METODOLOGI PENELITIAN BISNIS UNTUK AKUNTANSI DAN MANAJEMEN

Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi Dan Manajemen
KOMPLEKSITAS MANAJEMEN
Pokok bahasan manajemen semakin hari semakin diminati oleh banyak sekali kalangan masyarakat baik para ilmuwan, praktisi bahkan orang umum . Namun aneka macam kalangan tadi juga belum mempunyai “communal opinio” mengenai definisi manajemen. Sebagai konsekuensinya, manajemen memiliki majemuk konotasi-konotasi yang kadang nir saling bekerjasama, sebagai akibatnya dapat menyebabkan perbedaan dalam tahu “fauna” manajemen. Kompleksitas yg terjadi pada bahasan tentang manajemen tidak hanya terjadi pada level dialektika, tetapi yang menjadi dilema berat merupakan faktor kepentingan praktis yg sering kali mengendalikan kiprah manajemen menjadi kajian ilmiah yg independen.

Fenomena penting yg bisa kita lihat adalah dalam bidang pendidikan manajemen. Bidang pendidikan diperlukan sebagai “penjaga gawang” dalam kajian ilmiah mengenai manajemen. Namun pada kenyataannya tidak dapat kita hindari bahwa kepentingan kapitalistik serta materialistik telah menaruh pandangan baru dan orientasi yang berbeda pada mengartikulasikan pendidikan manajemen. 

Dewasa ini pada Indonesia benyak yang berpandangan bahwa pendidikan tinggi khususnya dicermati hanya menjadi investasi masa depan daripada buat kepentingan khasanah keilmuan. Artinya pengorbanan berupa biaya serta ketika dipercaya menjadi investasi menggunakan mengharapkan pekerjaan dan pendapatan yg baik sebagai return-nya. Sehingga banyak orang berlomba-lomba melanjutkan pendidikannya pada perguruan tinggi dengan asa terjadi “mobilitas vertikal” yang kelak akan mengantarkan mereka mencapai “kesejahteraan ekonomi”. Pada sisi lain, penyelenggara pendidikan melihat kenyataan pendidikan manajemen menjadi “pasar” yang memiliki permintaan yang sangat melimpah. Penyelenggara pendidikan, terutama swasta sangat bergairah mendirikan berbagai program baik dalam strata diploma, S1, S2 baik MM ataupun MBA dan S3 atau program Doktor. Problemnya adalah dalam “nawaitu” atau niatnya pada menyelenggarakan pendidikan. Newman dalam bukunya Social Research Methods (2000) menjelaskan menjadi fenomena pseudoscience yang erat kaitannya dengan ilmu itu sendiri. Pseudoscience adalah suatu kenyataan yang seolah-olah menampakkan dirinya menjadi suatu ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial misalnya manajemen), padahal hanya berupa jargon-jargon yg dibumbui menggunakan berberapa karakteristik yang seperti dengan karakteristik sebuah ilmu. Termasuk pada dalamnya adalah penyelenggaraan acara gelar aneka macam tingkatan yang kadang sesungguhnya tidak memiliki komitmen serta tanggung jawab terhadap ilmu melainkan hanya kepentingan usaha, beredarnya buku-buku ilmiah manajemen terkenal yg semata-mata buat bisnis, penelitian dan jajak ilmiah “semu” yg bertujuan hanya buat mempopulerkan, mengiklankan produk, jasa, usaha serta lain-lain pada banyak sekali media massa. Hal tersebut semakin diperparah oleh ketidakfahaman warga serta ketiadaan anggaran mengenai batasan area ilmiah.

PROBLEM MANAJEMEN DI INDONESIA
Momentum kemerdekaan di Indonesia seharusnya bisa mendorong pengembangan ilmu pengetahuan secara umum yang bercirikan nilai budaya bangsa Indonesia dan pengembangan manajemen sebagai ilmu pada pendidikan terbaru yg menaruh harapan serta keberanian pada bangsa Indonesia buat memperbaiki kehidupan usaha dan ekonomi dan moralitas bangsa. Tetapi empiris yg dihadapi kehadiran ratusan bahkan ribuan pendidikan tinggi serta pula ratusan ribu sarjana belum bisa melahirkan serta membesarkan ilmu pengetahuan khusunya melahirkan sebuah konsepsi manajemen berwawasan Indonesia.

Penyebab primer kepincangan pada kemajuan ilmu pengetahuan merupakan terletak pada perlakuan yang nir “correct” terhadap ilmu pengetahuan di perguruan tinggi dalam khususnya, pada lingkungan kampus pada umumnya (Daoed Joesoef, 1986). Dikatakan tidak “correct” karena pada sana ilmu pengetahuan (dalam hal ini secara khusus ilmu manajemen) dihayati tidak pada arti yg lengkap, yaitu ilmu pengetahuan pada arti produk, ilmu pengetahuan pada arti sebagai proses dan ilmu pengetahuan pada arti rakyat.

Ilmu pengetahuan menjadi produk, merupakan pengetahuan yang telah diketahui dan diakui kebenrannya oleh masyarakat ilmuwan. Jadi ilmu pengetahuan terbatas pada fenomena-fenomena yang mengandung kemungkinan buat disepakati serta terbuka buat diteliti, diuji ataupun dibantah sang orang lain. Sehingga suatu liputan ilmiah nir mungkin bersifat original misalnya halnya pada karya seni. Penemuan warta ilmiah mungkin bisa original, namun bukan buat warta ilmiah itu sendiri.

Ilmu pengetahuan sebagai proses adalah kegiatan masyarakat yang dilakukan demi inovasi serta pemahaman dunia alami sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana kita kehendaki. Metoda ilmiah yg khusus yg dipakai dalam proses ini adalah analisis rasional, obyektif, sejauh mungkin bersifat “impersonal” berdasarkan kasus-kasus yang didasarkan dalam percobaan serta data yg dapat diamati (observable data). Dalam pandangan Thomas S. Kuhn, ilmu pengetahuan pada arti proses (penelitian) diistilahkan sebagai “normal science”. 

Sedangkan ilmu pengetahuan menjadi rakyat adalah suatu dunia pergaulan yg tindak tanduknya, sikap dan perilakunya diatur oleh empat ketentuan (imperatives), yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterestedness) serta skeptisisme yg teratur. Universalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan bebas berdasarkan warna kulit, agama, keturunan atau dikenal dengan slogan “SARA”, yang terdapat hanya metoda. Jadi ilmu pengetahuan dikatakan universal bila metoda ilmiah bersifat empirik, eksperimental dan rasional yg bekerja menurut “logical inference”. Komunalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan adalah milik warga (public knowledge). Tanpa pamrih berarti bukan proraganda ataupun promosi bagi kepentiingan tertentu. Skeptisisme yg teratur berarti keinginan buat mengetahui dan bertanya berdasarkan pada akal dan keteraturan dalam berfikir.

Bagaimana dengan perkembangan manajemen pada setting Indonesia? Dunia barat dikenal menggunakan perkembangan ilmu manajemen yg berorientasi dalam individualisme, kapitalisme dan materialisme yang didukung pengembangan teknologi modern. Bangsa Jepang dengan collectivism membuatkan filosofi Kaizen dalam manajemen mereka. Secara epistemologis, bagaimana metoda pengembangan manajemen di Indonesia. Kemudian pada cabang ontologis, apakah manajemen pada Indonesia bisa dikembangkan menjadi ilmu? Dan bagaimana nilai-nilai budaya bangsa dibangun sebagai pijakan aksiologi buat berbagi ilmu manajemen berwawasan Indonesia. 

Bagaimana pengembangan manajemen menjadi ilmu dalam pendidikan terbaru yg menaruh harapan serta keberanian kepada bangsa Indonesia buat memperbaiki kehidupan bisnis dan ekonomi dan moralitas bangsa, sehingga melahirkan sebuah konsepsi ilmu manajemen berwawasan Indonesia.

Secara lebih khusus problem akan diarahkan dalam upaya melahirkan para sarjana manajemen Indonesia berkualitas dan berkarakter. Kualitas lebih menekankan pada keilmuan dan keterampilan sedangkan berkarakter menekankan dalam visi serta nilai.

MENGAPA FILSAFAT ILMU
Pembahasan pada muka diawali menggunakan kompleksitas empiris manajemen, khususnya bagi pengembangan manajemen di Indonesia. Lemahnya tradisi ilmiah dan banyaknya kepentingan ekonomi serta tidak adanya visi bagi pengembangan ilmu dan pendidikan mengakibatkan nir kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu kenyataan dunia perkembangan ilmu begitu cepat termasuk perkembangan ilmu manajemen. Oleh karena itu sesungguhnya filsafat ilmu ada menjadi kelanjutan dari filsafat pengetahuan karena perkembangan ilmu cabang yg tumbuh “bagai cendawan di trend hujan”. Filsafat pengetahuan sendiri lahir menjadi reaksi serta penjelasan terhadap kontradiksi antar cabang ilmu. Kunto Wibisono menyebutkan bahwa filsafat ilmu merupakan refleksi filsafati yg nir pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah buat mencapai kebenaran atau fenomena. Sesuatu memang nir pernah akan habis difikirkan serta nir pernah akan selesai diterangkan.

Hakikat ilmu merupakan karena fundamental serta kebenaran universal yg tersirat melekat pada dalam dirinya. Dengan tahu filsafat ilmu berarti tahu seluk beluk ilmu yang paling fundamental, sebagai akibatnya dapat difahami jua perspektif ilmu, kemungkinan pengembagannya, keterkaitan antar cabang ilmu yg satu dengan lainnya, simplifikasi dan artifisialitasnya.

MANAJEMEN SEBAGAI ILMU
Apakah manajemen dapat dikategorisasi menjadi ilmu (science)? Pada awalnya manajemen asal dari kata “manage” yg bisanya dihubungkan menggunakan kemampuan buat mengurusi tempat tinggal tangga (R.W. Morell, 1969). Bahkan Socrates dalam zaman Yunani Kuno mendefinisikan manajemen menjadi suatu keterampilan yang terpisah berdasarkan pengetahuan. Hal tadi tercermin pada pada nasihat Socrates kepada Nichomachides:

“Aku menyampaikan bahwa apapun yang dikepalai seorang serta ia mengetahui apa yang diperlukan, dan bisa menyediakannya, berarti dia akan menjadi pemimpin yg baik. Oleh karenanya Nichodemachides, janganlah meremehkan orang yg mahir mengelola rumah tangga; karena penanganan kasus langsung serta generik hanya terletak pada luas permasalahannya; pada hal lain keduanya sama, namun yang wajib engkau perhatikan keduanya tidak dikelola tanpa sang insan; dan kasus langsung tidak dikelola oleh satu jenis manusia dan kasus generik oleh jenis insan lainnya; karena mereka yang menjalankan perusahaan generik menggunakan manusia yg sama sekali nir tidak selaras dengan mereka yang dipekerjakan sang para manajer menurut bisnis-usaha eksklusif; serta orang yang memahami bagaimana mempekerjakan mereka, menjalankan bisnis baik langsung maupun umum menggunakan bijaksana, sedangkan orang yg tidak mengetahuinya tidak juga keduanya”. 

Pemahaman Socrates tersebut sejalan dengan penelusuran yang ditulis pada proceeding seminar konsep manajemen Indonesia, PPM (1979) yg dihadiri sang sejumlah ahli manajemen, ilmuwan sosial, peneliti dan birokrat Indonesia misalnya Astrid S. Soesanto, Harsya W. Bachtiar, Siswanto Sudomo, Roosseno, Muchtar Lubis, TB. Simatupang, Kwik Kian Gie, Christianto Wibisono, M. Dawam Raharjo dll bahwa pada awalnya manajemen adalah penggunaan keterampilan, pengetahuan serta ikhtiar benar-benar-sungguh buat mencapai tujuannya, maka manajemen merupakan seni (art). Tetapi menggunakan meluasnya cakrawala pengetahuan melalui pengumpulan data secara menyeluruh dan mendalam buat selanjutnya diolah guna perumusan serta pengujian hipotesisnya maka manajemen sudah berkembang menjadi ilmu (science).

Dalam artikel What is a “science” Bahm mendeskripsikan secara jelas unsur-unsur ilmu (science). Bahm mengajak pembaca buat berfikir secara lebih mendasar tentang unsur-unsur atau komponen science. Bahm memulai berdasarkan pertarungan (problem) yang dihadapi manusia dalam kehidupan menjadi komponen krusial science, meskipun nir seluruh dilema bersifat ilmiah. 

Selanjutnya Bahm menguraikan pentingnya sikap seorang ilmuwan dalam membuatkan science. Selain itu juga diuraikan oleh penulisan mengenai kontroversi metoda serta peran metoda pada perkembangan science. Metoda dan perilaku beserta-sama mencoba mencari solusi terhadap duduk perkara dan mencari kebenaran, kenyataan serta memberi penerangan ataupun menaruh solusi terhadap pertarungan. Sehingga science akan selalu bergerak serta berjalan tanpa mengenal berhenti (unfinished journey). 

Bahm pula membicarakan keprihatinannya bahwa pengembangan teknologi serta industri berjalan demikian cepat yang seharusnnya terkait menggunakan efek sosialnya ternyata berjalan tidak seimbang sehingga selain memberi manfaat, namun banyak pula menciptakan kesulitan bagi kehidupan manusia. Sehingga Bahm sangat mendorong buat menambah teknologi serta industri menggunakan hal yang lebih mendasar, yaitu aspek aksiologi, etika, religiusitas dan sosiologi.

Bahm sepertinya jua mengajak pembaca buat lebih dalam tahu science dengan nilai-nilai universalnya. Secara jelas, Bahm menguraikan serta mengulas secara kritis unsur-unsur (komponen) science sekaligus mengingatkan pada para peneliti buat menyadari pentingnya unsur-unsur tadi. 

Di samping pembahasan unsur-unsur science secara struktural, Bahm jua mengulas secara fenomenal baik terkait dengan warga , proses serta science sebagai produk. Bahm membicarakan dampak science sendiri bagi kehidupan manusia di mana science nir sanggup tanggal dari nilai-nilai terkait dengan kepentingan luhur humanisme. 

Perkembangan selanjutnya apakah manajemen adalah ilmu menjadi erat hubungannya dengan semakin canggihnya perubahan, persaingan dan konduite organisasional yang berkaitan menggunakan kompleksitas “how to manage” pada bisnis. Semakin pentingnya manajemen paling nir terlihat pada banyak kasus organisasi bisnis serta publik pada sejumlah negara belum berkembang atau sedang berkembang. Kemudian kualifikasi manajer sebagai mayoritas dalam keberhasilan organisasi.

Hal yang menarik disampaikan sang Socrates dalam masa kemudian bahwa faktor kunci keberhasilan manajemen adalah insan serta grup manusia yang lain. Pada perkembangan selanjutnya muncul interaksi antar insan dan jika terdapat kecenderungan pandangan dan tujuan, mereka akan membentuk grup atau organisasi. 

Pada ketika ini domain manajemen melingkupi bagaimana mengelola organisasi mencapai tujuan secara efektif dan efisien terkait dengan lingkungan yg penuh ketidakpastian. Untuk itu sangat diharapkan pengetahuan tentang prinsip serta teknik dasar manajemen pada mempraktikkan, menyebutkan dan mengembangkannya. Areanya menjadi semakin kentara yaitu efektivitas serta efisiensi insan menjadi sentral. Apabila dibandingkan menggunakan efisiensi mesin maka efisiensi usaha gerombolan manusia masih sangat tertinggal. Hal tersebut disadari oleh banyak pakar manajemen di lapangan misalnya Henri Fayol, Barnard serta Alvin Brown bahwa diharapkan konsep manajemen yg jelas dan suatu kerangka teori serta prinsip yg berpautan.

Beberapa pandangan Koontz mengenai prinsip, teori serta konsep:
Prinsip adalah kebenaran mendasar, atau apa yang diyakini menjadi kebenran pada saat tertentu, yg memberitahuakn 2 atau lebih perpaduan variabel.

Teori adalah pengelompokan yang sistematis terhadap prinsip-prinsip yg saling berhubungan sehingga terbentuk kerangka.

Konsep adalah gambaran mental dari sesuatu yang dibuat dengan penggeneralisasian bagian-bagiannya.

Jika pengertian mengenai konsep, teori, prinsip serta teknik manajemen kurang difahami maka akan menyulitkan analisis pekerjaan manajerial serta training para manajer. Tanpa hal tadi training para manajer hanya bersifat coba-coba. Dalam kadar tertentu, hal tadi mungkin terjadi serta berlangsung hingga ilmu manajemen berkembang secara memadai. 

Pada masalah bisnis, pemerintahan serta perusahaan, susunan ilmu manajemen yang relatif kokoh sudah terwujud serta banyak membantu merealisasikan sifat manajemen serta menyederhanakan ke pada pendidikan dan pembinaan manajer. Bahkan timbul suatu pernyataan yang menarik terkait dengan pendekatan kontingensi yaitu bahwa teori dan ilmu manajemen nir pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” (Koontz et.al). Teori serta ilmu dimaksudkan buat mencari hubungan-interaksi mendasar, dasar-dasar teknik serta susunan pengetahuan yang tersedia yg semuanya seharusnya di dasarkan dalam konsep yg kentara. 

Dengan demikian diharapkan para praktisi manajemen mengerti serta menggunakan ilmu serta teori yg akan mendasari praktik pekerjaan mereka. 

Jika dikaitkan dengan pandangan Bahm tentang ciri krusial ilmu, maka manajemen sesungguhnya sudah memiliki kriteria tersebut. Pada domain manajemen dapat timbul banyak konflik ilmiah misalnya bagaimana interaksi antara penetapan tujuan dengan motivasi dalam suatu setting eksklusif. Untuk mengungkap hal tadi perlu perilaku ilmiah dan metoda ilmiah. 

Di mulai menurut sebuah keyakinan bahwa ilmu memperlihatkan kenyataan di atas, adalah keyakinan rasionalitas alam memberikan ilham bahwa banyak sekali interaksi bisa ditemukan antara dua rangkaian peristiwa atau lebih. Untuk menemukan secara sistematis dibutuhkan suatu metoda ilmiah. Metoda ilmiah meliputi metoda induktif yg dimulai menurut penemuan informasi (fact finding) serta menguji keakuratan warta sebagai akibatnya diperoleh proposisi yang bila terus menerus teruji seksama akan mengambangkan teori serta khasanah ilmu manajemen itu sendiri. Berikutnya adalah metoda deduktif yg menekankan pada pengujian teori atau proposisi pada ilmu manajemen. 

Selanjutnya ilmu manajemen akan terkait dengan aktivitasnya dan implikasi. Implikasi dalam pandangan Bahm dikaitkan menggunakan nilai-nilai bagi peradaban insan. Pada perspektif pada masa ini keberfihakan manajemen dalam nilai-nilai tadi (aksiologis) tampak pada kenyataan etika usaha serta manajemen yg semakin gencar dewasa ini. 

Pada bidang usaha muncul suatu konsep yg berfihak pada konsumen dan kesejahteraan manusia atau warga baik dalam jangka pendek juga jangka panjang termasuk di dalamnya problem lingkungan hidup atau acapkali dikenal menggunakan kata societal marketing concept dan green marketing. Kemudian pada pengelolaan manajemen asal daya insan timbul konsep long life employment yg berfihak dalam kesejahteraan karyawan jangka panjang. Dalam manajemen strategik dan persaingan timbul konsep co-opetition yang menekankan win-win solution kepada seluruh stakeholders (bahkan semua penghuni bumi ini). 

Dikaitkan dengan pandangan Bacharach (1989) yg mendukung pandangan (Dubin, 1969; Nagel, 1961; Cohen, 1980) menyatakan bahwa teori adalah pernyataan hubungan antara unit-unit yang diobservasi dalam dunia realitas. Teori memiliki 2 kriteria meliputi: (a) falsifikasi (b) utilitas. Selanjutnya kemampuan teori menaruh penerangan secara teruji dan tersusun dengan rangkaian teori yg terkait membangun suatu ilmu.

Dalam penelitian yang dilakukan di bidang manajemen, kedua kriteria teori tersebut poly dipakai terutama dalam penelitian yang dilakukan positivism, terutama pada bidang behavioral science menjadi bagian krusial pada studi ilmu-ilmu manajemen.

PENGEMBANGAN ILMU MANAJEMEN DI INDONESIA
Pada bahasan sebelumnya telah didiskusikan pentingnya filsafat ilmu dalam memberikan dasar dan arah bagi pengembangan ilmu. Di samping itu penulis juga sudah mencoba mendiskusikan secara mendasar tentang manajemen sebagai ilmu. Berdasarkan bahan diskusi pada atas maka kita akan dapat membuat sebuah setting pengembangan manajemen di Indonesia. 

Dari suatu pembahasan mengenai imbas budaya dalam perkembangan manajemen pada Indonesia yang dilakukan PPM Jakarta (1979) dijelaskan eksistensi tiga terminologi krusial yang berkaitan erat menggunakan upaya pengembangan manajemen Indonesia. Ketiganya mencakup istilah: manajer & pemimpin, organisasi serta budaya serta perilaku organisasional. 

Dengan menghubungkan dengan teori kontingensi maka sangat terbuka kesempatan bagi kita buat mengembangkan sebuah konsep manajemen Indonesia. Teori ini sesungguhnya berpusat dalam kombinasi taraf diferensiasi serta integrasi dalam organisasi menghadapi kebutuhan yang muncul berdasarkan lingkungan. Perubahan pada lingkungan akan beranjak cepat sehingga menuntut organisasi menciptakan level diferensiasi yang bisa selaras dengan perubahan lingkungan. Artinya dalam praktik organisasi tidak hanya bersandar pada gaya internal organisasi namun terkait erat menggunakan sistem nilai lingkungan budaya yang melingkupinya. 

Dalam kaitannya menggunakan kriteria keilmuan maka manajemen pada Indonesia jua harus memiliki unsur-unsur yang universal menggunakan membuka diri untuk mendapat serta berbagi unsur-unsur tersebut, meskipun demikian kita tetap wajib bersikap selektif. Pada sisi yang lain, proses operasional manajemen akan sangat ditentukan oleh nilai budaya, manusia, rakyat dan pengalaman sejarah suatu bangsa dan visi bangsa. 

Dalam setting Indonesia, secara normatif kita memiliki Pancasila sebagai nilai-nilai budaya serta cita-cita yang merefleksikan keberagaman nilai-nilai budaya dan bukan keseragaman. Sehingga pendekatan kontingensi akan berperan pada menyebutkan bahwa teori dan ilmu manajemen nir pernah menganjurkan “satu cara terbaik”. Keefektifan manajemen selalu bersifat kontingensi, pada hal ini terkait menggunakan tatanan nilai luhur yang berkembang pada sana. Di samping itu dengan pendekatan sistem, praktisi, manajer serta para ilmuwan wajib mempertimbangkan sejumlah besar variabel yg berpengaruh serta berinteraksi dalam pekerjaan manajerial.

Penulis beropini masih ada beberapa hal yang bisa kita gali berdasarkan nilai budaya bangsa yang terefleksikan dalam semangat Pancasila seperti:
  • Nilai-nilai spiritual keagamaan dan etika yg sebagai orientasi, filosofi serta tujuan kita dalam aktivitas manajerial. 
  • Mengembangkan rasa humanisme dalam aktifitas manajemen serta usaha. 
  • Mengembangkan semangat kolektif pada pencapaian tujuan menggunakan kesadaran bahwa diversitas menjadi kekuatan. 
  • Semangat buat berorietasi pada kesejahteraan organisasi dan rakyat menggunakan prinsip win-win solution. 
  • Mengembangkan nilai keadilan pada segenap stakeholders. 

PENDIDIKAN SEBAGAI METODA PENGEMBANGAN ILMU DI INDONESIA
Bagaimana pendidikan manajemen di Indonesia dalam satu sisi menghadapi perubahan bisnis yang dahsyat dan dalam sisi yg lain mengembangkan manajemen Indonesia? Jawabannya justru pendekatan yang pengembangan manajemen Indonesia akan menjawab secara komprehensif serta mendasar. Ada beberapa info penting terkait menggunakan pendidikan manajemen, yaitu: relevansi kurikulum, pengembangan metoda pedagogi, rekonsiliasi riset dan praktik manajemen serta kemitraan dengan global usaha (Handoko, 2002).

Pada sisi lain secara makro dan lebih mendasar lagi adalah political will pemerintah terhadap pendidikan dan kebudayaan. Secara operasional tercermin melalui alokasi RAPBN bagi pendidikan dan kebudayaan serta implementasi aturan terhadap pendidikan yang illegal ataupun yg nir bertanggung jawab terhadap konsumen dan rakyat.

METODOLOGI PENELITIAN BISNIS UNTUK AKUNTANSI DAN MANAJEMEN

Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi Dan Manajemen
KOMPLEKSITAS MANAJEMEN
Pokok bahasan manajemen semakin hari semakin diminati sang banyak sekali kalangan warga baik para ilmuwan, praktisi bahkan orang umum . Tetapi aneka macam kalangan tersebut juga belum mempunyai “communal opinio” tentang definisi manajemen. Sebagai konsekuensinya, manajemen memiliki majemuk konotasi-konotasi yg kadang tidak saling berhubungan, sehingga dapat menyebabkan disparitas dalam memahami “fauna” manajemen. Kompleksitas yang terjadi pada bahasan tentang manajemen tidak hanya terjadi dalam level dialektika, namun yg sebagai masalah berat adalah faktor kepentingan mudah yg sering kali mengendalikan kiprah manajemen menjadi kajian ilmiah yang independen.

Fenomena krusial yang dapat kita lihat merupakan dalam bidang pendidikan manajemen. Bidang pendidikan diperlukan menjadi “penjaga gawang” pada kajian ilmiah tentang manajemen. Namun dalam kenyataannya tidak bisa kita hindari bahwa kepentingan kapitalistik serta materialistik telah menaruh pandangan baru dan orientasi yang tidak sinkron pada mengartikulasikan pendidikan manajemen. 

Dewasa ini di Indonesia benyak yang berpandangan bahwa pendidikan tinggi khususnya dipandang hanya sebagai investasi masa depan daripada untuk kepentingan khasanah keilmuan. Artinya pengorbanan berupa biaya serta ketika dianggap menjadi investasi menggunakan mengharapkan pekerjaan serta pendapatan yang baik menjadi return-nya. Sehingga poly orang berlomba-lomba melanjutkan pendidikannya dalam perguruan tinggi menggunakan harapan terjadi “gerak vertikal” yang kelak akan mengantarkan mereka mencapai “kesejahteraan ekonomi”. Pada sisi lain, penyelenggara pendidikan melihat fenomena pendidikan manajemen sebagai “pasar” yang mempunyai permintaan yg sangat melimpah. Penyelenggara pendidikan, terutama swasta sangat bergairah mendirikan aneka macam acara baik dalam strata diploma, S1, S2 baik MM ataupun MBA serta S3 atau acara Doktor. Problemnya adalah pada “nawaitu” atau niatnya dalam menyelenggarakan pendidikan. Newman pada bukunya Social Research Methods (2000) menjelaskan menjadi fenomena pseudoscience yg erat kaitannya menggunakan ilmu itu sendiri. Pseudoscience adalah suatu kenyataan yang seolah-olah menampakkan dirinya menjadi suatu ilmu (khususnya ilmu-ilmu sosial seperti manajemen), padahal hanya berupa slogan-slogan yang dibumbui menggunakan berberapa ciri yg mirip dengan karakteristik sebuah ilmu. Termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan program gelar banyak sekali strata yg kadang sesungguhnya nir memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap ilmu melainkan hanya kepentingan usaha, beredarnya buku-buku ilmiah manajemen terkenal yang semata-mata buat usaha, penelitian serta telaah ilmiah “semu” yang bertujuan hanya buat mempopulerkan, mengiklankan produk, jasa, bisnis dan lain-lain pada berbagai media massa. Hal tersebut semakin diperparah sang ketidakfahaman warga serta ketiadaan aturan tentang batasan area ilmiah.

PROBLEM MANAJEMEN DI INDONESIA
Momentum kemerdekaan pada Indonesia seharusnya dapat mendorong pengembangan ilmu pengetahuan secara umum yang bercirikan nilai budaya bangsa Indonesia dan pengembangan manajemen sebagai ilmu pada pendidikan terbaru yg memberikan harapan dan keberanian pada bangsa Indonesia buat memperbaiki kehidupan bisnis dan ekonomi dan moralitas bangsa. Namun empiris yg dihadapi kehadiran ratusan bahkan ribuan pendidikan tinggi serta juga ratusan ribu sarjana belum sanggup melahirkan serta membesarkan ilmu pengetahuan khusunya melahirkan sebuah konsepsi manajemen berwawasan Indonesia.

Penyebab utama kepincangan pada kemajuan ilmu pengetahuan adalah terletak pada perlakuan yang tidak “correct” terhadap ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi dalam khususnya, pada lingkungan kampus dalam umumnya (Daoed Joesoef, 1986). Dikatakan nir “correct” lantaran di sana ilmu pengetahuan (pada hal ini secara khusus ilmu manajemen) dihayati tidak dalam arti yg lengkap, yaitu ilmu pengetahuan pada arti produk, ilmu pengetahuan dalam arti sebagai proses serta ilmu pengetahuan pada arti rakyat.

Ilmu pengetahuan sebagai produk, adalah pengetahuan yang sudah diketahui dan diakui kebenrannya oleh masyarakat ilmuwan. Jadi ilmu pengetahuan terbatas dalam kenyataan-fenomena yg mengandung kemungkinan buat disepakati dan terbuka buat diteliti, diuji ataupun dibantah sang orang lain. Sehingga suatu warta ilmiah nir mungkin bersifat original misalnya halnya dalam karya seni. Penemuan kabar ilmiah mungkin bisa original, tetapi bukan buat informasi ilmiah itu sendiri.

Ilmu pengetahuan menjadi proses adalah aktivitas masyarakat yang dilakukan demi inovasi dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya dan bukan sebagaimana kita kehendaki. Metoda ilmiah yg khusus yg digunakan pada proses ini adalah analisis rasional, obyektif, sejauh mungkin bersifat “impersonal” berdasarkan kasus-masalah yg didasarkan dalam percobaan dan data yg dapat diamati (observable data). Dalam pandangan Thomas S. Kuhn, ilmu pengetahuan dalam arti proses (penelitian) diistilahkan menjadi “normal science”. 

Sedangkan ilmu pengetahuan sebagai masyarakat merupakan suatu dunia pergaulan yg tindak tanduknya, perilaku serta perilakunya diatur oleh empat ketentuan (imperatives), yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterestedness) dan skeptisisme yg teratur. Universalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan bebas menurut warna kulit, kepercayaan , keturunan atau dikenal menggunakan slogan “SARA”, yang terdapat hanya metoda. Jadi ilmu pengetahuan dikatakan universal apabila metoda ilmiah bersifat empirik, eksperimental serta rasional yg bekerja dari “logical inference”. Komunalisme berarti bahwa ilmu pengetahuan adalah milik warga (public knowledge). Tanpa pamrih berarti bukan proraganda ataupun promosi bagi kepentiingan eksklusif. Skeptisisme yg teratur berarti impian untuk mengetahui dan bertanya didasarkan pada akal dan keteraturan dalam berfikir.

Bagaimana dengan perkembangan manajemen pada setting Indonesia? Dunia barat dikenal dengan perkembangan ilmu manajemen yg berorientasi pada individualisme, kapitalisme dan materialisme yg didukung pengembangan teknologi terkini. Bangsa Jepang dengan collectivism membuatkan filosofi Kaizen dalam manajemen mereka. Secara epistemologis, bagaimana metoda pengembangan manajemen pada Indonesia. Kemudian pada cabang ontologis, apakah manajemen di Indonesia bisa dikembangkan menjadi ilmu? Dan bagaimana nilai-nilai budaya bangsa dibangun menjadi pijakan aksiologi buat membuatkan ilmu manajemen berwawasan Indonesia. 

Bagaimana pengembangan manajemen sebagai ilmu pada pendidikan terkini yang menaruh harapan dan keberanian pada bangsa Indonesia buat memperbaiki kehidupan bisnis serta ekonomi dan moralitas bangsa, sebagai akibatnya melahirkan sebuah konsepsi ilmu manajemen berwawasan Indonesia.

Secara lebih khusus persoalan akan diarahkan pada upaya melahirkan para sarjana manajemen Indonesia berkualitas dan berkarakter. Kualitas lebih menekankan pada keilmuan dan keterampilan sedangkan berkarakter menekankan dalam visi serta nilai.

MENGAPA FILSAFAT ILMU
Pembahasan di muka diawali menggunakan kompleksitas empiris manajemen, khususnya bagi pengembangan manajemen di Indonesia. Lemahnya tradisi ilmiah dan banyaknya kepentingan ekonomi dan tidak adanya visi bagi pengembangan ilmu serta pendidikan mengakibatkan tidak kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu fenomena global perkembangan ilmu begitu cepat termasuk perkembangan ilmu manajemen. Oleh karena itu sesungguhnya filsafat ilmu ada menjadi kelanjutan dari filsafat pengetahuan lantaran perkembangan ilmu cabang yang tumbuh “bagai cendawan pada isu terkini hujan”. Filsafat pengetahuan sendiri lahir sebagai reaksi serta penjelasan terhadap kontradiksi antar cabang ilmu. Kunto Wibisono menyebutkan bahwa filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yg nir pernah mengenal titik henti dalam menjelajahi kawasan ilmiah buat mencapai kebenaran atau kenyataan. Sesuatu memang tidak pernah akan habis difikirkan serta nir pernah akan terselesaikan diterangkan.

Hakikat ilmu adalah sebab mendasar dan kebenaran universal yg implisit inheren pada dalam dirinya. Dengan tahu filsafat ilmu berarti tahu seluk beluk ilmu yg paling fundamental, sehingga bisa difahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembagannya, keterkaitan antar cabang ilmu yg satu dengan lainnya, simplifikasi serta artifisialitasnya.

MANAJEMEN SEBAGAI ILMU
Apakah manajemen bisa dikategorisasi menjadi ilmu (science)? Pada awalnya manajemen dari berdasarkan istilah “manage” yg bisanya dihubungkan dengan kemampuan untuk mengurusi tempat tinggal tangga (R.W. Morell, 1969). Bahkan Socrates dalam zaman Yunani Kuno mendefinisikan manajemen sebagai suatu keterampilan yg terpisah menurut pengetahuan. Hal tersebut tercermin pada pada nasihat Socrates kepada Nichomachides:

“Aku menyampaikan bahwa apapun yg dikepalai seorang serta beliau mengetahui apa yang dibutuhkan, serta bisa menyediakannya, berarti ia akan menjadi pemimpin yang baik. Oleh karenanya Nichodemachides, janganlah meremehkan orang yg mahir mengelola rumah tangga; sebab penanganan perkara langsung serta umum hanya terletak dalam luas permasalahannya; dalam hal lain keduanya sama, namun yang wajib engkau perhatikan keduanya tidak dikelola tanpa oleh insan; dan perkara langsung nir dikelola oleh satu jenis manusia serta perkara generik sang jenis insan lainnya; sebab mereka yang menjalankan perusahaan generik menggunakan insan yang sama sekali nir tidak sinkron menggunakan mereka yg dipekerjakan sang para manajer dari usaha-bisnis langsung; serta orang yang tahu bagaimana mempekerjakan mereka, menjalankan usaha baik langsung juga umum dengan bijaksana, sedangkan orang yg nir mengetahuinya nir pula keduanya”. 

Pemahaman Socrates tadi sejalan dengan penelusuran yang ditulis dalam proceeding seminar konsep manajemen Indonesia, PPM (1979) yg dihadiri oleh sejumlah pakar manajemen, ilmuwan sosial, peneliti serta birokrat Indonesia seperti Astrid S. Soesanto, Harsya W. Bachtiar, Siswanto Sudomo, Roosseno, Muchtar Lubis, TB. Simatupang, Kwik Kian Gie, Christianto Wibisono, M. Dawam Raharjo dll bahwa pada awalnya manajemen adalah penggunaan keterampilan, pengetahuan serta ikhtiar benar-benar-sungguh buat mencapai tujuannya, maka manajemen merupakan seni (art). Namun dengan meluasnya cakrawala pengetahuan melalui pengumpulan data secara menyeluruh serta mendalam untuk selanjutnya diolah guna perumusan dan pengujian hipotesisnya maka manajemen sudah berkembang sebagai ilmu (science).

Dalam artikel What is a “science” Bahm mendeskripsikan secara kentara unsur-unsur ilmu (science). Bahm mengajak pembaca buat berfikir secara lebih mendasar mengenai unsur-unsur atau komponen science. Bahm memulai dari konflik (dilema) yang dihadapi insan dalam kehidupan sebagai komponen penting science, meskipun tidak semua masalah bersifat ilmiah. 

Selanjutnya Bahm menguraikan pentingnya sikap seorang ilmuwan dalam membuatkan science. Selain itu jua diuraikan sang penulisan tentang kontroversi metoda dan kiprah metoda dalam perkembangan science. Metoda serta perilaku bersama-sama mencoba mencari solusi terhadap problem dan mencari kebenaran, kenyataan dan memberi penjelasan ataupun menaruh solusi terhadap pertarungan. Sehingga science akan selalu berkiprah dan berjalan tanpa mengenal berhenti (unfinished journey). 

Bahm pula membicarakan keprihatinannya bahwa pengembangan teknologi serta industri berjalan demikian cepat yang seharusnnya terkait menggunakan imbas sosialnya ternyata berjalan tidak seimbang sebagai akibatnya selain memberi manfaat, tetapi poly jua membangun kesulitan bagi kehidupan manusia. Sehingga Bahm sangat mendorong buat menambah teknologi dan industri menggunakan hal yang lebih fundamental, yaitu aspek aksiologi, etika, religiusitas serta sosiologi.

Bahm sepertinya pula mengajak pembaca buat lebih pada tahu science menggunakan nilai-nilai universalnya. Secara kentara, Bahm menguraikan dan mengulas secara kritis unsur-unsur (komponen) science sekaligus mengingatkan kepada para peneliti buat menyadari pentingnya unsur-unsur tersebut. 

Di samping pembahasan unsur-unsur science secara struktural, Bahm jua mengulas secara fenomenal baik terkait menggunakan masyarakat, proses serta science menjadi produk. Bahm menyampaikan pengaruh science sendiri bagi kehidupan manusia di mana science tidak bisa tanggal menurut nilai-nilai terkait dengan kepentingan luhur kemanusiaan. 

Perkembangan selanjutnya apakah manajemen merupakan ilmu sebagai erat hubungannya dengan semakin canggihnya perubahan, persaingan dan konduite organisasional yg berkaitan dengan kompleksitas “how to manage” dalam usaha. Semakin pentingnya manajemen paling nir terlihat pada poly masalah organisasi usaha dan publik pada sejumlah negara belum berkembang atau sedang berkembang. Kemudian kualifikasi manajer sebagai mayoritas pada keberhasilan organisasi.

Hal yang menarik disampaikan oleh Socrates dalam masa kemudian bahwa faktor kunci keberhasilan manajemen adalah insan serta grup manusia yang lain. Pada perkembangan selanjutnya timbul hubungan antar manusia dan bila terdapat kecenderungan pandangan serta tujuan, mereka akan membentuk kelompok atau organisasi. 

Pada ketika ini domain manajemen melingkupi bagaimana mengelola organisasi mencapai tujuan secara efektif dan efisien terkait menggunakan lingkungan yang penuh ketidakpastian. Untuk itu sangat dibutuhkan pengetahuan mengenai prinsip serta teknik dasar manajemen dalam mempraktikkan, menyebutkan dan mengembangkannya. Areanya menjadi semakin jelas yaitu efektivitas serta efisiensi insan menjadi sentral. Jika dibandingkan dengan efisiensi mesin maka efisiensi usaha grup insan masih sangat tertinggal. Hal tadi disadari oleh banyak pakar manajemen di lapangan seperti Henri Fayol, Barnard dan Alvin Brown bahwa dibutuhkan konsep manajemen yg kentara dan suatu kerangka teori serta prinsip yang berpautan.

Beberapa pandangan Koontz tentang prinsip, teori dan konsep:
Prinsip adalah kebenaran fundamental, atau apa yg diyakini sebagai kebenran pada ketika eksklusif, yg menunjukkan 2 atau lebih formasi variabel.

Teori merupakan pengelompokan yg sistematis terhadap prinsip-prinsip yang saling bekerjasama sehingga terbentuk kerangka.

Konsep adalah gambaran mental berdasarkan sesuatu yg dibentuk dengan penggeneralisasian bagian-bagiannya.

Jika pengertian mengenai konsep, teori, prinsip dan teknik manajemen kurang difahami maka akan menyulitkan analisis pekerjaan manajerial dan training para manajer. Tanpa hal tersebut pembinaan para manajer hanya bersifat coba-coba. Dalam kadar tertentu, hal tadi mungkin terjadi dan berlangsung sampai ilmu manajemen berkembang secara memadai. 

Pada perkara usaha, pemerintahan serta perusahaan, susunan ilmu manajemen yg cukup kokoh telah terwujud serta poly membantu merealisasikan sifat manajemen serta menyederhanakan ke dalam pendidikan serta pembinaan manajer. Bahkan ada suatu pernyataan yang menarik terkait dengan pendekatan kontingensi yaitu bahwa teori dan ilmu manajemen tidak pernah menganjurkan “satu cara yang terbaik” (Koontz et.al). Teori serta ilmu dimaksudkan buat mencari interaksi-hubungan fundamental, dasar-dasar teknik dan susunan pengetahuan yg tersedia yang semuanya seharusnya di dasarkan dalam konsep yang kentara. 

Dengan demikian diperlukan para praktisi manajemen mengerti serta menggunakan ilmu serta teori yang akan mendasari praktik pekerjaan mereka. 

Jika dikaitkan dengan pandangan Bahm tentang karakteristik penting ilmu, maka manajemen sesungguhnya sudah memiliki kriteria tersebut. Pada domain manajemen bisa muncul poly konflik ilmiah misalnya bagaimana hubungan antara penetapan tujuan dengan motivasi pada suatu setting eksklusif. Untuk mengungkap hal tadi perlu perilaku ilmiah serta metoda ilmiah. 

Di mulai berdasarkan sebuah keyakinan bahwa ilmu memperlihatkan fenomena pada atas, adalah keyakinan rasionalitas alam menaruh inspirasi bahwa berbagai hubungan dapat ditemukan antara 2 rangkaian peristiwa atau lebih. Untuk menemukan secara sistematis diperlukan suatu metoda ilmiah. Metoda ilmiah mencakup metoda induktif yang dimulai dari penemuan liputan (fact finding) dan menguji keakuratan kabar sehingga diperoleh proposisi yg apabila terus menerus teruji seksama akan mengambangkan teori serta khasanah ilmu manajemen itu sendiri. Berikutnya merupakan metoda deduktif yang menekankan pada pengujian teori atau proposisi dalam ilmu manajemen. 

Selanjutnya ilmu manajemen akan terkait dengan aktivitasnya dan implikasi. Implikasi pada pandangan Bahm dikaitkan dengan nilai-nilai bagi peradaban manusia. Pada perspektif kontemporer keberfihakan manajemen dalam nilai-nilai tersebut (aksiologis) tampak dalam fenomena etika usaha serta manajemen yg semakin gencar dewasa ini. 

Pada bidang usaha muncul suatu konsep yg berfihak dalam konsumen serta kesejahteraan insan atau masyarakat baik pada jangka pendek juga jangka panjang termasuk pada dalamnya problem lingkungan hidup atau seringkali dikenal dengan istilah societal marketing concept serta green marketing. Kemudian dalam pengelolaan manajemen sumber daya insan muncul konsep long life employment yang berfihak pada kesejahteraan karyawan jangka panjang. Dalam manajemen strategik dan persaingan muncul konsep co-opetition yang menekankan win-win solution pada seluruh stakeholders (bahkan semua penghuni bumi ini). 

Dikaitkan menggunakan pandangan Bacharach (1989) yg mendukung pandangan (Dubin, 1969; Nagel, 1961; Cohen, 1980) menyatakan bahwa teori merupakan pernyataan interaksi antara unit-unit yang diobservasi pada global empiris. Teori memiliki dua kriteria mencakup: (a) falsifikasi (b) utilitas. Selanjutnya kemampuan teori menaruh penerangan secara teruji dan tersusun dengan rangkaian teori yg terkait menciptakan suatu ilmu.

Dalam penelitian yg dilakukan di bidang manajemen, kedua kriteria teori tadi poly digunakan terutama pada penelitian yang dilakukan positivism, terutama dalam bidang behavioral science sebagai bagian penting pada studi ilmu-ilmu manajemen.

PENGEMBANGAN ILMU MANAJEMEN DI INDONESIA
Pada bahasan sebelumnya sudah didiskusikan pentingnya filsafat ilmu dalam menaruh dasar serta arah bagi pengembangan ilmu. Di samping itu penulis jua telah mencoba mendiskusikan secara fundamental tentang manajemen menjadi ilmu. Berdasarkan bahan diskusi pada atas maka kita akan dapat membuat sebuah setting pengembangan manajemen pada Indonesia. 

Dari suatu pembahasan mengenai impak budaya pada perkembangan manajemen pada Indonesia yg dilakukan PPM Jakarta (1979) dijelaskan keberadaan 3 terminologi krusial yg berkaitan erat dengan upaya pengembangan manajemen Indonesia. Ketiganya mencakup kata: manajer & pemimpin, organisasi serta budaya serta perilaku organisasional. 

Dengan menghubungkan menggunakan teori kontingensi maka sangat terbuka kesempatan bagi kita buat membuatkan sebuah konsep manajemen Indonesia. Teori ini sesungguhnya berpusat pada kombinasi taraf diferensiasi serta integrasi dalam organisasi menghadapi kebutuhan yg timbul menurut lingkungan. Perubahan pada lingkungan akan bergerak cepat sebagai akibatnya menuntut organisasi membentuk level diferensiasi yg dapat selaras menggunakan perubahan lingkungan. Artinya dalam praktik organisasi tidak hanya bersandar dalam gaya internal organisasi namun terkait erat dengan sistem nilai lingkungan budaya yang melingkupinya. 

Dalam kaitannya menggunakan kriteria keilmuan maka manajemen pada Indonesia pula wajib mempunyai unsur-unsur yg universal dengan membuka diri buat menerima dan mengembangkan unsur-unsur tersebut, meskipun demikian kita permanen wajib bersikap selektif. Pada sisi yg lain, proses operasional manajemen akan sangat ditentukan oleh nilai budaya, manusia, warga serta pengalaman sejarah suatu bangsa serta visi bangsa. 

Dalam setting Indonesia, secara normatif kita mempunyai Pancasila menjadi nilai-nilai budaya serta hasrat yang merefleksikan keberagaman nilai-nilai budaya dan bukan keseragaman. Sehingga pendekatan kontingensi akan berperan dalam mengungkapkan bahwa teori serta ilmu manajemen nir pernah menganjurkan “satu cara terbaik”. Keefektifan manajemen selalu bersifat kontingensi, dalam hal ini terkait dengan tatanan nilai luhur yang berkembang pada sana. Di samping itu menggunakan pendekatan sistem, praktisi, manajer serta para ilmuwan harus mempertimbangkan sejumlah besar variabel yang berpengaruh serta berinteraksi dalam pekerjaan manajerial.

Penulis berpendapat masih ada beberapa hal yang bisa kita gali berdasarkan nilai budaya bangsa yg terefleksikan dalam semangat Pancasila seperti:
  • Nilai-nilai spiritual keagamaan serta etika yang sebagai orientasi, filosofi dan tujuan kita pada kegiatan manajerial. 
  • Mengembangkan rasa humanisme dalam aktifitas manajemen serta usaha. 
  • Mengembangkan semangat kolektif pada pencapaian tujuan menggunakan kesadaran bahwa diversitas menjadi kekuatan. 
  • Semangat buat berorietasi pada kesejahteraan organisasi dan rakyat dengan prinsip win-win solution. 
  • Mengembangkan nilai keadilan kepada segenap stakeholders. 

PENDIDIKAN SEBAGAI METODA PENGEMBANGAN ILMU DI INDONESIA
Bagaimana pendidikan manajemen di Indonesia dalam satu sisi menghadapi perubahan usaha yg dahsyat serta pada sisi yang lain menyebarkan manajemen Indonesia? Jawabannya justru pendekatan yg pengembangan manajemen Indonesia akan menjawab secara komprehensif serta mendasar. Ada beberapa isu krusial terkait dengan pendidikan manajemen, yaitu: relevansi kurikulum, pengembangan metoda pengajaran, rekonsiliasi riset serta praktik manajemen dan kemitraan dengan global bisnis (Handoko, 2002).

Pada sisi lain secara makro serta lebih mendasar lagi merupakan political will pemerintah terhadap pendidikan dan kebudayaan. Secara operasional tercermin melalui alokasi RAPBN bagi pendidikan dan kebudayaan dan implementasi aturan terhadap pendidikan yang illegal ataupun yang tidak bertanggung jawab terhadap konsumen serta masyarakat.

PENDEKATAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Pendekatan Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif 
Penelitian pada bidang komunikasi seperti halnya pada ilmu-ilmu sosial budaya lainnya,selama ini terlalu menekankan pada pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif yang dilandasi faham positivisme empirik yang berintikan aktivitas penelitian eksperimental memang telah memiliki pengaruh yang sangat bertenaga dalam banyak sekali bidang ilmu, dan bahkan pernah ditinjau menjadi satu-satunya pendekatan penelitian yang benar serta ilmiah. Pandangan tersebut bisa menyeret para peneliti ilmu-ilmu sosial budaya yang pada perkembangan aktivitasnya semakin acapkali menghadapi beragam pertarungan yang nir sanggup dijawab secara tuntas. Dari kenyataan yang dihadapi tadi para peneliti semakin manyadari bahwa manusia menjadi subyek menggunakan segala sifatnya yang subjektif tidak mungkin dapat dikaji secara secara sempurna dengan pendekatan ilmu obyektif. Pemaksaan ke arah itu akan mengakibatkan bias mendasar dan mengakibatkan kekeliruan fatal yg sebagai asal krisis ilmu-ilmu sosial dimasa kini . Masalah sosial yg kompleks tak mungkin untuk diuji menggunakan pandangan partial dan linear. Didalam ilmu alam berbagai kasus pokok berdasarkan dalam fenomena obyek yg dapat dipandang di luar diri kita serta bebas menjadi berita obyektif. Kenyataan itu sangat tidak sinkron halnya menggunakan ilmu sosial budaya yg memusatkan studinya dalam realitas menjadi produk pikir manusia menggunakan segala subyektivitas emosi serta nilai-nilai yang dianutnya. Fenomena sosial serta perilaku manusia dalam dasarnya hanya ada pada pikiran insan. Realitas tersebut terikat sang hubungan dialektis antara subyek dan obyek. Demikianlah pada menyelidiki metodologi penelitian sosial ini, anda diharapkan mengenal baik pendekatan kuantitatif juga kualitatif, lantaran pendekatan kualitatif sangat sempurna bagi studi ilmu-ilmu sosial budaya, termasuk didalamnya ilmu komunikasi.

Pemahaman ciri metodologi
Mengenal ( perbedaan ) pendekatan kuantitatif serta kualitatif akan lebih gampang dan kentara jika kita tahu perbedaannya dengan majemuk hal yang sangat fundamental didalam ke 2 metodologi tersebut. Penggunaan metodologi penelitian kualitatif tidak sinkron dengan penggunaan metodologi penelitian kuantitatif bukan sekedar lantaran menghadapi disparitas “ subjek matter “, atau karena disiplin ilmu yang tidak selaras, tetapi secara fundamental karena disparitas keyakinan keilmuan yg bersumber dalam penggunaan kerangka berpikir berpikir yg tidak sinkron ( smith, 1984 ).

Bilamana kita bisa memahami perbedaan itu secara sempurna maka kita akan bisa memisahkan ke 2 metdologi penelitian tersebut menggunakan penuh pencerahan dan berada pada penglihatan batas yang jelas. Dengan demikian didalam melakukan kegiatan penelitian, kita tak akan mudah tersesat atau dengan sangat gegabah mencampur-adukkan majemuk pengertian dasar menurut 2 jenis metodologi tersebut.

Guba dan Lincoln ( 1981 : 62 – 82 ) menyajikan uraian yang cukup panjang dan mempertentang-kan perbedaan kerangka berpikir kedua penelitian ini. Untuk penelitian kuantitatif dipakai kata Scientific Paradigm ( kerangka berpikir ilmiah ), sedangkan penelitian kualitatif dinamakan Naturalistic Inquiry atau inkuiri alamiah.

Pokok-pokok perbedaan ke 2 paradigma tersebut bisa disimak pada tabel berikut : 

Tabel. Perbedaan Paradigma Ilmiah serta Alamiah

Poster tentang

PARADIGMA
Ilmiah
Alamiah
·Teknik yang digunakan

·Kriteria kualitas

·Sumber teori


·Persoalan kausalitas



·Tipe pengetahuan yang digunakan

·Pendirian

·Maksud
Kuantitatif


“ Rigor “


Apriori


Dapatkah x menyebabkan y ?



Proposisional




Reduksionis

Verifikasi
Kualitatif


Relevansi


Dasar-dasar               ( Grounded )

Apakah x menyebabkan y dlm. Latar alamiah


Proposisional yang diketahui bersama



Ekspansionis

Ekspansionis
Karakteristik Metodologis
·Instrumen




·Waktu penetapan pengumpulan data dan analisis

·Desain


·Gaya

·Latar

·Perlakuan

·Satuan kajian

·Unsur kontekstual
Kertas-pensil atau alat fisik lainnya



Sebelum penelitian





Pasti     ( preordinate )


Intervensi

Laboratorium

Stabil

Variabel


Kontrol
Orang sebagai peneliti



Selama serta selesainya pengumpulan data




Muncul-berubah


Seleksi

Alam

Bervariasi

Pola-pola


Turut campur atas undangan
1. Teknik yang digunakan.
Pada dasarnya, baik teknik kuantitatif juga teknik kualitatif bisa dipakai beserta-sama. Namun, dalam kerangka berpikir ilmiah memberi tekanan pada teknik kuantitatif, sedang paradigma alamiah memberi tekanan pada teknik kualitatif.

2. Kriteria kualitas.
Untuk menialai “ baik/tidaknya “ penelitian, kerangka berpikir ilmiah sangat percaya pada kriteria Rigor, yaitu kesahihan eksternal serta internal, keandalan dan obyektivitas.

Menurut Guba dan Lincoln ( 1981 : 66 ) penekanan dalam kriteria tadi membawa eksperimen dalam penyusunan desain yg indah, tetapi tak jarang sempit cakupannya. Hal ini dikarenakan kebanyakan eksperimen memasukkan situasi yang kurang dikenal, buatan, dan masa hidupnya singkat dan hal itu membuat latar – nir – biasa sukar digeneralisasikan pada latar lainnya.

Sebaliknya, paradigma alamiah menggunakan kriteria relevansi. Relevansi ini merupakan signifikasi menurut langsung terhadap lingkungan senyatanya. Usaha menemukan kepastian serta keaslian merupakan hal yg penting pada penelitian alamiah.

3. Sumber teori.
Paradigma ilmiah menekankan dalam pembuktian hipotesis yg diturunkan berdasarkan teori a priori. Teori semacam ini disusun dengan ligika deduktif dan logis.

Sedangkan kerangka berpikir alamiah menemukan teori menggunakan berdasar pada data yang dari berdasarkan dunia nyata. Metode yang dipakai adalah metode menemukan dengan menganalisis data yg diperoleh secara sistematis.

4. Pertanyaan tentang kausalitas.
Penelitian biasanya dihadapkan pada penentuan hubungan karena-dampak. Jawaban terhadap pertanyaan interaksi sebab akibat krusial buat keperluan meramalkan, kontrol disatu pihak, serta verstehen ( pemahaman ) dilain pihak. Kedua paradigma ilmiah maupun alamiah memakai pertanyaan-pertanyaan tadi, namun menggunakan cara yang tidak sinkron.

Paradigma ilmiah umumnya bertanya = dapatkah X mengakibatkan Y ? Buat itu maka mereka mendemonstrasikan di laboratorium bahwa Y sesungguhnya bisa ditimbulkan sang X.

Di pihak lain paradigma alamiah kurang tertarik dengan apa yang diusahakan terjadi pada situasi yg didesain terlebih dahulu, tetapi lebih tertarik dalam apa yang terjadi pada latar alamiah.

5. Tipe pengetahuan yang digunakan.
Ada 2 macam pengetahuan ; yaitu pengetahuan proposisional dan pengetahuan – yg – diketahui – beserta, yg diketahui serta disepakati pula oleh subjek. Kedua tipe pengetahuan tadi, bisa dijelaskan perbedaannya. Pengetahuan proposisional adalah pengetahuan yang dapat dinyatakan pada bentuk bahasa.

Pengetahuan – yang – diketahui – bersama ( tacit knowledge ) adalah instuisi, pemahaman, atau perasaan yang tidak dapat dinyatakan menggunakan istilah-istilah yg dalam hal-hal tertentu diketahui sang subjek.

Paradigma ilmiah membatasi diri dalam pengetahuan proposisional. Pengetahuan demikian adalah esensi metode buat menyatakan proposisi secara eksplisit dalam bentuk hipotesa yang diuji buat menentukan validitasnya. Teori-teori terdiri atas pengumpulan hipotesis semacam itu.

Sebaliknya, paradigma alamiah mengizinkan dalam mendorong pengetahuan – yang – diketahui – beserta guna dimunculkan buat keperluan membantu pembentukan teori dari dasar juga buat memperbaiki komunikasi pulang kepada asal informasi dengan cara peristilahan mereka.

6. Pendirian.
Paradigma ilmiah berpendirian Reduksionis. Mereka menyempitkan penelitian dalam fokusyang relatif kecil menggunakan jalan membebankan hambatan-kendala, baik dalam syarat anteseden dalam nikuiri ( buat keperluan mengontrol ), maupun dalam keluaran-keluaran.

Jadi, pencari – tahu – ilmiah mulai dengan menyusun pertanyaan atau hipotesis, lalu hanya mencari informasi yg akan menaruh jawaban pada pertanyaan atau menguji hipotesis-hipotesis itu.

Sementara pencari – memahami – alamiah mempunyai pendirian ekspansionis. Mereka mencari perspektif yg akan mengarahkan pada pelukisan dan pengertian kenyataan sebagai keseluruhan atau akhirnya dengan jalan menemukan sesuatu yg mencerminkan kerumitan gejala-gejala itu. Mereka memasuki lapangan, menciptakan dan melihat pembawaannya yang tampak berdasarkan arah manapun titik masuknya.

Jadi pencari – tahu – ilmiah merogoh setiap struktur, terarah serta tunggal sedangkan pencari – tahu – alamiah berpendirian terbuka, menjajagi, serta kompleks.

7. Maksud.
Paradigma ilmiah senantiasa bermaksud menemukan pengetahuan melalui pembuktian hipotesis yang dispesifikasikan secara apriori ad interim pencari – memahami – alamiah, menitikberatkan upayanya pada bisnis menemukan unsur-unsur atau pengetahuan yang belum ada pada teori yg berlaku.

8. Instrumen.
Untuk mengumpulkan data, paradigma ilmiah memanfaatkan informasi lapangan atau alat bantu fisik lainnya. Sedang pencari – tahu – alamiah dalam pengumpulan datanya lebih banyak bergantung pada dirinya sendiri sebagai indera pengumpulan data. Orang – sebagai – instrumen memililki senjata “ dapat menetapkan “ yg secara luwes dapat digunakannya. Ia senantiasa bisa menilai keadaan serta bisa mengambil keputusan.

9. Waktu buat mengumpulkan data serta anggaran analisis.pencari – tahu – ilmiah bisa menetapkan seluruh aturan pengumpulan serta analisis data sebelumnya. Mereka sudah mengetahui hipotesis yang akan diuji serta dapat berbagi instrumen yang cocok menggunakan variabel. Instrumen ditetapkan sebelumnya tentang ukuran terhadap karakteristik yg diketahui sebagai akibatnya memungkinkan tetapkan waktu melakukan analisis.

Paradigma alamiah sebaliknya, tidak diperkenenkan memformulasikan secara a priori. Datanya dikumpulkan serta mengkategorikan dalam bentuk kasar serta diunitkan oleh peneliti/analisis.

10.desain.
Bagi paradigma ilmiah, desain harus disusun secara pasti sebelum warta dikumpulkan. Sekali desain dipakai, maka nir boleh mengubahnya pada bentuk apapun. Bagi paradigma alamiah, desain bisa disusun sebelumnya secara tidak lengkap. Apabila telah digunakan, desain senantiasa dilengkapi dan disempurnakan.

11.gaya.
Paradigma ilmiah menggunakan gaya menerapkan hegemoni. Variabel bebas serta terikat diisolasikan menurut konteksnya, diatur sedemikian rupa sebagai akibatnya hanya variabel ini yang timbul buat diukur serta lalu dikonfirmasikan menggunakan hipotesisnya.

Sebaliknya, kerangka berpikir alamiah bergantung pada seleksi. Dari pelbagai insiden yg terjadi secara alamiah akhirnya dipilih sesuatu tanda-tanda tanpa mengadakan intervensi.

Jadi pencari – memahami – alamiah tidak mengelola situasi, tetapi memanfaatkannya.

12.latar.
Pencari – memahami – ilmiah bersandar pada latar laboratorium buat keperluan mengadakan kontrol, mengelola hegemoni dan sebagainya. Sebaliknya, pencari – memahami – alamiah cenderung mengadakan penelitian pada latar alamiah.

13.perlakuan.
Bagi kerangka berpikir ilmiah, konsep perlakuan sangat penting. Bagi setiap eksperimen, perlakuan itu wajib stabil dan tidak bervariasi. Jika tidak demikian, maka sukar menentukan efek yang berkaitan dengan suatu penyebab tertentu.

Untuk kerangka berpikir alamiah, konsep perlakuan tadi asing karena perlakuan menyertakan beberapa cara manipulasi atau hegemoni.

14.satuan kajian.
Pada kerangka berpikir ilmiah merupakan variabel serta seluruh hubungannya yang dinyatakan diantara variabel serta sistem variabel.

Sebaliknya, pada paradigma alamiah berlaku pendirian agar satuan kajian lebih sederhana. Selain itu mereka lebih menekankankemurnian sistem pola yg diamati secara alamiah.

15.unsur-unsur kontekstual.
Peneliti ilmiah senantiasa berusaha mengontrol semua unsur yang menggaggu yang bisa mengaburkan unsur-unsur itu dari kenyataan yang menjadi pusat perhatian atau yang mengacau dalam impak terhadap kenyataan itu.

Peneliti alamiah bukan hanya nir tertarik pada kontrol, melainkan malah mengundang adanya ikut campur sehingga mereka secara lebih baik bisa mengerti insiden pada dunia konkret dan merasakan pola-pola yg ada pada dalamnya.

Validitas serta Reliabilitas
Validitas merupakan ‘ built in control mechanism ‘ dalam metode penelitian yg memakai instrumen secara eksplisit. Validitas mempersoalkan instrument yang dipakai dalam mengukur atribut ; apakah alat ukur benar-sahih mengukur atribut yang dimaksud. Mengapa masalah validitas senantiasa dipertanyakan dalam penelitian sosial ? Karena atribut semisal psikologis, pemahaman ilmiah, taraf konservatisme, dll sangat sulit diukukr/dicari, meski demikian peneliti ilmiah wajib sanggup mengukur.

Reliabilitas : kemampuan, ketepatan, keajegan, homogenitas alat ukur. Suatu alat ukkur dikatakan mantap bila dipergunakan berulang kali hasilnya tetap sama.

Catatan : suatu data yg punya reliabilitas belum tentu punya validitas, sedang data yg punya validitas sudah tentu punya reliabilitas.

Beberapa metode menguji reliabilitas.
1. Metode ulang : mengulangi pengukuran berdasar selang ketika ttt.
2. Metode belah dua : membegi dua buah pertanyaan ke pada dua kelompok.
3. Metode parabel : buah-buah pertanyaan mewakili suatu variabel yg satu serta buah pertanyaan yang sama mewakili variabel yang lain yang punya kesamaan sifat, diukur secara bersamaan.

Jenis-jenis Validitas.
1. Validitas logis : mempersoalkan apakah pola hubungan variabel/konsep bisa diterima akal sehat. Misal : kita akan menganggap logis apabila Org meneliti imbas usia terhadap suatu hal bukan kebalikannya.
2. Validitas tampang : menyangkut atribut kongkrit, jika kita ingin mengukur mencek huruf kita akan meminta orang membaca.
3. Validitas lintas budaya : mempersoalkan apakah indera ukur yang dipakai dalam masyarakat ttt juga berlaku didalam rakyat yang lain.
4. Validitas internal : menyangkut mengenai internal psikologis khalayak/responden. Misal : jika kita ingin mengamati sikap petani terhadap kredit bisnis tersebut maka survey yg diajukan harus sahih-benar menggali psikologis internal petani, bagaimana tanggapannya thd acara kredit tsb.
5. Validitas eksternal : mempersoalkan apakah alat ukur yang dikenakan dalam komunitas ttt juga berlaku pada komunitas yang lain. Misal : mangamati konsep belajar jeda jauh ( UT ), apakah siaran-siaran pendidikan acara UT mampu memacu belajar mahasiswa, bagaimana antara mahasiswa fisip dibanding menggunakan mahasiswa fakultas lain.
6. Validitas konstruk : mempersoalkan seberapa jauh suatu alat ukur punya persamaan menggunakan alat ukur yang lain dalam saat mengukur konstruk/konsep yang sama.
7. Validitas isi : menyankut derajad keterwalian substansi suatu indera ukur. Pengukuran kategorisasi dalam content analysis, kategori yang dibuat peneliti itu sanggup disepakati oleh pengkoding/pembaca.
8. Validitas prediktif : mempersoalkan seberapa jauh suatu indera ukur bisa meramalkan perilaku sekarang maupun yang akan datang. 

Penyusunan Proposal Penelitian
Terdapat 2 hal pokok yang wajib benar-benar difahami ketika hendak menyusun atau menciptakan proposal penelitian. Dua hal tadi merupakan :
1) Logika penelitian, dan
2) Format proposal yang dikehendaki.
1) Logika penelitian.

Yang dikenal menggunakan akal penelitian disini merupakan struktur fikiran berkenaan menggunakan proses penelitian, yg pada hal ini terdapat disparitas antara penelitian kuantitatif serta penelitian kualitatif.

Posisi masalah/masalah yg dirumuskan sang peneliti ( eksplisit dinyatakan pada proposal ) pada hal ini bisa dikatakan “ mendahului “ posisi teori. Perlu diperhatikan benar disisni merupakan, bahwa kasus penelitian tidak akan pernah nampak/kelihatan tanpa ditinjau melalui teori. Artinya, perkara penelitian hanya terdapat bila orang mempunyai bekal teori buat melihatnya. Mempertentengkan gejala atau fakta ( sebagian menurut perilaku manusian dalam kebersamaannya dengan sesama atau mungkin pada kebersamaannya dengan alam serta pencipta disuatu fihak ) dengan fikiran-fikiran eksklusif ( teori-teori ) difihak lain dapat membuat apa yg disini kita sebut-sebut sebagai kasus penelitian.

Masalah penelitian ini nanti harus dapat dijawab/dipecahkan dengan atau lewat penelitian bersangkutan. Peneliti sangat mungkin tertarik buat menjawab secara tentatif ( menganggap-duga ) atas kasus tadi. Kalau demikian halnya orang wajib mendeduksikan teori-teori eksklusif, memberlakukan pernyataan asumtif yang tadinya dipercaya generik atau luas sifat kebenarannya kedalam gejala atau beberapa gejala yg saling dikaitkan secara khusus/sempit. Jawaban yg bersifat dugaan ( yg masih wajib dibuktikan kebenarannya dengan data realitas/lapangan ) itulah hipotesa.

Hipotesa umumnya terdiri berdasarkan dua atau lebih variabel yang dikaitkan satu dengan yg lain ( dikorelasikan, dicari hubungan kausalitasnya, dibandingkan, dst )

Contoh hipotesa : 
“ perilaku a-politis generasi muda perkotaan lebih tinggi dibandingkan menggunakan sikap a-politis generasi belia pedesaan “

contoh hipotesa pada atas mengandung dua variabel
(a) Sikap a-politis generasi belia perkotaan, dan 
(b) Sikap a-politis generasi muda pedesaan.

Kedua variabel ini hendak dibandingkan dan diduga yg pertama lebih tinggi dibanding yg kedua. Tetapi buat bisa dibandingkan maka konsep utama pada variabel harus diberi arti spesifik, yakni menggunakan memilih aspek tertentu sebagai akibatnya menaruh peluang untuk pengukuran dan kategorisasi. Inilah yg disebut operasionalisasi. 

Suatu variabel tak jarang kedapatan mengandung poly konsep, serta seluruh konsep selayaknya didefinisikan secara spesifik, yakni menggunakan memilih aspek-aspek eksklusif berdasarkan suatu konsep.

Konsep pokok pada variabel-variabel misalnya dicontohkan di atas merupakan sikap a-politis. Sikap a-politis misalnya didefinisikan menjadi kesamaan perasaan nir senang atau tidak tertarik pada masalah-masalah politis yg akan dicermati/diukur dari ( sebagian, semua, atau masih akan ditambah lagi ) penggunaan media massa ( rubrik, program apa yg paling diminati ), kegiatan diluar bangku kuliah/sekolah ( menjadi anggota,ikut menyumbang, duduk pada kepengurusan organisasi yg punya aset terhadap pengambilan keputusan politis dsb.

Setelah terdapat operasionalisasi konsep/variabel maka peneliti bisa pulang ke lapangan guna mengumpulkan data. Data direkam/dicatat kemudian diproses buat kemudian dianalisis.

Dalam penelitian kuantitatif, data berupa kuantum ( bilangan ), yakni memilih intensitas serta atau ekstensitas menurut gejala yg diamati. Lantaran data lebih poly adalah sapta, maka peneliti sering kali berfikir mengenai satuan-satuan buat memilih intensitas dan ekstensitas tadi : usia berapa tahun, tiba kedap berapa kali, menyumbang berapa rupiah untuk organisasi serta atau mengongkosi kegiatan-kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan politik dsb.

Dalam pengolahan data, maka duduk perkara utama merupakan mentransformasikan jawaban responden ( kalau yang diteliti kebetulan adalah manusia entah individu atau grup ) ke dalam bentuk tabel-tabel atau grafik. Dengan memperhatikan ukuran-berukuran bagi kategorisasi yang dibentuk peneliti bisa memasukkan responden mana masuk dalam kategori mana.

Analisis data dalam pada itu adalah membaca kecenderungan angka-nomor atau tepatnya data-data yg ada. Dalam hubungan ini sangat mungkin peneliti membutuhkan teknik analisis statistik, terutama untuk mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan suatu variabel menggunakan variabel lainnya tadi ( terdapat korelasinya nir, ada perbedaannya atau nir, apakah variabel sebagai penyebab keluarnya variabel y atau tidak, dsb ).

Hasil analisis inilah sebenarnya temuan-temuan penelitian, yakni setalah peneliti menafsirkannya dengan cara menampakan konsekuensi-konsekuensi berdasarkan hasil analisis. Termasuk disini merupakan : jawaban apa atas perkara penelitian, hipotesa diterima atau ditolak pada taraf signifikasi eksklusif, teori-teori mana yang mendapat penguatan serta teori-teori mana yg ditambah. Dengan istilah lain penegasan-penegasan apa yang sanggup dibentuk, saran-saran apa yang bisa dikemukakan dst. Temuan-temuan ini, terutama yg berupa proposisi-proposisi akan bermakna kontributif bagi pengembangan ilmu khususnya khazanah ilmu.

Setelah peneliti mempunyai topik atau problem eksklusif buat duteliti, maka tahap yang wajib segera dilakukan berikutnya adalah menyusun pertanyaan-pertanyaan buat kepentingan ini peneliti memperhatikan betul penekanan dari minat sebenarnya yang hendak diteliti. Sesudah ini peneliti lalu pulang ke lapangan buat mengumpulkan data. Karena penelitian kualitatif umumnya bersifat deskriptif, yakni berusaha hendak melukiskan tanda-tanda atau interaksi tanda-tanda-tanda-tanda yang dijumpai pada masyarakat yg diteliti ‘ sekarang ‘ maka pertanyaan lebih poly ‘ bagaimana ‘. Ketika peneliti mulai melakukan observasi dilapangan inilah peneliti mulai mengetahui pertanyaan-pertanyaan apa yg benar-sahih relevan dengan maksud serta tujuan penelitian serta mana yang nir relevan. Dari sini peneliti sanggup merubah, membuang, menambah pertanyaan penelitian yg pada aneka macam hal sebenarnya ini adalah defleksi berdasarkan proposal yang telah dibentuk.

Yang unik dalam penelitian kualitatif adalah ketidak terpisahan antara pengumpulan data, pengolahan data, dengan analisis data. Artinya data diolah serta dianalisis tanpa menunggu terkumpulnya semua data. Pengolahan / penyusunan data serta analisis data dilakukan sammbil terus melakukan pengumpulan data yg karena itu peneliti mempunyai kesempatan buat terus-menerus memperbaiki/menyempurnakan pertanyaan-pertanyaan. Dalam proses melingkar begini peneliti malahan disarankan untuk terus jua menjelajahi literatur yang relevan dengan dilema-problem yg dihadapi. Hal ini krusial untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan misalnya ; apa yang telah ditemukan oleh peneliti lain berkenaan dengan masalah-masalah yg sekarang sedang diteliti. Apa yang sudah diabaikan pada literatur ? Bagaimana peneliti berbeda perspektif menggunakan penulis/peneliti lain sebagaimana kelihatan dalam literatur yg dibaca ? Hal-hal ini justru akan sangat berarti waktu peneliti hendak menuliskan atau menegaskan temuan-temuannya. Dengan istilah lain, hasil penelitian orang lain ( penulisan etnografik ) sangat kontributif sepanjang penelitian masih pada proses. Dan proses penelitian siklis begini akan kelihatan kentara bahwa peneliti sangat dituntut untuk sesnantiasa mengulang/memperbaharui pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, memasak data, menganalisis data sekaligus sambil terus jua memeriksa literatur-literatur – sesuatu yg tak terjadi dalam penelitian kuantitatif. Kegiatan atau proses ini akan berhenti dalam titik eksklusif, yakni ketika peneliti telah merasa cukup memperoleh atau mencapai tujuan-tujuannya.

Dalam hal demikian output penelitian berupa laporan akan merupakan sumbangan pada khazanah keilmuan khususnya penulisan etnografi.

Dari pemaparan ke 2 struktur logika penelitian misalnya di atas, kita kemudian dapat melihat beberapa disparitas diantara keduanya ( kualitatif & kuantitatif ) sbb :
No

Perihal

Kuantitatif

Kualitatif

1.
Peran penelitian
Sebagai persiapan/pendahuluan
Sangat bermanfaat buat eksplorasi interpretasi
2.
Hubungan peneliti menggunakan subjek
Memiliki jarak
Dekat
3.
Posisi peneliti
Outsider
Insider
4.
Hubungan teori/konsep dengan penelitian
Konfirmasi
Urgan, menampilkan pandangan baru
5.
Strategi penelitian
Terstruktur
Tidak
6.
Cakupan temuan
Dalil/aturan-aturan/perkiraan teoritis
Ideografik (keadaan kekinian)
7.
Kesan empiris sosial
Statis serta tak ditentukan aktor-aktor
Sbg. Proses pada tentukan sang aktor-aktor
8.
Keadaan/sifat data
Sukar dibuat penetrasi
Kaya, mendalam shg. Nampak substantif
Dipetik menurut : Bryman,Alan ( 1988, hal 94 )

PENDEKATAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Pendekatan Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif 
Penelitian pada bidang komunikasi misalnya halnya dalam ilmu-ilmu sosial budaya lainnya,selama ini terlalu menekankan dalam pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif yang dilandasi faham positivisme empirik yg berintikan kegiatan penelitian eksperimental memang telah memiliki pengaruh yg sangat bertenaga dalam banyak sekali bidang ilmu, dan bahkan pernah dicermati sebagai satu-satunya pendekatan penelitian yg sahih serta ilmiah. Pandangan tadi bisa menyeret para peneliti ilmu-ilmu sosial budaya yg dalam perkembangan aktivitasnya semakin sering menghadapi majemuk konflik yg tidak mampu dijawab secara tuntas. Dari kenyataan yg dihadapi tadi para peneliti semakin manyadari bahwa insan menjadi subyek dengan segala sifatnya yg subjektif tak mungkin bisa dikaji secara secara sempurna dengan pendekatan ilmu obyektif. Pemaksaan ke arah itu akan menimbulkan bias fundamental dan mengakibatkan kekeliruan fatal yg sebagai asal krisis ilmu-ilmu sosial dimasa kini . Masalah sosial yg kompleks tak mungkin buat diuji menggunakan pandangan partial serta linear. Didalam ilmu alam banyak sekali kasus utama didasarkan pada kenyataan obyek yg bisa ditinjau di luar diri kita dan bebas menjadi informasi obyektif. Kenyataan itu sangat tidak sama halnya menggunakan ilmu sosial budaya yg memusatkan studinya dalam realitas sebagai produk pikir insan menggunakan segala subyektivitas emosi serta nilai-nilai yg dianutnya. Fenomena sosial serta konduite insan pada dasarnya hanya ada pada pikiran manusia. Realitas tersebut terikat sang interaksi dialektis antara subyek serta obyek. Demikianlah pada mempelajari metodologi penelitian sosial ini, anda diharapkan mengenal baik pendekatan kuantitatif juga kualitatif, lantaran pendekatan kualitatif sangat sempurna bagi studi ilmu-ilmu sosial budaya, termasuk didalamnya ilmu komunikasi.

Pemahaman karakteristik metodologi
Mengenal ( disparitas ) pendekatan kuantitatif dan kualitatif akan lebih gampang serta kentara bila kita tahu perbedaannya menggunakan beragam hal yg sangat mendasar didalam ke 2 metodologi tersebut. Penggunaan metodologi penelitian kualitatif tidak selaras menggunakan penggunaan metodologi penelitian kuantitatif bukan sekedar lantaran menghadapi disparitas “ subjek matter “, atau karena disiplin ilmu yg tidak sinkron, namun secara fundamental lantaran perbedaan keyakinan keilmuan yang bersumber dalam penggunaan paradigma berpikir yang tidak selaras ( smith, 1984 ).

Bilamana kita bisa memahami perbedaan itu secara sempurna maka kita akan mampu memisahkan ke 2 metdologi penelitian tadi dengan penuh kesadaran dan berada dalam penglihatan batas yang kentara. Dengan demikian didalam melakukan kegiatan penelitian, kita tidak akan mudah tersesat atau dengan sangat gegabah mencampur-adukkan beragam pengertian dasar menurut 2 jenis metodologi tersebut.

Guba serta Lincoln ( 1981 : 62 – 82 ) menyajikan uraian yang relatif panjang serta mempertentang-kan perbedaan kerangka berpikir kedua penelitian ini. Untuk penelitian kuantitatif digunakan istilah Scientific Paradigm ( kerangka berpikir ilmiah ), sedangkan penelitian kualitatif dinamakan Naturalistic Inquiry atau inkuiri alamiah.

Pokok-pokok perbedaan kedua kerangka berpikir tersebut dapat disimak pada tabel berikut : 

Tabel. Perbedaan Paradigma Ilmiah serta Alamiah

Poster tentang

PARADIGMA
Ilmiah
Alamiah
·Teknik yg digunakan

·Kriteria kualitas

·Sumber teori


·Persoalan kausalitas



·Tipe pengetahuan yg digunakan

·Pendirian

·Maksud
Kuantitatif


“ Rigor “


Apriori


Dapatkah x menyebabkan y ?



Proposisional




Reduksionis

Verifikasi
Kualitatif


Relevansi


Dasar-dasar               ( Grounded )

Apakah x mengakibatkan y dlm. Latar alamiah


Proposisional yg diketahui bersama



Ekspansionis

Ekspansionis
Karakteristik Metodologis
·Instrumen




·Waktu penetapan pengumpulan data serta analisis

·Desain


·Gaya

·Latar

·Perlakuan

·Satuan kajian

·Unsur kontekstual
Kertas-pensil atau alat fisik lainnya



Sebelum penelitian





Pasti     ( preordinate )


Intervensi

Laboratorium

Stabil

Variabel


Kontrol
Orang menjadi peneliti



Selama dan selesainya pengumpulan data




Muncul-berubah


Seleksi

Alam

Bervariasi

Pola-pola


Turut campur atas undangan
1. Teknik yg digunakan.
Pada dasarnya, baik teknik kuantitatif maupun teknik kualitatif dapat digunakan beserta-sama. Tetapi, dalam kerangka berpikir ilmiah memberi tekanan pada teknik kuantitatif, sedang paradigma alamiah memberi tekanan dalam teknik kualitatif.

2. Kriteria kualitas.
Untuk menialai “ baik/tidaknya “ penelitian, paradigma ilmiah sangat percaya dalam kriteria Rigor, yaitu kesahihan eksternal serta internal, keandalan serta obyektivitas.

Menurut Guba serta Lincoln ( 1981 : 66 ) fokus dalam kriteria tadi membawa eksperimen dalam penyusunan desain yang rupawan, namun tak jarang sempit cakupannya. Hal ini dikarenakan kebanyakan eksperimen memasukkan situasi yg kurang dikenal, protesis, serta masa hidupnya singkat dan hal itu membuat latar – tidak – biasa sukar digeneralisasikan pada latar lainnya.

Sebaliknya, kerangka berpikir alamiah menggunakan kriteria relevansi. Relevansi ini merupakan signifikasi berdasarkan langsung terhadap lingkungan senyatanya. Usaha menemukan kepastian serta keaslian merupakan hal yg penting dalam penelitian alamiah.

3. Sumber teori.
Paradigma ilmiah menekankan dalam verifikasi hipotesis yang diturunkan dari teori a priori. Teori semacam ini disusun dengan ligika deduktif dan logis.

Sedangkan kerangka berpikir alamiah menemukan teori menggunakan berdasar dalam data yg asal dari dunia konkret. Metode yg digunakan merupakan metode menemukan menggunakan menganalisis data yg diperoleh secara sistematis.

4. Pertanyaan mengenai kausalitas.
Penelitian umumnya dihadapkan pada penentuan interaksi sebab-akibat. Jawaban terhadap pertanyaan hubungan karena akibat penting buat keperluan meramalkan, kontrol disatu pihak, serta verstehen ( pemahaman ) dilain pihak. Kedua kerangka berpikir ilmiah maupun alamiah menggunakan pertanyaan-pertanyaan tadi, namun menggunakan cara yg tidak sinkron.

Paradigma ilmiah umumnya bertanya = dapatkah X mengakibatkan Y ? Buat itu maka mereka mendemonstrasikan pada laboratorium bahwa Y sesungguhnya dapat disebabkan oleh X.

Di pihak lain kerangka berpikir alamiah kurang tertarik menggunakan apa yg diusahakan terjadi pada situasi yg dirancang terlebih dahulu, namun lebih tertarik pada apa yang terjadi pada latar alamiah.

5. Tipe pengetahuan yg digunakan.
Ada dua macam pengetahuan ; yaitu pengetahuan proposisional serta pengetahuan – yg – diketahui – bersama, yang diketahui dan disepakati jua oleh subjek. Kedua tipe pengetahuan tadi, dapat dijelaskan perbedaannya. Pengetahuan proposisional merupakan pengetahuan yg dapat dinyatakan dalam bentuk bahasa.

Pengetahuan – yg – diketahui – bersama ( tacit knowledge ) merupakan instuisi, pemahaman, atau perasaan yg tidak bisa dinyatakan menggunakan istilah-istilah yg dalam hal-hal tertentu diketahui sang subjek.

Paradigma ilmiah membatasi diri dalam pengetahuan proposisional. Pengetahuan demikian adalah esensi metode buat menyatakan proposisi secara eksplisit pada bentuk hipotesa yang diuji buat menentukan validitasnya. Teori-teori terdiri atas pengumpulan hipotesis semacam itu.

Sebaliknya, kerangka berpikir alamiah mengizinkan pada mendorong pengetahuan – yang – diketahui – beserta guna dimunculkan buat keperluan membantu pembentukan teori menurut dasar maupun buat memperbaiki komunikasi kembali kepada asal kabar dengan cara peristilahan mereka.

6. Pendirian.
Paradigma ilmiah berpendirian Reduksionis. Mereka menyempitkan penelitian pada fokusyang relatif kecil menggunakan jalan membebankan hambatan-kendala, baik dalam syarat anteseden pada nikuiri ( buat keperluan mengontrol ), maupun dalam keluaran-keluaran.

Jadi, pencari – tahu – ilmiah mulai menggunakan menyusun pertanyaan atau hipotesis, lalu hanya mencari fakta yang akan memberikan jawaban dalam pertanyaan atau menguji hipotesis-hipotesis itu.

Sementara pencari – tahu – alamiah memiliki pendirian ekspansionis. Mereka mencari perspektif yg akan mengarahkan dalam pelukisan dan pengertian kenyataan sebagai holistik atau akhirnya menggunakan jalan menemukan sesuatu yang mencerminkan kerumitan gejala-tanda-tanda itu. Mereka memasuki lapangan, membentuk dan melihat pembawaannya yg tampak menurut arah manapun titik masuknya.

Jadi pencari – memahami – ilmiah mengambil setiap struktur, terarah dan tunggal sedangkan pencari – memahami – alamiah berpendirian terbuka, menjajagi, serta kompleks.

7. Maksud.
Paradigma ilmiah senantiasa bermaksud menemukan pengetahuan melalui pembuktian hipotesis yang dispesifikasikan secara apriori ad interim pencari – memahami – alamiah, menitikberatkan upayanya dalam bisnis menemukan unsur-unsur atau pengetahuan yg belum ada pada teori yang berlaku.

8. Instrumen.
Untuk mengumpulkan data, kerangka berpikir ilmiah memanfaatkan informasi lapangan atau indera bantu fisik lainnya. Sedang pencari – tahu – alamiah pada pengumpulan datanya lebih poly bergantung pada dirinya sendiri menjadi alat pengumpulan data. Orang – menjadi – instrumen memililki senjata “ dapat tetapkan “ yg secara luwes bisa digunakannya. Ia senantiasa bisa menilai keadaan dan dapat merogoh keputusan.

9. Waktu buat mengumpulkan data dan aturan analisis.pencari – tahu – ilmiah dapat menetapkan seluruh aturan pengumpulan dan analisis data sebelumnya. Mereka sudah mengetahui hipotesis yang akan diuji serta dapat menyebarkan instrumen yg cocok menggunakan variabel. Instrumen ditetapkan sebelumnya tentang ukuran terhadap ciri yang diketahui sehingga memungkinkan tetapkan ketika melakukan analisis.

Paradigma alamiah kebalikannya, nir diperkenenkan memformulasikan secara a priori. Datanya dikumpulkan serta dikategorikan pada bentuk kasar dan diunitkan oleh peneliti/analisis.

10.desain.
Bagi paradigma ilmiah, desain wajib disusun secara pasti sebelum informasi dikumpulkan. Sekali desain digunakan, maka tidak boleh mengubahnya dalam bentuk apapun. Bagi kerangka berpikir alamiah, desain bisa disusun sebelumnya secara tidak lengkap. Jika telah dipakai, desain senantiasa dilengkapi serta disempurnakan.

11.gaya.
Paradigma ilmiah menggunakan gaya menerapkan intervensi. Variabel bebas dan terikat diisolasikan berdasarkan konteksnya, diatur sedemikian rupa sehingga hanya variabel ini yang timbul untuk diukur serta kemudian dikonfirmasikan dengan hipotesisnya.

Sebaliknya, paradigma alamiah bergantung dalam seleksi. Dari pelbagai peristiwa yang terjadi secara alamiah akhirnya dipilih sesuatu tanda-tanda tanpa mengadakan hegemoni.

Jadi pencari – tahu – alamiah tidak mengelola situasi, tetapi memanfaatkannya.

12.latar.
Pencari – tahu – ilmiah bersandar dalam latar laboratorium buat keperluan mengadakan kontrol, mengelola hegemoni dan sebagainya. Sebaliknya, pencari – memahami – alamiah cenderung mengadakan penelitian dalam latar alamiah.

13.perlakuan.
Bagi paradigma ilmiah, konsep perlakuan sangat penting. Bagi setiap eksperimen, perlakuan itu harus stabil dan tidak bervariasi. Apabila nir demikian, maka sukar memilih dampak yg berkaitan dengan suatu penyebab tertentu.

Untuk paradigma alamiah, konsep perlakuan tadi asing karena perlakuan menyertakan beberapa cara manipulasi atau hegemoni.

14.satuan kajian.
Pada kerangka berpikir ilmiah adalah variabel dan seluruh hubungannya yang dinyatakan diantara variabel dan sistem variabel.

Sebaliknya, pada kerangka berpikir alamiah berlaku pendirian agar satuan kajian lebih sederhana. Selain itu mereka lebih menekankankemurnian sistem pola yang diamati secara alamiah.

15.unsur-unsur kontekstual.
Peneliti ilmiah senantiasa berusaha mengontrol semua unsur yang menggaggu yg bisa mengaburkan unsur-unsur itu berdasarkan fenomena yang menjadi pusat perhatian atau yang mengacau pada efek terhadap fenomena itu.

Peneliti alamiah bukan hanya nir tertarik pada kontrol, melainkan malah mengundang adanya ikut campur sehingga mereka secara lebih baik bisa mengerti peristiwa pada global konkret serta merasakan pola-pola yg ada pada dalamnya.

Validitas serta Reliabilitas
Validitas merupakan ‘ built in control mechanism ‘ pada metode penelitian yg menggunakan instrumen secara eksplisit. Validitas mempersoalkan instrument yang dipakai pada mengukur atribut ; apakah alat ukur sahih-benar mengukur atribut yang dimaksud. Mengapa kasus validitas senantiasa dipertanyakan dalam penelitian sosial ? Lantaran atribut semisal psikologis, pemahaman ilmiah, tingkat konservatisme, dll sangat sulit diukukr/dicari, meski demikian peneliti ilmiah wajib bisa mengukur.

Reliabilitas : kemampuan, ketepatan, keajegan, homogenitas alat ukur. Suatu indera ukkur dikatakan mantap bila digunakan berulang kali hasilnya tetap sama.

Catatan : suatu data yang punya reliabilitas belum tentu punya validitas, sedang data yg punya validitas sudah tentu punya reliabilitas.

Beberapa metode menguji reliabilitas.
1. Metode ulang : mengulangi pengukuran berdasar selang ketika ttt.
2. Metode belah dua : membegi dua buah pertanyaan ke dalam dua kelompok.
3. Metode parabel : butir-buah pertanyaan mewakili suatu variabel yg satu dan buah pertanyaan yang sama mewakili variabel yang lain yang punya kecenderungan sifat, diukur secara bersamaan.

Jenis-jenis Validitas.
1. Validitas logis : mempersoalkan apakah pola hubungan variabel/konsep bisa diterima akal sehat. Misal : kita akan menganggap logis bila Org meneliti impak usia terhadap suatu hal bukan kebalikannya.
2. Validitas tampang : menyangkut atribut kongkrit, bila kita ingin mengukur mencek alfabet kita akan meminta orang membaca.
3. Validitas lintas budaya : mempersoalkan apakah indera ukur yang digunakan pada masyarakat ttt jua berlaku didalam warga yg lain.
4. Validitas internal : menyangkut tentang internal psikologis khalayak/responden. Misal : jikalau kita ingin mengamati perilaku petani terhadap kredit bisnis tadi maka informasi lapangan yang diajukan harus benar-sahih menggali psikologis internal petani, bagaimana tanggapannya thd acara kredit tsb.
5. Validitas eksternal : mempersoalkan apakah alat ukur yg dikenakan pada komunitas ttt pula berlaku dalam komunitas yg lain. Misal : mangamati konsep belajar jeda jauh ( UT ), apakah siaran-siaran pendidikan program UT bisa memacu belajar mahasiswa, bagaimana antara mahasiswa fisip dibanding dengan mahasiswa fakultas lain.
6. Validitas konstruk : mempersoalkan seberapa jauh suatu indera ukur punya persamaan dengan indera ukur yang lain pada waktu mengukur konstruk/konsep yg sama.
7. Validitas isi : menyankut derajad keterwalian substansi suatu indera ukur. Pengukuran kategorisasi dalam content analysis, kategori yang dibuat peneliti itu mampu disepakati sang pengkoding/pembaca.
8. Validitas prediktif : mempersoalkan seberapa jauh suatu alat ukur bisa meramalkan perilaku kini juga yg akan datang. 

Penyusunan Proposal Penelitian
Terdapat 2 hal pokok yang wajib sahih-sahih difahami waktu hendak menyusun atau menciptakan proposal penelitian. Dua hal tadi merupakan :
1) Logika penelitian, dan
2) Format proposal yg dikehendaki.
1) Logika penelitian.

Yang dikenal dengan nalar penelitian disini adalah struktur fikiran berkenaan dengan proses penelitian, yang dalam hal ini terdapat disparitas antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Posisi kasus/duduk perkara yg dirumuskan oleh peneliti ( eksplisit dinyatakan dalam proposal ) dalam hal ini dapat dikatakan “ mendahului “ posisi teori. Perlu diperhatikan sahih disisni adalah, bahwa kasus penelitian tidak akan pernah nampak/kelihatan tanpa dilihat melalui teori. Artinya, perkara penelitian hanya ada bila orang memiliki bekal teori buat melihatnya. Mempertentengkan tanda-tanda atau kabar ( sebagian dari konduite manusian dalam kebersamaannya menggunakan sesama atau mungkin pada kebersamaannya dengan alam serta pencipta disuatu fihak ) menggunakan fikiran-fikiran eksklusif ( teori-teori ) difihak lain dapat membuat apa yg disini kita sebut-sebut menjadi perkara penelitian.

Masalah penelitian ini nanti harus bisa dijawab/dipecahkan menggunakan atau lewat penelitian bersangkutan. Peneliti sangat mungkin tertarik buat menjawab secara belum pasti ( menduga-duga ) atas kasus tersebut. Kalau demikian halnya orang harus mendeduksikan teori-teori eksklusif, memberlakukan pernyataan asumtif yang tadinya dianggap generik atau luas sifat kebenarannya kedalam gejala atau beberapa gejala yg saling dikaitkan secara khusus/sempit. Jawaban yg bersifat dugaan ( yg masih harus dibuktikan kebenarannya dengan data realitas/lapangan ) itulah hipotesa.

Hipotesa umumnya terdiri berdasarkan 2 atau lebih variabel yang dikaitkan satu menggunakan yang lain ( dikorelasikan, dicari interaksi kausalitasnya, dibandingkan, dst )

Contoh hipotesa : 
“ perilaku a-politis generasi muda perkotaan lebih tinggi dibandingkan menggunakan perilaku a-politis generasi muda pedesaan “

contoh hipotesa pada atas mengandung dua variabel
(a) Sikap a-politis generasi belia perkotaan, serta 
(b) Sikap a-politis generasi belia pedesaan.

Kedua variabel ini hendak dibandingkan dan diduga yg pertama lebih tinggi dibanding yg kedua. Tetapi buat mampu dibandingkan maka konsep pokok dalam variabel harus diberi arti spesifik, yakni menggunakan menentukan aspek tertentu sehingga memberikan peluang buat pengukuran dan kategorisasi. Inilah yang dianggap operasionalisasi. 

Suatu variabel acapkali kedapatan mengandung banyak konsep, dan seluruh konsep selayaknya didefinisikan secara khusus, yakni dengan menentukan aspek-aspek tertentu menurut suatu konsep.

Konsep pokok pada variabel-variabel misalnya dicontohkan di atas merupakan perilaku a-politis. Sikap a-politis contohnya didefinisikan sebagai kecenderungan perasaan tidak senang atau tidak tertarik kepada masalah-perkara politis yg akan dilihat/diukur menurut ( sebagian, semua, atau masih akan ditambah lagi ) penggunaan media massa ( rubrik, program apa yang paling diminati ), aktivitas diluar bangku kuliah/sekolah ( menjadi anggota,ikut menyumbang, duduk dalam kepengurusan organisasi yang punya aset terhadap pengambilan keputusan politis dsb.

Setelah ada operasionalisasi konsep/variabel maka peneliti bisa pergi ke lapangan guna mengumpulkan data. Data direkam/dicatat lalu diproses buat kemudian dianalisis.

Dalam penelitian kuantitatif, data berupa kuantum ( sapta ), yakni memilih intensitas dan atau ekstensitas berdasarkan tanda-tanda yang diamati. Lantaran data lebih poly adalah bilangan, maka peneliti seringkali kali berfikir mengenai satuan-satuan buat memilih intensitas dan ekstensitas tadi : usia berapa tahun, datang rapat berapa kali, menyumbang berapa rupiah buat organisasi serta atau mengongkosi kegiatan-kegiatan yg memiliki keterkaitan menggunakan politik dsb.

Dalam pengolahan data, maka masalah utama adalah mentransformasikan jawaban responden ( bila yang diteliti kebetulan adalah manusia entah individu atau grup ) ke pada bentuk tabel-tabel atau grafik. Dengan memperhatikan berukuran-ukuran bagi kategorisasi yang dibentuk peneliti sanggup memasukkan responden mana masuk dalam kategori mana.

Analisis data dalam dalam itu merupakan membaca kecenderungan angka-nomor atau tepatnya data-data yg ada. Dalam interaksi ini sangat mungkin peneliti membutuhkan teknik analisis statistik, terutama buat mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan suatu variabel dengan variabel lainnya tadi ( ada korelasinya tidak, terdapat perbedaannya atau tidak, apakah variabel sebagai penyebab munculnya variabel y atau nir, dsb ).

Hasil analisis inilah sebenarnya temuan-temuan penelitian, yakni setalah peneliti menafsirkannya menggunakan cara memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi berdasarkan output analisis. Termasuk disini merupakan : jawaban apa atas kasus penelitian, hipotesa diterima atau ditolak dalam tingkat signifikasi eksklusif, teori-teori mana yg mendapat penguatan dan teori-teori mana yg ditambah. Dengan kata lain penegasan-penegasan apa yang sanggup dibentuk, saran-saran apa yang bisa dikemukakan dst. Temuan-temuan ini, terutama yg berupa proposisi-proposisi akan bermakna kontributif bagi pengembangan ilmu khususnya khazanah ilmu.

Setelah peneliti memiliki topik atau dilema tertentu untuk duteliti, maka termin yang wajib segera dilakukan berikutnya adalah menyusun pertanyaan-pertanyaan buat kepentingan ini peneliti memperhatikan benar penekanan menurut minat sebenarnya yang hendak diteliti. Sesudah ini peneliti kemudian pergi ke lapangan buat mengumpulkan data. Karena penelitian kualitatif umumnya bersifat naratif, yakni berusaha hendak melukiskan gejala atau interaksi tanda-tanda-gejala yg dijumpai pada warga yang diteliti ‘ kini ‘ maka pertanyaan lebih banyak ‘ bagaimana ‘. Ketika peneliti mulai melakukan observasi dilapangan inilah peneliti mulai mengetahui pertanyaan-pertanyaan apa yang benar-sahih relevan dengan maksud serta tujuan penelitian dan mana yang nir relevan. Dari sini peneliti mampu merubah, membuang, menambah pertanyaan penelitian yang pada aneka macam hal sebenarnya ini adalah defleksi dari proposal yg telah dibuat.

Yang unik dalam penelitian kualitatif adalah ketidak terpisahan antara pengumpulan data, pengolahan data, menggunakan analisis data. Artinya data diolah dan dianalisis tanpa menunggu terkumpulnya seluruh data. Pengolahan / penyusunan data serta analisis data dilakukan sammbil terus melakukan pengumpulan data yg karena itu peneliti memiliki kesempatan buat terus-menerus memperbaiki/menyempurnakan pertanyaan-pertanyaan. Dalam proses melingkar begini peneliti malahan disarankan buat terus pula menjelajahi literatur yg relevan menggunakan duduk perkara-dilema yg dihadapi. Hal ini penting buat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ; apa yang sudah ditemukan oleh peneliti lain berkenaan dengan perkara-masalah yg kini sedang diteliti. Apa yg sudah diabaikan dalam literatur ? Bagaimana peneliti tidak selaras perspektif menggunakan penulis/peneliti lain sebagaimana kelihatan dalam literatur yang dibaca ? Hal-hal ini justru akan sangat berarti saat peneliti hendak menuliskan atau menegaskan temuan-temuannya. Dengan istilah lain, hasil penelitian orang lain ( penulisan etnografik ) sangat kontributif sepanjang penelitian masih pada proses. Dan proses penelitian siklis begini akan kelihatan kentara bahwa peneliti sangat dituntut buat sesnantiasa mengulang/memperbaharui pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis data sekaligus sambil terus pula mengusut literatur-literatur – sesuatu yang tak terjadi pada penelitian kuantitatif. Kegiatan atau proses ini akan berhenti pada titik tertentu, yakni waktu peneliti sudah merasa relatif memperoleh atau mencapai tujuan-tujuannya.

Dalam hal demikian hasil penelitian berupa laporan akan adalah sumbangan dalam khazanah keilmuan khususnya penulisan etnografi.

Dari pemaparan kedua struktur nalar penelitian misalnya di atas, kita lalu dapat melihat beberapa disparitas diantara keduanya ( kualitatif & kuantitatif ) sbb :
No

Perihal

Kuantitatif

Kualitatif

1.
Peran penelitian
Sebagai persiapan/pendahuluan
Sangat bermanfaat buat eksplorasi interpretasi
2.
Hubungan peneliti menggunakan subjek
Memiliki jarak
Dekat
3.
Posisi peneliti
Outsider
Insider
4.
Hubungan teori/konsep dengan penelitian
Konfirmasi
Urgan, menampilkan pandangan baru
5.
Strategi penelitian
Terstruktur
Tidak
6.
Cakupan temuan
Dalil/hukum-hukum/perkiraan teoritis
Ideografik (keadaan kekinian)
7.
Kesan realitas sosial
Statis serta tidak dipengaruhi aktor-aktor
Sbg. Proses pada tentukan oleh aktor-aktor
8.
Keadaan/sifat data
Sukar dibentuk penetrasi
Kaya, mendalam shg. Nampak substantif
Dipetik dari : Bryman,Alan ( 1988, hal 94 )