PENGERTIAN TES PENGUKURAN EVALUASI DAN PENILAIAN

Cara flexi----Kualitas pendidikan sangat dipengaruhi pula oleh kemampuan satuan pendidikan pada melaksanakan evaluasi serta evaluasi Dengan melakukan penilaian, pendidik sebagai pengelola kegiatan bisa melihat sejauh mana keberhasilan kegiatan proses pembelajaran yg dilakukannya. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, dalam akhir program perlu dilakukan tes, pengukuran, serta evaluasi penilaian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan dan ketercapaian proses pembelajaran tadi. Berikut ini pengertian berdasarkan tes, pengukuran, dan penilaian penilaian tadi;
1.Pengertian Tes :

Tes dapat didefinisikan menjadi seperangkat tugas yang direncanakan buat memperoleh keterangan mengenai sifat pendidikan yang memiliki jawaban atau ketentuan yang dianggap sahih.

Menurut Riduwan (2006: 37) tes adalah serangkaian pertanyaan yg digunakan buat mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu / kelompok.menurut Allen Philips (1979:1-2) test diartikan sebagai indera digunakan untuk memperoleh data tentang suatu ciri dari individu atau gerombolan ). Menurut Rusli Lutan (2000:21) tes merupakan instrument yg dipakai buat memperoleh liputan tentang seorang atau obyek. 



2.Etika Tes

Kegiatan pengujian berperan sangat akbar pada system pendidikan dan system persekolahan.karena pentingnya itu maka setiap tindakan pengujian selalu menyebabkan kritik yg tajam menurut rakyat.

Kritik tadi antara lain:

a. Tes senantiasa akan mencampuri misteri pribadi peserta tes. Setiap tes berusaha mengetahui pengetahuan dan kemampuan peserta tes, yg dapat berarti membuka kelemahan serta kekuatan langsung seseorang. Di pada rakyat yang sangat melindungi akan hak dan misteri langsung,kasus ini seslalu akan menjadi somasi atau keluhan.


b. Tes selalu menimbulkan rasa cemas peserta tes.memang hingga bats eksklusif rasa cemas itu diperlukan buat bisa mencapai prestasi terbaik, namun tes tak jarang mengakibatkan rasa cemas yang nir perlu, yg justru dapat merusak seseorang mampu mendemonstrasikan kemampuan terbaiknya

c. Tes acapkali justru menghukum siswa yg kreatif.karena tes itu selalu menuntut jawaban yg telah ditentukan pola dan isinya, maka tentu saja hal itu tidak memberi ruang mobilitas yg cukup bagi anak yang kreatif.

d. Tes selalu terikat pad kebudayaan tertentu. Tidak ada tes hasil belajar yang bebas budaya. Karena itu kemampuan peserta tes buat memberi jawaban terbaik turut ditentukan oleh kebudayaan penyusun tes.

e. Tes hanya mengukur hasil belajar yg sederhana serta yang remeh. Hampir nir pernah terdapat tes hasil belajar yg sanggup menyampaikan tingkah laris peserta didik secara menyeluruh, yang justru sebagai tujuan utama pendidikan formal apapun.


3.Konsep Pengukuran


Pengukuran (measurement) merupakan proses anugerah nomor atau bisnis memperoleh pelukisan numeric menurut suatu tingkatan dimana seorang peserta didik sudah mencapai ciri tertentu. 
Pengukuran berkaitan erat dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif. 

Menurut beberapa pakar konsep pengkuruan diungkapkan seperti di bawah ini :
a. Menurut Kerlinger yang dikutip Sridadi (2007) pengukuran : menjadi pemberian angka pada obyek atau kejadian dari anggaran eksklusif.

b. Menurut Rusli Lutan (2000:21) pengukuran ialah proses pengumpulan berita.

c. Menurut Gronlund yang dikutip Sridadi (2007) pengukuran : suatu aktivitas buat memperoleh pelukisan numerik spesifik yang dimiliki individu.

d. Menurut wikipedia. Pengukuran adalah penentuan besaran, dimensi, ataukapasitas, satuan pengukuran.

e. Menurut Sridadi (2007) pengukuran adalah suatu proses yg dilakukan secara sistematis untuk memperoleh besaran kuantitatif menurut suatu obyek tertentu menggunakan menggunakan alat ukur yg baku.

4.Konsep Evaluasi

Menurut John M. Echols serta Hasan Shadily: (1983)pengertian evaluasi asal menurut bahasa Inggris evaluation yg berarti penilaian atau penaksiran.dengan demikianEvaluasi merupakan aktivitas mengukur dan menilai. Mengukur lebih besifat kuantitatif, sedangkan menilai lebih bersifat kualitatif.
Definisi Evaluasi :
a.Menurut Rusli Lutan (2000:22) evaluasi merupakan proses penentuan nilai atau kelayakan data yang terhimpun.
b.Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php). Evaluasi adalah suatu aktivitas atau proses buat memilih nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan misalnya program pendidikan termasuk perencanaan suatu program, substansi pendidikan seperti kurikulum, pengadaan dan peningkatan kemampuan pengajar, pengelolaan pendidikan, dan lain-lain.
c.Menurut Sridadi (2007) penilaian : suatu proses yang dirancang secara sistematis serta terjadwal dalam rangka buat menciptakan cara lain -cara lain keputusan atas dasar pengukuran dan evaluasi yang telah dilakukan sebelumnya.
d.Allen Philips (1979: 1-2) evaluation is a complex term that often is misused by both teachers and students. It involves making decicions or judgements about students based on the extent to which instructional objectives are achieved by them. (evaluasi adalah suatu istilah kompleks yang tak jarang disalahgunakan sang para pengajar serta para anak didik. Evaluasi melibatkan pembuatan keputusan atau penghakiman tentang para siswa didasarkan pada tingkat sasaran hasil yg dicapai oleh mereka.
e.Menurut Sutarsih dan Kadarsih yg dikutip oleh Sridadi (2007) penilaian : suatu proses buat menaruh atau memilih nilai pada obyek eksklusif dari suatu kriteria eksklusif.
f.Adams (1964) pada bukunya “Measurement and evaluation in education, psychology, and guidance” menjelaskan bahwa kita mengukur berbagai kemampuan siswa.
g.Daniel L. Stufflebeam dan Anthony J. Shinkfield (1985) penilaian merupakan kegiatan membandingkan tujuan menggunakan output serta juga adalah studi yg mengkombinasikan penampilan dengan suatu nilai eksklusif.
h.Robert L. Thorndike serta Elizabeth Hagen (1961) penilaian berhubungan dengan pengukuran.evaluasi pula meliputi evaluasi tentang apa yang baik serta apa yang diperlukan. Dengan demikian hasil pengukuran yg sahih merupakan dasar yg kokoh buat melakukan penilaian.
i.Evaluasi bisa dibagi sebagai 2, yaitu penilaian formatif serta penilaian sumatif.evaluasi formatif dilakukan menggunakan maksud memantau sejauh manakah suatu proses pendidikan telah berjalan sebagaimana yg direncanakan. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan buat mengetahui sejauhmana peserta didik sudah bisa berpindah dari suatu unit pedagogi ke unit berikutnya.

5.Konsep Penilaian


Penilaian (assessment) merupakan penerapan aneka macam cara untuk memperoleh kabar tentang sejauh mana output belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa. Penilaian hasil belajar pada dasarnya adalah mempermasalahkan, bagaimana guru (guru) dapat mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pengajar harus mengetahui sejauh mana pebelajar (learner) sudah mengerti bahan yang telah diajarkan atau sejauh mana tujuan/kompetensi dari aktivitas pembelajaran yang dikelola bisa dicapai. Tingkat pencapaian kompetensi atau tujuan instruksional menurut aktivitas pembelajaran yang telah dilaksanakan itu dapat dinyatakan dengan nilai.
Konsep Penilaian menurut peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan, Penilaian terhadap proses dan hasil belajar secara internal serta eksternal. Penilaian internal adalah evaluasi yg dilakukan oleh pengajar pada ketika pembelajaran berlangsung. Sedangkan evaluasi eksternal adalah penilaian yang dilakukan oleh pihak luar yg nir melaksanakan proses pembelajaran, umumnya dilakukan sang suatu institusi /lembaga baik didalam juga diluar negeri.
Ada empat macam kata yg berkaitan menggunakan konsep penilaian dan sering kali digunakan buat mengetahui keberhasilan belajar berdasarkan peserta didik yaitu : (1) pengukuran, (dua) pengujian, (3) penilaian dan (4) evaluasi. Namun diantara keempat istilah tadi pengertiannya masih seringkali dicampuradukan, padahal keempat kata tadi mempunyai pengertian yang tidak sinkron.
Sebenarnya proses pengukuran, penilaian, penilaian dan pengujian adalah suatu kegiatan atau proses yang bersifat hirarkis. Artinya aktivitas dilakukan secara berurutan serta berjenjang yaitu dimulai berdasarkan proses pengukuran kemudian evaluasi serta terakhir penilaian. Sedangkan proses pengujian adalah bagian menurut pengukuran yg dilanjutkan menggunakan aktivitas penilaian.

6.Pengertian Assesment

a.Menurut Buana (www.fajar.co.id/news.php). Assessment adalah alih-bahasa berdasarkan kata penilaian. Penilaian digunakan dalam konteks yg lebih sempit daripada penilaian dan umumnya dilaksanakan secara internal. Penilaian atau assessment adalah kegiatan menentukan nilai suatu objek, seperti baik-buruk, efektif-tidak efektif, berhasil-nir berhasil, serta semacamnya sesuai menggunakan kriteria atau tolak ukur yg sudah ditetapkan sebelumnya.

b. Menurut www.elook.org/dictionary/assessment.htmpenilaian adalah penggolongan seorang atau sesuatu berkenaan dengan harganya.

c.Menurut Angelo (1991: 17) Penilaian Kelas adalah suatu metode yg sederhana bisa memakai fakultas (sekolah) buat mengumpulkan umpan balik , awal dan setelahnya, pada seberapa baik para murid mereka belajar apa yg mereka ajarkan.

d.Menurut Suharsimi yg dikutip oleh Sridadi(2007) penilaian adalah suatu usaha yg dilakukan pada pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-tidak baik → bersifat kualitatif.

e.Menurut Depag yang dikutip Sridadi (2007) evaluasi merupakan suatu usaha buat mengumpulkan aneka macam berita secara berkesinambungan dan menyeluruh mengenai proses dan hasil belajar yg sudah dicapai oleh anak didik melalui kegiatan belajar mengajar yg ditetapkan sehingga dapat dijadikan dasar buat memilih langkah selanjutnya.

f.Menurut Rusli Lutan (2000:9) “assessment termasuk aplikasi tes serta evaluasi. Asessment bertujuan untuk menyediakan keterangan yg selanjutkan dipakai buat keperluan fakta.


DAFTAR PUSTAKA
Angelo, T.A., (1991). Ten easy pieces: Assessing higher learning in four dimensions. In Classroom research: Early lessons from success. New directions in teaching and learning (#46), Summer, 17-31.
Buana.(2005).ujian NasionalPenilaian atau Evaluasi. www.fajar.co.id/news.diakses tanggal 20 September 2007
Phillips, Allen D. (1979). Measurement and Evaluation in physical education. Canada: John Whiley & Sons, Inc.
Rusli Lutan. (2000). Pengukuran dan Evaluasi Penjaskes. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sridadi. (2007). Diktat Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Penjas. Yogyakarta: FIK UNY
William Shockley. Id.wilkipedia.org/wiki/pengukuran). Diakses tanggal 20 September 2007
Wolf, Richard, M. (1984). Evaluation in education. New York: Praeyer Publishers

PENGERTIAN PENDIDIKAN ANTISIPATORIS

Pengertian Pendidikan Antisipatoris 
Abad Melinium yang dicirikan menggunakan era dunia sudah menuntut peningkatakan daya saing dan kompetisi yang terbuka. Hal itu, sudah menimbulkan orientasi baru pada pendidikan, yaitu sangat perlunya diciptakan dan ditekankan adanya pendidikan yg bermakna, lantaran menggunakan pendidikan yg bermakna akan bisa menolong kita, sedangkan pendidikan yang nir bermakna hanya menjadi beban hidup. Karena itu pembelajaran yg bermakna menjadi isu krusial dalam pendidikan misalnya yg sudah dilaporkan sang the International Commission on Education for the Twenty-first Century (Delors, 1995), suatu komisi yg dibentuk oleh UNESCO serta bertugas menelaah pendidikan yg sempurna buat abad ke-21.

Laporan itu mengungkapkan bahwa buat memenuhi tuntutan kehidupan masa depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik buat meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku maupun buat dapat mengikuti keadaan menggunakan dunia yang kompleks serta penuh menggunakan saling ketergantungan. Untuk itu, pendidikan yang relevan wajib bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu (1) learning to know, yakni peserta didik menyelidiki pengetahuan, (2) learning to do, yakni peserta didik memakai pengetahuannya buat menyebarkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta didik belajar memakai pengetahuan dan keterampilannya buat hidup, dan (4) learning to live together, yakni siswa belajar buat menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga dibutuhkan adanya saling menghargai antara sesama insan. Dengan demikian, pendidikan saat ini harus mampu membekali setiap siswa dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai serta sikap, dimana proses belajar bukan semata-mata mencerminkan pengetahuan (knowledge-based) namun mencerminkan keempat pilar di atas. Melalui keempat pilar itulah bisa terbentuk kompetensi. 

Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, perilaku serta nilai yang dimiliki serta dikuasai peserta didik yg dapat tertampilkan secara konkret pada memecahkan /menyelesaikan tugas-tugas dalam kehidupan. Jadi seseorang dikatakan kompeten jika padanya terbentuk suatu kemampuan yang bisa diandalkannya dalam menghadapi tuntutan kehidupan. Dengan kata lain, kompetensi dibangun supaya setiap individu bisa survived dalam menghadapi kehidupan yang penuh menggunakan tantangan dalam era dunia ini.

Pembentukan kompetensi mensyaratkan dilakukannya asesmen yg bersifat komprehensif, pada arti, asesmen dilakukan terhadap proses dan produk belajar. Bila pada masa yang kemudian fokus pembelajaran adalah pada produk belajar, pada masa sekarang proses serta produk mendapat porsi perhatian yg seimbang. Hal ini didasari oleh perkiraan bahwa suatu produk yg baik seyogyanya didahului sang proses yang baik. Untuk meyakinkan hal tersebut, perlu dilakukan pemantauan terhadap proses. Di samping itu, menggunakan dilakukannya pemantauan selama proses, terbuka peluang bagi peserta didik buat menerima umpan kembali yang bisa digunakannya buat membentuk produk terbaik.

1. Terminologi dalam Khasanah Asesmen
Dalam konteks pendidikan dewasa ini, istilah asesmen lebih banyak digunakan dibandingkan dengan pada masa-masa yang lalu. Penggunaan istilah asesmen dipakai bersama-sama menggunakan istilah evaluasi dan pengukuran. Memang, dari Popham (1975), pengertian pengukuran dan penilaian tidak selaras. Pengukuran merupakan suatu tindakan memilih sejauhmana (the degree to which) seorang memiliki suatu atribut eksklusif. Penentuan itu dilakukan menggunakan memberikan nomor (disebut skor) terhadap atribut tadi. Evaluasi adalah keseluruhan proses buat memutuskan apakah sesuatu baik atau tidak, berguna atau nir, dan seterusnya. Jadi, pengukuran merupakan status determination, sedangkan penilaian merupakan worth determination. 

Dalam kaitannya menggunakan asesmen, Popham mengatakan bahwa asesmen sering dimaksudkan sama dengan evaluasi. Kata asesmen dipercaya lebih ‘ramah’ dibandingkan dengan penilaian. Setelah 2 puluh tahun, Popham (1995) lebih menekankan lagi bahwa dalam hakikatnya kata asesmen juga evaluasi secara prinsip tidaklah berbeda, serta menggunakannya menggunakan makna yg sama. 

Menurut Salvia dan Ysseldike (1994) asesmen merupakan suatu proses mengumpulkan data menggunakan tujuan agar bisa dilakukan keputusan tentang suatu objek. Popham (1975) menyampaikan bahwa asesmen adalah suatu upaya formal buat memilih status objek pada aneka macam aspek yg dievaluasi. Nitko (1996) mengatakan bahwa asesmen adalah suatu proses menerima data yang dipakai untuk pengambilan keputusan mengenai pebelajar, acara pendidikan, serta kebijakan pendidikan. Apabila dikatakan ’mengases kompetensi pebelajar’, maka itu berarti pengumpulan fakta buat dapat ditentukan sejauhmana seorang pebelajar sudah mencapai suatu sasaran belajar.

2. Asesmen Berbasis Kompetensi
Pendidikan adalah proses pemenusiaan insan, maka dari itu dalam tataran yang lebih operasioanal bisa dikatakan bahwa tuntutan pendidikan merupakan terbentuknya kompetensi dalam siswa (terlepas berdasarkan apakah kurikulum yang kini tetap dipakai atau diganti, tetapi pembentukan kompetensi adalah adalah suatu keharusan). Untuk itu, perlu dilakukan pembenahan dalam praktik pembelajaran pada sekolah, termasuk praktek asesmennya. Asesmen berbasis kompetensi adalah asesmen yang dilakukan buat mengetahui kompetensi seseorang. Kompetensi merupakan atribut individu siswa, oleh karenanya asesmen berbasis kompetensi bersifat individual; sehingga dia diklaim asesmen berbasis kelas. Untuk memastikan bahwa yang diases tadi sahih-sahih merupakan kompetensi riil individu (peserta didik) tadi, maka asesmen wajib dilakukan secara otentik (nyata, riil misalnya kehidupan sehari-hari). Asesmen otentik bersifat on-going atau berkelanjutan, oleh karenanya asesmen harus dilakukan kepada proses dan produk belajar. Dengan demikian, asesmen berbasis kompetensi memiliki sifat otentik, berkelanjutan, dan individual.

Sifat-sifat asesmen berbasis kompetensi tersebut menandakan bahwa jenis tes objektif (misalnya tes pilihan ganda, benar-galat, dan lain-lain) yang dimasa kemudian mendominasi evaluasi pada sekolah nir lagi relevan saat ini. Sudah saatnya (serta secepat mungkin) proses pembelajaran ditopang secara kukuh menggunakan penggunaan asesmen otentik misalnya asesmen kinerja, evaluasi diri, esai, asesmen portofolio, serta projek.

3. Implementasi Asesmen Otentik
a. Asesmen Kinerja
Asesmen kinerja merupakan suatu prosedur yang memakai aneka macam bentuk tugas-tugas buat memperoleh kabar tentang apa serta sejauhmana yang telah dilakukan pada suatu program. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yg ditunjukkan pada merampungkan suatu tugas atau konflik yang diberikan. Hasil yg diperoleh adalah suatu output menurut unjuk kerja tadi.

Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil kerja yang ditunjukkan dalam proses pelaksanaan program itu digunakan menjadi basis buat dilakukan suatu pemantauan tentang perkembangan menurut satu pencapaian program tersebut. 

Terdapat 3 komponen primer pada asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja (performance task), rubrik performansi (performance rubrics), dan cara penilaian (scoring guide). Tugas kinerja merupakan suatu tugas yg berisi topik, standar tugas, deskripsi tugas, dan syarat penyelesaian tugas. Rubrik performansi adalah suatu rubrik yang berisi komponen-komponen suatu performansi ideal, serta deskriptor dari setiap komponen tadi. Cara penilaian kinerja terdapat 3, yaitu (1) holistic scoring, yaitu hadiah skor dari impresi penilai secara umum terhadap kualitas performansi; (2) analytic scoring, yaitu hadiah skor terhadap aspek-aspek yg berkontribusi terhadap suatu performansi; dan (3) primary traits scoring, yaitu anugerah skor berdasarkan beberapa unsur secara umum dikuasai berdasarkan suatu performansi. 

b. Evaluasi Diri
Menurut Rolheiser dan Ross (2005) evaluasi diri adalah suatu cara buat melihat kedalam diri sendiri. Melalui penilaian diri peserta didik dapat melihat kelebihan maupun kekurangannya, buat selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian, siswa lebih bertanggungjawab terhadap proses dan pencapaian tujuan belajarnya.

Salvia serta Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi serta penilaian diri merupakan cara buat menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu pemahaman bahwa apa yg dilakukan serta didapatkan peserta didik tadi memang merupakan hal yang berguna bagi diri serta kehidupannya. 

Rolheiser serta Ross (2005) mengajukan suatu model teoretik buat memperlihatkan donasi evaluasi diri terhadap pencapaian tujuan. Model tadi menekankan bahwa, waktu mengevaluasi sendiri performansinya, peserta didik terdorong untuk tetapkan tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, siswa harus melakukan bisnis yg lebih keras (effort). Kombinasi dari goals dan effort ini memilih prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini mengakibatkan pada evaluasi terhadap diri (self-judgment) melalui kontemplasi seperti pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’? Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) misalnya ‘Apa yang saya rasakan menurut prestasi ini?’

Goals, effort, achievement, self-judgment, dan self-reaction bisa terpadu buat membangun agama diri (self-confidence) yang positif. Kedua penulis menekankan bahwa sesungguhnya, penilaian diri merupakan kombinasi dari komponen self-judgment dan self-reaction pada model pada atas. Model tersebut digambarkan pada bagan berikut.

Evaluasi diri merupakan suatu unsur metakognisi yg sangat berperan dalam proses belajar. Oleh karenanya, supaya evaluasi dapat berjalan dengan efektif, Rolheiser dan Ross menyarankan agar peserta didik dilatih buat melakukannya. Kedua peneliti mengajukan empat langkah dalam berlatih melakukan evaluasi diri, yaitu: (1) libatkan seluruh komponen dalam menentukan kriteria penilaian, (2) pastikan seluruh peserta didik tahu bagaimana caranya memakai kriteria tersebut buat menilai kinerjanya, (3) berikan umpan kembali dalam mereka berdasarkan output evaluasi dirinya, serta (4) arahkan mereka buat mengembangkan sendiri tujuan dan rencana kerja berikutnya.

Untuk langkah pertama, yaitu memilih kriteria evaluasi. Guru mengajak peserta didik bersama-sama menetapkan kriteria penilaian. Pertemuan dalam bentuk pengenalan tujuan pembelajaran dan curah pendapat sangat sempurna dilakukan. Kriteria ini dilengkapi dengan bagaimana cara mencapainya. Dengan istilah lain, kriteria evaluasi adalah produknya, sedangkan proses mencapai kriteria tersebut dipantau dengan menggunakan ceklis penilaian diri. Cara mengembangkan kriteria penilaian sama menggunakan membuatkan rubrik evaluasi dalam asesmen kinerja. Ceklis penilaian diri dikembangkan menurut hakikat tujuan tersebut serta bagaimana mencapainya. 

c. Esai 
(Tes) esai menghendaki peserta didik untuk mengorganisasikan, merumuskan, serta mengemukakan sendiri jawabannya. Ini berarti siswa nir menentukan jawaban, akan namun memberikan jawaban dengan istilah-pungkasnya sendiri secara bebas.

Tes esai bisa digolongkan sebagai 2 bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka (extended-response) dan jawaban terbatas (restricted-response) serta hal ini tergantung pada kebebasan yg diberikan pada siswa buat mengorganisasikan atau menyusun pandangan baru-idenya serta menuliskan jawabannya. Pada tes esai bentuk jawaban terbuka atau jawaban luas, peserta didik mendemonstrasikan kecakapannya buat: (1) menyebutkan pengetahuan faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya, (tiga) menyusun ilham-idenya, dan (4) mengemukakan idenya secara logis serta koheren. Sedangkan dalam tes esai jawaban terbatas atau terstruktur, peserta didik lebih dibatasi dalam bentuk dan ruang lingkup jawabannya, lantaran secara khusus dinyatakan konteks jawaban yang wajib diberikan sang siswa. Esai terbuka/tak terstruktur adalah bentuk asesmen otentik.

Tes esai memiliki potensi buat mengukur output belajar dalam strata yg lebih tinggi atau kompleks. Butir tes esai memberi kesempatan kepada peserta didik buat menyusun, menganalisis, serta mensintesiskan ide-inspirasi, dan siswa harus membuatkan sendiri buah pikirannya dan menuliskannya dalam bentuk yg tersusun atau terorganisasi. Kelemahan esai adalah berkaitan menggunakan penskoran. Ketidakkonsistenan pembaca adalah penyebab kurang objektifnya dalam memberikan skor dan terbatasnya reliabilitas tes. Tetapi hal ini bisa diminimalkan melalui penggunaan rubrik penilaian, serta penilai ganda (inter-rater).

d. Asesmen Portofolio
Portofolio merupakan sekumpulan artefak (bukti karya/kegiatan/data) menjadi bukti (evidence) yg menerangkan perkembangan dan pencapaian suatu program. Penggunaan portofolio pada kegiatan penilaian sebenarnya telah lama dilakukan, terutama dalam pendidikan bahasa. Belakangan ini, menggunakan adanya orientasi kurikulum yang berbasis kompetensi, asesmen portofolio sebagai primadona dalam asesmen berbasis kelas.

Perlu dipahami bahwa sebuah portofolio (umumnya ditaruh pada folder) bukan semata-mata formasi bukti yang nir bermakna. Portofolio harus disusun berdasarkan tujuannya. Wyatt serta Looper (2002) menyebutkan, berdasarkan tujuannya sebuah portofolio dapat berupa developmental portfolio, bestwork portfolio, serta showcase portfolio. Developmental portfolio disusun demikian rupa sinkron dengan langkah-langkah kronologis perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, pencatatan mengenai kapan suatu artefak didapatkan sebagai sangat krusial, sehingga perkembangan program tersebut dapat dilihat menggunakan kentara. Bestwork portfolio adalah portofolio karya terbaik. Karya terbaik diseleksi sendiri sang pemilik portofolio serta diberikan karena. Karya terbaik bisa lebih menurut satu. Showcase portfolio adalah portofolio yg lebih dipakai untuk tujuan pajangan, sebagai hasil berdasarkan suatu kinerja tertentu.

Bagaimanakah asesmen portofolio membantu memantau pencapaian target kompetensi? Asesmen portofolio merupakan suatu pendekatan asesmen yg komprehensif lantaran: (1) bisa meliputi ranah kognitif, afektif, serta psikomotor secara beserta-sama, (2) berorientasi baik dalam proses maupun produk belajar, dan (tiga) bisa memfasilitasi kepentingan serta kemajuan siswa secara individual. Dengan demikian, asesmen portofolio merupakan suatu pendekatan asesmen yg sangat tepat untuk menjawab tantangan KBK.

Asesmen portofolio mengandung 3 elemen pokok yaitu: (1) sampel karya peserta didik, (dua) penilaian diri, serta (tiga) kriteria evaluasi yang kentara dan terbuka. 

(1) Sampel Karya Peserta didik
Sampel karya peserta didik memberitahuakn perkembangan belajarnya berdasarkan saat ke waktu. Sampel tersebut bisa berupa tulisan/karangan, audio atau video, laporan, masalah matematika, maupun eksperimen. Isi berdasarkan sampel tadi disusun secara sistematis tergantung dalam tujuan pembelajaran, preferensi pengajar, maupun preferensi peserta didik. Asesmen portoflolio menilai proses maupun output. Oleh karenanya proses dan hasil sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat berkelanjutan, yg berarti proses menerima porsi penilaian yg akbar (bandingkan menggunakan asesmen konvensional yg hanya menilai hasil belajar) namun kualitas hasil sangat krusial. Dan memang, evaluasi proses yang dilakukan tadi sesungguhnya memberi kesempatan siswa mencapai produk yg sebaik-baiknya.

Isi folder adalah berbagai produk yg dihasilkan sang siswa, baik yg berupa bahan/draf juga karya (terbaik), dan dianggap entri (entry). Sumber keterangan dapat diperoleh menurut tes juga non-tes (menggunakan tes objektif diupayakan minimal). Bahan non-tes antara lain karya (artefak), rekaman, draf, kinerja, dan lain-lain yg bisa memperlihatkan perkembangan siswa sebagai pebelajar. Catatan dan bahan penilaian-diri jua adalah bagian dalam folder.

(2) Evaluasi Diri pada Asesmen Portofolio
O’Malley serta Valdez Pierce (1994) bahkan berkata bahwa ‘self-assessment is the key to portfolio’. Hal ini ditimbulkan karena melalui evaluasi diri siswa bisa membentuk pengetahuannya dan merencanakan dan memantau perkembangannya apakah rute yg ditempuhnya telah sesuai. Melalui evaluasi diri peserta didik bisa melihat kelebihan juga kekurangannya, buat selanjutnya kekurangan ini menjadi tujuan pemugaran (improvement goal). Dengan demikian peserta didik lebih bertanggungjawab terhadap proses belajarnya serta pencapaian tujuan belajarnya.

Evaluasi diri dalam asesmen portofolio persis sama menggunakan evaluasi diri yg dibahas pada bagian b. Pada atas. Memang, asesmen portofolio merupakan asesmen otentik yang paling komprehensif dalam khasanah asesmen otentik karena melibatkan jenis-jenis asesmen yang lain misalnya asesmen kinerja dan esai. 

(3) Kriteria Penilaian yg Jelas serta Terbuka
Bila dalam jenis-jenis asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi ‘misteri’ pengajar atau pun tester, dalam asesmen portofolio justru wajib disosialisasikan kepada peserta didik secara kentara. Kriteria tadi dalam hal ini meliputi mekanisme dan baku evaluasi. Para ahli menganjurkan bahwa sistem serta baku asesmen tersebut ditetapkan bersama-sama menggunakan siswa, atau paling nir diumumkan secara kentara. Rubrik evaluasi yang digunakan pengajar buat menilai kinerja siswa (contohnya, kriteria penilaian kemampuan menulis) 

(4) Model Asesmen Portofolio
Untuk memperoleh citra komprehensif melalui asesmen portofolio, diperlukan suatu pendekatan yg dapat mewakili keseluruhan proses asesmen. Wyaatt III dan Looper (1999) menyebarkan suatu contoh portofolio yang diakronimkan sebagai CORP, yg mencakup (1) collecting, yaitu pengumpulan data seperti karya-karya serta dokumen-dokumen lain termasuk draft, (2) organizing, yaitu proses penyusunan dan pemilihan data-data itu dari aturan yang diinginkan, seperti secara kronologi, berdasarkan focus, atau karya terbaik (tiga) reflecting, yaitu refleksi terhadap proses belajar yg telah dilalui serta penilaian atas karya sendiri, dan (4) presenting, yaitu menampilkan semua hasil seleksi serta refleksi tadi pada suatu dokumen yg seringkali dianggap folder.

Folder portofolio adalah bahan yang akan diases oleh pengajar. Pada umumnya, beberapa hal yang harus ada pada folder portofolio merupakan (1) cover letter, yaitu rangkuman berdasarkan apa yg sudah dibentuk peserta didik sebagai bukti output belajarnya, (2) daftar isi portofolio, (tiga) entri (menggunakan lepas pada setiap entri). Entri dibedakan sebagai dua, yaitu entri wajib serta entri pilihan; (4) draf setiap entri (buat pemantauan proses yg dilewati), dan (5) refleksi dan penilaian diri.

Berikut ini merupakan modifikasi berdasarkan model asesmen portofolio sang Moya dan O’Malley (1994). Model tersebut (Portfolio Assessment Model) diubahsuaikan menggunakan 3 komponen pembelajaran, yaitu Perencanaan, Pelaksanaan, dan Analisis.

a). Perencanaan
(1) Menentukan tujuan dan fokus (baku kompetensi, kompetensi dasar, kriteria keberhasilan)
(dua) Merencanakan isi portofolio, yg meliputi pemilihan mekanisme asesmen, memilih isi/topik, serta memutuskan frekuensi dan waktu dilakukannya asesmen.
(tiga) Mendesain cara menganalisis portofolio, yaitu dengan menetapkan standar atau kriteria penilaian, memutuskan cara memadukan output penilaian berdasarkan aneka macam sumber, serta memutuskan ketika analisis.
(4) Merencanakan penggunaan portofolio dalam pembelajaran, yaitu berupa pemberian umpan kembali.
(5) Menentukan mekanisme pengujian keakuratan warta, yaitu tetapkan cara mengetahui reliabilitas berita dan validitas penilaian.

b). Implementasi model (terpadu dengan pembelajaran)
(1) Mengumumkan tujuan serta fokus pembelajaran kepada siswa.
(2) Menyepakati prosedur asesmen yg dipakai serta kriteria penilaiannya.
(3) Mendiskusikan cara-cara yang perlu dilakukan buat mencapai output maksimal .
(4) Melaksanakan asesmen portofolio (folder, penilaian diri)
(4) Memberikan umpan kembali terhadap karya dan evaluasi diri

c). Analisis portofolio peserta didik
(1) Mengumpulkan folder
(2) Menganalisis berbagai sumber dan bentuk informasi
(3) Memadukan aneka macam berita yang ada
(4) Menerapkan kriteria evaluasi yg sudah disepakati
(5) Melaporkan hasil asesmen

e. Projek
Projek, atau tak jarang diklaim pendekatan projek (project approach) merupakan pemeriksaan mendalam tentang suatu topik konkret. Dalam projek, siswa mendapat kesempatan mengaplikasikan keterampilannya. Pelaksanaan projek dapat dianalogikan dengan sebuah cerita, yaitu mempunyai awal, pertengahan, serta akhir projek. Karena itu, projek biasanya memiliki 3 fase primer, yaitu: 

(1) Fase Perencanaan; dalam fase ini pengajar menyusun suatu Tugas Projek yang berisi: tema atau topik projek, serta petunjuk tentang apa yg mesti dilakukan sang peserta didik. Biasanya, sebelumnya hal-hal tersebut pada atas didiskusikan dulu sang pengajar dengan peserta didik.

Tugas projek dapat berbentuk pertunjukan (contohnya, drama), konstruksi (misalnya, membentuk sebuah kolam ikan), karya tulis (misalnya, KIR). Contoh tugas projek:
1. Tema : Pertunjukan Drama
2. Petunjuk :
- Pilihlah salahsatu drama karya Putu Wijaya
- Setiap gerombolan terdiri dari lima – 10 orang peserta didik
- Pertunjukan akan dilakukan dalam lepas 16 Agustus 2006 pada auditorium sekolah
- Lama saat pertunjukan merupakan satu jam buat setiap grup, karena itu naskah bisa dimodifikasi tanpa meninggalkan pesan aslinya

(dua) Fase Pengembangan; pada fase ini siswa mencari bahan, memodifikasi naskah, berdiskusi dengan ahli, berlatih secara terbimbing maupun berdikari.
(3) Fase Akhir; pada fase ini siswa menampilkan output kerja mereka, yaitu berupa petunjukan drama.

PENGERTIAN PENDIDIKAN ANTISIPATORIS

Pengertian Pendidikan Antisipatoris 
Abad Melinium yg dicirikan dengan era dunia telah menuntut peningkatakan daya saing serta kompetisi yang terbuka. Hal itu, sudah menyebabkan orientasi baru dalam pendidikan, yaitu sangat perlunya diciptakan dan ditekankan adanya pendidikan yg bermakna, lantaran dengan pendidikan yang bermakna akan dapat menolong kita, sedangkan pendidikan yg tidak bermakna hanya menjadi beban hidup. Karena itu pembelajaran yg bermakna sebagai info penting dalam pendidikan misalnya yg sudah dilaporkan oleh the International Commission on Education for the Twenty-first Century (Delors, 1995), suatu komisi yang dibuat oleh UNESCO serta bertugas mempelajari pendidikan yg tepat buat abad ke-21.

Laporan itu mengungkapkan bahwa buat memenuhi tuntutan kehidupan masa depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk menaikkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap juga buat dapat mengikuti keadaan menggunakan dunia yang kompleks dan penuh dengan saling ketergantungan. Untuk itu, pendidikan yang relevan wajib bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu (1) learning to know, yakni siswa mempelajari pengetahuan, (dua) learning to do, yakni peserta didik menggunakan pengetahuannya buat membuatkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta didik belajar memakai pengetahuan dan keterampilannya buat hayati, serta (4) learning to live together, yakni siswa belajar buat menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sebagai akibatnya dibutuhkan adanya saling menghargai antara sesama manusia. Dengan demikian, pendidikan saat ini harus bisa membekali setiap siswa dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai serta sikap, dimana proses belajar bukan semata-mata mencerminkan pengetahuan (knowledge-based) tetapi mencerminkan keempat pilar pada atas. Melalui keempat pilar itulah bisa terbentuk kompetensi. 

Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, perilaku dan nilai yang dimiliki serta dikuasai siswa yg dapat tertampilkan secara konkret dalam memecahkan /menuntaskan tugas-tugas pada kehidupan. Jadi seorang dikatakan kompeten apabila padanya terbentuk suatu kemampuan yang dapat diandalkannya dalam menghadapi tuntutan kehidupan. Dengan istilah lain, kompetensi dibangun agar setiap individu bisa survived dalam menghadapi kehidupan yang penuh menggunakan tantangan dalam era global ini.

Pembentukan kompetensi mensyaratkan dilakukannya asesmen yg bersifat komprehensif, dalam arti, asesmen dilakukan terhadap proses dan produk belajar. Jika pada masa yg lalu fokus pembelajaran adalah pada produk belajar, dalam masa sekarang proses dan produk menerima porsi perhatian yg seimbang. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa suatu produk yang baik seyogyanya didahului sang proses yang baik. Untuk meyakinkan hal tadi, perlu dilakukan pemantauan terhadap proses. Di samping itu, menggunakan dilakukannya pemantauan selama proses, terbuka peluang bagi siswa untuk menerima umpan pulang yang dapat digunakannya buat membentuk produk terbaik.

1. Terminologi pada Khasanah Asesmen
Dalam konteks pendidikan dewasa ini, kata asesmen lebih poly dipakai dibandingkan dengan pada masa-masa yang kemudian. Penggunaan istilah asesmen digunakan bersama-sama dengan kata evaluasi dan pengukuran. Memang, menurut Popham (1975), pengertian pengukuran serta penilaian tidak sinkron. Pengukuran merupakan suatu tindakan memilih sejauhmana (the degree to which) seorang mempunyai suatu atribut tertentu. Penentuan itu dilakukan menggunakan memberikan nomor (disebut skor) terhadap atribut tadi. Evaluasi merupakan keseluruhan proses buat tetapkan apakah sesuatu baik atau tidak, berguna atau tidak, dan seterusnya. Jadi, pengukuran merupakan status determination, sedangkan penilaian merupakan worth determination. 

Dalam kaitannya dengan asesmen, Popham menyampaikan bahwa asesmen seringkali dimaksudkan sama menggunakan evaluasi. Kata asesmen dianggap lebih ‘ramah’ dibandingkan dengan penilaian. Setelah dua puluh tahun, Popham (1995) lebih menekankan lagi bahwa pada hakikatnya istilah asesmen juga penilaian secara prinsip tidaklah tidak selaras, dan menggunakannya dengan makna yang sama. 

Menurut Salvia serta Ysseldike (1994) asesmen adalah suatu proses mengumpulkan data dengan tujuan supaya bisa dilakukan keputusan mengenai suatu objek. Popham (1975) menyampaikan bahwa asesmen merupakan suatu upaya formal buat menentukan status objek pada aneka macam aspek yg dievaluasi. Nitko (1996) menyampaikan bahwa asesmen adalah suatu proses menerima data yg dipakai buat pengambilan keputusan mengenai pebelajar, acara pendidikan, serta kebijakan pendidikan. Apabila dikatakan ’mengases kompetensi pebelajar’, maka itu berarti pengumpulan berita buat dapat ditentukan sejauhmana seorang pebelajar sudah mencapai suatu target belajar.

2. Asesmen Berbasis Kompetensi
Pendidikan merupakan proses pemenusiaan insan, maka berdasarkan itu pada tataran yg lebih operasioanal bisa dikatakan bahwa tuntutan pendidikan merupakan terbentuknya kompetensi pada peserta didik (terlepas berdasarkan apakah kurikulum yang kini tetap dipakai atau diganti, tetapi pembentukan kompetensi adalah adalah suatu keharusan). Untuk itu, perlu dilakukan pembenahan dalam praktik pembelajaran pada sekolah, termasuk praktek asesmennya. Asesmen berbasis kompetensi merupakan asesmen yg dilakukan buat mengetahui kompetensi seseorang. Kompetensi merupakan atribut individu siswa, sang karenanya asesmen berbasis kompetensi bersifat individual; sebagai akibatnya ia disebut asesmen berbasis kelas. Untuk memastikan bahwa yang diases tersebut sahih-benar adalah kompetensi riil individu (peserta didik) tadi, maka asesmen wajib dilakukan secara otentik (nyata, riil misalnya kehidupan sehari-hari). Asesmen otentik bersifat on-going atau berkelanjutan, oleh karena itu asesmen wajib dilakukan kepada proses serta produk belajar. Dengan demikian, asesmen berbasis kompetensi memiliki sifat otentik, berkelanjutan, dan individual.

Sifat-sifat asesmen berbasis kompetensi tersebut menandakan bahwa jenis tes objektif (misalnya tes pilihan ganda, sahih-galat, dan lain-lain) yg dimasa kemudian mendominasi evaluasi di sekolah tidak lagi relevan waktu ini. Sudah saatnya (dan secepat mungkin) proses pembelajaran ditopang secara kukuh menggunakan penggunaan asesmen otentik misalnya asesmen kinerja, evaluasi diri, esai, asesmen portofolio, dan projek.

3. Implementasi Asesmen Otentik
a. Asesmen Kinerja
Asesmen kinerja merupakan suatu prosedur yang memakai aneka macam bentuk tugas-tugas buat memperoleh keterangan tentang apa dan sejauhmana yg sudah dilakukan dalam suatu acara. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang ditunjukkan pada merampungkan suatu tugas atau pertarungan yang diberikan. Hasil yang diperoleh merupakan suatu output dari unjuk kerja tersebut.

Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil kerja yg ditunjukkan dalam proses aplikasi acara itu dipakai sebagai basis buat dilakukan suatu pemantauan mengenai perkembangan dari satu pencapaian acara tadi. 

Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja (performance task), rubrik performansi (performance rubrics), serta cara evaluasi (scoring guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi topik, baku tugas, pelukisan tugas, serta syarat penyelesaian tugas. Rubrik performansi adalah suatu rubrik yg berisi komponen-komponen suatu performansi ideal, serta deskriptor berdasarkan setiap komponen tersebut. Cara evaluasi kinerja ada 3, yaitu (1) holistic scoring, yaitu anugerah skor dari impresi penilai secara generik terhadap kualitas performansi; (dua) analytic scoring, yaitu hadiah skor terhadap aspek-aspek yang berkontribusi terhadap suatu performansi; serta (3) primary traits scoring, yaitu anugerah skor berdasarkan beberapa unsur lebih banyak didominasi menurut suatu performansi. 

b. Evaluasi Diri
Menurut Rolheiser serta Ross (2005) evaluasi diri merupakan suatu cara buat melihat kedalam diri sendiri. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat melihat kelebihan juga kekurangannya, buat selanjutnya kekurangan ini sebagai tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian, peserta didik lebih bertanggungjawab terhadap proses serta pencapaian tujuan belajarnya.

Salvia serta Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi serta evaluasi diri adalah cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu pemahaman bahwa apa yang dilakukan serta dihasilkan siswa tersebut memang merupakan hal yg bermanfaat bagi diri serta kehidupannya. 

Rolheiser serta Ross (2005) mengajukan suatu model teoretik buat menerangkan kontribusi evaluasi diri terhadap pencapaian tujuan. Model tadi menekankan bahwa, saat mengevaluasi sendiri performansinya, peserta didik terdorong untuk memutuskan tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, peserta didik wajib melakukan bisnis yg lebih keras (effort). Kombinasi menurut goals serta effort ini menentukan prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini mengakibatkan dalam penilaian terhadap diri (self-judgment) melalui kontemplasi misalnya pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’? Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’

Goals, effort, achievement, self-judgment, serta self-reaction dapat terpadu buat membangun agama diri (self-confidence) yang positif. Kedua penulis menekankan bahwa sesungguhnya, penilaian diri adalah kombinasi dari komponen self-judgment serta self-reaction dalam contoh di atas. Model tersebut digambarkan pada bagan berikut.

Evaluasi diri merupakan suatu unsur metakognisi yg sangat berperan pada proses belajar. Oleh karena itu, agar evaluasi bisa berjalan menggunakan efektif, Rolheiser dan Ross menyarankan agar siswa dilatih buat melakukannya. Kedua peneliti mengajukan empat langkah pada berlatih melakukan penilaian diri, yaitu: (1) libatkan semua komponen pada menentukan kriteria penilaian, (dua) pastikan seluruh peserta didik tahu bagaimana caranya menggunakan kriteria tadi buat menilai kinerjanya, (3) berikan umpan balik pada mereka menurut hasil evaluasi dirinya, serta (4) arahkan mereka buat membuatkan sendiri tujuan dan planning kerja berikutnya.

Untuk langkah pertama, yaitu menentukan kriteria evaluasi. Guru mengajak peserta didik bersama-sama tetapkan kriteria penilaian. Pertemuan pada bentuk pengenalan tujuan pembelajaran serta curah pendapat sangat sempurna dilakukan. Kriteria ini dilengkapi menggunakan bagaimana cara mencapainya. Dengan kata lain, kriteria penilaian adalah produknya, sedangkan proses mencapai kriteria tadi dipantau menggunakan menggunakan ceklis penilaian diri. Cara membuatkan kriteria evaluasi sama menggunakan membuatkan rubrik evaluasi pada asesmen kinerja. Ceklis penilaian diri dikembangkan menurut hakikat tujuan tersebut serta bagaimana mencapainya. 

c. Esai 
(Tes) esai menghendaki peserta didik untuk mengorganisasikan, merumuskan, serta mengemukakan sendiri jawabannya. Ini berarti peserta didik tidak memilih jawaban, akan namun memberikan jawaban menggunakan kata-katanya sendiri secara bebas.

Tes esai bisa digolongkan sebagai 2 bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka (extended-response) serta jawaban terbatas (restricted-response) dan hal ini tergantung dalam kebebasan yg diberikan pada peserta didik untuk mengorganisasikan atau menyusun pandangan baru-idenya dan menuliskan jawabannya. Pada tes esai bentuk jawaban terbuka atau jawaban luas, peserta didik mendemonstrasikan kecakapannya buat: (1) menjelaskan pengetahuan faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya, (tiga) menyusun ilham-idenya, serta (4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Sedangkan pada tes esai jawaban terbatas atau terstruktur, peserta didik lebih dibatasi dalam bentuk serta ruang lingkup jawabannya, karena secara spesifik dinyatakan konteks jawaban yg harus diberikan sang siswa. Esai terbuka/tak terstruktur adalah bentuk asesmen otentik.

Tes esai mempunyai potensi untuk mengukur hasil belajar pada strata yang lebih tinggi atau kompleks. Butir tes esai memberi kesempatan pada peserta didik buat menyusun, menganalisis, dan mensintesiskan ide-ilham, serta peserta didik harus berbagi sendiri butir pikirannya dan menuliskannya pada bentuk yang tersusun atau terorganisasi. Kelemahan esai merupakan berkaitan dengan penskoran. Ketidakkonsistenan pembaca adalah penyebab kurang objektifnya dalam menaruh skor serta terbatasnya reliabilitas tes. Namun hal ini dapat diminimalkan melalui penggunaan rubrik penilaian, dan penilai ganda (inter-rater).

d. Asesmen Portofolio
Portofolio merupakan sekumpulan artefak (bukti karya/aktivitas/data) sebagai bukti (evidence) yang menerangkan perkembangan dan pencapaian suatu program. Penggunaan portofolio dalam kegiatan penilaian sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama pada pendidikan bahasa. Belakangan ini, dengan adanya orientasi kurikulum yg berbasis kompetensi, asesmen portofolio sebagai primadona pada asesmen berbasis kelas.

Perlu dipahami bahwa sebuah portofolio (umumnya ditaruh pada folder) bukan semata-mata deretan bukti yg nir bermakna. Portofolio harus disusun berdasarkan tujuannya. Wyatt dan Looper (2002) mengungkapkan, berdasarkan tujuannya sebuah portofolio bisa berupa developmental portfolio, bestwork portfolio, dan showcase portfolio. Developmental portfolio disusun demikian rupa sinkron menggunakan langkah-langkah kronologis perkembangan yg terjadi. Oleh karenanya, pencatatan tentang kapan suatu artefak dihasilkan sebagai sangat penting, sehingga perkembangan program tersebut bisa dilihat dengan jelas. Bestwork portfolio merupakan portofolio karya terbaik. Karya terbaik diseleksi sendiri sang pemilik portofolio dan diberikan karena. Karya terbaik bisa lebih dari satu. Showcase portfolio adalah portofolio yg lebih dipakai untuk tujuan pajangan, sebagai hasil berdasarkan suatu kinerja eksklusif.

Bagaimanakah asesmen portofolio membantu memantau pencapaian target kompetensi? Asesmen portofolio adalah suatu pendekatan asesmen yg komprehensif lantaran: (1) dapat mencakup ranah kognitif, afektif, serta psikomotor secara bersama-sama, (dua) berorientasi baik pada proses juga produk belajar, dan (tiga) dapat memfasilitasi kepentingan serta kemajuan peserta didik secara individual. Dengan demikian, asesmen portofolio merupakan suatu pendekatan asesmen yang sangat sempurna buat menjawab tantangan KBK.

Asesmen portofolio mengandung tiga elemen utama yaitu: (1) sampel karya peserta didik, (dua) penilaian diri, dan (tiga) kriteria penilaian yg kentara dan terbuka. 

(1) Sampel Karya Peserta didik
Sampel karya peserta didik menunjukkan perkembangan belajarnya dari ketika ke saat. Sampel tadi bisa berupa goresan pena/karangan, audio atau video, laporan, masalah matematika, maupun eksperimen. Isi berdasarkan sampel tadi disusun secara sistematis tergantung dalam tujuan pembelajaran, preferensi guru, maupun preferensi siswa. Asesmen portoflolio menilai proses maupun hasil. Oleh karenanya proses serta output sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat berkelanjutan, yg berarti proses mendapatkan porsi penilaian yg akbar (bandingkan dengan asesmen konvensional yg hanya menilai hasil belajar) namun kualitas output sangat penting. Dan memang, penilaian proses yang dilakukan tersebut sesungguhnya memberi kesempatan siswa mencapai produk yang sebaik-baiknya.

Isi folder adalah berbagai produk yang didapatkan sang peserta didik, baik yang berupa bahan/draf maupun karya (terbaik), serta diklaim entri (entry). Sumber keterangan bisa diperoleh berdasarkan tes maupun non-tes (dengan tes objektif diupayakan minimal). Bahan non-tes diantaranya karya (artefak), rekaman, draf, kinerja, dan lain-lain yg bisa menampakan perkembangan siswa menjadi pebelajar. Catatan serta bahan evaluasi-diri juga adalah bagian pada folder.

(dua) Evaluasi Diri pada Asesmen Portofolio
O’Malley serta Valdez Pierce (1994) bahkan berkata bahwa ‘self-assessment is the key to portfolio’. Hal ini ditimbulkan karena melalui penilaian diri siswa dapat membentuk pengetahuannya serta merencanakan dan memantau perkembangannya apakah rute yg ditempuhnya sudah sesuai. Melalui evaluasi diri siswa bisa melihat kelebihan juga kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini sebagai tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian siswa lebih bertanggungjawab terhadap proses belajarnya serta pencapaian tujuan belajarnya.

Evaluasi diri dalam asesmen portofolio persis sama menggunakan penilaian diri yg dibahas dalam bagian b. Pada atas. Memang, asesmen portofolio merupakan asesmen otentik yg paling komprehensif dalam khasanah asesmen otentik karena melibatkan jenis-jenis asesmen yg lain seperti asesmen kinerja serta esai. 

(3) Kriteria Penilaian yang Jelas serta Terbuka
Bila pada jenis-jenis asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi ‘misteri’ pengajar atau pun tester, pada asesmen portofolio justru harus disosialisasikan kepada siswa secara kentara. Kriteria tadi pada hal ini meliputi prosedur dan standar penilaian. Para pakar menganjurkan bahwa sistem serta standar asesmen tersebut ditetapkan beserta-sama dengan siswa, atau paling nir diumumkan secara kentara. Rubrik evaluasi yg digunakan pengajar buat menilai kinerja siswa (contohnya, kriteria penilaian kemampuan menulis) 

(4) Model Asesmen Portofolio
Untuk memperoleh gambaran komprehensif melalui asesmen portofolio, diharapkan suatu pendekatan yg bisa mewakili holistik proses asesmen. Wyaatt III serta Looper (1999) mengembangkan suatu model portofolio yang diakronimkan menjadi CORP, yg meliputi (1) collecting, yaitu pengumpulan data seperti karya-karya dan dokumen-dokumen lain termasuk draft, (2) organizing, yaitu proses penyusunan dan pemilihan data-data itu dari aturan yg diinginkan, misalnya secara kronologi, dari focus, atau karya terbaik (3) reflecting, yaitu refleksi terhadap proses belajar yg telah dilewati serta penilaian atas karya sendiri, serta (4) presenting, yaitu menampilkan seluruh hasil seleksi dan refleksi tersebut dalam suatu dokumen yg seringkali diklaim folder.

Folder portofolio adalah bahan yg akan diases sang guru. Pada umumnya, beberapa hal yg sine qua non pada folder portofolio merupakan (1) cover letter, yaitu rangkuman berdasarkan apa yg sudah dibentuk siswa menjadi bukti hasil belajarnya, (dua) daftar isi portofolio, (tiga) entri (menggunakan lepas dalam setiap entri). Entri dibedakan sebagai dua, yaitu entri wajib serta entri pilihan; (4) draf setiap entri (buat pemantauan proses yang dilalui), serta (5) refleksi dan evaluasi diri.

Berikut ini merupakan modifikasi menurut contoh asesmen portofolio oleh Moya serta O’Malley (1994). Model tadi (Portfolio Assessment Model) diadaptasi menggunakan 3 komponen pembelajaran, yaitu Perencanaan, Pelaksanaan, serta Analisis.

a). Perencanaan
(1) Menentukan tujuan dan penekanan (baku kompetensi, kompetensi dasar, kriteria keberhasilan)
(dua) Merencanakan isi portofolio, yg mencakup pemilihan prosedur asesmen, memilih isi/topik, dan tetapkan frekuensi serta ketika dilakukannya asesmen.
(3) Mendesain cara menganalisis portofolio, yaitu menggunakan tetapkan standar atau kriteria penilaian, memutuskan cara memadukan output evaluasi menurut aneka macam sumber, dan tetapkan waktu analisis.
(4) Merencanakan penggunaan portofolio pada pembelajaran, yaitu berupa anugerah umpan pulang.
(lima) Menentukan mekanisme pengujian keakuratan fakta, yaitu menetapkan cara mengetahui reliabilitas berita serta validitas penilaian.

b). Implementasi contoh (terpadu dengan pembelajaran)
(1) Mengumumkan tujuan serta fokus pembelajaran pada peserta didik.
(dua) Menyepakati mekanisme asesmen yang dipakai dan kriteria penilaiannya.
(3) Mendiskusikan cara-cara yg perlu dilakukan untuk mencapai output aporisma.
(4) Melaksanakan asesmen portofolio (folder, evaluasi diri)
(4) Memberikan umpan kembali terhadap karya dan evaluasi diri

c). Analisis portofolio peserta didik
(1) Mengumpulkan folder
(dua) Menganalisis banyak sekali asal dan bentuk informasi
(3) Memadukan banyak sekali warta yang ada
(4) Menerapkan kriteria penilaian yg telah disepakati
(5) Melaporkan hasil asesmen

e. Projek
Projek, atau acapkali disebut pendekatan projek (project approach) merupakan pemeriksaan mendalam mengenai suatu topik konkret. Dalam projek, peserta didik mendapat kesempatan mengaplikasikan keterampilannya. Pelaksanaan projek bisa dianalogikan menggunakan sebuah cerita, yaitu memiliki awal, pertengahan, serta akhir projek. Lantaran itu, projek umumnya mempunyai 3 fase utama, yaitu: 

(1) Fase Perencanaan; dalam fase ini pengajar menyusun suatu Tugas Projek yg berisi: tema atau topik projek, dan petunjuk tentang apa yg mesti dilakukan sang peserta didik. Biasanya, sebelumnya hal-hal tadi di atas didiskusikan dulu oleh guru dengan siswa.

Tugas projek bisa berbentuk pertunjukan (contohnya, drama), konstruksi (contohnya, menciptakan sebuah kolam ikan), karya tulis (misalnya, KIR). Contoh tugas projek:
1. Tema : Pertunjukan Drama
2. Petunjuk :
- Pilihlah salahsatu drama karya Putu Wijaya
- Setiap gerombolan terdiri berdasarkan 5 – 10 orang peserta didik
- Pertunjukan akan dilakukan pada lepas 16 Agustus 2006 di auditorium sekolah
- Lama waktu pertunjukan adalah satu jam buat setiap grup, karena itu naskah bisa dimodifikasi tanpa meninggalkan pesan aslinya

(2) Fase Pengembangan; pada fase ini peserta didik mencari bahan, memodifikasi naskah, berdiskusi menggunakan pakar, berlatih secara terbimbing juga mandiri.
(3) Fase Akhir; pada fase ini peserta didik menampilkan hasil kerja mereka, yaitu berupa petunjukan drama.

PROSPEK PERKEMBANGAN DUNIA USAHA/INDUSTRI DI INDONESIA AWAL ABAD DUA PULUH SATU

Prospek Perkembangan Dunia Usaha/Industri Di Indonesia Awal Abad Dua Puluh Satu 
Matakuliah metrologi merupakan matakuliah dasar keahlian yg bertujuan buat menaruh pengalaman kepada mahasiswa dalam memahami metrologi, prinsip-prinsip pengukuran, serta penggunaan alat-alat ukur pada industri permesinan. Dengan penguasaan materi ini diperlukan mahasiswa mempunyai bekal yg relatif dalam melakukan tugas-tugas perancangan, praktek produksi maupun quality control. Namun demikian idealisasi tadi belum sepenuhnya tercapai. Terdapat beberapa konflik dalam pembelajaran metrologi yang menyebabkan rendahnya prestasi akademik menjadi cermin kompetensi mahasiswa. 

Kuliah metrologi dilaksanakan dengan metode ceramah, diskusi dan kerja sama aktif antara mahasiswa serta dosen baik secara individual maupun gerombolan yang disertai dengan tugas-tugas menjadi pendukung pada tahu materi perkuliahan. Dengan desain tersebut ternyata belum bisa secara optimal meningkatkan kemampuan mahasiswa pada menguasai kompetensi metrologi. Dalam pembelajaran/perkuliahan masih banyak terlihat betapa pasifnya mahasiswa, sulitnya mahasiswa memahami konsep-konsep tak berbentuk metrologi, rendahnya kemandirian serta rendahnya kemampuan mahasiswa dalam praktek menggunakan alat-indera ukur presisi. 

Berdasarkan output pengamatan PBM tersebut, dan ujian mahasiswa semester sebelumnya bisa disimpulkan konflik utama pada pembelajaran mata kuliah Metrologi adalah : (1) dalam PBM sebagian akbar mahasiswa bersifat pasif; (2) mahasiswa kurang termotivasi, kurang berani mengemukakan pendapatnya; (tiga) mahasiswa sporadis mencari dan merujuk buku-kitab yg berkaitan menggunakan materi perkuliahan; (4)kemandirian mahasiswa dalam usaha menguasai materi masih rendah, dan (5) output ujian semester menerangkan nilai yg rendah.

Permasalahan dalam pembelajaran metrologi tadi dapat dianalisis dari sisi mahasiswa juga menurut sisi pengelolaan pembelajaran. Rendahnya keaktifan, motivasi, kemandirian, keberanian bertanya dan kesungguhan mahasiswa adalah karena utama rendahnya kompetensi yang dicapai. Dari aspek pengelolaan pembelajaran, masih beragamnya pola pembelajaran yg diterapkan masing-masing dosen pengajar diakibatkan sang belum efektifnya koordinasi antara dosen pengajar merupakan aspek primer yg mengakibatkan pembelajaran belum menghasilkan hasil yang optimal. 

Pembelajaran metrologi diampu secara tim oleh gerombolan dosen yang tergabung dalam satu rumpun. Masih lemahnya koordinasi antar dosen menyebabkan tingginya variasi pembelajaran dan kedalaman materi yang diajarkan. Hasil ujian akhir dengan soal yg sama menerangkan tingginya variasi prestasi akademik masing-masing kelas. Terdapat kelas yg sebagian besar mahasiswa mendapatkan nilai tinggi, tetapi masih ada kelas yg mayoriotas mendapatkan nilai yang rendah. Penyebab utama berdasarkan konflik tadi bisa dianalisis bersumber dari belum adanya standar layanan minimal pembelajaran yang disepakati oleh tim pengajar berikut perangkatnya termasuk modul. Oleh karena itu langkah efektif dalam upaya mengatasi konflik pembelajaran metrologi sekaligus sebagai upaya mempertinggi kualitas pembelajaran adalah menggunakan pembaharuan metode pembelajaran beserta perangkatnya

Salahsatu pendekatan yang layak di uji tindakan buat mengatasi konflik tadi adalah pendekatan kontruktivisme. Pendekatan ini akan memberikan kesempatan pada mahasiswa buat lebih aktif dan kreatif menemukan ide-ide, konsep-konsep baru dari pengalaman dan penemuannya sendiri. Sesuai menggunakan ciri matakuliah Metrologi, keliru satu desain yg bisa diterapkan adalah metode Problem Based Learning (PBL). Penggunaan taktik ini memungkinkan terciptanya kondisi pembelajaran yang kondusif bagi mahasiswa buat belajar, bekerja sama secara efektif dalam hubungan belajar mengajar, serta dosen menaruh pengarahan serta bimbingan terutama kepada mahasiswa yg mengalami kesulitan belajar. Pembelajaran contoh PBL nir dirancang buat membantu dosen mengungkapkan liputan yg banyak pada mahasisiwa, namun didesain buat membantu mahasisiwa membuatkan pemikiran mereka, memecahkan perkara serta mengembangkan kemampuan intelektual. Dengan demikian kiprah mahasiswa dan dosen dapat berjalan secara optimal. Dengan metode ini dibutuhkan dapat mengurangi taraf pengulangan matakuliah. 

Beberapa penelitian (Albanese and Mitchell, 1993; Ditlehorst and Robb, 1998) memperlihatkan bahwa output belajar mahasisiwa dalam kelas dengan metode PBL lebih baik dibanding kelas menggunakan metode klasik. Carolyn (1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa penerapan metode PBL bisa meningkatkan kemampuan mahasisiwa dalam memahami dan mengaplikasikan pegetahuan yang diperolehnya. Mary and Lai (2002) menemukan bahwa pembelajaran model PBL mamapu membuatkan kemampuan mahasisiwa buat menjadi pebelajar mandiri. 

Salahsatu laba dari PBL merupakan para mahasiswa didorong untuk mengeksplorasi pengetahuan yang telah dimilikinya kemudian menyebarkan ketrampilan pembelajaran yang independen buat mengisi kekosongan yang terdapat. Hal ini merupakan ketrampilan pembelajaran seumur hayati lantaran ketrampilan tersebut dapat ditransfer ke sejumlah topik pembelajaran yang lain, baik pada dalam juga di luar lingkup jurusan. Dengan PBL yang memfokuskan pada pertarungan yang bisa membangkitkan pengalaman pembelajaran maka para mahasiswa khususnya yg mengalami kesulitan belajar akan mendapat swatantra yang lebih luas dalam pembelajaran sehingga menaikkan kemandiriannya. 

Dalam mengaplikasikan pendekatan PBL tentu dibutuhkan berbagai sarana termasuk modul. Oleh karena itu diharapkan pengembangan modul terlebih dulu sebagai wahana serta perangkat penerapan pendekatan PBL pada perkuliahan Metrologi. Penelitian ini bermaksud mengimplementasikan PBL berbantuan modul menjadi upaya menaikkan kualitas perkuliahan Metrologi yg ditunjukkan menggunakan meningkatnya keaktifan, kemandirian, serta prestasi akademik. 

1. Karakteristik Pembelajaran Model Problem-based Learning
Problem-based Learning merupakan pendekatan yg berorientasi dalam pandangan kognitif konstruktivistik yang memuat karakteristik kontekstual, kolaboratif, berpikir metakognisi, dan memfasilitasi pemecahan kasus. Pebelajar dimungkinkan belajar secara bermakna yang bisa mengembangkan kemampuan berpikir taraf tinggi melalui pemecahan masalah. Pembelajaran ini diperlukan mampu menaikkan pemahaman akan makna, meningkatkan kemandirian, menaikkan pengembangan skill berpikir tingkat tinggi, menaikkan motivasi, memfasilitasi relasi antar pebelajar dan menaikkan skill dalam membentuk teamwork. 

Problem-based learning adalah pendekatan yg membelajarkan pebelajar yang dikonfrontasikan menggunakan masalah mudah, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimuli pada belajar (Boud serta Falleti, 1997 pada Demitra, 2003). Konflik yang digunakan dalam Problem-Based learning merupakan perseteruan yang terkait menggunakan tujuan kurikulum, riil (konkret), menantang, mendorong pebelajar menyebarkan strategi pemecahan kasus, dan membutuhkan pengetahuan baru buat memecahkan kasus. 

Pembelajaran berbasis perkara (Problem-based Learning) jua merupakan pendekatan pembelajaran yg memakai kasus global nyata sebagai suatu konteks bagi pebelajar buat belajar mengenai cara berpikir kritis serta ketrampilan pemecahan perkara, serta buat memperoleh pengetahuan serta konsep yang esensial berdasarkan bahan ajar. (Nurhadi, 2004). Dengan demikian PBL adalah pembelajaran yang dipandu sang konflik. Sebelumnya pebelajar diberikan konflik. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan baru untuk memecahkannnya. Hal senada dikemukakan James Rhem bahwa: 

“PBL is seems self-evident: it's learning that results from working with problems. Official descriptions generally describe it as "an instructional strategy in which students confront contextualized, ill-structured problems and strive to find meaningful solutions”. 

Pembelajaran berbasis kasus pula merupakan pembelajaran yg berpusat pada peserta didik, dan didasari dalam pertarungan nyata/real world duduk perkara. Lebih lanjut beberapa ciri pembelajaran PBL antara lain: (1) pebelajar harus peka terhadap lingkungan belajarnya, (dua) simulasi masalah yang digunakan hendaknya berbentuk ill-structured, dan memancing penemuan bebas (free for inquiry), (3) pembelajaran diintegrasikan pada aneka macam subyek, (4) pentingnya kerja sama, (4) pembelajaran hendaknya menumbuhkan kemandirian pebelajar dalam memecahkan masalah, (5) aktivitas pemecahan masalah hendaknya mewakili pada situasi nyata, (6) evaluasi hendaknya mengungkap kemajuan pencapaian tujuan pada pemecahan perkara, (7) PBL hendaknya adalah dasar menurut kurikulum bukan hanya pembelajaran. 

Pengertian Problem-Based Learning jua mencakup kata yg dipakai buat menggambarkan pendekatan kurikulum yang berpusat pada pertarungan daripada berpusat pada suatu disiplin. Hal ini senada menggunakan ungkapan berikut: 

…………….. Students not only gain knowledge of the discipline, but also become selfdirected learners who develop masalah-solving skills they can apply in future courses and in their careers. In masalah-based learning (PBL) courses, students work with classmates to solve complex and authentic problems that help develop content knowledge as well as problem-solving, reasoning, communication, and self-assessment skills

Hasil yg diharapkan dari penerapan PBL adalah pebelajar lebih termotivasi, berkembangnya pengetahuan yang mendalam, mempertinggi kerja kolaboratif, berkembangnya kemampuan berpikir taraf tinggi, serta berkembangnya kemampuan memecahkan perkara, kerja kelompok, analisis kritis dan komunikasi. Hal ini terkait dengan perkiraan pada pembelajaran Problem-Based Learning sebagai proses pembelajaran yang aktif, integratif, dan konstruktif serta kontekstual

Aspek lain yg bisa dikembangkan dari pembelajaran Problem-Based Learning diantaranya: (1) cumulative learning pebelajar tidak hanya belajar sesaat terhadap suatu kasus tetapi berulang serta meningkat kompleksitasnya, (2) integrated learning pebelajar melihat pertarungan secara holistik daripada secara parsial, (3) progression in learning terjadi perubahan serta peningkatan skill serta pengetahuan pebelajar, serta (4) consistency in learning duduk perkara-based learning merefleksikan semua aspek pembelajaran termasuk lingkungan belajar dalam kelas serta asesmennya. 

Peran pengajar dalam PBL adalah menyajikan kasus, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan serta dialog. PBL tidak bisa dilaksanakan jika guru tidak menyebarkan lingkungan kelas yg memungkinkan terjadinya pertukaran pandangan baru secara terbuka. Intinya, pebelajar dihadapkan situasi masalah yang otentik dan bermakna yg menantang pebelajar untuk memecahkannya.

Beberapa cirri yg tampak dalam PBL diantaranya: (1) Pengajuan pertanyaan atau perkara berpusat dalam pertanyaan/kasus yang secara eksklusif bermakna buat pebelajar. Mereka mengajukan situasi kehidupan konkret yang otentik, (dua) Terintegrasi dengan disiplin ilmu lain. Dalam hal ini masalah yg akan diselidiki dipilih yg sahih-benar nyata supaya dalam pemecahannya pebelajar meninjau kasus itu menurut poly sudut pandang mata pelajaran lain, (tiga) Penyelidikan otentik yang mengharuskan buat mencari penyelesaian nyata terhadap kasus nyata. Mereka wajib menganalisis dan mendefinisikan masalah, berbagi hipotesis dan menciptakan ramalan, mengumpulkan dan menganalisis warta, melakukan eksperimen (jika dibutuhkan), menciptakan inferensi, serta merumuskan konklusi, serta (4) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. Pengajaran berbasis perkara menuntut pebelajar buat membuat produk eksklusif dalam bentuk karya nyata yg menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian perkara yg mereka temukan (Nurhadi, 2004)

Pengajaran berbasis kasus dikembangkan terutama buat membantu pebelajar mengembangkan akal budi, pemecahan perkara, serta ketrampilan intelektual, belajar tentang berbagai kiprah orang dewasa menggunakan melibatkan diri pada pengalaman nyata atau simulasi, serta sebagai pembelajar yang otonom serta berdikari. Pengajaran berbasis masalah umumnya terdiri dari lima termin utama yang dimulai menggunakan suatu situasi masalah serta diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja pebelajar. Dalam penyusunannya maka dilema yang dipakai berciri; menerangkan lingkungan atau siytuasi yang mewakili situasi nyata, masalah benar-benar nyata, kasus memungkinkan untuk dipecahkan, interdisiplin, objectif, berorientasi pada penyelesaian tugas, dan membutuhkan pengetahuan yg kompleks. Dalam strukturnya akan terdiri menurut pengantar, isi, dasar teori, bahan, output yg diharapkan. Disamping itu pembelajaran model PBL pula bercirikan penyelesaian kasus pada gerombolan -kelompok mini yg mandiri (edweb.sdsu.edu/clrit/learningtree/PBL/PBLadvantages.html). Secara rinci tahapan-tahapan pembelajaran model PBL adalah sebagai berikut:
a. Tahap 1 : Orientasi perkara. Guru mengungkapkan tujuan pembelajaran, mengungkapkan logistik yg diharapkan, memotivasi pebelajar supaya terlibat dalam kegiatan pemecahan kasus yg dipilihnya
b. Tahap dua. Mengorganisasi pebelajar buat belajar Guru membantu pebelajar mendefinisikan serta mengorganisasikan tugas belajar yang herbi perkara tersebut
c. Tahap tiga. Memmbimbing penyelidikan individual dan gerombolan . Guru mendorong pebelajar buat mengumpulkan liputan yang sinkron, melaksankan eksperimen, buat mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
d. Tahap 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantu pebelajar merencanakan serta menyiapkan karya yang sinkron seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya
e. Tahap lima. Menganalisis serta mengevaluasi proses pemecahan kasus. Guru membantu melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yg mereka gunakan.

1. Aplikasi PBL dalam Perkuliahan Metrologi
Problem-Based Learning merupakan pendekatan buat membelajarkan pebelajar yg dikonfrontasikan menggunakan permasalahan mudah. Menurut Savoi dan Hughes (Demitra, 2003), beberapa karakteristik dilema based learning diantaranya: (1) belajar dimulai menurut suatu perseteruan, (2) memastikan bahwa konflik yang diberikan herbi dunia nyata pebelajar, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar konflik, (4) menaruh tanggungjawab yg besar pada pebelajar pada menciptakan serta menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan grup kecil, serta (6) menuntut pebelajar buat mendemonstrasikan apa yang sudah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau penampilan (performance)

Sesuai dengan karakteristik bidang teknik mesin dan pengembangan desain instruksional, tahapan pengembangan pembelajaran Problem-Based Learning mencakup termin perencanaan pembelajaran, aplikasi pembelajaran, dan evaluasi proses dan hasil belajar.

a. Perencanaan Pembelajaran
Dalam perencanaan pembelajaran, termin pertama yang dilakukan merupakan identifikasi tujuan pembelajaran menggunakan cara menyesuaikan kurikulum menggunakan kemampuan kognitif pebelajar. Pemahaman bisa semakin tinggi apabila tujuan pembelajaran diubahsuaikan dengan kemampuan kognitif, syarat sosial dan emosional pebelajar. Pengetahuan awal pebelajar mengenai taktik pemecahan perkara serta dominasi konsep permesinan diharapkan sebagai surat keterangan bagi guru pada menentyukan tujuan pembelajaran

Tahap lanjutan menurut perencanaan adalah mendesain kasus teknik mesin yg mempunyai tipe il defined yaitu kasus yg diangkat menurut konteks kehidupan sehari-hari dan dekat dengan kehidupan pebelajar. Skenario konflik diungkapkan secara singkat dengan kalimat-kalimat yang pendek, dan menaruh sedikit fakta-keterangan, mengenai lingkungan sekitar konteks konflik. 

Disamping dibuat skenario permasalahan, dalam tahap ini direncanakan juga portofolio menjadi media bagi pebelajar buat menulis atau mendeskripsikan solusi yang dibuatnya waktu memcahkan kasus yang diberikan. Portofolio adalah formasi sampel pekerjaan pebelajar yg dipilih oleh pebelajar, atau pebelajar dibantu pengajar sebagai representasi belajar yg mengacu dalam tujuan (O’Malley dan Pierce : 1996). Beberapa bentuk portofolio yg dapat disajikan diantaranya tabel, diagram, chart, serta penerangan berbentuk narasi. 

b. Proses Pembelajaran.
Proses pembelajaran menggunakan pendekatan Problem-Based Learning dilakukan dengan tahap-termin: (1) menemukan masalah, (dua) mendefinisikan masalah, (3) mengumpulkan warta-kabar, (4) menyusun dugaan ad interim, (lima) mengusut, (6) menyempurnakan perseteruan, (7) menyimpulkan cara lain -cara lain pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi permasalahan. 

Langkah pertama, kelompok mahasiswa (pebelajar) menemukan perkara pada bidang teknik mesin. Pembelajaran pemecahan masalah menggunakan Problem-Based Learning dilaksanakan secara kolaboratif antara pengajar dengan grup pebelajar serta antara pebelajar menggunakan pebelajar pada grup. Meverech dan Kramarski (Demitra, 2003), menemukan bahwa komposisi gerombolan yang tidak sejenis dipadu dengan fasilitas berpikir metakognisi membantu pebelajar dalam memecahkan masalah yg mendorong tumbuhnya penalaran (rasioning) pada menemukan solusi. Tahap ini memfasilitasi proses pemahaman pebelajar terhadap perkara.

Langkah kedua, mendefinisikan perkara. Pada termin ini pebelajar mendefinisikan pertarungan sinkron menggunakan kemampuan yg mereka miliki. Pebelajar mendefinisikan kasus teknik mesin dari pemahamannya terhadap perseteruan serta menyatakan dengan kalimatnya sendiri. Permasalahn tadi dinyatakan pada kalimat yang jelas. Konflik yg didefinisikan menunjuk dalam hubungan antara liputan-liputan menggunakan masalah yang didefinisikan. Pebelajar menciptakan beberapa definisisebagai liputan awal yang perlu disediakan.

Langkah ketiga, mengumpulkan kabar-liputan. Pebelajar membuka kembali pengalaman yg sudah diperolehnya serta pengetahuan awal buat mengumpulkan berita-informasi. Tahap ini memfasilitasi proses eksplorasi dan perencanaan pada proses heuristik buat pemecahan masalah teknik mesin. Pada tahap eksplorasi serta perencanaan, pebelajar menganalisis keterangan-kabar dan memilih apakah data-data tadi sudah memadai

Langkah keempat, menyusun dugaan ad interim. Pebelajar berpikir dengan melakukan interaksi-interaksi logis pada memilih jawaban pertanyaan yang membantu mereka buat menguji apakah hipotesis yang dibuatnya benar atau masih membutuhkan perbaikan. Pebelajar melakukan eksperimentasi atau simulasi, menebak serta menguji pada menemukan jawaban

Langkah kelima, mengusut. Pebelajar melakukan penyelidikan terhadap data-data serta informasi yang diperolehnya. Pengajar menciptakan struktur belajar yg memungkinkan pebelajar dapat menggunakan banyak sekali cara buat mengetahui dan tahu global mereka. Tahap ini memfasilitasi proses refleksi dalam proses heuristik dalam pemecahan masalah teknik mesin. 

Langkah keenam, menyempurnakan konflik yg sudah didefinisikan. Pebelajar menyempurnakan pulang perumusan kasus dengan merefleksikannya melalui gambaran konkret yg mereka fahami. Pernyataan rumusan masalah dalam termin awal dirumuskan menurut skenario permasalahn yang ada. 

Langkah ketujuh, menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif. Pebelajar berkolaborasi mendiskusikan data serta berita yg relevan dengan permasalahan. Setiap anggota grup mulai terlibat buat mendiskusikan konflik dari banyak sekali sudut pandang. Pada tahap ini proses pemecahan masalah berada dalam tahap menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan yang dihasilkan dengan berkolaborasi. Kolaborasi ini memberikan kemungkinan cara lain jawaban yg lebih baik daripada proses individual.

Langkah kedelapan, menguji solusi perseteruan. Pebelajar menguji cara lain pemecahan yg sinkron serta mungkin dengan pertarungan. Alternatif yang terpilih diperoleh melalui suatu pemahaman serta diskusi komprehensif antar anggota grup, yang adalah permecahan terbaik. Pebelajar menguji alternatif pemecahan masalah menggunakan membuiat sketsa, menulis, menciptakan plot serta sebagainya untuk emnguji cara lain pemecahan yg ditemukannya. 

c. Evaluasi proses serta output belajar 
Penilaian pada pembelajaran dilema based learning dilakukan terhadap proses serta output pembelajaran. Penialian yang berorientasi dalam proses bertujuan buat menilai ketrampilan berkomunikasi, bekerjasama, penerimaan pebelajar terhadap tanggungjawab belajar, mempelajari belajar, penyelesaian serta penggunaan asal-sumber dan pengembangan ketrampilan memecahkan kasus. Sedangkan penialian output belajar dapat diintegrasikan dengan penialian proses menggunakan teknik yg sesuai. 

Proses pembelajaran menggunakan pendekatan Problem-Based Learning bersifat non linier. Willis dan Wright (2000) menyatakan bahwa proses belajar dan evaluasinya berlangsung dalam siklus-daur yang berulang. Evaluasi dilakukan berdasarkan daur-daur pembelajaran.

3. Pendekatan Pembelajaran Teori
Tahapan dalam menyebarkan model pembelajaran teori teknik mesin memakai pendekatan pemecahan masalah dapat dilakukan menggunakan tahapan berikut: (1) Identifikasi, memutuskan, serta rumuskan kompetensi (dua) Identifikasi konsep-konsep esensial serta interaksi antar konsep pada utama bahasan (topik) eksklusif yang relevan. (3) Identifikasi, menetapkan, dan rumuskan indikator pencapaian kompetensi dengan berpedoman pada kompetensi buat suatu planning pembelajaran tertentu. (4) Rencanakan dan susun indera penilaian yang mengacu pada indikator pencapaian kompetensi dilanjutkan menggunakan validasi indera evaluasi . (lima) Memilih dan menyusun bahan ajar menjadi bahan orientasi bagi pebelajar pada termin invitasi dimaksudkan buat mengetahui prakonsepsi pebelajar. (6) Identifikasi serta penjelasan prakonsepsi serta/atau miskonsepsi yang dimiliki pebelajar antara lain memakai tes diagnostik, buat ditempatkan dalam posisi sentral dalam menyusun contoh pembelajaran. (7) Identifikasi, tetapkan, serta susun materi teori teknik mesin pada bentuk masalah yg dapat digunakan sebagai bahan diskusi grup pebelajar dalam rangka menggali konsepsinya dalam fase eksplorasi konsep. Lebih lanjut susun beberapa pertanyaan yang dapat membimbing pebelajar melakukan analisis buat memecahkan masalah yg diajukan dalam rangka menggali konsepsinya. (8) Bertitik tolak berdasarkan konsep-konsep yg digali pada fase eksplorasi konsep, seleksi dan susun bahan ajar atau menjadi bahan masukan bagi pebelajar buat mengenal dan memperoleh konsep tertentu. Kemudian kembangkan bahan ajar menggunakan menghubungkan antar konsep. Lebih lanjut susun materi ajar (topik) yang bisa diterangkan sang pebelajar menjadi wahana latihan mengungkapkan konsep. Ketiga aspek ini (pengenalan konsep, pengembangan konsep, serta latihan menyebutkan konsep) tergambar dalam fase penjelasan konsep. (9) Pada fase pelaksanaan konsep susun dan pilih masalah teori teknik mesin yg bisa mengokohkan struktur kognitif pebelajar. Utamakan perkara/soal yg melatih pebelajar berpikir pada taraf pelaksanaan, analisis, buatan, serta penilaian (taksonomi Bloom) yang ekivalen menggunakan level dilema solving (taksonomi Gagne).

PROSPEK PERKEMBANGAN DUNIA USAHA/INDUSTRI DI INDONESIA AWAL ABAD DUA PULUH SATU

Prospek Perkembangan Dunia Usaha/Industri Di Indonesia Awal Abad Dua Puluh Satu 
Matakuliah metrologi adalah matakuliah dasar keahlian yang bertujuan untuk menaruh pengalaman pada mahasiswa dalam tahu metrologi, prinsip-prinsip pengukuran, serta penggunaan indera-indera ukur pada industri permesinan. Dengan dominasi materi ini diharapkan mahasiswa mempunyai bekal yg cukup pada melakukan tugas-tugas perancangan, praktek produksi juga quality control. Tetapi demikian idealisasi tadi belum sepenuhnya tercapai. Terdapat beberapa pertarungan dalam pembelajaran metrologi yang menyebabkan rendahnya prestasi akademik menjadi cermin kompetensi mahasiswa. 

Kuliah metrologi dilaksanakan dengan metode ceramah, diskusi dan kerja sama aktif antara mahasiswa serta dosen baik secara individual maupun kelompok yang disertai dengan tugas-tugas sebagai pendukung dalam tahu materi perkuliahan. Dengan desain tadi ternyata belum mampu secara optimal menaikkan kemampuan mahasiswa dalam menguasai kompetensi metrologi. Dalam pembelajaran/perkuliahan masih poly terlihat betapa pasifnya mahasiswa, sulitnya mahasiswa tahu konsep-konsep abstrak metrologi, rendahnya kemandirian serta rendahnya kemampuan mahasiswa pada praktek menggunakan alat-indera ukur presisi. 

Berdasarkan hasil pengamatan PBM tersebut, dan ujian mahasiswa semester sebelumnya dapat disimpulkan pertarungan utama pada pembelajaran mata kuliah Metrologi merupakan : (1) dalam PBM sebagian besar mahasiswa bersifat pasif; (2) mahasiswa kurang termotivasi, kurang berani mengemukakan pendapatnya; (3) mahasiswa sporadis mencari dan merujuk buku-kitab yg berkaitan menggunakan materi perkuliahan; (4)kemandirian mahasiswa dalam bisnis menguasai materi masih rendah, dan (lima) hasil ujian semester menampakan nilai yang rendah.

Permasalahan dalam pembelajaran metrologi tersebut dapat dianalisis dari sisi mahasiswa juga menurut sisi pengelolaan pembelajaran. Rendahnya keaktifan, motivasi, kemandirian, keberanian bertanya dan kesungguhan mahasiswa merupakan karena utama rendahnya kompetensi yang dicapai. Dari aspek pengelolaan pembelajaran, masih beragamnya pola pembelajaran yg diterapkan masing-masing dosen guru diakibatkan sang belum efektifnya koordinasi antara dosen pengajar merupakan aspek utama yang mengakibatkan pembelajaran belum membentuk output yg optimal. 

Pembelajaran metrologi diampu secara tim oleh gerombolan dosen yang tergabung pada satu rumpun. Masih lemahnya koordinasi antar dosen menyebabkan tingginya variasi pembelajaran serta kedalaman materi yang diajarkan. Hasil ujian akhir menggunakan soal yang sama memperlihatkan tingginya variasi prestasi akademik masing-masing kelas. Terdapat kelas yg sebagian besar mahasiswa menerima nilai tinggi, namun terdapat kelas yg mayoriotas mendapatkan nilai yg rendah. Penyebab primer menurut pertarungan tadi dapat dianalisis bersumber berdasarkan belum adanya standar layanan minimal pembelajaran yang disepakati sang tim guru berikut perangkatnya termasuk modul. Oleh karena itu langkah efektif dalam upaya mengatasi perseteruan pembelajaran metrologi sekaligus sebagai upaya menaikkan kualitas pembelajaran merupakan dengan pembaharuan metode pembelajaran bersama perangkatnya

Salahsatu pendekatan yang layak di uji tindakan buat mengatasi pertarungan tersebut merupakan pendekatan kontruktivisme. Pendekatan ini akan menaruh kesempatan pada mahasiswa buat lebih aktif serta kreatif menemukan wangsit-inspirasi, konsep-konsep baru menurut pengalaman dan penemuannya sendiri. Sesuai dengan karakteristik matakuliah Metrologi, salah satu desain yg dapat diterapkan adalah metode Problem Based Learning (PBL). Penggunaan taktik ini memungkinkan terciptanya kondisi pembelajaran yang kondusif bagi mahasiswa buat belajar, bekerja sama secara efektif dalam interaksi belajar mengajar, dan dosen memberikan pengarahan serta bimbingan terutama kepada mahasiswa yg mengalami kesulitan belajar. Pembelajaran contoh PBL tidak dirancang buat membantu dosen mengungkapkan liputan yang banyak kepada mahasisiwa, tetapi dibuat buat membantu mahasisiwa membuatkan pemikiran mereka, memecahkan masalah dan menyebarkan kemampuan intelektual. Dengan demikian peran mahasiswa dan dosen dapat berjalan secara optimal. Dengan metode ini dibutuhkan bisa mengurangi taraf pengulangan matakuliah. 

Beberapa penelitian (Albanese and Mitchell, 1993; Ditlehorst and Robb, 1998) menunjukkan bahwa output belajar mahasisiwa pada kelas menggunakan metode PBL lebih baik dibanding kelas menggunakan metode klasik. Carolyn (1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa penerapan metode PBL mampu menaikkan kemampuan mahasisiwa pada tahu serta mengaplikasikan pegetahuan yg diperolehnya. Mary and Lai (2002) menemukan bahwa pembelajaran contoh PBL mamapu mengembangkan kemampuan mahasisiwa untuk sebagai pebelajar berdikari. 

Salahsatu keuntungan menurut PBL merupakan para mahasiswa didorong buat mengeksplorasi pengetahuan yang telah dimilikinya kemudian menyebarkan ketrampilan pembelajaran yang independen buat mengisi kekosongan yg terdapat. Hal ini merupakan ketrampilan pembelajaran seumur hidup karena ketrampilan tersebut dapat ditransfer ke sejumlah topik pembelajaran yg lain, baik di dalam maupun di luar lingkup jurusan. Dengan PBL yang memfokuskan dalam konflik yang mampu membangkitkan pengalaman pembelajaran maka para mahasiswa khususnya yang mengalami kesulitan belajar akan menerima otonomi yg lebih luas dalam pembelajaran sebagai akibatnya menaikkan kemandiriannya. 

Dalam mengaplikasikan pendekatan PBL tentu diharapkan banyak sekali sarana termasuk modul. Oleh karenanya dibutuhkan pengembangan modul terlebih dulu menjadi sarana serta perangkat penerapan pendekatan PBL pada perkuliahan Metrologi. Penelitian ini bermaksud mengimplementasikan PBL berbantuan modul sebagai upaya menaikkan kualitas perkuliahan Metrologi yg ditunjukkan menggunakan meningkatnya keaktifan, kemandirian, dan prestasi akademik. 

1. Karakteristik Pembelajaran Model Problem-based Learning
Problem-based Learning adalah pendekatan yg berorientasi dalam pandangan kognitif konstruktivistik yg memuat ciri kontekstual, kolaboratif, berpikir metakognisi, serta memfasilitasi pemecahan perkara. Pebelajar dimungkinkan belajar secara bermakna yg dapat mengembangkan akal budi tingkat tinggi melalui pemecahan masalah. Pembelajaran ini diperlukan bisa mempertinggi pemahaman akan makna, menaikkan kemandirian, mempertinggi pengembangan skill berpikir tingkat tinggi, menaikkan motivasi, memfasilitasi rekanan antar pebelajar dan meningkatkan skill dalam membentuk teamwork. 

Problem-based learning merupakan pendekatan yang membelajarkan pebelajar yang dikonfrontasikan dengan perkara praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimuli pada belajar (Boud dan Falleti, 1997 pada Demitra, 2003). Pertarunga yang digunakan pada Problem-Based learning merupakan pertarungan yg terkait menggunakan tujuan kurikulum, riil (konkret), menantang, mendorong pebelajar membuatkan strategi pemecahan perkara, serta membutuhkan pengetahuan baru buat memecahkan kasus. 

Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning) jua merupakan pendekatan pembelajaran yang memakai perkara global konkret menjadi suatu konteks bagi pebelajar buat belajar tentang cara berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan kasus, serta buat memperoleh pengetahuan dan konsep yg esensial menurut bahan ajar. (Nurhadi, 2004). Dengan demikian PBL merupakan pembelajaran yg dipandu oleh pertarungan. Sebelumnya pebelajar diberikan pertarungan. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan baru buat memecahkannnya. Hal senada dikemukakan James Rhem bahwa: 

“PBL is seems self-evident: it's learning that results from working with problems. Official descriptions generally describe it as "an instructional strategy in which students confront contextualized, ill-structured problems and strive to find meaningful solutions”. 

Pembelajaran berbasis perkara juga adalah pembelajaran yang berpusat dalam peserta didik, serta didasari pada konflik nyata/real world dilema. Lebih lanjut beberapa ciri pembelajaran PBL antara lain: (1) pebelajar harus peka terhadap lingkungan belajarnya, (2) simulasi dilema yang digunakan hendaknya berbentuk ill-structured, dan memancing inovasi bebas (free for inquiry), (tiga) pembelajaran diintegrasikan pada banyak sekali subyek, (4) pentingnya kolaborasi, (4) pembelajaran hendaknya menumbuhkan kemandirian pebelajar dalam memecahkan masalah, (lima) kegiatan pemecahan perkara hendaknya mewakili pada situasi nyata, (6) penilaian hendaknya mengungkap kemajuan pencapaian tujuan dalam pemecahan perkara, (7) PBL hendaknya adalah dasar dari kurikulum bukan hanya pembelajaran. 

Pengertian Problem-Based Learning jua mencakup kata yang digunakan buat mendeskripsikan pendekatan kurikulum yang berpusat pada permasalahan daripada berpusat dalam suatu disiplin. Hal ini senada menggunakan ungkapan berikut: 

…………….. Students not only gain knowledge of the discipline, but also become selfdirected learners who develop duduk perkara-solving skills they can apply in future courses and in their careers. In persoalan-based learning (PBL) courses, students work with classmates to solve complex and authentic problems that help develop content knowledge as well as duduk perkara-solving, reasoning, communication, and self-assessment skills

Hasil yang diharapkan dari penerapan PBL adalah pebelajar lebih termotivasi, berkembangnya pengetahuan yg mendalam, menaikkan kerja kolaboratif, berkembangnya akal budi taraf tinggi, serta berkembangnya kemampuan memecahkan masalah, kerja grup, analisis kritis dan komunikasi. Hal ini terkait menggunakan asumsi dalam pembelajaran Problem-Based Learning sebagai proses pembelajaran yang aktif, integratif, dan konstruktif dan kontekstual

Aspek lain yang bisa dikembangkan menurut pembelajaran Problem-Based Learning antara lain: (1) cumulative learning pebelajar nir hanya belajar sesaat terhadap suatu masalah namun berulang serta semakin tinggi kompleksitasnya, (2) integrated learning pebelajar melihat konflik secara holistik daripada secara parsial, (tiga) progression in learning terjadi perubahan serta peningkatan skill dan pengetahuan pebelajar, serta (4) consistency in learning dilema-based learning merefleksikan seluruh aspek pembelajaran termasuk lingkungan belajar pada kelas dan asesmennya. 

Peran guru dalam PBL adalah menyajikan perkara, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan serta obrolan. PBL tidak dapat dilaksanakan bila pengajar tidak berbagi lingkungan kelas yg memungkinkan terjadinya pertukaran ilham secara terbuka. Intinya, pebelajar dihadapkan situasi kasus yang otentik dan bermakna yang menantang pebelajar buat memecahkannya.

Beberapa cirri yang tampak dalam PBL diantaranya: (1) Pengajuan pertanyaan atau kasus berpusat pada pertanyaan/masalah yg secara langsung bermakna buat pebelajar. Mereka mengajukan situasi kehidupan konkret yang otentik, (2) Terintegrasi menggunakan disiplin ilmu lain. Dalam hal ini masalah yg akan diselidiki dipilih yg sahih-sahih konkret agar dalam pemecahannya pebelajar meninjau kasus itu berdasarkan poly sudut pandang mata pelajaran lain, (tiga) Penyelidikan otentik yang mengharuskan buat mencari penyelesaian konkret terhadap perkara konkret. Mereka wajib menganalisis serta mendefinisikan perkara, membuatkan hipotesis serta menciptakan ramalan, mengumpulkan dan menganalisis warta, melakukan eksperimen (apabila diharapkan), menciptakan inferensi, dan merumuskan konklusi, dan (4) Menghasilkan produk/karya serta memamerkannya. Pengajaran berbasis masalah menuntut pebelajar buat menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian kasus yang mereka temukan (Nurhadi, 2004)

Pengajaran berbasis kasus dikembangkan terutama buat membantu pebelajar mengembangkan akal budi, pemecahan masalah, serta ketrampilan intelektual, belajar mengenai berbagai peran orang dewasa dengan melibatkan diri dalam pengalaman konkret atau simulasi, serta menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri. Pengajaran berbasis kasus umumnya terdiri dari lima tahap utama yang dimulai menggunakan suatu situasi masalah dan diakhiri menggunakan penyajian dan analisis output kerja pebelajar. Dalam penyusunannya maka problem yg dipakai berciri; menerangkan lingkungan atau siytuasi yg mewakili situasi konkret, masalah sahih-sahih konkret, perkara memungkinkan untuk dipecahkan, interdisiplin, objectif, berorientasi dalam penyelesaian tugas, dan membutuhkan pengetahuan yang kompleks. Dalam strukturnya akan terdiri menurut pengantar, isi, dasar teori, bahan, hasil yg diperlukan. Disamping itu pembelajaran contoh PBL pula bercirikan penyelesaian kasus pada gerombolan -grup mini yg mandiri (edweb.sdsu.edu/clrit/learningtree/PBL/PBLadvantages.html). Secara rinci tahapan-tahapan pembelajaran contoh PBL adalah menjadi berikut:
a. Tahap 1 : Orientasi perkara. Pengajar menyebutkan tujuan pembelajaran, mengungkapkan logistik yg diperlukan, memotivasi pebelajar agar terlibat dalam kegiatan pemecahan kasus yg dipilihnya
b. Tahap 2. Mengorganisasi pebelajar buat belajar Pengajar membantu pebelajar mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yg herbi masalah tersebut
c. Tahap tiga. Memmbimbing penyelidikan individual serta gerombolan . Guru mendorong pebelajar buat mengumpulkan keterangan yang sesuai, melaksankan eksperimen, untuk mendapatkan penerangan serta pemecahan masalah
d. Tahap 4. Mengembangkan serta menyajikan hasil karya. Pengajar membantu pebelajar merencanakan serta menyiapkan karya yang sinkron misalnya laporan, video, serta contoh dan membantu mereka mengembangkan tugas menggunakan temannya
e. Tahap lima. Menganalisis serta mengevaluasi proses pemecahan perkara. Pengajar membantu melakukan refleksi atau penilaian terhadap penyelidikan serta proses-proses yg mereka gunakan.

1. Aplikasi PBL pada Perkuliahan Metrologi
Problem-Based Learning merupakan pendekatan buat membelajarkan pebelajar yg dikonfrontasikan dengan pertarungan simpel. Menurut Savoi serta Hughes (Demitra, 2003), beberapa karakteristik duduk perkara based learning antara lain: (1) belajar dimulai dari suatu konflik, (dua) memastikan bahwa pertarungan yang diberikan herbi global konkret pebelajar, (3) mengorganisasikan pelajaran pada seputar perseteruan, (4) memberikan tanggungjawab yg besar kepada pebelajar pada membangun dan menjalankan secara pribadi proses belajar mereka sendiri, (lima) memakai gerombolan mini , serta (6) menuntut pebelajar buat mendemonstrasikan apa yg telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau penampilan (performance)

Sesuai dengan karakteristik bidang teknik mesin dan pengembangan desain instruksional, tahapan pengembangan pembelajaran Problem-Based Learning mencakup termin perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, serta penilaian proses serta hasil belajar.

a. Perencanaan Pembelajaran
Dalam perencanaan pembelajaran, tahap pertama yang dilakukan adalah identifikasi tujuan pembelajaran menggunakan cara menyesuaikan kurikulum dengan kemampuan kognitif pebelajar. Pemahaman bisa meningkat apabila tujuan pembelajaran diadaptasi dengan kemampuan kognitif, kondisi sosial dan emosional pebelajar. Pengetahuan awal pebelajar tentang strategi pemecahan kasus serta dominasi konsep permesinan dibutuhkan sebagai surat keterangan bagi pengajar dalam menentyukan tujuan pembelajaran

Tahap lanjutan dari perencanaan merupakan mendesain kasus teknik mesin yang mempunyai tipe il defined yaitu perkara yang diangkat berdasarkan konteks kehidupan sehari-hari dan dekat menggunakan kehidupan pebelajar. Skenario permasalahan diungkapkan secara singkat dengan kalimat-kalimat yang pendek, dan memberikan sedikit keterangan-liputan, tentang lingkungan kurang lebih konteks konflik. 

Disamping dibuat skenario pertarungan, pada termin ini direncanakan juga portofolio sebagai media bagi pebelajar buat menulis atau mendeskripsikan solusi yg dibuatnya ketika memcahkan masalah yang diberikan. Portofolio adalah deretan sampel pekerjaan pebelajar yang dipilih oleh pebelajar, atau pebelajar dibantu guru sebagai representasi belajar yang mengacu dalam tujuan (O’Malley serta Pierce : 1996). Beberapa bentuk portofolio yg bisa tersaji antara lain tabel, diagram, chart, dan penjelasan berbentuk narasi. 

b. Proses Pembelajaran.
Proses pembelajaran dengan pendekatan Problem-Based Learning dilakukan menggunakan termin-termin: (1) menemukan kasus, (2) mendefinisikan masalah, (tiga) mengumpulkan liputan-informasi, (4) menyusun dugaan ad interim, (lima) memeriksa, (6) menyempurnakan permasalahan, (7) menyimpulkan cara lain -cara lain pemecahan secara kolaboratif, (8) menguji solusi pertarungan. 

Langkah pertama, grup mahasiswa (pebelajar) menemukan masalah dalam bidang teknik mesin. Pembelajaran pemecahan perkara dengan Problem-Based Learning dilaksanakan secara kolaboratif antara pengajar menggunakan grup pebelajar dan antara pebelajar dengan pebelajar dalam gerombolan . Meverech serta Kramarski (Demitra, 2003), menemukan bahwa komposisi gerombolan yang tidak sejenis dipadu menggunakan fasilitas berpikir metakognisi membantu pebelajar dalam memecahkan perkara yang mendorong tumbuhnya penalaran (rasioning) dalam menemukan solusi. Tahap ini memfasilitasi proses pemahaman pebelajar terhadap kasus.

Langkah kedua, mendefinisikan masalah. Pada termin ini pebelajar mendefinisikan pertarungan sesuai dengan kemampuan yg mereka miliki. Pebelajar mendefinisikan masalah teknik mesin menurut pemahamannya terhadap permasalahan dan menyatakan dengan kalimatnya sendiri. Permasalahn tadi dinyatakan dalam kalimat yg kentara. Pertarunga yg didefinisikan menunjuk pada interaksi antara fakta-informasi dengan kasus yg didefinisikan. Pebelajar membuat beberapa definisisebagai liputan awal yang perlu disediakan.

Langkah ketiga, mengumpulkan fakta-informasi. Pebelajar membuka balik pengalaman yang sudah diperolehnya dan pengetahuan awal buat mengumpulkan liputan-fakta. Tahap ini memfasilitasi proses eksplorasi dan perencanaan pada proses heuristik buat pemecahan masalah teknik mesin. Pada tahap eksplorasi serta perencanaan, pebelajar menganalisis kabar-berita serta memilih apakah data-data tadi sudah memadai

Langkah keempat, menyusun dugaan ad interim. Pebelajar berpikir dengan melakukan hubungan-interaksi logis dalam memilih jawaban pertanyaan yg membantu mereka buat menguji apakah hipotesis yang dibuatnya sahih atau masih membutuhkan perbaikan. Pebelajar melakukan eksperimentasi atau simulasi, menebak serta menguji pada menemukan jawaban

Langkah kelima, menilik. Pebelajar melakukan penyelidikan terhadap data-data serta berita yg diperolehnya. Pengajar membuat struktur belajar yang memungkinkan pebelajar dapat memakai berbagai cara buat mengetahui dan memahami global mereka. Tahap ini memfasilitasi proses refleksi dalam proses heuristik dalam pemecahan perkara teknik mesin. 

Langkah keenam, menyempurnakan konflik yang telah didefinisikan. Pebelajar menyempurnakan kembali perumusan kasus menggunakan merefleksikannya melalui citra nyata yg mereka fahami. Pernyataan rumusan perkara pada termin awal dirumuskan berdasarkan skenario permasalahn yg terdapat. 

Langkah ketujuh, menyimpulkan alternatif-alternatif pemecahan secara kolaboratif. Pebelajar berkolaborasi mendiskusikan data dan liputan yang relevan menggunakan pertarungan. Setiap anggota gerombolan mulai terlibat buat mendiskusikan permasalahan dari aneka macam sudut pandang. Pada termin ini proses pemecahan masalah berada dalam tahap menyimpulkan cara lain -alternatif pemecahan yg dihasilkan menggunakan berkolaborasi. Kolaborasi ini menaruh kemungkinan alternatif jawaban yang lebih baik daripada proses individual.

Langkah kedelapan, menguji solusi pertarungan. Pebelajar menguji cara lain pemecahan yang sesuai serta mungkin menggunakan perseteruan. Alternatif yg terpilih diperoleh melalui suatu pemahaman dan diskusi komprehensif antar anggota kelompok, yg merupakan permecahan terbaik. Pebelajar menguji alternatif pemecahan perkara menggunakan membuiat sketsa, menulis, menciptakan plot dan sebagainya buat emnguji cara lain pemecahan yang ditemukannya. 

c. Evaluasi proses dan hasil belajar 
Penilaian pada pembelajaran dilema based learning dilakukan terhadap proses dan output pembelajaran. Penialian yang berorientasi dalam proses bertujuan buat menilai ketrampilan berkomunikasi, berafiliasi, penerimaan pebelajar terhadap tanggungjawab belajar, mengusut belajar, penyelesaian dan penggunaan asal-sumber dan pengembangan ketrampilan memecahkan masalah. Sedangkan penialian hasil belajar bisa diintegrasikan dengan penialian proses dengan teknik yang sinkron. 

Proses pembelajaran dengan pendekatan Problem-Based Learning bersifat non linier. Willis serta Wright (2000) menyatakan bahwa proses belajar dan evaluasinya berlangsung dalam daur-daur yang berulang. Evaluasi dilakukan dari siklus-daur pembelajaran.

3. Pendekatan Pembelajaran Teori
Tahapan pada menyebarkan contoh pembelajaran teori teknik mesin memakai pendekatan pemecahan kasus bisa dilakukan menggunakan tahapan berikut: (1) Identifikasi, menetapkan, serta rumuskan kompetensi (2) Identifikasi konsep-konsep esensial serta interaksi antar konsep dalam utama bahasan (topik) tertentu yg relevan. (3) Identifikasi, memutuskan, serta rumuskan indikator pencapaian kompetensi menggunakan berpedoman dalam kompetensi buat suatu planning pembelajaran tertentu. (4) Rencanakan serta susun indera evaluasi yg mengacu pada indikator pencapaian kompetensi dilanjutkan menggunakan validasi indera evaluasi . (lima) Memilih dan menyusun bahan ajar menjadi bahan orientasi bagi pebelajar dalam tahap invitasi dimaksudkan untuk mengetahui prakonsepsi pebelajar. (6) Identifikasi dan klarifikasi prakonsepsi dan/atau miskonsepsi yang dimiliki pebelajar diantaranya menggunakan tes diagnostik, buat ditempatkan pada posisi sentral dalam menyusun model pembelajaran. (7) Identifikasi, tetapkan, serta susun materi teori teknik mesin dalam bentuk kasus yang dapat digunakan sebagai bahan diskusi kelompok pebelajar pada rangka menggali konsepsinya pada fase eksplorasi konsep. Lebih lanjut susun beberapa pertanyaan yg dapat membimbing pebelajar melakukan analisis buat memecahkan kasus yg diajukan dalam rangka menggali konsepsinya. (8) Bertitik tolak dari konsep-konsep yang digali pada fase eksplorasi konsep, seleksi serta susun bahan ajar atau menjadi bahan masukan bagi pebelajar untuk mengenal serta memperoleh konsep tertentu. Kemudian kembangkan bahan ajar menggunakan menghubungkan antar konsep. Lebih lanjut susun materi ajar (topik) yang bisa diterangkan oleh pebelajar menjadi wahana latihan menyebutkan konsep. Ketiga aspek ini (pengenalan konsep, pengembangan konsep, dan latihan menyebutkan konsep) tergambar dalam fase klarifikasi konsep. (9) Pada fase aplikasi konsep susun serta pilih perkara teori teknik mesin yg bisa mengokohkan struktur kognitif pebelajar. Utamakan perkara/soal yg melatih pebelajar berpikir dalam tingkat pelaksanaan, analisis, buatan, serta evaluasi (taksonomi Bloom) yang ekivalen dengan level persoalan solving (taksonomi Gagne).