PENDEKATAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

Pendekatan Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif 
Penelitian pada bidang komunikasi misalnya halnya dalam ilmu-ilmu sosial budaya lainnya,selama ini terlalu menekankan dalam pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif yang dilandasi faham positivisme empirik yg berintikan kegiatan penelitian eksperimental memang telah memiliki pengaruh yg sangat bertenaga dalam banyak sekali bidang ilmu, dan bahkan pernah dicermati sebagai satu-satunya pendekatan penelitian yg sahih serta ilmiah. Pandangan tadi bisa menyeret para peneliti ilmu-ilmu sosial budaya yg dalam perkembangan aktivitasnya semakin sering menghadapi majemuk konflik yg tidak mampu dijawab secara tuntas. Dari kenyataan yg dihadapi tadi para peneliti semakin manyadari bahwa insan menjadi subyek dengan segala sifatnya yg subjektif tak mungkin bisa dikaji secara secara sempurna dengan pendekatan ilmu obyektif. Pemaksaan ke arah itu akan menimbulkan bias fundamental dan mengakibatkan kekeliruan fatal yg sebagai asal krisis ilmu-ilmu sosial dimasa kini . Masalah sosial yg kompleks tak mungkin buat diuji menggunakan pandangan partial serta linear. Didalam ilmu alam banyak sekali kasus utama didasarkan pada kenyataan obyek yg bisa ditinjau di luar diri kita dan bebas menjadi informasi obyektif. Kenyataan itu sangat tidak sama halnya menggunakan ilmu sosial budaya yg memusatkan studinya dalam realitas sebagai produk pikir insan menggunakan segala subyektivitas emosi serta nilai-nilai yg dianutnya. Fenomena sosial serta konduite insan pada dasarnya hanya ada pada pikiran manusia. Realitas tersebut terikat sang interaksi dialektis antara subyek serta obyek. Demikianlah pada mempelajari metodologi penelitian sosial ini, anda diharapkan mengenal baik pendekatan kuantitatif juga kualitatif, lantaran pendekatan kualitatif sangat sempurna bagi studi ilmu-ilmu sosial budaya, termasuk didalamnya ilmu komunikasi.

Pemahaman karakteristik metodologi
Mengenal ( disparitas ) pendekatan kuantitatif dan kualitatif akan lebih gampang serta kentara bila kita tahu perbedaannya menggunakan beragam hal yg sangat mendasar didalam ke 2 metodologi tersebut. Penggunaan metodologi penelitian kualitatif tidak selaras menggunakan penggunaan metodologi penelitian kuantitatif bukan sekedar lantaran menghadapi disparitas “ subjek matter “, atau karena disiplin ilmu yg tidak sinkron, namun secara fundamental lantaran perbedaan keyakinan keilmuan yang bersumber dalam penggunaan paradigma berpikir yang tidak selaras ( smith, 1984 ).

Bilamana kita bisa memahami perbedaan itu secara sempurna maka kita akan mampu memisahkan ke 2 metdologi penelitian tadi dengan penuh kesadaran dan berada dalam penglihatan batas yang kentara. Dengan demikian didalam melakukan kegiatan penelitian, kita tidak akan mudah tersesat atau dengan sangat gegabah mencampur-adukkan beragam pengertian dasar menurut 2 jenis metodologi tersebut.

Guba serta Lincoln ( 1981 : 62 – 82 ) menyajikan uraian yang relatif panjang serta mempertentang-kan perbedaan kerangka berpikir kedua penelitian ini. Untuk penelitian kuantitatif digunakan istilah Scientific Paradigm ( kerangka berpikir ilmiah ), sedangkan penelitian kualitatif dinamakan Naturalistic Inquiry atau inkuiri alamiah.

Pokok-pokok perbedaan kedua kerangka berpikir tersebut dapat disimak pada tabel berikut : 

Tabel. Perbedaan Paradigma Ilmiah serta Alamiah

Poster tentang

PARADIGMA
Ilmiah
Alamiah
·Teknik yg digunakan

·Kriteria kualitas

·Sumber teori


·Persoalan kausalitas



·Tipe pengetahuan yg digunakan

·Pendirian

·Maksud
Kuantitatif


“ Rigor “


Apriori


Dapatkah x menyebabkan y ?



Proposisional




Reduksionis

Verifikasi
Kualitatif


Relevansi


Dasar-dasar               ( Grounded )

Apakah x mengakibatkan y dlm. Latar alamiah


Proposisional yg diketahui bersama



Ekspansionis

Ekspansionis
Karakteristik Metodologis
·Instrumen




·Waktu penetapan pengumpulan data serta analisis

·Desain


·Gaya

·Latar

·Perlakuan

·Satuan kajian

·Unsur kontekstual
Kertas-pensil atau alat fisik lainnya



Sebelum penelitian





Pasti     ( preordinate )


Intervensi

Laboratorium

Stabil

Variabel


Kontrol
Orang menjadi peneliti



Selama dan selesainya pengumpulan data




Muncul-berubah


Seleksi

Alam

Bervariasi

Pola-pola


Turut campur atas undangan
1. Teknik yg digunakan.
Pada dasarnya, baik teknik kuantitatif maupun teknik kualitatif dapat digunakan beserta-sama. Tetapi, dalam kerangka berpikir ilmiah memberi tekanan pada teknik kuantitatif, sedang paradigma alamiah memberi tekanan dalam teknik kualitatif.

2. Kriteria kualitas.
Untuk menialai “ baik/tidaknya “ penelitian, paradigma ilmiah sangat percaya dalam kriteria Rigor, yaitu kesahihan eksternal serta internal, keandalan serta obyektivitas.

Menurut Guba serta Lincoln ( 1981 : 66 ) fokus dalam kriteria tadi membawa eksperimen dalam penyusunan desain yang rupawan, namun tak jarang sempit cakupannya. Hal ini dikarenakan kebanyakan eksperimen memasukkan situasi yg kurang dikenal, protesis, serta masa hidupnya singkat dan hal itu membuat latar – tidak – biasa sukar digeneralisasikan pada latar lainnya.

Sebaliknya, kerangka berpikir alamiah menggunakan kriteria relevansi. Relevansi ini merupakan signifikasi berdasarkan langsung terhadap lingkungan senyatanya. Usaha menemukan kepastian serta keaslian merupakan hal yg penting dalam penelitian alamiah.

3. Sumber teori.
Paradigma ilmiah menekankan dalam verifikasi hipotesis yang diturunkan dari teori a priori. Teori semacam ini disusun dengan ligika deduktif dan logis.

Sedangkan kerangka berpikir alamiah menemukan teori menggunakan berdasar dalam data yg asal dari dunia konkret. Metode yg digunakan merupakan metode menemukan menggunakan menganalisis data yg diperoleh secara sistematis.

4. Pertanyaan mengenai kausalitas.
Penelitian umumnya dihadapkan pada penentuan interaksi sebab-akibat. Jawaban terhadap pertanyaan hubungan karena akibat penting buat keperluan meramalkan, kontrol disatu pihak, serta verstehen ( pemahaman ) dilain pihak. Kedua kerangka berpikir ilmiah maupun alamiah menggunakan pertanyaan-pertanyaan tadi, namun menggunakan cara yg tidak sinkron.

Paradigma ilmiah umumnya bertanya = dapatkah X mengakibatkan Y ? Buat itu maka mereka mendemonstrasikan pada laboratorium bahwa Y sesungguhnya dapat disebabkan oleh X.

Di pihak lain kerangka berpikir alamiah kurang tertarik menggunakan apa yg diusahakan terjadi pada situasi yg dirancang terlebih dahulu, namun lebih tertarik pada apa yang terjadi pada latar alamiah.

5. Tipe pengetahuan yg digunakan.
Ada dua macam pengetahuan ; yaitu pengetahuan proposisional serta pengetahuan – yg – diketahui – bersama, yang diketahui dan disepakati jua oleh subjek. Kedua tipe pengetahuan tadi, dapat dijelaskan perbedaannya. Pengetahuan proposisional merupakan pengetahuan yg dapat dinyatakan dalam bentuk bahasa.

Pengetahuan – yg – diketahui – bersama ( tacit knowledge ) merupakan instuisi, pemahaman, atau perasaan yg tidak bisa dinyatakan menggunakan istilah-istilah yg dalam hal-hal tertentu diketahui sang subjek.

Paradigma ilmiah membatasi diri dalam pengetahuan proposisional. Pengetahuan demikian adalah esensi metode buat menyatakan proposisi secara eksplisit pada bentuk hipotesa yang diuji buat menentukan validitasnya. Teori-teori terdiri atas pengumpulan hipotesis semacam itu.

Sebaliknya, kerangka berpikir alamiah mengizinkan pada mendorong pengetahuan – yang – diketahui – beserta guna dimunculkan buat keperluan membantu pembentukan teori menurut dasar maupun buat memperbaiki komunikasi kembali kepada asal kabar dengan cara peristilahan mereka.

6. Pendirian.
Paradigma ilmiah berpendirian Reduksionis. Mereka menyempitkan penelitian pada fokusyang relatif kecil menggunakan jalan membebankan hambatan-kendala, baik dalam syarat anteseden pada nikuiri ( buat keperluan mengontrol ), maupun dalam keluaran-keluaran.

Jadi, pencari – tahu – ilmiah mulai menggunakan menyusun pertanyaan atau hipotesis, lalu hanya mencari fakta yang akan memberikan jawaban dalam pertanyaan atau menguji hipotesis-hipotesis itu.

Sementara pencari – tahu – alamiah memiliki pendirian ekspansionis. Mereka mencari perspektif yg akan mengarahkan dalam pelukisan dan pengertian kenyataan sebagai holistik atau akhirnya menggunakan jalan menemukan sesuatu yang mencerminkan kerumitan gejala-tanda-tanda itu. Mereka memasuki lapangan, membentuk dan melihat pembawaannya yg tampak menurut arah manapun titik masuknya.

Jadi pencari – memahami – ilmiah mengambil setiap struktur, terarah dan tunggal sedangkan pencari – memahami – alamiah berpendirian terbuka, menjajagi, serta kompleks.

7. Maksud.
Paradigma ilmiah senantiasa bermaksud menemukan pengetahuan melalui pembuktian hipotesis yang dispesifikasikan secara apriori ad interim pencari – memahami – alamiah, menitikberatkan upayanya dalam bisnis menemukan unsur-unsur atau pengetahuan yg belum ada pada teori yang berlaku.

8. Instrumen.
Untuk mengumpulkan data, kerangka berpikir ilmiah memanfaatkan informasi lapangan atau indera bantu fisik lainnya. Sedang pencari – tahu – alamiah pada pengumpulan datanya lebih poly bergantung pada dirinya sendiri menjadi alat pengumpulan data. Orang – menjadi – instrumen memililki senjata “ dapat tetapkan “ yg secara luwes bisa digunakannya. Ia senantiasa bisa menilai keadaan dan dapat merogoh keputusan.

9. Waktu buat mengumpulkan data dan aturan analisis.pencari – tahu – ilmiah dapat menetapkan seluruh aturan pengumpulan dan analisis data sebelumnya. Mereka sudah mengetahui hipotesis yang akan diuji serta dapat menyebarkan instrumen yg cocok menggunakan variabel. Instrumen ditetapkan sebelumnya tentang ukuran terhadap ciri yang diketahui sehingga memungkinkan tetapkan ketika melakukan analisis.

Paradigma alamiah kebalikannya, nir diperkenenkan memformulasikan secara a priori. Datanya dikumpulkan serta dikategorikan pada bentuk kasar dan diunitkan oleh peneliti/analisis.

10.desain.
Bagi paradigma ilmiah, desain wajib disusun secara pasti sebelum informasi dikumpulkan. Sekali desain digunakan, maka tidak boleh mengubahnya dalam bentuk apapun. Bagi kerangka berpikir alamiah, desain bisa disusun sebelumnya secara tidak lengkap. Jika telah dipakai, desain senantiasa dilengkapi serta disempurnakan.

11.gaya.
Paradigma ilmiah menggunakan gaya menerapkan intervensi. Variabel bebas dan terikat diisolasikan berdasarkan konteksnya, diatur sedemikian rupa sehingga hanya variabel ini yang timbul untuk diukur serta kemudian dikonfirmasikan dengan hipotesisnya.

Sebaliknya, paradigma alamiah bergantung dalam seleksi. Dari pelbagai peristiwa yang terjadi secara alamiah akhirnya dipilih sesuatu tanda-tanda tanpa mengadakan hegemoni.

Jadi pencari – tahu – alamiah tidak mengelola situasi, tetapi memanfaatkannya.

12.latar.
Pencari – tahu – ilmiah bersandar dalam latar laboratorium buat keperluan mengadakan kontrol, mengelola hegemoni dan sebagainya. Sebaliknya, pencari – memahami – alamiah cenderung mengadakan penelitian dalam latar alamiah.

13.perlakuan.
Bagi paradigma ilmiah, konsep perlakuan sangat penting. Bagi setiap eksperimen, perlakuan itu harus stabil dan tidak bervariasi. Apabila nir demikian, maka sukar memilih dampak yg berkaitan dengan suatu penyebab tertentu.

Untuk paradigma alamiah, konsep perlakuan tadi asing karena perlakuan menyertakan beberapa cara manipulasi atau hegemoni.

14.satuan kajian.
Pada kerangka berpikir ilmiah adalah variabel dan seluruh hubungannya yang dinyatakan diantara variabel dan sistem variabel.

Sebaliknya, pada kerangka berpikir alamiah berlaku pendirian agar satuan kajian lebih sederhana. Selain itu mereka lebih menekankankemurnian sistem pola yang diamati secara alamiah.

15.unsur-unsur kontekstual.
Peneliti ilmiah senantiasa berusaha mengontrol semua unsur yang menggaggu yg bisa mengaburkan unsur-unsur itu berdasarkan fenomena yang menjadi pusat perhatian atau yang mengacau pada efek terhadap fenomena itu.

Peneliti alamiah bukan hanya nir tertarik pada kontrol, melainkan malah mengundang adanya ikut campur sehingga mereka secara lebih baik bisa mengerti peristiwa pada global konkret serta merasakan pola-pola yg ada pada dalamnya.

Validitas serta Reliabilitas
Validitas merupakan ‘ built in control mechanism ‘ pada metode penelitian yg menggunakan instrumen secara eksplisit. Validitas mempersoalkan instrument yang dipakai pada mengukur atribut ; apakah alat ukur sahih-benar mengukur atribut yang dimaksud. Mengapa kasus validitas senantiasa dipertanyakan dalam penelitian sosial ? Lantaran atribut semisal psikologis, pemahaman ilmiah, tingkat konservatisme, dll sangat sulit diukukr/dicari, meski demikian peneliti ilmiah wajib bisa mengukur.

Reliabilitas : kemampuan, ketepatan, keajegan, homogenitas alat ukur. Suatu indera ukkur dikatakan mantap bila digunakan berulang kali hasilnya tetap sama.

Catatan : suatu data yang punya reliabilitas belum tentu punya validitas, sedang data yg punya validitas sudah tentu punya reliabilitas.

Beberapa metode menguji reliabilitas.
1. Metode ulang : mengulangi pengukuran berdasar selang ketika ttt.
2. Metode belah dua : membegi dua buah pertanyaan ke dalam dua kelompok.
3. Metode parabel : butir-buah pertanyaan mewakili suatu variabel yg satu dan buah pertanyaan yang sama mewakili variabel yang lain yang punya kecenderungan sifat, diukur secara bersamaan.

Jenis-jenis Validitas.
1. Validitas logis : mempersoalkan apakah pola hubungan variabel/konsep bisa diterima akal sehat. Misal : kita akan menganggap logis bila Org meneliti impak usia terhadap suatu hal bukan kebalikannya.
2. Validitas tampang : menyangkut atribut kongkrit, bila kita ingin mengukur mencek alfabet kita akan meminta orang membaca.
3. Validitas lintas budaya : mempersoalkan apakah indera ukur yang digunakan pada masyarakat ttt jua berlaku didalam warga yg lain.
4. Validitas internal : menyangkut tentang internal psikologis khalayak/responden. Misal : jikalau kita ingin mengamati perilaku petani terhadap kredit bisnis tadi maka informasi lapangan yang diajukan harus benar-sahih menggali psikologis internal petani, bagaimana tanggapannya thd acara kredit tsb.
5. Validitas eksternal : mempersoalkan apakah alat ukur yg dikenakan pada komunitas ttt pula berlaku dalam komunitas yg lain. Misal : mangamati konsep belajar jeda jauh ( UT ), apakah siaran-siaran pendidikan program UT bisa memacu belajar mahasiswa, bagaimana antara mahasiswa fisip dibanding dengan mahasiswa fakultas lain.
6. Validitas konstruk : mempersoalkan seberapa jauh suatu indera ukur punya persamaan dengan indera ukur yang lain pada waktu mengukur konstruk/konsep yg sama.
7. Validitas isi : menyankut derajad keterwalian substansi suatu indera ukur. Pengukuran kategorisasi dalam content analysis, kategori yang dibuat peneliti itu mampu disepakati sang pengkoding/pembaca.
8. Validitas prediktif : mempersoalkan seberapa jauh suatu alat ukur bisa meramalkan perilaku kini juga yg akan datang. 

Penyusunan Proposal Penelitian
Terdapat 2 hal pokok yang wajib sahih-sahih difahami waktu hendak menyusun atau menciptakan proposal penelitian. Dua hal tadi merupakan :
1) Logika penelitian, dan
2) Format proposal yg dikehendaki.
1) Logika penelitian.

Yang dikenal dengan nalar penelitian disini adalah struktur fikiran berkenaan dengan proses penelitian, yang dalam hal ini terdapat disparitas antara penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Posisi kasus/duduk perkara yg dirumuskan oleh peneliti ( eksplisit dinyatakan dalam proposal ) dalam hal ini dapat dikatakan “ mendahului “ posisi teori. Perlu diperhatikan sahih disisni adalah, bahwa kasus penelitian tidak akan pernah nampak/kelihatan tanpa dilihat melalui teori. Artinya, perkara penelitian hanya ada bila orang memiliki bekal teori buat melihatnya. Mempertentengkan tanda-tanda atau kabar ( sebagian dari konduite manusian dalam kebersamaannya menggunakan sesama atau mungkin pada kebersamaannya dengan alam serta pencipta disuatu fihak ) menggunakan fikiran-fikiran eksklusif ( teori-teori ) difihak lain dapat membuat apa yg disini kita sebut-sebut menjadi perkara penelitian.

Masalah penelitian ini nanti harus bisa dijawab/dipecahkan menggunakan atau lewat penelitian bersangkutan. Peneliti sangat mungkin tertarik buat menjawab secara belum pasti ( menduga-duga ) atas kasus tersebut. Kalau demikian halnya orang harus mendeduksikan teori-teori eksklusif, memberlakukan pernyataan asumtif yang tadinya dianggap generik atau luas sifat kebenarannya kedalam gejala atau beberapa gejala yg saling dikaitkan secara khusus/sempit. Jawaban yg bersifat dugaan ( yg masih harus dibuktikan kebenarannya dengan data realitas/lapangan ) itulah hipotesa.

Hipotesa umumnya terdiri berdasarkan 2 atau lebih variabel yang dikaitkan satu menggunakan yang lain ( dikorelasikan, dicari interaksi kausalitasnya, dibandingkan, dst )

Contoh hipotesa : 
“ perilaku a-politis generasi muda perkotaan lebih tinggi dibandingkan menggunakan perilaku a-politis generasi muda pedesaan “

contoh hipotesa pada atas mengandung dua variabel
(a) Sikap a-politis generasi belia perkotaan, serta 
(b) Sikap a-politis generasi belia pedesaan.

Kedua variabel ini hendak dibandingkan dan diduga yg pertama lebih tinggi dibanding yg kedua. Tetapi buat mampu dibandingkan maka konsep pokok dalam variabel harus diberi arti spesifik, yakni menggunakan menentukan aspek tertentu sehingga memberikan peluang buat pengukuran dan kategorisasi. Inilah yang dianggap operasionalisasi. 

Suatu variabel acapkali kedapatan mengandung banyak konsep, dan seluruh konsep selayaknya didefinisikan secara khusus, yakni dengan menentukan aspek-aspek tertentu menurut suatu konsep.

Konsep pokok pada variabel-variabel misalnya dicontohkan di atas merupakan perilaku a-politis. Sikap a-politis contohnya didefinisikan sebagai kecenderungan perasaan tidak senang atau tidak tertarik kepada masalah-perkara politis yg akan dilihat/diukur menurut ( sebagian, semua, atau masih akan ditambah lagi ) penggunaan media massa ( rubrik, program apa yang paling diminati ), aktivitas diluar bangku kuliah/sekolah ( menjadi anggota,ikut menyumbang, duduk dalam kepengurusan organisasi yang punya aset terhadap pengambilan keputusan politis dsb.

Setelah ada operasionalisasi konsep/variabel maka peneliti bisa pergi ke lapangan guna mengumpulkan data. Data direkam/dicatat lalu diproses buat kemudian dianalisis.

Dalam penelitian kuantitatif, data berupa kuantum ( sapta ), yakni memilih intensitas dan atau ekstensitas berdasarkan tanda-tanda yang diamati. Lantaran data lebih poly adalah bilangan, maka peneliti seringkali kali berfikir mengenai satuan-satuan buat memilih intensitas dan ekstensitas tadi : usia berapa tahun, datang rapat berapa kali, menyumbang berapa rupiah buat organisasi serta atau mengongkosi kegiatan-kegiatan yg memiliki keterkaitan menggunakan politik dsb.

Dalam pengolahan data, maka masalah utama adalah mentransformasikan jawaban responden ( bila yang diteliti kebetulan adalah manusia entah individu atau grup ) ke pada bentuk tabel-tabel atau grafik. Dengan memperhatikan berukuran-ukuran bagi kategorisasi yang dibentuk peneliti sanggup memasukkan responden mana masuk dalam kategori mana.

Analisis data dalam dalam itu merupakan membaca kecenderungan angka-nomor atau tepatnya data-data yg ada. Dalam interaksi ini sangat mungkin peneliti membutuhkan teknik analisis statistik, terutama buat mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan suatu variabel dengan variabel lainnya tadi ( ada korelasinya tidak, terdapat perbedaannya atau tidak, apakah variabel sebagai penyebab munculnya variabel y atau nir, dsb ).

Hasil analisis inilah sebenarnya temuan-temuan penelitian, yakni setalah peneliti menafsirkannya menggunakan cara memperlihatkan konsekuensi-konsekuensi berdasarkan output analisis. Termasuk disini merupakan : jawaban apa atas kasus penelitian, hipotesa diterima atau ditolak dalam tingkat signifikasi eksklusif, teori-teori mana yg mendapat penguatan dan teori-teori mana yg ditambah. Dengan kata lain penegasan-penegasan apa yang sanggup dibentuk, saran-saran apa yang bisa dikemukakan dst. Temuan-temuan ini, terutama yg berupa proposisi-proposisi akan bermakna kontributif bagi pengembangan ilmu khususnya khazanah ilmu.

Setelah peneliti memiliki topik atau dilema tertentu untuk duteliti, maka termin yang wajib segera dilakukan berikutnya adalah menyusun pertanyaan-pertanyaan buat kepentingan ini peneliti memperhatikan benar penekanan menurut minat sebenarnya yang hendak diteliti. Sesudah ini peneliti kemudian pergi ke lapangan buat mengumpulkan data. Karena penelitian kualitatif umumnya bersifat naratif, yakni berusaha hendak melukiskan gejala atau interaksi tanda-tanda-gejala yg dijumpai pada warga yang diteliti ‘ kini ‘ maka pertanyaan lebih banyak ‘ bagaimana ‘. Ketika peneliti mulai melakukan observasi dilapangan inilah peneliti mulai mengetahui pertanyaan-pertanyaan apa yang benar-sahih relevan dengan maksud serta tujuan penelitian dan mana yang nir relevan. Dari sini peneliti mampu merubah, membuang, menambah pertanyaan penelitian yang pada aneka macam hal sebenarnya ini adalah defleksi dari proposal yg telah dibuat.

Yang unik dalam penelitian kualitatif adalah ketidak terpisahan antara pengumpulan data, pengolahan data, menggunakan analisis data. Artinya data diolah dan dianalisis tanpa menunggu terkumpulnya seluruh data. Pengolahan / penyusunan data serta analisis data dilakukan sammbil terus melakukan pengumpulan data yg karena itu peneliti memiliki kesempatan buat terus-menerus memperbaiki/menyempurnakan pertanyaan-pertanyaan. Dalam proses melingkar begini peneliti malahan disarankan buat terus pula menjelajahi literatur yg relevan menggunakan duduk perkara-dilema yg dihadapi. Hal ini penting buat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ; apa yang sudah ditemukan oleh peneliti lain berkenaan dengan perkara-masalah yg kini sedang diteliti. Apa yg sudah diabaikan dalam literatur ? Bagaimana peneliti tidak selaras perspektif menggunakan penulis/peneliti lain sebagaimana kelihatan dalam literatur yang dibaca ? Hal-hal ini justru akan sangat berarti saat peneliti hendak menuliskan atau menegaskan temuan-temuannya. Dengan istilah lain, hasil penelitian orang lain ( penulisan etnografik ) sangat kontributif sepanjang penelitian masih pada proses. Dan proses penelitian siklis begini akan kelihatan kentara bahwa peneliti sangat dituntut buat sesnantiasa mengulang/memperbaharui pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis data sekaligus sambil terus pula mengusut literatur-literatur – sesuatu yang tak terjadi pada penelitian kuantitatif. Kegiatan atau proses ini akan berhenti pada titik tertentu, yakni waktu peneliti sudah merasa relatif memperoleh atau mencapai tujuan-tujuannya.

Dalam hal demikian hasil penelitian berupa laporan akan adalah sumbangan dalam khazanah keilmuan khususnya penulisan etnografi.

Dari pemaparan kedua struktur nalar penelitian misalnya di atas, kita lalu dapat melihat beberapa disparitas diantara keduanya ( kualitatif & kuantitatif ) sbb :
No

Perihal

Kuantitatif

Kualitatif

1.
Peran penelitian
Sebagai persiapan/pendahuluan
Sangat bermanfaat buat eksplorasi interpretasi
2.
Hubungan peneliti menggunakan subjek
Memiliki jarak
Dekat
3.
Posisi peneliti
Outsider
Insider
4.
Hubungan teori/konsep dengan penelitian
Konfirmasi
Urgan, menampilkan pandangan baru
5.
Strategi penelitian
Terstruktur
Tidak
6.
Cakupan temuan
Dalil/hukum-hukum/perkiraan teoritis
Ideografik (keadaan kekinian)
7.
Kesan realitas sosial
Statis serta tidak dipengaruhi aktor-aktor
Sbg. Proses pada tentukan oleh aktor-aktor
8.
Keadaan/sifat data
Sukar dibentuk penetrasi
Kaya, mendalam shg. Nampak substantif
Dipetik dari : Bryman,Alan ( 1988, hal 94 )

PENDEKATAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SERTA KOMBINASINYA DALAM PENELITIAN PSIKOLOGI

Pendekatan Kuantitatif Dan Kualitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi
Kota sebagai hunian dengan representasi pembagian kota secara spasial adalah sebuah hubungan sosial yg terjadi dimana manusia berpikir mengenai global melalui lingkungan yang terbangun. Kawasan kota misalnya padat atau lengang, kelas menengah atau kelas bawah, daerah kondusif atau rawan, usaha atau pemukiman juga glamour ataukah miskin, seluruh ini merupakan representasi nyata menggunakan mengungkap beberapa aspek kota dimana representasinya mempunyai kekuasaan buat membatasi tindakan atau mengendapkan masalah tertentu.

Permasalahan kota pada hal visualisasi representasi kota sebagai tempat yg bersih, sehat, tidak mengganggu pemandangan, rapi dan tertata berakibat kota mempunyai bukti diri ruang yang tidak bisa dipungkiri serta kukuh. Pribadi kota seperti inilah yang mengakibatkan pekerja seni (seniman) kesulitan pada membuatkan daya imajinasinya dalam sebuah ruang yang bernama ruang publik. Sementara ruang publik sendiri diakui menjadi bagian dari bukti diri kota yg harus memenuhi standar menjadi kota yang higienis serta tertata.

Juergen Habermas menyebut ruang publik sebagai ruang yang dipakai secara individu serta secara prinsip dalam menggulirkan perihal sehingga bisa melahirkan debat generik (pada Barker, 2005: 154). Ruang ini tidak terbatas pada lingkup ruang tertutup namun jua ruang terbuka yang seharusnya dilindungi oleh negara agar dipakai secara meluas. Ruang publik belakangan menjadi pudar ketika ruang tersebut dihadapkan pada perkembangan kapitalisme yg mengarah kepada monopoli dan penguatan negara. Dalam perkembangan seni publik, hampir nir ada ruang publik yg sanggup mewadahi seniman pada menggulirkan perihal mereka.

Public art (seni publik) pada tentang seni rupa sendiri pada lingkup yang lebih menyempit merupakan seni yg dibentuk secara individu juga grup yang memakai prinsip-prinsip eksklusif dalam menggulirkan ihwal melalui karya seni rupa. Bentuk seni publik sendiri antara lain meliputi performance art, instalation art, happening art, stencil, graffiti, mural, poster, serta lain-lain. Graffiti yg terlanjur pada-cap sebagai karya vandalism kurang mendapat loka pada hati masyarakat.

Graffiti tampaknya menjadi aspek yg bisa memunculkan reaksi beragam pada konteks kepedulian lingkungan. Efek yg dihasilkan berdasarkan graffiti telah membangun ruang berapresiasi dengan segala macam penafsiran. Nilai visual (estetis) yang seharusnya terdapat pada karya seni - pada hal ini graffiti - pada konteks rapikan kota tidak lagi diindahkan. 

Tulisan ini bertujuan buat menemukan secara ilmiah motivasi bomber dalam membuat graffiti pada Surabaya lalu menghubungkan hasrat bomber dalam berkarya menggunakan kepentingan kota dan memberikan argumentasi ilmiah mengenai partisipasi graffiti pada perkembangan sosial kota. 

DEFINISI GRAFFITI
Manco menuliskan bahwa seni graffiti senantiasa berkembang secara monoton (Manco, 2004:7). Setiap hari, lapisan cat serta poster-poster yang baru saja ditempel, bermunculan hanya pada saat semalam pada tiap kota yg ada di semua dunia. Proses pembaharuan yg terjadi secara terus-menerus terhadap tanda-tanda dan karya seni – karya seni ini dibuat pada atas lapisan karya graffiti lama yang sudah memudar dan pada bagian atas-permukaan yang rusak dari sebuah kota. Tampaknya, graffiti memang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan menurut sebuah kota.

Sebenarnya, apakah yg dimaksud dengan graffiti? Susanto menyebutkan, bahwa graffiti berasal berdasarkan kata Italia “graffito” yang berarti tabrakan atau guratan (2002:47). Penulis Arthur Danto (2002:47) menyebutnya dengan demotic art atau yg memiliki dan memberi fungsi dalam pemanfaatan aksi corat-coret. Pada dasarnya aksi ini dibuat atas dasar anti-estetik dan chaostic (bersifat merusak, baik menurut segi fisik maupun non-fisik).

Graffiti (juga dieja grafitty atau grafitti) adalah kegiatan seni rupa yang menggunakan komposisi rona, garis, bentuk serta volume untuk menuliskan kalimat tertentu di atas dinding. Alat yg digunakan umumnya cat semprot kaleng. Menurut Wikipedia (n.D., 19 Januari 2006), graffiti adalah keliru satu goresan pena ataupun penanda yg dengan sengaja dibentuk sang insan dalam suatu permukaan benda, baik itu milik langsung ataupun publik. Sebuah graffiti bisa berupa sebuah karya seni, gambar ataupun istilah-istilah. Ketika suatu graffiti dikerjakan tanpa sepengetahuan pemilik properti, maka graffiti tadi bisa dikategorikan menjadi sebuah vandalism. Graffiti sendiri telah ada paling tidak sejak peradaban kuno seperti zaman Yunani Klasik serta Kerajaan Roma. 

Kata “Graffiti” merupakan kata jamak menurut “graffito”. Bentuk singularnya sendiri cenderung tidak jelas ialah dan dalam sejarah seni penggunaan istilah tersebut mengacu pada pembuatan karya seni yg didapatkan menggunakan menggoreskan/mengguratkan desain pada suatu bagian atas. Istilah lain yang berhubungan dengan graffiti adalah sgraffito, yaitu suatu cara menciptakan desain menggunakan menggores melalui satu lapisan menurut suatu warna/pigmen buat menampakan lapisan yang ada dibawahnya. Semua kata-istilah ini asal berdasarkan bahasa Itali, yaitu graffiato, bentuk lampau berdasarkan graffiare (to scratch/ menggores); para produsen graffiti pada zaman dulu menggoreskan karya mereka pada tembok-tembok sebelum adanya cat spray, misalnya yang kita lihat pada mural-mural atau fresko. Kata ini berasal dari bahasa Yunani γραφειν (graphein), yg artinya “menulis”. 

Bambataa menyebutkan, bahwa graffiti atau graf adalah salah satu berdasarkan empat unsur pada kultur hip-hop (2005:85). Tiga unsur lainnya adalah break dancing, DJ-ing dan rappin’. Graffiti dimulai sebagai seni urban underground yang ditampilkan secara mencolok pada area-area publik, biasanya di tembok-tembok gedung. Graffiti digunakan sang para masyarakat kota untuk menyatakan komentar sosial dan politik, seperti halnya geng-geng biasa mengungkapkan tempat yang sebagai kekuasaannya. Tidak ada kesepakatan kapan graffiti lahir dan tentang loka kelahiran awal graffiti. Namun beberapa referensi mengungkapkan bahwa graffiti dimulai di New York pada awal 1970-an bersamaan menggunakan lahirnya breakdance.

Meskipun ada asumsi bahwa graffiti ‘klasik’ mengalami stagnasi dalam pergerakannya, namun selentingan melalui majalah graffiti yg muncul belakangan ini ataupun kunjungan ke hall of fame setempat menunjukkan menggunakan kentara bahwa terdapat begitu banyak perubahan yang terjadi sejak tahun 1980-an. Dalam pemberontakan terhadap gaya generik, seniman menghancurkan peraturan graffiti yg nir tertulis buat menciptakan bentukan grafis yang baru dan imej lain diluar 3-D serta penulisan wild-style.

Graffiti artistik sendiri memilih pada bentuk tag (tulisan) yg terolah melalui bahasa visual yg estetik. Secara bentuk, graffiti tadi dituliskan menggunakan pemanfaatan logotype atau juga kaligrafi yang biasa disebut di kalangan street artist menjadi street logos (Manco, 2004:8). Penggunaan tag secara pictographic symbol seringkali dipakai buat menerangkan berkomunikasi secara visual dengan audiens. Sehingga akan mudah didapati graffiti yang seakan tidak bermakna, tetapi bila dibaca menggunakan sangat teliti melalui proses pembacaan graffiti yg rumit, maka graffiti artistik menyimpan poly makna yang sarat pesan sosial.

Dari bentuk yg lain, graffiti artistik akan ditemui melalui penggunaan warna yg maksimal . Penggunaan warna ini mendukung dalam pemilihan bentuk graffiti yg dibentuk. Warna umumnya menyesuaikan dengan space yang ada, meskipun kebanyakan rona yg dipakai merupakan rona-warna cerah.

Tabel 1. Klasifikasi Variabel Penelitian

No.

Subjek

Lokasi

Parameter

1.
Graffiti Artistik
Jl. Pemuda, Jl. Basuki Rachmat,  Jl. Ngagel, Rungkut Industri, Dinoyo, Jl. Jemursari, Jl. Margorejo, Jl. A. Yani, Jl. Kutisari, Kompleks Masjid Agung Surabaya
- Pengolahan dalam tipografi
- Pengolahan pada warna
- Pengolahan pada pola serta bentuk
2.
Ekologi Visual
---idem---
- Simbiosis mutualisme
- Kesatuan menggunakan lingkungannya
3.
Sosio-Kultural Kota
---idem---

- Menyiratkan budaya lokal
- Membangun kultur setempat
- Pola juga bentuk graffiti yg melokal


Tabel dua. Perbedaan Graffiti Artistik serta Graffiti Non-Artistik


Graffiti Artistik

Graffiti Non-artistik

Bahan serta media
- Cat semprot atau aerosol. Namun pada beberapa kota di Indonesia termasuk Surabaya selain cat semprot pula menggunakan cat tembok.
- Dinding berupa tembok tempat tinggal , gedung, pagar, indera transportasi.
- Cat semprot
- Spidol
- Dinding berupa tembok rumah, gedung, pagar, alat transpor-tasi.
Pola dan bentuk
- Bubble, yaitu gaya pola yg umum digunakan writer atau bomber buat melakukan throw up (menggrafiti dengan cepat)
- Wildstyleatau semi wildstyle, yaitu gaya yang sejenis dan biasa dipakai dan terkenal bagi para writer. Ciri gaya pola ini adalah menggunakan ornamen seperti tanda panah, bintang, dll.
- 3D, yaitu gaya pola yang mengesankan kesan tiga dimensi.
-Taki. Bentuk ini nampak misalnya tanda tangan. Hanya sekedar tulisan (tagging). Ini yg kemudian sering diklaim sebagai corat-coret.


Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam serta observasi ke lapangan langsung. Wawancara dilakukan sang peneliti terhadap 6 informan. Informan tersebut merupakan galat satu bomber yang tergabung pada beberapa grup. Kelompok bomber di Surabaya terdiri berdasarkan 4 informan, sedangkan bomber dari Jakarta ada dua informan. Informan dari Jakarta dibutuhkan dalam wawancara khususnya yg berkenaan menggunakan sejarah graffiti mulai berkembang pada Indonesia.

Wawancara dilakukan menggunakan terbuka, artinya pihak informan mengetahui maksud diwawancara dan mereka juga memahami bahwa sedang diwawancara. Berikut ini profil informan yang sengaja menggunakan inisial demi kepentingan privasi mereka, mengingat asumsi poly orang termasuk pemerintah kota yg menduga graffiti merupakan wujud seni yang menghambat keindahan kota sehingga pelaku graffiti mampu dianggap sebagai kriminal. Kriteria yang diambil menjadi informan adalah:
  • Telah menciptakan karya graffiti di beberapa titik kota Surabaya 
  • Aktif pada berkarya, minimal 1 tahun. 
  • Graffiti yg dihasilkan adalah yang berjenis artistik graffiti 
  • Sering melakukan prodo atau berkarya beserta-sama menggunakan gerombolan graffiti lain 
  • Kerjasama selama proses penelitian sangat baik. 
Tabel tiga. Profil Informan

No

Nama(inisial)

Usia

Profesi

Kelompok

1.
B
20 thn
Mahasiswa ITS semester 2 jurusan Planologi
Public Enemy (Surabaya)
2.
H
19 thn
Siswa SMA Santa Maria kelas 3
Yuck Fou (Surabaya)
3.
D
22 thn
Mahasiswa UK Petra jurusan DKV
Yuck Fou (Surabaya)
4.
M
19 thn
Siswa SMA St. Louis kelas 3
Humble (Surabaya)
5.
A
28 thn
Art Director sebuah agency
Total Terror (Jakarta) - Tembokbomber
6.
O
27 thn
Mahasiswa Interstudi Jakarta jurusan Desain
Artcoholic (Jakarta)

Wawancara selain dilakukan terhadap informan pula dilakukan terhadap 2 narasumber ahli. Narasumber dilakukan buat menggali relevansi graffiti pada hal ekologi juga sosio-kultural kota. Berikut profil narasumber pakar yang diperlukan dalam penelitian ini:
Tabel 5. Profil Narasumber

No.

Nama

Jabatan sekarang

Bidang Keahlian

1.
Dra. Pinky Saptandari, MA
- Sekretaris Jendral Dewan     Kota Surabaya
- Dosen Antropologi Universitas Airlangga
- Antropologi Kota
- Budaya Lokal
2.
Ir. Freddy H. Istanto, MT
- Dosen Arsitektur UK Petra  Surabaya
- Urban Space
- Ruang Publik

Gambar  Profil Narasumber

Motivasi Membuat Graffiti
Berdasarkan hasil wawancara yg dilakukan terhadap para bomber, diketahui bahwa motivasi buat membuat graffiti nir lain merupakan buat memperindah kota di samping faktor sekedar menunjukkan dirinya melalui graffiti. Hal ini diungkapkan sang M, bomber menurut Humble serta H, bomber menurut grup Yuck Fou. Tentu pendapat ini masih menyebabkan perdebatan dalam mengidentifikasikan mengenai keindahan kota. Pemkot Surabaya yang jelas memandang estetika kota relevan dengan kebersihan dimaknakan terbalik sang bomber Surabaya. Mereka berpendapat bahwa kebersihan tidak relevan dengan estetika. Tembok yang dicat putih bukanlah keindahan, namun kebersihan. Bersih bagi mereka belum tentu latif, sedangkan indah sanggup dimaknai menggunakan bersih. 

Di sisi lain, mereka tidak menampik pendapat bahwa terdapat sisi vandalisme yang dilakukan oleh bomber. B, bomber menurut Public Enemy mengakui bahwa terdapat semacam gejala ideologi yg menyebutkan bahwa menciptakan graffiti memang harus bersifat vandalis. Graffiti Surabaya yang masih baru berkembang dan jiwa muda yg terdapat dalam kepribadian mereka tidak bisa dilepaskan menurut semangat pemberontakan, anti kemapanan serta tantangan. Ingin memberitahuakn diri bahkan nir malu-membuat malu menyebut dirinya sebagai seorang vandalis menjadi kebanggaan tersendiri seseorang bomber.

Untuk pendapat ke 2 inilah, graffiti artistik mencicipi bahwa keberadaan mereka sanggup terganggu oleh ulah bomber yg memang bermaksud Mengganggu. Ideologi vandalis dalam graffiti benar-sahih mereka telan mentah-mentah yang terkadang tidak sinkron menggunakan konteks budaya lokal.

Perlawanan secara vandalis melalui graffiti memang dilakukan oleh anak belia pada Amerika Serikat serta Inggris awal mulanya dan kemudian berkembang ke nagara-negara lain termasuk Indonesia. Tetapi secara konteks kelokalan, vandalis yg dilakukan oleh bomber di Amerika Serikat dan Inggris tersebut tidak tanggal dari kebuntuan mereka nir menikmati kembali ruang publik di samping secara politis dilakukan sang anak belia yang anti mall, anti kemapanan dan anti pemerintah.

Di Jakarta, seperti diungkapkan sang O dari Artcoholic serta A menurut Tembokbomber, yang dilakukan sang bomber pada membuat graffiti adalah ketidaksukaan mereka terhadap bidang tembok yang dibiarkan tidak terawat serta begitu semrawutnya poster-poster iklan dan pamflet ditempelkan di dinding-dinding kota. Ada ketidakadilan dalam memaknai antara graffiti dan poster iklan dari pihak pemerintah kota. Dari konteks misalnya ini saja sanggup ditinjau bahwa motivasi menciptakan graffiti antara anak muda pada negara Barat dengan di Indonesia tidak sama. Menurut O dan A, tidak terdapat vandalisme pada graffiti toh mereka tidak menggempur dan membongkar tembok maupun dipecah-pecahkan, tetapi justru memberi sentuhan artistik buat tembok yang nir dirawat. Begitu jua terdapat pemilihan lokasi yang tepat untuk digraffiti, tidak asal ngebom.

Berikut ini adalah tabel yg menjelaskan alasan bomber membuat graffiti pada tembok-tembok kota:
Tabel 6. Alasan Membuat Graffiti

No.

Nama (inisial)

Kelompok

Alasan membuat graffiti

1.
B
Public Enemy
- Memperindah kota
- Daripada mabuk-mabukan juga beli narkoba, mendingan uangnya dipakai buat beli cat aerosol
2.
H
Yuck Fou
Ingin membuat sesuatu yang beda pada kota, jika corat-coret justru mengotori, tapi bila dibentuk artistik justru akan bangga dilihat orang.
3.
D
Yuck Fou
Memperindah kota
4.
M
Humble
Memperindah kota
5.
A
Tembokbomber
- Ingin membuat karya pada jalan
- Menghias kota
6.
O
Artcoholic
- Ingin membuat karya pada jalan
- Menghias kota

Graffiti: Tembok Tak Terawat dan Terawat

Sasaran primer kaum bomber adalah dinding atau tembok yg tidak terawat. Tembok yang dicat putih bersih tidak pernah menjadi sasaran empuk bomber yang mengerjakan graffiti artistik. Bilapun terdapat, maka sanggup dipastikan graffiti tersebut bukanlah graffiti artistik melainkan berupa tagging belaka. Bentuk seperti ini memang sebagai semacam ‘musuh’ bagi bomber graffiti artistik. Jangankan tembok yg dicat putih bersih, karya graffiti artistik pun mereka timpa dengan goresan pena atau istilah-kata yang justru semakin memperburuk gambaran.

Gambar Tagging dalam jembatan layang Gubeng sisi kiri Monkasel

Oleh lantaran itulah, evaluasi keburukan gambaran bersih tidak disama-ratakan pada semua bentuk graffiti. Ada graffiti yang memang benar-sahih bertujuan untuk memperindah kota, tetapi ada jua graffiti yg memang buat menghambat yg indah dan baik. Melihat tujuan graffiti artistik seperti di atas, maka pemilihan loka pun direncanakan sebaik mungkin. Tembok yang tak terawat terlebih pada jalan-jalan primer atau strategis mereka timpa menggunakan graffiti artistik. 

Tembok yang tidak terawat tadi, menurut H menurut Yuck Fou diasumsikannya menjadi bentuk pengingkaran terhadap hak miliknya sendiri. Artinya adalah mereka yang mempunyai tembok tidak mampu merawatnya, karena itulah bomber merogoh alihnya menggunakan maksud menghilangkan kesan tak terawat dengan bahasa rupa yaitu graffiti artistik. Kalaupun ada tembok yang terawat hingga dicat putih bersih tetapi terdapat graffiti artistiknya, itu lantaran terdapat permintaan dari pemilik tembok tadi.

Bentuk ‘pengambil alihan’ tembok yang tak terawat tadi sebagai bentuk kepedulian tentang bangunan pada jalan-jalan strategis yang nir merawatnya dengan baik, sehingga mengakibatkan kesan kotor berdasarkan setiap pengendara kendaraan yg melintasinya. Tembok tidak terawat didefinisikan mereka, menjadi berikut:
1) Tembok yang dibiarkan kumuh, sebagai akibatnya poster serta pamflet iklan sangat gampang menempelkannya. Tembok semacam ini akan segera ditimpa oleh graffiti.
2) Tembok yg dahulunya putih bersih, namun lama kelamaan memudar, bahkan warnanya cenderung agak coklat dan kehitaman atau kehijauan karena lumut. Untuk tembok yang misalnya ini, umumnya sebelum ditimpa graffiti, bomber akan mengecatnya dulu menggunakan rona putih buat mengakibatkan kesan segar.
3) Tembok yg dibiarkan rusak. Biasanya tembok ini dibiarkan beberapa bagiannya telah rusak dan oleh pemiliknya langsung ditindas menggunakan warna putih. Dalam jangka waktu ke depan, bagian yang rusak ini sebagai sangat kelihatan bentuknya dan mengurangi nilai kebersihan serta estetika. Dengan anugerah warna, rusaknya bagian tembok mampu diminimalisir.
4) Tembok pada ruang publik serta milik generik, namun nir dirawat keberadaannya. Lokasinya yang memungkinkan publik melihat lantaran berada di loka strategis berakibat titik ini nir berkesan indah lantaran nir dirawat oleh instansi terkait. Biasanya berupa tembok pada fly over serta lapangan. 

Selain tembok yg tidak terawat tersebut, kaum bomber jua mengarahkan sasarannya dalam tembok yg terawat. Tembok yang dicat putih pun menjadi sasaran mereka. Berbeda dengan tagging yang asal menciptakan graffiti, nmaun tak terlihat estetis, graffiti yang dibentuk secara artistik ini merupakan cara mereka menawarkan cara lain jika tembok nir hanya dicat putih. 

Pendapat ini menguatkan gagasan mereka, bahwa kota tidak hanya bersih tetapi pula harus latif. Belum lagi panasnya kota oleh terik matahari, membuat rona putih terasa menyilaukan mata serta tampak semakin monoton. Pengendara kendaraan pun bisa menikmati gambar-gambar yang dibuat hanya sekedar melepas kepenatan mereka mengendarai kendaraan serta mengusir rasa kesal terhadap kemacetan lalu lintas kota. Memang lantaran tidak adanya kompromi dengan pihak pemilik berakibat graffiti tetap menjadi ’musuh’ bagi mereka yang cinta dengan rona putih. Gagasan mereka secara underground disikapi miring, karena ruang tersebut adalah ruang hunian yg bersifat privasi. Kalaupun tembok tersebut milik publik, kejengahan kaum bomber tadi dievaluasi sebagai bisnis buat ’merebut’ balik ruang publik yg selama ini sudah dikuasai oleh pembangunan gedung-gedung pencakar langit. 

Memang pada gagasan ini sikap underground sebagai perkara utama, hal ini tidak sanggup dilepaskan dari perilaku mereka sebagai anak belia yang ingin mendobrak tatanan, anti kemapanan dan pemberontak. Sikap underground ditunjukkan dengan nir adanya ijin menurut pemilik tembok dan melakukan graffiti umumnya berdasarkan sore menjelang malam atau pada tengah malam hingga pagi hari. Berikut ini tembok terawat yang menjadi incaran mereka:
1) Tembok milik publik. Meskipun dirawat, tetapi kejengahan kaum bomber yang tidak bisa melihat tembok dicat putih dijadikan sasaran empuk olehnya. Menurut mereka tembok publik yg dicat putih bersih tidak mencerminkan estetika, tetapi kebosanan serta menciptakan silau dalam mata, apalagi jikalau terik mentari di siang hari begitu menyengat. Inilah yang ditentang oleh mereka. Biasanya pagar yang membentang panjang. 
2) Tembok milik langsung. Beberapa kawasan yang dijadikan sasaran umumnya adalah perumahan. Masih menggunakan alasan mereka, bahwa warna putih sangat membosankan dan menyilaukan mata, mereka jua berpendapat bahwa kebersihan bukanlah keindahan namun kemapanan. Graffiti artistik pada daerah ini sebagai ‘jelek rupa’ karena secara teknis belum semaksimal karya graffiti seperti halnya di Jakarta dan Jogjakarta, sehingga penghuni tempat tinggal di daerah perumahan yang biasanya mempunyai nilai rasa terhadap artistik visual tinggi belum menilai positif graffiti artistik tersebut. Selain itu penggarapan yg terkesan tidak terkoordinasi dengan baik, berakibat karya graffiti di beberapa loka secara visual kurang menarik, meskipun yg dikerjakannya merupakan graffiti artistik.

Graffiti yang hanya mengejar kuantitas belaka tentu nir mengakibatkan interaksi yg kuat dengan lingkungannya. Semakin banyaknya graffiti tanpa melihat faktor lingkungannya hanya akan semakin menambah ‘sampah visual’ misalnya halnya pamflet dan poster iklan. Bagi bomber-bomber yang baru turun ke jalan, hal yg harus mereka mengerti merupakan graffiti bukan hanya sekedar tren, namun graffiti pula indera komunikasi. Secara ekologis, jika semangat menciptakan graffiti semata-mata mengikuti tren, maka keseimbangan lingkungan tidak tercapai. Banyaknya jumlah graffiti pada Surabaya tidak seimbang menggunakan apresiasi yang jelek terhadap graffiti. Graffiti yang seharusnya dapat memperindah kota, justru terjebak dalam ‘sampah visual’ yg hanya semakin menambah hiruk pikuk kota. Graffiti yg segar serta sedap dicermati mata merupakan graffiti yg memperhatikan menggunakan akurat perwujudan nilai rupa yang mendukung sikap lingkungan. 

Definisi Vandalisme
Mendefinisikan vandalisme itu sulit lantaran umumnya apa yang disebut menjadi vandalisme itu sendiri umumnya bergantung pada bagaimana situasi dimana insiden terjadi. Untuk menggolongkannya menjadi ekpresi dari agresi dan perusakan saja tidaklah cukup, lantaran destruksi itu sendiri tidak mampu dibedakan bahkan dari tipe-tipe perilaku yg lain dimana elemen-elemen ini pula akan tampak. 

Mungkin sanggup lebih membantu menggunakan mulai memilah-milah apa saja yang bukan termasuk pada pada vandalisme. Sebagai contohnya, jika seseorang merusakkan sesuatu, entah disengaja atau tidak, serta lalu mulai memperbaiki kerusakan tadi, hal ini tidak dilihat sebagai suatu aktivitas destruksi. Bila seorang merusakkan sesuatu yang adalah miliknya sendiri, ataupun barang-barang yang sudah dibuang sebagai akibatnya barang-barang tadi nir dimiliki oleh siapapun juga maka hal yang sama berlaku. 

Hal yang sama tidak akan berlaku bila benda dirusakkan pada konteks dimana “letting go” disahkan menjadi suatu aktivitas, seperti di adventure playground. Yang terakhir, pada beberapa keadaan, aktivitas Mengganggu dijalankan atau dilakukan sang penguasa setempat dan oleh karena itu tentu saja tidak dapat dikatakan sebagai tindakan vandalisme: contohnya, ketika mereka menyebabkan suara-bunyian (polusi udara) lantaran suara bangunan yang diruntuhkan sebagai bagian berdasarkan pembangunan ulang kota.

Dari sini paling nir kita menerima tiga definisi elemen dari vandalisme yang bisa digambarkan sebagai berikut, yaitu:
1. Jika hal tadi menghambat barang-barang yang dimiliki sang seseorang (entah barang tadi terlihat dimiliki atau tidak oleh seorang).
2. Bila hal tadi menghambat properti milik orang lain; serta (c) apabila hal tadi merusak apa yang nantinya harus diperbaiki sang orang lain.destruction (penghancuran: The act of destroying; a tearing down; a bringing to naught; subversion; demolition; ruin; slaying; devastation), defacement (perusakan, tindakan mencacatkan atau merusakkan bagian atas atau penampakan berdasarkan sesuatu), breakage, graffiti, damage: konduite yang misalnya apakah yang dapat digolongkan sebagai vandalisme? Pada bahasan tentang vandalisme ini kita hanya akan mengacu menggunakan aktivitas yang didefinisikan pada bagian 1(I) berdasarkan the Criminal Damage Act,1971 (Griffiths dan Shapland, 1979:11)

Seseorang yang tanpa kuasa aturan yg absah mengijinkan penghancuran ataupun pengrusakan terhadap property milik seorang, apapun bentuknya, pada pemikiran yang lain buat menghancurkan atau menghambat property apapun ataupun bertindak sembrono seakan-akan properti tersebut akan dihancurkan atau dirusak maka akan dinyatakan bersalah lantaran melakukan pelanggaran.

Vandalisme umumnya pribadi mengarah ke properti umum. Hal ini mungkin dikarenakan properti generik tidak diidentifikasikan kepemilikannya (meskipun dalam kenyataannya dimiliki, tetapi kepemilikannya nir jelas) sehingga tindakan perusakan terlihat kurang patut buat dicela, dan pula kemungkinan bagi pelaku untuk dilarang atau ditangkap lebih mini , lantaran properti umum nir menerima strata yang sama dengan supervisi individual menjadi mana layaknya properti milik eksklusif. Adanya pandangan bahwa properti generik merupakan “milik orang lain” sebagai akibatnya sebagai tambahannya, maka akan terdapat “orang lain” yg akan memperbaiki. 

Vandalisme, kelihatannya, adalah bagian berdasarkan serangkaian konduite yang dimulai menurut bentuk ketidakpedulian yg paling umum terjadi, misalnya membuang sampah, dan dilanjutkan dengan penanganan-penanganan yg kasar – menabrakkan kereta dorong ke pintu kaca berputar, mengambil jalan pintas melalui tanaman yg baru ditanam di kebun bunga – sampai ke tingkat dimana perusakan menjadi disengaja: kaca yg pecah lantaran butiran peluru menurut senapan angin, menghancurkan perabot-perabot serta membongkar selang pemadam kebakaran. Hampir sanggup dipastikan, bahwa kebanyakan orang yg bertanggung jawab atas tindakan vandalisme ini tidak akan berlaku sama terhadap barang milik langsung mereka, karena mereka akan sebagai orang yg wajib memperbaikinya. 

Apa yang dilakukan oleh grup bomber pada menciptakan graffiti, memang tetap digolongkan sebagai aksi perusakan apapun bentuknya. Graffiti bagi mereka acapkali diartikan sebagai perwujudan seni publik meskipun media yg dipakai memakai media orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Namun demikian, graffiti yg dianggap sebagai permainan kekanakan ini dimaknai pula sebagai permainan yg santai serta lebih bersifat spontanitas. Marshall mengungkapkan pentingnya apa yang disebut sebagai seseorang ‘releaser’ (pembebas) buat membentuk daya tarik lain yg akan memadamkan/menyurutkan permainan kekanakan ini (dalam Griffiths dan Shapland, 1979:15). Seorang ‘pembebas’ merupakan sebuah penanda dalam suatu lingkungan yang mengijinkan pelanggar buat menilai perbuatan mereka sebagai sesuatu yang nir serius atau bahkan tidak penting sama sekali. Inilah kenapa jendela-jendela pada tempat tinggal -rumah yg kosong begitu seringnya kedapatan dipecahkan (terutama di blok yang diketahui sedang berada pada proses pembongkaran) atau mobil yg terlihat ditinggalkan begitu saja adalah korban destruksi yg empuk. Dengan istilah lain, anak-anak merespon kepada kesempatan saat kelihatannya mereka bisa bersenang-senang tanpa adanya kehadiaran pemilik atau penjaga yang akan mencegah atau bahkan mengkomplain mereka.

Dampak Graffiti Terhadap Ekologi Visual 
Ekologi visual berkaitan dengan interaksi antara wujud-wujud rupa menggunakan lingkungan sekitarnya, misalnya pemukiman, perkampungan, perumahan, persawahan, perkantoran serta tempat-tempat lainnya. Produk-produk seni visual yg pula wujud dari rupa ikut bertanggung jawab terhadap ekuilibrium lingkungan ini. 

Graffiti dan Poster Iklan
Memang selama ini cacat yang tertancap kuat merupakan graffiti. Bagi publik, graffiti merupakan perusak lingkungan, nir memperindah tetapi malah mengotori. Hal yg sama nir diarahkan kepada produk-produk visual lainnya, misalnya pamflet, billboard yg saling menjulang hampir menutup langit Surabaya dan jua poster-poster iklan yang melekat tak beraturan di dinding-dinding kota, entah itu hunian maupun perkantoran. 

Kecurigaan bomber adalah ketidak-adilan sikap yg mereka terima dari pemerintah kota diakibatkan karena graffiti nir berpotensi menguntungkan dalam hal pemasukan ke negara. Hal ini berbeda perlakuan jika ketidak nyamanan lingkungan secara visual diakibatkan sang poster-poster iklan yg nota bene menguntungkan negara. Tidak adanya teguran maupun peringatan keras kepada mereka menyebabkan para bomber justru memiliki pemikiran lain mengenai estetika kota. Menurut mereka, keindahan kota harus dipisahkan menggunakan kebersihan. Tidak ada relevansi keduanya. Yang justru terjadi merupakan estetika seharusnya mendukung kebersihan. Untuk hal inilah bomber menandakan bahwa karya graffiti mereka mampu memperindah kota daripada tempelan-tempelan tak beraturan poster serta pamflet iklan di dinding-dinding kota.

Gambar  Poster iklan di rumah 

Gambar Poster iklan di tembok pagar

Menurut Pingky Saptandari, seseorang antropolog pada wawancara kami menjelaskan, bahwa memandang graffiti tergantung dari cara apa memandangnya. Jika terlanjur selalu men-cap negatif, maka graffiti yang cantik dan ber-estetika tinggi pun akan selamanya buruk. Namun bila pikiran insan selalu ada sisi positifnya, maka graffiti mampu berpotensi menjadi pemandangan kota.

Menurutnya graffiti justru akan berpotensi memperindah kota apabila graffiti tersebut benar-benar mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak perlu tidak boleh sepanjang tidak dilakukan di loka-loka yang memang bukan pada tempatnya. Dalam kedudukannya menjadi Sekjen Dewan Kota Surabaya yg peduli pada perkara lingkungan hidup kota Surabaya, beliau menunjuk beberapa tempat yang tidak pada tempatnya digraffiti, antara lain merupakan cagar budaya, misalnya candi, tempat-tempat bersejarah dan monumen perjuangan kemerdekaan. Dalam pandangannya pula, bentuk-bentuk iklan yg terlalu bebas tertempel di dinding-dinding kota itulah yang justru lebih jelek pemandangannya daripada graffiti.

Dampak Graffiti Terhadap Sosio-Kultur Setempat
Graffiti yg kini telah tumbuh di Surabaya bila dilihat secara sosio-kultur warga setempat kurang mampu mewakili perwujudan kelompok sosial pada Surabaya. Hal ini sanggup dicermati dalam penggunaan gaya dan istilah-kata yang masih berkiblat pada budaya graffiti pada luar negeri. Banjirnya liputan di internet serta semakin berkembangnya graffiti dalam bentuk majalah sebagai referensi satu-satunya graffiti artistik yang mereka ketahui. Referensi yg didapatnya tersebut dikonsumsi tanpa ada modifikasi yg diubahsuaikan menggunakan kultur setempat.

Gambar  Graffiti “Yuck” pada Margorejo 

Gambar  Graffiti pada Jl. Taman Apsari

Graffiti di atas adalah contoh, bahwa gaya visual dan karakter yg didapatkan masih berkiblat pada gaya graffiti di luar negeri. Mengkonsumsi majalah serta contoh-contoh graffiti di web site memang memancing wangsit buat berkarya, namun karya yang dihasilkan masih perlu karakteristik sendiri. Graffiti tersebut juga nir memberikan donasi apa-apa dalam kondisi sosial setempat. Graffiti memang nir wajib yang bermuatan politis, tetapi cukup menampilkan karakteristik daerah tersebut mengakibatkan graffiti di Surabaya memiliki kekhasan lokal.

Ketika ditanya tentang masalah tadi, H serta D menurut Yuck Fou, B berdasarkan Public Enemy dan M dari Humble sepakat bahwa buat berukuran Surabaya, graffiti di Surabaya masih wajib perlu berbenah. Mereka mengakui, bahwa yg dibuatnya masih perlu harus belajar lagi. Karakter lokal yg tidak dimunculkan dari M adalah lantaran belum ada model graffiti yang melokal. Dari pernyataan ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa bomber Surabaya masih harus belajar mencari wangsit dan belajar menuangkannya ke pada karya graffiti yang melokal.

Menurut Freddy H. Istanto, dosen arsitektur UK Petra yg ditemui pada wawacara ini mengungkapkan, bahwa graffiti di Indonesia pada memilih lokasi masih lebih baik daripada yang dilakukan bomber luar negeri. Semangat bomber di Indonesia adalah semangat memperbaiki wajah kota, kebalikannya di luar negeri, bomber menciptakannya untuk Mengganggu. Tempat yg dipilih pun nir seselektif di sini. Untuk memilih lokasi yg tepat, memang graffiti harus dihindarkan menurut lokasi yg selama ini diidentikkan menggunakan loka yang seram. Hal ini contohnya sangat berbeda menggunakan yang dilakukan menggunakan bomber pada Amerika Serikat.

Lokasi yang identik menggunakan kejahatan, premanisme serta yang berkaitan dengan hal-hal mistik atau horor dihindarkan menurut graffiti karena graffiti yang tercipta lebih poly justru semakin menambah kesan negatif itu. Lokasi yang dikenal menjadi lokasi yg dekat menggunakan premanisme, lalu lokasi tersebut poly ditemukan graffiti, maka kesan gelap dan hitam semakin menambah kesan negatif pada titik kota itu. Tetapi hal ini nir selamanya seperti itu, bila bomber mau mengubah imej negatif sebuah daerah, maka yang dilakukannya merupakan membuat graffiti yg segar dan jauh menurut seram. Tipografi serta rona diolah sedemikian rupa sebagai akibatnya bisa menjauhkan diri menurut kesan negatif.

Secara sosio-kultural warga setempat, graffiti sebenarnya turut membantu terciptanya daerah yang jauh menurut kesan negatif selama ini. Pingky Saptandari pula menegaskan bahwa graffiti yang tercipta wajib didekatkan sedekat mungkin dengan gambaran sosial setempat. Mengubah imej yang selama ini melekat dalam kawasan ‘hitam’ bisa dibantu menggunakan pengolahan graffiti yg menjauhkan berdasarkan kesan tersebut. Begitu jua bila kawasan tersebut dicitrakan sebagai daerah yang memiliki nilai pujian setempat, maka graffiti sanggup mendukungnya pada hal visual. Jika gambaran tersebut bisa dipertahankan, maka ekologi visual sanggup tercapai karena graffiti mengerti betul dimana dia berada. 

Dampak yg dihasilkan graffiti menurut sudut sosio-kultural adalah bagaimana graffiti sanggup menandai wilayah sesuai menggunakan kulturalnya. Bila graffiti masih selalu berkiblat luar negeri, maka secara sosio-kultur graffiti tersebut masih belum bisa berkomunikasi menggunakan gerombolan sosialnya. Citra graffiti kemudian adalah citra yang eksklusif. Masih berbalut nama gerombolan , geng, individu maupun orang lain namun divisualisasikan secara artistik. Dengan istilah lain graffiti masih belum berkecimpung dari awal mulanya graffiti lahir di Indonesia yang sarat dengan aroma geng. Tetapi perkembangannya sekarang adalah graffiti yg hanya mengejar nilai artistik akan tetapi nir mengungkapkan-istilah dengan lingkungannya. Dengan demikian graffiti artistik nir memiliki andil apa-apa terhadap sosio-kultur setempat.

Seandainya graffiti mampu berbicara secara kultur setempat, maka graffiti pada Surabaya akan menjadi penanda budaya yang akan menandai kultur yg tidak sinkron antara graffiti Surabaya menggunakan graffiti pada Jogjakarta, Jakarta serta Bandung pula dengan daerah-daerah lain. Kondisi ini tentunya akan semakin menumbuhkan apresiasi masyarakat awam terhadap graffiti semakin terbuka. Kehadirannya akan dimaknai akan memberi manfaat secara sosial daripada hanya sekedar menebar graffiti namun tidak ada yg tidak sama gaya antara graffiti yang satu menggunakan yang lain, antara graffiti yang didapatkan di wilayah tertentu menggunakan wilayah lain.

PENDEKATAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SERTA KOMBINASINYA DALAM PENELITIAN PSIKOLOGI

Pendekatan Kuantitatif Dan Kualitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi
Kota menjadi hunian menggunakan representasi pembagian kota secara spasial merupakan sebuah interaksi sosial yg terjadi dimana manusia berpikir tentang global melalui lingkungan yang terbangun. Kawasan kota seperti padat atau lengang, kelas menengah atau kelas bawah, kawasan aman atau rawan, usaha atau pemukiman juga glamour ataukah miskin, seluruh ini adalah representasi nyata menggunakan mengungkap beberapa aspek kota dimana representasinya memiliki kekuasaan buat membatasi tindakan atau mengendapkan perkara eksklusif.

Permasalahan kota dalam hal visualisasi representasi kota menjadi loka yang bersih, sehat, nir mengganggu pemandangan, rapi serta tertata berakibat kota mempunyai bukti diri ruang yang nir sanggup dipungkiri serta kukuh. Pribadi kota seperti inilah yg menjadikan pekerja seni (seniman) kesulitan pada berbagi daya imajinasinya dalam sebuah ruang yang bernama ruang publik. Sementara ruang publik sendiri diakui menjadi bagian menurut bukti diri kota yang harus memenuhi baku sebagai kota yang bersih dan tertata.

Juergen Habermas menyebut ruang publik menjadi ruang yang digunakan secara individu serta secara prinsip dalam menggulirkan wacana sebagai akibatnya bisa melahirkan debat umum (dalam Barker, 2005: 154). Ruang ini tidak terbatas dalam lingkup ruang tertutup namun pula ruang terbuka yang seharusnya dilindungi oleh negara agar digunakan secara meluas. Ruang publik belakangan sebagai pudar ketika ruang tersebut dihadapkan pada perkembangan kapitalisme yang menunjuk pada monopoli serta penguatan negara. Dalam perkembangan seni publik, hampir nir terdapat ruang publik yang bisa mewadahi seniman pada menggulirkan perihal mereka.

Public art (seni publik) dalam tentang seni rupa sendiri pada lingkup yg lebih menyempit adalah seni yg dibentuk secara individu juga gerombolan yang memakai prinsip-prinsip eksklusif dalam menggulirkan perihal melalui karya seni rupa. Bentuk seni publik sendiri diantaranya mencakup performance art, instalation art, happening art, stencil, graffiti, mural, poster, serta lain-lain. Graffiti yang terlanjur pada-cap sebagai karya vandalism kurang menerima loka di hati warga .

Graffiti sepertinya menjadi aspek yang mampu memunculkan reaksi beragam dalam konteks kepedulian lingkungan. Efek yang dihasilkan menurut graffiti telah membentuk ruang berapresiasi dengan segala macam penafsiran. Nilai visual (estetis) yang seharusnya terdapat pada karya seni - dalam hal ini graffiti - dalam konteks tata kota tidak lagi diindahkan. 

Tulisan ini bertujuan untuk menemukan secara ilmiah motivasi bomber dalam menciptakan graffiti di Surabaya lalu menghubungkan keinginan bomber pada berkarya dengan kepentingan kota serta memberikan argumentasi ilmiah tentang partisipasi graffiti dalam perkembangan sosial kota. 

DEFINISI GRAFFITI
Manco menuliskan bahwa seni graffiti senantiasa berkembang secara monoton (Manco, 2004:7). Setiap hari, lapisan cat serta poster-poster yg baru saja ditempel, bermunculan hanya dalam waktu semalam di tiap kota yg terdapat di semua dunia. Proses pembaharuan yg terjadi secara terus-menerus terhadap tanda-tanda serta karya seni – karya seni ini dibentuk di atas lapisan karya graffiti lama yg telah memudar serta dalam permukaan-permukaan yang rusak dari sebuah kota. Tampaknya, graffiti memang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah kota.

Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan graffiti? Susanto mengungkapkan, bahwa graffiti dari dari kata Italia “graffito” yang berarti tabrakan atau guratan (2002:47). Penulis Arthur Danto (2002:47) menyebutnya dengan demotic art atau yang memiliki serta memberi fungsi pada pemanfaatan aksi corat-coret. Pada dasarnya aksi ini dibuat atas dasar anti-estetik dan chaostic (bersifat Mengganggu, baik berdasarkan segi fisik maupun non-fisik).

Graffiti (juga dieja grafitty atau grafitti) merupakan aktivitas seni rupa yg memakai komposisi rona, garis, bentuk dan volume buat menuliskan kalimat eksklusif pada atas dinding. Alat yg digunakan umumnya cat semprot kaleng. Menurut Wikipedia (n.D., 19 Januari 2006), graffiti merupakan galat satu tulisan ataupun penanda yang menggunakan sengaja dibentuk oleh manusia dalam suatu bagian atas benda, baik itu milik eksklusif ataupun publik. Sebuah graffiti bisa berupa sebuah karya seni, gambar ataupun istilah-kata. Ketika suatu graffiti dikerjakan tanpa sepengetahuan pemilik properti, maka graffiti tadi bisa mengkategorikan menjadi sebuah vandalism. Graffiti sendiri sudah terdapat paling tidak sejak peradaban kuno misalnya zaman Yunani Klasik serta Kerajaan Roma. 

Kata “Graffiti” adalah kata jamak dari “graffito”. Bentuk singularnya sendiri cenderung tidak jelas merupakan dan dalam sejarah seni penggunaan kata tadi mengacu pada pembuatan karya seni yang didapatkan menggunakan menggoreskan/mengguratkan desain dalam suatu permukaan. Istilah lain yg herbi graffiti adalah sgraffito, yaitu suatu cara menciptakan desain dengan menggores melalui satu lapisan dari suatu warna/pigmen buat memberitahuakn lapisan yg ada dibawahnya. Semua istilah-kata ini dari menurut bahasa Itali, yaitu graffiato, bentuk lampau menurut graffiare (to scratch/ menggores); para pembuat graffiti dalam zaman dulu menggoreskan karya mereka pada tembok-tembok sebelum adanya cat spray, seperti yg kita lihat pada mural-mural atau fresko. Kata ini dari berdasarkan bahasa Yunani γραφειν (graphein), yg adalah “menulis”. 

Bambataa mengungkapkan, bahwa graffiti atau graf adalah keliru satu menurut empat unsur pada kultur hip-hop (2005:85). Tiga unsur lainnya adalah break dancing, DJ-ing dan rappin’. Graffiti dimulai menjadi seni urban underground yg ditampilkan secara mencolok di area-area publik, umumnya pada tembok-tembok gedung. Graffiti digunakan oleh para masyarakat kota buat menyatakan komentar sosial serta politik, misalnya halnya geng-geng biasa menjelaskan tempat yang menjadi kekuasaannya. Tidak terdapat konvensi kapan graffiti lahir serta tentang loka kelahiran awal graffiti. Tetapi beberapa surat keterangan mengungkapkan bahwa graffiti dimulai pada New York pada awal 1970-an bersamaan menggunakan lahirnya breakdance.

Meskipun terdapat asumsi bahwa graffiti ‘klasik’ mengalami stagnasi dalam pergerakannya, namun selentingan melalui majalah graffiti yang ada belakangan ini ataupun kunjungan ke hall of fame setempat menampakan menggunakan kentara bahwa ada begitu banyak perubahan yang terjadi sejak tahun 1980-an. Dalam pemberontakan terhadap gaya umum, artis menghancurkan peraturan graffiti yang nir tertulis buat membentuk bentukan grafis yg baru serta imej lain diluar 3-D serta penulisan wild-style.

Graffiti artistik sendiri memilih kepada bentuk tag (tulisan) yg terolah melalui bahasa visual yg estetik. Secara bentuk, graffiti tadi dituliskan menggunakan pemanfaatan logotype atau pula kaligrafi yang biasa dianggap pada kalangan street artist sebagai street logos (Manco, 2004:8). Penggunaan tag secara pictographic symbol seringkali digunakan buat menampakan berkomunikasi secara visual menggunakan audiens. Sehingga akan mudah didapati graffiti yg seakan tidak bermakna, tetapi bila dibaca menggunakan sangat teliti melalui proses pembacaan graffiti yang rumit, maka graffiti artistik menyimpan poly makna yg sarat pesan sosial.

Dari bentuk yang lain, graffiti artistik akan ditemui melalui penggunaan warna yang maksimal . Penggunaan rona ini mendukung dalam pemilihan bentuk graffiti yg dibuat. Warna biasanya menyesuaikan dengan space yg terdapat, meskipun kebanyakan warna yang dipakai merupakan rona-rona cerah.

Tabel 1. Klasifikasi Variabel Penelitian

No.

Subjek

Lokasi

Parameter

1.
Graffiti Artistik
Jl. Pemuda, Jl. Basuki Rachmat,  Jl. Ngagel, Rungkut Industri, Dinoyo, Jl. Jemursari, Jl. Margorejo, Jl. A. Yani, Jl. Kutisari, Kompleks Masjid Agung Surabaya
- Pengolahan pada tipografi
- Pengolahan dalam warna
- Pengolahan dalam pola dan bentuk
2.
Ekologi Visual
---idem---
- Simbiosis mutualisme
- Kesatuan menggunakan lingkungannya
3.
Sosio-Kultural Kota
---idem---

- Menyiratkan budaya lokal
- Membangun kultur setempat
- Pola maupun bentuk graffiti yang melokal


Tabel dua. Perbedaan Graffiti Artistik dan Graffiti Non-Artistik


Graffiti Artistik

Graffiti Non-artistik

Bahan serta media
- Cat semprot atau aerosol. Tetapi pada beberapa kota di Indonesia termasuk Surabaya selain cat semprot juga menggunakan cat tembok.
- Dinding berupa tembok rumah, gedung, pagar, indera transportasi.
- Cat semprot
- Spidol
- Dinding berupa tembok rumah, gedung, pagar, indera transpor-tasi.
Pola serta bentuk
- Bubble, yaitu gaya pola yg generik dipakai writer atau bomber buat melakukan throw up (menggrafiti dengan cepat)
- Wildstyleatau semi wildstyle, yaitu gaya yg homogen serta biasa digunakan dan populer bagi para writer. Ciri gaya pola ini adalah menggunakan ornamen seperti tanda panah, bintang, dll.
- 3D, yaitu gaya pola yang mengesankan kesan 3 dimensi.
-Taki. Bentuk ini nampak seperti indikasi tangan. Hanya sekedar goresan pena (tagging). Ini yg lalu acapkali dianggap sebagai corat-coret.


Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yg dilakukan dalam penelitian ini memakai teknik wawancara mendalam dan observasi ke lapangan eksklusif. Wawancara dilakukan oleh peneliti terhadap 6 informan. Informan tersebut merupakan salah satu bomber yang tergabung pada beberapa gerombolan . Kelompok bomber pada Surabaya terdiri menurut 4 informan, sedangkan bomber menurut Jakarta ada 2 informan. Informan dari Jakarta diperlukan pada wawancara khususnya yang berkenaan dengan sejarah graffiti mulai berkembang pada Indonesia.

Wawancara dilakukan dengan terbuka, ialah pihak informan mengetahui maksud diwawancara dan mereka pula memahami bahwa sedang diwawancara. Berikut ini profil informan yg sengaja memakai inisial demi kepentingan privasi mereka, mengingat anggapan banyak orang termasuk pemerintah kota yang menganggap graffiti adalah wujud seni yg merusak estetika kota sehingga pelaku graffiti sanggup dianggap menjadi kriminal. Kriteria yg diambil menjadi informan merupakan:
  • Telah membuat karya graffiti di beberapa titik kota Surabaya 
  • Aktif dalam berkarya, minimal 1 tahun. 
  • Graffiti yang didapatkan adalah yg berjenis artistik graffiti 
  • Sering melakukan prodo atau berkarya bersama-sama menggunakan kelompok graffiti lain 
  • Kerjasama selama proses penelitian sangat baik. 
Tabel tiga. Profil Informan

No

Nama(inisial)

Usia

Profesi

Kelompok

1.
B
20 thn
Mahasiswa ITS semester 2 jurusan Planologi
Public Enemy (Surabaya)
2.
H
19 thn
Siswa SMA Santa Maria kelas 3
Yuck Fou (Surabaya)
3.
D
22 thn
Mahasiswa UK Petra jurusan DKV
Yuck Fou (Surabaya)
4.
M
19 thn
Siswa SMA St. Louis kelas 3
Humble (Surabaya)
5.
A
28 thn
Art Director sebuah agency
Total Terror (Jakarta) - Tembokbomber
6.
O
27 thn
Mahasiswa Interstudi Jakarta jurusan Desain
Artcoholic (Jakarta)

Wawancara selain dilakukan terhadap informan pula dilakukan terhadap dua narasumber ahli. Narasumber dilakukan buat menggali relevansi graffiti pada hal ekologi maupun sosio-kultural kota. Berikut profil narasumber pakar yg diperlukan pada penelitian ini:
Tabel lima. Profil Narasumber

No.

Nama

Jabatan sekarang

Bidang Keahlian

1.
Dra. Pinky Saptandari, MA
- Sekretaris Jendral Dewan     Kota Surabaya
- Dosen Antropologi Universitas Airlangga
- Antropologi Kota
- Budaya Lokal
2.
Ir. Freddy H. Istanto, MT
- Dosen Arsitektur UK Petra  Surabaya
- Urban Space
- Ruang Publik

Gambar  Profil Narasumber

Motivasi Membuat Graffiti
Berdasarkan output wawancara yg dilakukan terhadap para bomber, diketahui bahwa motivasi buat menciptakan graffiti nir lain merupakan buat memperindah kota di samping faktor sekedar menunjukkan dirinya melalui graffiti. Hal ini diungkapkan oleh M, bomber berdasarkan Humble serta H, bomber berdasarkan kelompok Yuck Fou. Tentu pendapat ini masih menyebabkan perdebatan pada mengidentifikasikan mengenai estetika kota. Pemerintah Kota Surabaya yang jelas memandang keindahan kota relevan dengan kebersihan dimaknakan terbalik sang bomber Surabaya. Mereka berpendapat bahwa kebersihan nir relevan dengan estetika. Tembok yg dicat putih bukanlah keindahan, tetapi kebersihan. Bersih bagi mereka belum tentu latif, sedangkan latif mampu dimaknai menggunakan higienis. 

Di sisi lain, mereka nir menampik pendapat bahwa ada sisi vandalisme yg dilakukan sang bomber. B, bomber dari Public Enemy mengakui bahwa ada semacam gejala ideologi yg mengungkapkan bahwa membuat graffiti memang wajib bersifat vandalis. Graffiti Surabaya yg masih baru berkembang dan jiwa belia yang ada dalam kepribadian mereka tidak mampu dilepaskan menurut semangat pemberontakan, anti kemapanan dan tantangan. Ingin menampakan diri bahkan nir membuat malu-malu menyebut dirinya menjadi seseorang vandalis sebagai pujian tersendiri seorang bomber.

Untuk pendapat kedua inilah, graffiti artistik mencicipi bahwa keberadaan mereka mampu terganggu oleh ulah bomber yg memang bermaksud Mengganggu. Ideologi vandalis pada graffiti benar-benar mereka telan mentah-mentah yang terkadang nir sesuai dengan konteks budaya lokal.

Perlawanan secara vandalis melalui graffiti memang dilakukan sang anak muda di Amerika Serikat dan Inggris awal mulanya dan lalu berkembang ke nagara-negara lain termasuk Indonesia. Namun secara konteks kelokalan, vandalis yg dilakukan sang bomber pada Amerika Serikat dan Inggris tersebut tidak tanggal berdasarkan kebuntuan mereka tidak menikmati pulang ruang publik di samping secara politis dilakukan oleh anak muda yg anti mall, anti kemapanan dan anti pemerintah.

Di Jakarta, seperti diungkapkan sang O menurut Artcoholic serta A berdasarkan Tembokbomber, yang dilakukan oleh bomber pada membuat graffiti adalah ketidaksukaan mereka terhadap bidang tembok yang dibiarkan tak terawat dan begitu semrawutnya poster-poster iklan serta pamflet ditempelkan pada dinding-dinding kota. Ada ketidakadilan dalam memaknai antara graffiti dan poster iklan berdasarkan pihak pemerintah kota. Dari konteks seperti ini saja mampu dicermati bahwa motivasi menciptakan graffiti antara anak belia di negara Barat dengan pada Indonesia berbeda. Menurut O serta A, nir ada destruksi dalam graffiti toh mereka nir menggempur dan membongkar tembok juga dipecah-pecahkan, namun justru memberi sentuhan artistik buat tembok yang tidak dirawat. Begitu pula ada pemilihan lokasi yang sempurna buat digraffiti, tidak dari ngebom.

Berikut ini merupakan tabel yang menyebutkan alasan bomber membuat graffiti di tembok-tembok kota:
Tabel 6. Alasan Membuat Graffiti

No.

Nama (inisial)

Kelompok

Alasan menciptakan graffiti

1.
B
Public Enemy
- Memperindah kota
- Daripada mabuk-mabukan juga beli narkoba, mendingan uangnya digunakan buat beli cat aerosol
2.
H
Yuck Fou
Ingin menciptakan sesuatu yg beda di kota, kalau corat-coret justru mengotori, akan tetapi jikalau dibentuk artistik justru akan bangga dipandang orang.
3.
D
Yuck Fou
Memperindah kota
4.
M
Humble
Memperindah kota
5.
A
Tembokbomber
- Ingin membuat karya pada jalan
- Menghias kota
6.
O
Artcoholic
- Ingin membuat karya pada jalan
- Menghias kota

Graffiti: Tembok Tak Terawat serta Terawat

Sasaran primer kaum bomber merupakan dinding atau tembok yang tidak terawat. Tembok yang dicat putih higienis nir pernah menjadi sasaran empuk bomber yg mengerjakan graffiti artistik. Bilapun terdapat, maka mampu dipastikan graffiti tadi bukanlah graffiti artistik melainkan berupa tagging belaka. Bentuk misalnya ini memang sebagai semacam ‘musuh’ bagi bomber graffiti artistik. Jangankan tembok yang dicat putih bersih, karya graffiti artistik pun mereka timpa dengan tulisan atau kata-istilah yg justru semakin memperburuk gambaran.

Gambar Tagging dalam jembatan layang Gubeng sisi kiri Monkasel

Oleh karena itulah, evaluasi keburukan gambaran higienis nir disama-ratakan kepada seluruh bentuk graffiti. Ada graffiti yg memang benar-benar bertujuan buat memperindah kota, tetapi terdapat pula graffiti yg memang buat menghambat yang indah dan baik. Melihat tujuan graffiti artistik seperti pada atas, maka pemilihan loka pun direncanakan sebaik mungkin. Tembok yang tidak terawat terlebih pada jalan-jalan utama atau strategis mereka timpa dengan graffiti artistik. 

Tembok yang tak terawat tersebut, berdasarkan H berdasarkan Yuck Fou diasumsikannya sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak miliknya sendiri. Artinya adalah mereka yang mempunyai tembok tidak sanggup merawatnya, lantaran itulah bomber merogoh alihnya menggunakan maksud menghilangkan kesan tak terawat menggunakan bahasa rupa yaitu graffiti artistik. Kalaupun ada tembok yg terawat hingga dicat putih bersih tetapi ada graffiti artistiknya, itu lantaran ada permintaan dari pemilik tembok tersebut.

Bentuk ‘pengambil alihan’ tembok yang tak terawat tersebut menjadi bentuk kepedulian tentang bangunan pada jalan-jalan strategis yg tidak merawatnya menggunakan baik, sebagai akibatnya menimbulkan kesan kotor dari setiap pengendara kendaraan yg melintasinya. Tembok tak terawat didefinisikan mereka, menjadi berikut:
1) Tembok yang dibiarkan kumuh, sebagai akibatnya poster dan pamflet iklan sangat mudah menempelkannya. Tembok semacam ini akan segera ditimpa sang graffiti.
2) Tembok yang dahulunya putih higienis, namun usang kelamaan memudar, bahkan warnanya cenderung agak coklat serta kehitaman atau kehijauan lantaran lumut. Untuk tembok yang seperti ini, umumnya sebelum ditimpa graffiti, bomber akan mengecatnya dulu dengan warna putih buat mengakibatkan kesan segar.
3) Tembok yg dibiarkan rusak. Biasanya tembok ini dibiarkan beberapa bagiannya telah rusak serta sang pemiliknya eksklusif ditindas menggunakan rona putih. Dalam jangka saat ke depan, bagian yang rusak ini menjadi sangat kelihatan bentuknya serta mengurangi nilai kebersihan serta keindahan. Dengan anugerah warna, rusaknya bagian tembok bisa diminimalisir.
4) Tembok di ruang publik dan milik umum, tetapi tidak dirawat keberadaannya. Lokasinya yang memungkinkan publik melihat lantaran berada di tempat strategis membuahkan titik ini tidak berkesan latif karena tidak dirawat sang instansi terkait. Biasanya berupa tembok pada fly over dan lapangan. 

Selain tembok yang tak terawat tadi, kaum bomber jua mengarahkan sasarannya dalam tembok yang terawat. Tembok yang dicat putih pun menjadi target mereka. Berbeda menggunakan tagging yang dari menciptakan graffiti, nmaun tidak terlihat estetis, graffiti yg dibuat secara artistik ini adalah cara mereka menunjukkan cara lain apabila tembok tidak hanya dicat putih. 

Pendapat ini menguatkan gagasan mereka, bahwa kota tidak hanya bersih namun juga harus indah. Belum lagi panasnya kota sang terik surya, membuat rona putih terasa menyilaukan mata serta tampak semakin terus-menerus. Pengendara kendaraan pun bisa menikmati gambar-gambar yang dibuat hanya sekedar melepas kepenatan mereka berkendara serta mengusir rasa kesal terhadap stagnasi kemudian lintas kota. Memang karena tidak adanya kompromi menggunakan pihak pemilik mengakibatkan graffiti permanen menjadi ’musuh’ bagi mereka yang cinta dengan warna putih. Gagasan mereka secara underground disikapi miring, lantaran ruang tadi merupakan ruang hunian yg bersifat privasi. Kalaupun tembok tersebut milik publik, kejengahan kaum bomber tadi dievaluasi menjadi usaha buat ’merebut’ kembali ruang publik yang selama ini telah dikuasai sang pembangunan gedung-gedung pencakar langit. 

Memang dalam gagasan ini perilaku underground sebagai kasus utama, hal ini tak sanggup dilepaskan berdasarkan sikap mereka sebagai anak muda yang ingin mendobrak tatanan, anti kemapanan dan pemberontak. Sikap underground ditunjukkan dengan tidak adanya ijin dari pemilik tembok dan melakukan graffiti umumnya berdasarkan sore menjelang malam atau pada tengah malam sampai pagi hari. Berikut ini tembok terawat yang sebagai incaran mereka:
1) Tembok milik publik. Meskipun dirawat, namun kejengahan kaum bomber yang tidak bisa melihat tembok dicat putih dijadikan target empuk olehnya. Menurut mereka tembok publik yg dicat putih bersih tidak mencerminkan estetika, namun kebosanan serta menciptakan silau dalam mata, apalagi jika terik mentari di siang hari begitu menyengat. Inilah yang ditentang oleh mereka. Biasanya pagar yg membentang panjang. 
2) Tembok milik pribadi. Beberapa kawasan yang dijadikan sasaran umumnya merupakan perumahan. Masih dengan alasan mereka, bahwa warna putih sangat membosankan serta menyilaukan mata, mereka pula berpendapat bahwa kebersihan bukanlah keindahan namun kemapanan. Graffiti artistik pada wilayah ini sebagai ‘tidak baik rupa’ karena secara teknis belum semaksimal karya graffiti misalnya halnya di Jakarta dan Jogjakarta, sehingga penghuni rumah di tempat perumahan yang umumnya memiliki nilai rasa terhadap artistik visual tinggi belum menilai positif graffiti artistik tersebut. Selain itu penggarapan yg terkesan tidak terkoordinasi menggunakan baik, membuahkan karya graffiti di beberapa tempat secara visual kurang menarik, meskipun yang dikerjakannya merupakan graffiti artistik.

Graffiti yg hanya mengejar kuantitas belaka tentu tidak menimbulkan hubungan yang bertenaga dengan lingkungannya. Semakin banyaknya graffiti tanpa melihat faktor lingkungannya hanya akan semakin menambah ‘sampah visual’ misalnya halnya pamflet dan poster iklan. Bagi bomber-bomber yg baru turun ke jalan, hal yang wajib mereka mengerti merupakan graffiti bukan hanya sekedar tren, namun graffiti pula indera komunikasi. Secara ekologis, bila semangat menciptakan graffiti semata-mata mengikuti tren, maka ekuilibrium lingkungan nir tercapai. Banyaknya jumlah graffiti pada Surabaya tidak seimbang dengan apresiasi yang buruk terhadap graffiti. Graffiti yang seharusnya bisa memperindah kota, justru terjebak pada ‘sampah visual’ yg hanya semakin menambah hiruk pikuk kota. Graffiti yg segar serta sedap dipandang mata adalah graffiti yang memperhatikan menggunakan seksama perwujudan nilai rupa yg mendukung perilaku lingkungan. 

Definisi Vandalisme
Mendefinisikan vandalisme itu sulit lantaran biasanya apa yg disebut sebagai vandalisme itu sendiri umumnya bergantung pada bagaimana situasi dimana insiden terjadi. Untuk menggolongkannya menjadi ekpresi berdasarkan agresi dan perusakan saja tidaklah cukup, lantaran vandalisme itu sendiri nir bisa dibedakan bahkan dari tipe-tipe perilaku yg lain dimana elemen-elemen ini pula akan tampak. 

Mungkin mampu lebih membantu dengan mulai memilah-milah apa saja yang bukan termasuk pada dalam destruksi. Sebagai misalnya, bila seorang merusakkan sesuatu, entah disengaja atau nir, dan lalu mulai memperbaiki kerusakan tadi, hal ini nir dipandang menjadi suatu aktivitas destruksi. Jika seorang merusakkan sesuatu yg merupakan miliknya sendiri, ataupun barang-barang yang sudah dibuang sebagai akibatnya barang-barang tadi tidak dimiliki oleh siapapun juga maka hal yang sama berlaku. 

Hal yang sama tidak akan berlaku bila benda dirusakkan pada konteks dimana “letting go” disahkan menjadi suatu aktivitas, seperti pada adventure playground. Yang terakhir, dalam beberapa keadaan, kegiatan Mengganggu dijalankan atau dilakukan sang penguasa setempat dan sang karena itu tentu saja tidak dapat dikatakan menjadi tindakan destruksi: misalnya, saat mereka menimbulkan suara-bunyian (polusi udara) karena suara bangunan yang diruntuhkan menjadi bagian dari pembangunan ulang kota.

Dari sini paling nir kita mendapatkan 3 definisi elemen dari destruksi yang bisa digambarkan sebagai berikut, yaitu:
1. Bila hal tersebut merusak barang-barang yang dimiliki oleh seseorang (entah barang tadi terlihat dimiliki atau tidak sang seseorang).
2. Jika hal tersebut menghambat properti milik orang lain; dan (c) apabila hal tadi Mengganggu apa yang nantinya harus diperbaiki oleh orang lain.destruction (penghancuran: The act of destroying; a tearing down; a bringing to naught; subversion; demolition; ruin; slaying; devastation), defacement (perusakan, tindakan mencacatkan atau merusakkan bagian atas atau penampakan dari sesuatu), breakage, graffiti, damage: konduite yg misalnya apakah yg dapat digolongkan sebagai destruksi? Pada bahasan tentang vandalisme ini kita hanya akan mengacu dengan aktivitas yg didefinisikan dalam bagian 1(I) dari the Criminal Damage Act,1971 (Griffiths dan Shapland, 1979:11)

Seseorang yg tanpa kuasa aturan yang sah mengijinkan penghancuran ataupun pengrusakan terhadap property milik seorang, apapun bentuknya, kepada pemikiran yg lain buat menghancurkan atau menghambat property apapun ataupun bertindak sembrono seakan-akan properti tadi akan dihancurkan atau dirusak maka akan dinyatakan bersalah karena melakukan pelanggaran.

Vandalisme umumnya pribadi menunjuk ke properti umum. Hal ini mungkin dikarenakan properti umum nir diidentifikasikan kepemilikannya (meskipun dalam kenyataannya dimiliki, namun kepemilikannya nir kentara) sebagai akibatnya tindakan perusakan terlihat kurang patut buat dicela, dan pula kemungkinan bagi pelaku buat dihentikan atau ditangkap lebih kecil, lantaran properti umum nir menerima strata yg sama dengan supervisi individual sebagai mana layaknya properti milik pribadi. Adanya pandangan bahwa properti umum adalah “milik orang lain” sehingga sebagai tambahannya, maka akan terdapat “orang lain” yg akan memperbaiki. 

Vandalisme, kelihatannya, merupakan bagian dari serangkaian konduite yg dimulai dari bentuk ketidakpedulian yg paling generik terjadi, misalnya membuang sampah, dan dilanjutkan dengan penanganan-penanganan yang kasar – menabrakkan kereta dorong ke pintu kaca berputar, merogoh jalan pintas melalui tumbuhan yg baru ditanam pada kebun bunga – sampai ke tingkat dimana perusakan sebagai disengaja: kaca yang pecah lantaran butiran peluru berdasarkan senapan angin, menghancurkan perabot-perabot dan membongkar selang pemadam kebakaran. Hampir sanggup dipastikan, bahwa kebanyakan orang yg bertanggung jawab atas tindakan vandalisme ini nir akan berlaku sama terhadap barang milik eksklusif mereka, karena mereka akan sebagai orang yang harus memperbaikinya. 

Apa yang dilakukan sang kelompok bomber dalam menciptakan graffiti, memang tetap digolongkan sebagai aksi perusakan apapun bentuknya. Graffiti bagi mereka tak jarang diartikan menjadi perwujudan seni publik meskipun media yg digunakan menggunakan media orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Namun demikian, graffiti yang dipercaya menjadi permainan kekanakan ini dimaknai pula menjadi permainan yg santai serta lebih bersifat spontanitas. Marshall mengungkapkan pentingnya apa yg disebut menjadi seseorang ‘releaser’ (pembebas) buat menciptakan daya tarik lain yg akan memadamkan/menyurutkan permainan kekanakan ini (dalam Griffiths serta Shapland, 1979:15). Seorang ‘pembebas’ merupakan sebuah penanda dalam suatu lingkungan yg mengijinkan pelanggar buat menilai perbuatan mereka sebagai sesuatu yg nir serius atau bahkan nir krusial sama sekali. Inilah kenapa jendela-jendela di tempat tinggal -tempat tinggal yg kosong begitu seringnya kedapatan dipecahkan (terutama pada blok yang diketahui sedang berada pada proses pembongkaran) atau mobil yg terlihat ditinggalkan begitu saja merupakan korban destruksi yang empuk. Dengan istilah lain, anak-anak merespon pada kesempatan waktu kelihatannya mereka bisa bersenang-bahagia tanpa adanya kehadiaran pemilik atau penjaga yang akan mencegah atau bahkan mengkomplain mereka.

Dampak Graffiti Terhadap Ekologi Visual 
Ekologi visual berkaitan dengan hubungan antara wujud-wujud rupa menggunakan lingkungan sekitarnya, misalnya pemukiman, perkampungan, perumahan, persawahan, perkantoran dan tempat-loka lainnya. Produk-produk seni visual yang juga wujud dari rupa ikut bertanggung jawab terhadap keseimbangan lingkungan ini. 

Graffiti dan Poster Iklan
Memang selama ini cacat yg tertancap bertenaga merupakan graffiti. Bagi publik, graffiti merupakan perusak lingkungan, tidak memperindah tetapi malah mengotori. Hal yg sama tidak diarahkan pada produk-produk visual lainnya, misalnya pamflet, billboard yg saling menjulang hampir menutup langit Surabaya serta pula poster-poster iklan yang menempel tak beraturan pada dinding-dinding kota, entah itu hunian maupun perkantoran. 

Kecurigaan bomber merupakan ketidak-adilan sikap yang mereka terima menurut pemerintah kota diakibatkan lantaran graffiti nir berpotensi menguntungkan dalam hal pemasukan ke negara. Hal ini berbeda perlakuan bila ketidak nyamanan lingkungan secara visual diakibatkan oleh poster-poster iklan yang nota bene menguntungkan negara. Tidak adanya teguran maupun peringatan keras pada mereka menyebabkan para bomber justru memiliki pemikiran lain tentang estetika kota. Menurut mereka, keindahan kota harus dipisahkan dengan kebersihan. Tidak terdapat relevansi keduanya. Yang justru terjadi merupakan estetika seharusnya mendukung kebersihan. Untuk hal inilah bomber pertanda bahwa karya graffiti mereka mampu memperindah kota daripada tempelan-tempelan tidak beraturan poster serta pamflet iklan pada dinding-dinding kota.

Gambar  Poster iklan pada tempat tinggal  

Gambar Poster iklan di tembok pagar

Menurut Pingky Saptandari, seorang antropolog pada wawancara kami mengungkapkan, bahwa memandang graffiti tergantung berdasarkan cara apa memandangnya. Bila terlanjur selalu men-cap negatif, maka graffiti yang indah dan ber-keindahan tinggi pun akan selamanya tidak baik. Namun bila pikiran insan selalu ada sisi positifnya, maka graffiti bisa berpotensi sebagai pemandangan kota.

Menurutnya graffiti justru akan berpotensi memperindah kota jika graffiti tersebut sahih-benar mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak perlu dilarang sepanjang nir dilakukan pada tempat-tempat yg memang bukan dalam tempatnya. Dalam kedudukannya sebagai Sekjen Dewan Kota Surabaya yg peduli pada masalah lingkungan hayati kota Surabaya, beliau memilih beberapa loka yang nir dalam tempatnya digraffiti, antara lain adalah cagar budaya, seperti candi, loka-tempat bersejarah dan monumen perjuangan kemerdekaan. Dalam pandangannya jua, bentuk-bentuk iklan yang terlalu bebas tertempel pada dinding-dinding kota itulah yang justru lebih jelek pemandangannya daripada graffiti.

Dampak Graffiti Terhadap Sosio-Kultur Setempat
Graffiti yg sekarang telah tumbuh pada Surabaya bila dilihat secara sosio-kultur warga setempat kurang sanggup mewakili perwujudan grup sosial di Surabaya. Hal ini bisa dicermati dalam penggunaan gaya dan kata-kata yg masih berkiblat pada budaya graffiti di luar negeri. Banjirnya keterangan pada internet serta semakin berkembangnya graffiti dalam bentuk majalah menjadi surat keterangan satu-satunya graffiti artistik yg mereka ketahui. Referensi yang didapatnya tersebut dikonsumsi tanpa terdapat modifikasi yg disesuaikan dengan kultur setempat.

Gambar  Graffiti “Yuck” di Margorejo 

Gambar  Graffiti di Jl. Taman Apsari

Graffiti di atas merupakan contoh, bahwa gaya visual dan karakter yang didapatkan masih berkiblat dalam gaya graffiti pada luar negeri. Mengkonsumsi majalah dan model-contoh graffiti pada web site memang memancing pandangan baru buat berkarya, namun karya yg dihasilkan masih perlu karakteristik sendiri. Graffiti tadi juga tidak menaruh kontribusi apa-apa pada syarat sosial setempat. Graffiti memang nir harus yang bermuatan politis, namun relatif menampilkan karakteristik daerah tersebut menjadikan graffiti di Surabaya mempunyai kekhasan lokal.

Ketika ditanya mengenai perkara tadi, H serta D menurut Yuck Fou, B berdasarkan Public Enemy serta M menurut Humble sepakat bahwa buat ukuran Surabaya, graffiti pada Surabaya masih harus perlu berbenah. Mereka mengakui, bahwa yg dibuatnya masih perlu harus belajar lagi. Karakter lokal yang nir dimunculkan menurut M adalah karena belum terdapat model graffiti yang melokal. Dari pernyataan ini, bisa ditarik konklusi bahwa bomber Surabaya masih wajib belajar mencari ide dan belajar menuangkannya ke dalam karya graffiti yang melokal.

Menurut Freddy H. Istanto, dosen arsitektur UK Petra yg ditemui pada wawacara ini mengungkapkan, bahwa graffiti pada Indonesia pada memilih lokasi masih lebih baik daripada yg dilakukan bomber luar negeri. Semangat bomber di Indonesia adalah semangat memperbaiki wajah kota, sebaliknya di luar negeri, bomber menciptakannya buat Mengganggu. Tempat yg dipilih pun tidak seselektif pada sini. Untuk memilih lokasi yg tepat, memang graffiti harus dihindarkan dari lokasi yang selama ini diidentikkan dengan tempat yang menakutkan. Hal ini misalnya sangat tidak selaras menggunakan yang dilakukan menggunakan bomber pada Amerika Serikat.

Lokasi yang identik menggunakan kejahatan, premanisme serta yang berkaitan menggunakan hal-hal gaib atau horor dihindarkan menurut graffiti karena graffiti yang tercipta lebih poly justru semakin menambah kesan negatif itu. Lokasi yang dikenal sebagai lokasi yang dekat menggunakan premanisme, kemudian lokasi tersebut banyak ditemukan graffiti, maka kesan gelap dan hitam semakin menambah kesan negatif pada titik kota itu. Namun hal ini nir selamanya seperti itu, bila bomber mau mengubah imej negatif sebuah tempat, maka yang dilakukannya merupakan menciptakan graffiti yang segar serta jauh dari menakutkan. Tipografi serta warna diolah sedemikian rupa sehingga bisa menjauhkan diri dari kesan negatif.

Secara sosio-kultural rakyat setempat, graffiti sebenarnya turut membantu terciptanya kawasan yang jauh dari kesan negatif selama ini. Pingky Saptandari jua menegaskan bahwa graffiti yang tercipta harus didekatkan sedekat mungkin menggunakan citra sosial setempat. Mengubah imej yang selama ini melekat dalam kawasan ‘hitam’ mampu dibantu dengan pengolahan graffiti yg menjauhkan menurut kesan tadi. Begitu pula jika tempat tersebut dicitrakan menjadi daerah yg memiliki nilai kebanggaan setempat, maka graffiti mampu mendukungnya pada hal visual. Jika gambaran tadi mampu dipertahankan, maka ekologi visual sanggup tercapai lantaran graffiti mengerti betul dimana dia berada. 

Dampak yang didapatkan graffiti berdasarkan sudut sosio-kultural adalah bagaimana graffiti mampu menandai wilayah sesuai menggunakan kulturalnya. Jika graffiti masih selalu berkiblat luar negeri, maka secara sosio-kultur graffiti tersebut masih belum sanggup berkomunikasi menggunakan grup sosialnya. Citra graffiti lalu merupakan gambaran yg tertentu. Masih berbalut nama kelompok, geng, individu maupun orang lain namun divisualisasikan secara artistik. Dengan istilah lain graffiti masih belum berkecimpung menurut awal mulanya graffiti lahir pada Indonesia yg sarat dengan aroma geng. Namun perkembangannya kini adalah graffiti yg hanya mengejar nilai artistik tapi tidak menyampaikan-istilah menggunakan lingkungannya. Dengan demikian graffiti artistik tidak mempunyai andil apa-apa terhadap sosio-kultur setempat.

Seandainya graffiti sanggup berbicara secara kultur setempat, maka graffiti di Surabaya akan menjadi penanda budaya yang akan menandai kultur yang tidak sama antara graffiti Surabaya menggunakan graffiti di Jogjakarta, Jakarta dan Bandung juga menggunakan wilayah-daerah lain. Kondisi ini tentunya akan semakin menumbuhkan apresiasi rakyat awam terhadap graffiti semakin terbuka. Kehadirannya akan dimaknai akan memberi manfaat secara sosial daripada hanya sekedar menebar graffiti namun tidak ada yg tidak sama gaya antara graffiti yg satu menggunakan yang lain, antara graffiti yg dihasilkan pada wilayah tertentu dengan daerah lain.