SEJARAH KERAJAANKERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

Warga belajar serta anak didik--sekalian, dalam pembahasan materi Pelajaran sejarah kali ini kita akan membahas mengenai sejarah kerajaan-kerajaan Islam pada Indonesia. Ada beberapa kerajaan Islam yg bisa ditemukan menurut jejak sejarah yg dimulai menurut masuknya agama Islam di Nusantara ini.
1. Masuknya agama Islam pada Indonesia
Warga Belajar dan murid--sekalian, pernahkah kalian mendengar cerita tentang kapan agama Islam masuk ke kepulauan Nusantara dan apa sebabnya Islam berkembang pesat serta gampang diterima oleh penduduk Indonesia? Perlu Anda ketahui bahwa kepercayaan Islam masuk serta berkembang pada Indonesia menggunakan jalan damai dan tanpa kekerasan atau paksaaan.
Masuknya agama Islam pada Indonesia sangat erat kaitannya menggunakan aktivitas pelayaran serta perdagangan pada masa lampau. Kalian Ingat bahwa kegiatan pelayaran dan pedagangan di perairan nusantara sudah berlangsung semenjak awal tahun Masehi. Pada ketika itu banyak pedagang dari India serta Cina yg mengadakan interaksi dagang menggunakan pedagang-pedagang Indonesia. Kegiatan pelayaran serta perdagangan ini semakin hari semakin berkembang ramai. Selanjutnya dalam kurang lebih abad ke-7 dan 8 pedagang-pedagang Islam menurut Timur Tengah poly yang datang berlayar ke selat Malaka sampai ke perairan Nusantara kita. Pada masa itu di Indonesia sudah berdiri kerajaan populer bernama Sriwijaya. Lantaran Sriwijaya waktu itu adalah bandar terbesar, tempat singgah dan bongkar muat barang-barang dagangan yang dibawa para pedagang menurut kepulauan Nusantara juga dari luar, maka kemungkinan akbar termasuk para pedagang berdasarkan Timur Tengah yang singgah jua di Sriwijaya. Oleh sebab itu para pedagang Islam yang telah mengenal Sriwijaya menjelaskan Sriwijaya dengan kata Zabag atau Zabay.
Berkembangnya hubungan perdagangan antara pedagang-pedagang Islam menggunakan pedagang-pedagang Indonesia membawa pengaruh masuknya kepercayaan Islam ke Indonesia.
Pada umumnya para pedagang Islam sambil berdagang mereka memperkenalkan atau mengajarkan jua kepercayaan Islam pada pedagang maupun penduduk setempat. Melalui hubungan dagang inilah penduduk Indonesia mengenal ajaran agama Islam buat selanjutnya secara sadar mereka memeluk kepercayaan Islam.
Sekitar abad ke - 11 Islam sudah sampai pula di pulau Jawa. Keterangan ini diperoleh menurut bukti ditemukan sebuah batu nisan (makam) yg bertuliskan alfabet Arab. Batu nisan yang berangka tahun 1082 ditemukan pada Lereng (dekat Gresik). Tulisan pada batu nisan ini memuat berita tentang wafatnya seseorang wanita bernama Fatimah binti Maimun.
Keterangan lain tentang berkembangnya kepercayaan Islam pada Indonesia bersumber menurut catatan bepergian seseorang yang bernama Marco Polo (1992). Dia merupakan seseorang musafir dari Venesia, Italia. Dalam bepergian menuju Tiongkok (Cina yg ditempuh melalui bahari, Marco Polo singgah pada Aceh Utara. Dari persinggahannya itu beliau menceritakan bahwa di Perlak poly penduduk yang beragama Islam dan poly pula pedagang dari Gujarat (India) yang ulet menyiarkan kepercayaan Islam.
Berdasarkan kabar tersebut pada atas, kentara bahwa selain pedagang-pedagang menurut Gujarat (India) yang aktif menyiarkan agama Islam pada kepulauan Nusantara. Perlu diketahui bahwa pedagang-pedagang Gujarat sejak abad ke-10 sudah menganut Islam.
Agama-kepercayaan Islam mula-mula berkembang di kota-kota dagang atau disekitar bandar loka persinggahan dalam pedagang Islam. Daerah yg mula-mula sebagai daerah Islam adalah Perlak dan Samudra Pasai. Kemudian meluas ke pulau Jawa seperti Gresik. Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Seharusnya ke pulau lainnya (Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya).
2. Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
Berkembangnya kepercayaan Islam secara cepat serta meluas pada Indonesia terutama di wilayah pesisir lantaran adanya hubungan dagang antara pedagang Islam menggunakan pedagang Indonesia. Para pedagang Islam dari Gujarat dalam menyiarkan kepercayaan Islam dengan cara bijaksana dan tanpa paksaan atau kekerasan. Sehingga poly pedagang juga penduduk Indonesia dalam masal lampau yang tertarik pada Islam. Selain itu ajaran Islam tidak mengenal kasta.
Makin kuatnya efek Islam di kalangan penduduk mendorong tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di kepulauan Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam terkenal pada Indonesia dalam masa lampau bisa dijelaskan pada bawah ini.
a. Kerajaan Islam Samudra Pasai
Pada abad ke-13 berdirilah kerajaan Islam pertama di Indonesia yaitu Samudra Pasai. Pendiri kerajaan ini sekaligus sebagai raja pertama bernama Sultan Malik al Saleh. Letak kerajaan berada di wilayah Aceh Utara di Kabupaten Lokseumawe.
Kemudian dalam tahun 1297 Sultan Malik al Saleh wafat buat melanjutkan pemerintahan ia digantikan oleh putranya bernama Sultan Mahmud. Pada tahun 1326 Sultan Mahmud juga wafat. Selanjutnya pemerintahan kerajaan Islam Samudra pasai dipimpin oleh Sultan Ahmad yg bergelar Sultan Malik Al Tahir. Pada masa pemerintahan Sultan Ahmad, kerajaan Samudra Pasai menerima kunjungan Ibnu Batuta, utusan Sultan Delhi. Ibnu Batuta menceritakan bahwa Samudra Pasai adalah bandar primer pelabuhan yg sangat krusial. Karena di pelabuhan ini sebagai tempat bongkar muat barang-barang dagangan yg dibawa sang para pedagang dari dalam dan luar negeri (India serta Cina).  
b. Kerajaan Islam Demak
Pada Abad ke-15 di Pulau Jawa berdiri kerajaan Islam Demak. Demak merupakan kerajaan Islam pertama pada Pulau Jawa. Pendiri kerajaan ini bernama Raden Patah. Ia sebenarnya merupakan keliru seorang bupati pada kerajaan Majapahit yang berkedudukan di Demak serta telah menganut Islam. Kekuasaan Majapahit ketika itu sudah lemah. Keadaan ini mendorong Raden Patah buat mendirikan kerajaan Islam Demak. Dengan berdirinya kerajaan Islam Demak berarti Raden Patah telah melepaskan diri berdasarkan pengaruh kekuasaan Majapahit. Berdirinya kesultanan Demak mendapat dukungan jua menurut daerah-wilayah lain di Jawa Timur yang telah Islam misalnya Jepara. Tuban dan Gresik.

 Dalam waktu singkat Demak telah berkembang menjadi sebuah kerajaan akbar. Di samping itu Demak menjadi pusat penyiaran agama Islam. Apalagi sehabis malaka Jatuh (dikuasai) sang Portugis (1511), maka kedudukan dan peranan Demak semakin penting.
Kedatangan penjajah Portugis di Malaka mengundang ketidaksenangan Sultan Demak. Lantaran hal itu adalah ancaman pula terhadap kerajaan Demak. Pada tahun 1513 kerajaan Demak mengirim armada tentaranya dipimpin sang Pati Unus buat mengusir Portugis pada Malaka mengalami kegagalan. Hal ini ditimbulkan Potugis memiliki armada lebih kuta serta lengkap.
Meskipun bisnis buat merebut Malaka menurut Potugis yang dilakukan Pati Unus mengalami kegagalan, namun insiden ini patut dibanggakan karena mereka gagah berani menghadapi bangsa penjajah.
Karena keberaniannya sebagai panglima yg memimpin penyerangan ke Malaka Maka Pati Unus diberi gelar Pangeran Sabrang Lor adalah Pengeran yang menyeberangi laut ke Utara.
Kemudian dalam tahun 1518 Raden Patah Wafat. Ia digantikan oleh putranya yaitu Pati Unus. Pemerintahannya hanya berlangsug selama 3 tahun lantaran sehabis itu dia wafat. Selanjutnya kerajaan Islam Demak dipimpin sang Sultan Renggono, Adim Pati Unus.
Sultan Trenggono dikenal sebagai raja yang tegas dan arif bijaksana. Karena itu dalam masa pemerintahannya Demak mencapai puncak kejayaan. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa Barat dan Jawa Timur.
Di bawah pemerintahan Sultan Trenggono, Demak permanen antipati terhadap penjajah Potugis. Apalagi Portugis terus meluaskan jajahannya sampai ke Jawa Barat. Pada tahun 1522 Portugis datang ke Sunda Kelapa, pelabuhan primer kerajaan Pajajaran. Portugis menjalin kerjasama menggunakan raja Pajajaran menggunakan menciptakan konvensi buat menghadapi pasukan Islam Demak. Portugis merencanakan mendirikan benteng pada Sunda Kelapa.
Pada tahun 1527 kerajaan Islam Demak mengirimkan tentaranya dipimpin sang Fatahilah untuk mengusir serta menghancurkan Potugis yang menduduki Sunda kelapa. Fatahillah beserta tentaranya berhasil mengusir orang-orang Portugis dan menguasai Sunda Kelapa. Kemudian oleh Fatahillah nama Sunda Kelapa diganti sebagai Jayakarta artinya kemenangan. Sekarang Jayakarta menjadi Jakarta.
Sementara itu Demak berhasil menguasai Jawa Timur. Ekspedisi ke Jawa Timur ini dipimpin langsung sang Sultan Trenggono. Namun dalam serangannya ke Pasuruan Tahun 1546, Sultan Trenggono gugur.
Setelah wafatnya Sultan Trenggono Timbullah pertentangan pada kalangan famili sendiri. Petentangan bersumber pada siapa yg berhak mewarisi kerajaan. Berakhirnya kerajaan Islam Demak sesudah Pangeran Adiwijoyo atau Joko Tingkir berhasil mengalahkan Arya Penangsang senang bertindak sewenang-wenang, sebagai akibatnya banyak adipati yang menentang tindakannya tadi. Joko Tingkir lalu memindahkan keraton Demak ke Pajang (tahun 1568. Dengan demikian tamatlah riwayat Kerajaan Demak.
c. Kerajaan Islam Pajang
Pada tahun 1568 berdiri kerajaan Islam Pajang. Pendiri kerajaan ini merupakan Sultan Adiwijoyo atau Joko Tingkir. Ia berhasil mengalahkan Arya penangsang raja Demak. Ia lalu menindahkan sentra kerajaan menurut Demak ke Pajang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdirinya kerajaan Islam Pajang erat kaitannya menggunakan kerajaan Demak.
Sultan Adiwijoyo atau Joko Tingkir merupakan seorang yang senang menghargai pendukung atau pengikut yang turut bertempur bersamanya sewaktu menghadapi Arya Penangsang. Mereka yg sudah berjasa oleh Sultan Adiwijoyo diberi bantuan gratis penghargaan. Kedua orang yang dinilai sangat berjasa yaitu Kiai Ageng Pemanahan dihadiahi tanah di Mataram (sekitar Kotagede, dekat Yogyakarta). Sedangkan Kiai Panjawi dihadiahi tanah pada Daerah Pati. Mereka sekaligus diangkat menjadi bupati pada wilayahnya masing-masing.
Bupati Surabaya diangkat sebagai wakil raja yg memiliki daerah kekuasaan meliputi Sedayu, Gresik, Surabaya dan Panarukan.
Kiai Ageng Pemanahan yang sebagai Bupati Mataram memiliki seseorang putra bernama Sutowijoyo. Ia mempunyai talenta di bidang kemiliteran. Sutowijoyo lebih dikenal menjadi Senapti Ing Alaga (Panglima Perang). Karena itu sesudah Kiai Ageng Pemanahan wafat dalam tahun 1575, pemerintahan dilanjutkan sang Sutowijoyo, putranya.
Dalam perkembangnya di Pajang terjadi pergolakan hebat. Setelah Sultan Adiwijoyo wafat pada tahun 1582, maka Arya Pangiri putra Sunan Prawoto (dari Demak) mencoba merebut kekuasaan berdasarkan Pangeran Benowo yang waktu itu menjadi penguasa Pajang menggantikan ayahnya, Sultan Adiwijoyo. Pangeran Benowo meminta donasi Sutowijoyo dalam menghadapi Arya Pangiri. Perebutan kekuasaan yang dilakukan Arya Pangiri nir berhasil. Kemudian Pangeran Benowo menyerahkan kekuasaan Pajang pada saudara angkatnya yang bernama Sutowojoyo lantaran nir mampu lagi melanjutkan pemerintahan. Kemudian oleh Sutowijoyo sentra pemerintahan dipindahkan ke Mataram. Dengan demikian tamatlah kerajaan Pajang.
d. Kerajaan Islam Mataram
Pada tahun 1586 berdiri kerajaan Islam Mataram. Pendiri kerajaan ini bernama Sutowijoyo yg bergelar Panembahan Senopalti Ing Alaga Sayidin Pantagama. Letak kerajaan ini berada pada Kotagede, Sebelah tenggara kota Yogyakarta. Ketika memerintah dikerajaan Mataram, poly bupati yang ingin melepaskan diri berdasarkan kekuasaannya. Diantara para bupati yang ingin melepaskan diri berdasarkan kekuasaannya adalah bupati Ponogorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan, Surabaya, Cirebon serta Galuh. Tetapi upaya mereka buat melepaskan diri nir behasil karena Sutowijoyo dikenal memiliki keahlian di bidang kemiliteran berhasil mengatasi seluruh pemberontakan tersebut.
Kemudian pada tahun 1601 Sutowijoyo wafat. Ia dimakamkan di kOtagede. Meskipun demikian dia dinilai sudah berhasil meletakan dasar-dasar yg kokoh bagi kerajaan Mataram. Selanjutnya sehabis Sutowijoyo wafat, kerajaan Mataram diperintah oleh Mas Jolang atau Penembahan Seda ing Krapyak.
Pada awal pemerintahan terjadi lagi pemberontakan-pemberontakan yg masing-masing dilakukan oleh Demak dan Ponorogo. Namun Mas Jolang berhasil memadamkan pemberontakan tadi. Pemberontakan terhadapnya sepertinya belum berakhir. Pda tahun 1612 Surabaya melakukan perlawanan. Mas Jolang kemudian mengirimkan tentaranya berusaha menumpas pemberontakan. Sementara upaya memadamkan pemberontakan terus berlangsung dan belum berhasil dipadamkan, Mas Jolang wafat. Ia dimakamkan pada Kotagede.
Pengganti Mas Jolang bernama Adipati Martapura. Tetapi penggantinya ini tidak sanggup menjalankan tugas pemerintahan lantaran keadaan fisik yg lemah dan sakit-sakitan. Selanjutnya buat meneruskan pemerintahan Adipati Martapura diganti oleh Mas Rangsang. Ia ternyata orang bertenaga yang bisa memimpin pemerintahan. Pada masa pemerintahannya kerajaan Islam Mataram mencapai kemajuan yang pesat di bidang petanian, kepercayaan dan kebudayaan, Mataram waktu itu adalah kerajaan terhormat dan disegani tidak hanya di pulau Jawa, tetapi pula di pulau-pulau lainnya.
Karya sastra berupa buku berjudul Sastra Gending merupakan output karya yang ditulis sang Mas Rangsang sendiri. Wayang menjadi kesenian yang digemari warga berkembang pesat juga.pada masa pemerintahan Mas Rangsang (tahun 1633) ditetapkan perhitungan tahun Islam didasarkan bulan. Oleh karena itu Mas Rangsang menjadi raja yang lebih populer dengan sebutan Sultan Agung.
e. Kerajaan Islam Cirebon
Pada tahun 1522 berdiri kerajaan Islam Cirebon. Pendiri kerajaan yg sekaligus menjadi rajanya bernama Fatahillah. Ia sangat berjasa dalam mengislamkan Jawa Barat. Di bawah pemerintahannya kerajaan Islam Cirebon mencapai kejayaan. Daerah kekuasaanya bertambah luas. Kerajaan Islam Cirebon menjalin hubungan yang baik menggunakan kerajaan Islam Mataram. Pada thaun 1570 Fatahillah wafat. Selanjutnya beliau digantikan sang putranya bernama pangeran Pasarean. Dalam perkembangannya kemudian pada tahun 1679 kerajaan Islam Cirebon dibagi sebagai 2 kerajaan yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Pada masa tadi kedudukan VOC pada Batavia semakin bertenaga. Mereka bermaksud meluaskan kekuasaannya ke Cirebon. Maka Belanda dan VOC-nya mengatur siasat menggunakan menerapkan politik adu domba atau Devide et Impera. Hal ini bertujuan buat memperlemah kerajaan Islam Cirebon. Kerajaan Islam Cirebon yang sudah dipecah sebagai 2, sang Belanda VOC dipecah lagi menjadi tiga masing-masing Kasepuhan, Kanoman serta Kacirebonan.
Dengan terpecahnya kerajaan Islam Cirebon sebagai 3 mengakibatkan kerajaan Islam Cirebon semakin lemah kedudukannya. Keadaan ini terus dimanfaatkan oleh Belanda serta VOC buat mengadu domba. Akhirnya padda abad ke-17 Cirebon berhasil dikuasai VOC.
f. Kerajaan Islam Banten
Pada tahun 1552 berdiri kerajaan Islam Banten. Pendiri kerajaan ini bernama Hasanuddin. Ia naik tahta sebagai raja pada Banten setelah memperoleh mandat menurut ayahnya Fatahillah. Seperti sudah kita ketahui bahwa Fatahillah dalam mulanya menguasai wilayah Sunda Kelapa, Cirebon serta Banten.
Hasanuddin seperti jua ayahnya, ulet menyiarkan agama Islam. Pada ketika itu kerajaan Pakuan Pajajran masih menganut kepercayaan Hindu. Kerajaan Islam Banten di bawah pemerintahan Hasanuddin makin hari makin kuat kedudukannya. Sementara itu kerajaan Pakuan makin terjepit dan lemah. Meskipun demikian ia nir memanfaatkan buat menyerang kerajaan Pakuan Pajajaran. Tetapi Hasanuddin meluaskan pengaruhnya ke Lampung. Bahkan lalu dia menikah dengan putri Sultan Indrapura. Oleh mertuanya Hasanuddin dihadiahi tanah di wilayah Selebar.
Setelah Hasanuddin wafat digantikan sang putranya bernama Pangeran Yusuf. Ia meluaskan wilayah kekuasaannya serta menaklukan Pakuan Pajaran (tahun 1579). Kemudian dalam thaun 1580 Pangeran Yusuf wafat.
Setelah wafatnya Pangeran Yusuf, Kerajaan Islam Banten dipimpin sang Maulana Muhammad. Pada tahun 1596 Maulana Muhammad berusaha meluaskan daerah kekuasaannya dengan mencoba menaklukan Palembang yang saat itu sebagai saingan Banten pada bidang perdagangan. Pada ketika itu Palembang diperintah sang Ki Gede Ing Suro yang asal dari Surabaya. Palembang nyaris jatuh ketangan Maulana MUahammad dan pasukannya. Tetapi lantaran Maulana Muhammad gugur di tengah pertempuran, maka agresi dihentikan dan tetara Banten ditarik mundur kembali ke Banten.
Setelah Maulan Muhammad wafat ada persoalan pada kalangan kerajaan karena yg seharusnya menggantikannya adalah putranya, Abdul Mufakkir. Tetapi dalam saat itu Abdul Mufakkir baru berumur lima bulan. Maka pemerintahan sementara dipegang sang seseorang mangkubumi. DAlam perkembangannya lalu timbul orang bertenaga bernama Pangeran Ranamenggala yg mengendalikan Banten mendampingi Abdul Mufakkir yg belum dewasa. Renamenggala wafat tahun 1624.
Kejayaan kerajaan Banten berlangsung kurang lebih tahun 1600. Pada saat itu banten adalah bandar pelabuhan terbesar. Banyak pedagang menurut dalam serta luar pulau Jawa singgah buat membeli maupun menjual lada, cengkeh, dan pala.
Kemunduran kerajaan Islam Banten terjadi semenjak masa pemerintahan Sultan Abdul Mufakkir pada mana Belanda terus melakukan blokade-blokade yang mengakibatkan sempitnya ruang mobilitas kerajaan Islam Banten. Walaupun demikian semangar rakyat Banten yg anti penjajah Belanda tetap menyala.
g. Kerajaan Islam Ternate serta Tidore
Pada abad ke-13 pada Maluku telah berdiri beberapa kerajaan misalnya ternate, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut, ternyata kerajaan ternate dan Tidore yang berkembang lebih maju. Hal ini ditimbulkan output buminya yg berupa rempah-rempah terutama cengkeh. Banyak pedagang dari kepulauan Nusantara serta Timur tengah yang pergi berlayar ke Ternate. Para saudagar membawa barang-barang dagangan berupa pakaian, beras serta sebagainya buat dipertukarkan dengan rampah-rempah.
Pada abad ke-14 agama Islam berkembang pesat di Ternate. Dalam perkembangannya kemudian Ternate berubah menjadi kerajaan Islam. Kerajaan ini dipimpin oleh Sultan Harun. Pada masa pemerintahannya orang-orang Portugis poly yg tiba berdagang pada Maluku. Tetapi mereka tak jarang berbuat onar misalnya melakukan monopoli dagang secara paksa, bertindak sewenang-wenang, mencampuri urusan pemerintahan dalam negeri. Akibatnya tak jarang terjadi pertempuran antara penduduk Maluku menggunakan orang-orang Portugis. Akhornya pada tahun 1570 Portugis dengan Sultan Ternate putusan bulat buat melakukan perjanjian hening melalui perundingan . Tetapi Portugis menipu Sultan Harun sewaktu berada pada perundingan , dia pun dibunuh sang orang Portugis atas suruhan gubernur mereka.
Setelah Sultan Harun wafat, beliau digantikan sang putranya bernama Sultan Baabullah. Peristiwa pengkhiantan keji Portugis terhadap Sultan Harun mengakibatkan kemarahan warga Maluku. Terlebih lagi Sultan Baabullah menjadi putranya. Ia bersumpah akan membalas dendam kematian ayahnya dengan mengenyahkan orang-orang Portugis dari bumi Maluku. Denan semangat yg membara Baabullah memimpin pasukannya bertempur melawan terntara Portugis. Perang berkobar selama 4 tahun lamanya (1570-1574. Akhirnya benteng Portugis pada Ternate berhasil dikuasai Baabullah dan pasukannya. Orang-orang Portugis yang masih hidup menyerah. Kemudian mereka diperintahkan dengan segera angkat kaki berdasarkan Maluku khususnya Ternate. Sehak itu daerah Maluku Utara higienis, nir diganggu lagi oleh orang-orang Portugis. Pada masa pemerintahannya kerajaan Islam Ternate mencapai zaman kejayaannya.
Sementara itu di kerajaan Tidore kepercayaan Islam pun bekembang pesat. Seperti halnya Ternate, kerajaan Tidore berubah sebagai kerajaan Islam Tidore yg dipimpin oleh sultan Tidore. Kedua kerajaan ini dalam mulanya hayati berdampingan secara hening, saling menghormati kedaulatan masing-masing. Tetapi oleh bangsa Portugis serta Spanyol ke 2 kerajaan ini diadu domba. Sehingga nyaris terjadi petentangan yg menjurus perang. Untung saja kedua pimpinan kerajaan menyadari hal ini. Mereka nir mau diadu domba dengan bangsa sendiri. Kemudian kerajaan ini bersatu, bahu-membahu dalam menghadapi Portugis.
h. Kerajaan Islam Makassar
Pada abad ke-16 pada Sulawesi Selatan telah berdiri beberapa kerajaan seperti Gowa, Bone, Wajo, Luwu, dan Soppeng. Dalam perkembangannya kerajaan Gowa serta Tallo mengalami kemajuan yang lebih pesat dibandingkan yg lainnya. Hal ini disebabkan letak kerajaan ini  sangat strategis dan menguntungkan yakni terletak pada tengah-tengah kemudian-lintas pelayaran antara Malaka serta Maluku. Kedua kerajaan yaitu Gowa dan Tallo, yang rajanya sudah menganut agama Islam bersepakat menyatukan kerajaan mereka menjadi kerajaan Islam Makassar. Rajanya bernama Sultan Alauddin. Ia semua bernama Daeng Manrabia, raja Gowa. Sedangkan Mangkubumi bernama Sultan Abdullah. Ia semua bernama karaeng Matoaya, raja Tallo.
Disamping memimpin pemerintahan, raja serta mangkubumi kerajaan Islam Makassar tersebut sangat ulet juga dalam menyiarkan agama Islam. Oleh karena usahanya itu, Maka Makassar menjadi sebuah kerajaan Islam yg sangat bertenaga. Daerah kekuasaanya tidak hanya meliputi sebagian akbar Sulawesi dan Pulau-pulau sekitarnya, melainkan pula hingga pada bagian timur Nusa Tenggara.
Kerajaan Islam Makassar mencapai puncak kejayaannya waktu diperintah Sultan hasanuddin berkuasa (tahun 1654-1669). Ia merupakan galat seseorang cucu Sultan Alauddin, pendiri kerajaan Islam Makassar. Sultan Hasanuddin terkenal sangat gigih pada menentang penjajah Belanda. Ketika Belanda dengan VOC-nya meminta kepada Sultan Hasanuddin supaya melarang rakyatnya berdagang di Maluku, karena hal itu dipercaya pelanggaran monopoli. Maka Sultan hasanuddin menggunakan tagas menjawab: "Tuhan menciptakan global ini untuk kebahagiaan sekalian umat manusia. Ataukah tuan menyangka bahwa Allah mengecualikan pulau-pulau Maluku yang jauh menurut tempat bangsa tuan ini semata-mata buat perdagangan tuan".
Penjajahan belanda terus berupaya buat menaklukan Sultan Hasanuddin. Pada ketika itu sedang terjadi perselsihan antara Sultan Hasanuddin menggunakan Aru Palaka, raja Bone dan Soppeng. Keadaan ini dimanfaatkan Belanda dengna menerapkan politik adu domba. Belanda pada hal ini memihak Aru Palaka serta secara beserta memerangi Sultan Hasanuddin. Kemudian berkobar pertempuran hebat (tahun 1666-1669) antar Belanda (VOC) bersama Aru Palaka pada satu pihak menggunakan Sultan Hasanuddin, serta Malaka Sultan Hasanuddin terdesak serta Makasar hampir jatuh ke tangan Belanda. Akhirnya Sultan Hasanuddin bersedia membuat perjanjian tenang yang dikenal dengna perjanjian Bongaya (1667).
Walaupun perjanjian telah disepakati, tetapi Belanda yang licik selalu melanggar perjanjian menggunakan bertindak sewenang-wenang. Hal ini membangkitkan balik kemarahan Sultan Hasanuddin. Kemudian beliau mengangkat senjata balik memerangi Belanda.
Dalam peperangan ini Sultan Hasanuddin menerima tekanan hebat menurut pasukan Belanda, maka akhirnya dalam tahun 1669 Sultan Hasanuddin terpaksa menyerah dan Makassar pun dikuasai penjajah Belanda. Meskipun demikian pada diri orang-orang Makassar tetap tumbuh semangat anti penjajahan. Karenanya poly diantara merek yg pulang merantau ke Madura, Banten serta sebagainya membantu daerah-wilayah yang masih berperang melawan Belanda.
Kata-kata Penting :
Musafir:
Orang-orang yang sedang berpergian karena suatu tugas, berdagang, menyiarkan agama Islam dan lain-lain.
Keraton:
Tempat tinggal raja/ famili raja.
Sumber :
- Buku Modul sejarah Kesetaraan Paket B kelas VII tahun 2011  
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980, Sejarah Umum I Untuk Sekolah Menengah pertama, Jakarta
- Soeroto, 1968, Sejarah Indonesia dan Dunia Jilid 1 buat Sekolah Menengah pertama, Gajah Mada, Jakarta.
- Wikipedia.id
- Sumber gambar Google.

KERAJAANKERAJAAN BERCORAK HINDU DAN BUDHA DI INDONESIA

Warga belajar dan siswa--sekalian, Di Indonesia dapat kita temukan banyak sekali peninggalan dari kerajaan-kerajaan jaman dahulu. Kerajaan-kerajaan ini memiliki dampak bertenaga serta akbar pada hal ajaran yang mereka miliki. Kerajaan bercorak Hindu dan Budha sangat kuat pada masa itu, yg berkembang hingga keseluruh pelosok nusantara. Kerajaan-kerajaan bercorak hindu serta budha yang terdapat di Indonesia antara lain ;

1. Kerajaan Kutai

Informasi paling meyakinkan mengenai kerajaan Kutai ini bersumber dalam prasasti yang ditemukan di daerah Muara Kaman. Prasasti ini berbentuk Yupa. Yupa merupakan tugu peringatan kurban yg ditulis dengan alfabet Pallawa, berbahasa Sansekerta serta tersusun pada bentuk syair. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan Hindu yg tertua di Indonesia. Kerajaan ini terletak di tepi sungai Mahakam propinsi Kalimantan Timur.

Apabila diperhatikan menurut bentuk goresan pena maupun bahasanya diperkirakan prasasti itu ditulis pada tahun 400 Masehi. Parasasti yang berbentuk Yupa didirikan oleh raja Mulawarman sebagai peringatan baginda telah menaruh kurban serta hibah yang akbar. Pembuatan tugu peringatan seperti Yupa atau prasasti sudah dikenal serta lazim dilakukan oleh bangsa Indonesia pada zaman Prasejarah. Pada ketika itu telah biasa memperingati jasa seseorang pemimpin dengan mendirikan menhir.

Dari prasasti tadi yang berbentuk Yupa tau Menhir, maka bisa diketahui bahwa kepercayaan serta budaya Hindu telah masuk ke Indonesia kira-kira dalam abad ke-lima Masehi. Meskipun kepercayaan serta budaya Hindu itu telah berkembang pada Indonesia tetapi kebudayaan Indonesia permanen terpelihara.



2. Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Indonesia Hindu yang ke 2 merupakan Kerajaan Tarumanegara kerajaan ini berdiri sekitar tahun 450 tahun M. Kerajaan itu diperintah oleh Raja Purnawarman. Batu prasasti dijumpai pada daerah Bogor, di Jakarta dan di wilayah Bekasi.

Ada tujuh prasasti yg menaruh liputan Kerajaan Tarumanegara yang terletak pada Bogor propinsi Jawa Barat. Lima buah prasasti terdapat di Bogor, yaitu prasasti Jambu, Muara Cianten, Caruteun, Kebun Kopi dan Pasir Awi. Sebuah prasasti dijumpai prasasti Tugu di wilayah Cilingcing Jakarta Utara, serta prasasti Muncul di Lebak Banten Selatan.

Prasasti yang memberikan warta tentang kerajaan Tarumanegara berhuf Pallawa serta berbahasa Sansekerta serta tersusun dalam bentuk syair. Prasasti tersebut menunjukkan bahwa Kerajaan tarumanegara diperintah sang seorang raja yg bijaksana, yaitu Raja Purnawarman. Dalam melaksanakan pemerintahannya, dia sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya. Oleh karena itu rakyatnya hidup teratur dan tentram.

Prasasti Tugu yang dijumpai pada Jakarta Utara mengungkapkan bahwa Raja Purnawarman memerintahkan penggalian saluran air yang digunakan buat pengairan rakyatnya. Panjang sungai itu adalah 12 km. Setelah pembuatan sungai terselesaikan kemudian diadakan upacara selamatan. Raja menghadiahkan 1.000 ekor lembu pada para Brahmana.

Raja Purnawarman sebagai pemeluk agama Hindu bersumber dalam Prasasti Ciaruteun. Pada prasasti tersebut terdapat gambar telapak kaki Raja Purnawarman yang dikaitkan sebagai telapak Dewa Wisnu.

Selain kabar menurut prasasti yang masih ada pada Indonesia, pula masih ada informasi yag asal berdasarkan musafir bangsa Cina bernama Fa-Hien. Pada tahun 414 Fa-Hien pernah singgah pada Jawa. Dikatakan kerajaan To-lo-mo (Tarumanegara) kekuasaannya sangat besar .

Berakhirnya kekuasaan Tarumanegara tidak diketahui menggunakan kentara. Kemungkinan akbar ditaklukan sang Kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Batu Tulis pada Desa Ciampea, Bogor, adalah prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara menggunakan Raja Purnawarman. Prasasti ini tertulis menggunakan alfabet Pallawa menurut masa lebih kurang tahun 400 Masehi.

3. Kerajaan Mataram

Berdasarkan prasasti Batu Canggal tahun 732 bisa diketahui bahwa di Jawa Tengah masih ada Kerajaan Hindu Syiwa yg berpusat di daerah subur sungai Progo, yang diperintah sang raja Sanjaya. Raja Sanjaya memerintahkan buat menciptakan Yoni (yaitu Canggal) menjadi kebaktian kepada dewa Syiwa serta sekaligus lambang kesuburan.

Raja Sanjaya kemudian poly membentuk candi-candi Hindu pada dataran tinggi pegunungan Dieng. Di sekeliling candi didirikan pula rumah para pendeta Brahmana. Penginapan bagi para musyafir serta bungalow bagi raja dan bangsawan istana.


Raja Sanjaya adalah orang bijaksana, sehingga sangat dihormati serta dikenal oleh rakyat, selain itu Raja sanjaya juga seseorang pakar kitab . Baginda raja mempunyai kekuasaan di daerah sekitarnya. Dalam prasasti Kedu, Raja sanjaya diberikan gelar Raka-i Mataram Sang ratu Sanjaya.

Sanjaya memerintahkan dengan penuh kebijaksanaan, sebagai akibatnya dapat membentuk ketentraman serta kemakmuran yg dapat dinikmati sang warga . Demikianlah yang dikemukakan oleh prasasti Canggal yg berangka tahun 778 M. Berdasarkan prasasti Canggal kedudukan Raja Sanjaya digantikan oleh Panangkaran. Raja Panangkaran juga dinamakan Syailendra, Sri Maharaja Dyah Pancapana. Rakai Panagkaran, dia lebih dikenal menggunakan keluarga Syailendra. Perbedaan ke 2 raja tersebut pada hal kepercayaan di mana Raja Sanjaya beragama Hindu, sedangkan Panangkaran atau Syailendra beragama Budha.

Setelah Syailendra Sri Maharaja Dyah Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran berakhir keluarga Syaleindra terpecah sebagai 2. Perpecahan keluarga ini menggunakan sendirinya mengakibatkan kerajaan Mataram, terpecah 2 (grup Syailendra) yaitu keturunan agama Hindu serta keturunan agama Budha. Keturunan kepercayaan Hindu dipusatkan diJawa Tengah bagian utara yang lalu mendirikan Candi Bima. Arjuna serta Puntadewa. Sedangkan keturunan Budha dipusatkan di Jawa Tengah bagian selatan yang kemudian mendirikan Candi Sewu, Candi Sari, Candi Pawon, Candi Mendut serta Candi Borobudur. Candi Borobudur ini didirikan oleh raja Samaratungga dalam tahun 824 Masehi.

Pada thun 832 M perpecahan pada famili Syailendra berakhir. Lantaran raja Pikatan yg beragama Hindu menikah menggunakan Pramodhawadhani putri Samaratungga yg beragama Budha. Setelah Rakai Pikatan, raja yang populer merupakan Balitung. Bahkan dikatakan Raja Balitung merupakan raja terbesar Mataram Kuno. Ia memerintah dalam 898 - 910 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Djarmadya Mahasambu. Kerajaan Mataram Kuno diakhiri sang Empu Sindok. Pada tahun 929 Empu Sindok memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur.

4. Kerajaan Sriwijaya

Sejak terjadinya hubungan dagang antara Cina menggunakan India aktivitas perdagangan dan pelayaran di Selat Malaka sebagai ramai. Keramaian itu meluas di Pantai Timur Sumatera yang berdekatan dengan Selat Malaka. Timbulah loka-tempat perdagangan dan kerajaan. Pada abad ke-7 kerajaan yg berkurang ialah Tulang Bawang, Melayu dan Sriwijaya. Di antara kerajaan itu, Sriwijayalah yg berhasil mencapai zenit keemasanya.



Kerajaan sriwijaya menitikberatkan keagungan serta kekuatan armadanya di lautan. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan maritim. Sriwijaya adalah pusat perniagaan serta pusat kebudayaan kepercayaan Budha pada Asia Tenggara. Kerajaan ini jua mengadakan interaksi dengan luar negeri yaitu Cina dan India.

Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya sebagai penguasa utama dipelabuhan-pelabuhan di pesisir timur Sumatera, Singapura dan pantai barat Malaysia sekarang ini. Ini adalah bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya telah mengalami kejayaan dalam masanya. Kerajaan Sriwijaya mencapai puncaknya pada bawah Raja Balaputra pada tahun 850 M. Kerajaan Sriwijaya dapat dicermati sebagai penjelmaan negara kesatuan yg pertama, yaitu memenuhi syarat menjadi negara modern. Unsur ketahanan, rapikan pemerintahan atas dasar musyawarah, keadilan sosial, kedaulatan dan sebagainya sudah terdapat dalam saat itu.

Informasi Kerajaan Sriwijaya bisa diperoleh dari Prasasti Ligor, Kedukan Bukit, Karang Brahi, dan Muara Takus. Letak prasasti tersebut dapat dilihat dalam peta no. 4 

5. Kerajaan Singasari

Informasi kerajaan Singasari bersumber menurut kitab Pararaton. Kitab Pararaton mengemukakan, bahwa kerajaan Singasari didirikan sang Ken Arok.



Ken Arok asal menurut famili petani. Berkat jasa pendeta Lohgawe, Ken Arok diterima mengabdikan diri dalam Akuwu (Bupati) Tunggul Ametung pada Tumapel. Setelah mengabdikan diri beberapa ketika lamanya, Ken Arok merogoh alih kekuasaan tunggul ametung menggunakan jalan membunuh Tunggul Ametung. Bukan saja membunuh tunggul ametung, Ken Arok pula memperistrikan Ken Dedes. Ken Dedes merupakan Istri tunggul Ametung, dalam Saat Ken Dedes ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, beliau sedang mengandung yang kelak lahir menggunakan nama Anusapati. Dari perkawinan Ken Dedes dengan Ken Arok memproleh putra yg bernama Mahisa Wong Ateleng. Sedangkan dari istrinya yang lain, yaitu Ken Umang memperoleh Putra bernama Tohjaya.

Pada tahun 1222, sehabis Ken Arok berkuasa di Tumapel kemudian mengalahkan Kediri yg dalam saat itu diperintah sang Kertajaya. Kerajaan Kediri dan Tumapel lalu disatukan, berdirilah Kerajaan sangasari. Ken Arok Sebagai raja pertama pada Singasari menggunakan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Ken Arok melaksanakan pemerintahan berdasarkan tahun 1222-1227. Ken Arok melaksanakan pemerintahan dari tahun 1222-1227. Ken Arok mengakhiri pemerintahan selesainya dibunuh oleh anak tirinya yang bernama Anusapati.

Anusapati memerintah dalam tahun 1227-1248. Selama pemerintahannya warga hidup pada keadaan tentram. Pada tahun 1248 Anusapati dibunuh sang saudara tirinya yg benama Tohjaya. Tohjaya menggantikan pemerintahan Anusapati dalam tahun 1248. Dalam pemerintahan  Tohjaya timbul pemberontakan yg dipimpin oleh Ranggawuni serta Mahisa Cempaka. Dalam pemberontakan itu Tohjaya terbunuh. Setelah tohjaya terbunuh, Ranggawuni naik tahta memerintah menurut tahun 1248-1268 dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardhan. Ranggawni wafat dalam tahun 1268 serta digantikan olej putranya bernama Kerta negara.

pada masa pemerintahan Kertanegara, Kerajaan Singasari mencapai zenit kejayaannya (1268-1292). Untuk memutuskan kekuasaan Kerajaan Singasari, Kertanegara memperluas wilayah kekuasaannya serta menjalin kerjasama menggunakan raja-raja di Pahang, Bali, Sunda, Maluku dan Kalimantan. Dalam tahun 1275 Kertanegara mengirimkan rombongan ke Kerajaan Melayu pada Jambi yg dikenal dengan ekspedisi Pamalayu, selain itu jua menjalin kerja sama dengan kerajaan Campa di Vietnam.

Tujuan Kertanegara pada menjalin kerjasama dengan raja-raja di Indonesia serta Vietnam adalah untuk mencegah dampak Raja Mongol yaitu Kaisar Kubilai Khan. Pada tahun 1289 utusan Kerajaan Mongol dipimpin oleh Meng-Ki datang ke singasari menggunakan maksud agar Singasari tunduk pada Kerajaan Mongol. Utusan raja Mongol itu diusir oleh Kertanegara.

Kertanegara mengakhiri pemerintahannya sesudah dikalahkan Jayakatwang keturunan Kertajaya. Sedangkan kerajaan Singasari musnah setelah Raden Wijaya bekerja sama dengan utusan Mongol dalam tahun 1292 membunuh Jayakatwang.

6. Kerajaan Majapahit

kerajaan Hindu Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 mencapai puncak kejayaan serta kemegahannya dalam pertengahan abad ke-14 yaitu dalam masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk yg memerintah dalam tahun 1350-1389. Pemerintahan raja Hayam Wuruk didampingi Patih Gajah Mada. Pusat ibukota kerajaan pada wilayah sungai Branta. Kerajaan Majapahit bertambah berkembang menjadi kerajaan agraris dengan menguasai daerah yg fertile pada lembah sungai Brantas sekaligus menjadi kekuatan laut serta perdagangan dengna pusat di Ujung Galuh di wilayah muara Sungai Brantas.


Dengan pengaduan antar kekuatan agraris dan bahari serta perdagangan. Kerajaan Majapahit pada bahwah pimpinan tokoh besar Hayam Wuruk serta Gajah Mada berhasil mempersatukan Nusantara, di bawah kepemimpinan Gajah Mada, mereka bisa menumpas pemberontakan yg membahayakan kemegahan kerajaan Majapahit pada bawah kepemimpinan Hayam Wuruk. Pemberontakan itu merupakan pemberontakan Sadeng dan ditumpas dalam tahun 1331.

Kerajaan Majapahit berkembang dengna pesat sehingga Kerajaan Majapahit disegani oeh kerajaaan di sekitarnya. Berkat dukungan rakyatnya Majapahit sebagai negara yang besar dan megah. Majapahit memandang negara lain sebaga negara merdeka serta berdaulat, memandang negaranya sama derajatnya menggunakan negara lain. Pada masa kerajaan ini agama Hindu serta Agama Budha hidup berdampingan secara damai. Keadaan misalnya ini patut dicontoh pada kehidupan sekarang ini. Di Indonesia terdapat 5 agama yg daapt hidup berdampingan secara damai. Rasa toleransi antar pemeluk kepercayaan harus dipelihara terus supaya negara Indonesia bisa aman dan tertib.

Kelemahan Kerajaan Majapahit merupakan timbulnya perang saudara. Adanya perang saudara mengakibatkan kemunduran kerajaan Majapahit. Berarti persatuan serta kesatuan telah nir terdapat lagi. Ini perlu sebagai perhatian kita semua, bahwa sanggup persatuan dan kesatuan diabaikan maka negara akan musnah. Oleh karenanya marilah bina persatuan pada antara kita, agar kita sanggup hayati rukun. Dengan adanya hayati rukun, maka pembangunan nasional dapat dilaksanakan menggunakan sebaik-baiknya.

Dari kerajaan Majapahit yg tidak bisa kita lupakan merupakan hasil kesenian dan kebudayaan, misalnya;
a. Bangunan Candi Kedaton di Kediri, Candi sukun pada lereng Gunung Lawu
b. Buku Pararaton
c. Buku Negarakertagama yg ditulis sang Mpu Prapanca dalam tahun 1365
d. Buku Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Prapanca.

Kata-istilah Penting:

Prasasti : Huruf yang dipahatkan pada benda antik/ kertas, daun lontar, batu dan lain-lain serta bersejarah.

Menhir  : Monumen batu besar

Agraris : Pertanian

Bahari  : Kelautan.


Demikian pembahasan kita mengenai Kerajaan Hindu budha di Islam pada Indonesia, semoga berguna, terimakasih.

Sumber: dirangkum dari berbagai asal!

Referensi:
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980, Sejarah Umum 1 buat Sekolah Menengah pertama, Jakarta
- IMP Yudana serta Imade Pageh, 1978. Pelajaran Sejarah buat Sekolah Menengah pertama Kelas 1, Genesa Exact, Bandung.
- Soeroto, 1968, Sejarah Indonesia dan Dunia Jilid 1 buat Sekolah Menengah pertama, Fa. Gajah Mada, Jakarta.
- Sugandi Wirananggapati, dkk, 1992, Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia 1, Galaxy Puspa Mega, Jakarta. 


ISLAM DEMOKRASI DAN KULTUR POLITIK

Islam, Demokrasi Dan Kultur Politik
Hubungan antara Islam serta demokrasi masih menjadi tema perdebatan yang menarik dan belum tuntas. Di Tanah Air, ihwal yang berkembang lebih poly menyangkut pro-kontra penerapan atau formalisasi syariat Islam. Perdebatan ini perlu segera diakhiri, karena tidak pernah menjadikan langkah maju.

Ada dua faktor yang mengakibatkan perdebatan seputar formalisasi syariat Islam tampak berjalan di tempat. Pertama, baik pandangan yg pro maupun yang kontra terjebak dalam argumentasi-argumentasi yg sangat generik (umum). Misalnya, bahwa Islam adalah kepercayaan yang paripurna dan penerapan syariat adalah tuntutan kesempurnaan itu. Landasan argumentasi yang generik ini akan menghadapi duduk perkara serius manakala dibenturkan menggunakan perkara-kasus partikular, seperti syariat sebagaimana dipahami siapa yang akan diterapkan, bagaimana contoh negara Islam, masih relevankah konsep fikih siyasah yang dirumuskan al-Mawardi, Abu Ya'la atau Ibnu Taimiyah buat dipergunakan saat ini dan seterusnya.

Kedua, terdapat kecenderungan buat mengusung tafsir syariat Islam yang humanis agar tampak nir bertentangan dengan konsep-konsep modern, seperti HAM, demokrasi, serta civil society. Persoalannya, selain tidak cukup mengakar (masyarakat kita masih sangat fikih oriented), pandangan misalnya ini hanya menyentuh narasi-narasi akbar, seperti perkara hukuman, hudud dan kisas. Sementara sejumlah problem yg urgen bagi masa depan humanisme, misalnya demokratisasi, penghormatan hak asasi manusia, dan perdamaian global tetap tidak terjamah.

Berdasarkan pada 2 alasan pada atas, perlu kiranya tema diskusi diletakkan selangkah lebih maju, yakni formulasi Islam mengenai demokrasi. Untuk kita di Indonesia, masalah demokrasi masih merupakan satu rencana politik yang selalu perlu diangkat ke atas bagian atas karena kenyataannya paras demokrasi Indonesia masih sering diperdebatkan. Apakah yg sekarang kita alami adalah sesuatu yg dapat diterima ataukah memang masih wajib diperjuangkan agar nilai-nilai demokrasi yang diyakini bermakna universal bisa diwujudkan menggunakan lebih nyata lagi dalam kehidupan politik Indonesia?

Dari perspektif yg lebih luas, waktu ini dunia menyaksikan kenyataan dunia yg menakjubkan, yaitu bertambahnya rezim-rezim demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan di negara-negara tersebut. Fenomena ini menarik dicermati, karena tuntutan demokratisasi ada seiring dengan kebangkitan kepercayaan -kepercayaan pada konteks dunia yg bergerak maju. Di berbagai belahan dunia, orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan kepercayaan serta demokratisasi, sebagai akibatnya keduanya menjadi tema yang paling penting pada duduk perkara dunia dewasa ini.

Tiga Kecenderungan Global
Tuntutan terhadap demokratisasi makin marak pada ranah global dewasa ini. Hanya segelintir pemimpin atau gerakan politik yg mengaku sebagai "antidemokrasi." Bahkan, belakangan ini di Brazil, waktu orang-orang mengusulkan perlunya suatu restorasi kerajaan, kalangan kerajaan sendiri tidak mendukung sistem kerajaan mutlak menggunakan hak tak terbatas. Sebaliknya, kalangan kerajaan sendiri mengusulkan suatu "sistem kerajaan presidensil" yang serupa menggunakan kerajaan Spanyol kini . Banyak orang setuju bahwa perkembangan politik dunia yang terpenting dalam akhir abad ke 2 puluh adalah keluarnya gerakan prodemokrasi pada seluruh belahan global serta keberhasilan gerakan itu pada banyak negara.

Dalam konteks Islam, kecenderungan global yg diklaim Huntington menjadi 'gelombang demokratisasi ketiga' (the third wave) ini memunculkan pertanyaan tersendiri. Sebab, pada saat hampir semua negara Dunia Ketiga mengalami perkembangan demokrasi, negara-negara Dunia Islam tidak memperlihatkan pertanda-tanda ke arah itu.

Para sarjana muslim telah poly mendiskusikan perkara seputar interaksi antara Islam dan demokrasi. Secara ringkas, terdapat 3 kesamaan. Pertama, Islam dan demokrasi ditinjau sebagai dua sistem politik yg berbeda. Sebagai sistem politik, Islam nir sanggup disubordinasikan pada demokrasi. Islam serta demokrasi bersifat tertentu. Bagi para pendukung pendapat ini, Islam adalah sistem politik yg sempurna sebagai akibatnya bisa dijadikan alternatif terhadap demokrasi.

Kedua, Islam tidak sinkron menurut demokrasi bila yang terakhir didefinisikan secara prosedural sebagaimana dipahami dan dipraktikkan di Barat. Tetapi demikian, berdasarkan para pendukung pendapat ini, Islam bisa ditinjau menjadi sistem politik demokratis bila demokrasi didefinisikan secara substantif. Yakni, demokrasi dijadikan menjadi alat buat mencapai tujuan-tujuan tertentu menggunakan prinsip mayoritarian. Misalnya, apabila mayoritas warga menghendaki rezim Mullah, maka rezim tadi adalah demokratis kendati menolak pluralisme dan pemilihan pada komunitas politik. Pandangan ini menolak mekanisme-prosedur demokrasi yg dimanifestasikan pada pemilu yang bebas di kalangan elit dan partai politik sebagai agregasi rakyat yg tidak selaras serta konfliktual.

Ketiga, Islam dilihat menjadi suatu sistem nilai yg akomodatif terhadap demokrasi yang didefinisikan dan dipraktikkan secara prosedural. Gagasan bahwa suara rakyat adalah bunyi Tuhan yang diterjemahkan ke dalam pemilu serta partai pilitik sangat populer di kalangan intelektual serta aktivis muslim. Kendati demikian, pandangan ini belum terwujud di pada masyarakat muslim, dan karenanya rezim demokrasi masih sebagai fenomena yang langka.

Berdasarkan data 'indeks kebebasan (freedom index)' yang dimuntahkan oleh Freedom House (1998), ditemukan bahwa selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim pada dunia (berjumlah 48 negara) umumnya gagal buat membangun suatu politik demokratis. Selama periode itu, hanya terdapat satu negara muslim yang berhasil menciptakan demokrasi sepenuhnya selama lebih menurut lima tahun, yaitu Mali di Afrika. Negara semidemokrasi berjumlah 12. Sisanya adalah negara otoritarian. Bahkan, secara umum dikuasai rezim-rezim yang represif pada dunia dalam akhir 90-an merupakan pada negara-negara muslim.

Kultur Politik
Dibanding dengan rezim-rezim negara nonmuslim, nir adanya demokrasi pada Dunia Muslim adalah sangat signifikan. Sebagai keliru satu model perkara, mari kita lihat negara-negara pecahan Uni Soviet. Di antaranya ada enam negara menggunakan penduduk dominan muslim: Azerbaijan, Kazakistan, Kyrgistan, Tajikistan, Turmenistan, dan Uzbekistan. Negara-negara muslim ini sudah muncul sebagai negara otoritarian baru, ad interim negara-negara lain bekas Uni Soviet menjadi lebih demokratis. Cyprus pula menyuguhkan kenyataan menarik. Negara ini dibagi menjadi Cyprus Yunani serta Cyprus Turki, dengan tingkat kedemokrasian yg tidak sinkron. Cyprus Yunani lebih demokratis dibanding Cyprus Turki.

Banyak hal yang bertanggung jawab atas tidak bekerjanya demokrasi di Dunia Islam. Salah satunya yang paling penting adalah lemahnya kultur politik (political culture) atau meminjam istilah Almond dan Verba (1963; 1988) "civic culture" pada negara-negara tersebut. Kultur politik ini berkaitan demokrasi orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau perilaku individu terhadap sistem politik serta terhadap dirinya menjadi aktor politik.

Ditilik dari sejarah dan tradisi Islam, kita mencatat nir berkembangnya tentang kewargaan (citizenship). Bahkan, di pada bahasa Arab, Persia, dan Turki tidak ada istilah yang bisa mewakili dengan tepat kata citizen (rakyat). Kata yang senada menggunakan istilah tadi yang biasa dipakai dalam setiap bahasa hanya berarti "penduduk" (sukkan) dan "gembalaan" (ra'iyyah) yang pada lalu diIndonesiakan menjadi "masyarakat". Kata tersebut nir mewakili kata citizen yg berasal menurut istilah civis serta sudah sebagai kebijakan politik Yunani yg berarti "seorang yg ikut dan pada perkara-kasus kebijakan politik pemerintah." Kata ini (citizen) tidak terdapat dalam bahasa Arab atau bahasa global muslim lainnya disebabkan nir dikenalnya pemikiran atau ide "masyarakat ikut serta pada kebijakan politik."

Oleh karenanya, tugas primer dalam rangka to make democracy work merupakan menumbuhkembangkan kultur politik yg menyokong perkembangan demokrasi di Tanah Air. Sebab, manusia bukan sekadar individu yg "digembalakan", tetapi sebagai rakyat negara yg memiliki hak-hak demokrasi terutama hak buat memilih, mengawasi serta menurunkan pemerintahan, di samping hak buat bebas berpikir, berekspresi, mengutarakan pendapat, berkumpul, mendirikan partai, berasosiasi serta berorganisasi, hak mendapatkan pendidikan, pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan dan sebagainya.

Demokrasi Tanpa Demokrat
Judul ini tidak sedang menyoroti secara spesifik pertikaian antarelite politik pada Indonesia, tetapi menggambarkan absennya aktor-aktor demokrat di dunia muslim. Sebenarnya, poly negara muslim punya peluang buat menciptakan demokrasi, namun nir adanya aktor demokrat sejati menjadikan peluang itu hilang sia-sia.

Maka, Salame (guru akbar dalam Institut de'atudes Politiques pada Paris) pun bertanya, "Where are the democrats?" Gagasan bahwa dunia muslim merupakan perkecualian menurut arus akbar gelombang demokrasi ketiga (meminjam kata Samuel Huntington) pulang berkembang di kalangan para pendukung demokrasi universal. Dalam debat Islam-demokrasi yg difasilitasi Journal of Democracy, wartawan kawakan Robin Wright berseloroh relatif provokatif "Can a muslim be democrat?"

Pertanyaan Wright itu terasa pahit. Apa mau dikata, fenomena memang menerangkan 'eksepsionalisme Islam' menurut kenyataan demokratisasi global. Dalam bahasa Dr. Abdel Wahab Efendi, pemikir Sudan, "angin demokratisasi memang berembus ke semua penjuru dunia, tetapi nir ada satu pun daun yang dihembusnya hingga ke global muslim" (1998: 4).

Data 'indeks kebebasan' yang dimuntahkan Freedom House juga menampakan bahwa walaupun kebebasan di negara-negara dunia ketiga umumnya mengalami kenaikan relatif signifikan, hal itu tidak terjadi di negara-negara muslim. Selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim pada global (berjumlah 48 negara) gagal buat menciptakan politik demokrasi. Sementara negara-negara nonmuslim di Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara pecahan Uni Soviet, dan Eropa Timur biasanya bergerak cepat menjadi demokratis.

"Can a muslim be democrat?" kita tidak punya bukti buat mengungkapkan kepada Wright , 'Why not!" Saya risi mungkin saja ada kalangan rakyat yang tega lompat pada konklusi gegabah, bahwa ternyata kalangan muslim-santri memang nir layak memimpin sebuah negara terkini. Hal itu berarti diskualifikasi amat gawat kepada kepemimpinan para ulama, suatu stigma cap buruk yg akan perlu ketika panjang sekali untuk menghilangkannya.

Kenyataannya, walaupun memakai konsepsi demokrasi terbatas yg berdasarkan atas interpretasi minimal terhadap konsep "pemerintahan oleh masyarakat", dunia muslim permanen nir menunjukkan pertanda-pertanda yg relatif baik. Ini adalah suatu tanda betapa seriusnya masalah itu. Dan ini bukan sekadar perkara image serta "miskonsepsi" Barat, sebagaimana dikemukakan oleh banyak orang (Shwedler, 1995), melainkan memang problem yang sangat nyata.

Ada beberapa teori yang sanggup menjelaskan. Pertama, pemahaman doktrinal Mengganggu praktik demokrasi. Teori ini dikembangkan sang Elie Kedourie bahwa "gagasan demokrasi masih relatif asing dalam mindset Islam". Hal ini ditimbulkan kebanyakan kaum muslim cenderung memahami demokrasi menjadi sesuatu yg bertentangan demokrasi Islam. Karena itu, yang perlu ketika ini adalah liberalisasi pemahaman keagamaan, termasuk mencari konsensus dengan teori-teori terbaru seperti demokrasi serta kebebasan (Kedourie, 1994).

Kedua, dilema kultur. Demokrasi sebenarnya sudah dicoba pada negara-negara muslim sejak paruh pertama abad dua puluh, namun gagal. Tampaknya, beliau tidak akan sukses pada masa-masa mendatang, lantaran warisan kultural komunitas-komunitas muslim telah terbiasa menggunakan 'otokrasi serta ketaatan pasif'. Teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis (1994) dan Ajami (1998). Lantaran itu, yg sangat dibutuhkan waktu ini adalah penerangan kultural kenapa demokrasi tumbuh fertile di Eropa, namun pada daerah dunia Islam malah otoritarianisme yg berkembang.

Sejauh ini, problem kultur politik (civic culture) ditengarai menjadi yg paling bertanggung jawab kenapa sulit membangun demokrasi pada negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Sebab, ditilik secara doktrinal, hampir tidak dijumpai hambatan teologis di kalangan tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yg memperhadapkan demokrasi vis-à-vis Islam. Bahkan, ada kesamaan untuk merambah misi baru merekonsiliasi perbedaan-disparitas antara berbagai teori politik terkini. Oleh karena itu, lokus perdebatannya nir lagi "apakah Islam compatible dengan demokrasi", melainkan bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually reinforcing).

Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi pada global Islam tidak ada hubungan dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait menggunakan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun sentimen demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran, serta pada atas segalanya, waktu. Esposito dan Voll (1996) adalah pada antara mereka yg tetap optimis terhadap masa depan demokrasi di global Islam.

Terlepas dari itu seluruh, tak syak lagi, pengalaman empirik demokrasi dalam sejarah Islam memang sangat terbatas. Dengan mempergunakan parameter yg sangat sederhana, pengalaman empirik demokrasi hanya sanggup ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri yg kemudian dilanjutkan sang keempat sahabatnya, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Talib, yg dikenal menggunakan zaman Khulafa al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat sahabat tadi berdasarkan catatan sejarah sangat sulit kita temukan demokrasi Islam secara empirik sampai kini ini.

Bisa jadi, keterbatasan eksperimen ini adalah penjelasan lain kenapa sulit menumbuhkan demokrasi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Islam nir punya pengalaman empirik demokrasi secara memadai. Akibatnya, setiap upaya menumbuhyuburkan sentimen demokrasi selalu berhadapan menggunakan kekuatan-kekuatan pro-status quo yg sudah sangat mengakar.

Presiden KH. Abdurahman Wahid sebenarnya punya peluang besar buat menyuguhkan contoh baru Indonesia menjadi negara muslim demokrasi pertama atau negara demokrasi terbesar ketiga pada dunia, sehabis Amerika serta India. Tetapi, lagi-lagi, dia gagal sebagai seseorang presiden muslim demokrat pertama pada negara menggunakan penduduk lebih banyak didominasi muslim ini. Tidak kentara, kegagalan itu karena dirinya sendiri atau dijegal kekuatan-kekuatan antidemokrasi. Yang niscaya, negeri ini persis misalnya digambarkan Salame pada bukunya Democracy without Democrats.

ISLAM DEMOKRASI DAN KULTUR POLITIK

Islam, Demokrasi Dan Kultur Politik
Hubungan antara Islam dan demokrasi masih sebagai tema perdebatan yang menarik serta belum tuntas. Di Tanah Air, wacana yang berkembang lebih banyak menyangkut pro-kontra penerapan atau formalisasi syariat Islam. Perdebatan ini perlu segera diakhiri, lantaran tidak pernah berakibat langkah maju.

Ada dua faktor yg mengakibatkan perdebatan seputar formalisasi syariat Islam tampak berjalan di tempat. Pertama, baik pandangan yang pro maupun yang kontra terjebak pada argumentasi-argumentasi yg sangat umum (generik). Misalnya, bahwa Islam merupakan agama yang paripurna dan penerapan syariat merupakan tuntutan kesempurnaan itu. Landasan argumentasi yang umum ini akan menghadapi problem berfokus manakala dibenturkan menggunakan kasus-kasus partikular, misalnya syariat sebagaimana dipahami siapa yang akan diterapkan, bagaimana contoh negara Islam, masih relevankah konsep fikih siyasah yg dirumuskan al-Mawardi, Abu Ya'la atau Ibnu Taimiyah buat digunakan waktu ini serta seterusnya.

Kedua, ada kesamaan buat mengusung tafsir syariat Islam yg humanis agar tampak nir bertentangan menggunakan konsep-konsep modern, misalnya HAM, demokrasi, serta civil society. Persoalannya, selain nir cukup mengakar (masyarakat kita masih sangat fikih oriented), pandangan seperti ini hanya menyentuh narasi-narasi besar , seperti kasus hukuman, hudud dan kisas. Sementara sejumlah duduk perkara yang urgen bagi masa depan humanisme, misalnya demokratisasi, penghormatan hak asasi insan, dan perdamaian dunia tetap tidak terjamah.

Berdasarkan pada 2 alasan pada atas, perlu kiranya tema diskusi diletakkan selangkah lebih maju, yakni formulasi Islam tentang demokrasi. Untuk kita di Indonesia, perkara demokrasi masih adalah satu agenda politik yg selalu perlu diangkat ke atas bagian atas lantaran kenyataannya paras demokrasi Indonesia masih seringkali diperdebatkan. Apakah yang kini kita alami adalah sesuatu yang bisa diterima ataukah memang masih harus diperjuangkan agar nilai-nilai demokrasi yang diyakini bermakna universal bisa diwujudkan menggunakan lebih nyata lagi dalam kehidupan politik Indonesia?

Dari perspektif yg lebih luas, ketika ini dunia menyaksikan kenyataan global yang menakjubkan, yaitu bertambahnya rezim-rezim demokrasi yang ditandai dengan adanya kebebasan di negara-negara tersebut. Fenomena ini menarik dilihat, lantaran tuntutan demokratisasi ada seiring dengan kebangkitan agama-kepercayaan dalam konteks global yg bergerak maju. Di aneka macam belahan global, orang beramai-ramai menyerukan kebangkitan agama dan demokratisasi, sehingga keduanya sebagai tema yg paling krusial dalam dilema dunia dewasa ini.

Tiga Kecenderungan Global
Tuntutan terhadap demokratisasi makin marak dalam ranah global dewasa ini. Hanya segelintir pemimpin atau gerakan politik yang mengaku menjadi "antidemokrasi." Bahkan, belakangan ini pada Brazil, saat orang-orang mengusulkan perlunya suatu restorasi kerajaan, kalangan kerajaan sendiri tak mendukung sistem kerajaan absolut menggunakan hak tidak terbatas. Sebaliknya, kalangan kerajaan sendiri mengusulkan suatu "sistem kerajaan presidensil" yang serupa dengan kerajaan Spanyol sekarang. Banyak orang sepakat bahwa perkembangan politik dunia yg terpenting pada akhir abad ke 2 puluh merupakan munculnya gerakan prodemokrasi di semua belahan global serta keberhasilan gerakan itu di poly negara.

Dalam konteks Islam, kesamaan dunia yang diklaim Huntington menjadi 'gelombang demokratisasi ketiga' (the third wave) ini memunculkan pertanyaan tersendiri. Sebab, dalam saat hampir semua negara Dunia Ketiga mengalami perkembangan demokrasi, negara-negara Dunia Islam nir menerangkan tanda-indikasi ke arah itu.

Para sarjana muslim sudah poly mendiskusikan masalah seputar hubungan antara Islam serta demokrasi. Secara ringkas, terdapat tiga kecenderungan. Pertama, Islam serta demokrasi dipandang menjadi dua sistem politik yang tidak selaras. Sebagai sistem politik, Islam nir bisa disubordinasikan dalam demokrasi. Islam serta demokrasi bersifat eksklusif. Bagi para pendukung pendapat ini, Islam merupakan sistem politik yang paripurna sehingga sanggup dijadikan cara lain terhadap demokrasi.

Kedua, Islam tidak sama berdasarkan demokrasi jika yg terakhir didefinisikan secara prosedural sebagaimana dipahami dan dipraktikkan pada Barat. Namun demikian, menurut para pendukung pendapat ini, Islam bisa dilihat menjadi sistem politik demokratis jika demokrasi didefinisikan secara substantif. Yakni, demokrasi dijadikan menjadi indera buat mencapai tujuan-tujuan eksklusif menggunakan prinsip mayoritarian. Misalnya, jika dominan masyarakat menghendaki rezim Mullah, maka rezim tadi adalah demokratis kendati menolak pluralisme serta pemilihan dalam komunitas politik. Pandangan ini menolak mekanisme-prosedur demokrasi yg dimanifestasikan dalam pemilu yang bebas pada kalangan elit serta partai politik menjadi agregasi masyarakat yang tidak selaras dan konfliktual.

Ketiga, Islam dicermati sebagai suatu sistem nilai yang akomodatif terhadap demokrasi yg didefinisikan serta dipraktikkan secara prosedural. Gagasan bahwa suara rakyat merupakan bunyi Tuhan yg diterjemahkan ke dalam pemilu serta partai pilitik sangat terkenal pada kalangan intelektual serta aktivis muslim. Kendati demikian, pandangan ini belum terwujud di dalam warga muslim, serta karenanya rezim demokrasi masih sebagai kenyataan yang langka.

Berdasarkan data 'indeks kebebasan (freedom index)' yang dimuntahkan oleh Freedom House (1998), ditemukan bahwa selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim di dunia (berjumlah 48 negara) umumnya gagal buat membentuk suatu politik demokratis. Selama periode itu, hanya ada satu negara muslim yang berhasil menciptakan demokrasi sepenuhnya selama lebih berdasarkan lima tahun, yaitu Mali di Afrika. Negara semidemokrasi berjumlah 12. Sisanya merupakan negara otoritarian. Bahkan, dominan rezim-rezim yang represif di dunia dalam akhir 90-an merupakan pada negara-negara muslim.

Kultur Politik
Dibanding dengan rezim-rezim negara nonmuslim, nir adanya demokrasi pada Dunia Muslim merupakan sangat signifikan. Sebagai salah satu model kasus, ayo kita lihat negara-negara pecahan Uni Soviet. Di antaranya ada enam negara dengan penduduk mayoritas muslim: Azerbaijan, Kazakistan, Kyrgistan, Tajikistan, Turmenistan, dan Uzbekistan. Negara-negara muslim ini sudah muncul menjadi negara otoritarian baru, sementara negara-negara lain bekas Uni Soviet sebagai lebih demokratis. Cyprus jua menyuguhkan kenyataan menarik. Negara ini dibagi menjadi Cyprus Yunani serta Cyprus Turki, menggunakan taraf kedemokrasian yang tidak selaras. Cyprus Yunani lebih demokratis dibanding Cyprus Turki.

Banyak hal yg bertanggung jawab atas nir bekerjanya demokrasi di Dunia Islam. Salah satunya yang paling krusial merupakan lemahnya kultur politik (political culture) atau meminjam istilah Almond dan Verba (1963; 1988) "civic culture" pada negara-negara tersebut. Kultur politik ini berkaitan demokrasi orientasi psikologis terhadap objek sosial, atau perilaku individu terhadap sistem politik dan terhadap dirinya menjadi aktor politik.

Ditilik dari sejarah dan tradisi Islam, kita mencatat tidak berkembangnya tentang kewargaan (citizenship). Bahkan, pada dalam bahasa Arab, Persia, dan Turki nir terdapat istilah yg bisa mewakili menggunakan sempurna istilah citizen (rakyat). Kata yang senada dengan istilah tadi yang biasa dipakai pada setiap bahasa hanya berarti "penduduk" (sukkan) dan "gembalaan" (ra'iyyah) yg di lalu diIndonesiakan menjadi "rakyat". Kata tersebut tidak mewakili istilah citizen yang asal berdasarkan kata civis dan telah sebagai kebijakan politik Yunani yang berarti "seseorang yang ikut dan pada perkara-masalah kebijakan politik pemerintah." Kata ini (citizen) tidak ada pada bahasa Arab atau bahasa global muslim lainnya disebabkan nir dikenalnya pemikiran atau inspirasi "rakyat ikut dan dalam kebijakan politik."

Oleh karenanya, tugas primer pada rangka to make democracy work merupakan menumbuhkembangkan kultur politik yang menyokong perkembangan demokrasi pada Tanah Air. Sebab, insan bukan sekadar individu yang "digembalakan", namun sebagai rakyat negara yg mempunyai hak-hak demokrasi terutama hak buat menentukan, mengawasi serta menurunkan pemerintahan, di samping hak buat bebas berpikir, berekspresi, mengutarakan pendapat, berkumpul, mendirikan partai, berasosiasi serta berorganisasi, hak menerima pendidikan, pekerjaan, kesetaraan, persamaan kesempatan serta sebagainya.

Demokrasi Tanpa Demokrat
Judul ini tidak sedang menyoroti secara khusus konfrontasi antarelite politik pada Indonesia, tetapi menggambarkan absennya aktor-aktor demokrat pada global muslim. Sebenarnya, banyak negara muslim punya peluang buat membentuk demokrasi, namun tidak adanya aktor demokrat sejati membuahkan peluang itu hilang sia-sia.

Maka, Salame (guru besar pada Institut de'atudes Politiques di Paris) pun bertanya, "Where are the democrats?" Gagasan bahwa dunia muslim merupakan perkecualian dari arus akbar gelombang demokrasi ketiga (meminjam istilah Samuel Huntington) kembali berkembang di kalangan para pendukung demokrasi universal. Dalam debat Islam-demokrasi yg difasilitasi Journal of Democracy, wartawan kawakan Robin Wright berseloroh agak provokatif "Can a muslim be democrat?"

Pertanyaan Wright itu terasa pahit. Apa mau dikata, kenyataan memang menunjukkan 'eksepsionalisme Islam' berdasarkan kenyataan demokratisasi dunia. Dalam bahasa Dr. Abdel Wahab Efendi, pemikir Sudan, "angin demokratisasi memang berembus ke seluruh penjuru global, tetapi nir ada satu pun daun yg dihembusnya sampai ke dunia muslim" (1998: 4).

Data 'indeks kebebasan' yg dimuntahkan Freedom House jua memberitahuakn bahwa walaupun kebebasan pada negara-negara dunia ketiga umumnya mengalami kenaikan cukup signifikan, hal itu tidak terjadi pada negara-negara muslim. Selama 25 tahun terakhir, negara-negara muslim pada dunia (berjumlah 48 negara) gagal untuk membangun politik demokrasi. Sementara negara-negara nonmuslim di Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara pecahan Uni Soviet, dan Eropa Timur umumnya berkiprah cepat sebagai demokratis.

"Can a muslim be democrat?" kita nir punya bukti buat menyampaikan pada Wright , 'Why not!" Saya risi mungkin saja ada kalangan warga yang tega lompat pada kesimpulan gegabah, bahwa ternyata kalangan muslim-santri memang tidak layak memimpin sebuah negara terkini. Hal itu berarti diskualifikasi amat gawat pada kepemimpinan para ulama, suatu stigma cap buruk yg akan perlu saat panjang sekali buat menghilangkannya.

Kenyataannya, walaupun menggunakan konsepsi demokrasi terbatas yg didasarkan atas interpretasi minimal terhadap konsep "pemerintahan oleh masyarakat", global muslim permanen tidak memperlihatkan pertanda-pertanda yg cukup baik. Ini adalah suatu indikasi betapa seriusnya persoalan itu. Dan ini bukan sekadar perkara image dan "miskonsepsi" Barat, sebagaimana dikemukakan oleh banyak orang (Shwedler, 1995), melainkan memang duduk perkara yang sangat konkret.

Ada beberapa teori yg bisa mengungkapkan. Pertama, pemahaman doktrinal menghambat praktik demokrasi. Teori ini dikembangkan sang Elie Kedourie bahwa "gagasan demokrasi masih relatif asing dalam mindset Islam". Hal ini ditimbulkan kebanyakan kaum muslim cenderung tahu demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan demokrasi Islam. Karena itu, yg perlu saat ini adalah liberalisasi pemahaman keagamaan, termasuk mencari konsensus menggunakan teori-teori modern seperti demokrasi serta kebebasan (Kedourie, 1994).

Kedua, masalah kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara muslim sejak paruh pertama abad 2 puluh, namun gagal. Tampaknya, beliau nir akan sukses dalam masa-masa mendatang, lantaran warisan kultural komunitas-komunitas muslim sudah terbiasa menggunakan 'otokrasi serta ketaatan pasif'. Teori ini dikembangkan oleh Bernard Lewis (1994) serta Ajami (1998). Karena itu, yg sangat diharapkan ketika ini merupakan penerangan kultural kenapa demokrasi tumbuh subur pada Eropa, tetapi pada daerah global Islam malah otoritarianisme yg berkembang.

Sejauh ini, problem kultur politik (civic culture) ditengarai sebagai yang paling bertanggung jawab kenapa sulit membentuk demokrasi di negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Sebab, ditilik secara doktrinal, hampir nir dijumpai kendala teologis pada kalangan tokoh-tokoh partai, ormas ataupun gerakan Islam yg memperhadapkan demokrasi vis-à-vis Islam. Bahkan, terdapat kesamaan buat merambah misi baru merekonsiliasi disparitas-disparitas antara aneka macam teori politik terbaru. Oleh karena itu, lokus perdebatannya tidak lagi "apakah Islam compatible dengan demokrasi", melainkan bagaimana keduanya saling memperkuat (mutually reinforcing).

Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di global Islam tak terdapat hubungan dengan teologi juga kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun sentimen demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran, serta pada atas segalanya, waktu. Esposito serta Voll (1996) merupakan pada antara mereka yang permanen optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam.

Terlepas dari itu semua, tak syak lagi, pengalaman empirik demokrasi pada sejarah Islam memang sangat terbatas. Dengan mempergunakan parameter yg sangat sederhana, pengalaman empirik demokrasi hanya bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri yang lalu dilanjutkan oleh keempat sahabatnya, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Talib, yg dikenal menggunakan zaman Khulafa al-Rasyidin. Setelah pemerintahan keempat teman tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit kita temukan demokrasi Islam secara empirik sampai sekarang ini.

Bisa jadi, keterbatasan eksperimen ini adalah penerangan lain kenapa sulit menumbuhkan demokrasi pada negara-negara muslim, termasuk Indonesia. Islam tidak punya pengalaman empirik demokrasi secara memadai. Akibatnya, setiap upaya menumbuhyuburkan sentimen demokrasi selalu berhadapan menggunakan kekuatan-kekuatan pro-status quo yg telah sangat mengakar.

Presiden KH. Abdurahman Wahid sebenarnya punya peluang akbar buat menyuguhkan contoh baru Indonesia sebagai negara muslim demokrasi pertama atau negara demokrasi terbesar ketiga pada global, selesainya Amerika dan India. Namun, lagi-lagi, dia gagal menjadi seseorang presiden muslim demokrat pertama pada negara dengan penduduk dominan muslim ini. Tidak kentara, kegagalan itu karena dirinya sendiri atau dijegal kekuatan-kekuatan antidemokrasi. Yang niscaya, negeri ini persis seperti digambarkan Salame pada bukunya Democracy without Democrats.

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia 
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, 
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia, yg terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yg berkedaulatan masyarakat dengan menurut kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia adalah adalah Negara aturan, yang berkeinginan buat membentuk suatu aturan baru sinkron dengan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan asa tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak menerima sorotan,[1] namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yg berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat menggunakan aturan Belanda yang telah ratusan tahun inheren dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu mampu dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sinkron sahih dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, ad interim pemerintah Indonesia ketika itu masih disibukkan menggunakan aneka macam bisnis buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg dari tahun 1974 kemudian dirubah sebagai "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara pribadi berada pada bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke Undang-Undang Dasar-45 serta kemudian diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg kemudian berubah sebagai BPHN itu sebagai setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN sudah ikut aktif dalam pembuatan peta aturan nasional, yang sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu permanen berlangsung, walaupun berbagai kendala semenjak semula jua terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori resepsi,[2] yang masih banyak bercokol pada tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yg dari menurut kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan dominasi aturan Islam[3] pada aturan nasional, tetapi jua oleh kalangan ulama Islam sendiri yg masih tahu aturan Islam secara sepotong-pangkas dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sebagai akibatnya kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran buat melaksanakan aturan Islam itu dalam realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat memakai kontribusi serta prospek hukum Islam terhadap pembinaan aturan nasional pada Indonesia,[4] meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi aturan Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, tiga) Prospek penerapan aturan Islam di Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam
Secara sosiologis, aturan adalah refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya bisa menangkap aspirasi warga yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik pada masa depan.[5]

Dengan demikian, aturan itu nir hanya sebagai kebiasaan tidak aktif yg hanya mengutamakan kepastian serta ketertiban, tetapi jua berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku warga pada menggapai impian.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan banyak sekali perubahan sosial warga .

Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam[6] itu mengandung dua dimensi:
  • Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yg berakar dalam nas zhanni yang merupakan daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian dianggap dengan fiqhi.[8] 
Dalam pengertiannya yg kedua inilah, yg kemudian menaruh kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan aturan Islam secara bhineka,[9] sinkron menggunakan konteks pertarungan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah semenjak usang memperoleh loka yg layak dalam kehidupan rakyat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat sebagai aturan resmi Negara.[10]

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit aturan Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.[11]

Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis serta kultural, hukum Islam nir pernah mati serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan dan hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam pada Indonesia itu[12] kemudian dibagi menjadi dua:
  • Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yg berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada iman serta kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yg bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan juga dalam bidang pidana[13] sekalipun hingga kini masih pada termin perjuangan), yang sudah menjadi bagian berdasarkan aturan positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih mendapatkan disparitas dalam pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat dua.

Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah hukum-aturan Islam yang hidup[14] dalam masyarakat Indonesia, baik yg bersifat normatif juga yuridis formal, yg konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya sudah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya bisa ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]

Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[16] 2 periode sebelum kemerdekaan, serta dua lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase menjadi berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yg dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam[17] berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri seluruh duduk perkara hukum yang berlaku pada rakyat.

Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), namun jua menggantikan wewenang forum-lembaga peradilan Islam yg dibentuk sang para raja atau sultan Islam menggunakan peradilan buatan Belanda.[18]

Keberadaan aturan Islam[19] di Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, serta terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka pada melaksanakan tugas peradilan sinkron dengan ketentuan fiqhi.[20]

2. Fase berlakunya aturan Islam sesudah dikehendaki atau diterima sang aturan tata cara. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu[21] lalu digantikan oleh teori Receptio yg dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[22] menjadi penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan pada hakim Indonesia buat memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut dari lingkungan rapikan hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan sang hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu tidak dipengaruhi lain dengan sesuatu ordonansi".[23]

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum tata cara, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam kasus waris (yang semenjak 1882 sudah sebagai kompetensinya) serta dialihkan ke Pengadilan Negeri.[24]

Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yg meninak-lanjutinya, di samping didesain buat melumpuhkan system serta kelembagaan aturan Islam yg ada, jua secara nir pribadi telah mengakibatkan perkembangan aturan Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang mobilitas aturan adapt sangat terbatas nir misalnya hukum Islam, sehingga dalam kasus-perkara eksklusif kemudian dibutuhkan hukum Barat.

Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni sehabis kemerdekaan bisa dibagi jua ke dalam 2 fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam menjadi asal persuasif, yang dalam hukum konstitusi diklaim menggunakan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi sumber otoritatif, yg pada hukum konstitusi dikenal menggunakan outheriotative source, yakni sebagai asal aturan yg eksklusif memiliki kekuatan aturan.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan menjadi asal persuasuf Undang-Undang Dasar-45.[25] Namun selesainya Dekrit yg mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah menjadi sumber otoritatif.

Suatu hal yg niscaya merupakan, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan dalam lepas 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat krusial bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system hukum Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali aturan secara mandiri.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk aturan yang sudah usang melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan sang pemerintah RI terhadap hukum Islam merupakan pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26] yang berarti menolak teori Receptio yg diberlakukan sang pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama menggunakan teori iblis karena mengajak umat Islam buat tidak mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[27]

Perkembangan aturan Islam sebagai semakin menggembirakan setelah lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan hukum kebalikan berdasarkan Receptio, yakni bahwa aturan tata cara itu baru dapat diberlakukan apabila nir bertentangan menggunakan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi mempunyai ruang mobilitas yang lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram akibat politik kolonial Belanda, tiga. Masa kesadaran menggunakan membuahkan hukum Islam sebagai salah satu alternative primer yg dianggap sang pemerintah RI dalam upaya membangun hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam
Diantara wujud donasi aturan Islam, setidak-tidaknya pada aspek penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana untuk ketika ini masih belum memungkinkan) terhadap aturan nasional adalah.[28]

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan pada lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Tetapi demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yg hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan selesainya melalui berbagai usaha yang panjang nan sulit penuh liku dalam 3 zaman: zaman Kolonial Belanda,[29] zaman pendudukan Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dan Kementerian Kehakiman pada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/Sekolah Dasar/1946[30] lalu setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan kembali pendiriannya untuk tetap memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut menurut penegasan tersebut, setidak-tidaknya sudah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama di jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya pula UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas keberadaan forum Peradilan Agama dalam system pengadilan nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yg telah terdapat sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan adalah terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yg pada istilah Indonesia dikenal dengan modern, modernisasi dan modernisme.

Dalam rakyat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan dan usaha buat merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi lama , dan sebaginya buat disesuaikan menggunakan suasana baru yang disebabkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.[31]

Sedangkan dalam pemikiran Islam, kasus tajdid itu muncul terutama sesudah Islam menjadi agama serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan menggunakan berbagai budaya local, banyak sekali faham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yg terdapat, baik pada global Timur maupun Barat.[32]

Dalam bidang aturan Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang dimaksud mampu berbentuk pikiran atau gerakan (pada bidang aturan Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran lama yg bersumber menurut ketentuan yg bersifat zanni (aspek muamalat) yg bukan yang bersifat qath'i untuk diubahsuaikan dengan tuntutan suasana baru yg ditimbulkan sang kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia, pada rangka pembangunan, training serta pembentukan aturan nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991[33] yang berisikan rangkuman banyak sekali pendapat hukum dari buku-buku fiqhi buat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada mengambil keputusan,[34] serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri dari bab-bab serta pasal-pasal, adalah merupakan galat satu kontribusi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

Disebut menjadi pembaharuan, karena pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tadi nir pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah usang dikenal), jua beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi rakyat Islam Indonesia, seperti ahli waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini misalnya merupakan UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, dan PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal dalam rapikan aturan nasional.

Dengan sudah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan hukum Islam di Indonesia lalu berkembang sinkron dan seiring dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi fakta seringkali dapat mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yg semula dipercaya telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut dan sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka nir mustahil Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance)[35] serta akihrnya tersisihkan dan ditinggalkan orang.[36]

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya berbagai pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi serta refleksi terhadap berbagai dilema kemasyarakatan dalam arti luas (bukan hanya dalam bidang aturan saja, tetapi jua pada bidang yg lain: politik, budaya dan sebagainya).

Namun demikian, sejarah seringkali menyajikan kabar yg cukup menyedihkan tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik pada Indonesia maupun pada loka lain.[37] Penyebabnya cukup variatif, antara lain merupakan penafsiran pembaharuan itu dengan kata yg provokatif, yg dengan konotasi tertentu bisa mengakibatkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dianggap sang sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan asal ajaran Islam yang sudah diyakini telah sangat benar dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung pada kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan aneka macam dilema yg baru.[38]

Namun fenomena menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan menurut kalangan intelektual yg masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan nir terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang aturan Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional[39] dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40] Penentangan itu bukan hanya dari kalangan umum , tetapi yang sangat keras justru berdasarkan pada cendekiawan, misalnya Ali Yafie[41] walaupun belakangan nampak adanya kesamaan buat mendukungnya.[42]

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Dalam menyampaikan prospek hukum Islam pada Indonesia, setidaknya ada dua aspek yang perlu buat dikedepankan:
1. Aspek kekuatan serta peluang. Keduanya berkaitan menggunakan aturan Islam dan umat Islam yg berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan kendala. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum pada Indonesia yg menjadi hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif pada Indonesia.

Adapun aspek kekuatan[43]
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat anggaran-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana.

Ketiga esensi ajaran ini telah menjadi satu kesatuan yg tidak terpisahkan pada Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yg saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas serta tujuan-tujuannya.[44]

b. Syareat Islam datang untuk kebaikan insan semata, sinkron dengan fitrah dan kodratnya yg karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan yg merusak.[45] Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai menggunakan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan pada man apun sebab syareat Islam dibangun di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sebagai akibatnya akan tetap diminati.

c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional adalah usaha eksistensi, yang merumuskan keadaan aturan nasional Indonesia dalam masa kemudian, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam itu ada di dalam aturan nasional, baik pada hukum tertulis juga nir tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan aturan serta praktek aturan.[46]

d. Telah terwujudnya donasi aturan Islam dalam aturan nasional, baik pada bentuk UU juga IP,[47] merupakan bukti konkret mengenai kekuatan serta kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi menggunakan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tadi akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut:
Pancasila, yg tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 menjadi dasar Negara, yg sila-silanya adalah kebiasaan dasar serta norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar Negara,[48] sudah mendudukkan kepercayaan (terutama dalam sila pertama) pada posisi yang sangat mendasar, serta memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis interaksi Pancasila menggunakan agama sangat erat, lantaran menempatkannya pada posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yg merupakan kepercayaan anutan dominan penduduk Indonesia, diberi serta memiliki peluang besar buat mewarnai aturan nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, antara lain disebutkan: 

"…berfungsinya system aturan yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum yg berlaku, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban…".[49]

Dari muatan GBHN tadi, tampak jelas adanya peluang aturan Islam buat ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku pada masyarakat, yang bisa mengklaim kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh aturan itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana sudah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna pada segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek aturan Islam pada pembangunan aturan nasional sangat cerah dan baik. Namun demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan dan hambatan sama sekali yang memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta kendala itu[50] merupakan:
  • Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, juga budaya, kepercayaan dan kepercayaan . Di samping itu, dalam warga Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai syarat yang saling tidak sama yang mengakibatkan upaya pengintegrasiannya ke pada hukum nasional harus dipilih, mana yang telah sanggup diunifikasikan dan yg belum sanggup. 
  • Bagi rakyat non Islam, sangat dimengerti apabila lalu nir bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) hukum Islam dalam hukum nasional, ad interim pemerintah sendiri nampaknya belum memiliki kemauan politik yg bertenaga untuk memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat syok masa lalu sang adanya gerombolan ekstrim Islam dengan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir sang grup Imam Samudra dan Amrozi sebagai akibatnya menyebabkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali pada NAD menurut swatantra khsusus yg masih dalam tingkat uji-coba dan nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan hukum Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan rujuk), serta diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang aturan colonial yang dilanjutkan pada pada Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yg memperbolehkan umat Islam buat menentukan antara Peradilan Agama dengan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman serta penguasaan aturan Islam, bahkan pada kalangan cendikiawan muslim sendiri ditimbulkan oleh poly faktor, misalnya melemahnya dominasi bahasa Arab dan metode istinbat, sementara aturan Islam yang banyak beredar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan dengan aneka macam perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, juga kasusnya memang berbeda sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia). 
Untuk menanggulangi banyak sekali hambatan dan kendala di atas, maka beberapa solusi[51] kemungkinan dapat dipertimbangkan, diantaranya:
1) Mengadakan pembaharuan yg radikal terhadap pendidikan aturan, baik pada hukum Islam juga aturan generik yg meliputi pola dan kurikulum, sehingga bisa mencetak para sarjana hukum yg handal, produktif, responsif serta antisipatif terhadap perkembangan sosial rakyat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina aturan Islam dengan fakultas aturan umum sebagai Pembina ilmu hukum.
3) Menggalakkan obrolan, seminar serta sejenisnya antara ahli aturan Islam menggunakan sesamanya, dan menggunakan pakar aturan generik buat menemukan kecenderungan visi dan persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

Catatan Kaki / Sumber Artikel Di Atas :

[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, pada Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu bukan "aturan" dan nir bisa sebagai "hukum" apabila belum diresapi oleh aturan adat. Walaupun semenjak pemberlakuan UU Perkawinan dalam 1 Oktober 1974, sebenarnya teori tersebut dengan sendirinya telah mangkat , tetapi arwah dan semangatnya ternyata masih melekat pada benak sebagian sarjana aturan Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran serta Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, hukum Islam itu telah eksis sejak masa kerajaan Islam awal, dan bahkan secara resmi sebagai hukum Negara pada masa kesultanan Islam Indonesia. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam pada Indonesia, pada Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam pada Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yang memang merupakan sub system aturan nasional di Indonesia di samping sub system aturan Barat serta aturan istiadat, keberadaannya telah menjadi autoritive source sejak Dekrit Presiden lima Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
[6] Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para fuqaha pada menerapkan syariat Islam sinkron dengan kebutuhan rakyat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum serta spesifik. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan serta Islam termasuk pengetahuan mengenai ketuhanan. Dalam pengertian spesifik, ketetapan yang didapatkan menurut pemahaman seorang muslim yg memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an serta sunnah menggunakan menggunakan metode eksklusif (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Vii
[8] Fiqhi adalah aturan syara' yg bersifat simpel diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[9] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,
[10] Ahmad Rafiq, Hukum Islam pada Indonesia…
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam pada Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam pada Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, lepas 17 Mei 1995.
[13] Hukum Pidana adalah aturan yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran serta kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, yang mengakibatkan pelakunya dapat diancam menggunakan sanksi eksklusif dan merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, aturan yg diterima dan digunakan secara konkret pada kehidupan umat, atau yg tersosialisasikan serta diterima warga secara persuasive, karena dipercaya sudah sinkron menggunakan kesadaran aturan dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tadi, selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam pada Indonesia, dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pada kitab Prospek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[17] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum pada Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, aturan Islam diakui sebagai otoritas aturan, namun demikian eksistensi serta bentuknya masih sama dengan hukum istiadat yg tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab -buku fiqhi yg masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam pada banyak sekali macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama pada Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum pada Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[22] Mura Hutagalung, Hukum Islam pada Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[23] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[24] Notosusanto, Organisasi serta Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph dalam Undang-Undang Dasar-45 yg lalu menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI menggunakan rumusan pada Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an sebagai penggagas pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
[27] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…, h. 220
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika serta Kendala yg Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional mengenai Konstribusi Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di Ujung Pandang lepas 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek Kelembagaan Hukum dan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim menjadi lembaga peradilan dalam bentuknya yang masih sederhana menggunakan tokoh agama menjadi hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[30] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional…, h. 4
[31] Harun Nasution, Pembaharuan pada Islam. Sejarah Pemikiran serta Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11
[32] Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta (Cet VIII; Bandung: Mizan, 1966), h. 116
[33] Karenanya, berdasarkan segi kedudukan belum menjadi UU bukan aturan tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan pemerintah, bukan Kepres, serta seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan berdasarkan Sudut Perundang-Undangan Indonesia, pada Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam muncul dampak pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat: Pengantar Amin Rais dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. X.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu diantaranya Muhammad Abduh dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman pada Pakistan serta Nurcholis Madjid pada Indonesia, yang dipercaya terlalu liberal, elitis serta nir membumi, serta terlepas menurut realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam serta Tantangan Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105; Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization (terj) sang Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 150-151.
[38] A. Munir serta Sudarsono, Aliran Modern pada Islam (Jakarta: Rineka CIpta, 1994), h. 44
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[41] Ali Yafie, Mata Rantai yang Hilang, Dalam Pesantren No. Dua, Vol. II, 1985, h. 45-46
[42] Ali Yafie, Menggagas Fiqhi Indonesia, (Cet 1: Bandung Mizan, 1994), h. 107-122
[43] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia (Makalah), h. Tiga-5
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, bisa ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, pada Aspek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: FP-IKAHA, 1994), h. 146-157 
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. Dua: 195
[46] Andi Rasdiyanah, Problematika serta Kendala…, h. 5-6
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada upacara pembukaan Seminar Nasional mengenai Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya: Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek kelemahan serta hambatan tadi, dapat dilihat pada: Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Nasional serta Kongres I Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, lepas 13 Juli 1996, di Ujung Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi pada atas, bandingkan menggunakan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di Indonesia, h. 11-12.