PENDEKATAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Pendekatan Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif 
Penelitian pada bidang komunikasi misalnya halnya dalam ilmu-ilmu sosial budaya lainnya,selama ini terlalu menekankan dalam pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif yang dilandasi faham positivisme empirik yg berintikan kegiatan penelitian eksperimental memang telah memiliki pengaruh yg sangat bertenaga dalam banyak sekali bidang ilmu, dan bahkan pernah dicermati sebagai satu-satunya pendekatan penelitian yg sahih serta ilmiah. Pandangan tadi bisa menyeret para peneliti ilmu-ilmu sosial budaya yg dalam perkembangan aktivitasnya semakin sering menghadapi majemuk konflik yg tidak mampu dijawab secara tuntas. Dari kenyataan yg dihadapi tadi para peneliti semakin manyadari bahwa insan menjadi subyek dengan segala sifatnya yg subjektif tak mungkin bisa dikaji secara secara sempurna dengan pendekatan ilmu obyektif. Pemaksaan ke arah itu akan menimbulkan bias fundamental dan mengakibatkan kekeliruan fatal yg sebagai asal krisis ilmu-ilmu sosial dimasa kini . Masalah sosial yg kompleks tak mungkin buat diuji menggunakan pandangan partial serta linear. Didalam ilmu alam banyak sekali kasus utama didasarkan pada kenyataan obyek yg bisa ditinjau di luar diri kita dan bebas menjadi informasi obyektif. Kenyataan itu sangat tidak sama halnya menggunakan ilmu sosial budaya yg memusatkan studinya dalam realitas sebagai produk pikir insan menggunakan segala subyektivitas emosi serta nilai-nilai yg dianutnya. Fenomena sosial serta konduite insan pada dasarnya hanya ada pada pikiran manusia. Realitas tersebut terikat sang interaksi dialektis antara subyek serta obyek. Demikianlah pada mempelajari metodologi penelitian sosial ini, anda diharapkan mengenal baik pendekatan kuantitatif juga kualitatif, lantaran pendekatan kualitatif sangat sempurna bagi studi ilmu-ilmu sosial budaya, termasuk didalamnya ilmu komunikasi.

Pemahaman karakteristik metodologi
Mengenal ( disparitas ) pendekatan kuantitatif dan kualitatif akan lebih gampang serta kentara bila kita tahu perbedaannya menggunakan beragam hal yg sangat mendasar didalam ke 2 metodologi tersebut. Penggunaan metodologi penelitian kualitatif tidak selaras menggunakan penggunaan metodologi penelitian kuantitatif bukan sekedar lantaran menghadapi disparitas “ subjek matter “, atau karena disiplin ilmu yg tidak sinkron, namun secara fundamental lantaran perbedaan keyakinan keilmuan yang bersumber dalam penggunaan paradigma berpikir yang tidak selaras ( smith, 1984 ).

Bilamana kita bisa memahami perbedaan itu secara sempurna maka kita akan mampu memisahkan ke 2 metdologi penelitian tadi dengan penuh kesadaran dan berada dalam penglihatan batas yang kentara. Dengan demikian didalam melakukan kegiatan penelitian, kita tidak akan mudah tersesat atau dengan sangat gegabah mencampur-adukkan beragam pengertian dasar menurut 2 jenis metodologi tersebut.

Guba serta Lincoln ( 1981 : 62 – 82 ) menyajikan uraian yang relatif panjang serta mempertentang-kan perbedaan kerangka berpikir kedua penelitian ini. Untuk penelitian kuantitatif digunakan istilah Scientific Paradigm ( kerangka berpikir ilmiah ), sedangkan penelitian kualitatif dinamakan Naturalistic Inquiry atau inkuiri alamiah.

Pokok-pokok perbedaan kedua kerangka berpikir tersebut dapat disimak pada tabel berikut : 

Tabel. Perbedaan Paradigma Ilmiah serta Alamiah

Poster tentang

PARADIGMA
Ilmiah
Alamiah
·Teknik yg digunakan

·Kriteria kualitas

·Sumber teori


·Persoalan kausalitas



·Tipe pengetahuan yg digunakan

·Pendirian

·Maksud
Kuantitatif


“ Rigor “


Apriori


Dapatkah x menyebabkan y ?



Proposisional




Reduksionis

Verifikasi
Kualitatif


Relevansi


Dasar-dasar               ( Grounded )

Apakah x mengakibatkan y dlm. Latar alamiah


Proposisional yg diketahui bersama



Ekspansionis

Ekspansionis
Karakteristik Metodologis
·Instrumen




·Waktu penetapan pengumpulan data serta analisis

·Desain


·Gaya

·Latar

·Perlakuan

·Satuan kajian

·Unsur kontekstual
Kertas-pensil atau alat fisik lainnya



Sebelum penelitian





Pasti     ( preordinate )


Intervensi

Laboratorium

Stabil

Variabel


Kontrol
Orang menjadi peneliti



Selama dan selesainya pengumpulan data




Muncul-berubah


Seleksi

Alam

Bervariasi

Pola-pola


Turut campur atas undangan
1. Teknik yg digunakan.
Pada dasarnya, baik teknik kuantitatif maupun teknik kualitatif dapat digunakan beserta-sama. Tetapi, dalam kerangka berpikir ilmiah memberi tekanan pada teknik kuantitatif, sedang paradigma alamiah memberi tekanan dalam teknik kualitatif.

2. Kriteria kualitas.
Untuk menialai “ baik/tidaknya “ penelitian, paradigma ilmiah sangat percaya dalam kriteria Rigor, yaitu kesahihan eksternal serta internal, keandalan serta obyektivitas.

Menurut Guba serta Lincoln ( 1981 : 66 ) fokus dalam kriteria tadi membawa eksperimen dalam penyusunan desain yang rupawan, namun tak jarang sempit cakupannya. Hal ini dikarenakan kebanyakan eksperimen memasukkan situasi yg kurang dikenal, protesis, serta masa hidupnya singkat dan hal itu membuat latar – tidak – biasa sukar digeneralisasikan pada latar lainnya.

Sebaliknya, kerangka berpikir alamiah menggunakan kriteria relevansi. Relevansi ini merupakan signifikasi berdasarkan langsung terhadap lingkungan senyatanya. Usaha menemukan kepastian serta keaslian merupakan hal yg penting dalam penelitian alamiah.

3. Sumber teori.
Paradigma ilmiah menekankan dalam verifikasi hipotesis yang diturunkan dari teori a priori. Teori semacam ini disusun dengan ligika deduktif dan logis.

Sedangkan kerangka berpikir alamiah menemukan teori menggunakan berdasar dalam data yg asal dari dunia konkret. Metode yg digunakan merupakan metode menemukan menggunakan menganalisis data yg diperoleh secara sistematis.

4. Pertanyaan mengenai kausalitas.
Penelitian umumnya dihadapkan pada penentuan interaksi sebab-akibat. Jawaban terhadap pertanyaan hubungan karena akibat penting buat keperluan meramalkan, kontrol disatu pihak, serta verstehen ( pemahaman ) dilain pihak. Kedua kerangka berpikir ilmiah maupun alamiah menggunakan pertanyaan-pertanyaan tadi, namun menggunakan cara yg tidak sinkron.

Paradigma ilmiah umumnya bertanya = dapatkah X mengakibatkan Y ? Buat itu maka mereka mendemonstrasikan pada laboratorium bahwa Y sesungguhnya dapat disebabkan oleh X.

Di pihak lain kerangka berpikir alamiah kurang tertarik menggunakan apa yg diusahakan terjadi pada situasi yg dirancang terlebih dahulu, namun lebih tertarik pada apa yang terjadi pada latar alamiah.

5. Tipe pengetahuan yg digunakan.
Ada dua macam pengetahuan ; yaitu pengetahuan proposisional serta pengetahuan – yg – diketahui – bersama, yang diketahui dan disepakati jua oleh subjek. Kedua tipe pengetahuan tadi, dapat dijelaskan perbedaannya. Pengetahuan proposisional merupakan pengetahuan yg dapat dinyatakan dalam bentuk bahasa.

Pengetahuan – yg – diketahui – bersama ( tacit knowledge ) merupakan instuisi, pemahaman, atau perasaan yg tidak bisa dinyatakan menggunakan istilah-istilah yg dalam hal-hal tertentu diketahui sang subjek.

Paradigma ilmiah membatasi diri dalam pengetahuan proposisional. Pengetahuan demikian adalah esensi metode buat menyatakan proposisi secara eksplisit pada bentuk hipotesa yang diuji buat menentukan validitasnya. Teori-teori terdiri atas pengumpulan hipotesis semacam itu.

Sebaliknya, kerangka berpikir alamiah mengizinkan pada mendorong pengetahuan – yang – diketahui – beserta guna dimunculkan buat keperluan membantu pembentukan teori menurut dasar maupun buat memperbaiki komunikasi kembali kepada asal kabar dengan cara peristilahan mereka.

6. Pendirian.
Paradigma ilmiah berpendirian Reduksionis. Mereka menyempitkan penelitian pada fokusyang relatif kecil menggunakan jalan membebankan hambatan-kendala, baik dalam syarat anteseden pada nikuiri ( buat keperluan mengontrol ), maupun dalam keluaran-keluaran.

Jadi, pencari – tahu – ilmiah mulai menggunakan menyusun pertanyaan atau hipotesis, lalu hanya mencari fakta yang akan memberikan jawaban dalam pertanyaan atau menguji hipotesis-hipotesis itu.

Sementara pencari – tahu – alamiah memiliki pendirian ekspansionis. Mereka mencari perspektif yg akan mengarahkan dalam pelukisan dan pengertian kenyataan sebagai holistik atau akhirnya menggunakan jalan menemukan sesuatu yang mencerminkan kerumitan gejala-tanda-tanda itu. Mereka memasuki lapangan, membentuk dan melihat pembawaannya yg tampak menurut arah manapun titik masuknya.

Jadi pencari – memahami – ilmiah mengambil setiap struktur, terarah dan tunggal sedangkan pencari – memahami – alamiah berpendirian terbuka, menjajagi, serta kompleks.

7. Maksud.
Paradigma ilmiah senantiasa bermaksud menemukan pengetahuan melalui pembuktian hipotesis yang dispesifikasikan secara apriori ad interim pencari – memahami – alamiah, menitikberatkan upayanya dalam bisnis menemukan unsur-unsur atau pengetahuan yg belum ada pada teori yang berlaku.

8. Instrumen.
Untuk mengumpulkan data, kerangka berpikir ilmiah memanfaatkan informasi lapangan atau indera bantu fisik lainnya. Sedang pencari – tahu – alamiah pada pengumpulan datanya lebih poly bergantung pada dirinya sendiri menjadi alat pengumpulan data. Orang – menjadi – instrumen memililki senjata “ dapat tetapkan “ yg secara luwes bisa digunakannya. Ia senantiasa bisa menilai keadaan dan dapat merogoh keputusan.

9. Waktu buat mengumpulkan data dan aturan analisis.pencari – tahu – ilmiah dapat menetapkan seluruh aturan pengumpulan dan analisis data sebelumnya. Mereka sudah mengetahui hipotesis yang akan diuji serta dapat menyebarkan instrumen yg cocok menggunakan variabel. Instrumen ditetapkan sebelumnya tentang ukuran terhadap ciri yang diketahui sehingga memungkinkan tetapkan ketika melakukan analisis.

Paradigma alamiah kebalikannya, nir diperkenenkan memformulasikan secara a priori. Datanya dikumpulkan serta dikategorikan pada bentuk kasar dan diunitkan oleh peneliti/analisis.

10.desain.
Bagi paradigma ilmiah, desain wajib disusun secara pasti sebelum informasi dikumpulkan. Sekali desain digunakan, maka tidak boleh mengubahnya dalam bentuk apapun. Bagi kerangka berpikir alamiah, desain bisa disusun sebelumnya secara tidak lengkap. Jika telah dipakai, desain senantiasa dilengkapi serta disempurnakan.

11.gaya.
Paradigma ilmiah menggunakan gaya menerapkan intervensi. Variabel bebas dan terikat diisolasikan berdasarkan konteksnya, diatur sedemikian rupa sehingga hanya variabel ini yang timbul untuk diukur serta kemudian dikonfirmasikan dengan hipotesisnya.

Sebaliknya, paradigma alamiah bergantung dalam seleksi. Dari pelbagai peristiwa yang terjadi secara alamiah akhirnya dipilih sesuatu tanda-tanda tanpa mengadakan hegemoni.

Jadi pencari – tahu – alamiah tidak mengelola situasi, tetapi memanfaatkannya.

12.latar.
Pencari – tahu – ilmiah bersandar dalam latar laboratorium buat keperluan mengadakan kontrol, mengelola hegemoni dan sebagainya. Sebaliknya, pencari – memahami – alamiah cenderung mengadakan penelitian dalam latar alamiah.

13.perlakuan.
Bagi paradigma ilmiah, konsep perlakuan sangat penting. Bagi setiap eksperimen, perlakuan itu harus stabil dan tidak bervariasi. Apabila nir demikian, maka sukar memilih dampak yg berkaitan dengan suatu penyebab tertentu.

Untuk paradigma alamiah, konsep perlakuan tadi asing karena perlakuan menyertakan beberapa cara manipulasi atau hegemoni.

14.satuan kajian.
Pada kerangka berpikir ilmiah adalah variabel dan seluruh hubungannya yang dinyatakan diantara variabel dan sistem variabel.

Sebaliknya, pada kerangka berpikir alamiah berlaku pendirian agar satuan kajian lebih sederhana. Selain itu mereka lebih menekankankemurnian sistem pola yang diamati secara alamiah.

15.unsur-unsur kontekstual.
Peneliti ilmiah senantiasa berusaha mengontrol semua unsur yang menggaggu yg bisa mengaburkan unsur-unsur itu berdasarkan fenomena yang menjadi pusat perhatian atau yang mengacau pada efek terhadap fenomena itu.

Peneliti alamiah bukan hanya nir tertarik pada kontrol, melainkan malah mengundang adanya ikut campur sehingga mereka secara lebih baik bisa mengerti peristiwa pada global konkret serta merasakan pola-pola yg ada pada dalamnya.

Validitas serta Reliabilitas
Validitas merupakan ‘ built in control mechanism ‘ pada metode penelitian yg menggunakan instrumen secara eksplisit. Validitas mempersoalkan instrument yang dipakai pada mengukur atribut ; apakah alat ukur sahih-benar mengukur atribut yang dimaksud. Mengapa kasus validitas senantiasa dipertanyakan dalam penelitian sosial ? Lantaran atribut semisal psikologis, pemahaman ilmiah, tingkat konservatisme, dll sangat sulit diukukr/dicari, meski demikian peneliti ilmiah wajib bisa mengukur.

Reliabilitas : kemampuan, ketepatan, keajegan, homogenitas alat ukur. Suatu indera ukkur dikatakan mantap bila digunakan berulang kali hasilnya tetap sama.

Catatan : suatu data yang punya reliabilitas belum tentu punya validitas, sedang data yg punya validitas sudah tentu punya reliabilitas.

Beberapa metode menguji reliabilitas.
1. Metode ulang : mengulangi pengukuran berdasar selang ketika ttt.
2. Metode belah dua : membegi dua buah pertanyaan ke dalam dua kelompok.
3. Metode parabel : butir-buah pertanyaan mewakili suatu variabel yg satu dan buah pertanyaan yang sama mewakili variabel yang lain yang punya kecenderungan sifat, diukur secara bersamaan.

Jenis-jenis Validitas.
1. Validitas logis : mempersoalkan apakah pola hubungan variabel/konsep bisa diterima akal sehat. Misal : kita akan menganggap logis bila Org meneliti impak usia terhadap suatu hal bukan kebalikannya.
2. Validitas tampang : menyangkut atribut kongkrit, bila kita ingin mengukur mencek alfabet kita akan meminta orang membaca.
3. Validitas lintas budaya : mempersoalkan apakah indera ukur yang digunakan pada masyarakat ttt jua berlaku didalam warga yg lain.
4. Validitas internal : menyangkut tentang internal psikologis khalayak/responden. Misal : jikalau kita ingin mengamati perilaku petani terhadap kredit bisnis tadi maka informasi lapangan yang diajukan harus benar-sahih menggali psikologis internal petani, bagaimana tanggapannya thd acara kredit tsb.
5. Validitas eksternal : mempersoalkan apakah alat ukur yg dikenakan pada komunitas ttt pula berlaku dalam komunitas yg lain. Misal : mangamati konsep belajar jeda jauh ( UT ), apakah siaran-siaran pendidikan program UT bisa memacu belajar mahasiswa, bagaimana antara mahasiswa fisip dibanding dengan mahasiswa fakultas lain.
6. Validitas konstruk : mempersoalkan seberapa jauh suatu indera ukur punya persamaan dengan indera ukur yang lain pada waktu mengukur konstruk/konsep yg sama.
7. Validitas isi : menyankut derajad keterwalian substansi suatu indera ukur. Pengukuran kategorisasi dalam content analysis, kategori yang dibuat peneliti itu mampu disepakati sang pengkoding/pembaca.
8. Validitas prediktif : mempersoalkan seberapa jauh suatu alat ukur bisa meramalkan perilaku kini juga yg akan datang. 

Penyusunan Proposal Penelitian
Terdapat 2 hal pokok yang wajib sahih-sahih difahami waktu hendak menyusun atau menciptakan proposal penelitian. Dua hal tadi merupakan :
1) Logika penelitian, dan
2) Format proposal yg dikehendaki.
1) Logika penelitian.

Yang dikenal dengan nalar penelitian disini adalah struktur fikiran berkenaan dengan proses penelitian, yang dalam hal ini terdapat disparitas antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Posisi kasus/duduk perkara yg dirumuskan oleh peneliti ( eksplisit dinyatakan dalam proposal ) dalam hal ini dapat dikatakan “ mendahului “ posisi teori. Perlu diperhatikan sahih disisni adalah, bahwa kasus penelitian tidak akan pernah nampak/kelihatan tanpa dilihat melalui teori. Artinya, perkara penelitian hanya ada bila orang memiliki bekal teori buat melihatnya. Mempertentengkan tanda-tanda atau kabar ( sebagian dari konduite manusian dalam kebersamaannya menggunakan sesama atau mungkin pada kebersamaannya dengan alam serta pencipta disuatu fihak ) menggunakan fikiran-fikiran eksklusif ( teori-teori ) difihak lain dapat membuat apa yg disini kita sebut-sebut menjadi perkara penelitian.

Masalah penelitian ini nanti harus bisa dijawab/dipecahkan menggunakan atau lewat penelitian bersangkutan. Peneliti sangat mungkin tertarik buat menjawab secara belum pasti ( menduga-duga ) atas kasus tersebut. Kalau demikian halnya orang harus mendeduksikan teori-teori eksklusif, memberlakukan pernyataan asumtif yang tadinya dianggap generik atau luas sifat kebenarannya kedalam gejala atau beberapa gejala yg saling dikaitkan secara khusus/sempit. Jawaban yg bersifat dugaan ( yg masih harus dibuktikan kebenarannya dengan data realitas/lapangan ) itulah hipotesa.

Hipotesa umumnya terdiri berdasarkan 2 atau lebih variabel yang dikaitkan satu menggunakan yang lain ( dikorelasikan, dicari interaksi kausalitasnya, dibandingkan, dst )

Contoh hipotesa : 
“ perilaku a-politis generasi muda perkotaan lebih tinggi dibandingkan menggunakan perilaku a-politis generasi muda pedesaan “

contoh hipotesa pada atas mengandung dua variabel
(a) Sikap a-politis generasi belia perkotaan, serta 
(b) Sikap a-politis generasi belia pedesaan.

Kedua variabel ini hendak dibandingkan dan diduga yg pertama lebih tinggi dibanding yg kedua. Tetapi buat mampu dibandingkan maka konsep pokok dalam variabel harus diberi arti spesifik, yakni menggunakan menentukan aspek tertentu sehingga memberikan peluang buat pengukuran dan kategorisasi. Inilah yang dianggap operasionalisasi. 

Suatu variabel acapkali kedapatan mengandung banyak konsep, dan seluruh konsep selayaknya didefinisikan secara khusus, yakni dengan menentukan aspek-aspek tertentu menurut suatu konsep.

Konsep pokok pada variabel-variabel misalnya dicontohkan di atas merupakan perilaku a-politis. Sikap a-politis contohnya didefinisikan sebagai kecenderungan perasaan tidak senang atau tidak tertarik kepada masalah-perkara politis yg akan dilihat/diukur menurut ( sebagian, semua, atau masih akan ditambah lagi ) penggunaan media massa ( rubrik, program apa yang paling diminati ), aktivitas diluar bangku kuliah/sekolah ( menjadi anggota,ikut menyumbang, duduk dalam kepengurusan organisasi yang punya aset terhadap pengambilan keputusan politis dsb.

Setelah ada operasionalisasi konsep/variabel maka peneliti bisa pergi ke lapangan guna mengumpulkan data. Data direkam/dicatat lalu diproses buat kemudian dianalisis.

Dalam penelitian kuantitatif, data berupa kuantum ( sapta ), yakni memilih intensitas dan atau ekstensitas berdasarkan tanda-tanda yang diamati. Lantaran data lebih poly adalah bilangan, maka peneliti seringkali kali berfikir mengenai satuan-satuan buat memilih intensitas dan ekstensitas tadi : usia berapa tahun, datang rapat berapa kali, menyumbang berapa rupiah buat organisasi serta atau mengongkosi kegiatan-kegiatan yg memiliki keterkaitan menggunakan politik dsb.

Dalam pengolahan data, maka masalah utama adalah mentransformasikan jawaban responden ( bila yang diteliti kebetulan adalah manusia entah individu atau grup ) ke pada bentuk tabel-tabel atau grafik. Dengan memperhatikan berukuran-ukuran bagi kategorisasi yang dibentuk peneliti sanggup memasukkan responden mana masuk dalam kategori mana.

Analisis data dalam dalam itu merupakan membaca kecenderungan angka-nomor atau tepatnya data-data yg ada. Dalam interaksi ini sangat mungkin peneliti membutuhkan teknik analisis statistik, terutama buat mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan suatu variabel dengan variabel lainnya tadi ( ada korelasinya tidak, terdapat perbedaannya atau tidak, apakah variabel sebagai penyebab munculnya variabel y atau nir, dsb ).

Hasil analisis inilah sebenarnya temuan-temuan penelitian, yakni setalah peneliti menafsirkannya menggunakan cara memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi berdasarkan output analisis. Termasuk disini merupakan : jawaban apa atas kasus penelitian, hipotesa diterima atau ditolak dalam tingkat signifikasi eksklusif, teori-teori mana yg mendapat penguatan dan teori-teori mana yg ditambah. Dengan kata lain penegasan-penegasan apa yang sanggup dibentuk, saran-saran apa yang bisa dikemukakan dst. Temuan-temuan ini, terutama yg berupa proposisi-proposisi akan bermakna kontributif bagi pengembangan ilmu khususnya khazanah ilmu.

Setelah peneliti memiliki topik atau dilema tertentu untuk duteliti, maka termin yang wajib segera dilakukan berikutnya adalah menyusun pertanyaan-pertanyaan buat kepentingan ini peneliti memperhatikan benar penekanan menurut minat sebenarnya yang hendak diteliti. Sesudah ini peneliti kemudian pergi ke lapangan buat mengumpulkan data. Karena penelitian kualitatif umumnya bersifat naratif, yakni berusaha hendak melukiskan gejala atau interaksi tanda-tanda-gejala yg dijumpai pada warga yang diteliti ‘ kini ‘ maka pertanyaan lebih banyak ‘ bagaimana ‘. Ketika peneliti mulai melakukan observasi dilapangan inilah peneliti mulai mengetahui pertanyaan-pertanyaan apa yang benar-sahih relevan dengan maksud serta tujuan penelitian dan mana yang nir relevan. Dari sini peneliti mampu merubah, membuang, menambah pertanyaan penelitian yang pada aneka macam hal sebenarnya ini adalah defleksi dari proposal yg telah dibuat.

Yang unik dalam penelitian kualitatif adalah ketidak terpisahan antara pengumpulan data, pengolahan data, menggunakan analisis data. Artinya data diolah dan dianalisis tanpa menunggu terkumpulnya seluruh data. Pengolahan / penyusunan data serta analisis data dilakukan sammbil terus melakukan pengumpulan data yg karena itu peneliti memiliki kesempatan buat terus-menerus memperbaiki/menyempurnakan pertanyaan-pertanyaan. Dalam proses melingkar begini peneliti malahan disarankan buat terus pula menjelajahi literatur yg relevan menggunakan duduk perkara-dilema yg dihadapi. Hal ini penting buat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ; apa yang sudah ditemukan oleh peneliti lain berkenaan dengan perkara-masalah yg kini sedang diteliti. Apa yg sudah diabaikan dalam literatur ? Bagaimana peneliti tidak selaras perspektif menggunakan penulis/peneliti lain sebagaimana kelihatan dalam literatur yang dibaca ? Hal-hal ini justru akan sangat berarti saat peneliti hendak menuliskan atau menegaskan temuan-temuannya. Dengan istilah lain, hasil penelitian orang lain ( penulisan etnografik ) sangat kontributif sepanjang penelitian masih pada proses. Dan proses penelitian siklis begini akan kelihatan kentara bahwa peneliti sangat dituntut buat sesnantiasa mengulang/memperbaharui pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis data sekaligus sambil terus pula mengusut literatur-literatur – sesuatu yang tak terjadi pada penelitian kuantitatif. Kegiatan atau proses ini akan berhenti pada titik tertentu, yakni waktu peneliti sudah merasa relatif memperoleh atau mencapai tujuan-tujuannya.

Dalam hal demikian hasil penelitian berupa laporan akan adalah sumbangan dalam khazanah keilmuan khususnya penulisan etnografi.

Dari pemaparan kedua struktur nalar penelitian misalnya di atas, kita lalu dapat melihat beberapa disparitas diantara keduanya ( kualitatif & kuantitatif ) sbb :
No

Perihal

Kuantitatif

Kualitatif

1.
Peran penelitian
Sebagai persiapan/pendahuluan
Sangat bermanfaat buat eksplorasi interpretasi
2.
Hubungan peneliti menggunakan subjek
Memiliki jarak
Dekat
3.
Posisi peneliti
Outsider
Insider
4.
Hubungan teori/konsep dengan penelitian
Konfirmasi
Urgan, menampilkan pandangan baru
5.
Strategi penelitian
Terstruktur
Tidak
6.
Cakupan temuan
Dalil/hukum-hukum/perkiraan teoritis
Ideografik (keadaan kekinian)
7.
Kesan realitas sosial
Statis serta tidak dipengaruhi aktor-aktor
Sbg. Proses pada tentukan oleh aktor-aktor
8.
Keadaan/sifat data
Sukar dibentuk penetrasi
Kaya, mendalam shg. Nampak substantif
Dipetik dari : Bryman,Alan ( 1988, hal 94 )

PENDEKATAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Pendekatan Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif 
Penelitian pada bidang komunikasi seperti halnya pada ilmu-ilmu sosial budaya lainnya,selama ini terlalu menekankan pada pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif yang dilandasi faham positivisme empirik yang berintikan aktivitas penelitian eksperimental memang telah memiliki pengaruh yang sangat bertenaga dalam banyak sekali bidang ilmu, dan bahkan pernah ditinjau menjadi satu-satunya pendekatan penelitian yang benar serta ilmiah. Pandangan tersebut bisa menyeret para peneliti ilmu-ilmu sosial budaya yang pada perkembangan aktivitasnya semakin acapkali menghadapi beragam pertarungan yang nir sanggup dijawab secara tuntas. Dari kenyataan yang dihadapi tadi para peneliti semakin manyadari bahwa manusia menjadi subyek menggunakan segala sifatnya yang subjektif tidak mungkin dapat dikaji secara secara sempurna dengan pendekatan ilmu obyektif. Pemaksaan ke arah itu akan mengakibatkan bias mendasar dan mengakibatkan kekeliruan fatal yg sebagai asal krisis ilmu-ilmu sosial dimasa kini . Masalah sosial yg kompleks tak mungkin untuk diuji menggunakan pandangan partial dan linear. Didalam ilmu alam berbagai kasus pokok berdasarkan dalam fenomena obyek yg dapat dipandang di luar diri kita serta bebas menjadi berita obyektif. Kenyataan itu sangat tidak sinkron halnya menggunakan ilmu sosial budaya yg memusatkan studinya dalam realitas menjadi produk pikir manusia menggunakan segala subyektivitas emosi serta nilai-nilai yang dianutnya. Fenomena sosial serta perilaku manusia dalam dasarnya hanya ada pada pikiran insan. Realitas tersebut terikat sang hubungan dialektis antara subyek dan obyek. Demikianlah pada menyelidiki metodologi penelitian sosial ini, anda diharapkan mengenal baik pendekatan kuantitatif juga kualitatif, lantaran pendekatan kualitatif sangat sempurna bagi studi ilmu-ilmu sosial budaya, termasuk didalamnya ilmu komunikasi.

Pemahaman ciri metodologi
Mengenal ( perbedaan ) pendekatan kuantitatif serta kualitatif akan lebih gampang dan kentara jika kita tahu perbedaannya dengan majemuk hal yang sangat fundamental didalam ke 2 metodologi tersebut. Penggunaan metodologi penelitian kualitatif tidak sinkron dengan penggunaan metodologi penelitian kuantitatif bukan sekedar lantaran menghadapi disparitas “ subjek matter “, atau karena disiplin ilmu yang tidak selaras, tetapi secara fundamental karena disparitas keyakinan keilmuan yg bersumber dalam penggunaan kerangka berpikir berpikir yg tidak sinkron ( smith, 1984 ).

Bilamana kita bisa memahami perbedaan itu secara sempurna maka kita akan bisa memisahkan ke 2 metdologi penelitian tersebut menggunakan penuh pencerahan dan berada pada penglihatan batas yang jelas. Dengan demikian didalam melakukan kegiatan penelitian, kita tak akan mudah tersesat atau dengan sangat gegabah mencampur-adukkan majemuk pengertian dasar menurut 2 jenis metodologi tersebut.

Guba dan Lincoln ( 1981 : 62 – 82 ) menyajikan uraian yang cukup panjang dan mempertentang-kan perbedaan kerangka berpikir kedua penelitian ini. Untuk penelitian kuantitatif dipakai kata Scientific Paradigm ( kerangka berpikir ilmiah ), sedangkan penelitian kualitatif dinamakan Naturalistic Inquiry atau inkuiri alamiah.

Pokok-pokok perbedaan ke 2 paradigma tersebut bisa disimak pada tabel berikut : 

Tabel. Perbedaan Paradigma Ilmiah serta Alamiah

Poster tentang

PARADIGMA
Ilmiah
Alamiah
·Teknik yang digunakan

·Kriteria kualitas

·Sumber teori


·Persoalan kausalitas



·Tipe pengetahuan yang digunakan

·Pendirian

·Maksud
Kuantitatif


“ Rigor “


Apriori


Dapatkah x menyebabkan y ?



Proposisional




Reduksionis

Verifikasi
Kualitatif


Relevansi


Dasar-dasar               ( Grounded )

Apakah x menyebabkan y dlm. Latar alamiah


Proposisional yang diketahui bersama



Ekspansionis

Ekspansionis
Karakteristik Metodologis
·Instrumen




·Waktu penetapan pengumpulan data dan analisis

·Desain


·Gaya

·Latar

·Perlakuan

·Satuan kajian

·Unsur kontekstual
Kertas-pensil atau alat fisik lainnya



Sebelum penelitian





Pasti     ( preordinate )


Intervensi

Laboratorium

Stabil

Variabel


Kontrol
Orang sebagai peneliti



Selama serta selesainya pengumpulan data




Muncul-berubah


Seleksi

Alam

Bervariasi

Pola-pola


Turut campur atas undangan
1. Teknik yang digunakan.
Pada dasarnya, baik teknik kuantitatif juga teknik kualitatif bisa dipakai beserta-sama. Namun, dalam kerangka berpikir ilmiah memberi tekanan pada teknik kuantitatif, sedang paradigma alamiah memberi tekanan pada teknik kualitatif.

2. Kriteria kualitas.
Untuk menialai “ baik/tidaknya “ penelitian, kerangka berpikir ilmiah sangat percaya pada kriteria Rigor, yaitu kesahihan eksternal serta internal, keandalan dan obyektivitas.

Menurut Guba dan Lincoln ( 1981 : 66 ) penekanan dalam kriteria tadi membawa eksperimen dalam penyusunan desain yg indah, tetapi tak jarang sempit cakupannya. Hal ini dikarenakan kebanyakan eksperimen memasukkan situasi yang kurang dikenal, buatan, dan masa hidupnya singkat dan hal itu membuat latar – nir – biasa sukar digeneralisasikan pada latar lainnya.

Sebaliknya, paradigma alamiah menggunakan kriteria relevansi. Relevansi ini merupakan signifikasi menurut langsung terhadap lingkungan senyatanya. Usaha menemukan kepastian serta keaslian merupakan hal yg penting pada penelitian alamiah.

3. Sumber teori.
Paradigma ilmiah menekankan dalam pembuktian hipotesis yg diturunkan berdasarkan teori a priori. Teori semacam ini disusun dengan ligika deduktif dan logis.

Sedangkan kerangka berpikir alamiah menemukan teori menggunakan berdasar pada data yang dari berdasarkan dunia nyata. Metode yang dipakai adalah metode menemukan dengan menganalisis data yg diperoleh secara sistematis.

4. Pertanyaan tentang kausalitas.
Penelitian biasanya dihadapkan pada penentuan hubungan karena-dampak. Jawaban terhadap pertanyaan interaksi sebab akibat krusial buat keperluan meramalkan, kontrol disatu pihak, serta verstehen ( pemahaman ) dilain pihak. Kedua paradigma ilmiah maupun alamiah memakai pertanyaan-pertanyaan tadi, namun menggunakan cara yang tidak sinkron.

Paradigma ilmiah umumnya bertanya = dapatkah X mengakibatkan Y ? Buat itu maka mereka mendemonstrasikan di laboratorium bahwa Y sesungguhnya bisa ditimbulkan sang X.

Di pihak lain paradigma alamiah kurang tertarik dengan apa yang diusahakan terjadi pada situasi yg didesain terlebih dahulu, tetapi lebih tertarik dalam apa yang terjadi pada latar alamiah.

5. Tipe pengetahuan yang digunakan.
Ada 2 macam pengetahuan ; yaitu pengetahuan proposisional dan pengetahuan – yg – diketahui – beserta, yg diketahui serta disepakati pula oleh subjek. Kedua tipe pengetahuan tadi, bisa dijelaskan perbedaannya. Pengetahuan proposisional adalah pengetahuan yang dapat dinyatakan pada bentuk bahasa.

Pengetahuan – yang – diketahui – bersama ( tacit knowledge ) adalah instuisi, pemahaman, atau perasaan yang tidak dapat dinyatakan menggunakan istilah-istilah yg dalam hal-hal tertentu diketahui sang subjek.

Paradigma ilmiah membatasi diri dalam pengetahuan proposisional. Pengetahuan demikian adalah esensi metode buat menyatakan proposisi secara eksplisit dalam bentuk hipotesa yang diuji buat menentukan validitasnya. Teori-teori terdiri atas pengumpulan hipotesis semacam itu.

Sebaliknya, paradigma alamiah mengizinkan dalam mendorong pengetahuan – yang – diketahui – beserta guna dimunculkan buat keperluan membantu pembentukan teori dari dasar juga buat memperbaiki komunikasi pulang kepada asal informasi dengan cara peristilahan mereka.

6. Pendirian.
Paradigma ilmiah berpendirian Reduksionis. Mereka menyempitkan penelitian dalam fokusyang relatif kecil menggunakan jalan membebankan hambatan-kendala, baik dalam syarat anteseden dalam nikuiri ( buat keperluan mengontrol ), maupun dalam keluaran-keluaran.

Jadi, pencari – tahu – ilmiah mulai dengan menyusun pertanyaan atau hipotesis, lalu hanya mencari informasi yg akan menaruh jawaban pada pertanyaan atau menguji hipotesis-hipotesis itu.

Sementara pencari – memahami – alamiah mempunyai pendirian ekspansionis. Mereka mencari perspektif yg akan mengarahkan pada pelukisan dan pengertian kenyataan sebagai keseluruhan atau akhirnya dengan jalan menemukan sesuatu yg mencerminkan kerumitan gejala-gejala itu. Mereka memasuki lapangan, menciptakan dan melihat pembawaannya yang tampak berdasarkan arah manapun titik masuknya.

Jadi pencari – tahu – ilmiah merogoh setiap struktur, terarah serta tunggal sedangkan pencari – tahu – alamiah berpendirian terbuka, menjajagi, serta kompleks.

7. Maksud.
Paradigma ilmiah senantiasa bermaksud menemukan pengetahuan melalui pembuktian hipotesis yang dispesifikasikan secara apriori ad interim pencari – memahami – alamiah, menitikberatkan upayanya pada bisnis menemukan unsur-unsur atau pengetahuan yang belum ada pada teori yg berlaku.

8. Instrumen.
Untuk mengumpulkan data, paradigma ilmiah memanfaatkan informasi lapangan atau alat bantu fisik lainnya. Sedang pencari – tahu – alamiah dalam pengumpulan datanya lebih banyak bergantung pada dirinya sendiri sebagai indera pengumpulan data. Orang – sebagai – instrumen memililki senjata “ dapat menetapkan “ yg secara luwes dapat digunakannya. Ia senantiasa bisa menilai keadaan serta bisa mengambil keputusan.

9. Waktu buat mengumpulkan data serta anggaran analisis.pencari – tahu – ilmiah bisa menetapkan seluruh aturan pengumpulan serta analisis data sebelumnya. Mereka sudah mengetahui hipotesis yang akan diuji serta dapat berbagi instrumen yang cocok menggunakan variabel. Instrumen ditetapkan sebelumnya tentang ukuran terhadap karakteristik yg diketahui sebagai akibatnya memungkinkan tetapkan waktu melakukan analisis.

Paradigma alamiah sebaliknya, tidak diperkenenkan memformulasikan secara a priori. Datanya dikumpulkan serta mengkategorikan dalam bentuk kasar serta diunitkan oleh peneliti/analisis.

10.desain.
Bagi paradigma ilmiah, desain harus disusun secara pasti sebelum warta dikumpulkan. Sekali desain dipakai, maka nir boleh mengubahnya pada bentuk apapun. Bagi paradigma alamiah, desain bisa disusun sebelumnya secara tidak lengkap. Apabila telah digunakan, desain senantiasa dilengkapi dan disempurnakan.

11.gaya.
Paradigma ilmiah menggunakan gaya menerapkan hegemoni. Variabel bebas serta terikat diisolasikan menurut konteksnya, diatur sedemikian rupa sebagai akibatnya hanya variabel ini yang timbul buat diukur serta lalu dikonfirmasikan menggunakan hipotesisnya.

Sebaliknya, kerangka berpikir alamiah bergantung pada seleksi. Dari pelbagai insiden yg terjadi secara alamiah akhirnya dipilih sesuatu tanda-tanda tanpa mengadakan intervensi.

Jadi pencari – memahami – alamiah tidak mengelola situasi, tetapi memanfaatkannya.

12.latar.
Pencari – memahami – ilmiah bersandar pada latar laboratorium buat keperluan mengadakan kontrol, mengelola hegemoni dan sebagainya. Sebaliknya, pencari – memahami – alamiah cenderung mengadakan penelitian pada latar alamiah.

13.perlakuan.
Bagi kerangka berpikir ilmiah, konsep perlakuan sangat penting. Bagi setiap eksperimen, perlakuan itu wajib stabil dan tidak bervariasi. Jika tidak demikian, maka sukar menentukan efek yang berkaitan dengan suatu penyebab tertentu.

Untuk kerangka berpikir alamiah, konsep perlakuan tadi asing karena perlakuan menyertakan beberapa cara manipulasi atau hegemoni.

14.satuan kajian.
Pada kerangka berpikir ilmiah merupakan variabel serta seluruh hubungannya yang dinyatakan diantara variabel serta sistem variabel.

Sebaliknya, pada paradigma alamiah berlaku pendirian agar satuan kajian lebih sederhana. Selain itu mereka lebih menekankankemurnian sistem pola yg diamati secara alamiah.

15.unsur-unsur kontekstual.
Peneliti ilmiah senantiasa berusaha mengontrol semua unsur yang menggaggu yang bisa mengaburkan unsur-unsur itu dari kenyataan yang menjadi pusat perhatian atau yang mengacau dalam impak terhadap kenyataan itu.

Peneliti alamiah bukan hanya nir tertarik pada kontrol, melainkan malah mengundang adanya ikut campur sehingga mereka secara lebih baik bisa mengerti insiden pada dunia konkret dan merasakan pola-pola yg ada pada dalamnya.

Validitas serta Reliabilitas
Validitas merupakan ‘ built in control mechanism ‘ dalam metode penelitian yg memakai instrumen secara eksplisit. Validitas mempersoalkan instrument yang dipakai dalam mengukur atribut ; apakah alat ukur benar-sahih mengukur atribut yang dimaksud. Mengapa masalah validitas senantiasa dipertanyakan dalam penelitian sosial ? Karena atribut semisal psikologis, pemahaman ilmiah, taraf konservatisme, dll sangat sulit diukukr/dicari, meski demikian peneliti ilmiah wajib sanggup mengukur.

Reliabilitas : kemampuan, ketepatan, keajegan, homogenitas alat ukur. Suatu alat ukkur dikatakan mantap bila dipergunakan berulang kali hasilnya tetap sama.

Catatan : suatu data yg punya reliabilitas belum tentu punya validitas, sedang data yg punya validitas sudah tentu punya reliabilitas.

Beberapa metode menguji reliabilitas.
1. Metode ulang : mengulangi pengukuran berdasar selang ketika ttt.
2. Metode belah dua : membegi dua buah pertanyaan ke pada dua kelompok.
3. Metode parabel : buah-buah pertanyaan mewakili suatu variabel yg satu serta buah pertanyaan yang sama mewakili variabel yang lain yang punya kesamaan sifat, diukur secara bersamaan.

Jenis-jenis Validitas.
1. Validitas logis : mempersoalkan apakah pola hubungan variabel/konsep bisa diterima akal sehat. Misal : kita akan menganggap logis apabila Org meneliti imbas usia terhadap suatu hal bukan kebalikannya.
2. Validitas tampang : menyangkut atribut kongkrit, jika kita ingin mengukur mencek huruf kita akan meminta orang membaca.
3. Validitas lintas budaya : mempersoalkan apakah indera ukur yang dipakai dalam masyarakat ttt juga berlaku didalam rakyat yang lain.
4. Validitas internal : menyangkut mengenai internal psikologis khalayak/responden. Misal : jika kita ingin mengamati sikap petani terhadap kredit bisnis tersebut maka survey yg diajukan harus sahih-benar menggali psikologis internal petani, bagaimana tanggapannya thd acara kredit tsb.
5. Validitas eksternal : mempersoalkan apakah alat ukur yang dikenakan dalam komunitas ttt juga berlaku pada komunitas yang lain. Misal : mangamati konsep belajar jeda jauh ( UT ), apakah siaran-siaran pendidikan acara UT mampu memacu belajar mahasiswa, bagaimana antara mahasiswa fisip dibanding menggunakan mahasiswa fakultas lain.
6. Validitas konstruk : mempersoalkan seberapa jauh suatu alat ukur punya persamaan menggunakan alat ukur yang lain dalam saat mengukur konstruk/konsep yang sama.
7. Validitas isi : menyankut derajad keterwalian substansi suatu indera ukur. Pengukuran kategorisasi dalam content analysis, kategori yang dibuat peneliti itu sanggup disepakati oleh pengkoding/pembaca.
8. Validitas prediktif : mempersoalkan seberapa jauh suatu indera ukur bisa meramalkan perilaku sekarang maupun yang akan datang. 

Penyusunan Proposal Penelitian
Terdapat 2 hal pokok yang wajib benar-benar difahami ketika hendak menyusun atau menciptakan proposal penelitian. Dua hal tadi merupakan :
1) Logika penelitian, dan
2) Format proposal yang dikehendaki.
1) Logika penelitian.

Yang dikenal menggunakan akal penelitian disini merupakan struktur fikiran berkenaan menggunakan proses penelitian, yg pada hal ini terdapat disparitas antara penelitian kuantitatif serta penelitian kualitatif.

Posisi masalah/masalah yg dirumuskan sang peneliti ( eksplisit dinyatakan pada proposal ) pada hal ini bisa dikatakan “ mendahului “ posisi teori. Perlu diperhatikan benar disisni merupakan, bahwa kasus penelitian tidak akan pernah nampak/kelihatan tanpa ditinjau melalui teori. Artinya, perkara penelitian hanya terdapat bila orang mempunyai bekal teori buat melihatnya. Mempertentengkan gejala atau fakta ( sebagian menurut perilaku manusian dalam kebersamaannya dengan sesama atau mungkin pada kebersamaannya dengan alam serta pencipta disuatu fihak ) dengan fikiran-fikiran eksklusif ( teori-teori ) difihak lain dapat membuat apa yg disini kita sebut-sebut sebagai kasus penelitian.

Masalah penelitian ini nanti harus dapat dijawab/dipecahkan dengan atau lewat penelitian bersangkutan. Peneliti sangat mungkin tertarik buat menjawab secara tentatif ( menganggap-duga ) atas kasus tadi. Kalau demikian halnya orang wajib mendeduksikan teori-teori eksklusif, memberlakukan pernyataan asumtif yang tadinya dipercaya generik atau luas sifat kebenarannya kedalam gejala atau beberapa gejala yg saling dikaitkan secara khusus/sempit. Jawaban yg bersifat dugaan ( yg masih wajib dibuktikan kebenarannya dengan data realitas/lapangan ) itulah hipotesa.

Hipotesa umumnya terdiri berdasarkan dua atau lebih variabel yang dikaitkan satu dengan yg lain ( dikorelasikan, dicari hubungan kausalitasnya, dibandingkan, dst )

Contoh hipotesa : 
“ perilaku a-politis generasi muda perkotaan lebih tinggi dibandingkan menggunakan sikap a-politis generasi belia pedesaan “

contoh hipotesa pada atas mengandung dua variabel
(a) Sikap a-politis generasi belia perkotaan, dan 
(b) Sikap a-politis generasi muda pedesaan.

Kedua variabel ini hendak dibandingkan dan diduga yg pertama lebih tinggi dibanding yg kedua. Tetapi buat bisa dibandingkan maka konsep utama pada variabel harus diberi arti spesifik, yakni menggunakan memilih aspek tertentu sebagai akibatnya menaruh peluang untuk pengukuran dan kategorisasi. Inilah yg disebut operasionalisasi. 

Suatu variabel tak jarang kedapatan mengandung poly konsep, serta seluruh konsep selayaknya didefinisikan secara spesifik, yakni menggunakan memilih aspek-aspek eksklusif berdasarkan suatu konsep.

Konsep pokok pada variabel-variabel misalnya dicontohkan di atas merupakan sikap a-politis. Sikap a-politis misalnya didefinisikan menjadi kesamaan perasaan nir senang atau tidak tertarik pada masalah-masalah politis yg akan dicermati/diukur dari ( sebagian, semua, atau masih akan ditambah lagi ) penggunaan media massa ( rubrik, program apa yg paling diminati ), kegiatan diluar bangku kuliah/sekolah ( menjadi anggota,ikut menyumbang, duduk pada kepengurusan organisasi yg punya aset terhadap pengambilan keputusan politis dsb.

Setelah terdapat operasionalisasi konsep/variabel maka peneliti bisa pulang ke lapangan guna mengumpulkan data. Data direkam/dicatat kemudian diproses buat kemudian dianalisis.

Dalam penelitian kuantitatif, data berupa kuantum ( bilangan ), yakni memilih intensitas serta atau ekstensitas menurut gejala yg diamati. Lantaran data lebih poly adalah sapta, maka peneliti sering kali berfikir mengenai satuan-satuan buat memilih intensitas dan ekstensitas tadi : usia berapa tahun, tiba kedap berapa kali, menyumbang berapa rupiah untuk organisasi serta atau mengongkosi kegiatan-kegiatan yang memiliki keterkaitan dengan politik dsb.

Dalam pengolahan data, maka duduk perkara utama merupakan mentransformasikan jawaban responden ( kalau yang diteliti kebetulan adalah manusia entah individu atau grup ) ke dalam bentuk tabel-tabel atau grafik. Dengan memperhatikan ukuran-berukuran bagi kategorisasi yang dibentuk peneliti bisa memasukkan responden mana masuk dalam kategori mana.

Analisis data dalam pada itu adalah membaca kecenderungan angka-nomor atau tepatnya data-data yg ada. Dalam hubungan ini sangat mungkin peneliti membutuhkan teknik analisis statistik, terutama untuk mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan suatu variabel menggunakan variabel lainnya tadi ( terdapat korelasinya nir, ada perbedaannya atau nir, apakah variabel sebagai penyebab keluarnya variabel y atau tidak, dsb ).

Hasil analisis inilah sebenarnya temuan-temuan penelitian, yakni setalah peneliti menafsirkannya dengan cara menampakan konsekuensi-konsekuensi berdasarkan hasil analisis. Termasuk disini merupakan : jawaban apa atas perkara penelitian, hipotesa diterima atau ditolak pada taraf signifikasi eksklusif, teori-teori mana yang mendapat penguatan serta teori-teori mana yg ditambah. Dengan istilah lain penegasan-penegasan apa yang sanggup dibentuk, saran-saran apa yang bisa dikemukakan dst. Temuan-temuan ini, terutama yg berupa proposisi-proposisi akan bermakna kontributif bagi pengembangan ilmu khususnya khazanah ilmu.

Setelah peneliti mempunyai topik atau problem eksklusif buat duteliti, maka tahap yang wajib segera dilakukan berikutnya adalah menyusun pertanyaan-pertanyaan buat kepentingan ini peneliti memperhatikan betul penekanan dari minat sebenarnya yang hendak diteliti. Sesudah ini peneliti lalu pulang ke lapangan buat mengumpulkan data. Karena penelitian kualitatif umumnya bersifat deskriptif, yakni berusaha hendak melukiskan tanda-tanda atau interaksi tanda-tanda-tanda-tanda yang dijumpai pada masyarakat yg diteliti ‘ sekarang ‘ maka pertanyaan lebih poly ‘ bagaimana ‘. Ketika peneliti mulai melakukan observasi dilapangan inilah peneliti mulai mengetahui pertanyaan-pertanyaan apa yg benar-sahih relevan dengan maksud serta tujuan penelitian serta mana yang nir relevan. Dari sini peneliti sanggup merubah, membuang, menambah pertanyaan penelitian yg pada aneka macam hal sebenarnya ini adalah defleksi berdasarkan proposal yang telah dibentuk.

Yang unik dalam penelitian kualitatif adalah ketidak terpisahan antara pengumpulan data, pengolahan data, dengan analisis data. Artinya data diolah serta dianalisis tanpa menunggu terkumpulnya semua data. Pengolahan / penyusunan data serta analisis data dilakukan sammbil terus melakukan pengumpulan data yg karena itu peneliti mempunyai kesempatan buat terus-menerus memperbaiki/menyempurnakan pertanyaan-pertanyaan. Dalam proses melingkar begini peneliti malahan disarankan untuk terus jua menjelajahi literatur yang relevan dengan dilema-problem yg dihadapi. Hal ini krusial untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan misalnya ; apa yang telah ditemukan oleh peneliti lain berkenaan dengan masalah-masalah yg sekarang sedang diteliti. Apa yang sudah diabaikan pada literatur ? Bagaimana peneliti berbeda perspektif menggunakan penulis/peneliti lain sebagaimana kelihatan dalam literatur yg dibaca ? Hal-hal ini justru akan sangat berarti waktu peneliti hendak menuliskan atau menegaskan temuan-temuannya. Dengan istilah lain, hasil penelitian orang lain ( penulisan etnografik ) sangat kontributif sepanjang penelitian masih pada proses. Dan proses penelitian siklis begini akan kelihatan kentara bahwa peneliti sangat dituntut untuk sesnantiasa mengulang/memperbaharui pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, memasak data, menganalisis data sekaligus sambil terus jua memeriksa literatur-literatur – sesuatu yg tak terjadi dalam penelitian kuantitatif. Kegiatan atau proses ini akan berhenti dalam titik eksklusif, yakni ketika peneliti telah merasa cukup memperoleh atau mencapai tujuan-tujuannya.

Dalam hal demikian output penelitian berupa laporan akan merupakan sumbangan pada khazanah keilmuan khususnya penulisan etnografi.

Dari pemaparan ke 2 struktur logika penelitian misalnya di atas, kita kemudian dapat melihat beberapa disparitas diantara keduanya ( kualitatif & kuantitatif ) sbb :
No

Perihal

Kuantitatif

Kualitatif

1.
Peran penelitian
Sebagai persiapan/pendahuluan
Sangat bermanfaat buat eksplorasi interpretasi
2.
Hubungan peneliti menggunakan subjek
Memiliki jarak
Dekat
3.
Posisi peneliti
Outsider
Insider
4.
Hubungan teori/konsep dengan penelitian
Konfirmasi
Urgan, menampilkan pandangan baru
5.
Strategi penelitian
Terstruktur
Tidak
6.
Cakupan temuan
Dalil/aturan-aturan/perkiraan teoritis
Ideografik (keadaan kekinian)
7.
Kesan empiris sosial
Statis serta tak ditentukan aktor-aktor
Sbg. Proses pada tentukan sang aktor-aktor
8.
Keadaan/sifat data
Sukar dibuat penetrasi
Kaya, mendalam shg. Nampak substantif
Dipetik menurut : Bryman,Alan ( 1988, hal 94 )

PENDEKATAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SERTA KOMBINASINYA DALAM PENELITIAN PSIKOLOGI

Pendekatan Kuantitatif Dan Kualitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi
Kota menjadi hunian menggunakan representasi pembagian kota secara spasial merupakan sebuah interaksi sosial yg terjadi dimana manusia berpikir tentang global melalui lingkungan yang terbangun. Kawasan kota seperti padat atau lengang, kelas menengah atau kelas bawah, kawasan aman atau rawan, usaha atau pemukiman juga glamour ataukah miskin, seluruh ini adalah representasi nyata menggunakan mengungkap beberapa aspek kota dimana representasinya memiliki kekuasaan buat membatasi tindakan atau mengendapkan perkara eksklusif.

Permasalahan kota dalam hal visualisasi representasi kota menjadi loka yang bersih, sehat, nir mengganggu pemandangan, rapi serta tertata berakibat kota mempunyai bukti diri ruang yang nir sanggup dipungkiri serta kukuh. Pribadi kota seperti inilah yg menjadikan pekerja seni (seniman) kesulitan pada berbagi daya imajinasinya dalam sebuah ruang yang bernama ruang publik. Sementara ruang publik sendiri diakui menjadi bagian menurut bukti diri kota yang harus memenuhi baku sebagai kota yang bersih dan tertata.

Juergen Habermas menyebut ruang publik menjadi ruang yang digunakan secara individu serta secara prinsip dalam menggulirkan wacana sebagai akibatnya bisa melahirkan debat umum (dalam Barker, 2005: 154). Ruang ini tidak terbatas dalam lingkup ruang tertutup namun pula ruang terbuka yang seharusnya dilindungi oleh negara agar digunakan secara meluas. Ruang publik belakangan sebagai pudar ketika ruang tersebut dihadapkan pada perkembangan kapitalisme yang menunjuk pada monopoli serta penguatan negara. Dalam perkembangan seni publik, hampir nir terdapat ruang publik yang bisa mewadahi seniman pada menggulirkan perihal mereka.

Public art (seni publik) dalam tentang seni rupa sendiri pada lingkup yg lebih menyempit adalah seni yg dibentuk secara individu juga gerombolan yang memakai prinsip-prinsip eksklusif dalam menggulirkan perihal melalui karya seni rupa. Bentuk seni publik sendiri diantaranya mencakup performance art, instalation art, happening art, stencil, graffiti, mural, poster, serta lain-lain. Graffiti yang terlanjur pada-cap sebagai karya vandalism kurang menerima loka di hati warga .

Graffiti sepertinya menjadi aspek yang mampu memunculkan reaksi beragam dalam konteks kepedulian lingkungan. Efek yang dihasilkan menurut graffiti telah membentuk ruang berapresiasi dengan segala macam penafsiran. Nilai visual (estetis) yang seharusnya terdapat pada karya seni - dalam hal ini graffiti - dalam konteks tata kota tidak lagi diindahkan. 

Tulisan ini bertujuan untuk menemukan secara ilmiah motivasi bomber dalam menciptakan graffiti di Surabaya lalu menghubungkan keinginan bomber pada berkarya dengan kepentingan kota serta memberikan argumentasi ilmiah tentang partisipasi graffiti dalam perkembangan sosial kota. 

DEFINISI GRAFFITI
Manco menuliskan bahwa seni graffiti senantiasa berkembang secara monoton (Manco, 2004:7). Setiap hari, lapisan cat serta poster-poster yg baru saja ditempel, bermunculan hanya dalam waktu semalam di tiap kota yg terdapat di semua dunia. Proses pembaharuan yg terjadi secara terus-menerus terhadap tanda-tanda serta karya seni – karya seni ini dibentuk di atas lapisan karya graffiti lama yg telah memudar serta dalam permukaan-permukaan yang rusak dari sebuah kota. Tampaknya, graffiti memang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kota.

Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan graffiti? Susanto mengungkapkan, bahwa graffiti dari dari kata Italia “graffito” yang berarti tabrakan atau guratan (2002:47). Penulis Arthur Danto (2002:47) menyebutnya dengan demotic art atau yang memiliki serta memberi fungsi pada pemanfaatan aksi corat-coret. Pada dasarnya aksi ini dibuat atas dasar anti-estetik dan chaostic (bersifat Mengganggu, baik berdasarkan segi fisik maupun non-fisik).

Graffiti (juga dieja grafitty atau grafitti) merupakan aktivitas seni rupa yg memakai komposisi rona, garis, bentuk dan volume buat menuliskan kalimat eksklusif pada atas dinding. Alat yg digunakan umumnya cat semprot kaleng. Menurut Wikipedia (n.D., 19 Januari 2006), graffiti merupakan galat satu tulisan ataupun penanda yang menggunakan sengaja dibentuk oleh manusia dalam suatu bagian atas benda, baik itu milik eksklusif ataupun publik. Sebuah graffiti bisa berupa sebuah karya seni, gambar ataupun istilah-kata. Ketika suatu graffiti dikerjakan tanpa sepengetahuan pemilik properti, maka graffiti tadi bisa mengkategorikan menjadi sebuah vandalism. Graffiti sendiri sudah terdapat paling tidak sejak peradaban kuno misalnya zaman Yunani Klasik serta Kerajaan Roma. 

Kata “Graffiti” adalah kata jamak dari “graffito”. Bentuk singularnya sendiri cenderung tidak jelas merupakan dan dalam sejarah seni penggunaan kata tadi mengacu pada pembuatan karya seni yang didapatkan menggunakan menggoreskan/mengguratkan desain dalam suatu permukaan. Istilah lain yg herbi graffiti adalah sgraffito, yaitu suatu cara menciptakan desain dengan menggores melalui satu lapisan dari suatu warna/pigmen buat memberitahuakn lapisan yg ada dibawahnya. Semua istilah-kata ini dari menurut bahasa Itali, yaitu graffiato, bentuk lampau menurut graffiare (to scratch/ menggores); para pembuat graffiti dalam zaman dulu menggoreskan karya mereka pada tembok-tembok sebelum adanya cat spray, seperti yg kita lihat pada mural-mural atau fresko. Kata ini dari berdasarkan bahasa Yunani γραφειν (graphein), yg adalah “menulis”. 

Bambataa mengungkapkan, bahwa graffiti atau graf adalah keliru satu menurut empat unsur pada kultur hip-hop (2005:85). Tiga unsur lainnya adalah break dancing, DJ-ing dan rappin’. Graffiti dimulai menjadi seni urban underground yg ditampilkan secara mencolok di area-area publik, umumnya pada tembok-tembok gedung. Graffiti digunakan oleh para masyarakat kota buat menyatakan komentar sosial serta politik, misalnya halnya geng-geng biasa menjelaskan tempat yang menjadi kekuasaannya. Tidak terdapat konvensi kapan graffiti lahir serta tentang loka kelahiran awal graffiti. Tetapi beberapa surat keterangan mengungkapkan bahwa graffiti dimulai pada New York pada awal 1970-an bersamaan menggunakan lahirnya breakdance.

Meskipun terdapat asumsi bahwa graffiti ‘klasik’ mengalami stagnasi dalam pergerakannya, namun selentingan melalui majalah graffiti yang ada belakangan ini ataupun kunjungan ke hall of fame setempat menampakan menggunakan kentara bahwa ada begitu banyak perubahan yang terjadi sejak tahun 1980-an. Dalam pemberontakan terhadap gaya umum, artis menghancurkan peraturan graffiti yang nir tertulis buat membentuk bentukan grafis yg baru serta imej lain diluar 3-D serta penulisan wild-style.

Graffiti artistik sendiri memilih kepada bentuk tag (tulisan) yg terolah melalui bahasa visual yg estetik. Secara bentuk, graffiti tadi dituliskan menggunakan pemanfaatan logotype atau pula kaligrafi yang biasa dianggap pada kalangan street artist sebagai street logos (Manco, 2004:8). Penggunaan tag secara pictographic symbol seringkali digunakan buat menampakan berkomunikasi secara visual menggunakan audiens. Sehingga akan mudah didapati graffiti yg seakan tidak bermakna, tetapi bila dibaca menggunakan sangat teliti melalui proses pembacaan graffiti yang rumit, maka graffiti artistik menyimpan poly makna yg sarat pesan sosial.

Dari bentuk yang lain, graffiti artistik akan ditemui melalui penggunaan warna yang maksimal . Penggunaan rona ini mendukung dalam pemilihan bentuk graffiti yg dibuat. Warna biasanya menyesuaikan dengan space yg terdapat, meskipun kebanyakan warna yang dipakai merupakan rona-rona cerah.

Tabel 1. Klasifikasi Variabel Penelitian

No.

Subjek

Lokasi

Parameter

1.
Graffiti Artistik
Jl. Pemuda, Jl. Basuki Rachmat,  Jl. Ngagel, Rungkut Industri, Dinoyo, Jl. Jemursari, Jl. Margorejo, Jl. A. Yani, Jl. Kutisari, Kompleks Masjid Agung Surabaya
- Pengolahan pada tipografi
- Pengolahan dalam warna
- Pengolahan dalam pola dan bentuk
2.
Ekologi Visual
---idem---
- Simbiosis mutualisme
- Kesatuan menggunakan lingkungannya
3.
Sosio-Kultural Kota
---idem---

- Menyiratkan budaya lokal
- Membangun kultur setempat
- Pola maupun bentuk graffiti yang melokal


Tabel dua. Perbedaan Graffiti Artistik dan Graffiti Non-Artistik


Graffiti Artistik

Graffiti Non-artistik

Bahan serta media
- Cat semprot atau aerosol. Tetapi pada beberapa kota di Indonesia termasuk Surabaya selain cat semprot juga menggunakan cat tembok.
- Dinding berupa tembok rumah, gedung, pagar, indera transportasi.
- Cat semprot
- Spidol
- Dinding berupa tembok rumah, gedung, pagar, indera transpor-tasi.
Pola serta bentuk
- Bubble, yaitu gaya pola yg generik dipakai writer atau bomber buat melakukan throw up (menggrafiti dengan cepat)
- Wildstyleatau semi wildstyle, yaitu gaya yg homogen serta biasa digunakan dan populer bagi para writer. Ciri gaya pola ini adalah menggunakan ornamen seperti tanda panah, bintang, dll.
- 3D, yaitu gaya pola yang mengesankan kesan 3 dimensi.
-Taki. Bentuk ini nampak seperti indikasi tangan. Hanya sekedar goresan pena (tagging). Ini yg lalu acapkali dianggap sebagai corat-coret.


Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yg dilakukan dalam penelitian ini memakai teknik wawancara mendalam dan observasi ke lapangan eksklusif. Wawancara dilakukan oleh peneliti terhadap 6 informan. Informan tersebut merupakan salah satu bomber yang tergabung pada beberapa gerombolan . Kelompok bomber pada Surabaya terdiri menurut 4 informan, sedangkan bomber menurut Jakarta ada 2 informan. Informan dari Jakarta diperlukan pada wawancara khususnya yang berkenaan dengan sejarah graffiti mulai berkembang pada Indonesia.

Wawancara dilakukan dengan terbuka, ialah pihak informan mengetahui maksud diwawancara dan mereka pula memahami bahwa sedang diwawancara. Berikut ini profil informan yg sengaja memakai inisial demi kepentingan privasi mereka, mengingat anggapan banyak orang termasuk pemerintah kota yang menganggap graffiti adalah wujud seni yg merusak estetika kota sehingga pelaku graffiti sanggup dianggap menjadi kriminal. Kriteria yg diambil menjadi informan merupakan:
  • Telah membuat karya graffiti di beberapa titik kota Surabaya 
  • Aktif dalam berkarya, minimal 1 tahun. 
  • Graffiti yang didapatkan adalah yg berjenis artistik graffiti 
  • Sering melakukan prodo atau berkarya bersama-sama menggunakan kelompok graffiti lain 
  • Kerjasama selama proses penelitian sangat baik. 
Tabel tiga. Profil Informan

No

Nama(inisial)

Usia

Profesi

Kelompok

1.
B
20 thn
Mahasiswa ITS semester 2 jurusan Planologi
Public Enemy (Surabaya)
2.
H
19 thn
Siswa SMA Santa Maria kelas 3
Yuck Fou (Surabaya)
3.
D
22 thn
Mahasiswa UK Petra jurusan DKV
Yuck Fou (Surabaya)
4.
M
19 thn
Siswa SMA St. Louis kelas 3
Humble (Surabaya)
5.
A
28 thn
Art Director sebuah agency
Total Terror (Jakarta) - Tembokbomber
6.
O
27 thn
Mahasiswa Interstudi Jakarta jurusan Desain
Artcoholic (Jakarta)

Wawancara selain dilakukan terhadap informan pula dilakukan terhadap dua narasumber ahli. Narasumber dilakukan buat menggali relevansi graffiti pada hal ekologi maupun sosio-kultural kota. Berikut profil narasumber pakar yg diperlukan pada penelitian ini:
Tabel lima. Profil Narasumber

No.

Nama

Jabatan sekarang

Bidang Keahlian

1.
Dra. Pinky Saptandari, MA
- Sekretaris Jendral Dewan     Kota Surabaya
- Dosen Antropologi Universitas Airlangga
- Antropologi Kota
- Budaya Lokal
2.
Ir. Freddy H. Istanto, MT
- Dosen Arsitektur UK Petra  Surabaya
- Urban Space
- Ruang Publik

Gambar  Profil Narasumber

Motivasi Membuat Graffiti
Berdasarkan output wawancara yg dilakukan terhadap para bomber, diketahui bahwa motivasi buat menciptakan graffiti nir lain merupakan buat memperindah kota di samping faktor sekedar menunjukkan dirinya melalui graffiti. Hal ini diungkapkan oleh M, bomber berdasarkan Humble serta H, bomber berdasarkan kelompok Yuck Fou. Tentu pendapat ini masih menyebabkan perdebatan pada mengidentifikasikan mengenai estetika kota. Pemerintah Kota Surabaya yang jelas memandang keindahan kota relevan dengan kebersihan dimaknakan terbalik sang bomber Surabaya. Mereka berpendapat bahwa kebersihan nir relevan dengan estetika. Tembok yg dicat putih bukanlah keindahan, tetapi kebersihan. Bersih bagi mereka belum tentu latif, sedangkan latif mampu dimaknai menggunakan higienis. 

Di sisi lain, mereka nir menampik pendapat bahwa ada sisi vandalisme yg dilakukan sang bomber. B, bomber dari Public Enemy mengakui bahwa ada semacam gejala ideologi yg mengungkapkan bahwa membuat graffiti memang wajib bersifat vandalis. Graffiti Surabaya yg masih baru berkembang dan jiwa belia yang ada dalam kepribadian mereka tidak mampu dilepaskan menurut semangat pemberontakan, anti kemapanan dan tantangan. Ingin menampakan diri bahkan nir membuat malu-malu menyebut dirinya menjadi seseorang vandalis sebagai pujian tersendiri seorang bomber.

Untuk pendapat kedua inilah, graffiti artistik mencicipi bahwa keberadaan mereka mampu terganggu oleh ulah bomber yg memang bermaksud Mengganggu. Ideologi vandalis pada graffiti benar-benar mereka telan mentah-mentah yang terkadang nir sesuai dengan konteks budaya lokal.

Perlawanan secara vandalis melalui graffiti memang dilakukan sang anak muda di Amerika Serikat dan Inggris awal mulanya dan lalu berkembang ke nagara-negara lain termasuk Indonesia. Namun secara konteks kelokalan, vandalis yg dilakukan sang bomber pada Amerika Serikat dan Inggris tersebut tidak tanggal berdasarkan kebuntuan mereka tidak menikmati pulang ruang publik di samping secara politis dilakukan oleh anak muda yg anti mall, anti kemapanan dan anti pemerintah.

Di Jakarta, seperti diungkapkan sang O menurut Artcoholic serta A berdasarkan Tembokbomber, yang dilakukan oleh bomber pada membuat graffiti adalah ketidaksukaan mereka terhadap bidang tembok yang dibiarkan tak terawat dan begitu semrawutnya poster-poster iklan serta pamflet ditempelkan pada dinding-dinding kota. Ada ketidakadilan dalam memaknai antara graffiti dan poster iklan berdasarkan pihak pemerintah kota. Dari konteks seperti ini saja mampu dicermati bahwa motivasi menciptakan graffiti antara anak belia di negara Barat dengan pada Indonesia berbeda. Menurut O serta A, nir ada destruksi dalam graffiti toh mereka nir menggempur dan membongkar tembok juga dipecah-pecahkan, namun justru memberi sentuhan artistik buat tembok yang tidak dirawat. Begitu pula ada pemilihan lokasi yang sempurna buat digraffiti, tidak dari ngebom.

Berikut ini merupakan tabel yang menyebutkan alasan bomber membuat graffiti di tembok-tembok kota:
Tabel 6. Alasan Membuat Graffiti

No.

Nama (inisial)

Kelompok

Alasan menciptakan graffiti

1.
B
Public Enemy
- Memperindah kota
- Daripada mabuk-mabukan juga beli narkoba, mendingan uangnya digunakan buat beli cat aerosol
2.
H
Yuck Fou
Ingin menciptakan sesuatu yg beda di kota, kalau corat-coret justru mengotori, akan tetapi jikalau dibentuk artistik justru akan bangga dipandang orang.
3.
D
Yuck Fou
Memperindah kota
4.
M
Humble
Memperindah kota
5.
A
Tembokbomber
- Ingin membuat karya pada jalan
- Menghias kota
6.
O
Artcoholic
- Ingin membuat karya pada jalan
- Menghias kota

Graffiti: Tembok Tak Terawat serta Terawat

Sasaran primer kaum bomber merupakan dinding atau tembok yang tidak terawat. Tembok yang dicat putih higienis nir pernah menjadi sasaran empuk bomber yg mengerjakan graffiti artistik. Bilapun terdapat, maka mampu dipastikan graffiti tadi bukanlah graffiti artistik melainkan berupa tagging belaka. Bentuk misalnya ini memang sebagai semacam ‘musuh’ bagi bomber graffiti artistik. Jangankan tembok yang dicat putih bersih, karya graffiti artistik pun mereka timpa dengan tulisan atau kata-istilah yg justru semakin memperburuk gambaran.

Gambar Tagging dalam jembatan layang Gubeng sisi kiri Monkasel

Oleh karena itulah, evaluasi keburukan gambaran higienis nir disama-ratakan kepada seluruh bentuk graffiti. Ada graffiti yg memang benar-benar bertujuan buat memperindah kota, tetapi terdapat pula graffiti yg memang buat menghambat yang indah dan baik. Melihat tujuan graffiti artistik seperti pada atas, maka pemilihan loka pun direncanakan sebaik mungkin. Tembok yang tidak terawat terlebih pada jalan-jalan utama atau strategis mereka timpa dengan graffiti artistik. 

Tembok yang tak terawat tersebut, berdasarkan H berdasarkan Yuck Fou diasumsikannya sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak miliknya sendiri. Artinya adalah mereka yang mempunyai tembok tidak sanggup merawatnya, lantaran itulah bomber merogoh alihnya menggunakan maksud menghilangkan kesan tak terawat menggunakan bahasa rupa yaitu graffiti artistik. Kalaupun ada tembok yg terawat hingga dicat putih bersih tetapi ada graffiti artistiknya, itu lantaran ada permintaan dari pemilik tembok tersebut.

Bentuk ‘pengambil alihan’ tembok yang tak terawat tersebut menjadi bentuk kepedulian tentang bangunan pada jalan-jalan strategis yg tidak merawatnya menggunakan baik, sebagai akibatnya menimbulkan kesan kotor dari setiap pengendara kendaraan yg melintasinya. Tembok tak terawat didefinisikan mereka, menjadi berikut:
1) Tembok yang dibiarkan kumuh, sebagai akibatnya poster dan pamflet iklan sangat mudah menempelkannya. Tembok semacam ini akan segera ditimpa sang graffiti.
2) Tembok yang dahulunya putih higienis, namun usang kelamaan memudar, bahkan warnanya cenderung agak coklat serta kehitaman atau kehijauan lantaran lumut. Untuk tembok yang seperti ini, umumnya sebelum ditimpa graffiti, bomber akan mengecatnya dulu dengan warna putih buat mengakibatkan kesan segar.
3) Tembok yg dibiarkan rusak. Biasanya tembok ini dibiarkan beberapa bagiannya telah rusak serta sang pemiliknya eksklusif ditindas menggunakan rona putih. Dalam jangka saat ke depan, bagian yang rusak ini menjadi sangat kelihatan bentuknya serta mengurangi nilai kebersihan serta keindahan. Dengan anugerah warna, rusaknya bagian tembok bisa diminimalisir.
4) Tembok di ruang publik dan milik umum, tetapi tidak dirawat keberadaannya. Lokasinya yang memungkinkan publik melihat lantaran berada di tempat strategis membuahkan titik ini tidak berkesan latif karena tidak dirawat sang instansi terkait. Biasanya berupa tembok pada fly over dan lapangan. 

Selain tembok yang tak terawat tadi, kaum bomber jua mengarahkan sasarannya dalam tembok yang terawat. Tembok yang dicat putih pun menjadi target mereka. Berbeda menggunakan tagging yang dari menciptakan graffiti, nmaun tidak terlihat estetis, graffiti yg dibuat secara artistik ini adalah cara mereka menunjukkan cara lain apabila tembok tidak hanya dicat putih. 

Pendapat ini menguatkan gagasan mereka, bahwa kota tidak hanya bersih namun juga harus indah. Belum lagi panasnya kota sang terik surya, membuat rona putih terasa menyilaukan mata serta tampak semakin terus-menerus. Pengendara kendaraan pun bisa menikmati gambar-gambar yang dibuat hanya sekedar melepas kepenatan mereka berkendara serta mengusir rasa kesal terhadap stagnasi kemudian lintas kota. Memang karena tidak adanya kompromi menggunakan pihak pemilik mengakibatkan graffiti permanen menjadi ’musuh’ bagi mereka yang cinta dengan warna putih. Gagasan mereka secara underground disikapi miring, lantaran ruang tadi merupakan ruang hunian yg bersifat privasi. Kalaupun tembok tersebut milik publik, kejengahan kaum bomber tadi dievaluasi menjadi usaha buat ’merebut’ kembali ruang publik yang selama ini telah dikuasai sang pembangunan gedung-gedung pencakar langit. 

Memang dalam gagasan ini perilaku underground sebagai kasus utama, hal ini tak sanggup dilepaskan berdasarkan sikap mereka sebagai anak muda yang ingin mendobrak tatanan, anti kemapanan dan pemberontak. Sikap underground ditunjukkan dengan tidak adanya ijin dari pemilik tembok dan melakukan graffiti umumnya berdasarkan sore menjelang malam atau pada tengah malam sampai pagi hari. Berikut ini tembok terawat yang sebagai incaran mereka:
1) Tembok milik publik. Meskipun dirawat, namun kejengahan kaum bomber yang tidak bisa melihat tembok dicat putih dijadikan target empuk olehnya. Menurut mereka tembok publik yg dicat putih bersih tidak mencerminkan estetika, namun kebosanan serta menciptakan silau dalam mata, apalagi jika terik mentari di siang hari begitu menyengat. Inilah yang ditentang oleh mereka. Biasanya pagar yg membentang panjang. 
2) Tembok milik pribadi. Beberapa kawasan yang dijadikan sasaran umumnya merupakan perumahan. Masih dengan alasan mereka, bahwa warna putih sangat membosankan serta menyilaukan mata, mereka pula berpendapat bahwa kebersihan bukanlah keindahan namun kemapanan. Graffiti artistik pada wilayah ini sebagai ‘tidak baik rupa’ karena secara teknis belum semaksimal karya graffiti misalnya halnya di Jakarta dan Jogjakarta, sehingga penghuni rumah di tempat perumahan yang umumnya memiliki nilai rasa terhadap artistik visual tinggi belum menilai positif graffiti artistik tersebut. Selain itu penggarapan yg terkesan tidak terkoordinasi menggunakan baik, membuahkan karya graffiti di beberapa tempat secara visual kurang menarik, meskipun yang dikerjakannya merupakan graffiti artistik.

Graffiti yg hanya mengejar kuantitas belaka tentu tidak menimbulkan hubungan yang bertenaga dengan lingkungannya. Semakin banyaknya graffiti tanpa melihat faktor lingkungannya hanya akan semakin menambah ‘sampah visual’ misalnya halnya pamflet dan poster iklan. Bagi bomber-bomber yg baru turun ke jalan, hal yang wajib mereka mengerti merupakan graffiti bukan hanya sekedar tren, namun graffiti pula indera komunikasi. Secara ekologis, bila semangat menciptakan graffiti semata-mata mengikuti tren, maka ekuilibrium lingkungan nir tercapai. Banyaknya jumlah graffiti pada Surabaya tidak seimbang dengan apresiasi yang buruk terhadap graffiti. Graffiti yang seharusnya bisa memperindah kota, justru terjebak pada ‘sampah visual’ yg hanya semakin menambah hiruk pikuk kota. Graffiti yg segar serta sedap dipandang mata adalah graffiti yang memperhatikan menggunakan seksama perwujudan nilai rupa yg mendukung perilaku lingkungan. 

Definisi Vandalisme
Mendefinisikan vandalisme itu sulit lantaran biasanya apa yg disebut sebagai vandalisme itu sendiri umumnya bergantung pada bagaimana situasi dimana insiden terjadi. Untuk menggolongkannya menjadi ekpresi berdasarkan agresi dan perusakan saja tidaklah cukup, lantaran vandalisme itu sendiri nir bisa dibedakan bahkan dari tipe-tipe perilaku yg lain dimana elemen-elemen ini pula akan tampak. 

Mungkin mampu lebih membantu dengan mulai memilah-milah apa saja yang bukan termasuk pada dalam destruksi. Sebagai misalnya, bila seorang merusakkan sesuatu, entah disengaja atau nir, dan lalu mulai memperbaiki kerusakan tadi, hal ini nir dipandang menjadi suatu aktivitas destruksi. Jika seorang merusakkan sesuatu yg merupakan miliknya sendiri, ataupun barang-barang yang sudah dibuang sebagai akibatnya barang-barang tadi tidak dimiliki oleh siapapun juga maka hal yang sama berlaku. 

Hal yang sama tidak akan berlaku bila benda dirusakkan pada konteks dimana “letting go” disahkan menjadi suatu aktivitas, seperti pada adventure playground. Yang terakhir, dalam beberapa keadaan, kegiatan Mengganggu dijalankan atau dilakukan sang penguasa setempat dan sang karena itu tentu saja tidak dapat dikatakan menjadi tindakan destruksi: misalnya, saat mereka menimbulkan suara-bunyian (polusi udara) karena suara bangunan yang diruntuhkan menjadi bagian dari pembangunan ulang kota.

Dari sini paling nir kita mendapatkan 3 definisi elemen dari destruksi yang bisa digambarkan sebagai berikut, yaitu:
1. Bila hal tersebut merusak barang-barang yang dimiliki oleh seseorang (entah barang tadi terlihat dimiliki atau tidak sang seseorang).
2. Jika hal tersebut menghambat properti milik orang lain; dan (c) apabila hal tadi Mengganggu apa yang nantinya harus diperbaiki oleh orang lain.destruction (penghancuran: The act of destroying; a tearing down; a bringing to naught; subversion; demolition; ruin; slaying; devastation), defacement (perusakan, tindakan mencacatkan atau merusakkan bagian atas atau penampakan dari sesuatu), breakage, graffiti, damage: konduite yg misalnya apakah yg dapat digolongkan sebagai destruksi? Pada bahasan tentang vandalisme ini kita hanya akan mengacu dengan aktivitas yg didefinisikan dalam bagian 1(I) dari the Criminal Damage Act,1971 (Griffiths dan Shapland, 1979:11)

Seseorang yg tanpa kuasa aturan yang sah mengijinkan penghancuran ataupun pengrusakan terhadap property milik seorang, apapun bentuknya, kepada pemikiran yg lain buat menghancurkan atau menghambat property apapun ataupun bertindak sembrono seakan-akan properti tadi akan dihancurkan atau dirusak maka akan dinyatakan bersalah karena melakukan pelanggaran.

Vandalisme umumnya pribadi menunjuk ke properti umum. Hal ini mungkin dikarenakan properti umum nir diidentifikasikan kepemilikannya (meskipun dalam kenyataannya dimiliki, namun kepemilikannya nir kentara) sebagai akibatnya tindakan perusakan terlihat kurang patut buat dicela, dan pula kemungkinan bagi pelaku buat dihentikan atau ditangkap lebih kecil, lantaran properti umum nir menerima strata yg sama dengan supervisi individual sebagai mana layaknya properti milik pribadi. Adanya pandangan bahwa properti umum adalah “milik orang lain” sehingga sebagai tambahannya, maka akan terdapat “orang lain” yg akan memperbaiki. 

Vandalisme, kelihatannya, merupakan bagian dari serangkaian konduite yg dimulai dari bentuk ketidakpedulian yg paling generik terjadi, misalnya membuang sampah, dan dilanjutkan dengan penanganan-penanganan yang kasar – menabrakkan kereta dorong ke pintu kaca berputar, merogoh jalan pintas melalui tumbuhan yg baru ditanam pada kebun bunga – sampai ke tingkat dimana perusakan sebagai disengaja: kaca yang pecah lantaran butiran peluru berdasarkan senapan angin, menghancurkan perabot-perabot dan membongkar selang pemadam kebakaran. Hampir sanggup dipastikan, bahwa kebanyakan orang yg bertanggung jawab atas tindakan vandalisme ini nir akan berlaku sama terhadap barang milik eksklusif mereka, karena mereka akan sebagai orang yang harus memperbaikinya. 

Apa yang dilakukan sang kelompok bomber dalam menciptakan graffiti, memang tetap digolongkan sebagai aksi perusakan apapun bentuknya. Graffiti bagi mereka tak jarang diartikan menjadi perwujudan seni publik meskipun media yg digunakan menggunakan media orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Namun demikian, graffiti yang dipercaya menjadi permainan kekanakan ini dimaknai pula menjadi permainan yg santai serta lebih bersifat spontanitas. Marshall mengungkapkan pentingnya apa yg disebut menjadi seseorang ‘releaser’ (pembebas) buat menciptakan daya tarik lain yg akan memadamkan/menyurutkan permainan kekanakan ini (dalam Griffiths serta Shapland, 1979:15). Seorang ‘pembebas’ merupakan sebuah penanda dalam suatu lingkungan yg mengijinkan pelanggar buat menilai perbuatan mereka sebagai sesuatu yg nir serius atau bahkan nir krusial sama sekali. Inilah kenapa jendela-jendela di tempat tinggal -tempat tinggal yg kosong begitu seringnya kedapatan dipecahkan (terutama pada blok yang diketahui sedang berada pada proses pembongkaran) atau mobil yg terlihat ditinggalkan begitu saja merupakan korban destruksi yang empuk. Dengan istilah lain, anak-anak merespon pada kesempatan waktu kelihatannya mereka bisa bersenang-bahagia tanpa adanya kehadiaran pemilik atau penjaga yang akan mencegah atau bahkan mengkomplain mereka.

Dampak Graffiti Terhadap Ekologi Visual 
Ekologi visual berkaitan dengan hubungan antara wujud-wujud rupa menggunakan lingkungan sekitarnya, misalnya pemukiman, perkampungan, perumahan, persawahan, perkantoran dan tempat-loka lainnya. Produk-produk seni visual yang juga wujud dari rupa ikut bertanggung jawab terhadap keseimbangan lingkungan ini. 

Graffiti dan Poster Iklan
Memang selama ini cacat yg tertancap bertenaga merupakan graffiti. Bagi publik, graffiti merupakan perusak lingkungan, tidak memperindah tetapi malah mengotori. Hal yg sama tidak diarahkan pada produk-produk visual lainnya, misalnya pamflet, billboard yg saling menjulang hampir menutup langit Surabaya serta pula poster-poster iklan yang menempel tak beraturan pada dinding-dinding kota, entah itu hunian maupun perkantoran. 

Kecurigaan bomber merupakan ketidak-adilan sikap yang mereka terima menurut pemerintah kota diakibatkan lantaran graffiti nir berpotensi menguntungkan dalam hal pemasukan ke negara. Hal ini berbeda perlakuan bila ketidak nyamanan lingkungan secara visual diakibatkan oleh poster-poster iklan yang nota bene menguntungkan negara. Tidak adanya teguran maupun peringatan keras pada mereka menyebabkan para bomber justru memiliki pemikiran lain tentang estetika kota. Menurut mereka, keindahan kota harus dipisahkan dengan kebersihan. Tidak terdapat relevansi keduanya. Yang justru terjadi merupakan estetika seharusnya mendukung kebersihan. Untuk hal inilah bomber pertanda bahwa karya graffiti mereka mampu memperindah kota daripada tempelan-tempelan tidak beraturan poster serta pamflet iklan pada dinding-dinding kota.

Gambar  Poster iklan pada tempat tinggal  

Gambar Poster iklan di tembok pagar

Menurut Pingky Saptandari, seorang antropolog pada wawancara kami mengungkapkan, bahwa memandang graffiti tergantung berdasarkan cara apa memandangnya. Bila terlanjur selalu men-cap negatif, maka graffiti yang indah dan ber-keindahan tinggi pun akan selamanya tidak baik. Namun bila pikiran insan selalu ada sisi positifnya, maka graffiti bisa berpotensi sebagai pemandangan kota.

Menurutnya graffiti justru akan berpotensi memperindah kota jika graffiti tersebut sahih-benar mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak perlu dilarang sepanjang nir dilakukan pada tempat-tempat yg memang bukan dalam tempatnya. Dalam kedudukannya sebagai Sekjen Dewan Kota Surabaya yg peduli pada masalah lingkungan hayati kota Surabaya, beliau memilih beberapa loka yang nir dalam tempatnya digraffiti, antara lain adalah cagar budaya, seperti candi, loka-tempat bersejarah dan monumen perjuangan kemerdekaan. Dalam pandangannya jua, bentuk-bentuk iklan yang terlalu bebas tertempel pada dinding-dinding kota itulah yang justru lebih jelek pemandangannya daripada graffiti.

Dampak Graffiti Terhadap Sosio-Kultur Setempat
Graffiti yg sekarang telah tumbuh pada Surabaya bila dilihat secara sosio-kultur warga setempat kurang sanggup mewakili perwujudan grup sosial di Surabaya. Hal ini bisa dicermati dalam penggunaan gaya dan kata-kata yg masih berkiblat pada budaya graffiti di luar negeri. Banjirnya keterangan pada internet serta semakin berkembangnya graffiti dalam bentuk majalah menjadi surat keterangan satu-satunya graffiti artistik yg mereka ketahui. Referensi yang didapatnya tersebut dikonsumsi tanpa terdapat modifikasi yg disesuaikan dengan kultur setempat.

Gambar  Graffiti “Yuck” di Margorejo 

Gambar  Graffiti di Jl. Taman Apsari

Graffiti di atas merupakan contoh, bahwa gaya visual dan karakter yang didapatkan masih berkiblat dalam gaya graffiti pada luar negeri. Mengkonsumsi majalah dan model-contoh graffiti pada web site memang memancing pandangan baru buat berkarya, namun karya yg dihasilkan masih perlu karakteristik sendiri. Graffiti tadi juga tidak menaruh kontribusi apa-apa pada syarat sosial setempat. Graffiti memang nir harus yang bermuatan politis, namun relatif menampilkan karakteristik daerah tersebut menjadikan graffiti di Surabaya mempunyai kekhasan lokal.

Ketika ditanya mengenai perkara tadi, H serta D menurut Yuck Fou, B berdasarkan Public Enemy serta M menurut Humble sepakat bahwa buat ukuran Surabaya, graffiti pada Surabaya masih harus perlu berbenah. Mereka mengakui, bahwa yg dibuatnya masih perlu harus belajar lagi. Karakter lokal yang nir dimunculkan menurut M adalah karena belum terdapat model graffiti yang melokal. Dari pernyataan ini, bisa ditarik konklusi bahwa bomber Surabaya masih wajib belajar mencari ide dan belajar menuangkannya ke dalam karya graffiti yang melokal.

Menurut Freddy H. Istanto, dosen arsitektur UK Petra yg ditemui pada wawacara ini mengungkapkan, bahwa graffiti pada Indonesia pada memilih lokasi masih lebih baik daripada yg dilakukan bomber luar negeri. Semangat bomber di Indonesia adalah semangat memperbaiki wajah kota, sebaliknya di luar negeri, bomber menciptakannya buat Mengganggu. Tempat yg dipilih pun tidak seselektif pada sini. Untuk memilih lokasi yg tepat, memang graffiti harus dihindarkan dari lokasi yang selama ini diidentikkan dengan tempat yang menakutkan. Hal ini misalnya sangat tidak selaras menggunakan yang dilakukan menggunakan bomber pada Amerika Serikat.

Lokasi yang identik menggunakan kejahatan, premanisme serta yang berkaitan menggunakan hal-hal gaib atau horor dihindarkan menurut graffiti karena graffiti yang tercipta lebih poly justru semakin menambah kesan negatif itu. Lokasi yang dikenal sebagai lokasi yang dekat menggunakan premanisme, kemudian lokasi tersebut banyak ditemukan graffiti, maka kesan gelap dan hitam semakin menambah kesan negatif pada titik kota itu. Namun hal ini nir selamanya seperti itu, bila bomber mau mengubah imej negatif sebuah tempat, maka yang dilakukannya merupakan menciptakan graffiti yang segar serta jauh dari menakutkan. Tipografi serta warna diolah sedemikian rupa sehingga bisa menjauhkan diri dari kesan negatif.

Secara sosio-kultural rakyat setempat, graffiti sebenarnya turut membantu terciptanya kawasan yang jauh dari kesan negatif selama ini. Pingky Saptandari jua menegaskan bahwa graffiti yang tercipta harus didekatkan sedekat mungkin menggunakan citra sosial setempat. Mengubah imej yang selama ini melekat dalam kawasan ‘hitam’ mampu dibantu dengan pengolahan graffiti yg menjauhkan menurut kesan tadi. Begitu pula jika tempat tersebut dicitrakan menjadi daerah yg memiliki nilai kebanggaan setempat, maka graffiti mampu mendukungnya pada hal visual. Jika gambaran tadi mampu dipertahankan, maka ekologi visual sanggup tercapai lantaran graffiti mengerti betul dimana dia berada. 

Dampak yang didapatkan graffiti berdasarkan sudut sosio-kultural adalah bagaimana graffiti mampu menandai wilayah sesuai menggunakan kulturalnya. Jika graffiti masih selalu berkiblat luar negeri, maka secara sosio-kultur graffiti tersebut masih belum sanggup berkomunikasi menggunakan grup sosialnya. Citra graffiti lalu merupakan gambaran yg tertentu. Masih berbalut nama kelompok, geng, individu maupun orang lain namun divisualisasikan secara artistik. Dengan istilah lain graffiti masih belum berkecimpung menurut awal mulanya graffiti lahir pada Indonesia yg sarat dengan aroma geng. Namun perkembangannya kini adalah graffiti yg hanya mengejar nilai artistik tapi tidak menyampaikan-istilah menggunakan lingkungannya. Dengan demikian graffiti artistik tidak mempunyai andil apa-apa terhadap sosio-kultur setempat.

Seandainya graffiti sanggup berbicara secara kultur setempat, maka graffiti di Surabaya akan menjadi penanda budaya yang akan menandai kultur yang tidak sama antara graffiti Surabaya menggunakan graffiti di Jogjakarta, Jakarta dan Bandung juga menggunakan wilayah-daerah lain. Kondisi ini tentunya akan semakin menumbuhkan apresiasi rakyat awam terhadap graffiti semakin terbuka. Kehadirannya akan dimaknai akan memberi manfaat secara sosial daripada hanya sekedar menebar graffiti namun tidak ada yg tidak sama gaya antara graffiti yg satu menggunakan yang lain, antara graffiti yg dihasilkan pada wilayah tertentu dengan daerah lain.