PARAMETER KIMIA KUALITAS AIR

Parameter Kimia Kualitas Air - Air yang dipakai buat budidaya udang atau organisme perairan yg lain memiliki komposisi dan sifat-sifat kimia yg tidak selaras dan tidak kontinu. Komposisi serta sifat-sifat kimia air ini bisa diketahui melalui analisis kimia air. 

Dengan demikian bila ada parameter kimia yg keluar dari batas yang telah  ditentukan dapat segera dikendalikan.

Parameter-parameter kimia yang digunakan buat menganalisis air bagi kepentingan budidaya diantaranya :


PARAMETER KIMIA KUALITAS AIR


1. Salinitas

Salinitas dapat didefinisikan menjadi total konsentrasi ion-ion terlarut dalam air. Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan pada permil (°/oo) atau ppt (part perthousand) atau gr/liter. 

Tujuh ion primer yaitu : sodium, potasium, kalium, magnesium, klorida, sulfat dan bikarbonat memiliki donasi besar terhadap besarnya salinitas, sedangkan yang lain dianggap mini (Boyd, 1990). 


Sedangkan dari Davis et al. (2004), ion calsium (Ca), potasium (K), serta magnesium (Mg) adalah ion yg paling krusial pada menopang taraf kelulushidupan udang. Salinitas suatu perairan dapat dipengaruhi menggunakan menghitung jumlah kadar klor yg ada dalam suatu sampel (klorinitas). 


Sebagian besar petambak membudidayakan udang pada air payau (15-30 ppt). Meskipun demikian, udang bahari sanggup hidup pada salinitas dibawah 2 ppt serta pada atas 40 ppt.
2. PH

pH didefinisikan menjadi logaritme negatif dari konsentrasi ion hidrogen [H+] yang memiliki skala antara 0 hingga 14. PH mengindikasikan apakah air tadi netral, basa atau asam. 

Air menggunakan pH dibawah 7 termasuk asam dan diatas 7 termasuk basa. PH adalah variabel kualitas air yang dinamis dan berfluktuasi sepanjang hari. Pada perairan generik yang nir dipengaruhi kegiatan biologis yang tinggi, nilai pH sporadis mencapai diatas 8,lima, namun pada tambak ikan atau udang, pH air bisa mencapai 9 atau lebih (Boyd, 2002). 


Perubahan pH ini adalah dampak pribadi dari fotosintesis yg menggunakan CO2 selama proses tersebut. Karbon dioksida pada air bereaksi membentuk asam seperti yg masih ada dalam persamaan pada bawah ini :

CO2 + H2O HCO3 - + H+

Ketika fotosintesis terjadi pada siang hari, CO2 poly terpakai pada proses tersebut. Turunnya konsentrasi CO2 akan menurunkan konsentrasi H+ sebagai akibatnya menaikkan pH air. Sebaliknya dalam malam hari semua organisme melakukan respirasi yang membentuk CO2 sehingga pH menjadi turun. 

Fluktuasi pH yang tinggi bisa terjadi bila densitas plankton tinggi. Tambak dengan total alkalinitas yg tinggi mempunyai fluktuasi pH yang lebih rendah dibandingkan dengan tambak yg beralkalinitas rendah. Hal ini disebabkan kemampuan total alkalinitas sebagai buffer atau penyangga (Boyd, 2002).
3. Alkalinitas

Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa menurunkan pH larutan. Alkalinitas adalah buffer terhadap pengaruh pengasaman. Dalam budidaya perairan, alkalinitas dinyatakan pada mg/l CaCO3. 

Penyusun utama alkalinitas adalah anion bikarbonat (HC03 -), karbonat (CO3 dua- ), hidroksida (OH-) dan pula ion-ion yang jumlahnya kecil misalnya borat (BO3 -), fosfat (P04 tiga-), silikat (SiO4 4-) serta sebagainya (boyd, 1990).
Peranan penting alkalinitas dalam tambak udang diantaranya menekan fluktuasi pH pagi dan siang serta penentu kesuburan alami perairan. 

Tambak dengan alkalinitas tinggi akan mengalami fluktuasi pH harian yg lebih rendah apabila dibandingkan dengan tambak menggunakan nilai alkalinitas rendah (Boyd, 2002). 


Menurut Davis et al. (2004), penambahan kapur bisa menaikkan nilai alkalinitas terutama tambak menggunakan nilai total alkalinitas dibawah 75 ppm.

4. Oksigen Terlarut (dissolved oxygen)

Oksigen terlarut merupakan variabel kualitas air yg sangat penting pada budidaya udang. Semua organisme akuatik membutuhkan oksigen terlarut buat metabolisme. Kelarutan oksigen pada air tergantung pada suhu serta salinitas. 

Kelaruran oksigen akan turun bila suhu serta temperatur naik (Boyd, 1990). Hal ini perlu diperhatikan lantaran dengan adanya kenaikan suhu air, fauna air akan lebih aktif sebagai akibatnya memerlukan lebih poly oksigen.

Oksigen masuk dalam air melalui beberapa proses. Oksigen dapat terdifusi secara eksklusif berdasarkan atmosfir selesainya terjadi kontak antara bagian atas air menggunakan udara yg mengandung oksigen 21% (Boyd, 1990). Fotosintesis tanaman air adalah sumber primer oksigen terlarut dalam air. Sedangkan pada budidaya udang, penambahan suplai oksigen dilakukan dengan menggunakan aerator (Hargreaves, 2003).
Pada waktu cuaca mendung atau hujan bisa menghambat pertumbuhan fitoplankton lantaran kekurangan sinar surya buat proses fotosintesis. Kondisi ini akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut lantaran oksigen nir bisa diproduksi ad interim organisme akuatik permanen mengkonsumsi oksigen. 

Keterbatasan sinar surya menembus badan air bisa pula ditimbulkan sang tingginya partikel yang terdapat pada kolom air, baik lantaran bahan organik maupun densitas plankton yg terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya fotosintesis algae yang ada pada dasar tambak (Hargreaves, 1999).

Tingginya kepadatan tebar (stocking density) dan pemberian pakan (feeding rate) bisa menyebabkan turunnya kensentrasi oksigen terlarut dalam air. Sisa pakan (uneaten feed) dan residu hasil metabolisme menyebabkan tingginya kebutuhan oksigen buat menguraikannya (oxygen demand). 

Kemampuan ekosistem kolam budidaya untuk menguraikan bahan organik terbatas sehingga bisa mengakibatkan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dalam air (Boyd, 2004).

5. Biological Oxygen Demand (BOD)

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan menjadi banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada waktu pemecahan bahan organik pada syarat aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan sang organisme sebagai bahan kuliner dan energinya diperoleh menurut proses oksidasi (Pescod pada Salmin, 2005).
Waktu yg dibutuhkan buat proses oksidasi bahan organik secara paripurna menjadi CO2 dan H2O adalah tidak terbatas. Penghitungan nilai BOD umumnya dilakukan dalam hari ke lima lantaran dalam saat itu persentase reaksi relatif akbar, yaitu 70-80% berdasarkan nilai BOD total (Sawyer dan MC Carty, 1978 pada Salmin, 2005).

6. Produktivitas primer

Dalam kolam budidaya, tanaman air baik macrophyta maupun plankton adalah produsen primer menjadi sumber utama bahan organik. Melalui proses fotosintetis, flora memakai karbon dioksida, air, cahaya mentari serta nutrien buat menghasilkan bahan organik dan oksigen misalnya dalam reaksi :

6CO2 + 6H2O C6H12O6 + 6O2

Fotosintesis merupakan proses fundamental pada kolam budidaya. Oksigen terlarut yg diproduksi melalui fotosintesis merupakan sumber primer oksigen bagi seluruh organisme pada ekosistem kolam (Howerton, 2001). 

Glukosa atau bahan organik yg dihasilkan adalah penyusun primer material organik yg lebih besar serta kompleks. Hewan yg lebih tinggi tingkatannya pada rantai makanan memakai material organik ini baik secara langsung dengan mengkonsumsi flora atau mengkonsumsi organisme yg memakan tumbuhan tadi (Ghosal et al. 2000).
Proses biologi lainnya yg sangat krusial dalam budidaya perairan adalah respirasi, dengan reaksi :

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O

Dalam respirasi, bahan organik dioksidasi menggunakan membuat air, karbon dioksida serta energi. Pada ketika siang hari proses fotosintesis dan respirasi berjalan secara beserta-sama. Pada malam hari hanya proses respirasi yang berlangsung, sebagai akibatnya konsentrasi oksigen terlarut pada air turun sedangkan konsentrasi karbon dioksida naik.

Kedua proses tadi mempunyai imbas langsung dalam budidaya perairan. Oksigen terlarut dibutuhkan organisme buat hidup sedangkan fitoplankton merupakan sumber primer oksigen terlarut disamping sebagai penyusun primer rantai kuliner pada ekosistem kolam budidaya. 

Salah satu cara buat memilih status suatu ekosistem pada sedimen adalah dengan menghitung fotosintesis/respirasi rasio (P/R ratio). Jika P/R ratio lebih mini menurut satu (1) maka sedimen tadi termasuk heterotropik, dimana karbon lebih poly digunakan buat respirasi dibandingkan yang didapatkan menurut fotosintesis. 


Sedangkan jika P/R ratio lebih akbar dari satu (1) memberitahuakn sedimen tadi termasuk autotofik, dimana karbon lebih banyak diproduksi berdasarkan pada dipakai buat respirasi (Eyre serta Ferguson, 2002).

7. Sedimen

Managemen dasar tambak atau sedimen masih kurang diperhatikan apabila dibandingkan menggunakan managemen kualitas air tambak budidaya. Banyak bukti yg menandakan adanya impak yang kuat pertukaran nutrien antara sedimen menggunakan air terhadap kualitas air (Boyd, 2002).
8. Oxidized Layer

Oxidized layer merupakan lapisan sedimen yang berada paling atas yg mengandung oksigen. Lapisan ini sangat berguna serta harus dipelihara keberadaannya selama siklus budidaya (Boyd, 2002). Pada lapisan tersebut terjadi dekomposisi aerobik yang membentuk antara lain : CO2, air, amonia, serta nutrien yang lainnya. 

Pada sedimen anaerobik, beberapa mikroorganisme menguraikan material organik dengan reaksi fermentasi yg membentuk alkohol, keton, aldehida, dan senyawa organik lainnya menjadi hasil metabolisme. Menurut Blackburn (1987) dalam Boyd (2002), 


beberapa mikroorganisme anaerobik bisa memanfaatkan O2 menurut nitrat, nitrit,ferro, sulfat, serta karbon dioksida buat menguraikan bahan organik menggunakan mengeluarkan gas nitrogen, amonia, H2S, serta metan sebagai hasil metabolisme.

Beberapa produk metabolisme, khususnya H2S, nitrit, dan amonia berpotensi toksik terhadap ikan atau udang. 

Lapisan oksigen yang ada pada permukaan sedimen bisa mencegah difusi sebagian besar senyawa beracun sebagai bentuk yang nir beracun melalui proses kimiawi serta biologi ketika melalui permukaan yang beroksigen. 


Nitrit diokdidasi sebagai nitrat, ferro dioksidasi menjadi ferri, dan H2S menjadi sulfat (Boyd, 2004c). Selanjutnya dikatakan bahwa kehilangan oksigen pada sedimen bisa ditimbulkan oleh akumulasi bahan organik yg tinggi sebagai akibatnya oksigen terlarut terpakai sebelum mencapai bagian atas tanah. 


Tingkat anugerah pakan yg tinggi dan blooming plankton bisa mengakibatkan penurunan oksigen terlarut.

9. Bahan Organik

Tanah dasar tambak yang mengandung karbon organik 15-20% atau 30- 40% bahan organik jelek buat budidaya perairan. Kandungan bahan organik yang baik buat budidaya udang kurang lebih 10% atau 20% kandungan karbon organik (Boyd, 2002). 

Kandungan bahan organik yg tinggi akan meningkatkan kebutuhan oksigen buat menguraikan bahan organik tadi menjadi molekul yang lebih sederhana sehingga akan terjadi persaingan penggunaan oksigen dengan biota yg ada dalam tambak.

Peningkatan kandungan bahan organik pada tanah dasar tambak akan terjadi menggunakan cepat terutama pada tambak yg memakai sistem budidaya secara semi intensif juga intensif menggunakan tingkat hadiah pakan (feeding rate) serta pemupukan yg tinggi (Howerton, 2001). 

Disamping mengendap pada dasar tambak, limbah organik jua tersuspensi dalam air sehingga menghambat penetrasi cahaya surya ke dasar tambak.
Limbah tambak yg terdiri berdasarkan residu pakan (uneaten feed), kotoran udang (feces), serta pemupukan terakumulasi pada dasar tambak maupun tersuspensi pada air. Limbah ini terdegradasi melalui proses mikrobiologi menggunakan membentuk amonia, nitrit, nitrat, dan fosfat (Zelaya et al., 2001). 

Nutrien ini merangsang tumbuhnya algae/plankton yg dapat mengakibatkan blooming. Sementara itu beberapa hasil degradasi limbah organik bersifat toksik terhadap udang pada level tertentu. Terjadinya die off plankton bisa pula menyebabkan udang tertekan serta kematian lantaran turunnya kadar oksigen terlarut. Limbah tambak udang mengandung lebih poly bahan organik, nitrogen, dan fosfor dibanding tanah biasa serta mempunyai nilai BOD dan COD yg lebih tinggi (Latt, 2002).


10. Nutrien

Dua nutrien yg paling penting di tambak merupakan nitrogen dan fosfor, karena kedua nutrien tersebut keberadaannya terbatas serta dibutuhkan buat pertumbuhan fitoplankton (Boyd, 2000). Keberadaan ke 2 nutrien tersebut pada tambak asal dari pemupukan serta pakan yg diberikan.
11. Nitrogen
Nitrogen umumnya diaplikasikan sebagai pupuk pada bentuk urea atau amonium. Di pada air, urea secara cepat terhidrolisis sebagai amonium yang dapat langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton. Melalui rantai makanan, nitrogen pada fitoplankton akan dikonversi menjadi nitrogen protein pada ikan. Sedangkan nitrogen berdasarkan pakan yang diberikan dalam ikan, hanya 20-40% yang dirubah sebagai protein ikan, sisanya tersuspensi pada air dan mengendap di dasar tambak (Boyd, 2002).

Amonium bisa pula teroksidasi menjadi nitrat oleh bakteri nitrifikasi yg bisa dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton. Nitrogen organik dalam plankton yang mati dan kotoran fauna air (feces) akan mengendap di dasar sebagai nitrogen organik tanah. Nitrogen pada material organik tanah akan dimineralisasi sebagai amonia serta balik ke air sehingga bisa dimanfaatkan kembali sang fitoplankton (Durborow, 1997).

12. Fosfor
Fosfor yang ada yg ada dalam tambak budidaya dari dari pupuk misalnya ammoniumfosfat serta calsiumfosfat dan berdasarkan pakan. Fosf


or yg terdapat pada pakan nir semua dikonversi sebagai daging ikan/udang. Menurut Boyd (2002), 2 pertiga fosfor pada pakan terakumulasi di tanah dasar. Sebagian akbar diikat oleh tanah serta sebagian mini larut dalam air. 

Fosfor dimanfaatkan sang fitoplankton pada bentuk ortofosfat (PO4 3-) dan terakumulasi dalam tubuh ikan/udang melalui rantai kuliner. Phosphat yang nir diserap oleh fitoplankton akan didikat oleh tanah. Kemampuan mengikat tanah dipengaruhi oleh kandungan liat (clay) tanah. Semakin tinggi kandungan liat pada tanah, semakin semakin tinggi kemampuan tanah mengikat fosfat. Demikan Tentang Parameter Kimia Kualitas Air

Kunjungi pula blog penyuluh perikanan

Semoga Bermanfaat...

PARAMETER FISIKA KUALITAS AIR

Parameter Fisika Kualitas Air - Faktor ekamatra air merupakan variabel kualitas air yg penting karena bisa mensugesti variabel kualitas air yg lainnya. Faktor ekamatra yang besar pengaruhnya terhadap kualitas air merupakan cahaya mentari serta suhu air. 

Kedua faktor ini berkaitan erat, dimana suhu air terutama tergantung menurut intensitas cahaya surya yg masuk ke dalam air. Cahaya matahari serta suhu air merupakan faktor alam yang sampai saat belum sanggup dikendalikan.

1. Cahaya Matahari
Cahaya matahari memiliki peranan yang sangat besar terhadap kualitas air secara keseluruhan, lantaran dapat menghipnotis reaksi-reaksi yang terjadi pada air. 

Penetrasi cahaya mentari ke pada air terutama dipengaruhi oleh sudut jatuh cahaya terhadap garis vertikal. Semakin akbar sudut jatuhnya, maka penetrasi cahaya mentari semakin menurun. 


Cahaya akan berubah kualitas spektrumnya serta turun intensitasnya sehabis menembus massa air disebabkan lantaran dispersi serta absorpsi yang berbeda-beda oleh lapisan air. 

PARAMETER FISIKA KUALITAS AIR

Pada air murni kira-kira 53% menurut cahaya yang masuk akan ditransformasi ke pada bentuk panas serta selanjutnya akan padam pada kedalaman kurang berdasarkan satu meter (Boyd, 1990). 

Cahaya dengan panjang gelombang panjang (merah serta jingga) serta panjang gelombang pendek (ultra violet serta violet) lebih cepat padam dibandingkan menggunakan panjang gelombang sedang atau intermediate (biru, hijau serta kuning).


Turbiditas (kekeruhan) akan menurunkan kemampuan air buat meneruskan cahaya kedalamnya. Di kolam, turbiditas serta warna air disebabkan sang koloid dari partikel-pertikel lumpur, organik tcrlarut serta yg paling besar ditimbulkan oleh densitas plankton (Hargreaves, 1999). 

Cahaya mentari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan air sebagai sumber energi buat melakukan fotosintesis. 

Sebagai penghasil utama, tumbuhan hijau melakukan fotosintesis buat membuat oksigen serta bahan organik, yg akan dimanfaatkan sang hewan yg lebih tinggi tingkatannya pada rantai kuliner (Ghosal et al. 2000).

2. Suhu Air

Suhu air ditentukan oleh : radiasi cahaya matahari, suhu udara, cuaca serta lokasi. Radiasi mentari merupakan faktor primer yg menghipnotis naik turunnya suhu air. 

Sinar matahari mengakibatkan panas air di bagian atas lebih cepat dibanding badan air yang lebih dalam. 


Densitas air turun dengan adanya kenaikan suhu sehingga bagian atas air serta air yang lebih dalam tidak dapat tercampur dengan sempurna. 


Hal ini akan mengakibatkan terjadinya stratifikasi suhu (themal stratification) dalam badan air, dimana akan terbentuk 3 lapisan air yaitu : epilimnion, hypolimnion serta thermocline.
  • Epilimnion merupakan lapisan atas yang suhunya tinggi.
  • Hypolimnion adalah lapisan bawah yg suhunya rendah.
  • Thermocline merupakan lapisan yg berada di antara epilimnion serta hypolimnion yg suhunya turun secara drastis (Boyd, 1990). Dalam kolam budidaya, kondisi semacam ini dapat diatasi menggunakan pengadukan air oleh aerator atau kincir (paddle wheel).

Air mempunyai kapasitas yang akbar buat menyimpan panas sebagai akibatnya suhunya nisbi kontinu dibandingkan dengan suhu udara (boyd, 1990). 

Perbedaan suhu air antara pagi serta siang hari hanya sekitar 2°C, misalnya suhu pagi 28°C suhu siang 30°C. Energi cahaya matahari sebagian besar diabsorpsi di lapisan permukaan air. Semakin ke dalam energinya semakin berkurang. 


Konsentrasi bahan-bahan terlarut di dalam air akan menaikkan penyerapan panas. Terjadinya transfer panas dari lapisan atas ke lapisan bawah tergantung dari kekuatan pengadukan air (angin, kincir, serta sebagainya).

Suhu air sangat berpengaruh terhadap proses kimia maupun biologi dalam air. Reaksi kimia serta biologi naik dua kali setiap terjadi kenaikan 10⁰C. 

Aktivitas metabolisme organisme akuatik juga naik serta penggunaan oksigen terlarut menjadi dua kali lipat. Penggunaan oksigen terlarut dalam penguraian bahan organik juga meningkat secara drastis (Howerton, 2001).

Berdasarkan pada penelitian Wasielesky (2003), suhu mempengaruhi metabolisme udang putih (L. vannamei). Pada suhu 23⁰C, 27⁰C serta 30⁰C, menunjukkan bahwa nafsu makan udang paling tinggi terjadi pada suhu 30oC. 

Sedangkan berdasarkan penelitian Jackson serta Wang (1998), pertumbuhan udang windu (Penaeus monodon) pada suhu 30⁰C dengan umur 180 hari mencapai 34 g serta pada suhu 20⁰C hanya mencapai 20 g pada umur yang sama.

3. Kecerahan

Kecerahan (transparancy) perairan dipengaruhi oleh bahan-bahan halus yang melayang-layang dalam air baik berupa bahan organik seperti plankton, jasad renik, detritus maupun berupa bahan anorganik seperti lumpur serta pasir (Hargreaves, 1999).
Dalam kolam budidaya, kepadatan plankton memegang peranan paling akbar pada memilih kecerahan meskipun partikel tersuspensi pada air juga berpengaruh. 

Plankton tersebut akan memberikan warna hijau, kuning, biru-hijau, serta coklat pada air (Boyd, 2004a). Selanjutnya dikatakan bahwa kedalaman air yang dipengaruhi oleh sinar matahari (photic zone) di danau atau tambak sekitar dua kali nilai pengamatan dengan menggunakan secchi disk


Semakin kecil kecerahan berarti semakin kecil sinar mentari yang masuk hingga dasar tambak yang bisa mensugesti aktvitas biota di wilayah tadi.



4. Muatan Padat Tersuspensi

Muatan padatan tersuspensi (MPT) berasal dari zat organik serta anorganik. Komponen organik terdiri dari fitoplankton, zooplankton, bakteri serta organisme renik lainnya. Sedangkan komponen anorganik terdiri dari detritus partikelpartikel anorganik (Hargreaves,1999). 

Selanjutnya dikatakan bahwa MPT berpengaruh terhadap penetrasi cahaya surya ke pada badan air. Hal ini berpengaruh pada tingkat fotosintesis tumbuhan hijau sebagai penghasil primer yg memanfaatkan sinar mentari sebagai tenaga utama. 


Kekeruhan karena plankton jika tidak berlebihan bermanfaat bagi ekosistem tambak. Jika densitas plankton terlalu tinggi akan menyebabkan fluktuasi beberapa kualitas air seperti pH serta oksigen terlarut.
Sumber : Blog penyuluh perikanan

Semoga Bermanfaat...

PARAMETER BIOLOGI KUALITAS AIR

PARAMETER BIOLOGI KUALITAS AIR - Indikator kualitas air yg biasa dipakai buat menilai kelayakan buat budidaya umumnya berdasarkan dalam faktor fisika serta kimia air dalam kolom air.

Faktor ekamatra air yang diamati diantaranya :

1. Suhu

2. Kecerahan

3. Partikel tersuspensi



Sedangkan faktor kimia diantaranya :

1. Biological oxygen demand (BOD)

2. Chemical oxygen demand (COD),

3. Dissolved oxygen (DO)

4. Alkalinitas

5. Bahan organik

6. Amonia

7. Fosfat, serta lain-lainnya.

Indikator kualitas air yang mulai banyak dikembangkan kini ini adalah indikator secara hayati, yaitu pengamatan terhadap organisme yang hidup dalam suatu perairan (Basmi, 2000).

PARAMETER BIOLOGI KUALITAS AIR


Selanjutnya dikatakan bahwa indikator ini sangat penting karena parameter fisika serta kimia air menghipnotis eksistensi organisme yg hayati di perairan tadi. 

Indikator hayati yg sekarang dipakai diantaranya organisme macrobenthic serta plankton


Namun demikian, penggunaan biota tadi sebagai indikator kualitas air memiliki beberapa kelemahan. Organisme macrobenthic hanya hidup dalam substrat eksklusif sedangkan plankton hanya hayati pada kolom air (Reynolds, 1990). 


Indeks keragamanan macrobenthic serta plankton hanya mencerminkan perubahan struktur komunitas dalam ketika mengalami gangguan (stress period) serta tidak dapat membedakan antara ekosistem yang terganggu dengan ekosistem yang sehat.


Penggunaan diatom yg hayati di dasar perairan atau sedimen (benthic diatom) diduga sangat sempurna lantaran dapat mengatasi kelemahan-kelamahan yg terdapat pada organisme macrobenthic serta plankton.
Benthic diatom yg hayati melekat pada sedimen, mempunyai beberapa kelebihan diantaranya : 
  1. Jenis algae yang kelimpahannya paling banyak serta tersebar luas
  2. Berperan penting dalam rantai makanan
  3. Siklus hidup sederhana, beberapa spesies sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan sehingga dapat menggambarkan perubahan lingkungan dalam periode yang pendek serta jangka panjang
  4. Mudah pengambilan sampel serta identifikasinya (Round, 1993; Stevenson, 2002).
Menurut Sukran et al. (2006), keberadaannya dipengaruhi oleh faktor fisika serta kimia air. Struktur komunitas serta kelimpahan benthic diatom sangat penting dalam menentukan status ekologis perairan (Picinska, 2007). 

Sedangkan menurut Hendrarto (1994), struktur komunitas benthic diatom di daerah mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama ketersediaan air serta zonasi dari vegetasi mangrove. Kelebihan lain penggunaaan organisme yang menempel (attaching organism) dibandingkan menggunakan plankton (planktonic community) adalah distribusinya tidak mudah terpengaruh sang arus (Almeida, 2001).

BUDIDAYA IKAN KERAPU

PENDAHULUAN

Ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis  adalah komoditas ekspor yang bernilaiekonomis tunggi pada pasar Asia misalnya Hongkong serta Singapura. Saat ini harga ikan kerapubebek di Denpasar serta Jakarta berkisar antara Rp. 300.000-350.000 per kg hidup.selain itu kerapu bebek mempunyai bentuk yg latif berdasarkan kerapu lainnyasehingga waktu kecil mampu dijual menjadi ikan hias dengan harga yg relatif mahal.pembenihan ikan kerapu bebek telah diteliti mulai tahun 1996 (Trijoko et al.,199) dan pada tingkat petani Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) mulai tahun 1997,tetapi baru  berkembang sejak tahun 1999di HSRT di Bali. Usaha pembenihan ikan kerapu bebek sudah dirintis pada berbagaidaerah seperti Lampung, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, kep. Seribu, kep.riau, Sulawesi Selatan, NTB, dan NTT; namun hanya pada Bali yang dapat berkembangbaik. Hal ini ditimbulkan sang telah masih ada kurang lebih 3.000 petani HSRT bandengyang sekitar sepuluh persennya berusaha memproduksi benih kerapu bebek sebagaiusaha sambilan, sebagai akibatnya setiap bulan selalu terdapat yang berhasil menghasilkanbenih kerapu bebek di Bali.

Keberhasilan transportasibenih akan mendukung pengembangan kegiatan budidaya pembesaran ikan kerapukhususnya pada mengupayakan keselamatan dan kesehatan benih yg diangkut dariunit perbenihan sampai ke lokasi budidaya/pembesaran. Tujuan penelitian iniadalah buat menganalisis kemampuan daya tahan tubuh serta menganalisiskesehatan benih ikan kerapu bebek yg sedang diangkut dalam berbagai kepadatan,selain itu target lebih lanjut adalah buat menganalisis kemungkinanpeningkatan efesiensi biaya transportasi menggunakan menaikkan kepadatanpengangkutan dengan memperhatikan faktor kesehatan serta sintasan benih ikankerapu bebek.

BAHAN DAN METODE

Studi transportasi benihikan kerapu bebek sistim tertutup dan terbuka dilakukan menggunakan menggunakanbenih output produksi petani pembenihan di Bali. Ikan uji berupa benih ikankerapu bebek dengan panjang total 4 – 5 centimeter dan bobot tubuh 3-10 gram. Padasistem tarnsportasi tertutup benih ikan uji tersebut sebelum dikemas kedalamkantong plastik dipuasakan selama 24 jam. Wadah menggunakan kantong plastikyang berukuran 30 x 50 centimeter diisi air laut yg telah diaerasi sebanyak 2 literdan 35 x 60 centimeter diisi air laut 3 liter.

Kantong plastik yang sudah berisi benih lalu diisi oksigen murni dengantekanan 100 kg/cm2, ratio antara gas oksigen serta air 3 : 1. Kantong plastikyang berisi benih ikan selanjutnya dimasukan kedalam box  streofoam, dan didinginkan menggunakan menambahkanes batu sebesar 0,5 kg per box. Parameter yang diamati pada kegiatan iniadalah kelangsungan hayati, dan kualitas air media pada waktu berangkat dansampai tujuan yang meliputi oksigen terlarut, pH, suhu, salinitas, ammonia dankarbon dioksida dilakukan secara simulasi transportasi.

Pada pengangkutan menggunakan sistem tertutup memakai kendaraan berupa trukyang dilengkapi menggunakan dua buah bak fiber glass volume masing-masing dua m3yang dilengkapi menggunakan aersi dengan oksigen murni. Kecepatan aerasi oksigenmurni diatur sedemikian sebagai akibatnya 1 tabung bisa dipakai selama 6-8 jam.selama perjalanan dilakukan penggantian air sebesar 70-80% setiap 6-8 jamsekali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data kelangsungan hidupbenih kerapu bebek dalam transportasi sistem tertutup secara rinci disajikanpada Tabel 1.

Kelangsungan Hidup BenihKerapu dalam Transportasi sistem TertutupTabel 1 dapat dipandang bahwa padatransportasi sistem tertutup buat benih ukuran 4 – lima centimeter kepadatan yg optimumdengan kantong ukuran 30 x 50 centimeter pada usang waktu trtansportasi 12 jam merupakan 30ekor per kantong menggunakan kelangsungan hayati (SR) 95-99%; sedang selama 22 jamadalah 25 ekor per kantong (97-99%). Untukbenih berukuran lima – 6 cm kepadatan yang optimum menggunakan kantong ukuran 30 x 50 cmpada lama ketika trtansportasi 12 jam adalah 25 ekor per kantong dengankelangsungan hidup (SR) 98-99%; sedang selama 22 jam adalah 20 ekor per kantong(96-99%). Untuk benih ukuran 6–7 cm serta 7-8 centimeter acapkali mengalami kendala kantong plastik yang bocor dankempes lantaran tertusuk tulang  sirippunggung. Pada transportasi selama 12 jam kendala palstik kempes masih tidakterlalu fatal, terutama pada transportasi darat walaupun plasti kempes benihmasih dapat tertolong oleh goncangan yang meningkatkan kecepatan difusi oksigen.

Tabel 1. Kepadatan,berukuran ikan. Usang pengangkutan danpersen sintasan pada transportasi  benihikan kerapu bebek dengan sistem tertutup berdasarkan Bali ke perbagai kota tujuan

Ukuran panjang total benih
(centimeter)
Ukuran kantong
(centimeter)/ volume air (liter)

Kepadatan benih per kantong
(ekor)
Lama transportasi (jam)

Kota
tujuan

Alat
angkut
Sintasan (%)
Keterangan
(ada/nir  kantong
Plastikyang kempes)
1
2
3
4
5
6
7
8
4,0-lima,0
30 / 2
30
12
Jakarta
Pesawat
93-95
Tidak
4,0-lima,0
30 / 2
25
12
Jakarta
Pesawat
98-99
Tidak
4,0-4,5
30 / 2
30
22
Bengkulu
Pesawat
90-93
Tidak
4,0-lima,0
30 / 2
25
22
Bengkulu
Pesawat
97-98
Tidak
5,0-6,0
30 / 2
20
12
Jakarta
Pesawat
98-99
Tidak
5,0-6,0
30 / 2
17
12
Bengkulu
Pesawat
98-99
Tidak
5,0-6,0
30 / 2
20
12
U.pandang
Pesawat
98-99
Tidak
6,0-7,0
30 / 2
15
12
Bengkulu
Pesawat
92-93
ada
6,0-7,0
30 / 2
20
12
Jakarta
Pesawat
92-93
ada
6,0-7,0
30 / 2
25
12
Lombok
Darat
98-99
ada
6,0-7,0
35 / 4
35
12
Lombok
Darat
97-99
ada
7,0-8,0
30 / 2
25
12
Lombok
Darat
92-93
Ada
7,0-8,0
35 / 4
25
12
Lombok
Darat
98-99
Ada
5,0-6,0
30 / 2
15
18
Batam
Pesawat
98-99
Tidak
4,0-4,5
30 / 2
20
18
Batam
Pesawat
98-99
Tidak
7,0-8,0
30 /2
15
12
Lombok
Darat
98-99
Ada

KelangsunganHidup Benih Kerapu dalam Transportasi Sistem Terbuka

Pada transportasi terbuka seluruh pelakuanmenghasilkan kelangsungan hidup yg sangat tinggi (>99%).  Hal ini lantaran kodisi kualitas air relatifstabil terutama kadar oksigen dan amoniak terlarut  oleh hadiah aerasi oksigen murni danpenggantin 70-80% air bahari setiap 6-8 jam (Tabel dua).

Tabel2.  Kepadatan,ukuran ikan.lama pengangkutan serta % sintasan pada   transportasi  benih ikankerapu  bebek dengan sistem terbuka dariBali ke perbagai kota tujuan

Ukuran panjang total benih
(centimeter)
Volume
Bak (m3)
Alat angkut
Jumlah benih yg diangkut
(ekor)
Lama transportasi (jam)
Tujuan
Frekuensi Penggan
tian air (kali)
Kelang
sungan hidup
benih
(%)
5,0-6,0
4,0
Truk
6.000
15,0
Lombok
1,0
100,0
10,0-12,0
2,0
Truk
2.000
15,0
Lombok
1,0
100,0
12,0-19,0
2,0
Truk
900
15,0
Lombok
1,0
100,0
5,0-7,0
4,0
Truk
4.000
15,0
Lombok
1,0
100,0
15,0-17,0
4,0
Truk
2.000
72,0
Larantuka
6,0
99,5
8,0-9,0
4,0
Truk
6.000
48,0
Lampung
4,0
99,5
6,0-7,0
4,0
Truk
4.000
60,0
Lb.bajo
4,0
99,5
8,0-9,0
4,0
Truk
4.000
24,0
Dompu
2,0
99,5

Keberhasilan transportasiikan hayati selalu dipengaruhi sifat fisiologi ikan sendiri, ukuran ikan,kebugaran/mutu ikan menjelang transportasi, mutu air selama transportasi (suhumedia DO, pH, CO2. Serta ammonia), kepadatan ikan dalam wadah, teknik mobilitasidengan memakai suhu rendah atau bahan kimia dan metabolit alam serta lamapenggangkutan  (Suryaningrum  et al., 2001; Pipet et. Al 1982;Basyarie, 1990; Subangsinghe, 1972; Prorent, 1990; Frose. R. 1997). Padakenyataan dalam melakukan kegiatan transportasi ikan hidup selalu terjadikompetisi penggunaan ruang dan pemanfaatan oksigen yang tersedia. Pengangkutandengan sistim tertutup menggunakan kantong plastik, nilai oksigen merupakanparameter penentu pada transportasi ikan hayati ( Berka, 1986).

Peningkatan kepadatanmenyebabkan penurunan mutu air selama transportasi. Hal ini terlihat darikondisi visual air selama pengangkutan air media relatif keruh, berlendir danRespon ikan terhadap perubahan lingkungan suhu, oksigen terlarut, sertapeningkatan metabolik ikan ditunjukkan oleh perubahan warna (Utomo dalam Suryaningrum,  2000). Pada kondisi stress, ikan berubahmenjadi pucat, warna menjadi keputihan serta pola rona hilang. Apabila ikan mudahdapat menyesuaikan diri dengan syarat lingkungannya pola warna tadi dengan cepatakan normal balik .
Pada dasarnya keberhasilankegiatan pengangkutan benih ikan kerapu bebek nir terlepas kaitannya daricara penanganan benih ikan sejak sebelum dikemas sampai hingga tempat tujuan,namun yang lebih krusial lagi berdasarkan semuanya itu adalah cara mempertahankanagar kualitas fisiko-kimia air media selama pengangkutan agar lebih stabilsehingga dibutuhkan dapat mendukung dan menjaga kesehatan benih yang sedangdiangkut.

Hasil pengamatan terhadapsuhu media selama pengangkutan terlihat peningkatan pada suhu air akhirpengangkutan berkisar antara 24-25oC. Dalam transportasi ikan hidupsuhu memegang peranan penting didalam mengendalikan tingkat metabolisme ikan,dalam suhu tinggi kegiatan dan metabolisme ikan semakin tinggi. Oleh karenanya suhurendah dipertahankan selama mungkin untuk menekan metabolisme dan aktifitasikan selama transportasi. Sehingga ikan bisa diangkut selama mungkin. MenurutUtomo dalam Suryaningrum et al. (2000) suhu ideal yg berpeluanguntuk transportasi ikan kerapu berkisar antara 17 – 21oC. Tabel 3menunjukkan bahwa suhu sehabis pengangkutan selama 18 jam transportasi suhumedia rata-homogen 25oC. Menurut Wibowo et al. (1997) pada suhu21-27oC cenderung terjadi peningkatan metabolisme sehingga respirasi meningkatkanekskresi ammonia.

Kandungan oksigen terlarutmenunjukan penurunan menggunakan makin meningkatnya taraf kepadatan serta lama waktutransportasi. Hal ini mengambarkan bahwa tingkat konsumsi oksigen sangatdipengaruhi oleh faktor kepadatan sehingga berdasarkan kajian tadi dapatdisimpulkan bahwa peranan faktor kepadatan mempunyai korelasi positif terhadaptingkat pemanfaatan oksigen, merupakan semakin tinggi kepadatan tingkat konsumsioksigen akan sebagai lebih tinggi demikian sebaliknya.

Kelarutan oksigen padasaat pengepakan yaitu 6,2 mgO2,/liter, selanjutnya dalam adalah 3-4 mgO2/liter,ini berpengaruh terhadap kegiatan fisiologi ikan. Menurut Rammerswaal (1993)kelarutan oksigen yang rendah didalam air akan mengakibatkan warna ikan menjadipucat, kegiatan ikan lamban, kadang-kadang ikan naik kepermukaan. Lebih lanjutUtomo dalam. Suryaningrum et al. (2000) dalam penelitianyamenyatakan bahwa kelarutan
oksigen sebesar tiga,47 mgO2/liter menyebabkan ikan gelisah, rona sebagai pucat, aktifitas lamban.

Kandungan amonia setelahtransportasi semakin tinggi menggunakan meningkatnya kepadatan. Kandungan amonia padaakhir transportasi berkisar 8-11 mg/liter, namun kandungan NH3 amonia tersebutbelum bersifat racun atau mematikan ikan terlihat berdasarkan sintasa ikan masihtinggi. Hal ini karena ammonia yg dianalisa pada bentuk amonium (NH4+),sehingga daya racun nir begiru kuat. Meningkatnya kandungan amonia dalam airini dapat asal berdasarkan output metabolisme pemecahan protein menjadi amonia olehbakteri (Remmarswaal, 1993). Tingginya kandungan amonia pada air menyebabkanpengeluaran amonia dalam darah dan jaringan tinggi. Hal ini mengakibatkan pHdalam darah naik. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen olehikan, ad interim kelarutan oksigen pada media semakin menurun, sehinggaakhirnya menyebkan kematian ikan.


KESIMPULAN


Kepadatan maksimal perkantong plastik yang masih membuat kelangsungan hayati tinggi (95-99%)buat berukuran benih 4--5 cm dalam usang ketika 12 jam serta 22 jam merupakan masing-masing30 ekor dan 25 ekor; pada ukuran benih 5-6 centimeter pada lama waktu 12 jam serta 22 jamadalah masing-masing 25 ekor serta 20 ekor, sedangkan pada ukuran benih 7-8 cmadalah masing-masing 15 dan  12 ekor.

Pada transportasi dengansistem tertutup semuanya menghasilkan kelangsungan hayati yg sangattinggi.(lebih dari 99%).









PEMBANGUNAN PERTANIAN

Pembangunan Pertanian 
Pembangunan pertanian dapat didefinisikan menjadi suatu proses perubahan sosial. Implementasinya nir hanya ditujukan buat menaikkan status serta kesejahteraan petani semata, namun sekaligus jua dimaksudkan buat menyebarkan potensi sumberdaya insan baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan (improvement), pertumbuhan (growth) dan perubahan (change) (Iqbal serta Sudaryanto, 2008). 

Dalam literatur klasik pembangunan pertanian karya Arthur Mosher yang berjudul “Getting Agriculture Moving” dijelaskan secara sederhana serta gamblang mengenai kondisi pokok dan kondisi pelancar dalam pembangunan pertanian. Syarat utama pembangunan pertanian meliputi: (1) adanya pasar buat hasil-output usahatani, (2) teknologi yg senantiasa berkembang, (tiga) tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang produksi bagi petani, serta (5) tersedianya pengangkutan yg lancar dan kontinyu. Adapun kondisi pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) pemugaran serta ekspansi tanah pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Beberapa Negara berkembang, termasuk Indonesia, mengikuti saran serta langkah kebijakan yang disarankan sang Mosher. 

Pembangunan pertanian pada Indonesia dilaksanakan secara terpola dimulai semenjak Repelita I (1 April 1969), yaitu dalam masa pemerintahan Orde Baru, yg tertuang pada strategi besar pembangunan nasional berupa Pola Umum 

Pembangunan Jangka Panjang (PU-PJP) yaitu PU-PJP I (1969-1994) dan PU-PJP II (1994-2019). Dalam PU-PJP I, pembangunan dilaksanakan melalui lima serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yg semuanya dititik beratkan pada sektor pertanian sebagai berikut: 
1. Repelita I: titik berat dalam sektor pertanian serta industri pendukung sektor pertanian. 
2. Repelita II: titik berat dalam sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah sebagai bahan baku. 
3. Repelita III: titik berat dalam sektor pertanian menuju swasembada pangan dan menaikkan industri pengolah bahan baku menjadi bahan jadi. 
4. Repelita IV: titik berat dalam sektor pertanian buat melanjutkan bisnis menuju swasembada pangan dengan mempertinggi industri pembuat mesin-mesin. 
5. Repelita V: melanjutkan Repelita IV. 

Menurut Suhendra (2004) pada banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri serta jasa. Para perancang pembangunan Indonesia dalam awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari sahih hal tadi, sehingga pembangunan jangka panjang dibuat secara bertahap. Pada termin pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sektor pertanian dan industri produsen sarana produksi peratnian. Pada termin ke 2, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara sedikit demi sedikit dialihkan pada pembangunan industri mesin serta logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, dibutuhkan bisa menciptakan struktur perekonomian Indonesia yang harmonis dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal serta eksternal. 

Pada waktu Indonesia memulai proses pembangunan secara bersiklus dalam tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih berdasarkan 40 persen, ad interim itu serapan energi kerja dalam sektor pertanian mencapai lebih menurut 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, taktik serta kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. 

Kebijakan buat menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai menggunakan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang serta Syafa’at, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian adalah syarat mutlak bagi keberhasilan upaya membangun prakondisi tinggal landas. 

Pentingnya kiprah sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara pula dikemukakan oleh Meier (1995) menjadi berikut: (1) dengan mensuplai kuliner utama dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yg berkembang, (dua) dengan menyediakan surplus yg dapat diinvestasikan berdasarkan tabungan serta pajak buat mendukung investasi dalam sektor lain yg berkembang, (tiga) dengan membeli barang konsumsi berdasarkan sektor lain, sehingga akan menaikkan permintaan menurut penduduk perdesaan buat produk dari sektor yg berkembang, serta (4) menggunakan menghapuskan hambatan devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau menggunakan menabung devisa melalui substitusi impor. 

Pembangunan pertanian di masa pemerintahan Orde Baru sudah membawabeberapa hasil. Pertama, peningkatan produksi, khususnya pada sektor pangan yang berpuncak pada pencapaian swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 1984. Ketersediaan bahan pangan, khususnya beras, dengan harga yg relatif murah, memberikan kontribusi terhadap proses industrialisasi dan urbanisasi yang membutuhkan pangan murah. Kedua, sektor pertanian telah menaikkan penerimaan devisa di satu pihak serta penghematan devisa pada lain pihak, sebagai akibatnya memperbaiki posisi neraca pembayaran Indonesia. Ketiga, pada taraf tertentu sektor pertanian sudah bisa menyediakan bahan-bahan standar industri sebagai akibatnya melahirkan agroindustri. 

Sungguhpun demikian, pembangunan pertanian pada masa pemerintahan Orde Baru tersebut mengandung sejumlah paradoks. Pertama, peningkatan produksi pertanian sudah menimbulkan kesamaan menurunnya harga produkproduk pertanian yg membuahkan negatif pada pendapatan petani, seperti yang ditunjukkan oleh output penelitian Ratnawati et al. (2004) bahwa peningkatan produktivitas pertanian menurunkan harga output di tingkat petani berkisar antara 0.28-10.08 persen serta akan menurunkan pendapatan rumah tangga perdesaan berkisar antara dua.10-3.10 persen. Kedua, peningkatan produktivitas serta produksi tidak selalu dibarengi atau diikuti menggunakan meningkatnya pendapatan petani, bahkan pendapatan petani cenderung menurun, seperti yg ditunjukkan oleh output penelitian Siregar (2003) bahwa secara riil taraf kesejahteraan petani dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang ditunjukkan sang nilai tukar petani (NTP) yang memiliki kecenderungan (demam isu) yang menurun (negatif) sebesar –0.68 % per tahun. Di masa pemerintahan Orde Baru, ternyata sektor pertanian hanya mampu berkembang pada kebijaksanaan yang protektif, memerlukan subsidi serta menerima intervensi yang sangat mendalam, sehingga sektor pertanian dipercaya menjadi most-heavily regulated. 

Menurut Arifin (2004) tidak berkembangnya sektor pertanian berakar dalam terlalu berpihaknya pemerintah dalam sektor industri semenjak pertengahan tahun 1980-an. Menyusul periode pertumbuhan tinggi sektor pertanian satu dekade sebelumnya, pemerintah seolah menduga pembangunan pertanian dapat bergulir dengan sendirinya. Asumsi ini menciptakan pemerintah mengacuhkan pertanian dalam taktik pembangunannya. Hal ini tidak terlepas berdasarkan imbas kerangka berpikir pembangunan ketika itu yg menekankan industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yg lalu diterjemahkan dalam berbagai kebijakan perlindungan yang sistematis. Akibatnya, perlindungan besar -besaran ini telah merapuhkan basis pertanian pada taraf petani. 

Menurut Sudaryanto et al. (2005), pendekatan pembangunan pertanian selama pemerintahan Orde Baru dilaksanakan menggunakan pendekatan komoditas. Pendekatan ini dicirikan oleh aplikasi pembangunan pertanian dari pengembangan komoditas secara parsial (sendiri-sendiri) dan lebih berorientasi dalam peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Namun pendekatan komoditas ini memiliki beberapa kelemahan mendasar, yaitu: (1) nir memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan pedoman horizontal, vertikal dan spatial berbagai aktivitas ekonomi, serta (tiga) kurang memperhatikan aspirasi serta pendapatan petani. 

Oleh karenanya, pengembangan komoditas tak jarang sangat tidak efisien serta keberhasilannya sangat tergantung dalam besarnya subsidi serta perlindungan pemerintah, dan kurang sanggup mendorong peningkatan pendapatan petani. 

Menyadari akan hal tersebut pada atas, maka pendekatan pembangunan pertanian wajib diubah berdasarkan pendekatan komoditas menjadi pendekatan sistem agribisnis. Seiring dangan hal ini, maka orientasi pembangunan pertanian juga akan mengalami perubahan berdasarkan orientasi peningkatan produksi sebagai orientasi peningkatan pendapatan serta kesejahteraan petani. 

Memasuki era globalisasi yang dicirikan sang persaingan perdagangan internasional yg sangat ketat serta bebas, pembangunan pertanian semakin dideregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga dan aneka macam perlindungan lainnya. Kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien adalah pijakan utama bagi kelangsungan hayati usahatani. Sehubungan menggunakan hal tadi, maka partisipasi dan kemampuan wirausaha petani merupakan faktor kunci keberhasilan pembangunan pertanian. 

Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa imbas yg sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian terhadap arah serta kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan pertanian. Dengan demikian, taktik pembangunan pertanian wajib lebih memfokuskan dalam peningkatan daya saing, mengandalkan kapital dan tenaga kerja terampil serta berbasis penemuan teknologi menggunakan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. 

Sejak awal 1990-an, seiring dengan menurunnya pangsa pertanian pada struktur perekonomian (PDB), pembangunan ekonomi serta kebijakan politik mulai meminggirkan sektor pertanian. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan dalam sektor industri serta jasa, bahkan yg berbasis teknologi tinggi dan intensif kapital. Namun demikian, saat krisis ekonomi terjadi, agenda reformasi yang bergulir tanpa arah, proses desentralisasi ekonomi yg menghasilkan kesengsaraan serta penderitaan masyarakat, maka Indonesia balik membuahkan sektor pertanian sebagai landasan utama pembangunan ekonomi (Arifin, 2005). 

Peran penting sektor pertanian telah terbukti menurut keberhasilan sektor pertanian dalam waktu krisis ekonomi pada menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yg memadai serta tingkat pertumbuhannya yg positif dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Keadaan ini sebagai pertimbangan primer dirumuskannya kebijakan yang mempunyai keberpihakan terhadap sektor pertanian pada memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan serta mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas (Sudaryanto dan Munif, 2005). 

Secara lebih rinci, beberapa pertimbangan mengenai pentingnya mengakselerasi sektor pertanian di Indonesia dikemukakan oleh Simatupang (1997) menjadi berikut: 
1. Sektor pertanian masih permanen sebagai penyerap energi kerja, sehingga akselerasi pembangunan sektor pertanian akan membantu mengatasi perkara pengangguran. 
2. Sektor pertanian merupakan penopang primer perekonomian desa dimana sebagian akbar penduduk berada. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian paling sempurna buat mendorong perekonomian desa dalam rangka menaikkan pendapatan sebagian akbar penduduk Indonesia dan sekaligus pengentasan kemiskinan. 
3. Sektor pertanian menjadi pembuat makanan pokok penduduk, sebagai akibatnya menggunakan percepatan pembangunan pertanian maka penyediaan pangan bisa terjamin. Langkah ini penting buat mengurangi ketergantungan pangan pada pasar global. 
4. Harga produk pertanian mempunyai bobot yang besar pada indeks harga konsumen, sebagai akibatnya dinamikanya amat berpengaruh terhadap laju inflasi. Oleh karenanya, percepatan pembangunan pertanian akan membantu menjaga stabilitas perekonomian Indonesia. 
5. Akselerasi pembangunan pertanian sangatlah penting dalam rangka mendorong ekspor serta mengurangi impor produk pertanian, sebagai akibatnya dalam hal ini dapat membantu menjaga keseimbangan neraca pembayaran. 
6. Akselerasi pembangunan pertanian mampu mempertinggi kinerja sektor industri. Hal ini lantaran terdapat keterkaitan yg erat antara sektor pertanian menggunakan sektor industri yang meliputi keterkaitan produk, konsumsi dan investasi. 

Kabinet Indonesia Bersatu sudah memutuskan acara pembangunannya menggunakan memakai strategi tiga jalur (triple track strategy) sebagai manifestasi dari taktik pembangunan yang lebih pro-growth, pro-employment serta pro-poor. 

Operasionalisasi konsep taktik tiga jalur tersebut dibuat melalui hal-hal sebagai berikut: 
1. Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6.lima % per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor. 
2. Pembenahan sektor riil buat mampu menyerap tambahan angkatan kerja serta membangun lapangan kerja baru. 
3. Revitalisasi pertanian serta perdesaan buat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. 

Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran buat menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian pada pembangunan nasional menggunakan tidak mengabaikan sektor lain. Sejalan menggunakan hal ini, Sudaryanto serta Munif (2005) menyatakan bahwa revitalisasi pertanian dimaksudkan buat menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengganti paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian nir hanya sekedar pembuat komoditas buat dikonsumsi. Pertanian harus ditinjau sebagai sektor yg multi-fungsi serta asal kehidupan sebagian besar warga Indonesia. 

Kegiatan pembangunan pertanian tahun 2005-2009 dilaksanakan melalui 3 program, yaitu: (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani. 

Operasionalisasi acara peningkatan ketahanan pangan dilakukan melalui peningkatan produksi pangan, menjaga ketersediaan pangan yang cukup kondusif dan halal di setiap wilayah setiap waktu, dan antisipasi agar tidak terjadi kerawanan pangan. Operasionalisasi acara pengembangan agribisnis dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Operasionalisasi program peningkatan kesejahteraan petani dilakukan melalui pemberdayaan penyuluhan, pendampingan, penjaminan usaha, perlindungan harga gabah, kebijakan perlindungan serta kenaikan pangkat lainnya (Departemen Pertanian, 2005c). 

Industrialisasi Pertanian 
Menurut Meier (1995), transformasi struktural dari ekonomi agraris perdesaan berpendapatan rendah ke ekonomi industri perkotaan menggunakan pendapatan per kapita lebih tinggi melibatkan kenyataan industrialisasi dan pembangunan pertanian. Lebih lanjut disebutkan bahwa pertanian harus dicermati bukan sekedar sebagai asal surplus buat mendukung industrialisasi, namun juga menjadi asal dinamis pertumbuhan ekonomi, penyedia lapangan kerja, serta distribusipendapatan yg lebih baik. Selain itu, kemajuan pertanian adalah penting pada menyediakan pangan bagi tumbuhnya energi kerja non pertanian, bahan standar buat produksi sektor industri, tabungan serta penerimaan pajak buat mendukung pembangunan sektor ekonomi lainnya; buat menerima lebih banyak devisa (atau berhemat devisa bila produk utama diimpor); dan memberikan pertumbuhan pasar bagi industri domestik. Hubungan intersektoral antara pertanian serta industri akan menentukan transformasi struktural dalam perekonomian negara berkembang. 

Secara historis proses pembangunan dan industrialisasi pertanian di berbagai negara dalam umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian. Langkah ini ditempuh melalui modernisasi institusi perdesaan dan pergeseran pertanian berskala mini ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian (Weisdorf, 2006). 

Arifin (2005) menyatakan bahwa definisi industrialisasi pertanian nir sesempit sekedar mekanisasi pertanian atau pengolahan output pertanian oleh sektor industri, namun jauh lebih luas menurut itu lantaran meliputi proses peningkatan nilai tambah, sampai pada koordinasi serta integrasi vertikal antara sektor hulu serta sektor hilir. Lebih lanjut dinyatakan bahwa terdapat pihak-pihak yang memperlakukan industrialisasi pertanian menjadi bagian berdasarkan semua rangkaian pembangunan sistem agribisnis, pada pihak lain ada pula yg beranggapan bahwa proses industrialisasi adalah suatu keniscayaan seiring menggunakan proses transformasi struktur ekonomi dan merupakan tuntutan efisiensi pada bidang usaha melalui integrasi vertikal dari hulu sampai hilir. 

Sudaryanto (2005) memberikan definisi industrialisasi pertanian menjadi suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam satu alur produk melalui prosedur non pasar, sehingga ciri produk akhir yang dipasarkan bisa dijamin dan diadaptasi menggunakan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, industrialisasi pertanian merupakan suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Lebih lanjut disebutkan bahwa berbeda menggunakan pola dispersal, pada agribisnis pola industrial setiap perusahaan tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung pada asosiasi horizontal namun memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yg berkiprah pada seluruh bidang bisnis yang ada dalam satu alur produk vertikal (berdasarkan hulu sampai hilir) dalam satu grup usaha. 

Kahn (1979) menyatakan bahwa pengalaman di hampir seluruh negara menerangkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian mini negara menggunakan jumlah penduduk yg sedikit serta kekayaan minyak atau asal daya alam (SDA) lainnya yg melimpah, misalnya Kuwait dan Libya, bisa berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yg tinggi tanpa melalui proses industrialisasi, hanya mengandalkan dalam sektor pertambangan (minyak). Fakta pada banyak negara menampakan bahwa tidak ada perekonomian yang bertumpu dalam sektor-sektor utama (pertanian dan pertambangan) yg sanggup mencapai taraf pendapatan per kapita pada atas 500 US $ selama jangka panjang. 

Sektor industri diyakini bisa dijadikan sebagai sektor yg memimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya pada suatu perekonomian. Hal ini lantaran produk-produk yg dihasilkan oleh sektor industri mempunyai dasar tukar (term of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan, dan sanggup membangun nilai tambah (value added) yg besar dibandingkan menggunakan produk-produk yang didapatkan sang sektor lainnya. Sektor industri memiliki variasi produk yang sangat majemuk dan sanggup memberikan manfaat marjinal yang tinggi pada pemakainya. Selain itu, sektor industri jua menaruh marjin laba yg lebih menarik bagi para pelaku usaha, serta proses produksi serta penanganan produknya lebih bisa dikendalikan oleh manusia yang tidak terlalu bergantung dalam alam (musim atau keadaan cuaca). Karena kelebihan-kelebihan sektor industri inilah, maka industrialisasi dipercaya sebagai “obat mujarab” (panacea) buat mengatasi masalah pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang. 

Walaupun penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta stabil, industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya adalah salah satu strategi yg wajib ditempuh buat mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai taraf pendapatan per kapita yang tinggi (Riedel, 1992). Meskipun pelaksanaannya sangat bervariasi antarnegara, periode industrialisasi adalah tahapan logis dalam proses transformasi struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur pada permintaan konsumen, produksi, ekspor, serta kesempatan kerja (Chenery, 1992). Menurut Tambunan serta Priyanto (2005), penurunan share sektor pertanian pada pembentukan PDB dari saat ke waktu dan peningkatan penyerapan energi kerja sektor manufaktur, merupakan indikator bahwa ekonomi Indonesia sudah memasuki proses industrialisasi. 

Proses industrialisasi pada Indonesia sudah dimulai semenjak Pelita I, yg dimulai tahun 1969. Industrialisasi yang dilaksanakan semenjak Pelita I sampai krisis ekonomi tahun 1997, mengakibatkan pendapatan per kapita warga mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya. Jika hanya mengandalkan menurut sektor pertanian serta sektor pertambangan (migas), maka Indonesia menggunakan jumlah penduduk lebih berdasarkan 200 juta orang, tidak akan pernah mencapai laju pertumbuhan ekonomi homogen-rata sebanyak 7 persen per tahun serta taraf pendapatan per kapita pada atas 1.000 US $ pada pertengahan tahun 1997 (Tambunan, 2001). 

Menurut Simatupang serta Syafaat (2000), pembangunan ekonomi pada masa pemerintahan Orde Baru mengacu dalam kerangka berpikir transformasi struktural berimbang melalui industrialisasi bertahap berbasis sektor pertanian. Pembangunan ekonomi yg demikian ini dapat pula diklaim sebagai pembangunan dengan pendekatan sistem agribisnis. 

Definisi agribisnis menurut Badan Agribisnis (1995) merupakan suatu kesatuan sistem yg terdiri dari beberapa subsistem yg saling terkait erat, yaitu subsistem pengadaan dan penyaluran wahana produksi (subsistem agribisnis hulu), subsistem usahatani atau pertanian primer, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, dan subsistem jasa serta penunjang. Subsistem agribisnis hulu adalah aktivitas ekonomi yg menyediakan sarana (input) pertanian seperti industri perbenihan serta pembibitan tumbuhan, industri pupuk serta pestisida (agro kimia), dan industri alat dan mesin pertanian (agro otomotif) bagi aktivitas pertanian utama. Subsistem usahatani merupakan aktivitas ekonomi yang membuat komoditas atau produk pertanian utama melalui pemanfaatan wahana produksi yg dihasilkan sang subsistem agribisnis hulu. Subsistem pengolahan adalah aktivitas ekonomi yang mengolah komoditas atau produk pertanian primer menjadi produk olahan. Termasuk dalam subsistem tersebut merupakan industri makanan, industri minuman, industri rokok, industri barang serat alam, industri biofarma, dan industri agrowisata serta keindahan. Subsistem pemasaran adalah aktivitas ekonomi yg berkaitan menggunakan kegiatan distribusi, promosi, warta pasar, kebijakan perdagangan dan struktur pasar. Adapun subsistem jasa serta penunjang merupakan aktivitas ekonomi yang menyediakan jasa atau layanan yang dibutuhkan untuk memperlancar pengembangan agribisnis. Termasuk dalam subsistem ini merupakan lembaga perkreditan serta premi, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan, dan transportasi dan pergudangan.

Hubungan dan keterkaitan antar subsistem agribisnis tadi dapat dilihat pada Gambar.

Gambar Sistem Agribisnis 
Sumber: Badan Agribisnis (1995) 

Soekartawi (1993) menyatakan bahwa yg termasuk ke pada jenis agroindustri adalah: (a) industri pengolahan input pertanian yang dalam biasanya nir berlokasi pada perdesaan, padat modal, dan berskala besar seperti industri pupuk, industri pestisida, serta sebagainya, dan (b) industri pengolahan output pertanian, misalnya pengolahan pucuk teh hijau atau teh hitam, pengalengan butir, pengolahan minyak kelapa, serta lain-lain. 

Tambunan serta Priyanto (2005) menyatakan bahwa industrialisasi di Indonesia selalu dimulai menurut industri akbar, serta kurang memperhatikan usahausaha kecil. Akibatnya, sampai waktu ini Indonesia belum menampakan tandatanda sebagai Negara industri yg mandiri. Hal ini disinyalir lantaran para pemimpin pembangunan ekonomi terlalu mengandalkan peranan industri besar terbaru, yang dipercaya menjadi jalan paling pendek serta paling mungkin buat mengisi arti kemerdekaan. 

Senada menggunakan hal tadi pada atas, Simatupang dan Syafa’at (2000) menyatakan bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi pada Indonesia merupakan lantaran kesalahan industrialisasi yg tidak berbasis pada pertanian. Selama krisis pula terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu mengalami laju pertumbuhan yg positif, walaupun pada persentase yang mini , sedangkan sektor industri manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negatif pada atas satu digit. Banyak pengalaman di negara-negara maju pada Eropa dan Jepang yg menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi selesainya atau bersamaan menggunakan pembangunan pada sektor pertanian. Sebagai contoh, Inggris mengalami revolusi industri dalam abad ke-18 sesudah diawali menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui introduksi teknologi turnip. Industrialisasi di Jepang berlangsung bersamaan menggunakan revolusi pertanian yg terjadi melalui reformasi agraria (restorasi Meiji). Demikian pula di Taiwan dalam dasa warsa 1950-an, yg menampakan bahwa industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan industri berskala mini serta berlokasi pada perdesaan mampu membuat pertumbuhan ekonomi yg bertenaga serta merata serta struktur ekonomi yg tangguh. 

Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertanian yang kuat sangat esensial dalam suatu proses industrialisasi pertanian. Beberapa alasan tadi diantaranya menjadi berikut (Tambunan, 2001): 
1. Sektor pertanian yg kuat berarti ketahanan pangan terjamin dan ini adalah keliru satu prasyarat penting agar proses industrialisasi pertanian pada khususnya serta pembangunan ekonomi dalam umumnya sanggup berlangsung menggunakan baik. Ketahanan pangan berarti nir ada kelaparan dan ini menjamin kestabilan sosial dan politik. 

2. Dari sisi permintaan agregat, pembangunan sektor pertanian yg bertenaga menciptakan tingkat pendapatan riil per kapita pada sektor tersebut tinggi yang adalah galat satu asal permintaan terhadap barang-barang nonfood, khususnya manufaktur (keterkaitan konsumsi atau pendapatan). Khususnya di Indonesia, dimana sebagian besar penduduk berada di perdesaan dan mempunyai asal pendapatan eksklusif juga tidak pribadi menurut kegiatan pertanian, kentara sektor ini adalah motor utama penggerak industrialisasi. 

Selain melalui keterkaitan pendapatan, sektor pertanian pula berfungsi sebagai sumber pertumbuhan di sektor industri manufaktur melalui intermediate demand effect atau keterkaitan produksi: output berdasarkan industri sebagai input bagi pertanian. 

3. Dari sisi penawaran, sektor pertanian adalah galat satu sumber input bagi sektor industri pertanian yang mana Indonesia mempunyai keunggulan komparatif, contohnya industri makanan dan minuman, industri tekstil serta pakaian jadi, industri kulit, dan sebagainya. 

4. Masih dari sisi penawaran, pembangunan yg baik di sektor pertanian sanggup membuat surplus di sektor tersebut dan ini sanggup menjadi asal investasi di sektor industri, khususnya industri skala kecil di perdesaan (keterkaitan investasi). 

Menurut Dumairy (1997), hanya sedikit negara-negara berkembang yg menyadari bahwa usaha buat memajukan dan memperluas sektor industri haruslah sejajar menggunakan pembangunan serta pengembangan sektor-sektor lain, terutama sektor pertanian. Hal ini lantaran sektor pertanian yang lebih maju dibutuhkan sang sektor industri, baik sebagai penyedia bahan standar juga menjadi pasar yg potensial bagi produk-produk industri. Berkaitan menggunakan hal ini, Tambunan (2001) menyatakan bahwa sektor pertanian dan sektor industri memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keterkaitan tersebut terutama didominasi sang imbas keterkaitan pendapatan, keterkaitan produksi, dan keterkaitan investasi. Secara grafis, keterkaitan antara sektor pertanian serta sektor industri disajikan dalam Gambar. 

Pada Gambar, jumlah hasil berdasarkan sektor pertanian adalah OA, sedangkan Of adalah kuliner yg dikonsumsi pada pasar domestik dan Ox adalah bahan standar atau komoditas pertanian yg diekspor. Ekspor ini memungkinkan negara yang bersangkutan buat impor sebesar Om, menggunakan dasar tukar internasional (terms of trade) OT. Dengan adanya impor (Om) serta kuliner (Of) memungkinkan sektor industri di negara tersebut bisa menghasilkan hasil sebanyak Oi. Misalkan volume produksi di sektor industri semakin tinggi ke Of'. Untuk tujuan ini diharapkan lebih banyak input yang harus diimpor, yakni sebanyak Om'. Produksi semakin tinggi berarti jua kesempatan kerja dan pendapatan rakyat pada negara tadi pula meningkat, yg selanjutnya berarti permintaan akan kuliner jua meningkat, yakni ke Of'. Jika hasil di sektor pertanian tidak semakin tinggi, maka ekspor menurut sektor tersebut akan berkurang ke Oy dan ini berarti kebutuhan akan impor sebesar Om' nir bisa dipenuhi. Oleh sebab itu, pada bisnis menaikkan volume produksi di sektor industri (ke Oi'), maka output pada sektor pertanian jua wajib ditingkatkan ke OC. Ini akan menaikkan konsumsi makanan ke Om' dan berarti juga output di sektor industri bisa naik ke Oi'. 

Gambar  Keterkaitan antara Sektor Pertanian dan Sektor Industri
Sumber: Tambunan (2001) 

Ilustrasi pada atas menerangkan bahwa tanpa suatu peningkatan hasil atau produktivitas di sektor pertanian, maka industri pertanian (agroindustri) tidak bisa mempertinggi outputnya (atau pertumbuhan yang tinggi akan sulit tercapai). Oleh karenanya, sektor pertanian memainkan peranan yang sangat penting dalam proses industrialisasi pertanian. 

Kemiskinan serta Kemiskinan Perdesaan 
Konsep dan Ukuran Kemiskinan 
Konsep mengenai kemiskinan sangat majemuk, mulai berdasarkan sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, sampai pengertian yg lebih luas yg memasukkan aspek sosial dan moral. Bappenas (2002) mendefinisikan kemiskinan menjadi suatu situasi atau kondisi yg dialami seseorang atau gerombolan orang yg nir bisa menyelenggarakan hidupnya hingga suatu tingkat yg dipercaya manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004 pada Susanto, 2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu syarat dimana seseorang atau sekelompok orang, nir bisa memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan serta mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam serta lingkungan hayati, rasa kondusif dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak buat berpartisipasi dalam kehidupan social politik, baik bagi perempuan juga laki-laki . 

Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi serta akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait serta saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak mempunyai loka tinggal, jika sakit tidak mempunyai dana buat berobat. Orang miskin umumnya tidak bisa membaca karena nir mampu bersekolah, nir memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan merupakan ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. 

Beberapa definisi kemiskinan yang dirujuk sang Komite PenanggulanganKemiskinan (2002) merupakan menjadi berikut: 
1. BPS: Kemiskinan merupakan kondisi seseorang yg hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2 100 kalori per kapita per hari. 
2. BKKBN: Kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, nir dapat melaksanakan ibadah berdasarkan agamanya, tidak bisa makan dua kali sehari, nir memiliki pakaian tidak sinkron buat di tempat tinggal , bekerja dan bepergian, bagian terluas tempat tinggal berlantai tanah dan tidak sanggup membawa anggota famili ke sarana kesehatan. Pengertian famili miskin ini didefinisikan lebih lanjut menjadi: (a) paling kurang sekali seminggu famili makan daging/ikan/telur, (b) setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu setel sandang baru, serta (c) luas lantai tempat tinggal paling kurang 8 m untuk tiap penghuni. Keluarga miskin sekali merupakan keluarga yang lantaran alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: 
(a) dalam umumnya semua anggota famili makan 2 kali sehari atau lebih, (b) anggota famili memiliki pakaian berbeda buat pada rumah, bekerja/sekolah dan bepergian, dan (c) bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. 
3. Bank Dunia: Kemiskinan merupakan nir tercapainya kehidupan yg layak menggunakan penghasilan US $ 1 per hari. 

Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan nisbi, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis serta kemiskinan ad interim. Kemiskinan absolut, adalah bila taraf pendapatan seorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau sejumlah pendapatannya tidak relatif buat memenuhi kebutuhan hayati minimum (basic needs), diantaranya kebutuhan pangan, pakaian, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang dibutuhkan buat hidup serta bekerja. Kemiskinan relatif, adalah apabila seorang memiliki penghasilan pada atas garis kemiskinan, tetapi relatif lebih rendah dibandingkan menggunakan pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan nisbi erat kaitannya menggunakan kasus pembangunan yg sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yg belum menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu dalam perilaku seorang atau warga yang disebabkan sang faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki taraf kehidupan meskipun ada usaha menurut pihak luar buat membantunya. Kemiskinan kronis, ditimbulkan oleh beberapa hal, yaitu: (a) kondisi sosial budaya yang mendorong perilaku serta norma hidup warga yg tidak produktif, (b) keterbatasan sumber daya serta keterisolasian (daerah-wilayah kritis asal daya alam dan wilayah terpencil), serta (c) rendahnya taraf pendidikan serta derajad perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja serta ketidak berdayaan warga dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya: (a) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (b) perubahan yg bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, serta (c) bencana alam atau efek berdasarkan suatu kebijakan tertentu yg mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. 

Menurut Darwis serta Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan bisa dihitung menggunakan memakai tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi,pendapatan dan pengeluaran. Garis kemiskinan yang ditentukan menurut taraf produksi, contohnya produksi padi per kapita, hanya dapat menggambarkan aktivitas produksi tanpa memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup. Perhitungan garis kemiskinan menggunakan pendekatan pendapatan tempat tinggal tangga dinilai paling baik. Cara ini tidak mudah dilakukan lantaran kesulitan buat memperoleh data pendapatan rumah tangga yang seksama. Untuk mengatasi kesulitan tadi, maka garis kemiskinan dipengaruhi dengan pendekatan pengeluaran yg digunakan menjadi proksi atau asumsi pendapatan rumah tangga. 

Garis kemiskinan yang digunakan BPS dinyatakan sebagai jumlah rupiah yg dimuntahkan atau dibelanjakan buat memenuhi kebutuhan konsumsi yg setara menggunakan dua 100 kalori per kapita ditambah menggunakan pemenuhan kebutuhan minimum lainnya seperti pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori dengan pendekatan pengeluaran menjadi dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Sayogyo tahun 1977. Konsep ini dinilai lebih mendekati syarat kehidupan warga yang sesungguhnya karena pengeluaran utama pada luar kebutuhan pangan juga diperhitungkan (Yusdja et al., 2003). 

Berdasarkan garis kemiskinan yg dipergunakan, bisa dihitung jumlah penduduk miskin pada suatu daerah. Garis kemiskinan dibedakan antara wilayah perkotaan serta perdesaan, dimana garis kemiskinan pada perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sesuai menggunakan perbedaan indeks harga bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat di ke 2 daerah tersebut. Garis kemiskinan pula berubah berdasarkan tahun ke tahun, dikoreksi menurut perkembangan taraf harga kebutuhan pokok rakyat (Sumedi dan Supadi, 2004). 

Indikator yang biasa dipakai buat mengukur kemiskinan pada studistudi realitas adalah menjadi berikut (Yudhoyono serta Harniati, 2004; Nanga,2006; serta Foster et al., 1984): 
1. Incidence of poverty, yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam famili dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya diklaim poverty headcount index, yg merupakan ukuran kasar menurut kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa poly orang miskin yang terdapat pada pada perekonomian lalu dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yg sama besarnya, nir ada disparitas antara penduduk yg paling miskin dan penduduk yg paling kaya di antara orang-orang miskin. 

2. Depth of poverty, yg mendeskripsikan taraf kedalaman kemiskinan pada suatu daerah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi jeda atau perbedaan homogen-rata pendapatan orang miskin berdasarkan garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. 

3. Severity of poverty, yang menerangkan kepelikan kemiskinan di suatu daerah, yang merupakan rata-rata dari kuadrad kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yg memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan jua ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini pula acapkali dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). 

Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara buat mengukur taraf kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yg dapat dibagi ke pada dua grup pendekatan yaitu asiomatic approach serta stochastic dominance. Pendekatan yang acapkali dipakai pada studi-studi realitas merupakan pendekatan pertama menggunakan 3 alat ukur yaitu: (1) the generalized entropy (GE), (2) the Atkinson measure, serta (tiga) Gini coefficient. 

Rumus GE bisa dituliskan sebagai berikut:

dimana: n merupakan jumlah individu (orang) di pada sampel, yi adalah pendapatan berdasarkan individu (1, 2, ....., n), serta y = (1/n) ∑ yi merupakan ukuran homogen-homogen pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 hingga ∞. Nilai GE nol berarti distribusi pendapatan merata (pendapatan menurut semua individu di dalam sampel sama) serta ∞ berarti kesenjangan yang sangat akbar. Parameter α mengukur besarnya disparitas antar pendapatan dari gerombolan yg tidak sama pada dalam distribusi tadi. 

Dari persamaan (2.1) di atas, bisa diturunkan cara mengukur ketimpangan dari Atkinson menjadi berikut:

dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), meningkat nilai ε maka semakin nir seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0 sampai 1. Nilai A sama dengan nol berarti tidak ada ketimpangan pada distribusi pendapatan. 

Alat ukur ketiga yang seringkali digunakan dalam setiap studi realitas mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan merupakan koefisien atau rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan menjadi berikut:

dimana: G merupakan nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi=1/n, F*(Yi) adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan seluruh sampel, serta F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada dalam selang 0 sampai 1. Jika rasio Gini = 0, berarti kemerataan yang paripurna (setiap orang mendapat porsi berdasarkan pendapatan yg sama). Jika rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan istilah lain, satu orang (satu kelompok pendapatan) pada suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut. 

Dengan memakai grafik, rasio Gini dapat digambarkan menggunakan Kurva Lorenz seperti yg disajikan pada Gambar 5. Koefisien Gini merupakan rasio antara wilayah pada dalam grafik yang terletak pada antara kurva Lorenz serta garis kemerataan paripurna (yg membangun sudut 45 berdasarkan titik 0 sumbu Y dan X) terhadap wilayah segitiga antara garis kemerataan serta sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz dari garis 45, semakin besar taraf ketidakmerataan distribusi pendapatan.

Gambar Rasio Gini serta Kurva Lorenz 
Sumber: Tambunan (2001) 

Foster et al. (1984) mengemukakan suatu berukuran atau indikator yang bisa digunakan buat menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan. Ukuran atau indikator tersebut adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index, yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai α, dapat dipandang dalam Gambar 6, yang menggambarkan kontribusi total kemiskinan P(z;α) dari masing-masing individu menggunakan tingkat kemiskinan p yang tidak sinkron. 

Kontribusi tersebut ditunjukkan oleh (g(p;z)/z) α. Untuk α = 0, kontribusinya adalah 1 buat yg miskin serta 0 buat yg kaya (yg mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama dengan pendapatan Q(p) yang melebihi z). 

Headcount index adalah daerah empat persegi panjang. Untuk α =1 donasi seseorang dalam tingkat kemiskinan p, persis sama dengan poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yg dinormalkan merupakan yg berada dalam daerah pada bawah g(p;z)/z. Demikian jua buat nilai α yang lebih akbar, contohnya kontribusi buat P(z;α=tiga) menurut individu-individu dalam tingkat kemiskinan p merupakan (g(p;z)/z), sehingga homogen-homogen kemiskinan P(z;α=tiga) merupakan area yg berada di bawah kurva (g(p;z)/z).

Gambar  Poverty Gaps serta FGT Indeks 
Sumber: Foster et al. (1984) 

Duclos serta Araar (2004) memperkenalkan 2 pendekatan yang dapat dipakai buat mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan tersebut adalah: (1) equality distributed equivalent (EDE), yaitu baku hayati berdasarkan masyarakat dimana pendapatan sebagai acuan batas garis kemiskinan, dan (2) kombinasi antara pendapatan serta garis kemiskinan sebagai poverty gaps dan mengelompokkannya dalam kesejahteraan masyarakat. 

Kemiskinan Perdesaaan 
Desa sampai ketika ini tetap menjadi kantong primer kemiskinan. Pada tahun 1998 berdasarkan 49.lima juta jiwa penduduk miskin pada Indonesia lebih kurang 60 % (29.7 juta jiwa) tinggal di wilayah perdesaan. Pada tahun 1999, persentase angka kemiskinan mengalami penurunan berdasarkan 49.5 juta jiwa menjadi 37.lima juta jiwa. Persentase kemiskinan pada daerah perkotaan mengalami penurunan, namun persentase kemiskinan pada wilayah perdesaan justru mengalami peningkatan menurut 60 % tahun 1998 menjadi 67 % tahun 1999 yaitu sebanyak 25.1 juta jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12.4 juta jiwa (Susanto, 2005). Data tersebut diperkuat oleh laporan Kompas tahun 2004 yg menyajikan bahwa lebih dari 60 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di wilayah perdesaan. Dengan demikian, daerah perdesaan hingga waktu ini permanen sebagai kantong terbesar menurut pusat kemiskinan. 

Menurut Sumedi serta Supadi (2004), tingkat pendapatan rakyat perdesaan lebih sensitif (elastis) terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan lantaran sebagian akbar rakyat miskin pada perdesaan memiliki taraf pendapatan di lebih kurang batas garis kemiskinan, ad interim di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin mempunyai taraf pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya pemugaran struktur perekonomian yg berhasil menaikkan pendapatan warga , pengurangan jumlah penduduk miskin pada perdesaan lebih akbar daripada pada perkotaan. Sebaliknya, adanya krisis ekonomi yg menurunkan pendapatan rakyat, pertambahan jumlah penduduk miskin pada perdesaan pula lebih akbar. 

Tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mensugesti indeks kemiskinan pada daerah perdesaan. Hasil penelitian Darwis serta Nurmanaf (2001) memperlihatkan bahwa lebih berdasarkan 70 persen ketua tempat tinggal tangga miskin pada perdesaan tidak tamat SD dan kurang dari 25 % yg menamatkan SD. Lebih lanjut disebutkan bahwa rumah tangga miskin memiliki homogen-homogen jumlah anggota rumah tangga yg lebih akbar dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yg tidak tergolong miskin. Dengan demikian, bila diasumsikan bahwa jumlah anggota tempat tinggal tangga merupakan beban tanggungan pengeluaran, maka dapat disimpulkan bahwa tempat tinggal tangga miskin memiliki beban yang lebih berat dalam mencukupi kebutuhan anggota keluarganya dibandingkan dengan tempat tinggal tangga yang tidak tergolong miskin. 

Hasil penelitian Yusdja et al. (2003) menerangkan bahwa lebih berdasarkan 62 % angkatan kerja rumah tangga miskin bekerja pada sektor pertanian pada perdesaan, disusul pada aktivitas pada sektor perdagangan menjadi pedagang kecil (10 persen), industri rumah tangga (7 persen) serta jasa (6 persen). Pada biasanya sebagian besar anggota rumah tangga miskin bekerja pada kegiatan-aktivitas yang mempunyai produktivitas energi kerja rendah. Hal ini erat kaitannya menggunakan rendahnya aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi. 

Pada kenyataannya angkatan kerja tadi cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yg minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif serta permodalan.

Menurut Susanto (2005), penyebab kemiskinan di perdesaan umumnya bersumber berdasarkan sektor pertanian, yang ditimbulkan oleh ketimpangan kepemilikan huma pertanian. Kepemilikan huma pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan 3.8 % menurut 18.tiga juta ha. Di sisi lain, kesenjangan pada sektor pertanian juga ditimbulkan oleh ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yg terbatas jua menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian pada perdesaan menurun. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8 persen dari seluruh kredit perbankan, serta hanya naik dua % tahun 2000 menjadi 10 %. 

Kondisi tersebut di atas sesuai menggunakan pendapat Thorbecke serta Pluijm (1993), yg menyatakan bahwa kemiskinan poly dijumpai di perdesaan serta sangat berhubungan dengan: (a) pola kepemilikan lahan serta produktivitas lahan, (b) struktur kesempatan kerja, dan (c) operasi pasar tenaga kerja. Lebih lanjut disebutkan bahwa individu-individu dari banyak sekali golongan rumah tangga mempunyai perbedaan pada hal anugerah sumberdaya yang diterima, khususnya penguasaan huma (land endowment) dan kapital manusia (human capital). Hal ini berarti masih ada hubungan yg tinggi antara baku hayati dengan jumlah dan kualitas lahan yang dimiliki, serta korelasi antara baku hidup menggunakan taraf pendidikan serta keahlian anggota rumah tangga. Dengan demikian, suatu rumah tangga yg tergolong tidak memiliki huma dan dengan tingkat pendidikan serta keahlian yg terbatas, bila nir mendapat donasi dan transfer pendapatan berdasarkan pihak lain, maka rumah tangga tersebut akan cenderung terus karam dalam kemiskinannya. 

Model Keseimbangan Umum 
Dalam suatu sistem perekonomian, perubahan keseimbangan pada suatu pasar nir hanya berdampak terhadap sektor atau komoditas itu sendiri, tetapi juga berdampak terhadap sektor atau komoditas serta banyak sekali kegiatan ekonomi lainnya melalui keterkaitan input-hasil. Oleh karena itu, impak suatu kebijakan lebih tepat dianalisis berdasarkan teori ekuilibrium generik dibandingkan menggunakan teori keseimbangan parsial. 

Teori keseimbangan umum menyebutkan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar yg saling terkait. Keseimbangan umum terjadi bila permintaan serta penawaran pada masing-masing pasar dalam sistem tersebut berada dalam kondisi keseimbangan secara simultan. Tingkat harga ekuilibrium yg terwujud adalah solusi berdasarkan sistem persamaan simultan yg menggambarkan perilaku setiap pelaku ekonomi dan ekuilibrium pada setiap pasar. 

Menurut paham teori ekuilibrium umum, bila pada syarat ekuilibrium terjadi gangguan yg mengakibatkan ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam suatu pasar secara parsial, maka akan segera diikuti oleh penyesuaian pada pasar yg bersangkutan dan selanjutnya terjadi proses penyesuaian pada pasar lainnya (simultaneous adjustment) yang membawa perekonomian secara keseluruhan kembali dalam kondisi ekuilibrium yang baru. Mekanisme pencapaian keseimbangan pada seluruh jenis barang di seluruh pasar yang berlaku bagi pembuat dan konsumen disebut sebagai analisis ekuilibrium umum (general equilibrium analysis). 

Analisis ekuilibrium generik adalah landasan bagi perkembangan contoh ekuilibrium umum. Hulu (1997) mengemukakan bahwa formulasi teoritis model keseimbangan umum telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19, diantaranya rumusan Gossen (1854), Jevons (1871), Walras (1874-1877), dan Menger (1871). Abraham Wald dan Gustav Cassel (1930-an), berhasil menyusun formulasi contoh ekuilibrium umum menjadi sebuah model simultan versi Walras, walaupun belum lengkap verifikasi eksistensi penyelesaiannya. John von Neuman selanjutnya berhasil mengambarkan adanya keseimbangan generik, menggunakan sebuah contoh dan menghasilkan solusi tunggal. John Hicks dan Oscar Lange, menyusun model ekuilibrium generik versi makroekonomi Keynesian, yaitu perekonomian yang terdiri dari empat pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja serta pasar kapital). Solusi keseimbangan generik contoh ini memakai asumsi Walras, yaitu andaikan ada n pasar, serta bila n-1 pasar telah berada dalam keseimbangan, maka seluruh n pasar akan berada dalam keseimbangan. 

Pembuktian Walras tentang adanya titik ekuilibrium umum tadi dilakukan dengan memakai matematika formal. Walras menyimpulkan bahwa sejumlah n fungsi excess demand nir tergantung dalam fungsi lainnya. 

Formula ini dapat dituliskan menjadi berikut:

Persamaan (2.5) pada atas adalah Hukum Walras, yg berarti bahwa total excess demand terjadi pada semua jenis barang atau komoditas yang diproduksi (Nicholson, 1994). Apabila nilai semua komoditas yang ditawarkan di pasar sama dengan nilai komoditas yg diminta di pasar, sedangkan harga-harga (pada hal ini harga nisbi) diketahui dalam saat pasar ke-1 ada keseimbangan, maka dalam pasar yg ke-k akan ada ekuilibrium pula. 

Fondasi yg kokoh dari contoh keseimbangan umum berhasil dibangun sang Arrow dan Debreu (1954) dan McKenzie (1959) yg pertanda bahwa model keseimbangan umum secara teoritis “ada, mempunyai solusi tunggal, dan stabil”. Arrow dan Debreu (1954) mensyaratkan adanya ekuilibrium umum apabila perekonomian dalam keadaan kompetitif sempurna, dimana nir terdapat indivisibilitas serta tidak masih ada skala pengembalian yg meningkat (increasing return to scale). Dengan demikian, perekonomian yang nir kompetitif paripurna, titik keseimbangan generik nir selalu ada. 

Dalam perkembangan selanjutnya, penerapan contoh ekuilibrium generik teoritis formulasi Arrow, Debreu dan McKenzie dianggap menjadi contoh Computable General Equilibrium (CGE). Menurut Ratnawati (1996), masih ada 3 ciri pengembangan contoh CGE. Pertama, formulasi CGE yg dikembangkan sang Johansen pada tahun 1960, yaitu contoh CGE disusun sebagai sebuah model linier simultan, dan menurut solusi model diperoleh harga dan kuantitas berdasarkan setiap barang yg diidentifikasi sebagai ekuilibrium umum. Kedua, Herbert Scarf dalam tahun 1970 merumuskan penyelesaian contoh CGE menggunakan “fixed point theorem”. Ketiga, Adelman dan Robinson dalam tahun 1978 merumuskan contoh CGE menjadi sebuah model simultan non linier (nonlinier programming solution), dan solusinya menghasilkan harga bayangan (shadow prices) yang diinterpretasikan sebagai harga dalam syarat ekuilibrium generik. 

Uraian tersebut pada atas memberitahuakn bahwa contoh CGE adalah sebuah pendekatan komprehensif yang merangkum contoh multimarket serta memakai ekuilibrium pasar sebagai elemen dasar analisisnya. Sebuah model CGE menggambarkan agen-agen pelaku ekonomi dan perilakunya, sehingga membawa pasar-pasar yg tidak sama ke pada suatu keseimbangan. 

Pada formulasi model CGE, terdapat keterkaitan antar pelaku ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, rumah tangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar komoditas yang berbeda. Seluruh pasar berada pada keadaan ekuilibrium serta mempunyai struktur yang khusus buat mencapai ekuilibrium apabila masih ada guncangan dalam galat satu pasar (Oktaviani, 2001). 

Secara generik contoh CGE memuat persamaan-persamaan, variabel-variabel eksogen dan parameter, variabel-variabel endogen, serta bentuk-bentuk fungsi menurut persamaan. Sistem persamaan dibuat sang subsistem-subsistem persamaan yg secara umum mencakup produksi, pasar tenaga kerja, faktor renumerasi, pendapatan disposable, kelembagaan (tempat tinggal tangga dan pemerintah), tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, keseimbangan pasar produk, dan numeraire (Sadoulet serta de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yang membentuk contoh CGE umumnya dikelompokkan menjadi blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor-impor, blok investasi, dan blok kliring pasar. 

Lebih lanjut Sadoulet dan de Janvry (1995) mengemukakan bahwa menggunakan sitem persamaan yg komprehensif, contoh CGE memiliki keunggulan pada mengungkapkan impak produksi, konsumsi, perdagangan, investasi dan interaksi spasial secara holistik menurut suatu kebijakan (policy) atau guncangan (shock). Karena itu model ini telah diterapkan buat mensimulasikan efek sosial ekonomi berdasarkan sebuah skenario yang luas yg meliputi beberapa hal. 

Pertama, foreign shocks, seperti perubahan yang nir dibutuhkan dalam term of trade (contohnya kenaikan dalam harga impor minyak atau penurunan pada harga komoditas ekspor primer suatu negara) dan keharusan menurunkan pinjaman luar negeri. Kedua, perubahan dalam kebijakan ekonomi. Pajak dan subsidi merupakan instrumen kebijakan yg sangat lazim dianalisis, khususunya dalam sektor perdagangan. Model ini jua telah digunakan buat melihat perubahan berukuran serta komposisi dalam pengeluaran rutin serta investasi pemerintah. Ketiga, perubahan pada struktur sosial ekonomi domestik, misalnya perubahan teknologi pertanian, redistribusi aset-aset, serta pembentukan kapital sumberdaya insan. 

Buehrer dan Mauro (1995) mengemukakan bahwa contoh CGE dapat dipakai buat mensimulasi impak dari kebijakan perdagangan serta impak perubahan ekonomi berdasarkan berbagai paket kebijakan pemerintah. Adapun dari Yeah et al. (1994) bahwa penggunaan contoh CGE tidak hanya pada contoh perdagangan internasional namun pula dalam perencanaan pembangunan, keuangan, lingkungan, manajemen sumberdaya, serta perubahan transisi serta ekonomi pasar. 

Model tadi dapat menganalisis sensitivitas berdasarkan alokasi sumberdaya lantaran adanya perubahan dari sektor eksternal, ad interim analisis keseimbangan parsial mengasumsikan bahwa sumberdaya bersifat permanen. Selanjutnya, landasan teori ekonomi mikro yang digunakan mencakup parameter elastisitas serta input-hasil data, sebagai akibatnya model CGE merupakan indera analisis eksperimental untuk menganalisis perubahan ekonomi. 

Penggunaan aturan standar model CGE, keseimbangan ekonomi makro di masing-masing pasar bisa diilustrasikan misalnya pada Gambar, yang diadopsi menurut Devarajan, Lewis dan Robinson (1990), misalnya yang dikutip sang Sadoulet serta de Janvry (1995). 

Gambar Keseimbangan Ekonomi Makro dalam CGE 

Menurut Nicholson (1994), properties menurut kondisi ekuilibrium generik adalah terjadinya efisiensi pareto. Adapun menurut Just et al. (1982), kriteria pareto menyatakan bahwa sesuatu perubahan dianggap sebagai perubahan yang membawa kebaikan, apabila perubahan tadi menyebabkan beberapa orang menjadi lebih baik namun nir seorangpun sebagai lebih buruk. Dengan demikian, apabila sudah tercapai suatu kondisi dimana satu pihak tidak bisa meningkatkan kepuasannya tanpa mengurangi kepuasan pihak-pihak yg lainnya, maka syarat ini dianggap pareto optimum.

Efisiensi pareto terjadi pada waktu ekuilibrium umum tercapai melalui mekanisme pasar persaingan paripurna. Konsep efisiensi pareto mencakup tiga jenis efisiensi, yaitu efisiensi alokasi asal (ekuilibrium produksi), efisiensi distribusi komoditas (ekuilibrium konsumsi) serta efisiensi kombinasi produk (keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi). Di bawah ini dibahas masing-masing efisiensi tersebut pada perkara satu konsumen, 2 faktor produksi dan dua komoditas. 

Keseimbangan Produksi 
Nicholson (1994) beropini bahwa pembuat akan berada pada kondisi keseimbangan apabila marginal rate of technical substitution (MRTS) antara 2 faktor produksi yg digunakan sama menggunakan rasio harga menurut kedua faktor produksi tersebut. Dengan demikian, buat penggunaan dua faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) serta kapital (K), maka ekuilibrium produksi akan tercapai pada waktu MRTSlk = w1/w2 pada mana w1 adalah harga faktor L dan w2 harga faktor K. 

Pada perkara 2 perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang tidak sama yaitu x1 dan x2, ekuilibrium simultan yg terjadi dapat dijelaskan melalui kotak Edgeworth (Gambar 8). 

Gambar Diagram Kotak Edgeworth dalam Kasus Dua Komoditas serta Dua Faktor Produksi 
Sumber: Nicholson (1994) 

Paga Gambar, nampak bahwa ekuilibrium simultan antara 2 produk x1 serta x2 tercapai dalam waktu isoquant x1 bersinggungan menggunakan isoquant x2 pada berbagai taraf output. Titik-titik singgung tadi membentuk kurva yg diklaim contract curve (CC). Pilihan taraf hasil yg akan diproduksi dipengaruhi sang rasio harga faktor. Secara matematis pertarungan pada atas dapat diformulasikan sebagai berikut:

dimana MRTS merupakan slope dari isoquant. Rumusan di atas adalah rumusan ekuilibrium umum pada sektor produksi, yang tercapai dalam ketika MRTS buat seluruh jenis hasil merupakan sama. Jika harga faktor diketahui, maka jumlah hasil x1 dan x2 yg wajib diproduksi agar tercapai laba maksimum, bisa dipengaruhi. 

Tingkat output x1 serta x2 yang diproduksi perusahaan harus sinkron menggunakan permintaan konsumen terhadap barang x1 serta x2. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif p1 serta p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran menggunakan permintaan, diperlukan konsep production posibility curve (PPC) (Gambar)

Gambar  Production Possibility Curve
Sumber: Nicholson (1994) 

PPC diderivasi berdasarkan CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC merupakan gugusan titik-titik yang menggambarkan banyak sekali tingkat produksi x1 dan x2 yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk lantaran mendeskripsikan transfomasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi faktor produksi (marginal rate of production transformation = MRPT). 

Berdasarkan definisi:


Keseimbangan Konsumsi 
Untuk mengetahui kondisi pareto optimum pada konsumen, maka wajib diketahui konsep taraf pertukaran marginal atau marginal rate of substitution (MRS), dimana MRS memberitahuakn kesediaan seorang konsumen buat menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang buat mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga nisbi ke 2 barang yang akan dikonsumsinya, yang secara matematis dapat dipengaruhi menjadi berikut: 

Fungsi kepuasan U = f(X) menggunakan pendapatan (I), sebagai akibatnya didapatkan:



Keseimbangan Simultan di Sektor Produksi dan Konsumsi 
Keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi tercapai dalam waktu MRPT12 = MRS12 = p1/p2. MRPT menampakan bagaimana suatu produk ditransformasikan menjadi produk lain, sedangkan MRS menampakan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditas menggunakan komoditas lainnya. Keseimbangan terjadi apabila planning produksi sinkron dengan rencana konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi berdasarkan ekuilibrium simultan ini adalah bahwa kombinasi hasil x1 dan x2 wajib optimal baik menurut sudut produsen maupun konsumen. Secara grafis keseimbangan simultan di sektor produksi dan konsumsi dapat ditinjau dalam Gambar.

Gambar  Keseimbangan Simultan Sektor Produksi serta Konsumsi 
Sumber: Nicholson (1994)