI diyakini memberi manfaat bagi organisasi bisnis yang memilikinya, sejumlah penelitian justru membuat temuan berupa ketiadaan hubungan antara investasi perusahaan pada TI menggunakan peningkatan produktifitas, suatu situasi yg dianggap sebagai productivity lawan asas (Dedrick, Gurbaxani & Kraemer, 2002) Penelitian yg dilakukan tadi, secara garis besar bisa dibagi menjadi dua, yaitu studi yang dilakukan dalam level perusahaan dan studi yang dilakukan dalam level negara. Hasil berdasarkan sejumlah penelitian tersebut bisa ditinjau pada tabel berikut, yg menunjukkan bahwa investasi perusahaan bagi TI tidaklah selalu diikuti menggunakan peningkatan kinerja/produktifitas

Tabel Studi Empiris tentang Dampak TI terhadap Kinerja/Produktifitas (Studi dalam perusahaan sektor jasa hingga Manufaktur)
Peneliti


Sumber Data

Temuan

Strassmann [1985]
Strassmann [1990]

Computerworld,
survei terhadap 38 perusahaan
Tidak ada hubungan antara  investasi pada  TI menggunakan berukuran-berukuran kinerja, semisal ROI
Bender [1986]
LOMA insurance data
Dari 132 perusahaan
Korelasi lemah antara TI dengan berbagai rasio kinerja
Franke [1987]
Data industri keuangan
Investasi dalam TI berhubungan dengan penurunan tajam pada capital productivity serta nir terdapat imbas dalam labor productivity
Dudley & Lasserre [1989]

TI serta komunikasi mengurangi biaya yang berkaitan menggunakan inventory
Parsons, Gottlieb dan
Denny  [1990]
perbankan
Dampak yang rendah berdasarkan teknologi informasi terhadap produktifitas
Alpar & Kim [1991]
perbankan
TI mengakibatkan pengurangan biaya . 10 %. Peningkatan pada investasi TI membawa efek dalam 1.9% penurunan total cost.
Harris & Katz [19 91]
40 perusahaan  anggota LOMA
Hubungan positif yang lemah antara TI dengan berbagai rasio kinerja
Barua, Kriebel &
Mukhopadhyay [1991]
manufaktur
Investasi pada TI herbi  sejumlah intermediate performance measure yang lalu herbi berukuran-berukuran kinerja yg lebih tinggi misalnya revenue, ROA & market share

Mahmood & Mann (1993)

Computerworld  data dalam 100 perusahaan
Investasi dalam TI mempunyai hubungan yg lemah dengan pencapaian  strategi organisasi serta kinerja secara ekonomi. Tetapi memiliki hubungan yg signifikan apabila diuji dengan canonical analysis yg bisa mengukur efek kombinasi dari variabel-variabel investasi TI
Diewert & Smith [1994]
Perusahaan ritel Kanada
Peningkatan produktifitas melalui pengelolaan inventory yg lebih baik dengan TI
Brynjolfsson & Hitt [1994]
IDG, Compustat, Bureau of Economics Analysis (BEA)
TI membawa impak pada peningkatan produktifitas dan membentuk value bagi customer
Loveman [1994]
 PIMS/MPIT
Invetasi pada TI tidak membawa efek apapun terhadap output
Kwon & Stoneman [1995]
UK Based survey
TI mempunyai pengaruh positif  terhadap hasil dan produktifitas.
Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)
Perusahaan yang tercantum dalam Fortune 500 serta  Fortune Service 500
Investasi pada TI memiliki hubungan positif menggunakan sejumlah berukuran kinerja, seperti penjualan, asset & ekuitas
Sumber: Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1995), Brynjolfsson &Yang (1996), Mahmood & Mann (2000),Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001) 

Pada studi level negara, pada Amerika Serikat, Oliner & Sichel (1994, 2000) menemukan bahwa penggunaan teknologi warta misalnya computer hardware, aplikasi serta perangkat komunikasi berkontribusi terhadap pesatnya pertumbuhan produktifitas pada era pertengahan tahun 90’an. Tetapi demikian, Gordon (2000) dalam Simon & Wardop (2002) mengemukakan bahwa teknologi liputan pada Alaihi Salam tidak membawa efek yg luas terhadap pertumbuhan output, sebagaimana yg ditimbulkan oleh gelombang inovasi akbar pada abad lalu misalnya ditemukannya listrik dan mesin menggunakan pembakaran internal. Di Australia sendiri, penelitian oleh Simon& Wardop (2002) memperlihatkan Australia mengalami peningkatan pertumbuhan output yg signifikan sehubungan menggunakan penggunaan teknologi berita dalam organisasi. Lebih jauh lagi Jorgenson (2004) mencoba buat melihat dampak TI pada pertumbuhan ekonomi negara-negara G7. Ia menyatakan bahwa semenjak 1995, masih ada investasi yang akbar terhadap perangkat TI pada negara-negara G7 dimana hal ini membawa donasi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. 

Penjelasan mengenai productivity lawan asas pernah dilakukan sang Brynjolfsson &Yang (1996) yang mengemukakan bahwa masih ada 4 aspek buat mengungkapkan terjadinya productivity paradoks Keempatnya adalah : (1) Kesalahan pengukuran. Terjadi dalam kemungkinan terjadinya kesalahan pengukuran input serta Output akibat masih digunakannya pendekatan tradisional pada pengukurannya.(dua) Adanya waktu tunda atau lags. Waktu tunda disini timbul dari disparitas ketika menurut analisa tentang payoff berdasarkan porto versus manfaat. (tiga) Redistribution: TI dipakai dalam aktifitas redistribusi antar perusahaan. Hal ini membuahkan TI berguna, namun manfaat ini tidak bisa diukur pada total output. (4). Mismanagement, kesalahan dalam pengelolaan TI bisa menciptakan TI terlihat nir produktif bila diukur secara statistik. Lebih lanjut, Ahadiat (2006) mencoba menyebutkan tentang hal tersebut dengan mengutip Bakos (1998) bahwa Investasi pada TI sendiri merupakan investasi pada sesuatu yang gampang menjadi usang (obsolete) sebagai akibatnya terdapat kesulitan buat menampakkan manfaatnya dalam skala pengukuran kinerja atau produktifitas yang sudah umum dipakai. 

INTANGIBLE BENEFIT DARI TEKNOLOGI INFORMASI 
Perkembangan terkini dari studi empiris mengenai pengaruh TI, waktu ini nir hanya mencoba buat mengkaitkan investasi TI menggunakan tangible benefit, namun pula intangible benefit. Hal ini terutama terus mengemuka sejalan menggunakan makin maraknya implementasi Knowledge Management (KM) pada sejumlah organisasi usaha. KM merupakan upaya organisasi dalam mengelola aktiva intelektual yg dimilikinya melalui praktek-praktek pendokumentasian dan sharing pengetahuan diantara anggota organisasi. Untuk melakukan pendokumentasian dan sharing pengetahuan ini diharapkan TI buat mewujudkannya, yaitu dalam bentuk pengembangan intranet, extranet dan perangkat pendukung lainnya berupa hardware, software dan telekomunikasi yang dikenal sebagai KM technology. Meski praktek KM diyakini bisa menaikkan intangible asset bagi organisasi, namun Maholtra (2005) mencoba menyoroti penggunaan kata knowledge management technology berdasarkan sisi lain, yaitu hanyalah sebagai perkembangan terbaru atau re-labelling yg dilakukan oleh para vendor TI selesainya selama dua dekade terakhir istilah teknologi warta telah poly dipakai. 

Pasar KM technology sendiri merupakan pasar yg menarik bagi para vendor TI. Pasar global KM diestimasikan sebesar US$8.8 billion selama tahun 2005. Sedangkan pelaksanaan usaha yang digunakan buat menunjang KM, misalnya CRM diproyeksikan buat bertumbuh sebanyak $148 billion dalam tahun 2006 (Maholtra, 2005) KM sendiri telah dimanfaatkan sang vendor TI buat memasarkan produk-produknya. Sehngga terlepas berdasarkan sisi positif implementasi KM bagi organisasi namun wajib disadari bahwa vendor TI pun membutuhkan slogan baru buat memasarkan produk berupa perangkat yang dimilikinya melalui popularitas KM. Hal ini tentu jua melahirkan pertanyaan lanjutan, yaitu apakah KM technology berguna bagi organisasi? 

Bila di dua dekade lalu, waktu kata productivity paradoks mulai mengemuka, terdapat sebuah quote yg sangat populer yaitu: “You can see the computer everywhere but in the productivity statistics” (Robert Solow) maka kini Maholtra melanjutkannya dengan “One can see the impact of knowledge management everywhere but in the KM technology-performance statistics ’’ 

Bila ditinjau berdasarkan sisi definisi, Knowledge management sendiri mempunyai sejumlah definisi yg mengadung penekanan yang tidak selaras. Definisi tadi diantaranya:

‘‘Knowledge management systems (KMS) refer to a class of information systems applied to managing organizational knowledge. That is, they are IT-based systems developed to support and enhance the organizational processes of knowledge creation, storage/retrieval, transfer, and application’’ (Alavi dan Leidner, 2001) 

Definisi yg berikutnya adalah:
‘‘Knowledge Management refers to the critical issues of organizational adaptation, survival and competence against discontinuous environmental change. Essentially it embodies organizational processes that seek synergistic combination of data and information-processing capacity of information technologies, and the creative and innovative capacity of human beings’’ (Malhotra,2005)

Bila ditinjau, dalam kedua definisi tersebut terdapat perbedaan yg esensial. Jika definisi yang pertama lebih poly menekankan pada ketersediaan sistem berbasis TI buat mengelola knowledge, definisi yang ke 2 lebih menekankan dalam proses lanjutan yaitu daya kreatif dan inovasi manusia pada memakai data serta warta.

Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa tersedianya intranets, extranets, hingga groupware tidak dan merta bisa menghantarkan dalam kinerja perusahaan yang lebih baik. Teknologi ini, perlu diadopsi dan disesuaikan dengan manusia sebagai user, diintegrasikan sinkron dengan konteks pekerjaan dan secara efektif dipakai oleh organisai.

Sehingga sama halnya menggunakan pertanyaan pertama, yaitu apakah apakah teknologi liputan sungguh dapat memberikan manfaat bagi kinerja organisasi? Pertanyaan ke 2, yaitu apakah KM technology berguna bagi organisasi? Membutuhkan kajian lebih lanjut untuk menjawabnya. Namun satu hal yang sudah pasti bahwa investasi perusahaan dalam perangkat TI atau yg sekarang juga diberi nama perangkat KM technology nir akan serta merta memberikan manfaat yg terukur bagi organisasi yg memilikinya. Dibutuhkan sejumlah penataan selanjutnya untuk membuat teknologi tersebut sebagai berdampak positif bagi organisasi bisnis.

MEREALISASIKAN DAMPAK POSTIF TI; PEOPLE, PROSES & BUSINESS MODEL.
Dengan mengamati praktek-praktek yg telah dilakukan oleh organisasi usaha yg berhasil pada memanfaatkan TI, maka buat bisa merealisasikan pengaruh positif TI bagi organisasi bisnis tersebut, paling nir bisa dilakukan melalui tiga hal yaitu: people, proses & business contoh.

Dalam kaitannya dengan people, peranan dari TI sudah tidak selaras menggunakan peranan mesin pada era industri yg digunakan buat menggantikan tenaga manusia. Meski penggunaan yang mula-mula menurut komputer adalah diarahkan pada factor substitution, yaitu menggantikan low skill clerical worker melalui otomatisasi proses kerja. Dalam organisasi modern, TI tidak semata-mata menggantikan kekuatan otot ataupun kepandaian insan. Dari hasil analisa makroekonomi multi tahun dari ratusan perusahaan, Strassmann pada Malhotra (2005) menegaskan bahwa bukanlah komputer yang penting, tetapi apa yg dilakukan insan dengan personal komputer tadi adalah yg terpenting. Sebagaimana bukanlah sebuah palu yg dapat mendirikan sebuah rumah yg baik, tetapi tergantung dalam ditangan siapakah palu itu dipegang, sebagai akibatnya dapat membuat sebuah rumah yang baik. Dari sini semakin jelas terlihat bahwa manfaat yg dihasilkan sang teknologi, tidaklah semata dari berdasarkan teknologi itu sendiri, namun dari apa yang dilakukan oleh insan menggunakan teknologi tadi. 

Terkait menggunakan proses, manfaat yg dihasilkan sang organisasi bisnis berdasarkan TI terletak pada bagaimana organisasi tersebut menggunakannya nir sekedar buat otomatisasi, tetapi pula untuk mentransformasi proses bisnis, hingga mengubah atau membangun contoh bisnis yang sesuai manakala aktifitas kerja dan aneka macam proses bisnis sudah didukung TI. Hammer & Champy dalam Hartono (2005) mengidentifikasi kegagalan investasi TI buat memberikan impak terhadap peningkatan kinerja keuangan perusahaan lantaran implementasi TI dianggap sekedar mengotomatisasi aktivitas tradisionil yang ada. Menurut Hammer, buat memberikan manfaat investasi TI wajib dipakai buat mengubah secara revolusioner proses bisnis yg ada dalam organisasi. Pendekatan ini diklaim sebagai Business Process reengineering (BPR), dimana BPR ini bersifat mendasar, radikal, dramatis dan berorientasi dalam proses.

Bila ditinjau berdasarkan perkembangan ilmu manajemen, efek luar biasa menurut inovasi teknologi misalnya listrik dan mesin-mesin pada abad industri terhadap kemajuan industri tidaklah melulu ditimbulkan karena organisasi mempunyai mesin-mesin tadi. Organisasi bisnis dalam masa itu juga melakukan perubahan proses kerja buat bisa mewujudkan keunggulannya, misalnya melalui diterapkannya division of labor. Sehingga nir heran di abad berita keilmuan manajemen memperkenalkan kata teamwork, interconnection, serta shared information menjadi suatu penemuan menurut ilmu manajemen buat mengadopsi teknologi pada proses kerja. (Senn, 2004 ).

Carr pada artikel kontroversialnya IT Doesn’t Matter yg dipublikasikan melalui Harvard Business Review (2003) menyoroti kemampuan TI untuk mendeliver keunggulan kompetitif yg semakin memudar. Beberapa dasawarsa kemudian bank yg menerapkan online banking bisa mempunyai keunggulan kompetitif serta merebut hati nasabah. Tetapi saat ini teknologi ini sudah dimiliki seluruh bank. Demikian pula menggunakan Reuters yang mempunyai sistem TI yang tidak dapat disaingi pada dasawarsa kemudian, tetapi sekarang bahkan surat kabar lokal sekalipun juga bisa memiliki jaringan yang terkenal diseluruh dunia melalui teknologi internet.

Carr (2003) juga menyoroti kesamaan organisasi usaha dalam masa sekarang yang terlalu mengandalkan vendor aplikasi ataupun perangkat keras sampai konsultan TI agar organisasi bisnis bisa tetap up to date dengan perkembangan TI, dibandingkan dengan berupaya buat melakukan penemuan sendiri. Ketergantungan ini menyebabkan setiap organisasi bisnis cenderung mempunyai sistem dan teknologi yg seragam, sebagai akibatnya selama nir dilakukan inovasi maka nir akan terdapat nilai lebih yang bisa ditampilkan sang suatu organiasi usaha jika dibandingkan dengan pesaingnya. Kondisi ini juga didukung menggunakan praktek organisasi bisnis selama ini dimana berdasarkan total pembelanjaannya dalam TI, persentase terbesar adalah buat pengadaan komoditas berupa berbagai perangkat serta hanya sedikit yg mengalokasikan dana buat upaya menemukan inovasi atau melakukan proses kreatif dari aneka macam perangkat tersebut.

Satu hal lain yang perlu ditinjau adalah pilihan akan contoh bisnis. Perkembangan teknologi telah memungkinkan organisasi untuk membangun new business model yang baru pada hal penawaran barang serta jasa ataupun baru dalam hal cara mendelivernya ke konsumen (Hartono, 2005) Dalam kaitannya dengan contoh bisnis, peritel Wal Mart telah muncul menjadi sebuah organisasi bisnis yang akbar lantaran berhasil memanfaatkan TI secara maksimal buat menjalankan model usaha yang dipilihnya. Wal-Mart juga terus mencari cara buat meningkatkan efisiensi pada TI melalui pengelolaan rantai pasokan secara elektronis. Wal Mart mengarahkan seluruh pemasoknya untuk memakai sistem pengadaan barang secara elektronis yg sesuai menggunakan miliknya, sehingga mau tak mau supplier yang ingin terus berhubungan dengan WalMart harus mengadopsi sistem tadi. (Maholtra, 2005) Lebih jauh mengenai model usaha, Amazon, Google serta e-bay merupakan tiga nama akbar pada dunia e-commerce yg menjalankan bisnisnya murni secara impian atau hanya ada didunia maya. Siapapun sebenarnya bisa memulai usaha di internet, sebuah infrastruktur terbuka yg bisa dipakai sang siapa saja dan sudah lazim diadopsi sang organisasi bisnis lainnya. Tetapi menggunakan kreatifitas para pendirinya, ketiganya menentukan suatu model usaha yang bisa diterima sang pengguna internet di seluruh dunia. Amazon, pioner pada usaha ritel yg terus melengkapi diri menggunakan fitur-fitur baru dan kemudahan yang membuat pelanggan enggan berpaling. E-bay pada bidang pelelangan yg membuat segala hal jadi mungkin buat dilelang dan seluruh orang di seluruh dunia dapat menjadi peserta lelang asalkan memiliki akses ke internet. Serta Google sebagai angka satu pada search engine yang menggunakan perangkat TI sederhana secara aporisma yaitu dengan menciptakan prosedur pemecahan pemrograman yang memungkinkan user men-search ‘apapun’ secara lebih cepat dan teliti dibanding berdasarkan search engine manapun termasuk Yahoo. Masih banyak model lain, misalkan Encyclopedia Britannica yg pada abad keterangan ini jua wajib merubah model bisnisnya pada menjajakan keterangan akibat adanya internet dan munculnya Wikipedia, suatu free ensiklopedia di internet yg mempunyai lebih menurut 1,8 juta artikel dan dikerjakan sang para sukarelawan berdasarkan semua dunia (Hammel, 2006)

Akhirnya, buat dapat mengukur dampak TI dalam organisasi, Luftman (2004) memaparkan sejumlah aspek yg bisa diukur selain aspek keuangan buat mengukur impak positif TI menggunakan lebih naratif. Luftman menegaskan bahwa aspek-aspek yang bisa diukur buat menilai manfaat bisa mencakup pengaruh terhadap bisnis, interaksi pelanggan, impak pada internal organisasi hingga value chain. Dicontohan juga, misalkan TI digunakan buat memperbaiki order management, maka pengukuran dapat dilakukan dalam short order lead times, In-stock availability, order accuracy, access to order status information sampai response time to customer inquiries, sebagai akibatnya lebih jelasnya berdasarkan efek positif tersebut bisa lebih terlihat.

SISTEM INFORMASI STRATEGIK

Sistem Informasi Strategik
Selama berabad-abad organisasi telah mengelola knowledge serta teknologi. Terutama dalam masa revolusi industri, terlihat jelas organisasi bisnis mengalami pertumbuhan pesat akibat adopsi teknologi terbaru pada waktu itu. Di abad ini, selama lebih berdasarkan 3 dekade, sejak organisasi usaha menggunakan personal komputer buat kebutuhan pemrosesan data, penggunaan teknologi warta (TI) dalam organisasi usaha terus mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal ini didukung menggunakan timbulnya pemahaman umum bahwa penggunaan TI dalam organisasi akan mengurangi berbagai porto dampak adanya efisiensi dan bahwa eksistensi TI akan membuat organisasi yang memilikinya akan memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing.

Sejak waktu itu, organisasi usaha terus melakukan investasi akbar-besaran pada perangkat TI. Dari tahun 1996 sampai 2000 saja, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat membelanjakan hampir 2 trilyun dolar dalam hardware serta software buat mengejar peningkatan efisiensi, produktifitas yang lebih tinggi dan penguatan keuntungan. (Stiroh, 2001) Besarnya investasi yang dikeluarkan sang perusahaan-perusahaan tersebut tentunya diikuti pula dengan besarnya ekspektasi akan output yg bisa diperoleh atas investasi tadi. Investasi yang akbar, diperlukan akan membawa peningkatan yang akbar terhadap kinerja atau produktifitas bagi organisasi bisnis tadi. 

Namun demikian, belakangan disadari bahwa organisasi bisnis yang merupakan top performer di Amerika Serikat merupakan organisasi usaha yang tergolong irit pada melakukan belanja perangkat TI. Studi yg dilakukan oleh Forrester Research pada Maholtra (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan performa terbaik yg diukur dengan pendapatan, Return on Assets (ROA) dan pertumbuhan cash flow memiliki belanja TI yg lebih rendah menurut homogen-homogen perusahaan lain. Penelitian Collins dalam Maholtra (2005) pada perusahaan Amerika Serikat dengan performa terbaik selama 30 tahun membuat temuan yang serupa. Temuan tadi menjadi bertolak belakang dengan sejumlah penelitian, seperti yang dilakukan oleh Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1991), Brynjolfsson serta Hitt (1994), ataupun Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)yang mengambarkan adanya interaksi positif antara investasi perusahaan dalam TI menggunakan kinerja. Tetapi tidak bertolak belakang dengan sejumlah penelitian lainnya yg gagal pertanda adanya interaksi antara TI dengan kinerja atau produktifitas Hal ini menyisakan pertanyaan apakah teknologi liputan benar-benar bisa menaruh manfaat bagi kinerja perusahaan? 

Sejumlah studi realitas tentang dampak TI bagi organisasi bisnis itu sendiri sebenarnya sudah banyak dilakukan sejak pertengahan era 1980’an. Penelitian mengenai imbas TI pada organisasi usaha berakar dalam topik penelitian mengenai information technology investment and firm performance yg selama bertahun-tahun sudah menjadi perdebatan tentang apakah investasi dalam TI memiliki impak yang positif menggunakan ukuran-berukuran kinerja ataupun produktifitas. Penelitian yg dilakukan sejak 2 dekade kemudian membuat temuan yg mixed tentang manfaat TI tersebut. Ketika TI diyakini memberi manfaat bagi organisasi bisnis yang memilikinya, sejumlah penelitian justru membentuk temuan berupa ketiadaan hubungan antara investasi perusahaan dalam TI menggunakan peningkatan produktifitas, suatu situasi yg disebut sebagai productivity paradoks (Dedrick, Gurbaxani & Kraemer, 2002) Penelitian yang dilakukan tersebut, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu studi yg dilakukan pada level perusahaan serta studi yang dilakukan dalam level negara. Hasil dari sejumlah penelitian tadi bisa dipandang pada tabel berikut, yang menerangkan bahwa investasi perusahaan bagi TI tidaklah selalu diikuti dengan peningkatan kinerja/produktifitas

Tabel Studi Empiris tentang Dampak TI terhadap Kinerja/Produktifitas (Studi dalam perusahaan sektor jasa hingga Manufaktur)
Peneliti


Sumber Data

Temuan

Strassmann [1985]
Strassmann [1990]

Computerworld,
survei terhadap 38 perusahaan
Tidak terdapat korelasi antara  investasi dalam  TI dengan berukuran-ukuran kinerja, semisal ROI
Bender [1986]
LOMA insurance data
Dari 132 perusahaan
Korelasi lemah antara TI dengan berbagai rasio kinerja
Franke [1987]
Data industri keuangan
Investasi pada TI berhubungan dengan penurunan tajam pada capital productivity serta tidak ada dampak dalam labor productivity
Dudley & Lasserre [1989]

TI serta komunikasi mengurangi biaya yg berkaitan menggunakan inventory
Parsons, Gottlieb dan
Denny  [1990]
perbankan
Dampak yg rendah berdasarkan teknologi warta terhadap produktifitas
Alpar & Kim [1991]
perbankan
TI menyebabkan pengurangan porto. 10 %. Peningkatan pada investasi TI membawa pengaruh dalam 1.9% penurunan total cost.
Harris & Katz [19 91]
40 perusahaan  anggota LOMA
Hubungan positif yg lemah antara TI dengan aneka macam rasio kinerja
Barua, Kriebel &
Mukhopadhyay [1991]
manufaktur
Investasi dalam TI herbi  sejumlah intermediate performance measure yang kemudian herbi ukuran-berukuran kinerja yang lebih tinggi seperti revenue, ROA & market share

Mahmood & Mann (1993)

Computerworld  data pada 100 perusahaan
Investasi pada TI mempunyai hubungan yg lemah dengan pencapaian  strategi organisasi serta kinerja secara ekonomi. Namun mempunyai hubungan yang signifikan jika diuji dengan canonical analysis yg dapat mengukur pengaruh kombinasi menurut variabel-variabel investasi TI
Diewert & Smith [1994]
Perusahaan ritel Kanada
Peningkatan produktifitas melalui pengelolaan inventory yang lebih baik menggunakan TI
Brynjolfsson & Hitt [1994]
IDG, Compustat, Bureau of Economics Analysis (BEA)
TI membawa pengaruh pada peningkatan produktifitas dan membangun value bagi customer
Loveman [1994]
 PIMS/MPIT
Invetasi pada TI tidak membawa dampak apapun terhadap output
Kwon & Stoneman [1995]
UK Based survey
TI mempunyai impak positif  terhadap hasil serta produktifitas.
Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)
Perusahaan yang tercantum dalam Fortune 500 serta  Fortune Service 500
Investasi pada TI mempunyai interaksi positif dengan sejumlah ukuran kinerja, seperti penjualan, asset & ekuitas
Sumber: Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1995), Brynjolfsson &Yang (1996), Mahmood & Mann (2000),Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001) 

Pada studi level negara, di Amerika Serikat, Oliner & Sichel (1994, 2000) menemukan bahwa penggunaan teknologi berita misalnya computer hardware, aplikasi serta perangkat komunikasi berkontribusi terhadap pesatnya pertumbuhan produktifitas dalam era pertengahan tahun 90’an. Tetapi demikian, Gordon (2000) dalam Simon & Wardop (2002) mengemukakan bahwa teknologi berita di AS nir membawa dampak yg luas terhadap pertumbuhan output, sebagaimana yang disebabkan oleh gelombang inovasi besar dalam abad lalu misalnya ditemukannya listrik dan mesin dengan pembakaran internal. Di Australia sendiri, penelitian oleh Simon& Wardop (2002) menunjukkan Australia mengalami peningkatan pertumbuhan output yang signifikan sehubungan menggunakan penggunaan teknologi fakta pada organisasi. Lebih jauh lagi Jorgenson (2004) mencoba buat melihat pengaruh TI pada pertumbuhan ekonomi negara-negara G7. Ia menyatakan bahwa sejak 1995, masih ada investasi yg akbar terhadap perangkat TI pada negara-negara G7 dimana hal ini membawa kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. 

Penjelasan mengenai productivity lawan asas pernah dilakukan sang Brynjolfsson &Yang (1996) yg mengemukakan bahwa masih ada 4 aspek buat mengungkapkan terjadinya productivity lawan asas Keempatnya merupakan : (1) Kesalahan pengukuran. Terjadi pada kemungkinan terjadinya kesalahan pengukuran input serta Output akibat masih digunakannya pendekatan tradisional dalam pengukurannya.(2) Adanya waktu tunda atau lags. Waktu tunda disini muncul berdasarkan perbedaan ketika dari analisa mengenai payoff menurut porto versus manfaat. (3) Redistribution: TI dipakai dalam aktifitas redistribusi antar perusahaan. Hal ini menjadikan TI bermanfaat, namun manfaat ini nir bisa diukur dalam total hasil. (4). Mismanagement, kesalahan pada pengelolaan TI bisa menciptakan TI terlihat tidak produktif jika diukur secara statistik. Lebih lanjut, Ahadiat (2006) mencoba mengungkapkan tentang hal tadi menggunakan mengutip Bakos (1998) bahwa Investasi pada TI sendiri adalah investasi pada sesuatu yg gampang sebagai lama (obsolete) sehingga terdapat kesulitan untuk menampakkan keuntungannya pada skala pengukuran kinerja atau produktifitas yang sudah umum digunakan. 

INTANGIBLE BENEFIT DARI TEKNOLOGI INFORMASI 
Perkembangan modern dari studi realitas tentang impak TI, saat ini tidak hanya mencoba buat mengkaitkan investasi TI dengan tangible benefit, tetapi jua intangible benefit. Hal ini terutama terus mengemuka sejalan menggunakan makin maraknya implementasi Knowledge Management (KM) pada sejumlah organisasi usaha. KM merupakan upaya organisasi pada mengelola aktiva intelektual yang dimilikinya melalui praktek-praktek pendokumentasian serta sharing pengetahuan diantara anggota organisasi. Untuk melakukan pendokumentasian serta sharing pengetahuan ini dibutuhkan TI buat mewujudkannya, yaitu dalam bentuk pengembangan intranet, extranet serta perangkat pendukung lainnya berupa hardware, perangkat lunak serta telekomunikasi yang dikenal sebagai KM technology. Meski praktek KM diyakini bisa menaikkan intangible asset bagi organisasi, tetapi Maholtra (2005) mencoba menyoroti penggunaan kata knowledge management technology berdasarkan sisi lain, yaitu hanyalah menjadi perkembangan terkini atau re-labelling yang dilakukan sang para vendor TI selesainya selama dua dekade terakhir istilah teknologi warta sudah banyak digunakan. 

Pasar KM technology sendiri merupakan pasar yg menarik bagi para vendor TI. Pasar dunia KM diestimasikan sebanyak US$8.8 billion selama tahun 2005. Sedangkan pelaksanaan usaha yang digunakan untuk menunjang KM, misalnya CRM diproyeksikan buat bertumbuh sebanyak $148 billion dalam tahun 2006 (Maholtra, 2005) KM sendiri telah dimanfaatkan sang vendor TI buat memasarkan produk-produknya. Sehngga terlepas berdasarkan sisi positif implementasi KM bagi organisasi tetapi harus disadari bahwa vendor TI pun membutuhkan jargon baru buat memasarkan produk berupa perangkat yang dimilikinya melalui popularitas KM. Hal ini tentu jua melahirkan pertanyaan lanjutan, yaitu apakah KM technology berguna bagi organisasi? 

Bila di dua dasa warsa kemudian, waktu istilah productivity lawan asas mulai mengemuka, masih ada sebuah quote yg sangat populer yaitu: “You can see the computer everywhere but in the productivity statistics” (Robert Solow) maka kini Maholtra melanjutkannya menggunakan “One can see the impact of knowledge management everywhere but in the KM technology-performance statistics ’’ 

Bila ditinjau berdasarkan sisi definisi, Knowledge management sendiri mempunyai sejumlah definisi yg mengadung penekanan yang tidak sinkron. Definisi tadi diantaranya:

‘‘Knowledge management systems (KMS) refer to a group of information systems applied to managing organizational knowledge. That is, they are IT-based systems developed to support and enhance the organizational processes of knowledge creation, storage/retrieval, transfer, and application’’ (Alavi serta Leidner, 2001) 

Definisi yang berikutnya merupakan:
‘‘Knowledge Management refers to the critical issues of organizational adaptation, survival and competence against discontinuous environmental change. Essentially it embodies organizational processes that seek synergistic combination of data and information-processing capacity of information technologies, and the creative and innovative capacity of human beings’’ (Malhotra,2005)

Bila dicermati, pada kedua definisi tadi terdapat perbedaan yg esensial. Bila definisi yg pertama lebih poly menekankan dalam ketersediaan sistem berbasis TI buat mengelola knowledge, definisi yang kedua lebih menekankan dalam proses lanjutan yaitu daya kreatif dan penemuan manusia pada menggunakan data serta informasi.

Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa tersedianya intranets, extranets, hingga groupware tidak dan merta dapat menghantarkan pada kinerja perusahaan yang lebih baik. Teknologi ini, perlu diadopsi serta disesuaikan dengan insan menjadi user, diintegrasikan sesuai dengan konteks pekerjaan serta secara efektif digunakan sang organisai.

Sehingga sama halnya dengan pertanyaan pertama, yaitu apakah apakah teknologi liputan benar-benar bisa memberikan manfaat bagi kinerja organisasi? Pertanyaan ke 2, yaitu apakah KM technology berguna bagi organisasi? Membutuhkan kajian lebih lanjut buat menjawabnya. Tetapi satu hal yg telah niscaya bahwa investasi perusahaan pada perangkat TI atau yang sekarang jua diberi nama perangkat KM technology tidak akan dan merta memberikan manfaat yang terukur bagi organisasi yg memilikinya. Dibutuhkan sejumlah penataan selanjutnya buat menciptakan teknologi tersebut sebagai berdampak positif bagi organisasi bisnis.

MEREALISASIKAN DAMPAK POSTIF TI; PEOPLE, PROSES & BUSINESS MODEL.
Dengan mengamati praktek-praktek yg telah dilakukan sang organisasi bisnis yg berhasil dalam memanfaatkan TI, maka buat bisa merealisasikan pengaruh positif TI bagi organisasi usaha tadi, paling nir bisa dilakukan melalui 3 hal yaitu: people, proses & business contoh.

Dalam kaitannya dengan people, peranan dari TI telah tidak sama menggunakan peranan mesin pada era industri yang dipakai untuk menggantikan tenaga insan. Meski penggunaan yg mula-mula menurut komputer adalah diarahkan pada factor substitution, yaitu menggantikan low skill clerical worker melalui otomatisasi proses kerja. Dalam organisasi modern, TI nir semata-mata menggantikan kekuatan otot ataupun akal budi manusia. Dari hasil analisa makroekonomi multi tahun menurut ratusan perusahaan, Strassmann pada Malhotra (2005) menegaskan bahwa bukanlah personal komputer yg penting, namun apa yang dilakukan insan dengan komputer tersebut adalah yang terpenting. Sebagaimana bukanlah sebuah palu yang dapat mendirikan sebuah rumah yang baik, namun tergantung dalam ditangan siapakah palu itu dipegang, sebagai akibatnya dapat membuat sebuah tempat tinggal yang baik. Dari sini semakin kentara terlihat bahwa manfaat yg didapatkan sang teknologi, tidaklah semata asal menurut teknologi itu sendiri, tetapi berdasarkan apa yg dilakukan oleh insan dengan teknologi tersebut. 

Terkait menggunakan proses, manfaat yang didapatkan oleh organisasi bisnis berdasarkan TI terletak pada bagaimana organisasi tersebut menggunakannya nir sekedar buat otomatisasi, namun pula buat mentransformasi proses usaha, hingga mengganti atau membangun contoh bisnis yang sesuai manakala aktifitas kerja serta berbagai proses usaha telah didukung TI. Hammer & Champy pada Hartono (2005) mengidentifikasi kegagalan investasi TI buat menaruh pengaruh terhadap peningkatan kinerja keuangan perusahaan lantaran implementasi TI dipercaya sekedar mengotomatisasi kegiatan tradisionil yg terdapat. Menurut Hammer, buat menaruh manfaat investasi TI harus dipakai buat mengubah secara revolusioner proses bisnis yang ada dalam organisasi. Pendekatan ini dianggap sebagai Business Process reengineering (BPR), dimana BPR ini bersifat fundamental, radikal, dramatis dan berorientasi pada proses.

Bila dipandang menurut perkembangan ilmu manajemen, dampak luar biasa berdasarkan inovasi teknologi misalnya listrik dan mesin-mesin dalam abad industri terhadap kemajuan industri tidaklah melulu disebabkan lantaran organisasi mempunyai mesin-mesin tersebut. Organisasi usaha dalam masa itu juga melakukan perubahan proses kerja buat dapat mewujudkan keunggulannya, contohnya melalui diterapkannya division of labor. Sehingga tidak heran pada abad fakta keilmuan manajemen memperkenalkan kata teamwork, interconnection, serta shared information sebagai suatu inovasi berdasarkan ilmu manajemen buat mengadopsi teknologi pada proses kerja. (Senn, 2004 ).

Carr dalam artikel kontroversialnya IT Doesn’t Matter yang dipublikasikan melalui Harvard Business Review (2003) menyoroti kemampuan TI buat mendeliver keunggulan kompetitif yg semakin memudar. Beberapa dasawarsa kemudian bank yg menerapkan online banking dapat mempunyai keunggulan kompetitif dan merebut hati nasabah. Namun ketika ini teknologi ini sudah dimiliki semua bank. Demikian pula dengan Reuters yg mempunyai sistem TI yg tidak dapat disaingi dalam dasawarsa lalu, namun sekarang bahkan surat berita lokal sekalipun pula bisa memiliki jaringan yang terkenal diseluruh dunia melalui teknologi internet.

Carr (2003) juga menyoroti kecenderungan organisasi usaha pada masa kini yang terlalu mengandalkan vendor software ataupun perangkat keras sampai konsultan TI agar organisasi usaha bisa tetap up to date dengan perkembangan TI, dibandingkan dengan berupaya untuk melakukan penemuan sendiri. Ketergantungan ini mengakibatkan setiap organisasi usaha cenderung mempunyai sistem serta teknologi yang seragam, sebagai akibatnya selama nir dilakukan penemuan maka tidak akan ada nilai lebih yg bisa ditampilkan sang suatu organiasi usaha jika dibandingkan menggunakan pesaingnya. Kondisi ini pula didukung dengan praktek organisasi bisnis selama ini dimana dari total pembelanjaannya pada TI, persentase terbesar adalah buat pengadaan komoditas berupa aneka macam perangkat dan hanya sedikit yang mengalokasikan dana buat upaya menemukan inovasi atau melakukan proses kreatif berdasarkan aneka macam perangkat tadi.

Satu hal lain yang perlu dicermati adalah pilihan akan contoh usaha. Perkembangan teknologi sudah memungkinkan organisasi buat membangun new business model yg baru dalam hal penawaran barang serta jasa ataupun baru pada hal cara mendelivernya ke konsumen (Hartono, 2005) Dalam kaitannya menggunakan contoh bisnis, peritel Wal Mart telah timbul menjadi sebuah organisasi bisnis yg besar karena berhasil memanfaatkan TI secara maksimal buat menjalankan model usaha yg dipilihnya. Wal-Mart juga terus mencari cara buat menaikkan efisiensi pada TI melalui pengelolaan rantai pasokan secara elektronis. Wal Mart mengarahkan seluruh pemasoknya buat memakai sistem pengadaan barang secara elektronis yg sesuai dengan miliknya, sebagai akibatnya mau tidak mau supplier yang ingin terus berhubungan menggunakan WalMart harus mengadopsi sistem tadi. (Maholtra, 2005) Lebih jauh tentang model usaha, Amazon, Google serta e-bay merupakan tiga nama besar pada dunia e-commerce yang menjalankan bisnisnya murni secara virtual atau hanya terdapat didunia maya. Siapapun sebenarnya dapat memulai bisnis pada internet, sebuah infrastruktur terbuka yang bisa digunakan oleh siapa saja serta sudah lazim diadopsi sang organisasi bisnis lainnya. Tetapi dengan kreatifitas para pendirinya, ketiganya menentukan suatu contoh bisnis yang dapat diterima oleh pengguna internet pada semua dunia. Amazon, pioner pada usaha ritel yg terus melengkapi diri dengan fitur-fitur baru serta kemudahan yang membuat pelanggan enggan berpaling. E-bay dalam bidang pelelangan yg membuat segala hal jadi mungkin buat dilelang serta seluruh orang pada semua dunia bisa sebagai peserta lelang asalkan mempunyai akses ke internet. Serta Google sebagai nomor satu dalam search engine yg menggunakan perangkat TI sederhana secara aporisma yaitu dengan membangun algoritma pemrograman yg memungkinkan user men-search ‘apapun’ secara lebih cepat dan teliti dibanding berdasarkan search engine manapun termasuk Yahoo. Masih banyak model lain, misalkan Encyclopedia Britannica yang pada abad liputan ini pula harus merubah contoh bisnisnya pada menjajakan berita akibat adanya internet dan keluarnya Wikipedia, suatu free ensiklopedia pada internet yg mempunyai lebih menurut 1,8 juta artikel dan dikerjakan oleh para sukarelawan berdasarkan semua global (Hammel, 2006)

Akhirnya, buat bisa mengukur impak TI pada organisasi, Luftman (2004) memaparkan sejumlah aspek yang dapat diukur selain aspek keuangan buat mengukur dampak positif TI menggunakan lebih terinci. Luftman menegaskan bahwa aspek-aspek yg dapat diukur untuk menilai manfaat bisa mencakup imbas terhadap usaha, interaksi pelanggan, impak dalam internal organisasi hingga value chain. Dicontohan jua, misalkan TI digunakan untuk memperbaiki order management, maka pengukuran bisa dilakukan dalam short order lead times, In-stock availability, order accuracy, access to order status information hingga response time to customer inquiries, sebagai akibatnya lebih jelasnya dari pengaruh positif tadi bisa lebih terlihat.

METODOLOGI PENELITIAN BISNIS UNTUK AKUNTANSI DAN MANAJEMEN

Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi Dan Manajemen
KOMPLEKSITAS MANAJEMEN
Pokok bahasan manajemen semakin hari semakin diminati sang banyak sekali kalangan warga baik para ilmuwan, praktisi bahkan orang umum . Tetapi aneka macam kalangan tersebut juga belum mempunyai “communal opinio” tentang definisi manajemen. Sebagai konsekuensinya, manajemen memiliki majemuk konotasi-konotasi yg kadang tidak saling berhubungan, sehingga dapat menyebabkan disparitas dalam memahami “fauna” manajemen. Kompleksitas yang terjadi pada bahasan tentang manajemen tidak hanya terjadi dalam level dialektika, namun yg sebagai masalah berat adalah faktor kepentingan mudah yg sering kali mengendalikan kiprah manajemen menjadi kajian ilmiah yang independen.

Fenomena krusial yang dapat kita lihat merupakan dalam bidang pendidikan manajemen. Bidang pendidikan diperlukan menjadi “penjaga gawang” pada kajian ilmiah tentang manajemen. Namun dalam kenyataannya tidak bisa kita hindari bahwa kepentingan kapitalistik serta materialistik telah menaruh pandangan baru dan orientasi yang tidak sinkron pada mengartikulasikan pendidikan manajemen. 

Dewasa ini di Indonesia benyak yang berpandangan bahwa pendidikan tinggi khususnya dipandang hanya sebagai investasi masa depan daripada untuk kepentingan khasanah keilmuan. Artinya pengorbanan berupa biaya serta ketika dianggap menjadi investasi menggunakan mengharapkan pekerjaan serta pendapatan yang baik menjadi return-nya. Sehingga poly orang berlomba-lomba melanjutkan pendidikannya dalam perguruan tinggi menggunakan harapan terjadi “gerak vertikal” yang kelak akan mengantarkan mereka mencapai “kesejahteraan ekonomi”. Pada sisi lain, penyelenggara pendidikan melihat fenomena pendidikan manajemen sebagai “pasar” yang mempunyai permintaan yg sangat melimpah. Penyelenggara pendidikan, terutama swasta sangat bergairah mendirikan aneka macam acara baik dalam strata diploma, S1, S2 baik MM ataupun MBA serta S3 atau acara Doktor. Problemnya adalah pada “nawaitu” atau niatnya dalam menyelenggarakan pendidikan. Newman pada bukunya Social Research Methods (2000) menjelaskan menjadi fenomena pseudoscience yg erat kaitannya menggunakan ilmu itu sendiri. Pseudoscience adalah suatu kenyataan yang seolah-olah menampakkan dirinya menjadi suatu ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial seperti manajemen), padahal hanya berupa slogan-slogan yang dibumbui menggunakan berberapa ciri yg mirip dengan karakteristik sebuah ilmu. Termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan program gelar banyak sekali strata yg kadang sesungguhnya nir memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap ilmu melainkan hanya kepentingan usaha, beredarnya buku-buku ilmiah manajemen terkenal yang semata-mata buat usaha, penelitian serta telaah ilmiah “semu” yang bertujuan hanya buat mempopulerkan, mengiklankan produk, jasa, bisnis dan lain-lain pada berbagai media massa. Hal tersebut semakin diperparah sang ketidakfahaman warga serta ketiadaan aturan tentang batasan area ilmiah.

PROBLEM MANAJEMEN DI INDONESIA
Momentum kemerdekaan pada Indonesia seharusnya dapat mendorong pengembangan ilmu pengetahuan secara umum yang bercirikan nilai budaya bangsa Indonesia dan pengembangan manajemen sebagai ilmu pada pendidikan terbaru yg memberikan harapan dan keberanian pada bangsa Indonesia buat memperbaiki kehidupan bisnis dan ekonomi dan moralitas bangsa. Namun empiris yg dihadapi kehadiran ratusan bahkan ribuan pendidikan tinggi serta juga ratusan ribu sarjana belum sanggup melahirkan serta membesarkan ilmu pengetahuan khusunya melahirkan sebuah konsepsi manajemen berwawasan Indonesia.

Penyebab utama kepincangan pada kemajuan ilmu pengetahuan adalah terletak pada perlakuan yang tidak “correct” terhadap ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi dalam khususnya, pada lingkungan kampus dalam umumnya (Daoed Joesoef, 1986). Dikatakan nir “correct” lantaran di sana ilmu pengetahuan (pada hal ini secara khusus ilmu manajemen) dihayati tidak dalam arti yg lengkap, yaitu ilmu pengetahuan pada arti produk, ilmu pengetahuan dalam arti sebagai proses serta ilmu pengetahuan pada arti rakyat.

Ilmu pengetahuan sebagai produk, adalah pengetahuan yang sudah diketahui dan diakui kebenrannya oleh masyarakat ilmuwan. Jadi ilmu pengetahuan terbatas dalam kenyataan-fenomena yg mengandung kemungkinan buat disepakati dan terbuka buat diteliti, diuji ataupun dibantah sang orang lain. Sehingga suatu warta ilmiah nir mungkin bersifat original misalnya halnya dalam karya seni. Penemuan kabar ilmiah mungkin bisa original, tetapi bukan buat informasi ilmiah itu sendiri.

Ilmu pengetahuan menjadi proses adalah aktivitas masyarakat yang dilakukan demi inovasi dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana kita kehendaki. Metoda ilmiah yg khusus yg digunakan pada proses ini adalah analisis rasional, obyektif, sejauh mungkin bersifat “impersonal” berdasarkan kasus-masalah yg didasarkan dalam percobaan dan data yg dapat diamati (observable data). Dalam pandangan Thomas S. Kuhn, ilmu pengetahuan dalam arti proses (penelitian) diistilahkan menjadi “normal science”. 

Sedangkan ilmu pengetahuan sebagai masyarakat merupakan suatu dunia pergaulan yg tindak tanduknya, perilaku serta perilakunya diatur oleh empat ketentuan (imperatives), yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterestedness) dan skeptisisme yg teratur. Universalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan bebas menurut warna kulit, kepercayaan , keturunan atau dikenal menggunakan slogan “SARA”, yang terdapat hanya metoda. Jadi ilmu pengetahuan dikatakan universal apabila metoda ilmiah bersifat empirik, eksperimental serta rasional yg bekerja dari “logical inference”. Komunalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan adalah milik warga (public knowledge). Tanpa pamrih berarti bukan proraganda ataupun promosi bagi kepentiingan eksklusif. Skeptisisme yg teratur berarti impian untuk mengetahui dan bertanya didasarkan pada akal dan keteraturan dalam berfikir.

Bagaimana dengan perkembangan manajemen pada setting Indonesia? Dunia barat dikenal dengan perkembangan ilmu manajemen yg berorientasi pada individualisme, kapitalisme dan materialisme yg didukung pengembangan teknologi terkini. Bangsa Jepang dengan collectivism membuatkan filosofi Kaizen dalam manajemen mereka. Secara epistemologis, bagaimana metoda pengembangan manajemen pada Indonesia. Kemudian pada cabang ontologis, apakah manajemen di Indonesia bisa dikembangkan menjadi ilmu? Dan bagaimana nilai-nilai budaya bangsa dibangun menjadi pijakan aksiologi buat membuatkan ilmu manajemen berwawasan Indonesia. 

Bagaimana pengembangan manajemen sebagai ilmu pada pendidikan terkini yang menaruh harapan dan keberanian pada bangsa Indonesia buat memperbaiki kehidupan bisnis serta ekonomi dan moralitas bangsa, sebagai akibatnya melahirkan sebuah konsepsi ilmu manajemen berwawasan Indonesia.

Secara lebih khusus persoalan akan diarahkan pada upaya melahirkan para sarjana manajemen Indonesia berkualitas dan berkarakter. Kualitas lebih menekankan pada keilmuan dan keterampilan sedangkan berkarakter menekankan dalam visi serta nilai.

MENGAPA FILSAFAT ILMU
Pembahasan di muka diawali menggunakan kompleksitas empiris manajemen, khususnya bagi pengembangan manajemen di Indonesia. Lemahnya tradisi ilmiah dan banyaknya kepentingan ekonomi dan tidak adanya visi bagi pengembangan ilmu serta pendidikan mengakibatkan tidak kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu fenomena global perkembangan ilmu begitu cepat termasuk perkembangan ilmu manajemen. Oleh karena itu sesungguhnya filsafat ilmu ada menjadi kelanjutan dari filsafat pengetahuan lantaran perkembangan ilmu cabang yang tumbuh “bagai cendawan pada isu terkini hujan”. Filsafat pengetahuan sendiri lahir sebagai reaksi serta penjelasan terhadap kontradiksi antar cabang ilmu. Kunto Wibisono menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yg nir pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah buat mencapai kebenaran atau kenyataan. Sesuatu memang tidak pernah akan habis difikirkan serta nir pernah akan terselesaikan diterangkan.

Hakikat ilmu adalah sebab mendasar dan kebenaran universal yg implisit inheren pada dalam dirinya. Dengan tahu filsafat ilmu berarti tahu seluk beluk ilmu yg paling fundamental, sehingga bisa difahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembagannya, keterkaitan antar cabang ilmu yg satu dengan lainnya, simplifikasi serta artifisialitasnya.

MANAJEMEN SEBAGAI ILMU
Apakah manajemen bisa dikategorisasi menjadi ilmu (science)? Pada awalnya manajemen dari berdasarkan istilah “manage” yg bisanya dihubungkan dengan kemampuan untuk mengurusi tempat tinggal tangga (R.W. Morell, 1969). Bahkan Socrates dalam zaman Yunani Kuno mendefinisikan manajemen sebagai suatu keterampilan yg terpisah menurut pengetahuan. Hal tersebut tercermin pada pada nasihat Socrates kepada Nichomachides:

“Aku menyampaikan bahwa apapun yg dikepalai seorang serta beliau mengetahui apa yang dibutuhkan, serta bisa menyediakannya, berarti ia akan menjadi pemimpin yang baik. Oleh karenanya Nichodemachides, janganlah meremehkan orang yg mahir mengelola rumah tangga; sebab penanganan perkara langsung serta umum hanya terletak dalam luas permasalahannya; dalam hal lain keduanya sama, namun yang wajib engkau perhatikan keduanya tidak dikelola tanpa oleh insan; dan perkara langsung nir dikelola oleh satu jenis manusia serta perkara generik sang jenis insan lainnya; sebab mereka yang menjalankan perusahaan generik menggunakan insan yang sama sekali nir tidak sinkron menggunakan mereka yg dipekerjakan sang para manajer dari usaha-bisnis langsung; serta orang yang tahu bagaimana mempekerjakan mereka, menjalankan usaha baik langsung juga umum dengan bijaksana, sedangkan orang yg nir mengetahuinya nir pula keduanya”. 

Pemahaman Socrates tadi sejalan dengan penelusuran yang ditulis dalam proceeding seminar konsep manajemen Indonesia, PPM (1979) yg dihadiri oleh sejumlah pakar manajemen, ilmuwan sosial, peneliti serta birokrat Indonesia seperti Astrid S. Soesanto, Harsya W. Bachtiar, Siswanto Sudomo, Roosseno, Muchtar Lubis, TB. Simatupang, Kwik Kian Gie, Christianto Wibisono, M. Dawam Raharjo dll bahwa pada awalnya manajemen adalah penggunaan keterampilan, pengetahuan serta ikhtiar benar-benar-sungguh buat mencapai tujuannya, maka manajemen merupakan seni (art). Namun dengan meluasnya cakrawala pengetahuan melalui pengumpulan data secara menyeluruh serta mendalam untuk selanjutnya diolah guna perumusan dan pengujian hipotesisnya maka manajemen sudah berkembang sebagai ilmu (science).

Dalam artikel What is a “science” Bahm mendeskripsikan secara kentara unsur-unsur ilmu (science). Bahm mengajak pembaca buat berfikir secara lebih mendasar mengenai unsur-unsur atau komponen science. Bahm memulai dari konflik (dilema) yang dihadapi insan dalam kehidupan sebagai komponen penting science, meskipun tidak semua masalah bersifat ilmiah. 

Selanjutnya Bahm menguraikan pentingnya sikap seorang ilmuwan dalam membuatkan science. Selain itu jua diuraikan sang penulisan tentang kontroversi metoda dan kiprah metoda dalam perkembangan science. Metoda serta perilaku bersama-sama mencoba mencari solusi terhadap problem dan mencari kebenaran, kenyataan dan memberi penjelasan ataupun menaruh solusi terhadap pertarungan. Sehingga science akan selalu berkiprah dan berjalan tanpa mengenal berhenti (unfinished journey). 

Bahm pula membicarakan keprihatinannya bahwa pengembangan teknologi serta industri berjalan demikian cepat yang seharusnnya terkait menggunakan imbas sosialnya ternyata berjalan tidak seimbang sebagai akibatnya selain memberi manfaat, tetapi poly jua membangun kesulitan bagi kehidupan manusia. Sehingga Bahm sangat mendorong buat menambah teknologi dan industri menggunakan hal yang lebih fundamental, yaitu aspek aksiologi, etika, religiusitas serta sosiologi.

Bahm sepertinya pula mengajak pembaca buat lebih pada tahu science menggunakan nilai-nilai universalnya. Secara kentara, Bahm menguraikan dan mengulas secara kritis unsur-unsur (komponen) science sekaligus mengingatkan kepada para peneliti buat menyadari pentingnya unsur-unsur tersebut. 

Di samping pembahasan unsur-unsur science secara struktural, Bahm jua mengulas secara fenomenal baik terkait menggunakan masyarakat, proses serta science menjadi produk. Bahm menyampaikan pengaruh science sendiri bagi kehidupan manusia di mana science tidak bisa tanggal menurut nilai-nilai terkait dengan kepentingan luhur kemanusiaan. 

Perkembangan selanjutnya apakah manajemen merupakan ilmu sebagai erat hubungannya dengan semakin canggihnya perubahan, persaingan dan konduite organisasional yg berkaitan dengan kompleksitas “how to manage” dalam usaha. Semakin pentingnya manajemen paling nir terlihat pada poly masalah organisasi usaha dan publik pada sejumlah negara belum berkembang atau sedang berkembang. Kemudian kualifikasi manajer sebagai mayoritas pada keberhasilan organisasi.

Hal yang menarik disampaikan oleh Socrates dalam masa kemudian bahwa faktor kunci keberhasilan manajemen adalah insan serta grup manusia yang lain. Pada perkembangan selanjutnya timbul hubungan antar manusia dan bila terdapat kecenderungan pandangan serta tujuan, mereka akan membentuk kelompok atau organisasi. 

Pada ketika ini domain manajemen melingkupi bagaimana mengelola organisasi mencapai tujuan secara efektif dan efisien terkait menggunakan lingkungan yang penuh ketidakpastian. Untuk itu sangat dibutuhkan pengetahuan mengenai prinsip serta teknik dasar manajemen dalam mempraktikkan, menyebutkan dan mengembangkannya. Areanya menjadi semakin jelas yaitu efektivitas serta efisiensi insan menjadi sentral. Jika dibandingkan dengan efisiensi mesin maka efisiensi usaha grup insan masih sangat tertinggal. Hal tadi disadari oleh banyak pakar manajemen di lapangan seperti Henri Fayol, Barnard dan Alvin Brown bahwa dibutuhkan konsep manajemen yg kentara dan suatu kerangka teori serta prinsip yang berpautan.

Beberapa pandangan Koontz tentang prinsip, teori dan konsep:
Prinsip adalah kebenaran fundamental, atau apa yg diyakini sebagai kebenran pada ketika eksklusif, yg menunjukkan 2 atau lebih formasi variabel.

Teori merupakan pengelompokan yg sistematis terhadap prinsip-prinsip yang saling bekerjasama sehingga terbentuk kerangka.

Konsep adalah gambaran mental berdasarkan sesuatu yg dibentuk dengan penggeneralisasian bagian-bagiannya.

Jika pengertian mengenai konsep, teori, prinsip dan teknik manajemen kurang difahami maka akan menyulitkan analisis pekerjaan manajerial dan training para manajer. Tanpa hal tersebut pembinaan para manajer hanya bersifat coba-coba. Dalam kadar tertentu, hal tadi mungkin terjadi dan berlangsung sampai ilmu manajemen berkembang secara memadai. 

Pada perkara usaha, pemerintahan serta perusahaan, susunan ilmu manajemen yg cukup kokoh telah terwujud serta poly membantu merealisasikan sifat manajemen serta menyederhanakan ke dalam pendidikan serta pembinaan manajer. Bahkan ada suatu pernyataan yang menarik terkait dengan pendekatan kontingensi yaitu bahwa teori dan ilmu manajemen tidak pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” (Koontz et.al). Teori serta ilmu dimaksudkan buat mencari interaksi-hubungan fundamental, dasar-dasar teknik dan susunan pengetahuan yg tersedia yang semuanya seharusnya di dasarkan dalam konsep yang kentara. 

Dengan demikian diperlukan para praktisi manajemen mengerti serta menggunakan ilmu serta teori yang akan mendasari praktik pekerjaan mereka. 

Jika dikaitkan dengan pandangan Bahm tentang karakteristik penting ilmu, maka manajemen sesungguhnya sudah memiliki kriteria tersebut. Pada domain manajemen bisa muncul poly konflik ilmiah misalnya bagaimana hubungan antara penetapan tujuan dengan motivasi pada suatu setting eksklusif. Untuk mengungkap hal tadi perlu perilaku ilmiah serta metoda ilmiah. 

Di mulai berdasarkan sebuah keyakinan bahwa ilmu memperlihatkan fenomena pada atas, adalah keyakinan rasionalitas alam menaruh inspirasi bahwa berbagai hubungan dapat ditemukan antara 2 rangkaian peristiwa atau lebih. Untuk menemukan secara sistematis diperlukan suatu metoda ilmiah. Metoda ilmiah mencakup metoda induktif yang dimulai dari penemuan liputan (fact finding) dan menguji keakuratan kabar sehingga diperoleh proposisi yg apabila terus menerus teruji seksama akan mengambangkan teori serta khasanah ilmu manajemen itu sendiri. Berikutnya merupakan metoda deduktif yang menekankan pada pengujian teori atau proposisi dalam ilmu manajemen. 

Selanjutnya ilmu manajemen akan terkait dengan aktivitasnya dan implikasi. Implikasi pada pandangan Bahm dikaitkan dengan nilai-nilai bagi peradaban manusia. Pada perspektif kontemporer keberfihakan manajemen dalam nilai-nilai tersebut (aksiologis) tampak dalam fenomena etika usaha serta manajemen yg semakin gencar dewasa ini. 

Pada bidang usaha muncul suatu konsep yg berfihak dalam konsumen serta kesejahteraan insan atau masyarakat baik pada jangka pendek juga jangka panjang termasuk pada dalamnya problem lingkungan hidup atau seringkali dikenal dengan istilah societal marketing concept serta green marketing. Kemudian dalam pengelolaan manajemen sumber daya insan muncul konsep long life employment yang berfihak pada kesejahteraan karyawan jangka panjang. Dalam manajemen strategik dan persaingan muncul konsep co-opetition yang menekankan win-win solution pada seluruh stakeholders (bahkan semua penghuni bumi ini). 

Dikaitkan menggunakan pandangan Bacharach (1989) yg mendukung pandangan (Dubin, 1969; Nagel, 1961; Cohen, 1980) menyatakan bahwa teori merupakan pernyataan interaksi antara unit-unit yang diobservasi pada global empiris. Teori memiliki dua kriteria mencakup: (a) falsifikasi (b) utilitas. Selanjutnya kemampuan teori menaruh penerangan secara teruji dan tersusun dengan rangkaian teori yg terkait menciptakan suatu ilmu.

Dalam penelitian yg dilakukan di bidang manajemen, kedua kriteria teori tadi poly digunakan terutama pada penelitian yang dilakukan positivism, terutama dalam bidang behavioral science sebagai bagian penting pada studi ilmu-ilmu manajemen.

PENGEMBANGAN ILMU MANAJEMEN DI INDONESIA
Pada bahasan sebelumnya sudah didiskusikan pentingnya filsafat ilmu dalam menaruh dasar serta arah bagi pengembangan ilmu. Di samping itu penulis jua telah mencoba mendiskusikan secara fundamental tentang manajemen menjadi ilmu. Berdasarkan bahan diskusi pada atas maka kita akan dapat membuat sebuah setting pengembangan manajemen pada Indonesia. 

Dari suatu pembahasan mengenai impak budaya pada perkembangan manajemen pada Indonesia yg dilakukan PPM Jakarta (1979) dijelaskan keberadaan 3 terminologi krusial yg berkaitan erat dengan upaya pengembangan manajemen Indonesia. Ketiganya mencakup kata: manajer & pemimpin, organisasi serta budaya serta perilaku organisasional. 

Dengan menghubungkan menggunakan teori kontingensi maka sangat terbuka kesempatan bagi kita buat membuatkan sebuah konsep manajemen Indonesia. Teori ini sesungguhnya berpusat pada kombinasi taraf diferensiasi serta integrasi dalam organisasi menghadapi kebutuhan yg timbul menurut lingkungan. Perubahan pada lingkungan akan bergerak cepat sebagai akibatnya menuntut organisasi membentuk level diferensiasi yg dapat selaras menggunakan perubahan lingkungan. Artinya dalam praktik organisasi tidak hanya bersandar dalam gaya internal organisasi namun terkait erat dengan sistem nilai lingkungan budaya yang melingkupinya. 

Dalam kaitannya menggunakan kriteria keilmuan maka manajemen pada Indonesia pula wajib mempunyai unsur-unsur yg universal dengan membuka diri buat menerima dan mengembangkan unsur-unsur tersebut, meskipun demikian kita permanen wajib bersikap selektif. Pada sisi yg lain, proses operasional manajemen akan sangat ditentukan oleh nilai budaya, manusia, warga serta pengalaman sejarah suatu bangsa serta visi bangsa. 

Dalam setting Indonesia, secara normatif kita mempunyai Pancasila menjadi nilai-nilai budaya serta hasrat yang merefleksikan keberagaman nilai-nilai budaya dan bukan keseragaman. Sehingga pendekatan kontingensi akan berperan dalam mengungkapkan bahwa teori serta ilmu manajemen nir pernah menganjurkan “satu cara terbaik”. Keefektifan manajemen selalu bersifat kontingensi, dalam hal ini terkait dengan tatanan nilai luhur yang berkembang pada sana. Di samping itu menggunakan pendekatan sistem, praktisi, manajer serta para ilmuwan harus mempertimbangkan sejumlah besar variabel yang berpengaruh serta berinteraksi dalam pekerjaan manajerial.

Penulis berpendapat masih ada beberapa hal yang bisa kita gali berdasarkan nilai budaya bangsa yg terefleksikan dalam semangat Pancasila seperti:
  • Nilai-nilai spiritual keagamaan serta etika yang sebagai orientasi, filosofi dan tujuan kita pada kegiatan manajerial. 
  • Mengembangkan rasa humanisme dalam aktifitas manajemen serta usaha. 
  • Mengembangkan semangat kolektif pada pencapaian tujuan menggunakan kesadaran bahwa diversitas menjadi kekuatan. 
  • Semangat buat berorietasi pada kesejahteraan organisasi dan rakyat dengan prinsip win-win solution. 
  • Mengembangkan nilai keadilan kepada segenap stakeholders. 

PENDIDIKAN SEBAGAI METODA PENGEMBANGAN ILMU DI INDONESIA
Bagaimana pendidikan manajemen di Indonesia dalam satu sisi menghadapi perubahan usaha yg dahsyat serta pada sisi yang lain menyebarkan manajemen Indonesia? Jawabannya justru pendekatan yg pengembangan manajemen Indonesia akan menjawab secara komprehensif serta mendasar. Ada beberapa isu krusial terkait dengan pendidikan manajemen, yaitu: relevansi kurikulum, pengembangan metoda pengajaran, rekonsiliasi riset serta praktik manajemen dan kemitraan dengan global bisnis (Handoko, 2002).

Pada sisi lain secara makro serta lebih mendasar lagi merupakan political will pemerintah terhadap pendidikan dan kebudayaan. Secara operasional tercermin melalui alokasi RAPBN bagi pendidikan dan kebudayaan dan implementasi aturan terhadap pendidikan yang illegal ataupun yang tidak bertanggung jawab terhadap konsumen serta masyarakat.

METODOLOGI PENELITIAN BISNIS UNTUK AKUNTANSI DAN MANAJEMEN

Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi Dan Manajemen
KOMPLEKSITAS MANAJEMEN
Pokok bahasan manajemen semakin hari semakin diminati oleh banyak sekali kalangan masyarakat baik para ilmuwan, praktisi bahkan orang umum . Namun aneka macam kalangan tadi juga belum mempunyai “communal opinio” mengenai definisi manajemen. Sebagai konsekuensinya, manajemen memiliki majemuk konotasi-konotasi yang kadang nir saling bekerjasama, sebagai akibatnya dapat menyebabkan perbedaan dalam tahu “fauna” manajemen. Kompleksitas yg terjadi pada bahasan tentang manajemen tidak hanya terjadi pada level dialektika, tetapi yang menjadi dilema berat merupakan faktor kepentingan praktis yg sering kali mengendalikan kiprah manajemen menjadi kajian ilmiah yg independen.

Fenomena penting yg bisa kita lihat adalah dalam bidang pendidikan manajemen. Bidang pendidikan diperlukan sebagai “penjaga gawang” dalam kajian ilmiah mengenai manajemen. Namun pada kenyataannya tidak dapat kita hindari bahwa kepentingan kapitalistik serta materialistik telah menaruh pandangan baru dan orientasi yang berbeda pada mengartikulasikan pendidikan manajemen. 

Dewasa ini pada Indonesia benyak yang berpandangan bahwa pendidikan tinggi khususnya dicermati hanya menjadi investasi masa depan daripada buat kepentingan khasanah keilmuan. Artinya pengorbanan berupa biaya serta ketika dipercaya menjadi investasi menggunakan mengharapkan pekerjaan dan pendapatan yg baik sebagai return-nya. Sehingga banyak orang berlomba-lomba melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi dengan asa terjadi “mobilitas vertikal” yang kelak akan mengantarkan mereka mencapai “kesejahteraan ekonomi”. Pada sisi lain, penyelenggara pendidikan melihat kenyataan pendidikan manajemen menjadi “pasar” yang memiliki permintaan yang sangat melimpah. Penyelenggara pendidikan, terutama swasta sangat bergairah mendirikan berbagai program baik dalam strata diploma, S1, S2 baik MM ataupun MBA dan S3 atau program Doktor. Problemnya adalah dalam “nawaitu” atau niatnya pada menyelenggarakan pendidikan. Newman dalam bukunya Social Research Methods (2000) menjelaskan menjadi fenomena pseudoscience yang erat kaitannya dengan ilmu itu sendiri. Pseudoscience adalah suatu kenyataan yang seolah-olah menampakkan dirinya menjadi suatu ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial misalnya manajemen), padahal hanya berupa jargon-jargon yg dibumbui menggunakan berberapa karakteristik yang seperti dengan karakteristik sebuah ilmu. Termasuk pada dalamnya adalah penyelenggaraan acara gelar aneka macam tingkatan yang kadang sesungguhnya tidak memiliki komitmen serta tanggung jawab terhadap ilmu melainkan hanya kepentingan usaha, beredarnya buku-buku ilmiah manajemen terkenal yg semata-mata buat bisnis, penelitian dan jajak ilmiah “semu” yg bertujuan hanya buat mempopulerkan, mengiklankan produk, jasa, usaha serta lain-lain pada banyak sekali media massa. Hal tersebut semakin diperparah oleh ketidakfahaman warga serta ketiadaan anggaran mengenai batasan area ilmiah.

PROBLEM MANAJEMEN DI INDONESIA
Momentum kemerdekaan di Indonesia seharusnya bisa mendorong pengembangan ilmu pengetahuan secara umum yang bercirikan nilai budaya bangsa Indonesia dan pengembangan manajemen sebagai ilmu pada pendidikan terbaru yg menaruh harapan serta keberanian pada bangsa Indonesia buat memperbaiki kehidupan usaha dan ekonomi dan moralitas bangsa. Tetapi empiris yg dihadapi kehadiran ratusan bahkan ribuan pendidikan tinggi serta pula ratusan ribu sarjana belum bisa melahirkan serta membesarkan ilmu pengetahuan khusunya melahirkan sebuah konsepsi manajemen berwawasan Indonesia.

Penyebab primer kepincangan pada kemajuan ilmu pengetahuan merupakan terletak pada perlakuan yang nir “correct” terhadap ilmu pengetahuan di perguruan tinggi dalam khususnya, pada lingkungan kampus pada umumnya (Daoed Joesoef, 1986). Dikatakan tidak “correct” karena pada sana ilmu pengetahuan (dalam hal ini secara khusus ilmu manajemen) dihayati tidak pada arti yg lengkap, yaitu ilmu pengetahuan pada arti produk, ilmu pengetahuan pada arti sebagai proses dan ilmu pengetahuan pada arti rakyat.

Ilmu pengetahuan menjadi produk, merupakan pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenrannya oleh masyarakat ilmuwan. Jadi ilmu pengetahuan terbatas pada fenomena-fenomena yang mengandung kemungkinan buat disepakati serta terbuka buat diteliti, diuji ataupun dibantah sang orang lain. Sehingga suatu liputan ilmiah nir mungkin bersifat original misalnya halnya pada karya seni. Penemuan warta ilmiah mungkin bisa original, namun bukan buat warta ilmiah itu sendiri.

Ilmu pengetahuan sebagai proses adalah kegiatan masyarakat yang dilakukan demi inovasi serta pemahaman dunia alami sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana kita kehendaki. Metoda ilmiah yg khusus yg dipakai dalam proses ini adalah analisis rasional, obyektif, sejauh mungkin bersifat “impersonal” berdasarkan kasus-kasus yang didasarkan dalam percobaan serta data yg dapat diamati (observable data). Dalam pandangan Thomas S. Kuhn, ilmu pengetahuan pada arti proses (penelitian) diistilahkan sebagai “normal science”. 

Sedangkan ilmu pengetahuan menjadi rakyat adalah suatu dunia pergaulan yg tindak tanduknya, sikap dan perilakunya diatur oleh empat ketentuan (imperatives), yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterestedness) serta skeptisisme yg teratur. Universalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan bebas berdasarkan warna kulit, agama, keturunan atau dikenal dengan slogan “SARA”, yang terdapat hanya metoda. Jadi ilmu pengetahuan dikatakan universal bila metoda ilmiah bersifat empirik, eksperimental dan rasional yg bekerja menurut “logical inference”. Komunalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan adalah milik warga (public knowledge). Tanpa pamrih berarti bukan proraganda ataupun promosi bagi kepentiingan tertentu. Skeptisisme yg teratur berarti keinginan buat mengetahui dan bertanya berdasarkan pada akal dan keteraturan dalam berfikir.

Bagaimana dengan perkembangan manajemen pada setting Indonesia? Dunia barat dikenal menggunakan perkembangan ilmu manajemen yg berorientasi dalam individualisme, kapitalisme dan materialisme yang didukung pengembangan teknologi modern. Bangsa Jepang dengan collectivism membuatkan filosofi Kaizen dalam manajemen mereka. Secara epistemologis, bagaimana metoda pengembangan manajemen di Indonesia. Kemudian pada cabang ontologis, apakah manajemen pada Indonesia bisa dikembangkan menjadi ilmu? Dan bagaimana nilai-nilai budaya bangsa dibangun sebagai pijakan aksiologi buat berbagi ilmu manajemen berwawasan Indonesia. 

Bagaimana pengembangan manajemen menjadi ilmu dalam pendidikan terbaru yg menaruh harapan serta keberanian kepada bangsa Indonesia buat memperbaiki kehidupan bisnis dan ekonomi dan moralitas bangsa, sehingga melahirkan sebuah konsepsi ilmu manajemen berwawasan Indonesia.

Secara lebih khusus problem akan diarahkan dalam upaya melahirkan para sarjana manajemen Indonesia berkualitas dan berkarakter. Kualitas lebih menekankan pada keilmuan dan keterampilan sedangkan berkarakter menekankan dalam visi serta nilai.

MENGAPA FILSAFAT ILMU
Pembahasan pada muka diawali menggunakan kompleksitas empiris manajemen, khususnya bagi pengembangan manajemen di Indonesia. Lemahnya tradisi ilmiah dan banyaknya kepentingan ekonomi serta tidak adanya visi bagi pengembangan ilmu dan pendidikan mengakibatkan nir kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu kenyataan dunia perkembangan ilmu begitu cepat termasuk perkembangan ilmu manajemen. Oleh karena itu sesungguhnya filsafat ilmu ada menjadi kelanjutan dari filsafat pengetahuan karena perkembangan ilmu cabang yg tumbuh “bagai cendawan di trend hujan”. Filsafat pengetahuan sendiri lahir menjadi reaksi serta penjelasan terhadap kontradiksi antar cabang ilmu. Kunto Wibisono menyebutkan bahwa filsafat ilmu merupakan refleksi filsafati yg nir pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah buat mencapai kebenaran atau fenomena. Sesuatu memang nir pernah akan habis difikirkan serta nir pernah akan selesai diterangkan.

Hakikat ilmu merupakan karena fundamental serta kebenaran universal yg tersirat melekat pada dalam dirinya. Dengan tahu filsafat ilmu berarti tahu seluk beluk ilmu yang paling fundamental, sebagai akibatnya dapat difahami jua perspektif ilmu, kemungkinan pengembagannya, keterkaitan antar cabang ilmu yg satu dengan lainnya, simplifikasi dan artifisialitasnya.

MANAJEMEN SEBAGAI ILMU
Apakah manajemen dapat dikategorisasi menjadi ilmu (science)? Pada awalnya manajemen asal dari kata “manage” yg bisanya dihubungkan menggunakan kemampuan buat mengurusi tempat tinggal tangga (R.W. Morell, 1969). Bahkan Socrates dalam zaman Yunani Kuno mendefinisikan manajemen menjadi suatu keterampilan yang terpisah berdasarkan pengetahuan. Hal tadi tercermin pada pada nasihat Socrates kepada Nichomachides:

“Aku menyampaikan bahwa apapun yang dikepalai seorang serta ia mengetahui apa yang diperlukan, dan bisa menyediakannya, berarti dia akan menjadi pemimpin yg baik. Oleh karenanya Nichodemachides, janganlah meremehkan orang yg mahir mengelola rumah tangga; karena penanganan kasus langsung serta generik hanya terletak pada luas permasalahannya; pada hal lain keduanya sama, namun yang wajib engkau perhatikan keduanya tidak dikelola tanpa sang insan; dan kasus langsung tidak dikelola oleh satu jenis manusia dan kasus generik oleh jenis insan lainnya; karena mereka yang menjalankan perusahaan generik menggunakan manusia yg sama sekali nir tidak selaras dengan mereka yang dipekerjakan sang para manajer menurut bisnis-usaha eksklusif; serta orang yang memahami bagaimana mempekerjakan mereka, menjalankan bisnis baik langsung maupun umum menggunakan bijaksana, sedangkan orang yg tidak mengetahuinya tidak juga keduanya”. 

Pemahaman Socrates tersebut sejalan dengan penelusuran yang ditulis pada proceeding seminar konsep manajemen Indonesia, PPM (1979) yg dihadiri sang sejumlah ahli manajemen, ilmuwan sosial, peneliti dan birokrat Indonesia misalnya Astrid S. Soesanto, Harsya W. Bachtiar, Siswanto Sudomo, Roosseno, Muchtar Lubis, TB. Simatupang, Kwik Kian Gie, Christianto Wibisono, M. Dawam Raharjo dll bahwa pada awalnya manajemen adalah penggunaan keterampilan, pengetahuan serta ikhtiar benar-benar-sungguh buat mencapai tujuannya, maka manajemen merupakan seni (art). Tetapi menggunakan meluasnya cakrawala pengetahuan melalui pengumpulan data secara menyeluruh dan mendalam buat selanjutnya diolah guna perumusan serta pengujian hipotesisnya maka manajemen sudah berkembang menjadi ilmu (science).

Dalam artikel What is a “science” Bahm mendeskripsikan secara jelas unsur-unsur ilmu (science). Bahm mengajak pembaca buat berfikir secara lebih mendasar tentang unsur-unsur atau komponen science. Bahm memulai berdasarkan pertarungan (problem) yang dihadapi manusia dalam kehidupan menjadi komponen krusial science, meskipun nir seluruh dilema bersifat ilmiah. 

Selanjutnya Bahm menguraikan pentingnya sikap seorang ilmuwan dalam membuatkan science. Selain itu juga diuraikan oleh penulisan mengenai kontroversi metoda serta peran metoda pada perkembangan science. Metoda dan perilaku beserta-sama mencoba mencari solusi terhadap duduk perkara dan mencari kebenaran, kenyataan serta memberi penerangan ataupun menaruh solusi terhadap pertarungan. Sehingga science akan selalu bergerak serta berjalan tanpa mengenal berhenti (unfinished journey). 

Bahm pula membicarakan keprihatinannya bahwa pengembangan teknologi serta industri berjalan demikian cepat yang seharusnnya terkait menggunakan efek sosialnya ternyata berjalan tidak seimbang sehingga selain memberi manfaat, namun banyak pula menciptakan kesulitan bagi kehidupan manusia. Sehingga Bahm sangat mendorong buat menambah teknologi serta industri menggunakan hal yang lebih mendasar, yaitu aspek aksiologi, etika, religiusitas dan sosiologi.

Bahm sepertinya jua mengajak pembaca buat lebih dalam tahu science dengan nilai-nilai universalnya. Secara jelas, Bahm menguraikan serta mengulas secara kritis unsur-unsur (komponen) science sekaligus mengingatkan pada para peneliti buat menyadari pentingnya unsur-unsur tadi. 

Di samping pembahasan unsur-unsur science secara struktural, Bahm jua mengulas secara fenomenal baik terkait dengan warga , proses serta science sebagai produk. Bahm membicarakan dampak science sendiri bagi kehidupan manusia di mana science nir sanggup tanggal dari nilai-nilai terkait dengan kepentingan luhur humanisme. 

Perkembangan selanjutnya apakah manajemen adalah ilmu menjadi erat hubungannya dengan semakin canggihnya perubahan, persaingan dan konduite organisasional yang berkaitan menggunakan kompleksitas “how to manage” pada bisnis. Semakin pentingnya manajemen paling nir terlihat pada banyak kasus organisasi bisnis serta publik pada sejumlah negara belum berkembang atau sedang berkembang. Kemudian kualifikasi manajer sebagai mayoritas dalam keberhasilan organisasi.

Hal yang menarik disampaikan sang Socrates dalam masa kemudian bahwa faktor kunci keberhasilan manajemen adalah insan serta grup manusia yang lain. Pada perkembangan selanjutnya muncul interaksi antar insan dan jika terdapat kecenderungan pandangan dan tujuan, mereka akan membentuk grup atau organisasi. 

Pada ketika ini domain manajemen melingkupi bagaimana mengelola organisasi mencapai tujuan secara efektif dan efisien terkait dengan lingkungan yg penuh ketidakpastian. Untuk itu sangat diharapkan pengetahuan tentang prinsip serta teknik dasar manajemen pada mempraktikkan, menyebutkan dan mengembangkannya. Areanya menjadi semakin kentara yaitu efektivitas serta efisiensi insan menjadi sentral. Apabila dibandingkan menggunakan efisiensi mesin maka efisiensi usaha gerombolan manusia masih sangat tertinggal. Hal tersebut disadari oleh banyak pakar manajemen di lapangan misalnya Henri Fayol, Barnard serta Alvin Brown bahwa diharapkan konsep manajemen yg jelas dan suatu kerangka teori serta prinsip yg berpautan.

Beberapa pandangan Koontz mengenai prinsip, teori serta konsep:
Prinsip adalah kebenaran mendasar, atau apa yang diyakini menjadi kebenran pada saat tertentu, yg memberitahuakn 2 atau lebih perpaduan variabel.

Teori adalah pengelompokan yang sistematis terhadap prinsip-prinsip yg saling berhubungan sehingga terbentuk kerangka.

Konsep adalah gambaran mental dari sesuatu yang dibuat dengan penggeneralisasian bagian-bagiannya.

Jika pengertian mengenai konsep, teori, prinsip serta teknik manajemen kurang difahami maka akan menyulitkan analisis pekerjaan manajerial serta training para manajer. Tanpa hal tadi training para manajer hanya bersifat coba-coba. Dalam kadar tertentu, hal tadi mungkin terjadi serta berlangsung hingga ilmu manajemen berkembang secara memadai. 

Pada masalah bisnis, pemerintahan serta perusahaan, susunan ilmu manajemen yang relatif kokoh sudah terwujud serta banyak membantu merealisasikan sifat manajemen serta menyederhanakan ke pada pendidikan dan pembinaan manajer. Bahkan timbul suatu pernyataan yang menarik terkait dengan pendekatan kontingensi yaitu bahwa teori dan ilmu manajemen nir pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” (Koontz et.al). Teori serta ilmu dimaksudkan buat mencari hubungan-interaksi mendasar, dasar-dasar teknik serta susunan pengetahuan yang tersedia yg semuanya seharusnya di dasarkan dalam konsep yg kentara. 

Dengan demikian diharapkan para praktisi manajemen mengerti serta menggunakan ilmu serta teori yg akan mendasari praktik pekerjaan mereka. 

Jika dikaitkan dengan pandangan Bahm tentang ciri krusial ilmu, maka manajemen sesungguhnya sudah memiliki kriteria tersebut. Pada domain manajemen dapat timbul banyak konflik ilmiah misalnya bagaimana interaksi antara penetapan tujuan dengan motivasi dalam suatu setting eksklusif. Untuk mengungkap hal tadi perlu perilaku ilmiah dan metoda ilmiah. 

Di mulai menurut sebuah keyakinan bahwa ilmu memperlihatkan kenyataan di atas, adalah keyakinan rasionalitas alam memberikan ilham bahwa banyak sekali interaksi bisa ditemukan antara dua rangkaian peristiwa atau lebih. Untuk menemukan secara sistematis dibutuhkan suatu metoda ilmiah. Metoda ilmiah meliputi metoda induktif yg dimulai menurut penemuan informasi (fact finding) serta menguji keakuratan warta sebagai akibatnya diperoleh proposisi yang bila terus menerus teruji seksama akan mengambangkan teori serta khasanah ilmu manajemen itu sendiri. Berikutnya adalah metoda deduktif yg menekankan pada pengujian teori atau proposisi pada ilmu manajemen. 

Selanjutnya ilmu manajemen akan terkait dengan aktivitasnya dan implikasi. Implikasi dalam pandangan Bahm dikaitkan menggunakan nilai-nilai bagi peradaban insan. Pada perspektif pada masa ini keberfihakan manajemen dalam nilai-nilai tadi (aksiologis) tampak pada kenyataan etika usaha serta manajemen yg semakin gencar dewasa ini. 

Pada bidang usaha muncul suatu konsep yg berfihak pada konsumen dan kesejahteraan manusia atau warga baik dalam jangka pendek juga jangka panjang termasuk di dalamnya problem lingkungan hidup atau acapkali dikenal menggunakan kata societal marketing concept dan green marketing. Kemudian pada pengelolaan manajemen asal daya insan timbul konsep long life employment yg berfihak dalam kesejahteraan karyawan jangka panjang. Dalam manajemen strategik dan persaingan timbul konsep co-opetition yang menekankan win-win solution kepada seluruh stakeholders (bahkan semua penghuni bumi ini). 

Dikaitkan dengan pandangan Bacharach (1989) yg mendukung pandangan (Dubin, 1969; Nagel, 1961; Cohen, 1980) menyatakan bahwa teori adalah pernyataan hubungan antara unit-unit yang diobservasi dalam dunia realitas. Teori memiliki 2 kriteria meliputi: (a) falsifikasi (b) utilitas. Selanjutnya kemampuan teori menaruh penerangan secara teruji dan tersusun dengan rangkaian teori yg terkait membangun suatu ilmu.

Dalam penelitian yang dilakukan di bidang manajemen, kedua kriteria teori tersebut poly dipakai terutama dalam penelitian yang dilakukan positivism, terutama pada bidang behavioral science menjadi bagian krusial pada studi ilmu-ilmu manajemen.

PENGEMBANGAN ILMU MANAJEMEN DI INDONESIA
Pada bahasan sebelumnya telah didiskusikan pentingnya filsafat ilmu dalam memberikan dasar dan arah bagi pengembangan ilmu. Di samping itu penulis juga sudah mencoba mendiskusikan secara mendasar tentang manajemen sebagai ilmu. Berdasarkan bahan diskusi pada atas maka kita akan dapat membuat sebuah setting pengembangan manajemen di Indonesia. 

Dari suatu pembahasan mengenai imbas budaya dalam perkembangan manajemen pada Indonesia yang dilakukan PPM Jakarta (1979) dijelaskan eksistensi tiga terminologi krusial yang berkaitan erat menggunakan upaya pengembangan manajemen Indonesia. Ketiganya mencakup istilah: manajer & pemimpin, organisasi serta budaya serta perilaku organisasional. 

Dengan menghubungkan dengan teori kontingensi maka sangat terbuka kesempatan bagi kita buat mengembangkan sebuah konsep manajemen Indonesia. Teori ini sesungguhnya berpusat dalam kombinasi taraf diferensiasi serta integrasi dalam organisasi menghadapi kebutuhan yang muncul berdasarkan lingkungan. Perubahan pada lingkungan akan beranjak cepat sehingga menuntut organisasi menciptakan level diferensiasi yang bisa selaras dengan perubahan lingkungan. Artinya dalam praktik organisasi tidak hanya bersandar pada gaya internal organisasi namun terkait erat menggunakan sistem nilai lingkungan budaya yang melingkupinya. 

Dalam kaitannya menggunakan kriteria keilmuan maka manajemen pada Indonesia jua harus memiliki unsur-unsur yang universal menggunakan membuka diri untuk mendapat serta berbagi unsur-unsur tersebut, meskipun demikian kita tetap wajib bersikap selektif. Pada sisi yang lain, proses operasional manajemen akan sangat ditentukan oleh nilai budaya, manusia, rakyat dan pengalaman sejarah suatu bangsa dan visi bangsa. 

Dalam setting Indonesia, secara normatif kita memiliki Pancasila sebagai nilai-nilai budaya serta cita-cita yang merefleksikan keberagaman nilai-nilai budaya dan bukan keseragaman. Sehingga pendekatan kontingensi akan berperan pada menyebutkan bahwa teori dan ilmu manajemen nir pernah menganjurkan “satu cara terbaik”. Keefektifan manajemen selalu bersifat kontingensi, pada hal ini terkait menggunakan tatanan nilai luhur yang berkembang pada sana. Di samping itu dengan pendekatan sistem, praktisi, manajer serta para ilmuwan wajib mempertimbangkan sejumlah besar variabel yg berpengaruh serta berinteraksi dalam pekerjaan manajerial.

Penulis beropini masih ada beberapa hal yang bisa kita gali berdasarkan nilai budaya bangsa yang terefleksikan dalam semangat Pancasila seperti:
  • Nilai-nilai spiritual keagamaan dan etika yg sebagai orientasi, filosofi serta tujuan kita dalam aktivitas manajerial. 
  • Mengembangkan rasa humanisme dalam aktifitas manajemen serta usaha. 
  • Mengembangkan semangat kolektif pada pencapaian tujuan menggunakan kesadaran bahwa diversitas menjadi kekuatan. 
  • Semangat buat berorietasi pada kesejahteraan organisasi dan rakyat menggunakan prinsip win-win solution. 
  • Mengembangkan nilai keadilan pada segenap stakeholders. 

PENDIDIKAN SEBAGAI METODA PENGEMBANGAN ILMU DI INDONESIA
Bagaimana pendidikan manajemen di Indonesia dalam satu sisi menghadapi perubahan bisnis yang dahsyat dan dalam sisi yg lain mengembangkan manajemen Indonesia? Jawabannya justru pendekatan yang pengembangan manajemen Indonesia akan menjawab secara komprehensif serta mendasar. Ada beberapa info penting terkait menggunakan pendidikan manajemen, yaitu: relevansi kurikulum, pengembangan metoda pedagogi, rekonsiliasi riset dan praktik manajemen serta kemitraan dengan global usaha (Handoko, 2002).

Pada sisi lain secara makro dan lebih mendasar lagi adalah political will pemerintah terhadap pendidikan dan kebudayaan. Secara operasional tercermin melalui alokasi RAPBN bagi pendidikan dan kebudayaan serta implementasi aturan terhadap pendidikan yang illegal ataupun yg nir bertanggung jawab terhadap konsumen dan rakyat.