MATERI SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL

Warga belajar--sekalian--selamat pagi, hari ini kita akan melanjutkan pembahasan kita mengenai materi mata Pelajaran Sosiologi yaitu mengenai "Perubahan Sosial". Kita akan coba ringkas materi ini dalam sebuah konsep "Perubahan sosial serta Kesinambungan Masyarakat Indonesia". Ringkasannya menjadi berikut :
PENGERTIAN PERUBAHAN SOSIAL
Seperti sudah kita singgung minggu kemaren : Pengertian perubahan sosial merupakan ketidak sesuaian diantara unsur-unsur yang berbeda pada kehidupan sosial sebagai akibatnya menghasilkan suatu pola kehidupan sosial yg tidak serasi fungsinya bagi masyarakata yang bersangkutan.
Suatu warga pasti mengalami perubahan hanya saja iramanya yang tidak selaras, ada yg cepat serta ada yang lambat perubahannya. Untuk mengetahui perubahan sosial, dengan cara membandingkan syarat rakyat kini dengan keadaan masyarakat sebelumnya.
Misalnya : Dahulu ada asumsi bahwa wanita hanya menjadi bunda rumah tangga serta mengurus anak, namun sekarang banyak sebagai perempuan karier menggunakan jaman emansipasinya.
Perubahan-perubahan yang terdapat pada rakyat meliputi aneka macam aspek misalnya perubahan norma-norma sosial, nilai-nilai sosial, hubungan sosial, pola-pola konduite, organisasi sosial, forum kemasyarakatan, lapisan masyarakat, kekuasaan, kewenangan dan sebagainya.
Setiap perubahan terdapat unsur-unsur yang mengalami perubahan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi unsur-unsur baru pada terima atau ditolak sang warga , yaitu :
1. Struktur Sosial Masyarakat
Struktur sosial yg otoriter sulit mendapat perubahan, kecuali unsur baru tadi baik belangsung atau tidak berlangsung berguna bagi rezim yang berkuasa.
2. Tidak bertentanga dengan ajaran agama
Unsur baru bisa diterima apabila nir bertentangan menggunakan ajaran agama yang dianut oleh warga .
3. Unsur terdapat unsur-unsur kebudayaan yg sebagai landasan
Unsur baru gampang diterima rakyat apabila telah terdapat unsur-unsur kebudayaan yg menjadi landasan bagi diterimanya kebudayaan baru tadi.
4. Kebiasaan masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain
Masyarakat yg terbuka cenderung lebih gampang menerima kebudayaan baru/asing. 
BENTUK-BENTUK PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan sosial mempunyai aneka macam bentuk bila ditnjau berdasarkan aneka macam aspek yaitu :
1. Ditinjau dair Prosesnya
a. Perubahan Cepat (Revolusi)
Perubahan revolusi suatu masyarakat yg cepat dan menyangkut sendi-sendi pada kehidupan warga . Perubahan revolusi dapat direncanakan atau nir direncanakan. Misalnya revolusi 17 Agustus 1945 dengan tujuan proklamasi kemerdekaan.
Syarat-syarat Revolusi
1) Adanya cita-cita untuk mengadakan perubahan
2) Adanya pemimpin yang mampu memimpin harapan masyarakat
3) Pemimpin yg bisa menampung aspirasi masyarakat
4) Pemimpin sanggup menjelaskan tujuan revolusi baik konkrit juga abstrak
5) Ada waktu (momentum) yang sempurna buat melakukan revolusi.
b. Perubahan Lambat (Evolusi)
Perubahan evolusi merupakan suatu perubahan yg lambat dan memilih saat yg nisbi usang. Perubahan ini terjadi lantaran warga menyesuaikan dengna kebutuhan keadaan dan syarat baru seiring dengan pertumbuhan masyarakat, Misalnya: peranan wanita pada ketika relatif panjang serta perlahan menempati kedudukan yg lebih bertenaga menurut sebelumnya.
c. Perubahan Bergelombang
Perubahan bergelombang adalah terjadinya gangguan keseimbangan pada rakyat yang selalu muncul kembali dan akhirnya sebagai ekuilibrium kembali. Misalnya: perubahan konservatisme dalam sistem politik.
d. Perubahan Kumulatif
Perubahan kumulatif merupakan suatu gangguan keseimbangan yang berulang kali menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan baru baik yang bersifat kemajuan ataupun kemunduran pada masyarkat.
2. Ditinjau serta Pengaruh yg ditimbulkan
a. Perubahan berupa kemajuan (Progres)
Perubahan progres adalah perubahan yg membawa kemajuan bagi rakyat lantaran rakyat memperoleh kemudahan-kemudahan dari perubahan tadi. Misalnya: Listrik masuk Desa menyebabkan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat pedesaan pada memenuhi kebutuhannya. Seperti penggunaan mesin cuci, TV, Rice Cooker, dan sebagainya. Perubahan prigres menimbulkan tuntutan hayati baru serta merubah kegiatan serta gaya hidup rakyat.
b. Perubahan berupa Kemunduran (Regress)
Perubahan regres merupakan perubaham yg mengakibatkan kemuduran bagi rakyat pada bidang-bidang eksklusif. Misalnya : penggunaan traktor buat memasak huma pertanian akan menggeser energi manusia serta dapat mengurangi suasana gotong-royong yang akhirnya warga cenderung individualis.
c. Perubahan yg Pengaruhnya besa
Perubahan yang pengaruhnya besar merupakan suatu perubahan yg sifanya mendasar (foundamental) menyangkut sendi-sendi kehidupan masyarakat. Misalnya perubahan sistem pemerintahan serta monarkhi (kerajaan ke bentuk demokrasi.
d. Perubahan yang pengaruhnya kecil
Perubahan yg pengaruhnya mini merupakan suatu perubahan yg tidak foundamental atua nir menyangkut sendi-sendi pokok kehidupan sosial. Perubahan ini tidak begitu berpengaruh terhadap rakyat secara holistik karena tidak menyebabkan perubahan dalam lembaga-lembaga sosial. Misalnya perubahan mode (mode pakaian, mode rambut, dsb).
e. Perubahan yang dikehendaki (Intended Change)
Perubahan yang dikehendaki adalah suatu perubahan yang memang dikehendaki rakyat atau justru perubahan yang sudah direncanakan oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan (agen of change). "Agent of Change" adalah seseorang atau sekelompok orang yg menerima kepercayaan berdasarkan warga buat melakukan perubahan. Contoh: Pembangunan nasional yang dilakukan sang pemerintah.
f. Perubahan yg tidak dikehendaki (United Change)
Perubahan yg tidak dikendaki adalah suatu perubahan yg terjadi pada luar jangkauan rakyat sebagai akibatnya menyebabkan akbiat yg tidak dikehendaki masyarakat. Misalnya: Upacara norma perkawinan bagi rakyat tradisional dengan rapikan cara tata cara yg rumit tidak dipenuhi seluruhnya. Ada beberapa tata cara yang ditinggalkan karena banyak sekali alasan seperti : alasan ekonomi, kurang efisien dan sebagainya. Yang sebenarnya masyarakat nir menghendaki buat meninggalkan norma atau rapikan cara tersebut.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN MASYARAKAT
1. Faktor yang mempengaruhi perubahan menurut pada masyarakat (intern), yang terdiri dari
a) Penemuan Baru (Inovation)
Penemuan baru (inovation) dibedakan menjadi
1) Discovery
2) Invention
b) Terjadinya perseteruan dalam masyarakat
c) Terjadinya pemberontakan pada masyarakat
2. Faktor yang mempengaruhi perubahan menurut luar rakyat (ekstern), terdiri dari :

1) Perubahan Lingkungan Fisik
2) Peperangan
3) Kontak dengan kebudayaan lain.
AKOMODASI BARU DAN KESINAMBUNGAN MASYARAKAT INDONESIA
Kita menyadari bahwa suatu perubahan yang mendasar akan mengakibatkan ketidakseimbangan pada sistem sosial serta menimbulkan disintegrasi. Disintergrasi yang terjadi selanjutnya dapat Mengganggu tercapainya tujuan nasional.
Bangsa Indonesia yang beragam bila nir dikelola dengna baik memiliki potensi permasalahan sangat akbar yg menunjuk terjadinya disitegrasi. Perbedaan pendapat serta disparitas kepentingan pada rakyat majemuk merupakan hal yang masuk akal, untuk itu perlu disikapi secara demokratis. Sikap demokratis adalah sikap yang menghargai disparitas-perbedaan, adalah karakteristik spesial menurut kemajemukan masyarakat Indonesia.
Kesinambungan masyarakat Indonesia perlu dipertahankan serta dipupuk terus menerus supaya tercipta persatuan serta kesatuan bangsa atau integrasi nasional, buat itu perlu sikap-perilaku sebagai berikut :
- Toleransi terhadap nilai-nilai budaya masyarkat lainnya;
- mengurangi sikap perimordial yg menjurus kesikap etnosentrisme dan ekstemisme
- Mementingkan kepentingan bangsa dan negara pada atas kepentingan langsung serta golongan
- Menyelesaikan kasus-perkara sosial dengan cara akomodatif,
- menegakan supremasi aturan secara, konsekuen;
- Melakukan asimilasi budaya seperti perkawinan adonan (Amalgamasi).
Sebagai masyarakat masyarakat sekaligus menjadi rakyat negara Indonesia wajib menyadari bahwa transedental bangsa serta negara Indonesia yg telah diperjuangkan sang pendiri-pendiri beserta seluruh masyarakat Indonesia menggunakan pengorbanan jiwa dan raganya wajib dipertahankan. Untuk itu diharapkan tanggung jawab segenap bangsa Indonesia supaya keinginan bangsa Indonesia dapat terwujud.
Demikianlah rakyat belajar sekalian ringkasan Materi Sosiologi kita Sosiologi yaitu mengenai "Perubahan Sosial", semoga berguna buat menambah pengetahuan serta wawasan masyarakat belajar semua, terimakasih. Wassalamualaikum wr.wb. 

Sumber: Disarikan dari banyak sekali sumber !!

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL

Teori Konstruksi Sosial 
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu nir mampu terlepaskan menurut bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger serta Thomas Luckmann. Peter L Berger merupakan sosiolog menurut New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog menurut University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis serta sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. 

Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger serta Luckmann ini, terlihat cukup utuh di dalam buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”. Publikasi kitab ini menerima sambutan luar biasa dari banyak sekali pihak, khususnya para ilmuan sosial, lantaran saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial poly didominasi oleh kajian positivistik. Berger dan Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas adalah output ciptaan insan kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya, “reality is socially constructed”. 

Tentu saja, teori ini berakar dalam paradigma konstruktivis yang melihat empiris sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan sang individu yg adalah insan bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yg dikonstruksi menurut kehendaknya. Manusia pada banyak hal mempunyai kebebasan untuk bertindak pada luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus pada dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu insan dipandang menjadi pencipta empiris sosial yg relatif bebas pada dalam global sosialnya. 

Dalam penjelasan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi kerangka berpikir konstruktivis memandang empiris sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu empiris sosial bersifat relatif, yg berlaku sinkron konteks khusus yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran menurut teori konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. 

Pengaruh Pemikiran
Pemikiran Berger dan Luckmann tentu pula terpengaruh sang poly pemikiran ilmuan lain, baik yang eksklusif menjadi gurunya atau sekedar terpengaruh oleh pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, bisa kita identifikasi bahwa Berger terpengarub langsung oleh gurunya yg pula tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri adalah murid berdasarkan Edmund Husserl pendiri genre fenomenologi pada Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh oleh pemikiran fenomenologi. 

Memang nir bisa disangkal bahwa pemikiran yg digagas Berger serta Luckmann merupakan derivasi perspektif fenomenologi yg telah memperoleh huma fertile baik pada dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant serta diteruskan sang Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger serta Luckmann. Istilah sosiologi pengetahuan yg dilekatkan pada pemikiran mereka pun sebenarnya bukan hal yang baru terdapat, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan telah diperkenalkan sang Max Scheler serta Karl Manhein. 

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Berger serta Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian mengenai “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian mengenai “dialektika” dan Mead tentang “hubungan simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial menjadi sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme. 

Konstruksi Sosial : Pendefinisian Awal
Istilah konstruksi sosial atas empiris (social construction of reality) didefinisikan menjadi proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu membentuk secara terus-menerus suatu empiris yang dimiliki dan dialami beserta secara subyektif.

Asal usul kontruksi sosial menurut filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif ada pada goresan pena Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Tetapi bila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, beliau merupakan cikal bakal Konstruktivisme.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme sudah muncul semenjak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan nalar budi serta id. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi sehabis Aristoteles mengenalkan kata, berita, rekanan, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan wajib dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah informasi. Aristoteles pulalah yang sudah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yg berarti “aku berfikir karenanya saya ada”. Kata-istilah Aristoteles yg populer itu menjadi dasar yg bertenaga bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme hingga ketika ini. Pada tahun 1710, Vico pada ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, membicarakan filsafatnya menggunakan menyampaikan ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta serta manusia adalah tuan berdasarkan kreasi’. Dia menyebutkan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu ’ini berarti seorang itu baru mengetahui sesuatu apabila beliau menyebutkan unsur-unsur apa yg menciptakan sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yg dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yg memahami bagaimana membuatnya dan berdasarkan apa beliau membuatnya, sementara itu orang hanya bisa mengetahui sesuatu yg sudah dikontruksikannya. Sejauh ini ada 3 macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; dan konstruktivisme biasa. 
1. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk sang pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia konkret. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan serta fenomena sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka nir merefleksi suatu empiris ontologism obyektif, namun sebuah empiris yg dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yg mengetahui serta tdak bisa ditransfer kepada individu lain yg pasif karenanya konstruksi wajib dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan merupakan saran terjadinya konstruksi itu.
2. Realisme hipotesis, pengetahuan merupakan sebuah hipotesis menurut struktur empiris yang mendekati empiris dan menuju pada pengetahuan yg hakiki. 
3. Konstruktivisme biasa merogoh seluruh konsekuensi konstruktivisme serta tahu pengetahuan sebagai citra dari empiris itu. Kemudian pengetahuan individu dipandang sebagai citra yang dibuat dari realitas objektif pada dirinya sendiri. 

Dari ketiga macam konstruktivisme, masih ada kecenderungan dimana konstruktivisme dicermati menjadi sebuah kerja kognitif individu buat menafsirkan dunia realitas yg terdapat lantaran terjadi rekanan sosial antara individu menggunakan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu lalu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yg dilihat itu dari pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yg sang Berger serta Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.

Asumsi Dasar Teori
Jika kita telaah terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann. Adapun perkiraan-asumsinya tadi adalah:
  • Realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial pada sekelilingnya 
  • Hubungan antara pemikiran insan serta konteks sosial tempat pemikiran itu muncul, bersifat berkembang dan dilembagakan 
  • Kehidupan rakyat itu dikonstruksi secara terus menerus 
  • Membedakan antara empiris dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang masih ada di pada kenyataan yg diakui menjadi memiliki keberadaan (being) yg tidak bergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa empiris-realitas itu nyata (real) serta memiliki karakteristik yang khusus. 
Entry Concept
Berger serta Luckman menyampaikan institusi rakyat tercipta serta dipertahankan atau diubah melalui tindakan serta hubungan manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, tetapi dalam kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses hubungan. Objektivitas baru sanggup terjadi melalui penegasan berulang-ulang yg diberikan sang orang lain yang mempunyai definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yg paling tinggi, insan membangun global dalam makna simbolis yg universal, yaitu pandangan hidupnya yg menyeluruh, yang memberi legitimasi serta mengatur bentuk-bentuk sosial dan memberi makna pada banyak sekali bidang kehidupannya.

Proses konstruksinya, jika ditinjau menurut perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yg dialektis dari 3 bentuk realitas yang sebagai entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi serta internalisasi. 
  • Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi empiris (termasuk ideologi dan keyakinan ) dan rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terjadwal, yang kesemuanya dihayati sang individu secara umum sebagai liputan. 
  • Symblolic reality, merupakan semua aktualisasi diri simbolik dari apa yg dihayati menjadi “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti kabar pada media cetak atau elektro, begitu pun yang ada di film-film. 
  • Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu serta dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri pada proses eksternalisasi, atau proses hubungan sosial dengan individu lain pada sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru. 

Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-buatan, Berger menemukan konsep buat menghubungkan antara yang subjektif serta objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal menggunakan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. 
1. Eksternalisasi artinya penyesuaian diri menggunakan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. 
2. Objektivasi ialah interaksi sosial dalam global intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. 
3. Internalisasi merupakan individu mengidentifikasi diri pada tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tadi menjadi anggotanya. “Man is a social product” . 

Jika teori-teori sosial nir menduga penting atau nir memperhatikan hubungan timbal kembali (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini mengakibatkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, merupakan terdapat proses menarik keluar (eksternalisasi) sebagai akibatnya seakan-akan hal itu berada pada luar (objektif) serta kemudian terdapat proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sebagai akibatnya sesuatu yang berada di luar tadi seakan-akan berada dalam diri atau fenomena subyektif.
  • Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua hal yg menonjol melihat realitas kiprah media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi. 
  • Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua aktivitas manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi dalam akhirnya akan menjadi suatu pola yg kemudian bisa direproduksi, serta dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi bila suatu tipikasi yg timbal-pulang menurut tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan istilah lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu forum. 
  • Sementara legitimasi membuat makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yg telah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yg berlainan. Fungsi legitimasi adalah buat membuat obyektivasi yg telah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan wajar secara subyektif. Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama holistik tatanan kelembagaan wajib mampu dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya pada proses-proses kelembagaan yg tidak selaras. Kedua holistik individu (termasuk pada pada media ), yg secara berturut-turut melalui berbagai tatanan pada tatanan kelembagaan wajib diberi makna subyektif. Masalah legitimasi tidak perlu pada tahap pelembagaan yg pertama, dimana lembaga itu sekedar informasi yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila aneka macam obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan pada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal “nilai-nilai” beliau jua selalu mengimplikasikan “pengetahuan” 
Kalau pelembagaan dan legitimasi adalah dimensi obyektif berdasarkan realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota rakyat. Titik awal berdasarkan proses ini merupakan internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang pribadi dari insiden objektif menjadi suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi. 

Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi sang gagasan dekonstruksi yg melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, (1978) yang populer dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini lalu melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran ( interpretation) atas empiris sosial. Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu selalu mengarahkan kepada pemilihan metode penafsiran.derrida (1978) kemudian menyebutkan,bahwa interpretasi yg digunakan individu terhadap analisis sosial yang bersifat sewenang-wenang..

Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan menggunakan gagasan Habermas (1972) bahwa masih ada hubungan strategis antara pengetahuan insan (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, juga kritis) menggunakan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yang bersifat emansifatoris) walautidak dapat disangkal bahwa yang terjadi jua mampu kebalikannya bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.

Menurut Berger serta Luckmann pengetahuan yg dimaksud merupakan realitas sosial masyarakat,misalnya konsep,pencerahan generik, wacana publik, menjadi hasil menurut konstruksi sosial, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial nir berlangsung pada ruang hampa, tetapi sarat menggunakan kepentingan-kepentingan.

Jika konstruksi sosial adalah konsep, pencerahan generik dan tentang publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, misalnya birokrasi, administrasi, juga militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral serta intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini lalu berkembang menjadi intervensi pencerahan individu pada setiap masyarakat rakyat sehingga ihwal yg diciptakan oleh negara bisa diterima sang rakyat menjadi akibat menurut intervensi itu.

Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho bahwa berdasarkan Marcuse (1964), realitas penerimaaan wacana yang diciptakan sang negara itu dianggap ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh negara walaupun implikasinya menurut ihwal itu menindas intelektual dan kultural masyarakat.

Gejala misalnya di atas tidak lain menjadi produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yang cenderung melakukan dominasi serta hegemoni makna atas aneka macam insiden, pengetahuan, kesadaran, serta wacana.rezim dimaksud adalah sekelompok orang yg memiliki kekuasaan formal sebagai representasi berdasarkan penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger serta Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan menggunakan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci.dengan demikian, gagasan-gagasan menciptakan 2 kutup pada satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian tentang realitas sosial dapat dilihat menggunakan cara pandang Derrida serta Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial menjadi objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial memakai dekonstruksi menjadi bagian analisisnya mengenai bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, maka dekonstruksi serta konstrukksi sosial merupakan 2 konsep gagasan yg senantiasa hadir pada satu wacana perbincangan tentang empiris sosial.

Tahap objektivasi produk sosial terjadi pada global intersubyektif rakyat yg dilembagakan. Pada termin ini sebuah produk sosial berada dalam proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger serta Luckman mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan insan yg tersedia, baik bagi penghasil-produsennya juga bagi orang lain sebagai unsur dari global beserta. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana merka bisa dipahami secara pribadi.

Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya juga individu lain. Kondisi ini syarat ini berlangsung tanpa wajib mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu mampu terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yg bekembang di masyarkat melalui diskursus opini rakyat tentang produk sosial, tanpa wajib terjadi tatap muka antara individ serta pencipta produk sosial itu.

Hal terpenting pada objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan indikasi-indikasi oleh manusia. Berger dan luckmann berkata bahwa, sebuah indikasi (sign) dapat dibedakan dari objectivasi-objectivasi lainnya, lantaran tujuannnya yg ekplisit untuk dipakai sebagai isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi pula dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula nir dibuat buat maksud itu.

Sebuah daerah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-daerah fenomena, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol serta modus linguistik, dengan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian dalam taraf simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara maksimal berdasarkan ”disini serta sekarang” pada kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan krusial pada objectivasi terhadap pertanda-indikasi,serta bahkan tidak saja bisa memasuki daerah de facto, melainkan juga a priory yang berdasarkan fenomena lain,nir bisa dimasuki dalam pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan raksasa menurut global lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis adalah sistem-sistem simbol paling penting semacam ini.

Bahasa adalah indera simbolis buat melakukan signifikasi, yang mana nalar ditambahkan secara mendasar pada dunia sosial yang pada objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa menjadi instrumen utama. ”Logika” yg menggunakan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,adalah bagian dari cadangan pengetahuan warga ( Social stock of knowledge) serta diterima sebagai sudah sewajarnya.

Bahasa sang Berger serta Luckmann sebagai tempat penyimpanan gugusan akbar endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, merupakan, menjadi keseluruhan yang kohesif serta tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa dipakai untuk memberi signifikasi dalam makna-makna yg dipahami menjadi pengetahuan yang relevan menggunakan masyarakatnya, pengetahuan itu dipercaya relevan bagi seluruh orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja.

Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seorang menuntun tindakan yg khusus menjadi tipikasi berdasarkan beberapa anggota masyarakat.tipikasi itu lalu sebagai dasar membedakan orang pada dalam masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan bisa ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu wajib memiliki arti yang objektif yang dalam gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yang dimaksud, harus ada kosakata yg mengacu pada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi pada dua hal, yaitu dimulai dari anugerah tanda lisan yang sederhana hingga pada pemasukannya ke pada simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir pada pengalaman dan dalam suatu saat akan sampai kepada sebuah representasi yg oleh Berger dan Luckmann dikatakan sebagai par exellence.

TEORI KONSTRUKSI SOSIAL

Teori Konstruksi Sosial 
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak sanggup terlepaskan berdasarkan bangunan teoritik yg telah dikemukakan oleh Peter L Berger serta Thomas Luckmann. Peter L Berger adalah sosiolog berdasarkan New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan ke 2 akademisi ini menjadi suatu kajian teoritis dan sistematis tentang sosiologi pengetahuan. 

Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger dan Luckmann ini, terlihat cukup utuh pada pada buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”. Publikasi buku ini menerima sambutan luar biasa menurut banyak sekali pihak, khususnya para ilmuan sosial, lantaran ketika itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial poly didominasi oleh kajian positivistik. Berger serta Luckmann meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan output ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap global sosial pada seklilingnya, “reality is socially constructed”. 

Tentu saja, teori ini berakar pada kerangka berpikir konstruktivis yang melihat realitas sosial menjadi konstruksi sosial yg diciptakan oleh individu yg adalah insan bebas. Individu sebagai penentu dalam global sosial yang dikonstruksi dari kehendaknya. Manusia dalam poly hal mempunyai kebebasan buat bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus pada dunia kognitif nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang menjadi pencipta empiris sosial yang nisbi bebas di pada dunia sosialnya. 

Dalam penerangan Deddy N Hidayat, bahwa ontologi kerangka berpikir konstruktivis memandang empiris sebagai konstruksi sosial yg diciptakan sang individu. Tetapi demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yg berlaku sesuai konteks khusus yg dinilai relevan oleh pelaku sosial. Melihat berbagai karakteristik serta substansi pemikiran berdasarkan teori konstruksi sosial nampak kentara, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. 

Pengaruh Pemikiran
Pemikiran Berger serta Luckmann tentu pula terpengaruh oleh banyak pemikiran ilmuan lain, baik yang eksklusif sebagai gurunya atau sekedar terpengaruh sang pemikiran pendahulunya. Jika dirunut, dapat kita identifikasi bahwa Berger terpengarub eksklusif oleh gurunya yg jua tokoh fenomologi Alfred Schutz. Schutz sendiri merupakan anak didik berdasarkan Edmund Husserl pendiri genre fenomenologi pada Jerman. Atas dasar itulah, pemikiran Berger dikatakan terpengaruh sang pemikiran fenomenologi. 

Memang nir bisa disangkal bahwa pemikiran yang digagas Berger dan Luckmann adalah derivasi perspektif fenomenologi yang sudah memperoleh lahan fertile baik pada dalam bidang filsafat maupun pemikiran sosial. Aliran fenomenologi dikembangkan oleh Kant dan diteruskan oleh Hegel, Weber, Huserl, Schutz baru ke Berger dan Luckmann. Istilah sosiologi pengetahuan yang dilekatkan dalam pemikiran mereka pun sebenarnya bukan hal yg baru ada, sebelumnya rintisan ke arah sosiologi pengetahuan sudah diperkenalkan oleh Max Scheler serta Karl Manhein. 

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Berger serta Luckmann terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” dan Mead tentang “hubungan simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial sebagai buatan antara strukturalisme dan interaksionisme. 

Konstruksi Sosial : Pendefinisian Awal
Istilah konstruksi sosial atas empiris (social construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu membentuk secara terus-menerus suatu empiris yg dimiliki serta dialami beserta secara subyektif.

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai berdasarkan gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif ada dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam serta disebarkan sang Jean Piaget. Tetapi bila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai sang Giambatissta Vico, seorang epistemologi berdasarkan Italia, beliau merupakan cikal bakal Konstruktivisme.

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme sudah timbul semenjak Socrates menemukan jiwa pada tubuh manusia, semenjak Plato menemukan logika budi serta id. Gagasan tersebut semakin lebih nyata lagi sesudah Aristoteles mengenalkan istilah, keterangan, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, serta sebagainya. Ia menyampaikan bahwa, insan merupakan makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah liputan. Aristoteles pulalah yg sudah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo sum’ yang berarti “saya berfikir karena itu saya terdapat”. Kata-kata Aristoteles yang populer itu menjadi dasar yg bertenaga bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, menyampaikan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan merupakan pencipta alam semesta dan manusia merupakan tuan berdasarkan kreasi’. Dia mengungkapkan bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana menciptakan sesuatu ’ini berarti seorang itu baru mengetahui sesuatu bila dia menyebutkan unsur-unsur apa yang membentuk sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yg dapat mengerti alam raya ini lantaran hanya dia yg tahu bagaimana membuatnya serta berdasarkan apa dia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikontruksikannya. Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal; realisme hipotesis; serta konstruktivisme biasa. 
1. Konstruktivisme radikal hanya bisa mengakui apa yang dibentuk sang pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan interaksi antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, tetapi sebuah empiris yang dibuat sang pengalaman seorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individdu yg mengetahui serta tdak bisa ditransfer kepada individu lain yg pasif karena itu konstruksi wajib dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.
2. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur empiris yg mendekati realitas serta menuju pada pengetahuan yg hakiki. 
3. Konstruktivisme biasa merogoh seluruh konsekuensi konstruktivisme serta memahami pengetahuan menjadi gambaran berdasarkan realitas itu. Kemudian pengetahuan individu dicermati sebagai citra yang dibentuk menurut empiris objektif pada dirinya sendiri. 

Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu buat menafsirkan global empiris yg ada lantaran terjadi rekanan sosial antara individu dengan lingkungan atau orang pada dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas empiris yang dicermati itu dari pada struktur pengetahuan yg sudah terdapat sebelumnya, inilah yg sang Berger dan Luckmann diklaim menggunakan konstruksi sosial.

Asumsi Dasar Teori
Jika kita jajak masih ada beberapa asumsi dasar menurut Teori Konstruksi Sosial Berger serta Luckmann. Adapun perkiraan-asumsinya tadi adalah:
  • Realitas merupakan output kreasi manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial pada sekelilingnya 
  • Hubungan antara pemikiran insan dan konteks sosial tempat pemikiran itu ada, bersifat berkembang serta dilembagakan 
  • Kehidupan rakyat itu dikonstruksi secara terus menerus 
  • Membedakan antara empiris menggunakan pengetahuan. Realitas diartikan menjadi kualitas yang terdapat di pada fenomena yang diakui menjadi mempunyai keberadaan (being) yang nir bergantung pada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-empiris itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yg spesifik. 
Entry Concept
Berger dan Luckman mengatakan institusi rakyat tercipta serta dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun rakyat serta institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun dalam kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses hubungan. Objektivitas baru sanggup terjadi melalui penegasan berulang-ulang yg diberikan sang orang lain yg memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yg paling tinggi, manusia membangun dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yg menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial dan memberi makna pada banyak sekali bidang kehidupannya.

Proses konstruksinya, bila ditinjau dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis menurut 3 bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality serta objective reality. Selain itu juga berlangsung pada suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi serta internalisasi. 
  • Objective reality, adalah suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan ) dan rutinitas tindakan dan tingkah laku yang sudah mapan bersiklus, yg kesemuanya dihayati oleh individu secara generik sebagai berita. 
  • Symblolic reality, adalah semua ekspresi simbolik berdasarkan apa yg dihayati sebagai “objective reality” contohnya teks produk industri media, seperti berita pada media cetak atau elektronik, begitu pun yang ada di film-film. 
  • Subjective reality, adalah konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yg dimiliki masing-masing individu adalah basis buat melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial menggunakan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru. 

Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-buatan, Berger menemukan konsep buat menghubungkan antara yg subjektif serta objektif melalui konsep dialektika, yg dikenal menggunakan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. 
1. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk insan. “Society is a human product”. 
2. Objektivasi merupakan hubungan sosial pada global intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”. 
3. Internalisasi artinya individu mengidentifikasi diri pada tengah lembaga-forum sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” . 

Jika teori-teori sosial tidak menganggap krusial atau nir memperhatikan hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini mengakibatkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, adalah ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan lalu ada proses penarikan pulang ke pada (internalisasi) sebagai akibatnya sesuatu yang berada pada luar tersebut seakan-akan berada pada diri atau kenyataan subyektif.
  • Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif serta subyektif. Ada 2 hal yang menonjol melihat empiris kiprah media pada dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi. 
  • Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya saat seluruh aktivitas manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yg sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang lalu bisa direproduksi, serta dipahami sang pelakunya sebagai pola yg dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi bila suatu tipikasi yg timbal-pulang menurut tindakan-tindakan yg telah terbiasa bagi banyak sekali tipe pelaku. Dengan istilah lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu forum. 
  • Sementara legitimasi membentuk makna-makna baru yang berfungsi buat mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan pada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi merupakan buat membuat obyektivasi yang telah dilembagakan sebagai tersedia secara obyektif serta wajar secara subyektif. Hal ini mengacu pada 2 tingkat, pertama holistik tatanan kelembagaan wajib sanggup dimengerti secara bersamaan sang para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang tidak selaras. Kedua holistik individu (termasuk di dalam media ), yang secara berturut-turut melalui banyak sekali tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif. Masalah legitimasi nir perlu pada tahap pelembagaan yang pertama, dimana forum itu sekedar keterangan yang nir memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi sebagai tidak terelakan bila aneka macam obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan pada generasi baru. Di sini legitimasi nir hanya sekedar soal “nilai-nilai” dia pula selalu mengimplikasikan “pengetahuan” 
Kalau pelembagaan serta legitimasi merupakan dimensi obyektif dari empiris, maka internalisasi adalah dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia sebagai anggota rakyat. Titik awal berdasarkan proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yg eksklusif dari insiden objektif sebagai suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses pengenalan. 

Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi sang gagasan dekonstruksi yg melakukan interpretasi terhadap teks, ihwal, (1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) serta metode penafsiran ( interpretation) atas empiris sosial. Dalam dekonstruksi, kepentingan eksklusif selalu mengarahkan pada pemilihan metode penafsiran.derrida (1978) lalu menjelaskan,bahwa interpretasi yang dipakai individu terhadap analisis sosial yg bersifat sewenang-wenang..

Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan menggunakan gagasan Habermas (1972) bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan insan (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, juga kritis) menggunakan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yg bersifat emansifatoris) walautidak bisa disangkal bahwa yang terjadi juga sanggup kebalikannya bahwa pengetahuan merupakan produk kepentingan.

Menurut Berger dan Luckmann pengetahuan yang dimaksud adalah empiris sosial rakyat,misalnya konsep,kesadaran generik, tentang publik, sebagai hasil berdasarkan konstruksi sosial, empiris sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger serta Luckmann, konstruksi sosial nir berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.

Jika konstruksi sosial adalah konsep, pencerahan umum serta perihal publik, maka menurut Gramsci, negara melalui indera pemaksa, misalnya birokrasi, administrasi, maupun militer ataupun melalui supremasi terhadap warga dengan mendominasi kepemimpinan moral serta intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini lalu berkembang sebagai hegemoni pencerahan individu dalam setiap rakyat rakyat sebagai akibatnya perihal yang diciptakan oleh negara dapat diterima oleh rakyat menjadi dampak dari intervensi itu.

Sebagaimana dijelaskan sang Nugroho bahwa dari Marcuse (1964), empiris penerimaaan ihwal yg diciptakan oleh negara itu diklaim ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas menggunakan ihwal yang diciptakan sang negara walaupun implikasinya berdasarkan tentang itu menindas intelektual dan kultural warga .

Gejala misalnya di atas tidak lain menjadi produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yg cenderung melakukan penguasaan serta intervensi makna atas banyak sekali insiden, pengetahuan, kesadaran, serta tentang.rezim dimaksud merupakan sekelompok orang yang memiliki kekuasaan formal menjadi representasi berdasarkan penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan menggunakan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci.dengan demikian, gagasan-gagasan menciptakan dua kutup pada satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian tentang empiris sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida serta Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan dalam konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial menjadi objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial memakai dekonstruksi menjadi bagian analisisnya mengenai bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tadi. Dengan demikian, maka dekonstruksi dan konstrukksi sosial adalah dua konsep gagasan yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.

Tahap objektivasi produk sosial terjadi pada dunia intersubyektif masyarakat yg dilembagakan. Pada termin ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger serta Luckman menyampaikan, memanifestasikan diri dalam produk-produk aktivitas manusia yang tersedia, baik bagi pembuat-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur berdasarkan global bersama. Objektivasi ini bertahan usang sampai melampaui batas tatap muka dimana merka bisa dipahami secara eksklusif.

Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini syarat ini berlangsung tanpa wajib mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu mampu terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang bekembang di masyarkat melalui diskursus opini warga mengenai produk sosial, tanpa harus terjadi tatap muka antara individ serta pencipta produk sosial itu.

Hal terpenting pada objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan pertanda-tanda sang insan. Berger dan luckmann menyampaikan bahwa, sebuah tanda (sign) dapat dibedakan berdasarkan objectivasi-objectivasi lainnya, lantaran tujuannnya yang ekplisit buat digunakan menjadi isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi pula dapat digunakan sebagai pertanda, meskipun semula nir dibentuk buat maksud itu.

Sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, bisa didefinisikan menjadi sebuah simbol serta modus linguistik, menggunakan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat pula dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada taraf simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara aporisma dari ”disini serta kini ” pada kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, bahasa memegang peranan penting dalam objectivasi terhadap tanda-tanda,dan bahkan nir saja bisa memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priory yang dari fenomena lain,tidak bisa dimasuki pada pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan super besar berdasarkan dunia lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis adalah sistem-sistem simbol paling krusial semacam ini.

Bahasa merupakan alat simbolis buat melakukan signifikasi, yg mana nalar dibubuhi secara fundamental kepada global sosial yang di objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen primer. ”Logika” yang dengan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,adalah bagian menurut cadangan pengetahuan rakyat( Social stock of knowledge) dan diterima sebagai telah sewajarnya.

Bahasa oleh Berger serta Luckmann menjadi loka penyimpanan formasi besar endapan-endapan kolektif,yang sanggup diperoleh secara monotetik, ialah, menjadi keseluruhan yg kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa digunakan buat memberi signifikasi pada makna-makna yang dipahami menjadi pengetahuan yang relevan menggunakan masyarakatnya, pengetahuan itu dipercaya relevan bagi seluruh orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang eksklusif saja.

Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seseorang menuntun tindakan yang spesifik menjadi tipikasi dari beberapa anggota rakyat.tipikasi itu lalu sebagai dasar membedakan orang di pada masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu wajib mempunyai arti yg objektif yg pada gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yg dimaksud, harus ada kosakata yang mengacu pada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi dalam dua hal, yaitu dimulai dari hadiah indikasi verbal yg sederhana hingga pada pemasukannya ke dalam simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir dalam pengalaman dan pada suatu waktu akan sampai kepada sebuah representasi yg oleh Berger dan Luckmann dikatakan menjadi par exellence.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya memilih kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya mengganti mental pemimpin Indonesia berdasarkan norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan contoh pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok menggunakan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas warga pada pendidikan menjadi akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, serta penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan serta budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yg sudah maju, sebagai akibatnya dalam praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yg mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu serta pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg berdasarkan pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi interaksi komplementer menurut (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (tiga) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis pada praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yg nir sesuai menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara pengajar serta murid, siswa dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita mengenai pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yg sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para anak didik. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, namun guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yg diterima, dihafal, diulangi menggunakan patuh oleh para anak didik. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-manusia yg jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh pengaruh kurang menguntungkan masyarakat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara serta stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu adalah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan menggunakan tuntutan dan kebutuhan warga lokal yang majemuk, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi serta modernisasi pendidikan dengan penekanan dalam pemberian materi pengajaran yang lebih poly bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan harapan irit serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di pada utopi, dan kurang berpijak dalam realitas bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-wangsit utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yg bernafaskan kepribumian yg justru berfaedah bagi rakyat serta sesuai menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yang belum memenuhi harapan rakyat tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia menjadi bahan refleksi buat memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk ketika ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma usang, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yang kemudian. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi menurut pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yg populis yg banyak membuka kesempatan untuk semua anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan output dan layu sebelum berkembang.

Dalam bepergian pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (dua) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yg menjadi prioritas primer, pada samping asal-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul pada bidang asal daya alam, namun lemah dalam asal kabar iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, dan asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, ada juga kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yang bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang lalu sebagai 9 tahun. Krisis yang dirasakan menjadi dampak paradigma tadi merupakan terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari taraf keterampilan energi kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang asa buat menaikkan mutu serta standar pendidikan nasional, maka muncullah kerangka berpikir keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta banyak sekali peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-kebiasaan EBTANAS, serta banyak sekali tes baku. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, kerangka berpikir keseragaman pendidikan sudah menghasilkan percepatan pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, kerangka berpikir yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif serta kepandaian kritis anak didik dan rakyat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka selesainya kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yg terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yg semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan tenaga kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tersebut sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih pada kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya banyak sekali jenis program pendidikan dan training yang lebih berorientasi dalam aspek supply, menyebabkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara global pendidikan serta global kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan serta dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg tidak berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap menjadi state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi dalam aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yg sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hayati manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan buat menciptakan kehidupan beserta. Indonesia yg tengah berkembang adalah pencerminan menurut kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa dalam pandangan baru-ilham politiknya. Sekolah merupakan wahana penyuapan anak didik menggunakan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dianggap paling berguna sang para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan menjadi alat penguasa serta sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya bisa memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi supaya tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) sakralisasi ideologi nasional sebagai akibatnya terjadi penjinakan terhadap critical serta creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, bisa diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yg dialami sang pendidikan Indonesia ketika ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yg melanda semua segi kehidupan, beliau akan menampakkan wujud semakin hebat serta beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata global. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri berdasarkan krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan seluruh anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tadi niscaya akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa beserta pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban insan ke arah yang lebih baik, serta bisa berkiprah pada percaturan dunia.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi dalam empat indikator yang dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir usang, pula berorientasi dalam nilai-nilai orisinal yg bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber berdasarkan landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu dalam sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia serta masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting pada memilih tujuan pendidikan merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yg mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan menggunakan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat menciptakan wawasan pendidikan yg utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat serta prestise insan dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat pada bidang pendidikan berkaitan menggunakan kajian-kajian: (1) eksistensi dan kedudukan insan menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (dua) masyarakat serta kebudayaannya, (3) keterbatasan insan menjadi makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah nir mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hayati. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu merupakan pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan rakyat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yg membentuk pengetahuannya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan krusial pada proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan merupakan membina eksklusif-langsung yang bebas merumuskan pendapat serta menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang sebagai suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi perkara-masalah yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut misalnya bukti diri bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata warga berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal menurut budaya lokal yg berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, serta kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya meliputi seluruh jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk galat satu pendidikan luar sekolah adalah lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses pengenalan akan dimulai berdasarkan keluarga, pada mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.dua/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan perilaku yang bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola hubungan orang tua dengan anak dalam famili, komposisi keanggotaan pada famili, keberadaan orang tua, serta disparitas kelas sosial famili berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi sang berbagai grup sosial pada masyarakat, misalnya kelompok keagamaan, organisasi pemuda, serta organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yang datangnya bukan menurut orang dewasa, namun menurut anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yg mempunyai impak bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai forum sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yg jelas dan nir tetap. Namun kelompok sebaya dapat membangun solidaritas yang sangat bertenaga pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya bisa memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan buat lebih independen, menumbuhkan perilaku kolaborasi, serta membuka horizon anak sebagai lebih luas.

Di sisi lain, yg nir kalah pentingnya, adalah efek pendidikan terhadap rakyat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak buat hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan fokus pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub fokus tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, wajib didukung sang sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga dia bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi berdasarkan prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional pada warga , sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan pertarungan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki sang seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh pada memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi rakyat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya nir selalu terbaik serta juga tidak terburuk bagi masyarakat, tetapi gagasannya wajib siap memenuhi kebutuhan warga . Ketika gagasan tadi gagal menampakan keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap manusia selalu sebagai anggota rakyat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai interaksi timbal kembali, sebab kebudayaan dapat dikembangkan serta dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal juga formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, serta aplikasi pendidikan itu ikut dipengaruhi sang kebudayaan warga pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, serta teknologi yang dipelajari serta dimiliki sang seluruh anggota masyarakat eksklusif. Kebudayaan pada arti luas dapat berwujud (1) inspirasi, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (tiga) benda hasil karya insan. Kebudayaan baik pada wujud ide, prilaku, dan teknologi tadi bisa dibentuk, dilestarikan, serta dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, tidak sama menurut warga ke rakyat. Ada tiga cara umum yg dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi pada keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi dalam lembaga-forum pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku siswa. Masyarakat memegang peranan pada mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat jua berusaha melakukan perubahan-perubahan yang diadaptasi menggunakan syarat baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, norma-norma baru yg sinkron dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laris, nilai-nilai, dan norma-kebiasaan tersebut adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim digunakan sebagai indera transmisi serta transformasi kebudayaan adalah forum pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki peranan yang sangat krusial, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi pula mentransformasikannya agar sinkron menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang krusial dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya mengenai proses perkembangan serta proses belajar. Terdapat 3 pandangan tentang hakikat insan, yaitu taktik disposisional yg memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang insan sebagai makhluk pasif yg bergantung pada lingkungan, strategi fenomenologis memandang insan menjadi makhluk aktif yg bisa bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan mengenai pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan keliru satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu mempunyai talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik nir mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan banyak sekali aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan menggunakan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, perbedaan aspirasi serta impian, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya menggunakan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan pada situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan juga lantaran perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal menjadi dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran efek lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, serta media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah serta Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yg sangat erat. Iptek sebagai bagian primer isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi sang pendidikan, yakni dengan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan sang cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek dalam umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yg pesat; demikian juga menggunakan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang menelaah pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya keterangan realitas yg cepat serta tepat, serta dalam gilirannya, diterjemahkan menjadi program, indera, dan/atau mekanisme kerja yang akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yg makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh lantaran kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu wajib segera diadopsi ke pada penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan sang penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi dalam Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yang sebagai dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan juga aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu bisa dididik serta mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya serta sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik menurut kesamaan umum pendidikan di dunia maupun yg bersumber menurut pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan pada Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian pada belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani adalah inti berdasarkan asas pertama menurut tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada lepas tiga Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak buat mengatur dirinya menggunakan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yg hendak dicapai sang Taman Siswa adalah kehidupan yg tertib serta tenang. Kehidupan tertib dan hening hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengubah sistem pendidikan cara usang yg menggunakan perintah, paksaan, serta hukuman menggunakan sistem spesial Taman Siswa, yg berdasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, pada mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu menjadi pemimpin yang berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mensugesti dengan memberi kesempatan pada siswa untuk berjalan sendiri, serta nir terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri nir dapat menghindarkan diri berdasarkan aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang digunakan pada sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan nir melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, menjadi bagian tidak terpisahkan menurut Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak berdasarkan wawasan tentang anak yg sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yg dapat mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diharapkan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak juga pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu buat merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga slogan tadi sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas krusial pada pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) adalah sudut pandang menurut sisi lain terhadap pendidikan seumur hayati (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut inspirasi usang, tetapi secara universal definisi yang bisa diterima merupakan sulit. Oleh karenanya, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yg (1) meliputi semua hidup setiap individu, (dua) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, serta penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat meningkatkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan membuatkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) mempertinggi kemampuan dan motivasi buat belajar berdikari, (lima) mengakui kontribusi dari seluruh dampak pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua kata ini nir dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan kata “pendidikan” menekankan dalam usaha sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yg membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hayati, proses belajar mengajar pada sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yakni membelajarkan siswa dengan efisien serta efektif; dan meningkatkan kemauan serta kemampuan belajar berdikari menjadi basis menurut belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan 2 dimensi, yaitu dimensi vertikal serta horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah mencakup nir saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi siswa untuk dapat bersaing pada era dunia, maka dimensi tadi hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hayati (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, duduk perkara-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yg memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik menggunakan banyak sekali asal belajar yang terdapat pada sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yg memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang getol belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hayati seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yg sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul dari pada diri sendiri sebagai akibatnya cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan pengajar pada peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, pengajar diharapkan menyediakan dan mengatur aneka macam asal belajar sedemikian rupa sebagai akibatnya memudahkan siswa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa siswa buat memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang bisa menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut bisa terealisasi bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan datang, bisa diajukan gagasan bahwa buat mencapai warga yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar dalam pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat tetap survive pada kehidupan dunia dan buat mempertahankan dan menyebarkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi spesial masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan pada kerangka buat tetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang terdapat dan diakui oleh sebagian akbar penduduk global dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi serta trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat dalam anak. Pendidikan ini akan berbagi kemampuan individu kreatif berdikari, dan menyebarkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan rakyat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju warga industri. Ketiga, konsep eksperimentasi pada pendidikan. Konsep ini akan membuatkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi dari pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, duduk perkara solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut pada prinsip seleksi asimilasi menggunakan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tadi, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan membuat buatan berupa konvergensi nilai asing serta nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yg bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian juga konsep progresif mengenai fungsi pendidikan menjadi agen pembaharuan sosial seharusnya diadaptasi dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan menggunakan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, warga , dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka serta media massa.

Untuk mengantisipasi nir terjadinya perseteruan global antarbudaya, maka diharapkan kerangka berpikir pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai menggunakan empiris-empiris dan tuntutan internasional sekaligus dunia. Pendidikan antar budaya bisa berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yg relatif penting diajarkan pada sekolah serta pada perguruan tinggi. Di samping itu, acara pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga adalah sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui fakta, ulasan, feature, pandangan mata, serta sebagainya. Demikian juga, kitab -buku khususnya yg memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup norma adat, norma-norma, dan prilaku komunikasi mereka sangat krusial dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-insan antarbudaya tingkat nasional, kerangka berpikir pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-forum resmi: lembaga pendidikan, tempat kerja pemerintahan, kantor swasta. Juga di lembaga-lembaga tidak resmi yg melibatkan lebih menurut satu suku bangsa, bisnis yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu adalah tanda-tanda etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, hidangan kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan lembaga-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata pada forum-lembaga pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan swasta, dengan mendapat siswa atau mahasiswa dan pegawai yg cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, hubungan antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, pengajar, serta dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode eksklusif. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yg tidak sinkron suku tadi memiliki kecocokan dalam segi-segi penting, contohnya dalam kepercayaan . Keenam, pembangunan daerah yg merata sang pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan serta training dengan kebutuhan warga banyak seraya menaikkan mutunya, (2) menaikkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, serta evaluasi pendidikan, (3) mempertinggi investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-acara (1) menyebarkan serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan pengajar serta energi kependidikan yang bermutu, (tiga) menciptakan SDM pendidikan yang profesional menggunakan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi aplikasi penyaluran bantuan, serta (5) menaikkan kesejahteraan guru serta energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja pengajar serta tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diperlukan pula memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi swatantra yg luas, (2) menyebarkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg ada di Indonesia, (tiga) pembatasan program-acara pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan serta training pada wilayah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur menaruh otonomi seluas-luasnya pada forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka kini ini. Untuk menaikkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan serta implementasi acara training, media massa, dan media elektro, (dua) menjembatani global pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-tenaga kerja yg sesuai menggunakan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui acara-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi forum-lembaga pelatihan pada daerah menggunakan pelibatan pemimpin-pemimpin rakyat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) mempertinggi kuantitas serta kualitas lembaga-lembaga pendidkan pada daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yg berkualitas, (tiga) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik mempunyai interaksi yg sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi bisa mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan dalam mendidik insan Indonesia menjadi manusia politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya menjadi masyarakat negara yg bertanggung jawab, (dua) rakyat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, kerangka berpikir ini bisa diimplementasikan melalui program-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan menurut dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga program-acara pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka dibutuhkan kerangka berpikir pemberdayaan warga lokal, universitas-universitas di wilayah, forum pemerintah pada daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan warga pada pada penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (warga ) yang memiliki pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu warga supaya penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada daerah memiliki interaksi konsultatif menggunakan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah kabupaten. Hubungan tadi akan menciptakan peluang bagi universitas pada daerah buat menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik pada kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi dunia. Paradigma pengembangan kedua dimensi tadi sangat penting pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti pula membuatkan dimensi globalnya lantaran unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.