SISTEM INFORMASI STRATEGIK

Sistem Informasi Strategik
Selama berabad-abad organisasi telah mengelola knowledge dan teknologi. Terutama dalam masa revolusi industri, terlihat jelas organisasi usaha mengalami pertumbuhan pesat dampak adopsi teknologi terbaru pada ketika itu. Di abad ini, selama lebih menurut 3 dasa warsa, sejak organisasi bisnis menggunakan personal komputer buat kebutuhan pemrosesan data, penggunaan teknologi liputan (TI) dalam organisasi usaha terus mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal ini didukung menggunakan timbulnya pemahaman generik bahwa penggunaan TI dalam organisasi akan mengurangi aneka macam porto akibat adanya efisiensi dan bahwa keberadaan TI akan menciptakan organisasi yg memilikinya akan mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing.

Sejak saat itu, organisasi bisnis terus melakukan investasi akbar-besaran dalam perangkat TI. Dari tahun 1996 hingga 2000 saja, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat membelanjakan hampir dua trilyun dolar pada hardware dan aplikasi untuk mengejar peningkatan efisiensi, produktifitas yang lebih tinggi dan penguatan laba. (Stiroh, 2001) Besarnya investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut tentunya diikuti jua menggunakan besarnya ekspektasi akan output yang bisa diperoleh atas investasi tersebut. Investasi yang besar , diharapkan akan membawa peningkatan yang besar terhadap kinerja atau produktifitas bagi organisasi usaha tersebut. 

Namun demikian, belakangan disadari bahwa organisasi usaha yg merupakan top performer pada Amerika Serikat merupakan organisasi bisnis yg tergolong hemat dalam melakukan belanja perangkat TI. Studi yg dilakukan sang Forrester Research pada Maholtra (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan performa terbaik yang diukur dengan pendapatan, Return on Assets (ROA) serta pertumbuhan cash flow memiliki belanja TI yg lebih rendah berdasarkan homogen-homogen perusahaan lain. Penelitian Collins pada Maholtra (2005) dalam perusahaan Amerika Serikat menggunakan performa terbaik selama 30 tahun membuat temuan yg serupa. Temuan tadi menjadi bertolak belakang menggunakan sejumlah penelitian, misalnya yg dilakukan oleh Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1991), Brynjolfsson dan Hitt (1994), ataupun Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)yang membuktikan adanya interaksi positif antara investasi perusahaan pada TI dengan kinerja. Tetapi tidak bertolak belakang menggunakan sejumlah penelitian lainnya yg gagal pertanda adanya hubungan antara TI menggunakan kinerja atau produktifitas Hal ini menyisakan pertanyaan apakah teknologi liputan benar-benar dapat menaruh manfaat bagi kinerja perusahaan? 

Sejumlah studi realitas tentang pengaruh TI bagi organisasi bisnis itu sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan sejak pertengahan era 1980’an. Penelitian tentang imbas TI pada organisasi bisnis berakar pada topik penelitian mengenai information technology investment and firm performance yg selama bertahun-tahun telah sebagai perdebatan tentang apakah investasi pada TI memiliki dampak yg positif menggunakan berukuran-ukuran kinerja ataupun produktifitas. Penelitian yg dilakukan semenjak 2 dekade lalu membuat temuan yg mixed mengenai manfaat TI tersebut. Ketika TI diyakini memberi manfaat bagi organisasi bisnis yang memilikinya, sejumlah penelitian justru membuat temuan berupa ketiadaan hubungan antara investasi perusahaan pada TI menggunakan peningkatan produktifitas, suatu situasi yg dianggap sebagai productivity lawan asas (Dedrick, Gurbaxani & Kraemer, 2002) Penelitian yg dilakukan tadi, secara garis besar bisa dibagi menjadi dua, yaitu studi yang dilakukan dalam level perusahaan dan studi yang dilakukan dalam level negara. Hasil berdasarkan sejumlah penelitian tersebut bisa ditinjau pada tabel berikut, yg menunjukkan bahwa investasi perusahaan bagi TI tidaklah selalu diikuti menggunakan peningkatan kinerja/produktifitas

Tabel Studi Empiris tentang Dampak TI terhadap Kinerja/Produktifitas (Studi dalam perusahaan sektor jasa hingga Manufaktur)
Peneliti


Sumber Data

Temuan

Strassmann [1985]
Strassmann [1990]

Computerworld,
survei terhadap 38 perusahaan
Tidak ada hubungan antara  investasi pada  TI menggunakan berukuran-berukuran kinerja, semisal ROI
Bender [1986]
LOMA insurance data
Dari 132 perusahaan
Korelasi lemah antara TI dengan berbagai rasio kinerja
Franke [1987]
Data industri keuangan
Investasi dalam TI berhubungan dengan penurunan tajam pada capital productivity serta nir terdapat imbas dalam labor productivity
Dudley & Lasserre [1989]

TI serta komunikasi mengurangi biaya yang berkaitan menggunakan inventory
Parsons, Gottlieb dan
Denny  [1990]
perbankan
Dampak yang rendah berdasarkan teknologi informasi terhadap produktifitas
Alpar & Kim [1991]
perbankan
TI mengakibatkan pengurangan biaya . 10 %. Peningkatan pada investasi TI membawa efek dalam 1.9% penurunan total cost.
Harris & Katz [19 91]
40 perusahaan  anggota LOMA
Hubungan positif yang lemah antara TI dengan berbagai rasio kinerja
Barua, Kriebel &
Mukhopadhyay [1991]
manufaktur
Investasi pada TI herbi  sejumlah intermediate performance measure yang lalu herbi berukuran-berukuran kinerja yg lebih tinggi misalnya revenue, ROA & market share

Mahmood & Mann (1993)

Computerworld  data dalam 100 perusahaan
Investasi dalam TI mempunyai hubungan yg lemah dengan pencapaian  strategi organisasi serta kinerja secara ekonomi. Tetapi memiliki hubungan yg signifikan apabila diuji dengan canonical analysis yg bisa mengukur efek kombinasi dari variabel-variabel investasi TI
Diewert & Smith [1994]
Perusahaan ritel Kanada
Peningkatan produktifitas melalui pengelolaan inventory yg lebih baik dengan TI
Brynjolfsson & Hitt [1994]
IDG, Compustat, Bureau of Economics Analysis (BEA)
TI membawa impak pada peningkatan produktifitas dan membentuk value bagi customer
Loveman [1994]
 PIMS/MPIT
Invetasi pada TI tidak membawa efek apapun terhadap output
Kwon & Stoneman [1995]
UK Based survey
TI mempunyai pengaruh positif  terhadap hasil dan produktifitas.
Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)
Perusahaan yang tercantum dalam Fortune 500 serta  Fortune Service 500
Investasi pada TI memiliki hubungan positif menggunakan sejumlah berukuran kinerja, seperti penjualan, asset & ekuitas
Sumber: Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1995), Brynjolfsson &Yang (1996), Mahmood & Mann (2000),Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001) 

Pada studi level negara, pada Amerika Serikat, Oliner & Sichel (1994, 2000) menemukan bahwa penggunaan teknologi warta misalnya computer hardware, aplikasi serta perangkat komunikasi berkontribusi terhadap pesatnya pertumbuhan produktifitas pada era pertengahan tahun 90’an. Tetapi demikian, Gordon (2000) dalam Simon & Wardop (2002) mengemukakan bahwa teknologi liputan pada Alaihi Salam tidak membawa efek yg luas terhadap pertumbuhan output, sebagaimana yg ditimbulkan oleh gelombang inovasi akbar pada abad lalu misalnya ditemukannya listrik dan mesin menggunakan pembakaran internal. Di Australia sendiri, penelitian oleh Simon& Wardop (2002) memperlihatkan Australia mengalami peningkatan pertumbuhan output yg signifikan sehubungan menggunakan penggunaan teknologi berita dalam organisasi. Lebih jauh lagi Jorgenson (2004) mencoba buat melihat dampak TI pada pertumbuhan ekonomi negara-negara G7. Ia menyatakan bahwa semenjak 1995, masih ada investasi yang akbar terhadap perangkat TI pada negara-negara G7 dimana hal ini membawa donasi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. 

Penjelasan mengenai productivity lawan asas pernah dilakukan sang Brynjolfsson &Yang (1996) yang mengemukakan bahwa masih ada 4 aspek buat mengungkapkan terjadinya productivity paradoks Keempatnya adalah : (1) Kesalahan pengukuran. Terjadi dalam kemungkinan terjadinya kesalahan pengukuran input serta Output akibat masih digunakannya pendekatan tradisional pada pengukurannya.(dua) Adanya waktu tunda atau lags. Waktu tunda disini timbul dari disparitas ketika menurut analisa tentang payoff berdasarkan porto versus manfaat. (tiga) Redistribution: TI dipakai dalam aktifitas redistribusi antar perusahaan. Hal ini membuahkan TI berguna, namun manfaat ini tidak bisa diukur pada total output. (4). Mismanagement, kesalahan dalam pengelolaan TI bisa menciptakan TI terlihat nir produktif bila diukur secara statistik. Lebih lanjut, Ahadiat (2006) mencoba menyebutkan tentang hal tersebut dengan mengutip Bakos (1998) bahwa Investasi pada TI sendiri merupakan investasi pada sesuatu yang gampang menjadi usang (obsolete) sebagai akibatnya terdapat kesulitan buat menampakkan manfaatnya dalam skala pengukuran kinerja atau produktifitas yang sudah umum dipakai. 

INTANGIBLE BENEFIT DARI TEKNOLOGI INFORMASI 
Perkembangan terkini dari studi empiris mengenai pengaruh TI, waktu ini nir hanya mencoba buat mengkaitkan investasi TI menggunakan tangible benefit, namun pula intangible benefit. Hal ini terutama terus mengemuka sejalan menggunakan makin maraknya implementasi Knowledge Management (KM) pada sejumlah organisasi usaha. KM merupakan upaya organisasi dalam mengelola aktiva intelektual yg dimilikinya melalui praktek-praktek pendokumentasian dan sharing pengetahuan diantara anggota organisasi. Untuk melakukan pendokumentasian dan sharing pengetahuan ini diharapkan TI buat mewujudkannya, yaitu dalam bentuk pengembangan intranet, extranet dan perangkat pendukung lainnya berupa hardware, software dan telekomunikasi yang dikenal sebagai KM technology. Meski praktek KM diyakini bisa menaikkan intangible asset bagi organisasi, namun Maholtra (2005) mencoba menyoroti penggunaan kata knowledge management technology berdasarkan sisi lain, yaitu hanyalah sebagai perkembangan terbaru atau re-labelling yg dilakukan oleh para vendor TI selesainya selama dua dekade terakhir istilah teknologi warta telah poly dipakai. 

Pasar KM technology sendiri merupakan pasar yg menarik bagi para vendor TI. Pasar global KM diestimasikan sebesar US$8.8 billion selama tahun 2005. Sedangkan pelaksanaan usaha yang digunakan buat menunjang KM, misalnya CRM diproyeksikan buat bertumbuh sebanyak $148 billion dalam tahun 2006 (Maholtra, 2005) KM sendiri telah dimanfaatkan sang vendor TI buat memasarkan produk-produknya. Sehngga terlepas berdasarkan sisi positif implementasi KM bagi organisasi namun wajib disadari bahwa vendor TI pun membutuhkan slogan baru buat memasarkan produk berupa perangkat yang dimilikinya melalui popularitas KM. Hal ini tentu jua melahirkan pertanyaan lanjutan, yaitu apakah KM technology berguna bagi organisasi? 

Bila di dua dekade lalu, waktu kata productivity paradoks mulai mengemuka, terdapat sebuah quote yg sangat populer yaitu: “You can see the computer everywhere but in the productivity statistics” (Robert Solow) maka kini Maholtra melanjutkannya dengan “One can see the impact of knowledge management everywhere but in the KM technology-performance statistics ’’ 

Bila ditinjau berdasarkan sisi definisi, Knowledge management sendiri mempunyai sejumlah definisi yg mengadung penekanan yang tidak selaras. Definisi tadi diantaranya:

‘‘Knowledge management systems (KMS) refer to a class of information systems applied to managing organizational knowledge. That is, they are IT-based systems developed to support and enhance the organizational processes of knowledge creation, storage/retrieval, transfer, and application’’ (Alavi dan Leidner, 2001) 

Definisi yg berikutnya adalah:
‘‘Knowledge Management refers to the critical issues of organizational adaptation, survival and competence against discontinuous environmental change. Essentially it embodies organizational processes that seek synergistic combination of data and information-processing capacity of information technologies, and the creative and innovative capacity of human beings’’ (Malhotra,2005)

Bila ditinjau, dalam kedua definisi tersebut terdapat perbedaan yg esensial. Jika definisi yang pertama lebih poly menekankan pada ketersediaan sistem berbasis TI buat mengelola knowledge, definisi yang ke 2 lebih menekankan dalam proses lanjutan yaitu daya kreatif dan inovasi manusia pada memakai data serta warta.

Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa tersedianya intranets, extranets, hingga groupware tidak dan merta bisa menghantarkan dalam kinerja perusahaan yang lebih baik. Teknologi ini, perlu diadopsi dan disesuaikan dengan manusia sebagai user, diintegrasikan sinkron dengan konteks pekerjaan dan secara efektif dipakai oleh organisai.

Sehingga sama halnya menggunakan pertanyaan pertama, yaitu apakah apakah teknologi liputan sungguh dapat memberikan manfaat bagi kinerja organisasi? Pertanyaan ke 2, yaitu apakah KM technology berguna bagi organisasi? Membutuhkan kajian lebih lanjut untuk menjawabnya. Namun satu hal yang sudah pasti bahwa investasi perusahaan dalam perangkat TI atau yg sekarang juga diberi nama perangkat KM technology nir akan serta merta memberikan manfaat yg terukur bagi organisasi yg memilikinya. Dibutuhkan sejumlah penataan selanjutnya untuk membuat teknologi tersebut sebagai berdampak positif bagi organisasi bisnis.

MEREALISASIKAN DAMPAK POSTIF TI; PEOPLE, PROSES & BUSINESS MODEL.
Dengan mengamati praktek-praktek yg telah dilakukan oleh organisasi usaha yg berhasil pada memanfaatkan TI, maka buat bisa merealisasikan pengaruh positif TI bagi organisasi bisnis tersebut, paling nir bisa dilakukan melalui tiga hal yaitu: people, proses & business contoh.

Dalam kaitannya dengan people, peranan dari TI sudah tidak selaras menggunakan peranan mesin pada era industri yg digunakan buat menggantikan tenaga manusia. Meski penggunaan yang mula-mula menurut komputer adalah diarahkan pada factor substitution, yaitu menggantikan low skill clerical worker melalui otomatisasi proses kerja. Dalam organisasi modern, TI tidak semata-mata menggantikan kekuatan otot ataupun kepandaian insan. Dari hasil analisa makroekonomi multi tahun dari ratusan perusahaan, Strassmann pada Malhotra (2005) menegaskan bahwa bukanlah komputer yang penting, tetapi apa yg dilakukan insan dengan personal komputer tadi adalah yg terpenting. Sebagaimana bukanlah sebuah palu yg dapat mendirikan sebuah rumah yg baik, tetapi tergantung dalam ditangan siapakah palu itu dipegang, sebagai akibatnya dapat membuat sebuah rumah yang baik. Dari sini semakin jelas terlihat bahwa manfaat yg dihasilkan sang teknologi, tidaklah semata dari berdasarkan teknologi itu sendiri, namun dari apa yang dilakukan oleh insan menggunakan teknologi tadi. 

Terkait menggunakan proses, manfaat yg dihasilkan sang organisasi bisnis berdasarkan TI terletak pada bagaimana organisasi tersebut menggunakannya nir sekedar buat otomatisasi, tetapi pula untuk mentransformasi proses bisnis, hingga mengubah atau membangun contoh bisnis yang sesuai manakala aktifitas kerja dan aneka macam proses bisnis sudah didukung TI. Hammer & Champy dalam Hartono (2005) mengidentifikasi kegagalan investasi TI buat memberikan impak terhadap peningkatan kinerja keuangan perusahaan lantaran implementasi TI dianggap sekedar mengotomatisasi aktivitas tradisionil yang ada. Menurut Hammer, buat memberikan manfaat investasi TI wajib dipakai buat mengubah secara revolusioner proses bisnis yg ada dalam organisasi. Pendekatan ini diklaim sebagai Business Process reengineering (BPR), dimana BPR ini bersifat mendasar, radikal, dramatis dan berorientasi dalam proses.

Bila ditinjau berdasarkan perkembangan ilmu manajemen, efek luar biasa menurut inovasi teknologi misalnya listrik dan mesin-mesin pada abad industri terhadap kemajuan industri tidaklah melulu ditimbulkan karena organisasi mempunyai mesin-mesin tadi. Organisasi bisnis dalam masa itu juga melakukan perubahan proses kerja buat bisa mewujudkan keunggulannya, misalnya melalui diterapkannya division of labor. Sehingga nir heran di abad berita keilmuan manajemen memperkenalkan kata teamwork, interconnection, serta shared information menjadi suatu penemuan menurut ilmu manajemen buat mengadopsi teknologi pada proses kerja. (Senn, 2004 ).

Carr pada artikel kontroversialnya IT Doesn’t Matter yg dipublikasikan melalui Harvard Business Review (2003) menyoroti kemampuan TI untuk mendeliver keunggulan kompetitif yg semakin memudar. Beberapa dasawarsa kemudian bank yg menerapkan online banking bisa mempunyai keunggulan kompetitif serta merebut hati nasabah. Tetapi saat ini teknologi ini sudah dimiliki seluruh bank. Demikian pula menggunakan Reuters yang mempunyai sistem TI yang tidak dapat disaingi pada dasawarsa kemudian, tetapi sekarang bahkan surat kabar lokal sekalipun juga bisa memiliki jaringan yang terkenal diseluruh dunia melalui teknologi internet.

Carr (2003) juga menyoroti kesamaan organisasi usaha dalam masa sekarang yang terlalu mengandalkan vendor aplikasi ataupun perangkat keras sampai konsultan TI agar organisasi bisnis bisa tetap up to date dengan perkembangan TI, dibandingkan dengan berupaya buat melakukan penemuan sendiri. Ketergantungan ini menyebabkan setiap organisasi bisnis cenderung mempunyai sistem dan teknologi yg seragam, sebagai akibatnya selama nir dilakukan inovasi maka nir akan terdapat nilai lebih yang bisa ditampilkan sang suatu organiasi usaha jika dibandingkan dengan pesaingnya. Kondisi ini juga didukung menggunakan praktek organisasi bisnis selama ini dimana berdasarkan total pembelanjaannya dalam TI, persentase terbesar adalah buat pengadaan komoditas berupa berbagai perangkat serta hanya sedikit yg mengalokasikan dana buat upaya menemukan inovasi atau melakukan proses kreatif dari aneka macam perangkat tersebut.

Satu hal lain yang perlu ditinjau adalah pilihan akan contoh bisnis. Perkembangan teknologi telah memungkinkan organisasi untuk membangun new business model yang baru pada hal penawaran barang serta jasa ataupun baru dalam hal cara mendelivernya ke konsumen (Hartono, 2005) Dalam kaitannya dengan contoh bisnis, peritel Wal Mart telah muncul menjadi sebuah organisasi bisnis yang akbar lantaran berhasil memanfaatkan TI secara maksimal buat menjalankan model usaha yang dipilihnya. Wal-Mart juga terus mencari cara buat meningkatkan efisiensi pada TI melalui pengelolaan rantai pasokan secara elektronis. Wal Mart mengarahkan seluruh pemasoknya untuk memakai sistem pengadaan barang secara elektronis yg sesuai menggunakan miliknya, sehingga mau tak mau supplier yang ingin terus berhubungan dengan WalMart harus mengadopsi sistem tadi. (Maholtra, 2005) Lebih jauh mengenai model usaha, Amazon, Google serta e-bay merupakan tiga nama akbar pada dunia e-commerce yg menjalankan bisnisnya murni secara impian atau hanya ada didunia maya. Siapapun sebenarnya bisa memulai usaha di internet, sebuah infrastruktur terbuka yg bisa dipakai sang siapa saja dan sudah lazim diadopsi sang organisasi bisnis lainnya. Tetapi menggunakan kreatifitas para pendirinya, ketiganya menentukan suatu model usaha yang bisa diterima sang pengguna internet di seluruh dunia. Amazon, pioner pada usaha ritel yg terus melengkapi diri menggunakan fitur-fitur baru dan kemudahan yang membuat pelanggan enggan berpaling. E-bay pada bidang pelelangan yg membuat segala hal jadi mungkin buat dilelang dan seluruh orang di seluruh dunia dapat menjadi peserta lelang asalkan memiliki akses ke internet. Serta Google sebagai angka satu pada search engine yang menggunakan perangkat TI sederhana secara aporisma yaitu dengan menciptakan prosedur pemecahan pemrograman yang memungkinkan user men-search ‘apapun’ secara lebih cepat dan teliti dibanding berdasarkan search engine manapun termasuk Yahoo. Masih banyak model lain, misalkan Encyclopedia Britannica yg pada abad keterangan ini jua wajib merubah model bisnisnya pada menjajakan keterangan akibat adanya internet dan munculnya Wikipedia, suatu free ensiklopedia di internet yg mempunyai lebih menurut 1,8 juta artikel dan dikerjakan sang para sukarelawan berdasarkan semua dunia (Hammel, 2006)

Akhirnya, buat dapat mengukur dampak TI dalam organisasi, Luftman (2004) memaparkan sejumlah aspek yg bisa diukur selain aspek keuangan buat mengukur impak positif TI menggunakan lebih naratif. Luftman menegaskan bahwa aspek-aspek yang bisa diukur buat menilai manfaat bisa mencakup pengaruh terhadap bisnis, interaksi pelanggan, impak pada internal organisasi hingga value chain. Dicontohan juga, misalkan TI digunakan buat memperbaiki order management, maka pengukuran dapat dilakukan dalam short order lead times, In-stock availability, order accuracy, access to order status information sampai response time to customer inquiries, sebagai akibatnya lebih jelasnya berdasarkan efek positif tersebut bisa lebih terlihat.

SISTEM INFORMASI STRATEGIK

Sistem Informasi Strategik
Selama berabad-abad organisasi telah mengelola knowledge serta teknologi. Terutama dalam masa revolusi industri, terlihat jelas organisasi bisnis mengalami pertumbuhan pesat akibat adopsi teknologi terbaru pada waktu itu. Di abad ini, selama lebih berdasarkan 3 dekade, sejak organisasi usaha menggunakan personal komputer buat kebutuhan pemrosesan data, penggunaan teknologi warta (TI) dalam organisasi usaha terus mengalami pertumbuhan yang pesat. Hal ini didukung menggunakan timbulnya pemahaman umum bahwa penggunaan TI dalam organisasi akan mengurangi berbagai porto dampak adanya efisiensi dan bahwa eksistensi TI akan membuat organisasi yang memilikinya akan memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan pesaing.

Sejak waktu itu, organisasi usaha terus melakukan investasi akbar-besaran pada perangkat TI. Dari tahun 1996 sampai 2000 saja, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat membelanjakan hampir 2 trilyun dolar dalam hardware serta software buat mengejar peningkatan efisiensi, produktifitas yang lebih tinggi dan penguatan keuntungan. (Stiroh, 2001) Besarnya investasi yang dikeluarkan sang perusahaan-perusahaan tersebut tentunya diikuti pula dengan besarnya ekspektasi akan output yg bisa diperoleh atas investasi tadi. Investasi yang akbar, diperlukan akan membawa peningkatan yang akbar terhadap kinerja atau produktifitas bagi organisasi bisnis tadi. 

Namun demikian, belakangan disadari bahwa organisasi bisnis yang merupakan top performer di Amerika Serikat merupakan organisasi usaha yang tergolong irit pada melakukan belanja perangkat TI. Studi yg dilakukan oleh Forrester Research pada Maholtra (2005) menemukan bahwa perusahaan dengan performa terbaik yg diukur dengan pendapatan, Return on Assets (ROA) dan pertumbuhan cash flow memiliki belanja TI yg lebih rendah menurut homogen-homogen perusahaan lain. Penelitian Collins dalam Maholtra (2005) pada perusahaan Amerika Serikat dengan performa terbaik selama 30 tahun membuat temuan yang serupa. Temuan tadi menjadi bertolak belakang dengan sejumlah penelitian, seperti yang dilakukan oleh Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1991), Brynjolfsson serta Hitt (1994), ataupun Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)yang mengambarkan adanya interaksi positif antara investasi perusahaan dalam TI menggunakan kinerja. Tetapi tidak bertolak belakang dengan sejumlah penelitian lainnya yg gagal pertanda adanya interaksi antara TI dengan kinerja atau produktifitas Hal ini menyisakan pertanyaan apakah teknologi liputan benar-benar bisa menaruh manfaat bagi kinerja perusahaan? 

Sejumlah studi realitas tentang dampak TI bagi organisasi bisnis itu sendiri sebenarnya sudah banyak dilakukan sejak pertengahan era 1980’an. Penelitian mengenai imbas TI pada organisasi usaha berakar dalam topik penelitian mengenai information technology investment and firm performance yg selama bertahun-tahun sudah menjadi perdebatan tentang apakah investasi dalam TI memiliki impak yang positif menggunakan ukuran-berukuran kinerja ataupun produktifitas. Penelitian yg dilakukan sejak 2 dekade kemudian membuat temuan yg mixed tentang manfaat TI tersebut. Ketika TI diyakini memberi manfaat bagi organisasi bisnis yang memilikinya, sejumlah penelitian justru membentuk temuan berupa ketiadaan hubungan antara investasi perusahaan dalam TI menggunakan peningkatan produktifitas, suatu situasi yg disebut sebagai productivity paradoks (Dedrick, Gurbaxani & Kraemer, 2002) Penelitian yang dilakukan tersebut, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu studi yg dilakukan pada level perusahaan serta studi yang dilakukan dalam level negara. Hasil dari sejumlah penelitian tadi bisa dipandang pada tabel berikut, yang menerangkan bahwa investasi perusahaan bagi TI tidaklah selalu diikuti dengan peningkatan kinerja/produktifitas

Tabel Studi Empiris tentang Dampak TI terhadap Kinerja/Produktifitas (Studi dalam perusahaan sektor jasa hingga Manufaktur)
Peneliti


Sumber Data

Temuan

Strassmann [1985]
Strassmann [1990]

Computerworld,
survei terhadap 38 perusahaan
Tidak terdapat korelasi antara  investasi dalam  TI dengan berukuran-ukuran kinerja, semisal ROI
Bender [1986]
LOMA insurance data
Dari 132 perusahaan
Korelasi lemah antara TI dengan berbagai rasio kinerja
Franke [1987]
Data industri keuangan
Investasi pada TI berhubungan dengan penurunan tajam pada capital productivity serta tidak ada dampak dalam labor productivity
Dudley & Lasserre [1989]

TI serta komunikasi mengurangi biaya yg berkaitan menggunakan inventory
Parsons, Gottlieb dan
Denny  [1990]
perbankan
Dampak yg rendah berdasarkan teknologi warta terhadap produktifitas
Alpar & Kim [1991]
perbankan
TI menyebabkan pengurangan porto. 10 %. Peningkatan pada investasi TI membawa pengaruh dalam 1.9% penurunan total cost.
Harris & Katz [19 91]
40 perusahaan  anggota LOMA
Hubungan positif yg lemah antara TI dengan aneka macam rasio kinerja
Barua, Kriebel &
Mukhopadhyay [1991]
manufaktur
Investasi dalam TI herbi  sejumlah intermediate performance measure yang kemudian herbi ukuran-berukuran kinerja yang lebih tinggi seperti revenue, ROA & market share

Mahmood & Mann (1993)

Computerworld  data pada 100 perusahaan
Investasi pada TI mempunyai hubungan yg lemah dengan pencapaian  strategi organisasi serta kinerja secara ekonomi. Namun mempunyai hubungan yang signifikan jika diuji dengan canonical analysis yg dapat mengukur pengaruh kombinasi menurut variabel-variabel investasi TI
Diewert & Smith [1994]
Perusahaan ritel Kanada
Peningkatan produktifitas melalui pengelolaan inventory yang lebih baik menggunakan TI
Brynjolfsson & Hitt [1994]
IDG, Compustat, Bureau of Economics Analysis (BEA)
TI membawa pengaruh pada peningkatan produktifitas dan membangun value bagi customer
Loveman [1994]
 PIMS/MPIT
Invetasi pada TI tidak membawa dampak apapun terhadap output
Kwon & Stoneman [1995]
UK Based survey
TI mempunyai impak positif  terhadap hasil serta produktifitas.
Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001)
Perusahaan yang tercantum dalam Fortune 500 serta  Fortune Service 500
Investasi pada TI mempunyai interaksi positif dengan sejumlah ukuran kinerja, seperti penjualan, asset & ekuitas
Sumber: Barua, Kriebel & Mukhopadhyay (1995), Brynjolfsson &Yang (1996), Mahmood & Mann (2000),Sircar, Turnbow & Bordoloi (2001) 

Pada studi level negara, di Amerika Serikat, Oliner & Sichel (1994, 2000) menemukan bahwa penggunaan teknologi berita misalnya computer hardware, aplikasi serta perangkat komunikasi berkontribusi terhadap pesatnya pertumbuhan produktifitas dalam era pertengahan tahun 90’an. Tetapi demikian, Gordon (2000) dalam Simon & Wardop (2002) mengemukakan bahwa teknologi berita di AS nir membawa dampak yg luas terhadap pertumbuhan output, sebagaimana yang disebabkan oleh gelombang inovasi besar dalam abad lalu misalnya ditemukannya listrik dan mesin dengan pembakaran internal. Di Australia sendiri, penelitian oleh Simon& Wardop (2002) menunjukkan Australia mengalami peningkatan pertumbuhan output yang signifikan sehubungan menggunakan penggunaan teknologi fakta pada organisasi. Lebih jauh lagi Jorgenson (2004) mencoba buat melihat pengaruh TI pada pertumbuhan ekonomi negara-negara G7. Ia menyatakan bahwa sejak 1995, masih ada investasi yg akbar terhadap perangkat TI pada negara-negara G7 dimana hal ini membawa kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. 

Penjelasan mengenai productivity lawan asas pernah dilakukan sang Brynjolfsson &Yang (1996) yg mengemukakan bahwa masih ada 4 aspek buat mengungkapkan terjadinya productivity lawan asas Keempatnya merupakan : (1) Kesalahan pengukuran. Terjadi pada kemungkinan terjadinya kesalahan pengukuran input serta Output akibat masih digunakannya pendekatan tradisional dalam pengukurannya.(2) Adanya waktu tunda atau lags. Waktu tunda disini muncul berdasarkan perbedaan ketika dari analisa mengenai payoff menurut porto versus manfaat. (3) Redistribution: TI dipakai dalam aktifitas redistribusi antar perusahaan. Hal ini menjadikan TI bermanfaat, namun manfaat ini nir bisa diukur dalam total hasil. (4). Mismanagement, kesalahan pada pengelolaan TI bisa menciptakan TI terlihat tidak produktif jika diukur secara statistik. Lebih lanjut, Ahadiat (2006) mencoba mengungkapkan tentang hal tadi menggunakan mengutip Bakos (1998) bahwa Investasi pada TI sendiri adalah investasi pada sesuatu yg gampang sebagai lama (obsolete) sehingga terdapat kesulitan untuk menampakkan keuntungannya pada skala pengukuran kinerja atau produktifitas yang sudah umum digunakan. 

INTANGIBLE BENEFIT DARI TEKNOLOGI INFORMASI 
Perkembangan modern dari studi realitas tentang impak TI, saat ini tidak hanya mencoba buat mengkaitkan investasi TI dengan tangible benefit, tetapi jua intangible benefit. Hal ini terutama terus mengemuka sejalan menggunakan makin maraknya implementasi Knowledge Management (KM) pada sejumlah organisasi usaha. KM merupakan upaya organisasi pada mengelola aktiva intelektual yang dimilikinya melalui praktek-praktek pendokumentasian serta sharing pengetahuan diantara anggota organisasi. Untuk melakukan pendokumentasian serta sharing pengetahuan ini dibutuhkan TI buat mewujudkannya, yaitu dalam bentuk pengembangan intranet, extranet serta perangkat pendukung lainnya berupa hardware, perangkat lunak serta telekomunikasi yang dikenal sebagai KM technology. Meski praktek KM diyakini bisa menaikkan intangible asset bagi organisasi, tetapi Maholtra (2005) mencoba menyoroti penggunaan kata knowledge management technology berdasarkan sisi lain, yaitu hanyalah menjadi perkembangan terkini atau re-labelling yang dilakukan sang para vendor TI selesainya selama dua dekade terakhir istilah teknologi warta sudah banyak digunakan. 

Pasar KM technology sendiri merupakan pasar yg menarik bagi para vendor TI. Pasar dunia KM diestimasikan sebanyak US$8.8 billion selama tahun 2005. Sedangkan pelaksanaan usaha yang digunakan untuk menunjang KM, misalnya CRM diproyeksikan buat bertumbuh sebanyak $148 billion dalam tahun 2006 (Maholtra, 2005) KM sendiri telah dimanfaatkan sang vendor TI buat memasarkan produk-produknya. Sehngga terlepas berdasarkan sisi positif implementasi KM bagi organisasi tetapi harus disadari bahwa vendor TI pun membutuhkan jargon baru buat memasarkan produk berupa perangkat yang dimilikinya melalui popularitas KM. Hal ini tentu jua melahirkan pertanyaan lanjutan, yaitu apakah KM technology berguna bagi organisasi? 

Bila di dua dasa warsa kemudian, waktu istilah productivity lawan asas mulai mengemuka, masih ada sebuah quote yg sangat populer yaitu: “You can see the computer everywhere but in the productivity statistics” (Robert Solow) maka kini Maholtra melanjutkannya menggunakan “One can see the impact of knowledge management everywhere but in the KM technology-performance statistics ’’ 

Bila ditinjau berdasarkan sisi definisi, Knowledge management sendiri mempunyai sejumlah definisi yg mengadung penekanan yang tidak sinkron. Definisi tadi diantaranya:

‘‘Knowledge management systems (KMS) refer to a group of information systems applied to managing organizational knowledge. That is, they are IT-based systems developed to support and enhance the organizational processes of knowledge creation, storage/retrieval, transfer, and application’’ (Alavi serta Leidner, 2001) 

Definisi yang berikutnya merupakan:
‘‘Knowledge Management refers to the critical issues of organizational adaptation, survival and competence against discontinuous environmental change. Essentially it embodies organizational processes that seek synergistic combination of data and information-processing capacity of information technologies, and the creative and innovative capacity of human beings’’ (Malhotra,2005)

Bila dicermati, pada kedua definisi tadi terdapat perbedaan yg esensial. Bila definisi yg pertama lebih poly menekankan dalam ketersediaan sistem berbasis TI buat mengelola knowledge, definisi yang kedua lebih menekankan dalam proses lanjutan yaitu daya kreatif dan penemuan manusia pada menggunakan data serta informasi.

Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa tersedianya intranets, extranets, hingga groupware tidak dan merta dapat menghantarkan pada kinerja perusahaan yang lebih baik. Teknologi ini, perlu diadopsi serta disesuaikan dengan insan menjadi user, diintegrasikan sesuai dengan konteks pekerjaan serta secara efektif digunakan sang organisai.

Sehingga sama halnya dengan pertanyaan pertama, yaitu apakah apakah teknologi liputan benar-benar bisa memberikan manfaat bagi kinerja organisasi? Pertanyaan ke 2, yaitu apakah KM technology berguna bagi organisasi? Membutuhkan kajian lebih lanjut buat menjawabnya. Tetapi satu hal yg telah niscaya bahwa investasi perusahaan pada perangkat TI atau yang sekarang jua diberi nama perangkat KM technology tidak akan dan merta memberikan manfaat yang terukur bagi organisasi yg memilikinya. Dibutuhkan sejumlah penataan selanjutnya buat menciptakan teknologi tersebut sebagai berdampak positif bagi organisasi bisnis.

MEREALISASIKAN DAMPAK POSTIF TI; PEOPLE, PROSES & BUSINESS MODEL.
Dengan mengamati praktek-praktek yg telah dilakukan sang organisasi bisnis yg berhasil dalam memanfaatkan TI, maka buat bisa merealisasikan pengaruh positif TI bagi organisasi usaha tadi, paling nir bisa dilakukan melalui 3 hal yaitu: people, proses & business contoh.

Dalam kaitannya dengan people, peranan dari TI telah tidak sama menggunakan peranan mesin pada era industri yang dipakai untuk menggantikan tenaga insan. Meski penggunaan yg mula-mula menurut komputer adalah diarahkan pada factor substitution, yaitu menggantikan low skill clerical worker melalui otomatisasi proses kerja. Dalam organisasi modern, TI nir semata-mata menggantikan kekuatan otot ataupun akal budi manusia. Dari hasil analisa makroekonomi multi tahun menurut ratusan perusahaan, Strassmann pada Malhotra (2005) menegaskan bahwa bukanlah personal komputer yg penting, namun apa yang dilakukan insan dengan komputer tersebut adalah yang terpenting. Sebagaimana bukanlah sebuah palu yang dapat mendirikan sebuah rumah yang baik, namun tergantung dalam ditangan siapakah palu itu dipegang, sebagai akibatnya dapat membuat sebuah tempat tinggal yang baik. Dari sini semakin kentara terlihat bahwa manfaat yg didapatkan sang teknologi, tidaklah semata asal menurut teknologi itu sendiri, tetapi berdasarkan apa yg dilakukan oleh insan dengan teknologi tersebut. 

Terkait menggunakan proses, manfaat yang didapatkan oleh organisasi bisnis berdasarkan TI terletak pada bagaimana organisasi tersebut menggunakannya nir sekedar buat otomatisasi, namun pula buat mentransformasi proses usaha, hingga mengganti atau membangun contoh bisnis yang sesuai manakala aktifitas kerja serta berbagai proses usaha telah didukung TI. Hammer & Champy pada Hartono (2005) mengidentifikasi kegagalan investasi TI buat menaruh pengaruh terhadap peningkatan kinerja keuangan perusahaan lantaran implementasi TI dipercaya sekedar mengotomatisasi kegiatan tradisionil yg terdapat. Menurut Hammer, buat menaruh manfaat investasi TI harus dipakai buat mengubah secara revolusioner proses bisnis yang ada dalam organisasi. Pendekatan ini dianggap sebagai Business Process reengineering (BPR), dimana BPR ini bersifat fundamental, radikal, dramatis dan berorientasi pada proses.

Bila dipandang menurut perkembangan ilmu manajemen, dampak luar biasa berdasarkan inovasi teknologi misalnya listrik dan mesin-mesin dalam abad industri terhadap kemajuan industri tidaklah melulu disebabkan lantaran organisasi mempunyai mesin-mesin tersebut. Organisasi usaha dalam masa itu juga melakukan perubahan proses kerja buat dapat mewujudkan keunggulannya, contohnya melalui diterapkannya division of labor. Sehingga tidak heran pada abad fakta keilmuan manajemen memperkenalkan kata teamwork, interconnection, serta shared information sebagai suatu inovasi berdasarkan ilmu manajemen buat mengadopsi teknologi pada proses kerja. (Senn, 2004 ).

Carr dalam artikel kontroversialnya IT Doesn’t Matter yang dipublikasikan melalui Harvard Business Review (2003) menyoroti kemampuan TI buat mendeliver keunggulan kompetitif yg semakin memudar. Beberapa dasawarsa kemudian bank yg menerapkan online banking dapat mempunyai keunggulan kompetitif dan merebut hati nasabah. Namun ketika ini teknologi ini sudah dimiliki semua bank. Demikian pula dengan Reuters yg mempunyai sistem TI yg tidak dapat disaingi dalam dasawarsa lalu, namun sekarang bahkan surat berita lokal sekalipun pula bisa memiliki jaringan yang terkenal diseluruh dunia melalui teknologi internet.

Carr (2003) juga menyoroti kecenderungan organisasi usaha pada masa kini yang terlalu mengandalkan vendor software ataupun perangkat keras sampai konsultan TI agar organisasi usaha bisa tetap up to date dengan perkembangan TI, dibandingkan dengan berupaya untuk melakukan penemuan sendiri. Ketergantungan ini mengakibatkan setiap organisasi usaha cenderung mempunyai sistem serta teknologi yang seragam, sebagai akibatnya selama nir dilakukan penemuan maka tidak akan ada nilai lebih yg bisa ditampilkan sang suatu organiasi usaha jika dibandingkan menggunakan pesaingnya. Kondisi ini pula didukung dengan praktek organisasi bisnis selama ini dimana dari total pembelanjaannya pada TI, persentase terbesar adalah buat pengadaan komoditas berupa aneka macam perangkat dan hanya sedikit yang mengalokasikan dana buat upaya menemukan inovasi atau melakukan proses kreatif berdasarkan aneka macam perangkat tadi.

Satu hal lain yang perlu dicermati adalah pilihan akan contoh usaha. Perkembangan teknologi sudah memungkinkan organisasi buat membangun new business model yg baru dalam hal penawaran barang serta jasa ataupun baru pada hal cara mendelivernya ke konsumen (Hartono, 2005) Dalam kaitannya menggunakan contoh bisnis, peritel Wal Mart telah timbul menjadi sebuah organisasi bisnis yg besar karena berhasil memanfaatkan TI secara maksimal buat menjalankan model usaha yg dipilihnya. Wal-Mart juga terus mencari cara buat menaikkan efisiensi pada TI melalui pengelolaan rantai pasokan secara elektronis. Wal Mart mengarahkan seluruh pemasoknya buat memakai sistem pengadaan barang secara elektronis yg sesuai dengan miliknya, sebagai akibatnya mau tidak mau supplier yang ingin terus berhubungan menggunakan WalMart harus mengadopsi sistem tadi. (Maholtra, 2005) Lebih jauh tentang model usaha, Amazon, Google serta e-bay merupakan tiga nama besar pada dunia e-commerce yang menjalankan bisnisnya murni secara virtual atau hanya terdapat didunia maya. Siapapun sebenarnya dapat memulai bisnis pada internet, sebuah infrastruktur terbuka yang bisa digunakan oleh siapa saja serta sudah lazim diadopsi sang organisasi bisnis lainnya. Tetapi dengan kreatifitas para pendirinya, ketiganya menentukan suatu contoh bisnis yang dapat diterima oleh pengguna internet pada semua dunia. Amazon, pioner pada usaha ritel yg terus melengkapi diri dengan fitur-fitur baru serta kemudahan yang membuat pelanggan enggan berpaling. E-bay dalam bidang pelelangan yg membuat segala hal jadi mungkin buat dilelang serta seluruh orang pada semua dunia bisa sebagai peserta lelang asalkan mempunyai akses ke internet. Serta Google sebagai nomor satu dalam search engine yg menggunakan perangkat TI sederhana secara aporisma yaitu dengan membangun algoritma pemrograman yg memungkinkan user men-search ‘apapun’ secara lebih cepat dan teliti dibanding berdasarkan search engine manapun termasuk Yahoo. Masih banyak model lain, misalkan Encyclopedia Britannica yang pada abad liputan ini pula harus merubah contoh bisnisnya pada menjajakan berita akibat adanya internet dan keluarnya Wikipedia, suatu free ensiklopedia pada internet yg mempunyai lebih menurut 1,8 juta artikel dan dikerjakan oleh para sukarelawan berdasarkan semua global (Hammel, 2006)

Akhirnya, buat bisa mengukur impak TI pada organisasi, Luftman (2004) memaparkan sejumlah aspek yang dapat diukur selain aspek keuangan buat mengukur dampak positif TI menggunakan lebih terinci. Luftman menegaskan bahwa aspek-aspek yg dapat diukur untuk menilai manfaat bisa mencakup imbas terhadap usaha, interaksi pelanggan, impak dalam internal organisasi hingga value chain. Dicontohan jua, misalkan TI digunakan untuk memperbaiki order management, maka pengukuran bisa dilakukan dalam short order lead times, In-stock availability, order accuracy, access to order status information hingga response time to customer inquiries, sebagai akibatnya lebih jelasnya dari pengaruh positif tadi bisa lebih terlihat.

KONSEP PEMASARAN HIJAU GREEN MARKETING

Konsep Pemasaran Hijau (Green Marketing) 
Istilah green marketing (pemasaran hijau) sebagai salah satu usaha strategis pada membentuk bisnis yang berbasis lingkungan serta kesehatan telah dikenal dalam akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. The American Marketing Associate (AMA) pada tahun 1975 mengadakan seminar pertama tentang ”Ecological marketing”, seminar ini membentuk kitab pertama tentang Pemasaran hijau (green marketing) berjudul ”Ecological Marketing” (Henion and Kinnear, 1978) dan semenjak ketika itu banyak buku tentang topik tadi dipublikasikan (Charter 1992, Ottman 1994). Pride and Ferrell, 1993 pada Nanere, (2010), mengungkapkan bahwa green marketing dideskripsikan menjadi usaha organisasi/ perusahaan mendesign, kenaikan pangkat , harga dan distribusi produk-produk yang tidak merugikan lingkungan. 


American Marketing Associate (AMA) mendefinisikan green marketing is the marketing of products that are presumed to be environmentally safe (sebagai suatu proses pemasaran produk-produk yang diasumsikan kondusif terhadap lingkungan). Polonsky, Rosenberger and Ottman (1998), mendefinisikan green marketing sebagai “All activities designed to generate and facilitate any axchange intended 


to satisfy human needs or wants, such that the satisfaction of these needs and wants occurs, with minimal detrimental impact on the natural environment” (Green marketing adalah konsistensi dari semua aktifitas yang mendesain pelayanan serta fasilitas bagi kepuasan kebutuhan serta hasrat insan, menggunakan nir menimbulkan imbas pada lingkungan alam). Shields mengemukakan “ The efforts by organizations to produce, promote, package, and reclaim product in a manner that is sensitive or responsive to ecological concerns (Usaha berdasarkan organisasi buat menghasilkan, menjalankan, mengemas serta menciptakan produk yg peduli terhadap lingkungan) (Http://www.flickr.com/photos/cali2okie/2399377732/). 


Mintu and Lozada (1993) pada Lozada (2000) mendefinisikan Pemasaran hijau (green marketing) menjadi “pelaksanaan menurut indera pemasaran untuk memfasilitasi perubahan yg menaruh kepuasan organisasi dan tujuan individual pada melakukan pemeliharaan, perlindungan, serta perlindungan pada lingkungan fisik”. Sedangkan Pride and Farrel (1993) mendefinisikan Pemasaran hijau (green marketing) sebagai sebuah upaya orang mendesain, mempromosikan, serta mendistribusikan produk yang nir menghambat lingkungan. Charter (1992) memberikan definisi Pemasaran hijau (green marketing) merupakan keseluruhan, tanggung jawab strategik proses manajemen yg mengidentifikasi, mengantisipasi, memuaskan serta memenuhi kebutuhan stakeholders buat memberi penghargaan yang masuk akal, yang tidak menimbulkan kerugian pada manusia atau kesehatan lingkungan alam. Ottman (2006) mengemukakan bahwa dimensi green marketing, menggunakan mengintegrasikan lingkungan ke dalam seluruh aspek pemasaran pengembangan produk baru (green product) dan komunikasi (green communication). 


Produk Hijau 
Kasali (2005) mendefinisikan, produk hijau (Green product) adalah produk yang tidak berbahaya bagi manusia serta lingkungannya, nir boros sumber daya, tidak membentuk sampah berlebihan, dan nir melibatkan kekejaman dalam binatang. Selanjutnya, Nugrahadi (2002) mengemukakan, produk hijau (green product) adalah produk yang berwawasan lingkungan. Suatu produk yang dibuat dan diproses dengan suatu cara untuk mengurangi dampak-imbas yang dapat mencemari lingkungan, baik dalam produksi, pendistribusian dan pengkonsumsianya. Hal ini bisa dikaitkan menggunakan pemakaian bahan standar yang bisa didaur ulang. Ottman (2006) mendefinisikan green product are typically durable, nontoxic, made from recycled materials or minimally packaged (produk hijau umumnya tahan usang, tidak beracun, terbuat menurut bahan daur ulang). 


Dari pendapat-pendapat para ahli pada atas dapat kita buat suatu kesimpulan mengenai karakteristik produk hijau, yaitu: 
a) Produk tidak mengandung toxic, 
b) Produk lebih tahan lama , 
c) produk menggunakan bahan baku yang dapat didaur ulang, 
d) produk memakai bahan standar dari bahan daur ulang, 
e) Produk tidak menggunakan bahan yang dapat menghambat lingkungan, 
f) Tidak melibatkan uji produk yg melibatkan binatang jika tidak benar -benar diharapkan, 
g) Selama penggunaan tidak merusak lingkungan, 
h) Menggunakan kemasan yang sederhana serta menyediakan produk isi ulang, 
i) Tidak membahayakan bagi kesehatan manusia serta hewan, 
j) Tidak menghabiskan banyak energi dan sumberdaya lainya selama pemrosesan, penggunaan, dan penjualan, 
k) Tidak membuat sampah yg tidak berguna dampak bungkus pada jangka saat yang singkat. 


Bauran Pemasaran 
Pemasaran herbi mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan insan serta msyarakat. Salah satu definisi pemasaran adalah “memenuhi kebutuhan secara menguntungkan”. 

McCarthy mengklasifikasikan alat-indera ini sebagai empat kelompok besar , yg disebutnya empat (4) P tentang pemasaran: produk (Product), Harga (Price), Promosi (Promotion), dan Tempat (Place). McCarthy(1996) dalam Kotler serta Keller (2007). 

Menurut Payne (2000), konsep bauran pemasaran adalah indera yg dikembangkan menggunakan baik yang digunakan sebagai struktur sang para pemasar. Konsep ini terdiri berdasarkan berbagai macam unsur acara pemasaran yang perlu dipertimbangkan agar berhasil melaksanakan strategi dengan segmentation, targeting, dan positioning pemasaran dalam pasar-pasar perusahan tersebut. Karena itu, bauran pemasaran bisa dikatakan menjadi fungsi pemasaran yang adalah gugusan menurut berbagai faktor yg bisa dikendalikan oleh suatu organisasi pemasaran yg dimobilisasi buat memenuhi kebutuhan suatu golongan konsumen tertentu. Berbagai faktor ini umumnya diselaraskan menggunakan kebijakan perusahaan yg terus menyesuaikan dengan lingkungan bisnis yang terus mengalami perubahan mengikuti konduite konsumen. 

Bauran pemasaran dapat dikatakan menjadi inti menurut suatu sistem pemasaran yang ada didalam perusahaan. Oleh Stanton (1991) bauran pemasaran bisa diartikan menjadi kombinasi dari empat variabel atau kegiatan yang adalah inti berdasarkan sistem pemasaran perusahaan yg terdiri berdasarkan produk, struktur harga, kegiatan promosi, dan sistem distribusi. 

Zeithaml and Bitner (2000) memaknai bauran pemasaran sebagai elemen-elemen organisasi perusahaan yang dapat dikontrol sang perusahaan pada melakukan komunikasi dengan konsumen serta akan dipakai untuk memuaskan konsumen. Sedangkan Kotler (2000) menyatakan bauran pemasaran merupakan sekumpulan alat pemasaran (marketing mix) yg dapat dipakai oleh perusahaan buat mencapai tujuan pemasarannya pada pasar sasaran. 

Dengan demikian bauran pemasaran adalah bentuk instrumen pemasaran yang bisa dikendalikan oleh pemasar yang digunakan untuk melakukan komunikasi menggunakan konsumen pada rangka mencapai tujuan serta target pemasaran sesuai dengan sasaran pasar yg ditujunya. Semua faktor bauran pemasaran dapat dikatakan sama pentingnya, tetapi dalam kenyataannya mungkin ada salah satu yg lebih menonjol menurut dalam yang lain. Hal ini disebabkan karena dampak lingkungan ekternal misalnya persaingan, dan syarat ekonomi, dan bentuk pasar yang terdapat. 


Produk 
Secara konseptual, produk adalah pemahaman subyektif menurut penghasil atas sesuatu yg sanggup ditawarkan menjadi usaha mencapai tujuan organisasi melalui pemenuhan kebutuhan serta cita-cita konsumen, sinkron dengan kompetensi dan kapasitas organisasi serta daya beli pasar. Selain itu produk bisa didefinisikan jua persepsi konsumen yg dijabarkan sang penghasil melalui hasil produsinya. Tjiptono (2008), Secara lebih rinci mengurakan mengenai konsep produk total mencakup barang, bungkus, merek, label, pelayanan, dan agunan . 


Harga 
Harga ditetapkan tentu saja memiliki tujuan tertentu bagi produsen dan konsumen. Menurut Tjiptono (2008), tujuan penetapan harga lantaran memiliki maksud seperti: Tujuan berorientasi dalam laba; Tujuan berorientasi dalam volume; Tujuan berorientasi pada gambaran, dan Tujuan stabilisasi harga, serta Tujuan-tujuan lainnya. 


Tempat atau Saluran distribusi atau Lokasi 
Saluran distribusi atau tempat atau lokasi merupakan salah satu faktor yang menaruh donasi bagi tercapainya tujuan perusahaan dalam menjual produk. Menurut Payne (2000) lokasi berkenaan menggunakan keputusan perusahaan mengenai dimana operasi dan staf akan ditempatkan. Menurut Payne (2000) terdapat 3 jenis interaksi antara produsen menggunakan konsumen yaitu: Pelanggan mendatangi produsen, penghasil mendatangi pelanggan, dan pembuat serta konsumen melakukan transaksi bisnis melalui pihak ketiga. 


Promosi 
Menurut Stern (1989) pemilihan atau penentuan alat kenaikan pangkat akan tergantung pada tujuan kenaikan pangkat . Tjiptono (2008) melihat tujuan utama promosi adalah menginformasikan, mensugesti dan membujuk, serta mengingatkan pelanggan target mengenai perusahaan serta bauran pemasarannya. Ketiga tujuan kenaikan pangkat itu dijabarkan sebagai berikut: Menginformasikan (informing), Membujuk pelanggan target (pesuating), Mengingatkan (reminding). 


Setelah mengetahui tujuan kenaikan pangkat barulah perusahaan memilih alat promosi yang paling sesuai. Alat promosi yang tak jarang dipakai diantaranya iklan, personal selling, kenaikan pangkat penjualan, dan publisitas (Stanton, 1987). Oleh Tjiptono (2008) dinamakan bauran kenaikan pangkat yg terdiri menurut: Personal selling, Mass selling terdiri menurut periklanan serta publisitas, Publisitas, Sales Promotion (Promosi penjualan), Public relations (hubungan masyarakat), serta Direct marketing. 


Perilaku Konsumen 
Perilaku konsumen adalah suatu studi yang didalamnya mencakup suatu proses seorang atau gerombolan pada menyeleksi, menentukan, membeli, dan memakai atau membuang suatu produk, jasa, ilham, atau pengalaman buat memenuhi kebutuhan dan hasrat (Solomon, 2002). Menurut Ma’ruf (2005), konduite konsumen (consumer behavior) adalah proses yang terjadi pada konsumen ketika tetapkan buat membeli, apa yang dibeli, dimana, kapan, dan bagaimana membelinya. Sehingga, bisa disimpulkan bahwasanya konduite konsumen adalah suatu proses yg monoton (berkesinambungan). 


Perilaku pembelian konsumen dimulai menurut konduite konsumen itu sendiri. Engel et. Al, (1994) menyatakan bahwa, "perilaku konsumen bisa didefenisikan menjadi berikut : "Kegiatan-kegiatan individu yg secara eksklusif terlibat dalam usaha memperoleh, mengkonsumsi, dan membuat barang dan jasa, termasuk proses kebutuhan yg mendahului dan mengikuti tindakan ini". 


Menurut Swasta dan Handoko (2002), konduite konsumen merupakan aktivitas yang secara eksklusif terlibat pada menerima serta 


mempergunakan barang dan jasa. Termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan dalam persiapan dan penentuan aktivitas-kegiatan tadi. Jadi, menurut penelitian diatas, terdapat dua elemen yg krusial pada perilaku konsumen : Proses pengambilan keputusan, serta Kegiatan fisik. 


Selain ditentukan oleh stimulus, pengambilan keputusan pembelian jua ditentukan oleh motivasi konsumen.konsumen memiliki motivasi yg selalu berubah mengenai harapan, persepsi serta preferensi.kadangkala suatu ketika konsumen menyukai suatu barang, namun dilain waktu dia mampu nir menyukai barang tersebut. Perubahan-perubahan misalnya ini harus terus diikuti sang penghasil apabila nir ingin ditinggalkan sang konsumen.untuk itu, mengusut motivasi pembelian adalah suatu area penting dalam kegiatan pemasaran. 


Motivasi Pembelian 
Motivasi berasal berdasarkan bahasa latin movere yg berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi adalah aspek yg penting pada ilmu perilaku konsumen lantaran motivasi merupakan hal yg menyebabkan, menyalurkan serta mendukung konduite insan (Nugroho, 2003). Menurut American Encyclopedia dalam Nugroho (2003), motivasi merupakan kecendrungan dalam diri seorang yg membangkitkan topangan dan tindakan. Pemahaman mengenai motivasi bukanlah hal yg mudah. Motivasi merupakan sesuatu yg terdapat pada diri seseorang serta nir tampak berdasarkan luar. Motivasi akan nampak melalui konduite seseorang yang bisa dipandang atau diamati. 


Setiap konsumen mempunyai 2 sifat motivasi pembelian yang saling tumpang tindih pada dirinya, yaitu rasional serta emosional. Menurut Ma’ruf (2005), terdapat 2 tipe motivasi pada pembelian : Emosional, dan Rasional 


Tipe-Tipe Pembelian 
Cobb and Hoyer dalam Geoff and Clive (1998) menyatakan bahwasanya terdapat tiga tipe pembelian yaitu: 
1. Pembelian yang direncanakan (planned), 
2. Pembelian yang 1/2 direncanakan (partial planner) 
3. Pembelian spontan, 

Teori Perilaku Rencanaan (Theory of Planned Behavior) 
Teori konduite rencanaan (theory of planned behavior atau TPB) merupakan pengembangan lebih lanjut dari theory of reasoned action (TRA). Icek Ajzen menyebarkan teori TPB ini. 


(Ajzen,1988). Ajzen (1988) menambahkan sebuah konstruk yg belum terdapat di TRA. Konstruk ini diklaim menggunakan kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control). Konstruk ini ditambahkan pada TPB buat mengontrol konduite individual yang dibatasi oleh kekurangan-kekurangannya dan keterbatasan-keterbatasan berdasarkan kekurangan sumber-sumber daya yg dipakai buat melakukan perilakunya. (Chau and Hu 2002). 


Model Teori Perilaku Rencanaan 
Dengan menambahkan sebuah konstruk ini, yaitu control konduite persepsian (perceived behavioral control).  

Teori perilaku rencanaan (theory of planned Behavior) adalah perkembangan dari teori tindakan beralasan (theory of reasoned action). Seperti telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa teori tindakan beralasan (theory of reasoned action) dibuat buat berhubugan dengan konduite-konduite yg mana orang-orang memiliki taraf yg tinggi terhadap control kemauannya (volitional control) serta mengasumsikan bahwa semua konduite 


adalah domain-domain berdasarkan personality dan psikologi sosial. Teori konduite rencanaan (theory of planned behavior) secara eksplisit mengenal kemungkinan bahwa banyak perilaku tidak semuanya pada bawah control penuh sehinga konsep menurut control perilaku persepsian (perceived behavioral control) ditambahkan untuk menangani perilaku-konduite semacam ini. Apabila seluruh konduite bisa dikontrol sepenuhnya sang individual-individual, yaitu kontrol perilaku (behavioral control) mendekati maksimum, maka teori konduite rencanaan (theory of planned behavior) pulang sebagai teori tindakan beralasan (theory of reasoned action). 


Sikap Terhadap Perilaku Dan Pengaruhnya Terhadap Minat Dan Perilaku. 
Sikap (attitude) merupakan evaluasi kepercayaan (belief) atau perasaan positif atau negative berdasarkan seorang bila harus melakukan konduite yang ditentukan. 


Norma-Norma Subjektif Dan Pengaruhnya Terhadap Minat Dan Perilaku 
Ajzen (1991) dalam Jogiyanto (2007) mengemukakan bahwa norma-kebiasaan subjektif (subjective norms) merupakan persepsi atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan -agama orang lain yang akan mensugesti minat buat melakukan atau nir melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan. 


Kontrol Perilaku Persepsian Dan Pengaruhnya Terhadap Minat Perilaku 
Kontrol konduite persepsian didefinisikan sang Ajzen (1991:88) sebagai kemudahan atau kesulitan persepsian buat melakukan konduite “the perceived ease or difficult of performing the behavior”. Taylor serta Todd (1995:149) mendefinisikan Kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control) menjadi persepsi serta konstruk-konstruk internal dan eksternal berdasarkan perilaku. Kontrol konduite persepsian (perceived behavioral control) ini merefleksikan pengalaman masa lalu dan jua mengantisipasi halangan-halangan yg ada. 


Minat Perilaku Dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku 
Minat adalah “galat satu aspek psikologis yg mempunyai efek relatif besar terhadap sikap konduite dan minat pula merupakan sumber motivasi yg akan mengarahkan seorang buat melakukan suatu kegiatan atau tindakan” (Schiffman & Kanuk, 2007). 


Theory of reasoned action mengungkapkan bahwa perilaku dilakukan lantaran individual mempunyai minat atau hasrat buat melakukannya. Terkait menggunakan contoh TPB, minat konduite adalah suatu fungsi berdasarkan perilaku, kebiasaan-kebiasaan subjektif, serta kontrol konduite persepsian terhadap perilaku. Ini berarti bahwa minat seorang buat melakukan perilaku diprediksi oleh sikapnya terhadap perilakunya dan bagaimana dia berpikir, orang lain akan menilainya apabila individu tersebut melakukan konduite itu, serta selanjutnya kepercayaan -kepercayaan internal dan eksternal yg dipersepsikan sebagai pengontrol. Schiffman & Kanuk (2007) mengemukakan bahwa minat membeli merupakan “aktivitas psikis yang muncul lantaran adanya perasaan (afektif) serta pikiran (kognitif) terhadap suatu barang atau jasa yang diinginkan”. Sehingga minat membeli bisa diartikan sebagai suatu perilaku bahagia terhadap suatu obyek yg menciptakan individu berusaha buat mendapatkan obyek tadi menggunakan cara membayarnya menggunakan uang atau dengan pengorbanan. Dalam interaksi 


dengan penelitian ini, minat adalah variabel interviening antara variabel Green marketing serta keputusan pembelian produk organik. 


Telah Hasil penelitian terdahulu 
Terkait penelitian tentang “Green Marketing” dan pengaruhnya terhadap Keputusan Pembelian melalui Minat Beli produk organik, buat memberikan pelukisan serta kerangka konseptual yg lebih komprehensif, penelitian ini dilengkapi menggunakan output-hasil penelitian terdahulu yg sangat menunjang dan bersifat menguatkan atau melemahkan posisi bahasan topik penelitian ini. Selain penerangan, penelitian terdahulu tergambar pada bentuk maping pada tabel matriks. 
o Tarkiainen and Sundqvist (2006) melakukan penelitian menggunakan judul “Subjective Norms, Attitudes and Intentions of Finnish Consumers in Buying Organic Food”. 
o Magistris and Gracia (2008) dalam penelitian yg berjudul “The decision to buy organic food products in Southern Italy”. 
o Kalafatis et al.,(1999) melakukan penelitian dengan judul ”Green Marketing and Ajzen’s Theory of Planned Behavior: A cross-Market examination”. 
o Haryadi R (2009) melakukan penelitian menggunakan judul “ Pengaruh Green Marketing terhadap Pilihan Konsumen melalui Pendekatan Marketing Mix (Studi masalah dalam The Body Shop Jakarta). 
o Fotopoulos dan Krystalis (2002) melakukan penelitian menggunakan judul “Purchasing motives and profile of the Greek Organic Consumer: A countrywide informasi lapangan”. 
o Marija Radman (2005) melakukan penelitian menggunakan judul ”Consumer consumption and perception of organic products in Croatia”. 
o Tsakiridou et al.,(2007) melakukan penelitian menggunakan judul, “Attitudes And Behavior Towards Organic Products: An Exploratory Study”. 
o Zanoli & Naspetti (2002) pada penelitian yang berjudul, “ Consumer Motivations in the Purchase of Organic food: A Means-End Approach”. 
o Magnusson, et al., (2001) melakukan penelitian dengan judul,” Attitudes toward Organic Foods among Swedish Consumers”. 
o Tregear, Dent & McGregor (1994) pada penelitian yang berjudul ”The Demand for Organically Grown Produce”, 
o Hasrini sari (2008) dalam penelitian yg berjudul “Pemasaran Produk Hijau : Profil Pelanggan dari Usia, Gender, Pendidikan, serta Pengalaman membeli. 
o Junaedi S.mf (2008) melakukan penelitian menggunakan judul “Pengaruh Gender Sebagai Pemoderasi Pengembangan Model Perilaku Konsumen Hijau Di Indonesia”. 
o Junaedi S.mf (2003), “ Analisis faktor demografi, akses media serta sumber liputan Terhadap kepedulian dan pencerahan lingkungan konsumen: Kajian pemasaran yg berwawasan sosial”.


Hasil penelitian terdahulu diatas, membenarkan/ menjustifikasi determinan konduite pembelian produk hijau serta produk organik yang ramah lingkungan. Secara generik, sanggup mengungkapkan dan mengungkapkan bahwa permodelan berdasarkan Theory of Planned Behavior/TPB (Teori perilaku rencanaan) dari Ajzen (1991), yang mencakup Minat perilaku, Sikap terhadap Perilaku, Norma-norma Subjektif, serta Kontrol perilaku persepsian, merupakan determinan dari perilaku pembelian (Keputusan membeli) produk organik/produk hijau yang ramah 


lingkungan (Kalafatis, et al.,1999; Tarkiainen and Sundqvist, 2006; Magistris and Gracia, 2008; Tsakiridou et al.,2007; Junaedi,2008; Magnusson, et al., 2001). Selain permodelan menurut TPB, penelitian lain yg melihat dari konsep pemasaran yg dideskripsikan sebagai bauran pemasaran atau marketing mix memberitahuakn efek yang signifikan terhadap niat beli dan keputusan pembelian (Haryadi, 2009; Tregear, Dent & McGregor,1994; Fotopoulos serta Krystalis, 2002; Radman, 2005; Zanoli & Naspetti, 2002; Junaedi, 2003; Hasrini, 2008).