PENGERTIAN PENDIDIKAN ANTISIPATORIS

Pengertian Pendidikan Antisipatoris 
Abad Melinium yg dicirikan dengan era dunia telah menuntut peningkatakan daya saing serta kompetisi yang terbuka. Hal itu, sudah menyebabkan orientasi baru dalam pendidikan, yaitu sangat perlunya diciptakan dan ditekankan adanya pendidikan yg bermakna, lantaran dengan pendidikan yang bermakna akan dapat menolong kita, sedangkan pendidikan yg tidak bermakna hanya menjadi beban hidup. Karena itu pembelajaran yg bermakna sebagai info penting dalam pendidikan misalnya yg sudah dilaporkan oleh the International Commission on Education for the Twenty-first Century (Delors, 1995), suatu komisi yang dibuat oleh UNESCO serta bertugas mempelajari pendidikan yg tepat buat abad ke-21.

Laporan itu mengungkapkan bahwa buat memenuhi tuntutan kehidupan masa depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk menaikkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap juga buat dapat mengikuti keadaan menggunakan dunia yang kompleks dan penuh dengan saling ketergantungan. Untuk itu, pendidikan yang relevan wajib bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu (1) learning to know, yakni siswa mempelajari pengetahuan, (dua) learning to do, yakni peserta didik menggunakan pengetahuannya buat membuatkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta didik belajar memakai pengetahuan dan keterampilannya buat hayati, serta (4) learning to live together, yakni siswa belajar buat menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sebagai akibatnya dibutuhkan adanya saling menghargai antara sesama manusia. Dengan demikian, pendidikan saat ini harus bisa membekali setiap siswa dengan pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai serta sikap, dimana proses belajar bukan semata-mata mencerminkan pengetahuan (knowledge-based) tetapi mencerminkan keempat pilar pada atas. Melalui keempat pilar itulah bisa terbentuk kompetensi. 

Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, perilaku dan nilai yang dimiliki serta dikuasai siswa yg dapat tertampilkan secara konkret dalam memecahkan /menuntaskan tugas-tugas pada kehidupan. Jadi seorang dikatakan kompeten apabila padanya terbentuk suatu kemampuan yang dapat diandalkannya dalam menghadapi tuntutan kehidupan. Dengan istilah lain, kompetensi dibangun agar setiap individu bisa survived dalam menghadapi kehidupan yang penuh menggunakan tantangan dalam era global ini.

Pembentukan kompetensi mensyaratkan dilakukannya asesmen yg bersifat komprehensif, dalam arti, asesmen dilakukan terhadap proses dan produk belajar. Jika pada masa yg lalu fokus pembelajaran adalah pada produk belajar, dalam masa sekarang proses dan produk menerima porsi perhatian yg seimbang. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa suatu produk yang baik seyogyanya didahului sang proses yang baik. Untuk meyakinkan hal tadi, perlu dilakukan pemantauan terhadap proses. Di samping itu, menggunakan dilakukannya pemantauan selama proses, terbuka peluang bagi siswa untuk menerima umpan pulang yang dapat digunakannya buat membentuk produk terbaik.

1. Terminologi pada Khasanah Asesmen
Dalam konteks pendidikan dewasa ini, kata asesmen lebih poly dipakai dibandingkan dengan pada masa-masa yang kemudian. Penggunaan istilah asesmen digunakan bersama-sama dengan kata evaluasi dan pengukuran. Memang, menurut Popham (1975), pengertian pengukuran serta penilaian tidak sinkron. Pengukuran merupakan suatu tindakan memilih sejauhmana (the degree to which) seorang mempunyai suatu atribut tertentu. Penentuan itu dilakukan menggunakan memberikan nomor (disebut skor) terhadap atribut tadi. Evaluasi merupakan keseluruhan proses buat tetapkan apakah sesuatu baik atau tidak, berguna atau tidak, dan seterusnya. Jadi, pengukuran merupakan status determination, sedangkan penilaian merupakan worth determination. 

Dalam kaitannya dengan asesmen, Popham menyampaikan bahwa asesmen seringkali dimaksudkan sama menggunakan evaluasi. Kata asesmen dianggap lebih ‘ramah’ dibandingkan dengan penilaian. Setelah dua puluh tahun, Popham (1995) lebih menekankan lagi bahwa pada hakikatnya istilah asesmen juga penilaian secara prinsip tidaklah tidak selaras, dan menggunakannya dengan makna yang sama. 

Menurut Salvia serta Ysseldike (1994) asesmen adalah suatu proses mengumpulkan data dengan tujuan supaya bisa dilakukan keputusan mengenai suatu objek. Popham (1975) menyampaikan bahwa asesmen merupakan suatu upaya formal buat menentukan status objek pada aneka macam aspek yg dievaluasi. Nitko (1996) menyampaikan bahwa asesmen adalah suatu proses menerima data yg dipakai buat pengambilan keputusan mengenai pebelajar, acara pendidikan, serta kebijakan pendidikan. Apabila dikatakan ’mengases kompetensi pebelajar’, maka itu berarti pengumpulan berita buat dapat ditentukan sejauhmana seorang pebelajar sudah mencapai suatu target belajar.

2. Asesmen Berbasis Kompetensi
Pendidikan merupakan proses pemenusiaan insan, maka berdasarkan itu pada tataran yg lebih operasioanal bisa dikatakan bahwa tuntutan pendidikan merupakan terbentuknya kompetensi pada peserta didik (terlepas berdasarkan apakah kurikulum yang kini tetap dipakai atau diganti, tetapi pembentukan kompetensi adalah adalah suatu keharusan). Untuk itu, perlu dilakukan pembenahan dalam praktik pembelajaran pada sekolah, termasuk praktek asesmennya. Asesmen berbasis kompetensi merupakan asesmen yg dilakukan buat mengetahui kompetensi seseorang. Kompetensi merupakan atribut individu siswa, sang karenanya asesmen berbasis kompetensi bersifat individual; sebagai akibatnya ia disebut asesmen berbasis kelas. Untuk memastikan bahwa yang diases tersebut sahih-benar adalah kompetensi riil individu (peserta didik) tadi, maka asesmen wajib dilakukan secara otentik (nyata, riil misalnya kehidupan sehari-hari). Asesmen otentik bersifat on-going atau berkelanjutan, oleh karena itu asesmen wajib dilakukan kepada proses serta produk belajar. Dengan demikian, asesmen berbasis kompetensi memiliki sifat otentik, berkelanjutan, dan individual.

Sifat-sifat asesmen berbasis kompetensi tersebut menandakan bahwa jenis tes objektif (misalnya tes pilihan ganda, sahih-galat, dan lain-lain) yg dimasa kemudian mendominasi evaluasi di sekolah tidak lagi relevan waktu ini. Sudah saatnya (dan secepat mungkin) proses pembelajaran ditopang secara kukuh menggunakan penggunaan asesmen otentik misalnya asesmen kinerja, evaluasi diri, esai, asesmen portofolio, dan projek.

3. Implementasi Asesmen Otentik
a. Asesmen Kinerja
Asesmen kinerja merupakan suatu prosedur yang memakai aneka macam bentuk tugas-tugas buat memperoleh keterangan tentang apa dan sejauhmana yg sudah dilakukan dalam suatu acara. Pemantauan didasarkan pada kinerja (performance) yang ditunjukkan pada merampungkan suatu tugas atau pertarungan yang diberikan. Hasil yang diperoleh merupakan suatu output dari unjuk kerja tersebut.

Asesmen kinerja adalah penelusuran produk dalam proses. Artinya, hasil-hasil kerja yg ditunjukkan dalam proses aplikasi acara itu dipakai sebagai basis buat dilakukan suatu pemantauan mengenai perkembangan dari satu pencapaian acara tadi. 

Terdapat tiga komponen utama dalam asesmen kinerja, yaitu tugas kinerja (performance task), rubrik performansi (performance rubrics), serta cara evaluasi (scoring guide). Tugas kinerja adalah suatu tugas yang berisi topik, baku tugas, pelukisan tugas, serta syarat penyelesaian tugas. Rubrik performansi adalah suatu rubrik yg berisi komponen-komponen suatu performansi ideal, serta deskriptor berdasarkan setiap komponen tersebut. Cara evaluasi kinerja ada 3, yaitu (1) holistic scoring, yaitu anugerah skor dari impresi penilai secara generik terhadap kualitas performansi; (dua) analytic scoring, yaitu hadiah skor terhadap aspek-aspek yang berkontribusi terhadap suatu performansi; serta (3) primary traits scoring, yaitu anugerah skor berdasarkan beberapa unsur lebih banyak didominasi menurut suatu performansi. 

b. Evaluasi Diri
Menurut Rolheiser serta Ross (2005) evaluasi diri merupakan suatu cara buat melihat kedalam diri sendiri. Melalui evaluasi diri peserta didik dapat melihat kelebihan juga kekurangannya, buat selanjutnya kekurangan ini sebagai tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian, peserta didik lebih bertanggungjawab terhadap proses serta pencapaian tujuan belajarnya.

Salvia serta Ysseldike (1996) menekankan bahwa refleksi serta evaluasi diri adalah cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (ownership), yaitu timbul suatu pemahaman bahwa apa yang dilakukan serta dihasilkan siswa tersebut memang merupakan hal yg bermanfaat bagi diri serta kehidupannya. 

Rolheiser serta Ross (2005) mengajukan suatu model teoretik buat menerangkan kontribusi evaluasi diri terhadap pencapaian tujuan. Model tadi menekankan bahwa, saat mengevaluasi sendiri performansinya, peserta didik terdorong untuk memutuskan tujuan yang lebih tinggi (goals). Untuk itu, peserta didik wajib melakukan bisnis yg lebih keras (effort). Kombinasi menurut goals serta effort ini menentukan prestasi (achievement); selanjutnya prestasi ini mengakibatkan dalam penilaian terhadap diri (self-judgment) melalui kontemplasi misalnya pertanyaan, ‘Apakah tujuanku telah tercapai’? Akibatnya timbul reaksi (self-reaction) seperti ‘Apa yang aku rasakan dari prestasi ini?’

Goals, effort, achievement, self-judgment, serta self-reaction dapat terpadu buat membangun agama diri (self-confidence) yang positif. Kedua penulis menekankan bahwa sesungguhnya, penilaian diri adalah kombinasi dari komponen self-judgment serta self-reaction dalam contoh di atas. Model tersebut digambarkan pada bagan berikut.

Evaluasi diri merupakan suatu unsur metakognisi yg sangat berperan pada proses belajar. Oleh karena itu, agar evaluasi bisa berjalan menggunakan efektif, Rolheiser dan Ross menyarankan agar siswa dilatih buat melakukannya. Kedua peneliti mengajukan empat langkah pada berlatih melakukan penilaian diri, yaitu: (1) libatkan semua komponen pada menentukan kriteria penilaian, (dua) pastikan seluruh peserta didik tahu bagaimana caranya menggunakan kriteria tadi buat menilai kinerjanya, (3) berikan umpan balik pada mereka menurut hasil evaluasi dirinya, serta (4) arahkan mereka buat membuatkan sendiri tujuan dan planning kerja berikutnya.

Untuk langkah pertama, yaitu menentukan kriteria evaluasi. Guru mengajak peserta didik bersama-sama tetapkan kriteria penilaian. Pertemuan pada bentuk pengenalan tujuan pembelajaran serta curah pendapat sangat sempurna dilakukan. Kriteria ini dilengkapi menggunakan bagaimana cara mencapainya. Dengan kata lain, kriteria penilaian adalah produknya, sedangkan proses mencapai kriteria tadi dipantau menggunakan menggunakan ceklis penilaian diri. Cara membuatkan kriteria evaluasi sama menggunakan membuatkan rubrik evaluasi pada asesmen kinerja. Ceklis penilaian diri dikembangkan menurut hakikat tujuan tersebut serta bagaimana mencapainya. 

c. Esai 
(Tes) esai menghendaki peserta didik untuk mengorganisasikan, merumuskan, serta mengemukakan sendiri jawabannya. Ini berarti peserta didik tidak memilih jawaban, akan namun memberikan jawaban menggunakan kata-katanya sendiri secara bebas.

Tes esai bisa digolongkan sebagai 2 bentuk, yaitu tes esai jawaban terbuka (extended-response) serta jawaban terbatas (restricted-response) dan hal ini tergantung dalam kebebasan yg diberikan pada peserta didik untuk mengorganisasikan atau menyusun pandangan baru-idenya dan menuliskan jawabannya. Pada tes esai bentuk jawaban terbuka atau jawaban luas, peserta didik mendemonstrasikan kecakapannya buat: (1) menjelaskan pengetahuan faktual, (2) menilai pengetahuan faktualnya, (tiga) menyusun ilham-idenya, serta (4) mengemukakan idenya secara logis dan koheren. Sedangkan pada tes esai jawaban terbatas atau terstruktur, peserta didik lebih dibatasi dalam bentuk serta ruang lingkup jawabannya, karena secara spesifik dinyatakan konteks jawaban yg harus diberikan sang siswa. Esai terbuka/tak terstruktur adalah bentuk asesmen otentik.

Tes esai mempunyai potensi untuk mengukur hasil belajar pada strata yang lebih tinggi atau kompleks. Butir tes esai memberi kesempatan pada peserta didik buat menyusun, menganalisis, dan mensintesiskan ide-ilham, serta peserta didik harus berbagi sendiri butir pikirannya dan menuliskannya pada bentuk yang tersusun atau terorganisasi. Kelemahan esai merupakan berkaitan dengan penskoran. Ketidakkonsistenan pembaca adalah penyebab kurang objektifnya dalam menaruh skor serta terbatasnya reliabilitas tes. Namun hal ini dapat diminimalkan melalui penggunaan rubrik penilaian, dan penilai ganda (inter-rater).

d. Asesmen Portofolio
Portofolio merupakan sekumpulan artefak (bukti karya/aktivitas/data) sebagai bukti (evidence) yang menerangkan perkembangan dan pencapaian suatu program. Penggunaan portofolio dalam kegiatan penilaian sebenarnya sudah lama dilakukan, terutama pada pendidikan bahasa. Belakangan ini, dengan adanya orientasi kurikulum yg berbasis kompetensi, asesmen portofolio sebagai primadona pada asesmen berbasis kelas.

Perlu dipahami bahwa sebuah portofolio (umumnya ditaruh pada folder) bukan semata-mata deretan bukti yg nir bermakna. Portofolio harus disusun berdasarkan tujuannya. Wyatt dan Looper (2002) mengungkapkan, berdasarkan tujuannya sebuah portofolio bisa berupa developmental portfolio, bestwork portfolio, dan showcase portfolio. Developmental portfolio disusun demikian rupa sinkron menggunakan langkah-langkah kronologis perkembangan yg terjadi. Oleh karenanya, pencatatan tentang kapan suatu artefak dihasilkan sebagai sangat penting, sehingga perkembangan program tersebut bisa dilihat dengan jelas. Bestwork portfolio merupakan portofolio karya terbaik. Karya terbaik diseleksi sendiri sang pemilik portofolio dan diberikan karena. Karya terbaik bisa lebih dari satu. Showcase portfolio adalah portofolio yg lebih dipakai untuk tujuan pajangan, sebagai hasil berdasarkan suatu kinerja eksklusif.

Bagaimanakah asesmen portofolio membantu memantau pencapaian target kompetensi? Asesmen portofolio adalah suatu pendekatan asesmen yg komprehensif lantaran: (1) dapat mencakup ranah kognitif, afektif, serta psikomotor secara bersama-sama, (dua) berorientasi baik pada proses juga produk belajar, dan (tiga) dapat memfasilitasi kepentingan serta kemajuan peserta didik secara individual. Dengan demikian, asesmen portofolio merupakan suatu pendekatan asesmen yang sangat sempurna buat menjawab tantangan KBK.

Asesmen portofolio mengandung tiga elemen utama yaitu: (1) sampel karya peserta didik, (dua) penilaian diri, dan (tiga) kriteria penilaian yg kentara dan terbuka. 

(1) Sampel Karya Peserta didik
Sampel karya peserta didik menunjukkan perkembangan belajarnya dari ketika ke saat. Sampel tadi bisa berupa goresan pena/karangan, audio atau video, laporan, masalah matematika, maupun eksperimen. Isi berdasarkan sampel tadi disusun secara sistematis tergantung dalam tujuan pembelajaran, preferensi guru, maupun preferensi siswa. Asesmen portoflolio menilai proses maupun hasil. Oleh karenanya proses serta output sama pentingnya. Meskipun asesmen ini bersifat berkelanjutan, yg berarti proses mendapatkan porsi penilaian yg akbar (bandingkan dengan asesmen konvensional yg hanya menilai hasil belajar) namun kualitas output sangat penting. Dan memang, penilaian proses yang dilakukan tersebut sesungguhnya memberi kesempatan siswa mencapai produk yang sebaik-baiknya.

Isi folder adalah berbagai produk yang didapatkan sang peserta didik, baik yang berupa bahan/draf maupun karya (terbaik), serta diklaim entri (entry). Sumber keterangan bisa diperoleh berdasarkan tes maupun non-tes (dengan tes objektif diupayakan minimal). Bahan non-tes diantaranya karya (artefak), rekaman, draf, kinerja, dan lain-lain yg bisa menampakan perkembangan siswa menjadi pebelajar. Catatan serta bahan evaluasi-diri juga adalah bagian pada folder.

(dua) Evaluasi Diri pada Asesmen Portofolio
O’Malley serta Valdez Pierce (1994) bahkan berkata bahwa ‘self-assessment is the key to portfolio’. Hal ini ditimbulkan karena melalui penilaian diri siswa dapat membentuk pengetahuannya serta merencanakan dan memantau perkembangannya apakah rute yg ditempuhnya sudah sesuai. Melalui evaluasi diri siswa bisa melihat kelebihan juga kekurangannya, untuk selanjutnya kekurangan ini sebagai tujuan perbaikan (improvement goal). Dengan demikian siswa lebih bertanggungjawab terhadap proses belajarnya serta pencapaian tujuan belajarnya.

Evaluasi diri dalam asesmen portofolio persis sama menggunakan penilaian diri yg dibahas dalam bagian b. Pada atas. Memang, asesmen portofolio merupakan asesmen otentik yg paling komprehensif dalam khasanah asesmen otentik karena melibatkan jenis-jenis asesmen yg lain seperti asesmen kinerja serta esai. 

(3) Kriteria Penilaian yang Jelas serta Terbuka
Bila pada jenis-jenis asesmen konvensional kriteria penilaian menjadi ‘misteri’ pengajar atau pun tester, pada asesmen portofolio justru harus disosialisasikan kepada siswa secara kentara. Kriteria tadi pada hal ini meliputi prosedur dan standar penilaian. Para pakar menganjurkan bahwa sistem serta standar asesmen tersebut ditetapkan beserta-sama dengan siswa, atau paling nir diumumkan secara kentara. Rubrik evaluasi yg digunakan pengajar buat menilai kinerja siswa (contohnya, kriteria penilaian kemampuan menulis) 

(4) Model Asesmen Portofolio
Untuk memperoleh gambaran komprehensif melalui asesmen portofolio, diharapkan suatu pendekatan yg bisa mewakili holistik proses asesmen. Wyaatt III serta Looper (1999) mengembangkan suatu model portofolio yang diakronimkan menjadi CORP, yg meliputi (1) collecting, yaitu pengumpulan data seperti karya-karya dan dokumen-dokumen lain termasuk draft, (2) organizing, yaitu proses penyusunan dan pemilihan data-data itu dari aturan yg diinginkan, misalnya secara kronologi, dari focus, atau karya terbaik (3) reflecting, yaitu refleksi terhadap proses belajar yg telah dilewati serta penilaian atas karya sendiri, serta (4) presenting, yaitu menampilkan seluruh hasil seleksi dan refleksi tersebut dalam suatu dokumen yg seringkali diklaim folder.

Folder portofolio adalah bahan yg akan diases sang guru. Pada umumnya, beberapa hal yg sine qua non pada folder portofolio merupakan (1) cover letter, yaitu rangkuman berdasarkan apa yg sudah dibentuk siswa menjadi bukti hasil belajarnya, (dua) daftar isi portofolio, (tiga) entri (menggunakan lepas dalam setiap entri). Entri dibedakan sebagai dua, yaitu entri wajib serta entri pilihan; (4) draf setiap entri (buat pemantauan proses yang dilalui), serta (5) refleksi dan evaluasi diri.

Berikut ini merupakan modifikasi menurut contoh asesmen portofolio oleh Moya serta O’Malley (1994). Model tadi (Portfolio Assessment Model) diadaptasi menggunakan 3 komponen pembelajaran, yaitu Perencanaan, Pelaksanaan, serta Analisis.

a). Perencanaan
(1) Menentukan tujuan dan penekanan (baku kompetensi, kompetensi dasar, kriteria keberhasilan)
(dua) Merencanakan isi portofolio, yg mencakup pemilihan prosedur asesmen, memilih isi/topik, dan tetapkan frekuensi serta ketika dilakukannya asesmen.
(3) Mendesain cara menganalisis portofolio, yaitu menggunakan tetapkan standar atau kriteria penilaian, memutuskan cara memadukan output evaluasi menurut aneka macam sumber, dan tetapkan waktu analisis.
(4) Merencanakan penggunaan portofolio pada pembelajaran, yaitu berupa anugerah umpan pulang.
(lima) Menentukan mekanisme pengujian keakuratan fakta, yaitu menetapkan cara mengetahui reliabilitas berita serta validitas penilaian.

b). Implementasi contoh (terpadu dengan pembelajaran)
(1) Mengumumkan tujuan serta fokus pembelajaran pada peserta didik.
(dua) Menyepakati mekanisme asesmen yang dipakai dan kriteria penilaiannya.
(3) Mendiskusikan cara-cara yg perlu dilakukan untuk mencapai output aporisma.
(4) Melaksanakan asesmen portofolio (folder, evaluasi diri)
(4) Memberikan umpan kembali terhadap karya dan evaluasi diri

c). Analisis portofolio peserta didik
(1) Mengumpulkan folder
(dua) Menganalisis banyak sekali asal dan bentuk informasi
(3) Memadukan banyak sekali warta yang ada
(4) Menerapkan kriteria penilaian yg telah disepakati
(5) Melaporkan hasil asesmen

e. Projek
Projek, atau acapkali disebut pendekatan projek (project approach) merupakan pemeriksaan mendalam mengenai suatu topik konkret. Dalam projek, peserta didik mendapat kesempatan mengaplikasikan keterampilannya. Pelaksanaan projek bisa dianalogikan menggunakan sebuah cerita, yaitu memiliki awal, pertengahan, serta akhir projek. Lantaran itu, projek umumnya mempunyai 3 fase utama, yaitu: 

(1) Fase Perencanaan; dalam fase ini pengajar menyusun suatu Tugas Projek yg berisi: tema atau topik projek, dan petunjuk tentang apa yg mesti dilakukan sang peserta didik. Biasanya, sebelumnya hal-hal tadi di atas didiskusikan dulu oleh guru dengan siswa.

Tugas projek bisa berbentuk pertunjukan (contohnya, drama), konstruksi (contohnya, menciptakan sebuah kolam ikan), karya tulis (misalnya, KIR). Contoh tugas projek:
1. Tema : Pertunjukan Drama
2. Petunjuk :
- Pilihlah salahsatu drama karya Putu Wijaya
- Setiap gerombolan terdiri berdasarkan 5 – 10 orang peserta didik
- Pertunjukan akan dilakukan pada lepas 16 Agustus 2006 di auditorium sekolah
- Lama waktu pertunjukan adalah satu jam buat setiap grup, karena itu naskah bisa dimodifikasi tanpa meninggalkan pesan aslinya

(2) Fase Pengembangan; pada fase ini peserta didik mencari bahan, memodifikasi naskah, berdiskusi menggunakan pakar, berlatih secara terbimbing juga mandiri.
(3) Fase Akhir; pada fase ini peserta didik menampilkan hasil kerja mereka, yaitu berupa petunjukan drama.

Comments